UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
OLEH
MIRZAH FIKRIATI A24053678
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
Mirzah Fikriati A24053678
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN MIRZAH FIKRIATI. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. (Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS dan DESTA WIRNAS). Upaya ekstensifikasi pertanaman kedelai yang dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering di bawah tegakan tanaman perkebunan menghadapi kendala rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman kedelai sehingga dibutuhkan genotipe kedelai yang adapatif terhadap naungan. Galur kedelai toleran naungan yang dihasilkan pemulia IPB selanjutnya membutuhkan pengujian daya hasil untuk memastikan galur tersebut memiliki produktivitas tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji daya hasil beberapa galur kedelai toleran naungan yang ditanam di bawah tanaman perkebunan, khususnya karet berumur 3 tahun, sebagai tanaman sela, serta bertujuan mendapatkan informasi mengenai keragaan karakter agronomi galur-galur kedelai toleran naungan. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2009 di perkebunan karet rakyat Desa Sungai Merah, Kabupaten sarolangun, Jambi. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas 10 galur kedelai toleran naungan dan 4 varietas pembanding sehingga terdapat 42 satuan percobaan. Galur-galur kedelai toleran naungan yang dievaluasi tidak menunjukkan perbedaan nyata pada setiap stadia pertumbuhan vegetatif tetapi galur-galur tersebut menunjukkan perbedaan sangat nyata pada stadia pertumbuhan generatifnya. Galur-galur kedelai toleran naungan tersebut juga berbeda nyata pada beberapa karakter agronomi yang diamati kecuali pada karakter jumlah polong hampa. Terdapat beberapa galur yang memiliki karakter agronomi, karakter komponen hasil, dan karakter hasil, yang lebih baik dari nilai tengah varietas toleran naungan yang digunakan sebagai pembanding, yaitu varietas Ceneng dan Pangrango. Hampir semua galur yang dievaluasi bahkan menunjukkan keragaan komponen hasil dan hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding toleran kekeringan, yaitu Sibayak dan Tanggamus. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa pada galur-galur kedelai toleran naungan yang dievaluasi selain memiliki karakter adaptif terhadap intensitas cahaya rendah (naungan), juga memiliki karakter daya adaptasi dan daya hasil yang lebih baik pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil pengujian galur-galur kedelai toleran naungan di bawah tegakan karet menunjukkan adanya perbedaan daya hasil di antara galur-galur tersebut dan terhadap varietas pembanding yang digunakan. Galur SC 21-5, SC 39-1, dan SP 30-4 merupakan tiga galur terbaik berdasarkan karakter bobot 100 butir sementara galur CG 22-10, GC 22-10, dan SC 21-5 adalah tiga galur terbaik berdasarkan karakter hasil biji per petak. Galur-galur tersebut memiliki hasil biji yang lebih tinggi dibandingkan galur-galur harapan lainnya dan dibandingkan dengan nilai tengah hasil biji pada varietas pembanding. Galur-galur terpilih tersebut selanjutnya dapat direkomendasikan untuk pelepasan varietas.
Judul
: UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
Nama
: Mirzah Fikriati
NRP
: A24053678
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc NIP. 19620102 199702 2 001
Dr. Desta Wirnas, SP. M.Si NIP. 19701228 200003 2 001
Mengetahui. Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP. 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari Bapak Machmudi Duliman dan Ibu Maryati. Tahun 1999 penulis lulus dari SDN Pondok Kopi 04 Pagi di Jakarta, kemudian pada tahun 2002 penulis menyelesaikan studi di MTs Al-Zaytun, Indramayu. Selanjutnya penulis lulus dari SMAN 12 Jakarta pada tahun 2005. Penulis diterima di IPB melalui SPMB pada tahun 2005, dan tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Tahun 2007 sebagai staf Divisi Kewirausahaan Himagron (Himpunan Mahasiswa Agronomi), dan pada tahun yang sama penulis menjadi anggota UKM Kewirausahaan Century. Selanjutnya tahun 2008 sebagai staf Divisi Sosial Lingkungan Badan Eksekutif Mahasiswa Faperta IPB. Penulis juga berpartisipasi di dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen (MPD) 2008, kompetisi olahraga Faperta (U Cup), serta menjadi ketua acara Peduli Masyarakat Faperta (PERMATA).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan, rahmat, dan hidayah sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Atas terselesaikannya penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Ayahanda Machmudi Duliman, Ibunda Maryati, Mas Aul, Mas Afi, Bibi Atun, dan segenap keluarga besar penulis, atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus, serta motivasi dan dukungan yang selalu diberikan baik moral, spiritual, maupun material.
2.
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc dan Dr. Desta Wirnas, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan, serta bimbingan selama penulis melakukan penelitian serta selama proses penyusunan dan penulisan skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi yang telah bersedia menjadi penguji dalam sidang skripsi penulis. Terima kasih pula atas masukan-masukan yang diberikan selama pelaksanaan sidang skripsi.
4.
Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MS selaku dosen pembimbing akademik.
5.
Seluruh staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan bekal ilmu dan staf Komisi Pendidikan yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.
6.
Badan Litbang Departemen Pertanian atas hibah dana yang diberikan melalui Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian Perguruan Tinggi (KKP3T) sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan lancar.
7.
Ir. Andi, Ibu Dilla, SP., Ir. Firdaus, Ir. Adri, MSi, selaku pembimbing lapang, serta segenap karyawan BPTP Jambi yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung.
8.
Bapak Subandri dan Ibu, Vika, Singgih, Pak Ismoyo, Mbak Wiwid, Mas Adam, dan seluruh keluarga besar Mbah Tumini. Terima kasih atas bantuan, saran, dan fasilitas yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian.
9.
Teman-teman seperjuangan AGH 42, khususnya Rina Yunita dan Dedi Prasetyo yang telah banyak membantu dan memberikan saran kepada penulis mulai dari penelitian hingga penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman Nabila Cempaka A angkatan 06-10 atas keceriaan dan kebersamaan yang telah diberikan selama empat tahun terakhir, khususnya kepada Ratna Dewi teman sekamarku, Dewi Yulianti, Fitri Azizah, Tidar, dan Yuli. 11. Sahabat-sahabatku Lina Siti Maryamah, Rani Kurnila, dan Shandra Amarillis yang selalu memberikan motivasi kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Januari 2010 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman PENDAHULUAN……………………………………………………... Latar Belakang………………………………………………….. Tujuan Penelitian...……………………………………………… Hipotesis………………………………………………………....
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. Deskripsi Tanaman……………………………………………… Lingkungan Tumbuh Kedelai…………………………………... Pengaruh Cahaya Terhadap Tanaman…………………………... Tumpang Sari Kedelai………………………………………….. Pengaruh Naungan Terhadap Kedelai………………………….. Komponen Hasil Kedelai……………………………………….. Pemuliaan Kedelai……………………………………………....
4 4 6 7 7 8 9 10
BAHAN DAN METODE……………………………………………… Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………... Bahan dan Alat…………………………………………………. Metode Penelitian………………………………………………. Pelaksanaan Penelitian………………………………………….. Analisis Data…………………………………………………….
12 12 12 12 13 15
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………... Kondisi Umum………………………………………………….. Stadia Pertumbuhan Tanaman Kedelai…………………………. Keragaan Agronomi Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan…... Korelasi antara Karakter Agronomi dan Karakter Komponen Hasil terhadap Karakter Hasil per Tanaman……………………. Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan Terbaik………………...
16 16 20 23
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………... Kesimpulan……………………………………………………… Saran……………………………………………………………..
43 43 44
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..
45
LAMPIRAN…………………………………………………………….
49
36 39
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Stadia Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai……………….
5
2. Stadia Pertumbuhan Generatif Tanaman Kedelai……………….
5
3. Sidik Ragam untuk Pengujian Hipotesis………………………...
15
4. Sidik Ragam Stadia Pertumbuhan Vegetatif Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan……………………………………….
20
5. Nilai Tengah Stadia Pertumbuhan Vegetatif (HST) Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan dan Empat Varietas Pembanding……
21
6. Sidik Ragam Stadia Pertumbuhan Generatif Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan………………………………………..
21
7. Nilai Tengah Stadia Pertumbuhan Generatif (HST) Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan dan Empat Varietas Pembanding……
22
8. Rekapitulasi Sidik Ragam Karakter Agronomi Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet…………….
23
9. Keragaan Karakter Tinggi Tanaman Saat Panen, Jumlah Cabang Produktif, Jumlah Buku Produktif, Umur Berbunga, dan Umur Panen Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet…………… …………………………...
24
10. Hasil Uji Lanjut Kontras Ortogonal Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan terhadap Varietas Toleran Naungan pada Karakter Agronomi, Karakter Komponen Hasil,dan Karakter Hasil……… 27 11. Hasil Uji Lanjut Kontras Ortogonal Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan terhadap Varietas Toleran Kekeringan pada Karakter Agronomi, Karakter Komponen Hasil, dan Karakter Hasil…….. 28 12. Keragaan Karakter Komponen Hasil dan Karakter Hasil Galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet……...
31
13. Nilai Koefisien Korelasi antara Karakter Agronomi dan Karakter Komponen Hasil terhadap Karakter Hasil per Tanaman pada Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan …………………………
38
14. Bobot 100 Butir, Bobot Biji per Tanaman, dan Bobot Biji per Petak pada Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan dan Empat Varietas Pembanding…………………………………….
40
15. Keragaan Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan Terbaik Berdasarkan Karakter Bobot 100 Butir dan Karakter Hasil per Petak…………………………………………………...
42
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Kondisi Lahan Sebelum Pengapuran dan Setelah Pengapuran….
16
2. Nilai Tengah Daya Berkecambah Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan dan Pembanding Ceneng, Pangrango, Sibayak, dan Tanggamus………………………………………………….
17
3. Gulma Dominan di Lahan Pertanaman Kedelai…………………
18
4. Gulma Lain di Lahan Pertanaman Kedelai………………………
19
5. Hama yang Menyerang Pertanaman Kedelai……………………
19
6. Perbandingan Ukuran Biji Beberapa Galur Kedelai Toleran Naungan serta Ukuran Biji pada Varietas Pembanding…………
34
7. Ukuran Biji dan Warna pada Tiga Galur Kedelai Toleran Naungan Terbaik Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Petak…..
41
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam Keragaan Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet…………………………………… …...
49
2. Deskripsi Varietas Pangrango…………………………………...
52
3. Deskripsi Varietas Sibayak………………………………………
53
4. Deskripsi Varietas Tanggamus…………………………………..
54
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kedelai merupakan tanaman yang sudah lama dikenal sebagai salah satu jenis tanaman pangan di Indonesia dan termasuk tanaman yang banyak diusahakan karena nilai ekonomi serta manfaatnya yang sangat tinggi. Menurut Adisarwanto (2007) biji kedelai mempunyai nilai guna yang cukup tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri, baik skala kecil maupun skala besar. Kedelai mengandung kadar protein lebih dari 40% dan kandungan lemak 10-15% sehingga saat ini kedelai masih merupakan bahan pangan sumber protein nabati yang paling murah. Kedelai sebagai bahan baku berbagai produk pangan menempati posisi yang strategis. Permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun secara langsung menuntut agar ditingkatkannya produksi kedelai di dalam negeri guna menjamin ketersediaan kedelai sebagai bahan baku berbagai produk pangan. Namun kebutuhan yang demikian besar belum mampu seluruhnya dipenuhi oleh produksi kedelai domestik sehingga pemerintah melakukan impor kedelai. Kebutuhan kedelai di dalam negeri saat ini mencapai angka 2 juta ton per tahun, tetapi produksi kedelai nasional hanya 775 710 ton sehingga dibutuhkan impor kedelai sebesar 1.2 juta ton (Departemen Pertanian, 2009). Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri guna mengurangi jumlah impor, di antaranya melalui usaha perluasan areal kedelai ke lahan sawah dan lahan kering. Menurut Somaatmadja (1985) peningkatan produksi kedelai di Indonesia sebagian besar tergantung pada peningkatan luas areal panen, sedangkan produktivitasnya masih kurang menunjukkan peningkatan yang berarti. Upaya perluasan areal tanam kedelai di lahan kering dapat memanfaatkan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan. Keuntungan dari pemanfaatan lahan di bawah kanopi tanaman perkebunan adalah diversifikasi produk, pembukaan lapangan pekerjaan, minimalisasi input, serta meningkatkan ketahanan usaha dan daya saing produksi. Salah satu komoditas perkebunan yang lahan di bawahnya berpotensi untuk ditanami kedelai adalah karet, yang merupakan salah satu
primadona tanaman perkebunan di Indonesia selain kelapa sawit. Loanda (1999) menyatakan bahwa lahan di bawah tanaman perkebunan tersebut dapat dimanfaatkan secara intensif untuk usaha tani lainnya, seperti padi sampai tanaman perkebunan berumur 3-4 tahun. Areal perkebunan yang cukup luas merupakan potensi untuk dilakukannya ekstensifikasi pertanaman kedelai melalui sistem tumpang sari. Menurut Departemen Pertanian (2009), luas areal perkebunan di Indonesia, khususnya karet, mencapai 3.3 juta ha, di mana 3% - 4% dari luasan tersebut berada pada masa TBM yang berumur 2-3 tahun. Jika lahan tersebut dimanfaatkan untuk usaha tani lainnya, khususnya kedelai, maka sangat mungkin produksi kedelai dalam negeri akan meningkat. Namun demikian terdapat beberapa kendala di dalam usaha penanaman kedelai sebagai tanaman sela. Kendala yang utama dalam pengembangan kedelai sebagai tanaman sela adalah rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan (Sopandie et al., 2007). Rata-rata intensitas cahaya berkurang 25-50% di bawah tegakan karet berumur 2-3 tahun (Chozin et al., 1999). Untuk mengatasi kendala tersebut maka dibutuhkan galur kedelai yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Institut Pertanian Bogor telah mengembangkan galur-galur kedelai toleran naungan sebagai solusi dari kendala rendahnya intensitas cahaya yang diterima akibat ternaungi kanopi tanaman utama. Saat ini galur-galur kedelai toleran naungan yang telah dihasilkan merupakan generasi F10 hasil persilangan antara varietas Ceneng, Pangrango, Godek dan Slamet. Tetua-tetua tersebut sebelumnya telah melalui proses seleksi guna mendapatkan galur harapan dengan karakter yang diinginkan. Menurut Somaatmadja (1985), pemilihan varietas-varietas induk yang baik, sesuai dengan tujuan persilangan adalah syarat utama untuk membentuk populasi dasar yang mempunyai potensi untuk menghasilkan varietasvarietas unggul. Generasi F10 yang dihasilkan merupakan galur-galur yang telah melalui tahap seleksi di lapang dan juga seleksi melalui marka molekuler. Galur yang lolos seleksi selanjutnya membutuhkan pengujian daya hasil lanjutan di lokasi bercekaman naungan untuk memastikan bahwa galur kedelai tersebut tetap
berdaya hasil tinggi meskipun dengan intensitas cahaya rendah dengan ditanam di bawah tegakan tanaman karet.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menguji daya hasil beberapa galur kedelai yang ditanam di bawah tanaman perkebunan, khususnya karet, sebagai tanaman sela, serta mendapatkan informasi mengenai keragaan karakter agronomi galurgalur kedelai toleran naungan.
