PENATAAN SISTEM PENERIMAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Oleh : Arisman (Widyaiswara Muda Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI)
Pendahuluan Berbagai hasil survei yang dilakukan oleh lembaga ilmiah menunjukkan bahwa para pegawai negeri sipil (PNS) lebih banyak mengedepankan materi, uang, kekuasaan, dan jabatan saat bekerja, tanpa adanya upaya menunjukkan prestasi atau performance yang baik. Setidaknya gambaran masih buruknya pelayanan publik oleh lembaga pemerintahan tergambarkan dalam hasil survey yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Dalam survey tersebut, 42,90% unit pelayanan di 18 Kementerian yang disurvei tidak memajang standar waktu pelayanan. Hasil ini tentu menjadi pertanda bahwa hampir separuh dari birokrasi di Indonesia mengabaikan standar waktu output pekerjaan. Survei sebelumnya juga dilakukan oleh Lemlit Universitas Padjajaran Bandung pada 2006 menunjukkan bahwa tingkat etos kerja dan produktifitas kerja PNS jauh lebih rendah (kurang lebih dalam prosentase 50%) dibandingkan dengan etos kerja dan produktifitas kerja dari pegawai/karyawan yang bekerja di sektor perusahaan swasta. Sejalan dengan beberapa hasil survei tersebut, banyak kalangan menyatakan bahwa kinerja pegawai di Indonesia yang bekerja di berbagai kementerian negara, lembaga negara, komisi negara, sampai dengan pemerintah daerah, tidak menunjukkan kinerja yang optimal. Kondisi ini sebenarnya telah berlangsung lama dan apabila dirunut dalam lintasan sejarah, sudah berlangsung sejak negara ini berdiri. Oleh karena itu, produk layanan maupun produk hasil kerja aparatur selalu terulur-ulur dan tidak ada waktu penyelesaian yang pasti, sehingga berujung pada penyusunan anggaran yang tidak terencana dengan baik. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, setidaknya variabel penilaian pelayanan birokrasi yang berkualitas diwujudkan dengan adanya kepastian tentang standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi publik, SDM, unit pengaduan, pelayanan khusus, dan tentu pencapaian ISO 9001:2008. Pada masa orde lama, kekuatan birokrasi yang didalamnya terdapat unsur pegawai atau PNS, telah terkotak-kotak dalam pertarungan politik dalam garis ideologi nasionalisme, agama, dan komunisme. Pada masa Orde Baru, wajah birokrasi sangat kental dengan kekuatan politik Golongan Karya (Golkar) yang tergabung dalam elemen ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) dalam sistem korporatisme negara. Pada masa reformasi, pilar birokrasi sangat rawan terhadap intervensi politik dari berbagai partai politik yang bertarung dalam Pemilu dan Pilkada. Indepensi dan netralitas PNS sebagai unsur pelaksana penyelenggaraan pemerintahan menjadi sangat terganggu dan mengalami kondisi dilematis karena ditarik-tarik dalam pusaran politik praktis.
Akibatnya, kinerja pegawai dalam suatu birokrasi pemerintahan menjadi kurang diperhatikan dan terabaikan karena setiap pegawai lebih cenderung menjalin komunikasi informal dengan lingkaran politis kekuasaan dan secara terselubung membuka jaringan dengan komunitas partai politik dan kekuatan legislatif. Para pegawai beranggapan bahwa lebih baik memiliki koneksitas dengan kekuasaan yang sangat menguntungkan bagi jabatan, golongan, dan kariernya daripada berkonsentrasi bekerja. Kondisi yang demikian telah mendorong perilaku PNS untuk bekerja secara instant, malas-malasan, cenderung cari muka, dan mengutamakan pelayanan kepada atasan daripada melayani masyarakat. Para PNS kurang semangat dalam menciptakan inovasi, kreasi dan invensi (terobosan/penemuan) di lingkungan kerjanya masing-masing. Disiplin, integritas, loyalitas, kapabilitas dan kompetensi dalam bekerja kurang diindahkan sehingga berujung pada rendahnya produktifitas kerja dan capaian sasaran kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasi publik secara berkala menyelenggarakan penerimaan pegawai agar pelayanan kepada publik tidak terhambat. Diselenggarakannya rekrutmen mengemban keinginankeinginan tertentu agar organisasi tetap eksis untuk mendapatkan persediaan sebanyak mungkin calon-calon pelamar sehingga organisasi akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk melakukan pilihan terhadap calon pegawai yang dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.
