ANALISIS FUNGSIONAL DAN MUSIKAL ENSAMBEL MAMÖZI ARAMBA DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI GUNUNGSITOLI
SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: BRIAN LASO SARO HAREFA NIM: 080707001
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012
ANALISIS FUNGSIONAL DAN MUSIKAL ENSAMBEL MAMÖZI ARAMBA DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI GUNUNGSITOLI
OLEH: NAMA: BRIAN LASO SARO HAREFA NIM: 080707001
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
NIP 196512211991031001
NIP 196605271994032010
Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012
ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal : Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP
Panitia Ujian:
Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. 3.Drs. Kumalo Tarigan, M.A. 4. 5.
iii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas Rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir tentang Analisis fungsional dan musikal ensambel Mamözi Aramba pada kebudayaan Nias di Gunungsitoli. Tugas Akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Seni dari jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas. Terselesaikannya skripsi ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. selaku ketua Jurusan Etnomusikologi sekaligus yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengajari penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 3. Segenap para dosen di Jurusan Etnomusikologi yang turut membantu proses penyelesaian tugas akhir ini. 4. Bapak Yas Harefa sebagai narasumber penulis yang telah banyak membantu untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan tugas akhir ini. 5. Seluruh staf yang ada di museum Pusaka Nias yang telah memberikan pinjaman buku dan referensi kepada penulis. 6. Kedua orangtua saya Bapak Man Harefa dan Ibu Darnis Ndruru yang membantu saya melalui materi dan motivasi yang luar biasa, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. v
7. Seluruh stambuk 2008 jurusan Etnomusikologi yang membantu saya dengan dukungan motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini. 8. Semua pihak yang telah membantu saya dan tidak dapat saya sebutkan satupersatu. Akhirnya semua penulis kembalikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas rahmatNya penulis dapat membuat skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sesuatu karya yang memberi dampak positif.
Medan, 12 Juli 2012
Brian Laso Saro Harefa NIM: 080707001
vi
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia atau kadangkala disebut dengan Nusantara adalah sebuah negara bangsa yang memiliki berbagai kebudayaan etnik, agama, bahasa, dan lainnya. Karena kekayaan budaya ini, biasanya kurang dipublikasikan secara nasional atau internasional. Apalagi yang dipublikasikan secara ilmiah dan mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Salah satu kebudayaan yang mendukung peradaban masyarakat Indonesia adalah kebudayaan Nias. Kebudayaan ini didukung oleh suku Nias yang berada di Pulau Nias dan sekitarnya. Yang menarik secara budaya, suku atau etnik Nias ini secara rasial masuk ke dalam ras Mongoloid Utara bukan sub ras Mongoloid Melayu atau Mongoloid Tenggara (lihat Koentjaraningrat, 1980). Etnik Nias juga memiliki kesenian, yang terdiri dari seni rupa, seni, tari, seni arsitektur tradisional, seni musik, dan lain-lainnya. Dalam konteks Sumatera Utara dan Indonesia seni tari yang terkenal yang berasal dari Nias adalah tari hombo batu (lompat batu), maena, moyo, dan lain-lain. Begitu juga seni musiknya yang disebut dengan ensambel aramba. Kegiatan ensambel musik ini dalam kebudayaan masyarakat Nias lazim disebut dengan mamözi aramba. Mamözi aramba adalah suatu ensambel dan seperangkat alat musik yang terdiri dari 1 buah göndra (gendang membranophone), 2 buah faritia (suspended idiophone gongs), dan 1-3 buah aramba (idiophone knobbed gongs). Alat musik tersebut dimainkan secara bersamaan sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat Nias. Alat musik tersebut dimainkan oleh 6-8 orang pemain, dimana masing-masing terdiri dari 2 orang 1
yang memainkan göndra, 2 orang yang memainkan faritia1, dan 1-3 orang yang memainkan gong. Orang yang memainkan seperangkat alat musik tersebut disebut samözi aramba. Samözi aramba adalah sebutan yang dibuat oleh masyarakat Nias. Masyarakat Nias dikenal sebagai Ono Niha yang artinya anak Nias. Masyarakat Nias berasal dari suatu pulau di bagian selatan provinsi Sumatera Utara yang disebut dengan Pulau Nias. Orang Nias menamai pulau Nias yaitu Tanö Niha. Suku Nias menggunakan bahasa ibu yang disebut bahasa Nias atau li Niha. Dalam segi bahasa, mamözi aramba terdiri dari 2 kata dasar dalam bahasa Nias, yaitu mamözi dan aramba. Mamözi artinya memukul dan aramba artinya alat musik Nias yang bentuknya menyerupai sebuah alat musik yang terbuat dari logam, berbentuk bulat dan besar, dimana di tengahnya terdapat bulatan kecil yang menonjol ke luar. Di daerah lain, alat musik ini dinamakan sebagai gong. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mamözi aramba adalah
memukul gong. Namun bagi masyarakat Nias,
mamözi aramba mempunyai 2 arti, yaitu memukul gong dan memukul seperangkat aramba (yang terdiri dari göndra, faritia, dan aramba) di mana masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Adapun fungsi dari mamözi aramba seperti yang dikemukakan oleh Bapak Yas Harefa disaat wawancara di Gunungsitoli pada 1 Februari 2012, yaitu sebagai pemberitahuan untuk menghimbau masyarakat untuk berkumpul, sebagai tanda pedoman waktu bagi masyarakat dalam suatu desa, sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pengangkatan gelar ataupun pembuatan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada masyarakat di dalam suatu desa bahwa sedang berlangsungnya acara adat, seperti owasa (acara memasuki rumah baru, ataupun pengangkatan gelar bangsawan), fondrakö (acara pengesahan hukum adat, ataupun
1
Tiap satu faritia dimainkan oleh 1 orang pemain.
2
wilayah suatu desa), falöwa (upacara perkawinan), dan zi mate (upacara kematian). Namun demikian, pada zaman sekarang sebagian fungsi dari mamözi aramba telah berubah. Contoh perubahan fungsi dari mamözi aramba yang terjadi adalah untuk memberitahukan ataupun mengundang kepada masyarakat untuk berkumpul dan dalam upacara kematian. Pada kedua kasus tersebut, mamözi aramba tidak lagi dipergunakan. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kebudayaan yang memanfaatkan teknologi seperti surat undangan atau handphone untuk mengumpulkan masyarakat, dan juga terjadinya perubahan kebudayaan yang mengikuti tradisi Barat pada upacara kematian. Namun walaupun terjadi perubahan fungsi, mamözi aramba masih tetap eksis dan masih digunakan didalam acara adat seperti pesta perkawinan. Pada upacara perkawinan, mamözi aramba dimainkan di saat menerima pengantin, tamu, dan sebagai hiburan. Hal yang menarik yang dilihat penulis adalah pada segmen tertentu pada upacara perkawinan, pemain seperangkat alat musik aramba (samözi aramba) dipilih secara acak, tergantung siapa yang ingin dan bisa memainkannya. Ini menunjukan bahwa dalam suatu upacara perkawinan, pasti terdapat orang di sekitarnya yang bisa memainkan seperangkat aramba tersebut. Selanjutnya, penulis melihat aamözi aramba tidak diberi upah ataupun imbalan, dengan arti bahwa mereka memainkan seperangkat aramba dengan sukarela. Menurut Bapak Yas Harefa (Gunungsitoli 6 Februari 2012) hal ini disebabkan karena prinsip masyarakat Nias yang mempunyai solidaritas yang tinggi, sehingga mereka selalu bekerja sama dan ikut bepartisipasi jika dalam satu desa ada yang menggelar acara, baik acara perkawinan ataupun owasa. Selain dalam konteks perkawinan dan owasa, mamözi aramba juga dipakai sebagai pengiring tari-tarian, seperti tari Ya’ahowu (tari yang berfungsi sebagai sambutan bagi tamu dan undangan yang dihormati), tari Moyo (tari yang dimainkan
3
disaat acara pengangkatan gelar bangsawan) dan tari Tuwu (tari penyemangat) . Mamözi Aramba digunakan sebagai kode bagi penari untuk menentukan langkahnya sekaligus menjadi penentu pulsa dan tempo bagi penari. Oleh sebab itu, yang memainkan seperangkat Aramba biasanya sudah ditentukan dan latihan dengan penari sebelum pertunjukan (berbeda dengan konsep yang memainkan seperangkat Aramba disaat upacara adat). Menurut Bpk Yas Harefa, Dahulu (sebelum 1950) Mamözi Aramba tidak dipakai untuk mengiringi tari-tarian, namun sekarang Mamözi Aramba dipakai dan dibuat berdasarkan kreativitas masyarakat agar dapat mengiringi tari-tarian yang ada pada suku Nias. Mamözi Aramba adalah alat musik yang bersifat sebagai pembawa ritme yang berulang-ulang dan bukan pembawa melodi. Dalam segi musikal, Mamözi Aramba punya pola ritme yang beragam, di mana penentu pulsanya adalah Aramba (gong) yang dipukul sekali dalam setiap empat ketuk dengan pukulan yang konstan, sedangkan faritia (berbentuk seperti canang) dan göndra (berbentuk seperti bedug) berfungi sebagai variasinya. Göndra dimainkan oleh dua orang, yang disebut sebagai Sanaha dan sanindra di mana salah satu pemain yang membuat ritme berulang-ulang dan satu lagi yang membuat variasi-variasi ritme ciri khas suku Nias. Berbeda dengan faritia yang dimainkan oleh dua orang, di mana jenis pukulannya saling bersahut-sahutan ditambah dengan sedikit variasi yang membuat musik tersebut menjadi semakin bervariatif (Bapak Man Harefa, Gunungsitoli 4 Februari 2012). Teknik permainan mamözi aramba dapat dibedakan sesuai konteks dan tempat pemakaiannya. Jika mamözi aramba dimainkan di saat upacara adat, maka pola atau pattern permainannya hanya berulang-ulang dan divariasikan menurut kemampuan si pemain Aramba tersebut. Hal ini berbeda dengan konteks mamözi aramba yang dimainkan di saat mengiringi tari-tarian. Pada konteks ini, samözi aramba (yang
4
memainkan aramba) harus memerhatikan dan berkomunikasi dengan si penari melalui kode tertentu untuk mengetahui kapan seperangkat aramba mulai dimainkan, berhenti ataupun untuk memberikan instruksi kepada penari agar merubah formasi dan merubah gaya tarian. Dengan kata lain samözi aramba dan si penari harus pernah bertemu atau latihan sebelum pertunjukan dimulai. Berdasarkan penjelasan di atas, dari segi pengenalan mamözi aramba, sebagian sejarah dan asal usul, fungsi, dan musikal (unsur-unsur musik) yang terdapat dalam mamözi aramba, penulis memilih untuk meneliti bahan tersebut dengan judul: Analisis Fungsional dan Musikal Ensambel Mamözi Aramba dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli. Penelitian ini difokuskan pada upacara adat dan konteks mamözi aramba sebagai pengirimg tari-tarian. Adapun yang mewakili dari kedua bahan penelitian tersebut yaitu upacara perkawinan Rahmat Zendratö dengan April Daeli pada tanggal 13 Juni 2012 di Gunungsitoli dan mamözi aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu pada suatu pertunjukan di kediaman Bapak Man Harefa di desa sifalaete, Gunungsitoli tanggal 13 Juni 2012.
1.2 Pokok Permasalahan Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan diatas, maka di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu : 1. Bagaimana fungsi ensambel musik mamözi aramba dalam kebudayaan Nias di Gunungsitoli? 2. Bagaimana struktur musikal dalam ensambel musik mamözi aramba dalam kebudayaan Nias di Gunungsitoli?
5
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dan manfaat penelitian yang ingin dicapai oleh penulis, disesuaikan dengan latar belakang serta pokok permasalahan yang ada. Tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan penelitian 1. Untuk meganalisis fungsi ensambel Mamözi Aramba dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli. 2. Untuk menganalisis konsep musikal yang terdapat dalam Ensambel musik Mamözi Aramba dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli.
1.3.2
Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian dari tulisan tersebut, yaitu: 1. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar bagi para peneliti, terutama etnomusikolog untuk dikembangkan berikutnya. 2. Agar dapat menjadi bahan referensi bagi masyarakat untuk dipelajari. 3. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar dan bahan acuan bagi pemerintah untuk revitalisasi dan pelestarian kesenian di Nias.
1.4 Konsep dan Teori Dalam penulisan skripsi ini, penulis memerlukan beberapa konsep dan teori yang dapat membantu untuk melengkapi data-data dan informasi untuk keperluan skripsi ini. Selain itu penulis juga memerlukan konsep dan teori sebagai pedoman untuk
6
mencari informasi dan data-data yang dibutuhkan disaat melakukan penelitian di lapangan. Adapun konsep dan teori yang dipakai oleh penulis yaitu sebagai berikut.
1.4.1 Konsep (i) Analisis atau analisa adalah kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungannya satu sama lain, dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan terpadu (Komaruddin, 200:53). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disingkat sebagai KBBI (2002:43), analisa adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa salah satu bagian dari penelitian adalah menganalisa objek, sehingga di setiap penelitian, pasti berkaitan dengan analisa. (ii) Musik adalah kejadian bunyi atau suara dapat dipandang dan dipelajari jika mempunyai kombinasi nada, ritme dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional dalam suatu kebiasaan atau tidak berhubungan dengan bahasa (Malm dalam terjemahan Takari, 1993: 8). Dari pengertian musik tersebut, dapat dipahami bahwa musikal merupakan hal yang berkenaan atau mengandung unsur musik. (iii) Dalam tulisan ini, fungsi diartikan sebagai kegunaan suatu objek dan dampaknya bagi sekitar, khususnya bagi masyarakatnya. Fungsi sebuah unsur kebudayaan (dalam masyarakatnya) adalah kemujarabannya dalam memenuhi kebutuhan yang ada, atau dalam mencapai tujuan tertentu (Merriam, 1964:223-226). Pemakaian kata fungsi dalam hal ini (fungsi musik) menerangkan tujuan pemakaian musik atau mengapa musik tersebut digunakan sedemikian rupa (Merriam, 1964:220).
7
Melalui fungsi musik akan dapat dicapai pengertian yang lebih mendalam tentang arti musik. Pengertian masyarakat (society dalam Bahasa Inggris) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary sixth edition (2000:1226) adalah: (1) people in general, living together in communities; (2) a particular community of people who share the same customs, laws, etc; (3) a group of people who join together for a particular purpose; (4) the group of people in a country who are fashionable, rich and powerful; (5) the state of being with other people. (Artinya masyarakat adalah orang-orang yang secara umum hidup bersama dalam komunitas; sebuah komunitas khusus oleh orang-orang yang berbagi dalam adat istiadat yang sama, norma-norma yang sama dan sebagainya; sekelompok orang-orang yang saling terikat untuk tujuan khusus; sekelompok orangorang dalam satu negara yang modern, kaya dan berkuasa; tempat di mana tinggal dengan orang lain). Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang-orang yang tergabung dalam satu komunitas yang mempunyai kebiasaan atau adat istiadat yang sama, norma-norma yang sama, kepentingan atau tujuan yang sama, dan banyak persamaan lain yang saling terikat satu dengan yang lain. Mamözi aramba adalah suatu kegiatan memukul seperangkat alat musik untuk sesuatu hal, bisa menjadi simbol, ataupun pengesahan terhadap sesuatu didalam sebuah upacara adat. Oleh sebab itu, bisa dikatakan mamözi Aramba adalah salah satu tradisi yang berhubungan dengan upacara adat pada kebudayaan Nias (Bapak Yas Harefa Gunungsitoli 6 Februari 2012).
8
1.4.2 Teori Menurut KBBI (1991:154-155), teori merupakan pendapat-pendapat atau aturanaturan untuk melakukan sesuatu. Menurut Kerlinger (1973) teori adalah sebuah set konsep atau construct yang berhubungan satu dengan lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena (Moh. Nazir, 1988:21). Oleh sebab itu penulis menjadikan teori sebagai suatu landasan untuk menjawab semua pokok permasalahan yang ada. Transkripsi dalam etnomusikologi merupakan suatu proses penotasian bunyi menjadi simbol-simbol yang dapat dilihat atau diamati dari suara, dan simbol-simbol tersebut disebut dengan notasi. Dalam melakukan transkripsi, penulis memilih tentang notasi deskriptif yang didapat penulis selama mengikuti perkuliahan di etnomusikologi dengan berdasarkan teori dari Ernst Cassirer (1944:168) yang mengatakan bahwa “seni dapat didefinisikan melalui simbol.” Notasi deskriptif adalah notasi yang ditujukan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca. Selain itu penulis menggunakan teori pertunjukan yang diajukan oleh Milton Singer (dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:164-165) untuk meneliti pertunjukan tarian yang memakai seperangkat aramba. Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan maka seorang peneliti harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu: (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2) adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukannya. Untuk menganalisis fungsi mamözi aramba di tengah masyarakat Nias dan kebudayaan Nias, penulis menggunakan teori dari Merriam (1964:219-227) yang
9
mengemukakan bahwa musik mempunyai peranan dan fungsi dalam suatu kebudayaan, yaitu (1) sebagai hiburan,(2) sebagai perlambang, (3) sebagai media komunikasi, (4) sebagai estetis, (5) sebagai reaksi jasmani, (6) sebagai pengungkapan emosional, (7) sebagai pengintegrasian masyarakat, (8) sebagai kesinambungan masyarakat, (9) sebagai pengesahan lembaga-lembaga sosial, serta (10) fungsi musik yang berkaitan dengan norma-norma sosial. Dalam tulisan ini terdapat beberapa fungsi musik yang termasuk dalam kategori yang dikemukakan oleh Merriam. Untuk menganalisis struktur musikal yang ada di dalam seperangkat aramba, penulis memilih salah satu teori Malm dalam terjemahan Takari (1993:13) yaitu sebagian dari teori weighted scale (khusus untuk mengkaji nada) ditambah dengan musik yang terjadi karena sesuatu yang berhubungan dengan waktu sebagai bahan dasar penelitian. Berhubungan dengan waktu yang dimaksud yaitu ritme, ketukan dan birama. Dengan teori tersebut, diharapkan tulisan ini lebih mendapatkan hasil informasi yang lebih akurat serta dapat dimengerti oleh pembaca. Teori musikal untuk mengkaji ritme ini penulis gunakan teori deskripsi ritme yang digunakan Fadlin (1988) Beliau menulis skripsi yang bertajuk Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam skripsi ini Fadlin menggunakan sistem anomatopeik gendang ronggeng, dan kemudian menuliskan pola-pola ritme dalam rentak senandung, mak inang, dan lagu dua. Selanjutnya Fadlin menganalisis pola-pola itu dengan pendekatan etnomusikologis, dengan cara memilah-milahkannya menjadi motif dan nilai-nilai not yang digunakan, dan kemudian mentabelkannya.
