1
ANALISIS FENOMENA DISINTERMEDIASI PERBANKAN DI INDONESIA PASCA KRISIS TERHADAP PERKEMBANGAN SEKTOR RIIL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
OLEH TATU NIA WULANDARI H14104055
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
i
RINGKASAN TATU NIA WULANDARI. Analisis Fenomena Disintermediasi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis terhadap Perkembangan Sektor Riil dan Pertumbuhan Ekonomi (dibimbing oleh Didin S. Damanhuri). Pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari peranan sektor riil dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor riil memiliki kontribusi yang besar terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja. Peranan tersebut harus didukung oleh pemerintah melalui upaya untuk meningkatkan gairah dunia usaha di sektor riil. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendukung sektor riil yaitu melalui kredit. Hal ini dikarenakan sumber pembiayaan investasi dan modal kerja sektor riil di Indonesia masih didominasi pembiayaan kredit dari perbankan. Dengan demikian, kredit merupakan salah satu instrumen yang sangat berperan bagi sektor riil untuk meningkatkan produktivitasnya. Sejak terjadi krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, kinerja perekonomian seperti indikator makroekonomi menunjukan penurunan yang sangat signifikan. Pertumbuhan ekonomi menunjukan penurunan tajam dan laju inflasi yang sangat tinggi. Krisis ekonomi juga berdampak buruk bagi perbankan Indonesia yang mengakibatkan fungsi intermediasi perbankan mengalami gangguan. Terjadinya disintermediasi perbankan ini dapat terlihat dari penurunan jumlah kredit perbankan yang begitu signifikan. Setelah krisis berlalu, indikator makroekonomi relatif membaik, tapi perkembangan sektor riil belum membaik. Hal ini dikarenakan pertumbuhan jumlah kredit yang disalurkan ke sektor riil cenderung lambat. Sehingga perkembangan sektor riil pun menjadi lambat. Kredit yang disalurkan kepada sektor riil belum cukup untuk menjadi alat pendorong pertumbuhan ekonomi untuk kembali pada level sebelum krisis. Hal ini akan sangat berdampak pada proses pemulihan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, melambatnya pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia pasca krisis 1997 dapat dianggap sebagai salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis terjadinya fenomena disintermediasi perbankan di Indonesia pasca krisis, serta menganalisis penyebab dari disintermediasi perbankan tersebut. Selain itu, juga dianalisis dampak dari disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi, serta merekomendasikan solusi untuk mengatasi disintermediasi perbankan di Indonesia. Pada penelitian ini, untuk menganalisis penyebab dari disintermediasi perbankan akan digunakan metode estimasi Maximum Likelihood. Selanjutnya untuk menganalisis dampak disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi akan digunakan metode estimasi Ordinary Least Square. Periode analisis dalam penelitian ini yaitu dari tahun 1999 kuartal satu sampai 2007 kuartal tiga.
ii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasca krisis telah terjadi disintermediasi perbankan yang diindikasikan oleh turunnya penyaluran kredit secara tajam pada tahun 1999, tidak sebandingnya antara peningkatan total kredit dan peningkatan total DPK, masih rendahnya LDR perbankan, serta masih besarnya selisih antara kapasitas kredit dan total kredit (kredit aktual). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa disintermediasi perbankan di Indonesia pasca krisis disebabkan oleh lemahnya sisi penawaran kredit atau dengan kata lain terjadi credit crunch. Meskipun pada pasca krisis telah terjadi credit crunch dan credit slowdown secara bergantian, namun secara keseluruhan periode observasi, disintermediasi perbankan lebih disebabkan oleh credit crunch. Kemudian hasil estimasi terhadap model perkembangan sektor riil, menunjukkan bahwa disintermediasi perbankan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perkembangan sektor rii. Disintermediasi perbankan menyebabkan terbatasnya pembiayaan kredit investasi dan modal kerja bagi sektor riil sehingga akan menurunkan output sektor riil. Kemudian hasil estimasi terhadap model pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa disintermediasi perbankan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Disintermediasi perbankan menyebabkan terbatasnya pembiayaan investasi sehingga akan menurunkan pengeluaran investasi, lebih lanjut akan menurunkan pengeluaran agregat dan pada akhirnya menurunkan GDP sehingga pertumbuhan ekonomi akan menurun. Setelah melihat dampak negatif dari disintermediasi perbankan terhadap sektor riil dan pertumbuhan ekonomi maka disintermediasi perbankan harus segera diatasi. Rekomendasi solusi untuk mengatasi disintermediasi perbankan harus dilakukan oleh pihak pemerintah, BI, perbankan dan pelaku usaha sektor riil. Pemerintah harus segera mengatasi permasalahan struktural yang dihadapi sektor riil, melakukan pengawasan dan keberlangsungan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) serta optimalisasi Linkage Program antara Lembaga Keuangan Mikro dengan program KUR, dan dilakukan diversifikasi sumber pembiayaan investasi agar tercipta persaingan. Kemudian, BI harus memberikan penalti yang lebih tegas terhadap LDR perbankan yang rendah, memperlengkap informasi dan meng-update DIBI (Data Informasi Bisnis di Indonesia) tiap bulannya, dan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Sedangkan pihak perbankan harus meningkatkan efisiensi operasional perbankan. Kemudian pelaku usaha sektor riil pun harus meningkatkan kualitas usaha dan sumber daya manusianya.
iii
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama mahasiswa
: Tatu Nia Wulandari
Nomor Registrasi Pokok
: H141404055
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Fenomena Disintermediasi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis terhadap Perkembangan Sektor Riil dan Pertumbuhan Ekonomi
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. NIP: 131 404 217
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
iv
ANALISIS FENOMENA DISINTERMEDIASI PERBANKAN DI INDONESIA PASCA KRISIS TERHADAP PERKEMBANGAN SEKTOR RIIL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Oleh TATU NIA WULANDARI H14104055
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
v
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agusutus 2008
Tatu Nia Wulandari H14104055
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Tatu Nia Wulandari lahir pada tanggal 11 januari 1986 di Jakarta, sebuah kota metropolitan yang terkenal sebagai ibukota Negara Indonesia. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan H. Tubagus Sabrawi dan Hj. Umamah. Jenjang pendidikan dilalui tanpa hambatan yang berarti. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN 2 Panancangan di Serang, Banten. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Cianjur dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMU Negeri 1 Cianjur dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke Institut Pertanian Bogor (IPB). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkan pola pikir guna menjadi sumber daya yang berguna serta mampu meraih impian di masa depan kelak. Penulis berhasil masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjalani masa perkuliahan, penulis berhasil mengukir beberapa prestasi yaitu menjadi kandidat Mahasiswa Berprestasi tingkat departemen Ilmu Ekonomi , dan menjadi kandidat Early Recruitment Program dari BNI. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu BEM FEM periode 2005-2006 dan menjadi panitia berbagai kegiatan di kampus.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Analisis
Dampak Fenomena Disintermediasi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis terhadap Perkembangan Sektor Riil dan Pertumbuhan Ekonomi. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tersebut karena melihat fenomena disintermediasi perbankan yang terjadi pasca krisis memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga
diharapkan
solusi
yang
direkomendasikan
dapat
mengatasi
disintermediasi perbankan yang terjadi di Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada : 1.
Mamah dan bapa atas semua doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang yang selama ini telah diberikan kepada penulis. Kesabaran dan dukungan dari mereka sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
2.
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. sebagai dosen pembimbing. Terima kasih atas bimbingan dan cakrawala pengetahuan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Banyak pengalaman dan hikmah yang diperoleh penulis selama mendapat bimbingan dari beliau.
3.
Dr. Sri Hartoyo selaku dosen penguji utama. Terima kasih atas semua saran serta masukan demi perbaikan skripsi ini.
4.
Jaenal Effendi, M.A selaku wakil komisi pendidikan. Terima kasih atas saran dalam perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.
5.
A Yayan, Teh Umi, A Adi, Teh Lia, A Kiki, dan Teh Indah, terima kasih atas semua dukungan, kepercayaan, doa dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
viii
6.
Akang, terima kasih atas doa, kesabaran dan kasih sayang serta dukungan yang selalu diberikan setiap saat bagi penulis. You’re a light of my life and big spirit when I’m down.
7.
Dr. Mahyus Ekananda, M.M, M.Se dosen Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi, FE-UI. Terima kasih atas semua penjelasan yang telah diberikan. Kak Supran, mahasiswa Pasca Sarjana MPKP FE-UI, terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan.
8.
Teh Halida, terima kasih telah berbagi pengalaman, memberikan pencerahan, inspirasi, semangat yang diberikan dan lain-lain.
9.
Sahabat-sahabatku
Irma,
Uthye,
Nana,
Wieke.
Thanks
for
everything,terima kasih telah mengisi hari-hariku selama ini dengan unforgetable moment. Semua dukungan dan doa kalian memberikan arti yang begitu besar bagi penulis. 10.
Team satu bimbingan Meda, Nina, dan Deni terima kasih atas dukungan dan doanya serta pengalaman-pengalaman yang dilalui selama bimbingan.
11.
Yuliana, Ipul, Tities, dan Heni. Terima kasih atas semua pertolongan yang diberikan kepada penulis. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Namun
demikian, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2008
Tatu Nia Wulandari H14104055
iii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... viii I.
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 6 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 9 1.5. Lingkup Permasalahan .......................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 12 2.1. Perbankan Sebagai Lembaga Intermediasi Keuangan .......................... 12 2.2. Definisi dan Konsep Perbankan ............................................................ 14 2.3. Definisi dan Konsep Kredit Perbankan................................................. 17 2.4. Mekanisme Kebijakan Moneter ............................................................ 19 2.5. Jalur Kredit (Credit Channel) Sebagai Salah Satu Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter............................................................... 22 2.6. Penurunan Penyaluran Kredit ............................................................... 24 2.6.1. Penurunan Kredit yang Terjadi Karena Penurunan Permintaan ..... 25 2.6.2. Penurunan Kredit yang Terjadi Karena Penurunan Penawaran...... 26 2.7. Sektor Riil ............................................................................................. 28 2.8. Pertumbuhan Ekonomi.......................................................................... 29
iv
2.9. Sertifikat Bank Indonesia...................................................................... 30 2.10. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 32 2.11. Kerangka Pemikiran............................................................................. 35 III. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................... 39 3.1. Kasus dan Unit Data ............................................................................. 39 3.2. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 39 3.3. Metode Analisis .................................................................................... 40 3.2.1. Analisis Disintermediasi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis ...... 41 3.2.2. Analisis Disintermediasi Perbankan terhadap Perkembangan Sektor Riil dan Pertumbuhan Ekonomi.................. 48 IV. GAMBARAN UMUM PERBANKAN INDONESIA ................................. 51 4.1. Perbankan Sebelum Krisis 1997 ........................................................... 51 4.2. Perbankan Selama Periode Krisis ......................................................... 54 4.3. Perbankan Pasca Krisis ......................................................................... 61 V. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 64 5.1. Disintermediasi Perbankan Pasca Krisis............................................... 65 5.2. Penyebab Disintermediasi Perbankan ................................................... 69 5.3. Dampak Disintermediasi Perbankan terhadap Perkembangan Sektor Riil dan Pertumbuhan Ekonomi ............................................................ 84 5.3.1. Disintermediasi Perbankan dan Perkembangan Sektor Riil............. 85 5.3.1. Disintermediasi Perbankan dan Pertumbuhan Ekonomi.................. 92 5.4. Rekomendasi Kebijakan Mengatasi Disintermediasi Perbankan.......... 99 VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 115 6.1. Kesimpulan........................................................................................... 115 6.2. Saran..................................................................................................... 116
v
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 118 LAMPIRAN........................................................................................................ 121
vi
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1
Halaman Perkembangan Total Kredit (Kredit Modal Kerja, Investasi dan Konsumsi ) 1997-2007................................................................... 3
3.1
Data Kuantitatif dan Sumber Perolehannya......................................... 40
4.1
Jumlah Bank, Total DPK dan Total kredit (1981-1997)...................... 53
4.2
Perkembangan Indikator Makroekonomi 1996-1999 .......................... 56
4.3
Indikator Perbankan (1999-2007) ........................................................ 62
5.1
Hasil Estimasi Maximum Likelihood Persamaan Permintaan dan Penawaran Kredit .......................................................................... 69
5.2
Hasil Estimasi terhadap Peubah Terikat LnRS .................................... 85
5.3
Hasil Estimasi terhadap Peubah Terikat LnGDP ................................. 92
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1
Jumlah Kredit dan Pertumbuhan Kredit Tahun 1997-2007 ................. 3
2.1
Proses Intermediasi Perbankan ............................................................ 13
2.2
Transmisi Kebijakan Moneter dengan Pendekatan Kuantitas ............. 20
2.3
Transmisi Kebijakan Moneter dengan Pendekatan Harga ................... 20
2.4
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Kredit ......... 23
2.5
Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Permintaan............................. 26
2.6
Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Penawaran.............................. 27
2.7
Kerangka Pemikiran Penelitian............................................................ 38
4.1
Spread Suku Bunga .............................................................................. 58
4.2
Pergerakan Kurs .................................................................................. 59
4.3
Perkembangan NPL ............................................................................. 60
4.4
Modal Perbankan Indonesia................................................................. 60
5.1
Total Kredit dan Pertumbuhan Kredit Perbankan (1998-2007)........... 66
5.2
Total DPK Perbankan (1999-2007) ..................................................... 66
5.3
Perkembangan LDR Perbankan (1999-2007) ...................................... 67
5.4
Perbandingan Kapasitas Kredit dan Kredit Aktual (1996-2007) ......... 68
5.5
Excess Demand dan Excess Supply Credit........................................... 78
5.6
Pertumbuhan Sektor Peekonomian Indonesia (2002-2001)................. 81
5.7
BOPO Perbankan Indonesia (2002-2007)............................................ 112
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Data Mentah....................................................................................... 122
2.
