ANALISIS FINANSIAL USAHA TAMBAK SILVOFISHERY DAN NON SILVOFISHERY SERTA KONTRIBUSI USAHA TAMBAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA The Financial Analysis of Silvofishery and Non Silvofishery and it’s Contributions to the Household Income. Indra Budiman1, Kansih Sri Hartini2, Agus Purwoko2 1
Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung No.1 Kampus USU Medan 20155 (*Penulis korespondensi, E-mail:
[email protected])
2
Staff Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155
ABSTRACT Mangrove forest area is currently very vulnerable to environmental changes such as ecological pressures that come from nature and people. Preservation of mangrove area is very necessary, however the need of people’s livelihood around the mangrove areas can not be ignored as well. Accordingly, a business pattern which combines mangrove area and community pond system is developed, It is well known as silvofishery. This study aims to assess the financial analysis of silvofishery system and non silvofishery system and analyze the contribution of the pond business to the total income of household. This research was conducted in October - December 2014 and was held in Paluh Manan Village, Hamparan Perak SubDistrict, Deli Serdang District, North Sumatra Province. This research used census method which the informants were interviewed directly. Comparative result of the financial analysis pond system shows the NPV and BCR of silvofishery is higher than the NPV and BCR of non silvofishery, which means silvofishery is more profitable than non silvofishery. Silvofishery and non silvofishery pond sufficiently provide high annual revenue for domestic fish farmer/tenants. The amount of the revenue is 65.83% for silvofishery and 55.44 % for non silvofishery. Key words : financial analysis, silvofishery, non silvofishery, household income PENDAHULUAN Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem hutan tropika yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove merupakan hutan yang mampu hidup dan beradaptasi pada lingkungan pesisir yang ekstrim, tetapi keberadaan hutan mangrove sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Faktor perubahan lingkungan tersebut adalah adanya tekanan ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan ekologis yang berasal dari manusia berkaitan dengan pemanfaatan mangrove seperti konversi lahan menjadi pemukiman, pertambakan, pariwisata, serta penebangan hutan mangrove secara besarbesaran. Hutan mangrove telah mengalami degradasi atau penurunan luas hingga mencapai 200.000 Ha per tahun (LPP Mangrove Indonesia, 2004). Hutan mangrove mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional, khususnya pada sektor ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup. Ikan, udang, bahkan kepiting merupakan beberapa biota yang dibudidayakan di daerah sekitar kawasan hutan mangrove di daerah Hamparan Perak melalui suatu pola pengusahaan sistem pertambakan yang berwawasan lingkungan. Salah satu desa yang terdapat di
daerah ini adalah adalah Desa Paluh Manan, di mana sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa ini bekerja sebagai petani tambak/penggarap. Keberadaan dari tambak-tambak ini sejak dahulu telah menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat setempat yang memanfaatkannya secara ekonomi. Hutan mangrove di daerah ini ditanam dan dijaga secara swadaya oleh para petani tambak/penggarap setempat untuk melindungi area pertambakan mereka dari erosi. Pengusahaan tambak dengan sistem silvofishery maupun non silvofishery dapat memberikan penghasilan baik dalam jangkan panjang maupun jangka pendek, namun belum diketahui secara pasti bentuk usaha tambak apa yang dapat memberikan keuntungan yang lebih baik bagi masyarakat yang mengusahakannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai kelayakan finansial dari pola pengusahaan tambak silvofishery dan non silvofishery yang ada untuk mengetahui sistem tambak yang memberikan keuntungan yang lebih baik bagi masyarakatnya serta besarnya kontribusi yang dapat diberikan terhadap pendapatan total masyarakat petani tambak/penggarap. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengkajian terhadap analisis finansial usaha tambak silvofishery dan non silvofishery, serta
1
menganalisis besarnya kontribusi yang dapat diberikan dari kegiatan pengusahaan tambak silvofishery dan non silvofishery terhadap pendapatan total rumah tangga masyarakat petani tambak/penggarap. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang besarnya kontribusi yang dapat diberikan melalui suatu pola pengelolaan tambak silvofishery yang berwawasan lingkungan dan tambak non silvofishery sehingga dapat berguna sebagai masukan, baik bagi pihak petani tambak/penggarap sendiri, pengusaha maupun instansi-instansi terkait dalam rangka pengembangan pola pengelolaan ini sesuai dengan prospek ekonomi dan konsep ekologi untuk ke depannya. Di samping itu, hasil dari penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang terkait maupun investor asing yang berminat untuk menanamkan modalnya dalam pengembangan usaha tani tambak di daerah Hamparan Perak pada umumnya, dan di Desa Paluh Manan pada khususnya. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Analisis Finansial Usaha Tambak Silvofishery dan Non Silvofishery serta Kontribusi Usaha Tambak terhadap Pendapatan Rumah Tangga dilaksanakan di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 sampai Desember 2014. Objek Penelitian dan Alat yang Digunakan Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bekerja sebagai petani tambak/penggarap yang sejak dahulu telah mengelola tambaknya di sekitar kawasan hutan mangrove di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat tulis, kalkulator, kamera digital, kuisioner, serta komputer yang digunakan untuk mengolah data. Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sensus. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak 17 orang petani tambak/penggarap yang terdapat di lokasi penelitian. Di mana terdapat 10 orang petani tambak/penggarap yang mengelola tambak silvofishery dan 7 orang petani tambak/penggarap yang mengelola tambak non silvofishery.