10
1.5 Metode Penelitian Metode ilmiah adalah segala jalan atau cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan, sedangkan penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu (menurut kamus Webster’s New International dalam Moh. Nazir 1988:13). Jadi penulis berkesimpulan bahwa metode penelitian adalah cara kerja yang dipakai untuk melakukan penyelidikan tentang fakta atau kenyataan yang ada dalam rangka memahami dan mengetahui objek penelitian yang bersangkutan. Selain itu, metode penelitian ini berfungsi untuk mendapatkan data-data yang diinginkan sesuai dengan keinginan penulis untuk melengkapi bahan dan data-data yang telah ada dan pada nantinya akan disaring dan dirangkum oleh penulis. Penulis menggunakan penelitian jenis kualitatif dengan data-data yang banyak dari berbagai sumber. Data yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat dan datanya adalah data sekunder seperti dokumen dan data-data yang
menggunakan
metode pengamatan terlibat atau participant observation (M. Sitorus, 2003:25). Penelitian kualitatif ini, dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap sebelum ke lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan (skripsi). Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai adalah sebagai berikut.
1.5.1 Studi Kepustakaan Dalam bidang Etnomusikologi, untuk melakukan penelitian terdapat dua sistem kerja, yaitu desk work (kerja laboratorium) dan field work (kerja lapangan). Desk work yang dimaksudkan adalah kerja untuk mengumpulkan persiapan data-data untuk meneliti nantinya, serta merangkum data-data yang telah didapat setelah melakukan penelitian. Sedangkan field work adalah teknik kerja di lapangan, di mana penulis terjun
11
langsung ke suatu daerah yang terdapat objek yang akan diteliti. Field work dikenal sebagai kerja di lapangan dan desk work dikenal sebagai studi kepustakaan. Selain itu, maksud dari studi kepustakaan adalah mendapatkan data berupa tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kinerja dan pengembangan tulisan ini. Hal pertama yang dilakukan penulis adalah melakukan studi kepustakaan dengan cara mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek pembahasan. Penulis mencari dan mengumpulkan informasi dan referensi dari skripsi yang ada di Departemen Etnomusikologi. Penulis juga mempelajari bahan lain seperti buku dari Museum Yayasan Pusaka Nias, Dinas Pariwisata Kabupaten Nias dan artikel-artikel lainnya yang mendukung penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengumpulkan data dengan menggunakan teknologi Internet, sesuai dengan kemajuan teknologi yang ada pada saat ini. Dengan melakukan penelusuran data online di situs www.google.com, penulis mendapat banyak anjuran-anjuran situs lain seperti www.wikipedia.com, repository Universitas Sumatera Utara, blog-blog, dokumen PDF (portable data file), dan lain-lain. Semua informasi dan data yang didapat baik melalui skripsi, buku, artikel dan internet membantu penulis untuk mempelajari dan membandingkannya untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Pengumpulan data di lapangan Penelitian lapangan adalah seluruh kegiatan yang dilakukan penulis berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan. Penilitian lapangan berfungsi untuk mendapat seluruh data yang diinginkan pada satu daerah yaitu objek yang akan diteliti. Pengumpulan data di lapangan terdiri dari observasi, wawancara, dan perekaman.
12
1.5.2.1 Observasi Pengumpulan data dengan cara observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Metode observasi menggunakan kerja pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit (Burhan Bungin, 2007:115). Kerja lapangan berkaitan dengan penulis dapatkan lewat cara observasi langsung ke lapangan, yaitu mengikuti dan melihat acara-acara yang menggunakan ensambel mamözi aramba, melakukan pengamatan serta analisis dan mengambil bagian menjadi salah satu pemain musik dalam ensambel mamözi aramba tersebut. Hal itu dilakukan agar mendapat komunikasi yang baik dengan masyarakat serta peserta upacara adat yang lainnya demi mendapat informasi yang lebih baik lagi.
1.5.2.2 Wawancara Dalam hal ini, penulis mengartikan wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu, bukan seperti percakapan yang dilakukan manusia seharihari. Pewawancara mengajukan pertanyaan dan orang yang diwawancarai akan menjawab atas pertanyaan wawancara. Upaya tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung di lapangan. Jenis wawancara yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah wawancara berstruktur, tidak berstruktur, dan kombinasi keduanya. Langkah awal yang penulis lakukan adalah menyiapkan dan menyusun sejumlah pertanyaan yang terperinci sebelum bertemu dengan informan. Kenyataan di lapangan yang dihadapi penulis adalah sering kali pertanyaan-pertanyaan lain juga muncul selain dari pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya akibat dari percakapan yang berkembang dari pertanyaan yang sudah disediakan dan rasa ingin tahu yang
13
tinggi. Dalam wawancara selanjutnya, penulis menggunakan wawancara kombinasi dengan menyiapkan pedoman yang merupakan garis besar tentang hal yang akan ditanyakan. Dalam wawancara kali ini, penulis menetapkan 2 narasumber, yaitu Bapak Yas Harefa dan Bapak Man Harefa. Kedua narasumber tersebut adalah Tokoh Masyarakat Nias dan budayawan, sekaligus yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang kesenian yang ada di Nias, khususnya di Gunungsitoli. Selain itu, penulis juga mewawancarai pemain musik serta beberapa tokoh masyarakat lainnya yang berkaitan dengan pengembangan tulisan ini.
1.5.2.3 Perekaman Untuk Pelaksanaan kegiatan ini, penulis menggunakan Kamera dan handycam serta gadget lainnya. Adapun spesifikasi yang akan dipakai yaitu: kamera DSLR Nikon D5000,
Handycam
merk
Sony,
serta
untuk
melakukan
perekaman
atau
pendokumentasian foto yang tak terduga atau mendadak, penulis sudah menyiapkan handphone blackberry 9980 dan ipad2. Masing-masing alat tersebut menggunakan slot kartu memori mikro, sehingga mempermudah penulis untuk mengakses dan menyimpan datanya ke komputer. Dalam keperluan penulisan ini, penulis juga memakai soundcard Lexicon alpha untuk mendapatkan hasil suara yang maksimal agar membantu penulis untu melakukan transkripsi dan analisa tentang mamözi aramba.
1.5.2.4 Analisis Data di Laboratorium Informasi dan bahan yang dikumpulkan dan diperoleh dari studi kepustakaan dan hasil penelitian lapangan kemudian diolah, diseleksi, dan disaring dalam kerja laboratorium untuk dijadikan data sesuai dengan objek penelitian untuk penulisan
14
skripsi. Data yang dipergunakan untuk penulisan skripsi ini adalah data-data yang sesuai dengan kriteria disiplin ilmu etnomusikologi. Setelah data dikumpulkan, proses selanjutnya adalah menganalisis data. Menurut Burhan Bungin (2007:153), ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial tersebut. Dengan menggunakan cara analisis ini, hasil penelitian akan diungkapkan secara deskriptif berdasarkan data-data yang diperoleh. Analisis kualitatif yang digunakan oleh penulis, dipakai untuk membahas komponen pendukung ensambel Mamözi Aramba di Gunungsitoli. Komponen pendukung tersebut adalah Pemain musik, Alat musik dan narasumber yang ada di Gunungsitoli.
1.6
Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian berada Kota gunungsitoli secara keseluruhan. Untuk meneliti
tentang informasi dasar mamözi Aramba, peneliti memilih meneliti di Museum Pusaka Nias. Untuk melihat dan meneliti mamözi aramba di upacara perkawinan, peneliti memilih acara perkawinan Rahmat Zendratö dan April Daeli di Gunungsitoli pada tanggal 18 Mei 2012. Dan untuk melihat dan menyaksikan cara bermain dan pertunjukan mamözi aramba sebagai pengiring tari-tarian, penulis memilih kediaman Bapak Man Harefa di desa Sifalaete, Gunungsitoli.
15
BAB II IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN
2.1
Gambaran umum Kota Gunungsitoli Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota
ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten Nias. Kota Gunungsitoli merupakan kota terbesar yang ada di Pulau Nias. Dahulu kota tersebut merupakan pusat perekonomian di pulau Nias, dan juga menjadi ibukota dari kabupaten Nias. Selain itu kota Gunungsitoli juga menjadi gerbang utama untuk menuju tempat pariwisata ke kabupaten lain, seperti Teluk Dalam, Sirombu, Kepulauan Hinako, dan lain-lain. Di Kota Gunungsitoli terdapat satu pelabuhan yang dikenal dengan nama Labuha Angi yang artinya pelabuhan angin dan satu bandar udara yang disebut Binaka. Kota Gunungsitoli berasal dari nama sebuah gunung yang terletak di dalam kota Gunungsitoli, yaitu Hili Gatoli yang disebut juga Tetehöli Ana’a. Kata tersebut berasal dari nama seorang pemuda keturunan seorang raja dari Nias bagian utara yang merantau dan singgah di sebuah gunung. Di gunung tersebut pemuda itu meninggal dan dikuburkan, lalu masyarakat yang ada di sekitar tersebut menamai daerah tersebut menjadi Hili Gatoli. Kata Hili Gatoli jika diterjemahkan ke bahasa Melayu, menjadi Hili: Gunung; Gatoli: Sitoli. Jadi jika diartikan ke bahasa Melayu, Hili Gatoli adalah Gunungsitoli (F. Zebua, 1996:124). Lalu terjemahan tersebut diaplikasikan ke dalam nama suatu daerah yang lama-kelamaan mengalami perkembangan menjadi sebuah kota menjadi kota yang disebut kota Gunungsitoli.
16
Sebelum menggunakan nama Gunungsitoli, masyarakat Nias menamai daerah tersebut dengan Luaha Nou, yang artinya muara sungai Nou. Nama ini berasal dari sebuah muara yang terdapat di pusat kota Gunungsitoli sekarang.
2.1.1 Letak Geografis Kota Gunungsitoli Kota Gunungsitoli terletak di bagian tengah Pulau Nias. Kota tersebut menjadi daerah yang mempunyai batas dengan kabupaten Nias Utara dan kabupaten Nias. Adapun kecamatan-kecamatan dari kabupaten lain yang berbatasan dengan kota Gunungsitoli, yaitu : -
Bagian Utara: Kecamatan Sitolu Ori (Kabupaten Nias Utara),
-
Bagian Selatan: Kecamatan Gidö dan Hili Serangkai (Kabupaten Nias),
-
Bagian Barat: Kecamatan Alasa Talumuzoi dan Namohalu Esiwa (Kabupaten Nias Utara) dan Hiliduho (Kabupaten Nias), dan
-
Bagian Timur: Samudera Indonesia. Kota Gunungsitoli mempunyai 6 kecamatan, dimana kecamatan tersebut berasal dari
hasil pemekaran yang dahulu hanya sebuah desa. Satu hal yang unik dari kecamatan tersebut, yaitu di dalam kota Gunungsitoli, masih terdapat sebuah kecamatan yang bernama Gunungsitoli juga. Hal ini disebabkan karena dahulu Kota Gunungsitoli merupakan ibu kota dari Kabupaten Nias sebelum pemekaran dilakukan pada tahun 2008 (Bapak Yas Harefa 12 Mei 2012). Adapun kecamatan tersebut yaitu sebagai berikut. 1. Gunungsitoli, Kelurahan Pasar Gunungsitoli, 2. Gunungsitoli Alo'oa, Nazalou Alo'oa, 3. Gunungsitoli Barat, Tumori, 4. Gunungsitoli Idanoi, Dahana, 5. Gunungsitoli Selatan, Ononamolo Lotu, 6. Gunungsitoli Utara, Afia. 17
Dalam kecamatan tersebut terdapat sedikit perbedaan tradisi adat dan logat bahasa, khususnya di Kecamatan Gunungsitoli Utara dengan Kecamatan Gunungsitoli yang terdapat di Kelurahan Pasar Gunungsitoli. Perbedaan yang menonjol adalah intonasi dan logat bahasa Nias yang dipakai, tetapi perbedaan tersebut tidak berpengaruh kepada kosa kata yang dipakai. Luas kota Gunungsitoli adalah 496,36 km², besar kota Gunungsitoli hanya 1/3 dari kota Medan yang merupakan kota terbesar yang ada di pulau Sumatera dan terletak di provinsi Sumatera Utara. Kota Gunung Sitoli termasuk dalam kotamadya satu-satunya yang ada di pulau Nias sampai sekarang. Sampai saat ini kota tersebut masih mengalami proses pengembangan dari segi infrastuktur, perkonomian dan pendidikan (Man Harefa 4 Februari 2012). Hal ini disebabkan karena pemerintah kota Gunungsitoli yang mempunyai rencana mengubah kota Gunungsitoli menjadi ibukota provinsi nantinya apabila terjadi pemekaran di pulau Nias. Saat ini sudah empat daerah yang mengalami pemekaran di pulau Nias, yaitu Kabupaten Nias Barat, Nias Selatan, Nias Utara dan kota Gunungsitoli. Keempat daerah pemekaran tersebut berasal dari satu kabupaten, yaitu kabupaten Nias. Saat ini terdapat empat kabupaten dan satu kotamadya di pulau Nias.
2.1.2 Iklim Kota Gunungsitoli memiliki iklim Tropis dimana rata-rata suhu daerahnya berkisar 2529˚Celcius. Namun demikian sesuai dengan perubahan iklim di dunia, sekarang kita bisa merasakan cuaca ekstrim di sana dalam musim tertentu. Apabila siang hari, kita bisa merasakan sengatan matahari yang terik dan disaat malam kita bisa merasakan dingin yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena Kota Gunungsitoli terdapat pantai dan perbukitan. Di daerah pantai, kita akan merasakan udara yang panas, terutama pada siang hari, sebaliknya jika di daerah perbukitan kita akan merasa cuaca yang dingin. Selain itu di kota Gunungsitoli
18
jarak pantai dengan perbukitan lumayan dekat, sehingga menyebabkan cuaca ekstrim pada musim-musim tertentu, seperti merasa panas luar biasa pada siang hari, dan dingin yang menusuk pada malam hari. Menurut Bapak Man Harefa (20 Mei 2012), dalam musim tertentu Kota Gunungsitoli akan mendapatkan curah hujan yang sangat tinggi, dimana kita akan merasakan situasi hujan sampai 8 jam lebih. Namun sesuatu yang unik, yaitu dengan kondisi tersebut kota Gunungsitoli sangat jarang terkena banjir, hal ini disebabkan karena Kota Gunungsitoli yang masih mempunyai drainase yang cukup baik di daerah pantai, dan juga karena sebagian dataran tinggi yang terdapat di Kota tersebut.
2.1.3 Struktur Pemerintahan Gunungsitoli adalah sebuah kota yang di pimpin Oleh Walikota yang saat ini dijabati oleh Drs. Martinus Lase, M.SP. Pada bulan April 2011, walikota tersebut memberikan kesempatan bagi Kabupaten Nias melakukan sebuah acara pertunjukan yang dinamakan sebagai Pesta Budaya Nias, yaitu sebuah acara pertunjukan kesenian, perlombaan, dan pertunjukan seni rupa ciri khas kebudayaan Nias yang berlangsung selama beberapa hari (menyerupai Pekan Raya Sumatera Utara di Medan) yang bertujuan untuk menarik turis dan melestarikan pariwisata serta kesenian yang ada di Kota Gunungsitoli. Kegiatan ini pernah diadakan sebelumnya sejak tahun 1983 yang diadakan sekali dua tahun dan lama-kelamaan berubah menjadi sekali empat tahun dan terakhir dilakukan pada tahun 2011. Dahulu nama acara tersebut dikenal sebagai pesta Ya’ahowu (Man Harefa 6 Mei 2012).
2.1.4 Demografi Komoditas unggulan Kota Gunungsitoli yaitu sektor sub sektor perkebunan. Komoditas yang diunggulkan berupa kopi, kakao, karet, dan cengkeh. Hal ini disebabkan karena cuaca yang tropis yang menyebabkan tanaman tersebut tumbuh dan subur pada daerah-daerah yang 19
ada di Kota Gunungsitoli (Man Harefa 11 Februari 2012). Selain itu, di pinggir pantai Kota Gunungsitoli kita akan melihat banyak pohon kelapa yang tumbuh. Tanaman tersebut juga merupakan salah satu komoditas unggulan dan terbanyak yang ada di Kota Gunungsitoli. Dalam segi pariwisata, kota Gunungsitoli terkenal dengan rumah adat yang menunjukan ciri khas kebudayaan Nias bagian utara yang ada di daerah Tumöri, gua Tögi Ndrawa yang dikenal sebagai gua tempat persembunyian Ono Niha (Orang Nias) yang sedang berperang melawan penjajah, dan Museum Pusaka Nias yang terkenal sebagai tempat pustaka kebudayaan Nias dari alat musik sampai ke rumah adat, buku-buku peninggalan sejarah, dan lain-lain. Selain itu kita juga bisa menikmati pariwisata alam yang ada di pantai, seperti pantai Laowomaru yang terkenal dengan dongengnya yang berisikan tentang seseorang yang paling kuat di pulau Nias yang memiliki rambut kawat (mbu kawa) sebagai kekuatannya. Selain itu terdapat juga pantai Hoya, pantai Miga, teluk belukar Olora yang berbentuk seperti danau, dan sebagainya.
