ANALISIS FIKIH KALENDER HIJRIYAH GLOBAL Oleh : M. Ma‟rifat Iman KH.1
ABSTRAK Penentuan Kalender Islam/Hijriyah harus bersifat global, bukan bersifat lokal atau regional yang hanya berlaku di suatu negara tertentu atau hanya berlaku pada beberapa negara. Selanjutnya, dalam menentukan kalender metode rukyat tidak bisa dijadikan landasan, karena penampakan hilal di suatu tempat berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Penentuan awal bulan qamariyah hanya bisa dilakukan dengan menggunakan metode hisab, yang lebih bersifat pasti dan tidak bertentangan dengan landasan syar‟i serta perkembangan ilmu pengetahuan. KATA KUNCI: Kalender hijriah, analisis fikih
PENDAHULUAN Sampai sekarang, Islam belum memiliki suatu kalender yang berlaku untuk seluruh dunia. Sistem yang ada masih bersifat regional, dan berlaku bagi masing-masing negara yang bersangkutan. Di Indonesia, justru tiap-tiap Ormas Islam memiliki sistem kalender sendiri, walaupun pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia telah memilikinya. Sehingga masing-masing Ormas Islam tersebut memiliki suatu kebijakan dalam menentukan sistem penanggalannya masing-masing. Hal yang lebih memprihatinkan ketika menentukan waktu-waktu ibadah, khususnya dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah seringkali terjadi perbedaan pendapat, sehingga terjadi perubahan sistem pengkalenderannya ketika terjadi putusan tentang waktu-waktu ibadah tersebut. Di mana misalnya dalam kalender telah dihitung dan ditetapkan tanggal tertentu terjadinya awal bulan Ramadhan, namun karena penentuan kemudian ditentukan dengan sistem yang berbeda, maka berubahlah ketetapan tentang awal bulan. Hal mana, kemudian kalender yang sudah dibuat terjadi perubahan. Sehingga suatu kalender tidak bersifat tetap, namun dalam bulan-bulan tertentu terjadi perubahan, padahal sifat sebuah kalender atau penanggalan mestinya bersifat pasti dan tidak selalu mengalami perubahan. Sistem kalender Islam yang bersifat internasional bisa saja dilakukan dengan sistem hisab „urfi, sebagaimana telah dipraktikkan oleh „Umar bin Khattab Ra. Akan tetapi, sistem hisab „urfi tidak sesuai dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan, 1
Dosen Tetap Universitas Prof.Dr.HAMKA Jakarta. 1
yang menghitung sesuai dengan fenomena alam yang sebenarnya. Bila hal itu diberlakukan, maka akan terjadi selisih perhitungan yang sangat jauh. Kalender adalah sejumlah sistem untuk menata hari-hari secara teratur. Kalender merupakan koleksi kaidah atau peraturan yang dijadikan dasar untuk menyusun kronologis waktu secara tepat. Dalam kehidupan sehari-hari, kalender digunakan dalam pengertian penanggalan. Kalender dalam arti penanggalan, di samping memuat pengelompokkan hari ke dalam minggu, bulan, dan tahun, juga kadang memuat informasi lain, seperti hari-hari libur, hari-hari atau tanggal-tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dan sebagainya.2 Selain itu, kalender dalam arti penanggalan, lahir dari serangkaian proses, mengacu pada acuan tertentu, dan bertumpu pada sejumlah konsep dan aturan yang melandasinya.3 Di samping itu, kalender juga memiliki fungsi atau arti penting, yakni: Menata kehidupan supaya lebih teratur, dan berfungsi mencatat peristiwa sejarah, untuk merencanakan masa depan lebih tertib, juga berfungsi untuk melaksanakan ibadah dengan mudah dan tepat.4 Oleh karena itu harus dipikirkan, bagaimana menyusun sebuah kalender yang bersifat tetap, pasti dan tidak akan mengalami perubahan pada saat tertentu, kecuali ratusan atau ribuan tahun mendatang, karena pada hakikatnya suatu pemikiran manusia tidak bersifat absolut, atau mutlak, dan penyusunan atau pembuatan kalender tersebut harus bersifat global, atau berlaku secara internasional, karena tidak mungkin sebuah kalender hanya bersifat regional, dan berlaku pada sebuah negara atau hanya beberapa negara, disebabkan fungsi kalender selain untuk menentukan waktu-waktu peribadatan, juga untuk kepentingan kehidupan secara umum, misalnya transaksi bisnis ataupun kepentingan penentuan waktu penyelenggaraan suatu aktivitas kegiatan, seperti resepsi pernikahan, penandatanganan MoU, yang mesti dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam makalah ini akan dibahas pemikiran fikih mengenai sebuah kalender, apakah para ulama pernah mengungkapkan pemikiran sebuah kalender, atau sekurangkurang isyarat yang berkenaan dengannya. Bagaimana isyarat-isyarat pemikiran
2
Lihat Oman Fathurohman SW, “Kalender Muhammadiyah: Konsep dan Implemen-tasinya”, Software, disampaikan dalam Musyawarah AhIi Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, tanggal 29-30 Juli 2006, hal. 3. 3 Oman Fathurohman SW, “Kalender Muhammadiyah: Konsep dan Implementasinya”, Software, hal. 4. 4 Oman Fathurohman SW, “Kalender Muhammadiyah: Konsep dan Implementasinya”, Software, hal. 2.
mereka, atau apabila tidak diketemukan secara pasti, bagaimana konsep fikih berkenaan dengan penyusunan sebuah kalender tersebut. KALENDER ATAU PENANGGALAN A. Arti dan Fungsi Kalender Kalender adalah sebuah sistem pengorganisasian waktu untuk penghitungan waktu selama periode tertentu. Secara konvensi, hari adalah unit kalender terkecil, sementara untuk pengukuran bagian dari sebuah hari digunakan sistem penghitungan waktu (jam, menit, dan detik). Beberapa sistem kalender mengacu pada suatu siklus astronomi yang megikuti aturan yang tetap, tetapi beberapa sistem kalender ada yang mengacu pada sebuah aturan yang abstrak dan hanya mengikuti sebuah siklus yang berulang tanpa memiliki arti secara astronomis. Ada kalender yang dikode berdasarkan hukum tertulis, tapi ada juga yang disampaikan melalui pesan-pesan oral. Menurut sebuah studi tahun 1987, disebutkan bahwa ada sekitar 40 sistem kalender yang saat ini digunakan di dunia dan dikenal dalam pergaulan internasional, namun secara umum dikategorikan ke dalam tiga mażhab besar dalam penghitungan kalender. Yang pertama, adalah sistem kalender matahari (syamsiyyah) atau solar calendar, yaitu sistem kalender yang penghitungannya berdasarkan pada perjalanan Bumi saat melakukan revolusi mengorbit pada Matahari. Kalender Gregorian yang digunakan untuk keperluan sipil di seluruh dunia adalah sistem kalender matahari yang dirancang agar tetap sinkron dengan tahun tropis (musim). Untuk menjaga sinkronisasi ini, jumlah harinya disisipi (dalam bentuk tahun kabisat atau leap year) sebagai tambahan pada jumlah hari rata-rata kalender tersebut. Yang kedua, adalah kalender bulan (qamariyah) atau lunar calendar yang berdasarkan pada perjalanan Bulan selama mengorbit (ber-revolusi terhadap) Bumi. Kalender Islam adalah murni lunar kalendar yang mengikuti siklus fase Bulan tanpa ada keterkaitan dengan tahun tropis. Itulah sebabnya, jumlah hari dalam Kalender Islam selalu secara sistematis bergeser (lebih pendek sekitar 11,53 hari pertahun) daripada Kalender Gregorian. Yang ketiga, adalah lunisolar calendar yang merupakan gabungan atas kedua sistem di atas. Kalender lunisolar memiliki urutan bulan yang mengacu pada siklus fase Bulan, namun pada setiap berbagai tahun tertentu ada sebuah sisipan (intercalacy month) diberikan agar kalender ini tetap sinkron dengan kalender musim (solar calendar). Kalender Yahudi, China, dan Kalender Arab pra-Islam adalah contoh kalender jenis ini.5 5
Baca Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab (Jakarta: P.T. Amythas Publicita, 2007), hal. 47.