Hipotesis 1. Terdapat perbedaan pertumbuhan di antara galur-galur kedelai toleran naungan yang ditanam di bawah tegakan karet 2. Terdapat perbedaan keragaan agronomi di antara galur-galur kedelai toleran naungan yang ditanam di bawah tegakan karet 3. Terdapat perbedaan daya hasil di antara galur-galur kedelai toleran naungan yang ditanam di bawah tegakan karet 4. Terdapat galur kedelai toleran naungan dengan daya hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan daya hasil pada varietas pembanding
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Tanaman Morfologi tanaman kedelai ditentukan oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji. Akar kedelai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar mesofil. Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh setelah masa perkecambahan. Hipokotil dan dua keping kotiledon kedelai yang masih melekat pada hipokotil akan menerobos ke permukaan tanah (Adisarwanto, 2007). Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri, yakni kepala putik diserbuki oleh tepung sari dari bunga yang sama (Poehlman, 1996). Saat pembungaan, kedelai membutuhkan periode gelap lebih lama daripada periode terang karena kedelai merupakan tanaman hari pendek yang sensitif terhadap lama penyinaran (Liu, 1997). Pertumbuhan tanaman kedelai dikelompokkan menjadi determinate dan indeterminate. Pertumbuhan tinggi pada tanaman determinate berhenti saat tanaman mulai berbunga dan diameter batang terus meningkat sehingga tanaman determinate biasanya memiliki ketebalan batang yang relatif seragam. Sementara itu, pertumbuhan panjang batang pada tanaman indeterminate terus tumbuh selama periode perkembangan polong dan bahkan tinggi tanaman dapat menjadi dua kali lipat setelah berbunga (Hinson dan Hartwig, 1982). Menurut Hidajat (1985), tanaman kedelai mempunyai dua periode tumbuh, yaitu periode vegetatif dan periode reproduktif. Periode vegetatif adalah periode tumbuh dari mulai munculnya tanaman di permukaan tanah sampai terbentuk bunga pertama. Periode reproduktif merupakan periode di mana kuncup-kuncup ketiak daun berkembang membentuk kelompok-kelompok bunga. Hampir seluruh kuncup ketiak daun bagian atas batang berkembang menjadi bunga. Kuncupkuncup ketiak daun bagian bawah batang berkembang menjadi cabang atau bunga atau tidak berkembang sama sekali. Terdapat tingkatan-tingkatan perkembangan
vegetatif dan generatif pada tanaman kedelai yang diuraikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Stadia Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai Stadium Tingkatan Stadium Uraian VE
Stadium pemunculan
Kotiledon muncul dari dalam tanah
Vc
Stadium kotiledon
Daun unifoliat berkembang
V1
Stadium buku pertama
Daun terurai pada buku unifoliat
V2
Stadium buku kedua
Daun trifoliate yang terurai penuh pada buku di atas buku unifoliat
V3
Stadium buku ketiga
Tiga buah buku pada batang utama dengan daun terurai penuh
Vn
Stadium buku ke-n
n buku pada batang utama dengan daun terurai penuh
Tabel 2. Stadia Pertumbuhan Generatif Tanaman Kedelai Stadium
Tingkatan Stadium
Uraian
R1
Mulai berbunga
Bunga pertama muncul pada buku manapun di batang utama
R2
Berbunga penuh
Bunga terbuka pada salah satu dari dua buku teratas pada batang utama dengan daun terbuka penuh
R3
Mulai berpolong
Polong sepanjang 5 mm pada salah satu dari 4 buku teratas pada batang utama dengan daun terbuka penuh
R4
Berpolong penuh
Polong sepanjang 2 cm pada salah satu dari 4 buku teratas pada batang utama dengan daun terbuka penuh
R5
Mulai berbiji
Biji sebesar 3 mm dalam polong di salah satu dari 4 buku teratas dengan daun terbuka penuh
Tabel 2. Stadia Pertumbuhan Generatif Tanaman Kedelai (Lanjutan) R6
Berbiji penuh
Polong berisi satu biji hijau di salah satu dari 4 buku teratas pada batang utama
R7
Mulai matang
Satu polong pada batang utama telah mencapai warna polong matang
R8
Matang penuh
95%
polong
mencapai
warna
polong
matang
Lingkungan Tumbuh Kedelai Kedelai dapat tumbuh dengan baik di Indonesia pada daerah-daerah yang mempunyai suhu antara 25º - 27º C (Rukmana dan Yuniarsih, 1995); 10º - 35º C (Baharsjah, 1992). Suhu merupakan faktor yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Tanaman masih dapat tumbuh pada suhu di atas 35º C hanya saja pertumbuhannya kurang baik, sementara itu produksi tanaman hampir tidak ada pada suhu di atas 40º C (Baharsjah, 1992). Kelembaban udara (RH) rata-rata yang sesuai untuk tanaman kedelai adalah 65 %, dan curah hujan yang paling optimum berkisar 100-200 mm/bulan (Rukmana dan Yuniarsih, 1995). Cahaya matahari penuh dibutuhkan untuk percepatan pertumbuhan daun dan perkembangan tanaman. Kedelai tumbuh kurang baik di bawah naungan atau dengan cahaya yang dikurangi (Pandey, 1987). Lama penyinaran matahari yang optimum untuk kedelai adalah 12 jam/hari. Intensitas radiasi optimum untuk pertumbuhan dan hasil kedelai berkisar antara 275-340 kal/cm2/hari (Boer et al., 1994). Berdasarkan kesesuaian jenis tanah untuk pertanian, kedelai cocok ditanam pada jenis tanah alluvial, regosol, grumusol, latososl, dan andosol (Rukmana dan Yuniarsih, 1995). Suprapto (1995) menyatakan hal yang sama, bahwa jenis-jenis tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman kedelai di antaranya alluvial, regosol, grumusol, dan latosol dengan pH tanah sebesar 5.8-7.0.
Pengaruh Cahaya Terhadap Tanaman Cahaya mempunyai peranan yang sangat penting di dalam proses fisiologi tanaman, seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, penutupan dan pembukaan stomata, serta berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan (Salisbury dan Ross, 1995). Kualitas cahaya matahari yang mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman berada pada kisaran panjang gelombang antara 400 nm – 700 nm. Cahaya tampak pada kisaran panjang gelombang tersebut memberikan radiasi aktif untuk fotosintesis tanaman (Fitter dan Hay, 1991). Radiasi matahari yang optimum untuk fotosintesi maksimal pada tanaman kedelai adalah sebesar 0.3-0.8 kal/cm2/menit (Salisbury dan Ross, 1995). Perubahan intensitas penyinaran lebih berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman dibandingkan perubahan mutu penyinaran. Lama penyinaran matahari yang diterima oleh tanaman mempengaruhi waktu pembungaan, jumlah buku, tinggi tanaman, lama periode bunga, masa pengisian dan kematangan polong. Pemendekan lama penyinaran akan menyebabkan fase vegetatif lebih pendek, waktu berbunga lebih cepat, dan waktu panen lebih cepat (Baharsjah et al., 1987). Cahaya sangat mempengaruhi morfologi tanaman kedelai karena menyebabkan perubahan terhadap umur pembungaan dan kemasakan yang dapat menimbulkan perbedaan dalam tinggi tanaman, jumlah polong, luas daun, kerebahan, dan banyak sifat-sifat lainnya termasuk hasil biji (Mimbar, 1994).
Tumpang Sari Kedelai Tanaman kedelai yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim lainnya selain terjadi kompetisi cahaya, juga akan terjadi kompetisi terhadap penyerapan hara, terutama pada tanaman kedelai yang berada di dekat barisan tanaman jagung. Sifat kemampuan berkompetisi yang lebih tinggi diperlukan oleh sutau genotipe kedelai untuk pertanaman tumpang sari (Asadi et al., 1997). Pola tumpang sari ubi kayu-kedelai memberikan berbagai keuntungan agronomis. Penutupan permukaan tanah yang cepat oleh tanaman kedelai dapat mencegah timbulnya erosi dan hilangnya lengas tanah yang berlebihan, dan di waktu yang bersamaan tidak tersisa ruang bagi pertumbuhan gulma karena
seluruh ruang di antara barisan-barisan tanaman ubi kayu diduduki oleh tanaman kedelai (Mimbar, 1994). Peluang untuk pengembangan kedelai toleran naungan ke lahan perkebunan cukup besar. Berdasarkan data Departemen Pertanian (2009) luas areal perkebunan di Indonesia untuk pertanaman karet tercatat 3.3 juta ha, di mana menurut Asadi et al. (1997) setiap tahunnya dilakukan peremajaan sekitar 3-4% dari total luas tersebut dengan siklus peremajaan 25-30 tahun atau tergantung pada jenis tanamannya. Kedelai toleran naungan itu sendiri dapat ditanam sebagai tanaman sela sampai tanaman pokok berumur 2-3 tahun atau tingkat naungan sekitar 33-50%. Kedelai yang ditumpangsarikan dengan karet harus dilakukan pengaturan jarak tanam untuk menghindari kompetisi dengan tanaman utama dan untuk menyediakan ruang yang optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan kedelai itu sendiri. Penaungan kedelai oleh tanaman utama dapat dihindari dengan meluruskan tanaman dari arah timur ke barat. Pengolahan tanah yang minimum juga dapat membantu melindungi akar tanaman karet. Secara umum tumpang sari kedelai harus dihentikan setelah dua tahun (Mak dan Yap, 1983).
Pengaruh Naungan terhadap Kedelai Perlakuan naungan terhadap kedelai dapat berupa naungan buatan, yaitu dengan menggunakan paranet, maupun naungan alami akibat penutupan tajuk oleh tanaman utama di dalam sistem pertanaman tumpang sari. Darmijati (1992) menyatakan bahwa naungan sebesar 20% dapat menurunkan hasil kedelai sampai 8%, dari 1.22 ton/ha pada lahan tidak ternaungi menjadi 1.09 ton/ha pada lahan ternaungi. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Hasnah (2003) bahwa naungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah polong hampa, jumlah polong isi, umur panen, bobot biji, bobot 100 biji. Selain itu penelitian Afriana (2003) juga menunjukkan bahwa kedelai pada intensitas cahaya rendah mengalami penurunan jumlah polong per batang dan jumlah polong isi. Terdapat interaksi antara naungan dengan galur terhadap bobot biji dan bobot 100 butir. Naungan akan mempengaruhi warna daun. Makin tinggi tingkat naungan maka warna daun cenderung lebih gelap. Warna daun pada tanaman yang tumbuh
di bawah naungan diduga disebabkan karena jumlah kloroplas yang makin meningkat. Perubahan iklim mikro menyebabkan perbedaan pertumbuhan, komponen hasil, dan produksi kedelai pada berbagai tingkat naungan. Makin tinggi
tingkat
naungan
maka
akan
menurunkan
komponen-komponen
pertumbuhan, kecuali tinggi tanaman, sementara persentase kerebahan akan semakin tinggi (Fahmi, 2003). Daun kedelai genotipe toleran lebih luas dan lebih tipis dibandingkan daun genotipe peka pada intensitas cahaya rendah. Kandungan klorofil terutama klorofil b lebih tinggi pada kedelai genotipe toleran daripada genotipe peka pada kondisi intensitas cahaya rendah (Sopandie et al., 2007). Selain itu menurut Muhuria (2007) genotipe kedelai yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah lebih responsif terhadap perubahan kondisi intensitas cahaya periode singkat dibandingkan genotipe peka. Dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat, genotipe toleran memiliki aktivitas enzim fotosintetik yang lebih tinggi dan aktivitas enzim respirasi yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka.
