ANALISIS FINANSIAL HUTAN TANAMAN RAKYAT KARET DAN SENGON DI KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI JAMBI Ahyauddin1, Abubakar M. Lahjie2 dan Siti Balkis3 1
2
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Laboratorium 3 Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan, Unmul. Laboratorium Sosial, Ekonomi & Agribisnis Faperta Unmul, Samarinda
ABSTRACT. Financial Analysis of Society Plantation Forest of Rubber and Sengon at Sarolangun District, Jambi Province. Generally, a part of forest area in Sarolangun had been used by people, especially for farming and planting activities. If the area is not driven to the real policy, it will impact to the transformation of forest area function to be gardening and farming or other economic activities. The Society Plantation Forest must be driven to enlarge the forest usage for wood industries and to create the job vacancy. The main purposes of this research were (1) to study financially the effort of Society Plantation Forest of tapped rubber and non tapped rubber trees and also sengon trees of monoculture pattern in Taman Bandung Village, (2) to get a perspective of Society Plantation Forest development in monoculture pattern for tapped and non tapped rubber as well as for sengon at Taman Bandung Village. Based on the financial analysis of Net Present Value (NPV), Net B/C and IRR at interest rate of 5%, the effort of tapped rubber had a value of Rp299,061,000; 7.54 and 26.3% respectively, while the sengon effort had a value of Rp.19,698,000; 1.44 and 11.8% respectively. The effort of non tapped rubber had a negative value of Rp36,982,000; 0.59 and unworthy bussiness. The annual average value of income and the effort scale of tapped rubber was Rp16,473,487 and 3 hectares respectively, while sengon was Rp2,550,981 and 20 hectares respectively, then the sengon effort required wider area than the tapped rubber. From the research results, it can be suggested that: (1) for the non tapped rubber effort it should be better if the people select seedlings from a clone that can make the wood quality be better to obtain the higher selling price. (2) it is suggested that in the year before the rubber trees produce latex, it should be better to plant the area with agricultural crops and vegetables to optimalize the land usage and to provide added value to the farmers. Kata kunci: finansial, hutan tanaman rakyat, karet, sengon, Sarolangun
Hutan merupakan aset negara yang memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat tidak langsung. Hutan juga sebagai sumberdaya yang dapat menyediakan barang dan jasa untuk keperluan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, pengolahan hutan di suatu wilayah telah menjadikan hutan sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan ekonomi. Pengolahan hutan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi, antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, serta mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi (Santoso, 2008). Pembangunan kehutanan harus makin diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan hutan bagi industri dalam negeri sehingga dapat menghasilkan nilai 15
16
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
tambah dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya. Dengan adanya pembangunan di sektor kehutanan, seperti pembangunan hutan tanaman rakyat diharapkan memiliki peranan yang cukup besar dalam peningkatan sosial ekonomi masyarakat setempat. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan (Anonim, 2007). Kabupaten Sarolangun memiliki industri pengolahan hasil hutan dengan kapasitas terpasang seluruhnya sebesar 95.700 m3/tahun. Jika rendemen industri yang ada rata-rata sebesar 60%, maka paling sedikit dibutuhkan bahan baku kayu bulat sebanyak 133.960 m3/tahun. Sementara itu berdasarkan catatan statistik, produksi kayu bulat Kabupaten Sarolangun pada tahun 2004, 2005 dan 2006 masing-masing baru mencapai 92.7773,98 m3, 41.311,51 m3 dan 48.485,06 m3. Terjadi defisit bahan baku hampir sebesar 40.000–90.000 m3 setiap tahunnya, dengan demikian mengingat kebutuhan bahan baku kayu yang masih cukup tinggi, maka pasokan dari hutan tanaman rakyat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut (Anonim, 2008). Dalam upaya pengembangan hutan tanaman rakyat, pembudidayaan dan pengembangan produksi serta mekanisme tata niaga tanaman hutan tanaman rakyat perlu tertata dan terarah secara optimal dengan kepastian produksi dan sistem pemasaran yang memberikan nilai harapan bagi masyarakat perlu tersosialisasikan kepada masyarakat atas dukungan pemerintah daerah dan instansi terkait yang diharapkan semua investasi yang ditanam dalam pengembangan hutan tanaman rakyat yang akan datang akan lebih baik. Areal pengembangan hutan tanaman rakyat diarahkan dengan pola tanam monokultur untuk semua jenis tanaman hutan berkayu. Mayoritas petani hutan tanaman rakyat memilih jenis tanaman karet dan sengon dalam pengembangan program hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun. Dari uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam melalui kriteria finansial mana yang lebih layak dari kedua jenis tanaman tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Waktu yang diperlukan mencapai kurang lebih 4 bulan yaitu sejak bulan Februari 2010 sampai dengan bulan Mei 2010. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah kawasan hutan tanaman rakyat di Desa Taman Bandung serta tanaman jangka pendek dan jangka tanaman jangka panjang yang diusahakan oleh oleh petani atau masyarakat di Kabupaten Sarolangun yaitu: Tegakan Karet Tanpa Sadap (Hevea brasiliensis) umur 3, 5, 12, 25 dan 30 tahun dengan luas plot masing-masing daur 1 ha. Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) yang disadap berumur 5, 10 12, 14, 18, 20 dan 25 tahun dengan luas plot masing-masing 1 ha dan tegakan sengon (Falcataria moluccana) berumur 2, 4, 6, 8 dan 10 tahun dengan luas plot masing-masing 1 ha.
Ahyauddin dkk. (2010). Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat
17
Sumber data dalam penelitian ini adalah didasarkan atas data primer dan data sekunder. Data primer dimaksud adalah pengamatan langsung pada objek penelitian, data yang diperlukan untuk menganalisis finansial pengelolaan hutan tanaman rakyat yang diperoleh dari hasil wawancara dengan petani responden meliputi biaya pembuatan, biaya pemeliharaan, biaya penanaman serta perkiraan produksi (tanaman karet dan sengon). Data sekunder adalah data atau informasi yang telah disajikan dalam bentuk tulisan atau dokumentasi berupa data statistik maupun hasil penelitian yang diperoleh dari dinas/instansi atau lembaga terkait dalam keperluan penelitian meliputi: monografi desa daerah penelitian, statistik kabupaten daerah penelitian, laporan tahunan kabupaten daerah penelitian. Analisis finansial meliputi data yang menyangkut pembiayaan seperti biaya tetap dan biaya variabel ditabulasikan dalam kelompok biaya (cost), sedangkan komponen output berupa produksi kayu dan non kayu selama tanaman produktif pada akhir daur ditabulasikan dalam kelompok hasil (yield). Harga yang dipakai adalah harga yang berlaku pada saat penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis kelayakan secara finansial pada tingkat bunga 5%. Kelayakan finansial hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun dianalisis dengan menggunakan beberapa kriteria investasi menurut Kadariah (1986) sebagai berikut: Jangka Waktu Pengembalian (payback period), Nilai Kiwari Bersih (net present value/NPV), Rasio Manfaat – Biaya (net benefit cost ratio/net B/C), Tingkat Pengembalian Internal (internal rate of return/IRR) dan nilai uang yang dapat dibayarkan setiap