Dalam literatur klasik maupun kontemporer, istilah kalender biasa disebut dengan târîkh6, taqwîm7, almanak8, dan penanggalan9. Istilah-istilah tersebut pada prinsipnya memiliki makna yang sama.10 Dari uraian di atas, maka pengertian kalender dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan istilah penanggalan
Sejumlah sistem/kaedah/peraturan untuk menata waktu (hari, minggu, bulan, dan tahun) secara tepat
Memuat informasi hari-hari libur, tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dsb.11 Selain itu, kalender dalam arti penanggalan, lahir dari serangkaian proses,
mengacu pada acuan tertentu, dan bertumpu pada sejumlah konsep dan aturan yang melandasinya.12 Di samping itu, kalender juga memiliki fungsi atau arti penting, yakni:
Menata kehidupan supaya lebih teratur.
Mencatat peristiwa sejarah.
Merencanakan masa depan lebih tertib.
Melaksanakan ibadah dengan mudah dan tepat.13 Inti uraian pemahaman tentang kalender yang berkaitan dengan penelitian ini
adalah memberikan informasi bahwa kalender memiliki beberapa istilah yang 6
Lihat F. Steingass, Arabic-English Dictionary, Cet. II (New Delhi: Cosmo Publications, 1978), hal. 158. Lihat juga Hans Wehr, Dictionary of Modern Written Arabic, Cet. IV (Germany: Otto Harrassonitz, 1994), hal. 15. Baca pula Noor Ahmad SS., Risâlah Sayms al-Hilâl (Kudus: Madrasah Tasywiqât-Tullâb Salâfiyah, t. th.), hal. 7. 7 Lihat Munir Ba‟albaki, al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, Cet. VII (Beirut: Dâr al-„Ilm li al-Malâyin, 1974), hal. 144. Lihat juga Ahmad SH al-Khatib, A New Dictionary of Scientific & Technical Terms, Cet. IV (Libanon: Maktabah Libanon, t. th.), hal. 77. Baca pula Mohamad Khair bin Hj. Mohamad Taib, Takwim Istilah (Hijhrah-Masehi) 1401-1500 H./1980-2077 M. (Kuala Lumpur: Jabatan Perdana Menteri [Bahagian Ugama] Pusat Islam, t. th). 8 Baca Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, t. th.), hal. 1263. Kata almanak juga sering dipakai di kalangan Muhammadiyah dan NU, seperti Almanak Muhammadiyah dan Almanak PB NU. 9 Uraian selengkapnya baca Panji Masyarakat, No. 582, 7-16 Dzulhijjah 1408/21-30 Juli 1988, hal. 74-76. Baca pula Panji Masyarakat, No. 718, Tahun XXXIV, 28 Syawal – 7 Dzulqa‟dah 1412 H./110 Mei 1992 M., hal. 64-67. 10 Baca Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 380 dan 904. Bandingkan dengan Susiknan Azhari, dalam bukunya Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007. 11 Lihat, dan bandingkan dengan Oman Fathurroman SW., “Kalender Muhammadiyah: Konsep dan Implementasinya”, Software, disampaikan dalam Musyawarah AhIi Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, tanggal 29-30 Juli 2006, hal. 3. 12
Oman Fathurohman SW, “Kalender Muhammadiyah: Software, hal. 4. 13 Oman Fathurohman SW, “Kalender Muhammadiyah: Software, hal. 2.
Konsep
dan Implementasi-nya”,
Konsep
dan Implementasi-nya”,
mengandung pengertian penataan dan penentuan tentang waktu, yang memiliki fungsi untuk menentukan kapan dimulai dan diakhirinya pelaksanaan suatu ibadah. Kalender sangat penting dalam berbagai urusan kehidupan, menentukan waktu-waktu ibadah, kesepakatan-kesepakatan (akad perjanjian), dan sebagainya. Oleh karenanya, persoalan kalender harus ditentukan secara sama di seluruh dunia. Jika berbeda antara kalender yang satu dengan yang lain, maka kehidupan ini bisa menjadi kacau, tidak beraturan. Sedangkan sejarah kalender perlu diketahui dan ditentukan pula kesepakatan bersama untuk menentukan permulaan tahun, yang selanjutnya berdasarkan permulaan tersebut akan berjalan proses-proses berikutnya. Pemikiran yang masih sangat beragam tentang kalender tersebut perlu dicari solusinya untuk menentukan sistem kalender mana yang dapat mempersatukan, menuju kesamaan hari dan tanggal. Oleh karenanya, penelitian tentang kalender ini menjadi sangat bermanfaat, antara lain dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi kalangan akademisi, maupun masyarakat luas untuk mempermudah melakukan berbagai aspek kehidupan, terutama dalam mengamalkan ibadah. B. Sejarah Kalender Hijriyah Pembahasan tentang sejarah pengkalenderan terfokus sitem kalender qamariyah atau lunar calendar, karena berkenaan dengan Kalender Islam atau Kalender Hijriyah. Muhammad Wardan Diponingrat dalam bukunya “Ilmu Hisab (Falak)” menyatakan pendapatnya, bahwa tahun pertama ialah tahun yang di dalamnya terjadi hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Satu Muharram pada waktu itu bertepatan hari Kamis, tanggal 15 Juli 622 M. Ketentuan ini adalah menurut pendapat Jumhur Ulama ahli hisab, sebab mukûts hilâl pada hari Rabu petang sewaktu matahari terbenam sudah mencapai 5º57‟. Walaupun demikian ada pula pendapat lain, bahkan pendapat inilah yang dijadikan pegangan bagi umum bahwa 1 Muharram permulaan tahun Hijriyah bertepatan dengan hari Jum‟at Legi tanggal 16 Juli 622 M.14 Sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar (bulan) yang disesuaikan dengan Matahari. Tahun baru (Ra‟s al-Sanah = Kepala Tahun) selalu berlangsung setelah berakhirnya musim panas, sekitar September. Bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober, daun-daun 14
Lihat Muhammad Wardan Diponingrat, Ilmu Hisab (Falak), Cet. I (Yogyakarta: Toko Pandu, 1992), hal. 6. Pendapat beliau sejalan dengan yang dikemukakan oleh Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama R.I. sebagaimana dikemukakan di atas (Bab I).
