ANALISIS KEBIJAKAN PENATAAN GURU PEGAWAI NEGERI SIPIL H.Sujati
[email protected] ABSTRAK Salah satu problem pendidikan nasional yang sampai pada saat ini belum terpecahkan adalah penyebaran guru yang tidak merata. Di daerah tertentu terjadi penumpukan guru, sementara di tempat lain masih kekurangan guru. Keadaan yang demikian menyebabkan ketimpangan mutu pendidikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada tanggal 3 Oktober 2011, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri, tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil. Menurut SKB tersebut, gubernur diberi kewenangan untuk mendistribusi guru antar kabupaten. Namun demikian, SKB tersebut dinilai kontra produktif karena selain tidak sejalan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, juga dapat menimbulkan efek beaya operasional tinggi bagi guru yang berimbas pada merosotnya kualitas pendidikan, khususnya bagi guru SMP, SMA dan TK yang terpaksa dialihfungsikan menjadi guru SD. Untuk itu penulis mengusulkan agar jumlah jam mengajar guru diturunkan menjadi 20 jam dan guru SD alih fungsi disetarakan melalui pendidikan jarak jauh (PJJ). Kata kunci: analisis, kebijakan, penataan, guru PNS PENDAHULUAN Sebagaimana telah diketahui bahwa pada tanggal 3 Oktober 2011, pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama. SKB tersebut merupakan kesepakatan mendukung pemantauan, evaluasi, kebijakan penataan, dan pemerataan guru pegawai negeri sipil secara nasional. Dikeluarkannya peraturan tersebut disebabkan oleh permasalahan dan keluhan tentang pemerataan dan distribusi guru, sementara dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan, guru sebagai pendidik profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Tugas guru bukan saja mendidik, mengajar, dan melatih tetapi juga bagaimana guru dapat mengelola kelas secara efektif dan menyenangkan serta mampu membaca situasi dan kondisi siswa di kelas agar proses pembelajaran terlaksana secara profesional. Guru merupakan salah satu aspek penting dalam menjamin berlangsungnya pembelajaran yang berkualitas. Sementara banyak sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil, seringkali kesulitan mendapatkan guru yang berkualitas, yakni guru yang memiliki kemampuan dan keterampilan memberikan yang terbaik dan menyenangkan peserta didik dalam pembelajarannya. Kalaupun ada, guru-guru ini tidak selalu hadir di kelas. Survei baseline kehadiran guru terkait dengan pelayanan pendidikan dasar di daerah terpencil yang dilakukan lembaga penelitian SMERU pada 2008 menunjukkan, bahwa 14% guru di sekolah-sekolah dasar negeri sampel yang dipilih secara acak tidak hadir di sekolah tersebut pada waktu kunjungan dilakukan (Philip Suprastowo, 2013). Syaikhu, dkk. (Philip suprastowo, 2013) menemukan bahwa absensi guru di sekolah daerah terpencil di Indonesia cenderung menurunkan kinerja belajar siswa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa absennya guru memperburuk ketimpangan hasil belajar murid. Ini
367
terjadi karena ketertiban dan ketenangan belajar di sekolah secara keseluruhan menjadi terganggu, bahkan seringkali terjadi kegaduhan siswa di kelas. Kendati kekosongan tersebut diisi oleh guru pengganti, namun guru pengganti tidak akan dapat menggantikan guru yang seharusnya bertugas. Guru pengganti tidak memahami seluruh proses pembelajaran yang sementinya dilaksanakan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah ditetapkan di kelas tersebut. Oleh sebab itu, ketidakhadiran guru akan berdampak pada menurunnya pencapaian prestasi belajar siswa. Dalam perspektif lain, fungsi, peran, dan kedudukan guru sering terkendala oleh berbagai hal, diantaranya pengangkatan yang bercorak primordial, peningkatan profesional guru terpengaruh suhu politik daerah, mobilitas guru yang dibatasi oleh lingkup daerah tertentu, dan distribusi guru yang tidak merata. Permasalahan yang terakhir, terutama guru mata pelajaran yang terkonsentrasi yang berkewajiban mengajar minimal 24 jam tidak dapat dipenuhi. Kondisi yang demikian dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan secara nasional (Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional, 2011). Dilihat dari jumlah guru, di Indonesia sebetulnya sudah mencukupi. Namun karena ada ketimpangan distribusi, maka ada sekolah tertentu di daerah tertentu kekurangan guru, sementara di beberapa daerah lainnya jumlahmya melebihi kebutuhan. Di Ibukota Kabupaten Sintang misalnya, pada saat ini guru mengalami kelebihan jam mengajar dalam