Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.)
DESAIN TAMBAK SILVOFISHERY RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG : STUDI KASUS KELURAHAN SAMATARING, KABUPATEN SINJAI Abdul Haris Sambu1), Damar A.2), Bengen D.G.2) & Yulianda F2) 2)
1) Universitas Muhammadiyah Makassar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Diterima tanggal: 17 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan: 2 September 2013; Disetujui terbit tanggal 8 Desember 2013
ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan dari Januari sampai Desember 2011 di Kelurahan Samataring, Kabupaten Sinjai. Tujuan penelitian ini : 1) menganalisa daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan tambak silvofishery; 2) mendesain pola tambak silvofishery ramah lingkungan berbasis daya dukung; dan 3) mengkaji sistem budidaya tambak silvofishery. Metode penelitian yang digunakan : 1) analisis komparatif rasio tambak dan mangrove melalui penilaian kandungan dan kualitas serasah; 2) analisis dampak ekologi, ekonomi dan sosial; dan 3) analisis kelayakan model tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) ratio optimal area mangrove dan tambak pada pola tambak silvofishery adalah 60% tambak dan 40% mangrove; 2) modifikasi komplangan merupakan pola silvofishey yang layak secara ekologi dan ekonomi; dan 3) Polikultur merupakan sistem budidaya yang layak untuk tambak silvofishery. Kata kunci: desain tambak, daya dukung, silvofishery, modifikasi komplangan, polykultur ABSTRACT This research was conducted from January to December 2011 in Samataring subdstrict Sinjai Regency. The objectives of this study were : 1) to analyze mangrove carrying capacity for silvofishery ponds management; 2) to design environmental friendly silvofishery fishpond model based on carrying capacity; and 3) to assess cultivation system in silvofishery ponds. The method used in this study were : 1) ratio comparative analysis of ponds and mangrove assessment with content and quality of litter as indicator; 2) impact analysis of ecological, economic and social; and 3) analysis of eligible fishpond model. Results from this study shows that: 1) Optimum ratio for mangrove and fishpond area was 60% fishpond and 40% mangrove; 2) Komplangan modification was feasible model of silvofishery based an ecology and economic persepective and 3) Polyculture was an eligible cultivation system for silvofishery fishponds development. Keywords: fishpond design, carrying capacity, silvofishery, komplangan modification, polyculture
PENDAHULUAN Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang mempunyai fungsi sebagai penyangga antara ekosistem daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat kaya akan unsur hara baik berasal dari luar maupun dari dalam ekosistem tersebut. Secara eksternal ekosistem mangrove mendapat suplai unsur dari daratan melalui daerah aliran sungai dan unsur hara dari lautan melalui air pasang. Sedangkan secara internal ekosistem mangrove sebagai penghasil unsur yang paling besar diantara ekosistem pesisir lainnya seperti estuaria, padang lamun dan terumbu karang (Dahuri et al., 1996). Oleh karena kesuburannya, ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang paling tinggi keanekaragaman hayatinya di atas planet bumi. Ekosistem mangrove selain dihuni organisme pesisir yang hidupnya pada air payau, juga sering dihuni oleh organisme air tawar dan air laut yang menjadikan
ekosistem mangrove sebagai habitat transit, tempat; memijah, mencari makan, dan berlindung, ataupun karena kebutuhan siklus hidupnya. Terkait dengan hal tersebut, ekosistem mangrove sebagai kawasan penyangga antara daratan dan lautan, memiliki fungsi ekologis penting yang harus dipertahankan keberadannya dari pemanfaatan berbagai peruntukan (Supriharyono, 2005). Sejak awal tahun 80-an, seiring meningkatnya permintaan negara pengimpor akan udang windu dari tahun ke tahun harga udang windu di pasar dunia terus mengalami peningkatan dan menjadi komoditas primadona. Untuk memenuhi permintaan tersebut maka perlu upaya peningkatan produksi udang windu melalui usaha budidaya tambak baik intensifikasi maupun ekstensifikasi (Poernomo, 1992). Namun kedua upaya ini membawa dampak negatif terhadap perkembanganya yaitu : (1) intensifikasi dengan penerapan teknologi yang cenderung memaksa alam berproduksi membawa dampak penurunan kualitas lingkungan, dan (2) ekstensifikasi melalui
Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email:
[email protected]
157
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 perluasan area dengan mengkonversi ekosistem mangrove menjadi tambak secara besar- besaran berdampak pada penurunan luas hutan mangrove di Indonesia ( Sofyan, 2001).
rasio 60% mangrove dan 40% tambak, (3) rasio 30% mangrove dan 70% tambak, (4) rasio 20% mangrove dan 80% tambak, dan (5) rasio 10% mangrove dan 90% tambak. Luas masing masing per rasio tambak silvofishery disetarakan sama dengan 1.00 ha atau 10.000 m2.