Daftar Bank Beku Operasi (November 1997).................................... 124
3
Daftar Bank Beku Operasi (April 1998)............................................ 124
4.
Daftar Bank Take Over (April 1998) ................................................ 124
5.
Daftar Bank Beku Operasi (Maret 1999) .......................................... 125
6.
Daftar Bank Take Over (Maret 1999) ............................................... 125
7.
Daftar Bank yang mengikuti Program Rekapitalisasi (Maret 1999)...................................................................................... 125
8.
Daftar Bank yang tidak mengikuti Program Rekapitalisasi (Maret 1999)...................................................................................... 126
9.
Bank-Bank yang melakukan Merger ................................................ 127
10.
Hasil Estimasi Maximum Likelihood (ML)....................................... 128
11.
Hasil Estimasi Demand Credit, Supply Credit & Excess Demand Credit .................................................................................. 129
12.
Hasil Estimasi OLS ........................................................................... 130
13.
Hasil Uji Heteroskedastisitas ............................................................ 131
14.
Hasil Uji Autokorelasi....................................................................... 131
15.
Hasil Uji Normalitas ......................................................................... 132
16.
Hasil Uji Multikolinearitas................................................................ 133
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari peranan sektor riil dalam
perekonomian Indonesia. Peranan tersebut harus didukung oleh pemerintah melalui upaya untuk meningkatkan gairah dunia usaha di sektor riil. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendukung sektor riil yaitu melalui kredit. Hal ini dikarenakan kredit merupakan salah satu instrumen yang sangat berperan bagi sektor riil untuk meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas sektor riil diharapkan dapat merangsang kondisi dunia usaha yang kondusif. Sebagaimana umumnya negara berkembang, sumber pembiayaan investasi dan modal kerja sektor riil di Indonesia masih didominasi pembiayaan kredit dari perbankan. Dengan demikian, kredit dan sektor usaha khususnya sektor riil adalah seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Besarnya peranan kredit menjadikan kredit sebagai salah satu sasaran antara pada mekanisme kebijakan moneter dengan sasaran utama berupa terkendalinya inflasi dan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, seluruh sendi-sendi perekonomian nasional terkena dampak yang sangat besar. Kinerja perekonomian seperti indikator makro menunjukan penurunan yang sangat signifikan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang menunjukan
2
penurunan tajam sebesar 13,10 persen.1 Lalu terjadi pula kenaikan inflasi yang melambung tinggi mencapai 77,6 persen.2 Di sisi lain, angka pengangguran di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 6,1 juta penduduk atau 5,86 persen dari angkatan kerja yang berjumlah 105,2 juta penduduk.3 Selain itu, jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 pun meningkat drastis menjadi sebesar 49,5 juta penduduk atau 24,2 persen dari total jumlah penduduk sebesar 201,5 juta.4 Hal ini merupakan dampak dari penurunan daya beli dan banyaknya perusahaan yang mengurangi dan menghentikan produksinya. Semakin memburuknya perekonomian Indonesia akibat depresiasi nilai tukar mempunyai dampak buruk bagi perbankan di Indonesia. Krisis tahun 1997 juga mengakibatkan fungsi intermediasi perbankan mengalami gangguan. Terjadinya disintermediasi perbankan ini dapat terlihat dari penurunan jumlah kredit yang disalurkan perbankan ke sektor riil. Penurunan penyaluran kredit ini disebabkan oleh faktor likuiditas bank yang menurun drastis akibat terjadinya krisis perbankan. Setelah mengalami krisis, pertumbuhan jumlah kredit yang disalurkan ke sektor riil cenderung lambat bahkan menurun drastis pada tahun 1999 (Gambar 1.1). Meskipun jumlah dana pihak ketiga semakin meningkat namun penyaluran
1
Tim INDEF. 2003. Restrukturisasi Perbankan di Indonesia: Pengalaman Bank BNI. Penerbit INDEF, Jakarta. Hal 78.
2
Statistik Indonesia. 1998. Indikator Ekonomi.Buletin Statistik Bulanan, Desember 1998. BPS, Jakarta. Hal. 8.
3
Survei Sosial Ekonomi Nasional. Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 1998. BPS, Jakarta. Hal 151.
4
Katalog BPS:4103. 2001. Indikator Kesejahteraan Rakyat Tahun 2000. BPS, Jakarta. Hal 7.
3
kredit tetap sedikit (Tabel 1.1). Sehingga perkembangan sektor riil pun menjadi lambat. Tabel 1.1 Perkembangan Kredit (Kredit Modal Kerja, Investasi dan Konsumsi) 1997-2007 Tahun Jumlah Kredit Pertumbuhan DPK (Milyar Rp) (%) (Milyar Rp) 1997 378.134 357.613 1998 487.426 28,90 573.524 1999 225.133 -53,81 625.618 2000 269.000 19,48 720.379 2001 307.594 14,35 809.126 2002 365.410 18,80 845.015 2003 437.942 19,85 902.325 2004 553.548 26,40 965.079 2005 689.669 24,59 1.134.086 2006 787.136 14,13 1.298.755 2007 854.986 8,62 1.363.839 Sumber : Bank Indonesia (2007)
40.00
900000
20.00
700000 600000
0.00
500000 400000
-20.00
300000 200000
-40.00
100000 0
Pertumbuhan Kredit (%)
Jumlah Kredit (Milyar Rp)
800000
-60.00 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun Jumlah Kredit
Pertumbuhan Kredit
Sumber : Bank Indonesia (2007) Gambar 1.1 Jumlah Kredit dan Pertumbuhan Kredit tahun 1997-2007 Kredit yang disalurkan kepada sektor riil belum cukup untuk menjadi alat pendorong pertumbuhan ekonomi untuk kembali pada level sebelum krisis. Hal
4
ini akan sangat berdampak pada proses pemulihan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, melambatnya pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia pasca krisis 1997 dapat dianggap sebagai salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya yang juga terkena krisis ekonomi seperti Korea Selatan dan Thailand. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak faktor yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan kredit. Lambatnya pertumbuhan kredit beberapa tahun terakhir bisa diakibatkan oleh credit crunch yang menyebabkan terjadinya penurunan penawaran kredit oleh perbankan (supply side constraint), salah satunya karena tingginya tingkat suku bunga SBI. Tingkat suku bunga SBI yang tinggi menyebabkan perbankan beramai-ramai menyimpan dana pihak ketiga dalam bentuk SBI. Credit crunch merupakan suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit perbankan secara tajam akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit pada dunia usaha.5 Selain credit crunch penyebab lain dari melambatnya pertumbuhan kredit adalah terjadinya credit slowdown. Credit slowdown merupakan situasi dimana terjadi penurunan permintaan kredit dari sektor riil (demand side constraint) secara tajam akibat lesunya perekonomian.6 Dengan demikian, terjadinya credit crunch maupun credit slowdown akan menyebabkan terjadinya penurunan penyaluran kredit perbankan.
5
Hal ini dapat tercermin dari meningkatnya spread yaitu selisih antara suku bunga kredit dan suku bunga deposito serta semakin ketatnya kriteria untuk memperoleh kredit.
6
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari terjadinya kontraksi permintaan agregat dan menurunnya output setelah krisis. Selain itu, penurunan permintaan kredit juga dipicu oleh tingginya tingkat suku bunga kredit, yang berakibat pada semakin mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh sektor riil untuk mendapatkan modal melalui kredit perbankan.
5
Dari terjadinya fenomena disintermediasi perbankan, kemudian terjadilah stagnansi sektor riil. Akibat lebih lanjut dari sektor riil yang masih stagnan, maka jumlah pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah. Meskipun indikator makroekonomi relatif membaik, tapi hingga saat ini sektor riil belum membaik karena terjadi disintermediasi perbankan. Hal ini mengindikasikankan bahwa pergerakan sektor moneter dan sektor riil tidak sinergis. Meskipun dari sisi moneter terjadi peningkatan arus moneter tapi ternyata tidak diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa yang setara. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan antara arus moneter serta arus barang dan jasa. Hal ini sering disebut sebagai decoupling, yaitu fenomena keterputusan antara cepatnya arus uang dengan arus barang dan jasa.7 Fenomena tersebut biasanya diiringi pula dengan terjadinya “ekonomi balon” (bubble economy) yaitu sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tidak diimbangi oleh sektor riil bahkan sektor riil tertinggal sangat jauh perkembangannya.8 Situasi tersebut terjadi seperti pada era Orde Baru, dimana begitu besarnya kekayaan nasional tapi sebagian besar dihasilkan modal asing. Bahkan modal tersebut adalah utang luar negeri, baik yang dalam bentuk utang pemerintah maupun utang swasta. Maka fenomena tersebut
telah
terbukti
membahayakan
perekonomian
Indonesia,
karena
perekonomian menjadi rapuh yang ditunjukan oleh terjadinya krisis besar tahun 1997. 7
8
Didin S. Damanhuri. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi, & Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Hal. 74 Ibid.
6
Dengan demikian, permasalahan disintermediasi perbankan harus segera diatasi demi terwujudnya sinergitas antara sektor riil dan sektor moneter dalam perekonomian Indonesia. Sehingga dapat tercapai akselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah Seperti kita ketahui bahwa sektor riil merupakan sektor-sektor ekonomi yang mempunyai kontribusi langsung terhadap GDP dan mempunyai kontribusi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Maka pertumbuhan sektor riil dapat mengatasi masalah pengangguran dan secara tidak langsung mengurangi kemiskinan. Besarnya peran sektor riil tersebut bagi pendapatan nasional perlu didukung oleh kinerja perbankan yang baik. Dalam hal ini, sektor perbankan berperan dalam menyalurkan kredit kepada sektor riil untuk menunjang keberlangsungan usaha sektor riil tersebut. Kredit yang disalurkan perbankan yaitu kredit yang bersifat produktif yang terdiri dari kredit investasi dan kredit modal kerja. Namun setelah terjadi krisis ekonomi, perbankan Indonesia mengalami keterpurukan.