Komponen Hasil Kedelai Komponen hasil kedelai mencakup jumlah tanaman per hektar, jumlah polong per tanaman, jumlah biji per polong, dan bobot biji. Penurunan pada salah satu komponen hasil tersebut akan mengurangi total hasil akhir. Jumlah polong per tanaman merupakan komponen hasil yang paling penting. Sekitar 40% bunga di dalam satu tanaman membentuk polong. Bunga-bunga tersebut tidak dapat menghasilkan biji yang baik jika tidak didukung oleh kondisi yang sesuai (Pandey, 1987). Menurut Mimbar (1994) perbedaan jumlah polong per tanaman merupakan
akibat
adanya
variasi
dalam
jumlah
bunga
pada
awal
pembentukkannya dan tingkat keguguran organ reproduksinya sehingga hasil panen terutama ditentukan oleh jumlah polong yang dapat dipertahankan oleh tanaman. Jumlah biji per polong ditentukan saat pembuahan, yaitu ketika sel serbuk sari membuahi sel telur di dalam ovari., sementara untuk bobot dan ukuran biji per polong tergantung pada varietas kedelai yang ditanam. Bobot biji ditentukan
selama fase pengisian biji. Jika selama fase ini terjadi kekeringan atau kekurangan hara maka akan mengurangi panjang waktu pengisian (Pandey, 1987). Jumlah cabang pada tanaman kedelai tergantung pada varietas dan kondisi tanah, tetapi terdapat pula varietas kedelai yang tidak bercabang. Jumlah cabang mungkin saja menjadi sedikit bila penanaman dirapatkan. Jumlah cabang tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi. Artinya, meskipun jumlah cabang banyak, tetapi belum tentu produksi kedelai akan tinggi. Sementara itu jumlah buku pada batang tanaman kedelai dipengaruhi oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang penyinaran siang hari. Pada kondisi normal, jumlah buku berkisar 15-30 buah (Adisarwanto, 2007).
Pemuliaan Kedelai Salah satu cara pengembangan varietas kedelai adalah melalui hibridisasi antara dua atau lebih galur yang diikuti dengan pembuahan sendiri terhadap generasi F4 atau generasi lanjut. Galur yang homozigot diisolasi dan diuji untuk memastikan bahwa keturunan yang dihasilkan memiliki penampilan superior dan merupakan kultivar yang potensial (Burton, 1987). Kedelai merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Kebanyakan tanaman menyerbuk sendiri dikembangkan dengan cara persilangan. Prosedur pemuliaan pada spesies tanaman menyerbuk sendiri didasarkan pada struktur genetik dari populasi menyerbuk sendiri (Hermiati 2001). Pembentukkan varietas unggul itu sendiri dapat diperoleh melalui tiga kegiatan, yaitu pemasukan (introduksi), seleksi, dan persilangan atau hibridisasi (Somaatmadja, 1985). Asadi et al. (1997) menambahkan bahwa perbaikan varietas kedelai yang spesifik toleran naungan dan kesesuaian tumpangsari diawali dari pencarian sumber gen toleran, hibridisasi, seleksi tanaman F2-F5, dan uji adaptasi serta peleapasa varietas unggul. Kegiatan pemuliaan lainnya adalah seleksi. Seleksi merupakan prosedur pemuliaan yang meliputi identifikasi dan perbanyakan suatu genotipe individu atau populasi campuran, atau populasi segregasi hasil hibridisasi. Adanya variabilitas genetik yang luas dalam populasi sangat penting dalam seleksi karena seleksi tidak menciptakan keragaman akan tetapi berperan atas adanya
keragaman, dan seleksi akan efektif jika karakter yang diseleksi diwariskan. Oleh karena itu penyediaan populasi yang beragam merupakan langkah awal dari setiap metode pemuliaan. Sumber keragaman genetik (variabilitas genetik) bisa berupa kultivar lokal, koleksi (plasma nutfah), atau populasi bersegregasi dari hasil persilangan. Kemajuan seleksi tergantung pada adanya variabilitas genetik yang luas dan metode seleksi yang digunakan (Hermiati, 2001). Seleksi didasarkan pada penampilan individu dalam populasi, antara lain jumlah polong isi atau tinggi tanaman. Hasil-hasil penelitian korelasi antar ciri-ciri agronomik dapat digunakan sebagai penuntun dalam seleksi terhadap hasil, walaupun penggunaannya dalam peramalan hasil kurang efektif. Namun demikian,
ciri-ciri
agronomik
tetap
penting
untuk
mengidentifikasi
genotipe-genotipe superior, sedangkan pengukuran hasil diperlukan untuk meningkatkan perbaikan genetik mengenai kapasitas hasil secara maksimal (Somaatmadja, 1985). Kisman (2007) menambahkan bahwa informasi korelasi penting di dalam kegiatan pemuliaan tanaman terutama dalam melakukan seleksi sifat-sifat baik (Desired characters). Dalam seleksi genotipe kedelai yang adaptif pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah, di mana karakter hasil merupakan karakter utama (primer), karakter yang memiliki keeratan hubungan dengan hasil merupakan karakter penting yang dapat digunakan sebagai kriteria sekunder dalam seleksi tidak langsung.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan Agustus 2009, bertempat di perkebunan karet rakyat di Desa Sungai Merah, Kecamatan Singkut, Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi.
Bahan dan Alat Benih kedelai yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 galur kedelai yang telah dievaluasi ketahanannya terhadap cekaman naungan yang akan diuji daya hasilnya terhadap naungan tanaman karet yang berumur 3 tahun, dan 4 varietas kedelai yang digunakan sebagai pembanding, yaitu Ceneng, Sibayak, Tanggamus, dan Pangrango Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dengan dosis 3 ton/ha, pupuk Urea, KCl, dan SP-18 dengan dosis masing-masing 200 kg/ha, 150 kg/ha, dan 200 kg/ha. Selain itu digunakan pula kapur pertanian (dolomit) dengan dosis 3 ton/ha. Karbofuran 3G diaplikasikan bersamaan dengan penanaman benih. Insektisida yang digunakan untuk mengendalikan hama yang menyerang pertanaman kedelai antara lain: Decis, Regen, dan Kurater.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas 14 galur kedelai sehingga terdapat 42 satuan percobaan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + £i + ßj + Eij Keterangan : Yijk : Nilai hasil pengamatan satuan percobaan µ
: Rata-rata umum
£i
: Pengaruh galur ke-i
ßj
: Pengaruh ulangan ke-j
Eik
: Galat percobaan
Pelaksanaan Penelitian Lahan diolah terlebih dahulu menggunakan cangkul dan dibersihkan dari gulma. Selanjutnya diberikan pupuk kandang serta kapur pertanian (dolomit) dengan dosis masing-masing 3 ton/ha. Kemudian tanah tersebut diinkubasi selama dua minggu sebelum dilakukan penanaman. Petak percobaan dibuat sebanyak 42 petak untuk 3 ulangan dengan ukuran tiap petak adalah 4 m x 3 m, sehingga luas keseluruhan petak percobaan adalah 504 m2. Petak percobaan untuk setiap ulangan dibuat di dalam dua gawangan pertanaman karet. Benih kedelai ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm. Setiap lubang ditanami dua butir benih kedelai bersama dengan Karbofuran 3G. Selanjutnya tanah dipupuk dengan Urea, KCl, dan SP-18 dengan dosis masingmasing 200 kg/ha, 150 kg/ha, dan 200 kg/ha. Pupuk diberikan di dalam alur yang dibuat di antara barisan tanaman kedelai, dan dilakukan setelah penanaman selesai dilakukan. Penyulaman dilakukan pada 1 MST (Minggu Setelah Tanam) dan dilakukan selama 2 hari. Penyiangan gulma dilakukan hanya satu kali pada saat tanaman mulai memasuki fase pembungaan, yaitu sekitr 5 MST dengan cara manual. Sementara itu pada 34 HST dilakukan penyemprotan insektisida Decis untuk mengendalikan hama belalang. Memasuki fase pengisian polong dilakukan penyemprotan Regen sebanyak dua kali karena diketahui tanaman terserang hama ulat penggerek polong (Etiella zinckenella). Selanjutnya tanaman disemprot kurater, sebagai pengganti Regen. Penyemprotan dilakukan 2 hari sekali selama dua minggu. Pemanenan dilakukan pada saat 80% populasi tanaman di setiap petak telah berada pada kondisi di mana polong kedelai telah berwarna coklat kekuningan dan 80% daun telah gugur. Pengamatan yang dilakukan terbagi menjadi dua, yaitu pengamatan untuk setiap petak percobaan dan pengamatan untuk setiap tanaman contoh. Variabel pengamatan untuk setiap petak percobaan meliputi : 1.
Daya Berkecambah, merupakan persentase dari jumlah benih yang berkecambah setelah 1 MST per jumlah benih yang ditanam per petak
2.
Stadia pertumbuhan vegetatif dan generatif. Ditentukan saat 80% populasi per petak telah memasuki stadia pertumbuhan tertentu. Stadia pertumbuhan
vegetatif diamati mulai fase Ve hingga V3, sementara stadia pertumbuhan diamati mulai fase R1-R8 3.
Umur berbunga (MST), yaitu saat 80% tanaman di dalam satu petak percobaan telah berbunga
4.
Umur panen, yaitu saat 80% tanaman di dalam satu petak percobaan telah mencapai kondisi polong matang dan daun telah gugur
5.
Jumlah populasi yang dipanen
6.
Bobot 100 butir (gram), yaitu bobot 100 butir biji kedelai untuk setiap galur
7. Bobot biji/petak (gram), merupakan bobot biji kedelai yang diperoleh dari setiap petak percobaan
Sementara itu variabel pengamatan untuk setiap tanaman contoh yang dilakukan setelah panen meliputi: 1. Tinggi tanaman saat panen (cm), yaitu diukur pada saat panen mulai dari pangkal sampai dengan titik tumbuh 2. Jumlah cabang produktif, yaitu total cabang yang menghasilkan polong 3. Jumlah buku produktif, yaitu penghitungan dari jumlah buku pada batang tanaman yang menghasilkan cabang 4. Jumlah polong bernas, dihitung dari jumlah polong yang berisi biji pada tiap tanaman contoh 5. Jumlah polong hampa, dihitung dari jumlah polong yang kosong atau tidak berisi biji pada tiap tanaman contoh 6. Jumlah polong total, merupakan jumlah polong keseluruhan yang terdapat pada setiap tanaman contoh 7. Persentase polong isi, yaitu jumlah polong yang berisi biji per jumlah polong total di dalam satu tanaman, kemudian dikalikan 100% 8. Bobot biji/tanaman (gram), yaitu bobot biji untuk tiap individu tanaman contoh
Analisis Data Analisis ragam digunakan untuk menguji hipotesis 1, 2, dan 3. Tabel anova untuk analisis sidik ragam yang digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Sidik Ragam untuk Pengujian Hipotesis Sumber Keragaman (SK) Faktor Koreksi Ulangan Perlakuan Galat Total
Derajat Bebas (db) 1 r-1
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
F Hitung
JKu
M3
g-1
JKp
M2
M3 M1 M2 M1
g (r-1) gxr
JKg
M1
Uji lanjut kontras ortogonal juga digunakan untuk membandingkan perbedaan antar perlakuan. Keeratan hubungan antar karakter yang diamati diuji dengan menghitung nilai korelasi Pearson (Gomez dan Gomez, 2007) dengan rumus: r=
Cov xy var( x). var( y)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di desa Sungai Merah, Kecamatan Singkut, Kabupaten Sarolangun, Propinsi jambi.
Penelitian uji daya hasil lanjutan ini
bertujuan mendapatkan informasi mengenai keragaan galur-galur kedelai yang toleran itensitas cahaya rendah dan berdaya hasil tinggi. Galur yang digunakan merupakan galur F10 hasil persilangan beberapa tetua kedelai varietas lokal maupun nasional yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah, peka terhadap intensitas cahaya rendah, serta varietas yang toleran terhadap tanah masam. Penanaman dilakukan pada lahan di bawah tegakan tanaman karet klon IRR 139 fase TBM yang berumur 3 tahun. Tajuk tanaman karet diperkirakan menaungi sekitar 75% lahan di bawahnya, sehingga secara langsung mengurangi cahaya matahari yang diterima oleh tanaman sela di bawahnya. Tingginya tingkat naungan akibat tajuk tanaman karet tersebut dapat disebabkan jarak tanam karet yang berdekatan, yaitu 5m x 4m sehingga meskipun tanaman karet baru berumur 3 tahun, cabang-cabang tanaman karet sudah saling menutupi. Kondisi lahan sebelum dilakukan pengolahan tanah merupakan lahan masam dengan pH sekitar 4.5 sehingga dilakukan pengapuran pada saat 2 minggu sebelum tanam dengan dosis 3 ton per hektar.
Gambar 1. Kondisi Lahan sebelum Pengapuran (Kiri) dan setelah Pengapuran (Kanan)
Secara umum kondisi tanaman kedelai selama berlangsungnya penelitian cukup baik meskipun daya berkecambah untuk masing-masing galur sangat bervariasi. Daya berkecambah rata-rata dari galur-galur kedelai toleran naungan adalah sebesar 53.5%. Rendahnya daya berkecambah benih dapat disebabkan oleh turunnya hujan mulai dari sesaat setelah penanaman hingga beberapa hari setelah penanaman sehingga terdapat benih yang terbawa aliran permukaan. Besarnya curah hujan mulai dari penanaman hingga 1 minggu setelah tanam berkisar antara 1 mm - 32.3 mm, dengan kelembaban udara berkisar antara 85%-95%, dan suhu udara antara 24° - 27° C. Kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan benih membusuk sebelum berkecambah sehingga turut pula menurunkan daya berkecambah benih. Galur dengan daya berkecambah tertinggi adalah SC 56-3 (69.67%), dan galur dengan daya berkecambah terendah adalah SC 54-1 (37.50%).
Galur Gambar 2. Nilai Tengah Daya Berkecambah Galur-galur Kedelai Toleran Naungan dan Pembanding Ceneng, Pangrango, Sibayak, dan Tanggamus
Pengendalian gulma dilakukan pada 35 HST secara manual. Meskipun sebelum penanaman
lahan telah disemprot
herbisida
untuk
mencegah
pertumbuhan gulma, tetapi gulma yang tumbuh tetap banyak dengan tinggi yang hampir menyaingi tanaman kedelai. Gulma yang dominan tumbuh merupakan gulma yang biasa tumbuh di perkebunan karet, seperti Borreria alata, Oxalis barilieri, Brachiaria mutica, Cleome rutidosperma, dan Cyclosorus aridus.