seminggunya akibat kekurangan guru untuk bidang studi tertentu, sementara di kota kecamatan lain seorang guru untuk mendapatkan jam mengajar 12 jam di sekolahnya guru mengalami kesulitan. Hal yang demikian dikarenakan satu mata pelajaran diajar oleh empat guru (Hesti Nurani, dkk. 2023) Kalau ada kelebihan atau kekurangan guru di tingkat provinsi, menurut SKB ini, gubernur punya kewenangan untuk mendistribusi guru antar kabupaten. Penataan dan pemerataan guru PNS dimulai paling lambat tanggal 2 Januari 2012 dan harus selesai pada 31 Desember 2013 (Juknis Peraturan 5 Menteri tetang tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil). PEMBAHASAN Dalam acara peringatan Hari Guru Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengungkapkan, terkait dengan guru masih menghadapi tiga persoalan krusial, yakni: kompetensi, profesionalitas, dan distribusi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sajidan (2014). Terkait dengan masalah distribusi guru, Mendikbud berpendapat bahwa persoalan persoalan tersebut hingga kini masih timpang sehingga terkesan bahwa persoalan mendasar tentang guru ada pada kekurangan jumlah yang bersifat menahun. Padahal, fakta menunjukkan bahwa rasio guru-siswa di Indonesia terbilang sangat cukup, jika dibandingkan dengan beberapa negara maju lainnya. Namun, pendistribusian guru belumlah merata. Hal ini selaras dengan pendapat Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu Pendidikan Syawal Gultom yang mengatakan bahwa rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia, yakni sekitar 1:18. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20). Akan tetapi, ia mengakui, angka rasio yang "mewah" itu tidak diimbangi dengan sistem pendistribusian yang cukup baik. Menurutnya, kurangnya tenaga guru di berbagai daerah dipicu oleh sistem yang kurang baik dalam pendistribusian guru. Penataan guru menjadi penting karena jumlah guru yang memasuki masa pensiun hingga 2014 cukup besar, sementara rasio guru-siswa cukup baik. Dengan demikian, SKB di atas merupakan respon pemerintah atas kasus tidak meratanya disparitas guru secara nasional. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan, ditandatanganinya SKB bertujuan meningkatkan mutu pendidikan di
368
seluruh Indonesia. Menurutnya, roh yang terdapat dalam SKB tersebut adalah untuk menarik seluruh urusan tata kelola guru yang tahun ini ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota kembali menjadi wewenang pemerintah provinsi dan pusat. Masih menurut Mendikbud, pada saat sekarang sebanyak 68 persen sekolah di kota kelebihan guru, sementara 37 persen sekolah di desa dan 66 persen di daerah terpencil masih sangat kekurangan guru dan itu menjadi bagian dari reformasi birokrasi pendidikan yang perlu dibenahi (http://edukasi.kompas.com). Mendikbud mengungkapkan, saat ini secara nasional Indonesia masih kekurangan ratusan ribu guru. Yang dimaksud guru menurut Permendiknas nomor 36 tahun 2007 adalah guru PNS dan guru bukan PNS yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah atau yayasan/masyarakat penyelenggara pendidikan, baik yang mengajar di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Kekurangan itu menurut menteri, bukan karena tidak tersedianya tenaga guru, melainkan lebih dikarenakan tata kelola distribusi guru yang belum optimal. Maka, ia menilai, lebih baik dilakukan optimalisasi jumlah guru untuk didistribusikan secara nasional daripada mengangkat guru baru. Dalam amar petimbangannya, SKB 5 Menteri menyatakan: (a) bahwa berdasarkan data guru, terdapat kekurangan atau kelebihan guru pada satuan pendidikan, pada suatu kabupaten/kota, dan/atau provinsi serta adanya alih fungsi guru sehingga menimbulkan kesenjangan pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antar jenjang, dan antar jenis pendidikan, antar kabupaten/kota, dan antar provinsi dan (b) bahwa untuk menjamin pemerataan guru antar satuan pendidikan, antar jenjang, dan antar jenis pendidikan, antar kabupaten/kota, dan/atau antar provinsi dalam upaya mewujudkan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan formal secara nasional dan pencapaian tujuan pendidikan nasional, guru pegawai negeri sipil dapat dipindahtugaskan pada satuan pendidikan di kabupaten/kota, dan provinsi lain. Selain itu, SKB 5 Menteri menugaskan gubernur untuk mengatur penataan dan pemerataan guru PNS pada tingkat kabupaten. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 14 ayat (1) huruf f yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan satu dari enam belas urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota Agar keputusan di atas dapat terlaksana dengan baik, SKB juga menyertakan sejumlah sanksi, yakni (1) Menteri Pendidikan Nasional menghentikan sebagian atau seluruh bantuan finansial fungsi pendidikan dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian terkait sesuai dengan kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur yang tidak melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan penataan dan pemerataan guru PNS antar satuan pendidikan, antarjenjang, atau antar jenis pendidikan di daerahnya; (2) Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dapat menunda pemberian formasi guru PNS kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran dana perimbangan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (4) Menteri Dalam Negeri dapat memberikan penilaian kinerja kurang baik dalam penyelenggaraan urusan penataan dan pemerataan guru PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tidak meratanya penyebaran guru, sebenarnya bukan saja merepotkan pemerintah, tetapi juga guru. Di daerah-daerah yang kekurangan guru, bisa saja beban mengajar guru menjadi sangat berat. Di daerah luar Jawa, terlebih daerah terpencil dan terluar, seorang guru di satuan pendidikan mungkin saja terpaksa mengajar beberapa mata pelajaran karena terbatasnya jumlah guru. Namun di daerah yang padat, guru jusrtru kekurangan jam
369
mengajar sehingga beban kerja minimalnya tidak terpenuhi. Kondisi yang demikian bisa berakibat pada tidak diterimanya tunjangan profesi. Permendiknas No. 39 Tahun 2009 telah mengatur beban kerja guru. Pada dasarnya, beban kerja setiap guru berkisar antara 24 hingga 40 jam tatap muka perminggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau pemerintah daerah. Sementara beban mengajar guru yang diberi tugas tambahan diatur sebagai berikut. a. Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala satuan pendidikan paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu, atau membimbing 40 (empat puluh) peserta didik bagi kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling/konselor. b. Guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala satuan pendidikan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling/konselor. c. Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala perpustakaan pada satuan pendidikan paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. d. Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. e. Guru bimbingan dan konseling/konselor paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan. f. Guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Dengan dikeluarkannya SKB 5 Menteri dan Permendiknas No. 39 Tahun 2009 diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar acuan bagi pemerintah daerah dalam melakukan penataan guru PNS di daerahnya. Pemerintah Kabupaten Banyumas misalnya, melalui Kepala Dinas Pendidikan mengungkapkan bahwa di Banyumas pada saat ini masih kekurangan sebanyak 1.400 guru tingkat sekolah dasar. Kekurangan itu menyebabkan tak sepadannya rasio guru dengan jumlah siswa, sehingga dapat memengaruhi kualitas pendidikan di tingkat SD. Kekurangan tersebut terkait dengan banyaknya guru yang memasuki masa pensiun setiap tahun, namun di pihak lain, alokasi penambahan guru dari pemerintah pusat terbatas. Untuk tahun 2014 yang lalu, jumlah penerimaan guru berstatus PNS hanya sebanyak 170 orang. Tentu masih jauh untuk menutup kekurangan guru SD yang sebanyak 1.400 orang. Untuk mengurangi kesenjangan jumlah tenaga pengajar dengan kebutuhan tenaga pengajar SD tersebut, Pemkab Banyumas berusaha mengalihkan kelebihan jumlah tenaga pengajar pada jenjang sekolah menengah pertama dan atas ke SD (http://edukasi.kompas.com). Hal yang serupa juga terjadi di kabupaten Kulonprogo. Dengan mengacu pada peraturan di atas, pemerintah kabupaten Kulonprogo pada tahun 2013 telah berhasil mengguru-SD-kan tidak kurang dari 200 guru. Mereka merupakan guru-guru dari berbagai jenjang satuan pendidikan, seperti SMP, SMA, SMK dan bahkan dari TK. Khususnya guru yang berasal dari SMP, SMA dan SMK, mereka merupakan guru bidang studi seperti IPA, matematika, ekonomi, sejarah, sosiologi dsb. Sebelum dinobatkan menjadi guru SD, para guru ini terlebih dahulu disiapkan melalui program pelatihan adaptasi singkat selama sepuluh hari (setara dengan PLPG). Pertanyaannya, apakah cara yang demikian mampu mencapai tujuan hakiki dari penataan guru, yakni meningkatkan kualitas pendidikan?
