ANALISIS INCREMENTALISME ANGGARAN TERHADAP REVISI ANGGARAN PADA PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
(Tesis)
Oleh RAKHMAWATI LISTYARANI
MAGISTER ILMU AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRAK
Analisis Incrementalisme Anggaran Terhadap Revisi Anggaran pada Pemerintah Daerah di Indonesia
Oleh : Rakhmawati Listyarini
Rendahnya daya serap pada anggaran pemerintah daerah mencerminkan perencanaan dalam proses anggaran pemerintah daerah yang lemah dan tidak matang sehingga memicu terjadinya revisi anggaran. Karena dalam proses penyusunan anggaran masih memakai pendekatan sistem lama yaitu secara tradisional, padahal pemerintah sudah menerapkan penganggaran berbasis kinerja. Karakteristik pendekatan ini antara lain: bersifat line item dan incremental sehingga sulit melihat harmonisasi antara pendapatan dan belanja yang berorientasi pada input, dan berperspektif tahunan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris bahwa tingkat inkrementalisme anggaran belanja operasional dan anggaran belanja modal, kemampuan keuangan daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan area geografis mempengaruhi revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa peraturan daerah atau peraturan walikota yang memberikan secara rinci mengenai APBD, Perubahan APBD dan Laporan Realisasi Anggaran 2012 dan 2013, serta data PDRB masing-masing daerah dilengkapi data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang diambil dari www.djpk.kemenkeu.go.id dan www.bps.go.id. Alat Analisis yang digunakan adalah program SPSS 20. Hasil pengujian hipotesis dari persamaan regresi Tingkat incrementalisme anggaran belanja (belanja operasional dan belanja modal) mempunyai pengaruh negatif terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran modal. Kemampuan keuangan di masingmasing daerah mempunyai pengaruh negatif terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) akan mempengaruhi revisi anggaran belanja modal, pengaruh PDRB menunjukkan koefisien positif. Untuk Area geografis, dimana dibedakan antara pulau jawa dengan luar jawa menunjukkan adanya pengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional maupun revisi anggaran belanja modal.
Kata Kunci : Tingkat Incrementalisme anggaran, kemampuan keuangan dan revisi anggaran
ABSTRAK
An Analysis of Budget Incrementalism on Budget Revision of Regional Government in Indonesia
By: Rakhmawati Listyarini
Low absorptive capacity at the local government budget reflected that planningin the budget process of local governments is weak and immature so that it triggered the need on budget revision. Because,the system used in the budgeting process was old approach which was traditional. Whereas, when the government has already implemented performance-based budgeting. Characteristics of this approach are line items and incrementalisme nature so that it is difficult to see harmonization between revenue and input-oriented expenditure, and an annual perspective This study aims to obtain empirical evidence that the level of incrementalisme on current expenditure and capital expenditure, fiscal capacity, Gross Domestic Product (GDP) and the geographical area affect the revision of budget revenue and expenditure budget on the local government city / regency in Indonesia. The data used in this research were secondary data from local laws or regulations of mayor that provide details on the budget, budget changes and Budget Realization Report 2012 and 2013, and the data on the GDP of each region including data from the General Directorate of Fiscal Balance (DJPK) Ministry of Finance Republic of Indonesia taken from www.djpk.kemenkeu.go.id and www.bps.go.id. The analysis tool used was SPSS 20. Results of testing the hypothesis of the regression equation incrementalisme level of spending (operating expenditure and capital expenditure) has a negative influence on the revised operating budget and capital budget revision. Financial capability in each region has a negative effect on the operating expenditure budget revision and the revision of the capital expenditure.Gross Regional Domestic Product (GDP) will influence the revision of the capital expenditure budget, the influence of the GDP shows a positive coefficient. For geographical area, which distinguished between the islands of Java and outside Java showed their effect on the budget revision operational and capital expenditure budget revision. . Keywords: Level of budget Incrementalisme, financial capability and budget revision
ANALISIS INCREMENTALISME ANGGARAN TERHADAP REVISI ANGGARAN PADA PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Oleh RAKHMAWATI LISTYARANI
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS AKUNTANSI Pada Program Magister Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Lampung
MAGISTER ILMU AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Polanharjo Kabupaten Klaten pada tanggal 30 Maret 1978, sebagai anak ke empat dari pasangan Bapak H.Anwar Sanusi, BA dan Ibu Hj.Sri Lestari, Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak BA Aisyiah Di Polanharjo yang diselesaikan pada tahun 1985. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di selesaikan pada tahun 1990 di MIN Polanharjo Kabupaten Klaten, Pada tahun 1993 Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Polanharjo Kabupaten Klaten, dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat diselesaikan oleh Penulis pada tahun 1996 di SMAN 1 Jatinom, Kabupaten Klaten. Pada tahun 2000 Penulis telah menyesaikan Pendidikan Strata-1 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Pada tahun 2013 Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Magister Ilmu Akuntansi Unversitas Lampung.
PERSEMBAHAN
Teriring doa dan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan hidayahNya, Kupersembahkan tesis ini dengan segala kerendahan hati untuk setiap orang yang berharga dalam hidupku, yang mencintai dan menyayangiku dengan penuh ketulusan, atas segala dukungan yang telah diberikan selama ini serta doa yang tiada henti- henti kepada : 1. Suamiku Didik Kurniawan Abdullah, S.E, M.M, yang terus memberikan kasih sayang, nasehat dan semangat serta motivasi; 2. Putri-putriku Diva Qaisya Rakenditya, Devika Saaqila Rakhenditya, Dinnaya Zhafira Rakhenditya yang selalu menjadi motivator dalam hidupku; 3. Ayah dan ibu serta keluargaku semua yang senantiasa mendoakan, memberi kasih sayang yang berlimpah, nasehat semangat dan dukungan yang tiada henti; 4. STAIN Jurai Siwo Metro 5. Almamater tercinta.
MOTO
“Sesungguhnya bersama kesukuran itu ada kemudahan. Karena itu bila kamu sudah selesai (dari semua urusan), kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (Q.S/ Al Insyirah : 6-8)
Kebanggan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setia kali jatuh.”
“ Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatan, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al An’am : 160)
SANWACANA
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirabbil’alamin dan Syukur ke Hadirat Allah SWT, karena atas rakhmat dan hidayah
NYA,
penulis
INCREMENTALISME
dapat
menyelesaikan
ANGGARAN
tesis
TERHADAP
dengan
REVISI
judul
“ANALISIS
ANGGARAN
PADA
PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA” . Penyusunan tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Magister Ilmu Akuntansi di Universitas Lampung. Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini Penulis mendapatkan banyak pembelajaran, petunjuk, saran dan kritik dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada : 1. Bapak Prof.Dr. Satria Bangsawan, S.E, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung; 2. Ibu Susi Sarumpet, Ph.D., Akt. Selaku Ketua Program Magister Ilmu Akuntansi Universitas Lampung; 3. Bapak Dr. Einde Evana, S.E., M. Si., Akt selaku pembimbing Utama atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, pengarahan serta dukungan pengalaman selama proses kuliah dan penyusunan tesis;
4. Ibu Dr. Agrianti Komalasari, S. E., M. Si., Akt selaku pembimbing pendamping atas kesediaan memberikan bimbingan, bantuan, saran, perhatian dan waktunya selama penyusunan tesis; 5. Ibu Dr. Rindu Rika Gamayuni, S.E., M. Si selaku Penguji Utama pada ujian tesis yang telah memberikan masukan dan saran yang membangun pada saat seminar dan ujian; 6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Magister Ilmu Akuntansi yang telah banyak berbagi ilmu dan pengalaman; 7. Suamiku Didik Kurniawan Abdullah, S.E, M.M, yang telah begitu banyak mengorbankan waktu dan terus memberikan motivasi dalam pelaksanaan kuliah maupun penyusunan tesis; 8. Putri-putriku Diva Qaisya Rakenditya, Devika Saaqila Rakhenditya, Dinnaya Zafira Rakhenditya yang selalu menjadi motivator dalam hidupku; 9. Ayah dan ibu serta keluargaku semua yang senantiasa mendoakan, memberi kasih sayang yang berlimpah, nasehat semangat dan dukungan yang tiada henti; 10. Keluarga MIA Angkatan 4, Mba’ Nyimas, Ayu, Mba’ Nina dan keluarga MIA lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan, semanngat, kerjasama dan pengalaman yang tak terlupakan selama ini; 11. Mas Ayin, Mas Andri, Mas Jaya, Mas Dwi, Mbak Tina, Mbak Lenny serta semua staf dan karyawan fakultas ekonomi dan bisnis yang selalu bersedia membantu kelancaran dan penyusunan tesis; 12. Seluruh Pimpinan dan teman-teman di STAIN Jurai Siwo Metro yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini;
13. Terimakasih untuk Orang-orang yang telah memberikan inspirasi dan motivasi dan orang – orang yang terlewat disebutkan tetapi memiliki arti yang sama pemting nya bagi kehidupan saya serta semua pihak yang mendukung penyusunan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Bandarlampung , Penulis
Rakhmawati Listyarini
2016
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………………..............…….
i
DAFTAR TABEL ……………………………………………...............................................
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………
1
1.2 Perumusan Masalah ………………………………………………………………
7
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………….
8
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………………………..
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka …………………………………………………………………
10
2.1.1 Anggaran ……………………………………………………………………
10
2.1.2 Anggaran Daerah (APBD) …………………………………………………
11
2.1.3 Revisi Anggaran ……………………………………………………………
23
2.1.4 Laporan Keuangan …………………………………………………………
28
2.1.5 Agency Teory ………………………………………………………………
31
2.1.6 Karakteristik Pemerintah Daerah …………………………………………..
33
2.1.7 Tingkat incrementalisme dalam proses penyusunan anggaran ……………..
34
2.2 Penelitian sebelumnya………………………………………………………….…
36
2.3 Pengembangan Hipotesis …………………………………………………………
38
2.3.1 Pengaruh tingkat incrementalisme Anggaran Belanja Operasional terhadap Revisi Anggaran Operasional ......................................................................
38
2.3.2 Pengaruh tingkat incrementalisme Anggaran Belanja Modal terhadap Revisi Anggaran Belanja Modal ..............…………………………………………
40
2.3.3 Pengaruh Kemampuan Keuangan Pemerintah Daerah terhadap Revisi Anggaran Belanja Opearsional dan Belanja Modal …………......................
42
2.3.4 Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto terhadap Revisi Anggaran Belanja Opearsional dan Belanja Modal ………………………………….