Dalam
menghadapi
keterpurukan
perbankan,
pemerintah
melakukan berbagai reformasi di sektor keuangan seperti restrukturisasi perbankan
melalui
program
penyehatan
perbankan.
Namun,
selama
berlangsungnya program ini, jumlah penyaluran kredit ke sektor riil masih rendah. Turunnya jumlah kredit yang disalurkan dan lambatnya pertumbuhan aliran kredit ke sektor riil tentu akan menekan investasi yang pada akhirnya berdampak pada
7
pertumbuhan ekonomi. Apalagi untuk memacu pertumbuhan ekonomi 2007 sesuai target yaitu sebesar 5,8 persen sampai 6,6 persen sangat diperlukan dukungan kredit dari perbankan yang tinggi untuk membiayai sektor riil agar dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi tersebut. Penurunan jumlah kredit yang disalurkan dan lambatnya pertumbuhan penyaluran kredit tersebut mengindikasikan adanya disintermediasi perbankan (Tabel 1.1). Gagalnya fungsi intermediasi perbankan juga dianggap sebagai salah satu penyebab dari lambannya pergerakan sektor riil. Padahal perbankan mengalami kelebihan likuiditas (overliquid) hingga sekitar 450 triliun rupiah, tetapi sektor riil menderita karena tidak kunjung terkucurnya kredit.
9
Disintermediasi perbankan juga dipacu pula oleh banyaknya dana pihak ketiga di perbankan yang tidak disalurkan untuk kredit melainkan disimpan dalam bentuk SBI. Sementara itu, kelebihan likuiditas perbankan yang mencapai 450 triliun rupiah, sebesar 200 triliun rupiah terserap di SBI dan 150 triliun rupiah dibelikan surat berharga lainnya dan 100 triliun rupiah untuk transaksi antar bank.10 Berdasarkan uraian di atas dan merujuk pada latar belakang penelitian ini, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dapat dikaji dalam penelitian ini, yaitu : 1. Apakah telah terjadi fenomena disintermediasi perbankan di Indonesia pasca krisis?
9
Sri Hartati Samhadi, 2007. Jangan Lagi Sia-siakan Momentum. Kompas edisi Sabtu, 27 Januari 2007. Hal. 33.
10
Ibid
8
2. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya fenomena disintermediasi perbankan di Indonesia ? 3. Bagaimana pengaruh dari terjadinya fenomena disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi ? 4. Bagaimana solusi yang dapat direkomendasikan untuk mengatasi terjadinya disintermediasi perbankan di Indonesia sehingga efektif menstimulus perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi ?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu : 1. Menganalisis terjadinya fenomena disintermediasi perbankan di Indonesia pasca krisis. 2
Menganalisis
faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
fenomena
disintermediasi perbankan di Indonesia. 3
Menganalisis pengaruh dari terjadinya fenomena disitermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi.
4
Merekomendasikan solusi yang dapat mengatasi terjadinya disintermediasi perbankan di Indonesia sehingga efektif menstimulus perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi.
9
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain : 1. Bagi Bank Indonesia, pemerintah, perbankan dan pelaku usaha di sektor riil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengatasi permasalahan disintermediasi perbankan yang berpengaruh terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 2. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai kredit dan permasalahan ekonomi yang sedang terjadi pada kredit perbankan dan sektor riil. 3. Bagi kalangan akademisi, diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan. 4. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dengan topik penelitian yang serupa mengenai disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi.
1.5 Lingkup Permasalahan 1. Studi wilayah pada penelitian ini adalah tingkat nasional, yaitu Negara Indonesia. 2. Periode amatan pada penelitian ini yaitu periode pasca krisis yaitu dari kuartal satu tahun 1999 sampai dengan kuartal tiga tahun 2007. Hal ini dimaksudkan
agar
penelitian
ini
dapat
menganalisis
terjadinya
disintermediasi perbankan setelah krisis ekonomi 1997. Lalu penyebab
10
disintermediasi perbankan tersebut dideteksi apakah berasal dari sisi permintaan atau penawaran kredit. 3. Pengertian Bank Umum pada penelitian ini terdiri dari bank BUMN (Persero), Bank Umum Swasta Nasional (BUSN), Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Asing dan Bank Campuran di Indonesia. 4. Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data sekunder bulanan yang berasal dari laporan tahunan, laporan bulanan dan data statistik berbagai edisi. Data tersebut berasal dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik dan Bursa Efek Jakarta (BEJ). 5. Gross Domestic Product (GDP) riil pada penelitian ini yaitu GDP yang diukur dengan harga konstan yaitu tahun dasar 2000. 6. Suku bunga kredit yang digunakan pada penelitian ini yaitu suku bunga kredit modal kerja (KMK) dari seluruh Bank Umum. 7. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia yang digunakan pada penelitian ini yaitu suku bunga SBI berjangka waktu 1 bulan pada saat lelang SBI di Bank Indonesia. 8. Pengertian kapasitas kredit pada penelitian ini yaitu jumlah dari total pasiva seluruh bank umum dikurangi kas (cash in vault) dikurangi modal dikurangi Giro Wajib Minimum (GWM). 9. Pengertian NPL (Non Performing Loan) pada penelitian ini yaitu prosentase jumlah kredit bermasalah terhadap total kredit. 10. Pada penelitian ini, pengertian nilai tukar yaitu nilai tengah kurs Rupiah terhadap Dolar US (US$).
11
11. Pada penelitian ini, pengertian Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yaitu indeks harga semua saham yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta (BEJ). 12. Pengertian CA pada penelitian ini yaitu rasio modal bank umum terhadap total aset. 13. Pengertian inflasi pada penelitian ini yaitu perubahan IHK bulanan. 14. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah GDP riil Indonesia yang diukur dengan harga konstan yaitu tahun dasar 2000. Sedangkan perkembangan sektor riil adalah PDB riil dari sektor riil. Adapun yang dimaksud sektor riil adalah Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; Sektor Pertambangan dan Galian; Sektor Industri Pengolahan; Sektor Listrik, Gas dan Air Minum; Sektor Bangunan; Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. 15. Semua data dalam penelitian ini telah diubah menjadi bentuk logaritma natural (ln) kecuali data yang berbentuk persentase. 16. Semua data dalam penelitian ini telah diubah menjadi data riil dengan cara dibagi dengan IHK bagi data nominal dan bagi data persentase dikurangi inflasi year on year.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Perbankan Sebagai Lembaga Intermediasi Keuangan Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan yang
memiliki peran langsung dalam aktivitas perekonomian. Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan dibandingkan aset nonfinansial atau aset riil.11 Lembaga keuangan berfungsi menghimpun dana dari masyarakat lalu kemudian menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada nasabah dan menanamkan dananya dalam surat-surat berharga. Lembaga keuangan berdasarkan kemampuannya menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dapat dikelompokkan lembaga keuangan depositori (depository financial institution) dan lembaga keuangan non depositori (non depository financial institution).
12
Perbankan dalam hal ini termasuk kedalam
kelompok lembaga keuangan depositori (depository financial institution) karena menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan (deposit) seperti giro, tabungan dan deposito berjangka yang diterima dari penabung atau unit surplus. 13 Di sisi lain, Levine mengelompokkan fungsi utama dari lembaga keuangan dimana perbankan termasuk di dalamnya, ke dalam 5 fungsi dasar, yaitu:14 11
Dahlan Siamat. 2001. Manajemen Lembaga Keuangan. Edisi ketiga. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Hal. 5.
12
Ibid. Hal. 6.
13
Ibid
14
Ross Levine. 1996. Financial Development and Economic Growth : Views and Agenda. Policy Research Working Paper. World Bank. Hal. 6.
13
1. memobilisasi tabungan; 2. mengalokasikan pendanaan ke tempat yang produktif; 3. memfasilitasi perdagangan barang dan jasa; 4. memfasilitasi perdagangan (trading), perlindungan terhadap nilai mata uang (hedging), diversifikasi dan mengumpulkan resiko, dan 5. mengawasi penggunaan dana yang disalurkan. Dalam aktivitas ekonomi sehari-hari , metode transfer dana tidak semua dana dari unit surplus (fund provider) dapat langsung disalurkan kepada unit defisit (deposit taker) akibat adanya berbagai perbedaan kepentingan.15 Maka perbedaan kepentingan kedua belah pihak tersebut dijembatani oleh perbankan, sehingga perbankan disebut sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediaries institution). Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Indirect Finance Lembaga Intermediasi (Perbankan)
Unit Deposit (deposit taker) Perusahaan Pemerintah Rumah tangga
Pasar Uang
Direct finance Sumber : Siamat Dahlan, 2001 Gambar 2.1. Proses Intermediasi Perbankan 15
Dahlan Siamat. Op. Cit. Hal. 15.
Unit Surplus (fund provider) Perusahaan Pemerintah Rumah tangga
14
Perbankan menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dalam bentuk simpanan (deposit). Dana yang terakumulasi tersebut disalurkan perbankan kepada sektor riil dan masyarakat dalam bentuk investasi, modal kerja dan pembiayaan lainnya. Maka fungsi intermediasi perbankan memiliki efek strategis bagi perekonomian yaitu berperan sebagai lembaga intermediasi keuangan yang mengalokasikan dana secara efektif dan efisien ke sumber-sumber yang produktif. Sehingga hal tersebut dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu, Frederick S. Miskhin menyebutkan betapa pentingnya perbankan , “ Banks are what make financial markets work. Without them, financial markets would not be able to move funds from people who save to people who have productive investment opportunities. They thus also have important effect on the performance of the economy as a whole”. 16
2.2.
Definisi dan Konsep Perbankan Adanya perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan dapat
membantu masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Adapun definisi bank menurut Dendawijaya, yaitu: Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial iintermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund/surplus unit) kepada pihak
16
Frederick S. Miskhin. 1997. The Economics of Money, banking and Financial Markets. Fifth edition. Addison Wesley Longman Inc, New York. Hal. 7.
15
yang membutuhkan dana (deficit unit) dalam bentuk kredit dan bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.17 Berdasarkan pasal 5 Undang-undang No.10 Tahun 1998, bank di Indonesia menurut jenisnya dikelompokan menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat.
18
Namun dalam penelitian ini, lebih difokuskan pada Bank
Umum, bukan Bank Perkreditan Rakyat. Adapun definisi dari Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.19 Kelompok Bank yang termasuk Bank Umum di indonesia adalah Bank BUMN, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN), Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank asing dan Bank Campuran. 20 Sedangkan kegiatan usaha Bank Umum menurut pasal 6 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 diantaranya adalah :21 a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan kredit; c. menerbitkan surat pengakuan utang; d. membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya: surat-surat wesel, surat 17
Lukman Dendawijaya. 2001. Manajemen perbankan. Cetakan ke-1. Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal. 25.
18
Ibid. Hal. 18.
19
Ibid. Hal. 17.
20
Dahlan Siamat. Op. Cit. H. 22.
21
Lukman Dendawijaya. Op.Cit. Hal. 18.
16
pengakuan utang, kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah, sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi, surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun, surat berharga lain berjangka waktu sampai satu tahun; e. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah; f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya; g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga; h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; k. (dihapus) l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kredit dan kegiatan wali amanat; m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
17
n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan melihat berbagai kegiatan usaha bank tersebut, maka bagi sebuah bank, dana merupakan darah dalam tubuh badan usaha dan persoalan paling utama. Tanpa dana, bank tidak dapat berfungsi sama sekali. Menurut Sinungan (1992), dana-dana bank yang digunakan sebagai alat bagi operasional suatu bank bersumber dari dana-dana sebagai berikut :22 1. Dana pihak kesatu Merupakan dana dari modal sendiri yang berasal dari para pemegang saham. Adapun dana modal sendiri ini terdiri dari modal disetor, agio saham, cadangan-cadangan dan laba ditahan. 2. Dana pihak kedua Merupakan dana pinjaman yang berasal dari pihak luar, yang terdiri atas dana-dana : call money, pinjaman biasa antarbank, pinjaman dari Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan pinjaman dari bank sentral (BI). 3. Dana pihak ketiga Merupakan dana yang berupa simpanan dari masyarakat, terdiri dari beberapa jenis yaitu giro (Demand deposit), deposito (Time deposit), dan tabungan (Saving).