Salah satu model pengelolaan ekosistem mangrove untuk mengembalikan fungsinya sebagai penyangga ekosistem daratan dan lautan adalah Pengamatan Produksi Serasah silvofishery yaitu suatu model pengelolaan yang mensinergikan antara aspek ekologi dan aspek Untuk mengetahui produksi serasah mangrove ekonomi. Silvo atau budidaya hutan sebagai upaya dilakukan pengamatan secara langsung dengan pelestarian mewakili aspek ekologi, sedang fishery metode memasang alat penampung serasah (litter adalah kegiatan perikanan sebagai upaya pemanfaatan trap) yang terbuat dari waring warna hitam dengan mewakili aspek ekonomi (Boekeboom et al., 1992). ukuran 1 x 1 x 0,5 m sebanyak 15 buah masing masing: Menurut Bengen (2002) pola silvofishery yang ada tiga buah per skenario rasio. Penentuan stasiun dan saat ini di Indonesia meliputi: (1) empang parit, (2) jumlah penampung serasah ditentukan berdasarkan empang parit yang disempurnakan, dan (3) keterwakilan zonasi guna mendapatkan data yang komplangan. Pengelolaan tambak silvofishery di representatif. Total jumlah stasiun pengamatan adalah Kabupaten Sinjai hingga saat ini belum berhasil secara 15 stasiun. optimal (DKP, 2010).Sesuai hasil kajian diduga karena desain konstruksinya dibuat tidak benar sehingga tidak Pengamatan produksi serasah mangrove per ramah lingkungan. Konstruksinya masih tergolong rasio silvofishery dilakukan selama empat bulan, dan empang parit biasa, dimana lahan mangrove sebagai setiap dua minggu dilakukan pemungutan serasah area konservasi masih satu hamparan dengan lahan pada 15 stasiun pengamatan. Setelah serasah tambak sebagai area budidaya, sehingga kualitas dikumpulkan dilakukan pemisahan jenis serasah yang tanah dan kualitas air sulit dikontrol, demikian juga meliputi: daun, buah, bunga dan ranting. Selanjutkan masalah hama sulit diatasi. Masalah lain adalah rasio serasah tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu antara mangrove dan tambak belum dikaji berdasarkan 800C selama 24 jam. Serasah kering yang dihasilkan aspek ekologi dan aspek ekonomi secara proporsional. kemudian dianalisis untuk mengetahui produksi total Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya serasah mangrove menggunakan persamaan 1. dukung ekosistem mangrove pada pengelolaan silvofishery, menentukan rasio optimum antara luas Analisis Produksi Serasah mangrove dan tambak dan menganalisis kelayakan pola tambak yang telah ada. Pada penelitian ini, daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery mengacu pada METODE PENELITIAN konsep supply and demand dalam tambak. Produksi serasah mangrove sebagai supply dan tambak sebagai Lokasi dan Waktu demand. Untuk menganalisis supply dan demand pada tambak silvofishery dilakukan perhitungan produksi Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Samataring, total serasah mangrove per rasio tambak silvofishery Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Provinsi dengan menggunakan rumus Sasekumar & Loi (1983) Sulawesi Selatan selama satu tahun yaitu dari Januari sebagai berikut: sampai Desember 2011. “TL=L (A/a)” ......................................................... 1) Desain Tambak Silvofishery dimana: Pola silvofishery atau biasa disebut wanamina TL = total bobot serasah (kg) merupakan salah satu model pengelolaan ekosistem L = rata-rata bobot serasah tiap perangkap (kg) mangrove yang memadukan antara aspek ekologi A = luas areal penelitian (25.256 m2) dan aspek ekonomi. Aspek ekologi sebagai upaya a = ukuran perangkap serasah (m2) melestarikan ekosistem mangrove agar berkelanjutan, sedangkan aspek ekonomi sebagai upaya untuk Kandungan unsur hara yang menjadi kajian memanfaatkan tambak secara optimal. dalam penelitian ini meliputi: bahan organik, nitrogen, posfor, dan kalium. Serasah mangrove setelah Desain Penelitian mengalami proses dekomposisi akan terurai menjadi berbagai unsur hara baik makro maupun mikro. Unsur Desain penelitian ini terdiri dari lima skenario makro seperti nitrogen (N), posfor (P) dan, kalium (K) rasio sebagai berikut: (1) rasio 100% mangrove, (2) dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk pertumbuhan 158