menguning sehingga bulan itu dinamai shafar (kuning). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi„) berturut-turut dinamai Rabi„ul Awwal dan Rabi„ul Akhir. Januari dan Februari adalah musim dingin (jumâd atau beku), sehingga dinamai Jumâdil Awwal dan Jumâdil Akhir. Kemudian salju mencair (Rajab) pada bulan Maret. Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya„bân (syi„b = lembah), saat turun ke lembahlembah untuk mengolah lahan pertanian atau menggembala ternak. Pada bulan Mei, suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat pada bulan Juni. Itulah bulan Ramhadân (pembakaran) dan Syawwâl (peningkatan). Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzulqa„dah (qa„id = duduk). Akhirnya Agustus dinamai Dzulhijjah, sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim AS.15 Setiap bulan dimulai saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29 hari, sehingga 354 hari setahun, 11 hari lebih cepat dari kalender solar (matahari) yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi‟ yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzulhijjah.16 Ternyata, tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengenai tahuntahun mana saja yang mempunyai bulan nasi‟. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi, jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasi‟, belum masuk Muharram, menurut kalender mereka. Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab. Setelah masyarakat Arab memeluk agama Islam dan bersatu di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, maka turunlah perintah Allah SWT17 agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi‟. 15
Baca selengkapnya Said Aqil Siradj, “Memahami Sejarah Hijrah”, dimuat dalam harian REPUBLIKA, Rabu 9 Januari 2008, hal. 8-9. 16 Said Aqil Siradj, “Memahami Sejarah Hijrah”, harian REPUBLIKA, Rabu 9 Januari 2008, hal. 8. 17 Perintah Allah yang dimaksud adalah al-Qur‟an surat al-Taubah (9) ayat 36-37, yang berbunyi:
ِ ِ ِ ِ الل اثْنَا ع َشر َشهرا ِف كِت ِ إِن ِعد َة الشُّهوِر ِعْن َد ِّين الْ َقيِّ ُم فَلَ تَظْلِ ُموا فِي ِهن َ ض ِمْن َها أ َْربَ َعةٌ ُحُرٌم َذل َ َ اب الل يَ ْوَم َخلَ َق الس َم َوات َواْأل َْر ُ ُ ك الد ًْ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُّ ِ ِ ين َك َفُروا ُُيلونَوُ َع ًاما َ ُ إَّنَا النسيءُ زيَ َادةٌ ف الْ ُك ْفر ي.ي َ ي َكافةً َك َما يُ َقاتلُونَ ُك ْم َكافةً َو ْاعلَ ُموا أَن اللَ َم َع الْ ُمتق َ أَنْ ُف َس ُك ْم َوقَاتلُوا الْ ُم ْشرك َ ض ُّل بو الذ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ .)٦٣-٦٣ :ين (التوبة َ َوُُيَِّرُمونَوُ َع ًاما ليُ َواطئُوا عد َة َما َحرَم اللُ فَيُحلُّوا َما َحرَم اللُ ُزيِّ َن ََلُ ْم ُسوءُ أ َْع َماَل ْم َواللُ لَ يَ ْهدي الْ َق ْوَم الْ َكاف ِر
Dengan turunnya wahyu Allah di atas, Nabi Muhammad SAW mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi bergantung kepada perjalanan matahari. Meskipun nama-nama bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah tetap digunakan karena sudah populer pemakaiannya. Bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim, sehingga Ramadhân (pembakaran) tidak selalu pada musim panas dan Jumâdil Awwal (beku pertama) tidak selalu pada musim dingin. Mengapa harus kalender lunar murni? Hal ini disebabkan agama Islam bukanlah hanya untuk masyarakat Arab di Timur Tengah saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda. Sangatlah tidak adil, jika misalnya Ramadhan (bulan menunaikan ibadah puasa) ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar, sebab hal ini mengakibatkan masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau selalu di musim dingin. Sebaliknya, dengan memakai kalender lunar yang murni, masyarakat Kazakhstan atau umat Islam di London berpuasa 18 jam di musim panas, tetapi berbuka puasa pukul empat sore di musim dingin. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada suatu saat merasakan teriknya matahari Arafah di musim panas, dan pada saat yang lain merasakan sejuknya udara Makkah di musim dingin. Pada masa Nabi Muhammad SAW, penyebutan tahun berdasarkan suatu peristiwa yang dianggap penting pada tahun tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad SAW lahir tanggal 12 Rabi„ul Awwal Tahun Gajah („Âm al-Fîl), sebab pada tahun tersebut pasukan bergajah, raja Abrahah dari Yaman berniat menyerang Ka‟bah. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat tahun 632, kekuasaan Islam baru meliputi Semenanjung Arabia. Tetapi, pada masa Khalifah „Umar ibn Khaththâb (634-644) kekuasaan Islam meluas dari Mesir sampai Persia. Pada tahun 638, Gubernur Irak Abû Mûsâ al-Asy‟âri berkirim surat kepada Khalifah „Umar di Madinah, yang isinya antara lain: “Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun”.18 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Q.S. 9/al-Taubah:36-37). 18
Baca Said Aqil Siradj, harian REPUBLIKA, Rabu 9 Januari 2008, hal. 9.
Khalifah „Umar ibn Khattab menyetujui usul gubernurnya ini. Terbentuklah panitia yang diketuai Khalifah „Umar sendiri dengan anggota enam sahabat Nabi terkemuka, yaitu: „Utsmân ibn „Affan, „Alî ibn Abî Thâlib, „Abdurrahmân ibn „Auf, Sa‟ad ibn Abî Waqqas, Thalhah ibn „Ubaidillâh, dan Zubair ibn „Awwâm. Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun Satu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka tahun. Ada yang mengusulkan penghitungan dari tahun kelahiran Nabi („Am al-Fîl, 571 M.), dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama („Am al-Bi‟tsah, 610 M.). Tetapi, akhirnya yang disepakati panitia adalah usul dari „Alî ibn Abî Thâlib, yaitu tahun berhijrahnya kaum muslimin dari Mekah ke Madinah („Am al-Hijrah, 622 M.). „Alî ibn Abî Thâlib mengemukakan tiga argumen. Pertama, dalam al-Qur‟an sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hâjarû). Kedua, masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah hijrah ke Madinah. Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriyah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah pada kondisi yang lebih baik. Selanjutnya, Khlaifah „Umar ibn Khattab mengeluarkan keputusan bahwa tahun hijrah Nabi adalah Tahun Satu, dan sejak saat itu kalender umat Islam disebut Tarikh Hijriyah. Tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Tammuz 622 Rumi (16 Juli 622 Masehi). Tahun keluarnya keputusan Khalifah itu (638 M.) langsung ditetapkan sebagai tahun 17 Hijriyah. Dokumen tertulis bertarikh Hijriyah yang paling awal (mencantumkan Sanah 17 = Tahun 17) adalah Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah „Umar ibn Khattab kepada seluruh penduduk kota Aelia (Yerussalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi.19 Kalender Hijriyah setiap tahun 11 hari lebih cepat dari kalender Masehi, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil. Angka tahun Hijriyah pelan-pelan „mengejar‟ angkat tahun Masehi, dan menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriyah.20 FIKIH KALENDER HIJRIYAH Uraian tentang Fikih Kalender Hijriyah tidak terlepas dari pemahaman tentang penentuan waktu-waktu ibadah. Penentuan waktu-waktu ibadah berkenaan dengan 19 20
Lihat Said Aqil Siradj, harian REPUBLIKA, Rabu 9 Januari 2008, hal. 9. Said Aqil Siradj, harian REPUBLIKA, hal. 9.