tahun (equivalent annual annuity/EAA) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengusahaan Hutan Tanaman Rakyat Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Sarolangun yang telah diberi ijin oleh Departemen Kehutanan melalui SK Menhut nomor 386/MenhutII/2008 tanggal 7 November 2008 tentang pencadangan areal Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Sarolangun seluas 18.840 ha terdiri dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Sarolangun, Kecamatan Pauh dan Kecamatan Mandiangin dan meliputi 11 desa yaitu Taman Bandung, Sepintun, Lamban Sigatal, Lubuk Napal, Seko Besar, Ladang Panjang, Pangidaran, Pemusiran, Rangkiling Simpang dan Mandiangin Pasar. Saat ini di Desa Taman Bandung yang sudah dimulai kegiatannya dan telah mendapat perijinan pemanfaatan kawasan hutan (IUPHHKHTR) sebanyak 4 buah kelompok tani dengan 19 anggota pada luas 166,66 ha. Proses pengembangan program HTR di Kabupaten Sarolangun yang telah dilaksanakan di Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh difasilitasi secara aktif oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun (Dinas Kehutanan dan Perkebunan) maupun masyarakat sendiri sebagai pelaku utama kegiatan di lapangan. Jenis tanaman yang paling diminati oleh masyarakat adalah karet dan sengon. Kelayakan tanaman tersebut adalah baik secara fisik (lokasi), sosial dan prospek pasarnya. Lokasi pabrik pengolahan kayu (playwood) dan pengolahan lateks terletak tidak terlalu jauh dari lokasi pencadangan areal HTR. Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa perkayuan adalah PT Gema Nusa Lestari yang berlokasi di Desa Ampelu Muda
18
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
Muara Jambi yang berjarak ±90 km dari lokasi terjauh areal HTR. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengolahan lateks adalah PT Kirana Windu yang berlokasi di Sarolangun Waras yang berjarak ±50 km dari ibukota kabupaten. Potensi Karet Tanpa Sadap Jarak tanam pengusahaan tanaman karet adalah 7x3 m atau 480 pohon/ha. Selama umur 3 tahun hingga 25 tahun mengalami kematian sebanyak 40%. Kematian ini disebabkan adanya kualitas semai dan penyakit tanaman. Produksi tanaman karet dapat ditabulasikan sebagai berikut: Tabel 1. Produksi Tanaman Karet Tanpa Sadap Umur ke n d (cm) h (m) TV (m3) MAI (m3/ha) CAI (m3/ha/th) 3 432 15,0 8,5 48,6 16,21 5 380 20,3 10,6 84,7 16,94 18,03 12 350 33,5 11,5 212,8 17,73 18,29 25 300 49,0 14,6 454 18,16 18,56 30 250 55,0 16,6 492,6 16,42 7,74 Keterangan: n = indivividu pohon. TV = total volume. MAI = mean annual increment. CAI = current annual increment. d = diameter (cm). h = tinggi (m).
Pada Tabel 1 terlihat, bahwa penjarangan dan kematian menunjukkan pertambahan riap diameter dan riap volume sampai pada umur 12 tahun dan setelah umur 12 tahun penjarangan kurang berpengaruh terhadap riap tahunan (MAI) untuk tegakan tinggal (standing stock). Ini menunjukkan, bahwa riap rata-rata MAI untuk tegakan tinggal tanaman karet tanpa sadap pada umur 25 tahun ke 30 tahun mengalami penurunan dari 18,1616 m3/ha menjadi 16,42 m3/ha. Penjarangan dilakukan dari umur 3 tahun, yang mana setiap tahun sekitar 10% tanaman karet tanpa sadap dikurangi hingga tahun ke 12, dengan tujuan untuk memperoleh produksi riap maksimal. Secara grafis riap tanaman karet yang tidak disadap dapat ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
R iap(m3/ha/thn)
20.00 15.00 10.00
MA I C AI
5.00 0.00 0
10
20
30
40
Um ur (thn)
Gambar 1. Grafik Hubungan Riap dan Umur Karet Tanpa Sadap (Data dari Tabel 1)
Ahyauddin dkk. (2010). Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat
19