Selain gulma, organisme pengganggu tanaman lainnya adalah hama berupa belalang (Oxya sp.), kepik polong (Riptortus linearis), kepik hijau (Nezara viridula), dan penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella) serta penyakit rebah semai (Sclerotium rolfsii). Secara umum hama dan penyakit yang menyerang tidak begitu parah. Serangan hama paling parah hanya akibat ulat penggerek polong yang baru diketahui menyerang tanaman setelah tanaman memasuki fase pengisian polong (8 MST). Penyebaran dan kemampuaannya yang cepat dalam memakan biji mengakibatkan banyak biji kedelai yang tidak utuh dan bahkan hampa. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan Decis, Regen, dan Kurater. Pemanenan dilakukan sesuai tingkat kemasakan galur-galur yang ditanam karena galur-galur tersebut mempunyai umur panen yang berbeda-beda. Kegiatan panen baru dilakukan saat 80% tanaman telah berwarna kecoklatan serta daunnya sudah
rontok.
Namun
variasi
tingkat
kemasakan
yang
cukup
tinggi
memungkinkan perbedaan waktu panen di dalam satu petakan percobaan. Kondisi cuaca yang kering mulai dari waktu tanaman berbunga hingga tanaman matang menyebabkan di dalam satu tanaman terdapat cukup banyak polong yang hampa karena di saat fase kritis, yaitu fase berbunga dan fase pengisian polong, tanaman mengalami kekurangan air.
(A)
(B)
Gambar 3. Gulma Dominan di Lahan Pertanaman Kedelai: (A) Borreria alata; (B) Cyclosorus aridus
(A)
(B)
Gambar 4. Gulma Lain di Lahan Pertanaman Kedelai: (A) Cleome rutidospora; (B) Oxalis barilieri
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 5. Hama yang menyerang pertanaman kedelai: (A) Belalang (Oxya sp.); (B) Kepik Hijau (Nezara viridula); (C) Ulat Penggerek Polong (Etiella zinckenella); (D) Kepik Polong (Riptortus linearis)
Stadia Pertumbuhan Tanaman Kedelai Pertumbuhan fase vegetatif dan generatif pada tanaman kedelai masingmasing memiliki stadia-stadia tertentu, di mana perubahan pada setiap stadia ditandai dengan ciri-ciri fisik tertentu pula. Fase vegetatif galur kedelai toleran naungan diamati mulai dari fase emerge (VE), yaitu fase di mana kotiledon mulai tumbuh, hingga fase V3, yang merupakan fase di mana terdapat dua daun trifoliate yang telah tumbuh sempurna dan satu daun trifoliate yang juga sudah tumbuh sempurna. Tabel 4 menunjukkan bahwa galur-galur kedelai toleran naungan yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di setiap stadia pertumbuhan vegetatifnya, mulai fase VE hingga fase V3.
Tabel 4. Sidik Ragam Stadia Pertumbuhan Vegetatif Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan Stadia VE VC V1 V2 V3
Kuadrat Tengah 0.07 0.08 0.45 0.24 0.65
F Hitung
Pr > F
Koefisien Keragaman
0.89 1.00 1.09 0.82 1.99
0.576tn 0.479tn 0.405tn 0.640tn 0.066tn
7.03 3.42 5.57 3.77 3.21
Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5% (Probability > 0.05)
Pertumbuhan galur-galur kedelai toleran naungan cenderung berlangsung seragam di setiap stadia vegetatifnya. Semua galur toleran naungan yang diuji memasuki stadia VE dan VC pada 4 dan 8 HST. Sementara untuk fase V1 dicapai antara 11-12 HST, fase V3 dicapai pada 14-15 HST, dan fase V3 dicapai pada 1719 HST. Setiap stadia pertumbuhan vegetatif dicapai pada waktu yang relatif berdekatan, hanya berselang 1-2 hari di antara galur-galur kedelai toleran naungan tersebut (Tabel 5).
Tabel 5. Nilai Tengah Stadia Pertumbuhan Vegetatif (HST) Galur-galur Kedelai Toleran Naungan dan Empat Varietas Pembanding Galur CG-22-10 GC-22-10 PG-57-1 SC-1-8 SC-21-5 SC-39-1 SC-54-1 SC-56-3 SC-68-2 SP-30-4 Ceneng Pangrango Sibayak Tanggamus Rata-rata
VE 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4.0
VC 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8.0
V1 11 11 12 11 12 12 12 12 12 12 11 11 12 11 11.5
V2 14 15 15 15 15 14 14 14 15 14 14 15 15 15 15.5
V3 17 18 19 18 17 18 18 18 18 18 18 17 18 18 17.9
Fase generatif diamati mulai dari tanaman berbunga (R1) hingga tanaman mencapai stadia polong matang (R8). Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata untuk setiap stadia pertumbuhan generatif tanaman pada galur-galur kedelai toleran naungan (Tabel 6). Nilai koefisien keragaman yang relatif rendah di setiap stadia menunjukkan tingginya tingkat ketepatan dengan perlakuan yang diperbandingkan dan merupakan indeks yang baik dari keadaan percobaan (Gomez dan Gomez, 2007). Tabel 6. Sidik Ragam Stadia Pertumbuhan Generatif Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan Fase R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8
Kuadrat Tengah 9.92 4.91 30.33 30.79 36.29 56.69 33.02 65.31
F Hitung 4.50 6.10 15.28 25.36 17.79 25.73 8.30 29.79
Pr > F 0.0005** 0.0001** 0.0001** 0.0001** 0.0001** 0.0001** 0.0001** 0.0001**
Koefisien Keragaman 4.05 2.37 3.16 2.37 2.79 2.69 2.72 1.85
Keterangan: (Pr>F) <0.01 = berbeda sangat nyata; 0.01≤ (Pr>F) ≤ 0.05 = berbeda nyata; (Pr>F) >0.05= tidak berbeda nyata
Memasuki stadia pertumbuhan generatif tanaman, antara galur-galur kedelai toleran naungan mulai memperlihatkan adanya perbedaan di setiap stadia (Tabel 7). Periode pencapaian tiap stadia cukup beragam di antara galur-galur tersebut. Stadia R1 dicapai antara 35-40 HST. Perbedaan rentang waktu yang ditunjukkan berkisar 1-5 hari. Ini menunjukkan keragaman pencapaian stadia pertumbuhan generatif lebih tinggi dibandingkan keragaman pada lamanya stadia pertumbuhan vegetatif. Setiap galur memiliki masa stadia pertumbuhan generatif yang berbedabeda, yang berarti masing-masing galur tersebut memiliki masa pembungaan, pembentukkan, pengisian, serta pematangan polong yang berbeda-beda pula, yang ditunjukkan mulai stadia R1 hingga R8. Galur dengan masa stadia pertumbuhan generatif yang relatif panjang, terutama pada stadia R3-R6, memiliki masa pembentukkan dan pengisian polong yang panjang pula sehingga galur tersebut dapat membentuk biji lebih optimal sehingga hasil biji yang dihasilkan diharapkan dapat lebih tinggi.
Tabel 7. Nilai Tengah Stadia Pertumbuhan Generatif (HST) Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan dan Empat Varietas Pembanding Galur CG-22-10 GC-22-10 PG-57-1 SC-1-8 SC-21-5 SC-39-1 SC-54-1 SC-56-3 SC-68-2 SP-30-4 Ceneng Pangrango Sibayak Tanggamus Rata-rata
R1 38 40 40 36 36 36 35 35 36 38 36 37 35 38 36.7
R2 39 40 41 37 37 37 37 37 37 38 36 38 37 38 37.9
R3 47 50 49 43 42 42 43 42 42 48 42 48 41 46 44.6
R4 48 51 51 45 44 44 45 43 44 50 44 50 42 49 46.6
R5 53 57 56 50 50 48 49 48 49 54 49 53 45 53 51.1
R6 59 62 61 54 52 51 52 51 52 60 52 60 49 56 55.2
R7 74 76 77 68 73 72 71 69 73 79 73 77 69 75 73.4
R8 79 80 82 77 78 79 76 75 79 88 77 87 76 89 80.2
Keragaan Agronomi Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan Tabel 8 menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata di antara galurgalur kedelai toleran naungan yang diuji pada karakter jumlah buku produktif, jumlah polong total, jumlah polong isi, persentase polong isi, bobot 100 butir, bobot per petak, umur berbunga, dan umur panen. Galur-galur tersebut juga menunjukkan perbedaan yang nyata pada karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, dan bobot per tanaman, sementara tidak menunjukkan perbedaan yang nyata hanya pada karakter jumlah polong hampa.
Tabel 8. Rekapitulasi Sidik Ragam Karakter Agronomi Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Karakter Tinggi Tanaman Saat Panen Jumlah Cabang Produktif Jumlah Buku Produktif Jumlah Polong Total Jumlah Polong Isi Jumlah Polong Hampa Persentase Polong Isi Bobot per Tanaman Bobot 100 Butir Bobot per Petak Umur Berbunga Umur Panen
Kuadrat Tengah 394.68 2.85 24.950 137.16 105.17 14.44 423.56 0.93 6.87 0.14 16.56 68.42
F hitung 2.62 2.51 3.11 2.94 3.56 2.07 3.74 2.29 17.19 3.05 10.45 6.23
Pr > F 0.0176* 0.0220* 0.0067** 0.0092** 0.0028** 0.0560tn 0.0020** 0.0349* 0.0001** 0.0074** 0.0001** 0.0001**
Koefisien Keragaman 17.42 23.09 24.09 31.83 40.19 33.38 17.21 39.37 5.98 9.86 3.09 3.66
Keterangan : (Pr>F) <0.01 = berbeda sangat nyata; 0.01≤ (Pr>F) ≤0.05 = berbeda nyata; (Pr>F) >0.05 = tidak berbeda nyata
Tinggi Tanaman Tinggi rata-rata dari 10 galur kedelai toleran naungan yang diuji adalah 68.51 cm. Galur dengan tinggi tanaman yang lebih tinggi dari nilai tengah galur di antaranya CG 22-10, GC 22-10, SC-56-3, SC 68-2, SP 30-4, sementara galur dengan nilai rataan yang lebih rendah adalah PG 57-1, SC 1-8, SC 21-5, SC 21-5, SC 39-1, SC 54-1. Galur CG 22-10 merupakan galur dengan karakter tinggi tanaman tertinggi, dan galur SC 21-5 merupakan galur dengan karakter tinggi tanaman terendah (Tabel 9).
Menurut Somaatmadja (1985), tipe kedelai yang diinginkan untuk lahan optimum adalah tanaman kedelai yang tidak terlalu tinggi, yaitu cukup 75 cm, sementara untuk lahan suboptimum tipe kedelai yang ideal adalah tanaman kedelai dengan tinggi 80-100 cm (Arsyad et al., 2007). Merujuk kutipan tersebut, maka nilai rataan untuk karakter tinggi tanaman kedelai yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dari tinggi tanaman kedelai ideal pada kedua tipe lahan tersebut, yaitu hanya 68.51 cm.
Tabel 9. Keragaan Karakter Tinggi Tanaman Saat Panen, Jumlah Cabang Produktif, Jumlah Buku Produktif, Umur Berbunga, dan Umur Panen Galur-galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet
Galur CG-22-10 GC-22-10 PG-57-1 SC-1-8 SC-21-5 SC-39-1 SC-54-1 SC-56-3 SC-68-2 SP-30-4 Rataan
Tinggi Tanaman Saat Panen (cm) 86.52 73.47 67.24 56.04 54.05 56.56 64.39 75.07 80.13 71.61 68.51
Jumlah Cabang Produktif 7 5 5 5 4 5 4 5 5 5 5
Jumlah Buku Produktif 21 14 11 10 9 11 10 12 14 11 12
Umur Berbunga (HST) 42 45 45 40 40 39 39 38 40 43 41
Umur Panen (HST) 85 85 88 89 86 93 85 85 93 96 89
Nilai rataan tinggi tanaman galur-galur kedelai tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai rataan untuk karakter yang sama pada kedelai generasi F9 di lahan ternaungi, yang hanya mencapai 39.89 cm (Saragih, 2007), dan lebih tinggi pula dari nilai rataan tinggi tanaman kedelai generasi F9 yang ditanam di lahan terbuka, yaitu 50.87 cm (Januarini, 2007). Sopandie et al. (2006) menyatakan bahwa adanya naungan tanaman karet dapat menyebabkan terjadinya etiolasi pada tanaman. Etiolasi tersebut merupakan salah satu mekanisme yang dibangun tanaman agar dapat menangkap cahaya dalam jumlah yang banyak. Namun peningkatan tinggi tanaman secara berlebihan akan berdampak negatif seperti mudah rebah dan rentan terhadap serangan penyakit.
Hasil uji kontras ortogonal pada karakter tinggi tanaman menunjukkan hanya galur CG 22-10 yang nyata lebih tinggi dari nilai tengah varietas toleran naungan (Tabel 10). Selain itu galur CG 22-10, GC 22-10, SC 56-3, SC 68-2, dan SP 30-4 juga memiliki tinggi tanaman melebihi nilai tengah varietas toleran kekeringan, meskipun secara statistik hanya CG 22-10 yang nyata lebih tinggi dari varietas toleran kekeringan (Tabel 11). Karakter tinggi tanaman yang lebih baik pada galur-galur kedelai toleran naungan dibandingkan dengan varietas toleran kekeringan dapat mengindikasikan bahwa terdapat pula sifat toleran terhadap cekaman kekeringan pada galur-galur tersebut, mengingat rendahnya curah hujan selama penelitian berlangsung sehingga menyebabkan kadar air di dalam tanah berkurang dan kondisi lahan penelitian pun menjadi kering. Hasil penelitian Suyamto dan Adisarwanto (2006) menunjukkan bahwa penurunan kelengasan tanah karena kekeringan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan menekan petumbuhan vegetatif tanaman, yang salah satunya tercermin dari berkurangnya tinggi tanaman.
