ANALISIS JUAL BELI MODERN DALAM ISLAM Ar Royyan Ramly, M.E.K DOSEN FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH BANDA ACEH
[email protected] Abstrak Modern ini banyak sekali jenis transaksi yang beragam dan mengandalakan transaksi yang dilarang oleh syara’ seperti transaksi jual beli yang didalamnya terdapat unsur riba, gharar, dan maisir. Paper ini mengulas dan mendeskripsikan beberapa landasan utama atau azas-azas hukum Islam dalam praktek jual beli di era modern ini dengan mengalami perubahan bentuk transaksi jual beli namun subtansinya tidaklah berubah sama sekali. Selain itu jenis-jenis jual beli saat ini banyak sekali yang dipraktekkan dalam lembaga keuangan baik itu bank syariah maupun lembaga keuangan mikro seperti BMT. Agar pemahaman masyarakat terhadapa transaksi ini berjalan dengan baik dan sesuai syara’, maka diperlukan pembahasan yang obkjektif-kritis yang dibahas dalam paper dan menyinggung beberapa skema sederhana terkait praktek jual beli yang dikemukakan dalam Islam. Kata kunci: Jual beli, modern, Islam I. Pendahuluan Dalam hukum ekonomi Islam (muamalat) etika transaksi merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Dalam melakukan perjanjian (akad, kontrak), misalnya, ditentukan unsur-unsur yang harus ada beserta syarat sahnya agar kepentingan semua pihak terlindungi. Di antara syarat bagi keabsahan suatu perjanjian bisnis adalah tidak mengandung riba. Keterlibatan riba dalam sebuah kontrak bisnis akan berakibat bisnis tersebut tidak sah (batil). Kontrak bisnis yang batil dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum sehingga tidak mempunyai akibat hukum sama sekali, meskipun secara material pernah terjadi tiga hal ini dikarenakan, berdasarkan sejumlah ayat dan hadis, praktik riba dilarang. Kecaman keras terhadap riba dapat dilihat dari digunakannya ungkapan yang paling tandas yang tidak digunakan untuk bentuk-bentuk dosa lainnya. 184
Sejak semula riba diakui potensial menimbulkan masalah karena ketidakjelasan (gharar) makna sesungguhnya yang dikehendaki, bahkan oleh sahabat Nabi Saw sekalipun. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul banyak sekali teori ataupun pandangan tentang riba. Di antara pandangan yang umum diterima (jumhur) adalah bahwa riba dibedakan menjadi dua, yakni riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah dipahami sebagai pembayaran hutang yang harus dilunasi oleh debitur lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang diberikan, dan kelebihan tersebut akan terus meningkat menjadi berlipat ganda bila telah lewat waktu. Riba fadl dikenal sebagai melebihkan keuntungan (harta) dari satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut. Jadi, riba nasi’ah terjadi dalam transaksi hutang-piutang, sementara riba fadl terjadi dalam transaksi jual beli (Aziz, 2004:2). Namun dalam Islam klasifikasi ibadah dan muamalah berbeda kaidahnya, dalam bidang ibadah kaedahnya semua hal yang dilakukan dilarang kecuali hal ketentuannya bedasarkan Al-quran dan hadits, sedangkan muamalah kaedahnya semua yang kita lakukan diperbolehkan, kecuali ada dalil-dalil yang melarangnya baik secara implisit dan eksplisit. Kegiatan muamalah sekarang ini yang kita dapati transaksi keuangan yang modern dengan segala instrumen-instrumen hasil inovasi manusia. Apalagi dalam memenuhi kebutuhan hajat manusia sehari-hari kebutuhan hajat harus diperoleh secara halal dan baik, dilarang memperoleh secara batil dan haram. Penyebab terlarangnya sebuah transaksi dalam ada tiga macam: pertama, haram zatnya (haram lizatihi) yaitu berkaitan dengan objek atau barang yang hendak ditransaksikan dilarang oleh Islam 185