kapan permulaan hari dan kapan terjadinya awal bulan. Karena Kalender Hijriyah berlandas pada peredaran (revolusi) bulan mengelilingi bumi, maka yang dimaksud dengan awal bulan adalah awal bulan qamariyah. Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini akan diuraikan tentang kapan terjadinya permulaan hari, dan kapan pula permulaan bulan qamariyah. A. Permulaan Hari Ada beberapa isyarat dikemukakan oleh para ulama fikih mengenai permulaan hari, namun di antara merekapun terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat permulaan hari itu di waktu maghrib, namun ada pula yang menyebutkannya di waktu fajar. Dalam kajian fikih, menurut jumhur ulama, hari dimulai sejak terbenamnya matahari (di waktu maghrib). Mereka mengemukakan sebuah isyarat dengan kewajiban atau tidaknya seseorang membayar zakat fitrah. Jika seseorang meninggal dunia sebelum matahari terbenam di akhir Ramadhan, ia tidak dikenai kewajiban membayar zakat fritrah, karena dia dianggap tidak menghadiri datangnya Idul Fitri, yang jatuh pada saat terbenam matahari di akhir Ramadhan. Namun, apabila dia meninggal setelah terbenan matahari di akhir Ramadhan, maka ia dianggap telah menghadiri datangnya Idul Fitri, dan ia (ahli warisnya) wajib dikenakan membayar zakat fitrah. Namun bagi bayi yang dilahirkan atau orang yang masuk Islam sebelum terbenam matahari, ia (orang tua bayi, atau muallaf tersebut) terkena kewajiban membayar zakat fitrah, karena bayi atau muallaf itu itu telah dianggap menghadiri Ramadhan. Akan tetapi, jika bayi atau muallaf itu lahir atau memeluk Islam setelah terbenam matahari di akhir Ramadhan, maka ia tidak terkena kewajiban membayar zakat fitrah, karena dianggap tidak menghadiri Ramadhan.21 Pandangan jumhur ulama tersebut memberikan isyarat bahwa mulainya hari adalah pada saat terbenamnya matahari, yaitu di waktu maghrib. Di lain fihak, di kalangan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hari itu dimulai pada saat terbitnya fajar. Di mana mereka berpendapat waktu jatuh tempo terkena kewajiban atau tidaknya membayar zakat fitrah bagi orang yang meninggal dan bayi 21
Lihat Muhammad Jawad Mughniyyah, “al-Fiqh „alâ al-Mażâhib al-Khamsah” (Beirut: Dâr alJawâd, T.Th), diterjemahkan oleh Masykur A.B., dkk., Fiqih Lima Mazhab, Cet. X (Jakarta: Lentera, 2003), hal. 197. Lihat pula hadis yang diriwayatkan oleh al-Dâruquthnî dan Ishâq ibn Rahawaih; diriwayatkan juga oleh Abû Dâwud dan al-Baihaqî dengan lafazh yang sedikit berbeda. Lihat juga alDâruquthnî, Sunan al-Dâruquthnî (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, T.Th.), II: 44; dan Ishâq ibn Rahawaih, Musnad Ishâq ibn Ruhawaih, (Madinah: Maktabât al-Îmân, T.Th.), hal. 429. Lihat pula alKasânî, Badâ‟i al-Shanâ‟i fî Tartîb al-Syarâ‟i, Cet. II (Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1419/1998), II:206.
yang dilahirkan atau orang yang masuk Islam adalah saat terbitnya fajar, ketika datangnya waktu shubuh. Orang yang meninggal sebelum fajar Idul Fitri atau bayi yang lahir serta orang yang masuk Islam sesudah terbit fajar semuanya tidak dikenai kewajiban zakat fitrah. Sebaliknya, orang tersebut dikenai zakat fitrah adalah yang meninggal sesudah mulainya hari Idul Fitri, yakni sesudah terbitnya fajar. Begitu pula orang yang lahir atau masuk Islam sebelum mulainya hari Idul Fitri, yakni sebelum terbit fajar pada hari itu, dikenai zakat fitrah. Pandangan ulama Hanafiyah ini dilandasi al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 187, yang berbunyi: “… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar …”, dan hadits Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Puasamu adalah hari kamu berpuasa dan fitrahmu adalah hari kamu ber-„Idul Fitri”.22 Oleh karenanya, ulama Hanafiyah memberi isyarat bahwa permulaan hari itu saat terbitnya fajar, atau di waktu shubuh.23 Di zaman modern masyarakat yang mengikuti faham bahwa hari dimulai sejak terbit fajar adalah masyarakat muslim kontemporer di Libya. Untuk Dzulhijjah 1428 H., negara ini memasuki tanggal 1 Dzulhijjah 1428 H. pada hari Senin 10 Desember 2007, karena konjungsi terjadi malam Senin sebelum fajar, yakni sebelum mulainya hari baru.24 Masalah penentuan hari ini penting dalam pembuatan kalender. Beberapa pakar telah mendiskusikan masalah ini, namun belum mencapai titik temu. Dalam kajian di atas, pandangan tentang kapan dimulainya hari terdapat dua pandangan, yakni dimulai pada saat terbitnya fajar dan pada saat terbenamnya matahari. Akan tetapi, belakangan muncul suatu pemikiran bahwa permulaan hari itu yang tepat adalah saat tengah malam hari, yakni pukul 00:00. Pemikiran ini dikemukakan oleh seorang peneliti dari Maroko bernama Jamâluddîn „Abd al-Râziq, yang telah melakukan suatu riset dengan memakan waktu cukup lama dan melakukan pengujian terhadap 600 bulan qamariyah untuk tahun 1421 H. hingga 1470 H. Menurut Jamâluddîn, adalah mustahil untuk menjadikan terbenamnya Matahari atau terbit fajar sebagai permulaan hari dan sistem waktu. Ada tiga alasan yang menjadi dasar pertimbangan dalam hal ini. Pertama, ghurub dan terbit fajar pada tempat tertentu
22
Hadits diriwayatkan oleh al-Dâruquthnî dan Ishâq ibn Rahawaih; diriwayatkan juga oleh Abû Dâwud dan al-Baihaqî dengan lafazh yang sedikit berbeda. Lihat al-Dâruquthnî, Sunan al -Dâruquthnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, T.Th.), II: 44; dan Ishâq ibn Rahawaih, Musnad Ishâq ibn Ruhawaih, (Madînah: Maktabât al-Îmân, T.Th.), hal. 429. 23 al-Kasânî, Badâ‟i al-Shanâ‟i fî Tartîb al-Syarâ‟i, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al„Arabî, 1419/1998), II:206. 24 Pemahaman tersebut adalah karena kebijakan yang dilakukan oleh Pemimpin Libya, Muammar Khadafi, saat berjayanya.
berubah-ubah dan tidak ajeg dari satu hari ke hari lain. Kedua, waktu ghurub dan terbit fajar itu terkait dengan lokasi tertentu, sehingga sistem waktu yang demikian tidak dapat diberlakukan secara umum ke seluruh negeri. Ketiga, waktu-waktu ibadat tidak terpengaruh oleh penggunaan sistem waktu internasional, serta konsep malam dan siang bagi kewajiban puasa melampaui konsep hari. Apabila kita menganggap permulaan yuridis dari bulan Ramadhan adalah pada pukul 00:00 hari Ahad misalnya, maka hal itu tidaklah berarti adanya suatu pertentangan atau kontradiksi dengan kita memulai shalat tarawih sesudah matahari terbenam.25 Selanjutnya, Jamâluddîn berpendapat bahwa kita harus menerima konvensi dunia tentang hari yaitu dimulai sejak tengah malam di garis tanggal internasional. Dengan demikian, tentang permulaan hari ada tiga pandangan, yakni di waktu maghrib (yang merupakan pandangan mayoritas), di waktu terbit fajar (pandangan minoritas), dan di waktu tengah malam (merupakan pandangan baru sebagai alternatif). B. Permulaan Bulan Qamariyah Penentuan awal bulan qamariyah ditandai dengan hilâl (bulan sabit). Karenanya, sebelum bagaimana para ulama menentukan awal bulan qamariyah hendaknya dipahami lebih dahulu tentang hilal tersebut. Revolusi bulan mengelilingi bumi telah pula dikemukakan Allah dalam alQur‟an26, bahwa ahillah adalah bentuk jamak dari kata hilâl, yang umum diterjemahkan sebagai bulan sabit, yang menunjukkan tanda awal dari suatu bulan baru tahun qamariyah (lunar year). Ada pula yang menerjemahkan sebagai “hari awal” atau tanggal awal dari bulan qamariyah. Tetapi logikanya jika ahillah itu hari bulan atau hari-hari (alias tanggal) dari suatu bulan Qamariyah, lantas apa maknanya sebagai tanda waktu (mawâqit) dari bulan-bulan suci. Kekhususan apa saja pada suatu tanggal (hari bulan) sehingga bisa dijadikan mawâqit. Sebagaimana yang diketahui mawâqit adalah bentuk jamak dari mauqit – miqât, yang artinya penentuan waktu, tempat penentuan waktu, atau alat penentuan waktu, dengan menggunakan kata dasar waqata – yaqitu – waqtan 25
Jamâluddîn „Abd al-Raziq, “Bidâyat wa Bidâyat al-Lail wa al-Nahâr”, hal. 1-2. Lihat juga Jamâluddîn, al-Taqwîm al-Islâmi: al-Muqârabah al-Syumûliyyah, makalah, disampaikan pada The International Symposium “Toward A Unified International Islamic Calendar”, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta, 4-6 September 2007, hal. 8. 26 Lihat Q.S. 2/al-Baqarah: 189
ِ ِ اس وا ْْل ِّج ولَيس الِْ ُِّب بِأَ ْن تَأْتُوا الْب ي ِ ِ ُ ِك َع ِن اْأل َِىل ِة قُ ْل ِىي َم َواق وت ِم ْن أَبْ َو ِاَِا َوات ُقوا َ َيَ ْسأَلُون َ ُوت م ْن ظُ ُهوِرَىا َولَكن الِِْب َم ِن ات َق َوأْتُوا الْبُي َ ُُ َ ْ َ َ َ يت للن َ .)198 :اللَ لَ َعل ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن (البقرة
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tandatanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumahrumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.