2.3.
22
Definisi dan konsep Kredit Perbankan
Muchdarsyah Sinungan. 1992. Manajemen Dana Bank. Rineka cipta, Jakarta. Hal. 84.
18
Kata kredit berasal dari bahasa Latin credere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud adalah antara si pemberi dan si penerima kredit.
23
Kredit juga dapat didefinisikan sebagai pemberian prestasi (misalnya uang dan barang) dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu mendatang.24 Sedangkan menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan, definisi kredit yaitu: 25 Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Namun dalam arti luas, kredit didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa mendatang. Menurut Simomangkir, kredit perbankan mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan diantaranya adalah :26 1. Kredit pada hakikatnya dapat meningkatkan daya guna uang. 2. Kredit dapat meningkatkan peredaran lalu lintas uang. 3. Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang. 4. Kredit merupakan salah satu alat stabilisasi ekonomi. 5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha. 23
O.P Simomangkir. 2004. Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Nonbank. Cetakan ke-2. Ghalia Indonesia, Bogor. Hal. 100.
24
Ibid.
25
Ibid
26
Ibid. Hal. 103.
19
6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan. 7. Kredit merupakan alat untuk meningkatkan hubungan internasional. Mengingat banyaknya fungsi kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan, maka kredit pun dikelompokkan berdasarkan maksud dan tujuannya. Secara garis besar, kredit dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu :27 1. Kredit modal kerja Kredit yang diberikan kepada nasabah kredit (debitor) untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan debitor. 2. Kredit investasi Kredit yang diberikan kepada nasabah kredit (debitor) untuk membiayai pembelian barang modal (investasi). 3. Kredit konsumsi Kredit yang diberikan kepada nasabah kredit (debitor) untuk keperluan pembelian barang-barang konsumsi yang diperlukan debitor.
2.4.
Mekanisme Kebijakan Moneter Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi mempunyai
peran penting dalam perekonomian suatu negara. Peran tersebut dapat dilihat dari kemampuannya dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga dan perluasan kesempatan kerja. Hal-hal tersebut sering dijadikan sasaran akhir dari suatu kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran akhir tersebut, harus terdapat suatu jalur yang dilalui yaitu mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme
27
Lukman Dendawijaya. Op.Cit. Hal. 27
20
transmisi kebijakan moneter merupakan penggunaan instrumen moneter yang dimiliki Bank Sentral yang akan mempengaruhi sasaran antara untuk mencapai sasaran akhir berupa stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja. Suatu kebijakan moneter bisa memiliki sasaran akhir tunggal ataupun sasaran akhir ragam. Pada umumnya, kebijakan moneter dengan sasaran akhir tunggal menggunakan pendekatan harga (price-based structure), sementara kebijakan moneter dengan sasaran akhir ragam pada umumnya menggunakan pendekatan kuantitas (quantity-based structure).28 Pada Gambar 2.2 dan 2.3 disajikan kerangka secara umum dari kedua pendekatan tersebut.
Instrumen - Langsung - Tidak Langsung
Sasaran Operasional
Sasaran Antara
Sasaran Akhir
- Uang Primer (M0) - M1, M2 - Stabilitas Harga - Reserve Bank - Kredit - Pertumbuhan Ek -Suku Bunga - Kesempatan kerja
Sumber : Ascarya, 2002 Gambar 2.2. Transmisi Kebijakan Moneter dengan Pendekatan Kuantitas
Instrumen
- Langsung
Sasaran Operasional Suku Bunga
Variabel- variabel informasi
Sasaran Akhir Stabilitas Harga
- Tidak langsung
Sumber : Ascarya, 2002 Gambar 2.3. Transmisi Kebijakan Moneter dengan Pendekatan Harga
28
Ascarya. 2002. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Seri Kebanksentralan No. 3. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Hal. 2.
21
Pendekatan kuantitas menyatakan bahwa pengendalian besaran-besaran moneter dapat secara efektif mengendalikan stabilitas perekonomian.29 Sedangkan pendekatan harga menyatakan bahwa pengendalian tingkat hargalah yang secara efektif dapat mengendalikan stabilitas perekonomian.30 Dari Gambar 2.2 dan 2.3 dapat dilihat bahwa untuk mencapai sasaran akhir yang diinginkan, baik ragam maupun tunggal, kerangka kebijakan moneter pada umumnya terdiri dari beberapa bagian. Bagian tersebut yaitu instrumen dan sasaran operasional untuk pendekatan harga, sedangkan untuk pendekatan kuantitas yaitu instrumen, sasaran operasional dan sasaran antara. Dalam pendekatan kuantitas, untuk mencapai sasaran akhir yang diinginkan terdapat lag antara pelaksanaan kebijakan dengan tercapai atau tidaknya sasaran akhir itu.31 Sehingga diperlukan sasaran antara untuk mengetahui dengan segera indikasi kebijakan yang dilakukan. Sasaran antara dipilih yang memiliki keterkaitan stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas, dapat dikendalikan otoritas moneter, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering direvisi.32 Sasaran antara yang dapat digunakan yaitu M1, M2, kredit perbankan dan suku bunga. Sementara itu, untuk mencapai sasaran antara, diperlukan sasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai dengan
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid. Hal. 3
22
rencana.33 Beberapa pilihan sasaran opersional diantaranya uang primer (M0), reserve bank dan suku bunga (jangka pendek). Selanjutnya untuk mencapai sasaran operasional bank sentral memerlukan alat-alat yang dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi sasaran operasional.34 Alat-alat tersebut biasa disebut sebagai instrumen. Bentuk instrumen langsung yang banyak digunakan adalah pengendalian suku bunga (interest rate ceilings), pagu kredit dan kredit program bank sentral. Sementara itu, secara umum bentuk instrumen tidak langsung yang banyak digunakan yaitu Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM), dan fasilitas diskonto.35
2.5.
Jalur Kredit (Credit Channel) sebagai Salah Satu Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia terdiri dari lima jalur
yaitu jalur nilai tukar, jalur kredit, jalur suku bunga, jalur ekspektasi dan jalur harga aset.36 Salah satu jalur yang melihat pengaruh kebijakan moneter terhadap kredit yaitu jalur kredit (Credit Channel).
33
Ibid.
34
Ibid
35
Ibid. Hal. 6. Perry W. dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Seri Kebanksentralan No. 6. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Hal. 19.
36
23
Kebijakan Moneter
Liabilitas Bank
Ketersediaan Kredit Bank
Jumlah Uang Beredar Investasi Suku Bunga / Harga Saham
Nilai Bersih Perusahaan
Pemberian Kredit
Sumber : Perry Warjiyo dan Solikin, 2003 Gambar 2.4 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur kredit Berdasarkan Gambar 2.4 dapat dillihat bahwa jalur kredit dapat dibedakan menjadi dua jalur yaitu jalur pinjaman bank (bank lending channel) dan jalur neraca perusahaan(balance sheet channel). 1.
Jalur Pinjaman Bank (bank lending channel) Jalur pinjaman bank menekankan pengaruh kebijakan moneter pada
kondisi keuangan bank. Pada jalur ini, selain sisi aset, sisi liabilitas bank juga merupakan komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter .37 Apabila bank sentral melaksanakan kebijakan ekspansif, misalnya melalui penurunan GWM di bank sentral, maka cadangan dana yang ada di bank akan mengalami peningkatan sehingga dana yang dapat dipinjamkan oleh bank (loanable fund) akan mengalami peningkatan. Sehingga kemampuan bank untuk memberikan kredit akan meningkat. Kondisi ini akan mendorong peningkatan investasi yang berdampak pada peningkatan output. GWM
H Loanable Fund bank
Output 37
Ibid. Hal. 22.
H Pemberian Kredit
H Investasi
H
24
2. Jalur Neraca Perusahaan (balance sheet channel) Jalur neraca perusahaan menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan dan selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit.38 Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun, yang mendorong harga saham mengalami peningkatan. Sejalan dengan peningkatan tersebut, nilai bersih perusahaan (networth) akan meningkat, yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini mendorong pemberian kredit oleh bank, selanjutnya meningkatkan investasi dan pada akhirnya meningkatkan output. M Hr
H P saham
Pemberian Kredit
2.6.
H networth H adverse selection dan moral hazard H
H Investasi
H Output
Penurunan Penyaluran Kredit Penurunan penyaluran kredit dapat terjadi karena adanya penurunan dari
sisi penawaran atau permintaan terhadap kredit perbankan. Dengan terjadinya penurunan penyaluran kredit, maka fungsi intermediasi perbankan akan terganggu. Perbankan yang seharusnya menjadi perantara antara sektor moneter dan sektor riil menjadi tidak mampu lagi menggerakkan perkembangan dunia usaha melalui kredit yang disalurkan perbankan. Hal ini tentu saja akan mengurangi efektivitas dari kebijakan moneter itu sendiri, terutama melalui jalur kredit (credit channel). Berbagai penelitian telah menemukan fenomena
38
Ibid.
25
penurunan penyaluran kredit perbankan baik akibat penurunan permintaaan ataupun penawaran kredit. Untuk membedakan fenomena penurunan kredit perbankan (disintermediasi), maka dapat dibedakan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu dari sisi permintaan dan penawaran kredit dalam pasar kredit. 2.6.1. Penurunan Kredit yang Terjadi Karena Penurunan Permintaan Penurunan kredit akibat faktor-faktor permintaan merupakan hal yang sering terjadi ketika perekonomian suatu negara mengalami kelesuan (resesi), terutama karena masih lemahnya aktivitas investasi. Dari sisi mikro, pada perusahaan, masalah struktural seperti penyesuaian untuk mengurangi rasio utang terhadap modal (debt equity ratio) yang meningkat akibat krisis juga menjadi penyebab turunnya permintaan kredit.39 Selain itu, faktor melemahnya investasi pada saat resesi ditambah dengan faktor ketidakpastian (uncertainty) dan iklim usaha (business confidence) yang kurang baik, juga merupakan penyebab turunnya permintaan kredit. Seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.5, melemahnya aktivitas perekonomian menyebabkan penurunan permintaan (demand) kredit. Sehingga kurva permintaan kredit bergeser ke bawah, dari D0 ke D1. Jika tidak terjadi perubahan dari sisi penawaran (supply), maka pergeseran demand tersebut akan mendorong suku bunga turun dan kuantitas kredit lebih rendah dari semula (r1,L1).
39
Agung, et al. 2001. Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis:Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia. Hal. 5
26
Suku Bunga Kredit S
r0 r1
L1 L0
D1 D2
D0 Kuantitas Kredit
Sumber : Agung et al. 2001 Gambar 2.5 Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Permintaan Namun jika penurunan kredit akibat fakor struktural mikroekonomi, maka pergeseran permintaan juga diikuti oleh curamnya kurva permintaan (D2). Sehingga permintaan kredit menjadi kurang sensitif terhadap perubahan harga kredit.40 2.6.2. Penurunan Kredit yang Terjadi Karena Penurunan Penawaran Penurunan kredit dari sisi penawaran disebabkan oleh turunnya kemauan bank untuk memberikan kredit. Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan menurunnya keinginan perbankan untuk memberikan kredit dapat bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya kualitas aset perbankan, tingginya NPL dan anjloknya modal perbankan akibat depresiasi serta negative interest margin yang akan menurunkan kemampuan bank untuk menyalurkan kredit.41 Sedangkan faktor eksternal berupa menurunnya tingkat
40
Ibid. Hal. 6
41
Ibid.