Pada Gambar 1 terlihat, bahwa perpotongan MAI dan CAI pada umur 25 tahun menunjukkan riap maksimal pada tahun ke 25, namun usaha tetap dilanjutkan sampai umur 30 tahun karena secara finansial belum dapat menguntungkan. Riap maksimal sebesar 18,16 m3/ha yang dicapai pada umur 25 tahun berdiameter 49 cm. Produksi Karet Sadap Tanaman karet dapat disadap sekitar umur 7 tahun atau berdiameter di atas 20 cm hingga umur 25 tahun. Produksi getah karet (lateks) dapat dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi Getah Karet Tahun ke Produksi (kg/ha) AP MP 7 3.780 540 8 4.320 540 540 9 4.870 541 550 10 5.425 543 555 11 5.985 544 560 12 6.550 546 565 13 7.120 548 570 14 7.700 550 580 15 8.400 560 700 16 9.050 566 650 17 8.500 500 -550 18 7.900 439 -600 19 7.200 379 -700 20 6.400 320 -800 21 5.500 262 -900 22 4.450 202 1050 23 3.250 141 1200 24 1.950 81 1300 25 600 24 1350 AP = produksi rata-rata tahunan. MP = pertambahan produksi rata-rata tahunan berjalan
Pada Tabel 2 dapat dijelaskan, bahwa umur 7 tahun karet dapat disadap dengan jumlah produksi 3.780 kg. Sampai umur ke-16, produksi getah karet mengalami kenaikan dengan jumlah produksi sebesar 9.050 kg dan setelah umur 16 tahun, produksi getah karet mengalami penurunan hingga umur 25 tahun. Kecenderungan kenaikan produksi getah karet dari umur 7 hingga 16 tahun menunjukkan angka kenaikan linier. Ada beberapa hal yang menjadi landasan mengapa dicapainya produksi maksimum pada tahun ke-16 antara lain tahun ke-16 adalah tahun terakhir penyadapan terhadap kulit perawan (virgin bark), setelah tahun tersebut sudah dilakukan penyadapan terhadap kulit pulihan (renewable bark). Hal ini juga menurut Siregar (1995), bahwa pembuluh lateks bertambah sesuai dengan pertambahan umur tanaman dan dicapainya produksi maksimum tanaman karet pada saat tanaman berumur 1517 tahun. Hubungan antara produksi getah karet dengan umur dapat dilihat pada Gambar 2.
20
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
P roduks i (kg /Ha)
1,000 500 0
5
10
15
20
25
30
(500)
AP MP
(1,000) (1,500) UMUR (thn)
Gambar 2. Grafik Produksi Getah Karet (Data dari Tabel 2)
Pada Gambar 2 terlihat bahwa produksi rata-rata lateks dari umur 7 hingga 16 tahun menunjukkan kenaikan, begitu pula dengan pertambahan rata-rata tahunan lateksnya. Setelah umur 16 tahun, produksi rata-rata lateks mengalami penurunan yang signifikan, sedangkan pertambahan produksi rata-rata tahunan lateks mengalami penurunan hingga angka negatif. Hal ini berarti bahwa produksi maksimal hanya biasa dicapai pada umur 16 tahun dan setelah itu produksinya mengalami penurunan, namun secara finansial masih bisa menghasilkan pendapatan. Jika dibandingkan antara riap karet yang disadap dengan karet yang tidak disadap, ternyata riap karet yang disadap lebih kecil daripada riap karet yang tidak disadap, hal ini disebabkan karena karet yang disadap pertumbuhan riapnya dipengaruhi oleh kegiatan penyadapan pengambilan getah karet. Oleh karena itu pertumbuhan riapnya lebih lambat daripada karet yang tidak disadap. Volume produksi riap karet yang disadap dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Volume Produksi Riap Karet yang Disadap Umur n d H TV MAI CAI ke cm M m3 m3/ha m3/ha/th 5 456 15,0 10,0 60,4 12,1 10 433 22,5 12,2 136,5 13,6 15,2 12 412 25,5 13,3 167,8 13,9 15,7 14 400 28,7 14,1 200,6 14,3 16,4 18 371 35,6 14,2 262 14,6 15,4 22 360 39,2 14,4 281,3 12,8 4,8 25 350 41,9 15,0 289,5 11,6 2,7 n = individu pohon. TV = total volume. MAI = Mean Annual Increment. CAI = Current Annual Increment. d = diameter (cm). h = tinggi (m).
Karet yang disadap mengalami kenaikan riap MAI tegakan tinggal (standing stock) dari umur 5 tahun hingga umur 18 tahun dan riap maksimal dicapai pada umur 20 tahun sebesar 14,7 m3/ha, setelah itu riap mengalami penurunan pada umur
Ahyauddin dkk. (2010). Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat
21
R iap(m/ha/thn)
25 tahun. Berkurangnya populasi tegakan dari umur 5 tahun hingga 25 tahun sebesar 2030% akibat kematian dan perlakuan penjarangan. Secara garis besar hubungan riap dapat dilihat pada Gambar 3.