minuman keras (khamaar), daging babi, bangkai, darah. Jadi apabila transaksi yang dilakukan dengan objek yang haram, sedangkan akadnya sah, maka jual beli tersebut tergolong haram pula. Kedua, haram selain zatnya (haram lighairihi) ialah haram yang berkaitan dengan proses atau keadaan memperoleh sesuatu objek dengan berbagai cara. Pada tahap inilah terdapat banyaknya pelarangan jual beli. Contoh jual beli ikan di laut yang belum dimiliki oleh seorangpun, ikan merupakan objek yang halal akan tetapi transaksi yang dilakukan mendzalimi salah satu pihak dengan menjual ikan di laut tanpa mengetahui kuantitas dan kualitas objek. Ketiga, tidak sah atau lengkapnya akad ialah tidajk terpenuhi salah satu rukun dan syarat jual beli. Ataupun hal lain terdapat 2 kontrak dalam satu transaksi, hal ini dilarang dalam hukum Islam. Dari beberapa kriteria di atas menjadi sebuah syarat dalam hukum Islam untuk memenuhi kelengkapan sebuah transaksi keuangan modern sekarang, maka perlu dibahas untuk selanjutnya mengenai beberapa analisis fiqih tentang jual beli yang terjadi sekarang. Apakah sesuai dengan rukun dan syarat yang ditetapkan dalam jual beli. II. Konsep jual beli Jual beli pada dasarnya adalah suatu kegiatan tukar menukar sesuatu benda yang bernilai dengan sesuatu benda yang bernilai lainya sesuai kebutuhan pelaku. Kegiatan transaksi ini dilakukan di pasar dimana tempat berjumpanya penjual dan pembeli dalam menawarkan barang dagangannya. Secara defenisi jual beli berasal dari kata al-bai’ (jual beli) adalah “muqabalatu maliin bimaliin ‘ala wajhin makhsusin” artinya akad tukar menukar harta dengan harta
186
lain melalui tata cara yang telah di tentukan oleh syariat. Yakni memenuhi rukun dan syarat jual beli (Noor, 2012:37). Hukum jual beli adalah mubah atau boleh, akan tetapi pada situasi tertentu akan tergolong fasid contoh ihtikar (penimbunan barang) menurut Imam syatibi pakar fiqih maliki apabila hal ini terjadi maka hukumnya berubah menjadi wajib. Pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya sesuai dengan harga sebelum terjadi lonjakan (Haroen, 2007:113). Rukun dan syarat jual beli harus dipenuhi sehingga jual beli dapat dilakukan dengan sah, menurut jumhur rukun jual beli ada empat perkara: yang pertama ‘aqid ialah pihak yang bertransaksi dalam hal ini adalah penjual dan pembeli, kedua ma’qud ‘alaih ialah objek jual beli. Mencakup barang yang dijual atau adanya barang yang dijual. Ketiga shighat yaitu ijab dan qabul atau serah terima barang, ijab dari pihak penjual dan qabul dari pihak pembeli, keempat nilai tukar pengganti barang. Kemudian syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli, yaitu syarat orang yang berakad haruslah baliqh dan berakal, memiliki potensi untuk melakukan urusan agama dan mengatur keuangan dengan baik, maka tidak sah dalam tasharuf dilakukan oleh orang yang gila atau anak-anak yang masih dibawah umur. Selanjutnya syarat bagi objek barang yang dilakukan untuk jual beli haruslah barang yang halal/sah yaitu mencakup barang yang suci bukan barang yang najis seperti bangkai, babi, darah, dan kotoran, harus bermanfaat, dibawah kuasa ‘aqid, bisa diserahterimakan, barang yang hendak diperjual belikan harus dapat diketahui oleh kedua belah pihak. Syarat yang terkait dengan shighat atau ijab qabul ialah kedua belah pihak harus memiliki unsur kerelaan dalam jual beli, kerelaan ini dapat dilihat dari ijab dan qabul, menurut sebagaian pendapat ijab dan qabul ini harus disebutkan secara terang dan jelas dalam 187
transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak seperti jual beli, sewa menyewa, akad nikah. Sedangkan transaksi yang bersifat mengikat salah satu pihak tidak diperlukan qabul seperti wasiat, sedekah, hibah, waqaf (Haroen,2007:116). Dalam ijab qabul tidak ada ta’liq (ketergantungan) seperti perkataan “saya jual mobil ini untuk anda sesudah saya sembuh” atau “saya jual TV ini untuk anda selama dua bulan”. Mengenai unsur nilai tukar barang pada zaman sekarang ini digunakan adalah uang, berbeda pada zaman klasik atau primitif dahulu orang-orang menukarkan barangnya dengan barang yang lain (al- muqayyadhah) atau kita kenal dengan barter, model seperti ini sangat sulit melihat mengukur banyaknya barang (kuantitas) dan kualitas barang, dikarenakan tidak sesuai dengan kebutuhan si penjual dan pembeli, oleh