27
kelayakan kredit (creditworthness) dari debitur akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan.42 Sehingga bank akan mengalami kesulitan untuk membedakan tingkat kelayakan kredit dari debitur. Dengan demikian akan terjadi asymetric information dan pada gilirannya akan mengurangi volume kredit perbankan. Berdasarkan Gambar 2.6, diilustrasikan bahwa penurunan penawaran kredit baik karena faktor internal maupun eksternal menyebabkan pergeseran kurva supply ke atas (S0 ke S1). Hal ini akan mendorong suku bunga meningkat dan menurunnya kuantitas kredit (r1,L1). Namun demikian, keengganan bank untuk menyalurkan kredit seringkali tidak diikuti oleh kenaikan suku bunga, tapi diikuti oleh pengurangan kredit secara kuantitas (non-price credit rationing). Nonprice credit rationing ini akan menggeser kurva supply ke kiri atas dan kurva menjadi vertikal (S2). Hal ini mencerminkan bahwa kurva penawaran kredit menjadi tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga. Suku Bunga Kredit S1
S2
S0
r1
r0 D L1 L0
Kuantitas Kredit
Sumber : Agung et al.2001 Gambar 2.6 Penurunan Kredit Akibat Menurunnya Penawaran
42
Ibid. Hal. 7
28
Penurunan penyaluran kredit akibat penurunan penawaran kredit dapat menyebabkan terjadinya credit crunch. Credit crunch merupakan suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit perbankan secara tajam akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit pada dunia usaha. Hal ini dapat tercermin dari meningkatnya spread yaitu selisih antara suku bunga kredit dan suku bunga deposito serta semakin ketatnya kriteria untuk memperoleh kredit. Dalam kondisi ekstrim, credit crunch terjadi dalam bentuk credit rationing, yaitu bank menolak memberikan kredit terhadap nasabah tertentu pada tingkat suku bunga berapapun .43
2.7.
Sektor Riil Dalam konteks fundamental makroekonomi, determinan utama bagi
kinerja ekonomi nasional terdiri dari dua bagian yaitu sektor riil (real sector) dan sektor non riil (non real sector) atau sering disebut sektor moneter. Sektor riil merupakan aktivitas-aktivitas yang menghasilkan barang/jasa. Secara spesifik, aktivitas-aktivitas tersebut menghasilkan output nasional, dimana indikatornya adalah GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product). Sedangkan sektor non riil (non real sector) / sektor moneter merupakan aktivitas yang menyangkut keuangan/perbankan serta menggambarkan tentang penawaran dan permintaan uang (money supply and demand). Menurut Bank Indonesia, sektor riil terdiri dari 7 sektor yaitu sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan; sektor pertambangan dan 43
Agung. Et al. Op. Cit. Hal. 5
29
penggalian; sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas dan air minum; sektor bangunan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor transportasi dan komunikasi.
44
Selama ini sektor riil memiliki sumbangan yang besar terhadap
output nasional. Sehingga sektor riil memiliki peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh mengabaikan perkembangan sektor riil.
2.8.
Pertumbuhan Ekonomi Selama ini banyak persepsi yang menyamakan arti dari istilah
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Sebenarnya kedua istilah tersebut memiliki maksud yang sama tapi memiliki arti yang berbeda. Istilah pertumbuhan ekonomi digunakan jika terdapat lebih banyak output. Sedangkan pembangunan ekonomi digunakan jika terdapat lebih banyak output yang disertai dengan perubahan-perubahan struktur ekonomi dan teknik pengetahuan dalam menghasilkan output yang lebih banyak. Pada umumnya pembangunan ekonomi selalu disertai dengan pertumbuhan ekonomi. Tetapi pertumbuhan ekonomi belum tentu disertai dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi
merupakan
mesin
paling
tangguh
untuk
menghasilkan peningkatan standar hidup dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan kapasitas produksi dari suatu negara dalam jangka panjang untuk menyediakan berbagai macam barang ekonomi
44
Tim Statistik Sektor Riil. 2007 Angka-angka Sektor Riil. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia. Hal.1
30
kepada penduduknya.
45
Kenaikan kapasitas tersebut ditentukan oleh adanya
kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.meningkat sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan yang semakin besar.
46
Adapun
definisi lain dari pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi dari waktu ke waktu sehingga dapat meningkatkan kemampuan suatu negara secara keseluruhan dalam menghasilkan output.
47
Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara biasanya
digunakan variabel gross domestic product (GDP), yang mengukur output total dari suatu perekonomian. 48
2.9.
Sertifikat Bank Indonesia Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan surat berharga dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang jangka pendek dengan menggunakan sistem diskonto. 49 SBI ini merupakan salah satu instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dalam rangka mengendalikan jumlah uang yang beredar ataupun suku 45
46
Michael P. Todaro. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga, dalam Haris Munandar (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Hal. 99 Ibid
47
Dominick Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional, dalam Haris Munandar (penerjemah). Penerbit Erlangga, Jakarta. Hal. 232-236
48
N. Gregory Mankiw. 2000. Teori Makroekonomi, dalam Imam Nurmawan (penerjemah). Penerbit Erlangga, Jakarta. Hal. 72
49
F.X Sugiyono. 2003. Instrumen Pengendalian Moneter: Opersi Pasar Terbuka.. Seri Kebanksentralan No. 10. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Hal. 30
31
bunga. Surat berharga yang dijadikan instrumen OPT di Indonesia hanya SBI. Hal ini dikarenakan SBI memenuhi persyaratan sebagai surat berharga yang dapat dipergunakan sebagai instrumen OPT antara lain ialah berkualitas tinggi, mudah atau sewaktu-waktu dapat dicairkan dan jumlahnya mencukupi untuk keperluan OPT. 50 Sebagai instrumen OPT, penerbitan SBI oleh Bank Indonesia dapat dilakukan baik melalui lelang maupun non lelang. SBI dapat dimiliki oleh bank ataupun pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia melalui pembelian SBI di pasar perdana. Jangka waktu penerbitan SBI untuk lelang mingguan secara reguler adalah 30 dan 90 hari.51 Selain itu terdapat dua macam lelang, yaitu lelang mingguan secara reguler dan lelang harian. Lelang mingguan secara reguler dimaksudkan untuk menjaga tetap tersedianya SBI di pasar, sementara lelang harian dimaksudkan untuk pengendalian moneter.52 Tingkat suku bunga SBI ditentukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan sasaran moneter yang ingin dicapai. Peningkatan suku bunga SBI dimaksudkan agar banyak yang menyimpan dananya di SBI sehingga kelebihan likuiditas dapat diserap. Dengan demikian dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan dapat mengendalikan inflasi.
50
Ibid
51
Ibid. Hal. 31
52
Ibid. Hal. 32
32
2.10.
Penelitian Terdahulu
1.
Pasarbasioglu (1997) penelitiannya menyatakan bahwa penurunan kredit terjadi akibat penurunan penawaran kredit. Penurunan penawaran kredit disebabkan oleh menurunnya kemauan bank-bank untuk memberikan pinjaman tanpa diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit.53
2.
Gosh and Gosh (1998) menggunakan Switching Regression untuk mendeteksi penurunan penyaluran kredit. Dua persamaan regresi yang menghubungkan permintaan dan penawaran kredit dengan variabel bebasnya, dipresentasikan dalam satu grafis sehingga akan terlihat kredit aktual. Hasilnya menyatakan bahwa penurunan penyaluran kredit adalah quantity rationing, bahwa dalam keadaan resesi terdapat kegagalan suku bunga untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran kredit.54
3.
Agung et al (2001) penelitiannya mengkaji apakah penurunan kredit yang tajam dari sektor perbankan di Indonesia adalah akibat credit crunch atau disebabkan oleh lemahnya permintaan kredit karena adanya resesi. Penelitian ini menggunakan analisis empiris secara makro dengan menggunakan data aggregat dan secara mikro menggunakan data individual perbankan (panel data) serta survey yang dilakukan kepada bank dan perusahaan. Hasil penelitian ini menyimpulkan terjadinya credit
53
54
Ceyla Pazarbasiouglo. 1997. A Credit Crunch?Finland in The Aftermath of The Banking Crisis. Staff Papers International Monetary Fund, Vol 44, No.3 (Sep, 1997). Hal. 315-327 A.Ghosh and Swati G. 1999. East Asia in The Aftermath:Was there a crunch?. IMF Working Paper Series. Hal. 12-19
33
crunch di Indonesia serta didapatkan hasil bahwa suku bunga kredit tidak berpengaruh terhadap permintaan kredit pada saat krisis.55 4.
Harmanta dan Mahyus Ekananda (2005), penelitiannya menganalisis determinan dari penurunan kredit perbankan yang didominasi oleh penawaran atau permintaan kredit. Penelitiannya menggunakan maximum likelihood dan hasilnya menyatakan bahwa pada periode sebelum krisis, penurunan penyaluran kredit disebabkan oleh penawaran kredit. Lalu pada sepanjang krisis, penurunan penyaluran kredit disebabkan juga oleh rendahnya penawaran kredit akibat menurunnya kemampuan bank dalam menyalurkan
kredit.
Sedangkan
setelah
krisis,
disebabkan oleh lemahnya permintaan kredit.
penurunan
kredit
Penelitian ini juga
menunjukkan inflexibility dari suku bunga dalam menyeimbangkan pasar kredit.56 5.
Yan Yan Peliyana (2005), penelitiannya menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan perbankan dipengaruhi oleh kondisi moneter dan permintaan agregat. Kondisi moneter yaitu, inflasi dan nilai tukar. Permintaan agregat meliputi investasi yang disetujui, dan pembentukan kapital tetap. Lalu kredit dan kapitalisasi pasar modal memiliki korelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.57
55
Agung. et al. Op. Cit. Hal. 31-35.
56
Harmanta dan Mahyus Ekananda, 2005. Disintermediasi Fungsi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis 1997 : Faktor Permintaan atau Penawaran Kredit, Sebuah Pendekatan dengan Model Disekuilibrium. Buletin Ekonomi dan Perbankan, Juni 2005.
57
Yan Yan Peliyana. 2005. Pengaruh Intermediasi Perbankan dan Pasar Modal Terhadap Pertumbuhan ekonomi Indonesia [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB.
34
6.
Merry Rachmawati (2005), penelitiannya menganalisis secara empirik hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara kapasitas kredit, suku bunga kredit, rasio modal terhadap aset, kredit bermasalah terhadap penawaran kredit. Metode yang digunakan yaitu Error Correction Model (ECM). Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek variabel yang digunakan yaitu suku bunga kredit dan rasio modal terhadap aset mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Sedangkan pada kapasitas kredit dan kredit bermasalah memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Dalam jangka panjang kapasitas kredit dan suku bunga kredit mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Sedangkan rasio modal terhadap aset dan kredit bermasalah mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap penawaran kredit.58 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya: 1. Penelitian ini tidak hanya menganalisis terjadinya disintermediasi perbankan
di
disintermediasi
Indonesia, tersebut
tapi
juga
terhadap
menganalisis
perkembangan
pengaruh sektor
riil
dari dan
pertumbuhan ekonomi.
58
Merry Rachmawati. 2005. Analisis Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Kredit Perbankan Pasca Krisis Moneter di Indonesia[Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB. Hal. 48-55.
35
2. Metodologi penelitian pada penelitian ini menggunakan 2 metode yaitu metode estimasi MaximumLikelihood (ML) serta regresi berganda yaitu Ordinary Least Square (OLS). 3. Pada penelitian ini hanya menganalisis disintermediasi pasca krisis ekonomi, tidak menganalisis sebelum krisis ekonomi. 4. Periode pengamatan pada penelitian ini dari tahun 1999 – 2007. pada penelitian terdahulu hanya sampai tahun 2003. 5. Penelitian ini menggunakan 5 variabel dalam fungsi permintaan kredit yaitu GDP riil, suku bunga kredit, IHSG, inflasi dan nilai tukar. Lalu 5 variabel dalam fungsi penawaran kredit yaitu kapasitas kredit, suku bunga kredit, suku bunga SBI, CA dan NPL.
2.11.