Adapun data dan informasi yang dikumpulkan dari petani tambak/penggarap di daerah tersebut adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan/observasi langsung di lapangan serta wawancara dengan masyarakat petani tambak/penggarap yang dituangkan dalam daftar pertanyaan yang telah dibuat dalam bentuk kuisioner seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui data yang terdapat pada Kepala Kelompok Tani yang terdapat di daerah tersebut. Analisis Data Analisis finansial Selanjutnya dalam pengukuran biaya dan manfaat dari aktivitas pertambakan yang telah mengkonversi lahan hutan mangrove di lokasi penelitian dilakukan perhitungan secara finansial untuk mengkaji layak tidaknya tindakan investasi yang dilakukan dengan menggunakan dua kriteria investasi, yaitu Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value), dan Rasio Manfaat/Biaya (Benefit Cost Ratio). Berikut disajikan keterangan lebih lanjut tentang kriteria-kriteria indikator di atas : a. Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value) Net Present Value (NPV) yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Karena jangka waktu kegiatan suatu usaha tambak cukup panjang, maka tidak seluruh biaya bisa dikeluarkan pada saat yang sama, demikian pula hasil yang diperoleh dari suatu usaha tambak dapat berbeda waktunya. Untuk mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka baik biaya maupun pendapatan usaha tambak di masa yang akan datang harus dikalikan dengan faktor diskonto yang besarnya tergantung kepada tingkat suku bunga bank yang berlaku di pasaran. Kriteria apabila NPV > 0 berarti usaha tersebut menguntungkan, sebaliknya jika NPV < 0 berarti usaha tersebut tidak layak diusahakan. Dengan model formulasi sebagai berikut (Suharjito dkk, t n 2003) : Bt Ct NPV t t 0 (1 i ) Keterangan : NPV = Nilai Bersih Sekarang Bt = Manfaat atau Benefit Ct = Biaya atau Cost i = Tingkat suku bunga t = Periode waktu (10 Tahun) (1+i)t = Faktor nilai sekarang atau Present Value b. Rasio Manfaat/Biaya (Benefit Cost Ratio)
2
Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan perbandingan antara present value dari manfaat bersih yang positif dengan present value dari biaya pada tahun yang sama. Usaha akan dipilih jika nilai BCR > 1. Jika nilai BCR < 1 maka usaha tidak layak untuk diusahakan. Jika nilai BCR = 1, berarti usaha tersebut belum mendapatkan keuntungan sehingga perlu dilakukan pembenahan. Dengan model formulasi sebagai berikut (Suharjito dkk, 2003): BCR
PV ( B ) PV (C )
Keterangan : BCR =Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran PV (B) =Present Value Benefit PV (C) =Present Value Cost
Analisis kontribusi pendapatan subsektor pertambakan terhadap pendapatan keluarga petani tambak/penggarap dapat digunakan untuk melihat berapa besar persentase pendapatan usaha pertambakan terhadap total pendapatan keluarga selama satu tahun. Untuk mengetahui besarnya kontribusi yang dapat dihasilkan dari subsektor pertambakan terhadap total pendapatan keluarga petani tambak/penggarap ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Yp KSP 100 % Y Keterangan : KSP = Kontribusi pendapatan usaha tambak (%) Yp = Pendapatan dari usaha tambak (Rp/tahun) Y = Total pendapatan keluarga (Rp/tahun) HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Komparatif Analisis komparatif ditujukan untuk menentukan pilihan berdasarkan nilai finansial terbesar (Nugroho, 1997). Analisis komparatif adalah perbandingan antara usaha tambak silvofishery dengan usaha tambak non silvofishery melalui besaran NPV dan BCR. Analisis pendapatan keluarga petani tambak/penggarap dan besarnya kontribusi pendapatan dari usaha tambak Untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh petani tambak/penggarap dari usaha pengelolaan tambak silvofishery dan non silvofishery di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara ini, maka terlebih dahulu perlu dilakukan perhitungan terhadap besarnya keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha yang dilakukan selama satu tahun. Adapun rumus yang dapat digunakan adalah sebagai berikut : Π = TR – TC Keterangan : Π = Keuntungan Usaha (Rp/tahun) TR = Total Penerimaan (Rp/tahun) TC = Total Pengeluaran Analisis pendapatan keluarga digunakan untuk menghitung total pendapatan keluarga petani tambak/penggarap, baik itu yang diperoleh murni dari usaha pertambakan, maupun dari usaha lain di luar sektor pertambakan itu sendiri. Untuk menghitung besarnya pendapatan total keluarga petani tambak/penggarap ini dapat menggunakan rumus sebagai berikut : Y = Yp + Yq Keterangan : Y = Total pendapatan keluarga (Rp/tahun) Yp = Pendapatan dari usaha pertambakan (Rp/tahun) Yq = Pendapatan dari usaha di bidang lainnya (Rp/tahun)
Kegiatan dalam Pengelolaan Tambak di Desa Paluh Manan Budidaya tambak Pola tambak silvofishery yang dikembangkan di Desa Paluh Manan adalah tipe kao-kao. Di mana sistem kao-kao adalah sistem wanamina dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam. Pada model ini mangrove ditanam diatas guludan tambak, biasanya ukuran guludan disesuaikan dengan luasan tambak. Keuntungan model ini adalah ruang pemeliharaan ikan cukup lebar dan intensitas matahari cukup tinggi. Beberapa komoditas yang diusahakan petani tambak/penggarap di tambak di sekitar lokasi penelitian antara lain adalah ikan nila, ikan kakap, udang windu, dan kepiting. Benih ikan nila, ikan kakap, udang windu, dan kepiting diperoleh dengan cara di beli di tempat penjualan nener atau benur. Walaupun sama-sama dibudidayakan dalam satu tambak, namun komoditas yang menjadi primadona dalam kegiatan budidaya tambak di Desa Paluh Manan ini adalah udang windu. Dikatakan demikian karena dalam kegiatan budidaya udang windu sendiri, biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian benih udang windu cukup rendah, namun dengan umur pemeliharaan yang relatif singkat (±3 bulan) sudah dapat dihasilkan udang windu ukuran komoditas dengan nilai jual yang cukup tinggi. Sistem pengelolaan tambak di desa paluh manan Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan tambak ini biasanya dilakukan sebelum tambak digunakan pertama kali setelah terjadi transfer hak antar petani tambak/penggarap atau setiap menjelang
3
musim tanam. Musim tanam yang dimaksud biasanya adalah pada bulan Februari, Juni, dan pada bulan Oktober. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk mempersiapkan tambak agar kaya akan pakan alami. Hal ini perlu dilakukan mengingat tambak biasanya akan mengalami penurunan daya dukung setelah digunakan untuk produksi berkali-kali. Kegiatan ini meliputi tiga kegiatan penting, yaitu kegiatan pengelolaan tambak, pemupukan, serta pemberantasan hama dan penyakit. Pengelolaan Tambak Kegiatan pengelolaan tambak merupakan kegiatan awal dalam tahap persiapan tambak yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah di dasar tambak sehingga dapat merangsang pertumbuhan klekap sebagai makanan alami ikan di tambak. Selain itu, pakan alami yang biasanya digunakan adalah berupa fitoplankton dan zooplankton. Kegiatan pengelolaan tambak ini biasanya dimulai dengan pengosongan air tambak dengan cara memompa air keluar dari tambak dengan menggunakan mesin sedot air. Kegiatan pengosongan air tambak ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengangkatan lumpur dari tambak, lalu dikeringkan ± 5 hari – 7 hari lamanya. Kegiatan pengeringan ini selain bertujuan untuk menghilangkan hama dan penyakit yang masih tertinggal di tambak, juga dapat mempercepat proses mineralisasi di dasar tambak. Pemupukan Setelah kegiatan pengeringan tambak selesai dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya, yaitu pemupukan dasar tambak yang bertujuan untuk mempercepat/merangsang pertumbuhan pakan alami di tambak serta meningkatkan kandungan hara bagi kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis. Pemupukan ini