karena itu harus ada sesuatu yang bernilai untuk dijadikan alat ukur yang mewakili barang yang ditukarkan, penggunaan uang ini hukumnya mubah. Harga kedua belah pihak harus jelas jumlahnya dalam konteks ini harga dapat dipermainkan di pasar oleh karena itu ulil amri harus mengawasi pasar. a. Macam-macam jual beli Jual beli terbagi menjadi dua macam secara umum yaitu, jual beli yang sah dan jual beli yang fasidah atau batil. Jual beli yang sah yaitu jual beli yang dapat memenuhi unsur-unsur rukun dan syarat jual beli, namun pada zaman sekarang sulit mengidentifikasi hal ini dikarenakan banyaknya inovasi dan instrument jual beli yang dilakukan manusia, ini juga dilakukan sesuai perkembangan yang dialaminya. Sedangkan jual beli yang fasidah/batil yaitu jual beli yang apabila tidak memenuhi salah satu rukun dan syaratnya, atau jual beli tersebut pada dasar dan sifatnya tidak disayariatkan seperti jual beli yang dilakukan anak-anak dan orang gila sedangkan barang yang dijual itu berupa barang-barang yang diharamkan syariat 188
seperti bangkai, darah, babi dan khamar. Berikut jenis jual beli yang batil (Haroen, 2007:122). a. Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqh sepakat menyatakan jual beli seperti ini tidak sah. Contohnya seperti jual beli buah yang belum ada putiknya. b. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan kepada pembeli. Seperti menjual burung yang terbang. Jual beli seperti ini oleh seluruh ulama telah menyepakati termasuk kategori bai’ al-gharar (ketidakpastian). Alasanya berasal dari hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Daud dan at-Tirmidzi, yang berbunyi “jangan kamu membeli ikan dalam air, karena jual beli seperti ini jual beli tipuan”. c. Jual beli yang mengandung unsur tipuan. Pada dasarnya baik ternyata dibalik itu terdapat unsur penipuan. Jual beli seperti ini termasuk jual beli al-hishah (jual beli dengan lemparan batu kesalah satu barang yang dikenai), jual beli mulasamah (jual beli yang terpegang oleh pembeli, barang itulah yang dijual oleh penjual), jual beli muzabanah/barter (jual beli ini diduga tidak sebanding) hadits nabi yang menerangkan tersebut diriwayatkan oleh bukhari dan muslim yang berbunyi: “naha rasulullah salallahu ‘alaihi wasalaam ‘an bai’ul muzabanat”. d. Jual beli benda-benda najis seperti babi, khamar, bankai dan darah. e. Jual beli al’arbun (jual beli dengan bentuknya dilakukan dengan perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan harga barang tersebut diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli setuju dan tertarik maka jual
189
beli sah, apabila pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan menjadi hibah bagi penjual). f. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut yang tidak boleh dimiliki seseorang. Para ulama sepakat jual beli seperti ini batal karena alasan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal “manusia berserikat pada tiga hal: air, api, dan padang rumput”. Sedangkan jual beli yang diperbolehkan atau jual beli yang sahih, termasuk didalamnya jual beli ini berlaku khiyar. Berikut jual beli yang sahihah (Noor,2012:4344). a. Jual beli barang yang terlihat tampak dengan jelas dan ada ditempat transaski. b. Jual beli pesanan atau al-bai’u salam c. Bai’ sharf (jual beli emas atau perak, baik sejenis atau tidak, jika jual belinya dalam kategori satu jenis emas dengan emas, perak dengan perak maka disyaratkan: kontan (spot), serah terima barang dilakukan di tempat akad, barang yang dibeli harga dan ukurannya harus sama. Jika tidak satu jenis maka disyaratkan; kontan (spot) serah terima barang harus di tempat akad. d. Bai’ murabahah (jual beli dengan menyebut harga perolehan ditambah keuntungan). e. Bai’ isyrak (jual beli barang secara serikat) f. Jual beli Muhathah (jual beli dengan penjual memberi diskon kepada pembeli). g. Jual beli Tauliyah (jual beli dengan tanpa perolehan keuntungan)
190
