ANALISIS HUBUNGAN INTENSITAS ENERGI DAN PENDAPATAN PER KAPITA: STUDI KOMPARATIF DI SEPULUH NEGARA ASIA PASIFIK
INDRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan per Kapita: Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2009 Indra H151064044
ABSTRACT
INDRA. Relationship between Energy Intensity and Income per Capita: A Comparative Study on Ten Asia Pasific Countries. Under supervision of NOER AZAM ACHSANI and DJONI HARTONO. Energy availability and consumption play an important and strategic role in generating economic growth. One common measurement used in analyzing energy-GDP relationship is energy intensity, which is the amount of energy required to produce a unit of income (GDP). This research examines relationship between energy intensity and income per capita for ten Asia Pacific countries with various economic performances over the period of 1980-2005. Using static and dynamic panel data models, energy consumption and energy intensity are expressed as quadratic logarithmic function of income per capita, squared income per capita, and energy price. As a result, the long run coefficient of income per capita is greater than one and the long run coefficient of squared income per capita is negative. It describes that energy intensity has quadratic relationship with income per capita, and indicating a change in trend of energy intensity. This research also analyzes responses of energy consumption and energy intensity to the change of energy price and income per capita in both the short run and long run. The price elasticity is negative and very inelastic; it means the response of energy consumption with respect to the change in energy price is relatively low. However, the estimation results are also show that the income elasticity is positive but tends to decrease over time. Here, the estimated value of income elasticity varies across countries where the high income countries have lower elasticities than those of the middle-low income countries. Keywords: dynamic panel data, static panel data, energy intensity, income per capita, dematerialization JEL Classification: Q40, Q43, Q48
RINGKASAN
INDRA. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan per Kapita: Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan DJONI HARTONO. Isu ketahanan energi bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan telah menjadi isu global. Dinamika perekonomian dunia yang terus melaju pesat telah menyedot banyak penggunaan energi untuk menopang aktivitas perekonomian di berbagai negara. Implikasinya, permintaan energi oleh negara-negara di dunia semakin meningkat. Di sisi lain, sumber energi konvensional berbasis fosil semakin terbatas keberadaannya, padahal sumber energi ini merupakan sumber energi utama yang digunakan hampir di semua negara di dunia. Sementara itu, harga energi dunia, terutama yang berbasis fosil terus bergejolak dan cenderung menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Gejolak harga energi dunia ini pada gilirannya berimbas pada aktivitas perekonomian hampir di semua negara di dunia tak terkecuali negara-negara Asia Pasifik yang dikaji dalam penelitian ini. Setiap negara memerlukan input energi untuk menghasilkan barang dan jasa. Barang dan jasa inilah yang kemudian diperhitungkan sebagai output yang merupakan parameter penting dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara. Hubungan antara kebutuhan energi dan output biasanya dinyatakan dalam intensitas energi. Nilai ini menyatakan besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan untuk memperoleh satu satuan PDB. Konsep intensitas energi (rasio konsumsi energi per PDB), dan elastisitas energi (rasio persentase perubahan konsumsi energi terhadap per persentase perubahan PDB) sering digunakan untuk memproyeksi kebutuhan energi, mengkomparasi efisiensi penggunaan energi antar negara, serta menilai dampak penggunaan energi terhadap perekonomian suatu negara. Untuk itu, intensitas energi dapat dijadikan landasan untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan negara dalam mengelola penggunaan energinya secara efektif untuk setiap satu satuan PDB yang dihasilkan. Intensitas energi di lintas negara tidak bergerak konstan sepanjang waktu. Malenbaum (1978) mengemukakan hipotesis mengenai intensity of use yang menyatakan bahwa pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan konsumsi energi dan material. Pada fase awal pembangunan ekonomi, negaranegara akan cenderung menggunakan konsumsi energi dan materialnya pada tingkat yang lebih besar atau setara dengan tingkat pertumbuhan output, hingga mencapai suatu nilai kritis (turning point) tertentu. Dalam hal ini, intensitas energi akan meningkat seiring meningkatnya pendapatan. Namun, setelah melampaui nilai kritis tersebut, peningkatan konsumsi energi dan material tidak lagi lebih besar atau setara dengan peningkatan output. Di sini, intensitas energi akan menurun seiring meningkatnya pendapatan. Fenomena ini dapat digambarkan melalui kurva U terbalik (inverted-U shaped) atau dikenal sebagai Environmental Kuznets Curve (EKC). Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika intensitas energi dan konsumsi energi dalam hubungannya dengan
tingkat pendapatan dan harga energi, mengetahui apakah hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita sesuai dengan hipotesis EKC, mengetahui respon konsumsi energi per kapita terhadap perubahan pendapatan per kapita dan harga energi dalam jangka pendek dan jangka panjang di sepuluh negara Asia Pasifik, serta mencoba merumuskan implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis tiga poin tujuan di atas. Di sini, negara-negara Asia Pasifik yang dikaji secara umum dibedakan menjadi dua kelompok negara, yakni negaranegara maju dengan pendapatan per kapita tinggi dan emerging contries dengan pendapatan per kapita lebih rendah. Intensitas energi dan pendapatan per kapita memiliki keterkaitan yang erat sebagaimana tercermin dalam EKC. Dari hubungan ini selanjutnya akan coba dibangun suatu model ekonometrika berbasis data panel statis dan dinamis yang memiliki kemampuan untuk menguji hubungan kuadratik antara intenstas energi dan pendapatan per kapita serta mengetahui respon dari konsumsi energi per kapita terhadap perubahan pendapatan per kapita dan harga energi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil analisis hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan untuk memproyeksi kebutuhan energi, mengkomparasi efsiensi penggunaan energi antarnegara, serta menilai dampak penggunaan energi terhadap perekonomian suatu negara. Dari hasil estimasi diperoleh nilai elastisitas harga energi jangka pendek sebesar -0,055 pada model data panel statis fixed effects model (FEM) dan -0,065 pada model data panel dinamis Arellano-Bond generalized method of moments (AB-GMM). Sementara itu nilai elastisitas harga energi jangka panjang diperoleh sebesar -0,083 (FEM) dan -0,074 (AB-GMM). Nilai mutlak elastisitas harga energi yang lebih kecil dari satu dan relatif dekat ke nol baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang menunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita bersifat sangat inelastis, artinya kenaikan harga energi akan diikuti oleh penurunan konsumsi energi dalam porsi yang jauh lebih kecil. Dengan kata lain konsumsi energi menjadi tidak terlalu responsif terhadap perubahan harganya. Hal ini dikarenakan energi merupakan barang kebutuhan dasar yang esensial bagi setiap negara sebagaimana halnya pangan pokok yang masih relatif sulit dicari substitusinya dalam jangka pendek dibandingkan dalam jangka panjang. Sementara itu dari hasil estimasi FEM dan AB-GMM berturut-turut diperoleh nilai elastisitas pendapatan per kapita jangka pendek sebesar 0,538 dan 0,550. Dalam model kuadratik, elastisitas konsumsi energi per kapita jangka panjang terhadap pendapatan per kapita ditentukan secara bersama-sama oleh koefisien estimasi pendapatan per kapita, pendapatan per kapita kuadrat, serta nilai pendapatan per kapita setiap negara pada tahun tertentu. Elastisitas konsumsi energi per kapita jangka panjang terhadap pendapatan per kapita negara ke-i pada tahun ke-t ditentukan berdasarkan persamaan 4, 264 2 0,175 yit pada FEM dan persamaan 4,309 2 0,179 yit pada AB-GMM, dengan yit menyatakan nilai pendapatan per kapita negara ke-i pada tahun ke-t. Hasil estimasi memperlihatkan nilai elastisitas pendapatan per kapita cenderung menurun selama periode 1980-2005. Di sini juga ditemui bahwa elastisitas pendapatan jangka panjang di negara-negara maju lebih kecil dibandingkan emerging countries.
Dari hasil estimasi diperoleh koefisien pendapatan per kapita jangka panjang lebih besar dari satu, yakni 4,264 (FEM) dan 4,309 (AB-GMM). Di lain pihak, koefisien pendapatan per kapita kuadrat jangka panjang menunjukkan tanda estimasi yang negatif, -0,175 (FEM) dan -0,179 (AB-GMM). Hasil estimasi ini menjelaskan bahwa intensititas energi memiliki hubungan kuadratik dengan pendapatan per kapita. Hasil ini konsisten dengan hipotesis EKC. Selanjutnya dari nilai koefisen jangka panjang, diperoleh turning point, yakni nilai pendapatan per kapita yang memaksimumkan intensitas energi sebesar US$ 11.268 (FEM) dan US$ 10.414 (ABGMM). Hasil ini menunjukkan bahwa emerging countries di kawasan Asia Pasifik yang dikaji, yakni Filipina, Indonesia, dan Thailand masih mengalami proses materialisasi mengingat pendapatan per kapita negara-negara tersebut belum mencapai turning point hingga tahun 2005. Pada tahun 2005 tingkat pendapatan per kapita negara-negara tersebut tercatat sebesar US$ 4.050 (Filipina), US$ 4.460 (Indonesia), dan US$ 8.813 (Thailand). Dalam arti lain, negara-negara tersebut masih berada pada suatu fase pembangunan ekonomi di mana penggunaan material dan energi per unit output masih relatif tinggi. Sementara itu negara-negara yang melewati turning point dan mengalami dematerialisasi antara lain: Malaysia (US$ 13.182), Korea Selatan (US$ 18.765), Taiwan (US$ 21.712), Hongkong (US$ 33.198), Singapura (US$ 33.002), Jepang (US$ 25.212), dan Amerika Serikat (US$ 37.322). Hal ini menandakan bahwa negara-negara tersebut telah mampu mereduksi penggunaan energi dan materialnya per unit output dalam suatu fase pembangunan ekonomi. Secara umum hasil analisis di atas memberikan gambaran bahwa dalam jangka panjang energi masih merupakan komoditas yang penting dan strategis di samping pangan. Setidaknya hal ini tercermin dari dua hal: pertama, konsumsi energi tidak terlalu responsif terhadap perubahan harganya. Kedua, konsumsi energi cenderung meningkat kendati dengan tingkat pertumbuhan yang cenderung menurun. Mengingat pentingnya energi bagi proses pembangunan sementara tendensi konsumsi energi terus meningkat di satu sisi dan cadangan sumber energi konvensional berbasis fosil yang dominan digunakan pada hampir di setiap negara di dunia semakin menurun karena sifatnya yang non-renewable di sisi yang lain, maka mutlak dibutuhkan suatu kebijakan yang mampu menjamin kelangsungan energi dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di masa mendatang. Kebijakan ini sejatinya tidak sekedar diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi semata, namun juga harus memperhatikan aspek lingkungan hidup. Untuk mewujudkan ini sejatinya perlu dilibatkan seluruh stakeholder terkait di setiap negara seperti pemerintah melalui regulasi-regulasi yang mendukung pengembangan energi di masa mendatang, peneliti melalui berbagai inovasi teknologi, serta masyarakat secara umum melalui bentuk kepedulian dan kesadaran akan pentingnya penghematan energi sedari dini. Kata kunci: panel data dinamis, panel data statis, intensitas energi, pendapatan per kapita, dematerialisasi Klasifikasi JEL: Q40, Q43, Q48
1.
2.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS HUBUNGAN INTENSITAS ENERGI DAN PENDAPATAN PER KAPITA: STUDI KOMPARATIF DI SEPULUH NEGARA ASIA PASIFIK
INDRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: ANALISIS HUBUNGAN INTENSITAS ENERGI DAN PENDAPATAN PER KAPITA: STUDI KOMPARATIF DI SEPULUH NEGARA ASIA PASIFIK : Indra : H151064044 : Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Djoni Hartono, S.Si, ME Anggota
Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Ketua
Diketahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS
Tanggal Ujian: 1 Mei 2009
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Ahmad Fauzi, M.Sc
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih adalah Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan per Kapita: Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik. Isu ketahanan energi bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan telah menjadi isu global. Dinamika perekonomian dunia yang terus melaju pesat telah menyedot banyak penggunaan energi untuk menopang aktivitas perekonomian di berbagai negara. Implikasinya, permintaan energi oleh negara-negara di dunia semakin meningkat. Setiap negara memerlukan input energi untuk menghasilkan barang dan jasa. Barang dan jasa inilah yang kemudian diperhitungkan sebagai output yang merupakan parameter penting dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara. Hubungan antara kebutuhan energi dan output biasanya dinyatakan dalam intensitas energi. Nilai ini menyatakan besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan untuk memperoleh satu satuan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsep intensitas energi (rasio konsumsi energi per PDB), dan elastisitas energi (rasio persentase perubahan konsumsi energi terhadap per persentase perubahan PDB) sering digunakan untuk memproyeksi kebutuhan energi, mengkomparasi efisiensi penggunaan energi antar negara, serta menilai dampak penggunaan energi terhadap perekonomian suatu negara. Untuk itu, intensitas energi dapat dijadikan landasan untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan negara dalam mengelola penggunaan energinya secara efektif untuk setiap satu satuan PDB yang dihasilkan. Hasil analisis menjelaskan bahwa dalam jangka panjang energi masih merupakan komoditas yang penting dan strategis di samping pangan. Setidaknya hal ini tercermin dari dua hal: pertama, konsumsi energi tidak terlalu responsif terhadap perubahan harganya. Kedua, konsumsi energi cenderung meningkat kendati dengan tingkat pertumbuhan yang cenderung menurun. Mengingat pentingnya energi bagi proses pembangunan sementara tendensi konsumsi energi terus meningkat di satu sisi dan cadangan sumber energi konvensional berbasis fosil yang dominan digunakan pada hampir di setiap negara di dunia semakin menurun karena sifatnya yang nonrenewable di sisi yang lain, maka mutlak dibutuhkan suatu kebijakan yang mampu menjamin kelangsungan energi dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di masa mendatang. Kebijakan ini sejatinya tidak sekedar diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi semata, namun juga harus memperhatikan aspek lingkungan hidup. Untuk mewujudkan ini sejatinya perlu melibatkan seluruh stakeholder terkait di setiap negara seperti pemerintah melalui regulasi-regulasi yang mendukung pengembangan energi di masa mendatang, peneliti melalui berbagai inovasi teknologi, serta masyarakat secara umum melalui bentuk kepedulian dan kesadaran akan pentingnya penghematan energi sedari dini. Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung ataupun tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih dan
penghargaan penulis sampaikan kepada para pembimbing, yaitu Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS. sebagai ketua komisi pembimbing; Dr. Djoni Hartono, S.Si, M.E. sebagai anggota komisi pembimbing. Terima kasih dan penghargaan juga saya ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Fauzi, M.Sc. sebagai penguji luar komisi, Dr. Ir. D.S. Priyarsono selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi, dan Dr. Sri Mulatsih selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah telah memampukan penulis dalam mengikuti perkuliahan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Maulidia Rachmawati Nur, S.Pd (Istri penulis), Nisrina Wafa Adlina (Anak pertama penulis), Razita Anati Syazwina (Anak kedua penulis), dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Brighten Institute yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada para Scholar dan rekan-rekan di Brighten Institute yang telah membantu dan mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT Yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Mei 2009 Indra .
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xviii DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xix PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1 1.2. Permasalahan ....................................................................................... 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... 11 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...................................... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 15 2.1. Ekonomi Energi ................................................................................. 15 2.2. Energi dan Pertumbuhan Ekonomi ..................................................... 19 2.3. Teori Environmental Kuznets Curve (EKC) ....................................... 22 2.4. Intensitas Energi: Aplikasi Kurva Kuznets ......................................... 26 2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensitas Energi .......................... 28 2.6. Tinjauan Literatur dan Hasil-hasil Penelitian Empiris......................... 30 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 34 3.1. Kerangka Konseptual......................................................................... 34 3.2. Hipotesis............................................................................................ 36 3.3. Jenis dan Sumber Data....................................................................... 37 3.4. Model Teoritis ................................................................................... 39 3.4.1. Error Correction Model (ECM).............................................. 39 3.4.2. Data Panel .............................................................................. 43 3.4.2.1. Data Panel Statis ....................................................... 45 3.4.2.2. Data Panel Dinamis................................................... 50 3.5. Spesifikasi Model .............................................................................. 59 3.6. Prosedur Analisis ............................................................................... 63 IV. GAMBARAN UMUM................................................................................ 67 4.1. Dinamika PDB dan Konsumsi Energi ................................................ 67 4.2. Dinamika Konsumsi Energi dan Harga Energi ................................... 74 4.3. Dinamika Intensitas Energi ................................................................ 77 V. HASIL ANALISIS...................................................................................... 81 5.1. Hasil Estimasi .................................................................................... 81 5.2. Respon Konsumsi Energi per Kapita terhadap Perubahan Harga ........ 83 5.3. Respon Konsumsi Energi per Kapita terhadap Perubahan Pendapatan Per Kapita ....................................................................... 85 5.4. Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan per Kapita ..................... 88 xiv
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 91 6.1. Kesimpulan........................................................................................ 91 6.2. Implikasi Kebijakan ........................................................................... 93 6.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut ............................................................ 95 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 97 LAMPIRAN .................................................................................................... 102
xv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis........................... 39 Tabel 4.1. Perkembangan PDB Per Kapita di 10 Negara Asia Pasifik............... 67 Tabel 4.2. Perkembangan Konsumsi Energi Per Kapita di 10 Negara Asia Pasifik ..................................................................................... 68 Tabel 4.3. Perkembangan PDB dan Konsumsi Enegi di 10 Negara Asia Pasifik ............................................................................................. 70 Tabel 4.4. Hasil Uji Kausalitas antara PDB per Kapita dan Konsumsi Energi per Kapita .................................................................................73 Tabel 4.5. Perkembangan Harga Energi (Riil) di Sepuluh Negara Asia Pasifik ............................................................................................. 74 Tabel 4.6. Perkembangan Intensitas Energi di 10 Negara Asia Pasifik.............. 77 Tabel 5.1. Hasil Estimasi Koefisien Model Data Panel Statis dan Dinamis ........................................................................................... 82 Tabel 5.2. Koefisien Estimasi Jangka Panjang.................................................. 83 Tabel 5.3. Elastisitas Konsumsi Energi per Kapita terhadap Pendapatan per Kapita Jangka Panjang............................................................... 85
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1. Dinamika Konsumsi Energi Primer Dunia, 1980-2007 .................... 5 Gambar 1.2. Proyeksi Konsumsi Energi Dunia, 2005-2030.................................. 5 Gambar 1.3. Perkembangan Total Konsumsi Energi Final Asia Pasifik, 1980-2006 ....................................................................................... 6 Gambar 1.4. Pergerakan Harga Minyak Dunia, Januari 1997-Juni 2008............... 8 Gambar 2.1. Kurva Hubbert: Kapasitas Produksi Energi Fosil ........................... 17 Gambar 2.2. Environmental Kuznets Curve: Hubungan antara Pembangunan Ekonomi dengan Degradasi Lingkungan................. 23 Gambar 2.3. Environmental Kuznets Curve : Hubungan antara Intensitas Energi dan Pendapatan Per Kapita ................................................. 26 Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian .................................................... 36 Gambar 4.1. Hubungan antara Konsumsi Energi Per Kapita (TOE Per 10.000 Jiwa) dengan PDB per Kapita ($PPP 2000=100)................ 69 Gambar 4.2. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan PDB ($PPP 2000=100)..................................................................................... 71 Gambar 4.3. Hubungan Antara Konsumsi Energi dan Harga Energi, 1980-2005 ..................................................................................... 76 Gambar 4.4. Dinamika Intensitas energi dan Pendapatan per Kapita .................. 78
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lampiran 2.
Scripts Input dan Hasil Output untuk Model Data Panel Statis dan Dinamis Program STATA v.10 ................................. 103 Hasil Output untuk Uji Kausalitas Granger antara PDB per Kapita dan Konsumsi Energi per Kapita Program Eviews v5.1........................................................................................... 113
xviii
DAFTAR SINGKATAN
AB-GMM
= Arellano-Bond Generalized Method of Moments
ADB
= Asian Development Bank
APEC
= Asia Pacific Economic Cooperation
ECM
= Error Correction Model
EKC
= Environmental Kuznet’s Curve
EIA
= Energy Information Administration
FEM
= Fixed Effects Model
GLS
= Generalized Least Square
GRK
= Gas Rumah Kaca
IEEJ
= The Institute of Electrical Engineers of Japan
IPCC
= Intergovernmental Panel on Climate Change
OECD
= Organisation for Economic Cooperation and Development
OPEC
= Organization of the Petroleum Exporting Countries
PDB
= Produk Domestik Bruto
PPP
= Purchasing Power Parity
PWT
= Penn World Table
TFC
= Total Final Consumption
REM
= Random Effects Model
TOE
= Tonne of Oil Equivalent
xix
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Energi memainkan peranan penting dan strategis dalam menggerakan roda
perekonomian setiap negara di dunia. Menurut Chontanawat, Hunt, dan Pierse (2006), peranan energi terhadap perekonomian dapat dilihat dari dua sisi, yakni sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, energi merupakan salah satu produk yang langsung dikonsumsi oleh konsumen demi memaksimumkan utilitasnya. Sedangkan dari sisi penawaran, energi merupakan faktor kunci bagi proses produksi di samping modal, tenaga kerja, dan material lainnya. Di sini energi merupakan input penting bagi bergeraknya roda perekonomian suatu negara. Dari aktivitas perekonomian ini, kemudian akan dihasilkan output (barang dan jasa) yang merupakan parameter penting dalam mengukur kinerja perekonomian suatu negara melalui pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya ketersediaan dan konsumsi energi merupakan determinan kunci dan krusial dalam proses pertumbuhan ekonomi. Energi tidak hanya memainkan peranan sentral sebagai penggerak roda perekonomian serta sebagai pemicu proses pertumbuhan ekonomi, namun fluktuasi harganya juga memberikan pengaruh yang sangat vital pada hampir setiap aktivitas perekonomian di setiap negara. Fakta menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak bumi yang merupakan salah satu sumber energi utama di dunia, berdampak langsung terhadap harga energi domestik sehingga turut mempengaruhi kinerja perekonomian suatu negara. Hal ini dikarenakan minyak bumi telah menjadi sumber energi teratas dari sisi penggunaan untuk menopang proses produksi dibandingkan sumber energi lainnya, sehingga fluktuasi harganya sangat sensitif terhadap kondisi perekonomian dan pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Sulit bagi negara manapun yang bergantung pada minyak bumi dan secara serta merta menurunkan komsumsinya akibat kenaikan harganya. Chima dan Hills (2007) mengemukakan bahwa pola konsumsi energi suatu negara dipengaruhi secara signifikan oleh harga energi. Kapasitas energi yang digunakan suatu negara berkaitan erat dengan pertumbuhan populasi dan
1
perluasan daerah perkotaan. Penggunaan energi merupakan kunci bagi proses industrialisasi, pembangunan industri serta berbagai infrastruktur di dalamnya. Pembangunan jalan raya dan jaringan transportasi merupakan beberapa contoh infrastruktur yang memerlukan energi paling intensif. Dengan kata lain, energi merupakan input sentral bagi pembangunan ekonomi serta menjadi salah satu variabel kunci dalam fungsi pertumbuhan ekonomi. Saat ini permasalahan energi bagi kelangsungan hidup manusia serta pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) telah menjadi isu penting dan strategis. Salah satu prasyarat penting bagi suatu negara untuk menjalani pembangunan yang berkelanjutan adalah mampu memenuhi kebutuhan energinya secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Namun dengan semakin terbatasnya cadangan sumber energi konvensional berbasis fosil yang saat ini masih dominan digunakan hampir setiap negara di dunia, sementara tendensi konsumsi energi dunia terus meningkat, membuat negara-negara di dunia menjadikan permasalahan energi sebagai permasalahan mendasar yang perlu ditangani secara serius. Meskipun keberadaan sumber energi konvensional semakin menipis, kebijakan mengurangi konsumsi energi belum tentu merupakan kebijakan yang tepat. Hal ini dikarenakan konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki keterkaitan. Menurut Yuliarto (2006) penghematan energi berbeda dengan mengurangi konsumsi energi karena pada penghematan energi, output yang dihasilkan relatif sama. Artinya, ketika penghematan energi dilakukan, jumlah energi yang digunakan lebih efisien dibandingkan sebelum penghematan energi dilakukan. Sedangkan pembatasan energi adalah memangkas konsumsi energi yang dapat berakibat pada menurunnya output yang selama ini dihasilkan. Ferguson, Wilkinson, dan Hill (2000) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara konsumsi energi (terutama yang dikonversi dalam bentuk listrik) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap negara, yang berimplikasi pada perlunya kecermatan dalam menerapkan kebijakan energi agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Di sisi lain, pemanfaatan energi untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan telah menimbulkan suatu paradoks. Pertumbuhan populasi, pertumbuhan ekonomi, serta berbagai bentuk pembangunan ekonomi yang masif
2
dan menyedot bahan bakar—terutama bahan bakar fosil—telah berdampak pada kualitas lingkungan dan kehidupan manusia. Beberapa permasalahan yang muncul terkait semakin tingginya penggunaan energi konvensional berbasis fosil antara lain: (i) meningkatnya berbagai jenis polusi dan hujan asam sehingga menurunkan kualitas lingkungan hidup, lebih jauh lagi menyebabkan terjadinya perubahan iklim global (climate change); dan (ii) bahan bakar fosil—yang umumnya dominan digunakan pada hampir setiap negara di dunia—merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable), hal ini dapat menimbulkan kendala dari sisi suplai di kemudian hari. Setiap negara memerlukan input energi untuk menghasilkan barang dan jasa. Barang dan jasa inilah yang kemudian diperhitungkan sebagai output yang merupakan parameter penting dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara. Hubungan antara kebutuhan energi dan output biasanya direpresentasikan melalui intensitas energi. Nilai ini menyatakan besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan untuk memperoleh satu satuan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsep intensitas energi (rasio konsumsi energi per PDB), dan elastisitas energi (rasio persentase perubahan konsumsi energi terhadap per persentase perubahan PDB) sering digunakan untuk memproyeksi kebutuhan energi, mengkomparasi efisiensi penggunaan energi antar negara, serta menilai dampak penggunaan energi terhadap perekonomian suatu negara (Galli 1998). Untuk itu, intensitas energi dapat dijadikan landasan untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan negara dalam mengelola penggunaan energinya secara efektif untuk setiap satu satuan PDB yang dihasilkan. Sebelum berkembangnya studi mengenai intensitas energi, studi yang berkaitan dengan dinamika konsumsi energi pada suatu negara masih mengacu pada tingkat konsumsi energi per kapita. Ukuran tersebut sering digunakan sebagai indeks pembangunan wilayah (Ramachandra, Loerincik, dan Shruthi 2006). Dalam studi tersebut ditemui bahwa konsumsi energi per kapita negaranegara berkembang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara maju. Akan tetapi, pendekatan dalam studi tersebut belum mampu mengungkapkan gambaran pembangunan dan efisiensi penggunaan energi yang terjadi. Dengan kata lain,
3
konsumsi energi per kapita bukanlah tolak ukur untuk mengetahui apakah suatu negara efisien dalam menggunakan energi atau tidak. Banyak ekonom sepakat bahwa elastisitas dan intensitas energi merupakan dua parameter yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan energi suatu negara (Ramachandra et al. 2006, Chima et al. 2007, Metcalf 2008). Elastisitas energi merupakan pertumbuhan (perubahan persentase) konsumsi energi yang diperlukan untuk mencapai satu persen pertumbuhan ekonomi (PDB). Sedangkan intensitas energi adalah jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan PDB serta merupakan kebalikan dari efisiensi energi. Efisiensi energi sendiri merupakan rasio output (PDB) terhadap konsumsi energi. Intensitas energi dapat dijadikan sebagai salah satu indikator degradasi lingkungan. Hal ini dikarenakan intensitas energi merupakan suatu ukuran yang dapat menunjukkan seberapa intensif suatu negara mengkonsumsi energi untuk menghasilkan produk barang dan jasa. Sebagaimana diketahui konsumsi energi hampir setiap negara di dunia didominasi oleh sumber energi berbasis fosil. Di sisi lain, sumber energi berbasis fosil merupakan penyebab utama polusi dan perubahan iklim (Racmachandra et al. 2005). Sehingga semakin tinggi intensitas energi atau semakin intensif suatu negara menggunakan energi maka pada gilirannya dapat berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup. Oleh karena itu, intensitas energi selain dapat digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan energi, juga dapat dijadikan tolak ukur kualitas lingkungan pada suatu negara.