44
2.3.5 Pengaruh Area Geografis terhadap Revisi Anggaran Belanja Operasional dan Belanja Modal ..................................………………………………………
46
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian …………………………………………………………………
50
3.2 Populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel ………………………………
50
3.3 Data dan sumber data …………………………………………………………….
51
3.4 Definisi Operasional Variabel ……………………………………………………
51
3.4.1 Definisi dan Pengukuran Variabel Dependen ………………………………
52
3.4.2 Definisi dan Pengukuran Variabel Independen …………………………….
53
3.5 Analisis Data ……………………………………………………………………..
55
3.5.1 Statistik Deskriptif ………………………………………………………….
55
3.5.2 Uji Asumsi Klasik …………………………………………………………..
56
3.5.3 Uji Hipotesis ………………………………………………………………..
60
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Statistik Deskriptif ……………………………………………………………….
64
4.1.1 Hasil Pemilihan Sampel……………………………………………………..
64
4.1.2 Sumber Data ………………………………………………………………..
65
4.1.3 Analisis Deskriptif ………………………………………………………….
66
4.1.4 Uji Asumsi Klasik ………………………………………………………….
69
4.1.5 Uji Hipotesis ………………………………………………………………..
71
4.1.6 Pembahasan
………………………………………………………………
74
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………
79
5.2 Keterbatasan ……………………………………………………………………..
80
5.3 Saran ………………………………………………………………………………
80
5.4 Implikasi ………………………………………………………………………….
81
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Hasil Pemilihan Sampel …………………………………………………………
64
Tabel 4.2 Sumber Data ……………………………………………………………………
65
Tabel 4.3 Statitistic deskriptif untuk variable dependen Revisi Anggaran Belanja Operasional ………..................................................................................................................
66
Tabel 4.4 Statitistic deskriptif untuk variable dependen Revisi Anggaran Belanja Modal….. 66 Tabel 4.5 Hasil Uji Multi kolinearitas untuk variable dependen Revisi Anggaran Belanja Operasional ...................…………………………………………………
70
Tabel 4.6 Hasil Uji Multi kolinearitas untuk variable dependen Revisi Anggaran Belanja Modal ...........……………………………………………………………
70
Tabel 4.7 Hasil uji Regresi Linier Berganda untuk persamaan regresi variable dependen Revisi Anggaran Belanja Operasional ............………………………………….
71
Tabel 4.8 Hasil uji Regresi Linier Berganda untuk persamaan regresi variable dependen Revisi Anggaran Belanja Modal…………………………………………………
72
BAB I Pendahuluan
1. 1
Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan otonomi, desentralisasi serta partisipasi rakyat
dalam
perencanaan
pembangunan
nasional
Indonesia,
pemerintah
telah
melakukan langkah penyempurnaan terhadap kebijaksanaan pembangunan. Setiap daerah diharapkan tidak hanya berorientasi pada daerahnya saja agar dapat mewujudkan otonomi daerah yang semakin meluas. Maka dari itu diterbitkan PP No 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Menurut UndangUndang No 33 tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, daerah otonomi mempunyai tiga sumber pendapatan, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Penerimaan Lain-Lain. Lahirnya otonomi daerah mampu mendorong demokratisasi, dalam arti memberi ruang gerak kepada masyarakat di daerah untuk mengembangkan partisipasi, prakarsa dan kreativitasnya dalam menata dan membangun daerah, dengan mengacu pada persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi: perubahan sistem anggaran tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja, perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah sistem sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing satuan kerja, perubahan sistem akuntansi single entry menjadi sistem akuntansi double entry dan perubahan basis akuntansi kas menjadi basis akrual.
Reformasi dalam bidang pengelolaan keuangan daerah salah satunya didasari dengan UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang khususnya membahas tentang sistem penganggaran. Telah banyak perubahan yang mendasar dalam sistem penganggaran salah satunya adalah penerapan pendekatan yang digunakan dalam penyusunannya berupa pendekatan terpadu (Unified Budget), Medium Term Expenditure Framework (MTEF), dan Anggaran Berbasis Kinerja. Berdasarkan PMK No 104 Tahun 2010, Penganggaran berbasis kinerja merupakan
suatu
pendekatan
dalam
sistem
penganggaran
dengan
mempertimbangkan keterkaitan antara pendanaan dengan output dan outcome, serta efisiensi dalam pencapaian hasil keluaran tersebut. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 2006 merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah selama masa satu tahun anggaran sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember yang berisikan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui oleh pemerintah daerah bersama dengan DPRD, dan ditetapkan oleh Peraturan Daerah. Dalam penyusunan APBD perlu dilakukan perencanaan yang baik, dengan perencanaan yang baik diharapkan penyerapan anggaran pemerintah daerah dapat mencapai target yang direncanakan. Namun fenomena yang terjadi adalah penyerapan anggaran pemerintah daerah yang rendah sampai bulan November dan melonjak tajam pada bulan Desember. Dari data Kementerian Dalam Negeri yang menggambarkan bahwa penyerapan anggaran pemerintah daerah pada tahun 2012 sampai dengan bulan November sebesar 75.5 persen dan melonjak tajam menjadi
2
98.8 persen pada bulan Desember. Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2014 menunjukkan adanya kecenderungan serapan anggaran yang rendah dan lambat, dimana serapan anggaran pada triwulan ke tiga per Bulan September 2014 rata-rata masih pada kisaran 50 %, dan akan melonjak pada bulan Desember rata-rata diatas 80 %. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya keterlambatan penyerapan anggaran diantaranya adalah tidak adanya perencanaan anggaran yang baik pada saat persiapan pelaksanaan, eksekusi anggaran sepanjang tahun maupun akhir tahun anggaran, instansi pemerintah terlalu berhati-hati ketika melakukan pengeluaran sehingga terkesan lambat dalam memanfaatkan waktu. Rendahnya daya serap pada anggaran pemerintah daerah mencerminkan perencanaan dalam proses anggaran pemerintah daerah yang lemah dan tidak matang sehingga memicu terjadinya revisi anggaran. Karena dalam proses penyusunan anggaran masih memakai pendekatan sistem lama yaitu secara tradisional, padahal pemerintah sudah menerapkan penganggaran berbasis kinerja. Karakteristik pendekatan ini antara lain: bersifat line item dan incremental sehingga sulit melihat harmonisasi antara pendapatan dan belanja yang berorientasi pada input, dan berperspektif tahunan. Revisi anggaran merupakan cara bagi pemerintah untuk memenuhi beragam tujuan anggaran meliputi kontinuitas dan kontrol, perubahan dan akuntabilitas, serta fleksibilitas dan prediktibilitas (Anessi-Pessina et al 2012) yang terdiri atas:
3
a. Perubahan rincian anggaran yang disebabkan penambahan atau pengurangan pagu anggaran pendapatan dan belanja termasuk pergeseran rincian anggaran. b. Perubahan atau pergeseran rincian anggaran dalam hal pagu anggaran tetap. c. Dan/atau perubahan/ralat karena kesalahan administrasi. Secara sederhana, revisi APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD. Revisi atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja, yang memang menjadi salah satu alasan utama mengapa perubahan APBD dilakukan. Revisi anggaran merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan pemerintahdaerah dalam aktivitas perubahan rincian anggaran belanja yang telah ditetapkan berdasarkan APBD dan telah disahkan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran. Anessi-Pessina et al (2012) menemukan bahwa persetujuan anggaran adalah hasil dari proses pengambilan keputusan, namun merupakan proses yang berkesinambungan dari proses pelaksanaan anggaran dan revisi anggaran. Akibatnya, revisi anggaran memiliki keterkaitan dengan beberapa variabel yang mempengaruhi proses anggaran. Dalam konteks ini ada 5 (lima) variabel yang digunakan untuk mengukur revisi anggaran. Beberapa penelitian mengemukakan keterkaitan proses anggaran dengan derajat incrementalisme yang diproyeksikan dengan perbandingan anggaran
4
sebelumnya atau proses revisi anggaran. Wildavsky (1964) menjelaskan bahwa incrementalisme sangat erat kaitannya dengan anggaran, selain itu beberapa penelitian selanjutnya seperti yang dikemukakan Boyne et al (2001) bahwa proses anggaran dikatakan inkremental apabila perbedaan dengan anggaran tahun sebelumnya kecil dan kurangnya fokus aparat terhadap proses tersebut sehingga inkremental dianggap sebagai penyederhanaan dari proses anggaran. Penelitian lain yang memberikan pendapat revisi anggaran adalah Devia (2014), yang meneliti tentang pengaruh faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat revisi anggaran pada pemerintah daerah di Indonesia. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa derajat incrementalisme berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional. Setiap pemerintah kota/kabupaten memiliki perbedaan karakteristik, kebijakan, dan aktivitas anggaran yang berbeda satu sama lain. Hal ini akan mempengaruhi aktivitas revisi anggaran baik pertengahan maupun akhir tahun. Di dalam kerangka otonomi, kemampuan suatu daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tidak terlepas dari pandangan bahwa daerah harus sanggup atau mampu untuk membiayai daerahnya sendiri. Kemampuan untuk membiayai/mendanai daerah sendiri merupakan tantangan yang harus dihadapi suatu daerah dalam penyelenggaraan otonomi. Dalam hal ini mendanai daerah sendiri untuk anggaran pembelanjaan daerah, menunjukkan bahwa daerah harus mempunyai sumber-sumber pendapatan sendiri. Sumber pendapatan daerah salah satunya dapat diperoleh dari pajak atau retribusi, tetapi pajak atau retribusi dirasa tidak akan cukup mandiri bagi suatu daerah. Sumber-sumber lain pun harus
5
didapat dari suatu daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) berupa perusahaan di daerah ataupun hasil yang didapat dari pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki daerah. Sehingga diasumsikan adanya keterkaitan dengan besar kecilnya pendapatan pajak dan retribusi serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah mampu menstimulasi terjadinya revisi anggaran terkait kebutuhan
akan
pembiayaan
operasional
dan
pembiayaan
proyek
dan
infrastruktur. Indonesia merupakan
negara kepulauan
yang memiliki
beragam
demografik wilayah dimana masing-masing wilayah memiliki perbedaan pendapatan bruto yang akan mempengaruhi proses anggaran maupun revisi anggaran. Lu dan Facer (2004) melakukan survey dan menemukan adanya keterkaitan antara proses anggaran dan struktur anggaran terhadap kepala daerah dan lingkungan eksternal. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas harga konstan. Pada penelitian yang dilakukan Anessi-Pessina et al (2012), daerah dengan Gross Domestic Product (GDP) rendah akan cenderung melakukan revisi anggaran dikarenakan daerah tersebut masih mengalami masalah fundamental terkait perencanaan. Selain itu, perlu dirumuskan terkait lokasi geografis Indonesia yang dibagi menurut daerah Jawa dan daerah Luar Jawa. Apakah lokasi geografis tersebut juga mempengaruhi revisi anggaran. Karena dilihat dari faktor-faktor antara lain lokasi atau daerah Jawa yang lebih sentral bila dikaitkan dengan pemerintah pusat,
6
jumlah penduduknya lebih padat, dan kualitas infrastruktur yang lebih baik dan lengkap. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Incrementalisme Anggaran terhadap Revisi Anggaran Pada Pemerintah Daerah di Indonesia”.
1. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Apakah tingkat incrementalisme anggaran belanja operasional berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia?
b.
Apakah tingkat incrementalisme anggaran belanja modal berpengaruh terhadap
revisi
anggaran
belanja
modal
pada
pemerintah
daerah
kota/kabupaten di Indonesia? c.
Apakah kemampuan keuangan berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia?
d.
Apakah Produk Domestik Regional Bruto berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional dan
revisi anggaran belanja modal pada
pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia?
7
e.
Apakah area geografis berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia?
1. 3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Memperoleh bukti empiris bahwa tingkat incrementalisme anggaran belanja operasional berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
b.
Memperoleh bukti empiris bahwa tingkat incrementalisme anggaran belanja modal berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
c.
Memperoleh bukti empiris bahwa kemampuan keuangan berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
d.
Memperoleh bukti empiris bahwa Produk Domestik Regional Bruto berpengaruh
terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi
anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia. e.
Memperoleh bukti empiris bahwa area geografis berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
8
1. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak dibawah ini, yaitu: a.
Pemerintah sebagai penentu kebijakan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana bagi para penentu kebijakan mengenai fenomena yang ada terkait dengan revisi anggaran pada pemerintah daerah kota/kabupaten, sehingga dapat memberikan masukan agar lebih bijaksana dalam mengelola anggaran yang ada.
b.
Masyarakat Pengguna Informasi Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penganggaran yang ada, sehingga masyarakat dapat mengkritisi semua kegiatan yang dilakukan pemerintah terkait dengan penggunaan anggaran.
c.
Peneliti selanjutnya Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai anggaran dan revisi anggaran pada pemerintah daerah.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKAN DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Anggaran Halim dan Damayanti (2007) menyebutkan bahwa anggaran merupakan informasi atau pernyataan mengenai rencana atau kebijakan bidang keuangan dari suatu organisasi atau badan usaha untuk jangka waktu tertentu (umumnya satu tahun) berupa perkiraan penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan akan terjadi pada suatu periode tertentu. Sedangkan anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam suatu bentuk perolehan pendapatan dan belanja dalam suatu moneter (Mardiasmo, 2002). Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktifitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi dimasa yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam periode yang akan datang. Bastian (2010) menyebutkan terdapat tiga tujuan dari anggaran sektor publik, yaitu: a. Anggaran digunakan sebagai alat perencana yang menetapkan kehendak pemerintah
guna
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
(Public
welfare), dengan jalan memanfaatkan sumber daya dan dana untuk mendukung kegiatan pembangunan jangka panjang dalam bentuk anggaran tahunan (annual budget) b. Anggaran digunakan sebagai alat pengendalian yang efektif, yang harus dilakukan secara melekat (built incontrol), dalam tubuh organisasi atas berlangsungnya pelaksanaan kegiatan. c. Anggaran digunakan sebagai alat evaluasi kinerja setiap pelaksanaan kegiatan dapat diukur dan dievaluasi secara periodik maupun insidental. Di Indonesia, anggaran diatur dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan diimplementasikan dengan disusunnya UU APBN setiap tahun. Selain itu, untuk melaksanakan UU APBN, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan perundangan lainnya, seperti UU Pajak, UU Bea Masuk danCukai, Keppres Pelaksanaan APBN, dan peraturan pelaksana lainnya. Adapun dasar Hukum Anggaran:
Pemerintah Pusat (APBN) : UU No. 17 Tahun 2003
Pemerintah Daerah (APBD) : UU 17 Tahun 2003, UU 32 & 33 Tahun 2004, PP 58 Tahun 2005, PERMENDAGRI 13 Tahun 2006, PERMENDAGRI 59 Tahun 2007, PERDA
2.1.2. Anggaran Daerah (APBD) Pengertian APBD adalah suatu rancangan keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Seperti halnya dengan APBN, rencana APBD diajukan
11
setiap tahun oleh pemerintah daerah kepada DPRD untuk dibahas dan kemudian disahkan sebagai peraturan daerah. Atau dengan kata lain Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Nordiawan et al, 2007) Fungsi APBD menurut Halim dan Damayanti (2007), adalah sebagai berikut: a. Fungsi Otorisasi b. Fungsi Perencanaan c. Fungsi Pengawasan d. Fungsi Alokasi e. Fungsi Distribusi f. Fungsi Stabilisasi Struktur APBD adalah sebagai berikut: a. Pendapatan Asli Daerah Adalah pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pajak daerah, Pungutan yang dilakukan Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pajak daerah ini dapat dibedakan
12
dalam dua kategori yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan pajak negara yang pengelolaannya dan penggunaannya diserahkan kepada daerah.
Retribusi daerah, Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, adalah penerimaan yang berupa hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang terdiri dari bagian laba Perusahaan Daerah Air Minum, bagian laba lembaga keuangaan bank, bagian laba lembaga keuangan non bank, bagian laba perusahaan milik daerah lainnya dan bagia laba atas penyertaan modal/investasi kepada pihak ketiga.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, Meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dapat dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga dan komisi, potong ataupun bentuk lain sebagai akibat penjualan dan atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
b. Dana Perimbangan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Berdasarkan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, dana perimbangan terdiri dari:
13
Dana Bagi Hasil, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan
keuangan
antar-Daerah
untuk
mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
c. Lain-lain Pendapatan Yang Sah
Hibah Tidak Mengikat. Hibah tidak mengikat diartikan bahwa pemberian hibah tersebut ada batas akhirnya tergantung pada kemampuan keuangan daerah dan kebutuhan atas kegiatan tersebut dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga, organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat.
Dana Darurat Dari Pemerintah, adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas. Dana darurat dari pemerintah dalam
14
rangka penanggulangan korban atau kerusakan akibat bencana alam. Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD.
Dana Bagi Hasil Pajak Dari Propinsi Ke Kabupaten Atau Kota. Penganggaran dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada
kabupaten/kota
atau
pendapatan
kabupaten/kota
kepada
pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah lainnya pada APBD memperhitungkan rencana pendapatan pada Tahun Anggaran 2011, sedangkan pelampauan target Tahun Anggaran 2011 yang belum direalisasikan kepada pemerintah daerah dan menjadi hak pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah desa ditampung dalam Perubahan APBD Tahun Anggaran 2012.
Dana Penyesuaian Dan Dana Otonomi Khusus. Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, dan penyesuaian Otonomi Khusus bagi Provinsi yang menerima DAU lebih kecil dari tahun anggaran sebelumnya.
Bantuan Keuangan Dari Propinsi Atau Dari Pemerintah Daerah Lainnya. Pemerintah
provinsi
atau
pemerintah
kabupaten/
kota
dapat
menganggarkan bantuan keuangan kepada pemerintah daerah lainnya dan
15
kepada desa yang didasarkan pada pertimbangan untuk mengatasi kesenjangan fiskal, membantu pelaksanaan urusan pemerintahan daerah yang tidak tersedia alokasi dananya, sesuai kemampuan keuangan masingmasing daerah. Pemberian bantuan keuangan dapat bersifat umum dan bersifat khusus. Bantuan keuangan yang bersifat umum digunakan untuk mengatasi kesenjangan fiskal dengan menggunakan formula antara lain variabel: pendapatan daerah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin dan luas wilayah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Bantuan keuangan yang bersifat khusus digunakan untuk membantu capaian kinerja program prioritas pemerintah daerah/desa penerima bantuan keuangan sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan penerima bantuan. Pemanfaatan bantuan keuangan yang bersifat khusus ditetapkan terlebih dahulu oleh pemberi bantuan. d. Belanja Tidak Langsung Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kelompok Belanja Tidak Langsung terdiri dari:
Belanja pegawai, merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Belanja bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding)
16
berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Belanja subsidi, digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak. Belanja subsidi dianggarkan sesuai dengan keperluan perusahaan/lembaga penerima subsidi
dalam
peraturan
daerah
tentang
APBD
yang
peraturanpelaksanaannya lebih lanjut dituangkan dalam peraturan kepala daerah.
Belanja hibah, bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara terus menerus dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah.
Bantuan sosial, digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial diberikan tidak secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya.
Belanja bagi hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah Iainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
17
Bantuan keuangan, digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah Iainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. Bantuan keuangan yang bersifat umum peruntukan dan penggunaannya
diserahkan
sepenuhnya
kepada
pemerintah
daerah/pemerintah desa penerima bantuan. Bantuan keuangan yang bersifat khusus peruntukan dan pengelolaannya diarahkan/ditetapkan oleh pemerintah daerah pemberi bantuan.
Belanja tidak terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
e. Belanja Langsung Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengenai belanja langsung yang terdapat dalam Pasal 50, Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
Belanja pegawai, untuk pengeluaran Honorarium atau upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
18
Belanja
barang
dan
jasa,
digunakan
untuk
pengeluaran
pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai.
Belanja modal, digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset. Belanja honorarium panitia pengadaan dan administrasi pembelian/pembangunan untuk memperoleh setiap aset pada belanja modal dianggarkan pada belanja pegawai dan/atau belanja barang dan jasa.
19
f. Penerimaan Pembiayaan
Sisa lebih perhitungan anggaran TA sebelumnya (SiLPA). Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup pelampauan
penerimaan
PAD,
pelampauan
penerimaan
dana
perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah,
pelampauan
penerimaan
pembiayaan,
penghematan
belanja,
kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
Pencairan
Dana
Cadangan.
Pencairan
dana
digunakan
untuk
menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan. Jumlah yang dianggarkan yaitu sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan berkenaan.
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, digunakan antara lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.
Penerimaan Pinjaman Daerah. Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman daerah termasuk penerimaan atas penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan.
Penerimaan
Kembali
Pemberian
Pinjaman.
Penerimaan
kembali
pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan posisi penerimaan
20
kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
Penerimaan Piutang Daerah, digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari pelunasan piutang fihak ketiga, seperti berupa penerimaan piutang daerah dari pendapatan daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan penerimaan piutang lainnya.
g. Pengeluaran Pembiayaan Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah,
Pengeluaran
pembiayaan terdiri dari pembentukan dana cadangan, penerimaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang dan pemberian pinjaman daerah.
Dana Cadangan, adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran. Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya
dibebankan
Pembentukan dana cadangan Peraturan daerah
dalam
satu
tahun
anggaran.
ditetapkan dengan peraturan daerah.
mencakup penetapan tujuan pembentukan dana
cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan, dan tahun
21
anggaran pelaksanaan dana cadangan. Investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis seperti bunga, dividen, royalti, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.