h. Bai’ muqabadhah (jual beli hewan dengan hewan, disyaratkan tidak ada unsur riba) i. Jual beli dengan syarat khiyar. III.Jual beli dalam perekonomian modern Telah di jelaskan di awal tulisan ini bahwa jual beli adalah salah satu bagian dari praktek muamalah yang kita lakukan sehari-hari, pekerjaan amali ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maka dalam praktek sehari-hari tentunya kita memahami pola ibadah dan muamalah yang mempunyai kaidah-kaidah berbeda. Hukum asal dari segala kegiatan manusia berasal dari sumber primary yaitu al-quran dan hadits, kemudian disarikan menjadi beberapa bagian termasuk ibadah dan muamalah. Sesuai dengan hukum dasar muamalah “segala sesuatu perbuatan dalam muamalah dibolehkan kecuali ada larangan dalam al-quran dan as-sunnah”. Berarti praktek yang sebelumnya muncul sebelum Islam datang boleh diterima dan digunakan seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, musaqah, kecuali terdapat implikasi dalam al-quran dan hadits yang melarangnya baik secara implisit maupun ekplisit. Oleh karena itu dalam muamalah terdapat prinsip-prinsip hukum Islam yang menyebabkan suatu transaksi ini dilarang karena beberapa faktor berikut: 1. Haram zatnya (haram lizatihi) 2. Haram lighairihi 3. Tidak sah (lengkap) akadnya Haram lizatihi (haram zatnya) berarti transaksi ini dilarang karena keharamanya terdapat pada zat objek barang atau jasa yang hendak ditransaksikan misalnya minuman keras (khamar), babi (khinzir), bangkai, dan darah. Seperti yang tertera dan dijelaskan 191
dalam Al-quran dan hadits tentang benda-benda yang dilarang dikonsumsi oleh manusia, terdapat dalam Qs, Al-Baqarah
173 “sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang ketika disembelih disebut nama selain Allah….” Serta Qs Ali Imran 3 artinya; “diharamkan bagi kamu memakan bangkai, darah, daging babi (hewan) yang disembelih dengan nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang diterkam binatang buas, kecuali sempat kamu sembelihnya…” oleh sebabnya jual beli minuman keras hukumnya haram walaupun akad jual belinya sah (Muhamad, 2014:188). Haram selain zatnya (haram lighairihi), haram inilah yang banyak kita temukan disekitar transaksi yang digunakan baik secara individu maupun kelembagaan, karena amat sulit kita identifikasi beberapa transaksi yang pada objek barang dan jasanya itu sah kemudian pada akad atau proses transaksi ini berjalan terdapat hal-hal keliru yang terjadi di luar batas kesyariahan atau tidak sesuai dengan syariatnya. Oleh karena itu input yang di lakukan hendaknya harus halal, suci, dan dapat dilihat (dikuasai), kemudian pada tahap proses disini pula harus sesuai dengan aturan syariat seperti kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan haruslah jelas, tidaklah boleh baik penjual maupun pembeli menutup informasi yang didapati atau bagi penjual haruslah mengungkapkan informasi yang simetris kepada pembeli. Sehingga ouput atau hasil akhir yang diterima kedua belah pihak adalah halal, suci, dan tentunya mendapat berkah dan manfaat yang baik. Atau sering dikenal dengan formula Input + proses = output halal. Cara lain yang sering ditemui ialah melanggar prinsip-prinsip muamalah yaitu, “an taradhin minkum” atau saling ridha, melanggar prinsip dhalim “la tudzlimun wa la tudzlamun” (Karim, 2008: 31-33). Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada 192
keadaan ridha sama ridha, mereka harus mempunyai informasi yang sama (simetric/complete information) sehingga tidak dapat dicurangi dengan memanfatkan informasi dari salah satu pihak (assymetric information). Transaksi yang melanggar prinsip saling ridha terdapat pada tadlis (penipuan) hal ini dapat terjadi dalam 4 hal tadlis yaitu: 1. Kuantitas 2. Kualitas 3. Harga 4. Waktu penyerahan Tadlis (penipuan) dalam kuantitas adalah contoh sederhana disekitar kita apabila seorang pedagang mengurangi timbangan atau takaran suatu barang yang dijualnya. Tadlis (penipuan) dalam kualitas ialah seorang pedagang yang menyembunyikan cacat barang dagangannya yang ditawarkan kepada