1.2.
Permasalahan Energi memiliki peranan strategis dalam menopang perekonomian suatu
negara. Lebih jauh lagi, energi mempunyai peranan vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan yang berkelanjutan. Krusialnya peranan energi ini membuat negara-negara di dunia menjadikan energi sebagai salah satu prioritas utama pembangunan di samping pangan. Sejalan dengan meningkatnya populasi penduduk, kemajuan teknologi, meningkatnya proses industrialisasi, dan terus berlangsungnya proses pembangunan telah mendorong konsumsi energi dunia. Menurut British Petroleum (BP) Statistical Review of World of Energi 2008 (lihat Gambar 1.1), selama periode 1980-1990 telah terjadi peningkatan konsumsi energi primer dunia
4
sebesar 22,18 persen dengan rata-rata peningkatan 2,04 persen per tahun. Sedangkan selama periode 1990-2000 konsumsi energi primer dunia meningkat sebesar 14,44 persen dengan rata-rata peningkatan 1,36 persen per tahun. Dan selama periode 2000-2007 konsumsi energi primer dunia meningkat lagi sebesar 19,43 persen dengan rata-rata peningkatan 2,58 persen per tahun.
-1 2006
5000 2004
0 2002
1
6000 2000
7000
1998
2
1996
8000
1994
3
1992
9000
1990
4
1988
10000
1986
5
1984
11000
1982
6
1980
12000
Konsumsi (juta toe) Pertumbuhan Konsumsi (%)--Sb. Kanan
Gambar 1.1. Dinamika Konsumsi Energi Primer Dunia, 1980-2007 Sumber: BP 20000
Juta TOE
16000
Non-OECD OECD
12000 8000 4000 0 2005
2010
2015
2020
2025
2030
Gambar 1.2. Proyeksi Konsumsi Energi Dunia, 2005-2030 Sumber: EIA Kecenderungan konsumsi energi dunia pada tahun-tahun mendatang diperkirakan akan terus meningkat. Energy Information Administration (EIA) memproyeksikan selama periode 2005-2010 konsumsi energi dunia akan meningkat sekitar 10,83 persen dan selama periode 2010-2015 konsumsi energi dunia akan meningkat lagi sekitar 9,85 persen. Menurut data BP dan EIA, rata-
5
rata pangsa konsumsi energi primer negara-negara di kawasan Asia Pasifik (anggota Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)) terhadap total konsumsi energi dunia tercatat lebih dari 60 persen selama periode 1980-2005. EIA memproyeksikan konsumsi energi dunia pada tahun-tahun mendatang akan terus meningkat (lihat Gambar 1.2), peningkatan ini utamanya disebabkan oleh konsumsi negara-negara non Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang didominasi oleh emerging countries di kawasan Asia Pasifik. Batubara dan Produk Batubara
2500
(Juta TOE)
2000
Minyak Mentah dan Produk Petroleum Gas
1500 1000 500
Listrik
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
0
Lainnya
Gambar 1.3. Perkembangan Total Konsumsi Energi Final Asia Pasifik, 1980-2006 Sumber: IEEJ Negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang menjadi subjek kajian, terus mengalami perkembangan cukup pesat dalam beberapa kurun waktu terakhir. Banyak industri baru tumbuh dan berkembang yang tidak hanya memberikan imbas bagi perekonomian negara itu sendiri namun juga perekonomian regional bahkan perekonomian dunia. Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri di negara-negara tersebut menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya permintaan energi di kawasan Asia Pasifik yang pada gilirannya berdampak pada dinamika konsumsi energi dunia. Gambar 1.3 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan konsumsi energi final di kawasan Asia Pasifik selama periode 19802006. Peningkatan tersebut utamanya disebabkan oleh semakin tingginya konsumsi energi final yang berasal dari minyak mentah dan produk petroleum. Gambar 1.3 juga memperlihatkan bahwa total energi final masih didominasi oleh minyak mentah dan produk petroleum. Selain terdapat emerging countries yang memperlihatkan perilaku konsumsi energi yang semakin meningkat, di kawasan Asia pasifik juga terdapat beberapa negara yang termasuk pengkonsumsi energi 6
terbesar di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang. Dalam hal ini, perilaku konsumsi energi atau intensitas energi beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya di antara negara-negara dengan performansi ekonomi yang berbeda tersebut menjadi menarik untuk di analisis. Tren konsumsi energi dunia yang cenderung meningkat mengindikasikan bahwa energi merupakan komoditas penting dan strategis bagi setiap negara di masa mendatang. Tren peningkatan konsumsi energi merupakan suatu keniscayaan sebagai konsekuensi dari bertambahnya populasi penduduk, kemajuan teknologi, serta aktivitas pembangunan yang terus berlanjut dan semakin masif serta menyedot banyak energi. Di sisi lain, tren peningkatan konsumsi energi dunia ternyata juga diikuti oleh fenomena penurunan cadangan sumber energi berbasis fosil. Semakin terbatasnya sumber energi konvensional tersebut lebih dikarenakan sifatnya yang tak dapat diperbaharui (non-renewable). Bila kondisi ini tidak diantisipasi sedari dini, maka pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan suplai energi untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan di masa mendatang. Selain menimbulkan permasalahan dari sisi suplai mengingat cadangannya yang semakin terbatas, penggunaan energi konvensional berbasis fosil juga mempunyai implikasi penting bagi kelestarian lingkungan hidup. Polusi dan perubahan iklim global merupakan beberapa contoh dari dampak negatif penggunaan konsumsi energi berbasis fosil secara masif di dunia. Sebagai gambaran, sektor energi memegang peranan dominan dalam masalah pemanasan global, karena 56,6 persen emisi karbondioksida (CO2) dunia dihasilkan dari sektor energi (IPCC, 2007). Telah umum diketahui bahwa CO2 merupakan Gas Rumah Kaca (GRK). utama yang memerangkap panas di lapisan atmosfer bagian bawah
(troposfer)
dan
selanjutnya
menghangatkan
permukaan
bumi.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya (assessment report) yang ke-4 melaporkan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer telah mencapai 379 ppm; melebihi rentang normal antara 180-300 ppm yang bertahan selama 650.000 tahun terakhir. Akibatnya, dari hasil pencatatan diketahui bahwa rata-rata temperatur bumi telah mengalami peningkatan sebesar 0,79oC dibandingkan dengan masa sebelum revolusi industri. Pemanasan global
7
telah terjadi dan kait-mengkait dengan perubahan perilaku cuaca dan iklim bumi. Pencairan es di wilayah Kutub Utara dan sekitarnya (termasuk Greenland) menjadi bukti telah terjadinya pemanasan global (Indartono 2008). Bila hal ini tidak dicermati sedari dini, maka permasalahan ini dapat menjalar ke skala yang lebih luas dan mengancam kelestarian lingkungan dan tentunya mengancam kehidupan generasi di masa mendatang. Di sisi lain, meningkatnya permintaan energi dunia ini ternyata juga diiringi oleh peningkatan harga minyak bumi yang merupakan salah satu sumber energi utama di dunia. EIA mencatat bahwa mulai awal tahun 1999 harga minyak dunia konsisten mengalami peningkatan. Walaupun sempat menurun pada akhir tahun 2006, namun pada awal 2007 harga minyak dunia kembali menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan (lihat Gambar 1.4). Situasi ini menyebabkan banyak negara mencoba mencari sumber energi alternatif serta mengarahkan konsumsi energinya pada sumber energi yang mereka miliki cadangannya dan dapat mereka hasilkan sendiri. Seperti China yang lebih memilih jenis sumber energi dari batubara dan Rusia yang lebih memilih gas alam sebagai sumber energi utamanya. Namun tetap saja masih ada kekurangan sehingga harus dipenuhi melalui impor. Oleh karena itu di masa mendatang ketergantungan energi antar negara diperkirakan akan terus meningkat. 140 120 US$ per Barrel
100 80 60 40 20 03/01/199 7 03/01/199 8 03/01/199 9 03/01/200 0 03/01/200 1 03/01/200 2 03/01/200 3 03/01/200 4 03/01/200 5 03/01/200 6 03/01/200 7 03/01/200 8
0
Gambar 1.4. Pergerakan Harga Minyak Dunia, Januari 1997-Juni 2008 Sumber: EIA Banyak ekonom memandang dinamika permintaan minyak mentah oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik sebagai masalah krusial bagi dinamika
8
perkembangan harga minyak dunia (Gately & Streifel 1996). Peningkatan konsentrasi permintaan minyak di negara-negara non-OECD dapat mengubah aliran perdagangan minyak internasional dan menyedot lebih banyak permintaan minyak yang berasal dari Timur Tengah (OPEC). Dalam hal ini, pangsa pasar minyak dunia OPEC, persediaan minyak negara-negara non-OECD, dan kebijakan penetapan harga dari negara-negara utama pengekspor minyak akan menjadi determinan bagi dinamika harga minyak dunia (Gately & Streifel 1996). Oleh karena itu, proyeksi pasar energi global dalam jangka pendek dan jangka panjang menjadi penting dan krusial untuk merencanakan pemenuhan kebutuhan energi di masa mendatang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis tren pergerakan intensitas energi untuk mengetahui dinamika konsumsi energi beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan per kapita dan harga energi. Sebagaimana diuraikan pada bahasan terdahulu bahwa energi memiliki keterkaitan erat dengan perekonomian (PDB) suatu negara. Salah satu metode yang sering digunakan untuk menganalisis hubungan antara intensitas energi dan PDB adalah intensitas energi yang menyatakan jumlah energi yang digunakan untuk menghasilkan satu satuan PDB. Intensitas energi di lintas negara tidak bergerak konstan sepanjang waktu. Malenbaum (1978) mengemukakan hipotesis mengenai intensity of use yang menyatakan bahwa pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan konsumsi energi dan material. Pada fase awal pembangunan ekonomi, negara-negara akan cenderung menggunakan konsumsi energi dan materialnya pada tingkat yang lebih besar atau setara dengan tingkat pertumbuhan output, hingga mencapai suatu nilai kritis (turning point) tertentu. Dalam hal ini, intensitas energi akan meningkat seiring meningkatnya pendapatan. Namun, setelah melampaui nilai kritis tersebut, peningkatan konsumsi energi dan material tidak lagi lebih besar atau setara dengan peningkatan output. Di sini, intensitas energi akan menurun seiring meningkatnya pendapatan. Fenomena ini dapat digambarkan melalui kurva U terbalik (inverted-U shaped) atau dikenal sebagai Environmental Kuznets Curve (EKC). Berdasarkan hipotesis EKC, negara-negara maju seharusnya mengalami dematerialisasi, yang berarti
negara-negara tersebut telah mampu mereduksi
9
penggunaan energi dan materialnya per unit output dalam suatu fase pembangunan ekonomi. Hal ini dikarenakan pendapatan negara-negara tersebut telah melampaui nilai kritis intensitas energi pada EKC. Sebaliknya, negaranegara berkembang dan terbelakang mengalami materialisasi, yang berarti masih berada pada suatu fase pembangunan ekonomi di mana penggunaan material dan energi per unit output masih relatif tinggi. Hipotesis EKC di atas mengindikasikan adanya perbedaan prilaku tren pergerakan intensitas energi antara negara-negara maju dan berkembang. Kondisi ini dikarenakan adanya perbedaan fase pembangunan yang terjadi di dua kelompok negara tersebut. Untuk mengetahui adanya perbedaan prilaku tersebut diperlukan subjek kajian yang melibatkan dua kelompok negara tersebut. Dalam hal ini pemilihan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dengan performansi ekonomi yang berbeda sebagai subjek kajian menjadi relevan. Beberapa studi mengenai fenomena penurunan intensitas energi sudah mulai dibahas sejak awal tahun 1980-an, bahasan tersebut umumnya berkutat di seputar dekomposisi perubahan intensitas energi agregat ke dalam komponen intensitas sektoral dan struktural.1 Model dekomposisi ini pada dasarnya merupakan aplikasi dari angka indeks yang mana sedikit sekali konsep ekonometrika digunakan. Selain itu, umumnya model permintaan energi tersebut mengabaikan fakta mengenai adanya tren perubahan intensitas energi. Modelmodel tersebut umumnya juga mengasumsikan hubungan yang monoton antara konsumsi energi dan tingkat aktivitas perekonomian seperti halnya elastisitas permintaan energi konstan terhadap pendapatan.2 Sementara itu, beberapa studi menemukan adanya instabilitas dalam estimasi elastisitas tersebut (Kouris 1976, Prosser 1985, Schleicher 1995). Instabilitas ini direpresentasikan sebagai pengaruh dari variabel yang dihilangkan seperti perubahan efisiensi kapital, industrial mix, serta rejim harga energi. Kurva U terbalik (inverted-U shaped) atau EKC memiliki implikasi penting dalam menjelaskan dinamika permintaan energi dunia. Meski demikian, model
1 Dekomposisi yang sering digunakan adalah dekomposisi intensitas energi agregat dengan Divisia index, diturunkan oleh Boyd et al. (1987). Pengembangan dan beberapa alternatif lain dari Divisia index dapat ditemukan antara lain dalam Ang dan Choi (1997), Farla et al. (1998) dan Sun (1998). 2 Lihat inter alia, Nachane et al. (1998)
10
elastisitas konstan masih sering digunakan untuk mengestimasi konsumsi energi (Galli 1998). Banyak pemerintahan dan organisasi-organisasi internasional menggunakan model elastisitas konstan—beberapa di antaranya ada yang disesuaikan
dengan
kemungkinan
perubahan
lingkungan
eksternal—untuk
merencanakan permintaan energi. Akan tetapi, dalam perjalanannya, model estimasi permintaan atau konsumsi energi banyak mengalami perkembangan. Salah satunya adalah dengan menyertakan perubahan tren instensitas energi secara langsung ke dalam model aslinya dengan menggunakan fungsi pendapatan non-linier (kuadratik). Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini antara lain: 1.
Bagaimanakah dinamika intensitas energi dan konsumsi energi dalam hubungannya dengan tingkat pendapatan per kapita dan harga energi di negara-negara Asia Pasifik yang dikaji?
2.
Apakah pola hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita di negara-negara Asia Pasifik yang dikaji sesuai dengan hipotesis EKC?
3.
Apakah pendapatan per kapita dan harga energi mempengaruhi konsumsi energi per kapita dalam jangka pendek dan jangka panjang? Jika ya, bagaimanakah respon dari konsumsi energi per kapita tersebut terhadap perubahan pendapatan per kapita dan harga energi dalam jangka pendek dan jangka panjang?
4.
Bagaimanakah arah kebijakan untuk menjamin kelangsungan energi di masa mendatang?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
intensitas energi dan pendapatan per kapita di sepuluh negara Asia Pasifik dengan performansi ekonomi yang berbeda. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis dinamika intensitas energi dan konsumsi energi dalam hubungannya dengan tingkat pendapatan per kapita dan harga energi di negara-negara yang dikaji. 2. Mengetahui apakah pola hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita di negara-negara yang dikaji sesuai dengan hipotesis EKC.
11
3. Mengetahui respon konsumsi energi per kapita terhadap perubahan pendapatan per kapita dan harga energi dalam jangka pendek dan jangka panjang di negara-negara yang dikaji yang tercermin melalui elastisitas elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita dan harga energi. 4. Merumuskan implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis tiga poin tujuan di atas. Fenomena pergerakan intensitas energi yang tercermin dalam Kurva U terbalik (inverted-U shaped) atau EKC menjadi penting dan menarik untuk dianalisis. Oleh karenanya manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Intensitas energi dapat dijadikan landasan untuk menunjukkan seberapa besar kemampuan negara dalam mengelola penggunaan energinya secara efektif untuk setiap satu satuan PDB yang dihasilkan. 2. Intensitas energi dapat digunakan untuk memproyeksi kebutuhan energi, mengkomparasi kebutuhan energi antar negara, serta menilai dampak penggunaan energi terhadap perekonomian suatu negara. 3. Proyeksi kebutuhan energi melalui identifikasi pergerakan intensitas energi dapat dijadikan landasan bagi setiap negara, khususnya negaranegara yang dikaji dalam penelitian melalui para pemangku kebijakan untuk mempersiapkan perencanaan energi sedari dini dalam rangka memenuhi kebutuhan energi secara berkelanjutan di masa mendatang. 4. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi pembanding dan stimulan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki tiga ruang lingkup. Pertama, penelitian ini
mencoba memberikan gambaran mengenai dinamika intensitas energi, konsumsi energi, tingkat pendapatan (PDB), harga energi, serta keterkaitan di antara variabel-variabel tersebut selama periode 1980-2005 secara deskriptif-analitis. Kedua, membangun model ekonometrika berbasis data panel statis dan dinamis yang memiliki kemampuan untuk: (i) menguji hubungan kuadratik antara intensitas energi dan pendapatan per kapita sebagaimana tercermin dalam EKC;
12
(ii) menguji apakah pendapatan per kapita dan harga energi secara signifikan mempengaruhi konsumsi energi per kapita dan intensitas energi (iii) mengetahui respon dari konsumsi energi per kapita terhadap perubahan pendapatan per kapita dan harga energi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketiga, melakukan telaah dan analisis terhadap hasil estimasi dari model ekonometrika yang dibangun serta memberikan beberapa kesimpulan dan implikasi kebijakan. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah regional Asia Pasifik dengan unit analisis terdiri dari 10 negara yang mana sebagian negara merupakan negara maju (dengan rata-rata tingkat pendapatan per kapita di atas US$ 10.000) dan sebagian lagi merupakan emerging countries (dengan rata-rata tingkat pendapatan per kapita di bawah US$ 10.000) yang dipilih secara purposive, yakni Filipina, Hongkong (China), Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malasia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Amerika Serikat. Penjelasan mengenai keterpilihan negara tersebut akan dijelaskan selanjutnya pada bagian metodologi penelitian. Analisis kuantitatif menggunakan data time series periode 1980-2005 dengan cross section 10 negara. Dalam konteks analisis kuantitatif yang dilakukan, yakni menggunakan model data panel statis dan dinamis. Metode yang akan digunakan untuk mengestimasi model data panel statis adalah model pooled least square (Pooled LS), fixed effects model (FEM), dan random effects model (REM). Sedangkan metode yang digunakan untuk mengestimasi model data panel dinamis adalah metode first-differences generalized method of moments (FD-GMM) yang diturunkan oleh Arellano-Bond atau sering disingkat AB-GMM. Sementara itu, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, data konsumsi energi yang digunakan adalah data konsumsi energi final agregat. Jadi dalam hal ini, total konsumsi energi final tidak didisagregasi menjadi konsumsi energi rumah tangga, industri, transportasi atau sektor lainnya. Penyederhanaan ini selain dikarenakan keterbatasan data juga dikarenakan adanya perbedaan yang sistemik antara jenis bahan bakar yang digunakan pada setiap sektor tersebut. Kedua, harga energi yang digunakan adalah harga bahan bakar minyak utama (premium dan solar). Penggunaan harga bahan bakar minyak utama
13
ini diharapkan dapat menggambarkan harga energi secara agregat mengingat bahan bakar utama tersebut merupakan sumber energi yang paling dominan digunakan disepuluh negara Asia Pasifik yang dikaji dibandingkan sumbersumber energi lainnya. Dengan kata lain harga bahan bakar utama hanyalah suatu proxy bagi harga energi agregat. Ketiga, menyangkut hubungan antara material dan energi. Dalam beberapa kasus, energi dan material dapat saling bersubstitusi, sehingga pengurangan intensitas energi tidak selalu berimplikasi pada pengurangan material. Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada perilaku intensitas energi, dan tidak memperhitungkan keberadaan sumberdaya (material) lain dan keterkaitan di antaranya.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Ekonomi Energi Sejak dahulu kala, energi memainkan peranan penting bagi kehidupan
manusia. Sebelum munculnya sumber energi konvensional berbasis fosil yang populer digunakan saat ini, banyak aktivitas manusia ditopang oleh sumber energi ‘primitif’, seperti hewan untuk membajak sawah, pemakaian tenaga budak untuk mengayuh kapal, kayu bakar untuk berbagai kebutuhan rumah tangga, serta tenaga angin untuk membantu kapal berlayar. Namun seiring berjalannya waktu, sumber-sumber energi ‘primitif’ tersebut lambat laun mulai tergantikan oleh sumber energi konvensional berbasis fosil, seperti batubara dan minyak bumi. Hal ini selain dikarenakan lebih efisien dan mudah di dapat, ketersediaan sumber energi konvensional tersebut juga cukup melimpah. Sejak Revolusi Industri tahun 1980-an, penggunaan energi batubara semakin intensif sejalan dengan berkembangnya mesin tenaga uap. Namun pada tahun 1860-an penggunaan minyak bumi mulai menyaingi batubara karena harganya yang relatif murah dan ketersediannya yang cukup melimpah. Penggunaan minyak bumi semakin meningkat lagi setelah berkembangnya motor bakar (internal combustine engine). Pada tahun 1930-an gas bumi perlahan-lahan memasuki pasar setelah berkembangnya teknologi transportasi jarak jauh dengan biaya murah. Gas bumi mampu bersaing dengan minyak bumi karena sumber energi ini relatif lebih bersih dan relatif murah bila dibandingkan dengan minyak bumi. Secara umum penggunaan energi tersebut, terutama yang berbasis fosil seperti minyak bumi dan batubara hingga kini masih populer dan dominan digunakan sebagai sumber energi pada hampir setiap negara di dunia. Sejak awal abad ke-18 muncul perdebatan seputar kelangkaan sumberdaya alam. Ekonom aliran klasik Thomas Robert Malthus (1766-1834) menyatakan bahwa tanah merupakan barang yang langka. Di sini Malthus mengemukakan bahwa the law of marginal returns pengolahan tanah akan menurun seiring
15
meningkatnya jumlah penduduk3. Pemikiran ini kemudian terus dikembangkan oleh aliran Neo-Malthusian yang dipelopori oleh tokoh-tokohnya seperti Barry Commoner dan Dennis Meadow. Aliran ini mengkhawatirkan terjadinya kelangkaan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup karena proses industrialisasi yang pesat, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan sulitnya mendapatkan bahan pangan. Pemikiran Malthusian dan Neo-Malthusian dalam ekonomi sumberdaya alam kemudian banyak disebut sebagai aliran pesimis. Kelangkaan sumberdaya alam yang menjadi perhatian kaum pesimis mendapat sanggahan keras dari Solow dan Stiglitz, keduanya merupakan kelompok aliran optimis yang berpendapat bahwa sebenarnya kelangkaan sumberdaya alam tidak akan terjadi4.
Hal ini dikarenakan adanya intervensi
teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pandangan kaum optimis ini lebih dominan dewasa ini karena dianggap lebih terbukti secara empiris. Sebagai contoh, dengan teknik yang lazim disebut enhanced oil recovery, persentase pengurasan dapat ditingkatkan dari 15-20 persen menjadi 40-50 persen isi awal minyak ditempat (Yusgiantoro 2000). Kendati demikian, penerapan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam sering terkendala oleh biaya yang mahal dan tak jarang dikompensasi oleh harga minyak yang tinggi. Alasan inilah yang menyebabkan perdebatan antara kaum pesimis dan kaum optimis terus berlanjut dan belum menuju titik temu yang pasti. Kendati perkembangan teknologi semakin maju dan menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih efisien, namun ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang bersifat non renewable seperti energi fosil akan cenderung menurun. Sebuah teori yang dikemukan oleh Hubbert (1965) menyatakan bahwa kapasitas produksi energi fosil di suatu wilayah manapun di dunia akan cenderung menyerupai kurva berbentuk bel, atau dikenal sebagai Kurva Hubbert5. Di sini, Hubbert mengasumsikan bahwa setelah cadangan energi fosil (minyak bumi, batubara, gas alam) ditemui, produksi energi tersebut pada mulanya akan meningkat secara eksponensial seiring berjalannya waktu hingga mencapai suatu titik puncak kemudian menurun kembali secara eksponensial (lihat Gambar 2.1). 3
Lihat Martin C. Spechler (1990) dalam Yusgiantoro (2000) Lihat Solow dan Stiglitz (1986) dalam Yusgiantoro (2000) 5 Lihat Almulla (2007) 4
16
Gambar 2.1. Kurva Hubbert: Kapasitas Produksi Energi Fosil Sumber: Almulla (2007) Untuk menghasilkan output tertentu, pemanfaatan sumberdaya alam harus melibatkan faktor produksi lainnya seperti tenaga kerja dan modal. Sumberdaya alam merupakan faktor produksi yang khas. Sumberdaya alam menyerupai modal karena harus dieksplorasi terlebih dahulu sebagai bahan mentah sebelum dikonsumsi secara langsung atau digunakan dalam proses produksi bersama faktor produksi lainnya. Sumberdaya alam yang mempunyai karakteristik seperti modal perlu dibahas dalam konteks ilmu ekonomi. Inti bahasan terletak pada masalah alokasi sumberdaya alam yang langka terhadap berbagai alternatif penggunaan untuk mencapai kondisi Pareto Optimal. Pembahasan tentang sumberdaya alam dalam konteks ekonomi, atau yang dapat disebut sebagai ekonomi sumberdaya alam meliputi: ekonomi mikro (permintaan dan penawaran, harga, dan pasar), ekonomi makro (moneter, fiskal, dan perdagangan internasional), ditambah dengan ekonomi kuantitatif sebagai perangkat analisa data. Ekonomi energi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ekonomi sumberdaya alam. Secara umum ekonomi energi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana individu atau kelompok individu dalam masyarakat
memilih,
memutuskan,
memanfaatkan
atau
mengalokasikan
sumberdaya yang langka secara efisien dan efektif sesuai dengan berbagai alternatif pemakaian dalam proses produksi komoditas dan distribusi untuk konsumsi masa sekarang dan atau masa mendatang (Yusgiantoro 2000). Sweeney (TT) mengartikan ekonomi energi sebagai bidang ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan sumberdaya energi dan komoditas energi beserta konsekuensi dari pemanfaatannya tersebut. Dalam terminologi ilmu fisik,
17
energi diartikan sebagai kapasitas untuk melakukan pekerjaan, seperti mengangkat beban, bergerak, dan memanaskan material.