Nilai Budaya Masyarakat Terhadap PNS Budaya birokrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai lingkungan dan kronologi yang berbeda-beda, adanya pengaruh budaya tradisional kerajaan pada tiap-tiap daerah tersebut memiliki kesamaan, yaitu diadopsinya sistem budaya keraton ke dalam sistem birokrasi pemerintahan. Internalisasi nilai-nilai budaya keraton ke dalam birokrasi setidaknya akan memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Pada masyarakat Jawa misalnya, orang Jawa mudah terkesan oleh status kebangsawanan, keterpelajaran, dan kekayaan. Orang berketurunan ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, orang cenderung akan mengejar simbol status yang melekat pada dirinya. Walaupun tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih salah satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan dari masyarakat sekelilingnya. Birokrasi dipandang merupakan salah satu wahana sosial yang dapat mengangkat simbol berupa prestise sosial yang tinggi di masyarakat. Banyak masyarakat di Jawa yang sampai saat ini masih beranggapan bahwa menjadi PNS dapat mengangkat citra dan gengsi di masyarakat. Demikian halnya di Sulawesi Selatan. Dalam struktur sosial masyarakat Bugis, orang yang biasanya dihargai dan dianggap memiliki status yang tinggi adalah kalangan masyarakat yang memiliki gelar bangsawan, memiliki jabatan dalam pemerintahan, dan mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi. Setiap individu berusaha mengekspresikan dirinya seperti apa yang dituntut oleh norma budaya setempat yang berlaku. Salah satu upaya untuk memenuhi
nilai-nilai tersebut adalah dengan menjadi pegawai negeri. Lingkungan birokrasi dianggap merupakan tempat seperangkat simbol-simbol budaya politik, seperti kekuasaan, kontrol, penguasaan sumber daya, sampai dengan prestise keluarga maupun pribadi dengan mudah dapat diekspresikan. Akar budaya di atas adalah beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk menjadi PNS yaitu untuk mendongkrak status ekonomi dan sosial seseorang. Banyak alasan yang dilontarkan dalam menanggapi mengapa pilihan PNS masih menjadi pilihan utama dalam bursa kerja pasca-pendidikan. Salah satunya, karena dengan menjadi PNS, kepastian ekonomi pada masa mendatang tidak diragukan, dan jika pandai membangun akses kekuatan ekonomi di level struktur kelembagaannya, orang tersebut tidak sulit untuk membangun dinasti, yang kemudian dapat diunduh oleh anak cucu nanti. Setidaknya dalam tradisi budaya masyarakat Indonesia lainnya, jika menjadi PNS, maka hidup akan tenang, ada jaminan masa depan, dan terpandang di tengah masyarakat. Dinamika PNS dalam merengkuh profesinya, tidak lepas dari bayang-bayang akan jaminan hidup berupa gaji dan tunjangan pensiun dari pemerintah. Apalagi dalam dunia PNS, rajin atau malas sama saja. Pemecatan nyaris tidak ada, jika harus dipecat, prosedurnya demikian panjang. Sementara sektor informal atau wirausaha yang mensyaratkan persaingan dan etos kerja secara mandiri tidak terlalu diminati. Padahal, dalam era globalisasi, di mana ukuran prestasi menjadi segalanya, jiwa kemandirian merupakan keniscayaan.
Praktek KKN Dalam Seleksi Penerimaan Selama ini, proses penyelenggaraan rekrutmen dan seleksi pengadaan PNS sarat akan nuansa KKN, tertutup, kurang terbuka, kurang transparan, dan akuntabel. Proses pengadaan PNS di sebagian besar lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dinilai oleh berbagai kalangan masih kental dengan hubungan kekerabatan, ikatan emosional, jaringan kewilayahan, dan nuansa kekeluargaan. Pelaksanaan rekrutmen PNS yang terjadi selama ini dipersepsikan masyarakat sangat tidak profesional. Hanya orang-orang yang memiliki hubungan dan koneksi dengan “orang dalam” atau panitia saja yang akan lulus menjadi PNS dengan imbalan materi berupa uang tertentu sebagai kompensasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ingin masuk menjadi PNS harus memiliki uang puluhan juta sampai ratusan juta untuk menyuap orang dalam (panitia). Sepandai apapun seseorang, sebanyak apapun prestasi yang diraih seseorang, dan segudang keahlian atau keterampilan yang dimiliki oleh seseorang, tanpa adanya jaringan, koneksi, dan materi, maka niscaya seseorang tersebut akan sangat sulit untuk lulus menjadi PNS. Permasalahan umum yang sering terjadi dalam perekrutan CPNS diberbagai instansi pemerintah antara lain: munculnya peserta fiktif dan susulan, peserta tidak mengikuti ujian tapi dinyatakan lulus, pengumuman CPNS sebanyak dua kali, hasil rangking tidak diumumkan pada publik, pembatalan pegumuman yang terlanjur diumumkan, dan diganti dengan pengumuman baru, formasi terisi dengan kualifikasi pendidikan yang tidak tepat, penempatan tenaga honorer yang tidak pernah mengabdi tapi dinyatakan lulus, perubahan formasi tidak diumumkan, pengumuman ditandatangani Wakil Bupati yang seharusnya dilakukan oleh Bupati, peserta dengan rangking tertinggi tapi tidak lulus, penentuan kelulusan tenaga honorer tidak ditentukan oleh masa kerja, dan banyaknya SK siluman untuk tenaga honorer.