dilakukan dengan cara menyebarkan pupuk secara merata pada dasar tambak. Adapun pupuk yang digunakan pada umumnya oleh penggarap adalah pupuk khusus tambak perikanan yaitu pupuk Tambak Organik Nusantara (pupuk TON). Dalam kegiatan pemupukan ini dosis pupuk yang digunakan cukup bervariasi tergantung pada luasan tambak yang yang dimiliki serta faktor kecukupan modal untuk membeli pupuk. Dosis pupuk TON yang digunakan ± 2,5 kg/ha. Pupuk yang digunakan penggarap diperoleh dengan cara dibeli di kios-kios pertanian yang terdapat di sekitar wilayah Desa Paluh Manan. Pupuk TON dibeli penggarap dengan harga Rp. 70.000,-/kg. Kegiatan pemupukan ini hanya dilakukan pada tambak yang menerapan sistem non silvofishery. Pada tambak silvofishery tidak dilakukan pemupukan dikarenakan keberadaan dari tanaman mangrove sudah dianggap mencukupi untuk
menghasilkan unsur hara yang diperlukan oleh tambak. Oleh karena itu, biaya input yang dikeluarkan dari sistem tambak silvofishery menjadi lebih sedikit bila dibandingkan dengan tambak non silvofishery. Hal ini dikarenakan pada tambak silvofishery tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli pupuk. Pemberantasan Hama Penyakit Dalam kegiatan budidaya ikan dan udang, masalah umum yang sering sekali terjadi dan dapat mengganggu keberhasilan kegiatan budidaya adalah gangguan hama dan penyakit. Hama yang biasanya mengganggu yaitu siput. Sementara hama yang mengganggu pada saat pembudidayaan ialah ular air namun tidak terlalu menimbulkan kerugian yang berarti. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan cara menggunakan pestisida seperti Samponen dan Akodan. Samponen merupakan salah satu jenis pestisida organik yang berasal dari bungkil biji teh dalam bentuk bubuk kasar, sehingga dalam penggunaannya samponen ini perlu dilarutkan terlebih dahulu dalam air selama ± satu malam. Dosis samponen yang digunakan lebih kurang 50 kg/ha tergantung kebutuhan. Samponen ini diperoleh petani tambak/penggarap di kios-kios pertanian yang terdapat di sekitar Desa Paluh Manan dengan harga yang bervariasi. Harga samponen ini berkisar antara Rp. 3.000,-/kg – Rp. 5.000,-/kg. Akodan digunakan untuk mematikan hama yang ada pada tambak. Pestisida yang dikemas dalam kaleng dan berbentuk cair dan berwarna putih. Harga akodan yaitu Rp. 50.000,/kg. Pemberian pestisida ini biasanya dilakukan pada saluran masuknya air ke dalam tambak pada saat ketinggian air tambak mencapai ± 10 cm, kemudian di biarkan selama ± 3 hari. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar hama yang ada benar-benar mati dan efek racun pestisida yang diberikan tidak lagi mempunyai efek/pengaruh terhadap benih (nener) ikan dan benih (benur) udang yang akan ditebar. Sedangkan penyakit yang biasanya dihadapi hanya dikarenakan terjadinya banjir pada area tambak yang mengakibatkan air yang ada di dalam tambak menjadi tercemar, sehingga ikan dan udang yang berada di dalam tambak yang tidak tahan akan mengalami kematian. Pengadaan Benih Untuk menghasilkan berbagai jenis komoditas tambak hingga berukuran konsumsi (baik ikan nila, ikan kakap, udang windu, dan kepiting), petani tambak/penggarap di Desa Paluh Manan dalam menjalankan aktivitas tambaknya menggunakan teknik budidaya tambak silvofishery dan non silvofishery. Benih-benih biasanya diperoleh dari beberapa daerah
4
diantaranya dari Siantar dan Aceh. Benih-benih tersebut diantar ke tempat pemesanan dengan menggunakan wadah berupa kantung palstik berisi air. Harga benih yang ditawarkan pun bervariasi tergantung ukuran yang diinginkan oleh pemesan. Untuk benih ikan nila biasanya dapat dibeli dengan harga berkisar antara Rp. 100,-/ekor – Rp. 200,-/ekor. Benih ikan kakap ± Rp. 1.500,/ekor. Benih udang windu diperoleh dengan harga berkisar antara Rp. 40,-/ekor – Rp. 80,-/ekor. Sedangkan untuk kepiting, harga benihnya dijual perkilo dimana harga perkilonya berkisar antara Rp. 50.000,- hingga Rp. 80.000,-. Penebaran Benih