18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
MA I CA I
0
10
20
30
Um ur (th)
Gambar 3. Grafik Riap Karet yang Disadap (Data dari Tabel 3)
Potensi Tegakan Sengon Proyeksi volume kayu sengon dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 dapat dilihat, bahwa F. moluccana diperkirakan dapat dipanen pada umur 810 tahun dan mempunyai volume total sebesar 306 m3, sedangkan diameter rata-rata sebesar 36 cm dan rata-rata MAI tegakan tinggal (standing stock) adalah 30,6 m3/ha. Berkurangnya populasi pohon setiap umur berkisar antara 1520% akibat kematian alam dan kegiatan penjarangan yang bertujuan untuk mengurangi persaingan antara pohon dalam hal pengambilan hara, cahaya matahari dan yang paling penting adalah untuk memperbesar riap. Grafik riap volume rata-rata dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 4. Volume Sengon (Falcataria moluccana) 3
3
3 MAI (m /ha) CAI (m /ha) TV (m ) Umur (thn) N d (cm) h (m) 2 944 13,5 8,8 64,2 32,1 4 802 20,0 10,1 134,8 33,7 35,3 6 682 26,0 11,3 212,4 35,4 38,9 8 545 31,5 12,5 270,4 33,8 29,0 10 436 36,0 13,8 306 30,6 17,7 TV = total volume (m3). n = jumlah pohon per hektar. d = diameter setinggi dada (cm). h = tinggi (m)
Riap volume rata-rata sengon mengalami kenaikan mulai umur 2 tahun hingga umur 6 tahun, sedangkan setelah umur 6 tahun, MAI dan CAI mengalami penurunan. Dari gambar 4 dapat dilihat juga bahwa berkurangnya populasi pohon sengon per hektar (di bawah umur 2 tahun) diakibatkan karena kematian secara alami. Panen hasil penjarangan dilakukan pada umur 6 tahun sebesar 213 m3 dan
22
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
R iap (m3/ha/thn)
setelah umur 8 tahun terdapat panen antara sebesar 271 m3 serta diperkirakan tegakan sengon mencapai riap tertinggi dengan diameter kayu terbesar 36 cm pada tahun penebangan berumur 10 tahun dengan volume sebesar 306 m3, tinggi pohon 13,8 m dan riap rata-rata tahunan sengon sebesar 36,0 m3/ ha.
50.0 40.0 30.0 20.0
MA I
10.0
C AI
0.0 0
5
10
15
Um ur (thn)
Gambar 4. Grafik MAI dan CAI Sengon (Data dari Tabel 4)
Pendapatan Karet dan Sengon Pohon karet dapat disadap mulai umur 7 sampai 25 tahun dan dengan harga jual sebesar Rp10.000/kg. Besarnya pendapatan dari panen getah karet dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Total Pendapatan Pengusahaan Karet Sadap Tahun ke 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Hasil produksi (kg/ha) 3.780 4.320 4.870 5.425 5.985 6.550 7.120 7.700 8.400 9.050 8.500 7.900 7.200 6.400 5.500 4.450 3.250 1.950 600
Harga (Rp) 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Pendapatan (Rp) 37.800.000 43.200.000 48.700.000 54.250.000 59.850.000 65.500.000 71.200.000 77.000.000 84.000.000 90.500.000 85.000.000 79.000.000 72.000.000 64.000.000 55.000.000 44.500.000 32.500.000 19.500.000 6.000.000
Ahyauddin dkk. (2010). Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat
23
Pada Tabel 5 dapat dijelaskan, bahwa pada umur 7 hingga umur 16 tahun terdapat kenaikan pendapatan dari Rp37.800.000 hingga Rp90.500.000 dan setelah tahun ke-16 hingga ke-25 mengalami penurunan. Berkurangnya produksi karet juga mempengaruhi besarnya pendapatan, karena pendapatan juga berkurang seperti Tabel 5. Pada karet tanpa sadap dan sengon, pendapatan berasal dari hasil penjarangan, hasil panen antara dan panen akhir. Pada tahun ke-12, karet tanpa sadap memperoleh pendapatan sebesar Rp19.170.00; panen antara sebesar Rp77.180.000 dan panen akhir sebesar Rp123.250.000, sedangkan pendapatan dari sengon yang berasal dari panen hasil penjarangan sebesar Rp19.171.000; pendapatan dari panen antara