2.2 Masyarakat Nias di Gunungsitoli Kota Gunungsitoli dihuni oleh berbagai suku, antara lain suku Nias, Batak, Padang, Jawa dan Aceh. Bahasa yang digunakan di sana adalah Bahasa Indonesia dan bahasa daerah (mayoritas bahasa Nias). Ada sesuatu yang unik bisa kita didapatkan di Kota Gunungsitoli, yaitu masyarakat kota Gunungsitoli yang berasal dari suku lain selain suku Nias yang sudah menetap di Nias sebagian bisa berbahasa Nias, begitu juga dengan suku Cina yang ada di Nias, bahkan mereka lebih tahu berbahasa Nias daripada bahasa suku mereka sendiri. Ini disebabkan karena pemakaian bahasa Nias lebih sering dipakai, bahkan melebihi pemakaian Bahasa Indonesia (Yas Harefa 5 April 2012).
20
Masyarakat Nias atau ono Niha adalah masyarakat pertama yang tinggal dan membuat Kota Gunungsitoli, berikut penjelasan tentang sejarah berdirinya kota Gunungsitoli yang dirangkum dari buku Sejarah berdirinya kota Gunungsitoli (F. Zebua 1996:124).
2.2.1 Sejarah Berdirinya Kota Gunungsitoli Dahulu pada masa sistem kerajaan, Kota Gunungsitoli adalah kawasan kerajaan Laraga, kerajaan yang ada bermukim di Idanoi. Kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang pertama yang ada di bagian utara-timur pulau Nias. Kerajaan tersebut mempunyai beberapa perkampungan yang disebut banua/mbanua, seperti banua Turewodo dan banua Tuhemberua. Dahulu kerajaan Laraga ini terkenal kuat dalam berperang walaupun akhirnya dikalahkan oleh kerajaan lain, yaitu Niha yöu yaitu orang nias yang berasal dari sebuah kerajaan di sebelah selatan Nias (F. Zebua ,1996:40). Setelah kerajaan Laraga pecah, maka seorang balugu atau bangsawan bernama Samönö Tuhabadanö Zebua mengupayakan untuk menyatukan kerajaan Laraga kembali. Beliau membaharui komposisi badan pemerintahannya, kemudian meresmikannya dengan melakukan suatu upacara adat yang disebut Owasa Ori dan diteruskan dengan melakukan fondrakö laraga pada tahun 1627. Fondrakö laraga adalah suatu acara adat Nias yang bertujuan untuk mengesahkan suatu keputusan hukum adat tentang sistem pemerintahan pada zaman dahulu (F. Zebua, 1996:45). Beberapa tahun kemudian, teman dari bangsawan Samönö Tuhabadanö Zebua beserta kedua temannya dari raja mado (marga) Harefa dan raja dari mado (marga) Telaumbanua mencoba membuat sebuah mbanua (perkampungan) yang baru, di mana areal lokasinya dari sungai Nou menyisir sampai Labua Angi-Turemba’a dan dibagian barat menyisir kaki bukit dari Sabango-Tögizareu-Hiligatoli-Turemba’a. Ketiga orang tersebut (Raja Zebua, Harefa dan Telaumbanua) dipanggil dengan Sitölu tua, yang artinya ketiga orang tua. Orang tua yang 21
dimaksud dalam konteks ini adalah orang yang bijaksana dan berwibawa. Sitölu tua merealisasikan mbanua yang baru tersebut dengan melakukan Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu pada 7 April 1629 dan itu menjadikan cikal bakal berdirinya Gunungsitoli (F. Zebua, 1996:124). Gunungsitoli merupakan sebuah Luaha muara dan menjadi pelabuhan yang dilalui dan sekaligus menjadi tempat persinggahan kapal-kapal untuk istirahat. Semakin lama Kota Gunungsitoli yang dulu disebut Toli’ana’a Zebua mengalami perkembangan, dari Luaha menjadi Fasa (Pasar). Hal ini disebabkan karena para pedagang yang singgah di Luaha mempunyai ide untuk mengembangkan daerah tersebut menjadi daerah pertukaran barang dan jasa atau yang disebut dengan fasa. Perkembangan semakin berlanjut sampai pada akhirnya fasa di Toli’ana’a Zebua berubah menjadi sebuah kota kecil yang disebut Kade pada tahun 1755, yaitu kota pelabuhan. Perkembangan terus berlanjut seiring dengan perkembangan zaman, dan akhirnya Gunungsitoli atau Toli ana’a Zebua menjadi Ibu kota pemerintahan dan disebut Ina Mbanua Danö Niha pada tahun 1840 sampai tahun 2008 (F. Zebua, 1996:62).
2.2.2 Perkembangan Masyarakat Nias di Gunungsitoli Dahulu masyarakat Nias sudah memiliki mbanua (perkampungan) disekitar Luaha Nou (sekarang menjadi Kota Gunungsitoli). Mbanua tersebut merupakan tempat dari leluhur ketiga marga (zebua, harefa dan telaumbanua) yang bersatu untuk membentuk kota Gunungsitoli. Mbanua tersebut merupakan perkampungan awal yang ada dan telah dibentuk sebelum kota Gunungsitoli ada. Kumpulan dari beberapa mbanua tersebutlah yang nantinya menjadi satu daerah yang dinamakan Hili Gatoli atau Gunungsitoli. Adapun tujuh kampung (mbanua) pertama yang ada, yaitu.
22
a.
Banua Hilihati Banua Hilihati adalah kampung pertama yang didirikan disekitar muara sungai Nou di
pusat Kota Gunungsitoli. Kampung ini didirikan oleh seorang raja yang bernama Löchözitolu. Beliau adalah orang yang pertama menemukan daerah yang nantinya menjadi kota Gunungsitoli. Adapun pendapat yang dikemukakan oleh alm F. Zebua (1996:48) tentang asal-usul kampung tersebut. Menurut beliau dahulu setelah terjadi sebuah peperangan besar yang disebut peperangan Öri Do, Penduduk kampung Ononamölö dan Onozitoli banyak yang pindah ke arah utara sampai ke daerah Nihayöu. Penduduk kampung Ononamölö pindah total hingga kampung itu runtuh. Di tempat mereka pindah, sebagian penduduk ada yang menganggap tempat itu membawa sial, tidak serasi, dan berefek negatif. Sehingga penduduk tersebut sebagian kembali meninggalkan daerah mereka dan terus mencari daerah yang cocok. Setelah beberapa generasi kemudian, seseorang keturunan raja yaitu baginda Löchözitölu kembali menemukan daerah disekitar Saita Göröba. Di daerah tersebut baginda Löchözitölu mempunya putra bernama Toli’ana’a. Suatu Hari putra baginda tersebut yang biasa dipanggil Katoli meninggal lalu dikuburkan di sekitar gunung tersebut. Lalu Bukit disebut dinamakan Hili Gatoli (Gunung Sitoli). Bukit terseut membentang di sebelah barat pusat Gunungsitoli (sekarang menjadi perkuburan Cina). Karena Pemukiman Hili Gatoli dianggap sial, mereka sekeluarga pindah ke bukit sebelah bawahnya. Di situ Baginda Löchözitölu mendirikan rumah sebagai bakal kampung. Tetapi beberapa saat kemudian, puteri beliau meninggal dunia dan dikuburkan sekitar bukit itu. Puteri itu bernama Futi Hati dan di aplikasikan ke nama daerah tersebut, sehingga menjadi Hili Hati (Gunung Hati). Dan pada akhirnya Löchözitölu pun meninggal dan dikuburkan di daerah tersebut. Banua Hilihati menjadi tempat pemukiman pertama yang ada di daerah Luaha Nou atau kota Gunungsitoli
23
(F.Zebua 1996:51). Daerah ini terletak di pusat kota Gunungsitoli, tepatnya di dekat lapangan Merdeka Gunungsitoli.
b. Banua Hilina’a Kampung (mbanua) ini adalah kampung yang didirikan oleh keturunan baginda Löchözitölu, yaitu Bawögowasa Zebua. Mbanua Hilina’a terdapat di atas bukit pusat kota Gunungsitoli sekarang. Mbanua tersebut merupakan mbanua ke 2 yang ditempati masyarakat Nias di kota Gunungsitoli (F. Zebua 1996:51). Sampai sekarang masyarakat disini banyak ditinggali oleh suku Nias yang bermarga Zebua.
c.
Banua Dahana Mbanua Dahana ini didirikan oleh bangsawan dari Onozitoli, yaitu Bawölaraga
Harefa. Disinilah pemukiman
mado (marga) Harefa yang pertama. Keturunan Balugu
Bawölaraga Harefa berkembang menjadi leluhur banua Dahadanö, Sogawu-gawu, dan Sisobahili (F.Zebua 1996:52). Mayoritas yang tinggal di daerah tersebut adalah masyarakat yang bermarga Harefa. Kampung ini terletak di bagian atas desa Mudik, kota Gunungsitoli.
d. Banua Sifalaete Mbanua Sifalaete didirikan oleh keturunan Balugu Tumba’ana’a Harefa, yaitu Sinungaluo Harefa. Beliau bermukim di atas perbukitan sebelah atas kampung Dahana dan mendirikan pemukiman kedua mado Harefa. Keturunannya berkembang menjadi leluhur Ombolata. Lawindra, Lauru dan Sihare’ö (F. Zebua 1996:52-53). Kampung ini terletak di pesisir pantai yang ada di sebelah selatan kota Gunungsitoli. Bila dari Bandar Udara Binaka Gunungsitoli, kita akan melewati kampung tersebut sebelum sampai di pusat Kota Gunungsitoli.
24
e.
Banua Lasara Kampung ini didirikan oleh keluarga Harimao Harefa dan menjadi kampung ketiga
mado Harefa (F.Zebua 1996:53). Kampung ini terletak di desa mudik sekarang. Kampung ini banyak dihuni oleh Dawa yaitu orang yang bukan asli suku Nias (biasanya disebut pada orang yang beragama muslim, seperti aceh, padang, jawa, dll). Karena kampung ini dihuni oleh dawa, maka sebagai adat istiadat terutama dalam upacara perkawinan berbeda dengan tradisi masyarakat Nias. Hal ini disebabkan karena perbedaan agama dimana mayoritas agama muslim yang tinggal di kampung tersebut memakai sistem upacara perkawinan berdasarkan syariat islam (Yas Harefa 3 Mei 2012).
f.
Banua Bonio Daerah ini didirikan oleh baginda Börömbanua Telaumbanua. Sebelumnya beliau
tinggal di Onozitoli, yaitu kampung yang terletak di Nias bagian utara. Namun akibat karena terjadinya perpecahan dan ketidak cocokan tentang prinsip disaat musyawarah perevisian hukum adat perkawinan yang menyebabkan bentrok fisik, beliau lari ke daerah Mo’awo (daerah pelabuhan sebelah utara kota Gunungsitoli) untuk menemui saudara-saudaranya. Ternyata di tengah perjalanan, dia ditangkap dan dianiaya oleh sekelompok orang yang kontra dengannya. Lalu dia dilepaskan didaerah tersebut dan dibiarkan pergi. Setelah kejadian itu, beliau tidak melanjutkan perjalanannya lagi, namun beliau mendirikan rumah dan banua Bonio. Ini menjadi pemukiman ketiga di kawasan Sungai Nou sekaligus menjadi pemukiman pertama bagi mado Telaumbanua (F.Zebua 1996:53). Kampung ini sekarang terletak di desa saombö,sebelah utara kota Gunungsitoli.
25
g.
Banua Fadoro dan Lasara Kampung tersebut didirikan didaerah Iraono Geba, Tuhemberua, Onozitoli-Sifaoro’asi.
Kampung ini didirikan oleh penduduk yang diusir kampung tetangganya (Sihare’ö) karena alasan perkembangan desa. Kampung menjadi pemukiman mado Telaumbanua yang kedua, dan mayoritas yang tinggal dikampung tersebut adalah masyarakat Nias yang bermarga Telaumbanua (F. Zebua, 1996:54). Sekarang kampung ini terletak di atas bukit sebelah utara kota Gunungsitoli. Setelah terbentuknya ke 7 mbanua tersebut, maka keturunan dari 3 leluhur tersebut yaitu Zebua, Harefa, dan Telaumbanua (sitölu tua) mengadakan Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu, yaitu upacara adat untuk pengesahan penyatuan daerah (F. Zebua, 1996:55). Hal ini diadakan karena adanya persamaan hukum adat dan adat istiadat, lalu sekaligus menjadi pengesahan untuk membagi wilayah teritorial. Adapun wilayah tersebut adalah: 1. Wilayah untuk mado (marga) Zebua adalah kawasan tengah, terbentang antar anak sungai Bogalitö sebelah utara sampai sungai Nou sebelah selatan. 2. Wilayah untuk mado (marga) Harefa adalah kawasan sebelah selatan, berbatasan dengan sungai Nou dan bagian mado Zebua. 3. Wilayah untuk mado (marga) Telaumbanua adalah kawasan sebelah utara, yang berbatas pada anak sungai Bogalitö dengan mado Zebua. Selanjutnya sitölu tua ini mulai bersatu dan saling bekerja sama untuk membangun Luaha Nou (Gunungsitoli) dalam segi perekonomian hingga pemerintahan. Setelah itu ketiga leluhur tersebut (sitölu tua) memilih sebuah pemimpin untuk memimpin dan memerintah daerah tersebut (F.Zebua 1996:55) . Kepala pemerintahannya disebut Salawa Sitölu Tua yang artinya orang yang memimpin ketiga leluhur. Seiring perkembangan zaman, Luaha Nou (Kota Gunungsitoli sekarang) semakin berkembang, dan didatangi orang-orang dari luar dan akhirnya dijajahi Belanda (VOC) pada
26
tahun 1840 (F.Zebua 1996:65). Lama kelamaan karena terjadinya akulturasi dan kontak budaya, maka Hili Gatoli yang diterjemahkan dan disebut oleh orang dari luar pulau Nias menjadi Gunungsitoli (Man Harefa 3 Juni 2012). Populasi dan adat istiadat masyarakat Nias pun mulai berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Adat istiadat masyarakat Nias di Gunungsitoli pun perlahan-lahan mulai berubah, akibat terjadinya inkulturasi dan kontak budaya lainnya. Banyak masyarakat Nias yang pada akhirnya kawin dengan suku di luar Nias, seperti Aceh, Minangkabau, dan Dawa lainnya. Hal ini menyebabkan sebagian perubahan terjadi, khususnya dalam adat-istiadat perkawinan. Dahulu kala sebelum masuknya agama Kristen dan Isla, seluruh masyarakat Nias memakai babi sebagai makanan atau pemberian penghargaan kepada mertua atau petinggi lainnya, tetapi sekarang hal ini hanya berlaku kepada masyarakat Nias yang beragama Kristen saja. Hal ini disebabkan karena babi diharamkan oleh masyarakat beragama Islam, sehingga otomatis masyarakat Nias yang beragama islam tidak melakukan upacara tersebut. Pada umumnya masyarakat Nias yang beragama Islam mengikuti upacara dan adat istiadat menurut syariat Islam, tidak menurut adat-istiadat Nias lagi (Yas Harefa 3 mei 2012). Pada tahun 2005, Nias terkena gempa berkekuatan 8,3 SR yang menewaskan 500 lebih penduduk. Mayoritas korban yang meninggal berasal dari Gunungsitoli. Kota Gunungsitoli sempat menjadi kota mati untuk beberapa hari, kemudian bantuan dari luar datang dan akhirnya Gunungsitoli kembali aktif. Sejak pasca, perputaran ekonomi di Gunungsitoli tergolong cepat. Hal ini disebabkan karena banyaknya orang dari luar pulau Nias (luar negeri maupun luar daerah) yang datang dan memberi bantuan sekaligus membuka usaha yang baru disana (Man Harefa 5 Februari 2012). Oleh sebab itu, perekonomian masyarakat Nias di Gunungsitoli semakin lama semakin baik.
27
Dalam segi kesenian, dahulu kita masih bisa melihat alat musik Nias yang masih eksis, seperti Lagia, Nduri danga, Nduri mbewe, doli-doli. Namun sejak tahun 1995 alat musik tersebut semakin lama semakin hilang dan hampir punah. Bapak Man Harefa selaku sekretaris Dinas pariwisata pada saat itu (Februari 2012) mengutarakan bahwa pada tahun 2010, pemerintah Kabupaten Nias merevitalisasi alat tersebut dan kembali melestarikannya agar alat-alat musik tersebut bisa kembali diaktifkan dengan cara mempertunjukannya disetiap acara-acara kesenian yang ada di Gunungsitoli (seperti Pesta Budaya Nias) maupun di luar Gunungsitoli (seperti di Pekan Raya Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan pertunjukan lainnya). Hal ini menunjukan bahwa pemerintah mempunyai kesadaran dan berupaya untuk mempertahankan warisan kebudayaan tersebut, terutama dalam segi kesenian.