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) makanan alami di tambak. Sedang unsur mikro seperti besi (Fe), mangan (Mn), dan seng (Zn) dibutuhkan dalam jumlah sedikit, akan tetapi menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan makanan alam di tambak (Odum,1996). Unsur hara yang dijadikan parameter ekologi untuk menentukan daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery meliputi : bahan organik, nitrogen, posfor, dan kalium, dengan alasan unsur ini dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk pertumbuhan makanan alami di tambak secara optimal. Hasil analisis kandungan unsur hara yang terdapat dalam serasah berdasarkan persentase luas ekosistem mangrove akan dibandingkan dengan kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan tanah tambak untuk menumbuhkan makanan alami secara optimum seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. menunjukkan tingkat kesuburan tanah tambak dipengaruhi oleh keberadaan unsur hara. Lebih lanjut, nilai optimum tiap unsur hara pada Tabel 1 sebagai batas kebutuhan unsur hara yang harus dipenuhi. Unsur hara yang dijadikan parameter indikator sebagai supply adalah bahan organik, nitrogen, posfor dan kalium yang merupakan hasil penguraian dari serasah mangrove. Sesuai rekomendasi Davide (1976) dan Padlan (1977) in Mintardjo et al. (1985) menyatakan unsur hara dalam tambak memiliki kisaran optimum. Daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery mengacu pada konsep supply dan demand dimana terjadi keseimbangan antara ketersediaan yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove dan kebutuhan unsur hara yang diperlukan oleh tanah tambak bagi pertumbuhan makanan alami secara optimal untuk memenuhi kebutuhan organisme yang dibudidayakan. Selanjutnya untuk melihat status daya dukung suatu ekosistem mangrove tambak silvofishery dengan membandingkan hasil analisis kandungan unsur hara yang terdapat dalam serasah mangrove per rasio tambak silvofishery yang diamati sebagai supply dengan nilai optimum rata rata unsur hara yang dibutuhkan tanah tambak untuk mendukung ketersediaan makanan alami secara optimal sebagai Tabel 1.
demand. Analisis Kualitas Serasah Untuk mengetahui kandungan unsur hara yang terdapat dalam serasah mangrove dilakukan tahapan sebagai berikut : setiap jenis serasah kering yang telah dioven selama 24 jam masing-masing diambil 30 gram untuk dihancurkan menjadi tepung. Selanjutnya dilakukan analisis kandungan unsur hara meliputi bahan organik, nitrogen, posfor dan kalium yang terdapat dalam serasah. Hasil analisis serasah lebih lanjut dikonversi untuk mendapatkan setiap unsur hara yang terdapat dalam serasah mangrove per rasio silvofishery. Analisis dampak ekologi, ekonomi dan sosial Setelah didapatkan rasio komposisi mangrove dan tambak yang tepat untuk pola silvofishery komplangan yang disempurnakan kemudian dilakukan analisis dampak ekologi, ekonomi dan sosial. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Model Konstruksi Tambak Silvofishery Konstruksi tambak di Kabupaten Sinjai, umumnya adalah tipe silvofishery model empang parit. Dalam penelitian ini dilakukan perubahan/ modifikasi konstruksi menjadi model komplangan yang disempurnakan. Empang Parit Model empang parit sesuai hasil pengamatan pada lokasi penelitian, dapat dikatakan tidak ramah lingkungan. Hal ini disebabkan: (1) masih menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya, sehingga hasil dekomposisi serasah mangrove dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak dan (2) menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan tambak sebagai area budidaya, menyebabkan organisme organisme yang bersifat hama yang terdapat pada area mangrove
Kisaran optimum unsur hara yang dibutuhkan tanah tambak untuk menumbuhkan makanan alami secara optimum No
Unsur Hara
Kisaran Optimum
Nilai tengah Optimum
1 2 3 4
Bahan organik (ppm ) Nitrogen (ppm ) Posfor ( ppm) Kalium (ppm)
1,6 – 3,5 0,16 – 0,20 36 - 45 350 - 500
2,55 0,18 40,50 425,00
Sumber : Davide (1976) dan Padlan (1977) dalam Mintardjo et al. (1985). 159
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 dapat mengganggu komoditas yang dibudidayakan diantaranya dapat menyebabkan usaha budidaya udang windu dan ikan bandeng sebagai komoditas utama serta organisme air lainnya akan mengalami kegagalan panen. Empang Parit Disempurnakan
yang terdapat pada area mangrove dapat dilokalisir sehinngga tidak lagi mengganggu organisme yang dibudidayakan. Model empang parit disempurnakan ini yang mengalami perkembangan dan akan melahirkan model komplangan.