Jumlah Cabang Produktif dan Jumlah Buku Produktif Jumlah cabang produktif galur-galur yang diuji pada penelitian ini berkisar antara 4-7 cabang dengan nilai rata-rata 5 cabang. Galur CG 22-10 memiliki jumlah cabang terbanyak (7 cabang), sementara galur SC 21-5 dan SC 54-1 memiliki jumlah cabang yang paling sedikit, yaitu 4 cabang produktif (Tabel 9). Nilai tengah karakter jumlah cabang produktif pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan nilai tengah jumlah cabang produktif pada tanaman kedelai yang ditanam di lahan terbuka (Januarini, 2007) pada generasi F9 yang mencapai 9 cabang. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani (2003) bahwa mekanisme toleransi tanaman terhadap naungan adalah dengan meningkatnya tinggi tanaman dan luas daun serta mengurangi jumlah cabang, jumlah buku, dan ketebalan daun. Polong kedelai tumbuh pada buku-buku yang terdapat baik di batang utama maupun buku-buku yang terdapat pada cabang sehingga diharapkan dengan semakin banyaknya jumlah buku pada tanaman kedelai, maka jumlah polong yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Semakin banyaknya jumlah polong maka kemungkinan hasil yang akan didapat juga akan semakin tinggi. Namun naungan
dapat menurunkan jumlah polong (Handayani, 2003) sehingga apabila di antara galur-galur kedelai toleran naungan yang dievaluasi terdapat galur yang memiliki jumlah buku yang banyak, diduga galur tersebut lebih baik di antara galur lainnya dan diharapkan galur tersebut memiliki potensial hasil yang tinggi pula. Nilai tengah karakter jumlah buku produktif dari galur-galur yang diuji adalah 12 buku per tanaman, dengan kisaran 9-21 buku produktif per tanaman. Galur CG 22-10 merupakan galur yang dapat membentuk buku produktif paling banyak. Selain CG 22-10, galur GC 22-10 dan SC 68-2, juga merupakan galurgalur yang mampu membentuk buku produktif lebih banyak dibandingkan varietas toleran naungan (Tabel 10). Nilai tengah karakter jumlah buku produktif pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan nilai tengah jumlah buku produktif pertanaman kedelai yang ditanam di lahan terbuka (Wardoyo, 2009) yang mencapai 21 buku produktif. Menurut Sopandie et al. (2006) respon tanaman terhadap intensitas cahaya rendah adalah dengan peningkatan tinggi tanaman, tetapi jumlah daun dan jumlah cabang juga akan berkurang sebagai konsekuensi pertumbuhan tinggi tanaman yang diutamakan
Tabel 10. Hasil Uji Lanjut Kontras Ortogonal Galur-galur Kedelai Toleran Naungan terhadap Varietas Toleran Naungan pada Karakter Agronomi, Karakter Komponen Hasil, dan Karakter Hasil Galur CG-22-10 GC-22-10 PG-57-1 SC-1-8 SC-21-5 SC-39-1 SC-54-1 SC-56-3 SC-68-2 SP-30-4 Varietas toleran naungan
TTSP 86.52* 73.47 67.24 56.04 54.05 56.56 64.39 75.07 80.13 71.61 85.10
JCP 6.57 4.87** 5.43 4.53* 4.30* 4.50 3.77 4.57 5.27 4.60 4.93
JBP 20.50 14.33** 10.83 10.00 9.20 10.57 10.27 11.70 13.60 10.83 10.67
JPT 42.23 26.80** 16.97 19.97 17.90 20.77 19.60 23.20 24.30 16.43 19.07
JPI 30.43 18.87** 14.00 12.30 10.73 11.53 11.67 15.47 16.27 10.83 12.08
%-PI 72.97 72.71* 83.38* 57.99 60.17** 54.19 61.07 64.23 66.59 65.02 63.98
BB/T 3.17 1.98** 1.80 1.46 1.57 1.40 1.08 1.42 1.75 1.74 1.72
BB-100 8.24 7.42** 9.58** 10.58 11.76** 11.97* 9.83 9.48 10.79** 11.72** 11.54
BB/P 424.02* 218.51** 179.59* 112.97* 427.72 127.32 109.32** 131.66 136.02 141.52 205.84
UB 41.67 45.33** 45.00** 40.00 40.00** 39.33 38.67 38.00 40.00 43.33 40.00
UP 85.33 85.33** 88.00** 89.00 86.00* 93.33* 85.33** 85.33 92.67** 96.33** 93.83
Keterangan : TTSP: Tinggi Tanaman Saat Panen; JCP: Jumlah Cabang Produktif; JBP: Jumlah Buku Produktif; JPT: Jumlah Polong Total; JPI: Jumlah Polong Isi; %-PI: Persentase Polong Isi; BB/T: Bobot Biji per Tanaman; BB-100: Bobot 100 Butir; BB/P: Bobot Biji per Petak; UB: Umur Berbunga; UP: Umur Panen *) = berbeda nyata pada taraf 5%; **) = berbeda sangat nyata pada taraf 1%; Varietas toleran naungan yang digunakan adalah Ceneng dan Pangrango
Tabel 11. Hasil Uji Lanjut Kontras Ortogonal Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan terhadap Varietas Toleran Kekeringan pada Karakter Agronomi, Karakter Komponen Hasil, dan Karakter Hasil Galur CG-22-10 GC-22-10 PG-57-1 SC-1-8 SC-21-5 SC-39-1 SC-54-1 SC-56-3 SC-68-2 SP-30-4 Varietas toleran kekeringan
TTSP 86.52* 73.47 67.24 56.04 54.05 56.56 64.39 75.07 80.13 71.61 65.20
JPT 42.23 26.80** 16.97 19.97 17.90 20.77 19.60 23.20 24.30 16.43 16.92
JPI 30.43 18.87** 14.00 12.30 10.73 11.53 11.67 15.47 16.27 10.83 6.48
%-PI 72.97 72.71* 83.38* 57.99 60.17** 54.19 61.07 64.23 66.59 65.02 39.70
BB/T 3.17 1.98** 1.80 1.46 1.57 1.40 1.08 1.42 1.75 1.74 0.94
BB-100 8.24 7.42** 9.58** 10.58 11.76** 11.97 9.83 9.48 10.79** 11.72** 11.83
BB/P 424.02 218.51** 179.59 112.97 427.72 127.32 109.32** 131.66 136.02 141.52 101.36
UB 41.67** 45.33 45.00** 40.00 40.00** 39.33* 38.67* 38.00** 40.00** 43.33** 39.33
UP 85.33* 85.33** 88.00** 89.00 86.00** 93.33** 85.33** 85.33 92.67** 96.33** 97.00
Keterangan : TTSP: Tinggi Tanaman Saat Panen; JPT: Jumlah Polong Total; JPI: Jumlah Polong Isi; %-PI: Persentase Polong Isi; BB/T: Bobot Biji per Tanaman; BB-100: Bobot 100 Butir; BB/P: Bobot Biji per Petak; UB: Umur Berbunga; UP: Umur Panen *) = berbeda nyata pada taraf 5%; **) = berbeda sangat nyata pada taraf 1%; Varietas toleran kekeringan yang digunakan adalah Sibayak dan Tanggamus
Umur Berbunga dan Umur Panen Umur berbunga dihitung pada saat 80% populasi tiap plot sudah mulai berbunga. Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata pada karakter umur berbunga (Pr < 0.01). Umur berbunga berkisar antara 38-45 HST dengan nilai rata-rata 41 HST. Umur berbunga dari galur-galur kedelai toleran naungan yang dievaluasi dalam penelitian ini lebih lama dibandingkan umur berbunga galur kedelai F9 yang hanya 28 HST (Saragih, 2007). Galur GC 22-10 memiliki umur berbunga yang paling lama (45 hari), sementara galur SC 56-3 memiliki umur berbunga paling cepat (38 hari). Tanaman kedelai mencapai kriteria matang panen apabila 80% populasi tanaman di dalam satu petak telah mencapai kondisi polong matang, daun telah berwarna kuning kecoklatan, dan daun telah banyak yang gugur. Tingkat kematangan polong di setiap petak percobaan berbeda-beda. Perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap umur panen sehingga terdapat perbedaan umur panen di antara galur-galur yang diuji. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8 di mana terdapat perbedaan yang sangat nyata pada karakter umur panen. Perbedaan tingkat kematangan di dalam penelitian ini bukan hanya terjadi di antara petakpetak percobaan yang berbeda (antar galur), tetapi juga terjadi di dalam satu petak percobaan yang sama (galur yang sama) sehingga terdapat beberapa galur di mana kegiatan pemanenan di dalam satu petakan percobaan tersebut tidak dilakukan secara serempak. Apabila di dalam satu petakan tersebut kegiatan panen tetap dilakukan meskipun terdapat beberapa tanaman yang belum mencapai tingkat kemasakan fisiologis, maka selanjutnya hal ini akan berpengaruh terhadap mutu benih kedelai yang akan dihasilkan. Benih yang dipanen sebelum masak fisiologis akan mempunyai viabilitas yang rendah karena embrio belum sempurna dan cadangan makanan belum maksimal, sementara itu benih yang telah mencapai masak fisiologis mempunyai perkecambahan maksimum karena embrio sudah terbentuk sempurna dan berat kering cadangan makanan sudah maksimum (Copeland, 1985).
Umur panen rata-rata adalah 89 HST. Beberapa galur dengan umur panen yang lebih cepat dari umur panen rata-ratanya adalah CG 22-10, GC 22-10, SC 54-1, dan SC 56-3 (85 hari), sementara galur dengan umur panen yang lebih dalam adalah SP 30-4 (96 hari) (Tabel 9). Galur-galur yang diuji pada penelitian ini diharapkan memiliki umur berbunga yang lebih cepat namun memiliki umur panen yang dalam. Umur panen yang panjang dimaksudkan agar tanaman memiliki periode pengisian polong hingga pematangan polong yang panjang pula sehingga biji yang terbentuk dapat maksimum. Namun nilai tengah umur panen galur yang dalam tidak diperoleh pada penelitian ini. Nilai tengah galur kedelai toleran naungan untuk karakter umur panen hasil penelitian ini tergolong ke dalam kelompok umur sedang, yaitu antara 80-90 hari. Umur panen yang relatif singkat dapat dikarenakan adanya pengaruh naungan. Menurut Handayani (2003) pemberian naungan mempercepat waktu berbunga tanaman kedelai. Umur panen tanaman yang mendapat naungan lebih cepat daripada tanpa naungan dan tanaman yang mendapat naungan 75% lebih cepat daripada tanaman pada naungan 50%. Ini disebabkan oleh lebih cepat proses penguningan daun (senesens) pada tanaman yang ternaungi. Namun demikian di di dalam penelitian ini terdapat tiga galur dengan karakter umur panen dalam (> 90 hari), yaitu galur SC 39-1, SC 68-2, dan SP 30-4. Bahkan galur SP 30-4 memiliki umur panen yang lebih dalam dibandingkan nilai tengah umur panen pada varietas toleran naungan (Tabel 10). Sementara itu berdasarkan Tabel 11 tidak terdapat galur dengan umur panen yang lebih dalam dari nilai tengah umur panen pada varietas toleran kekeringan.
Jumlah Polong Total dan Jumlah Polong Isi Karakter jumlah polong total, jumlah polong isi, dan jumlah polong hampa merupakan karakter yang berpengaruh langsung terhadap hasil per petak. Semakin banyak jumlah polong yang terbentuk maka kemungkinan hasil yang akan diperoleh juga semakin tinggi. Akan tetapi hal tersebut harus diimbangi dengan kemampuan polong yang telah terbentuk untuk mengisi biji. Jumlah polong yang terbentuk berbeda-beda tergantung dari jenis kultivar kedelai yang ditanam. Tabel 8 menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang sangat
nyata pada karakter jumlah polong total dan jumlah polong isi dari galur-galur kedelai toleran naungan, sementara tidak terdapat perbedaan yang nyata pada karakter jumlah polong hampa.