pembeli. Masih ingat hadits tentang perilaku masyarakat makkah yang menyembunyikan kecacatan apel yang di jualnya di pasar, pedagang tersebut menyumbunyikan sisi buahan yang cacat itu kedalam tumpukan buah-buahan, kemudian datanglah rasulullah yang sedang menginpeksi pasar dan memasukkan tanggan beliau kedalam karung buahan tersebut, ternya rasul mendapati buah-buahannya telah cacat dan berair, sehingga rasul melarang tindakan tersebut dengan menyembunyikan kecacatan barang tersebut dengan maksud pedagang supaya barang dagangannya terjual habis. Tadlis (penipuan) pada harga atau dalam istilah fiqh disebut ghaban al-fahisy, contohnya seperti seorang tukang ojek menawarkan harga 3 kali lipat kepada pelancong, sedangkan penumpangnya tidak mengetahui berapa harga ojek di pasaran. Terakhir ialah tadlis (penipuan) pada waktu penyerahan, seperti contoh tukang jahit 193
menyelesaikan baju yang dijahit dan diserahkannya dalam waktu tiga minggu, padahal baju yang di jahit dapat selesai dalam 1 minggu pekerjaan. Keempat tadlis tersebut semuanya melanggar prinsip rela sama rela, sedangkan pihak yang ditipu mengetahui tidak mengetahui bahwa dirinya ditipu, apabila pihak ditipu mengetahui hal tersebut, maka dianya tidak merasa rela (Karim, 2008:33). Praktek lain dalam transaksi yang melanggar prinsip “la tudzlimuna wa la tudzlamun” yakni jangan menzalimi dan jangan pula di dzalimi, disini terdapat banyak macam jenis pelanggaran di antaranya: 1. Taghrir (gharar) 2. Riba 3. Maysir 4. Riswah 5. Rekayasa pasar (demand) 6. Rekayasa pasar (supply dan demand) Gharar disebut juga dengan taghrir situasi terjadinya tidak lengkapnya informasi dari salah satu pihak, perbedaannya dengan tadlis ialah pihak A tidak mengetahui apa yang diketahui oleh pihak B. sedangkan taghrir ialah pihak A dan pihak B kedua-duanya sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan. Selain itu gharar ini terjadi bila kita mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertainty). Namun gharar juga dapat berlaku pada empat hal yang sama dengan tadlis: 1. Kuantitas 2. Kualitas 3. Harga dan 194
4. Waktu penyerahan Gharar pada kuantitas terdapat pada kasus ijon, dimana penjual akan membeli buah yang belum tampak di pohon. Gharar pada kualitas contohnya pada peternak sapi yang menjual anak sapi yang masih dalam kandungan induknya. Dalam kasus ini terjadi ketidakpastian pada objek karena tidak ada jaminan anak sapi ini terlahir cacat atau dalam keadaan sehat. Sedangkan gharar dalam harga pada jual beli murabahah, apabila salah satu nasabah membeli rumah kepada bank syariah, kemudian bank syariah memberi pembiayaan murabahah dalam 1 tahun margin 20% atau 2 tahun dengan margin 40%, kondisi seperti ini tidak jelas apakah nasabah menyepakati 20% atau 40%. Selanjutnya gharar dalam waktu penyerahan, misalnya seseorang menjual barang yang hilang seharga X dan disetujui oleh pembeli, namun terjadi ketidakjelasan dalam waktu penyerahan pada kasus ini (Muhamad, 2014:121). Selanjutnnya hal yang lain berkaitan dengan transaksi ialah rekayasa pasar dalam supply (ihtikar) dilarang dan tidak sesuai dengan syariat. Praktek ini terjadi apabila seorang produsen menimbun barang dagangannya atau dikenal dengan ihtikar dalam istilah fiqh muamalah. Produsen mengambil keuntungan diatas harga normal dengan cara mengurangi supply barang supaya harga produk yang dijual naik. Kondisi seperti ini mirip dengan monopoli, karena menghalangi penjual/pesaing yang lain masuk ke pasar. Namun tidak semua yang melakukan penimbunan disebut monopoli, contohnya BULOG dengan tujuan menjaga kestabilan harga. Cara lain yang berkaitan dengan prinsip mendzalimi ialah rekayasa permintaan (demand) dalam pasar atau dalam istilah fiqih disebut bai’ najasy yaitu seorang produsen menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan barang 195