Sedangkan dalam
terminologi ekonomi, energi meliputi seluruh komoditas energi dan sumberdaya energi, komoditas atau sumberdaya yang di dalamnya mencakup sejumlah energi fisik untuk kemudian digunakan dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Komoditas energi seperti bensin, solar, gas alam, batubara, atau listrik dapat digunakan secara langsung untuk menyuplai energi bagi berbagai aktivitas kehidupan. Sementara itu sumberdaya energi, seperti minyak bumi, gas alam, batubara, biomasa, air, uranium, angin, cahaya matahari, atau panas bumi, dapat digunakan—melalui proses produksi—untuk menghasilkan komoditas energi. Sweeney (TT) juga mengartikan energi ekonomi sebagai bidang ilmu yang mempelajari prilaku agen-agen ekonomi (perusahaan, individu, dan pemerintah) berkaitan dengan berbagai aktivitas ekonomi, seperti: menawarkan (menjual) sumber energi, mengkonversi sumber energi ke dalam bentuk-bentuk energi final yang berguna, kemudian mengirimnya ke konsumen untuk dimanfaatkan, serta mengelola sisa pemakaiannya. Di samping itu, ekonomi energi juga merupakan bidang ilmu yang mempelajari peranan pasar alternatif dan struktur yang berkaitan dengan pengaturan aktivitas tersebut, dampak dari distribusi ekonomi, serta konsekuensinya terhadap lingkungan. Ekonomi energi juga mempelajari alokasi yang efisien dan ekonomis dari persediaan dan penggunaan komoditas energi dan sumberdaya serta faktor-faktor yang menyebakan alokasi menjadi tidak efisien dan ekonomis. Ekonomi energi tidak dapat dipisahkan dari masalah lingkungan. Pembahasan ini muncul karena kegiatan eksplorasi sumber energi biasanya membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Polusi lingkungan mulai terjadi dan menjadi perhatian utama banyak negara di dunia karena membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Ekonomi mikro mengenal istilah eksternalitas, yaitu suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh agen ekonomi (perusahaan atau individu) yang dapat membawa dampak pada kehidupan atau kegiatan ekonomi agen lainnya. Akan tetapi eksternalitas tidak selalu negatif, eksternalitas juga dapat berarti positif. Determinasi positif atau negatif ditentukan berdasarkan tingkat kepuasan marjinal.
18
Untuk mengatasi eksternalitas, terutama yang bermakna negatif dapat dilakukan kompensasi yang merupakan pengganti dari hilangnya tingkat kepuasan marjinal atau bertambahnya kepuasan marjinal dari suatu kegiatan. Dalam kasus penggunaan energi, eksternalitas negatif, seperti polusi lingkungan harus dikompenasi sehingga menimbulkan biaya eksternal yang kemudian dibebankan pada harga energi sebagai kompensasi untuk mengganti kerusakan lingkungan. Kegiatan eksplorasi dan konsumsi energi umumnya menghasilkan eksternalitas negatif seperti polusi lingkungan. Namun perlu diperhatikan bahwa eksternalitas memiliki karakteristik khusus yang nonappropiable. Artinya, kondisi lingkungan yang tercemar akan mempengaruhi semua orang (publik) tanpa terkecuali. Hal ini dikarenakan oleh sifat lingkungan yang merupakan barang publik. Kondisi ini pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan pasar, yakni tidak bertemunya keseimbangan antara eksternalitas dengan internalisasi (kompensasi). Keseimbangan ini sulit dicapai karena umumnya eksternalitas disebabkan oleh individu atau agen ekonomi tertentu saja (private), sedangkan dampaknya ditanggung oleh publik. Kegagalan pasar ini kemudian menjadi salah satu isu penting dalam kaitannya dengan ekonomi energi.
2.2.
Energi dan Pertumbuhan Ekonomi Energi merupakan faktor produksi yang esensial dalam proses produksi
(Stern, 1997). Semua produksi melibatkan transformasi atau pergerakan material melalui beberapa tahapan yang mana keseluruhan proses tersebut memerlukan energi. Energi tidak hanya dipandang sebagai barang konsumsi semata, namun juga sebagai input yang penting bagi pengembangan serta kemajuan teknologi yang berperan signifikan bagi pembangunan ekonomi. Substitusi sarana produksi serta berbagai bentuk barang modal lainnya dengan tenaga kerja, begitu juga sebaliknya, merupakan bagian yang integral dari proses pembangunan ekonomi yang kesemuanya membutuhkan input energi. Oleh karenanya konsumsi energi dapat dipandang sebagai penyebab ataupun symptom dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan suatu negara untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa dari satu tahun ke tahun lainnya. Konsep pertumbuhan ekonomi diperoleh dari perhitungan produk
19
domestik bruto (PDB) suatu negara. PDB merepresentasikan total nilai pasar (yang diekspresikan dalam mata uang domestik) dari seluruh barang dan jasa akhir yang diproduksi suatu negara selama periode tertentu. PDB yang dihitung setiap tahun berdasarkan harga berlaku disebut sebagai PDB nominal, dan kemudian sering disesuaikan dengan inflasi untuk menghitung perubahan tingkat harga pada priode tertentu untuk menghasilan PDB riil. PDB riil kemudian dibagi dengan populasi untuk menghasilkan PDB per kapita. Selanjutnya PDB per kapita ini dapat digunakan untuk mengkomparasi standar hidup di lintas negara. Interpretasi lain dari pertumbuhan ekonomi adalah kemampuan suatu negara untuk meningkatkan PDB riil per kapita sepanjang waktu. Hubungan antara energi dengan GDP secara sederhana dapat dituliskan dengan persamaan: Y f L, K , E , M , di mana Y adalah output agregat ataupun sektoral, L adalah tenaga kerja, K adalah modal atau kapital, E dan M masingmasing adalah energi dan material non-energi lainnya. Apabila faktor-faktor lain dianggap konstan, E atau energi dapat berperan dalam meningkatkan Y melalui tiga cara, yaitu (a) jumlah E yang digunakan meningkat, (b) terjadi perbaikan teknologi dalam pemanfaatan E, dan (c) terjadi peningkatan kualitas E yang digunakan. Komponen E dalam fungsi produksi di atas dapat saja memiliki hubungan komplementer (saling melengkapi) atau substitusi (saling menggantikan) dengan faktor produksi lain (non-E).
Seberapa besar E akan digunakan tentunya
dipengaruhi oleh kondisi harga faktor produksi tersebut, produktivitas faktor produksi, disamping tentunya dipengaruhi oleh harga Y. Oleh sebab itu pemakaian E dalam suatu perekonomian ditentukan oleh kondisi permintaan dan penawaran E serta berbagai kebijakan pemerintah di bidang moneter, fiskal, ataupun perdagangan. Struktur pasar E umumnya jauh dari kondisi persaingan. Pelaku di sisi produsen umumnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan pelaku di sisi permintaan. Itulah sebabnya, jika E sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar dalam alokasinya, sering tidak didapatkan alokasi yang efisien. Di berbagai negara, dengan derajat yang berbeda-beda, umumnya pemerintah ikut campur tangan di pasar E, baik dalam bentuk langsung (seperti penetapan harga E) dan tak langsung (aturan distribusi E).
20
Sementara itu Stern (2003) menggunakan perspektif fungsi produksi neoklasik untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara penggunaan energi dengan aktivitas ekonomi sepanjang waktu. Secara umum fungsi produksi tersebut direpresentasikan sebagai:
Q1 , , Qm f A, X 1 , X n , E1 , , E p ............................................(2.1) dengan Qi menyatakan berbagai output seperti barang-barang manufaktur atau jasa. Sedangkan X i menyatakan berbagai input seperti modal, tenaga kerja, dan lainnya. Dan Ei menyatakan berbagai jenis input energi, seperti batubara, bahan bakar minyak, gas, dan lainnya, serta A menyatakan state of technology yang didefinisikan sebagai total indikator faktor produktivitas. Dari sini dapat diturunkan relasi antara energi dan output agregat sedemikian sehingga PDB dapat dipengaruhi oleh: (i) substitusi antara energi dengan input lainnya; (ii) perubahan teknologi (perubahan dalam A); (iii) pegeseran komposisi input energi; (iv) pergeseran komposisi output. Selain itu, pergeseran bauran input lainnya—sebagai contoh meningkatnya capital intensive dalam perekonomian dari sebelumnya yang labor intensive—dapat mempengaruhi hubungan antara energi dan output. Keterkaitan antara energi dengan perekonomian suatu negara secara umum juga dapat dilihat dalam beberapa komponen ekonomi makro seperti penerimaan pemerintah, penerimaan ekspor, dan neraca pembayaran. Keterkaitan energi dengan komponen ekonomi makro tersebut jelas menunjukkan bahwa energi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan suatu negara. Salah satu cara untuk menelaah keterkaitan antara energi dengan pertumbuhan ekonomi adalah dengan melihat bukti-bukti empiris yang melibatkan kedua variabel tersebut. Sebagai contoh, krisis energi dunia yang terjadi pada tahun 1970-an setidaknya menunjukkan adanya keterkaitan tersebut. Seiring terjadinya krisis energi pada dasawarsa 1970-an, Amerika Serikat mengalami penurunan pendapatan riil per kapita sejak dasawarsa 1930-an. Pada saat itu, selain mengalami stagflasi, tingkat pengangguran di Amerika Serikat melonjak tinggi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, namun juga terjadi di berbagai negara di dunia. Perkembangan indikator-indikator utama ekonomi negara-negara berkembang, khususnya negara-negara pengekspor dan
21
pengimpor energi selama sekitar sepuluh tahun terakhir sejak terjadinya krisis energi jelas menunjukkan adanya keterkaitan antara energi dengan pertumbuhan ekonomi6. Selain
penerimaan
pemerintah,
penerimaan
ekspor,
dan
neraca
pembayaran, komponen ekonomi makro lainnya yang turut mempengaruhi pembangunan ekonomi adalah konsumsi energi nasional. Sebagai contoh, permintaan energi pada sektor industri manufaktur untuk mengoperasikan sarana produksi seperti mesin-mesin terbilang sangat tinggi. Namun, di samping tingginya biaya energi yang harus dikeluarkan, energi juga memiliki peranan bagi penerimaan pemerintah dan penerimaan ekspor melalui output yang dihasilkan bersama faktor produksi lainnya. Jadi dalam hal ini energi juga dapat dipandang sebagai sarana akumulasi modal pembangunan.
2.3.
Teori Environmental Kuznets Curve (EKC) Keterkaitan antara pembangunan ekonomi dengan berbagai indikator
degradasi lingkungan (seperti tingkat emisi, polusi, intensitas energi, dan sebagainya) merupakan isu yang sangat strategis. Sumberdaya alam menyediakan berbagai kebutuhan untuk digunakan sebagai input dalam proses produksi berbagai barang dan jasa. Sementara itu, hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian merupakan determinan utama kinerja perekonomian suatu negara yang diukur melalui pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya ketersedian sumberdaya alam merupakan faktor penting dan strategis bagi kinerja perekonomian suatu negara. Di sisi lain,
pemanfaatan sumberdaya alam mengharuskan terpenuhinya kaidah-
kaidah yang tidak bertentangan dengan kelestarian alam yang berkelanjutan. Jika tidak ada perubahan metode produksi (menjadi metode produksi yang lebih efisien dan ramah lingkungan) maka pada gilirannya proses produksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Apabila hal ini tidak diantisipasi, kerusakan ini dapat menjalar ke skala yang lebih luas. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak studi dilakukan untuk mencoba mengidenitifikasi perosoalan-persoalan empiris berkaitan dengan pengurangan dampak pembangunan ekonomi terhadap degradasi lingkungan. Beberapa studi menemukan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tingkat aktivitas 6
Lihat Griffin dan Steele (1986) dalam Yusgiantoro (2000)
22
perekonomian yang masih sangat rendah, secara umum masih relatif kecil. Kondisi ini umumnya terjadi di negara-negara tipikal agraris yang masih bertumpu
pada
sektor
pertanian.
Namun,
seiring
dengan
berjalannya
pembangunan, degradasi lingkungan (seperti tingkat emisi, polusi, intensitas energi, dan sebagainya) akan meningkat dengan cepat. Kondisi ini umumnya terjadi di negara-negara berkembang yang sedang memacu industri. Akan tetapi, pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan membalikan keadaan. Pada fase ini pertumbuhan yang terjadi akan menurunkan tingkat degradasi lingkungan. Situasi ini umumnya terjadi di negara-negara maju yang mana mulai terjadi pergeseran fase pembangunan dari perekonomian industri ke perekonomian jasa. Pada fase ini juga terjadi alih teknologi produksi ke yang lebih efisien dan ramah lingkungan, sehingga peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi akan menurunkan tingkat degradasi lingkungan. Fenomena yang terjadi di atas dapat dijelaskan melalui Environmental Kuznets Curve (EKC). EKC merupakan suatu hipotesis mengenai hubungan antara berbagai indikator degradasi lingkungan dengan tahapan pembangunan yang tercermin melalui pendapatan per kapita. Namun dalam perjalanannya, konsep EKC dapat diterapkan ke berbagai indikator lainnya, seperti mengaitkan hubungan antara intensitas energi dengan pendapatan per kapita (Janickle et al. (1989), Ausubel et al. (1993), Simon et al. (1994), Galli (1998), Miketa (2001), dan Fisher-Vanden et al. (2003)).
Gambar 2.2. Environmental Kuznets Curve: Hubungan antara Pembangunan Ekonomi dengan Degradasi Lingkungan Sumber: Panayotou (1993) 23
EKC menjelaskan dinamika perekonomian melalui suatu tahapan pembangunan. Pada fase pembangunan pra-industri di mana tingkat pendapatan per kapita masih rendah, degradasi lingkungan pada suatu negara juga cenderung rendah. Kemudian degradasi lingkungan lambat laun meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Kondisi ini dikarenakan negara sudah memasuki fase industri di mana proses industrialisasi yang terjadi akan meningkatkan degradasi lingkungan. Namun, peningkatan degradasi lingkungan tidak terus berlanjut. Pada fase selanjutnya dimana pembangunan beralih ke sektor jasa, degradasi lingkungan pada suatu negara akan kembali rendah. Pada fase perekonomian jasa, peningkatan pendapatan per kapita tidak lagi meningkatkan degradasi lingkungan namun berprilaku sebaliknya. Sebagai gambaran, saat ini laju pertumbuhan emisi CO2 di negara berkembang (3,7 persen per tahun) lebih tinggi dibandingkan negara maju (1,1 persen per tahun)7. Fenomena inilah yang menjelaskan hubungan antara degradasi lingkungan dengan pendapatan per kapita yang tercermin melalui EKC. Di sini degradasi lingkungan digambarkan sebagai fungsi kurva-U terbalik (inverted-U shaped) dari pendapatan per kapita. Secara umum, beberap studi mengasumsikan hubungan antara indikator degradasi lingkungan dengan pendapatan per kapita melalui model parametrik, khususnya melalui fungsi polinomial dari pendapatan. Model ini kemudian diestimasi menggunakan data cross section beberapa negara dengan satu titik periode waktu atau data panel. Umumnya, variabel yang digunakan untuk menyatakan pendapatan adalah pendapatan per kapita rata-rata. Sedangkan variabel yang digunakan untuk menyatakan indikator lingkungan—tingkat emisi CO2 misalnya—adalah rata-rata eksplisit kadar polutan tahunan, yang diperoleh dari laporan konsentrasi polutan per jam suatu negara dalam satu tahun kemudian dihitung rata-ratanya. Umumnya spesifikasi model sederhana yang digunakan untuk menguji hipotesis EKC hanya menunjukkan hubungan antara indikator degradasi lingkungan (E) dengan pendapatan per kapita (y). Sebagai contoh, berikut diberikan beberapa bentuk model yang terdiri dari model linier, kuadratik, logaritma linier, dan logaritma kuadratik yang umumnya digunakan dalam beberapa studi studi EKC: 7
Lihat Yusgiantoro (2000)
24
Model linier
: Eit 0 1Yit it .................................................(2.2)
Model kuadratik : E it 0 1Yit 2 Yit2 it .....................................(2.3) Model log linier : ln Eit 0 1 ln Yit it .........................................(2.4) Model log kuadratik: ln Eit 0 1 ln Yit 2 ln Yit
2
it ...............(2.5)
Perhatikan Persamaan (2.3), derivatif pertama dan derivatif kedua dari persamaan ini dapat dituliskan sebagai
dEit 1 2 2Yit ................................................................................(2.6) dYit
d 2 Eit 2 2 .......................................................................................(2.7) dYit2 Dari persamaan (2.7), kondisi orde kedua yang mencukupi agar fungsi pada Persamaan (2.3) bernilai maksimum, dipenuhi pada saat 2 0 , yang berarti bila kondisi ini dipenuhi, hubungan antara indikator lingkungan dan pendapatan per kapita sesuai dengan bentuk kurva U terbalik (inverted-U). Sedangkan turning point, yakni nilai pendapatan per kapita yang memaksimukan nilai indikator lingkungan dipenuhi pada saat Persamaan (2.6) bernilai nol, yakni
Yit
1 ; 2 0 ............................................................................(2.8) 2 2
Studi empiris yang meneliti hubungan antara degradasi lingkungan dengan pendapatan per kapita memiliki hasil yang bervariasi. Beberapa ada yang dapat membuktikan hipotesis EKC, namun ada pula yang tidak. Dalam studi tersebut juga ditemui nilai turning point yang bervariasi. Variasi turning point ini bergantung pada jenis indikator degradasi lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, pencemaran udara, atau intensitas energi. Akan tetapi untuk kasus indikator degradasi lingkungan yang sama, seperti deforestasi, nilai turning point antar penelitian (seperti studi Panayotou (1993) dan Shafik (1992)) yang menggunakan lokasi penelitian dan rentang waktu yang berbeda kadangkala menunjukkan hasil yang bervariasi. Sementara itu, Galli (1998) yang meneliti hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita di sepuluh emerging countries Asia menemukan dari sepuluh negara yang dikaji, tujuh di antaranya sesuai dengan hipotesis EKC. 25
2.4.
Intensitas Energi: Aplikasi Kurva Kuznets Konsep intensitas energi menjelaskan bahwa jumlah energi yang
dikonsumsi dalam suatu perekonomian bergantung pada dua relasi (Chima et al. 2007). Relasi yang pertama mengasumsikan bahwa intensitas energi (IE)—yang didefinisikan sebagai jumlah energi (diukur dalam tonne of oil equivalent (TOE) atau satuan fisik lainnya) yang dikonsumsi dalam suatu perekonomian per unit PDB riil—adalah fungsi dari tingkat pembangunan ekonomi yang diukur dalam pendapatan per kapita (PDB/P). Untuk tahun tertentu, relasi ini dapat direpresentasikan melalui persamaan berikut:
IE f PDB P ................................................................................(2.9) dengan
IE menyatakan intensitas penggunaan energi (intensitas energi)
PDB menyatakan Produk Domestik Bruto
P menyatakan jumlah populasi penduduk Secara empiris, spesifikasi eksak atau karakteristik dari persamaan di atas
dapat ditentukan, namun dapat bervariasi antara satu sumber energi dengan sumber energi lainnya. Secara umum model dasar intensitas penggunaan energi dapat direpresentasikan dengan kurva U terbalik (inverted U-shaped) atau EKC sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1. Dalam model IE, sumbu horizontal grafik menyatakan pendapatan riil per kapita (PDB per kapita). Sedangkan, sumbu vertikal pada grafik merepresentasikan intensitas energi.
Gambar 2.3. Environmental Kuznets Curve : Hubungan antara Intensitas Energi dan Pendapatan Per Kapita Sumber: Chima et al. (2007) 26
Bentuk kurva di atas menjelaskan bahwa pada fase awal pertumbuhan ekonomi, ketika pendapatan per kapita masih rendah, energi yang dibutuhkan juga masih relatif rendah. Kondisi ini umumnya terjadi di negara-negara dengan tipikal perekonomian agraris. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, ketika terjadi industrialisasi, banyak terjadi aliran investasi pada industri-industri dasar, infrastruktur, serta berbagai bentuk aktivitas perekonomian lainnya yang intensif menggunakan energi. Pada gilirannya kondisi ini menyebabkan konsumsi energi per unit pendapatan meningkat tajam. Fase ini umumnya terjadi di negara–negara berkembang atau emerging countries dan direpresentasikan oleh slope yang menanjak pada kurva EKC. Ketika perekonomian terus tumbuh dan pembangunan terus berlanjut, permintaan terhadap infrastruktur seperti jalan, kendaraan, perumahan, fasilitas pendidikan, rumah sakit, pabrik, serta sarana dan prasarana lainnya relatif dapat terpenuhi. Dalam fase ini mulai terjadi pergeseran komposisi output secara gradual ke bentuk-bentuk pelayanan atau jasa dan tidak lagi infrastruktur atau industri yang intensif menggunakan energi. Di samping terjadi pergeseran komposisi output, pada fase ini juga berkembang berbagai inovasi teknologi dan adanya subtitusi sumber energi ke yang lebih efisien. Perubahan struktural permintaan akhir mulai terjadi pada fase ini. Keadaan ini pada gilirannya menyebabkan penggunaan energi menjadi lebih efisien sehingga pertumbuhan konsumsi energi menjadi kecil dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan. Fase ini dicerminkan oleh slope kurva EKC yang menurun. Relasi kedua dari konsep intensitas energi merupakan persamaan identitas yang mana konsumsi energi suatu negara (D) setara dengan hasil kali antara intensitas energi (IE) suatu produk dan PDB pada tahun tertentu. Relasi ini direpresentasikan oleh persamaan berikut:
D IE PDB ................................................................................(2.10) Dalam relasi ini, intensitas energi ditentukan berdasarkan dua komposisi: (i) komposisi produk dari PDB (yang merupakan keseluruhan barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian); dan (ii) komposisi energi dari produk (jumlah energi yang digunakan dalam perekonomian untuk memproduksi keseluruhan barang dan jasa), yang juga merefleksikan harga energi.
27
Dari Persamaan 2.10, terdapat dua pandangan mengenai intensitas energi. Pandangan pertama menjelaskan bahwa intensitas penggunaan energi utamanya ditentukan berdasarkan komposisi produk dari PDB. Dalam hal ini, jika terjadi industrialisasi dan pertumbuhan di suatu negara yang membutuhkan lebih banyak energi, negara tersebut akan mengimpor kekurangan energinya dari negara-negara maju yang sudah berorientasi pada jasa dan mulai mengalami penurunan tingkat konsumsi energi. Pandangan kedua menjelaskan bahwa intensitas penggunaan energi ditentukan berdasarkan komposisi energi dari produk. Sehinggga apabila terjadi kemajuan teknologi atau karena faktor lainnya, menyebabkan suatu negara tidak lagi mengimpor kekurangan konsumsi energinya dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi telah membuat negara-negara tersebut menghasilkan produk yang lebih berkualitas dengan penggunaan energi yang lebih efisien.
2.5.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensitas Energi Sebuah studi komprehensip dari Bernardini dan Ricardo Galli (1993)
menjelaskan tiga faktor fundamental yang mendorong penurunan intensitas penggunaan energi dan material. Ketiga faktor tersebut antara lain: (i) perubahan struktur permintaan akhir, (ii) peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi dan material, dan (iii) substitusi bahan bakar dan material ke yang lebih efisien. Faktor pertama menjelaskan bahwa perkembangan perekonomian suatu negara pada gilirannya akan mengubah struktur permintaan akhir dan mengubah intensitas penggunaan energi dan material. Pada tahap pra-industri yang mana pembangunan masih berbasis pertanian, permintaan akhir dibentuk melalui kebutuhan dasar (basic needs) di mana pemenuhan kebutuhan material dan energi banyak ditemui dalam bentuk biomasa. Oleh karenanya intensitas energi dan material dari aktivitas perekonomian pada tahap ini masih terbilang rendah. Pada fase pembangunan selanjutnya, peningkatan industrialisasi melalui perluasan pembangunan infrastruktur, seperti jalan kereta api, jalan tol, pabrik, prasarana kota, serta distribusi jaringan lainnya memerlukan konsumsi energi dan material yang tinggi dan sustain. Namun, ketika negara sudah mendekati tingkat kematangan dan banyak industri sudah terbangun, maka secara gradual akan
28
terjadi pergeseran output ke produksi jasa serta mulai banyak diproduksi barangbarang berkualitas tinggi. Industri-industri manufaktur, elektronik, dan teknologi informasi akan mengalihkan produksinya dari perangkat tradisional ke perangkat yang lebih canggih dan efisien. Keseluruhan proses ini pada gilirannya akan mengurangi bobot, dimensi, dan berimplikasi pada semakin berkurangnya konsumsi energi yang digunakan. Faktor fundamental kedua yang mendorong penurunan intensitas energi adalah semakin efisiennya penggunaan energi dan material yang sebabkan oleh kemajuan teknologi. Sebagai contoh, rasio bobot (produksi) terhadap tenaga (energi) yang digunakan untuk produksi pada industri ketel sejak awal abad ke-19 menurun sekitar 100 kali lipat (Galli 1998). Peningkatan penggunaan logam alumunium telah mengurangi ketebalan minuman kaleng 15-25 persen (Institute of Scrap Recycling Industries 1993 dalam Galli 1998). Sementara itu, kemajuan teknologi mikroelektronik telah berkontribusi dalam mengurangi intensitas material pada produk-produk tertentu melalui miniaturisasi, disain dan qualify control. Akan tetapi, kendati kemajuan teknologi mendorong dematerialisasi dalam proses produksi, namun hal ini juga memiliki pengaruh imbangan berupa meningkatnya jumlah kuantitas produk yang digunakan sehingga berimplikasi jumlah energi yang dikonsumsi. Faktor fundamental ketiga yang menjelaskan penurunan pengunaan intensitas adalah adanya substitusi material alternatif yang lebih efisien. Kemajuan teknologi telah memberikan imbas pada kualitas dan karakteristik material—setidaknya sebagian—melalui substitusi material yang lebih efsien untuk memnghasilkan produk-produk baru. Dalam hal ini, intensitas penggunaan material menjadi lebih rendah. Sebagai contoh, proses produksi plastik memerlukan energi yang lebih rendah dibandingkan material lainnya seperti logam, kaca, dan kertas bila dikomparasikan dalam bentuk bobot komoditas akhir. Meskipun memproduksi satu kilogram kertas membutuhkan energi 50 persen lebih sedikit bila dibandingkan memproduksi polyethylene (plastik), namun memproduksi tas kertas dengan kekuatan dan kualitas yang sama dengan tas polyethylene membutuhkan energi yang lebih banyak (Bernardini dan Galli (1993)).