Investasi pemerintah daerah, digunakan untuk menganggarkan kekayaan pemerintah daerah yang diinvestasikan balk dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas dan beresiko rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (duabelas) bulan. Investasi jangka panjang antara lain surat berharga yang dibeli pemerintah daerah dalam rangka mengendalikan suatu badan usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu badan usaha, surat berharga yang dibeli pemerintah daerah untuk tujuan menjaga hubungan balk dalam dan luar negeri, surat berharga yang tidak dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka pendek.
Pembayaran pokok utang, didasarkan pada jumlah yang harus dibayarkan sesuai dengan perjanjian pinjaman dan pelaksanaannya merupakan prioritas utama dari seluruh kewajiban pemerintah daerah yang harus diselesaikan dalam tahun anggaran yang berkenaan. Pembayaran pokok utang digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang yang dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
22
Pinjaman Daerah, adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya. Penerimaan
kembali
pemberian
pinjaman
digunakan
untuk
menganggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
2.1.3. Revisi Anggaran Revisi
anggaran
adalah
perubahan
rincian
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
Anggaran
Belanja
yang telah ditetapkan
berdasarkan APBN/APBD. Revisi anggaran dapat dikurangi dengan cara menggabungkan langkah-langkah resiko dan ketidakpastian dalam proses penganggaran dan mengurangi beberapa efek samping dari revisi anggaran setelah tahun berjalannya anggaran (Gary et al, 2004). Rebudgeting menjadi faktor umum dan signifikan dalam proses penganggaran di banyak kota (Forrester dan Mullins, 1992). Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan, dibahas bersama antara DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 154 disebutkan bahwa seandainya selama tahun berjalan perlu diadakan
23
perbaikan atau penyesuaian terhadap alokasi anggaran, maka perubahan APBD masih dimungkinkan terutama apabila: a. Terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi Kebijakan umum anggaran (KUA); b. Terjadi keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; c. Ditemui keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebihtahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan; d. Keadaan darurat; dan e. Keadaan luar biasa. Selain itu, dalam keadaan darurat pemerintah daerah juga dapat melakukan pengeluaran untuk membiayai kegiatan yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun berjalan yang untuk pelaksanaannya harus dituangkan dalam peraturan daerah tentang rancangan dan perubahan APBD. Oleh karenanya, dalam Peraturan Daerah terkait harus diperjelas posisi satuan kerja perangkat daerah yang juga mempunyai kedudukan sebagai pengguna anggaran dan pelaksana program. Keadaan
darurat
sebagaimana
dimaksud
sekurang-kurangnya
memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
24
b. Tidak diharapkan terjadi secara berulang; c. Berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan d. Memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat. Perubahan APBD diajukan setelah laporan realisasi anggaran semester pertama dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa adalah keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50%. Adapun proses Perubahan APBD adalah sebagai berikut: a. Pemerintah daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. b. Persetujuan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah, selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran. c. Proses evaluasi dan penetapan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, dan Pasal 53 PP Nomor 58 Tahun 2005. Revisis anggaran dapat dilaksanakan oleh masing-masing SKPD dan terdiri atas: (1) perubahan berupa penambahan pagu anggaran pendapatan
25
dan/atau belanja, (2) perubahan dan/atau pergeseran anggaran pendapatan dan/atau belanja dalam hal pagu anggaran tetap atau berkurang. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya: a. Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angka untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah. b. Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard pendapatan rancangan
adalah sebagai budget anggaran
mempunyai
yang dilakukan agency yang dalam konteks
ruang
yang untuk
minimizer. Dalam
menganut
konsep
membuat budget
penyusunan
partisipatif,
slack karena
SKPD memiliki
keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD. c.
Jika dalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi
atas
“keberhasilan”
belanja
26
modal
dalam
mengungkit
(leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya. Selain itu, ada beberapa penyebab perubahan belanja yaitu antara lain: a. Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b. b. Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak berubah. c. Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan. Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif)
target
PAD
ditetapkan
di
bawah
potensi,
lalu
dilakukan “adjustment” pada saat dilakukan perubahan APBD. Anessi-Pessina, et al (2012) mengilustrasikan alasan pemerintah daerah dalam melakukan revisi anggaran. Berdasarkan pernyataan responden, alasan terpenting karena keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat terkait anggaran akan mempengaruhi pendapatan kabupaten/kota dan perubahan agenda politik meliputi (perubahan prioritas kepentingan politik dan sebagai bentuk respon atas hal-hal yang selama ini kurang diperhatikan). Alasan lain
27
yang diajukan responden antara lain: (1) Keputusan yang diambil pemerintah pusat mempengaruhi bagaimana kegiatan operasi akan dilakukan; (2) Perubahan tak terduga sosioekonomik; (3) Perlunya memberi signal dengan dampak simbolik yang kuat; (4) Kesalahan dalam peramalan pengeluaran; (5) Kesalahan dalam peramalan pendapatan; (6) Kebutuhan untuk mengumpulkan consensus; dan (7) BencanaAlam.
2.1.4. Laporan Keuangan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Komponen-komponen yang terdapat dalam satu set laporan keuangan berbasis akrual terdiri dari laporan pelaksanaan anggaran (budgetary reports) dan laporan finansial, yang jika diuraikan adalah sebagai berikut: a. Laporan Realisasi Anggaran; Laporan Realisasi Anggaran (LRA) menyediakan informasi mengenai anggaran dan realisasi pendapatan-LRA, belanja, transfer, surplus/defisitLRA, dan pembiayaan dari suatu entitas pelaporan. b. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih; Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LP-SAL) menyajikan pos-pos berikut, yaitu: saldo anggaran lebih awal (saldo tahun sebelumnya), penggunaan saldo anggaran lebih, Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran (SILPA/SIKPA) tahun berjalan, koreksi kesalahan pembukuan tahun sebelumnya, lain-lain dan Saldo anggaran lebih akhir untuk periode
28
berjalan. Pos-pos tersebut disajikan secara komparatif dengan periode sebelumnya. c. Laporan Operasional; Laporan Operasional (LO) menyediakan informasi mengenai seluruh kegiatan operasional keuangan entitas pelaporan yang tercerminkan dalam pendapatan-LO, beban, dan surplus/defisit operasional dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya disandingkan dengan periode sebelumnya. d. Laporan Perubahan Ekuitas; Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan sekurang-kurangnya pos-pos ekuitas awal atau ekuitas tahun sebelumnya, Surplus/defisit-LO pada periode
bersangkutan
dan
koreksi-koreksi
yang
langsung
menambah/mengurangi ekuitas, yang antara lain berasal dari dampak kumulatif yang disebabkan oleh perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi kesalahan mendasar. e. Neraca; Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. Dalam neraca, setiap entitas mengklasifikasikan asetnya dalam aset lancar dan nonlancar serta mengklasifikasikan kewajibannya menjadi kewajiban jangka pendek dan jangka panjang.
29
f. Laporan Arus Kas; Tujuan pelaporan arus kas adalah memberikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama suatu periode akuntansi serta saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. g. Catatan atas Laporan Keuangan. CaLK memberikan informasi kualitatif dan mengungkapkan kebijakan serta menjelaskan kinerja pemerintah dalam tahapan pengelolaan keuangan negara. Selain itu, dalam CaLK memberikan penjelasan atas segala informasi yang ada dalam laporan keuangan lainnya dengan bahasa yang lebih mudah dicerna oleh lebih banyak pengguna laporan keuangan pemerintah, sehingga masyarakat dapat lebih berpartisipasi dalam menyikapi kondisi keuangan negara yang dilaporkan secara lebih pragmatis. Laporan pelaksanaan anggaran adalah Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, sedangkan yang termasuk laporan finansial adalah Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca dan Laporan Arus Kas. Komponen-komponen laporan keuangan tersebut disajikan oleh setiap entitas pelaporan, kecuali Laporan Arus Kas yang hanya disajikan oleh entitas yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum, dan Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih yang hanya disajikan oleh Bendahara Umum Negara dan entitas pelaporan yang menyusun laporan keuangan konsolidasinya.
30
2.1.5. Agency Teory Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract”. Implikasi penerapan teori ini dapat menimbulkan perilaku efisiensi atau perilaku opportunistik bagi si Agen. Di organisasi publik, khususnya di pemerintahan daerah teori keagenan ini telah dipraktekkan, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia. Apalagi sejak otonomi dan desentralisasi diberikan kepada pemerintah daerah sejak tahun 1999. Dalam proses penyusunan dan perubahan anggaran daerah, ada dua perspektif yang dapat ditelaah dalam aplikasi teori keagenan, yaitu hubungan antara eksekutif dengan legislatif, dan legislatif dengan pemilih (voter) atau rakyat. Implikasi penerapan teori keagenan dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (opportunistic behaviour). Dimana pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power). Masalah
31
keagenan
yang
timbul
di
kalangan
eksekutif
adalah
cenderung
memaksimalkan utiliti (self-interest) dalam pembuatan atau penyusunan anggaran APBD, karena memiliki keunggulan informasi (asimetri informasi). Akibatnya eksekutif cenderung melakukan ”budgetary slack”. Hal ini terjadi dikarenakan pihak eksekutif akan mengamankan posisinya dalam pemerintahan di mata legislatif dan masyarakat/rakyat, bahkan boleh jadi untuk kepentingan pilkada berikutnya. Namun demikian budgetary slack APBD lebih banyak untuk kepentingan pribadi kalangan eksekutif (self interest) ketimbang untuk kepentingan masyarakat. Masalah keagenan yang timbul di kalangan legislatif (anggota dewan) terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai prinsipal atas eksekutif dan sebagai agen dengan rakyat (pemilih). Masalah keagenan yang timbul dalam perspektif prinsipal akan cenderung melakukan ”kontrak semu” dengan pihak eksekutif karena memiliki discretionary power. Dalam proses penyusunan anggaran, pihak legislatif cenderung melakukan ”titipan” proyek/kegiatan, hal ini terjadi untuk kepentingan pribadi secara jangka panjang demi
menjaga
kesinambungan
dan
mengharumkan
nama
politisi/anggota dewan. Masalah keagenan anggota legislatif sebagai agen, dimana posisi legislatif sebagai pihak agen dan rakyat/pemilih sebagai pihak prinsipal. Pihak legislatif sebagai agen akan membela kepentingan rakyat atau pemilihnya, namun seringkali ini tidak terjadi, karena pendelegasian
32
kewenangan rakyat/pemilih terhadap legislatornya tidak memiliki kejelasan aturan konsekuensi kontrol keputusan yang disebut ”abdication”. Akibatnya,
legislator
cenderung
menyusun
anggaran
untuk
kepentingan pribadi atau golongannya dan kondisi ini disebut oleh Garamfalvi (1997) sebagai political corruption dalam proses penyusunan anggaran, dan sekiranya anggaran tersebut dilaksanakan akan menimbulkan administration corruption. Kalau kondisi di atas terjadi, maka proses penyusunan/perubahan anggaran APBD yang semestinya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku opportunistik untuk kepentingan pribadi dan politisi.
2.1.6. Karakteristik Pemerintah Daerah UU No. 32/2004 memberikan wewenang kepada Pemerintah Daeraah untuk menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi serta mewajibkan
Pemerintah
Daerah
untuk
memberikan
Laporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daeraah (LPPD) kepada pemerintah sebagai salah satu alat pertanggungjawaban kinerja Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 2 PP No. 3/2007 menyebutkan bahwa ruang lingkup LPPD mencakup penyelenggaraan urusan desentralisasi (urusan wajib dan pilihan), tugas pembantuan dan tugas umum pemerintahan. Dengan demikian, isi LPPD Pemerintah Daerah kabupaten/kota sangat tergantung
33
dengan urusan yang menjadi tanggungjawabnya dan karakteristik dari masing-masing Pemerintah Daerah tersebut. Semakin besar ukuran Pemerintah Daerah maka semakin besar sumber daya yang dimiliki untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah Daerah juga memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) beragam yang salah satunya tergantung dari kekayaan daerah yang dimilikinya. Pemerintah Daerah yang memiliki PAD tinggi seharusnya akan lebih bebas dalam memanfaatkan kekayaan asli daerahnya untuk melakukan pengeluaran-pengeluaran (belanja) daerah yang dapat meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Setiap Pemda juga mendapatkan Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat yang beragam disesuaikan dengan keadaan dari masing-masing Pemerintah Daerah. Selain dari sisi pendapatan, karakteristik Pemerintah Daerah bisa juga dilihat dari sisi Belanja Pemerintah Daerah yang juga beragam disesuaikan dengan besarnya pendapatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah tersebut. Semakin besar belanja Pemerintah Daerah seharusnya diharapkan akan semakin meningkat pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah untuk masyarakatnya.
2.1.7. Tingkat Incrementalisme dalam proses penyusunan anggaran Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang masih banyak digunakan dan ada dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalisme dan
34
struktur serta susunan anggaran yang bersifat line-item. Anggaran tradisional bersifat incrementalisme yaitu hanya menambahkan atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang mendalam (Mardiasmo, 2002). Pendekatan semacam ini tidak saja menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, namun juga dapat mengakibatkan kesalahan yang terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan apakah pendapatan dan belanja periode sebelumnya yang dijadikan sebagai tahun dasar penyusunan anggaran tahun ini telah didasarkan atas kebutuhan yang wajar. Penelitian terdahulu (Anessi-Pessina et al 2012; Wildavsky 1964) menemukan adanya pengaruh derajat incrementalisme terhadap aktivitas revisi anggaran. Menurut Anessi-Pessina et al (2012) Pendekatan inkremental yang dilakukan pada proses penyusunan anggaran tidak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan organisasi dan sebagai konsekuensinya, semakin besar revisi anggaran yang dilakukan selama tahun fiskal. Hal ini mencerminkan semakin banyak kebijakan ditetapkan di awal periode, semakin sedikit revisi anggaran yang diperlukan selama tahun fiskal. Anessi-Pessina et al (2012) menyoroti derajat incrementalisme anggaran pada pos belanja operasi, pos belanja modal, dan pos pengeluaran daerah, dan menemukan signifikansi pada keseluruhan pos tersebut. Hal tersebut mengindikasikan inkremental anggaran disebabkan karena kurangnya perencanaan pada awal periode
35
anggaran, karena hanya berpedoman pada penyesuaian atau penambahan pagu anggaran di tahun sebelumnya sehingga ketika pada tahun berikutnya terdapat beberapa proyek/kegiatan/inovasi kegiatan yang belum dianggarkan di tahun sebelumnya akan memicu terjadinya revisi anggaran. Selain itu, Lindblom (1959) dalam penelitiannya pada negara demokrasi memaparkan bahwa kebijakan inkremental dilakukan ketika aparat dalam kondisi tertekan dan membutuhkan jalan pintas untuk membuat sebuah kebijakan, sehingga memilih untuk menggunakan acuan kebijakan tahun sebelumnya dengan sedikit modifikasi.
2.2. Penelitian Sebelumnya Anessi-Pessina et al (2012) melakukan penelitian tentang Budgeting and Rebudgeting in Local Gonernments yang mengambil sampel di negara Italia, dengan variabel dependennya revisi anggaran, sedangkan variabel independen terdiri atas (1) tingkat incrementalisme penganggaran awal, (2) situasi politik, (3) fitur organisasi, (4) kondisi keuangan, dan (5) kondisi lokal sosioekonomik. Hasil dari pengujian menunjukkan hasil bahwa (1) terdapat hubungan negatif antara tingkat incrementalisme dengan Revisi anggaran, (2) terdapat hubungan positif dan signifikan antara situasi politik dan revisi anggaran pada saat menjelang pemilu (2) Fitur organisasi melalui proksi Size (Staff) membuktikan adanya hubungan positif dan signifikan terhadap revisi anggaran, (3) Kondisi keuangan membuktikan hubungan negatif antara surplus/defisit, belanja terhadap revisi anggaran, serta
36
hubungan positif antara Pendapatan Asli Daerah dan pembayaran hutang/pinjaman terhadap revisi anggaran, (4) Kondisi lokal sosioekonomik membuktikan bahwa letak geografis wilayah di Utara mempengaruhi Revisi anggaran secara positif, dan GDP mempengaruhi Revisi anggaran secara positif. Penelitian dari Forrester & Mullins (1992) menyatakan Rebudgeting dibutuhkan untuk membuat anggaran lebih responsif terhadap kebutuhan anggaran partisipan dan untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Studi Forrester & Mullins (1992) menemukan bahwa ada 3 (tiga) kategori penyebab perubahan anggaran. Pertama, managerial necessity, yakni penyesuaian yang bersumber dari kompleksitas secara teknis dalam pembuatan
keputusan
manajerial
berkaitan
dengan
kebutuhan
dan
sumberdaya yang ada dalam suatu keterbatasan. Kedua, environmental pressure, yaitu penyesuaian yang dibutuhkan karena adanya perubahan lingkungan dimana pelayanan publik diberikan oleh pemerintah. Terakhir, political concerns, yakni keputusan pengalokasian sumberdaya yang keluar dari hakikat politik anggaran sesungguhnya Wildavsky, 1964 (dalam Anessi-Pessina et al, 2012) menyatakan bahwa “Rebudgeting is what governments do to revise and update the adopted budget during the course of the fiscal year.” Sebagai lanjutan dari proses anggaran tahunan, rebudgeting menjadi alat untuk mempertemukan berbagai conflicting objectives dalam penganggaran, termasuk continuity dan control, change dan accountability, serta flexibility dan predictability.
37
Berdasarkan hasil penelitian Lindblom, (1959) yang menemukan bahwa anggaran inkremental dilakukan ketika aparat terdesak dan membutuhkan jalan pintas, inkremental suatu anggaran salah satunya disebabkan karena kurangnya perencanaan dan analisis pada perumusan anggaran awal, sehingga pemerintah daerah hanya berpedoman anggaran tahun sebelumnya dengan melakukan penambahan, pengurangan atau modifikasi pada tiap-tiap pagu dananya. Hal tersebut menyebabkan ketika pada tahun berjalan terdapat inovasi kegiatan atau kegiatan baru yang sebelumnya belum pernah dianggarkan, akan memicu terjadinya revisi anggaran. Devia (2014), melakukan penelitian dengan hasil bahwa faktor internal yang terdiri dari derajat incrementalisme, fitur organisasi, dan kondisi keuangan serta faktor eksternal yang terdiri dari kondisi lokal sosioekonomik dan tipe daerah berpengaruh terhadap revisi anggaran.
2.3 Pengembangan Hipotesis 2.2.1 PengaruhTingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Operasional terhadap Revisi Anggaran Belanja Operasional Penelitian ini menguji kembali penelitian Anessi-Pessina et al (2012) menemukan adanya pengaruh tingkat incrementalisme terhadap aktivitas revisi anggaran. Menurut Anessi-Pesina et al (2012) pendekatan inkremental yang dilakukan dalam proses penyusunan anggaran tidak sepenuhnya
mampu
memenuhi
38
kebutuhan
organisasi
dan
sebagai
konsekuensinya, semakin besar revisi anggaran yang dilakukan selama tahun fiskal. Hal ini mencerminkan semakin banyak kebijakan ditetapkan di awal periode, semakin sedikit revisi anggaran yang diperlukan selama tahun fiskal. Anessi-Pessina et al (2012) menyoroti tingkat incrementalisme anggaran pada pos belanja operasi, pos belanja modal, dan pos pengeluaran daerah, dan menemukan signifikansi pada keseluruhan pos tersebut. Hal tersebut
mengindikasikan
inkremental
anggaran
disebabkan
karena
kurangnya perencanaan pada awal periode anggaran, karena hanya berpedoman pada penyesuaian atau penambahan pagu anggaran di tahun sebelumnya sehingga ketika pada tahun berikutnya terdapat beberapa proyek, kegiatan, dan atau inovasi yang belum dianggarkan di tahun sebelumnya akan memicu terjadinya revisi anggaran. Penelitian lain yang dilakukan oleh Devia (2014), memberikan hasil bahwa faktor internal yang terdiri dari derajat incrementalisme, fitur organisasi, dan kondisi keuangan serta faktor eksternal yang terdiri dari kondisi lokal sosioekonomik dan tipe daerah berpengaruh secara posifif maupun negatif terhadap revisi anggaran. Bedasarkan jenis aktifitasnya, anggaran dibagi menjadi anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran Operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan dalam menjalankan operasi sehari-hari dalam kurun waktu satu tahun. Anggaran operasional sering dikelompokkan sebagai pengeluaran pendapatan (revenue expenditure), yaitu jenis
39
pengeluaran yang bersifat rutin dan jumlahnya kecil, serta tidak menambah fungsi suatu asset. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1
:
Tingkat
incrementalisme
anggaran
belanja
operasional
berpengaruh secara negatif terhadap revisi anggaran belanja operasional pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia
2.3.2 Pengaruh Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Modal terhadap Revisi Anggaran Belanja Modal Dalam
penelitian Anessi-Pessina et al (2012) memberikan hasil
bahwa variabel-variabel internal yaitu tingkat inkremental anggaran belanja mempengaruhi revisi anggaran secara signifikan perumusan anggaran inkremental masih dilakukan pemerintah daerah dalam rangka perumusan anggaran ditahun berjalan dengan penyesuaian/penambahan pagu anggaran di tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Lindblom (1959) yang menemukan bahwa anggaran inkremental dilakukan ketika aparat terdesak dan membutuhkan jalan pintas, inkremental suatu anggaran salah satunya disebabkankarena kurangnya perencanaan dan analisis pada perumusan anggaran awal, sehingga pemerintah daerah hanya berpedoman anggaran tahun sebelumnya dengan melakukan penambahan, penguranga atau modifikasi pada tiap-tiap pagu dananya. Hal tersebut menyebabkan ketika
40