Tabel 12. Keragaan Karakter Komponen Hasil dan Karakter Hasil Galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Galur CG-22-10 GC-22-10 PG-57-1 SC-1-8 SC-21-5 SC-39-1 SC-54-1 SC-56-3 SC-68-2 SP-30-4 Rata-rata
JPT 42 27 17 20 18 21 20 23 24 16 23
JPI 30 19 14 12 11 12 12 15 16 11 15
JPH 12 8 3 8 7 9 8 8 8 6 8
%- PI 72.97 72.71 83.38 57.99 60.17 54.19 61.07 64.23 66.59 65.02 65.83
BB/T (g) 3.17 1.98 1.80 1.46 1.57 1.39 1.08 1.42 1.75 1.74 1.74
BB-100 (g) 8.24 7.42 9.58 10.58 11.76 11.97 9.83 9.48 10.79 11.72 10.14
BB/P (g) 424.02 218.51 179.59 112.97 427.72 127.32 109.32 131.66 136.02 141.52 200.87
Keterangan : JPI: Jumlah Polong Isi; JPH: Jumlah Polong Hampa; JPT: Jumlah Polong Total; %-PI: Persentase Polong Isi; BB/T: Bobot Biji per Tanaman; BB-100: Bobot 100 butir; BB/P: Bobot Biji per Petak
Jumlah polong total yang terbentuk berkisar antara 16-42 polong, dengan rataan 23 polong. Sementara itu jumlah polong isi dari galur-galur yang diuji berkisar antara 11-30 polong, dengan nilai rata-rata 15 polong. Nilai tengah pada kedua karakter tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai tengah karakter jumlah polong total dan jumlah polong isi pada galur-galur kedelai generasi yang sama yang ditanam di lahan terbuka (Wardoyo, 2009), yang masing-masing mencapai 71 polong dan 67 polong. Penurunan jumlah polong dapat disebabkan karena adanya pengaruh naungan sehingga penerimaan cahaya oleh tanaman juga berkurang. Hasil penelitian Afriana (2003) menunjukkan kedelai pada intensitas cahaya rendah mengalami penurunan jumlah polong per batang dan jumlah polong isi. Hal ini didukung pula oleh penelitian Putisari (2001) bahwa rata-rata jumlah polong tanaman ternaungi lebih rendah dari tanaman yang tidak ternaungi. Selain berkurangnya cahaya yang diterima tanaman, naungan juga dapat menyebabkan gugurnya bunga. Galur CG 22-10 merupakan galur yang mampu
membentuk polong terbanyak dibandingkan galur lainnya. Namun semakin tinggi jumlah polong yang terbentuk maka sebakin banyak pula sink yang harus dipenuhi oleh asimilat hasil fotosintesis yang dilakukan oleh organ daun sehingga kemungkinan polong yang tidak terisi juga semakin tinggi. Ini dapat dilihat pada Tabel 12, bahwa persentase polong yang berhasil diisi dari galur CG 22-10 lebih rendah dari galur PG 57-1. Jumlah polong yang terbentuk pada galur PG 57-1 hanya berjumlah 17 polong, sehingga polong yang berhasil diisi pun lebih banyak karena jumlah sink yang harus dipenuhi lebih sedikit. Sementara itu galur CG 2210 memiliki beban pembagian asimilat yang jauh lebih besar untuk proses pengisian 42 polong yang terbentuk. Tanaman yang mampu memenuhi sink-sink yang terbentuk merupakan tanaman yang mampu memanfaatkan input sinar matahari dan air secara lebih efisien pada kondisi cekaman naungan dan kekeringan untuk berlangsungnya proses fotosintesis. Memasuki fase reproduktif, diharapkan pertumbuhan vegetatif tanaman berhenti sehingga asimilat dapat digunakan lebih untuk membentuk membentuk polong dan kemudian mengisi polong. Hasil uji kontras pada Tabel 10 menunjukkan bahwa selain galur CG 22-10, terdapat galur lain yang mampu membentuk polong lebih banyak dibandingkan varietas toleran naungan, yaitu galur GC 22-10, SC 39-1, SC 56-3, dan SC 68-2. Jumlah polong isi pada kelima galur tersebut, kecuali galur SC 39-1, juga lebih tinggi dari jumlah polong isi pada varietas toleran naungan. Hal ini terjadi pula pada perbandingan antara galur-galur kedelai toleran naungan dengan varietas toleran kekeringan (Tabel 11). Bahkan berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa hampir semua galur kedelai toleran naungan yang diuji menunjukkan karakter jumlah polong total dan jumlah polong isi yang lebih baik dibandingkan varietas toleran kekeringan, kecuali galur SP-30-4. Ini mengindikasikan bahwa pada kondisi tercekam kekeringan galur-galur kedelai toleran naungan yang dievaluasi memiliki daya adaptasi lebih baik daripada varietas yang toleran kekeringan dengan membentuk dan mengisi polong lebih banyak.
Bobot Biji per Tanaman Rata-rata bobot biji per tanaman dari galur-galur yang diuji adalah 1.74 g. Bobot biji per tanaman galur-galur kedelai toleran naungan tersebut lebih rendah dibandingkan bobot bij per tanaman kedelai generasi sebelumnya (F9) yang juga ditanam di bawah tegakan karet (Saragih, 2007), yaitu sebesar 3.71 gram. Menurut Somaatmadja (1985) bobot biji/tanaman yang ideal untuk tanaman kedelai berdaya hasil tinggi adalah sekitar 17 g. Tingginya serangan penggerek polong (Etiella zinckenella) yang terjadi semasa pengisian biji dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya bobot biji per tanaman pada penelitian ini. Penggerek polong (Etiella zinckenella) yang memakan biji membuat biji di dalam polong banyak yang tidak utuh, dan bahkan habis, sehingga menurunkan bobot biji pertanaman. Selain ulat penggerek polong, rendahnya intensitas cahaya matahari serta kondisi kering pada lahan turut menyebabkan berkurangnya hasil per tanaman. Hasil
penelitian
Sukaesih
(2002)
menunjukkan
bahwa
naungan
karet
mempengaruhi secara nyata bobot biji dan hasil kedelai, sementara itu pengaruh kekeringan menurut De Sousa et al. (1997) mengakibatkan periode pengisian biji menjadi lebih singkat sehingga kemungkinan biji yang terbentuk tidak sempurna. Biji yang tidak sempurna menyebabkan penurunan hasil per tanaman. Galur CG 22-10, GC 22-10, dan PG 57-1 merupakan galur-galur yang cukup mampu beradaptasi pada ketiga kondisi cekaman tersebut karena memiliki bobot biji per tanaman yang lebih tinggi dibandingakan varietas toleran naungan (Tabel 10), varietas toleran kekeringan (Tabel 11), dan dibandingkan galur-galur harapan lainnya (Tabel 12).
Bobot 100 butir Bobot 100 butir merupakan karakter yang menunjukkan ukuran biji kedelai yang dihasilkan. Semakin tingggi bobot 100 butir suatu kultivar kedelai maka ukuran biji kedelai juga semakin besar. Galur SC 21-5, SC 39-1, dan SP 30-4 memiliki bobot biji per tanaman yang lebih kecil dibandingkan galur CG 22-10 dan GC 22-10, tetapi ketiga galur tersebut memiliki bobot 100 butir yang lebih besar (Tabel 12).
Dilihat dari nilai tengah bobot 100 butirnya, yaitu 10.14 g, maka biji kedelai dari galur-galur yang diuji termasuk ke dalam biji yang berukuran sedang (Arsyad dan Syam, 1998), meskipun bobot tersebut masih lebih rendah dibandingkan bobot 100 butir yang ideal untuk biji kedelai. Menurut Somaatmadja (1985), tanaman kedelai yang ideal memiliki bobot biji minimal 12 g/100 butir. Bobot 100 butir galur-galur kedelai yang diuji ini masih lebih kecil dibandingkan bobot 100 butir kedelai generasi sebelumnya yang sama-sama ditanam di lahan ternaungi, yakni 4.43 g/25 butir atau sekitar 29.72 g/100 butir. Ini dimungkinkan akibat berkurangnya curah hujan selama fase pengisian polong pertanaman kedelai pada penelitian ini sehingga mengakibatkan kekeringan. Curah hujan rata-rata saat fase pengisian polong (dihitung selama 14 hari) hanya sekitar 4.2 mm. Menurut Hidajat (1985), periode pengisian biji merupakan periode paling kritis dalam masa pertmbuhan kedelai. Keadaan kering selama periode ini bukan saja berakibat ukuran biji menjadi lebih kecil, tetapi dapat pula menyebabkan berkurangnya jumlah bji dalam polong.
Gambar 6. Perbandingan Ukuran Biji Beberapa Galur Kedelai Toleran Naungan serta Ukuran Biji pada Varietas Pembanding
Galur dengan bobot 100 butir terbesar adalah SC 39-1 (11.97 g) dan galur dengan bobot terkecil adalah GC 22-10 (7.42 g). Ukuran biji secara langsung berpengaruh terhadap preferensi petani untuk menanam suatu jenis kedelai tertentu. Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap beberapa petani yang bermukim di sekitar lokasi penelitian, mereka yang pernah menanam komoditas
kedelai sebagai tanaman sela lebih menyukai jenis kedelai dengan biji yang berukuran besar, terutama untuk kedelai berwarna kuning.
Bobot per Petak Hasil per petak dapat menjadi karakter yang digunakan secara langsung untuk proses seleksi. Galur-galur harapan yang diuji dalam penelitian ini selain memiliki karakter toleran terhadap naungan, juga diharapkan memiliki daya hasil yang tinggi sehingga pada saat dilepas sebagai varietas baru minat petani untuk menanam kedelai tersebut juga tinggi. Dengan demikian seleksi berdasarkan bobot biji per petak merupakan hal penting di dalam penelitian ini. Bobot biji per petak rata-rata dari galur-galur yang diuji adalah 200.87 g, dengan nilai kisaran antara 109.32 g – 427.72 g, dimana luas setiap petak percobaan adalah 12 m². Galur dengan bobot biji per petak tertinggi adalah SC 21-5 (427.72 g/12 m²) dan galur dengan bobot biji per petak terendah adalah SC 54-1 (109.32 g/12 m²). Hasil per petak galur-galur kedelai toleran naungan ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil per petak kedelai toleran naungan generasi F9 yang ditanam di lahan terbuka (Januarini, 2007) yang mencapai 513.69 gram. Jika dikonversi ke dalam satuan hektar, maka potensi hasil rata-rata dari galur-galur kedelai toleran naungan pada penelitian ini hanya sekitar 1 kuintal/ha. Hasil ini terbilang sangat kecil, mengingat produktivitas dari varietas kedelai yang ada saat ini dapat mencapai 12 kuintal/ha (Departemen Pertanian, 2009). Rendahnya hasil yang diperoleh dapat disebabkan adanya pengaruh naungan. Menurut Jufri (2006) naungan yang semakin besar akan menyebabkan penurunan hasil yang semakin besar pula. Tingkat naungan 75% bahkan dapat menurunkan hasil hingga 90%. Serangan hama ulat penggerek polong (Etiella zinckenella) yang cukup parah, ditambah dengan kondisi kekeringan yang terjadi mulai fase pembungaan hingga fase pengisian biji, diduga turut memberikan pengaruh terhadap penurunan hasil tersebut. Curah hujan rata-rata selama bulan Juni dan bulan Juli, yaitu bulan di mana kedelai memasuki fase pembungaan, pengisian polong, hingga pemasakan polong, masing-masing hanya 149.1 mm dan 77 mm, sementara lokasi yang ideal
untuk kedelai adalah lokasi dengan curah hujan sedang, yaitu 150-200 mm/bulan (Baharsjah, 1985). Menurut Hidajat (1985), periode pengisian biji merupakan periode paling kritis dalam masa pertmbuhan kedelai. Keadaan kering selama periode ini bukan saja berakibat ukuran biji menjadi lebih kecil, tetapi dapat pula menyebabkan berkurangnya jumlah bji dalam polong. Berkurangnya jumlah biji dalam polong akan mempengaruhi bobot biji per tanaman, dan secara langsung berpengaruh pula pada bobot biji secara keseluruhan (bobot biji per petak). Hasil uji kontras tabel 11 menunjukkan pada kondisi lahan pertanaman yang tercekam kekeringan, semua galur harapan kedelai toleran naungan yang dievaluasi dalam penelitian ini menunjukkan daya adaptasi yang lebih baik dibandingkan varietas yang telah dikenal sebagai varietas toleran kekeringan. Hal ini ditunjukkan salah satunya dengan karakter bobot biji per petak. Bobot biji per petak dari galur-galur kedelai toleran naungan lebih tinggi dari nilai tengah bobot biji per petak pada varietas toleran kekeringan. Apabila dilihat dari kondisi lingkungan dengan cekaman naungan, hanya galur CG 22-10, GC 22-10, dan SC 21-5 yang menunjukkan karakter bobot biji per petak lebih baik dari nilai tengah bobot biji per petak varietas toleran naungan. Hal ini menunjukkan pada kondisi tercekam naungan, galur CG 22-10, GC 22-10, dan SC 21-5 memiliki daya adaptasi yang lebih baik di antara galur-galur lainnya dan bahkan dari varietas toleran naungan.
Korelasi antara Karakter Agronomi dan Karakter Komponen Hasil terhadap Karakter Hasil per Tanaman Keeratan hubungan antara karakter komponen hasil dengan hasil penting untuk diketahui di dalam proses seleksi. Karakter-karakter komponen hasil yang memiliki korelasi yang kuat terhadap hasil dapat dijadikan kriteria untuk seleksi. Kisman (2007) menulis bahwa informasi korelasi penting dalam kegiatan pemulian tanaman terutama dalam melakukan seleksi sifat-sifat baik (desired characters). Dalam seleksi genotipe kedelai yang adaptif pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah di mana karakter hasil merupakan karakter utama (primer), maka karakter yang memiliki keeratan hubungan dengan hasil
merupakan karakter penting yang dapat digunakan sebagai kriteria sekunder dalam seleksi tidak langsung (indirect selection). Nilai koefisien korelasi (r) berada di antara -1 dan +1, dengan nilai ekstrem menunjukkan hubungan linear yang sempurna dan nilai tengah nol menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua peubah (Gomez dan Gomez, 2007). Tabel 13 menunjukkan nilai koefisien korelasi karakter-karakter komponen hasil dengan karakter hasil per tanaman. Nilai korelasi beberapa karakter agronomi dan karakter komponen hasil mempunyai nilai yang positif, kecuali pada karakter bobot 100 butir dan umur panen yang mempunyai nilai berlawanan (negatif). Nilai positif menunjukkan karakter tersebut memiliki hubungan searah dengan hasil, dan sebaliknya nilai negatif menunjukkan hubungan yang berlawanan antara karakter tersebut dengan hasil. Karakter agronomi tinggi tanaman saat panen memiliki korelasi yang nyata dan searah terhadap hasil per tanaman. Demikian halnya pada karakter umur berbunga yang berkorelasi sangat nyata terhadap hasil per tanaman. Sementara itu pada beberapa karakter komponen hasil, yaitu jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, jumlah polong total, dan jumlah polong isi juga memiliki nilai korelasi yang sangat nyata dan bernilai positif. Ini sesuai dengan penelitian Hanafiyah (2003) bahwa karakter Jumlah Cabang Produktif, Jumlah Buku Produktif, Jumlah Polong Total, dan Jumlah Polong Isi menunjukkan korelasi positif terhadap hasil. Nilai koefisien korelasi yang sangat nyata dan positif (searah) antara karakter agronomi dan karakter komponen hasil terhadap hasil biji per tanaman mengindikasikan bahwa karakter-karakter tersebut memberikan kontribusi terhadap hasil. Apabila terjadi peningkatan pada karakter agronomi dan karakter komponen hasil tersebut maka akan diikuti peningkatan hasil biji per tanaman. Dengan demikian perbaikan pada karakter-karakter tersebut dapat meningkatkan hasil per tanaman. Karakter umur panen tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan karakter hasil per tanaman. Hubungan yang tidak nyata menggambarkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kedua karakter tersebut. Perubahan yang terjadi pada salah satu karakter belum tentu akan diikuti oleh perubahan karakter lainnya.