terhadap suatu produk sehingga harga jual produk tersebut akan naik. Dalam pasar saham juga terjadi praktik goreng-mengoreng saham, bursa valas, melakukan pembelian order agar tercipta sentiment pasar untuk ramai-ramai membeli, hal lain juga terjadi pada pelelangan barang (Muhamad, 2014:35). Haram selain zatnya juga termasuk dalam kategori transaksi yang belum jelas akadnya, maka transaksi akan menjadi haram apabila akad pada transaksi tersebut tidak sah atau lengkap dan apabila terjadi beberapa faktor sebagai berikut: 1. Rukun dan syarat tidak terpenuhi 2. Ta’alluq 3. Terjadi two in one Ta’aluq ialah akad yang terjadi pada dua akad yang saling dikaitkan, maka berlakunya akad 1 tergantung akad 2. Contoh bai’ al inah. A menjual barang seharga 120 juta secara cicilan kepada B. dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang X tersebut kepada secara tunai seharga 100 juta. Jual beli seperti ini haram dikarenakan adanya persyaratan (Muhamad, 2014:49). Sedangkan two in one adalah kondisi dalam satu transaksi diwadahi oleh dua akad. Sesuai hadits nabi melarang dalam satu jual beli terdapat dua akad. Kasus seperti ini mengandung unsur ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan dalam terminologi fiqh kejadian ini disebut syafqatain bil al shafqah. IV. Jual Beli Murabahah Murabahah adalah akad jual beli barang dengang menyatakan tsaman (harga perolehan) dengan ribh (keuntungan/margin) yang disepakati penjual dan pembeli. Murabahah dapat dilakukan dengan pesanan atau tanpa pesanan. Setiap akad jual beli mempunyai rukun dan syarat. Akad dalam jual beli ini menjadi wa’ad yang harus 196
dipenuhi kepada pembeli dan penjual wajib memenuhi kewajibanya untuk menyediakan barang. Pada bai’ murabahah rukun ialah penjual (bai’), Musytari awal (pembeli pertama/LKS), Musytari tsani (pembeli kedua), Ma’qud ‘Alaih (objek jual beli), terakhir sighat ijab qabul (serah terima) (Noor, 2012:50). Pada perbankan skim murabahah ini sangatlah popular, dan transaksi murabahah ini lazim dilakukan rasulullah saw dengan sahabatnya. Jadi jual beli murabahah ini merupakan akad jual beli dengan menyebutkan harga perolehan dan keuntungan/margin yang disepakati penjual dan pembeli. Akad murabahah termasuk bentuk natural certainty contract karena menyebutkan required rate of-profit (tingkat keuntungan yang ingin diperoleh). Oleh sebabnya kontrak murabahah disebut skim yang transparan dalam jual beli dan banyak diminati oleh masyarakat. Murabahah dapat dilakukan dengan pesanan atau tanpa pesanan, dalam murabahah pesanan bank dapat melakukan pembelian barang setelah ada pesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat maupun tidak mengikat untuk membeli barang yang dipesannya. Penjual atau Bank boleh meminta uang muka sebagai tanda jadi kepada calon pembeli apabila murabahah mengikat. Kemudian dalam murabahah bersifat mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya (Karim, 2008:115). Selanjutnya mengenai pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan harga dalam pembayaran berbeda. Murabahah muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian baik dalam bentuk angsuran maupun lump sum (sekaligus). Disisi lain bank dapat memberikan potongan apabila nasabah, mempercepat pembayaran cicilan, dan melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo (Karim, 2008: 116). 197
Skema murabahah
Pada skema murabahah di atas, model seperti ini sering digunakan pada perbankan dan lembaga keuangan lainnya, agak berbeda dengan pengertian murabahah, akan tetapi telah pada subtansi akadnya tetap sama, hanya berbeda pada pelaksanaan teknis, pada pelaksanaan teknis inilah perlu diawasi prosesnya, supaya tidak terjadi kelalaian atau kecurangan di pihak penjual dan akhirnya jual beli yang dilakukan perbankan menjadi jual beli fasid. Skema al-murabahah dapat dijelaskan secara sederhana, pihak pertama atau nasabah berniat membeli barang berupa sebuah mobil melalui Bank Syariah. Nasabah datang ke Bank Syariah untuk memesan barang kepada Bank dengan menyebutkan spesifikasi barang dan negoisasi harga serta persyaratan kepada nasabah. Selanjutnya apabila akad sudah disepakati pihak Bank Syariah memesan barang kepada pihak ketiga atau supplier, dalam hal ini Bank Syariah telah mempunyai kerjasama dengan supplier atau belum, karenanya untuk menghindari resiko apabila pihak ketiga akan mencurangi 198