Benih ikan nila yang ditebar pada umunya adalah benih berukuran 5 cm – 7 cm dengan padat tebar per hektar 1.000 ekor – 3.000 ekor. Benih ikan kakap yang ditebar adalah benih kakap berukuran panjang 6 cm – 7 cm dengan padat tebar ± 200 ekor. Untuk benih udang windu, ukuran benih yang digunakan adalah panjang ± 2,5 cm dengan padat tebar per hektar sekitar 3.000 ekor – 4.000 ekor. Penebaran benih ikan dan udang biasanya dilakukan pada sore hari menjelang malam. Penebaran dilakukan pada saat ketinggian air dalam tambak mencapai 70 cm 120 cm. Pada saat penebaran, bebih-benih yang ditebar terlebih dahulu akan diberi kesempatan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan barunya yang dikenal dengan istilah aklamasi. Sedangkan benih kepiting yang ditebar per hektar sebanyak 25 kg, dimana biasanya pada 1 kg terdapat lebih kurang 10 ekor kepiting. Biasanya tingkat kematian benih hingga masa panen berkisar antara 10% - 20%. Pemeliharaan Setelah benih-benih ikan, udang, dan kepting ditebar, tahapan selanjutnya adalah pemeliharaan sampai benih mencapai ukuran konsumsi. Pemeliharaan yang dimaksud meliputi penjagaan terhadap kualitas air, pemberian pelet, serta pemberian katalis/perangsang pertumbuhan benih. Kualitas air yang ada harus tetap dijaga untuk memastikan klekap yang ada dapat tumbuh dengan baik. Perlu diperhatikan adalah pertumbuhan klekap di tambak harus selalu dikontrol, jangan sampai terjadi blooming atau tingkat pertumbuhan klekap yang berlebih karena hal ini dapat mengganggu pertumbuhan dari benih yang ditebar. Katalis/perangsang yang digunakan yaitu Lodan. Lodan digunakan untuk menjaga kualias air serta menjadikan air tambak sesuai peruntukan bagi kelangsungan hidup benih di tambak. Lodan juga dapat merangsang dan memacu pertumbuhan benih hingga mencapai ukuran dan bobot yang diinginkan. Lodan mengandung unsur-unsur seperti Kalsium, Magnesium, Nitrogen, Kalium,
dan Silikat Aluminium. Lodan digunakan pada saat benih sudah berumur 7 - 15 hari sejak ditebar di tambak, dengan dosis 1 kg/ha – 3 kg/ha. Lodan ditaburkan pada saat tinggi air tambak mencapai ± 50 cm dari dasar tambak. Pemanenan Kegiatan panen biasanya dilakukan tiga kali dalam setahun dengan masa pemeliharaan 3,5 bulan – 4 bulan. Panen dilakukan setelah ikan, udang, dan kepiting mencapai ukuran konsumsi. Pada umumnya kegiatan pemanenan ini dilakukan oleh 2 orang – 5 orang tenaga kerja tergantung pada luasnya tambak yang dikelola. Tenaga kerja ini biasanya diberi upah sebesar Rp. 50.000,sampai Rp. 90.000,-/orang untuk satu hari kerja tergantung banyaknya hasil panen yang diperoleh. Panen dilakukan dengan menggunakan alat berupa jaring dan jala. Ikan, udang, dan kepiting yang berhasil dijaring biasanya dikumpulkan berdasarkan jenisnya ke dalam suatu wadah lalu dijemput oleh pengepul untuk dibawa ke Tempat Pelelangan Hasil Tambak (TPHT) atau Tempat Pelelangan Hasil Ikan (TPI) untuk dijual. Pemasaran Produk hasil kegiatan budidaya tambak adalah produk yang berasal dari hasil panen musiman (ikan nila, ikan kakap, udang windu, dan kepiting) yang sudah mencapai ukuran konsumsi. Produk-produk tersebut dijual dalam kondisi masih segar, dimana tingkat kesegarannya dipertahankan dengan cara menurunkan suhu produk hingga -25oC dengan menggunakan es batu atau cool box. Adapun konsumen dari kegiatan pemasaran hasil tambak ini adalah masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Desa Paluh Manan. Terkadang juga dikirim/dijual ke wilayah Medan dan Binjai. Petani tambak/penggarap di Desa Paluh Manan selalu menjual hasil tambaknya dengan cara pembayaran tunai. Harga jual ikan nila berkisar antara Rp. 10.000,-/kg - Rp. 15.000,-/kg. Ikan kakap dijual dengan harga berkisar antara Rp. 70.000,-/kg – Rp. 75.000,-/kg. Udang windu memiliki nilai jual berkisar antara Rp. 70.000,-/kg – Rp. 100.000,-/kg. Kepting dijual dengan harga berkisar antara Rp. 100.000,-/kg – Rp. 140.000,/kg, tergantung ukurannya.