Model empang parit disempurnakan, sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan modal empang parit, karena lahan peruntukan ekosistem mangrove sebagai area konservasi sudah terpisah dalam dua hamparan dengan lahan peruntukan tambak sebagai area budidaya udang dan ikan serta organisme air lainnya serta dilengkapi dengan saluran air dengan dua pintu secara terpisah. Sedangkan kekurangannya secara teknis adalah pembuatan empang parit yang disempurnakan lebih rumit sehingga biayanya menjadi lebih mahal.
Model komplangan merupakan penyempurnaan empang parit dan empang parit disempurnakan. Secara teknis konstruksi model komplangan lebih rumit, akan tetapi lebih ramah lingkungan, karena lahan mangrove sebagai area konservasi terpisah dari lahan tambak sebagai area budidaya yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu terpisah. Terpisahnya lahan mangrove dan lahan tambak pada model komplangan dibatasi oleh pematang antara dua pintu, sehingga pola ini dapat menjadi solusi pengelolaan tambak ramah lingkungan. Pengelolaan tambak ramah lingkungan diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang sudah mengalami degradasi akibat berbagai aktivitas manusia berupa penerapan teknologi tinggi yang tidak dibarengi dengan pengelolaan lingkungan yang arif dan bijaksana.
Model empang parit disempurnakan sudah mengalami kemajuan menuju tambak ramah lingkungan. Pada model ini ada dua alasan yang menarik untuk dikemukakan yaitu: (1) berpisahnya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya sehingga proses dekomposisi serasah mangrove tidak lagi berpotensi mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak dan (2) berpisahnya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya, sehingga organisme organisme yang bersifat hama
Gambar 1. 160
Model Komplangan
Terpisahnya lahan mangrove dan lahan tambak pada model komplangan, selain ramah lingkungan dan membatasi ruang gerak hama yang berhabitat pada area mangrove, juga sistem sirkulasi air dapat diatur berdasarkan kebutuhan. Model yang direkomendasikan yaitu komplangan yang disempurnakan, tanpa merubah prinsip dasar dari model komplangan yang ada saat
Desain tata letak tambak silvofishery model komplangan yang disempurnakan.
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) ini, yaitu dengan menjadikan area mangrove sebagai : pusat sirkulasi air, pusat biofilter, pusat siklus nutrien, dan pusat biodiversity. Hasil Modifikasi Disempurnakan
Model
Komplangan
yang
Upaya untuk penyempurnaan model komplangan yang ada saat ini, dapat mencakup perbaikan konstruksi meliputi: (1) pada area mangrove dibuat beberapa parit selebar 0,1 meter sedalam maksimal sejajar dasar pintu dengan posisi silang menyilang yang nantinya berfungsi sebagai tempat biota liar mencari makan, memijah dan berkumpul pada waktu air tambak disurutkan, (2) dibuat tiga pintu masing masing pada petakan area mangrove sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air, petakan area tambak sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air sewaktu waktu, dan pintu pada pematang antara area mangrove dan area tambak sebagai pintu regulator, dan (3) dipasang bilah- bilah atau kere yang terbuat dari bambu pada bagian luar pintu petakan area mangrove dan tambak untuk menyaring sampah sampah berukuran besar yang terbawa air pasang. Selanjutnya tata letak tambak silvofishery model komplangan menjadikan area mangrove sebagai pusat sirkulasi air untuk mewujudkan konsep pengelolaan tambak ramah lingkungan (Gambar 1). Selain berfungsi sebagai pusat sirkulasi air, area mangrove juga dapat berfungsi sebagai pusat biofilter, pusat silus nutrien dan biodiversitas. Pusat Sirkulasi Air Area mangrove sebagai pusat sirkulasi air atau water circulation centre yaitu pada waktu memasukkan air baru, air dialirkan masuk pada unit tambak silvofishery melalui pintu petakan area mangrove, air baru tersebut dibiarkan selama satu malam pada petakan area mangrove untuk mengalami proses treatment, demikian juga sebaliknya pada waktu akan melakukan pergantian air pada petakan area tambak, air yang akan dibuang dialirkan kembali pada area mangrove untuk mengalami proses yang sama seperti waktu pemasukan air. Pergantian air pada pengelolaan tambak silvofishery disarankan antara 20% sampai 30% per periode pasang dengan sistem bertahap sebanyak tiga kali yaitu pertama pada awal pasang, menjelang pasang tertinggi dan pada waktu pasang tertinggi. Pergantian air baru dilakukan secara rutin pada pengelolaan tambak silvofishery menjadikan area mangrove sebagai pusat sirkulasi air dalam satu unit tambak dan merupakan suatu model pengelolaan air yang ramah lingkungan. Selain itu, dengan menjadikan area mangrove sebagai pusat sirkulasi air dalam unit
tambak dapat menciptakan keseimbangan unsur hara antara area mangrove dan area tambak. Pusat Biofilter Area mangrove selain sebagai pusat sirkulasi air dalam unit tambak silvofishery, juga berfungsi sebagai biofilter centre. Pada waktu memasukkan air baru ke dalam unit tambak silvofishery terlebih dahulu air dialirkan melalui petakan area mangrove dan disimpan selama semalam dengan tujuan mengendapkan bahan organik dan anorganik seperti partikel lumpur, pasir, dan sejenisnya yang ikut masuk bersama air pada area mangrove. Setelah air baru yang dimasukkan bermalam pada petakan area mangrove dan diperkirakan sudah mengalami proses pengendapan yang sempurna, kemudian dialirkan masuk ke area tambak melalui pintu antara petakan area mangrove dan tambak. Sebaliknya pada waktu akan dilakukan pergantian air dalam unit tambak silvofishery, air dikeluarkan dari petakan area tambak dan dialirkan masuk ke petakan area mangrove. Adapun tujuan mengendapkan bahan organik dan anorganik baik berupa hasil buangan dari organisme yang dibudidayakan maupun senyawa senyawa yang bersifat racun seperti amoniak, hidrogen sulfida, dan sejenisnya, yaitu agar air yang dibuang dari tambak tidak mencemari perairan pesisir. Selain itu unsur hara hasil aktivitas budidaya kembali dimanfaatkan oleh organisme budidaya sambilan yang ada pada petakan area mangrove tersebut dan juga untuk pertumbuhan mangrove. Pusat Siklus Nutrien Area mangrove dalam unit tambak silvofishery selain sebagai pusat sirkulasi air dan pusat biofilter juga berperan sebagai pusat siklus nutrien atau nutrient circulation centre. Secara garis besar area mangrove sebagai lahan konservasi memperoleh nutrien dari tiga sumber yaitu dari laut melalui air pasang, dari petakan area tambak sebagai hasil aktivitas budidaya, dan dari hasil proses dekomposisi serasah mangrove. Lebih lanjut, area mangrove mendapat supply unsur hara dari bahan organik dan anorganik yang terurai dan masuk kedalam petakan mangrove pada waktu air pasang. Begitu pula sebaliknya pada waktu akan dilakukan pergantian air pada area petakan tambak, air yang akan dibuang dialirkan kembali masuk petakan area mangrove. Selanjutnya sumber unsur hara bagi petakan area mangrove, selain dari eksternal yaitu dari air laut dan hasil aktivitas budidaya dari petakan area tambak, juga dari internal petakan area mangrove berupa hasil serasah mangrove setelah terurai menjadi berbagai 161
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 unsur hara seperti bahan organik, nitrogen, posfor, kalium, dan unsur hara lainnya. Hasil analisis unsur hara yang terkandung dalam serasah mangrove pada rasio 30% mangrove dan 70% tambak meliputi: bahan organik 1,28 ppm, nitrogen 0,41 ppm, posfor 88,76 ppm, dan kalium 190,62 ppm. Korelasi antara bahan organik, klekap dalam tambak dengan produksi ikan merujuk pernyataan Tang & Chen (1966) in Mintardjo (1985) bahwa tambak di Filipina yang mempunyai kandungan unsur hara bahan organik sebesar 1,23 ppm akan menghasilkan klekap sebesar 15.000 kg dengan tingkat produksi ikan sebesar 1.200 kg ha-1 th-1. Pusat Biodiversitas Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa petakan mangrove dalam unit silvofishery dapat berfungsi sebagai pusat biodiversity atau penangkaran berbagai jenis biota pesisir untuk mempertahankan keanekaragaman sumber daya hayati bagi perairan pesisir sesuai dengan Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya. Keanekaragaman sumber daya hayati pada pengelolaan silvofishey dengan model komplangan disempurnakan difokuskan pada area mangrove sebagai pusat sirkulasi air. Pada waktu memasukkan air baru ke dalam unit tambak silvofishery, air dialirkan masuk pada petakan area mangrove melalui pintu 1. Pada bagian luar pintu ini dipasang bila bila atau kere yang terbuat dari bambu untuk menyaring sampah yang berukuran besar tidak masuk ke dalam petakan tambak area mangrove bersama air. Pintu ini selain dipasangi kere, juga dipasang saringan yang terbuat dari nilon dengan ukuran besar dan kecil. Saringan yang berukuran besar dipasang pada waktu memasukkan air baru, yang bertujuan agar telur dan benih udang, ikan, kepiting dan organisme lainnya ikut bersama air masuk ke petakan area mangrove, sedangkan saringan berukuran kecil dipasang pada waktu pengeluaran air. Selanjutnya air setelah bermalam pada petakan Tabel 2.