sebesar Rp46.070.000 dan panen akhir sebesar Rp76.500.000. Analisis Finansial Biaya-biaya yang diperlukan dalam pengusahaan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi pajak bumi dan bangunan serta upah/gaji pekerja, sedangkan biaya variabel meliputi biaya perencanaan, biaya persiapan lahan, penyediaan bibit dan pengangkutannya, penanaman, penyulaman, penyiangan, penjarangan, pemeliharaan, pembuatan pondok jaga, pembelian pupuk dan peralatan dan biaya pemanenan. Rincian biaya yang diperlukan dalam pengelolaan lahan pada masing-masing tegakan mempunyai daur yang berbeda. Nilai investasi untuk masing-masing pengusahaan hutan tanaman berbeda-beda dan tergantung dari jenis tegakan yang akan diusahakan. Nilai investasi untuk masing-masing tegakan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Investasi Pengusahaan Hutan Tanaman Rakyat Tegakan Karet sadap Karet tanpa sadap Sengon
Nilai investasi (Rp) 51.719.000 70.519.000 40.709.000
Dari Tabel 6 dapat dijelaskan, bahwa pengusahaan sengon memerlukan investasi yang paling kecil jika dibandingkan dengan karet sadap dan karet tanpa sadap. Hal ini disebabkan karena sengon mempunyai daur/rotasi yang paling pendek dibandingkan dengan tegakan karet yang diusahakan oleh petani, sehingga cepat memberikan hasil panen. Selain itu jenis sengon lebih cepat pertumbuhan riapnya hal ini bisa dilihat dari potensi tegakan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam proses analisis finansial digunakan nilai-nilai aktual pada saat ini berdasarkan rupiah dengan indikator US Dollar yang berlaku tahun 2010, karena nilai US Dollar diasumsikan stabil terhadap nilai rupiah. Menurut informasi dari PT Kirana Windu (2010) bahwa harga getah karet sebesar Rp15.150/kg; harga karet tanpa sadap menurut PT GNL (2010) sebesar Rp320.000/m3, sedangkan harga sengon sebesar Rp300.000/m3. Atas dasar harga di atas dapat ditentukan nilai jual harga kayu masing-masing tegakan dengan memperhatikan faktor risiko dan faktor keselamatan.
24
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
1. Analisis finansial pengusahaan karet sadap. Investasi awal pengusahaan karet sadap sebesar Rp51.719.000, sedangkan biaya total untuk keseluruhan kegiatan penanaman karet selama 25 tahun sebesar Rp336.709.000 dan pendapatan kotornya sebesar Rp1.089.500.000, maka usaha tersebut mempunyai nilai manfaat (B/C Ratio) sebesar 3,1. Produksi getah lateks dapat dipanen mulai umur 6 hingga umur 25 tahun dan mencapai produksi maksimal pada umur 16 tahun sebagaimana data Tabel 2 dan dihitung secara finansial pada tingkat bunga 5%, dihasilkan nilai Net Present Value (NPV) serta Net B/C sebesar Rp299.061.000 dan 7,54. Simulasi tingkat bunga ini masih layak hingga tingkat bunga 15%. Pernyataan ini diperkuat oleh analisis model Internal Rate of Return (IRR) dengan nilai 26,3%. Jika petani meminjam uang ke bank sebesar Rp10.500.000 dengan tingkat bunga pinjaman 8% dan diangsur selama 5 tahun, dibayar mulai umur 8 tahun, maka besarnya angsuran adalah sebesar Rp7.160.000. Hasil tersebut menunjukkan, bahwa tegakan karet yang disadap pada tingkat bunga 515% layak untuk diusahakan karena nilainya positif dan lebih besar dari Minimum Accestability Rate (MAR = 5%). 