Meskipun sekarang ini di sebagian besar pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, dalam proses penerimaan PNS agar supaya transparan dan akuntabel, sebagai wujud nyata dari aplikasi egoverment, namun dalam prakteknya, ada sinyalemen bahwa sistem tersebut masih bisa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga sulit untuk diakses publik. Hal ini menegaskan bahwa sebaik apapun sistem yang dibuat, apabila orang atau subyeknya tidak profesional, maka sistem tersebut sulit akan dapat berjalan dengan baik. Inilah yang kemudian memunculkan adagium “the man behind the gun”. Dalam prakteknya permasalahan seleksi CPNS seolah tak pernah usai padahal berbagai perbaikan dan upaya telah dilakukan dalam penyelenggaraan rekrutmen PNS. Namun pada kenyataannya pelaksanaan CPNS dari tahun ke tahun tetap saja tidak memuaskan berbagai pihak. Menyimak kondisi di atas jelas sekali pangkal persoalan dalam pengadaan PNS sehingga perlu diawasi secara ketat oleh masyarakat. Dengan demikian, keberadaan kontrol dari masyarakat dalam rekrutmen PNS berupa dibukanya ruang partisipasi publik dalam peraturan perundang-undangan kepegawaian dirasakan urgensinya. Masalahnya sekarang adalah bagaimana bentuk partisipasi publik dalam proses penerimaan CPNS dan langkah apa yang perlu diupayakan agar partisipasi publik tidak sekedar menjadi slogan tetapi bisa diwujudkan sebagai upaya mengurangi praktek KKN dalam rekrutmen,oleh karenanya negara akan mendapatkan PNS berkualitas melalui suatu proses transparan yang dimulai dari adanya pengumuman dibukanya lowongan, tahap pengajuan aplikasi, tes seleksi sampai dengan pengumuman hasil seleksi. Solusi Pembenahan Rekrutmen PNS Beberapa solusi yang ditawarkan dalam menghilangkan praktik KKN pada proses penerimaan CPNS yaitu menyerahkan proses rekrutmen kepada pihak independen seperti unsur masyarakat dan juga perguruan tinggi. Kalau dalam pemilu legislatif ada pemantau independen yang bertugas mengawal jalannya pemilu, mengapa dalam proses rekrutmen tidak bisa diwujudkan. Kedua kegiatan tersebut outputnya sama yaitu memilih orang-orang yang akan membawa amanah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peluang kontrol publik lainnya adalah pembentukan kelembagaan yang bisa mengakomodir partisipasi publik dalam pengadaan PNS dalam kelembagaan Komisi Kepegawaian Negara (KoKN). Sesuai amanat UU Kepegawaian Negara. Lembaga ini akan mengomodir aspirasi publik yang berhubungan dengan berbagai masalah kepegawaian, meskipun ini masih berupa wacana tetapi satu langkah kedepan dalam upaya partisipasi publik. Setiap tahap dalam proses rekrutmen haruslah diinformasikan secara detail dan cepat dengan didukung oleh perkembangan teknologi. Kejujuran dan obyektifitas dalam merekrut PNS, adalah harapan masyarakat. Sudah bukan zamannya lagi merekrut PNS dengan pola KKN atau atas dasar mengandalkan jaringan. Maka, transparansi adalah sesuatu yang wajib kita lakukan. Informasi yang diberikan kepada masyarakat tidak hanya informasi pendaftaran tetapi sampai pada pengumuman penerimaan termasuk nilai yang diperoleh CPNS bagi yang lolos seleksi. Pembenahan yang kini sedang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara yaitu dengan mengembangkan Computer Assisted Test (CAT) sebagai metode tes penerimaan pegawai yang obyektif dan dapat dipercaya. Metode CAT yang dikembangkan BKN dan Lembar Jawaban Komputer (LJK) memiliki karakter dan keunggulan masing-masing. Salah satu keunggulan