pada tahun berjalan terdapat inovasi kegiatan atau kegiatan baru yang sebelumnya belum pernah dianggarkan, akan memicu terjadinya revisi anggaran. Inkremental pada anggaran tidak selalu memiliki makna negatif, berdasarkan pemisahan fungsi anggaran pada PMK 104 Tahun 2010, misalnya pada anggaran belanja operasi, inkremental dapat disebabkan karena pagu anggaran belanja operasi merupakan fungsi anggaran yang bersifat tetap seperti: belanja pegawai dan belanja barang sehingga tidak memerlukan analisis mendalam saat perumusan anggaran di tahun berikutnya. Namun dapat disimpulkan bahwa tingkat penyesuaian dan penambahan pagu anggaran belanja di tahun berjalan tidak mampu memenuhi kebutuhan anggaran belanja di tahun berikutnya sehingga tetap memicu terjadinya revisi anggaran. Penelitian
Devia
(2014)
memberikan
hasil
bahwa
derajat
incrementalisme pada proses penyusunan anggaran awal berpengaruh secara negatif terhadap revisi anggaran pada pos belanja operasi. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2
: Tingkat incrementalisme anggaran belanja modal berpengaruh secara negatif terhadap revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
41
2.3.3 Pengaruh Kemampuan Keuangan Daerah Terhadap Revisi Anggaran Belanja Operasional dan Revisi Anggaran Belanja Modal Hasil penelitian otonomi daerah yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri (1991) menyatakan bahwa ada 6 macam faktor yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah melaksanakan otonomi daerah yaitu kemampuan keuangan daerah, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan organisasi dan demografi. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan keuangan itu sendiri adalah kemampuan daerah membiayai segala urusan rumah tangganya baik pemerintah maupun pembangunan dengan menggunakan pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri atau PAD. Penentuan tolok ukur kemampuan Keuangan Pemerintah Daerah bisa dilihat dari rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah. Analisis kondisi keuangan harus disajikan dengan cara meningkatkan kemungkinan bahwa informasi yang disajikan akan digunakan untuk membuat keputusan kebijakan (Riverbark and Roenigk, 2011). Salah satu variabel
yang mempengaruhi rebudgeting adalah posisi
keuangan
pemerintah dan sumberdaya yang lemah (Lu and Facer, 2004). Surplus yang terakumulasi di tahun-tahun sebelumnya lebih besar dalam penentuan penganggaran awal sehingga membutuhkan revisi anggaran yang lebih besar pula. Hal yang sama juga berlaku, semakin tinggi aliran surplus semakin rendah revisi anggaran, semakin tinggi kemmpuan keuangan
42
daerah yang berupa pajak dan retribusi maka semakin sedikit revisi anggaran. Keganjilan yang ada adalah penganggaran dilakukan jauh sebelum laporan realisasi anggaran dibuat (Anessi pessina et al, 2012), oleh karena itu muncul surplus anggaran tahun lalu pada pertengahan tahun berjalan, dengan munculnya surplus ini akan merangsang adanya revisi anggaran. Pengeluaran daerah didanai oleh pendapatan suatu daerah baik yang bersumber melalui pajak, retribusi, atau dana bantuan pemerintah, sehingga semakin besar pendapatan yang diperoleh entitas pemerintah daerah, maka revisi anggaran yang dilakukan pada akan semakin kecil. Pemerintah daerah akan semakin leluasa dalam melakukan perencanaan tanpa terikat oleh keterbatasan anggaran sehingga pada tahun berjalan dapat meminimalkan terjadinya revisi anggaran (Anessi-Pessina et al 2012). Berdasarkan hasil penelitian Anessi-Pessina et al (2012) membuktikan bahwa pendapatan pajak dan retribusi daerah akan meningkatkan PAD. Dikarenakan
pemerintah
daerah
mempunyai
wewenang
untuk
mengalokasikan pendapatannya dalam sektor belanja modal, tingkat PAD yang tinggi akan menyebabkan proses perencanaan yang dilakukan lebih fleksibel dan maksimal sehingga dapat meminimalisasi terjadinya revisi anggaran. Penelitian Devia (2014) memberikan hasil bahwa kondisi keuangan berpengaruh baik secara positif maupun negatif terhadap revisi anggaran pada pos belanja operasi dan pos belanja modal.
43
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H3a :
Kemampuan keuangan daerah berpengaruh secara negatif terhadap revisi anggaran belanja operasional pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia
H3b :
Kemampuan keuangan daerah berpengaruh secara negatif terhadap revisi
anggaran
belanja
modal
pada
pemerintah
daerah
kota/kabupaten di Indonesia.
2.3.4 Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto Terhadap Revisi Anggaran Belanja Operasional dan Revisi Anggaran Belanja Modal Fitur demografi dan budaya masyarakat dapat memberikan peranan penting dalam hal revisi anggaran (Brudney et al 1995; Greenwood et al 1977; Forrester dan Mullins 1992). Bingham (1978) mengingatkan bahwa karakteristik sosio ekonomi masyarakat telah dipelajari oleh banyak ekonom dan ilmuwan politik sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan daerah. Berdasarkan penelitian Anessi-Pessina et al (2012) bahwa daerah yang memiliki PDRB rendah cenderung melakukan revisi anggaran pada anggaran belanja dikarenakan banyaknya masalah dan tantangan dalam melakukan perencanaan perbaikan infrastruktur daerah. PDRB merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah.
44
Suatu daerah dengan PDRB yang rendah cenderung mengalami kondisi infrastruktur yang tertinggal dibanding daerah yang memiliki PDRB tinggi. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal No. 01 Tahun 2005, revisi anggaran yang masih kerap terjadi dikarenakan dalam upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal masih menghadapi masalah pokok dan fundamental seperti: (1) masih lemahnya koordinasi pembangunan
daerah
tertinggal,
(2)
rendahnya
aspek
kebijakan,
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian, (3) ketidakselarasan dan ketidakterpaduan diantara tiga tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten) dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi, dan (4) ketidaksesuaian dan rendahnya dukungan program dan alokasi anggaran dari sektor yang sesuai kebutuhan pembangunan daerah tertinggal. Sosioekonomi lokal digambarkan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di daerah dalam waktu tertentu biasanya dalam satu tahun. Dalam Penelitian ini menggunakan Produk Domestik Regional Bruto berdasarkan harga berlaku yang diambil dari data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), semakin tinggi PDRB suatu kota/kabupaten maka dimungkinkan semakin kecil revisi anggaran di suatu daerah.
45
Penelitian Devia (2014) memberikan hasil bahwa kondisi lokal sosioekonomik berpengaruh secara negatif terhadap revisi anggaran pada pos belanja modal terkait pembiayaan proyek dan infrastruktur. Kondisi sosio-ekonomi daerah yang digambarkan dengan PDRB dapat diharapkan juga mempengaruhi revisi anggaran pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia, sehingga hipotesis selanjutnya yaitu: H4a
:
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh secara negatif terhadap revisi anggaran belanja operasional pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia
H4b :
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh secara negatif terhadap revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
2.3.5 Pengaruh Area Geografis Terhadap Revisi Anggaran Belanja Operasional dan Revisi Anggaran Belanja Modal Selain PDRB untuk mewakili sosio-ekonomi daerah, area geografis juga dapat memberikan gambaran faktor yang mempengaruhi rebudgeting (Anessi-Pessina et al, 2012). Hasil dari penelitian Anessi-Pessina et al, 2012 yang membagi wilayah menjadi dua yaitu wilayah utara dan selatan, dimana Italia bagian utara ditinjau dari masyarakatnya dikenal sebagi masyarakat yang mempunyai industri lebih maju, pada umumnya mereka berbahasa Italia tetapi memiliki persamaan seperti Perancis dan Jerman dengan kota Milano sebagai barometer kota utamanya, dan prospek ekonomi di utara
46
memang lebih menjanjikan dan dinamis, sedangkan wilayah selatan mengalami kemunduran ekonomi dikarenakan kurangnya perhatian yang diberikan oleh Pemerintah Italia, mengingat daerah ini lebih banyak memunculkan permasalahan seperti masalah kejahatan terorganisasi (mafia) serta arah kebijakan pemerintah lebih melihat ke Utara sebagai lahan yang lebih subur untuk industri dan investasi. Dan lahan pertanian di selatan cenderung mempunyai landscape yang berbukit-bukit dan kurang subur; curah hujan yang tinggi pada musim hujan dan kering pada musim panas; masih banyak memanfaatkan sistem pertanian yang masih tradisional dan masih memanfaatkan tenaga binatang untuk pertanian dibandingkan dengan pemanfaatan mesin; kurangnya prasarana transportasi; minimnya sumber daya alam; minimnya pemanfaatan dana, serta; terbatasnya dukungan skill yang memadai. Penelitian yang dilakukan oleh Anessi-Pessina et al, 2012 menunjukan bahwa wilayah Utara memiliki kekuatan yang lebih dalam melakukan revisi anggaran daripada wilayah selatan. Dan dalam penelitian ini akan dibagi menjadi dua area
yaitu Jawa dan Luar Jawa,
dimanadiharapkan akan ada hubunganrevisi anggaran yang dipengaruhi oleh area geografis. Penelitian Devia (2014) memberikan hasil bahwa tipe daerah dan letak geografis berpengaruh secara positif terhadap revisi anggaran pada pos belanja operasi dikarenakan daerah yang berada di luar Pulau Jawa cenderung lebih banyak melakukan revisi anggaran karena daerah tersebut
47
masih mengalami kendala terkait koordinasi prosedur revisi anggaran dan permasalahan lain dibidang pemerintahan daerah. Sehingga untuk hipotesis selanjutnya dalam penelitian inia dalah: H5a
:
Area Geografis berpengaruh secara positif terhadap revisi anggaran
belanja
operasional
pada
pemerintah
daerah
kota/kabupaten di Indonesia. H5b :
Area Geografis berpengaruh secara positif terhadap revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia.
48
Dari pengembangan hipotesisi di atas dapat digambarkan kerangka teoritis sebagai berikut :
Revisi Anggaran Belanja
Revisi Anggaran Belanja Operasional (RvBO)
Revisi Anggaran Belanja Modal (RvBM)
1. Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Operasional ( Perubahan Belanja Operasional/PrBO) 2. Kemampuan Keuangan Daerah (KmK) 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 4. Area Geografis
1. Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Modal ( Perubahan Belanja Modal/PrBM) 2. Kemampuan Keuangan Daerah (KmK) 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 4. Area Geografis
49
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan data sekunder yang telah dipublikasikan oleh masing masing daerah melalui website ditambah dengan informasi dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan
Republik Indonesia
dan
Kementerian Dalam Negeri. Penelitian yang akan dilakukan merupakan pengujian hipotesis dengan hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu menganalisis revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal pada pemerintah daerah di Indonesia dengan variabel independennya adalah Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Operasional (PrBO), Tingkat Incrementalisme Anggarn Belanja Modal (PrBM), Kemampuan Keuangan (KmK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Area Geografis (Area).