370
Hasil penelitian Bambang Saptono, dkk. (2012) mengungkapkan bahwa 44-98% dari guru alih fungsi tidak mampu memenuhi kompetensi pedagogi dan profesional. Indikasinya, guru alih fungsi mengalami kesulitan dalam hal: mengenali kemampuan awal peserta didik, menguasai berbagai materi pelajaran, melakukan pembelajaran yang sesuai dengan hakikat bidang studi, menggunakan media pembelajaran, mengembangkan rencana pembelajaran tematik, menilai proses dan hasil belajar, mengelola kelas dan sebagainya. Kondisi yang demikian tidak selaras dengan kedudukan guru sebagai tenaga profesional yang berfungsi meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. SKB 5 MENTERI KONTRA PRODUKTIF SKB 5 Menteri ini menurut pendapat berbagai kalangan justru merugikan guru dan bersifat kontra produktif. Ketua Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, guru harus mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam untuk mendapatkan tunjangan profesi. Guru mata pelajaran hanya mengampu 1 (satu) jenis mata pelajaran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan atau sertifikat pendidik yang dimilikinya. Sesuai ketentuan dalam SKB 5 Menteri, guru yang kekurangan jam mengajar mengikuti ketentuan minimal 6 jam mengajar di sekolah induk dan selebihnya di sekolah lain. Dalam praktik di lapangan, para guru yang jam mengajarnya kurang, mesti proaktif mencari sekolah yang bersedia memberi peluang tambahan jam mengajar. Hal yang demikian justru dapat memunculkan permasalahan lain. Karena guru terpaksa mengajar pada dua atau beberapa satuan pendidikan, hal yang demikian akan berefek pada meningkatnya biaya perjalanan guru. Selain itu cara yang demikian juga dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Menurut Retno Listyarti, dampak lain dari diterapkannya SKB 5 Menteri adalah terancamnya tenaga honorer dipecat dari sekolah negeri. Pasalnya, untuk mencapai target 24 jam mengajar maka sekolah negeri memprioritaskan guru PNS untuk mencari tambahan jam mengajar di sekolahnya. Untuk guru honorer yang mengajar Bahasa Jepang, Jerman dan Komputer masih aman karena tidak banyak guru PNS yang mempunyai kemampuan itu, namun guru honorer dibidang Kimia, Fisika dan Biologi yang sudah berwiyata bhakti bertahun-tahun terancam diberhentikan. Presidium FSGI Guntur Ismail membeberkan, SKB tersebut dapat menimbulkan kecemburuan diantara guru. Masalahnya, SKB tersebut mengistimewakan guru yang menjadi kepala sekolah atau wakilnya. Jabatan kepala sekolah dihargai 18 jam sehingga kepala sekolah cukup mengajar enam jam saja, sedangkan guru yang memiliki tugas tambahan menjadi staf, wali kelas, pembina ekstrakurikuler atau piket sama sekali tidak memperoleh penghargaan penambahan jam mengajar. Guntur berpendapat, seharusnya tugas tambahan mereka dihargai masing-masing dua atau empat jam mengajar (http://www.waspada.co.id ) Menurut Suparman (Sekjen PBPGRI), ketentuan mengajar guru yang ditetapkan minimal 24 jam tatap muka justru memperburuk profesionalitas guru. Ketentuan ini memungkinkan guru mengajar di dua sampai empat sekolah. Kondisi ini menyebabkan waktu guru banyak tersita dalam perjalanan menuju sekolah dan membuat guru tidak fokus mengajar. Guru menjadi tidak fokus pada pekerjaan profesinya. SKB mendorong terjadinya "pertikaian" horizontal di lapangan akibat perebutan jam mengajar. SKB akan menyingkirkan guru PNS junior dan seluruh guru honorer di sekolah negeri. Selain itu, FSGI juga menilai, ketentuan SKB 5 Menteri tentang waktu tatap muka untuk sekolah lain (75 persen) dan untuk sekolah induk (25 persen) berakibat pada pemborosan energi, tidak fokusnya guru dalam memberikan materi, menghambat karir, serta mengganggu
371
perekonomian guru. Meskipun dengan tujuan untuk mengatasi kekurangan dan kelebihan guru, kebijakan ini menyebabkan banyak guru akan mengajar pada lebih dari satu satuan pendidikan. Dampak negatif lainnya, dalam catatan FSGI, adalah hilangnya waktu bagi para guru untuk membaca dan menulis. Hal itu dianggap bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu meningkatkan mutu peserta didik. Selain menimbulkan sistem administrasi yang kacau, pembiayaan negara dan pembiayaan pribadi guru juga membengkak. Seandainya seorang guru memperoleh sekolah lain sebagai tempat menambah jumlah jam tatap muka berarti mereka harus mengajar di beberapa tempat. Hal itu tentunya membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang lebih banyak, sehingga tidak efisien. Ketidakefisienan akan tampak sekali untuk daerah-daerah di Pulau Kalimantan yang jarak antar sekolahnya berjauhan, demikian pula jarak antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Seandainya tuntutan mengajar yang diberikan kepada guru terlalu berat, kemungkinan besar guru menjadi kurang konsentrasi dan selanjutnya peserta didik yang menjadi korbannya. Selain itu dengan terbuangnya waktu dengan banyaknya jam mengajar, apalagi jika mengajar di sekolah lain yang membutuhkan waktu perjalanan yang cukup lama akan mengakibatkan guru tidak memiliki waktu untuk membaca menulis dan melakukan kegiatan peningkatan profesionalisme. Implementasi SKB 5 Menteri selain diragukan keefektifannya dalam meningkatkan kualitas pendidikan, juga tidak sejalan dengan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Menurut undang-undang tersebut, daerah mempunyai hak untuk mengangkat guru (termasuk pejabat lainnya) dan menempatkan mereka tanpa melihat peta persebarannya. Melihat kedudukan SKB yang berada di bawah undang-undang, kiranya SKB tersebut sulit dilaksanakan. SOLUSI SKB 5 Menteri yang memberikan beban minimal mengajar 24 jam tatap muka perminggu dinilai memberikan beban psikologis kepada guru yang tidak mencapai standar minimal. Bagi yang tidak mencapai standar minimal, guru tersebut terancam bakal kehilangan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Sementara bagi yang mencapai standar minimal 24 jam namun dengan cara mengajar di beberapa sekolah, hal demikian akan memberatkan ekonomi guru, karena mungkin tunjangan profesi yang mereka terima, habis untuk beaya transportasi. Pun pula, selama ini guru sendirilah yang harus sibuk kesana-kemari untuk mencari sekolah yang mau memberikan jam pelajaran tambahan sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Pekerjaan yang demikian berarti mengingkari tugas guru sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 52 ayat (1) mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan tugas pokok. Terkait dengan efek negatif sebagai akibat diterpkannya SKB tersebut, penulis menawarkan beberapa solusi. Pertama, beban mengajar guru perlu diturunkan (misalnya menjadi 20 jam perminggu). Bandingkan dengan beban mengajar dosen yang hanya 12 hingga 16 jam. Padahal menurut Surat Edaran Menteri PAN dan RB No. 16 Tahun 2009 persyaratan guru untuk naik pangkat dan jabatan memiliki kemiripan dengan dosen. Kedua, guru jangan diberi beban tambahan untuk mencari sekolah dalam rangka menggenapi 24 jam tatap muka. Pekerjaan demikian sebenarnya merupakan tugas birokrat, dalam hal ini adalah dinas pendikan kabupaten yang bekerja sama dengan pimpinan satuan pendidikan. Ketiga, selama ini guru yang melaksanakan tugas tambahan seperti menjadi wali kelas, pengelola perpustakaan dan pembina kegiatan ekstra kurikuler (pramuka, seni
372
tari dan bidang peminatan lain) tidak dihargai. Oleh karena itu penulis mengusulkan agar tugas tambahan tersebut dapat diperhitungkan sebagai jam tatap muka sehinggadapat menambah jam mengajar guru. Keempat, khusus guru SMP, SMA, SMK dan TK yang terpaksa diguru-SD-kan dapat dtingkatkan melalui Program Penyetaraan Pendidikan Jarak Jauh. Bukti menunjukkan bahwa guru SD yang disetarakan melalui program pembelajaran jarak jauh memiliki kemampuan menggunakan ICT secara baik dalam pembelajaran. Bahkan beberapa beberapa diantara mereka bisa lolos ujian seleksi masuk Program S2 dengan bea siswa dari pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Ringkasan Eksekutif Penataran Guru Masa Depan. Bambang Saptono, dkk. (2012). Kesenjangan Kompetensi Guru Alih Fungsi Sekolah Dasar: Studi Kasus di Kabupaten Kulonprogo. Hesti Nurani, dkk. 2013. Evaluasi dampak kebijakan Mutasi Pegawai Negeri Sipil dalam Lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Sintang. Jurnal Tesis. Juknis Peraturan 5 Menteri tetang tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Permenneg PAN dan RB No. 16 Th. 2009 tentang Jabatan Guru dan Angka Kreditnya. Philip Suprastowo. 2013. Kajian tentang Ketidakhadiran Guru Sekolah Dasar dan Dampaknya terhadap Siswa. Jakarta: Balitbang Kemdikbud. Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang Penataan Guru Pegawai Negeri Sipil. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
373