2.3 Kebudayaan Masyarakat Nias di Gunungsitoli Masyarakat Nias mempunyai kebudayaan yang menganggap bahwa leluhur mereka turun dari langit, begitu juga dengan seluruh kegiatan upacara adat, bahkan kesenian yang mereka lakukan pun berasal dari Dewa yang memberikan ilham bagi manusia untuk melakukan tradisi tersebut (Yas Harefa 11 Februari 2012). Menurut Bpk Yas Harefa, Dewa Lasara yaitu dewa yang paling tinggi di pulau Nias menurunkan 7 buah keturunannya yang menjadi laut, sungai, tumbuhan (pepohonan), binatang (babi), lembah, binatang di udara (burung), dan manusia. Hal ini sampai sekarang masih di ceritakan melalui tradisi syair hoho dan mite2 dari suku Nias. Hal ini membuktikan bahwa sampai sekarang jika cerita tentang
2
Hoho dan mite adalah nyanyian rakyat Nias yang berbentuk syair. Mitos (myth) adala bahagian dari folklor (cerita rakyat). Dari bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, iaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mitos adalah cerita prosa rakyat yag dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi,
28
kebudayaan Nias, maka kita akan dibawa ke arah dongeng, legenda ataupun cerita rakyat yang kebenarannya belum dapat dibuktikan (Hammerle 2001:4). Ini menjadi suatu kelebihan sekaligus menjadi keunikan dari suku Nias yang masih mempercayai tentang legenda ataupun dongeng tentang kebudayaannya. Salah satu contohnya adalah mitologi tentang Nias yang sampai sekarang belum diketahui kebenarannya dari mana asal-usul suku Nias tersebut.
2.3.1 Mitologi tentang Nias Sampai saat ini, belum ada yang berani menentukan dari mana asal usul Nias, semuanya masih sebuah interpetasi (penafsiran). Adapun data-data tentang asal usul dan nama-nama pulau Nias sebelum masyarakat Nias tinggal dan berketurunan di pulau tersebut yang didapat dan dirangkum penulis dari buku Hammerle, Asal-usul Masyarakat Nias (2001), ataupun wawancara dengan bapak Yas Harefa dan bapak Man Harefa. Asal-usul dan nama-nama pulau Nias dahulu adalah sebagai berikut.
a.
Hulo Ge’e Dahulu Pulau Nias dinamakan Pulau Keke atau Hulo Ge’e. Kata tersebut berasal dari
kata Hulo (pulau) dan Keke atau E’e yang artinya burung Kekek, berarti Hulo Ge’e adalah Pulau burung kekek. Pulau ini dinamai sebagai pulau burung kekek karena dahulu 30 tahun yang lalu burung kekek (beo Nias) banyak di Nias. Selain itu burung kekek atau burung Beo Nias menjadi ikon pulau Nias karena dianggap sebagai burung yang pintar dan dapat berbicara mengikuti manusia. Oleh sebab itu orang luar pulau Nias menamai pulau Nias sebagai pulau burung kekek atau Hulo Ge’e (Hammerle 2001:5). tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala memiliki sifatsifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belu begitu lama. Dogeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya ceritera, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat Bascom, 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk ceritera rakyat ini lihat James Danandjaja (1984:50-51). 29
Di sisi lain, Hulö ge’e mempunyai arti yang berbeda juga. Menurut Matias Fangehao Zebua pulau Nias disebut Hulo Ge’e yang artinya pulau tangisan. Matias Zebua menganggap bahwa pulau ini adalah pulau kecil yang ditemukan orang dengan susah payah dan tangisan ditengah lautan. Kata Ge’e yang dimaksudkan disini berasal dari kata Mege-ege yang artinya menangis (Hammerle 2001:5). b. Hulo Solaya-laya Jika diartikan kedalam bahasa indonesia, Hulo Solaya-laya adalah pulau yang terapungapung/ Pulau yang menari-nari. Pulau Nias adalah pulau yang tergolong kecil, dimana disekitarnya masih terdapat pulau yang lebih kecil dan bertebaran disebelah selatan dan barat. Karena dikelilingi oleh samudera yang luas, pulau ini dinilai seperti benda yang terapungapung di tengah samudera yang gampang diombang-ambingkan oleh pukulan ombak, dan rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Hal ini yang menjadikan pulau Nias disebut pulau yang mengapung atau Hulo Solaya-laya (Hammerle 2001:5). Sebutan Hulo solaya-laya bagi pulau Nias juga dapat kita temukan di dalam salah satu syair nyanyian rakyat Nias, yaitu hoho (Hammerle 2001:5). Dalam Hoho tersebut, Pulau Nias digambarkan dan disebut sebagai Hulo solaya-laya (pulau yang menari-nari).
c.
Uli danö Pulau ini dianggap orang Nias atau ono Niha sebagai tempat kelahiran mereka. Orang
Nias menganggap mereka lahir dan hidup dari tanah. Jika diartikan, Uli danö adalah kulit tanah. Orang Nias menganggap mereka tinggal di tanah kelahiran mereka yang mereka sebut uli danö (Hammerle 2001:5). Sebutan ulidanö sampai sekarang masih dipakai orang Nias, khususnya masyarakat Nias yang sedang merantau ataupun tinggal di luar pulau Nias, mereka menyebut pulau Nias dengan kata Uli danö (Man Harefa 4 April 2012).
30
d.
Tanö Niha Secara umum, banyak suku-suku di dunia yang menganggap dirinya lebih tinggi dan
lebih manusiawi dari pada suku-suku lain (Hammerle 2001:7). Prinsip ini juga berlaku bagi masyarakat Nias. Hal ini terbukti dari masyarakat Nias yang menyebut dirinya Ono Niha yang artinya manusia atau anak manusia. Sedangkan orang yang bukan berasal dari Nias mereka sebut Ndrawa yang artinya orang asing. Contohnya adalah Ndrawa Hulandro (orang asing dari Belanda), Ndrawa Aceh (orang asing dari Aceh), dan sebagainya. Tetapi istilah Ndrawa ini tidak berlaku bagi orang berketurunan Cina. Masyarakat Nias menyebut orang Cina sebagai Kehai atau Gehai. Begitu Juga dengan pulau Nias, masyarakat menyebutnya Tanö Niha. Jika diterjemahkan, Tanö Niha artinya Tanah manusia atau Tanah orang. Ini menunjukan bahwa dahulu masyarakat Nias menganggap pulau Nias tersebut adalah pulaunya manusia, dan tidak ada lagi pulau lain yang dihuni manusia selain pulau Nias (Hammerle 2001:7). Di sisi lain pada tahun 1154, seseorang bernama Edrisi menyebut Nias adalah Niyan dalam bukunya. Begitu juga dengan Kaswini (1203-12830 yang menulis tentang Niyan (Nias) dalam bukunya (Hammerle 2001: 7). Dari data tersebut, kita bisa berpikir bahwa mungkin ada kaitannya kata antara Niyan, Niha dan Nias.
e.
Payung Matahari Dalam tesisnya di Universitas Cornell (1986) Yoshiko Yamamoto menulis bahwa
orang Cina menamakan pulau Nias sebagai payung Matahari (Parasol Island). Keterangan ini diperkuat dengan ditemukannya perkampungan Cina di wilayah Gomo. Menurut Hammerle (2001:8), hal ini membuat beliau berpikir bahwa penghuni pulau Nias menggemari pemakaian payung matahari, atau payung matahari adalah sesuatu yang penting di pulau Nias. Namun menurut penulis, sampai sekarang kebenaran dari pernyataan tersebut belum 31
bisa dibuktikan, karena belum adanya narasumber lain ataupun data-data akurat yang dapat menjelaskan tentang hubungan payung matahari dengan pulau Nias tersebut.
f.
Ninive, Nei Ha, dan Niha S.W. Mendröfa alias Ama Rozaman Mendröfa dalam bukunya Fondrakö Ono Niha
(Hammerle 2001:8) mengatakan bahwa ada sebuah cerita yang menarik tentang asal-usul masyarakat Nias (pada tahun 1920). Cerita tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya, bisa berupa legenda ataupun mitologi semata. Adapun cerita tersebut yang berisikan sebagai berikut. Dahulu sesudah Kota Ninive jatuh (di Persia daerah Syur), muncullah seorang raja bernama Ninus dan mendirikan kota Hilleh, kemudian beliau memperluas kerajaannya. Kerajaan ini disebut kerajaan Ninus Hilleh. Para panglima dari kerajaan ini gemar berlayar untuk mencari daerah-daerah lain untuk dijadikan bagian dari kerajaan Ninus Hilleh. Kelompok panglima yang gemar berlayar ini menamakan diri sebagai pengikut N. H. (baca Nei Ha) yang artinya pengikut Ninus Hilleh. Tiba suatu saat pengikut N.H. tersebut menemukan suatu pulau dan menamainya pulau N.H. (baca Nei Ha). Lalu rombongan tersebut tinggal dan berketurunan di pulau tersebut. Lama kelamaan setelah beberapa generasi, keturunan-keturunan tersebut yang disebut Nei Ha berubah menjadi Niha. Keturunan-keturunan tersebut juga menamakan pulau ini menjadi Tanö Niha dan mereka adalah Ono Niha (anak N.H.).
g.
Teteholi Ana’a Teteholi Ana’a adalah kerajaan langit yang dipercaya dan diyakini masyarakat Nias
pernah ada (Yas Harefa 23 Mei 2012). Menurut Drs. Haji A.M. Zebua dalam bukunya yang berjudul Umanö berpendapat bahwa kita dapat mencari asal usul Nias dari negeri Arab
32
zaman dahulu (Hammerle 2001:9), sebelum masuknya pengaruh agama Kristen dan Islam di pulau tersebut. Dalam buku tersebut, beliau mencantumkan persamaan data-data mengenai kerajaan Teteholi Ana’a (kerajaan Nias) dengan negeri Arab. Adapun data-data tersebut, yaitu: - Suku Ono Niha mewajibkan sunat pada semua anak laki-laki dengan cara dipotong ujung kulit kemaluannya setelah berumur 9-14 tahun. Tradisi ini ditemukan hanya pada bangsa Arab. - Tradisi suku Nias yang menomorduakan anak perempuan dalam keluarga. Hal ini menggambarkan kabilah-kabilah Arab. - Suku Ono Niha menganut Patriachat seperti bangsa Arab - Kepercayaan suku Nias sebelum masuknya pengaruh agama Islam dan Kristen adalah Animisme, serupa dengan yang dijumpai di Arab dahulu. - Banyak nama-nama orang dan nama-nama tempat yang bersamaan di Arab dan di Tanö Niha, antara lain : a.
Nama-nama orang : Tuha Möka, Ara, Lowalangi, Kura’a, Sirao, dll.
b.
Nama-nama tempat dan sungai : Gomo, Lasara, Ma’u, Batötö, dll.
c.
Bahasa : Umanö (Amanah), Mangötö-batuta, Na’ua-ma’un, Hanao-tahanut, dll.
- Suku Nias dan Arab percaya bahwa nenek moyang mereka pertama kali turun dari langit. - Suku Nias dan Arab sama-sama hidup dari perburuan dan tinggal di gunung-gunung dan sama sekali bukan pelaut. - Suku Nias menggambarkan Tanö Niha sebagai kerajaan langit (Teteholi Ana’a). Hal ini melukiskan bahwa negeri asal mereka adalah tanah tandus yang sangat miskin (gurun di Arab). 33
- Cara berpakaian Ono Niha yang memakai jubah bagi pria dan menutup seluruh anggota badan bagi kaum wanita. Hal ini ditemukan juga di Arab. - Kebiasaan bersyair dan penghormatan yang luar biasa terhadap leluhur menunjukkan persamaan yang amat erat antara kabilah Arab dengan suku Ono Niha. - Kebiasaan membungakan pinjaman. - Kebiasaan meminum tuak/kharm. - Kebiasaan memberi dan menerima jujuran yang besar. - Kebiasaan memakai tombak sebagai alat berburu dan berperang (suku Nias tidak mengenal panah). - Kebiasaan menguburkan jenazah orang meninggal (tidak dibakar seperti di Bali ataupun disimpan di goa seperti Toraja). Hal\ ini terdapat pada orang-orang Arab. - Kebiasaan menghukum pezinah dengan hukuman mati (pada zaman dahulu sebelum Belanda masuk dan menjajah Nias). - Kebiasaan mengusung penganten perempuan. - Suku Nias mengenal perbudakan, setiap raja memiliki budak. Hal ini ditemukan juga di Arab. Data-data tersebut adalah persamaan adat istiadat kerajaan di Arab zaman dahulu dengan Kerajaan di Nias yaitu Tetehöli Ana’a. Namun menurut Hammerle persamaan tersebut tidak hanya ditemukan pada kerajaan Arab saja, namun terdapat juga pada negara lain (Hammerle 2001:12). Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran dari mana asal usul masyarakat Nias sebenarnya. Menurut Bapak Man Harefa (2 Feb 2012) bisa jadi suku Nias berasal dari salah satu suku yang berada di wilayah ras mongoloid yang dahulu pindah ataupun terdampar di daerah/ pulau Nias. Hal ini dibuktikan dengan adanya persamaan kebudayaan dan tradisi pada salah
34
satu suku di Vietenam, yaitu suku Naga (Hammerle 2001:117). Hal ini dilihat dari persamaan logat, beberapa persamaan bahasa dan upacara adat yang ada. Dari semua informasi tersebut, belum ada yang membuktikan dari mana asal usul dan histori suku Nias sebenarnya, semua itu hanya pendapat dan interpetasi saja (Hammerle 2001:1-3). Namun setidaknya beberapa ahli telah mencoba meneliti dan melakukan berbagai kegiatan untuk mencari tahu dari mana asal usul Nias tersebut. Selain mitologi asal-usul kebudayaan masyarakat Nias, ada juga tanggal dan waktu berdasarkan tradisi suku Nias. Pada zaman dahulu sistem waktu dan tanggal tradisi Nias tersebut dipakai dalam kegiatan masyarakat Nias sehari-hari, termasuk menjadi pedoman dalam melakukan upacara adat, seperti perkawinan ataupun pesta rakyat lainnya.
2.3.2 Waktu dan Tanggal Menurut Orang Nias Dahulu masyarakat Nias sama sekali tidak mengenal waktu dan tanggal kabisat yang telah distandarisasikan seperti sekarang. Masyarakat Nias melihat waktu dan tanggal berdasarkan arah matahari, bintang dan bulan. Tradisi ini dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat Nias untuk melakukan kegiatan sehari-hari, dari pergi bekerja, memanen, ataupun melakukan upacara-upacara adat, seperti owasa, pesta perkawinan, pesta rakyat, dan sebagainya. Begitu juga dengan melakukan kesenian tradisional, seperti mamözi Aramba, masyarakat Nias melakukan kegiatan tersebut dengan melihat waktu yang sesuai dengan tradisi yang ada, contohnya mamözi Aramba pada perkawinan dipakai disaat Laluo wongi (pagi hari) sampai talu mbongi (tengah malam), dan disaat Aefa talu mbongi (lepas tengah malam) mamözi Aramba tidak lagi dimainkan (Man Harefa 6 Februari 2012). Adapun kalender harian (waktu) bagi masyarakat Nias yang dikutip dan dirangkum dari buku jejak cerita rakyat Nias oleh Victor Zebua (2010) adalah: - 00.00 WIB
: Talu mbongi (tengah malam). 35
- 01.00 WIB
: Aefa talu mbongi (lepas tengah malam).
- 02.00 WIB
: Samuza kiarö (waktu terjaga pertama).
- 02.00-02.30 WIB : Miwö manu siföföna (ayam berkokok pertama kali). - 03.00 WIB
: Miwo manu mendrua (ayam berkokok kedua kali).
- 04.00 WIB
: Miwo manu si tatalu (ayam berkokok pertengahan).
- 05.00 WIB
: Miwo manu si fadoro ( ayam berkokok beruntun dan
bersahutan). - 05.00 WIB
: Möi Zamölö (penyadap aren mulai bekerja).
- 05.15 WIB
: Miwo manu safuria (ayam berkokok untuk terakhir kalinya).
- 05.30 WIB
: Afusi newali (perkarangan rumah mulai terang).
- 05.30-06.00 WIB : Muhede riwi (jangkrik berbunyi). - 06.00 WIB - 06.30 WIB
: Tumbu Luo (matahari terbit). : Ahulö wongi, mofanö niha ba halöwö (pagi sekali, orang pergi
bekerja). - 07.30 WIB
: Aefa zi möi tou, te’anö niha ba halöwö (orang siap buang air, para pekerja semua sudah berkumpul).
- 08.00 WIB
: Otufo namo (embun pagi mengering).
- 10.00 WIB
: Aukhu zino (udara mulai panas).
- 11.00 WIB
: Mangawuli zimohalöwö (pekerja pulang).
- 12.00 WIB
: Laluo (tengah hari).
- 13.00 WIB
: Ahole yöu (matahari miring ke utara).
- 15.00 WIB
: Aso’a yöu (matahari tumbang ke utara).
- 16.00 WIB
: Alawu Adogo (matahari jatuh mendekat).
- 17.00 WIB
: Mangawuli zimili ba danö (pekerja pulang ke rumah).
36
- 17.30 WIB
: Mondra’u manu (menangkap ayam, memasukkan ayam ke dalam
kandang). - 17.30-18.00WIB : Manuge manu (ayam hinggap di kandang). - 18.30 WIB
: Ogömi-gömi (gelap).
- 19.00 WIB
: Mondrino gö (memasak makanan).
- 20.00 WIB
: Asoso gö, inötö wemanga (makanan sudah masak, waktunya
makan). - 21.00 WIB
: Manga niha sara (waktu makan malam yang telat).
- 22.00 WIB
: Mörö Niha (waktunya tidur).
- 23.00 WIB
: Ahono mörö niha (orang tidur terlelap).