Kerangka Pemikiran Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan memiliki fungsi untuk
menghimpun dana dari unit surplus (fund provider) dan menyalurkannya ke unit defisit (deposit taker) melalui kredit. Kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan kepada sektor riil sangat berperan dalam pembiayaan modal sektor riil. Sehingga secara agregat, kredit perbankan menjadi roda penggerak perekonomian yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, fungsi perbankan sebagai lembaga penyalur kredit mengalami gangguan yang cukup serius. Apalagi setelah banyak bank-bank yang mengalami masalah dalam likuiditas. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah kredit yang disalurkan perbankan ke sektor riil, terutama kredit
36
modal kerja dan investasi. Hal ini mengindikasikan adanya fenomena disintermediasi perbankan di Indonesia. Akan tetapi, penyebab penurunan jumlah kredit perbankan tidak dapat dilihat dari satu sisi saja. Melainkan harus dilihat dari dua sisi baik sisi penawaran maupun permintaan kredit. Sisi penawaran kredit ditentukan oleh kapasitas kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan perbankan untuk menawarkan kredit seperti suku bunga kredit, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), rasio modal terhadap aset (CA) dan Non Performing Loans (NPL). Adapun definisi dari kapasitas kredit yaitu total passiva dikurangi kas bank (cash in vault), modal dan Giro Wajib Minimum (GWM). Sedangkan dari sisi permintaan kredit ditentukan oleh GDP riil, suku bunga kredit, IHSG, inflasi dan nilai tukar. Kemudian,
untuk
dapat
mengidentifikasi
terjadinya
fenomena
disintermediasi perbankan, maka harus diasumsikan bahwa penawaran kredit tidak selalu sama dengan permintaan kredit (disequilibrium). Hal ini didasarkan pula pada asumsi new-Keynesian dalam menganalis bekerjanya pasar kredit. Pendekatan new-Keynesian menyatakan bahwa pada dasarnya pasar keuangan seperti pasar kredit, seringkali tidak berfungsi secara sempurna (imperfect market) terutama dengan adanya informasi yang asimetri (asymmetric information) antar para pelaku pasar, sehingga pasar tidak selalu berada pada keseimbangan. Maka dalam penelitian ini akan dianalisis apakah penurunan kredit perbankan (disintermediasi perbankan) yang terjadi pasca krisis lebih disebabkan oleh sisi penawaran atau sisi permintaan. Jika ternyata permintaan kredit lebih besar dibandingkan penawaran kredit, maka fenomena disintermediasi perbankan
37
disebabkan oleh credit crunch. Credit crunch merupakan penurunan kredit yang berasal dari sisi penawaran akibat keengganan bank untuk menyalurkan kredit. Kemudian sebaliknya, jika permintaan kredit lebih kecil dibandingkan penawaran kredit, maka fenomena disintermediasi perbankan disebabkan oleh credit slowdown yaitu rendahnya permintaan kredit akibat perekonomian yang kurang prospektif. Setelah diketahui penyebabnya, maka akan dianalisis mengenai pengaruh dari disintermediasi perbankan. Fenomena disintermediasi perbankan tentu memiliki pengaruh yang buruk bagi perekonomian di Indonesia terutama pada perkembangan sektor riil. Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber utama pembiayaan usaha dan investasi di Indonesia didominasi oleh kredit perbankan. Dengan demikian terjadinya disintermediasi perbankan tentu akan berimbas pada stagnansi sektor riil dan lambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan rekomendasi solusi untuk mengatasi terjadinya disintermediasi perbankan di Indonesia. Diharapkan dengan adanya rekomendasi solusi tersebut, fenomena disintermediasi perbankan dapat diatasi atau diminimalisir. Sehingga dapat menjadi stimulus bagi perkembangan sektor riil yang pada akhirnya berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk menganalisis adanya disintermediasi perbankan di Indonesia serta faktor-faktor penyebabnya, maka digunakan metode estimasi Maximum Likelihood (ML). Sedangkan untuk menganalisis pengaruh disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi, digunakan metode OLS (Ordinary Least Square).
38
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam gambar berikut ini :
Krisis Ekonomi
Penurunan Penyaluran Kredit
Kapasitas Kredit Suku Bunga Kredit Suku Bunga SBI CA NPL
Penawaran Kredit (Lending Supply)
LD
D
S
L >L
Permintaan Kredit (Lending Demand)
LS
Fenomena Disintermediasi Perbankan
Terjadi Credit Crunch
LD < LS
Terjadi Credit Slowdown
Perkembangan Sektor Riil
Rekomendasi Solusi
Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran Penelitian Keterangan :
PDB Riil Suku Bunga Kredit IHSG Inflasi Nilai Tukar
Ruang Lingkup Penelitian
Pertumbuhan Ekonomi
39
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Kasus dan Unit data Untuk analisis empiris dalam penelitian ini digunakan data time series
kuartalan yaitu dari tahun 1999 kuartal satu sampai dengan tahun 2007 kuartal tiga. Sehingga total observasi sebanyak 35 observasi. Studi wilayah pada penelitian ini
adalah tingkat nasional yaitu Negara Indonesia. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data time series variabel makro ekonomi di Indonesia. Rentang waktu amatan dalam penelitian ini adalah kurang lebih 9 tahun pasca krisis ekonomi 1997. Hal ini dimaksudkan agar dapat menganalisis terjadinya disintermediasi perbankan setelah krisis ekonomi 1997 dan mendeteksi terjadinya disintermediasi perbankan tersebut berasal dari sisi permintaan atau penawaran kredit.
3.2
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data sekunder
yang berasal dari laporan tahunan, laporan bulanan dan data statistik berbagai edisi. Data tersebut berasal dari Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bursa Efek Jakarta (BEJ). Selain itu, peneliti juga melakukan studi pustaka dari berbagai buku, jurnal, working paper dan tulisan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang digunakan telah diubah dalam bentuk logaritma natural (ln). Berikut ini pada Tabel 3.1 disajikan data-data kuantitatif yang akan digunakan dalam penelitian ini berikut dengan sumber perolehan datanya.
40
Tabel 3.1 Data Kuantitatif dan Sumber Perolehannya No Data Satuan 1 GDP Milyar Rp 2 Total kredit Milyar Rp 3 Suku bunga kredit Persen (%) 4 Suku bunga SBI Persen (%) 5 Total passiva Milyar Rp 6 Kas Bank Milyar Rp 7 Modal Milyar Rp 8 GWM Milyar Rp 9 NPL Persen (%) 10 Nilai Tukar Rp/$ 11 IHSG Indeks 12 Aset Milyar Rp 13 IHK Indeks 14 GDP sektor riil Milyar Rp 15 Investasi Milyar Rp 16 Tabungan Domestik Milyar Rp (Saving) 17 Capital Inflow Milyar Rp Sumber: BI, BPS, BEJ (2008)
3.3
Sumber BPS BI BI BI BI BI BI BI BI BI BEJ BI BPS BPS BI BI BI
Metode Analisis Untuk menganalisis terjadinya disintermediasi perbankan pasca krisis,
akan digunakan metode estimasi Maximum Likelihood (ML). Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi disintermediasi perbankan apakah disebabkan oleh faktor penawaran kredit atau faktor permintaan kredit. Sebagai konsekuensinya, model harus mengasumsikan bahwa permintaan kredit tidak selalu sama dengan penawaran kredit (disequilibrium). Adapun untuk menganalisis pengaruh dari disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi adalah dengan model ekonometrika regresi berganda yaitu Ordinary Least Square (OLS).
41
3.3.1
Analisis Disintermediasi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis Untuk menganalisis penyebab terjadinya disintermediasi perbankan maka
pada penelitian ini digunakan metode estimasi Maximum Likelihood (ML). Dengan metode tersebut dapat diketahui bahwa disintermediasi perbankan pasca krisis lebih disebabkan oleh permintaan atau penawaran kredit. Penelitian ini menggunakan model disekuilibrium dengan model dasar mengikuti model yang diajukan oleh Fair dan Jaffe (1972).59 Model disekuilibrium tersebut dapat diterapkan untuk setiap produk yang memiliki unsur harga termasuk kredit perbankan. Model ini selanjutnya akan diestimasi menggunakan metode disekuilibrium dengan maximum likelihood (ML). Model permintaan kredit (LtD) untuk penelitian ini adalah: ln LDt =
0
+
1
ln GDPt +
2
Rt +
3
ln IHSGt +
4
INFt +
5
ln ERt + ut ...... (1)
Keterangan : lnLtD
= jumlah kredit yang diminta selama periode t
lnGDPt
= gross domestic product riil selma periode t
Rt
= suku bunga kredit selama periode t
lnERt
= nilai tukar rupiah terhadap US dollar selama periode t
lnIHSGt
= indeks harga saham gabungan selama periode t
INFt
= inflasi selama periode t
0,
ut
59
1,
2,
3,
4,
5
= parameter yang akan diestimasi = error
Fair dan Jaffee. 1972. Method of Estimation for Markets in Disequilibrium. Econometrica, Vol. 40, No. 3 (May, 1972). The Econometric Society. Hal. 497-514.
42
Sedangkan model penawaran kredit (LtS), untuk penelitian ini adalah: ln LSt =
0
+
1
ln CAPt +
2
Rt +
3
SBI t +
4
CAt +
5
NPLt + vt .................. (2)
Keterangan : lnLtS
= jumlah kredit yang ditawarkan selama periode t
lnCAPt
= kapasitas kredit (lending capacity) selama periode t
Rt
= suku bunga kredit(lending rate) selama periode t
SBIt
= suku bunga SBI (SBI rate) selama periode t
CAt
= rasio modal terhadap aset selama periode t
NPLt
= non performing loans (NPL) selama periode t
0,
1,
2,
vt
3,
4
= parameter yang akan diestimasi = error
Secara sederhana, kedua persamaan di atas dapat disusun sebagai berikut: LDt = X t + ut
..................................................... (3)
LSt = Yt + vt
.................................................... (4)
Di mana: LtD = jumlah kredit yang diminta selama periode t. LtS = jumlah kredit yang ditawarkan selama periode t. Xt
= vektor variabel eksogen yang mempengaruhi LtD .
Yt
= vektor variabel eksogen yang mempengaruhi LtS .
O
= vektor parameter pada model permintaan kredit.
P
= vektor parameter pada model penawaran kredit.
43
Pada penelitian ini diasumsikan bahwa permintaan kredit (LtD) tidak selalu sama dengan penawaran kredit (LtS) atau terjadi disequilibrium. Hal ini dikarenakan pasar kredit tidak bekerja secara sempurna, dimana suku bunga tidak melakukan penyesuaian (adjusted) untuk menjamin bahwa penawaran sama dengan permintaan kredit.60 Fair dan Jaffe (1972) menyebutkan bahwa jika kuantitas yang diobservasi adalah sama dengan kuantitas yang diminta atau ditawarkan, maka kuantitas tersebut akan sama dengan kuantitas minimum dari permintaan atau penawaran. Sehingga kredit yang terealisir ditentukan oleh sisi permintaan yang lebih kecil dari penawaran, atau sebaliknya, oleh sisi penawaran yang lebih kecil dari permintaan. Jika Lt adalah posisi kredit aktual yang diobservasi selama periode t, maka: Lt = min( LDt , LSt ) ...............................................