(menentukan waktu). Dalam konteks ini, maka yang paling tepat adalah makna yang ketiga, yaitu alat (metode, sistem, atau perangkat) untuk menentukan waktu. Namun pertanyaan berikutnya alat/sistem untuk menentukan waktu apa? Menentukan waktu apa saja? Menurut ayat tersebut adalah waktu bagi manusia dan ibadah haji. Selanjutnya, bagaimana teknisnya menentukan waktu (bagi manusia) itu?, dan apa alat untuk menentukan waktu ibadah atau manasik haji. Dalam konteks ini terjemahan ahillah itu adalah hari bulan menjadi tidak sinkron dengan pengertian ayat secara keseluruhan dan terjemahan ini menjadi tidak sinkron antara satu kata dengan kata lain dari ayat tersebut, karena terjemahan masing-masing secara tekstual punya arti kala, tetapi secara keseluruhan ayat tersebut tidak punya makna apa-apa.27 Jadi, secara kontekstual kata ahillah ini harus diterjemahkan sebagai bulan-bulan sabit, sebagai pertanda dari penanggalan pada bulan qamariyah. Tanggal-tanggal ini ditunjukkan di langit sebagai fase-fase dari bulan. Dengan perubahan bentuk bulan (moon phases), maka manusia dapat menyusun/mengukur waktu (time keeping) untuk merancang aktivitas hidupnya, sehingga dapat terlaksana/terwujud sesuai dengan masa penyelesaian (time frame) yang tersedia. Proses fase bulan mulai dari konjungsi, terbentuknya hilal sampai dengan bulan purnama, kemudian kembali menjadi bulan sabit-tua, ditunjukkan dalam gambar sebagai berikut28:
27
Pelajari Kajian Kontekstual al-Qur‟an dari Mesjid Bahrul „Ulum Puspitek, Tafasir, dalam www.puspitek.net/Html/tafasir_indeks.asp?nomor=013, akses 21 Oktober 2008. 28 Lihat Suwandojo Siddiq, “Imkan al-Ru‟yah sebagai Basis Terwujudnya Kalender Islam Internasional (International Islamic Calendar Based on Expected First Crescent Visibility)”, Makalah, disampaikan pada Simposium “Upaya Penyatuan Kalender Islam Internasional”, yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Hotel Syahid Jaya, Jakarta, 22-24 Sya‟ban H./4-6 September 2007 M., hal. 3.
Kenampakan Hilal dan Fase-fase Bulan (Sumber: Suwandojo Siddiq)
Jika pada awal penanggalan bulan memperlihatkan diri sebagai sabit yang tipis yang disebut sabit awal bulan (hilâl), maka keesokan harinya sabit itu akan bertambah besar, membesar lagi sampai terbentuk bulan setengah, dan akhirnya terbentuk bulan purnama. Oleh karena itu, penanggalan qamariyah adalah sistem kalender yang paling fitri, paling alamiah, karena hanya memandang langit serta merta akan diketahui tanggal apa sekarang, dengan hanya memandang bentuk bulan yang ada di langit.
Permasalahannya adalah jika bulan purnama, bulan setengah, atau tanggal-tanggal yang lebih tua, bulan itu gampang dilihat oleh mata telanjang manusia, akan tetapi sabit awal bulan lebih sulit untuk dilihat.29 29
Sebagai bandingan intensitas dari sabit awal bulan adalah seperseribu (satu permil) dari intensitas bulan purnama. Jika pada pandangan biasa (ru‟yat), pusat pandangan mempunyai intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekelilingnya, maka pada rukyat ini latar belakang jauh lebih kuat (bahkan bisa mencapai puluhan ribu, minimal ratusan kali) dibandingkan dengan pusat pandangan sabit awal bulan. Hal ini disebabkan karena pada sore hari memang pancaran cahaya langsung dari Matahari itu sudah lewat karena Matahari sudah terbenam. Namun dalam posisi Matahari di bawah ufuk, cahaya
Meskipun pada fase bulan baru kedudukan bulan berada satu arah dengan matahari, namun karena bidang lintasan bulan mengelilingi bumi tidak berimpit dengan bidang ekliptika (mintaqah al-burûj), maka kedudukan bumi, bulan dan matahari tidak selalu dalam satu garis lurus, melainkan hanya berada dalam satu bidang yang tegak relatif terhadap ekliptika, sehingga posisi bulan baru (hilâbnnl) kadang-kadang berada di atas atau di bawah garis lurus yang menghubungkan bumi – matahari, yaitu fase bulan baru pada titik simpul (node) n‟, maka akan terjadi gerhana matahari. Kemudian, jika dalam fase bulan purnama posisi bulan berada pada titik simpul n, maka akan terjadi gerhana bulan.
Periode Sinodis dan Periode Sideris Bulan (Sumber: Susiknan Azhari)
Gambar di atas menunjukkan periode sinodis dihitung mulai dari fase bulan baru ke fase bulan baru berikutnya, sedangkan periode sideris dihitung mulai dari fase bulan baru (titik S1) dalam lintasan bulan yang pertama sampai titik S2 pada lintasan bulan yang kedua. Durasi yang dibutuhkan oleh bulan berada dalam suatu fase bulan baru ke fase bulan baru berikutnya (phase of the moon/aujuh al-qamar) adalah 29,530588 hari atau 29h12j44m2,8d. Lama waktu antara dua konjungsi (ijtimak) ini dikenal dengan nama langsungnya sudah tidak ada, tetapi masih ada cahaya lenturan (diffracted), yaitu cahaya yang berlawanan dengan teorama Fermat, bahwa cahaya berjalan menurut garis lurus. Di sini cahaya membelok, ketika tepat Matahari mulai terbenam muncul cahaya kuning yang dikenal dengan cahaya rembang petang (twilight atau syafaq). Cahaya ini kuat sekali sehingga menyebabkan kekontrasan objek dibandingkan latar belakang menjadi sangat negatif dan menjadi sangat sulit untuk dilihat (dirukyat). Kekontrasan yang lemah ini adalah kondisi yang tidak bisa ditolong dengan berbagai cara konvensional, misalnya dengan menggunakan alat bantu, seperti teleskop, theodolit, atau kacamata. Ketiga alat bantu itu hanya bisa memperbaiki secara geometric kondisi rukyat. Efek teleskop ini sama saja tak berdaya, baik untuk binokuler yang bisa dipegang tangan sampai teleskop astronomis yang besarnya segajah. Salah satu solusinya adalah dengan teknik filtering yang dikombinasikan dengan teknik penguatan citra (image intensification) seperti yang telah diterapkan pada teknologi Teleskop Rukyat yang telah diusulkan ICMI Orsat Pustpitek pada tahun 1994. Lihat Kajian Kontekstual al-Qur‟an dari Mesjid Bahrul „Ulum Puspitek, Tafasir, dalam www.puspitek.net/Html/tafasir_indeks.asp?nomor=013, akses 21 Oktober 2008.
periode sinodis (al-syahr al-qamar), dan periode sinodis inilah yang menjadi kerangka dasar Kalender Hijriyah. Oleh karena itu, umur bulan hijriyah bervariasi antara 29 dan 30 hari. Periode sinodis tidak sama dengan periode sideris, karena bumi tidak tinggal diam tetapi ber-revolusi mengelilingi matahari (sebagaimana terlihat dalam gambar di atas). Seperti juga telah disebutkan di atas, bahwa gerhana matahari terjadi apabila posisi matahari, bulan dan bumi berada dalam satu garis lurus pada saat bulan berada pada titik simpul n. Pada saat gerhana matahari terjadi, cahaya matahari terhalang oleh bulan, dan bayangan bulan yang sampai ke bumi tediri dari dua bagian, yaitu daerah yang paling gelap disebut umbra dan daerah yang tidak begitu gelap disebut penumbra. Apabila jarak matahari – bumi dan jarak bulan – bumi tetap, maka bayangan bulan yang sampai ke bumi akan selalu sama. Dalam realitas empiriknya, jarak matahari – bulan dan bulan – bumi tidak selalu sama. Hal ini dikarenakan lintasan bulan mengelilingi bumi berupa lintasan elips. Akibat perubahan jarak ini, pada saat terjadi gerhana matahari terdapat tiga kemungkinan bagi seorang pengamat di bumi. Kemungkinan pertama, pengamat berada dalam perpanjangan umbra. Dalam hal ini pengamat akan melihat Gerhana Matahari Cincin (Anular Eclipse of The Sun).30 Kemungkinan kedua, pengamat berada di dalam umbra dan melihat Matahari sebagai Gerhana Matahari Total (Total Eclipse of The Sun).31 Kemungkinan ketiga, pengamat berada di dalam penumbra dan pada posisi ini pengamat hanya akan melihat Gerhana Matahari Sebagian (Partial Eclipse of The Sun).32 Gerhana Matahari Sebagian dapat terlihat juga di daerah-daerah yang hanya dilalui oleh penumbra pada saat Gerhana Matahari Total atau Cincin.
30
Gerhana Matahari Cincin (GMC) = Bundaran matahari tidak bisa ditutup seluruhnya oleh seluruh bundaran bulan. Diameter sudut bundaran bulan lebih kecil dibanding dengan diameter sudut bundaran matahari. 31 Gerhana Matahari Total (GMT) = Seluruh bundaran matahari ditutup oleh seluruh bundaran bulan. Diameter sudut bundaran bulan lebih besar dibanding dengan diameter sudut bundaran matahari. 32 Gerhana Matahari Sebagian (GMS) = Sebagian bundaran matahari ditutup oleh sebagian bundaran bulan.
Saat Terjadi Gerhana Matahari Total (Sumber: Susiknan Azhari)
Dengan meneliti dan mempelajari lintasan bulan dan lintasan bumi dapat diperkirakan terjadinya gerhana matahari. Salah satu metode perkiraan terjadinya gerhana matahari yang paling sederhana adalah menggunakan periode saros yang lamanya 18 tahun 11,3 hari. Periode saros ini dapat ditentukan sebagai berikut: Periode sinodik bulan panjangnya 29,53 hari dan revolusi titik simpul (n) mengelilingi matahari adalah 346,62 hari. Dari kedua periode ini dapat dihitung bahwa 223 periode sinodik bulan akan sama dengan 19 kali periode revolusi titik simpul, atau sama dengan 18 tahun 11,3 hari, karena: Periode sinodik bulan
= 223 x 29,53 hari
Periode revolusi titik simpul = 19 x 346,62 hari
= 6585,32 hari = 6585,78 hari.33
Jadi, periode saros menunjukkan bahwa setiap 18 tahun 11,3 hari, posisi bumi, bulan dan matahari akan persis sama. Oleh karena itu, sudah dapat diperkirakan bahwa dalam satu periode saros akan terjadi gerhana matahari yang sama. Meskipun dikatakan sama, akan tetapi belum tentu gerhana matahari tersebut akan terlihat di daerah yang sama, karena yang dikatakan sama ini adalah posisi bumi, bulan dan matahari. Artinya, yang sama adalah durasinya. Selanjutnya, berkenaan dengan matahari dan bulan, ada hal yang menarik dalam ِ ْ َ ءايَتadalah bentuk dual dari ٌآيَة, yakni tanda. Ada kajian ayat al-Qur‟an34, bahkan kata ي َ yang memahami kata tersebut menunjuk kepada malam dan siang, sehingga firman-Nya ( آيَةَ اللْي ِلtanda malam) berarti tanda yang merupakan malam itu, demikian juga آيَةَ الن َها ِر (tanda siang) yakni tanda dalam hal ini adalah siang itu. Menghapus tanda malam dipahami dalam arti menghapus cahaya, sehingga malam kehilangan cahaya, gelap, apa yang tadinya nampak bagaikan tersembunyi. Di sisi lain tanda yang merupakan siang itu
33
Moedji Raharto, “Gerhana Matahari”, Makalah, disampaikan dalam Pelatihan Hisab dan Rukyat Tingkat Nasional, pada tanggal 16-18 Juni 1997 di Tugu – Bogor, hal. 4-5. 34 Lihat Q.S. 17/al-Isra‟ ayat 12 berikut:
ِ ِ ِ ِ ِّ ضلً ِمن ربِّ ُكم ولِت علَموا ع َدد ِ ْ َو َج َع ْلنَا اللْيل والن َهار ءايَت اب َوُكل َش ْي ٍء َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ْ َي فَ َم َح ْونَا ءَايَةَ اللْي ِل َو َج َع ْلنَا ءَايَةَ الن َها ِر ُمْبصَرًة لتَبْتَ غُوا ف َ السن َ ي َوا ْْل َس َ َ َ ََ ِ .)11 :فَصلْنَاهُ تَ ْفصيلً (اإلسراء
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”.
dijadikan Allah sedemikian terang, sehingga seakan-akan siang itu sendiri yang melihat.35 Kata âyatain ada juga yang memaknai bulan dan matahari, karena menilai bahwa ada kata yang sengaja tidak disebut dalam rangkaian kalimat ayat. Penganut pendapat ini menyatakan bahwa ayat ini bagaikan menyatakan: Kami jadikan penerang di waktu malam dan siang, penerang malam adalah bulan dan penerang siang adalah matahari. Keduanya sebagai dua tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Lalu Kami hapus tanda malam dalam hal ini bulan, yakni Kami hapus cahayanya, dan tidak Kami jadikan ia seperti matahari. Tanda siang, yakni Matahari terus-menerus bercahaya dan bersinar, sehingga siapapun dapat melihat di siang hari, atau dapat juga dikatakan bahwa matahari yang merupakan tanda siang itu terus-menerus bercahaya, karena sinar atau cahayanya itu bersumber dari dirinya sendiri sehingga tidak pernah mengalami kegelapan, berbeda dengan bulan yang bercahaya bukan dari dirinya sendiri, tetapi berasal dari pantulan cahaya matahari. Selain menunjukkan kebesaran Allah kedua tanda (malam dan siang) tersebut, Muhammad „Ali al-Shabuny menambahkan bahwa Allah menjadikan waktu malam sebagai waktu istirahat, baik bagi manusia, maupun hewan dan tumbuhtumbuhan. Sedangkan waktu siang dijadikan untuk semua makhluk hidup berpencar mencari kehidupan di berbagai tempat. Kemaslahatan dunia tidak akan tercapai kecuali dengan adanya kedua pergantian waktu tersebut, nikmatnya malam untuk istirahat, dan waktu siang guna berusaha mencari kehidupan.36 Selanjutnya, ayat tersebut di atas menyebut manfaat yang dapat dipetik dari kehadiran malam dan siang, yakni dengan menyatakan: dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan bulan, hari, serta masa transaksi kamu, dan segala sesuatu yang mendatangkan maslahat. Dan segala sesuatu yang telah Kami rinci dan terangkan dengan jelas supaya segalanya menjadi bukti yang menyakinkan kamu semua.37 Demikian halnya tentang posisi matahari dan bulan ketika terbit dan terbenam dilihat dari bumi pada ufuk (horizon) ternyata di kalangan para ilmuan terjadi pula 35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. VII, hal. 426. 36 Muhammad „Ali al-Shabuny, Qabasun min Nûr al-Qur‟ân al-Karîm, diterjemahkan oleh Munirul Abidin, Cahaya al-Qur‟an, Cet. I (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Jilid III, hal. 489. Lihat juga kitab tafsir yang paling klasik karya Abû Ja„far Muhammad bin Jarîr al-Thabary, Tafsîr al-Thabary (Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Araby, T.Th.), Juz XV, hal. 58-59. 37 Pergantian waktu malam dan siang tersebut mengandung tiga manfaat: (1) Malam yang tenang sebagai waktu istirahat, dan siang untuk berusaha mencari rizki; (2) Untuk mengetahui pergantian hari, bulan dan tahun, serta mengetahui waktu haji dan puasa; dan (3) Sebagai peringatan akan adanya Sang Pengatur yang Bijak, yang mengatur alam semesta ini secara detail dan pasti, tanpa kesalahan dan keraguan. Lihat Muhammad „Ali al-Shabuny, Qabasun min Nûr al-Qur‟ân al-Karîm, hal. 489-490.
perbedaan. Kalangan astronom berpendapat bahwa suatu benda langit dikatakan terbenam bila benda langit tersebut mencapai horizon, dan terbit bila benda langit tersebut muncul di horizon.38 Sedang kalangan hisab berpendapat bahwa suatu benda langit dikatakan terbenam bila benda langit tersebut sudah seluruhnya berada di bawah ufuk (horizon), dan terbit bila benda langit tersebut sudah berada di atas ufuk.39 Dua konsep ini menggunakan istilah yang dipakai Susiknan Azhari ibarat perilaku pemain sepak bola yang melakukan pelanggaran di atas garis pinalti. Apakah ia dikenakan hukuman pinalti? Tergantung wasitnya, jika wasit sepak bola itu berpegang pada “garis”, maka mereka yang menginjak “atas garis” tersebut sudah dapat dijatuhi hukuman. Lain halnya jika wasit yang berpegang pada “telah memasuki garis”, maka pemain yang baru menginjak garis belum dikenakan hukuman. Hal inilah nantinya yang akan mempengaruhi dalam penentuan awal bulan qamariyah dan penetapan Kalender Islam. Berikutnya, secara singkat di Indonesia yang paling popular dalam menentukan awal bulan ada tiga pandangan (metode, kriteria, pen.), yakni ru‟yat al-hilâl, wujûd alhilâl dan imkân al-ru‟yah. Penentuan awal bulan dengan metode rukyat adalah pada setiap akhir bulan qamariyah (tanggal 29 bulan berjalan) pada saat matahari terbenam, hilal dapat terlihat (baik dengan mata telanjang maupun teropong), maka malam itu dan keesokan harinya memasuki tanggal dan bulan baru. Jika tidak terlihat, maka bulan baru ditetapkan pada esok malam dan lusa harinya. Bulan lama di-istikmâl-kan (disempurnakan) menjadi 30 hari.40 Penentuan awal bulan qamariyah menggunakan metode (kriteria) wujûd al-hilâl adalah: (1) terlebih dahulu menetukan kapan terjadinya ijtimak (konjungsi) tiap tanggal 29 bulan berjalan; (2) ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam (ijtimâ‟ qabl alghurûb); (3) pada saat matahari terbenam, posisi hilal berada di atas ufuq.
38
Lihat Djoni N. Dawanas, Dasar-dasar Astronomi Bola, hal. 30. Abdur Rachim, Ilmu Falak, Cet. I (Yogyakarta: Liberty, 1983), hal. 26. 40 Paham ini dianut oleh warga Nahdiyyîn (NU), walaupun mereka berdalih juga menggunakan hisab, tetapi hisab digunakan hanya sebagai alat bantu untuk memperkirakan penanggaalan kapan terjadinya akhir bulan, namun alat penentu untuk menetapkan awal bulan qamariyah tetap menggunakan metode rukyat. Mereka berdalih pada kebanyakan hadits Nabi saw menetapkannya dengan melihat hilal untuk mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan, ayat-ayat al-Qur‟an yang berkenaan dengan hisab dianggapnya bersifat mujmâl. 39
Jika ketiga kriteria ini terpenuhi, maka malam dan keesokan harinya ditetapkan sebagai bulan baru. Namun apabila tidak terpenuhi salah satunya saja, maka bulan baru ditetapkan pada esok malam atau lusa harinya.41 Sedangkan penentuan awal bulan dengan metode (kriteria) imkân al-ru‟yah, adalah sama halnya dengan metode wujûd al-hilâl. Hanya saja, ketika memposisikan hilal di atat ufuq pada saat matahari terbenam harus dikondissikan kemungkinannya untuk dapat dirukyat. Sementara ini, paham yang dianut di Indonesia adalah berdasarkan pada kriteria MABIMS, yakni pada tiap tanggal 29 bulan berjalan posisi hilal pada saat matahari terbenam berada di atas ufuq minimal 2°, dan sudut elongasinya tidak kurang dari 3° atau jarak antara ijtimak dan terbenamnya matahari tidak kurang dari 8 jam. Jika semuanya terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai bulan baru qamariyah.42
PENUTUP Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam hal menentukan kapan
dimulainya hari dan permulaan bulan, sebagai berikut: 1. Kapan hari dimulai, ada tiga pandangan: (a) hari dimulai sejak terbitnya fajar; (b) hari dimulai sejak terbenamnya matahari; dan (c) hari dimulai pada saat tengah malam. 2. Kapan permulaan bulan, ada tiga pandangan pula: (a) Awal bulan dimulai jika pada setiap tanggal 29 bulan berjalan di saat matahari terbenam hilal dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya telah terjadi bulan baru. Namun jika tidak terlihat, maka bulan baru ditetapkan esok malam dan lusa harinya; (b) Jika terpenuhi semua kriteria (ijtimak telah terjadi pada saat tanggal 29 bulan berjalan, terjadinya ijtimak sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam posisi hilal berada di atas ufuq), maka malam itu dan keesokan harinya telah terjadi bulan baru. Namun jika tidak terpenuhi salah satunya saja, maka 41
Paham ini dianut oleh Persyarikatan Muhammadiyah, yang dilandasi oleh Q.S. 36/Yâsîn: 39-40, dan beberapa ayat yang lain, misalnya Q.S. 10/Yûnus: 5, Q.S. 55/al-Rahmân: 5, juga hadits-hadits Nabi saw yang mengisyaratkan mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan dengan menqadarkan (menghisab). 42 Paham ini dianut oleh sebahagian kecil umat Islam Indonesia, di antaranya PERSIS (Persatuan Umat Islam), namun belakangan mereka menetapkan ketiggian hilal di atas ufuq saat matahari terbenam lebih tinggi lagi, yaitu minimal 4°. Bahkan promotor utamanya, yaitu Thomas Jamaluddin telah mengubahnya lagi dengan kriteria baru (hanya menggunakan dua kriteria), yaitu ketinggian hilal di atas ufuq pada saat matahari terbenam minimal 3° dan sudut elongasinya tidak kurang dari 6,4°. Mereka berdalih, bahwa pandangan ini merupakan jalan tengah antara paham rukyat dan hisab. Namun walaupun paham imkân al-ru‟yah ini digolongkan dengan metode hisab, akan tetapi sesungguhnya mereka hanyalah mempertahankan rukyat.