Pengeluaran Petani Tambak/Penggarap Biaya yang diperlukan dalam kegiatan pengelolaan tambak silvofishery dan non silvofishery terdiri dari biaya pembelian bibit, biaya transfer hak atas tambak, upah tenaga kerja, biaya pembelian pellet dan obat serta biaya penyewaan alat berat. Namun pada tambak non silvofishery ditambahkan lagi biaya pembelian
5
pupuk untuk memberikan kesuburan tanah pada tambak. Sedangkan pada tambak silvofishery tidak diperlukan pupuk, dikarenakan adanya serasah-serasah dari tanaman mangrove yang jatuh ke dalam tambak sehingga bisa menjadi pupuk alami bagi kesuburan tanah pada tambak tersebut. Biaya pembelian benih terdiri dari biaya pembelian benih ikan nila, ikan kakap, udang dan kepiting yang akan dibudidayakan di tambak. Biaya pembelian pellet terdiri dari biaya pembelian univeed, kargil, pellet apung dan ikan sampah. Biaya obat-obatan terdiri dari biaya pembelian pestisida (Saponin) dan biaya pembelian obat perangsang pertumbuhan seperti Akodan dan Lodan. Sedangkan pada tambak non silvofishery, biaya pembelian pupuk terdiri dari biaya pembelian pupuk Urea dan NPK. Biaya upah tenaga kerja adalah untuk membayar tenaga kerja yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pengelolaan tambak, yang terdiri dari biaya untuk penebaran benih, pemanenan, serta biaya untuk pemeliharaan tambak. Rata-rata pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh petani tambak yang menggunakan sistem silvofishery adalah sebesar Rp. 81.276.967,-/ha/tahun, sedangkan petani tambak yang menggunakan sistem non silvofishery mengeluarkan biaya sebesar Rp. 98.712.813,-/ha/tahun. Pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani tambak silvofishery terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan pengeluaran pada tambak non silvofishery. Hal ini dikarenakan pada tambak silvofishery tidak diperlukan lagi biaya untuk pembelian pupuk, sehingga mengurangi biaya produksi. Pendapatan Petani Tambak/Penggarap Pendapatan rata-rata yang diperoleh oleh petani tambak silvofishery adalah sebesar Rp. 110.243.000,-/ha/tahun sedangkan pendapatan rata-rata yang diperoleh oleh petani tambak non silvofishery adalah sebesar Rp. 120.848.214,/ha/tahun. Sehingga apalagi bila dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani maka akan didapatkan keuntungan sebesar Rp. 28.966.033,/ha/tahun untuk tambak silvofishery dan keuntungan sebesar Rp. 22.135.401,-/ha/tahun untuk tambak non silvofishery. Dengan demikian, terlihat bahwa hasil penerimaan para petani tambak silvofishery lebih besar bila dibandingkan dengan hasil yang didapatkan para petani tambak non silvofishery. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bengen (2000) yang menyatakan bahwa penerimaan pada petani tambak silvofishery jauh lebih besar dikarenakan adanya peningkatan produktivitas perikanan budidaya yang didukung oleh keberadaan mangrove, hal ini disebabkan mangrove berperan
sebagai detritus organik yang merupakan sumber pakan alami bagi semua biota. Kriteria Analisis Finansial Dalam perhitungan nilai NPV maupun BCR, dilakukan dengan menggunakan tingkat suku bunga 12%. Hal ini dikarenakan tingkat suku bunga ideal yang digunakan untuk mengetahui layak atau tidaknya investasi yang dilakukan adalah pada tingkat suku bunga 12% berdasarkan pertimbangan tingkat suku bunga yang mendekati suku bunga tabungan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Adapun hasil perhitungan NPV pada tingkat suku bunga 12% dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai NPV selama 10 Tahun pada Tingkat Suku Bunga 12%
Berdasarkan perhitungan NPV yang dilakukan pada tambak silvofishery diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 141.768.052,-. Sedangkan pada tambak non silvofishery diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 102.441.601,-. Angka-angka tersebut menunjukkan besarnya nilai sekarang dari penerimaan bersih yang akan diterima petani tambak/penggarap selama 10 tahun mendatang. Apabila dipandang dari kriteria kelayakan usaha yang ada pada tingkat suku bunga 12%, maka pengelolaan tambak dengan sistem sivofishery dan non slivofishery di Desa Paluh Manan dapat dikatakan layak untuk diusahakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Gittinger (1986), Net Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari arus manfaat yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Berdasarkan kriteria NPV, suatu proyek atau usaha layak untuk dilaksanakan apabila nilai NPV lebih besar dari nol. Berdasarkan hasil perhitungan BCR yang diperoleh, menunjukkan bahwa pada prinsipnya tambak silvofishery dan non silvofishery layak untuk dilaksanakan secara finansial karena nilai BCR lebih besar dari satu. Seperti halnya pada perhitungan nilai NPV, perhitungan terhadap nilai BCR dari pola pengusahaan tambak silvofishery dan non silvofishery di Desa Paluh Manan ini juga dilakukan pada tingkat suku bunga 12%, seperti yang terlihat pada Lampiran 11 dan 12. Adapun hasil perhitungan nilai BCR pada tingkat suku bunga 12% dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai BCR selama 10 Tahun pada Tingkat Suku Bunga 12%
6
Usaha tambak silvofishery memiliki nilai BCR sebesar 1,2876 sedangkan pada usaha tambak non silvofishery memiliki nilai BCR sebesar 1,1727. Hal tersebut berarti dengan melakukan investasi sebesar Rp. 1,00 (nilai sekarang) akan menghasilkan penerimaan bersih sebesar Rp. 1,2876 (nilai sekarang) pada usaha tambak silvofishery dan untuk tambak non silvofishery dengan melakukan investasi sebesar Rp. 1,00 (nilai sekarang) akan menghasilkan penerimaan bersih sebesar Rp. 1,1727 (nilai sekarang). Berdasarkan analisis kelayakan finansial yang dilakukan, pada tingkat suku bunga ideal diperoleh nilai NPV yang lebih besar dari nol dan nilai BCR yang lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan tambak di Desa Paluh Manan layak untuk diusahakan secara finansial. Namun pengusahaan ini hendaklah dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek ekologis dari lingkungan/kawasan hutan mangrove yang ada. Analisis Komparatif Usaha tambak silvofishery memiliki kelayakan secara finansial yang lebih baik apabila diusahakan oleh masyarakat jika dibandingkan dengan usaha tambak non silvofishery yang selama ini telah umum dikelola oleh masyarakat. Hasil dari analisis finansial kedua usaha tambak tersebut terlihat bahwa usaha tambak silvofishery lebih baik pada kriteria finansial NPV dan BCR bila dibandingkan dengan usaha tambak non silvofishery. Penerimaan pada petani tambak silvofishery jauh lebih besar dikarenakan adanya peningkatan produktivitas perikanan budidaya yang didukung oleh keberadaan mangrove, hal ini disebabkan mangrove berperan sebagai detritus organik yang merupakan sumber pakan alami bagi semua biota (Bengen 2002).