(5)
Untuk membantu dalam proses estimasi, maka diperlukan pula informasi tambahan menyangkut perilaku harga. Fair dan Jaffee (1972) menyebutkan bahwa perubahan harga merupakan fungsi dari excess demand di pasar. Olehkarena itu, jika perubahan harga dan excess demand saling berkaitan, maka perubahan harga dapat dijadikan sebagai indikator jumlah excess demand atau supply di pasar. Atas dasar ini, karena pada pasar kredit suku bunga kredit (Rt) adalah harga dari suatu kredit, maka dapat dirumuskan: Rt = ( LDt
60
Atish Gosh and Swati Ghosh. Op. Cit. Hal. 9
LSt ) ........................................... (6)
44
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga merupakan proporsi dari jumlah excess demand. Berdasarkan penjelasan di atas, secara keseluruhan, model disekuilibrium yang digunakan dalam penelitian ini adalah: LDt = X t + ut ...................................................... (7)
LSt = Yt + vt ...................................................... (8) Lt = min( LDt , LSt ) ................................................ (9) Rt = ( LDt
LSt ) .............................................. (10)
Lt merupakan kuantitas kredit aktual yang disalurkan oleh bank umum, LtD adalah permintaan kredit, LtS adalah penawaran kredit, QRt merupakan perubahan suku bunga dan R adalah unknown positive scalar parameter. Melalui model disekuilibrium yang telah dijelaskan sebelumnya, timbul permasalahan untuk mengestimasi
,
,
2 u
, dan
2
. Untuk itu Fair dan Jaffee
(1972) menjelaskan bahwa dengan memanfaatkan persamaan 10 maka dapat diperoleh persamaan untuk kondisi excess demand sebagai berikut: Ldt
lts =
1
( Rt ) ..................................................... (11)
Melalui persamaan di atas, jika
dapat diestimasi, maka jumlah excess
demand dapat ditentukan melalui perubahan harga, dan baik permintaan maupun penawaran
dapat
diestimasi
selama
periode
observasi.
Prosedur
yang
dikembangkan oleh Fair dan Jaffee (1972) ini adalah dengan mengestimasi secara simultan
dan seluruh parameter pada model penawaran dan permintaan.
Pada periode peningkatan harga, melalui persamaan 11 diketahui bahwa terjadi excess demand. Sehingga melalui persamaan 9 diketahui bahwa kuantitas
45
yang diobservasi sama dengan penawarannya. Sebagai akibatnya, jumlah kredit yang ditawarkan dapat diestimasi dengan menggunakan kuantitas yang diobservasi sebagai variabel terikat. Untuk kasus ini, dengan memanfaatkan persamaan 11 dan 7 (permintaan) dapat disusun persamaan sebagai berikut: Lt = Lst = X t
1
Rt + u t , Rt > 0 ................................. (12)
Melalui persamaan 12, pada saat terjadi excess demand, jumlah kredit yang ditawarkan dan parameter fungsi permintaan dapat diestimasi. Pada periode penurunan harga, akan terjadi excess supply dan karenanya kuantitas yang diobservasi sama dengan permintaan. Sebagai akibatnya, jumlah kredit yang diminta dapat diestimasi dengan menggunakan kuantitas yang diobservasi sebagai variabel terikat. Dalam kasus ini, dengan memanfaatkan persamaan 11 dan 8 (penawaran) dapat disusun persamaan sebagai berikut: Lt = Ldt = Yt
+
1
Rt + vt , Rt < 0 .............................. (13)
Persamaan 12 dan 13 di atas dapat dimodifikasi menjadi : Lt = X t
1
gt + ut ......................................... (14)
Rt jika , Rt > 0
Dimana: gt = 0
otherwise Lt = Yt Rt jika , Rt < 0
Di mana: ht = 0
otherwise
1
ht + vt .......................................... (15)
46
Dalam disekuilibrium model, untuk mendapatkan estimator maximum likelihood (ML) digunakan metode iteratif menggunakan conditional density dari
perubahan suku bunga (QRt ) yang diberikan oleh kredit aktual Lt..61 Sehingga fungsi log likelihood adalah sebagai berikut:62 ln l = const. T ln 1 2 u
2 2
2
2
A
2
B
2
2 u
v
[ Rt
2
( Lt
Yt )]2 ............ (16)
A
1
Yt ) 2
( Lt
T ln
u
1
X t )2
( Lt
1 2 v
T ln
[ Rt + ( Lt
X t )] 2
B
Berdasarkan Amemiya (1974) dengan mencari derivatif persamaan di atas sama dengan nol dapat diperoleh beberapa persamaan yang harus dipecahkan untuk memperoleh parameter yang diinginkan, antara lain63: =(
1
X t Lt +
X 't X t ) 1 (
X t Rt ) .......................................................... (17) B
=(
Y 't Yt ) 1 (
Yt Lt +
1
Yt Rt ) ............................................................... (18) A
2 u
2 v
61
62
63
1 = T 1 = T
(Lt
X 't
)
2
+
A
2
Rt
X 't
...................................... (19)
B
(Lt B
Lt +
1
Z 't
)
2
+
Lt +
1
2
Rt
Z 't
.................................... (20)
A
Dalam periode A (LtD>LtS), conditional density dari (QRt ) yang diberikan oleh kredit aktual (Lt) adalah N(R(Lt-Yt P),R2Tv2). Sedangkan dalam periode B (LtD< LtS), conditional density dari (QRt) yang diberikan oleh kredit aktual (Lt) adalah N(R(Lt-XtO),R2Tu2) Judge, W.E. Griffits, R.C Hill, H. Lutkhepohl, Tsoung Chao Lee. 1985. The Theory and Practise of Econometrics. John Wiley & Sons, New York. Hal. 640 Takeshi Amemiya. 1974. A Note on a Fair and Jaffee Model. Econometrica, Vol. 42, No. 4. (July, 1974). The Econometric Society. Hal. 760-761
47
T +
1 2 v
1
Lt
Rt
Y 't
1
Rt
A
1
Lt +
2 u
Rt
Rt = 0 ............ (21)
X 't
B
Amemiya (1974), sebagaimana kembali dijelaskan oleh Judge et. al. (1985) menunjukkan bahwa persamaan 17 dan 18 sama dengan least square disubstitusikan dalam persamaan 14 dan 15. Persamaan untuk
estimator jika 2 u
2 v
dan
merupakan residual sum of squares dari persamaan 14 dan 15.
Kemudian persamaan 15 digunakan untuk mengestimasi nilai
.
Berdasarkan penjelasan Judge et. al. (1985), prosedur untuk mengestimasi , 1.
,
2 u
2 v
, dan
adalah sebagai berikut: ,
Gunakan estimasi 2SLS untuk
2 u
,
2 v
, dan
sebagai estimasi awal.
Sebagai starting point, model yang digunakan adalah model disekuilibrium yang dirancang untuk estimasi 2SLS berdasarkan persamaan 14 dan 15. Model ini adalah sebagai berikut: Persamaan A: ln LSt = Rt > 0
0
+
1
ln GDPt +
2
Rt +
3
ln CAPt +
2
Rt +
3
ln IHSGt +
4
INFt +
5
ln ERt +
6
Rt + ut
Persamaan B: ln LDt = Rt < 0
2.
0
+
1
Substitusikan hasil estimasi
)
,
) pecahkan positive root dari , .
SBI t +
)
,
)2 u
,
4
CAt +
)2 v
5
NPLt +
6
Rt + vt , Rt < 0
dan ke dalam persamaan 21 dan
48
3.
Gunakan
)
ke dalam persamaan 14 dan 15 untuk memperoleh estimasi
least square dari
,
,
2 u
, dan
2 v
.
Proses iterasi terus dilakukan terhadap prosedur kedua dan ketiga hingga ditemukan solusi yang konvergen. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah disintermediasi perbankan disebabkan oleh lemahnya sisi penawaran atau permintaan, sesuai metode penelitian yang dilakukan Pazarbasioglu (1997), Gosh dan Gosh (1999), Agung et al. (2001), dan Harmanta (2005), digunakan analisa grafis hasil estimasi penawaran dan permintaan kredit dengan aturan sebagai berikut: 1. Jika LtD < LtS maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya disintermediasi perbankan disebabkan oleh permintaan kredit. 2. Jika LtD > LtS maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya disintermediasi perbankan disebabkan oleh penawaran kredit.
3.3.2
Analisis Disintermediasi Perbankan terhadap Perkembangan Sektor riil dan Pertumbuhan Ekonomi Untuk melihat pengaruh disintermediasi perbankan terhadap sektor riil dan
pertumbuhan ekonomi, maka akan digunakan model ekonometrika yaitu metode analisis regresi berganda (OLS). Variabel yang digunakan untuk melihat fungsi intermediasi perbankan adalah total kredit yang disalurkan. Disintermediasi terjadi ketika terdapat penurunan total kredit ataupun perlambatan pertumbuhan kredit. Pada model ini dimasukkan juga faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
49
dikarenakan, dalam suatu penelitian ekonomi pengaruh variabel lain tidak bisa diabaikan. Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
Model Perkembangan Sektor Riil ln RSt =
0
+
1
ln BDt +
2
ln I t +
3
ERt +
4
ln Rt +
(8)
t
Model Pertumbuhan Ekonomi ln GDPt =
0
+
Keterangan
1
ln BDt +
2
ln CI t +
3
ln I t +
4
ln St +
t
(9)
:
lnRS = output sektor riil (real sector) lnGDP = gross domestic product lnBD = banking disintermediation (jumlah excess demand atau excess supply) R
= suku bunga kredit
lnER = nilai tukar rupiah terhadap dolar lnI
= investasi
lnS
= tabungan domestik (saving)
lnCI
= capital inflow
0,
0
= intercept
n,
n
= parameter yang diestimasi
t
= error
50
Pengujian model tersebut dilakukan dengan kriteria statistik dan ekonometrika. Pengujian
kriteria statistika dilakukan dengan uji koefisien
determinasi (R2), uji t, dan uji F.64 Sedangkan uji ekonometrika yaitu terpenuhinya model BLUE (Best, Linier and Unbiased Estimation). Adapun uji ekonometrika tersebut terdiri dari : a. Uji heteroskedastisitas65 b. Uji multikolinear66 c. Uji autokorelasi67 d. Uji normalitas68
64
65
66
67
68
Damodar Gujarati dan Sumarno Z.1995. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Hal. 45,77-82. Koefisien determinasi (R2) mengukur proporsi atau prosentase total dari variasi dalam peubah bebas yang dijelaskan oleh model regresi. Uji t dapat dilihat dari nilai probabilitas t-stat-nya. Sedangkan uji F dapat dilihat dari nilai probabilitas F-stat-nya. Kemudian kedua nilai probabilitas tersebut dibandingkan dengan taraf nyatanya. Jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata, maka peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya. Uji heteroskedastisitas dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared White Heteroskedasticity. Jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata, maka model yang digunakan bersifat homoskedastisitas. Suatu persamaan dikatakan multikolinear jika terdapat hubungan linear yang sempurna diantara atau semua peubah bebas dari model regresi. Untuk menguji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai correlation matriks-nya. Jika korelasi antar peubah bebas melebihi |0.8|, maka terdapat multikolinearitas. Uji autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi (hubungan) yang terjadi antara anggotaanggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas Obs*R-squared dari Breusch-Godfrey Serial correlation LM test dengan taraf nyata. Jika nilainya Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata, maka tidak terdapat autokorelasi. Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term terdistribusi normal. Jika probabilitas Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata, maka model yang digunakan tidak mempunyai mesalah normalitas atau error term terdistribusi normal.
51
IV. GAMBARAN UMUM PERBANKAN INDONESIA
4.1.
Perbankan Sebelum Krisis 1997 Sebelum adanya deregulasi keuangan dan perbankan tahun 1983, keadaan
perbankan Indonesia ditandai dengan dominasi bank pemerintah dan adanya hambatan kompetisi. Pada era tersebut, bank pemerintah menguasai sekitar 80 persen dari total aset sistem perbankan.69 Selain itu terjadi pula campur tangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam pengaturan penyaluran kredit dan tingkat bunga terhadap bank-bank nasional. Pengendalian kredit perbankan dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya pengaturan pemberian kredit pada segmen tertentu dan pengaturan secara rinci batas jumlah kredit untuk setiap bank. Kebijakan ini mengakibatkan terhambatnya kompetisi antara bank-bank swasta dengan bank-bank pemerintah. Selain itu, kebijakan tersebut menyebabkan pola pengelolaan bank-bank komersial cenderung konvensional, kurang professional, kurang kreatif dan inovatif. Di sisi lain, resesi dunia dan turunnya harga minyak dunia secara dramatis pada tahun 1980 berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal itu terlihat dari penurunan tajam dari pertumbuhan PDB dan semakin besarnya current account deficit. Oleh karena itu, dalam menyikapi keadaan resesi perekonomian dan kondisi perbankan yang ada, maka pemerintah melakukan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut ditujukan pada sektor perbankan dan keuangan yang diawali dengan digulirkannya Paket Juni 1983 (Pakjun 1983).