3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Penngambilan Sampel Populasi penelitian ini adalah Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten di Indonesia, dengan mengambil sampel 5 daerah di Indonesia yaitu masingmasing di Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau Irian Jaya yang memberikan informasi APBD dan LKPD
selama tahun 2012 dan tahun 2013. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik random, yaitu dimana semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel.
3.3 Data dan Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa peraturan daerah atau peraturan walikota yang memberikan secara rinci mengenai APBD, Perubahan APBD dan Laporan Realisasi Anggaran 2012 dan 2013, serta data PDRB masing-masing daerah dilengkapi data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang diambil dari www.djpk.kemenkeu.go.id dan www.bps.go.id. Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari basis data softcopy maupun hardcopy yang telah didowload pada website masingmasing daerah maupun dari sumber lain.
3.4 Definisi Operasional Variabel. Menurut Sekaran dan Bougie (2009) variabel merupakan sesuatu yang dapat memiliki nilai-nilai yang bervariasi dimana nilai tersebut dapat dibedakan pada waku yang bervariasi untuk objek atau orang yang sama, atau pada waktu yang sama untuk objek atau orang yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen pada penelitian ini
51
adalah Revisi Anggaran pada item Belanja Operasional dan Belanja Modal, sedangkan variabel Incrementalisme
independen dari penelitian ini
Anggaran
Belanja
Operasional
adalah (PrBO),
Tingkat Tingkat
Incrementalisme Anggarn Belanja Modal (PrBM), Kemampuan Keuangan (KmK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Area Geografis (Area). Definisi operasional variabel dikutip dari Anessi-Pessina et al (2012). Adapun rincian definisi Operasonal Variabel adalah sebagai berikut :
3.4.1 Definisi dan Pengukuran variabel Dependen Menurut Sekaran dan Bougie (2009) variabel dependen adalah variabel utama yang menjadi perhatian utama peneliti. Tujuan utama peneliti adalah memahami
dan
mendeskripsikan
variabel
dependen,
menjelaskan
variabilitasnya, atau memprediksikannya. Dalam penelitian ini revisi anggaran pada item Belanja Operasional dan Belanja Modal digunakan sebagai variabel dependen. Revisi anggaran diperoleh dengan menghitung selisih antara anggaran setelah revisi dikurangi dengan anggaran awal (sebelum revisi), kemudian hasilnya dibagi dengan anggaran awal tahun berjalan untuk menghasilkan rasio revisi anggaran. Revisi Anggaran = (Anggaran setelah revisi - Anggaran awal ) x 100 % Anggaran awal Sumber : Anessi-Pessina et al. 2012
52
3.4.2 Definisi dan Pengukuran Variabel Independen Menurut Sekaran dan Bougie (2009) variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen baik secara positif maupun negatif. Dalam pengujian revisi anggaran, terdapat lima variabel independen utama yang menjadi fokus penelitian. Seperti pada penelitian Anessi-Pessina et al, 2012.
a. Tingkat Inkrementalisme Anggaran Belanja Operasional (PrBO) Variabel ini digunakan apakah mengetahui apakah dengan adanya penyusunan anggaran belanja operasional yang bersifat tradisional atau inkremental akan menyebabkan revisi anggaran pada pos pendapatan yang dilakukan semakin besar. Variabel ini merupakan persentase perubahan anggaran belanja operasional dan realisasi belanja operasional tahun sebelumnya, atau dapat dirumuskan sebagai berikut: PrBO
= (Anggaran B. Oprsional (t) -Realisasi B. Operasional (t-1))x 100 % Realisasi B. Operasional (t-1)
Sumber : Anessi-Pessina et al. 2012
b. Tingkat Inkrementalisme Anggaran Belanja Modal (PrBM) Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah dengan adanya penyusunan anggaran belanja modal yang bersifat tradisional akan menyebabkan revisi anggaran pada pos belanja modal yang dilakukan semakin besar. Variabel ini merupakan persentase perubahan anggaran
53
belanja modal dan realisasi belanja modal tahun sebelumnya, atau dapat dirumuskan sebagai berikut: PrBM
= ((Anggaran B. Modal( t) - Realisasi B. Modal (t-1)) x 100 % Realisasi B. Modal (t-1)
Sumber : Anessi-Pessina et al. 2012
c. Kemampuan Keuangan Kabupten/Kota (KmK) Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah besar kecilnya pendapatan pajak, retribusi dan lain-lain PAD yang sah mampu menstimulasi terjadinya revisi anggaran belanja operasional maupun revisi anggaran belanja modal terkait kebutuhan akan pembiayaan operasional, pembiayaan proyek dan infrastruktur. Variabel ini merupakan persentase tingkat kemampuan keuangan diukur dari persentase pendapatan pajak, pendapatan retribusi dan lain-lain PAD yang sah terhadap Pendapatan, atau bisa dirumuskan sebagai berikut: KmK
= (Pajak + Retribusi + Lain-lain PAD yang sah) x 100 % Pendapatan
Sumber : Anessi-Pessina et al. 2012
b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Dalam penelitian ini menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan harga berlaku yang diambil dari data yang dipubikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2012 dan 2013. Variabel ini digunakan untuk mengetahui apakah wilayah yang miskin atau
54
memiliki PDRB yang rendah cenderung lebih banyak melakukan revisi anggaran daripada wilayah yang kaya atau daerah yang memiliki PDRB lebih tinggi. c. Area Geogafis (AREA) Variabel ini merupakan lokasi wilayah yang berada di Jawa atau Luar Jawa, hal ini untuk membuktikan apakah entitas pemerintah daerah yang berada di Jawa memiliki kekuatan yang lebih dalam melakukan revisi anggaran daripada yang berlokasi di Luar Jawa. Variabel area geografis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabel dummy. Untuk area jawa diberi angka 1 dan luar jawa diberi angka 0.
3.5. Analisis Data 3.5.1 Statistik Deskriptif Menurut Ghozali (2011) statistik deskriptif merupakan alat analisis kuantitatif yang bertujuan mengetahui gambaran atau deskripsi suatu data yang meliputi nilai rata-rata (mean), median, maksimum, minimum, standar deviasi, varian, sum, range, kurtosis dan skewness. Selain itu analisis statistik deskriptif bertujuan untuk mendapatkan gambaran keseluruhan data sampel penelitian, sehingga karakteristik suatu data dapat diketahui. Dalam penelitian ini, item dari statistk deskriptif yang digunakan adalah mean dan standar deviasi. Mean di gunakan untuk mengukur rata-rata dari variabel dependen maupun independen dalam penelitian ini. Standar deviasi
55
digunakan untuk mengukur seberapa tingkat kemencengan dari rata-rata variabel. Penelitian ini memberikan gambaran umum mengenai variabel penelitian berupa rasio yang di hitung dari APBD, perubahan APBD dan realisasi APBD. Variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Revisi Anggaran, Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Operasional (PrBO), Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Modal (PrBM), Kemampuan Keuangan (KmK). Selain rasio-rasio tersebut penelitian ini menggunakan data nominal yaitu variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan variabel dummy yaitu AREA. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier untuk menguji pengaruh Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Operasional (PrBO), Tingkat Incrementalisme Anggaran Belanja Modal (PrBM), Kemampuan Keuangan (KmK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Area Geografis ( AREA) terhadap Revisi Anggaran Belanja Operasional dan Revisi Anggaran Belanja Modal pada pemerintah daerah kota/kabupaten di Indonesia. Namun sebelum di uji memakai regresi, dilakukan dulu uji asumsi klasik.
3.5.2 Uji Asumsi Klasik a.
Uji Normalitas Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali,
56
2011). Data yang baik adalah data yang terdistribusi normal, apabila asumsi ini dilangggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel yang kecil. Normal atau tidaknya data dari setiap variabel dapat diketahui dengan analisis grafik. Melalui grafik histogram dengan melihat bentuk lonceng pada grafik dan membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal, selain itu dapat pula melalui normal probability plot dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dan grafik. Dalam penelitian ini pengujian terhadap normalitas dilakukan secara statistik, karena bila hanya melalui grafik visual kita memiliki keterbatasan dalam menilai. Dalam pengujian nilai residual dilakukan dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov (Annesi Pessina et all, 2012). Menurut metode ini, level signifikan yang ditetapkan adalah 0.05 atau 5 %. Dasar pengambilan dari Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan membuat hipotesis H0 dan Ha yang dapat di jabarkan sebagai berikut: Hₒ
=
Data residual terdistribusi normal (asymp sig < 0.05)
Hₐ
=
Data residual tidak terdistribusi normal (asymp sig > 0.05)
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika nilai p-value ≥ 0.05, maka data yang digunakan dalam penelitian tersebut terdistribusi secara normal atau H0 diterima. Sebaliknya jika nilai pvalue ≤ 0.05, maka data yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak terdistribusi secara normal atau Ha yang diterima.
57
b.
Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Menurut Ghozali (2011) autokorelasi muncul karena observasi berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Pada penelitian ini menggunakan alat uji runs test. Dari pengujian ini dapat dilihat apakah terjadi autokorelasi atau tidak berdasarkanpada nilai asymp.sig dalam uji run test. Apabila asym.sig > 5 % maka tidak terjadi gejala autokorelasi dan sebaliknya jika asym.sig < 5 % maka terjadi gejala autokorelasi dalam model regresi.
c.
Uji Heteroskedastisitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pangamatan lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Kebanyakan data crosssection seperti yang digunakan dalam penelitian ini mengandung situasi heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan metode pengamatan plot titik Scatterplot dalam menguji ada tidaknya heterokedastisitas. Nilai prediksi yang digunakan untuk
58
variabel dependen ZSPRED dan residualnya SRESID. Heterokedastisitas tidak terjadi jika dalam Scatterplot menunjukkan kriteria yaitu:
Titik-titik data menyebar secara merata diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y.
Penyebaran titik tidak diperbolehkan mempunyai pola penyebaran yang sama.
d.