utama. Namun sebagian besar dari mereka tak jarang masih tetap menjalankan usaha-usaha sampingannya, seperti usaha bertani, beternak, berkebun, dan berdagang (usaha warung). Ini berarti bahwa pendapatan yang diterima oleh rumah tangga penggarap tidak hanya diperoleh dari usaha pengelolaan tambak saja melainkan juga dari usaha sampingan yang mereka jalankan. Namun demikian, dari kegiatan pengelolaan tambak ini, masyarakat memperoleh pendapatan yang paling besar setiap tahunnya bila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari usaha-usaha sampingan. Sedangkan masyarakat yang mengelola tambak non silvofishery, ada yang menjadikan usaha tambaknya sebagai mata pencaharian utama, namun sebagian dari mereka ada juga yang menjalankan usaha tambak sebagai usaha sampingannya. Mereka menjalankan pekerjaan utama menjadi seorang nelayan. Besarnya kontribusi yang diberikan sektor usaha pertambakan terhadap kehidupan rumah tangga penggarap terlihat dari besarnya nilai pendapatan yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan terhadap nilai kontribusinya, seperti terlihat pada Tabel 4 dan Tabel 5 berikut. Tabel 4. Besarnya Kontribusi Pendapatan Usaha Tambak Silvofishery terhadap Pendapatan Responden
Tabel 3. Perbandingan antara Tambak Silvofishery dan Non Silvofishery
Kontribusi Pendapatan Sektor Usaha Pertambakan terhadap Total Pendapatan Rumah Tangga Petani Tambak/Penggarap Keberadaan tambak dengan sistem silvofishery dan non silvofishery mempunyai peranan yang sangat besar bagi kehidupan rumah tangga petani tambak/penggarap di Desa Paluh Manan. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat yang mengelola tambak silvofishery menjadikan usaha tambaknya sebagai mata pencaharian
7
Tabel 5. Besarnya Kontribusi Pendapatan Usaha Tambak Non Silvofishery terhadap Pendapatan Responden
2. Nilai kontribusi pendapatan yang diberikan dari hasil kegiatan tambak silvofishery terhadap pendapatan total rumah tangga petani tambak/penggarap yaitu sebesar 65,83%, sedangkan pendapatan rata-rata yang diperoleh penggarap dari usaha tambak non silvofishery adalah sebesar 55,44% dari total nilai kontribusi yang ada. Saran
Dalam kegiatan pengelolaan tambak silvofishery dan non silvofishery ini, besarnya pendapatan yang diterima oleh petani tambak/penggarap berasal dari hasil penjualan komoditas yang dibudidayakan dalam tambaktambak yang ada, seperti ikan nila, ikan kakap, udang dan kepiting. Selain dari usaha pertambakan, masyarakat juga memperoleh pendapatan dari usaha sampingan, seperti bertani, beternak, berkebun, dan berdagang (usaha warung). Uang yang diterima dari hasil kegiatan pengelolaan tambak maupun dari usaha-usaha sampingan dinilai sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga penggarap seharihari. Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh, kontribusi yang dapat dihasilkan dari subsektor usaha tambak silvofishery adalah sebesar 65,83%. Sedangkan pendapatan rata-rata yang diperoleh penggarap dari subsektor usaha tambak non silvofishery adalah sebesar 55,44%. Hasil dari analisis finansial kedua usaha tambak tersebut terlihat bahwa usaha tambak silvofishery lebih baik pada kriteria finansial NPV dan BCR bila dibandingkan dengan usaha tambak non silvofishery. Penerimaan pada petani tambak silvofishery jauh lebih besar dikarenakan adanya peningkatan produktivitas perikanan budidaya yang didukung oleh keberadaan mangrove, hal ini disebabkan mangrove berperan sebagai detritus organik yang merupakan sumber pakan alami bagi semua biota (Bengen 2002). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil analisis finansial, usaha tambak silvofishery dan usaha tambak non silvofishery adalah layak untuk diusahakan secara finansial. Usaha tambak silvofishery lebih baik secara finansial berdasarkan kriteria NPV dan BCR bila dibandingkan dengan usaha tambak non silvofishery.