29
2.6.
Tinjauan Literatur dan Hasil-hasil Penelitian Empiris Penurunan intensitas sumberdaya (konsumsi fisik sumberdaya (energi atau
material lainnya) per unit PDB) seiring dengan peningkatan pendapatan (PDB) per kapita dikenal sebagai dematerialisasi (Quah 1996, 1997). Proses tersebut pertama kali diobservasi oleh Malenbaum (1978) melalui intensitas penggunaan material berupa 12 logam dan bijih mineral utama selama periode 1950-1975 di sepuluh negara. Dalam studi tersebut ditemui fenomena di mana intensitas penggunaan dari seluruh material pada awalnya menunjukkan peningkatan hingga mencapai suatu nilai kritis (turning point) tertentu, kemudian mengalami penurunan setelahnya. Yang menarik dari observasi ini adalah adanya kemiripan kurva intensitas penggunaan material di antara negara yang dikaji. Di sini, kurvakurva tersebut menyajikan nilai maksimum yang relatif sama. Dengan menggunakan periode waktu yang lebih panjang, negara-negara yang berbeda, dan sumberdaya yang lebih beragam, Janicke et al. (1989) dan Ausubel et al. (1993) melakukan studi untuk menelaah fenomena penurunan intensitas sumberdaya. Dalam studi ini ditemukan beberapa fakta sebagai berikut: (i) setelah mencapai nilai maksimum (turning point), pergerakan intensitas sumberdaya cenderung menurun seiring meningkatnya pendapatan (PDB) per kapita; (ii) intensitas penggunaan sumberdaya negara-negara yang dikaji mencapai nilai maksimum di sekitar tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama; (iii) nilai maksimum intensitas penggunaan sumberdaya yang dicapai pada suatu perekonomian cenderung menjadi lebih rendah dari waktu ke waktu. Elias dan Grabik (1980) melakukan studi untuk mengkomparasi intensitas energi dan elastisitas energi di Eropa Timur dan Eropa Barat dengan menggunakan data cross section nasional tahun 1987 dan data time series dari tahun 1950-1979. Dalam studi ini ditemukan bahwa pola konsumsi energi negaranegara di Eropa Timur lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Eropa Barat. Elias dan Grabik menjelaskan mengenai perbedaan intensitas energi dan elastisitas energi di antara beberapa negara dalam konteks pembangunan ekonomi, stuktur pola konsumsi energi, kondisi klimat, penawaran energi, serta kondisi perekonomian secara keseluruhan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari struktur politik.
30
Ang (1987) melakukan studi mengenai hubungan antara konsumsi energi dan output di enam negara Asia Tenggara. Ang menganalisis perubahan struktur permintaan energi melalui konsumsi beberapa sektor dan pengaruhnya terhadap rasio konsumsi energi terhadap output. Dalam studi ini ditemukan bahwa rasio konsumsi energi komersial terhadap output meningkat signifikan pada periode 1960-1982. Ang menjelaskan setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan peningkatan ini, yakni: (i) meningkatnya pangsa output industri dalam PDB; (ii) substitusi bahan bakar komersial ke non komersial; (iii) tingginya permintaan energi sektor transportasi; (iv) meningkatnya permintaan listrik sektor rumah tangga dan komersial; serta (v) semakin berkembangnya industri-industri konversi energi. Grossman dan Krueger (1991) dan Shafik dan Bandyopadhyay (1992) melakukan studi mengenai EKC dalam kaitannya dengan hubungan antara pendapatan per kapita dengan berbagai indikator degradasi lingkungan seperti polusi dan kualitas air. Studi ini menganalisis keterkaitan antara tingkat pendapatan per kapita dan polusi udara dengan cross section negara dalam beberapa tahun. Shafik dan Bandyopadhyay (1992) menemukan titik balik (turning point) untuk deforestasi (salah satu indikator degradasi lingkungan) sekitar US$ 2.000 per kapita. Sedangkan dua jenis polusi udara menghasilkan titik balik sekitar US$ 3.000-4.000 per kapita. Sebaliknya, indikator degradasi lingkungan berupa kekurangan air bersih dan sanitasi kota tidak relevan dengan EKC, melainkan menurun secara monoton. Sementara itu, Grossman dan Krueger (1991) menemukan titik balik untuk tingkat emisi SO2 dan tingkat kepekatan sekitar US$ 4.000-5.000 per kapita. Sementara itu, untuk indikator kualitas air menghasilkan titik balik sekitar US$ 7.500 per kapita dan untuk kerusakan oksigen sekitar US$ 10.000 per kapita. Dalam studinya, Shafik dan Bandyopadhyay (1992) menggunakan 149 negara dengan performansi ekonomi yang bervariasi pada periode 1960-1990. Di sini ditemui adanya hubungan U terbalik (inverted-U relationship) untuk suspended particular matter (SPM) dan sulfurdioksida (SO2) di mana turning point untuk SO2 sekitar US$ 3.000 per kapita. Dalam studi yang lainnya, Grossman dan Krueger (1991) menemukan titik balik sekitar US$ 8.000 per kapita. Turning point
31
kurva EKC juga ditemui pada tingkat yang bervarasi untuk poluasi udara, SO2, dan SPM pada kisaran US$ 3.000 sampai US$ 5.000 per kapita. Simon dan Levine (1994) melakukan studi mengenai perubahan intensitas energi perindustrian China untuk menganalisis kepentingan relatif (relative importance) dari pergeseran struktural (sructural shift) serta perubahan intensitas energi. Simon dan Levine menganalisa tiga kelompok data nilai konsumsi energi dan output yang berbeda dengan menggunakan metode indeks Laspayers untuk menentukan tingkat relatif structural shift dan perubahan intensitas energi riil pada sektor industri di China pada periode 1980-1990. Dalam studi ini ditemui perubahan intensitas riil, intensitas ekonomi subsektor industri, yang terdiri atas perubahan intensitas fisik dan faktor-faktor non struktural lainnya merupakan penyebab utama penurunan intensitas energi di China secara signifikan pada tahun 1980-an. Intensitas riil merupakan pendorong utama perubahan intensitas energi industri. Penurunan intensitas energi di China ini terlihat kontras dibandingkan dengan negara-negara pasar baru lainnya. Hasil dari studi ini megindikasikan bahwa penurunan intensitas energi di antara subsektor merupakan kunci menurunnya intensitas energi secara keseluruhan. Galli (1998) melakukan studi untuk menguji hubungan non-linier antara intensitas energi dan pendapatan per kapita di sepuluh negara pasar baru Asia. Dalam studi ini, Galli menggunakan model panel data statis (fixed effects model dan random component model) untuk menguji hubungan tersebut. Dalam analisisnya ditemui bahwa intensitas energi memiliki hubungan yang non-linier (kuadratik) dengan pendapatan per kapita. Dari 10 negara yang dikaji, 7 negara di antaranya sesuai dengan hipotesis EKC dan memiliki nilai turning point yang bervariasi pada kisaran US$ 1.000 sampai US$ 5.000 per kapita. Dalam studi ini ditemui negaranegara dengan tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi memiliki elastisitas konsumsi energi terhadap pendapatan yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya. Miketa (2001) menyajikan suatu analisis mengenai perkembangan intensitas energi di sektor manufaktur di negara-negara industri dan berkembang. Studi ini mencakup perkembangan intensitas energi dan hubungannya dengan pembangunan ekonomi sektoral. Miketa menganalisis tiga variabel yang berkaitan dengan dampaknya terhadap intensitas energi, Pembentukan Modal Tetap Bruto
32
(PMTB) sektoral, dan harga energi industri. Analisis panel dilakukan pada 10 industri manufaktur dengan menggunakan pooled data 39 negara pada periode 1971-1996. Dalam studi ini ditemukan bahwa formasi kapital memberikan dampak pada peningkatan intensitas energi. Fisher-Vanden et al. (2003), melakukan studi untuk menguji faktor-faktor yang mendorong penurunan intensitas energi di China. Dalam studi ini ditemukan bahwa intensitas energi di China menurun sejak reformasi ekonomi yang dicanangkan pada tahun 1970an dan pada awal tahun 1996 terjadi penurunan tingkat penggunaan energi absolut di China. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh semakin berkurangnya penggunaan batubara di sektor industri. Dengan menggunakan data panel pada sekitar 2.500 industri skala besar dan skala menengah yang intensif menggunakan energi di China selama periode 1997-1999, ditemukan peningkatan harga energi relatif, belanja untuk pengembangan dan penelitian, reformasi kepemilikan sektor perusahaan, sebagaimana pergeseran struktur industri di China, yang kesemuanya secara bersamaan merupakan penyebab utama menurunnya intensitas dan penggunaan energi di China. Dari beberapa literatur yang ada, dapat disimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas energi, antara lain (Chima 2007): (i) perubahan teknologi dalam perekonomian (Tabti & Mandi 1985); (ii) peningkatan industrialisasi; (iii) efisiensi dalam penggunaan energi; (iv) konservasi energi; (v) harga energi; (vi) tahapan pembangunan ekonomi (Elias & Gabrik 1980); (vii) pola konsumsi energi; (viii) kondisi klimat; (ix) suplai energi; (x) struktur politik; (xi) substitusi energi (Ang 1987); (xii) kuatnya permintaan energi sektor transportasi; (xiii) meningkatnya permintaan listrik di sektor rumah tangga dan komersial; (xiv) perluasan industri-industri konservasi energi; (xv) peningkatan urbanisasi (Jones 1991); (xvi) peningkatan formasi kapital (Miketa 2001); (xvii) perubahan struktural dalam perekonomian (Murtishaw & Schipper 2001); (xviii) penanaman modal luar negeri (Mielnik & Goldenberg 2002); (xix) pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (Fisher-Vandel et al. 2003); dan (xx) struktur kepemilikan sektor perusahaan.
33
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Kerangka Konseptual Isu ketahanan energi bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan
yang berkelanjutan telah menjadi isu global. Dinamika perekonomian dunia yang terus melaju pesat telah menyedot banyak penggunaan energi untuk menopang aktivitas perekonomian di berbagai negara. Implikasinya, permintaan energi oleh negara-negara di dunia semakin meningkat. Di sisi lain, sumber energi konvensional berbasis fosil semakin terbatas keberadaannya, padahal sumber energi ini merupakan sumber energi utama yang digunakan hampir di semua negara di dunia. Sementara itu, harga energi dunia, terutama yang berbasis fosil seperti minyak bumi terus bergejolak dan cenderung menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Gejolak harga energi dunia ini tentunya akan berimbas pada aktivitas perekonomian hampir di seluruh negara di dunia tak terkecuali negara-negara Asia Pasifik yang dikaji dalam penelitian ini. Tren konsumsi energi dunia yang terus meningkat tidak hanya membetot perhatian negara-negara di dunia untuk terus berupaya memenuhi kebutuhan energinya di masa mendatang. Namun, meningkatnya konsumsi energi dunia juga telah mengundang perhatian dunia karena telah berdampak negatif bagi kualitas lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini sumber energi yang dominan digunakan oleh hampir setiap negara di dunia adalah sumber energi berbasis fosil. Di samping ketersediaannya yang cukup melimpah dibandingkan sumber energi lainnya, penggunaan energi berbasis fosil secara masif oleh hampir setiap negara di dunia telah menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti polusi dan pemanasan global. Menurut data IPCC (2007) sektor energi memegang peranan dominan dalam pemanasan global, karena sekitar 56,6 persen emisi C02 dihasilkan dari sektor energi. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang menjadi subjek kajian dalam dua dekade terakhir mengalami perkembangan cukup pesat kendati dengan performansi ekonomi yang bervariasi antar negara. Secara umum perekonomian negara-negara tersebut telah berkontribusi cukup signifikan tidak hanya bagi
34
perekonomian regional namun juga bagi perekonomian dunia. Namun sejalan dengan perannya tersebut, asupan energi untuk menopang perekonomian di negara-negara tersebut juga semakin meningkat. Krusialnya peranan energi ini, membuat perekonomian negara-negara tersebut menjadi cukup sensitif terhadap gejolak harga energi dunia yang tentunya akan berimbas pada gejolak harga energi dalam negeri dan pada gilirannya mempengaruhi kinerja perekonomian di negara-negara tersebut. Segala
bentuk
aktivitas
perekonomian
pada
suatu
negara
akan
menghasilkan produk barang dan jasa. Hasil produksi ini selanjutnya terukur dalam bentuk PDB yang merupakan parameter penting dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena aktivitas ekonomi memerlukan input energi, maka dapat dikatakan bahwa konsumsi energi memiliki keterkaitan erat dengan pendapatan nasional (PDB). Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa hubungan antara konsumsi energi dan output (PDB) biasanya direpresentasikan dalam bentuk intensitas energi yang menyatakan besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu satuan PDB. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa Intensitas energi dan pendapatan per kapita memiliki keterkaitan yang erat sebagaimana tercermin dalam EKC. Dari hubungan ini selanjutnya akan coba dibangun suatu model ekonometrika berbasis data panel statis dan dinamis yang memiliki kemampuan untuk menguji hubungan kuadratik antara intenstas energi dan pendapatan per kapita serta mengetahui respon dari konsumsi energi per kapita terhadap perubahan pendapatan per kapita dan harga energi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui hasil analisis pola hubungan intensitas energi dan pendapatan per kapita selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan untuk memproyeksi kebutuhan energi, mengkomparasi efsiensi penggunaan energi antar negara, serta menilai dampak penggunaan energi terhadap perekonomian suatu negara. Oleh karena itu hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pemangku kebijakan untuk merumuskan kebijakan energi dalam rangka menjaga kelangsungan suplai energi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan di masa mendatang.
35
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian 3.2.
Hipotesis Berdasarkan permasalahan, tujuan dan alur kerangka konseptual di atas
maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1.
Terjadi pergeseran tren intensitas energi di negara-negara Asia Pasifik yang dikaji,
yang
mana
intensitas
energi
cenderung
menurun
seiring
meningkatnya pendapatan per kapita.
36
2.
Negera-negara berpendapatan tinggi sudah mencapai fase dematerialisasi, sedangkan negara-negara berpendapatan rendah masih mengalami fase materialisasi.
3.
Hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita di negaranegara Asia Pasifik yang dikaji sesuai dengan hipotesis EKC. Dengan kata lain intensitas energi memiliki hubungan kuadratik dengan tingkat pendapatan per kapita.
4.
Perubahan harga energi dan tingkat pendapatan per kapita dalam jangka pendek dan jangka panjang akan mempengaruhi konsumsi energi per kapita dan intensitas energi. Di sini elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita di negara-negara maju (dengan pendapatan per kapita lebih besar) lebih rendah dibandingkan dengan emerging countries (dengan pendapatan per kapita lebih kecil).
3.3.
Jenis dan Sumber Data Analisis dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang
dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan time series tahunan periode 1980-2005 dan cross section sepuluh negara Asia Pasifik, yakni Filipina, Hongkong (China), Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Amerika Serikat. Beberapa alasan pemilihan negara-negara tersebut sebagai subjek kajian antara lain: a) Mengkomparasi hasil studi Galli (1998) yang mengkaji hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita di sepuluh emerging countries Asia (Korea Selatan, Taiwan, India, Indonesia, Thailand, Malaysia, Srilangka, Filipina, Pakistan, dan Banglades). Akan tetapi dalam penelitian ini turut disertakan beberapa negara maju di kawasan Asia pasifik seperti Jepang, Singapura, Hongkong, dan Amerika Serikat serta menghilangkan beberapa negara yang tidak berada pada kawasan Asia Pasfik seperti Srilangka, India, Pakistan, dan Bangladesh. Kendati terdapat perbedaan dalam beberapa negara yang dikaji serta rentang waktu data yang digunakan, namun diharapkan hasil kajian ini dapat memberikan komparasi dengan hasil studi Galli (1998) dengan berbagai implikasinya.
37
b) Negara-negara tersebut memiliki performansi ekonomi yang bervariasi, sebagian merupakan negara-negara maju dengan rata-rata tingkat pendapatan (PDB) per kapita di atas US$ 10.000 (PPP 2000=100) dan sebagian lagi merupakan emerging countries dengan tingkat pendapatan per kapita di bawah US$ 10.000 (PPP 2000=100). Dari sini diharapkan dapat dilihat prilaku hubungan intensitas energi dan pendapatan per kapita serta prilaku respon perubahan konsumsi energi per kapita
terhadap
perubahan pendapatan per kapita dan harga energi antar negara dengan performansi ekonomi yang berbeda c) Dalam satu dekade terakhir pangsa konsumsi energi di negara-negara tersebut terhadap total konsumsi energi negara-negara di Asia Pasifik dan dunia cenderung mengalami peningkatan. Tren peningkatan konsumsi energi tersebut ternyata juga diikuti oleh gejolak harga energi dalam beberapa periode. Dalam hal ini prilaku pergerakan antara dua variabel tersebut menjadi relevan dan menarik untuk di analisis. d) Selain alasan-alasan di atas, pemilihan kesepuluh negara Asia Pasifik tersebut juga dikarenakan keterbatasan data yang ada, khususnya data harga energi domestik tahunan negara yang melibatkan periode amatan 1980-2005. Jumlah amatan data panel untuk setiap variabelnya adalah 26 10 = 260 amatan. Data tersebut terdiri dari populasi penduduk, PDB riil (untuk merepresentasikan tingkat pendapatan), PDB riil per kapita, konsumsi energi (Total Final Consumption (TFC))8, konsumsi energi per kapita. Data populasi penduduk diperoleh dari EIA dan Penn World Table (PWT), sedangkan PDB riil, dan PDB riil per kapita diperoleh dari PWT. Data PDB riil per kapita yang digunakan disesuaikan dengan Purchasing Power Parity (PPP) menggunakan US Dollar tahun dasar 2000, sehingga dapat dikomparasikan antara negara. Harga energi yang digunakan adalah harga rata-rata retail bahan bakar minyak utama dalam mata uang domestik yang
dikonversi dalam mata uang US Dollar,
kemudian disesuaikan dengan PPP untuk mendapatkan harga riil serta dapat dikomparasikan antara negara. Data harga energi dan nilai tukar mata uang 8
Konsumsi energi final total (TFC) yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari batubara dan produk batubara, minyak mentah dan produk petroleum, gas, dan listrik. Data bersumber dari IEEJ.
38
domestik terhadap US Dollar diperoleh dari Asian Development Bank (ADB) dan CEIC, sedangkan data PPP diperoleh dari PWT. Variabel lainnya yang digunakan dalam model adalah intensitas energi, yang didefinisikan sebagai rasio antara total konsumsi energi final (TFC) terhadap PDB riil. Konsumsi energi final diukur dalam tonne of oil equivalent (TOE), kemudian dibagi dengan populasi untuk mendapatakan nilai permintaan energi per kapita sehingga dapat dikomparasikan antar negara. Data konsumsi energi final diperoleh dari Institute of Electrical Engineers of Japan (IEEJ). Secara umum, varibel-variabel yang akan digunakan sebagai analisis dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 3.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis No
Variabel
Keterangan
Satuan
Sumber
1
PDB
PDB riil
US$ (PPP 2000=100)
PWT
2
Pop
Populasi
Ribu jiwa
EIA, PWT
3
P
Harga energi (Harga rata-rata BBM utama)
Mata uang domestik per liter
ADB, CEIC
4
Q
Konsumsi energi final
Ribu TOE
IEEJ
5
EXR
Nilai tukar mata uang domestik terhadap US Dollar
US$ per 1 nilai mata uang domestik
PWT, ADB
5
PDB/Pop
PDB Riil Per Kapita
US Dollar per jiwa (PPP 2000=100)
PWT, EIA
6
Q/Pop
Konsumsi energi final per kapita
TOE per 10000 jiwa
EIA, BP, PWT
7
Q/PDB
Intensitas energi
TOE per $10000 PDB (PPP 2000=100)
EIA, PWT
3.4.
Model Teoritis
3.4.1. Error Correction Model (ECM) Pada tahun 1970-an umumnya para ekonom masih menggunakan pendekatan specific to general dalam berbagai pemodelan dan analisis regresi klasik. Dalam analisisnya, pandangan tradisional ini dilandasi oleh asumsi data deret waktu yang bersifat stasioner. Akan tetapi pandangan ini memiliki kelemahan mendasar karena pada kenyataannya banyak data deret waktu yang digunakan dalam studi ekonomi empiris menggunakan data-data dari variabel39
variabel ekonomi yang tidak stasioner seperti tingkat harga, pendapatan, konsumsi, nilai tukar mata uang, dan lain-lain. Hal ini menurut Pesaran dan Smith dalam Siregar (2000), dapat menyebabkan model ekonomi klasik yang dibangun gagal memprediksi beberapa resesi ekonomi yang terjadi karena tidak mencerminkan data sesungguhnya, sehingga tidak efektif bila digunakan untuk tujuan peramalan dan evaluasi kebijakan. Pengabaian terhadap sifat non stasioner dari data deret waktu dapat berimplikasi pada tingginya korelasi antara variabel independen dan variabel dependen meskipun secara aktual keduanya tidak terkait. Kondisi ini disebut sebagai spurious correlation. Lebih jauh, kondisi tersebut juga dapat menyebabkan suatu persamaan regresi bersifat palsu (spurious regression). Regresi palsu (spurious regression) adalah suatu persamaan regresi yang terjadi akibat variabel dependen dan variabel independen yang digunakan untuk membentuk regresi tidak stasioner, dan atau pembentukan variabelnya tidak berkorelasi secara subtansi. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan penekanan dan perhatian terhadap sifat statistik dari deret waktu yang non stasioner. Menurut Enders (2004), suatu deret waktu Yt dikatakan stasioner untuk setiap periode waktu t dan t-s jika memenuhi: i. ii.
E Yt E Yt s 2 2 E Yt E Yt s y2 atau
var Yt var Yt s y2 iii.
E Yt Yt s E Yt j Yt j s s atau cov Yt , Yt s cov Yt j , Yt j s s
dengan , y2 , dan s yang seluruhnya konstan. Salah
satu
pendekatan yang lazim
digunakan
untuk mengatasi
permasalahan spurious correlation atau spurious regression adalah dengan melakukan pembedaan (differencing) pada variabel independen dan variabel dependen yang bersifat non stasioner. Pemberian differencing pada variabel
40
tersebut diharapkan dapat mengubah sifat variabel dari yang tidak stasioner menjadi stasioner. Sebagai contoh, misalkan diberikan variabel Y dan X yang non stasioner. Bila kedua variabel tersebut digunakan dalam model regresi linier sederhana berikut:
Yt X t t ................................................................................(3.1) maka regresi yang dihasilkan dapat bersifat spurious. Dan bila Persamaan (3.2) dibuat lag satu periode menjadi:
Yt 1 X t 1 t 1 .........................................................................(3.3) Selanjutnya dengan mengurangi Persamaan (3.2) dan Persamaan (3.3) akan diperoleh persamaan regresi linier sederhana yang baru sebagai berikut:
Yt X t vt ; vt t t 1 .............................................................(3.4) Bila Yt dan X t (yang masing-masing merupakan pembedaan tingkat pertama (first differencing)) bersifat stasioner maka Persamaan (3.4) sudah terbebas dari masalah spurious regression. Akan tetapi pendekatan difference untuk mengatasi masalah spurious regresssion ternyata dapat menimbulkan masalah sebagaimana terjadi pada pemodelan regresi linier klasik, yakni terjadinya autokorelasi pada vt . Autokorelasi ini menyebabkan standar error dugaan ˆ menjadi bias sehingga uji signifikansi variabel dengan menggunakan uji-t tidak dapat dilakukan. Selain itu, pendekatan ini juga dapat menyebabkan hilangnya informasi jangka panjang, karena parameter dugaan ˆ hanya dapat menjelaskan hubungan jangka pendek. Oleh karena itu model yang menggunakan pendekatan difference tidak relevan bila digunakan untuk permalan dan perencanaan kebijakan dalam jangka panjang. Salah satu pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua permasalahan di atas adalah model error correction model (ECM). Model ini menggunakan pendekatan general to specific yang memiliki berbagai kegunaan. Informasi yang diperoleh dari model ECM ini mencakup baik hubungan jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Thomas (1997) kegunaan yang paling penting dari model ini adalah menyediakan suatu pendekatan untuk mengatasi permasalahan non stasioner dari data deret waktu dan spurious correlation.
41
Spesifikasi ECM dapat diturunkan melalui reparameterisasi model regresi linier ataupun model autoregressive distributed lag (ARDL). Misalkan terdapat hubungan jangka panjang X dan Y yang dimodelkan sebagai berikut:
yt xt t .................................................................................(3.5) dengan
yt menyatakan ln Yt
menyatakan ln A
xt menyatakan ln X t
Perbedaan antara ruas kiri dan ruas kanan dari Persamaan (3.5) disebut disequlibrium error dan diuliskan sebagai:
t yt xt Dalam kondisi jangka pendek misalkan Persamaan (3.5) melibatkan lag dari x dan y sebagai berikut:
yt 1 xt 2 xt 1 3 yt 1 vt .......................................................(3.6) Masalah utama yang dihadapi oleh Persamaan (3.6) adalah persamaan ini mengandung variabel dengan nilai level yang dapat bersifat non stasioner. Selanjutnya akan dilakukan reparameterisasi dengan menambahkan yt 1 pada kedua ruas dan menambahkan 1 xt 1 1 xt 1 pada ruas kanan sebagai berikut
yt yt 1 1 xt 1 xt 1 1 xt 1 2 xt 1 3 yt 1 yt 1 vt .......... (3.7a) yt 1xt 1 2 xt 1 1 3 yt 1 vt .............................(3.7b) Selanjutnya Persamaan (3.7b) dapat dituliskan kembali dalam bentuk persamaan ECM sebagai berikut:
yt 1 xt yt 1 0 1 xt 1 vt ...............................................(3.8) dengan 1 3 ; 0 ; 1 1 2 Model ECM secara natural akan mengoreksi kesalahan atau deviasi pada jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Dalam hal ini menyatakan koefisien penyesuaian yang menunjukkan kecepatan dalam mencapai keseimbangan. Sedangkan kombinasi linier
yt 1 0 1 xt 1 menunjukkan
kontegrasi dari variabel-variabel yang non stasioner yang menyatakan kondisi
42
keseimbangan dalam jangka panjang. Kombinasi linier ini disebut error yang bersama-sama dengan membentuk suatu mekanisme dalam mengoreksi kesalahan dalam jangka pendek untuk mencapai kondisi keseimbangan dalam jangka panjang. Bila kondisi keseimbangan dalam jangka panjang ditunjukkan oleh yt 1 0 1 xt 1 , dan apabila: i.
t 1 0 atau yt 1 0 1 xt 1 dan misalkan xt 0 , maka yt 1 berada di atas nilai keseimbangannya yang seharusnya adalah 0 1 xt 1 . Dalam hal ini t 1 0 dan akibatnya yt 0 , akan mengoreksi sehingga kembali pada keseimbangan.
ii.
t 1 0 atau yt 1 0 1 xt 1 dan misalkan xt 0 , maka yt 1 berada di bawah nilai keseimbangannya yang seharusnya adalah 0 1 xt 1 . Dalam hal ini t 1 0 dan akibatnya yt 0 , akan mengoreksi sehingga kembali pada keseimbangan.