Uji Multikolonieritas Menurut Ghozali (2011), uji multikoloneeritas bertujuan untuk menguji korelasi
antar variabel independen. Model regresi yang baik
seharusnya tidak memiliki korelasi antar variabel independen. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas pada model regresi adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut: Nilai 𝑅 2 yang dihasilkan dari model regresi menunjukkan nilai yang terlalu tinggi namun jika dilihat secara individual variabel independen banyak yang tidak berpengaruh secara signifikan. Melakukan analisis matrik korelasi variabel independen, jika antar variabel tersebut terdapat korelasi yang sangat tinggi yang pada umumnya bernilai > 0.9 maka model regresi tersebut diindikasikan multikolinearitas. Menggunakan nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF) Uji multokolinearitas pada penelitian ini dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance pada Collinearity Statistic pada output SPSS. Rumus Persamaan VIF dengan Tolerance
59
adalah VID = (1/Tolerance). Nilai VIF tidak diperbolehkan untuk melebihi 10 dan nilai Tolerance tidak boleh kurang dari 0.1. Dasar dari pengambilan keputusan ini adalah sebagai berikut: Hₒ
=
Model regresi tidak terjadi gejala multikolinearitas (VIF < 10 dan Tolerance > 0.1 )
Hₐ
=
Model regresi terjadi gejala multikolinearitas (VIF > 10 dan Tolerance < 0.1 )
3.5.3 Uji Hipotesis Analisis
regresi
pada
dasarnya
adalah
studi
mengenai
ketergantungan variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Tujuan analisis ini adalah untuk mengestimasi dan/atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang ingin diketahui (Ghozali, 2011). Sehingga setelah melakukan uji asumsi klasik yang telah dilakukan dimana telah terdistribusi secara normal, tidak ada autokorelasi, tidak terjadi multikolinearitas, dan tidak terdapat gejala heterokedastisitas, maka data yang tersedia telah memenuhi syarat untuk digunakan dalam analisis regresi linier berganda. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linier berganda (multiple regression analysis) dengan menggunakan bantuan program statistik (SPSS Ver. 20.0) Adapun model yang digunakan adalah sebagai berikut :
60
RvBO = α +β1PrBO + β3KmK+ β4PDRB+ β5AREA+εi
.............. (1)
RvBM = α + β2PrBM + β3KmK+ β4PDRB+ β5AREA+εi .............. (2) Keterangan: RvBO RvBM α β1, β2, β3...dst PrbP PrbB KmK PDRB AREA Εi
= = = = = = = = = =
Variabel dependen (Revisi Anggaran B. Operasional) Variabel dependen (Revisi Anggaran Belanja Modal) Konstanta Koefisien regresi Tingkat Inkrementalisme Anggaran Belanja Opearsional Tingkat Inkrementalisme Anggaran Belanja Modal
Kemampuan Keuangan Produk Domestik Regional Bruto Area Geogrfis Error term
Adapun langkah-langkah untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah: a. Uji Koefisien Determinasi (𝑹𝟐 ) Pengujian ini untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi vaiabel independen. Tingkat ketepatan regresi dinyatakan dalam koefisien determinasi majemuk (𝑹𝟐 ) yang nilainya antara 0 sampai dengan 1. Nilai yang mendekati 1 berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel independen. Jika dalam model terdapat lebih dari dua variabelindependen, maka lebih baik menggunakan nilai adjusted 𝑹𝟐 .
b. Pengujian Signifkansi Simultan (Uji Fisher) Menurut Ghozali (2011) uji statistik F menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan kedalam model regresi memiliki pengaruh
61
secara bersama-sama terhadap variabel dependennya. Dalam pengambilan keputusan mengenai hasil pengujian F berdasar hipotesis berikut: Hₒ
=
Semua parameter dalam model sama dengan nol, atau semua variabel bukan merupakan penjelas yang signifikan.
Hₐ
=
Tidak semua parameter dalam model sama dengan nol, atau semua variabel merupakan penjelas yang signifikan.
Prosedur pengujian dalam uji F pada penelitian ini yaitu membandingkan nilai F hitung dengan F tabel. Kriteria keputusan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Jika tingkat signifikansi (α) < 0,05 maka Hₒ di tolak, sehingga kesimpulan yang dapat diambil yaitu secara simultan semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. 2. Jika tingkat signifikansi (α) > 0,05 maka Hₒ di terima, sehingga kesimpulan yang dapat diambil yaitu secara simultan semua variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
c.
Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t) Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2005). Dalam penelitian ini menggunakan uji t dengan bantuan SPSS 20.0. Dalam uji t dilakukan dasar pemikiran dengan hipotesis sebagai berikut: Hₒ
=
0, artinya variabel independen bukan merupakan penjelas terhadap variabel dependen.
62
Hₐ
≠
0, artinya variabel independen
merupakan penjelas
terhadap variabel dependen. Adapun kriteria pengambilan keputusan dalam penelitian ini dengan uji t adalah sebagai berikut: 1. Jika t hitung > t tabel dengan α < 0,05 maka Hₒ di tolak, sehingga kesimpulan yang dapat diambil yaitu secara parsial variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. 2. Jika t hitung < t tabel dengan α > 0,05 maka Hₒ di terima, sehingga kesimpulan yang dapat diambil yaitu secara parsial variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.
63
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Dari analisis data yang telah dilakukan diperoleh penelitian tentang pengaruh tingkat incrementalisme anggaran belanja operasional, tingkat incrementalisme anggaran belanja modal, kemampuan keuangan, Pendapatan Domestik Regional Bruto dan area geografis terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal, maka hasil penelitian tersebut menjadi dasar pengambilan kesimpulan sebagai berikut. a.
Tingkat incrementalisme anggaran belanja (belanja operasional dan belanja modal) mempunyai pengaruh negatif terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran modal. Beberapa pagu anggaran termasuk kedalam biaya yang tetap sepanjang tahun berjalan, sehingga untuk tahun berikutnya tidak memerlukan analisis mendalam dalam penyusunan anggarannya.
b.
Kemampuan keuangan di masing-masing daerah mempunyai pengaruh negatif terhadap revisi anggaran belanja operasional dan revisi anggaran belanja modal. Semakin besar persentase Pendapatan Asli Daerah setelah digunakan untuk aktifitas pengeluaran daerah, akan memperkecil revisi anggaran yang dilakukan pada belanja operasional.
c.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) akan mempengaruhi revisi anggaran belanja modal, pengaruh PDRB menunjukkan koefisien positif sehingga semakin tinggi PDRB suatu daerah, maka revisi anggaran belanja modal daerah tersebut semakin tinggi.
d.
Untuk Area geografis, dimana dibedakan antara pulau jawa dengan luar jawa menunjukkan berpengaruh terhadap revisi anggaran belanja operasional maupun revisi anggaran belanja modal, artinya bahwa semakin dekat kota/kabupaten dengan pulau Jawa maka mempengaruhi dalam melakukan revisi anggaran.
5.2
Keterbatasan Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu hanya menggunakan tahun periode 2012 dan 2013, periode yang cukup singkat dan menyebabkan terbatasnya jumlah sampel dan mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu sampel dalam penelitian ini sangat terbatas karena diambil dari website masing-masing daerah dan informasi dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Kementerian Dalam Negeri, sehingga masih banyak daerah yang belum menyajikan data-data secara lengkap. Dan dalam penentuan sampel, digunakan teknik random, yaitu dimana semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel, tetapi teknik ini belum memberikan hasil yang maksimal dalam hasil penelitian,
5.3
Saran Untuk penelitian selanjutnya dapat menambahkan jumlah periode penelitian lebih dari dua tahun sehingga dapat diperoleh trend aktivitas revisi anggaran dapat lebih digeneralisasikan. Selain itu menambah jumlah sampel (daerah) dan variabel lain yang mempengaruhi revisi anggaran. Dan dalam penentuan sampel, digunakan teknik random yang memberikan peluang untuk semua sampel agar bisa mewakili dan memberikan hasil yang maksimal dalam hasil penelitian.
80
5.4
Implikasi Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan bagi para aparat pemerintah daerah dalam mengkaji fenomena pada revisi anggaran yang dipengaruhi oleh faktorfaktor diantaranya tingkat incrementalisme anggaran, kemampuan keuangan, PDRB dan Area Geografis. Dan diharapkan pemerintah pusat mampu mempertimbangkan kesejangan antar daerah di Indonesia untuk dapat memiliki hak yang sama dalam proses penyusunan anggaran dan pengelolaan anggaran. Secara teoritis penelitian ini mengkorfirmasi tentang teori agensi.
81
DAFTAR PUSTAKA
Anessi-Pessina, A., Mariafrancesca, S dan Ileana, S. 2012. Budgeting and Rebudgeting In Local Governments: Siamese Twins? Public Administration Review, 72(6): 875-884. Bastian, Indra. 2010. Akuntansi Sektor Publik Suatu Pengantar Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga. Bingham, Richard D. 1978. Innovation, Bureaucracy, and Public Policy: A Study of Innovation Adoption by Local Government. Western Political Quarterly 31(2): 178-205. Boyne, George, Rachel Ashworth, dan Martin Powell. 2001. Testing the Limits of Icrementalism: An Empirical Analysis of Expenditure Decisions by English Local Authoroties, 1981-1996, Public Administration 78(1): 1271-95. Brudney, Jeffrey L., dan Sally Coleman Selden. 1995. The Adoption of Innovation by Smaller Local Governments: The Case of Computer Technology. American Review of Public Administration 25(1): 71-86. Forrester, J, P dan Daniel, R, Mullins. 1992. Rebudgeting: The Serial Nature of Municipal Budgetary Processes. Public Administration Review, 52(5): 467-474. Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the public expenditures management process. Paper presented at 8th International Anti-Corruption Conference, Lima,Peru,7-11September. http://www.transparency.org/iacc/8th_iacc/papers/garamfalvi/garamfalvi. html. Gary, C, C, Nelson, R, D, dan Wilko, A. 2004. Fiscal Planning, Budgeting, and Rebudgeting Using Revenue Semaphores. Public Administration Review, 64(2): 164-179. Ghozali, I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Greenwood, Royston, Christopher R. Hinings, dan Stewart Ranson. 1997. The Politics of Budgetary Process in English Local Government. Political Studies 25(1): 25-47. Halim, A dan Damayanti, T. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. UPP STIM YKPN Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2014. Better Practice Guide Penganggaran Berbasis Kinerja. Lu, H dan R, L, Facer. 2004. Budget Change in Georgia Countries: Examining Patterns and Practise. American Review of Public Administration, 34(1): 67-93. Lindblom, Charles E. 1959. The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19(1): 79-88. Ma, J dan Yil, I, H. 2009, Budgeting for Accounting: A Comparative Study of Budget Reforms In the United States During The Progresive Era and In Contemporary China, Public Administration Review, Spesial Issue, S53S59. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi Ofset. Nordiawan, D dan Hertianti, A. 2007. Akuntansi Sektor Publik. Salemba Empat. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Rivenbark, C, W dan Roenigk, J, D. 2011. Implementation of Financial Condition Analysis in Local Government. Public Administration Quarterly, 35(2): 128-134. Sekaran, U dan Bougie, R. 2009. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. A John Wiley and Sons, Ltd, Publication.
Wildavsky, Aaron. 1991. The New Politics of the Budgetary Process. Second edition. New York, NY: HarperCollins Publishers Inc. www.bps.go.id www.djpk-kemenkeu.go.id Website masing-masing daerah.
Wildavsky, Aaron B. 1964. The Politics of the Budgetary Process. Boston: Little, Brown.