mangrove dialirkan masuk ke petakan tambak melalui pintu 2 atau pintu regulator. Pada pintu regulator ini dipasang saringan yang berukuran kecil, agar telur dan benih tadi tidak ikut masuk bersama air petakan area tambak, dimana area tambak diperuntukan hanya budidaya utama yaitu udang windu dan ikan bandeng. Sedangkan untuk udang liar, ikan liar dan organisme lainnya ditempatkan khusus pada petakan mangrove yang telah ditetapkan sebagai pusat biodiversity atau budidaya sambilan. Khusus pintu 3 yang terdapat pada petakan area tambak hanya digunakan dalam keadaan darurat, karena sistem pengelolaan air pada tambak silvofishery adalah sistem sentralistik (Denila 1987). Analisis Daya Dukung Produksi total serasah mangrove ditampung pada 15 penampung serasah dengan distribusi masing-masing 3 penampung per rasio tambak silvofishery selama empat bulan pengamatan (September-Desember) dari 1 tahun waktu penelitian. Rata rata hasil produksi serasah mangrove per tahun berdasarkan jenis serasah yang diamati per rasio tambak silvofishery disajikan dalam Tabel 2. Jumlah produksi serasah mangrove dari empat jenis yang diamati menunjukkan bahwa produksi serasah mangrove rata rata per rasio petakan yang diamati yaitu sebesar 2.079 kg m-2 th-1. Selanjutnya produksi serasah mangrove rata rata dalam kg m-2 th-1 per rasio tambak silvofishery seperti yang disajikan dalam Tabel 2 dikalikan dengan luasan mangrove masing - masing petakan yang diamati. Hasil perkalian ini menghasilkan produksi serasah berdasarkan luas mangrove per rasio tambak silvofishery setelah dilakukan konversi dengan menyetarakan luas yang sama seperti disajikan dalam Tabel 3. Status daya dukung ekosistem mangrove per rasio silvofishery disajikan dalam Tabel 4. Tanda minus (-) menunjukkan status daya dukung unsur hara kurang dari nilai optimum yang disyaratkan. Hasil analisis serasah mangrove terhadap empat unsur hara yang dijadikan parameter ekologi untuk menilai daya dukung ekosistem mangrove bagi
Rata rata produksi serasah mangrove per rasio tambak silvofishery (kg m-2 th-1) Uraian 100 : 0
R a s i o 60 : 40
(%) 30 : 70
20 : 80
10 : 90
Daun 1,166 1,061 1,801 1 ,118 1,068 Buah 603 813 699 738 549 Bunga 85 74 108 142 137 Ranting 249 188 152 151 213 Rataan 2,103 2.,136 2.,040 2,149 1,967 Sumber : Hasil analisis (2011) 162
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) penentuan rasio mangrove dan tambak yang optimum dalam pengelolaan silvofishery, menunjukkan bahwa rasio 30% mangrove dan 70% tambak untuk unsur hara bahan organik dan kalium keduanya menunjukkan kurang dari nilai optimum kapasitas daya dukung ekosistem mangrove yang disyaratkan sebagai penyedia unsur hara, meskipun unsur nitrogen dan posfor pada rasio tersebut masih cukup tersedia. Unsur nitrogen dan posfor pada rasio 20% mangrove dan 80% tambak masih di atas kebutuhan optimum tambak, akan tetapi pada rasio 10% mangrove dan 90% tambak keduanya juga sudah melewati kapasitas daya dukung seperti yang telah disajikan dalam Tabel 4. Hasil analisis keempat unsur hara tersebut, dapat digambarkan bahwa pada rasio 30% merupakan batas minimum persentase luasan mangrove pada pengelolaan silvofishery, bahkan persentase tersebut dapat ditambah hingga mendekati keadaan optimum unsur bahan organik dan kalium. Hal ini sejalan dengan pernyataan Odum (1996), yang mengatakan bahwa unsur hara dalam tanah yang menjadi faktor pembatas adalah yang minimum, oleh karena itu faktor pembatas dalam penentuan rasio antara mangrove dan tambak adalah bahan organik dan kalium. Hasil analisis ke empat unsur yang menjadi indikator untuk menentukan daya dukung ekosistem mangrove pada tambak silvofishery menunjukkan bahwa bahan organik dan kalium pada rasio 60% mangrove dan 40% tambak adalah batas minimum, akan tetapi unsur nitrogen dan posfor pada rasio tersebut masih cukup tersedia bahkan sampai pada rasio 20% mangrove. Dengan demikian rasio 20% Tabel 3.