CAT adalah para peserta tes langsung mengetahui skor atau nilainya masing-masing setelah selesai mengerjakan tes. Sistem CAT tersebut menjadikan para peserta yang mengikuti test seleksi CPNS menerima soal secara on-line, kemudian yang bersangkutan langsung menjawab pertanyaanpertanyaan yang ada. Kemudian secara langsung, jawaban yang diberikan oleh peserta test CPNS/CASN tersebut akan langsung masuk ke server atau database pusat dan dikumpulkan untuk langsung diinput menjadi skor nilai akhir. Sistem tes seperti itu jelas tidak akan bisa direkayasa sebab sistem komputer yang akan langsung memeriksa jawaban setiap peserta. Adapun, Penerapan sistem CAT, merupakan salah satu target sembilan percepatan reformasi birokrasi untuk bidang SDM aparatur. Ada yang hal yang difokuskan dalam reformasi bidang SDM, yaitu kinerja pegawai, promosi secara terbuka, dan rekrutmen. Reformasi penerimaan CPNS demikian sudah tertuang dalam Surat Edaran Nomor: B/22154/M-PAN-RV/7/2013 tertanggal 3 Juli 2013 yang ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang ditandatangani Menteri PAN-RB. Di dalam surat edaran tersebut, Menteri PAN-RB menyebutkan bahwa penataan sistem penerimaan CPNS merupakan bagian dari Program Percepatan Reformasi Birokrasi di bidang Sumber Daya Manusia Aparatur. Sistem Pengadaan CPNS harus bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat atau generasi muda bahwa untuk dapat menjadi CPNS hanya ditentukan oleh kemampuan diri sendiri. Simpulan Transparansi dalam penerimaan PNS merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat. Jangan sampai masyarakat selalu mengalami kekecewaan. Transparansi dalam pola rekruitmen PNS bermanfaat untuk memberikan informasi akurat, cepat, dan lengkap kepada masyarakat. Oleh karena itu informasi disampaikan sebagai perwujudan trasparansi pemerintah dalam proses rekrutmen PNS seharusnya tidak setengah hati. Setiap tahap dalam proses rekrutmen haruslah diinformasikan secara detail dan cepat dengan didukung oleh perkembangan teknologi. Kejujuran dan obyektifitas dalam merekrut PNS, adalah harapan masyarakat. Sudah bukan zamannya lagi merekrut PNS dengan pola KKN atau atas dasar mengandalkan jaringan. Maka, transparansi adalah sesuatu yang wajib kita lakukan. Informasi yang diberikan kepada masyarakat tidak hanya informasi pendaftaran tetapi sampai pada pengumum-an penerimaan termasuk nilai yang diperoleh CPNS bagi yang lolos seleksi. Tes CPNS harus memiliki tujuan sebagai proses penjaringan para calon penyelenggara negara yang memiliki integritas dan kualitas yang unggul, melalui proses rekruitmen transparan dan akuntabel. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, masyarakat harus dilibatkan sebagai pengawas eksternal mulai dari proses pengumuman lowongan, hingga pada tahap akhir tes.
DAFTAR PUSTAKA Agus Subagyo, “Korporatisme Negara Dalam Sistem Kepegawaian Daerah”, Jurnal Governance, No. II, Vol. 5 tahun 2008. Ari Djauhari, Studi Netralitas PNS di Kota Banjar. Disertasi. Program Doktor Administrasi Negara FISIP UNPAD Bandung Tahun 2007. Dede Mariana, 2007. “Reformasi Kepegawaian Negara”, Jurnal Jipolis, Vol. II, No. 21 http://www.bkn.go.id/in/berita/2477-cat-bkn-penuhi-tantangan-penerimaan-cpns-tanpakkn.html, diakses pada 21 September 2013 Lemlit UNPAD. “Survei Etos Kerja PNS di Kota Bandung”, Laporan Hasil Penelitian. Bandung, 2006. Media Indonesia, 22 Juli 2013. P. Sondang Siagian. Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) Surat Edaran Menteri PAN-RB Nomor: B/22154/M-PAN-RV/7/2013 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik