Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
ANALISIS INTERAKSIONISME SIMBOLIK (Makna Terhadap Peserta Didik Dalam Pendidikan) Oleh : Desi Erawati ∗ Abstrak Pendidikan yang baik dan sempurna adalah harapan dari semua bangsa, karena maju mundurnya sebuah negara tergantung dari kualitas pendidikan dan generasi muda yang handal, berkualitas baik keilmuannya dan terutama keagamaannya. Dari kalimat ini mempunyai pesan bahwa pendidikan yang baik adalah bisa memberikan kebaikan dunia maupu akhirat. Tetapi tidak sedikit fenomena pendidikan di Indonesia yang cukup memprihatinkan, maraknya tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, salah dalam menggunakan kecanggihan teknologi seperti lebih senang berinteraksi dengan dunia maya daripada berinteraksi dengan sesame temannya secara fisik, kemudian penyalahgunaan obat-obat terlarang atau narkoba. Interaksi yang dilakukan oleh peserta didik baik di lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, sekolah dan lainnya beragam dalam pemaknaannya sehingga simbol yang melekat dalam diri anak tersebutpun berbeda. Untuk dapat melihat atau menganalisa lebih jauh bagaimana peran hasil interaksi anak/ peserta didik tersebut di atas, maka dalam kajian ini akan melihat dari kacamata sosiologi dengan menggunakan teori Interaksionisme Simbolik. Teori ini termasuk dalam paradigm definisi sosial sebagaimana yang dikatakan oleh Ritzer dalam bukunya “ Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda”, dengan pandangan yang mendasar bahwa (menurut Weber) sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding ) tindakan sosial serta hubungan antar sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Kata Kunci : Analisis, Interaksionisme Simbolik, Peserta Didik
PENDAHULUAN Merujuk pada UUSPN Nomor 20 Tahun 2003: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UUD RI NO. 20, 2003: 3) Peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah bahwa pendidikan sangatlah mempunyai peranan penting bagi perkembangan peserta didik baik
dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik, guna mencetak manusia yang berkualitas baik dari segi agama ataupun ilmu umum lainnya. Tetapi bila melihat dari beberapa tahun ke belakang fenomena generasi muda saat ini cukup memprihatinkan maraknya tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, narkoba ditambah lagi dengan canggihnya teknologi sehingga sangat mudah anakanak mengakses hal-hal yang sifatnya tidak penting seperti chatting yang kebablasan, menggandrungi atau mengidolakan sesosok artis yang fenomenal sampai mengikuti pola gaya hidup sang artis yang notebenenya adalah bukan asli budaya Indonesia,
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
45
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
lebih percaya diri dan punya gengsi tinggi. Gambaran sebagian kecil gaya hidup para remaja dari fenomena yang lainnya. Semua budaya yang terjadi tentunya berjalan tanpa ada pengendalian yang cukup berarti baik dari pemerintah, sekolah ataupun orang tua. Sangat bertolak belakang memang dari makna pendidikan yang telah dicanangkan dimana pendidikan menciptakan generasi yang berkarakter bangsa. Sekolah sebagai suatu sistem sosial merupakan suatu tempat yang semestinya memiliki iklim yang kondusif untuk mendukung proses belajar mengajar. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika lingkungan fisik dan psikis sangat kondusif. Lingkungan yang damai dan menyenangkan adalah sangat kondusif untuk memfasilitasi proses belajar yang lebih baik (Maftuh, 2008: 9) Dari fenomena tersebut di atas, memang begitu kompleks jika berbicara masalah pendidikan baik yang berhubungan dengan pembelajarannya ataupun yang berhubungan dengan krisis moral yang terjadi saat ini. Itu semua tidak bisa disalahkan begitu saja tetapi banyak elemen yang harus bertanggung jawab atas permasalahan tersebut. Seperti halnya keluarga, lingkungan masyarakat dan yang terlebih penting adalah kebijakan pemerintah yang harus berpihak terhadap pendidikan. Melihat fenomena ini jika ditinjau dari kajian teori Sosiologis, mengingat teori-teori yang ada dalam ilmu sosiologis begitu banyak, maka dalam hal ini lebih memfokuskan pada sisi individu yaitu peserta didik (siswa) sebagai pelaku bagian dari masyarakat. Kajian teori yang digunakan sebagai menganalisis kasus tersebut adalah dengan
menggunakan teori Interaksionisme Simbolik dimana peserta didik atau anak itu adalah bagian dari masyarakat baik itu di sekolah ataupun di lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana fenomena krisis moral yang melanda dunia pendidikan kita yang ini dilihat dari teori tersebut. ANALISIS TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK (MAKNA PESERTA DIDIK DALAM DUNIA PENDIDIKAN. Teori ini berlandaskan pada filsafat Pragmatisme yang menekankan pada realitas diciptakan saat bertindak dalam dunia nyata, pengetahuan dan ingatan tentang dunia nyata didasari kegunaannya juga definisi tentang objek sosial dan fisik didasari kegunaannya. Yang kedua aliran behaviorisme sosial dimana tindakan bukan respon terhadap stimulus melainkan terhadap maknanya bagi pelaku. Tokoh utama dari teori ini adalah George Herbert Mead lahir tahun 1863. Kontribusi dari Mead adalah komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling sederhana dan yang paling pokok dalam komunikasi. Hal ini disebabkan karena manusia mampu menjadi objek untuk dirinya sendiri (dan juga sebagai subjek yang bertindak) dan melihat tindakan-tindakannya seperti orang lain dapat melihatnya. Dengan kata lain, manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandangan orang lain. Sebagai akibatnya, mereka dapat mengkonstruksikan perilakunya
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
46
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
dengan sengaja untuk membangkitkan tipe respons tertentu dari orang lain. Karakteristik khusus dari komunikasi simbol manusia adalah bahwa dia tidak terbatas pada isyaratisyarat fisik. Sebaliknya, dia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standart. Simbol-simbol itu bisa berupa benda, gerak/isyarat atau kata-kata. Bahasa merupakan simbol yang paling penting, manusia mempelajari simbol-simbol tersebut melalui interaksi (Johnson, 1990 : 617) Di simpulkan bahwa interaksionisme simbolik adalah bahwa manusia sebagai individu yang berpikir, berperasaan, memberikan pengertian kepada setiap keadaan, dan melahirkan reaksi dan interpretasi terhadap setiap rangsangan yang dihadirinya ( Adiwikarta, 2007 : 187) Sebagai contoh yang ada beberapa kasus di sekolah seperti tawuran antar pelajar, maraknya pergaulan bebas di kalangan para remaja dengan diabadikan melalui Hand Phone, yang lebih ironis adalah tindakan penganiayaan yang dilakukan siswa kepada guru. Disamping itu belum lagi yang berkenaan dengan pembelajaran di sekolah tepatnya masalah Ujian Nasional yang berstandarkan nasional menambah tingkat stress peserta didik, tanpa memandang kapasitas kemampuan peserta didik baik yang berada di kota besar dan di pedalaman atau di daerah sehingga tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri dengan alasan tidak sanggup menanggung beban karena
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
tidak lulus sekolah dan lain sebagainya. Interaksionisme simbolik berasumsi bahwa mereka (peserta didik), memandang bahwa sekolah adalah salah satu pranata sosial yang ada. Dengan berinteraksi dan berkomunikasi dengan banyak hal seperti guru, teman sebaya, media elektronik yang membuat mereka menafsirkan kembali hasil dari komunikasi atau interaksi yang didapatkan baik dari sekolah, guru, teman sebaya ataupun lingkungan masyarakat di sekitarnya. Tetapi pada dasarnya semua keputusan ataupun realisasi dari hasil sosialisasi ataupun interaksi hasilnya tergantung pada si individu atau peserta didik tersebut. Walaupun sekolah adalah salah satu pranata sosial yang menginternalisasikan nilai-nilai atau norma-norma yang seharusnya peserta didik aplikasikan dalam kehidupan dirinya dan lingkungannya. Tetapi tetap saja para siswa adalah manusia yang berpikir dan menentukan mana yang layak atau pantas yang mereka lakukan baik dari hasil komunikasi melalui lingkungan sekolah juga lingkungan sekitarnya, sehingga adanya proses asimilasi dari lingkungan tersebut. Melihat dari fenomena di atas maka beberapa tokoh interaksionisme simbolik (Blumer, 1969; Manis dan Meltzer,1978; Rose,1962; Snow,2001) telah mencoba menghitung jumlah prinsip-prinsip dasar dari interaksi simbolik ini adalah sebagai berikut : - Tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir - Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial
47
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
- Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khsusus itu - Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi - Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. - Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu diantara serangkaian peluang tindakan itu - Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat ( Ritzer, 2004: 289 ). Interaksi yang terjadi di lingkungan sekolah agar terkondisikan dengan baik dengan pendekatan mikro ini menurut Blackledge (1995:24-236) model analisis mikro ini didasari oleh asumsi-asumsi berikut : a) Dari gambaran mengenai kegiatan sehari-hari di sekolah pemahaman pendidikan bisa lebih baik. b) Manusia sampai batas-batas tertentu mempunyai kebebasan bertindak dan berkreasi. c) Untuk memahami perilaku seseorang perlu pemahaman akan
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
arti yang diberikannya terhadap perbuatan itu. Pemberian arti itu dipengaruhi oleh tujuan, kepentingan, dan alasan yang melatar belakanginya. d) Kegiatan itu bersifat interaksi dengan pihak lain. Dalam berinteraksi itu orang saling menginterpretasikan perbuatan masing-masing. e) Tindakan seseorang dalam interaksi merupakan hasil negosiasi dengan pihak lain. f) Pendekatan subyektif yang mendalam dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama adalah pendekatan yang paling ampuh dalam memahami interaksi antara orang-orang, khususnya dalam proses pendidikan ( Adiwikarta, 1998 : 27) Beberapa konsep yang telah dipaparkan, terlintas bahwa interaksionisme simbolik bisa dikatakan berhasil tidaknya sebuah pendidikan untuk anak atau peserta didik baik di rumah, lingkungan sekitar dan sekolah itu adalah bagaimana semua elemen tersebut bisa mensosialisasikan dengan baik dan interaktif kepada anak (peserta didik). Berbicara tentang sosialisasi, menurut Berger dalam bukunya Kamanto Sunarto, sosialisasi adalah…a process by which a child learn to be a participant member of sosiety…. Proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Sunarto, 2004 : 21) Sosialisasi merupakan suatu hal yang mendasar bagi perkembangan kita sebagai manusia. Berinteraksi
48
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
dengan orang lain, kita belajar bagaimana berpikir, mempertimbangkan dengan nalar, dan berperasaan. Hasil akhirnya ialah pembentukan perilaku kita termasuk pikiran dan emosi kita sesuai dengan standar budaya (Henslin, 2006 : 74) Sosialisasi adalah proses dimana seorang manusia dengan seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan ketidaksukaan, tujuan serta maksud, pola reaksi, dan konsep yang mendalam serta konsisten tentang dirinya. Setiap orang memperoleh semua itu melalui suatu proses, yakni proses belajar yang mengubahnya dari seekor binatang menjadi seorang pribadi dengan kepribadian manusiawi. Lebih tepatnya, sosialisasi adalah suatu proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah dagingkan….internalize) normanorma kelompok dimana ia hidup sehingga timbullah diri yang unik (Horton, 1984 : 99-100) Sosialisasi merupakan suatu proses interaksi antara individu dengan kelompok atau individu dengan individu, atau sebaliknya. Zanden (1990: 62) mengungkapkan bahwa “socialization is a process of social interaction by which people acquire the knowledge, attitude, values, and behaviors essential for effective participation in society”. Tujuan yang diharapkan dalam sosialisasi, baik berupa pengetahuan, sikap, nilai-nilai, maupun tingkah laku adalah agar nilai-nilai itu dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Tanpa sosialisasi, masyarakat tidak dapat mewariskan tujuan-tujuan tersebut. individu dan masyarakat merupakan satu jalinan
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Shadily (1993: 119) mengatakan bahwa sosialisasi merupakan suatu proses dimana seseorang mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adat istiadat sesuatu golongan, lambat laun ia akan merasa dirinya merasa bagian dari golongan itu. Proses ini dengan sendirinya terjadi bagi seseorang dalam kehidupan masyarakat, dan tidak terjadi kepada seseorang yang hidup terpencil. Menurut Narwoko (2006: 77), ada dua aspek yang terjadi dalam melaksanakan sosialisasi. Pertama, orang-orang yang punya wibawa dan kekuasaan atas individu-individu yang disosialisasi disebut sosialisasi otoriter, misalnya, ayah, ibu, guru, atasan, dan pemimpin. Kedua, orangorang yang mempunyai kedudukan sederajat dengan individu-individu yang tengah disosialisasi disebut sosialisasi ekualitas, misalnya saudara sebaya, kawan sepermainan, atau kawan sekelas. Sosialisasi dari kelompok yang bersifat otoriter terjadi dalam rangka penyebaran nilai-nilai sosial agar patuh dan menghormati nilai-nilai sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat, sedangkan sosialisasi ekualitas adalah melalui kerjasama yang koordinatif dan kooperatif dalam penyebaran nilainilai sosial tersebut (Narwako, 2004: 77) Sosialisasi terkait dengan kesiapan seorang individu atau kelompok untuk berpartisipasi dalam kelompok kehidupan, terutama bagaimana mereka belajar berpartisipasi secara efektif dalam interaksi sosial. Dalam sosialisasi perlu ada konsensus yang
49
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
harus dipelihara antara pensosialisasi dan yang disosialisasi agar tercipta interaksi yang menyenangkan, sebagaimana dikemukakan Deightton (1971: 300) bahwa : “Socialization is establishment and maintenance of concensus, in turn, depend upon possession by group members of specific skills, values, and internal behavior dispositions that make, at a minimum, initial communication and interaction possible. (Deighton, 1971: 300) Narwoko (2006: 86) membagi dua proses sosialisasi. Pertama, proses sosialisasi yang dikerjakan tanpa sengaja lewat proses interaksi sosial, dan kedua, proses sosialisasi yang dikerjakan secara sengaja lewat proses pendidikan dan pengajaran. Proses sosialisasi tanpa sengaja dapat terjadi jika seorang individu menyaksikan apa-apa yang ditemukan dalam tingkah laku manusia sekitarnya. Melalui interaksi tersebut, individu menginternalisasi pola-pola tingkah laku nilai sosial budaya ke dalam dirinya. Proses sosialisasi yang disengaja dapat terjadi apabila seseorang mengikuti pengajaranpengajaran dan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik yang mewakili masyarakat. Dalam sejarah manusia, obyektivikasi, internalisasi, dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus. “Di luar sana” terdapat dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu; dalam arti manusia adalah produk dari masyarakatnya. Realitas sosial yang obyektif ini dipantulkan oleh orang lain yang cukup berarti bagi si anak (walaupun realitas yang diterima oleh
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
anak dan orang yang cukup berarti baginya itu, tidak sama). Realitas obyektif ini diinternalisir oleh anakanak melalui proses sosialisasi (memahami/penghayatan), dan di saat dewasa mereka pun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia sosialnya ( Poloma, 2004 : 316) Dapat disimpulkan bahwa sosialisasi dapat dikatakan juga sebagai proses belajar manusia agar menjadi lebih baik atau bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Proses tersebut bisa berupa komunikasi atau dialog baik yang sifatnya formal seperti di lembaga sekolah, informal seperti di rumah dan non formal di lingkungan masyarakat sekitar. Fungsinya adalah agar manusia itu bisa belajar untuk memahami posisi dan perannya di dalam kehidupan bermasyarakat, jikalau ini disadari dan dipahami oleh peserta didik/anak, maka dari hasil sosialisasi dan interaksi berjalan sesuai dan menghasilkan pengajaran dan pendidikan yang sempurna pula tetapi jika yang terjadi sebaliknya atau kurang sempurna sosialisasi dan interaksi yang diberikan ini bisa berdampak negatif seperti salah satu contoh karena tidak didukungnya sosialisasi yang benar di rumah atau orang tua maka lingkungan sekolah dan masyarakat tidak bisa sepenuhnya peserta didik/anak dapat menerapkannya dalam kehidupannya, realita yang ada ialah keluarga yang broken home bisa jadi interaksi yang dihasilkan tidak sesuai karena orang tua yang sibuk dengan masalah pribadinya sendiri, pada kenyataannya anan-anak akan mencari perlindungan
50
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
kepada siapa saja yang peduli dan mencari teman-teman yang dianggap senasib dengan dirinya, bila dibiarkan biasanya untuk mencari ketenangan dan kesenangan tidak jarang mengkonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas yang mengisi dunia mereka. Sosialisasi dan interaksi juga bisa kurang sempurna dalam prosesnya jikalau seorang anak selalu dimanjakan dengan materi sehingga pola berpikirnya money-oriented, apaapa dihitung dengan materi, bangga memakai barang-barang yang branded, foya-foya, kumpul-kumpul yang tidak jelas tujuannya, karena dengan materi itu bisa membahagiakan kehidupan sang anak. Dengan kebiasaan tersebut maka akan muncul yang namanya kurang menghargai pertemanan karena semua dinilai dengan materi. Inilah sebagian contoh sosialisasi yang kurang sempurna sehingga norma-norma, aturan-aturan yang ditetapkan hanya sebagai simbol saja tanpa adanya realisasi dalam kehidupan. Dapat diasumsikan bahwa interaksi dapat menjurus ke arah yang menyenangkan atau menjijikkan, tergantung pada kondisi yang menyebabkan terjadinya interaksi itu. Syarat umum untuk terciptanya hubungan positif antara interaksi dan kesenangan adalah kondisi saling menambah keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak yang terlibat dalam proses interaksi. Saling menambah keuntungan ini selanjutnya mensyaratkan satu di antara dua kondisi yang berbeda: terdapat perbedaan antara kedua pihak sedemikian rupa sehingga memungkinkan mereka untuk saling
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
melengkapi atau saling menambah. Dalam hal ini menurut Kaare Svalastoga interaksi adalah bersifat simbiosis (Huda, 2008 : 35) Dengan demikian daya tangkap dalam berkomunikasi dan makna pesan yang disampaikan baik oleh si pembicara ataupun yang menerima pesanpun akan berbeda pula karena perbedaan maksud dan tujuan. Ini terbukti pada fenomena Ujian Nasional, yang nilainya sudah dipatok oleh pemerintah pusat yang itu berlaku untuk semua daerah. Dampaknya kepada peserta didik ada yang menerima dengan kesiapan yang tinggi atau sebaliknya, ini adalah salah satu bukti tentang ketidaksempurnaan dari sosialisasi. Interaksi selalu tidak lepas dengan sarana atau media sosialisasi, merupakan tempat di mana sosialisasi itu terjadi atau disebut sebagai agen sosialisasi atau sarana sosialisasi. Yang dimaksud dengan agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu menerima nilai-nilai atau tempat di mana seorang individu belajar terhadap segala sesuatu yang kemudian menjadikannya dewasa. Beberapa media sosialisasi yang utama adalah; keluarga, kelompok bermain, sekolah, lingkungan kerja dan media massa (Narwoko, 2004 :92) Dalam teori interaksionisme simbolik salah satu tokohnya juga adalah Erving Goffman, ia menggunakan prinsip yang dinamakan dramaturgi yang oleh Margareth Poloma didefinisikan sebagai “pendekatan yang menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta
51
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
subyektif dan obyektif dari interaksi sosial”. Usaha Goffman untuk mempelajari interaksi dengan memakai bahasa dan khayalan teater ini agaknya diilhami oleh pendapat Sheakespeare bahwa dunia merupakan suatu pentas, semua lakilaki dan perempuan merupakan pemain. Goffman memulai uraiannya dengan menyatakan bahwa individu yang berjumpa orang lain akan mencari informasi mengenai orang yang dijumpainya atau menggunakan informasi yang telah dimilikinya, antara lain dengan tujuan memanfaatkan informasi tersebut untuk mendefinisi situasi. Menurut Goffman dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak secara sengaja maupun tidak sengaja membuat pernyataan (expression) pihak lain memperoleh kesan (impression). Goffman membedakan dua macam pernyataan: pernyataan yang diberikan , dan pernyataan yang dilepaskan. Pernyataan yang diberikan merupakan pernyataan yang dimaksudkan untuk memberikan informasi sesuai dengan apa yang lazimnya berlaku. Pernyataan yang terlepas atau dilepaskan, di pihak lain mengandung informasi yang menurut orang lain memperlihatkan ciri si pembuat pernyataan (Sunarto, 2004 : 43)
KESIMPULAN Interaksionisme simbolik adalah bagian dari teori sosiologi, dalam memaknai peserta didik (siswa) berinteraksi melalui jalur keluarga, sekolah ataupun masyarakat sekitar dengan makna atau arti yang berbedabeda sesuai dengan latarbelakang ataupun ide pemikirannya. Sebuah norma atau nilai yang diaplikasikan dalam kehidupan nyata tentunya peserta didik dapat menerimanya apabila Pertama, proses sosialisasi yang sempurna dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai otoritas, seperti orang tua, guru atau orang yang punya pengaruh. Kedua, dari proses sosialisasi yang sempurna maka pusat atau agen dari sosialisasi selalu melakukan controling/ pengawasan baik bersifat internal yaitu keluarga dan eksternal yaitu sekolah, teman sepermainan dan lingkungan sekitar. Pemaknaan dari hasil interaksi yang didapatkan berupa sosialisasi yang disengaja ataupun tidak disengaja tentunya akan tampak simbol yang terlihat dalam bentuk sikap, bahasa, interaksi yang dilakukan oleh peserta didik, contohnya jika sosialisasi itu berhasil dilakukan maka anak akan memahami nilai atau pesan yang diinginkan tetapi jika sebaliknya akan berdampak negatif seperti yang telah dipaparkan pada awal dalam analisis ini.
DAFTAR PUSTAKA Adiwikarta, Sudardja, 1988. Sosiologi Pendidikan : Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan Dengan Masyarakat, Jakarta: Depdikbud.
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
52
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( 45 – 53 )
Adiwinata, Jajat S.,Dkk, 2007. Sosiologi Antropologi Pendidikan, Bandung: UPI Press. Deighton, L.C. (1971), The Encyclopedia Of Education. United States of America: Croweel-Collier Educational Corporation. Henslin, James M., 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, 2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas 2003. Bandung: Fokusmedia. Horton, Paul B, 1984. Sosiologi (Jilid 1 Edisi Keenam),Jakarta: Erlangga. Huda, Miftah, 2008. Interaksi Pendidikan 10 Cara Qur’an Mendidik Anak. Malang: UIN Malang. Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II, Jakarta: PT Gramedia, 1986. Maftuh, Bunyamin, (2008). Pendidikan Resolusi Konflik (Membangun Generasi Muda Yang Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai), Bandung: Yasindo Multi Aspek. Narwoko, J.D. dan Suyanto, B. (Eds) (2006). Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan (edisi kedua). Jakarta: Prenada Media Group. Poloma, M.Margareth. (2004). Sosiologi Kontemporer. (Terjemahan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Ritzer, George. (2002). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadidma Ganda, Jakarta: Rajawali. Ritzer, George, Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Moderen, Jakarta:Kencana. Sunarto, Prof.Dr. Kamanto, Pengantar Sosiologi (edisi revisi), Jakarta:UI Press, 2004.
*Dr. Desi Erawati, M.Pd Dosen STAIN Palangka Raya
53