- 23.30 WIB
: Saraö tö mbongi ( malam tinggal sepertiga lagi).
Dari data-data tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa dahulu tidak ada masyarakat Nias yang bertanya “jam berapa sekarang.”
Hal ini disebabkan karena
masyarakat Nias sudah bisa merasakan waktu di saat mereka melihat matahari, bulan, dan sekeliling mereka. Berbeda dengan sekarang yang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, masyarakat Nias sudah menjadikan jam yang distandarisasikan (Waktu Indonesia bagian Barat) sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Selain kalender harian, dahulu masyarakat Nias juga mempunyai kalender tahunan. Tetapi kalender tahunan ono Niha berbeda dengan kalender tahunan Gregorian yang kita pakai sampai sekarang (V. Zebua 2010:5). Kalender tahunan masyarakat Nias berpedoman pada rasi bintang yang di sebut Sara Wangahalö. Menurut masyarakat Nias (Agner Moller 1976), salah satu asal usul Sara Wangahalö adalah berdasarkan cerita yang dirangkum dari Victor Zebua (2010) sebagai berikut: Menurut cerita masyarakat Nias, dahulu Ndroma dan isterinya Simarimbaua mempunyai 11 anak. Tiba suatu saat kesebelas anak itu pergi berburu untuk mencari 37
makanan. lalu ketika pulang, pintu dirumah mereka tidak dibuka. Anak sulung bertanya, kenapa ayah tidak membukakan pintu. Namun karena tidak ada jawaban, maka anak-anak tersebut memotong jari-jarinya dan meletakkannya diatas tangga, lalu mereka pergi meninggalkan rumah. Pada malam hari, Ndroma, budaknya dan isterinya pergi mencari anakanak tersebut dengan membawa obor. Namun demikian mereka tidak pernah bertemu, ini disebabkan karena kesebals anak tersebut telah menjelma menjadi Sara wangahalö. Lalu Ndroma, budaknya dan Simarimbaua menjelma pula menjadi Ndröfi si tölu (bintang tiga). Bintang Sara Wangahalö ini berperan penting bagi adat-istiadat masyarakat Nias. Hal ini disebabkan karena ketergantungan ono Niha melihat bintang tersebut untuk menjadi pedoman memanen, ataupun mulai berburu (Viktor Zebua 2010:5). Ketka bintang Sara muncul di ufuk timur, orang Nias turun ke hutan belukar. Mereka mamohu tanö nowi atau mamago tanö (menandai tanah huma-ladang). Tanah yang dipilih dibersihkan agar dapat ditanami. Masa menanam padi berlangsung ketika posisi bintang Sara setinggi matahari di pukul 08.00 hingga puku 10.00. Masa menuai saat bintang Sara dilangit sebelah barat, setinggi matahari pukul 02.00 hingga 04.00 sore. Bintang ini kelak hilang di ufuk barat, kemudian muncul kembali di ufuk timur. Bintang ini berlangsung selama 12 kali bulan terang, artinya dalam waktu satu siklus, bintang in berlangsung 12 bulan (V. Zebua 2010:6). Posisi Sara ditentukan berdasar posisi matahari. Menurut kearifan lokal Nias, satu jam waktu edar matahari setara dengan satu bulan waktu edar Sara Wangahalö. Karena matahari beredar dari timur ke barat selama 12 jam dalam sehari, maka kurun waktu jam posisi matahari identik dengan kurun waktu bulan posisi Sara Wangahalö. Sara Wangahalö terbit diufuk timur awal April, dan terbenam di ufuk barat awal Maret. Dengan demikian, kurun waktu satu siklus peredaran Sara Wangahalö relatif dapat dipadankan denghan kurun waktu setahun kalender Gregorian (V. Zebua 2010:7).
38
Gambar 1 : Peredaran Sara Wangahalö
Sekitar awal April Sara Wangahalö terbit di ufuk timur, terlihat saat matahari terbenam. Dua bulan kemudian, bila bintang ini berada pada posisi matahari pukul delapan (sekitar Juni), orang mulai menanam padi. Periode terbaik menanam padi hingga Sara Wangahalö berada pada posisi pukul sepuluh (sekitar Agustus). Sementara periode terbaik menuai saat posisi Sara Wangahalö berada pada posisi matahari pukul dua hingga empat sore, terlihat saat matahari terbit (sekitar Desember-Februari). Tenggang waktu usai mamasi (musim menuai padi) hingga terbenamnya Sara Wangahalö di ufuk barat (sekitar FebruariMaret) dipakai untuk pembersihan lahan. Lahan itu kemudian dijadikan ladang ubi yang lazim digarap kaum wanita. Periode ini disebut inötö otalua halöwö saukhu (masa senggang kawasan pertanian). Dalam periode ini diselenggarakan berbagai acara penting masyarakat tradisional Nias, seperti perkawinan, pendirian rumah, pesta pengangkatan gelar seperti Owasa, maupun pesta rakyat atau Fondrakö. 39
Kurun waktu satu bulan pasti berlangsung 30 hari. Masyarakat Nias juga mempunyai nama-nama hari sepanjang satu bulan. Hari pertama adalah ketika bulan sabit terlihat di ufuk barat saat matahari terbenam. Selama 15 hari, setiap hari penampakan bulan berubah hingga menjadi tuli (purnama). Menurut Viktor Zebua (2010) nama-nama hari itu adalah : -
Sambua desa’a
: bulan pertama (hari pertama)
-
Dombua desa’a
: bulan kedua (hari kedua)
-
Tölu desa’a
: bulan ketiga (hari ketiga)
-
Öfa desa’a
: bulan keempat (hari keempat)
-
Melima desa’a
: bulan kelima (hari kelima)
-
Me’önö desa’a
: bulan keenam (hari keenam)
-
Mewitu desa’a
: bulan ketujuh (hari ketujuh)
-
Mewalu desa’a
: bulan kedelapan (hari kedelapan)
-
Meziwa desa’a
: bulan kesembilan (hari kesembilan)
-
Fulu desa’a
: bulan kesepuluh (hari kesepuluh)
-
Mewelazara desa’a : bulan kesebelas (hari kesebelas)
-
Melendrua desa’a : bulan keduabelas (hari keduabelas)
-
Feledölu desa’a
: bulan ketigabelas (hari ketigabelas)
-
Fele’öfa desa’a
: bulan keempatbelas (hari keempatbelas)
-
Tuli
: purnama (bulan kelimabelas)
Selanjutnya bulan masuk fase mati selama 15 hari. Secara berurutan hari-hari bulan mati atau dimulai dari hari ke 16, yaitu: -
Sulumo’o
: hari ke enambelas
-
Mendrua akhömi
: hari ketujuhbelas
-
Medölu akhömi
: hari kedelapanbelas
-
Mendröfa akhömi
: hari kesembilanbelas
40
-
Melima akhömi
: hari kedua puluh
-
Me’önö akhömi
: hari kedua puluh satu
-
Mewitu akhömi
: hari kedua puluh dua
-
Mewalu akhömi
: hari kedua puluh tiga
-
Meziwa akhömi (zikho)
: hari kedua puluh empat
-
Mewulu akhömi (Börö Mugu)
: hari ke dua puluh lima
-
Mewelezara wa’aekhu
: hari kedua puluh enam
-
Felendrua wa’aekhu (Börö ndriwakha)
: hari kedua puluh tujuh
-
Sambua-lö aekhu (Talu ndriwa)
: hari kedua puluh delapan
-
Aekhu mbawa (Ahakhöwa)
: hari kedua puluh
sembilan -
Fasulöta (fasulöna)
: hari ketiga puluh
Masyarakat Nias dahulu tidak mengenal nama-nama hari dalam seminggu (kalender mingguan). Nama-nama hari mereka berdurasi selama sebulan (kalender bulanan). Sehingga makna hari dalam kalender bulanan tradisional adalah ‘tanggal’. Penanggalan ini berguna terutama untuk menentukan hari baik ataupun hari keberuntungan bagi masyarakat Nias. Hal ini berbeda dengan zaman sekarang, masyarakat Nias mengikuti tradisi kalender Gregorian, termasuk dengan memberikan nama terhadap hari dalam seminggu. Hal ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu untuk mengetahui tanggal dan waktu lebih rumit dibandingkan pada zaman sekarang yang serba canggih (Man Harefa 6 Februari 2012). Selain tanggal dan waktu masyarakat Nias, adapun Bahasa yang dipakai di Nias, yaitu bahasa Nias. Bahasai ini merupakan salah satu tradisi yang dipakai sampai sekarang di dalam kebudayaan masyarakat Nias. Berikut penjelasan tentang bahasa yang dipakai di Nias.
41
2.3.3. Bahasa Masyarakat Nias mempunyai bahasa ibu yang disebut bahasa Nias, dalam bahasa Nias, orang yang berbicara menggunakan bahasa Nias disebut Li Niha. Dahulu Sebelum ndrawa (orang yang bukan berasal dari suku Nias) datang ke Nias, semua orang di Nias menggunakan Li Niha (Yas Harefa 6 Mei 2012). Setelah terjadinya hubungan dengan orang asing, kemudian sebagian masyarakat Nias (khususnya di Gunungsitoli) mulai mengerti dan menggunakan bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) dan Belanda (khususnya pada masa penjajahan). Namun demikian, sampai sekarang masih ada masyarakat Nias yang masih belum mengerti bahasa Indonesia, khususnya pada masyarakat di pedalaman pulau Nias. Hal ini dibenarkan oleh pendapat Bapak Yas Harefa dan Man Harefa (Mei 2012), kedua beliau tersebut mengatakan bahwa masih banyak masyarakat Nias yang belum mengetahui bahasa Indonesia, terutama didaerah terpencil seperti pedalaman di daerah Nias Selatan (Gomo), maupun di tempat lainnya. Sampai pada tahun 2005, penulis pernah bertemu dengan orang yang sama sekali tidak mengetahui bahasa Indonesia dan hanya menggunakan Li Niha di daerah Tumöri. Satu keunikan dari bahasa Nias, yaitu huruf konsonan pada akhir kata tidak ada. Jadi apabila masyarakat Nias zaman dahulu jika berbicara dengan memakai bahasa Indonesia akan terlihat unik, contohnya kata ‘makan, minum, lem, dan rumpu’, ono Niha pasti akan berkata ‘maka, minu, le, da rupu. Tetapi ini bukan berarti kelemahan dari masyarakat Nias, karena ini adalah salah satu struktur bahasa Nias, yaitu dengan tidak mempunyai huruf konsonan pada akhir kata. Li niha mempunyai semua huruf yang ada dalam bahasa indonesia, ditambah dengan huruf ö. Jadi bahasa Nias mempunyai 27 huruf. Masing-masing huruf tersebut dibentuk
42
menjadi sebuah kata dimana akhir kata tersebut ditutup dengan huruf vokal (Man Harefa 3 Februari 2012). Kita mengetahui struktur bahasa Indonesia adalah ‘S-P-O-K’, maka struktur bahasa Nias berbeda. Menurut bapak Yas Harefa (2012) struktur bahasa Nias dimulai dari predikatsubjek- objek- keterangan. Contoh perbedaan bahasa Nias dan Indonesia yaitu : - Saya pergi ke pasar besok pagi S +P +
O
+ K
- Möi do ba fasa mahemolu zihulowongi / pergi aku ke pasar besok pagi (terjemahan) P+S
+ O +K
Bahasa Nias mempunyai logat dan intonasi yang berbeda-beda sesuai dengan daerah yang terbagi 3, yaitu utara, tengah dan selatan. Selain itu Masyarakat Nias Utara dan tengah mempunyai perbedaan kosa kata dengan Nias Selatan. Masyarakat Nias dapat mengetahui orang tersebut apakah berasal dari Nias bagian utara, tengah atau selatan dari cara mereka berbicara dan intonasinya. Berikut contoh transkripsi bahasa Nias bagian utara, tengah dan Selatan (Yas Harefa 31 Januari 2012).
Nias Utara : hezo möi’ö
: kemana kamu pergi
Nias Tengah : hezo möi’ö
: kemana kamu pergi
Nias Selatan : Haega hö möi : kemana kamu pergi
Bahasa Nias juga mempunyai kata-kata yang artinya sama dengan suku lain (bahasa serapan). Contoh bahasa tersebut seperti asu, manga (mangan dalam bahasa Batak Toba), dan sebagainya. Bahasa serapan tersebut bisa ada dalam Li Niha diakibatkan karena kontak budaya, mungkin dahulu ada sesuatu benda yang namanya tidak terdapat dalam kosa kata bahasa Nias sehingga Ono Niha memakai bahasa serapan tersebut (Man Harefa 6 Juni 2012). 43
Bahasa Nias berguna sebagai komunikasi antara satu dengan lainnya pada kebudayaan Nias, pada permainan mamözi Aramba bahasa Nias juga dipakai sebagai syair pembuka sebelum memainkan alat musik tersebut. Syair pembuka tersebut disebut höli-höli. Höli-höli ini berfungsi sebagai ajakan kepada masyarakat agar menyatukan hati dan bersepakat untuk menjalankan kegiatan dalam suatu acara. Hal itu merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat Nias.
2.3.4 Adat istiadat Masyarakat Nias Kebudayaan Nias mempunyai adat-istiadat dan tata cara sendiri, dimulai dari sistem pemerintahan, kegiatan sehari-hari, hukum adat, dan upacara adat. Dalam sistem pemerintahan, masyarakat Nias pada zaman dahulu dipimpin oleh Tuhenori, disusul dengan Salawa. Tuhenöri adalah pemimpin dari beberapa banua (perkampungan). Tuhenöri dipilih oleh beberapa pemimpin banua yang disebut Salawa. Tuhenöri mempunyai tugas untuk memimpin dan menyatukan banua tersebut agar tetap rukun dan damai. Tradisi memilih Tuhenöri tidak lagi ditemukan. Pemimpin tertinggi yang kedua adalah Salawa, yaitu pemimpin banua. Salawa mempunyai pengertian, yaitu fa’atulö (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abölö (kuat jasmani dan rohani), fokhö (kaya atau memiliki cukup harta benda), dan salawa sofu (berwibawa). Sampai sekarang tradisi memilih Salawa masih ada di Nias (Yas Harefa 6 Mei 2012). Ono Niha memiliki hukum-hukum adat yang berlaku. Pengesahan hukum adat tersebut disebut Fondrakö. Salah satu keunikan tradisi masyarakat Nias dahulu dalam adat perkawinan adalah pihak laki-laki meminang perempuan dengan memberikan böwö (jujuran) berupa babi. Banyaknya babi tersebut disesuaikan dengan permintaan orangtua pihak perempuan. Semakin besar jabatan dari keluarga perempuan di kampungnya, maka semakin banyak jumlah babi yang harus diberikan sebagai jujuran. Hal ini menjadi kebanggan
44
tersendiri bagi masyarakat Nias, khususnya bagi bangsawan yang ada di Nias (Yas Harefa 6 Mei 2012). Selain itu, masih banyak hukum adat yang ada di Nias. Seperti peraturan hukuman mati bagi orang yang berzinah, larangan untuk menikahi saudara yang sesama marga kecuali hubungan kekeluargaan telah melewati 7 keturunan, dan sebagainya. Dari sistem kepercayaan, pada zaman dahulu sebelum pengaruh agama Kristen maupun Islam masuk di pulau Nias, masyarakat Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu. Pada masa awal sanömba adu, masyarakat Nias mempercayai sistim penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Sistim penggolongan derajat manusia berdasarkan tingkattingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat.pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Bosi adalah pedoman bagi masyarakat Nias untuk mencapai tingkat kehidupan tertinggi, termasuk disaat mereka meninggal dan tinggal di dalam tetehöli ana’a (kerajaan langit). Jika tidak melakukan hal-hal terseBut maka orang tersebut tidak akan masuk kedalam tetehöli ana’a melainkan masuk ke dalam neraka (hammerle 1995). Adapun kedua belas tingkat derajat manusia atau bosi itu yaitu, (1) fangaruwusi (memperlihatkan kandungan), (2) tumbu (lahir), (3) famatörö döi (memberi nama), (4) famoto (sirkumsisi), (5) falöwa (menikah), (6) famedadao omo (mendirikan rumah), (8) fa’aniha mbanua (memasuki persekutuan desa), (9) famaoli (menjadi anggota adat), (10) fangai töi (mengambil gelar ), (11) fa’amokhö (kekayaan), (12) meme’e gö mbanua (menjamu orang sedesa) dan mame’e gö nöri yaitu menjamu orang dalam satu desa (Dasa Manaö 1998:195-196). 45
Dahulu masyarakat Nias mempunyai dewa yang diyakini bisa menjaga kehidupan ono Niha. Salah satu dewa yang paling tinggi adalah Dewa Si’ai. Pada waktu tertentu orang Nias memberikan sesajian sebagai tanda penghormatan kepada dewa tersebut. Untuk memberikan penghormatan kepada dewa Si’ai, Ono Niha berkumpul dan mengadakan sambua alahoita atau berkumpul di bawah kayu besar (pohon fosi atau eho). Di bawah pohon itu mereka melakukan upacara dengan cara mengelilingi pohon tersebut kemudian menyampaikan apa yang mereka inginkan. Selain dewa si’ai orang Nias juga mempercayai adanya dewa-dewa lain diantaranya, luo walangi sebagai dewa pencipta alam semesta, lature sobawi sihönö sebagai dewa pemilik dan penguasa babi, uwu gere sebagai dewa pelindung, dan penguasa para ere (pemimpin religi sanömba adu), uwu wakhe sebagai dewa penguasa tanam-tanaman, gözö tuha zangaröfa sebagai dewa penguasa air (Hammerle 1995). Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki kepercayaan bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh yang bisa menjaga kelangsungan kehidupan ono Niha. Sebagai ungkapan rasa hormat mereka terhadap hal tersebut, mereka melakukan sembahyang pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan persembahan-persembahan atau sesajian. Masuknya agama Kristen di Nias yang dibawakan oleh Denninger pada tahun 1865 di Kota Gunungsitoli. Sebelumnya beliau belajar tentang adat istiadat dan bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau di Padang. Penginjilan dari Denninger tentang agama Kristen ternyata berhasil, lalu kemudian dilanjutkan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa dödö sebua). Pada masa inilah masyarakat
46
Nias mulai merubah sebagian tradisi khususnya yang bertentangan dengan agama Kristen, seperti patung-patung mulai di bakar dan dihancurkan, poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembuhan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan sebagainya. Hingga kini sebagian besar orang Nias memeluk agama Kristen, (S. Zebua, 1984 : 62). Selain agama Kristen, sebagian masyarakat Nias juga ada yang memeluk agama Islam, dimana mereka mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu, fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur, ataupun tradisi yang bertentangan dengan hukum Islam seperti pemberian babi sebagai böwö dalam upacara perkawinan. Pada umumnya masyarakat Nias yang beragama Islam bermukim di satu daerah tertentu, seperti di Foa, Mudik, Lahewa, dan sebagainya. Ono Niha menggunakan sistem patrilineal, yaitu mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Seluruh adat istiadat maupun marga seorang anak diikuti dari ayah. Adapun marga-marga yang ada di Nias yaitu: Amazihönö,Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu, Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i menewi Boda hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, lazira, Lawolo,Lawelu, Laweni, lasara,laeru, Löndu go'o, lase, larosa, Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya, Möhö, Marundruri,Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Nduru, Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, 47
Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago zamauze. Marga-marga tersebut diletakkan di belakang nama ono Niha sesuai marga ayahnya. Bagi sesama marga, masyarakat Nias memanggilnya dengan istilah Mado (Hammerle 2001:84). Dahulu masyarakat Nias memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berladang dan berburu. Hal ini disebabkan karena mereka tinggal di pedalaman pulau Nias. Namun seiring perkembangan zaman, masyarakat Nias mulai berinisiatif untuk mencari pekerjaan lain, dengan menyadap karet, bertani dan menjadi nelayan. Pada zaman sekarang, masyarakat Nias mayoritas berprofesi sebagai PNS (pegawai negeri sipil), bahkan itu menjadi salah satu pekerjaan yang paling difavoritkan di pulau Nias (Man Harefa 7 juni 2012). Selain PNS, sebagian masyarakat Nias bekerja sebagai wira usaha, pedagang, tentara, polisi, dan sebagainya.