3.4.2. Data Panel Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni. Verbeek (2000) menjelaskan bahwa ada dua keunggulan utama dari penggunaan model data panel bila dibandingkan dengan model cross section dan time series murni. Pertama, jumlah data yang digunakan dalam model data panel 43
umumnya lebih besar dibandingkan jumlah data yang digunakan dalam model cross section dan time series murni. Selain itu, variabel penjelas dalam model data panel bervariasi dalam dua dimensi (ruang (individu) dan waktu), sehingga selain dapat dianalisis variasi antar ruang (individu) dan waktu, penduga yang didasari oleh data panel lebih akurat dibandingkan dengan cross section dan time series murni. Menurut Hsiao (2003), jumlah data dalam data panel meningkatkan jumlah derajat bebas (degree of freedom) dan mengurangi kolinieritas di antara variabel penjelas, yang dalam hal ini meningkatkan efisiensi dari penduga ekonometrik. Keunggulan kedua dari penggunaan model data panel adalah mampu mengurangi masalah identifikasi. Dalam banyak kasus, data panel melibatkan identifikasi dari keberadaan regresor endogenous atau measurement error, ketahanan terhadap variabel yang dihilangkan dan identifikasi dinamika individual. Secara umum keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas (collinearity), meningkatkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) data panel umumnya lebih baik bila digunakan dalam studi dynamics of adjustment; (iv) data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section atau time series murni; dan (v) data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni. Kendati demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan
keterbatasan dalam penggunaannya khususnya
apabila
data panel
dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: self-
44
selectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analsis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulankesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference).
3.4.2.1.
Data Panel Statis
Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama. Bila data yang diobservasi memiliki karakteristik di mana N (jumlah unit cross section) hanya satu dan T (jumlah unit time series) besar (lebih dari satu), maka data tersebut dikenal sebagai data time series murni. Sebaliknya, bila T hanya satu dan N besar, maka data tersebut dikenal sebagai data cross section murni. Sedangkan data panel memiliki karakteristik di mana N 1 dan T 1 . Misalkan yit merupakan nilai varabel dependen untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i 1, 2, , N dan t 1, 2, , T . Dan misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j 1, 2, , K serta dinotasikan sebagai X itj ,
yang menyatakan nilai variabel
penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut: X i11 X i21 X iK1 yi1 i1 1 2 y K X X X i2 i 2 ...................................(3.9) yi i 2 ; X i i 2 i 2 ; i X iT1 X iT2 X iTK yiT iT
dengan it menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i
pada waktu ke-t.
Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut: y1 X1 1 y X y 2 ; X 2 ; 2 ......................................................(3.10) yN XN N
45
dengan y adalah matriks berukuran NT 1, X adalah matriks berukuran NT K , dan adalah matriks berukuran NT 1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai y X ' .....................................................................................(3.11)
dengan adalah matriks berukuran NT 1 yang diekspresikan sebagai 1 2 .........................................................................................(3.12) N
Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni. Akibatnya, ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yakni metode efek tetap (fixed effects model) dan metode efek random (random effects model). Sekarang perhatikan persamaan berikut:
yit X 'it it ................................................................................(3.13) dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut:
it i uit ......................................................................................(3.14)
46
dan diasumsikan bahwa uit merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi dengan X it . Sedangkan i disebut sebagai efek individual (time-invariant person-specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu di antara asumsi mengenai efek individual. Pertama, bila i diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i 1, 2, , N , maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Model efek tetap umumnya digunakan ketika terdapat korelasi antara intersep individual dan variabel independen dan atau ketika N relatif kecil dan T relatif besar. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai
yit i X 'it uit .........................................................................(3.15) dengan asumsi bahwa uit iid 0, u2 . Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Menurut Verbeek (2000), dugaan untuk paremeter dengan menggunakan FEM dapat diformulasikan sebagai
N T ˆFE X it X i X it X i ' i 1 t 1
1 N
T
X i 1 t 1
it
X i yit yi ......(3.16)
Sedangkan estimasi untuk intersep dituliskan sebagai
ˆi yi X 'i ˆFE ; i 1,, N ..........................................................(3.17) Matriks kovarian untuk fixed effect estimator ˆFE , dengan uit iid 0, u2 diberikan oleh 1
N T V ˆFE u2 X it X i X it X i ' ...................................(3.18) i 1 t 1 dengan
ˆ u2
N T 1 yit yi X it X i ' ˆFE N T 1 i 1 t 1
2
................................(3.19)
Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu, yakni menjelaskan bagaimana yit berbeda dari yi , dan tidak menjelaskan kenapa
47
yi berbeda dari y j (Verbeek 2000). Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai , menekankan bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, apakah perubahan dari satu periode ke periode lainnya atau perubahan dari satu individu ke individu lainnya. Kedua, bila i diperlakukan sebagai parameter random, maka model disebut sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomodasi oleh error dalam model. REM umumnya digunakan bila N relatif besar dan T relatif kecil. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai
yit X 'it uit i ...................................................................(3.20) dengan i i dan memiliki rata-rata nol. Di sini, i merepresentasikan gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam REM antara lain:
E uit | i 0 ....................................................................................(3.21) E uit2 | i u2 ..................................................................................(3.22)
E i | xit 0 ; i, t ............................................................................(3.23) E it2 | xit 2 .................................................................................(3.24) E uit j 0 ; i, t , j ..........................................................................(3.25) E uit u js 0 ; i j atau t s .......................................................... (3.26a) E uit j 0 ; i, t , j ........................................................................(3.26b)
Untuk menduga REM umumnya digunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error pada Persamaan (2.30) dituliskan menjadi wit uit i , dengan E wit 0 .......................................................................................(3.27) E wit2 u2 2 ; i, t .....................................................................(3.28) E wit wis 2 ; t s ......................................................................(3.29) E wit w js 0 ; untuk i j atau t s ..................................................(3.30)
48
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor
wi wi1 , wi 2 , wiT ' maka dapat dituliskan bahwa
E wi w 'i ...................................................................................(3.31) dengan
u2 2 2 2 2 Untuk
2 2 2 u2 2 2 2 2 u2 2 2 .........................(3.32) 2 2 u2 2
keseluruhan
observasi
panel,
matriks
kovarian
error
w w1 , w2 , , wN ' dapat diturunkan sebagai 0 0 0 0 0 0 V 0 0 0 I N ..........................................(3.33) NT NT 0 0 0 0 dengan I N menyatakan matriks identitas berdimensi N dan merepresentasikan Kronecker product. Misalkan Y pada Persamaan (3.20) direpresentasikan sebagai vektor stack dari yit yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan sebagai Y X w ......................................................................................(3.34)
dapat diestmasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS untuk persamaan regresi (3.34) memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian E ww ' V . Kemudian dengan mendefinisikan matriks penimbang P V 1/ 2 dan mengalikannya ke kedua ruas pada Persamaan (2.44) diperoleh hasil transformasi sebagai berikut PY PX Pw ..............................................................................(3.35)
atau Y * X * w * ...............................................................................(3.36)
sekarang
49
E w * w * ' E Pww ' P PE ww ' P PVP I NT Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (2.44) dapat dituliskan sebagai 1 ˆGLS X 'V 1 X X 'V 1Y .............................................................(3.37)
3.4.2.2. Data Panel Dinamis Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model data panel dinamis sebagai berikut: y it yi ,t 1 x 'it u it
; i 1, , N ; t 1, T .............................(3.38)
dengan menyatakan suatu skalar, x 'it menyatakan matriks berukuran 1 K dan
matriks berukuran K 1 . Dalam hal ini, uit diasumsikan mengikuti model oneway error component sebagai berikut
uit i vit ......................................................................................(3.39) dengan i IID 0, 2 menyatakan pengaruh individu dan vit IID 0, v2 menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap i . Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena yit merupakan fungsi dari i maka y i ,t 1 juga merupakan fungsi dari i . Karena i adalah fungsi dari uit maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor y i ,t 1 dengan uit Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada
50
model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila vit tidak berkorelasi serial sekalipun. Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen yit yi ,t 1 uit
; 1; t 1, T ..................................................(3.40)
dengan uit i vit di mana i IID 0, 2 dan vit IID 0, v2 saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi diberikan oleh
y y y y ..............................................(3.41) y y N
ˆFE
T
i 1
t 1
it
N
T
i 1
t 1
i
i ,t 1
i , 1
2
i ,t 1
i , 1
dengan yi 1 T t 1 yit dan yi ,1 1 T t 1 yi ,t 1 . Untuk menganalis sifat dari T
T
ˆFE , dapat disubstitusi Persamaan (2.50) ke (2.51) untuk memperoleh
1 NT i1 t 1 vit vi yi,t 1 yi,1 ............................(3.42) ˆFE 2 1 NT iN1 Tt 1 yi,t 1 yi,1 N
T
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N dan T tetap, bentuk pembagian pada Persamaan (3.42) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila N . Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (lihat Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2000)) bahwa
plim N
1 NT
i1 t 1 vit vi yi,t 1 yi,1 N
T
T v2 T 1 T 0 ....(3.43) 2 T2 1
sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arrelano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2000) menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah
51
asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: 1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)
First-differences GMM (AB-GMM) Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten di mana N dengan T tertentu,
akan
dilakukan
first-difference
pada
Persamaan
(3.40) untuk
mengeliminasi pengaruh individual ( i ) sebagai berikut yit yi ,t 1 yi ,t 1 yi ,t 2 vit vi ,t 1 ; t 2, , T ......................(3.44)
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga yang inkonsisten karena y i ,t 1 dan vi ,t 1 berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila
T . Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, yi ,t 2 akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, yi ,t 2 berkorelasi dengan
y
i ,t 1
yi ,t 2
tetapi tidak berkorelasi dengan vi ,t 1 , dan vit tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai
N
ˆIV
i 1 N
i 1
T t 2
yi ,t 2 yit yi ,t 1
y yi ,t 1 yi ,t 2 t 2 i ,t 2
T
...................................................(3.45)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
plim N T
1 N T vit vi ,t 1 yi,t 2 0 ....................................(3.46) i 1 t 2 N T 1
Penduga (3.45) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981)9. Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana
9
Lihat Verbeek (2000)
52
y
i ,t 2
yi ,t 3 digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi
disajikan sebagai
y y N
ˆIV (2)
T
i 1
t 3
N
T
i 1
t 3
i ,t 2
i ,t 2
yi ,t 3 yit yi ,t 1
yi ,t 3 yi ,t 1 yi ,t 2
..................................(3.47)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
plim N T
1 N T vit vi,t 1 yi,t 2 yi,t 3 0 .....................(3.48) i 1 t 3 N T 2
Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua (IV(2)) memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa
plim N T
1 N T vit vi,t 1 yi,t 2 E vit vi,t 1 yi,t 2 0 ......(3.49) i 1 t 2 N T 1
yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh plim N T
1 N T v vi ,t 1 yi ,t 2 yi ,t 3 i 1 t 3 it N T 2
............................(3.50)
E vit vi ,t 1 yi ,t 2 yi ,t 3 0
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV(2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2000), menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2000) mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T 4 diperoleh E vi 2 vi1 yi 0 0 , untuk t 2 E vi 3 vi 2 yi1 0 dan E vi 3 vi 2 yi 0 0 , untuk t 3
53
E vi 4 vi 3 yi 0 0 , E vi 4 vi 3 yi 2 0 , dan E vi 4 vi 3 yi 3 0 , untuk t 4 Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan vi 2 vi1 vi ............................................................................(3.51) vi ,T vi ,T 1
sebagai vektor tranformasi error, dan
yi 0 0 Zi 0
0 yi 0 , yi1 0
0 0 ....................................(3.52) yi 0 , , yi ,T 2
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Zi berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai
E Z 'i vi 0 ..................................................................................(3.53) yang merupakan kondisi bagi 1 2 T 1 . Untuk menurunkan penduga GMM, tuliskan Persamaan (2.63) sebagai E Z 'i yi yi , 1 0 .................................................................(3.54)
Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni /
1 N 1 N min Z 'i yi yi ,1 WN Z 'i yi yi ,1 .............(3.55) N i 1 N i 1 dengan WN adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan Persamaan (2.65) terhadap akan diperoleh penduga GMM sebagai
54
1
N N ˆGMM y 'i ,1 Z i WN Z 'i yi ,1 i 1 i 1 ..................................(3.56) N N y 'i ,1 Z i WN Z 'i yi i 1 i 1
Sifat dari penduga GMM (3.56) bergantung pada pemilihan WN yang konsisten selama WN definit positif, sebagai contoh WN I yang merupakan matriks identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi ˆGMM . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek 2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi plim WN V Z 'i vi E Z 'i vi v 'i Z i ....................................(3.57) 1
1
N
Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian vi , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator) 1
1 N Wˆ Nopt Z 'i vˆi vˆ 'i Zi ..........................................................(3.58) N i 1 Dengan vˆi menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa vit iid pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan
bagi
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
autokorelasi pada vit dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi
55
2 1 0 2 0 2 2 1 ......................................(3.59) E vi v 'i v G v 0 1 0 1 2 matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator) 1
1 N WNopt Z 'i GZi ...................................................................(3.60) N i 1 Sebagai catatan bahwa (3.60) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error vit diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka Persamaan (3.40) dapat dituliskan kembali menjadi y it x 'it yi ,t 1 i vit .............................................................(3.61)
Parameter persamaan (3.61) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap xit , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila
xit strictly exogenous dalam artian bahwa xit tidak berkorelasi dengan sembarang error vis , akan diperoleh
E xis , vit 0 ; untuk setiap s dan t.................................................(3.62) sehingga x1 , , xiT dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada Zi menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen
E xit , vit 0 ; untuk setiap t ........................................................(3.63) Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
yi 0 , x 'i 2 0 Zi 0
0 0 0 yi 0 , yi1 , x 'i3 ............(3.64) 0 0 yi 0 , , yi ,T 2 , xit
56
Bila variabel xit tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana xit dan lag xit tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh E xit , vis 0 untuk
s t . Dalam kasus dimana hanya xi ,t 1 , , xi1
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai E xi ,t j vit 0 ; j 1, , t i , t ..................................................(3.65)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Zi kemudian dapat disesuaikan. Baltagi (1995), menyajikan contoh dan diskusi tambahan untuk kasus ini. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal ini terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond 1998). Dalam model AR(1) di Persamaan (3.40), fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif
mendekati
satu, atau varian dari pengaruh individu
i
meningkat relatif terhadap varian transient error vit . Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa penduga AB-GMM dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil. Hal ini menekankan perlunya perhatian sebelum menerapkan metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah deret waktu yang relatif kecil. Keberadaan bias sampel terbatas dapat dideteksi dengan mengkomparasi hasil AB-GMM dengan penduga alternatif dari parameter autoregresif. Sebagaimana diketahui dalam model AR (1), least square akan memberikan suatu estimasi dengan bias yang ke atas (biased upward) dengan keberadaan pengaruh spesik individu (individual-spesific effect) dan fixed effect akan memberikan dugaan dengan bias yang ke bawah (biased downward). Selanjutnya penduga konsisten dapat diekspektasi di antara penduga least square atau fixed effect. Bila penduga AB-GMM dekat atau di bawah penduga penduga fixed effect, maka
57
kemungkinan penduga AB-GMM akan biased downward, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya instrumen.
System GMM (SYS-GMM) Ide dasar dari penggunaan
metode system GMM adalah untuk
mengstimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut: y it yi ,t 1 i vit .........................................................................(3.66)
dengan
E i 0 ,
E vit 0 ,
dan
E i vit 0
untuk
i 1, 2, , N ;
t 1, 2, , T . Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998) memfokuskan pada T 3 ,
oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh
E yi1vi 3 0 sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just identified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan yi 2 pada yi1 . Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari Persamaan (2.76) yang dievaluasi pada saat t 2 dengan mengurangi kedua ruas pada persamaan tersebut, yakni
yi 2 1 yi ,1 i vi 2 ................................................................(3.67) Dikarenakan ekspektasi E yi1 i 0 , maka 1 akan bias ke atas (upward biased) dengan
plim ˆ 1 1
c
c 2 u2
.....................................................(3.68)
dengan c 1 1 . Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrumen yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel intsrumen tahap pertama akan konvergen ke 12 dengan parameter non-centrality
58
c 2 u
2
2 u2 c
0 , dengan 1
Karena 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi .
3.5.
Spesifikasi Model Model yang umumnya digunakan untuk menguji hipotesis EKC adalah
model logaritma kuadratik (Grossman & Krueger 1991, Stern & Common 2001). Model tersebut diekspresikan sebagai fungsi indikator degradasi lingkungan terhadap pendapatan per kapita dan pendapatan per kapita. Seluruh variabel dalam model tersebut dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Sementara itu, Galli (1998) menambahkan variabel harga energi domestik untuk menguji hipotesis EKC mengenai hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita. Secara umum spesifikasi model diekspresikan sebagai: 2
PDB Q PDB ln 0 1 ln 2 ln 3 ln Pit vit ..(3.70) Pop Pop it Pop it it dengan Q menyatakan konsumsi energi per kapita negara ke-i pada tahun ke-t. Pop it
Q menyatakan intensitas energi negara ke-i pada tahun ke-t. PDB it PDB menyatakan pendapatan (PDB riil) per kapita negara ke-i pada Pop it
tahun ke-t. Pit menyatakan rata-rata harga energi negara ke-i pada tahun ke-t. vit menyatakan gangguan acak.
59
Konstruksi model data panel statis dan dinamis dalam penelitian ini mengacu pada Galli (1998) yang menggunakan pendekatan error correction model (ECM). Dari Persamaan (3.1) dapat dituliskan disequilibrium error sebagai
Q Q eit ln ln .............................................................(3.71) Pop it Pop it dengan 2
PDB Q PDB ln 0 1 ln 2 ln 3 ln Pit ..........(3.72) Pop it Pop it Pop it
Q menyatakan fungsi konsumsi energi per kapita jangka panjang dan ln Pop it
menyatakan nilai logaritma konsumsi energi per kapita aktual. Dari Persamaan (3.72) dapat diperoleh fungsi intensitas energi jangka panjang sebagai 2
PDB PDB Q ln 2 ln 3 ln Pit .(3.73) 0 1 1 ln Pop PDB it Pop it it
Menurut Galli (1998) karena Persamaan (3.72) dan (3.73) merupakan nilai keseimbangan konsumsi energi per kapita dan intensitas energi jangka panjang, maka model konsumsi energi per kapita dapat melibatkan penyesuaian—dari ketidakseimbangan dalam jangka pendek—menuju keseimbangan jangka panjang. Oleh karena itu, akan digunakan representasi error correction model (ECM) yang mana permintaan energi per kapita disesuaikan dalam merespon perubahan pendapatan per kapita dan harga energi, serta perbedaan antara nilai keseimbangan
Q dengan nilai konsumsi konsumsi energi per kapita jangka panjang ln Pop i ,t 1 Q energi per kapita aktual ln periode sebelumnya. Selanjutnya, model Pop i , t 1 data panel statis yang merupakan representasi dari error correction model (ECM) diekspresikan sebagai (Galli 1998):
60
Q PDB ln 0 1 ln 2 ln Pit Pop it Pop it Q Q 1 ln ln 1it Pop i ,t 1 Pop i ,t 1
..........................(3.74)
sedangkan model data panel dinamis yang digunakan (kontribusi dalam penelitian ini) dikembangkan berdasarkan Persamaan (3.74) dengan menambahkan lag satu Q periode variabel dependen ln . Selanjutnya model data panel Pop i ,t 1 dinamis diekspresikan sebagai Q PDB ln 0 1 ln 2 ln Pit Pop it Pop it Q Q Q 2 ln ln ln 2 it Pop i ,t 1 Pop i ,t 1 Pop i ,t 1
..(3.75)
Dalam Persamaan (3.74) dan (3.75), 1 dan 2 merupakan koefisien yang menyatakan kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang. Selanjutnya dengan
Q mensubtitusikan ln pada Persamaan (3.73) ke Persamaan (3.74) dan (3.75), Pop i ,t 1
diperoleh representasi model ECM yang baru untuk model data panel statis sebagai: Q PDB PDB ln 0 1 ln 2 ln Pit 3 ln Pop it Pop it Pop i ,t 1 2
PDB Q 4 ln Pit 5 ln 1it 6 ln Pop Pop i ,t 1 i ,t 1
.......(3.76)
sedangkan untuk model data panel dinamis Q PDB PDB ln 0 1 ln 2 ln Pit 3 ln 4 ln Pit Pop it Pop it Pop i ,t 1 2
PDB Q Q 5 ln 6 ln ln 2 it Pop Pop Pop i ,t 1 i ,t 1 i , t 1
(3.77)
Berdasarkan Persamaan (3.72), (3.76), dan (3.77), diperoleh koefisien jangka panjang untuk model data panel statis, yakni:
1 3 5 , 2 6 5 , dan 3 4 5 .................................. (3.78a) 61
dengan 1 5 dan 0 0 50 .
Sedangkan koefisien jangka panjang
untuk model data panel dinamis adalah
1 3 5 , 2 6 5 , dan 3 4 5 ...................................(3.78b) dengan 2 5 dan 0 0 50 . Sifat non-linier (kuadratik) dalam hubungan antara konsumsi energi per kapita (intensitas energi) dengan pendapatan per kapita mengimplikasikan bahwa elastisitas konsumsi energi per kapita dan intensitas energi terhadap pendapatan per kapita akan bergantung tingkat pendapatan per kapita. Dari Persamaan (3.72) dapat diturunkan elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per
PDB kapita jangka panjang sebesar 1 22 ln . Sedangkan elastisitas Pop intensitas energi terhadap pendapatan per kapita dalam jangka panjang adalah
PDB . Hasil ini diperoleh dengan mengenakan differensial Pop
1 1 22 ln
parsial pertama pada Persamaan (3.73). Sedangkan elastisitas konsumsi energi per kapita dan intensitas energi terhadap harga energi jangka panjang adalah 3 . Dari hasil perhitungan diharapkan elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap harga energi dalam jangka panjang bernilai negatif 3 0 , sedangkan nilai 1 1 dan
2 0 . Tanda harapan ini mengindikasikan bahwa elastisitas konsumsi energi per kapita dan intensitas energi pada mulanya akan meningkat, kemudian menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita sebagaimana tercermin dalam EKC yang diulas pada bagian sebelumnya. Sementara itu, tingkat pendapatan per kapita yang memaksimumkan intensitas energi terjadi pada saat 1 1 PDB .................................................................(3.79) exp POP it 2 2
Persamaan (3.79) diperoleh dengan cara menurunkan Persamaan (3.73) terhadap
PDB . Pada titik ini, elastisitas konsumsi energi per kapita jangka panjang POP it terhadap pendapatan per kapita sama dengan satu. Selama 2 0 dan 1 1 , saat 62
PDB PDB , intensitas energi akan meningkat dan rasio konsumsi energi Pop it Pop it per kapita terhadap pendapatan per kapita lebih dari satu. Di sini, elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita akan lebih besar dari
satu. Hal ini berlaku sebaliknya
PDB PDB ketika di mana rasio Pop it Pop it
konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita kurang dari satu. Di sini elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita akan lebih kecil dari satu.
3.6.