bulan baru terjadi pada esok malam dan lusa harinya; (c) Bulan baru terjadi dengan kriteria pada saat terbenam matahari, posisi ketinggian hilal tersebut kemungkinan untuk dapat dilihat. Posisi ketinggian hilal untuk dapat dilihat bisa 2°, 3°, 4°, atau berapa derajat di atas ufuq belum ada ketetapan yang pasti.
DAFTAR PUSTAKA Abdali, S.K., “The Correct Qibla” (Dublin: National Science Foundation, 1997), terdapat dalam http://www.patriot.net/users/abdali/ftp/qibla.pdf, akses 24 Oktober 2008. Abdullah, dkk., M. Amin, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, Cet. I, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga – KKS, 2002. „Abd al-Raziq, Jamâluddîn, “Bidâyat wa Bidâyat al-Lail wa al-Nahâr”. ________, “al-Taqwîm al-Islâmi: al-Muqârabah al-Syumûliyyah”, makalah, disampaikan pada The International Symposium “Toward A Unified International Islamic Calendar”, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta, 4-6 September 2007. Ahmad SS., Noor, Risâlah Sayms al-Hilâl, Kudus: Madrasah Tasywiqât-Tullâb Salâfiyah, t. th. Azhari, Susiknan, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007. Ba‟albaki, Munir, al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, Cet. VII, Beirut: Dâr al-„Ilm li al-Malâyin, 1974. al-Dâruquthnî, Sunan al-Dâruquthnî, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, T.Th. Dawanas, Djoni N., Dasar-dasar Astronomi Bola. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Diponingrat, Muhammad Wardan, Ilmu Hisab (Falak), Cet. I, Yogyakarta: Toko Pandu, 1992. Fathurohman SW, Oman, “Kalender Muhammadiyah: Konsep dan Implementasinya”, Software, disampaikan dalam Musyawarah AhIi Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, tanggal 29-30 Juli 2006. van Gent, R.H., A History of the International Date Line, Natuur & Sterrenkunde, Holland: Universiteit Utrecht, 2001, dalam http://www.phys.uu.nl/~vgent/idl/idl.htm, akses 18 Oktober 2008. Ilyas, Mohammad, A Modern Guide to Astronomical Calculation of Islamic Calendar, Times & Qibla, Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd., 1984. _______, Mohammad, The Quest for a Unified Islamic Calendar, Penang, Malaysia: International Islamic Calendar Programme, 2000.
Kajian Kontekstual al-Qur‟an dari Mesjid Bahrul „Ulum Puspitek, Tafasir, dalam www.puspitek.net/Html/tafasir_indeks.asp?nomor=013, akses 21 Oktober 2008. al-Kasânî, Badâ‟i al-Shanâ‟i fî Tartîb al-Syarâ‟i, Cet. II, Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1419/1998. Khair bin Hj. Mohamad Taib, Mohamad, Takwim Istilah (Hijhrah-Masehi) 1401-1500 H./1980-2077 M., Kuala Lumpur: Jabatan Perdana Menteri [Bahagian Ugama] Pusat Islam, t. th. al-Khatib, Ahmad SH, A New Dictionary of Scientific & Technical Terms, Cet. IV, Libanon: Maktabah Libanon, t. th. Manikfan, A. “Meeqatl Qibla and Islamic Calendar” (India: Hijri Calendar, 1996), terdapat dalam http://www.hijracalendar.com/article2.htm, akses 24 Oktober 2008. Mughniyyah, Muhammad Jawad, “al-Fiqh „alâ al-Mażâhib al-Khamsah”, Beirut: Dâr alJawâd, T.Th, diterjemahkan oleh Masykur A.B., dkk., Fiqih Lima Mazhab, Cet. X, Jakarta: Lentera, 2003. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, t. th. Nasution, Harun, dkk. Ensiklopedi Islam di Indonesia, hal. 320. Baca pula “Penanggalan Hijriyah dan Miladiyah”, dalam Panji Masyarakat, No. 622, 1-10 Shafar 1410 H., 1-10 September 1999 M. Nurwendaya, Cecep, “Berlakunya Batas Tanggal Internasional Awal Bulan Komariyah”, Makalah, disampaikan dalam Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah, diselenggarakan oleh Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI, 17-19 Desember 2005 Panji Masyarakat, No. 582, 7-16 Dzulhijjah 1408/21-30 Juli 1988, hal. 74-76. Baca pula Panji Masyarakat, No. 718, Tahun XXXIV, 28 Syawal – 7 Dzulqa‟dah 1412 H./1-10 Mei 1992 M. Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1983. Raharto, Moedji, “Sistem Dua Tarikh dan Perlunya Kesepakatan Kalender Islam”, dalam harian REPUBLIKA, 2 Maret 1995. ibn Rahawaih, Ishâq, Musnad Ishâq ibn Ruhawaih, Madinah: Maktabât al-Îmân, T.Th. Rahman, Abdur. “Timur dan Barat dalam Perspektif Islam”, Artikel, terdapat dalam http://www.mesjidui.ui.edu, akses 24 Oktober 2008. Ruskanda, Farid, 100 Masalah Hisab & Rukyat telaah Syari‟ah, Sains dan Terknologi, Cet. I, Jakarta: Gema Insan Press, 1996. Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: P.T. Amythas Publicita, 2007. Shiddieqy, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Siddiq, Suwandojo, “Imkan al-Ru‟yah sebagai Basis Terwujudnya Kalender Islam Internasional (International Islamic Calendar Based on Expected First Crescent
Visibility)”, Makalah, disampaikan pada Simposium “Upaya Penyatuan Kalender Islam Internasional”, yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Hotel Syahid Jaya, Jakarta, 22-24 Sya‟ban H./4-6 September 2007 M. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002. al-Shabûny, Muhammad „Ali, Qabasun min Nûr al-Qur‟ân al-Karîm, diterjemahkan oleh Munirul Abidin, Cahaya al-Qur‟an, Cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001. Siradj, Said Aqil, “Memahami Sejarah Hijrah”, artikel, dimuat dalam harian REPUBLIKA, Rabu 9 Januari 2008. Smart, W.M., Spherical Astronomy, (London: Cambridge University Press, 1961), dalam www.amazon.com, akses 19 Oktober 2008. Steingass, F., Arabic-English Dictionary, Cet. II, New Delhi: Cosmo Publications, 1978. Syakir, Ahmad Muhammad, Awâil al-Syuhûr al-„Arabiyyah, terjemahan KH. Mahrous Ali, Cet. I, Surabaya: Pustaka Progresif, 1993. al-Thabary, Abû Ja„far Muhammad bin Jarîr, Tafsîr al-Thabary, Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ alTurâts al-„Araby, T.Th. Wehr, Hans, Dictionary of Modern Written Arabic, Cet. IV, Germany: Otto Harrassonitz, 1994.