2.3.5 Kesenian yang ada pada Masyarakat Nias Masyarakat Nias mempunyai kesenian yang beragam. Kesenian tersebut berupa seni suara, musik, dan seni rupa, serta tari-tarian (audio visual). Sebagian besar kesenian masyarakat Nias adalah Tari-tarian. Salah satu tarian yang terkenal adalah Tari Perang Nias. Dahulu suku Nias terkenal dengan suku yang suka berperang. Hal ini dibuktikan dengan masyarakat Nias yang mempunyai tradisi memenggal kepala musuhnya dan memamerkannya sambil keliling desa. Semakin banyak kepala manusia yang dipenggal, maka orang tersebut semakin disegani. Tetapi tradisi itu tidak ditemukan lagi di Pulau Nias sejak masuknya pengaruh agama Kristen di sana (sekitar tahun 1930an). Kebiasaan berperang dahulu pun akhirnya dibuat menjadi tari-tarian (Yas Harefa 4 Februari 2012). Tari tersebut adalah tari Faloaya atau tari perang Nias. Tari tersebut cukup terkenal di luar maupun dalam negeri. Tari tersebut berasal dari Nias Selatan, khususnya daerah Bawomataluo. Tari tersebut
48
menggambarkan kisah prajurit yang berperang melawan musuh-musuhnya. Tari tersebut menggunakan kostum perang dan pedang. Selain itu, tari perang lain yang lumayan terkenal setelah Faloaya, yaitu tari Baluse. Tari tersebut adalah tari yang berasal dari Nias bagian utara, dimana tari tersebut menggambarkan kisah Ono Niha yang sedang berperang dengan memakai tombak. Tari ini dibuat sebagai penyemangat bagi Ono Niha. Tari ini dilakukan oleh pria. Ada juga tari-tarian yang dilakukan oleh wanita, yaitu tari Ya’ahowu, Tari Moyo dan tari tuwu. Ketiga tari ini adalah tari tradisional yang bersifat sebagai tari penyemangat (tuwu), tari sapaan (Ya’ahowu) dan pengesahan jabatan (moyo). Ketiga tari tersebut biasanya dibawakan oleh sekelompak wanita yang terdiri dari 6-8 orang dimana masing-masing membentuk formasi yang saling berhadap-hadapan. Selain itu, ada juga tari yang dilakukan bersama-sama, yaitu tari Maena. Tari ini adalah tari pengakraban, dilakukan bersama-sama secara serentak dalam suatu acara. Tari ini dilakukan oleh masyarakat umum, tidak terbatas usia dan bebas (siapapun bisa melakukannya). Gerakan yang utama dalam tari-tarian ini adalah gerakan kaki yang diayunkan. Tari ini dipedomani oleh beberapa orang sambil melantunkan syair dalam bahasa Nias dan di respon oleh yang ikut melakukan tari tersebut. Masyarakat Nias juga mempunyai kesenian tradisional di bidang musik. Alat musik yang ada di Nias biasanya dipakai dalam upacara adat. Pada upacara kebesaran, pesta perkawinan dan kematian, Aramba (Gong), Faritia (canang) dan Göndra (gendang), Fondrahi/tutu (tambur) dibunyikan berhari-hari sebelum pesta berlangsung agar masyarakat dan desa tetangga mendengarnya. Alat musik Lagia (Alat musik yang mempunyai senar dan digesek), Ndruri (sejenis aerophone), Doli-doli (sejenis idiophone), dan Surune (sejenis aerophone) sering dibunyikan oleh masyarakat pada saat mereka sedang santai, kesepian ataupun sedang sedih agar mereka dapat terhibur (Yas Harefa 4 juni 2012). 49
Selain itu, masyarakat Nias juga mempunyai kesenian yang visual (seni rupa), seperti ornamen-ornamen kayu dan Gowe (ukiran yang terbuat dari batu). Ukiran ini biasanya diletakkan di dalam rumah, maupun di perkarangan rumah. Selain itu dahulu terdapat juga ornamen-ornamen yang berbentuk lukisan, biasanya dilukis di langit-langit rumah, ataupun di tiang rumah di daerah Nias. Namun sekarang lukisan-lukisan ciri khas Nias tersebut sudah jarang kita temui karena kondisi rumah masyarakat Nias terutama di Gunungsitoli sudah berubah sesuai dengan perkembangan zaman sekarang. Lukisan-lukisan tersebut hanya kita dapat pada rumah adat Nias yang masih ada di Nias, contohnya di daerah desa Tumöri, ataupun di wilayah museum pusaka Nias. Pada kesempatan kali ini, penulis memfokuskan untuk meneliti salah satu kesenian musik di Nias, yaitu seperangkat Aramba. Seperangkat Aramba tersebut terdiri dari Göndra (membranophone), Faritia (idiophone) dan Aramba (idiophone) dimana alat musik ensambel tersebut dipakai pada upacara perkawinan dan sebagai pengiring tari-tarian.
50
BAB III DESKRIPSI MAMÖZI ARAMBA
3.1 Pengertian Mamözi Aramba Mamözi aramba adalah suatu seperangkat alat musik yang terdiri dari göndra, faritia dan aramba. Mamözi berasal dari kata bözi yaitu pukul/ memukul, dan aramba yaitu gong. Mamözi aramba adalah satu-satunya nama seperangkat alat musik Nias (ensambel), dengan arti bahwa hanya mamözi aramba yang mempunyai nama yang menunjukan bahwa ada 3 atau lebih alat musik Nias yang dipakai. Namun jika kita salah menyebut kata mamözi aramba menjadi mamözi garamba, maka pengertian dan makna yang didapat Ono Niha akan berbeda. Mamözi aramba berarti memukul seperangkat aramba (ensambel), sedangkan mamözi garamba adalah memukul 1 aramba (gong). Perbedaan antara mamözi aramba dengan mamözi garamba bisa kita rasakan jika kita mendengar bunyi pukulan garamba sendiri dengan pukulan aramba. Contoh gambaran bunyi garamba jika ditulis seperti “Gooooong,” sedangkan jika bunyi seperangkat aramba jika ditulis seperti “beng golo beng, golo beng, golo beng” (bunyi faritia)3 . Menurut mite dan hoho (nyanyian rakyat Nias dalam bentuk syair) mamözi aramba berasal dari langit bersama ke 7 benda lainnya yang diturunkan ke dunia oleh dewa Lasara yaitu dewa yang paling berkuasa sebelum ono Niha turun dari langit (Yas Harefa 31 Januari 2012). 7 benda itu menjadi bela (pohon dan margasatwa), nadaoya (sungai), tuharanöfa (air
3
Kedua musik tersebut selanjutnya akan ditranskripsi penulis pada bab berikutnya
51
dan binatang air), Sihambula (air terjun dan kubangan babi), bekhu nasi (laut), bekhua (setan), dan ono Niha (manusia). Lalu ono Niha diberi wewenang untuk tinggal di dunia dan berketurunan. Setelah itu ono Niha melanjutkan kehidupannya dengan bereksplorasi dalam segala bidang yang dimulai dari kehidupan bersosialisasi dengan yang lain, mencar nafkah, membuat upacara-upacara untuk dewa melalui patung-patung, dan termasuk dalam berkesenian, sehingga suatu saat mereka membuat seperangkat aramba4. Dalam segi sejarah, dahulu masyarakat Nias jarang menggunakan alat musik. Alat musik yang ada di Nias hanya Lagia (sejenis instrumen yang digesek yang menyerupai rebab, yang dimainkan sendirian sebagai ungkapan perasaan dan rintihan hati) dan fondrahi (alat musik sejenis gendang bersisi satu yang dipakai dukun untuk mengobati). Namun perlahanlahan, masyarakat Nias membuat suatu alat musik yang baru, yaitu göndra yang hampir menyerupai fondrahi, namun membrannya dijadikan 2 sisi dan badannya dibuat menjadi bentuk yang lebih besar. Göndra tersebut dimainkan bersama faritia dan aramba. Faritia dan aramba adalah salah satu barang mahal dan dihargai tinggi pada zaman dahulu, karena bahan-bahan yang terbentuk dari logam termasuk garamba dan faritia tidak terdapat di Nias. Sampai sekarang, pembuat faritia dan Aramba sangat sulit ditemukan di Pulau Nias. Mahal dan langkanya aramba ini dibuktikan dengan strata dan derajat orang yang mempunyai seperangkat aramba. Orang yang mempunyai alat tersebut biasanya hanya terdiri dari kalangan Balugu5 dan Salawa. Hal ini disebabkan karena kemampuan untuk membeli seperangkat alat musik aramba yang termasuk mahal. Di dalam sebuah banua, terdapat minimal satu orang ataupun kelompok yang mempunyai seperangkat alat aramba (Yas Harefa februari 2012). Hal ini membuktikan bahwa dalam kebudayaan Nias, mamözi aramba sangatlah penting. 4
Wawancara dengan Bapak Yas Harefa feb 2012.
5
Balugu adalah kelompok bangsawan dalam sistem kebudayaan Nias. Kelompok ini diturunkan secara patrilineal kepada keturunannya. Dalam budaya Nias, kelompok Balugu ini mendapat penghormatan yang besar, seperti yang tercermin di dalam upacara adat, kehidupan sosial sehari-hari, dan lain-lainnya.
52
Masyarakat nias mengenal sistem hutang piutang. Hal ini berlaku juga bagi teknik peminjaman mamözi aramba. Karena seperangkat Aramba adalah barang mahal, maka tidak semua masyarakat mempunyai seperangkat aramba tersebut. Biasanya masyarakat yang tidak punya alat tersebut maka mereka bisa menyewanya kepada orang yang punya, ataupun di balai desa. Dahulu sistem penyewaannya bukan berupa uang, tetapi berupa satabi bawi (sekitar 2 kilogram babi). Jadi jika masyarakat ingin meminjam seperangkat alat Aramba, maka dia harus memberi imbalan satabi bawi sebagai imbalan kepada orang ataupun kelompok yang mempunyai alat musik tersebut (Yas Harefa 3 Februari 2012). Namun sekarang tradisi itu telah berubah. Peminjaman alat musik aramba biasanya di bayar dengan uang. Berikut ini adalah alat musik yang termasuk dalam seperangkat aramba.
3.2. Alat Musik yang Terdapat dalam Ensambel Aramba 3.2.1 Göndra Göndra adalah alat musik tradisional Nias yang termasuk dalam golongan membranofon, dua sisi,
yang berbentuk barel. Göndra tersebut memiliki 2 sisi yang
diameternya sama dan dilapisi oleh membran yang terbuat dari kulit kambing, ataupun lembu yang telah diolah dan dikeringkan. Badan göndra dibuat dengan kayu dari pohon besar yang dikerok dan telah dikeringkan terlebih dahulu. Pembuatan Göndra Nias bisa kita dapat di daerah Nias tengah dan di Desa Ono Zikhö (Kabupaten Nias Utara).
53
Gambar 2: Göndra Dilihat dari Samping
Kedua sisi Göndra yang dilapisi oleh membran mempunya diameter 57cm, dimana dibagian bawah membran dilapisi oleh karet sebagai penahan suara biar agar terlalu gaung. Göndra memiliki panjang 70cm dan lebar Göndra 60 cm6. Bentuk Göndra menyerupai bentuk Bedug yang ada di mesjid, hanya perbedaannya terletak pada pemukulnya dan ukurannya.
6
Perhitungan lebar,panjang dan diameter sisi göndra yang ada di Sabango, kotamadya Gunungsitoli. Pada dasarnya besar Göndra di setiap daerah dalam kebudayaan Nias sama.
54
Gambar 3: Göndra Dilihat dari Depan
Gambar 4:
55
Karet Pelapis Membran Göndra
Gambar 5: Pemukul Göndra (Bözi-bözi Göndra)
Göndra dimainkan dengan cara dipukul dengan 2 buah alat pemukul yang terbuat dari bambu yang panjangnya kurang lebih 50cm. Bambu tersebut ditipiskan dan dirapikan, agar tidak melukai tangan si pemain. Ketebalan bambu tersebut disesuaikan dengan keinginan yang membuat dan yang memainkan, tapi rata-rata ketebalan yang ada berkisar 3-4 milimeter (Man Harefa 3 Juni 2012). Jika bambu tersebut terlalu tebal maka akan terasa memberatkan pemain untuk memukul göndra. Sebaliknya jika bambu tersebut terlalu tipis, maka suara yang dihasilkan tidak akan keras dan pemukul tersebut akan cepat patah. Pemukul gondra tersebut biasanya disebut masyarakat dengan nama bözi-bözi göndra yang artinya pemukul göndra. Sampai saat ini masyarakat Nias selalu membuat pemukul göndra dengan bambu dan bukan dengan kayu.
56
Cara memukul göndra dengan pemukul göndra tidak memerlukan tenaga yang ekstra (tidak perlu kuat). Hal ini karena bunyi yang dihasilkan göndra sudah cukup besar, apalagi jika dalam konteks mamözi aramba. Dinamika dalam bermain aramba juga diperlukan, walaupun hal ini tidak diajarkan secara formal, namun mayoritas masyarakat Nias yang memukul göndra biasanya tidak kuat. Selain itu, memukul göndra juga mempunyai teknik tersendiri, seperti memukul göndra dengan akurasi yang sesuai agar karakter bunyi yang dihasilkan lebih enak (Man Harefa 14 Juni 2012). Pemukul göndra dipegang dengan cara digenggam. Menurut bapak Man Harefa (juni 20120 Banyak masyarakat luar terutama orang yang mempunyai pengetahuan musik barat menganggap memegang pemukul göndra sama seperti memegang stik drum. Hal tersebut menurut beliau adalah hal yang salah, karena cara memukul gondra adalah setengah di dorong sambil dipukul, bukan dipukul seperti memukul drum.
57
Gambar 6: Posisi Memegang Pemukul Göndra Cara memegang pemukul Göndra tersebut di yakini akan berpengaruh dengan karakter bunyi Göndra yang akan dihasilkan. Karena menurut beliau suara Göndra yang diingankan itu adalah suara Göndra yang terasa bunyi sentuhan pemukul dengan membran Göndra tersebut (Man Harefa 6 juni 2012). Dalam segi posisi, Göndra di letakkan dibawah tiang yang terbuat dari kayu simalambuo atau kayu duria (yang tingginya berkisar 200cm) dengan cara digantungkan. Terkadang Göndra juga di gantungkan di tiang-tiang di bagian luar rumah, sesuai dengan situasi, konsep acara dan posisi Göndra tersebut dipakai.
Keterangan : 2
1
2
1 : Göndra dari depan 2 : Sanaha Göndra
200cm 150-180cm
Gambar 6: Posisi dan letak Göndra
58
Posisi Göndra digantungkan setinggi 150-180cm, agar orang yang memainkan Göndra tersebut merasa nyaman dan tidak terganggu. Pada umumnya Göndra digantungkan pada sebuah tiang yang disebut Sanaha Göndra. Panjang tiang tersebut biasanya sekitar 200cm, dengan lebar sekitar 120cm7. Pada sanaha Göndra tersebut diukir ornamen-ornamen khas budaya Nias yang bewarna merah dan kuning. Bagi masyarakat Nias warna merah melambangkan kekuasaan dan warna kuning melambangkan kemakmuran (Man Harefa 4 Juni 2012). Warna tersebut juga dipakai dalam bentuk ornamen dalam pakaian, lukisan ataupun benda-benda lain yang mempunyai ciri khas kebudayaan Nias.
1
Ket : 1: Gondra ; 2 : Sanaha Gondra NB : Warna coklat menunjukan warna asli kayu.
2
Gambar 7: Contoh Ornamen pada Sanaha Göndra
7
Terkadang göndra digantungkan di langit-langit rumah, tergantung situasi dan keinginan yang mengadakannya, biasanya ini dilakukan pada acara adat dirumah ono Niha.
59
Dalam masyarakat Nias, warna kuning dan merah bermakna bagi kebudayaannya. Warna merah menandakan keberanian dan warna kuning menandakan kebijaksanaan dan kekuasaan. Oleh sebab itu, Pada Sanaha Göndra, ornamen yang dibentuk diwarnai dengan warna kuning dan merah. Orang yang memainkan Göndra disebut Samözi Göndra. Samözi Göndra terdiri dari dua orang, yaitu Sanaha dan Sanindra. Sanaha adalah orang yang memainkan Göndra dengan cara membuat ritme yang konstan dan berulang-ulang. Fungsi Sanaha adalah untuk menjaga tempo dan pulsa bagi Sanindra agar tidak berantakan. Sanindra adalah orang yang memainkan alat musik Göndra dengan cara berimprovisasi sambil menjadikan Sanaha sebagai pedoman dalam segi tempo dan pulsa. Pada umumnya variasi yang dibentuk oleh Sanindra tidaklah begitu sulit. Sanindra hanya menggunakan ritme-ritme sederhana, seperti ketukan ½ dan ¼ . Dalam permainan Göndra, Samözi Göndra tidak mengetahui rudiment8 (single stroke, double stroke, paradidle) dan teknik tersebut tidak pernah diaplikasikan kedalam permainan Göndra. Berikut contoh permainan Sanindra dan Sanaha bagian dasar yang ditranskripsikan penulis: Sanaha : R : xoxo xoxo xoxo xoxo L : oxox oxox oxox oxox Sanindra
R : xoox xx
xoox xx
L : xoxo oo
xoxo oo
Ket : x :Pukul 8
- : garis ritme ½ ketuk
NB: dalam satu birama terdapat 4 ketuk
Rudinment adalah teknik dan pola dasar dalam permainan drum
60
0 : Berhenti (angkat)
= : garis ritme ¼ ketuk
Posisi Samözi Göndra adalah dibawah Göndra yang digantungkan dan jarak Göndra dengan badan kurang lebih 50-80 cm, hal ini berguna agar lebih leluasa untuk memukul Göndra tersebut. Berikut ini contoh gambar yang menunjukan posisi dan jarak badan si pemain dengan Göndra.
Gambar 8: Posisi dan jarak badan dengan Göndra
61
3.2.2 Faritia Faritia adalah alat musik yang terbuat dari logam, ataupun kuningan. Bentuk alat musik ini menyerupai Talempong dari padang, ataupun gamelan dari Jawa. Diameter faritia adalah 23cm, dimana ketebalannya mencapai 4cm dan bagian tengahnya menonjol (membulir). Alat musik ini termasuk kedalam kategori Idiophone yang dipukul. Faritia dipukul dengan menggunakan kayu simalambuo ataupun kayu duria yang telahdirapikan. Alat musik ini dahulu adalah barang yang diimpor dari luar pulau Nias, yang semula hanya sebagai bahan barteran dalam sistem perdagangan. Ini membuktikan bahwa alat musik ini bukanlah alat musik yang asli buatan masyarakat Nias, namun dijadikan sebagai alat musik tradisional Nias. Menurut bapak Yas Harefa, Faritia ini adalah barang yang diimport dari Jawa sampai saat ini. Pada zaman dulu, jika ada yang ingin memiliki faritia, maka ono Niha akan memesannya kepada pedagang-pedagang dari luar pulau Nias sebelum mereka mengadakan transaksi (barter).
62
Gambar 9: Faritia dan Pemukulnya
Faritia ini juga disebut dengan golobe. Hal ini dikarenakan karena bunyi faritia yang saling sahut menyahut dan mengeluarkan bunyi seperti “Beng golo beng golo beng golo beng”. Lalu masyarakat Nias mengadaptasi bunyi itu menjadi nama faritia menjadi ”Golobe” (berasal dari kata golobeng). Satu set faritia dimainkan oleh dua orang, dimana masing-masing memegang satu faritia. Cara memainkannya sangatlah sederhana, yaitu satu orang memukul faritia seperti membuat ketukan/ pulsa, dan satu lagi menyahutnya. Berikut contoh transkripsi dasar untuk memainkan faritia.
63
Faritia 1: x x x x x x x x Faritia 2 : 0x 0x 0x 0x 0x 0x 0x 0x
Keterangan : x :Pukul 0 : Berhenti (angkat)
- : garis ritme ½ ketuk
NB: dalam satu birama terdapat 4 ketuk
= : garis ritme ¼ ketuk
Gambar 10: Cara memukul dan memegang Faritia
64
Posisi bermain faritia adalah dengan memegang tali yang telah dipasang pada bagian atas faritia tersebut, lalu memukulnya dengan memakai kayu simalambuo ataupun kayu duria yang sudah dibentuk. Alat pemukul faritia ini biasanya disebut bözi-bözi golobe atau bözibözi Faritia. Faritia biasanya dimainkan sambil berdiri dan tidak pada posisi duduk.
3.2.3 Aramba Aramba adalah salah satu yang termasuk dalam kategori idiofon yang dipukul, menyerupai faritia, hanya saja bentuknya lebih besar. Diameter aramba 56 cm dengan ketebalan 7 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu Simalambuo yang dilapisi kain dan karet. Aramba juga dikenal sebagai gong. Pemukul tersebut mempunyai tebal yang diameternya sekitar 2-3 cm. Pemukul aramba ini sengaja dibuat tebal agar bunyi yang dihasilkan aramba nantinya akan besar (Yas Harefa 10 Mei 2012).
Gambar 11: 65
Aramba Dilihat dari Depan Keberadaan Aramba diyakini sama seperti keberadaan Faritia. Hal ini disebabkan kedua alat musik tersebut sama-sama terbuat dari bahan logam. Menurut bapak Yas Harefa (2 Februari 2012), zaman dahulu di pulau Nias tidak terdapat orang yang melakukan pembuatan berbahan logam, sehingga alat musik ini harus diimpor dari luar pulau Nias.
Gambar 12: Aramba Dilihat dari Samping Kiri
Dahulu aramba tunggal ini dipakai sebagai wadah untuk mengetahui batas lokasi kekuasaan seseorang. Hal ini disebabkan karena saking besarnya bunyi pukulan aramba. Jika aramba dipukul, maka bunyi yang bisa dikeluarkan bisa melewati bukit dan lembah. Sejauh mana pukulan aramba terdengar, maka sejauh itu pula wilayah yang akan didapatkan/ dikuasai. Selain itu Aramba juga berguna sebagai tanda bahwa adanya sebuah desa atau banua di sekitar daerah tersebut. Dahulu setiap jam 6 sore aramba dibunyikan untuk memberitahukan masyarakat Nias yang lagi dihutan atau yang sedang mengembara bahwa di
66
sekitar tersebut ada sebuah banua. Selain itu, aramba juga berguna sebagai tanda apabila adanya suatu himbauan bagi masyarakat untuk berkumpul.
Gambar 13: Pemukul Aramba
Dalam permainan mamözi aramba, aramba ini dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui awal ketukan. Cara memainkannya mudah, hanya cukup menghitung dua atau empat ketuk (tergantung kesepakatan pemainnya) dan memukulnya setiap ketukan pertama. Aramba yang dipakai bisa hanya satu, dan bisa juga dua ataupun tiga. Dalam masyarakat Nias, semakin banyak kita menggunakan Aramba, berarti yang mengadakan kegiatan mamözi Aramba tersebut semakin tinggi derajatnya. Hal ini disebabkan karena Aramba adalah salah satu benda yang tergolong mahal dan spesial bagi ono Niha pada zaman dahulu.
67
3.3 Aplikasi Ensambel Mamözi Aramba pada Kebudayaan Nias Mamözi Aramba menjadi salah satu tradisi dalam kebudayaan Nias, dan menjadi salah satu hal yang wajib dilakukan dalam kebudayaan pada zaman dahulu. Mamözi aramba dipakai dalam acara-acara adat, seperti owasa, pesta perkawinan dan kematian. Namun sejak pertobatan massal yang dilakukan masyarakat Nias, tradisi mamözi aramba di upacara kematian tidak lagi dipakai. Hal ini disebabkan karena percampuran kebudayaan dengan tradisi keagamaan Kristen yang dibawa oleh misionaris. Contohnya, jika ada orang Nias yang meninggal, maka orang tersebut dikubur dan didoakan menurut agama Kristen sama seperti dalam kebudayaan Barat. Hal ini berbeda dengan adat istiadat dahulu, dimana sebelum jenazah dikuburkan, pesta akan diadakan dan aramba di mainkan sebelum dikubur selama 37 hari, tergantung kemampuan yang mengadakan pesta.
Gambar 14: Mamözi Aramba di rumah Bapak Man Harefa (Narasumber)
68
Dalam upacara adat, tidak ada perilaku khusus kepada pemain musiknya yang dikenal sebagai samözi aramba. Pada umumnya, samözi aramba ditentukan hanya beberapa waktu sebelum acara, apakah satu hari sebelum acara, maupun beberapa jam sebelum acara. Hal ini menjadi suatu keunikan tersendiri dari masyarakat Nias. Ini membuktikan bahwa dalam suatu acara adat pasti terdapat orang yang bisa memainkan seperangkat aramba. Hal ini membuat penulis membuat suatu pemahaman bahwa teknik pembelajaran mamözi aramba bisa dengan cara non Formal, dengan arti orang yang mau belajar seperangkat aramba bisa menganalisa dan mempelajari alat tersebut secara lisan, dengan hanya memerhatikan gaya dan cara bermain aramba tersebut. Keunikan yang lain dari samözi aramba adalah tidak adanya imbalan yang diberikan kepada mereka. Menurut Bapak Yas Harefa, hal ini disebabkan karena rasa solidaritas masyarakat Nias yang erat, yang menganggap di setiap upacara adat tersebut merupakan salah satu kewajiban untuk berperan didalamnya. Sehingga berpartisipasi didalam acara tersebut menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Nias. Dalam segi pakaian, tidak ada perlakuan khusus bagi samözi aramba. Hanya saja sejak zaman berkembang, biasanya orang yang memukul aramba dipakaikan rompi adat Nias. Hal tersebut bisa kita lihat pada acara-acara besar pada kebudayaan Nias. Mamözi aramba dipakai sebagai pengumuman adanya acara, ataupun menjadi simbol pengesahan berjalannya acara tersebut. Baik acara tersebut berupa owasa (pengangkatan gelar bangsawan kepada seseorang), perkawinan, maupun kematian. Jadi sebuah acara adat sah dilaksanakan, jika seperangkat aramba tersebut dimainkan. Hal ini membuktikan bahwa mamözi aramba sangat berpengaruh terhadap kegiatan upacara adat yang ada di Nias, baik dalam upacara owasa, perkawinan, dan kematian.
69
3.4 Peranan dan fungsi Mamözi Aramba dalam Upacara Perkawinan Upacara perkawinan bagi masyarakat Nias adalah suatu kegiatan untuk menyatukan kedua insan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dimana penyatuan tersebut berguna untuk meneruskan keturunan dan beregenerasi. Bagi masyarakat Nias, upacara perkawinan adalah hal yang penting dan spesial, karena perkawinan dilakukan sekali dalam seumur hidup. Bagi masyarakat Kristen, manusia yang telah disatukan tidak akan dapat diceraikan atau dipisahkan oleh manusia. Hal ini berlaku juga bagi masyarakat Nias, karena kebudayaan Nias pada dasarnya tidak mengenal perceraian. Menurut Bapak Man harefa, Perkawinan pada dasarnya didasari oleh hukum adat, sehingga seseorang yang kawin berarti seseorang yang mematuhi adat, dan di dalam hukum ada, tidak ada peraturan untuk berpisah, ataupun cerai. Oleh sebab itu perkawinan merupakan hal yang sakral bagi Ono Niha. Pekawinan atau falöwa hanya dapat dilakukan jika ono Niha telah memenuhi syaratsyarat. Syarat yang pertama adalah umur dari laki-laki yang akan menikah minimal 18 tahun, dan perempuan minimal berumur 17 tahun. Syarat ini berguna agar yang melakukan perkawinan sudah termasuk dalam kategori dewasa menurut ono Niha. Syarat kedua adalah laki-laki harus bisa memenuhi permintaan dari balaki (pihak perempuan), termasuk besar jujuran (böwö) yang diminta. Syarat ketiga adalah pihak laki-laki dan perempuan harus telah melewati tahap sidik9 dan sudah dibaptis. Syarat keempat adalah pihak laki-laki tidak dapat meminang perempuan yang masih mempunyai ikatan hubungan darah sampai 7 generasi. Masyarakat Nias memperbolehkan perkawinan sesama marga dengan syarat tidak ada hubungan darah yang dekat terhadap kedua pasangan tersebut (sampai 7 keturunan). Jika pihak laki-laki dan perempuan memenuhi syarat tersebut, maka upacara perkawinan dapat dilaksanakan. Berikut ini tata tertib pada upacara falöwa ono Niha.
9
Sidik adalah pengesahan dari Gereja yang menandakan bahwa anak tersebut telah diajarkan tentang firman Tuhan dan tentang agama Kristen.
70
(a) Fora’u tanga (salam-salaman). Setibanya di lokasi pesta (di rumah pihak perempuan), Pihak keluarga perempuan menyambut kedatangan tamu-tamu dengan bersalam-salaman. Seiring dengan berjalannya acara salam-salaman, pihak mempelai pria berjalan menemui pihak wanita, lalu keduanya berjalan bersama-sama menuju pelaminan. Setelah sampai ke pelaminan, pengantin tersebut lalu berdiri dan menghadap para undangan sambil menunggu aba-aba untuk duduk. Pada umumnya seorang protokal akan menyampaikan tata tertib upacara dengan menggunakan alat pengeras suara (microphone). Pada saat acara fora’u tanga, seperangkat Aramba pun dimainkan, yang memainkan alat musik tersebut diawali oleh keluarga dari pihak perempuan. Setelah protokol memberi abaaba untuk melanjutkan acara, barulah kegiatan mamözi aramba dihentikan sementara. (b) Fanunö (nyanyian gereja). Setelah mempelai wanita dan pria telah dipersilahkan duduk yang disusul dengan undangan, selanjutnya diadakan nyanyian pembukaan berupa nyanyian rohani Kristiani yang bertujuan untuk menyerahkan acara ini kepada Lowalangi (Tuhan) agar semuanya dapat berjalan dengan lancar. (c) Fame’e bola nafo. Setelah fanunö, lalu pembawa acara memberi instruksi kepada mempelai laki-laki untuk memberikan bola nafo (sirih) kepada keluarga pihak perempuan. Lalu mempelai laki-laki memberikan bola nafo kepada ina (ibu dari pengantin perempuan), iwa (isteri dari salah seorang saudara kandung ayah pengantin perempuan), uwu (istri dari pihak paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengantin). (d) Femanga (jedah). Pada acara ini, pengantin laki-laki (mewakili) memberikan simbi (rahang babi) kepada sibaya (paman) sebagai bentuk penghormatan, serta memberikan waktu untuk makan kepada undangan. Dalam acara ini, kegiatan mamözi aramba dapat dilakukan sampai protokol memberi aba-aba bahwa acara dilanjutkan. Kegiatan mamözi aramba di dalam bagian acara ini merupakan kegiatan yang tidak formal dan bebas, dengan arti bahwa 71
siapa saja diberi kesempatan untuk memainkan seperangkat aramba tersebut. Pada umumnya masyarakat Nias akan memainkan seperangkat aramba tersebut secara bergantian. Setelah acara formal tersebut, lalu protokol memberi aba-aba kepada kedua pengantin serta keluarga besarnya untuk diberikan mene-mene10. Pemberian mene-mene tersebut dilakukan secara tertutup, biasanya di dalam rumah. Dalam acara ini, masyarakat tidak diperbolehkan untuk mamözi aramba karena dianggap membuat ribut nantinya. Setelah itu lalu kedua pengantin meninggalkan rumah pihak perempuan dan pergi menuju rumah pihak laki-laki. Pada saat inilah kegiatan mamözi aramba dilakukan dari kedua mempelai keluar dari rumah sampai mereka benar-benar meninggalkan rumah si pengantin. Sesampainya di rumah pihak laki-laki, mamözi aramba kembali dimainkan sampai larut malam tergantung samözi arambanya. Kegiatan mamözi aramba yang dilakukan bersifat bebas dan diberikan kesempatan kepada orang yang mau memainkan seperangkat aramba tersebut.