Prosedur Analisis Parameter model data panel statis pada Persamaan (3.76) akan diestimasi
dengan menggunakan model pooled LS, FEM dan REM sebagaimana diulas pada bahasan sebelumnya. Selanjutnya, dari hasil estimasi ketiga model tersebut, akan dilakukan beberapa uji asumsi untuk melihat model yang lebih valid di antara ketiganya. Uji-uji tersebut antara lain: (i) uji Chow, untuk menentukan model yang lebih valid antara model pooled LS dengan FEM; (ii) uji Breusch-Pagan LM, untuk menentukan model yang lebih valid antara model pooled LS dengan REM; serta (iii) uji Hausman untuk menentukan model yang lebih valid antara FEM dan REM. Uji Chow pada dasarnya merupakan pengujian untuk memilih model yang lebih valid di antara model pooled LS dan FEM. Misalkan diberikan model pooled LS (unrestricted) sebagai y it i i' xit it ...........................................................................(3.80)
dan FEM (restricted) sebagai y it i i' xit u it ...........................................................................(3.81)
Bentuk hipotesis uji Chow diberikan oleh
H 0 : 1 N 1 0 (pooled LS/unrestricted) H1 : ada satu i di mana i 0; i 1,, N 1 (FEM/restricted) Dasar penolakan hipotesis nol pada uji Chow mengacu pada statistik uji Chow yang didasari oleh statistik-F . Statistik uji Chow diekspresikan sebagai
63
uˆ ˆ N k 1 F k N 1 , NT N k 1 ....(3.82) ˆ / NT N k 1 2 it
2 it
2 it
dengan
uˆ it2 menyatakan restricted residual sum square
ˆit2 menyatakan unrestricted residual sum square
N menyatakan jumlah data cross section
T menyatakan jumlah data time series
k menyatakan jumlah variabel penjelas dalam model Statistik Breusch-Pagan LM menyajikan sebuah uji untuk memilih metode
yang lebih valid di antara metode pooled LS dengan FEM. Hipotesis untuk uji ini diberikan oleh:
H 0 : 0 ( pooled LS) H1 : 0 (FEM) Dari Persamaan (2.43) dapat dilihat bahwa V 2 .I NT di bawah hipotesis nol
0 , maka model random effects akan tereduksi menjadi model pooled LS. Uji hipotesis ini didasari oleh residual least square uˆit dari model regresi pooled. Uji ini didasari oleh statistik LM yang memiliki sebaran chi-square LM 2 2
2 N T uˆit NT i 1 t 1 LM 1 ....................................................(3.83) 2 T 1 N T 2 uˆit i 1 t 1
dengan
N menyatakan jumlah data cross section
T menyatakan jumlah data time series Ide dasar dari uji Hausman adalah mengkomparasi dua penduga, yakni
penduga FEM dan REM. Hausman (1978) menyajikan bentuk uji hipotesis nol di mana X it dan i tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif untuk kondisi yang sebaliknya. Hausman mengasumsikan bahwa E uit X is 0 untuk setiap s, dan t
sedemikian sehingga penduga FEM ˆRE akan konsisten dan efisien manakala 64
X it dan i tidak berkorelasi dan penduga FEM
ˆ konsisten FE
bagi
manakala kondisi bagi penduga REM ˆRE yang konsisten tidak berlaku. Untuk melakukan uji Hausmann, pertama akan dilakukan pembedaan (difference) antara penduga FEM dengan penduga REM yang dinyatakan sebagai vektor difference
ˆ
FE
ˆRE . Kemudian, suatu matriks kovarian bagi vektor
difference tersebut diperlukan untuk mengevaluasi signifikansi dari vektor difference tersebut. Secara umum, hal ini memerlukan suatu estimasi kovarian antara ˆFE dan ˆRE . Akan tetapi, karena penduga bersifat efisien di bawah kondisi hipotesis nol, dapat ditunjukkan bahwa matriks kovarian bagi vektor
difference ˆFE ˆRE adalah (Verbeek, 2000)
V ˆFE ˆRE V ˆFE V ˆRE ....................................................(3.84) Selanjutnya, nilai statistik uji Hausman dapat dituliskan sebagai
ˆ
H ˆFE ˆRE ' Vˆ ˆFE Vˆ ˆRE
1
FE
ˆRE ........................(3.85)
dengan Vˆ menyatakan penduga bagi matriks kovarian. Di bawah kondisi
hipotesis nol, yang berimplikasi bahwa plim ˆFE ˆRE 0 , statistik H mempunyai sebaran Chi-squared
2
dengan derajat bebas K, di mana K
menyatakan jumlah elemen dalam . Sementara itu, untuk menduga parameter model data panel dinamis pada Persamaan (3.8) akan digunakan metode Arellano-Bond generalized method of moments (AB-GMM). Dari hasil estimasi AB-GMM, kemudian dilihat apakah instrumen yang digunakan valid. Bila tidak, kemudian akan digunakan pendekatan SYS-GMM untuk mengatasi masalah validitas instrumen pada pendekatan AB-GMM. Untuk menguji validitas instrumen pada pendekatan AB-GMM, dapat digunakan uji Sargan. Uji Sargan untuk overidentifying restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis nol untuk uji ini menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid) dalam artian bahwa instrumen 65
tersebut tidak berkorelasi dengan error pada persamaan AB-GMM. Nilai statistik uji Sargan dihitung sebagai /
1 N 1 N S N Zi 'vˆi 2 WN 2 Zi 'vˆi 2 .......................................(3.86) N i 1 N i 1 di bawah kondisi hipotesis nol, nilai statistik di atas memiliki sebaran q2 , dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah parameter yang digunakan dalam model. Sementara itu untuk melihat konsistensi dari hasil estimasi yang dihasilkan dari model AB-GMM akan dilakukan uji autokorelasi dengan menggunakan statistik Arrellano-Bond m1 dan m2. Konsistensi ini ditunjukkan oleh nilai statistik m1 yang signifikan dan nilai statistik m2 yang tidak signifikan (Arellano, 2003). Setelah hasil estimasi model data panel statis (pooled LS, fixed effects, dan random effects) diperoleh, selanjutnya akan dilakukan beberapa uji statistik (Chow, Breusch-Pagan LM, dan Hausman) untuk memilih model yang lebih valid di antara ketiganya. Hal yang sama juga akan dilakukan pada model data panel dinamis, setelah hasil estimasi diperoleh, akan dilakukan uji validitas instrumen dengan menggunakan uji Sargan serta uji statistik Arellano-Bond m1 dan m2 untuk melihat konsistensi estimator yang diperoleh. Setelah diperoleh model yang lebih valid di antara ketiga pendekatan dalam model data panel statis, selanjutnya hasil estimasi akan dikomparasikan dengan hasil estimasi model data panel dinamis untuk kemudian ditelaah dan dianalisis lebih lanjut. Selain pemilihan dan komparasi model, dari hasil yang diperoleh juga akan diuji tingkat signifikansi serta tanda dari setiap koefisien estimasi yang diperoleh. Tanda koefisien estimasi ini kemudian dianalisis apakah sesuai atau relevan dengan harapan teoritis. Dari hasil estimasi kedua pendekatan tersebut selanjutnya akan dilakukan telaah dan analisis untuk menjawab tujuan dan hipotesis penelitian. Seluruh pengolahan data—baik untuk model data panel statis maupun dinamis—akan dilakukan dengan bantuan program komputer STATA v10.0 dan Eviews 5.1. Pemilihan program ini dikarenakan ketersedian tools untuk pengolahan data sekaligus pengujian asumsi baik dalam model data panel statis maupun dinamis. 66
IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Dinamika PDB dan Konsumsi Energi Berdasarkan sepuluh negara Asia Pasifik yang dikaji, secara umum dapat
dikategorikan dua kelompok negara. Pertama, negara-negara maju yang memiliki rata-rata tingkat pendapatan (PDB) per kapita di atas US$10.000 selama periode 1980-2005, yakni Amerika Serikat (US$ 29.020), Hongkong (US$ 23.417), Singapura (US$ 21.930), Jepang (US$ 21.130), Taiwan (US$ 13.321), dan Korea Selatan (US$ 11.114). Kedua, emerging countries dengan rata-rata tingkat pendapatan per kapita di bawah US$ 10.000, yaitu Malaysia (US$ 8.435), Thailand (US$ 5.352), Filipina (US$ 3.356), dan Indonesia (US$ 3.269). Tingkat pendapatan per kapita tersebut merupakan nilai riil rata-rata selama periode 1980-2005 yang sudah disesuaikan dengan PPP tahun dasar 2000 sehingga dapat dikomparasikan antar negara. Tabel 4.1. Perkembangan PDB per Kapita di 10 Negara Asia Pasifik PDB per Kapita*) Negara
1980
2005
Filipina 3.293,29 4.050,87 Hongkong 13.326,40 33.198,40 4.459,45 Indonesia 2.129,05 Jepang 15.519,06 25.212,99 Korea Selatan 4.556,59 18.765,11 Malaysia 5.009,63 13.182,19 Singapura 13.001,41 33.002,53 Taiwan 5.944,63 21.712,04 8.813,71 Thailand 2.741,71 Amerika Serikat 21.984,59 37.322,95 Sumber: PWT (Diolah) , *) $ PPP 2000=100
Pertumbuhan 1980-2005 Rata-rata (%) per Tahun (%) 23,00 0,92 149,12 3,78 109,46 3,08 62,46 1,98 311,82 5,90 163,14 3,98 153,84 3,89 265,24 5,35 221,47 4,87 69,77 2,16
Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 memberikan gambaran perkembangan pendapatan (PDB) per kapita di 10 negara Asia Pasifik selama periode 1980-2005. Secara umum terlihat bahwa seluruh negara memiliki tren pendapatan per kapita yang meningkat dengan angka pertumbuhan positif. Tujuh dari sepuluh negara tersebut bahkan memiliki tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang cukup signifikan (di atas 100 persen) dan hanya tiga negara, yakni Filipina, Jepang, dan
67
Amerika Serikat yang mengalami pertumbuhan di bawah 100 persen. Sementara itu, rata-rata angka pertumbuhan tahunan selama periode tersebut juga menunjukkan angka positif pada kisaran 0,92-5,90 persen. Korea Selatan memiliki tingkat rata-rata pertumbuhan tertinggi (5,90 persen) diikuti Taiwan (5,35 persen), Thailand (3,79 persen). Pada tingkat rata-rata pertumbuhan terendah terdapat Filipina (0,92 persen), Jepang (1,98 persen), dan Amerika Serikat (2,16 persen). Rendahnya tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita di Jepang dan Amerika Serikat lebih dikarenakan performansi serta fondasi perekonomian negara tersebut yang kokoh sejak era 1980-an. Negara-negara tersebut terbilang mampu mengoptimalkan kapasitas sumberdaya di dalam negerinya sejak era tersebut, sehingga tingkat pendapatan per kapita yang memang sudah tinggi di negara-negara tesebut, membuat pertumbuhannya menjadi relatif tidak meningkat secara signifikan. Hal ini bertolak belakang dengan Filipina, relatif rendahnya pertumbuhan pendapatan per kapita di negara tersebut lebih dikarenakan rendahnya performansi ekonomi di negara tersebut. Hal ni tercermin dari tingkat pendapatan per kapita Filipina yang cenderung rendah dan tidak berubah signifikan selama periode 1980-2005 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Sementara itu tingkat pendapatan per kapita di tujuh negara lainnya tumbuh cukup signifikan selama periode tersebut. Kondisi ini menandakan bahwa kendati memiliki performansi ekonomi yang berbeda, pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut berjalan semakin baik. Tabel 4.2. Perkembangan Konsumsi Energi per Kapita di 10 Negara Asia Pasifik Negara
Konsumsi Energi per Kapita*)
Pertumbuhan
1980-2005 (%) Filipina 1.774,63 1.953,96 10,11 Hongkong 6.841,66 15.023,15 119,58 Indonesia 1.395,60 3.265,64 133,99 Jepang 21.363,47 28.247,21 32,22 Korea Selatan 9.360,25 28.380,78 203,21 Malaysia 4.638,80 15.662,13 237,63 Singapura 8.575,33 33.314,35 288,49 Taiwan 9.523,03 28.264,30 196,80 Thailand 1.971,69 8.225,22 317,17 Amerika Serikat 62.982,80 52.277,83 -17,00 Sumber: IEEJ dan EIA (Diolah), *) TOE per 10.000 Jiwa 1980
2005
Rata-rata per Tahun (%) 0,77 3,44 3,59 1,15 4,67 5,05 5,70 4,52 6,02 -0,67
68
20000
Filipina
2000 1750 1500 y = 0.842x - 1036. R² = 0.463
1250 1000 2500
TFC per Kapita
3500 3000
3000 3500 4000 PDB per Kapita
TFC per Kapita
2250
2500 2000
y = 0.797x - 380.9 R² = 0.902
1500
3000 4000 PDB per Kapita
5000
10000
28000
20000 16000 y = 1.594x + 1235. R² = 0.977
8000 4000
32000 28000 24000 20000 16000 12000 8000
36000
Jepang
24000 y = 0.928x + 5167. R² = 0.953
22000 20000
y = 1.002x - 3267. R² = 0.946
20000 25000 PDB per Kapita
Malaysia
12000 10000 8000
y = 1.431x - 2472. R² = 0.994
6000 4000 5000
32000 28000 24000 20000 16000 12000 8000
20000 28000 PDB per Kapita
10000 PDB per Kapita
15000
Taiwan
y = 1.244x + 1008. R² = 0.966 5000
10000 15000 PDB per Kapita
20000
64000
Thailand
7500 6000 4500 y = 1.206x - 1668. R² = 0.976
3000
14000
20000
Singapura
12000 9000
8000 12000 16000 PDB per Kapita
TFC per Kapita
12000
TFC per Kapita
Korea Selatan
24000
18000 24000 30000 PDB per Kapita
26000
16000
28000
y = 0.543x - 92.78 R² = 0.829
7500
15000
1500
TFC per Kapita
TFC per Kapita
12500
18000 2000
TFC per Kapita
15000
30000
Indonesia
Hongkong
12000
1000
TFC per Kapita
17500
5000
4500
TFC per Kapita
TFC per Kapita
2500
USA 60000 56000
y = -0.447x + 67129 R² = 0.341
52000 48000
2500
5000 7500 PDB per Kapita
10000
20000
26000 32000 PDB per Kapita
38000
Gambar 4.1. Hubungan antara Konsumsi Energi per Kapita (TOE Per 10.000 Jiwa) dengan PDB per Kapita ($PPP 2000=100) Sumber: EIA dan PWT (Diolah) Tren peningkatan pendapatan per kapita pada periode 1980-2005 ternyata diikuti oleh peningkatan konsumsi energi per kapita sebagaimana terlihat pada Tabel
69
4.1, 4.2, serta Gambar 4.1. Hal ini terlihat dari negara-negara yang memiliki tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi, juga memiliki tingkat pertumbuhan konsumsi energi per kapita yang tinggi, seperti Korea Selatan yang memiliki rata-rata pertumbuhan pendapatan tahunan sebesar 5,9 persen, memiliki rata-rata pertumbuhan konsumsi energi tahunan sebesar 4,7 persen (lihat Tabel 4.2). Dari kesepuluh negara tersebut hanya Amerika Serikat yang memiliki tren pertumbuhan konsumsi energi per kapita yang relatif tidak selaras dengan tren pertumbuhan pendapatan per kapita (lihat Gambar 4.1). Menurut data IEEJ, hal ini disebabkan data konsumsi energi final yang digunakan dalam kajian ini tidak menyertakan produk energi final yang berasal dari keempat macam sumber energi yang digunakan dalam peneltian ini, seperti nuklir yang mulai digunakan oleh Amerika Serikat sekitar satu dekade terakhir. Akan tetapi jika dilihat secara agregat, tren peningkatan pendapatan (PDB) Amerika Serikat sejalan dengan peningkatan konsumsi energi. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh negara-negara lainnya (lihat Tabel 4.3 dan Gambar 4.2). Tabel 4.3. Perkembangan PDB dan Konsumsi Energi di 10 Negara Asia Pasifik Negara
PDB *) 1980
2005
Pertumbuhan Konsumsi Energi**) (%) 1980-2005
1980
Filipina 167,76 355,90 112,15 9,04 Hongkong 67,47 229,03 239,43 3,46 Indonesia 321,54 1020,75 217,46 21,08 77,39 249,54 Jepang 1812,74 3215,59 Korea Selatan 173,72 912,75 425,43 35,69 315,93 358,17 6,39 Malaysia 68,95 Singapura 31,38 146,06 365,39 2,07 492,89 364,54 17,00 Taiwan 106,10 Thailand 128,93 565,71 338,77 9,27 120,47 1434,29 Amerika Serikat 5006,47 11037,67 Sumber: IEEJ dan EIA (Diolah), *) Milyar US$ **) TOE
2005 17,17 10,36 74,75 360,26 138,05 37,54 14,74 64,16 52,79 1546,03
Pertumbuhan (%) 1980-2005 89,90 199,19 254,65 44,37 286,85 487,88 612,27 277,50 469,39 7,79
Secara agregat terlihat bahwa tren peningkatan pendapatan (PDB) selama periode 1980-2005 diiringi oleh peningkatan konsumsi energi di sepuluh negara yang dikaji. Kondisi ini serupa dengan pola hubungan nilai per kapita dari variabel-variabel tersebut. Dari Tabel 4.3 juga terlihat bahwa negara-negara yang mengalami peningkatan pertumbuhan pendapatan yang tinggi, mengalami peningkatan pertumbuhan konsumsi energi yang signifikan. 70
21
14
Filipina
17
10 TOE
TOE
13 y = 0.067x - 3.202 R² = 0.836
9 5 200
250 300 350 Milyar USD
y = 0.078x - 6.560 R² = 0.949
30
100
150 200 Milyar USD
250
Jepang
275
y = 0.096x + 53.32 R² = 0.968
225 250
150
400
550 700 850 Milyar USD
1,000
1,800
Korea Selatan
90 y = 0.160x + 4.923 R² = 0.982
60
TOE
120 TOE
50
325
50
10
30 150 15
300
450 600 750 Milyar USD
40 35 30 25 20 15 10 5
900
2,100
2,400 2,700 3,000 Milyar USD
Malaysia
y = 0.132x - 2.887 R² = 0.997 60
70
Singapura
12
120
180 240 Milyar USD
300
Taiwan
55
6
y = 0.095x - 0.751 R² = 0.972
3
TOE
9 TOE
y = 0.053x + 0.062 R² = 0.878
TOE
TOE
400 375
Indonesia
70
0
40 y = 0.126x + 1.413 R² = 0.974
25 10
30 55
60
90 120 Milyar USD
100
150 1600
Thailand
45
200
300 400 Milyar USD
500
Amerika Serikat
1500
35
1400
25
y = 0.114x - 7.516 R² = 0.983
15 5
TOE
TOE
6 2
150 90
Hongkong
y = 0.034x + 1142 R² = 0.507
1300 1200
100
200
300 400 500 Milyar USD
600
4,000
6,000
8,000 10,000 Milyar USD
12,000
Gambar 4.2. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan PDB ($PPP 2000=100) Sumber: EIA dan PWT (Diolah) Hubungan antara PDB dengan konsumsi energi memiliki implikasi yang penting bagi perekonomian suatu negara. Dari gambaran yang diuraikan di atas dapat dilihat bahwa konsumsi energi dan pendapatan memiliki keterkaitan yang erat. Hal ini ditunjukkan oleh negara-negara yang memiliki tingkat pertumbuhan
71
pendapatan yang tinggi ternyata juga memiliki tingkat pertumbuhan konsumsi energi yang tinggi. Namun demikian, fenomena ini menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah hubungan antara dua variabel tersebut bersifat dua arah (PDB dan konsumsi energi saling mempengaruhi) atau hanya satu arah (hanya PDB mempengaruhi konsumsi energi, atau sebaliknya)? Dalam studinya, Galli (1998) mengemukakan bahwa pertumbuhan pendapatan (PDB) merupakan determinan utama pertumbuhan konsumsi energi. Melalui model yang dibangun, Galli (1998) mengasumsikan bahwa pendapatan (PDB) merupakan determinan bagi konsumsi energi pada suatu negara. Hubungan ini sering digunakan dalam beberapa studi untuk menguji hipotesis EKC berkaitan dengan hubungan antara indikator degradasi lingkungan dengan pendapatan (PDB). Di lain pihak, beberapa studi lain mencoba mengupas hubungan kedua variabel tersebut dengan menguji hubungan kausalitas di antara keduanya. Chontanawat et. al. (2006) melakukan uji kausalitas antara PDB dan konsumsi energi di 30 negara OECD dan 78 negara non-OECD. Dalam studi tersebut ditemui bahwa kausalitas PDB mempengaruhi konsumsi energi umumnya terjadi di negara-negara OECD (57 persen) dibandingkan negara-negara non-OECD (47 persen). Lebih rinci lagi, hubungan ini terjadi di negara-negara dengan tingkat pembangunan yang tinggi, menengah, dan rendah berturut-turut sebanyak 56 persen, 51 persen, dan 29 persen. Kondisi ini menjelaskan bahwa hubungan kausalitas PDB mempengaruhi konsumsi energi semakin lemah di negara-negara dengan tingkat pembangunan yang rendah. Kondisi ini dikarenakan pembangunan negara-negara tersebut masih berada pada tahap pra-industri di mana sektor pertanian masih menjadi andalan utama. Oleh karena itu ketergantungan negara tersebut akan energi masih relatif rendah. Selanjutnya, studi Chontanawat et al. (2006) juga menemukan bahwa secara umum kausalitas konsumsi energi mempengaruhi PDB terjadi di negaranegara OECD dibandingkan negara-negara non-OECD, namun dengan tingkat perbedaan yang cukup signifikan. Di sini ditemui kausalitas konsumsi energi mempengaruhi PDB sebanyak 70 persen terjadi di negara OECD dan 46 persen terjadi di negara non OECD. Lebih rinci lagi hubungan ini terjadi di negaranegara dengan tingkat pembangunan tinggi, menengah, dan rendah berturut-turut
72
sebanyak 69 persen, 42 persen, dan 35 persen. Hasil ini juga mencerminkan bahwa derajat kausalitas konsumsi energi mempengaruhi PDB di negara berkembang lebih rendah dibandingkan negara-negara maju. Sementara itu, gambaran arah hubungan antara konsumsi energi dan PDB dari negara-negara Asia Pasifik yang dikaji dituangkan dalam Tabel 4.4 yang menyajikan hasil uji kausalitas antara konsumsi energi dan PDB. Dari hasil estimasi tersebut terlihat bahwa kausalitas PDB mempengaruhi konsumsi energi setidaknya terjadi di empat negara, yakni Hongkong, Indonesia, Jepang, dan Taiwan. Sedangkan kausalitas konsumsi energi mempengaruhi PDB hanya terjadi di tiga negara, yaitu Jepang, Malaysia, dan Amerika Serikat. Hasil uji ini secara umum menjelaskan bahwa konsumsi energi dan PDB dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Tabel 4.4. Hasil Uji Kausalitas antara PDB per Kapita dan Konsumsi Energi per Kapita No Negara Hipotesis Nol F-Statistik 1 Filipina q does not granger cause pdb 1,421 pdb does not granger cause q 1,342 2 Hongkong q does not granger cause pdb 0,275 pdb does not granger cause q 3,139* 3 Indonesia q does not granger cause pdb 0,275 pdb does not granger cause q 3,139** 4 Jepang q does not granger cause pdb 4,020** pdb does not granger cause q 6,301*** 5 Korea q does not granger cause pdb 0,690 pdb does not granger cause q 0,302 6 Malaysia q does not granger cause pdb 3,476* pdb does not granger cause q 0,471 7 Singapura q does not granger cause pdb 5,458* pdb does not granger cause q 0,351 8 Taiwan q does not granger cause pdb 0,093 pdb does not granger cause q 4,094** 9 Thailand q does not granger cause pdb 0,282 pdb does not granger cause q 1,003 10 Amerika Serikat q does not granger cause pdb 2,877* pdb does not granger cause q 0,906 Keterangan: q menyatakan konsumsi energi per kapita pdb menyatakan pendapatan (PDB) per kapta *** Signifikan pada taraf nyata 1% ** Signifikan pada taraf nyata 5% * Signifikan pada taraf nyata 10%
73
4.2.
Dinamika Konsumsi Energi dan Harga Energi Selama periode 1980-2005 pergerakan harga energi (riil) di 10 negara Asia
Pasifik yang dikaji memperlihatkan tren yang cukup variatif (lihat Tabel 4.4). Beberapa negara seperti Filipina, Hongkong, Jepang, Indonesia, Singapura memiliki tren pergerakan yang cenderung menurun. Sementara itu, di beberapa negara lainnya seperti Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, Thailand, dan Amerika Serikat, tren pergerakan harga energi cenderung meningkat. Dinamika harga energi di negara-negara tersebut sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga energi dunia. Mengingat harga energi yang digunakan pada kajian ini adalah harga bahan bakar minyak utama (premium dan solar), maka peningkatan harga minyak dunia akan berdampak langsung pada peningkatan harga energi domestik. Selain dipengaruhi oleh dinamika harga energi (minyak) dunia, pergerakan harga energi domestik juga dipengaruhi oleh kebijakan penetapan harga energi (pricing policy) dalam negeri di setiap negara, sehingga tren pergerakan harga energi domestik dapat bervariasi antar negara dan antar waktu. Tabel 4.5. Perkembangan Harga Energi (Riil) di Sepuluh Negara Asia Pasifik Negara
1980
Filipina 2,33 Hongkong 1,36 Indonesia 1,27 Jepang 0,34 Korea Selatan 0,36 Malaysia 0,57 Singapura 0,67 Taiwan 1,02 Thailand 0,53 Amerika Serikat 0,81 Sumber: ADB dan PWT (Diolah),
1985
1990
1995
2000
0,94 0,59 0,40 0,32 1,20 0,59 0,55 0,10 1,19 0,63 0,65 0,82 0,38 0,35 0,38 0,23 0,42 0,42 0,55 0,57 0,50 0,61 0,53 0,55 0,48 0,40 0,38 0,36 0,83 0,85 0,90 1,06 0,68 0,80 1,23 0,99 0,87 0,81 0,65 0,99 *)US$ per liter (PPP $ 2000=100)
2005 0,45 0,35 1,20 0,35 0,77 0,74 0,54 1,70 1,29 1,71
Kisaran harga energi di sepuluh negara Asia Pasifik yang dikaji relatif tidak jauh berbeda. Harga energi rata-rata di sepuluh negara tersebut berada pada kisaran US$ 0,33-0,95 per liter selama periode 1980-2005. Tiga negara dengan harga energi terendah selama periode tersebut antara lain Jepang (US$ 0,33 per liter), Singapura (US$ 0,43 per liter), dan Korea Selatan (US$ 0,47 per liter). Sementara itu tiga negara dengan harga energi tertinggi antara lain Taiwan (US$
74
0,95 per liter), Indonesia (US$ 0,93 per liter), dan Thailand(US$ 0,87 per liter). Secara umum pergerakan harga energi riil selama periode 1980-2005 di sepuluh negara Asia Pasifik yang dikaji menunjukkan pergerakan yang cukup fluktuatif. Dinamika hubungan antara harga energi dengan konsumsi energi memiliki pola yang cukup bervariasi antar negara selama periode 1980-2005. Setidaknya ada tiga pola pergerakan yang menggambarkan hubungan antara dua variabel tersebut (lihat Gambar 4.3). Pertama, tren konsumsi energi cenderung meningkat seiring penurunan harganya. Pola ini terjadi di Filipina, Hongkong, dan Jepang. Kedua, tren pergerakan konsumsi energi awalnya cenderung meningkat seiring penurunan harga, namun terjadinya peningkatan harga energi tidak menghalangi negara-negara seperti Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat untuk terus meningkatkan konsumsi energinya. Ketiga, tren pergerakan konsumsi energi cenderung meningkat kendati pergerakan harganya juga cenderung meningkat. Pola hubungan ini terjadi di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Taiwan. Cukup variatifnya pola hubungan antara konsumsi energi dengan harganya di berbagai negara yang dikaji mengindikasikan bahwa bagaimanapun pergerakan harga energi terjadi, negara-negara akan cenderung meningkatkan konsumsi energinya. Fenomena ini merupakan suatu keniscayaan dan konsekuensi dari semakin bertambahnya populasi penduduk, kemajuan teknologi, dan terus berlangsungnya proses pembangunan yang senantiasa membutuhkan energi yang semakin besar. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa dengan terus meningkatnya konsumsi energi suatu negara, bukan berarti negara tersebut inefisien dalam menggunakan energinya. Karena bisa jadi tingginya konsumsi energi pada suatu negara juga diikuti dengan semakin tingginya pendapatan (PDB) pada tingkat pertumbuhan yang jauh lebih besar. Oleh karenanya tingkat konsumsi energi per kapita menjadi tidak relevan bila dijadikan landasan untuk mengukur tingkat efisiensi penggunaan energi suatu negara. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan energi suatu negara adalah intensitas energi (Chima 2007, Ramachandra et al. 2006). Berdasarkan konsep intensitas energi, efisiensi selain diukur oleh jumlah energi yang digunakan juga diukur oleh seberapa besar pendapatan (PDB) dihasilkan dari penggunaan energi tersebut.