Ini tidak sesuai dengan penelitian Hanafiyah (2003) yang menunjukkan bahwa karakter umur panen memiliki korelasi yang nyata namun bernilai negatif, yang berarti bahwa peningkatan umur panen akan diikuti penurunan hasil per tanaman. Menurut Wirnas et al. (2006), peningkatan umur panen akibat keterlambatan panen dapat menurunkan bobot biji per tanaman. Hal ini terjadi karena daun sudah gugur sebelum biji matang fisiologis sehingga tidak ada lagi asupan nutrisi dari daun tetapi biji masih berespirasi. Karakter agronomi, seperti tinggi tanaman saat panen dan umur berbunga, mempunyai nilai koefisien korelasi yang tinggi. Namun nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi ditunjukkan oleh karakter-karakter komponen hasil, yang meliputi jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, jumlah polong isi, dan dan jumlah polong total, di mana nilai korelasinya mendekati satu, yang berarti berkorelasi hampir sempurna. Hal ini menggambarkan bahwa dibandingkan dengan karakter agronomi, karakter-karakter komponen hasil per tanaman memiliki hubungan yang lebih erat terhadap hasil per tanaman. Semua karakter yang berhubungan erat terhadap hasil dapat dipilih sebagai kriteria seleksi.
Tabel 13. Nilai Koefisien Korelasi antara Karakter Agronomi dan Karakter Komponen Hasil terhadap Karakter Hasil per Tanaman pada GalurGalur Kedelai Toleran Naungan Karakter
Koefisien Korelasi
Tinggi Tanaman (cm)
0.547*
Jumlah Cabang Produktif
0.904**
Jumlah Buku Produktif
0.827**
Jumlah Polong Isi
0.907**
Jumlah Polong Total
0.808**
Bobot 100 Butir (gram)
-0.558**
Umur Berbunga (HST)
0.507**
Umur Panen (HST)
-0.381tn
Galur-galur Kedelai Toleran Naungan Terbaik Seleksi merupakan kegiatan pemuliaan tanaman yang sangat penting dan dapat dilakukan apabila terdapat keragaman. Seleksi dapat didasarkan pada penampilan individu dalam populasi, antara lain jumlah polong isi atau tinggi tanaman. Hasil-hasil penelitian korelasi antar ciri-ciri agronomik dapat digunakan sebagai penuntun dalam seleksi terhadap hasil walaupun penggunaannya dalam peramalan hasil kurang efektif, kecuali karakter biji itu sendiri (Somaatmadja, 1985). Seleksi pada penelitian ini dilakukan berdasarkan bobot 100 butir dan bobot biji per petak. Karakter bobot 100 butir menggambarkan ukuran biji dari suatu galur, sementara karakter bobot biji per petak merupakan potensial hasil yang dimiliki oleh suatu galur. Tiga galur harapan dengan nilai tengah bobot 100 butir dan bobot biji per petak yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tengah keempat varietas pembanding selanjutnya akan diajukan untuk pelepasan varietas. Nilai tengah karakter bobot 100 butir dari keempat pembanding adalah 11.68 g dan nilai tengah untuk karakter bobot biji per petak adalah 153.60 g/12 m². Berdasarkan Tabel 14 diperoleh tiga galur dengan bobot 100 butir yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tengah pembanding, yaitu galur SC 21-5 (11.76 g), SC 39-1 (11.97 g), dan SP 30-4 (11.72 g). Galur SC 39-1 memiliki bobot 100 butir paling tinggi dibandingkan galur-galur lainnya, yaitu sebesar 11.97 g. Ketiga galur tersebut, yaitu SC 21-5, SC 39-1, dan SP 30-4 memiliki ukuran biji yang lebih besar daripada varietas Ceneng dan Tanggamus, tetapi berukuran lebih kecil dari varietas Pangrango dan Sibayak. Tiga galur dengan bobot biji per tanaman tertinggi adalah CG 22-10 (3.18 g), GC 22-10 (1.98 g), dan PG 57-1 (1.80 g).
Galur CG 22-10 dan
GC 22-10 memiliki hasil per tanaman lebih tinggi dari keempat varietas pembanding. Sementara galur PG 57-1 memiliki hasil per tanaman lebih tinggi dari varietas Ceneng, Sibayak, dan Tanggamus, tetapi dengan hasil per tanaman yang sama dengan varietas Pangrango (Tabel 14).
Tabel 14. Bobot100 Butir, Bobot Biji per Tanaman, dan Bobot Biji per Petak pada Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan dan Empat Varietas Pembanding
Galur CG-22-10 GC-22-10 PG-57-1 SC-1-8 SC-21-5 SC-39-1 SC-54-1 SC-56-3 SC-68-2 SP-30-4 Rata-rata Varietas Pembanding : Ceneng Pangrango Sibayak Tanggamus Rata-rata Varietas Pembanding
Bobot 100 butir (g) 8.243 7.415 9.577 10.577 11.757 11.974 9.830 9.482 10.785 11.720 10.136
Bobot Biji per Tanaman (g) 3.176 1.977 1.801 1.463 1.569 1.399 1.079 1.423 1.746 1.742 1.737
Bobot per petak (g/12m²) 424.023 218.514 179.599 112.971 427.722 127.316 109.322 131.664 136.022 141.524 200.867
10.811 12.261 12.478 11.177 11.682
1.620 1.826 0.741 1.136 1.331
187.387 224.297 60.603 142.113 153.600
Keterangan: Ceneng dan Pangrango adalah varietas toleran naungan; Sibayak dan Tanggamus adalah varietas toleran kekeringan dan tanah masam
Sementara itu, tiga galur dengan bobot biji per petak tertinggi adalah galur CG 22-10 (424.02 g/12 m²), GC 22-10 (218.51 g/12 m²), dan galur SC 21-5 (427.722 g/12 m²), dimana galur SC 21-5 memiliki bobot biji per petak tertinggi dibandingkan kedua galur lainnya. Karakter bobot biji per petak dari suatu galur selain dipengaruhi oleh bobot biji tiap tanaman dari galur, juga dipengaruhi oleh jumlah populasi tanaman yang dipanen pada petak tersebut. Apabila jumlah tanaman yang dipanen pada suatu petak sedikit, meskipun bobot biji tiap tanaman pada petak tersebut tinggi, maka bobot biji per petak yang dihasilkan akan rendah. Galur SC 21-5 memiliki karakter bobot biji per tanaman yang lebih rendah dari galur PG 57-1. Akan tetapi jumlah populasi yang dipanen pada galur SC 21-5 lebih banyak dari jumlah populasi yang dipanen pada galur PG 57-1 sehingga bobot biji per petak galur SC 21-5 juga lebih tinggi. Tingginya jumlah individu tanaman yang dipanen pada galur SC 21-5 disebabkan galur tersebut memiliki
daya berkecambah paling tinggi di antara galur-galur kedelai toleran naungan lainnya. Selain itu populasi pada galur tersebut diduga mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan tercekam sehingga jumlah individu tanaman yang tetap hidup hingga memasuki waktu panen tetap tinggi. Jika dibandingkan dengan empat pembanding yang digunakan, galur CG 22-10 dan SC 21-5 memiliki bobot biji per petak yang lebih tinggi dibandingkan bobot biji per petak pada keempat pembanding tersebut. Sementara itu galur GC 22-10 memiliki bobot biji per petak lebih tinggi daripada pembanding Ceneng, Sibayak, dan Tanggamus, tetapi tidak lebih tinggi dari bobot biji per petak pada pembanding Pangrango. Galur-galur harapan yang telah dipilih, yaitu CG 22-10, GC 22-10, dan SC 21-5, diduga memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik pada lingkungan bercekaman (suboptimum), khususnya cekaman naungan dan kekeringan, karena secara umum ketiga galur tersebut menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan varietas yang telah dikenal memiliki karakter toleran naungan (Ceneng dan Pangrango), serta menunjukkan hasil yang lebih baik pula dibandingkan varietas yang dikenal memiliki karakter toleran tanah kering dan masam (Sibayak dan tanggamus). Selain itu galur CG 22-10, GC 22-10 dan SC 21-5 masih dapat menghasilkan produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan galur-galur lainnya meskipun mengalami penurunan.
Gambar 7. Ukuran Biji dan Warna pada Tiga Galur Kedelai Toleran naungan Terbaik Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Petak
Galur-galur yang telah dipilih selain memiliki hasil biji yang baik, juga diharapkan didukung oleh keragaan agronomi yang baik pula karena keragaan agronomi yang dimiliki oleh suatu galur kedelai dapat secara langsung berpengaruh terhadap hasil itu sendiri. Menurut Arsyad et al. (2007), tipe kedelai ideal (ideotype) berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik pada lahan yang kurang subur antara lain memiliki tinggi tanaman 80-100 cm, percabangan banyak (5-6 cabang), biji berukuran sedang (12 g/100 biji), memiliki umur berbunga 40-45 hari dan umur masak 90-95 hari. Berdasarkan karakter-karakter agronomi untuk kedelai ideal tersebut, tidak ada galur dengan karakter yang sepenuhnya sesuai dengan ideotype tersebut (Tabel 15).
Tabel 15. Keragaan Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan Terbaik Berdasarkan Karakter Bobot 100 Butir dan Karakter Hasil per Petak
Galur SC-21-5 SC-39-1 SP-30-4 CG-22-10 GC-22-10
Tinggi Jumlah Jumlah Umur Tanaman Cabang Buku Berbunga (cm) Produktif Produktif (HST) 54.05 4 9 40 56.56 5 11 39 71.61 5 11 43 86.52 7 21 42 73.47 5 14 45
Umur Panen (HST) 86 93 96 85 85
Bobot 100 Butir (g) 11.76 11.97 11.72 8.24 7.42
Galur SC 21-5, SC 39-1, dan SP 30-4 memiliki karakter tinggi tanaman yang masih kurang dari karakter tinggi tanaman kedelai yang ideal di lingkungan suboptimum, sementara galur CG 22-10 dan GC 22-10 memiliki umur tanaman yang lebih genjah dan ukuran biji yang relatif kecil. Akan tetapi secara umum galur SP 30-4 merupakan galur dengan karakter-karakter agronomi yang paling mendekati ideotype kedelai ideal yang dikemukakan oleh Arsyad et al. (2007) tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Galur-galur kedelai toleran naungan yang dievaluasi menunjukkan perbedaan pertumbuhan generatif yang sangat nyata tetapi tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan vegetatif yang nyata. 2. Terdapat perbedaan sangat nyata dari galur-galur kedelai toleran naungan pada karakter jumlah buku produktif, jumlah polong isi, jumlah polong total, persentase polong isi, bobot 100 butir, bobot biji per petak, umur berbunga, dan umur panen. Sementara itu perbedaan yang nyata terdapat pada karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, dan bobot biji per tanaman, serta tidak terdapat perbedaan yang nyata pada karakter jumlah polong hampa dari galur-galur kedelai toleran naungan yang diuji. 3. Galur SC 39-1, SC 21-5, dan SP 30-4 merupakan tiga galur terbaik berdasarkan karakter bobot 100 butir. Sedangkan galur SC 21-5, CG 22-10, dan GC 22-10 adalah tiga galur terbaik berdasarkan karakter bobot biji per petak. Galur-galur tersebut memiliki hasil lebih baik di antara galur-galur kedelai toleran naungan lainnya, serta lebih baik pula dibandingkan dengan varietas pembanding yang digunakan. 4. Karakter tinggi tanaman berkorelasi nyata dan searah terhadap bobot biji per tanaman. Karakter umur berbunga, serta karakter-karakter komponen hasil yang meliputi jumlah cabang produktif, jumlah buku produktif, jumlah polong total, dan jumlah polong isi mempunyai korelasi yang sangat nyata, dan searah terhadap karakter bobot biji per tanaman. Dibandingkan karakter agronomi, karakter komponen hasil memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap karakter bobot biji per tanaman.
Saran Penanaman sebaiknya dilakukan mulai akhir musim hujan agar tanaman kedelai tidak mengalami kekeringan, terutama saat memasuki fase pembentukkan dan pengisian polong, akibat curah hujan yang rendah. Hal ini dikarenakan pada penanaman di bawah tegakan tanaman karet tidak terdapat sistem irigasi sehingga sumber air yang diperlukan oleh tanaman sangat bergantung pada curah hujan. Galur yang disarankan untuk pelepasan varietas berdasarkan karakter bobot 100 butir adalah SC 39-1, SC 21-5, dan SP 30-4; serta galur SC 21-5, CG 22-10, dan GC 22-10 berdasarkan karakter bobot per petak. Namun diperlukan gambaran lebih lanjut mengenai preferensi petani terhadap galur-galur kedelai toleran naungan tersebut sebelum dilakukan pelepasan varietas.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2007. Kedelai: Budi Daya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta. 107 hal. Afriana, M. 2003. Studi Karakter Morfologi dan Anatomi Tanaman Kedelai (Glycine max) pada Beberapa Taraf Naungan Buatan. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 46 hal. Arsyad, D.M. dan M. Syam. 1998. Kedelai: Sumber Pertumbuhan Produksi dan Teknik Budidaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan.Bogor. 29 hal. Arsyad, D.M., M.M. Adie, H. Kuswantoro. 2007. Perakitan varietas unggul kedelai spesifik agroekologi, hal. 205-223. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Asadi, D.M. Arsyad, H. Zahara, dan Darmijati. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran naungan dan tumpang sari. Bul. Agrobio. 1(2): 15-19. Baharsjah, J.S., D. Suardi, dan I. Las. 1985. Hubungan iklim dengan pertumbuhan kedelai. hal. 87-94. Dalam Somaatmadja, M. Ismunadji, dan Sumarno (Eds.). Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Baharsjah, J.S., M.BI. De Rozari. 1987. Climatic aspects of soybean production in Indonesia, p.189-198. In J.W.T. Bottema, F. Dauphin, and G. Gijbers. Soybean Research and Development in Indonesia. Proc. of a Workshop Held in Cipayung. CGPRT Centre. Baharsjah, J.S. 1992. Legum. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 98 hal. Boer, R., I. Las, J.S. Baharsjah, dan A. Bey. 1994. Pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah PMK pada tingkat radiasi surya dan tiga tingkat pengapuran. Jour. Agromet 10(1 dan 2):1-7. Burton, J.W. 1987. Quantitive genetics: results relevant to soybean breeding, p. 227. In J.R. Wilcox (Ed.). Soybean: Improvement, Production, and Uses. Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo, Sumarno. 1999. Physiology and Genetic of Upland Rice Adaptation to Shade. Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture.
Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 1985. Seed Science and Technology. Chapman and Hall. USA. 409 p. Darmijati. 1992. Pengaruh TSP terhadap kedelai pada berbagai intensitas radiasi surya. Penelitian Pertanian. 12(3):158-162. Departemen Pertanian. 2009. Basis Data Pertanian. http://database.deptan.go.id. [24 November 2009]. De Sousa, P.I., D.B. Egli, dan W.P. Bruening. 1997. Water stress during seed filling and leaf senescence in soybean. Jour. Agron. 89:807-812. Fahmi, Z.I. 2003. Iklim Mikro dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Produksi dan Daya Adaptasi Genotipe-Genotipe Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Empat Tingkat Naungan Buatan. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 76 hal. Fitter, A.H., dan R.K.M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. S. Andani dan E.D. Purbayanti (Penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 421 hal. Terjemahan dari: Environmental Physiology of Plant. Gomez, K.A., dan A.A. Gomez. 2007. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian. E. Sjamsudin dan J. S. Baharsjah (Penerjemah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Hanafiyah, A. 2007. Uji Daya Hasil Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet di Kebun Karet Cilangkap, Sukabumi. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 44 hal. Handayani, T. 2003. Pola Pewarisan Sifat Toleran Terhadap Intensitas Cahaya Rendah pada Kedelai (Glycine max (L.) Merill.) dengan Penciri Spesifik Karakter Anatomi, Morfologi, dan Molekuler. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 175 hal. Hasnah, L.R. 2003. Daya Adaptasi Beberapa Genotipe Kedelai (Glycine max) pada Berbagai Tingkat Naungan Pohon Karet. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 41 hal. Hermiati, N. 2001. Metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri, hal 32-34. Diktat Kuliah Pemuliaan Tanaman. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran. Bandung.
Hidajat, O.O. 1985. Morfologi tanaman kedelai. hal 73-86. Dalam Somaatmadja, M. Ismunadji, dan Sumarno (Eds.). Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hinson, K. and E.E. Hartwig. 1982. Research Agronomist United States Development of Agriculture. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 222 p. Januarini, T.R. 2007, Uji Daya Hasil Galur-Galur Harapan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Berdaya Hasil Tinggi. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal. Jufri, A. 2006. Mekanisme Adaptasi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 130 hal. Kisman. 2007. Analisis Genetik dan Molekuler Adaptasi Kedelai Terhadap Intensitas Cahaya Rendah Berdasarkan Karakter Morfo-fisiologi Daun. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 148 hal. La Muhuria. 2007. Mekanisme Fisiologi dan Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai (Glycine max (L.) Merril.) terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 163 hal. Liu, K. 1997. Soybeans: Chemistry, Technology, and Utilization. Chapman and Hall. New York. Loanda, K. 1999. Bertanam di bawah kanopi. Majalah Agronomika 1(2):6. Mak, C.K., and T.C. Yap. 1983. Soybean intercropping with rubber and oil palm. Proceedings of a Symposium Tsukuba. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua. p. 61-65. Mimbar, S.M. 1994. Pengaruh Pola Tumpang Sari Ubi kayu Adira 1 dan Kedelai Orba terhadap Retensi Polong dan Hasil Kedelai Orba. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang. 139 hal. Pandey, R.K. 1987. A Farmer’s Primer on Growing Soybean on Riceland. IRRI. Los Banos. 216 p. Poehlman, J.M. 1996. Breeding Field Crops. Henry Hall & Company, Inc. New York. 427 p. Putisari, M. 2001. Kandungan Karotenoid, Pertumbuhan, dan Produksi Beberapa Genotipe Kedelai (Glycine max (L.) Merrill.) pada Intensitas Cahaya Rendah. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hal.
Rukmana, R. dan Yuniarsih. 1995. Kedelai: Budidaya, dan Pascapanen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 92 hal. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. D.R. Lukman dan Sumaryono (Penerjemah). Penerbit ITB. Bandung. 343 hal. Terjemahan dari: Plant Physiology.
Saragih, Reydianna. 2007. Uji Daya Hasil Pendahuluan Galur-Galur Harapan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) di Bawah Tegakan Karet di Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 41 hal. Somaatmadja, S. 1985. Peningkatan produksi kedelai melalui perakitan varietas, hal 243-259. Dalam M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswadi, (Eds.). Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sopandie, D., Kisman, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, dan Sobir. 2007. Karakter morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron. 35(2):96-102. Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, dan N. Khumaida. 2006. Laporan Akhir Penelitian; Fisiologi, Genetik, dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah: Pengembangan Varietas Unggul Kedelai sebagai Tanaman Sela. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 158 hal. Sukaesih, E. 2002. Studi Karakter Iklim Mikro pada Berbagai Tingkat Naungan Pohon Karet dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan 20 Genotipe Kedelai (Glycine max (L.) Merr). Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 51 hal. Suprapto, H.S. 1998. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. 74 hal. Suyamto dan T. Adisarwanto. 2006. Evaluasi galur kedelai toleran kekeringan, hal. 62-68. Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Wardoyo, S.D.Y. 2009. Uji Daya Hasil Lanjutan Galur-Galur Harapan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Berdaya Hasil Tinggi. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 57 hal. Wirnas, D., I. Widodo, Sobir, Trikoesoemaningtyas, dan D. Sopandie. 2006. Pemilihan karakter agronomi untuk menyusun indeks seleksi pada 11 populasi kedelai generasi F6. Bul. Agron. (34) (1): 19-24.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sidik Ragam Keragaan Galur-Galur Kedelai Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet
Sidik Ragam Variabel Tinggi Tanaman Saat Panen Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 115,880 5130,796 3910,943 9157,619
Kuadrat Tengah 57,940 394,677 150,421 -
F hitung
Pr > F
0,39 2,62 -
0,684tn 0,018* -
Sidik Ragam Variabel Jumlah Cabang Produktif Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 4,895 37,016 29,445 71,356
Kuadrat Tengah 2,447 2,847 1,133 -
F hitung
Pr > F
2,16 2,51 -
0,136tn 0,022* -
F hitung
Pr > F
0,20 3,11 -
0,819tn 0,007** -
F hitung
Pr > F
0,01 2,94 -
0,994tn 0,009** -
Sidik Ragam Variabel Jumlah Buku Produktif Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 3,216 324,349 208,751 536,316
Kuadrat Tengah 1,608 24,949 8,029 -
Sidik Ragam Variabel Jumlah Polong Total Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 0,595 1783,066 1210,939 2994,599
Kuadrat Tengah 0,297 137,159 46,575 -
Sidik Ragam Variabel Jumlah Polong Bernas Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 5,258 1367,245 767,456 2139,958
Kuadrat Tengah 2,629 105,173 29,518 -
F hitung
Pr > F
0,09 3,56 -
0,915tn 0,003** -
F hitung
Pr > F
0,54 2,07 -
0,587tn 0,056tn -
F hitung
Pr > F
0,45 3,74 -
0,639tn 0,002** -
F hitung
Pr > F
0,36 2,29 -
0,703tn 0,035* -
Sidik Ragam Variabel Jumlah Polong Hampa Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 7,611 187,764 181,795 377,171
Kuadrat Tengah 3,806 14,443 6,992 -
Sidik Ragam Variabel Persentase Polong Isi Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 102,998 5506,323 2944,612 8553,933
Kuadrat Tengah 51,499 423,563 113,254 -
Sidik Ragam Variabel Bobot per Tanaman Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 0,291 12,125 10,587 23,002
Kuadrat Tengah 0,146 0,933 0,407 -
Sidik Ragam Variabel Bobot 100 Butir Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 0,362 89,274 10,384 100,020
Kuadrat Tengah 0,181 6,867 0,399 -
F hitung
Pr > F
0,450 17,190 -
0,641tn 0,0001** -
Kuadrat Tengah 935,694 33773,666 15106,606 -
F hitung
Pr > F
0,06 2,24 -
0,940tn 0,039* -
Sidik Ragam Variabel Bobot per Petak Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 1871,388 439057,654 392771,764 833700,806
Sidik Ragam Variabel Bobot per Petak Hasil Transformasi Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 0,021 1,838 1,203 3,062
Kuadrat Tengah 0,011 0,141 0,046 -
F hitung
Pr > F
0,23 3,05 -
0,797tn 0,007** -
Sidik Ragam Variabel Umur Berbunga Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 0,143 215,238 41,191 256,571
Kuadrat Tengah 0,071 16,557 1,584 -
F hitung
Pr > F
0,050 10,450 -
0,956tn 0,0001** -
F hitung
Pr > F
1,15 6,23 -
0,331tn 0,0001** -
Sidik Ragam Variabel Umur Panen Sumber Keragaman Ulangan Perlakuan Galat Umum
Derajat Bebas 2 13 26 41
Jumlah Kuadrat 25,333 889,452 285,333 1200,119
Kuadrat Tengah 12,667 68,419 10,974 -
Lampiran 2. Deskripsi Varietas Pangrango (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2007)
Nama Varietas
: Pangrango
Kategori
: Varietas unggul nasional (released variety)
SK
: 587/Kpts/TP.240/9/95 tanggal 4 September 1995
Tahun
: 1995
Tetua
: Persilangan varietas lokal Lampung x davros pada tahun 1983
Rataan hasil
: ± 2.0 ton/ha (tumpang sari dengan jagung)
Potensi hasil
: 1.4 ton/ha (tumpang sari dengan jagung)
Pemulia
: Asadi, Darman M. Arsyad, Sumarno, Hafni Zahara, dan Nurwita Dewi
Nomor galur
: B8306-4-4
Warna hipokotil
: Ungu
Warna bunga
: Ungu
Warna biji
: Kuning
Warna hilum
: Coklat
Warna kulit polong masak
: Coklat
Warna bulu
: Coklat
Tipe tumbuh
: Determinate
Tinggi tanaman
: ± 65 cm
Batang tanaman
: Kokoh (tidak mudah rebah)
Jumlah cabang
: 3 – 4 cabang
Umur mulai berbunga
: ± 40 hari
Umur polong masak
: ± 88 hari
Bentuk biji
: Bulat – agak bulat
Bobot 100 biji
: ± 10 gram
Ukuran biji
: Sedang
Kandungan lemak
: ± 18%
Kandungan protein
: ± 39%
Ketahanan terhadap penyakit : Tahan karat daun
Lampiran 3. Deskripsi Varietas Sibayak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2007)
Nama Varietas
: Sibayak
Kategori
: Varietas unggul nasional (released variety)
SK
: 535/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober 2001
Tahun
: 2001
Tetua
: Persilangan tunggal (single cross) antara varietas Dempo dan No. 3577
Potensi hasil
: 1.41 ton/ha
Pemulia
: Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro, Purwantoro
Nomor galur
: D3577-27
Warna hipokotil
: Ungu
Warna bunga
: Ungu
Warna biji
: Kuning
Warna hilum
: Coklat tua
Warna bulu
: Coklat
Tipe tumbuh
: Determinate
Tinggi tanaman
: 74 cm
Kerebahan
: Tahan
Jumlah cabang
: 3-4
Rata-rata jumlah polong per tanaman
: 48
Pecah polong
: Tahan
Bentuk biji
: Oval
Bobot 100 biji
: 12.5 gram
Ukuran biji
: Agak besar
Kandungan lemak
: 13.0%
Kandungan protein
: 44.6%
Ketahanan terhadap penyakit : Moderat terhadap penyakit karat daun
Lampiran 4. Deskripsi Varietas Tanggamus (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2007)
Nama Varietas
: Tanggamus
Kategori
: Varietas unggul nasional (released variety)
SK
: 536/Kpts/TP.240/10/2001 tanggal 22 Oktober 2001
Tahun
: 2001
Tetua
: Hibrida (persilangan tunggal) antara varietas Kerinci dan No.3911
Potensi hasil
: 1.22 ton/ha
Pemulia
: Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro, Purwantoro
Nomor galur
: K.3911-66
Tipe tumbuh
: Determinate
Warna hipokotil
: Ungu
Warna bunga
: Ungu
Warna biji
: Kuning
Warna hilum
: Coklat tua
Warna bulu
: Coklat
Tinggi tanaman
: 67 cm
Kerebahan
: Tahan
Jumlah cabang
: 3-4
Rata-rata jumlah polong per tanaman
: 47
Pecah polong
: Tahan
Bentuk biji
: Oval
Bobot 100 biji
: 11 gram
Ukuran biji
: Sedang
Kandungan lemak
: 12.9%
Kandungan protein
: 44.5%
Ketahanan terhadap penyakit : Moderat terhadap penyakit karat daun