Gambar 14: Kegiatan Mamözi Aramba dalam Upacara Perkawinan
10
Mene-mene adalah nasihat dari orang tua ke orang yang lebih muda
72
Mamözi Aramba mempunyai fungsi dalam upacara perkawinan. Menurut Merriam (1964 : 219-227), ada 10 fungsi dan peranan musik dalam kebudayaan yaitu : (1) sebagai hiburan,(2) sebagai perlambang, (3) sebagai media komunikasi, (4) sebagai estetis, (5) sebagai reaksi jasmani, (6) sebagai pengungkapan emosional, (7) sebagai pengintegrasian masyarakat, (8) sebagai kesinambungan masyarakat, (9) sebagai pengesahan lembagalembaga sosial, serta (10) fungsi musik yang berkaitan dengan norma-norma sosial. Dengan memperhatikan teori tersebut, penulis menyimpulkan bahwa terdapat 5 fungsi mamözi Aramba dalam upacara perkawinan masyarakat Nias, yaitu: 1. Fungsi Hiburan, yaitu masyarakat Nias melakukan kegiatan mamözi Aramba dalam acara tertentu pada pesta perkawinan untuk menghibur masyarakat yang hadir dalam pesta tersebut 2. Fungsi pengungkapan emosional, yaitu kegiatan mamözi Aramba dilakukan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi bahagia yang dituangkan kedalam suatu wadah, yaitu mamözi Aramba. 3. Fungsi komunikasi, syair höli-höli mempunyai fungsi sebagai pesan kepada masyarakat agar dapat menyatukan hati menjalani acara tersebut. 4. Fungsi sebagai kesinambungan masyarakat, kegiatan mamözi Aramba merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada kebudayaan Nias. 5. Fungsi pengesahan lembaga sosial, kegiatan mamözi Aramba yang dilakukan menjadi simbol bahwa sah nya berjalannya upacara perkawinan. Cara dan teknik mamözi Aramba dalam tiap perkawinan pada umumnya sama. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan terhadap Höli-höli sebelum Aramba dimainkan. Fungsi hölihöli adalah sebagai sorakan untuk menyatukan hati ono Niha untuk memulai sesuatu kegiatan, ataupun acara. 73
3.5 Peranan dan Fungsi Mamözi Aramba sebagai Pengiring Tari Ya’ahowu Tari Ya’ahowu adalah tari yang berasal dari kebudayaan Nias, dimana tari tersebut dibawakan oleh 6-8 orang perempuan, yang bertujuan untuk menyapa para undangan ataupun tamu kehormatan yang ada. Tari ini biasanya dijadikan sebagai acara pembuka dalam acara besar yang ada di Nias, khususnya di Gunungsitoli. Kata Ya’ahowu adalah kata sapaan dalam bahasa Nias, sama seperti Horas, Majua-jua, dan sebagainya. Kata Ya’ahowu mempunyai makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama. Selain itu ya’ahowu juga mempunya arti diberkatilah engkau. Jadi sapaan ya’ahowu merupakan sapaan yang sangat sopan bagi suku Nias. Dalam konteks tari Ya’ahowu, mamözi aramba mempunyai peranan dan fungsi. Dalam segmen ini, penulis menggunakan sebagian teori yang dikemukakan Merriam tentang fungsi musik dalam kebudayaan ditambah dengan teori pertunjukan yang dikemukakan oleh Milton singer. Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan maka seorang peneliti harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2) adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukannya. Pada bagian ini, penulis akan mendeskripsikan Tari Ya’ahowu secara umum. Tari Ya’ahowu biasanya dilakukan pada acara adat Nias yang bertujuan untuk menyambut dan menyapa para undangan, terutama tamu-tamu terhormat yang datang pada acara tersebut. Tari Ya’ahowu ini biasanya dibawakan oleh sekelompok penari perempuan
74
yang terdiri dari 6-8 orang, dimana masing-masing penari memakai kostum warna kuning merah, ataupun merah kuning sesuai dengan kesepakatan pihak penari dengan yang membawa acara (Man Harefa 14 Juni 2012). Kostum tersebut dihiasi dengan perhiasan kepala yang disebut Bala högö dan kalung bewarna kuning keemasan yang disebut fatö-fatö.
Gambar 15: Tari Ya’ahowu pada Pesta Budaya Nias 2011 (Sumber: Dispora Kabupaten Nias Utara)
75
Tari Ya’ahowu dipertunjukkan pada awal acara, ketika para undangan dan tamu terhormat telah memasuki tempat acara adat tersebut. Tari Ya’ahowu diawali dengan pukulan göndra yang panjang sambil penari masuk dan mengambil posisinya dan membentuk sebuah formasi. Lalu, seseorang dari antara penari melakukan liwa-liwa, yaitu sambutan dari perempuan ciri khas Nias. Setelah itu barulah penari melakukan tariannya dan diiringi dengan seperangkat aramba. Setelah tarian tersebut selesai, barulah samözi aramba (pemain aramba) memberhentikan musiknya dengan cara memberi kode dari sanindra (pemukul göndra). Setelah itu salah satu penari membuat liwa-liwa lagi yang bertujuan untuk memberikan pesan kepada penonton bahwa tarian telah selesai. Setelah itu seperangkat Aramba kembali dipukul dan penari kembali ke belakang panggung. Setelah seluruh penari meninggalkan di panggung, barulah mamözi aramba dihentikan dengan pukulan penutup dari sanindra. Tari Ya’ahowu tersebut diiringi oleh pemain aramba dimana yang berperan sebagai pemimpin adalah Sanindra. Pada umumnya mereka memakai rompi adat Nias. Ini bertujuan agar penonton bisa membedakan pemain seperangkat Aramba dengan orang biasa. Selain itu fungsi rompi tersebut agar menjadi pajangan yang salah satunya terdapat nilai seni dari segi pertunjukan (Man Harefa 6 Juni 2012).
76
Gambar 16: Mamözi Aramba Sewaktu Mengiring Tari Ya’ahowu
Adapun fungsi dan peranan pertunjukan Tari Ya’ahowu dan mamözi Aramba tersebut berdasarkan teori Merriam, yaitu : 1. Sebagai wadah untuk menghibur tamu ataupun masyarakat yang hadir dalam acara tersebut. 2. Sebagai ungkapan rasa emosional melalui permainan mamözi Aramba dan gerakan tarian Ya’ahowu yang dilakukan. 3. Sebagai alat untuk melanjutkan tradisi dan ciri khas masyarakat Nias melalui kesenian pertunjukan Tari Ya’ahowu. 4. Sebagai wadah untuk memberikan pesan kepada penonton, yaitu ucapan selamat datang di acara (kebudayaan Nias) tersebut. Dalam permainan mamözi aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu, tidak ada perbedaan teknik yang menonjol jika dibandingkan dengan mamözi aramba dalam upacara perkawinan. Hanya saja yang membedakannya adalah posisi berhenti atau dimainkannya aramba tersebut. Selain itu, pada konteks pertunjukan mamözi aramba harus memerhatikan 77
langkah-langkah si penari, karena tugas mamözi aramba di sini adalah sebagai pengiring tarian, berbeda dengan mamözi aramba pada upacara perkawinan.
78
BAB IV TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MAMÖZI ARAMBA
4.1 Transkripsi dan Analisis Transkripsi dalam etnomusikologi merupakan suatu proses penotasian bunyi menjadi simbol-simbol yang dapat dilihat atau diamati dari suara, dan simbol-simbol tersebut disebut dengan notasi. Dalam melakukan transkripsi, penulis memilih teori yang dinyatakan oleh Charles Seeger tentang notasi deskriptif yang didapat penulis selama mengikuti perkuliahan di etnomusikologi. Notasi deskriptif adalah notasi yang ditujukan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca. Selain itu penulis juga menggunakan transkripsi yang dibuat sendiri oleh penulis, agar lebih mudah memahami isi dari transkrip tersebut. Dalam segi analisis, penulis menggunakan salah satu teori yang dikemukakan oleh Malm dalam terjemahan Takari (1993:13), yaitu sebagian teori weighted scale ditambah dengan sesuatu yang berhubungan dengan waktu. Penulis akan menganalisa bagian-bagian seperti ketukan dasar, ritme, dan birama yang ada pada kegiatan mamözi aramba tersebut. Penulis akan meneliti dua buah contoh kegiatan mamözi aramba dalam upacara perkawinan dan kegiatan mamözi aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu. Kedua kegiatan tersebut dapat mewakili perbedaan konteks mamözi aramba dalam upacara adat dan mamözi aramba sebagai pengiring tari-tarian. Peneliti meneliti kedua kegiatan tersebut karena memiliki konsep dan fungsi yang berbeda, sehingga kita bisa menganalisis dan melihat kedua perbedaan tersebut. Adapun hasil transkripsi yang di buat oleh penulis dari hasil penelitian 79
pada upacara perkawinan Rahmat Zendratö dengan April Daeli di Kota Gunungsitoli pada tanggal 18 Mei 2012, yaitu sebagai berikut. 4.2. Transkripsi dan Analisis Mamözi Aramba dalam Upacara Perkawinan
80
81
Berdasarkan teori tentang hubungan musik dengan waktu yang dikemukakan oleh Malm, maka penulis menganalisa repertoar tesebut dalam segi ketukan, ritme, birama, pulsa, peran alat musik dan dinamika. Adapun hasil dari analisa tersebut yaitu : a. Sanaha xxxx xxxx xxxx xxxx Keterangan: x : pukul
= : harga ritme ¼ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk di dalamnya Hasil Analisa dari Sanaha pada alat musik Göndra yaitu : -
Sanaha berperan sebagai penahan tempo dan pulsa.
-
Sanaha hanya memainkan ritme konstan seharga ¼ ketuk.
-
Sanaha tidak memainkan variasi, termasuk membuat aksen tertentu.
-
Dinamika pukulan yang dibuat oleh sanaha lebih lembut dibandingkan pukulan Sanindra. b. Sanindra xoxx xx xoxx xx Ket : x : pukul
= : harga ritme ¼ ketuk
o : Angkat
- : harga ritme ½ ketuk
1 birama terdapat 4 ketuk di dalamnya
-
Sanindra bertugas sebagai pembuat variasi dan yang memberikan kode bagi alat musik yang lain.
82
-
Sanindra dapat melakukan improvisasi sesuai dengan ciri khas permainan Göndra suku Nias, contoh improvisasi sanindra yang sering dipakai ada dua, yaitu : xxxx xx xxxx xx dan xoox xx xoox xx
c. Faritia Faritia 1
x x x x
Faritia 2
ox ox ox ox
Ket : x : pukul
- : harga ritme ½ ketuk
o : angkat Dalam 1 birama terdapat 4 ketuk -
Bunyi Faritia yang dihasilkan bergaya call and respon, dimana kedua faritia tersebut saling sahut menyahut.
-
Kedua Faritia tersebut mempunyai frekuensi nada yang berbeda, sehingga mengeluarkan bunyi yang bervariasi.
-
Kedua Faritia tersebut mengeluarkan ritme yang bervariasi memberikan kesan yang penuh dengan improvisasi ritme. d. Aramba x Ket: x : pukul dalam 1 birama terdapat 4 ketuk
-
Gong berfungsi sebagai tanda masuknya ketukan pertama.
-
Gong dipukul hanya sekali dalam 1 bar, tanpa menggunakan variasi.
83
Adapun hasil analisis penulis berdasarkan keseluruhan alat musik seperangkat aramba, yaitu : -
Seperangkat Aramba tidak mempunyai alat musik pembawa melodi. Seperangkat Aramba hanya terdiri dari alat musik ritme, sekalipun pada kedua Farita tersebut terdapat 2 nada yang berbeda.
-
Ketiga alat musik tersebut memberikan kesan yang bewarna dan bervariatif, sekalipun tidak ada alat musik yang bersifat pembawa melodi di dalam ensambel tersebut.
-
Pada repertoar mamözi Aramba dalam konteks perkawinan, mayoritas cara bermain seperangkat Aramba sama. Hanya yang membedakannya adalah syair Höli-höli nya. Walaupun berbeda syair, namun bentuk dan jenis mamözi Aramba tersebut pun tetap sama.
-
Repertoar mamözi Aramba pada upacara perkawinan mempunyai tempo moderato yaitu sedang.
4.3 Mamözi Aramba sebagai Pengiring Tari Ya’ahowu Mamözi Aramba tidak hanya dipakai dalam upacara perkawinan atau yang berjenis upacara saja, namun mamözi Aramba juga dipakai sebagai pengiring tari-tarian. Pada kesempatan kali ini penulis mencoba meneliti dan menganalisis repertoar Mamözi Aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu, yaitu tari yang berisikan tentang sambutan kepada para tamu terhormat dalam suatu upacara adat, ataupun acara lainnya. Adapun hasil transkripsi yang telah dibuat oleh penulis tentang mamözi aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu. Transkripsi ini dibuat penulis agar mamözi aramba pada tari Ya’ahowu dapat di analisis dan dibedakan dengan mamözi aramba pada pesta perkawinan dari segi musikalitas.
84
85
Adapun hasil dari analisis tersebut yaitu hampir sama dengan kriteria mamözi aramba pada upacara perkawinan. Perbedaannya yaitu: -
Mamözi aramba menggunakan ketukan bebas pada beberapa bagian, hal ini berguna untuk memberikan kode bagi penari untuk melakukan Liwa-liwa11
-
Mamözi aramba pada saat terakhir ditutup dengan kode dari Sanindra, bukan dengan roll seperti repertoar mamözi Aramba pada acara perkawinan.
-
Repertoar mamözi Aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu menggunakan tempo agak cepat atau Allegretto. 11
Liwa-liwa adalah sambutan dari penari perempuan Nias, seperti hi.....i
86
BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan Dalam tulisan tentang analisis musikal dan fungsional mamözi Aramba pada
kebudayaan Nias di Gunungsitoli ini terdapat beberapa kesimpulan yang dirangkum penulis, sebagai berikut. Sampai saat ini asal-usul ono Niha masih belum dapat ditentukan, semua data-data yang ditulis berdasarkan sumber hanyalah sebuah interpetasi. Dahulu suku Nias melihat tanggal dan waktu berdasarkan bulan, matahari, dan bintang. Keturunan ono Niha mengikuti adat dan tradisi (termasuk marga) dari ayahnya (patrilineal). Masyarakat Nias mempunyai kesenian yang beragam, baik tari, musik, atau pertunjukan. Satu-satunya ensambel musik yang ada di Nias yang pernah ditemukan adalah seperangkat aramba (yang terdiri dari göndra, faritia, dan aramba). Dari sudut kajian fungsionalnya, mamözi aramba digunakan dan diaplikasikan pada acara perkawinan, owasa, dan sebagai pengiring tari-tarian, seperti tari Ya’ahowu, Moyo dan tari Tuwu. Fungsinya ensambel ini adalah untuk (a) hiburan, yaitu masyarakat Nias melakukan kegiatan mamözi aramba dalam acara tertentu pada pesta perkawinan untuk menghibur masyarakat yang hadir dalam pesta tersebut. (b) Fungsi pengungkapan emosional, yaitu kegiatan mamözi aramba dilakukan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi bahagia yang dituangkan kedalam suatu wadah, yaitu mamözi aramba. (c)
Fungsi
komunikasi, syair höli-höli mempunyai fungsi sebagai pesan kepada masyarakat agar dapat menyatukan hati menjalani acara tersebut. (d) Fungsi sebagai kesinambungan masyarakat, kegiatan mamözi Aramba merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada kebudayaan Nias. (e) Fungsi pengesahan lembaga sosial, 87
kegiatan mamözi aramba yang dilakukan menjadi simbol bahwa sah nya berjalannya upacara perkawinan. Dari segi struktur musikal maka seperangkat aramba tidak mempunyai alat musik pembawa melodi. Seperangkat aramba hanya terdiri dari alat musik ritme, sekalipun pada kedua farita tersebut terdapat 2 nada yang berbeda. Ketiga alat musik tersebut memberikan kesan yang bewarna dan bervariatif, sekalipun tidak ada alat musik yang bersifat pembawa melodi di dalam ensambel tersebut. Pada repertoar mamözi aramba dalam konteks perkawinan, mayoritas cara bermain seperangkat aramba sama. Hanya yang membedakannya adalah syair höli-höli nya. Walaupun berbeda syair, namun bentuk dan jenis mamözi aramba tersebut pun tetap sama. Repertoar mamözi Aramba pada upacara perkawinan mempunyai tempo moderato yaitu sedang.
5.2 Saran Adapun saran yang dihimbau penulis untuk meneliti musik mamözi aramba. Pertama kita harus mengetahui dasar-dasar teori untuk meneliti mamözi aramba tersebut, seperti teori seni pertunjukan, teori fungsi dan teori analisa musikal yang ada. Selanjutnya kita harus memiliki pengetahuan secara umum tentang kebudayaan Nias dan masyarakatnya, agar disaat turun kelapangan, kita dapat mengetahui apa langkah-langkah yang akan kita lakukan untuk meneliti ataupun mewawancarai. Selanjutnya kemampuan untuk menjadi insider, atau berbaur dengan masyarakat Nias sangat disarankan oleh penulis, agar kita mendapatkan informasi yang lebih akurat sesuai dengan yang kita inginkan.
88
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Danandjaja, James, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Gulö, W. 1983. Benih yang Tumbuh. Semarang: Satya Wacana. Hadikusuma, Hilman, 1987. Hukum Kekerabatan Adat. Jakarta: Fajar Agung. Hammerle, Johannes. 2001. Asal usul masyarakat Nias suatu Interpretasi. Nias: Yayasan Pusaka Nias. Hammerle, Johannes. 1995. Hikaya Nadu. Nias: Yayasan Pustaka Nias Hornby, A. S. 2000. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English sixth edition. New York: Oxford University Press. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia, Indonesia. Kunts, Jaap. 1939. Ethnographie Music in Nias. Amsterdam Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia (terjemahan). Medan: Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Nasution, S. 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Panitia penyelenggara pesta Ya’ahowu 1990. Juklak Kesenian pada pesta Ya’ahowu. Nias Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sachs, Curt dan Eric M. Von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin: Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press. 89
Zebua, Faondragö. 1996. Sejarah lahirnya dan perkembangan kota Gunungsitoli. Nias Zebua, Victor. 2010. Jejak Cerita rakyat Nias. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
90