2. Analisis finansial pengusahaan karet tanpa sadap. Investasi awal pengusahaan karet tanpa sadap sebesar Rp70.519.000, sedangkan biaya total untuk keseluruhan kegiatan penanaman karet tanpa sadap selama 30 tahun sebesar Rp152.376.000 dan pendapatan kotornya sebesar Rp219.600.000, maka usaha tersebut mempunyai nilai manfaat (B/C Ratio) sebesar 1,4. Produksi kayu karet dapat dipanen mulai umur 12 tahun sebesar 213 m3 sebagai panen hasil penjarangan, sedangkan umur 25 tahun mempunyai produksi kayu sebesar 454 m3 dengan harga jual sebesar Rp300.000/m3, dan panen akhir pada umur 30 tahun dengan produksi sebesar 493 m3 sebagaimana data Tabel 1 dan dihitung secara finansial bahwa pada tingkat bunga 5%, didapatkan nilai Net Present Value (NPV) dan Net B/C sebesar negatif Rp36.982.000 dan 0,59. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat bunga 5%, usaha karet yang tidak disadap tidak layak untuk diusahakan. Hasil tersebut di atas menunjukkan, bahwa tegakan karet yang tidak disadap pada tingkat bunga 5% tidak layak untuk diusahakan karena nilainya negatif dan lebih kecil dari Minimum Accestability Rate (MAR = 5%). 3. Analisis finansial pengusahaan sengon. Investasi awal pengusahaan sengon sebesar Rp40.709.000, sedangkan biaya total untuk keseluruhan kegiatan penanaman sengon selama 10 tahun sebesar Rp84.283.000 dan pendapatan kotornya sebesar Rp141.741.000, maka usaha tersebut mempunyai nilai manfaat (B/C Ratio) sebesar 1,7. Tegakan sengon dijarangi pada umur 6 tahun sebesar 213 m3 dengan harga sebesar Rp100.000/m3, panen antara pada umur 8 tahun sebesar 271 m3 dengan harga Rp200.000/m3, sedangkan kayu sengon yang dijadikan sebagai kayu bakar yang berasal dari penjarangan, panen antara dan panen total dengan harga Rp50.000/m3. Kayu sengon siap dipanen pada umur 10 tahun dengan total volume kayu sebesar 306 m3. Dari keterangan tersebut dapat dijelaskan bahwa pada tingkat bunga 5%, nilai Net Present Value (NPV) dan Net B/C sebesar Rp19.698.000 dan 1,44. Jika petani meminjam modal ke bank sebesar Rp8.000.000 dengan tingkat bunga 8%, maka dapat diangsur selama 5 kali sebesar Rp4.150.000. Pernyataan ini
Ahyauddin dkk. (2010). Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat
25
diperkuat oleh analisis model Internal Rate of Return (IRR) dengan nilai 11,8%. Hasil tersebut menunjukkan, bahwa tegakan sengon pada tingkat bunga 5% layak untuk diusahakan, karena nilainya positif dan lebih besar dari Minimum Accestability Rate (MAR = 5%). Secara garis besar analisis finansial pengusahaan hutan tanaman dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rekapitulasi Analisis Finansial Pengusahaan Hutan Tanaman Tegakan Karet sadap Karet tanpa sadap Sengon
PP (thn) 8,1 29,5 9,1
NPV (Rp) 299.061.000 (-) 36.982.000 19.689.000
Net B/C 7,54 0,59 1,44
IRR (%) 26,3 0 11,8
Dari Tabel 7 dapat dijelaskan, bahwa pengusahaan karet sadap dan sengon pada tingkat diskon faktor 510% layak untuk diusahakan sesuai dengan daur umurnya, sedangkan karet yang tidak disadap tidak layak untuk diusahakan karena nilai NPVnya negatif dan Net B/C-nya kurang dari 1 yang berarti usaha tersebut tidak layak untuk diusahakan dan indikator finansial masing-masing sebagaimana tertulis dalam Tabel 7. Dari ketiga pengusahaan tegakan diatas ternyata karet sadap paling layak untuk diusahakan karena mempunyai nilai finansial yang paling layak di antara kedua jenis tegakan tersebut di atas, yaitu tingkat pengembalian modal yang paling cepat di antara keduanya dan tingkat IRR-nya di atas 20%, disusul dengan pengusahaan sengon, maka karet yang disadap dan sengon cukup layak untuk direkomendasikan ke petani untuk diusahakan di Kabupaten Sarolangun, sedangkan karet yang tidak disadap tidak layak direkomendasikan kepada petani karena tidak membawa keuntungan (merugi). Skala Usaha Pengusahaan Hutan Tanaman oleh Petani Pengusahaan hutan tanaman di Kabupaten Sarolangun tidak terlepas dari luas lahan yang akan diusahakan oleh para petani. Luas lahan ini terkait dengan skala usaha. Skala usaha merupakan perbandingan antara jumlah pengeluaran konsumsi tiap keluarga petani/tahun dengan pendapatan rata-rata tahunan (Equivalent Annual Annuity). Dalam satu keluarga petani diasumsikan terdiri dari 5 anggota keluarga dengan pengeluaran konsumsi tiap kepala keluarga petani/tahun sebesar Rp50.000.000/KK/tahun, maka skala usaha pengusahaan luas lahan petani dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Skala Usaha Pengusahaan Hutan Tanaman Tegakan Karet sadap Sengon