sampai 60% mangrove merupakan rasio yang ditolerir untuk dikonversi dengan status sustanaible dan rasio optimum atau optimum sustainable ratio adalah pada rasio 40% mangrove dan 60% tambak. Dampak Ekologi, Ekonomi dan Sosial Hasil kajian ekologi dan ekonomi yang dilakukan selama penelitian menyimpulkan bahwa sistem budidaya pada tambak silvofishery sebaiknya menerapkan sistem polikultur karena secara ekologi, ekonomi dan sosial mempunyai keuntungan yang lebih (Baliao & Tookwinas, 2002). Lebih lanjut Shu et al. (2006) dan An et al. (2001) menjelaskan sistem polikultur memberikan peningkatan terhadap perlindungan ekologi selain memberikan manfaat terhadap peningkatan pemanfaatan sumber daya dan penyerapan tenaga lokal. Ekologi Budidaya sistem polikultur udang windu, ikan bandeng dan rumput laut dalam satu tambak, secara ekologi ramah lingkungan, karena ketiga organisme yang dibudidayakan dapat hidup saling menguntungkan dengan membentuk simbiosis mutualisme. Persaingan ketiga organisme terhadap makanan tidak terjadi, karena jenis organisme yang dibudidayakan berbeda jenis makanannya. Udang windu dan ikan bandeng sekalipun keduanya bersifat omnivora, akan tetapi udang windu cenderung bersifat karnivora atau pemakan daging, dan ikan bandeng cenderung bersifat herbivora atau pemakan tumbuhan, sedangkan rumput laut sebagai tumbuhan air membutuhkan nutrien dalam memacu pertumbuhannya baik nutrien alami maupun
Total produksi serasah mangrove per rasio tambak silvofishery (ton ha-1 th -1) Uraian R a s i o (%) 100 : 0 60 : 40
30 : 70
20 : 80
10 : 90
Mangrove (m2) Produksi Serasah (kg) 10,000 6,000 3,000 2,000 1,000 2,103 2,136 2,040 2,149 1,967 Jumlah (ton) 21,030 12,816 6,120 4,298 1,967 Sumber : Hasil analisis (2011)
Tabel 4.
Status daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery per rasio (%) Unsur Hara (Satuan) 100 : 0
R a s i o 60 : 40
Bahan Organik (ppm) Nitrogen (ppm) Posfor (ppm) Kalium (ppm)
0,06 0,65 150,36 18,34
1,95 1,52 316,11 570,36
(%) 30 : 70
20 : 80
10 : 90
-1,27 0,23 48,26 -234,38
-1,68 0,11 21,31 -296,03
-1,94 -0,05 -12,25 -347,89
Sumber : Hasil analisis (2011) 163
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 yang berasal dari kotoran udang/ikan. Simbiosis mutualisme antara ikan bandeng dan udang windu, terjadi karena ikan bandeng dalam air dapat mencegah terjadinya stratifikasi suhu dan dapat meningkatkan oksigen terlarut dalam perairan. Peranan ikan bandeng ini sangat berguna bagi udang windu, karena udang windu sangat sensitif terhadap stratifikasi suhu dan rendahnya oksigen terlarut dalam perairan. Sedangkan terhadap rumput laut, ikan bandeng yang bersifat omnivora, cenderung memakan organisme penganggu rumput laut seperti lumut dan klekap yang menjadi pesaing dalam pemanfaatan ruang dan makanan. Ekonomi Secara ekonomi budidaya sistem polikultur di tambak sangat efisien, karena beberapa komoditi dipelihara secara bersamaan pada lahan yang sama, sehingga dapat memanfaatkan lahan secara efisien, menghemat biaya operasional seperti perbaikan konstruksi tambak, dan menghemat biaya saprodi berupa benih, pupuk, dan obat-obatan. Budidaya polikultur melalui diversifikasi dengan beberapa komoditas dapat meminimalkan resiko kerugian bagi petani tambak karena: (1) apabila terjadi musibah gagal panen diantara ketiga komoditas, dapat ditutupi oleh komoditas yang lainnya. Misalnya udang windu terserang penyakit tertentu sehingga gagal panen dapat ditutupi oleh ikan bandeng dan rumput laut, begitu pula sebaliknya, dan (2) apabila diantara ketiga komoditi tiba-tiba ada komoditas mengalami penurunan harga pada waktu panen, dapat ditutupi oleh komoditas lainnya. Rasio 40% mangrove dan 60% tambak pada tambak silvofishery apabila dikelola secara profesional dengan menerapkan budidaya sistem polikultur udang, ikan dan kepiting dapat menghasilkan produksi sebesar 1.264 kg ha-1th-1 dengan rincian sebagai berikut: udang windu sebesar 274 kg ha th-1, ikan bandeng sebesar 600 kg ha-1 th-1, udang liar 60 kg ha-1 th-1, ikan liar sebesar 80 kg ha-1 th-1, dan kepiting sebesar 250 kg ha-1 th-1. Produksi ini dapat ditingkatkan karena masih di bawah standar produksi sesuai ketersediaan bahan organik di tambak. Pada rasio tersebut ketersediaan bahan organik 1,80 ppm mampu menumbuhkan klekap sebesar 21.000 kg dengan tingkat produksi ikan sebesar 1.680 kg ha-1 th-1. Sosial Penerapan budidaya sistem tambak polikultur dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan akan berpengaruh pada indeks pembangunan manusia (IPM) dengan indikator pendidikan dan kesehatan. 164