75
1.5
Filipina
2.0
y = 2.628e-0.12x R² = 0.617
1.5 1.0 0.5
Hongkong
1.2 $ per Liter
$ per Liter
2.5
0.9 0.6 y = -0.138x + 1.698 R² = 0.875
0.3 0.0 -0.3 3
0.0 5
10
15
5
7
20
Indonesia y = 0.000x2 - 0.088x + 2.898 R² = 0.733
1.2
$ per Liter
$ per Liter
1.5 0.9 0.6 0.3 0.0 20
30
40
50 60 Juta TOE
70
80
Korea
0.6
$ per Liter
$ per Liter
Jepang
320
370
Juta TOE
0.4 y = 0.002x + 0.253 R² = 0.728
0.2
Malaysia
0.6 0.4
y = 0.000x2 - 0.008x + 0.554 R² = 0.316
0.2 0.0
0.0 30
60
90 Juta TOE
120
5
150
10
15
20 25 Juta TOE
30
35
40
2.0
0.8
Singapura
0.6
$ per Liter
$ per Liter
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 y = -0.000x + 0.470 0.1 R² = 0.202 0.0 -0.1 220 270
0.8
0.8
0.4 0.2
y = 0.006x2 - 0.115x + 0.840 R² = 0.846
0.0 0
3
6 9 Juta TOE
0.8 y = 0.012x + 0.502 R² = 0.658
0.4 15
1.6 $ per Liter
0.8 y = 0.011x + 0.545 R² = 0.652
0.4
1.2
15
Thailand
1.2
Taiwan
1.6
0.0 12
1.6 $ per Liter
11
Juta TOE
Juta TOE 1.8
9
0.0 15
25 35 Juta TOE
45
55
35 45 Juta TOE
55
65
USA
1.2 0.8 0.4
y = 2E-05x2 - 0.060x + 42.32 R² = 0.657
0.0 5
25
1200
1300
1400 Juta TOE
1500
1600
Gambar 4.3. Hubungan antara Konsumsi Energi dan Harga Energi, 1980-2005 Sumber: IEEJ, ADB, dan CEIC (Diolah) Selain dipengaruhi oleh dinamika harga energi dunia, pola hubungan konsumsi energi yang cukup variatif dengan harga energi pada setiap negara juga dikarenakan adanya perbedaan kebijakan penetapan harga (pricing policy) energi
76
di negara-negara yang dikaji. Walaupun secara umum negara-negara akan cenderung menyesuaikan harga energi domestiknya dengan tingkat harga energi dunia, namun perilaku penyesuaian antar negara dapat berbeda. Ada beberapa negara yang cenderung mempertahankan harga energi domestik kendati harga energi dunia meningkat dengan mekanisme subsidi, namun ada beberapa negara lainnya yang meningkatkan harga energi domestik untuk melakukan penyesuaian. Oleh karena itu, pola hubungan antara konsumsi energi per kapita dan harga energi dapat bervariasi antar negara dan antar waktu.
4.3. Dinamika Intensitas Energi Tabel 4.4 menyajikan rata-rata tingkat perubahan intensitas energi selama periode 1980-2005 untuk setiap negara. Dari enam negara yang dikelompokkan sebagai negara maju, secara umum menunjukkan pertumbuhan intensitas energi yang negatif, hanya Singapura yang memiliki rata-rata pertumbuhan intensitas energi yang positif. Meskipun kecenderungan intensitas energi di negara-negara maju cenderung menurun, namun secara umum negara-negara tersebut memiliki intensitas energi yang lebih besar (kecuali Hongkong) dibandingkan emerging countries. Tingginya intensitas energi di negara-negara maju lebih dikarenakan masih relatif besarnya konsumsi energi yang digunakan khususnya pada sektor manufaktur kendati dengan intensitas yang semakin menurun. Tabel 4.6. Perkembangan Intensitas Energi*) di 10 Negara Asia Pasifik, 1980-2005 Rata-rata Pertumbuhan 1980-2005 (%) Filipina 0,54 0,42 0,52 0,64 0,56 0,48 -0,08 Hongkong 0,51 0,49 0,53 0,55 0,58 0,45 -0,18 0,64 0,62 0,65 0,75 0,73 0,64 Indonesia 0,66 Jepang 1,38 1,20 1,13 1,17 1,17 1,12 -0,80 1,72 1,56 1,77 1,72 1,51 -1,16 Korea Selatan 2,05 Malaysia 0,93 0,97 1,08 1,21 1,19 1,19 1,05 0,84 0,91 0,83 0,77 1,01 1,88 Singapura 0,66 1,44 1,30 1,21 1,27 1,30 -0,75 Taiwan 1,60 0,68 0,82 0,93 1,00 0,93 1,13 Thailand 0,72 Amerika Serikat 2,86 2,27 1,84 1,72 1,55 1,40 -2,77 Sumber: IEEJ dan PWT (Diolah), *) TOE per 10.000 PDB (PPP $ 2000=100) Negara
1980
1985
1990
1995
2000
2005
77
0.8
Filipina 0.70 0.60 0.50
Intensitas Energi
Intensitas Energi
0.80
0.40 3250 3750 4250 Pendapatan (PDB) Per Kapita
0.5
13000
18000 23000 28000 33000 Pendapatan (PDB) Per Kapita
1.5
Indonesia 0.8 0.7 0.6
Intensitas Energi
0.9 Intensitas Energi
0.6
0.4 2750
0.5
Jepang 1.4 1.3 1.2 1.1
2000
2750 3500 4250 Pendapatan (PDB) Per Kapita
15000
18000 21000 24000 Pendapatan (PDB) Per Kapita
1.3
Korea Selatan
1.9 1.8 1.7 1.6
Intensitas Energi
2.0 Intensitas Energi
Hongkong 0.7
1.5
Malaysia 1.2 1.1 1.0 0.9
4500
7500 10500 13500 16500 19500 Pendapatan (PDB) Per Kapita
5000
8000 11000 14000 Pendapatan (PDB) Per Kapita
Singapura 1.1 0.9 0.8
Intensitas Energi
Intensitas Energi
1.2
0.6
1.5 1.3 1.2
13000
5500
18000 23000 28000 33000 Pendapatan (PDB) Per Kapita
1.1
10500 15500 20500 Pendapatan (PDB) Per Kapita
2.8
Thailand
1.0 0.9 0.8 0.7 0.6
Amerika Serikat Intensitas Energi
Intensitas Energi
Taiwan
1.6
2.4 2.0 1.6 1.2
2500
4000 5500 7000 8500 Pendapatan (PDB) Per Kapita
20000
25000 30000 35000 Pendapatan (PDB) Per Kapita
Gambar 4.4. Dinamika Intensitas Energi dan Pendapatan per Kapita Sumber: EIA dan PWT (Diolah)
78
Sebagai ilustrasi, selama periode 1980-2005, tren intensitas energi Singapura bergerak fluktuatif, namun cenderung meningkat selama lima tahun terakhir. Menurut Keong (2006), tingginya intensitas energi di Singapura lebih dikarenakan masih intensifnya penggunaan energi di sektor manufaktur yang berkaitan dengan penggunaan panas dan listrik untuk proses produksi khususnya pada industri-industri penyulingan minyak, petrokimia, dan semikonduktor. Kontribusi industri petrokimia yang mengkonsumsi produk bahan bakar minyak sebagai bahan baku, tercatat sekitar 20 persen dari total konsumsi energi di Singapura. Dan secara keseluruhan sektor industri manufaktur menggunakan energi sebanyak lebih dari lima puluh persen total konsumsi energi di Singapura. Di sisi lain, pangsa industri manufaktur Singapura terhadap PDB masih relatif besar, yakni sekitar 26,8 persen (tahun 2005), bandingkan dengan Hongkong yang hanya sekitar 3,3 persen (tahun 2005). Oleh karena pangsa industri manufaktur— yang cenderung mengkonsumsi energi besar—di Singapura lebih besar dibandingkan Hongkong—yang mana perekonomiannya lebih berorientasi pada sektor jasa yang tidak intensif membutuhkan energi—maka implikasinya intensitas energi di Singapura akan lebih besar dibandingkan Hongkong. Secara umum, tingginya konsumsi energi per kapita di negara-negara maju juga diikuti oleh tingginya pendapatan per kapita. Akan tetapi, pertumbuhan pendapatan per kapita di negara-negara maju tersebut berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi energi per kapita. Kondisi inilah yang menyebabkan intensitas energi di negara-negara tersebut cenderung menurun pada periode tersebut. Terjadinya pergeseran tren intensitas energi ini menandakan bahwa pendapatan per kapita di negara-negara tersebut telah melampaui turning point (akan dibahas lanjut pada bagian analisis) pendapatan per kapita dan telah mencapai fase pembangunan ekonomi yang tidak lagi intensif menggunakan energi atau walalupun masih intensif namun dengan intensitas yang cenderung menurun. Sementara itu, dari empat negara yang dikelompokkan sebagai emerging countries, hanya Filipina yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan negatif. Namun, kondisi yang terjadi di Filipina tidak seperti yang terjadi di negara-negara maju. Pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan
79
pertumbuhan konsumsi energi per kapita lebih dikarenakan pembangunan di Filipina masih berada pada fase pembangunan yang tidak terlalu intensif menggunakan energi untuk menghasilkan output. Setidaknya hal ini tercermin dari tingkat pendapatan (PDB) per kapita dan pertumbuhannya yang masih relatif rendah pada periode 1980-2005. Namun demikian, secara umum keempat negara tersebut memiliki tren intensitas energi yang terus meningkat. Hal ini menandakan negara-negara tersebut masih intensif menggunakan energi dalam proses pembangunan ekonomi selama periode tersebut. Sehingga pertumbuhan konsumsi energi per kapita masih relatif lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita. Pergerakan intensitas energi negara-negara ini menandakan bahwa negara-negara ini masih mengalami materialisasi dan belum melampaui turning point (akan dibahas lanjut pada bagian analisis) pendapatan per kapita. Secara umum pergeseran intensitas energi dari tahun 1980 ke tahun 2005 dari negara-negara yang dikaji dapat dilihat pada Gambar 4.4. Sebagaimana terlihat pada gambar, negara-negara yang dikategorikan sebagai negara maju cenderung mengalami penurunan intensitas energi (kecuali Singapura) seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Di lain pihak, peningkatan pendapatan per kapita di negara-negara berkembang belum dapat menurunkan intensitas energinya (kecuali Filipina). Secara sederhana, perbedaan perilaku intensitas energi antara dua kelompok negara tersebut dapat dilihat melalui tingkat pendapatan per kapita. Negara-negara maju yang sudah mengalami penurunan intensitas energi umumnya memiliki rata-rata tingkat pendapatan per kapita di atas US$ 10.000 selama periode 1980-2005. Sedangkan negara-negara berkembang yang umumnya masih memiliki rata-rata tingkat pendapatan per kapita di bawah US$ 10.000 umumnya memiliki tren intensitas energi yang cenderung meningkat. Analisis lebih jauh mengenai pergeseran intensitas energi ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.
80
V. HASIL ANALISIS
5.1.
Hasil Estimasi Tabel 5.1. menyajikan hasil estimasi koefisien regresi dari model data
panel statis pada Persamaan (3.7) dan model data panel dinamis pada Persamaan (3.8). Pada model data panel statis, koefisien estimasi yang disajikan merupakan hasil dari tiga metode estimasi, yakni pooled LS, FEM, dan REM. Sementara itu, untuk model data panel dinamis, koefisien estimasi yang disajikan merupakan hasil estimasi model AB-GMM. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan. Secara khusus, hasil ini juga dapat digunakan untuk mengkomparasi hasil estimasi dari model data panel statis dan dinamis. Secara umum, keempat metode estimasi baik dalam model data panel statis maupun dinamis menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik, hal ini terlihat dari tingkat signifikansi dan tanda koefisien estimasi yang sesuai dengan harapan teoritis. Dalam model data panel statis di mana tiga metode estimasi digunakan, terlihat bahwa FEM lebih dipilih dibandingkan dua metode estimasi data panel statis lainnya. Hal ini tercermin dari nilai statistik uji Chow (4,44) dan nilai statistik uji Hausman (27,29) yang masing-masing signifikan pada taraf nyata 1 persen. Hasil uji Chow mengindikasikan bahwa FEM lebih dipilih dibandingkan pooled LS. Sedangkan hasil uji Hausman menandakan bahwa FEM lebih dipilih daripada REM. Sementara itu, validitas dan konsistensi estimasi juga ditunjukkan oleh hasil estimasi AB-GMM pada model data panel dinamis. Hal ini terlihat dari nilai statistik uji Sargan sebesar 219,05. Hasil uji Sargan ini menandakan bahwa instrumen yang digunakan pada perhitungan valid pada taraf nyata 1 persen. Sementara itu, konsistensi penduga AB-GMM juga ditunjukkan oleh nilai statistik m1 (-2,01) yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dan nilai statistik m2 (0,718) yang tidak signifikan baik pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen.
81
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Koefisien Model Data Panel Statis dan Dinamis
Constant ln PDB / Pop it
ln Pit ln PDB / Pop i ,t 1 ln Pi ,t 1
ln Q / Pop i ,t 1
ln PDB / Pop
2
i ,t 1
ln PDB / Pop i ,t 1
F-Test Wald Test Chow F-Test Breusch-Pagan LM Test Hausman Test Sargan Test Arellano-Bond m1 Arellano-Bond m2
Pooled LS -1,711 *** (0,543) 0,578 *** (0,093) -0,038 * (0,019) 0,405 *** (0,122) 0,001 (0,006) -0,025 *** (0,009) -0,021 *** (0,006) 11,12 [0.000] -
Model Statis FEM -2,381 *** (0,798) 0,538 *** (0,094) -0,055 *** (0,019) 0,673 *** (0,188) -0,013 (0,008) -0,158 *** (0,029) -0,027 *** (0,014) 10,85 [0,000] 4,44 [0.000] 0,77 [0.381] 27,29 [0,000] -
REM -1,671 *** (0,566) 0,570 *** (0,093) -0,039 ** (0,019) 0,396 *** (0,128) 0,001 (0,007) -0,026 *** (0,009) -0,020 *** (0,007) 61,75 [0,000]
Model Dinamis AB-GMM -3,442 ** (1,352) 0,550 *** (0 ,096) -0,065 *** (0,020) 0,976 *** (0,316) -0,016 * (0,010) -0,226 *** (0,039) -0,040 *** (0,016) 0,004 (0,051) 80,83 [0,000] 219,05 [0,040] -2,021 [0,043] 0,718 [0,473]
Keterangan: *** Signifikan pada taraf nyata 1% ** Signifikan pada taraf nyata 5% * Signifikan pada taraf nyata 10% Angka dalam kurung ( ) dan [ ] berturut-turut menyatakan simpangan baku dan P-value
Dari hasil estimasi yang tercantum pada Tabel 5.1 selanjutnya dapat ditentukan koefisien jangka panjang 1 , 2 , dan 3 yang masing-masing diperoleh melalui perhitungan dalam Persamaan 4.7. Nilai koefisien-koefisien estimasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2. Hasil estimasi dari kedua model (FEM dan AB-GMM) memperlihatkan tanda koefisien jangka panjang yang positif untuk pendapatan per kapita, negatif untuk pendapatan per kapita kuadrat, dan negatif untuk harga energi. Koefisien pendapatan per kapita dan pendapatan per kapita kuadrat jangka panjang yang dihasilkan dari kedua model tersebut
82
signifikan pada taraf nyata 1 persen, sedangkan koefisien harga energi jangka panjang yang dihasilkan signifikan pada taraf nyata 10 persen. Tabel 5.2. Koefisien Estimasi Jangka Panjang Pendapatan per kapita ( 1 ) Pendapatan per kapita kuadrat ( 2 ) Harga energi( 3 )
FEM 4,264 *** (1,010)
AB-GMM 4,309 *** (1,080)
-0,175*** (0,055)
-0,179*** (0,058)
-0,083* (0,050)
-0,074* (0,042)
Keterangan: *** Signifikan pada taraf nyata 1% * Signifikan pada taraf nyata 10% Angka dalam kurung ( ) menyatakan simpangan baku 5.2.
Respon Konsumsi Energi Per Kapita terhadap Perubahan Harga Berdasarkan hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 5.1, diperoleh
elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap harga energi dalam jangka pendek sebesar -0,055 (FEM) dan -0,065 (AB-GMM). Nilai elastisitas ini menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, peningkatan harga energi sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh penurunan konsumsi energi per kapita sebesar -0,055 persen (FEM) dan -0,065 persen (AB-GMM), begitu juga sebaliknya. Elastisitas harga jangka pendek yang diperoleh dari kedua model (FEM dan AB-GMM) relatif tidak berbeda jauh, bernilai negatif, serta keduanya signifikan pada taraf nyata 1 persen. Sementara itu nilai elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap harga energi dalam jangka panjang untuk kedua model sebagaimana tersaji pada Tabel 5.2. adalah sebesar -0,083 (FEM) dan -0,074 (AB-GMM). Artinya, dalam jangka panjang, peningkatan harga energi sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh penurunan konsumsi energi per kapita sebesar -0,083 persen (FEM) dan -0,074 persen (AB-GMM), begitu juga sebaliknya. Nilai mutlak elastisitas harga energi yang lebih kecil dari satu dan relatif dekat ke nol baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang menunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita bersifat sangat inelastis, artinya kenaikan harga energi akan diikuti oleh penurunan konsumsi energi per kapita dalam porsi yang jauh lebih kecil. Dengan kata lain, konsumsi energi per kapita tidak terlalu
83
responsif terhadap perubahan harganya. Konsumsi energi per kapita yang bersifat inelastis ini mencerminkan bahwa energi merupakan barang kebutuhan dasar yang esensial bagi setiap negara sebagaimana halnya pangan pokok yang masih relatif sulit dicari penggantinya. Sehingga kenaikan harga energi tidak serta merta membuat negara-negara menurunkan konsumsi energinya secara signifikan. Hasil ini selaras dengan apa yang dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa energi memiliki peranan penting dan strategis bagi perekonomian suatu negara. Hal ini dikarenakan energi merupakan input vital bagi indvidu, rumahtangga, industri, atau negara secara umum untuk menjalankan berbagai aktivitasnya baik yang bersifat konsumtif maupun produktif. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita lebih elastis terhadap perubahan harganya dalam jangka panjang (kendati masih bersifat inelastis) dibandingkan dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan energi final termasuk barang konsumsi yang mana konsumen (individu, rumah tangga, perusahaan, atau negara secara umum) menggunakannya secara langsung untuk memenuhi berbagai kebutuhannya demi memaksimumkan utilitasnya. Hal ini senada dengan apa yang dikemukan Chen (2007) bahwa permintaan atau konsumsi energi akan menjadi lebih elastis terhadap perubahan harganya dalam jangka panjang dibandingkan dalam jangka pendek. Sebagaimana diketahui energi final merupakan barang yang penting dan esensial sebagaimana halnya pangan pokok yang dikonsumsi oleh konsumen sehari-hari secara relatif konstan. Di sisi lain, barang pengganti atau substitusi atas energi final tersebut relatif belum tersedia dalam jangka pendek, sehingga perubahan harga energi tidak akan mempengaruhi konsumsi energi secara signifikan dalam jangka pendek. Dengan kata lain konsumsi energi final akan menjadi lebih inelastis dalam jangka pendek. Dalam beberapa dekade terakhir, hampir setiap negara di dunia menggantungkan kebutuhan energinya pada sumber energi konvensional berbasis fosil. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir seiring berjalannya proses pembangunan, banyak negara (terutama negara-negara maju) mulai mengurangi konsumsi energi konvensionalnya (walaupun jumlahnya masih sangat terbatas) kemudian mengarahkannya pada energi alternatif yang lebih efisien dan dapat mereka hasilkan sendiri (seperti biofuel, biodiesel, hidrogen, panas bumi, dan
84
nuklir). Hal ini selain dikarenakan ketersediaan energi konvensional yang semakin menurun (karena sifatnya yang non-renewable)10, tren harga energi konvensional yang cenderung meningkat, juga mulai tumbuh kesadaran global akan dampak negatif dari penggunaan sumber energi konvensional secara masif oleh negaranegara di dunia terhadap lingkungan hidup. Pergeseran penggunaan sumber energi tersebut juga didukung oleh kemajuan teknologi yang umumnya terjadi dalam jangka panjang yang telah mampu menghasilkan barang-barang yang lebih berkualitas, hemat energi dan material, serta lebih ramah lingkungan. Hal ini pada gilirannya akan mendorong penghematan konsumsi energi. Alasan-alasan inilah yang pada gilirannya mempengaruhi sisi penawaran dan permintaan terhadap energi serta membuat substitusi energi final menjadi lebih variatif dalam jangka panjang sehingga konsumsi energi final akan cenderung lebih elastis terhadap harganya dalam jangka panjang.
5.3.
Respon Konsumsi Energi Per Kapita terhadap Perubahan Pendapatan per Kapita Hasil estimasi FEM dan AB-GMM berturut-turut menghasilkan nilai
elastisitas pendapatan per kapita jangka pendek sebesar 0,538 dan 0,550. Artinya, dalam jangka pendek, peningkatan pendapatan per kapita sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan konsumsi energi per kapita sebesar 0,538 persen (FEM) dan 0,550 (AB-GMM). Nilai elastisitas yang dihasilkan dari kedua model ini relatif tidak jauh berbeda, bernilai positif, serta keduanya signifikan pada taraf nyata 1 persen. Dalam model kuadratik, elastisitas konsumsi energi per kapita jangka panjang terhadap pendapatan per kapita ditentukan secara bersama-sama oleh koefisien estimasi pendapatan per kapita, pendapatan per kapita kuadrat, serta nilai pendapatan per kapita setiap negara pada tahun tertentu. Pada FEM, elastisitas konsumsi energi per kapita jangka panjang terhadap pendapatan per kapita ditentukan berdasarkan persamaan11 4, 264 2 0,175 yit . Sementara itu, 10 Hal ini diperkuat oleh Teori Hubbert sebagaimana dibahas pada Sub Bab 2.1 11 Dengan menggunakan metode yang sama, Galli (1998) mendapatakan persamaan elastisitas permintaan energi jangka panjang terhadap permintaan energi di 10 negara pasar baru Asia dan menggunakan rentang data 1971-1990, sebesar 5, 468 2 0, 269 yit .
85
dalam model AB-GMM, elastisitas konsumsi energi per kapita jangka panjang terhadap
pendapatan
per
kapita
ditentukan
berdasarkan
persamaan
4,309 2 0,179 yit . Dengan yit ln PDB / Pop it merupakan nilai pendapatan per kapita negara ke-i pada tahun ke-t. Tabel 5.3. Elastisitas Konsumsi Energi per Kapita terhadap Pendapatan per Kapita Jangka Panjang FEM AB-GMM Negara 1985 1995 2005 1985 1995 2005 *** *** *** *** *** Filipina 1,471 1.432 1,358 1,454 1,414 1,338*** (0,144) (0,134) (0,114) (0,157) (0,151) (0,122) Hongkong 0,876*** 0,695*** 0,622*** 0,845*** 0,659*** 0,585*** (0,091) (0,136) (0,156) (0,077) (0,127) (0,149) Indonesia 1,559*** 1,378*** 1,324*** 1,544*** 1,358*** 1,303*** (1,106) (0,119) (1,106) (0,184) (0,122) (0,112) Jepang 0,847*** 0,752*** 0,718*** 0,815*** 0,718*** 0,684*** (0,096) (0,121) (0,130) (0,084) (0,110) (0,120) Korea 1,209*** 0,945*** 0,822*** 1,186*** 0,915*** 0,789*** (0,081) (0,079) (0,103) (0,081) (0,063) (0,091) Malaysia 1,239*** 1,066*** 0,945*** 1,216*** 1,039*** 0,916*** (0,087) (0,068) (0,078) (0,089) (0,057) (0,064) Singapura 0,911*** 0,716*** 0,624*** 0,881*** 0,682*** 0,588*** (0,084) (0,130) (0,156) (0,070) (0,120) (0,148) Taiwan 1,135*** 0,896*** 0,770*** 1,110*** 0,866*** 0,737*** (0,071) (0,087) (0,116) (0,066) (0,073) (0,105) Thailand 1.419*** 1.182*** 1,086*** 1,401*** 1,158*** 1,060*** (0,130) (0,077) (0,068) (0,141) (0,075) (0,059) USA 0,723*** 0,622*** 0,581*** 0,688*** 0,626*** 0,544*** (1,129) (0,145) (0,168) (0,118) (0,137) (0,162) Keterangan: *** Signifikan pada taraf nyata 1% Angka dalam kurung ( ) menyatakan simpangan baku
Tabel 5.3 menyajikan hasil elastisitas konsumsi energi per kapita jangka panjang terhadap pendapatan per kapita dari kedua model. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa seluruh koefisien elastisitas bernilai positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen. Hasil estimasi tersebut juga memperlihatkan nilai elastisitas yang cenderung menurun selama tiga titik waktu, yakni tahun 1985, 1995, dan 2005. Hal ini menandakan bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan cenderung meningkatkan konsumsi energi per kapita namun dengan tingkat yang semakin menurun. Hal yang juga menarik untuk dicermati dari hasil yang tersaji pada Tabel 5.3 adalah elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita 86
dalam jangka panjang di negara-negara maju (dengan pendapatan per kapita tinggi) lebih kecil dibandingkan emerging countries (dengan pendapatan per kapita lebih rendah). Negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita tinggi (di atas US$ 10.000 per kapita) cenderung memiliki elastisitas di bawah satu yang berarti porsi peningkatan konsumsi energi per kapita di negara-negara tersebut lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan pendapatan per kapitanya pada saat yang bersamaan. Di sisi lain negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita lebih kecil (di bawah US$ 10.000 per kapita) cenderung memiliki elastisitas di atas satu yang berarti peningkatan konsumsi energi per kapita di negara-negara tersebut masih lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pendapatan per kapitanya pada saat yang bersamaan. Tren penurunan elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita lebih dikarenakan adanya pergeseran fase pembangunan dari negaranegara yang dikaji dalam jangka panjang. Pada fase awal pembangunan, negaranegara cenderung intensif menggunakan energinya untuk pembangunan berbagai infrastruktur, seperti jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan, jembatan, industri, serta berbagai sarana dan prasarana publik dan privat lainnya. Pada fase ini umumnya tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita masih lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi per kapita. Kondisi ini dicerminkan oleh nilai elastisitas yang lebih besar dari satu. Namun, seiring berjalannya proses pembangunan, ketika berbagai infrastruktur mulai terpenuhi, mulai ada pergeseran fase pembangunan ekonomi ke fase yang tidak lagi intensif menggunakan energi. Pada fase ini negara mulai mengorientasikan pembangunan pada perekonomian jasa, bukan lagi pada perekonomian industri yang intensif menggunakan energi. Pada fase ini tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita menjadi lebih besar dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi per kapita. Hal ini dicerminkan oleh nilai elastisitas pendapatan yang lebih kecil dari satu. Dengan terus berjalannya proses pembangunan yang ditandai oleh semakin meningkatnya pendapatan per kapita, nilai elastisitas konsumsi energi per kapita terhadap pendapatan per kapita akan cenderung menjadi lebih kecil lagi. Bila dilihat dari aras individu, fenomena di atas dapat dijelaskan melalui teori mikroekonomi sederhana. Sebagaimana diketahui marginal prospensity to
87
consume (MPC) individu yang berpendapatan tinggi akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan individu yang berpendapatan rendah. Artinya, dalam kasus ini, individu pada suatu negara dengan pendapatan per kapita lebih tinggi akan cenderung meningkatkan konsumsinya (termasuk energi) pada tingkat yang lebih kecil dibandingkan dengan individu pada suatu negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah ketika terjadi peningkatan pendapatan per kapita. Hal ini utamanya dikarenakan kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier dari individu dengan pendapatan lebih tinggi umumnya relatif sudah terpenuhi dibandingkan individu dengan pendapatan lebih rendah. Sehingga bila terjadi peningkatan pendapatan, individu yang berpendapatan lebih tinggi cenderung mengalihkannya untuk pos pengeluaran lain, seperti untuk tabungan atau investasi. Sebaliknya, individu dengan pendapatan lebih rendah cenderung meningkatkan konsumsinya untuk memenuhi kebutuhannya yang belum tercapai. Sebagai ilustrasi, individu dengan pendapatan lebih tinggi umumnya telah memiliki berbagai barang elektronik dan sejumlah barang bergerak lainnya seperti kendaraan bermotor. Sebagaimana diketahui, kesemua jenis barang tersebut memerlukan energi final, seperti listrik dan BBM untuk menggerakannya. Di lain pihak, individu dengan pendapatan lebih rendah umumnya memiliki barang elektronik dalam jumlah yang lebih sedikit bahkan belum memiliki barang bergerak seperti kendaraan bermotor, sehingga konsumsi energi individu tersebut menjadi lebih kecil dibandingkan individu yang berpendapatan tinggi. Kemudian, apabila terjadi kenaikkan pendapatan pada kedua individu tersebut, katakanlah dalam porsi yang sama, maka individu dengan pendapatan lebih rendah akan cenderung meningkatkan penggunaan atau menambah barang-barang tersebut dalam porsi yang lebih besar dibandingkan individu berpendapatan tinggi yang lebih cenderung memilih untuk ditabung atau diinvestasikan. Dalam hal ini, elastisitas konsumsi energi terhadap pendapatan dari individu yang berpendapatan tinggi akan menjadi lebih kecil dibandingkan individu yang berpendapatan rendah.