Kegiatan pengelolaan tambak di Desa Paluh Manan hingga saat ini mampu memberikan hasil yang cukup menjanjikan bahkan mempunyai prospek yang cerah pada masa-masa mendatang. Untuk itu diperlukan adanya perhatian dari pihak pemerintah baik dalam bentuk kemudahan dalam pemberian bantuan kredit usaha, pemberian bantuan peralatan/teknologi kepada penggarap, serta peningkatan peranan kelompok tani yang ada dalam hal peningkatan kemudahan usaha petani tambak/penggarap dalam memasarkan produk mereka. Berkaitan dengan ini hendaklah masyarakat dalam menjalankan usaha tambaknya menggunakan sistem tambak silvofishery. Karena selain bersifat ramah lingkungan dengan adanya tanaman mangrove, biaya produksi yang dikeluarkan pun lebih kecil bila dibandingkan dengan sistem tambak non silvofishery. DAFTAR PUSTAKA Affandi, O. 2002. Home Garden: Sebagai Salah Satu Agroforestry Lokal. Program Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dalam www.libraryusu.com. [14 Februari 2014] Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1999. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius. Yogyakarta. Anwar, C. dan E. Subiandono. 1996. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Info Hutan No. 65. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Anwar,
C. 2006. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis Masyarakat. Makalah Seminar Badan Litbang. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Bengen, D. G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor. Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
8
Gittinger, J. P. 2008. Analisis Ekonomi Proyekproyek Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Pudjianto, R. 1998. Pedoman Budidaya Tambak Udang. Direktorat Jendral Pertanian. Jakarta.
Haming, M. dan S. Basalamah. 2003. Studi Kelayakan Investasi. PT. PPM. Jakarta.
Rini, M. N. 2004. Pembangunan Tambak Berwawasan Lingkungan dalam Era Otonomi Daerah. Dalam Warta Konservasi Lahan Basah Vol 12 No. 4, Oktober 2004. Bogor.
Handadhari, T. 2005. Dephut Targetkan Rehabilitasi Mangrove Seluas 1.738.076 Ha di Seluruh Indonesia. www.dephut.go.id [17 Januari 2014] Hartini, S., Guridno Bintar Saputro, M. Yulianto, Suprajaka. 2010. Assessing the Used of Remotely Sensed Data for Mapping Mangroves Indonesia. Selected Topics in Power Systems and Remote Sensing. In 6th WSEAS International Conference on Remote Sensing), Iwate Prefectural University, Japan. October 4-6, 2010; pp. 210-215. Kusmana, C., S. Wilarso., I. Hilwan., P. Pamoengkas., C. Wibowo., T. Tiryana, A. Triswanto., Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrrove. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lahjie. 2004. Teknik Agroforestri. Universitas Mulawarman. Samarinda. LPP
Mangrove Indonesia. 2004. Economic Valuation of The Mangrove in Indonesia, publ. 18 pp. LPP Mangrove. Bogor.
Nugroho, B. 1997. Analisis Finansial Investasi Kehutanan dan Pertanian. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh H. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S. Subarjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sitompul, S. M dan B. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Sofiawan, A. 2000. Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan : Pengembangan Modelmodel Silvofishery. Dalam Warta Konservasi Lahan Basah Vol. 9 No. 2, November 2000. Bogor. Soewardi, K. 1993. Peranan Hutan Kemasyarakatan Melalui Pendekatan “Silvofishery” dalam Rangka Upaya Pelestarian Sumberdaya Kawasan Pantai : Prospek dan Kendala. Dalam Prosiding Lokakarya Terbatas Pengembangan Hutan Kemasyarakatan melalui Kegiatan Silvofishery. Bogor. 20 Februari 1993. [penerbit tidak diketahui] Suharjito, S., A. Cahyono dan Purwanto. 2003. Aspek Sosial Ekonomi da Budaya Agroforestri. ICRAF. Bogor. Suryanto, P., Tohari dan M. S. Sabarnurdin. 2005. Dinamika Sistem Berbagi Sumberdaya (Resources Sharing) dalam Agroforestri: Dasar Pertimbangan Penyusunan Strategi Silvikultur. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 2 : 165-178. Suryanto, P., WB. Aryono dan M. S. Sabarnurdin. 2006. Model Bera dalam Sistem Agroforestri (Fallow Land Model in Agroforestry Systems). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 2 : 15-26.
9