Rotasi (thn) 25 10
Jarak tanam (m) 7x3 3x3
Lokasi Jambi Jambi
EAA (Rp) 16.973.487 2.550.981
Skala usaha (ha) 3 20
26
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
Dari Tabel 8 dapat dijelaskan, bahwa masing-masing tegakan mempunyai skala usaha yang berbeda-beda. Karet yang disadap mempunyai skala usaha 3 ha dengan rotasi 25 tahun yang lebih sempit daripada tegakan sengon dengan daur rotasi 10 tahun mempunyai skala usaha 17 ha. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa pengusahaan karet yang disadap memerlukan luas lahan yang lebih sempit daripada pengusahaan sengon yang memerlukan luas lahan yang paling besar, sedangkan karet yang tidak disadap memang tidak layak diusahakan, karena secara finansial menunjukkan hasil yang negatif, jadi tidak memiliki skala usaha. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Potensi (total volume dan riap) karet yang tidak disadap pada rotasi umur 30 tahun sebesar 454 m3 dan riap MAI untuk tegakan tinggal (standing stock) adalah 18,16 m3/ha, sedangkan karet yang disadap rotasi 25 tahun sebesar 262 m3 dengan riap MAI untuk tegakan tinggal (standing stock) adalah 14,56 m3/ha, sengon pada rotasi 10 tahun sebesar 306 m3 dengan riap MAI untuk tegakan tinggal (standing stock) adalah 30,60 m3/ha. Berdasarkan analisis finansial Net Present Value (NPV), Net B/C dan IRR pada tingkat bunga 5% berturut-turut karet yang disadap mempunyai nilai Rp299.061.000, 7,54 dan 26,3%, pengusahaan sengon mempunyai nilai Rp19.698.000, 1,44 dan 11,8% sedangkan karet yang tidak disadap mempunyai nilai negatif Rp36982.000, 0,59 dan tidak layak untuk diusahakan. Nilai pendapatan rata-rata tahunan (EAA) dan skala usaha karet sadap adalah Rp16.473.487 dengan skala usaha 3 ha, sedangkan sengon sebesar Rp2.550.981 dan 20 ha. Pengusahaan sengon memerlukan luas lahan yang paling besar, sedangkan pengusahaan karet yang disadap memerlukan luas lahan yang lebih sempit. Karet tanpa disadap memang tidak layak diusahakan karena secara finansial menunjukkan hasil yang negatif, jadi tidak memiliki skala usaha. Saran Untuk pengusahaan karet tanpa sadap sebaiknya memilih bibit dari klon yang menghasilkan kualitas kayu lebih baik untuk memperoleh harga jual yang tinggi. Disarankan pada tahun sebelum tanaman berproduksi sebaiknya menanami lahan dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran guna untuk optimalisasi penggunaan lahan dan memberikan nilai tambah pada petani. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. Anonim. 2008. Proposal Pencadangan Areal Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Kerja Sama antara EC-Indonesia FLEGT SP dengan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Dinas Kehutanan Kabupaten Sarolangun.
Ahyauddin dkk. (2010). Analisis Finansial Hutan Tanaman Rakyat
27
Kadariah. 1986. Evaluasi Proyek, Analisis Ekonomis. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Edisi Ke-2. h 3955. Santoso, B. 2008. Kebocoran Hutan dan Anomali Illegal Logging. Wana Aksara, Jakarta. Siregar, T.H.S. 1995. Teknik Penyadapan Karet. Kanisius, Yogyakarta.