5.4.
Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan per Kapita Dari hasil estimasi koefisien jangka panjang terlihat bahwa koefisien
pendapatan per kapita jangka panjang yang dihasilkan lebih besar dari satu, yakni
88
4,264 (FEM) dan 4,309 (AB-GMM). Di sisi lain, koefisien pendapatan per kapita kuadrat jangka panjang menunjukkan tanda estimasi yang negatif, -0,175 (FEM) dan -0,179 (AB-GMM). Hasil estimasi ini sesuai dengan tanda harapan teoritis dan menjelaskan bahwa intensititas energi memiliki hubungan yang non-linier (kuadratik) dengan pendapatan per kapita. Hasil ini konsisten dengan hipotesis EKC. Selanjutnya dari nilai estimasi koefisen jangka panjang, diperoleh turning point, yakni nilai pendapatan per kapita yang memaksimumkan intensitas energi sebesar US$ 11.268 (FEM) dan US$ 10.414 (AB-GMM). Hasil ini mengindikasikan bahwa emerging countries di kawasan Asia Pasifik yang dikaji, yakni Filipina, Indonesia, dan Thailand masih mengalami proses materialisasi mengingat pendapatan per kapita di negara-negara tersebut belum mencapai turning point hingga tahun 2005. Pada tahun 2005 tingkat pendapatan per kapita di negara-negara tersebut tercatat sebesar US$ 4.050 (Filipina), US$ 4.460 (Indonesia), dan US$ 8.813 (Thailand). Dalam arti lain, negara-negara tersebut masih berada pada suatu fase pembangunan ekonomi di mana penggunaan material dan energi per unit output masih relatif tinggi. Sementara itu negaranegara yang telah melewati turning point dan mengalami fase dematerialisasi antara lain: Malaysia (US$ 13.182), Korea Selatan (US$ 18.765), Taiwan (US$ 21.712), Hongkong (US$ 33.198), Singapura (US$ 33.002), Jepang (US$ 25.212), dan Amerika Serikat (US$ 37.322). Hal ini menandakan bahwa negara-negara tersebut telah mampu mereduksi penggunaan energi dan materialnya per unit output dalam fase pembangunan ekonominya. Fenomena di atas menjelaskan adanya suatu keterkaitan antara tingkat pendapatan per kapita dengan intensitas energi pada suatu negara. Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat dijelaskan melalui fase pembangunan ekonomi yang terjadi. Negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita yang masih relatif rendah umumnya masih mengalami fase pembangunan yang intensif menggunakan energi. Hal ini dikarenakan negara-negara tersebut masih menitikberatkan pembangunan pada infrastruktur, seperti jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, jembatan, industri, serta berbagai sarana dan prasarana publik dan privat lainnya. Proses pembangunan ini selain memerlukan konsumsi energi yang tidak sedikit juga memerlukan biaya yang cukup besar sehingga tingkat
89
pertumbuhan pendapatan (PDB) yang terjadi umumnya akan lebih kecil dari tingkat pertumbuhan konsumsi energi per kapita. Fase inilah yang disebut sebagai fase materialisasi. Sementara itu negara-negara maju dengan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi, tidak lagi mengorientasikan pembangunan pada infrastruktur yang relatif sudah terpenuhi, melainkan beralih ke perekonomian jasa yang tidak lagi intensif menggunakan energi. Pada fase ini tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang terjadi umumnya akan lebih besar dari tingkat pertumbuhan konsumsi energi per kapita. Fase inilah yang disebut sebagai fase dematerialisasi.
90
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Penelitian ini mengkaji hubungan antara intensitas energi dan pendapatan per kapita di sepuluh negara Asia Pasifik dengan performansi ekonomi yang berbeda. Tujuannya selain menganalisis prilaku pergeseran tren intensitas energi di negara-negara tersebut, juga untuk menunjukkan bahwa intensitas energi dan konsumsi energi per kapita memiliki hubungan yang non-linier (kuadratik) dengan pendapatan per kapita. Dalam analisis ini juga disertakan harga energi untuk melihat pengaruh perubahannya terhadap konsumsi energi per kapita di negaranegara Asia Pasifik yang dikaji. Penelitian ini memfokuskan pada sepuluh negara Asia Pasifik karena negara-negara tersebut memiliki peranan penting dalam pasar energi dunia sehingga analisis mengenai tren pergerekan intensitas energi sebagaimana tercermin dalam EKC menjadi menarik untuk dianalisis. Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Konsumsi energi dan pendapatan (PDB) memiliki keterkaitan yang erat. Hal ini ditunjukkan oleh negara-negara yang memiliki tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi juga memiliki tingkat pertumbuhan konsumsi energi per kapita yang tinggi. Secara agregat juga terlihat bahwa tren peningkatan pendapatan (PDB) selama periode 1980-2005 di sepuluh negara yang dikaji diiringi oleh peningkatan konsumsi energi.
2.
Dinamika hubungan antara harga energi dengan konsumsi energi memiliki pola yang cukup bervariasi antar negara selama periode 1980-2005. Cukup variatifnya pola hubungan antara konsumsi energi dengan harga energi di berbagai negara yang dikaji mengindikasikan bahwa bagaimanapun pergerakan
harga
energi
terjadi,
negara-negara
akan
cenderung
meningkatkan konsumsi energinya. Fenomena ini merupakan suatu keniscayaan dan konsekuensi dari semakin bertambahnya populasi
91
penduduk,
kemajuan
teknologi,
dan
terus
berlangsungnya
proses
pembangunan yang senantiasa membutuhkan energi yang semakin besar 3.
Secara umum, selama periode 1980-2005, terjadi pergeseran tren intensitas energi dari negara-negara yang dikaji. Negara-negara maju dengan pendapatan per kapita relatif tinggi cenderung mengalami penurunan intensitas energi seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Di lain pihak, peningkatan pendapatan per kapita di negara-negara berkembang selama periode tersebut cenderung belum dapat menurunkan intensitas energinya.
4.
Tanda estimasi koefisien pendapatan per kapita yang positif dan lebih besar dari satu serta koefisien pendapatan per kapita kuadrat yang bernilai negatif menjelaskan bahwa intensitas energi—juga konsumsi energi per kapita— memiliki hubungan yang non-linier (kuadratik) dengan pendapatan per kapita. Hasil estimasi ini konsisten dengan hipotesis EKC.
5.
Hasil estimasi menunjukkan adanya pergeseran tren intensitas energi di negara-negara yang dikaji. Dari dua model yang terpilih, yakni FEM dan AB-GMM diperoleh nilai turning point berturut-turut sebesar US$ 11.268 dan US$ 10.414. Dilihat dari perkembangan PDB per kapita hingga Tahun 2005, negara-negara yang sudah melampaui nilai kritis tersebut antara lain, Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia. Sedangkan beberapa negara lainnya, seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand masih beranjak menuju titik kritis tersebut. Hasil ini memperlihatkan bahwa secara umum telah terjadi pergeseran intensitas energi di negara-negara tersebut.
6.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien harga energi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang signifikan mempengaruhi konsumsi energi per kapita. Di sini ditemui tanda koefisien harga energi bernilai negatif dan sangat inelatis. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita tidak terlalu responsif terhadap perubahan harga energi. Di samping itu, juga ditemui bahwa harga energi lebih elastis dalam jangka panjang dibandingkan dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan energi merupakan barang esensial seperti halnya pangan pokok yang relatif sulit dicari substitusinya dalam jangka pendek dibandingkan dalam jangka panjang.
92
7.
Hasil estimasi memperlihatkan nilai elastsitas pendapatan jangka panjang cenderung menurun selama periode 1980-2005. Hasil estimasi ini juga menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan cenderung meningkatkan konsumsi energi per kapita namun dengan tingkat yang semakin menurun. Hal yang juga menarik untuk dicermati adalah elastisitas pendapatan jangka panjang di negara-negara maju (dengan pendapatan per kapita tinggi) lebih kecil dibandingkan emerging countries (dengan pendapatan per kapita lebih rendah). Tren penurunan elastisitas pendapatan jangka panjang lebih dikarenakan adanya pergeseran fase pembangunan dari negara-negara yang dikaji dalam jangka panjang.
6.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan
hasil
pembahasan
dan
kesimpulan
yang
diuraikan
sebelumnya, beberapa arah kebijakan yang disarankan antara lain: 1.
Hasil analisis memberikan gambaran bahwa dalam jangka panjang energi masih merupakan komoditas yang penting dan strategis di samping pangan. Setidaknya hal ini tercermin dari dua hal: pertama, konsumsi energi tidak terlalu responsif terhadap perubahan harganya. Kedua, konsumsi energi cenderung meningkat kendati dengan tingkat pertumbuhan yang cenderung menurun. Dengan semakin terbatasnya pasokan energi konvensional di satu sisi serta tendensi konsumsi energi dunia yang terus menunjukkan peningkatan di sisi yang lain, memunculkan isu keamanan energi (energy security). Untuk itu, setiap negara perlu mengupayakan suatu kebijakan yang mampu menjamin suplai energi secara berkelanjutan di masa mendatang, seperti melalui konservasi energi atau menemukan sumber-sumber energi alternatif baru (diversfikasi energi) dalam rangka meminimalisir ketergantungan terhadap energi fosil.
2.
Tingkat penggunaan energi memiliki keterkaitan erat dengan kualitas lingkungan hidup seperti polusi dan pemanasan global. Keterkaitan ini menyebabkan penyelesaian permasalahan tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial. Kebutuhan energi yang terus meningkat menyebabkan negara-negara di dunia dituntut untuk mampu menyediakan energinya secara berkelanjutan di masa mendatang. Akan tetapi, kecenderungan
93
peningkatan konsumsi energi yang terjadi selayaknya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, selain dituntut untuk mengupayakan ketersediaan energi di masa mendatang, setiap negara juga harus memprioritaskan pengembangan energinya pada energi-energi alternatif yang bersifat dapat diperbaharui (renewable) dan lebih ramah terhadap lingkungan hidup. 3.
Pada umumnya kendala yang ditemui dalam pengembangan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan adalah faktor biaya yang kurang kompetitif dibandingkan sumber energi berbasis fosil. Untuk itu, setiap negara perlu mengupayakan berbagai inovasi dan teknologi yang mampu menjadikan sumber-sumber energi baru tersebut lebih kompetitif terhadap sumber energi fosil. Selain itu, pengembangan sumber energi alternatif tersebut utamanya juga perlu diarahkan kepada sumber-sumber energi yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada negara lain di kemudian hari.
4.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa dinamika konsumsi energi tidak terlalu responsif terhadap perubahan harganya. Hal ini tercermin dari nilai elastisitas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang relatif kecil (inelastis). Konsumsi energi per kapita yang bersifat sangat inelastis terhadap harganya menjelaskan bahwa dinamika konsumsi energi per kapita tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan harganya. Kondisi ini mencerminkan bahwa kebijakan pengaturan konsumsi energi dalam negeri, khususnya di negara-negara yang dikaji kurang efektif bila hanya mengandalkan instrumen harga energi. Untuk itu, Kebijakan energi sejatinya tidak selalu difokuskan pada sisi suplai semata, namun juga perlu diarahkan dari sisi permintaan, seperti kebijakan yang diarahkan untuk penghematan atau efisiensi energi bagi seluruh elemen masyarakat pada suatu negara.
5.
Secara umum, kebijakan energi sejatinya tidak hanya diarahkan untuk sekedar
memenuhi
kebutuhan
energi
semata,
namun
juga
harus
memperhatikan aspek lingkungan. Untuk itu, sangat diperlukan keterlibatan pemerintah, peneliti, dan masyarakat untuk berkolaborasi secara sinergis. Di sini pemerintah dapat berperan dalam membuat regulasi-regulasi tentang
94
kenergian yang mendukung pengembangan energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sedangkan para peneliti perlu melakukan terobosan melalui inovasi-inovasi baru untuk menciptakan teknologi yang mampu mengolah sumber-sumber energi baru menjadi energi final yang lebih ramah lingkungan dengan harga yang terjangkau dan kompetitif. Sementara itu, dari sisi masyarakat, perlu dibangun sebuah kesadaran dan kepedulian akan pentingnya penghematan energi dan penggunan energi yang ramah lingkungan dalam rangka mewujudkan keamanan energi dan kelestarian lingkungan hidup di masa mendatang. 6.
Energi mempunyai kaitan erat dengan pembangunan yang berkelanjutan. Saat ini laju pertumbuhan emisi CO2 di negara berkembang (3,7 persen per tahun) lebih tinggi dibandingkan negara maju (1,1 persen per tahun)12. Hal ini dikarenakan negara-negara maju telah melewati masa industrialisasi, sedangkan negara-negara berkembang masih mengalami era industrialisasi. Berdasarkan hal ini, dan pengertian bahwa negara berkembang adalah mitra negara maju, maka diperlukan suatu kerjasama antarnegara dalam hal peralihan teknologi yang bersih, murah dan aman dari negara maju ke negara berkembang.
7.
Dengan adanya injeksi teknologi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang
pada
gilirannya
tidak
hanya
mendorong
peningkatan
produktivitas, namun juga diharapkan dapat menurunkan dampak negatif dari proses industri di negara-negara berkembang atau emerging countries terhadap lingkungan. Dalam pengertian bahwa emerging countries masih berada pada fase materialisasi (menuju ke turning point), maka dengan adanya injeksi teknologi diharapkan dapat mempercepat jejak (path) intensitas energi dari emerging countries menuju fase dematerialisasi.
6.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut Model yang dibangun dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan lebih lanjut. Analisis yang dilakukan masih bersifat makro dan agregat. Perbaikan dapat dilakukan dalam bentuk disagregasi ke yang lebih rinci, misalnya konsumsi energi final dirinci lagi ke dalam beberapa sektor, seperti sektor rumah tangga, 12
Lihat Yusgiantoro (2000)
95
industri, transportasi, dan komersial. Untuk mendapatkan gambaran prilaku jenis energi final, perbaikan juga dapat dilakukan dengan melakukan diasagregasi tipe energi ke yang lebih rinci. Mengingat harga energi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan harga bahan bakar utama, perbaikan juga dapat dilakukan dengan menyertakan harga energi untuk bahan bakar lainnya (selain bahan bakar minyak utama) serta melakukan pembobotan rata-rata (weighted average) terhadap harga masing-masing sumber energi final tersebut untuk mendapatkan harga energi yang lebih baik. Mengingat perilaku hubungan intensitas energi dan pendapatan per kapita merupakan
hubungan
jangka
panjang
yang
melibatkan
beberapa
fase
pembangunan, maka penyempurnaan juga dapat dilakukan dengan menambah rentang data waktu penelitian lebih lama lagi, misalnya dengan menambah waktu amatan 10 sampai 15 tahun ke belakang. Penyempurnaan terhadap penelitian ini juga dapat dilakukan dengan menambah jumlah subjek (negara) kajian dengan performansi ekonomi yang lebih bervariasi untuk mendapatkan hasil estimasi yang lebih akurat.
96
DAFTAR PUSTAKA
[ADB] Asian Development Bank. 1999-2007. Key Indicator for Asia and the Pacific. http://www.adb.org/documents/books/key_indicators [28 Des 2008]. Alam MS. 2006. Economic Growth with Energy. Boston: Northeastern University. Almulla JM. 2007. Using the Hubbert Curve to Forecast Oil Production Trends Worldwide [tesis]. Texas A&M University. Ang BW. 1987. Energy-Output Ratios and Selected Energy Use: The Case of Southeast Asian Countries. Energy Policy (Juni): 267-291. Ang BW, Choi KH. 1997. Decomposition of Aggregate Energy and Gas Emission Intensity for Industry: A Refined Divisia Index Method. The Energy Journal 18(3): 59-73. Ausubel J, Wernick I, Herman R, Govind S. 1993. Materialization and Dematerialization: Measures and Trends. Report prepared for the Workshop on Technological Trajectories and the Human Environment, 28-29 Oct 1993. New York City: Rockfeller University. Ayres RU, Van den Bergh JCJM. 2000. The Role of Material/ Energy Resource and Dematerialization in Economic Growth Theories. Discussion Paper. Amsterdam: Tinbergen Institute. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. Bartoszczuk P, Ma T, Nakamori Y. 2002. Environmental Kuznets Curve for Some Countries: Regression and Agent-Based Approach. http://www. jaist.ac.jp/~bpawel/segovia%20_1_.pdf [4 Jan 2009]. Bernardini O, Galli R. 1993. Dematerialization: Long Term Trends Intensity of Use of Materials and Energy. Futures. May: 431-448.
in the
Blanchard, O. 2006. Macroeconomics 4th Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Blundell R, Bond S. 1998. GMM Estimation with Persistent Panel Data: An Application to Production Functions. The Insitute for Fiscal Study Working Papers Series W99/4. Bond SR. 2002. Dynamic Panel Data Models: A Guide to Micro Data Methods and Practice. Portuguese Economic Journal 1:141-162.
97
Boyd G, McDonald JF, Ross M, Hanson DA. 1987. Separating the Changing Composition of US Manufacturing Production from Energy Efficiency Improvement: a Divisia Index Approach. The Energy Journal 17(1): 19-30. [BP] British Petroleum. 2008. BP Statistical Review of World Energy 2008. http://www.bp.com/statisticalreview. Chen CH. 2007. Price Elasticity of Demand. Course Material for Principles of Microeconomics, Fall 2007. Massachusetts Institute of Technology. Chima CM, Hills D. 2007. Intensity of Energy Use in the USA: 1949-2003. Journal of Business & Economic Research 5(11). 17-30. Chontanawat J, Hunt LC, Pierse R. 2006. Causality between Energy Consumption and GDP: Evidence from 30 OECD and 78 non-OECD Countries. Surrey Energy Economics Discussion paper Series 113. Dariah AR. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Elias J, Grabik W. 1980. A Comparison of Energy Consumption in Eastern and Western Europe. Energy Economics (October): 237-242. Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series 2nd Edition. New York: John Wiley & Sons Inc. [EIA] Energy Information Administration. 2007. International Energy Annual 2005. http://www.eia.doe.gov/emeu/international/energyconsumption.html [28 Des 2008]. Farla J, Cuelenaere R, Blok K. 1998. Energy Efficiency and Structural Change in the Netherlands, 1980-1990. Energy Economics 20(1): 1-28. Fergusson R, Wilkinson W, Hill R. 2000. Electricity Use and Economic Development. Energy Policy 28: 923-934. Firdaus, M. 2006. Impact of Investment Inflows On Regional Disparity in Indonesia [disertasi]. Malaysia: Universiti Putra Malaysia. Fisher-Vanden K et al. 2003. What is Deriving China’s Decline Energy Intensity. Resources and Energy Economics 26(1): 77-97. Galli R. 1998. The Relationship Between Energy Intensity and Energy Level: Forecasting Long Term Energy Demand in Asian Emerging Countries. The Energy Journal 19(4): 85-105. Gately D, Streifel S. 1996. Oil Product Demand in the Developing Countries. World Bank Working Papers.
98
Grossman GM, Krueger AB. 1991. Environmental impacts of a North American Free Trade Agreement. National Bureau of Economic Research Working Paper 3914. Cambridge MA. Halkos GE. 2003. Environmental Kuznets Curve for Sulfur: Evidence Using GMM Estimation and Random Coeficient Panel Data Model. Environment and Development Economics 8: 581-601. Honore BE. 2002. Non-Linear Models with Panel Data. Cemmap Working Paper CWP13/02. Hsiao C. 2003. Analysis of Panel Data 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Indartono YS. 2008. Energi dan Lingkungan: Sebuah Keterkaitan Erat. Majalah Inovasi Vol.12/XX/November 2008. Jänicke M et al. 1989. Structural Change and Environmental Impact. Environmental Monitoring and Assesment 12(2): 99-114. Judson RA, Ann LO. 1996. Estimating Dynamics Panel Data Models: A Practical Guide for Macroeconomics. http://www.federalreserve.gov/Pubs/feds/1997/ 199703/199703pap.pdf [15 Des 2008] Jones DW. 1991. How Urbanization Affects Energy-Use in Developing Countries. Energy Policy (September): 621-630. Keong PK. 2006. Benchmarking Singapore’s Energy Intensity. Economic Survey of Singapore 3rd Quarter 2006. Kouris G. 1976. The Determinant of Energy Demand in the EEC Area. Energy Policy 6(4): 343-355. Kydes AS. 1999. Energy Intensity and Carbon Emission Responses to Technological Change: The U.S. Outlook. The Energy Journal 20(3): 93-121 Liu G. 2004. Estimating Energy Demand Elasticities for OECD Countries: A Dynamic Panel Data Approach. Discussion Paper No. 373. Research Department Statistics Norway. Malenbaum W. 1978. World Demand for Raw Materials in 1985 and 2000. New York: McGraw-Hill. Metcalf GE. 2008. An Empirical Analysis of Energy Intensity and Its Determinants at the State Level. The Energy Journal 29(3): 1- 25. Mielnik O, Goldenberg J. 2002. Foreign Direct Investment and Decoupling between Energy and Gross Domestic Product in Developing Countries. Energy Policy 30(2002): 87-89.
99
Miketa A. 2001. Analysis of Energy Intensity Developments in Manufacturing Sectors in Industrialized and Developing Countries. Energy Policy 29:769-775. Murtishaw S, Schipper L. 2001. Disaggregated Analysis of U.S. Energy Consumption in the 1990’s: Evidence of the Effects of the Internet and Rapid Economic Growth. Energy Policy 29(2001): 1335-1356. Nachane D, Nadkarni R, Karnik A. 1988. Co-integration and Causality Testing of the Energy-GDP Relationship: A Cross Country Study. Applied Economics 20: 1511-1531. Nachrowi DN, Usman H. 2006. Pendekatan Popular dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Panayotou T. 1993. Empirical Tests and Policy Analysis of Environmental Degradation at Different Stages of Economic Development. Technology and Employment Programme Working Paper WP238. Geneva: ILO. [PWT] Penn World Table. 1980-2006. PWT 6.2 (188 countries, 1950-2004, 2000 as base year). http://pwt.econ.upenn.edu/php_site/pwt62/pwt62_form.php [28 Des 2008]. Prosser RD. 1985. Demand Elasticities in OECD countries: Dynamic Aspects. Energy Economics 7(1): 9-12. Quah D. 1996. Growth and Dematerialization: Why non-stick frying pans have lost the edge. CEP’s CenterPiece 1(3):20-25. Quah D. 1997. Europe in the Weightless Economy. CEP’s CenterPiece 2(3). Ramachandra TV, Loerincik Y, Shruthi BV. 2006. Intra and Inter Country Energy Intensity Trends. The Journal of Energy and Development 31(1): 43-48. Ramos-Martin J, Ortega-Cerda M. 2003. Non-linear Relationship Between Energy Intensity and Economic Growth. http://www.rrojasdatabank.info/ thermo/PS35p.pdf [15 Des 2008]. Richmond AK, Kaufmann RK. 2006. Energy Price and Turning Points: The Relationship between Income and Energy Use/Carbon Emissions. The Energy Journal 27(4): 157-181. Shafik N, Bandyopadhyay S. 1992. Economic Growth and Environmental Quality: Time Series and Crosscountry Evidence. Background Paper for the World Development Report 1992. Washington, DC: The World Bank. Scheleicher SP. 1995. Rethinking the Use of Energy Elasticities. Di dalam: Barker T, Ekins P, dan Johnstone N (eds). Global Warming and Energy Demand. London dan New York: Routledge.
100
Shafik N, Bandyopdhyay S. 1992. Economic Growth and Environmental Quality: Time Series an Cross-Countries Evidence. Background Paper for World Development Report 1992. World Bank. Siddiqui R. 2004. Energy and Economic Growth in Pakistan. The Pakistan Development Review 43:2 (Summer 2004) pp:175-200. Siregar, H. 2000. Alternative Theories of International Trade and Their Empirical Support/Rejection: Is The Comparative Advantage Theory Absolete. Mimbar Sosek. Vol (13): 57-65. Stern DI. 2003. Energy and Economic Growth. http://www.localenergy.org/pdfs/ Document%20Library/Stern%20Energy%20and%20Economic%20Growth.pdf [4 Jan 2009]. Stern DI. 2004. The Rise and Fall of the Environment Kuznets Curve. World Development 32(8): 1419-1439. Streimikiene D. 2004. Energy Consumption and Energy Intensity Trends in Transition and Developed Economies. Ekonomika 2004 67. Vilnius University. Sun JW. 1998. Changes in Energy Consumption and Energy Intensity: a Complete Decomposition Model. Energy Economics 20(1):85-100. Sun JW. 2000. Dematerialization and Sustainable Development. Sustainable Development 8(3): 142-145. Sweeney JL. TT. Economics of Energy. Stanford: Stanford University. Tabti MT, Mandi W. 1985. Energy Indicators. OPEC Review 9(Winter): 417-455. Thomas RL. 1997. Modern Econometrics An Introduction. Harlow: Addison Wesley Longman Limited. Verbeek M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. Yuliarto B. 2005. Meneropong Konsumsi Energy Dunia. Artikel Iptek Bidang Energy dan SDA. http://www.beritaiptek.com [15 Des 2009]. Yusgiantoro P. 2000. Ekonomi Energi: Teori dan Praktik. Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia.
101