Bank Syariah. Selanjutnya penyerahan barang boleh dilakukan dengan dua cara, cara pertama Bank Syariah menyerahkan barang langsung kepada nasabah yang memesankan barangnya setelah diterima dari pihak ketiga, ataupun pihak ketiga menyerahkan barangnya kepada nasabah. Kemudian nasabah baru menyerahkan uang kepada bank syariah secara tunai. Apabila jual beli murabahah secara cicilan nasabah dapat menyerahkan uang dimuka. Analisis Bank mengenai perhitungan murabahah: 1. Kasus pertama Seorang nasabah X mendatangi bank syariah, dengan niat membeli mobil, sedangkan nasabah hanya mempunyai uang Rp. 5.000.000.- Kemudian bank syariah mengambil keuntungan dari required rate of profit Bank sebesar 20% dari harga perolehan mobil sebesar Rp. 200.000.000.- dengan cicilan selama 24 bulan.? Harga barang dari pemasok
: 200.000.000
Kemampuan nasabah /bulan
: 10.000.000
Required rate of profit bank (20%)
: 20.000.000
Harga jual kepada nasabah
: 200.000.000 + 40.000.000 = 240.000.000
Periode pembayaran 24 bulan
: 240.000.000/24 bulan= 10.000.000
2. Kasus kedua Misalkan seorang nasabah ingin memiliki sebuah motor. Nasabah dapat daftar ke Bank Syariah dan memohon agar bank membelikannya. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan, bank membelikan motor tersebut dan diberikan kepada nasabah dicicil selama 2thn. Harga motor tersebut sbb: Harga mtr tsb
= Rp.4000.000
Keuntungan bank = Rp. 800.000 Hrg jual ke nasabah= Rp.4.800.000 199
Cicilan / bln: Rp.4.800.000: 2Thn = Rp.200.000 V. Kesimpulan Hukum asal dari segala kegiatan manusia berasal dari sumber primer yaitu alQuran dan hadits, kemudian disarikan menjadi beberapa bagian termasuk ibadah dan muamalah. Sesuai dengan hukum dasar muamalah “segala sesuatu perbuatan dalam muamalah dibolehkan kecuali ada larangan dalam al-quran dan as-sunnah”. Berarti praktek yang sebelumnya muncul sebelum Islam datang boleh diterima dan digunakan seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, musaqah, kecuali terdapat implikasi dalam al-quran dan hadits yang melarangnya baik secara implisit maupun ekplisit. Oleh karena itu dalam muamalah terdapat prinsip-prinsip hukum Islam yang menyebabkan suatu transaksi ini dilarang karena beberapa faktor berikut: 1. Haram zatnya (haram lizatihi) 2. Haram lighairihi 3. Tidak sah (lengkap) akadnya Haram lizatihi (haram zatnya) berarti transaksi ini dilarang karena keharamanya terdapat pada zat objek barang atau jasa yang hendak ditransaksikan misalnya minuman keras (khamar), babi (khinzir), bangkai, dan darah. Seperti yang tertera dan dijelaskan dalam Al-quran dan hadits tentang benda-benda yang dilarang dikonsumsi oleh manusia, terdapat dalam Qs, Al-Baqarah 173 dan Qs Ali Imran 3. Haram lighairihi (haram selain zatnya) disyaratkan tidak melanggar prinsip syariah “an taradhin minkum” atau saling ridha, melanggar prinsip dhalim “la tudzlimun wa la tudzlamun”. 200
1. Gharar 2. Maysir 3. Riba 4. Ihtikar 5. Rekayasa dalam demand 6. Risywah Tidak sah (lengkap akadnya) 1. tidak lengkap rukun dan syarat 2. ta’alluq (pembelian bersyarat) 3. two in one
201
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gramedia Media Pratama, 2007. HM, Dumairi Noor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, 2012. Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah Analisis Fiqh dan Keuangan, Yogyakarta: STIM AMP YKPN, 2014. Sarwat, Ahmad, Fiqih Muamalah, Anonim…. Jamal Abdul Aziz, Riba dan Etika Bisnis Islam (Telaah Atas Konsep Riba ‘Kontemporer’ Muhammad Syahrur), Jurnal Ibda` Vol. 2 No. Jan-Jun 2004. Ifham, Sholihin A, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, 2010, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Imamudin Y, Ekonomi Islam: Filosofi, Teori dan Implementasi, 2007, LPPIUMY,Yogya
202