Selain manfaat ekonomi, area sistem budidaya polikultur dapat juga bermanfaat sebagai tempat ekowisata kegiatan pendidikan dan penelitian pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum karena lokasi sistem budidaya tambak polikultur berfungsi sebagai laboratorium alam pemanfaatan jasa lingkungan secara berkelanjutan dengan mempertahankan keanekaragaman hayati (Rapey et al., 2001). KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian ekologi dan ekonomi, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) rasio yang optimum antara area mangrove dan tambak yaitu 40% mangrove dan 60% tambak; (2) desain tambak silvofishery yang adaptif dan ramah lingkungan adalah model komplangan disempurnakan yang dilengkapi parit silang menyilang pada petakan area mangrove, sehingga area mangrove ini akan berfungsi sebagai: pusat sirkulasi air, pusat biofilter, pusat siklus nutrien, dan pusat biodiversiti; dan (3) hasil kajian ekologi dan ekonomi menunjukkan bahwa sistem budidaya yang ideal diterapkan pada tambak silvofishery adalah budidaya polikultur udang, ikan dan rumput laut, karena sistem ini bersifat adaptif dan ramah lingkungan. PERSANTUNAN Makalah ini adalah bagian dari disertasi Abdul Haris Sambu pada prodi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Para penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA An, SQ. Zhang, JH. Zhang, JL. (2001). The environment and impacts of integrated silvo-pastoral system in a coastal region. Acta Phytoecol. Sin. 25 (1), 57–64 (in Chinese with English summary). Baliao, D., & Tookwinas, S. (2002). Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Souttheast Asian Fisheries Development Center. Bengen, D.G. 2002 Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. ( PKSPL-IPB). Beukeboom, H. Lai, C K., & Otsuka, M. (1992). Report of the Regional Expert Consultation on Participatory Agroforestry and Silvofisherry System in Southeast Asia-Pacifik Agroforestry
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) Network. Dahuri, R. Rais, J. Ginting S.P., & Sitepu M.J. (1996). Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Pramita Jakarta. Denila L. (1987). Layout Desain Construction and Levelling of Fishpond. Readings on Aquaculture Practices, SEAFDEC. Aquaculture Department, Iloilo, Philippines. DKP. 2010. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai. Kabupaten Sinjai. Mintardjo, K. & Sunaryanto, A. Utamitiningsih & Hermianingsih (1985). Pedoman Budidaya Tambak. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Odum, E.P. (1996). Dasar Dasar Ekologi Edisi Ketiga Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Poernomo, A. (1992). Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Seri Pengembangan Hasil Pertanian No. PHP/ KAN/ PATEK /004/1992. Rapey, H. Lifran, R. & Valadier, A. (2001). Identifying social, economic and technical determinants of silvopastoral practices in temperate uplands: results of a survey in the Massif Central region of France. Agroforest. Syst. 69, 119–135. Sasekumar, A. and Loi, J.J. (1983). Litter production in three mangrovre forest zones in the Malay Peninsula Aquatic Botany Vol.17, p: 283-290. Shu, QA. Fen, MZ, Jiu, HZ, Xing, LC, Mao. SL, and Cheng, H. (2006). Alternative methods for sustainably managing coastal forests as silvopastoral systems. Ecological Engineering 26 (2006) 195–205. Sofyan (2001). Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. SuatuTantangan dan Peluang. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Supriharyono (2005). Konservasi Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
165