69
Tim INDEF.Op. Cit. Hal 110.
52
Adapun maksud dan tujuan dari paket kebijakan tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan peran aktif sektor perbankan. Sehingga Indonesia secara berangsur-angsur dapat pulih dari keadaan resesi. Deregulasi keuangan dan perbankan yang juga disebut sebagai liberalisasi sektor keuangan dan perbankan, dimulai setelah digulirkannya Paket 1 Juni 1983 (Pakjun). Pakjun 1983 merupakan tonggak awal sebuah proses penyesuaian struktur ekonomi di Indonesia. Pada era tersebut ditandai dengan masuknya ekonomi pasar dimana berbagai distorsi dan inefisiensi akan dihapuskan. Adapun Pakjun 1983 berisikan tiga hal utama : 70 1. Penghapusan pagu kredit sehingga bank-bank nasional dapat memberikan kredit secara lebih leluasa dan boleh melakukan ekspansi asetnya. 2. Bank diberi kebebasan menentukan sendiri suku bunga deposito, tabungan, maupun suku bunga kredit dalam rangka meningkatkan mobilisasi dana dari dan kepada masyarakat. 3. Pengurangan
volume
kredit
likuiditas,
sehingga
mengurangi
ketergantungan bank-bank kepada bank sentral (Bank Indonesia). Setelah ditetapkannya kebijakan Pakjun 1983, perekonomian Indonesia khususnya sektor perbankan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan bank dalam memobilisasi dana masyarakat. Peningkatan ini dapat dilihat dari akumulasi penghimpunan dana masyarakat
70
Lukman Dendawijaya.Op.Cit. Hal 9.
53
dalam giro, tabungan, deposito ketika sebelum dan sesudah kebijakan pakjun 1983 (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Jumlah Bank, Total DPK dan Total Kredit (1981-1997) Tahun Jumlah Bank Total DPK Total Kredit (Milyar Rp) (Milyar Rp) 1981 118 8.044 11.434 1982 118 8.670 11.542 15.042 1983 117 12.297 1984 116 15.363 20.898 24.944 1985 116 20.032 1986 112 23.276 30.258 41.736 1987 112 29.096 1988 111 37.458 50.442 1989 145 54.034 62.910 96.978 1990 170 81.587 1991 192 95.118 112.825 122.918 1992 208 111.429 1993 234 142.679 150.271 188.880 1994 240 170.406 234.611 1995 240 214.764 292.921 1996 239 281.719 1997 222 357.613 378.134 Sumber : Bank Indonesia, 2008 Puncak dari liberalisasi keuangan dan perbankan adalah ketika dikeluarkannya kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 1988). Kebijakan Pakto 1988 berupaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pasar uang dan mendorong perbankan ke arah kompetisi yang efisien dan sehat dengan adanya kemudahan dalam mendirikan bank. Pada saat itu perbankan nasional mengalami pertumbuhan yang pesat serta tingkat persaingan yang semakin tajam. Jumlah bank dan kantor bank pun semakin meningkat tiap tahunnya. Sampai menjelang saat krisis, jumlah bank di Indonesia mencapai 222 buah (Tabel 4.1). Dengan bertambahnya jumlah bank, maka persaingan untuk menarik dana dari masyarakat semakin meningkat. Akibatnya, bank saling berlomba menawarkan tingkat bunga
54
deposito dan tabungan yang lebih tinggi. Pada Pakto 1988 ini pun diputuskan bahwa rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dikurangi dari 15 persen menjadi 2 persen. Sehingga bank melakukan ekspansi kredit yang cukup signifikan. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan total kredit yang cukup signifikan setelah tahun 1988 sampai tahun 1997 (Tabel 4.1).
4.2.Perbankan Selama Periode Krisis Pada saat perbankan nasional melakukan aktivitas ekspansif kredit, gejolak nilai tukar yang melanda negara Thailand telah menimbulkan terjadinya contagion effect ke negara-negara tetangganya termasuk Indonesia. Sehingga pada juli 1997, nilai tukar rupiah pun terdepresiasi tajam terhadap dolar AS. Hal ini mengakibatkan dunia usaha mengalami kesulitan dalam pengelolaan usahanya dan dalam memenuhi kewajiban finansialnya kepada bank-bank kreditur. Lalu terjadi pula lonjakan nilai pinjaman valuta asing karena depresi rupiah terhadap dolar AS. Akibat lebih lanjut, banyak perusahaan berskala besar yang menutup usahanya karena bangkrut dan sebagian lagi melakukan kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Seperti halnya dunia usaha, sektor perbankan pun mengalami hal yang sama. Sektor perbankan mengalami kesulitan dalam mengelola usahanya dan dalam memenuhi kewajiban finansialnya kepada lembaga-lembaga kreditur, menyusul terjadinya penggelembungan nilai pinjaman valuta asing ketika dikonversi ke rupiah. Tekanan yang dihadapi perbankan nasional dan lemahnya
55
struktur perbankan akhirnya melahirkan krisis perbankan. Pada masa ini perbankan mengalami masa-masa yang sulit. Pada sisi lain, semakin bertambahnya utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sangat drastis. Pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 2,4 persen pada akhir tahun 1997 (Tabel 4.2). Dilihat dari sisi permintaan, penurunan pertumbuhan ekonomi ini diakibatkan oleh melemahnya permintaan domestik khususnya konsumsi rumah tangga dan investasi swasta. Sedangkan dari sisi penawaran, penurunan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh kontraksi output sektor riil. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan biaya impor bahan baku karena sebagian besar input yang digunakan adalah berasal dari impor. Pada saat itu pula terjadi peningkatan harga yang cukup tajam mencapai 77,63 persen pada tahun 1998. Laju inflasi yang terjadi ini sudah masuk dalam kategori hyper inflation. Sejalan dengan peningkatan laju inflasi yang sangat tajam tersebut, maka terjadi peningkatan kebutuhan dana masyarakat. Selain itu, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank mengakibatkan peningkatan penarikan dana masyarakat dari sektor perbankan. Sehingga bank-bank pun mengalami kesulitan likuiditas. Sedangkan di sisi lain, penarikan dana oleh masyarakat dari bank semakin meningkatkan jumlah uang yang beredar. Pada tahun 1998 jumlah uang yang beredar (M1) mencapai 101.197 miliar rupiah dan M2 mencapai 577.381 miliar rupiah (Tabel 4.2).
56
Tabel 4.2. Perkembangan Indikator Makroekonomi 1996-1999 No Indikator 1996 1997 1998 1. 2.
Laju inflasi (%) Jumlah uang beredar M1 (Miliar Rp) M2 (Miliar Rp)
3.
Pertumbuhan Ekonomi
4.
Tingkat suku bunga SBI 1 bulan (%)
1999
1,53
11,05
77,63
2,01
64.089 288.632
78.343 355.643
101.197 577.381
124.633 646.205
9,50
2,40
-18,26
5,36
17,25
20,00
38,44
12,51
Sumber : Bank Indonesia (2008) Akumulasi dari berbagai kondisi makroekonomi tersebut pada akhirnya melahirkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain itu, sektor perbankan pun mengalami keterpurukan yang begitu dalam. Untuk mengatasi dampak lebih lanjut, maka pemerintah mengambil langkah-langkah yaitu dengan melakukan stabilisasi moneter dan program penyehatan perbankan. Stabilisasi moneter dilakukan melalui kebijakan moneter kontraktif yaitu dengan kebijakan uang ketat (Tight Money Policy). Maka pemerintah meningkatkan suku bunga SBI dengan tujuan untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar dan memperkuat nilai tukar. Namun hal tersebut tidak menunjukan hasil seperti yang diharapkan, karena pengendalian jumlah uang beredar memerlukan waktu. Sehingga jumlah uang yang beredar sulit untuk diturunkan ke tingkat semula dan dengan demikian nilai tukar pun menjadi sulit untuk dikendalikan. Selain itu, peningkatan suku bunga SBI ini diikuti oleh peningkatan suku bunga kredit sehingga sektor riil semakin sulit mendapatkan dana kredit. Sebagai konsekuensinya, kegiatan di sektor riil semakin banyak yang collapse.
57
Pada sektor perbankan, pemerintah harus segera melakukan perbaikan dan penyehatan perbankan. Hal tersebut memaksa pemerintah untuk melakukan tindakan yang dramatis yaitu dengan membekukan kegiatan usaha (melikuidasi) sejumlah bank swasta serta melakukan pengambilalihan kepemilikan bank swasta. Pengambilalihan kepemilikan bank swasta dilakukan menyusul dikeluarkannya kebijakan rekapitalisasi terhadap bank-bank yang memiliki modal negatif sehingga tidak mampu untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediaries). Maka pada tanggal 24 November 1997 pemerintah melakukan tindakan dengan melikuidasi 16 bank swasta71. Lalu pada april 1998 diputuskan terdapat 7 bank beku operasi (BBO) dan 7 bank take over (BTO). 72 Tindakan–tindakan tersebut ternyata menyebabkan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Hal itu menimbulkan terjadinya rush sehingga semakin banyak bank yang collapse dan mengalami kesulitan likuiditas. Kondisi tersebut akhirnya memaksa Bank Indonesia sebagai lender of the last resort untuk memberikan bantuan berupa bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Akan tetapi bank-bank yang menerima BLBI tersebut sebagian besar termasuk sebagai bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO). Selama krisis, perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan yang begitu dalam. Hal ini diakibatkan oleh depresiasi nilai tukar yang sangat tajam dan tingginya suku bunga. Kedua kondisi tersebut pada akhirnya memiliki pengaruh buruk terhadap perbankan nasional yaitu munculnya permasalahan 71 72
Lihat Lampiran 2 Lihat Lampiran 3 dan 4
58
negative spreads, masalah likuiditas, masalah kerugian valas, masalah NPL dan masalah permodalan. Permasalahan negative spreads terjadi karena bank harus membayar biaya bunga kepada deposan (cost of fund) dengan suku bunga tinggi. Sedangkan suku bunga pinjaman tidak bisa disesuaikan sepenuhnya. Sehingga suku bunga deposit lebih besar dibandingkan suku bunga kredit (Gambar 4.1). Tingginya suku bunga deposit ini ditujukan untuk menarik minat masyarakat agar menyimpan dananya di bank. Karena pada saat itu kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sudah hilang. Sehingga banyak nasabah bank yang menarik dananya secara besarbesaran dalam waktu yang bersamaan. Pada pertengahan bulan juni 1997 sampai dengan awal tahun 1999 terjadi negative spreads yang besar sehingga hal ini semakin memperburuk keadaan perbankan. Sprea d Suku Bunga 70 60 Persen(%)
50 40 30 20 10 0 Jan-97
Jul-97
Jan-98
Jul-98
Jan-99
Pe r iode Suku Bunga Deposito
Suku Bunga Kredit
Sumber : Bank Indonesia, diolah (2008) Gambar. 4.1. Spread Suku Bunga Kemudian masalah yang kedua adalah masalah likuiditas. Hal ini terutama dirasakan oleh bank swasta. Mobilitas dana masyarakat yang masuk dan keluar menjadi sangat tinggi, sehingga bank-bank terpaksa memberlakukan suku bunga
59
tinggi agar dana masyarakat dapat terhimpun. Lalu masalah likuiditas timbul ketika kepercayaan masyarakat semakin turun kepada perbankan yang pada akhirnya terjadi rush terhadap bank-bank. Sedangkan permasalahan foreign exchange loss terjadi karena fluktuasi nilai tukar yang tajam menyebabkan bank devisa mengalami kesulitan dalam mengelola aset & kewajiban yang didenominasi dalam mata uang asing. Implikasinya, setiap terjadi pergerakan dalam nilai rupiah, maka bank-bank berpotensi mengalami kerugian valas (foreign exchange loss). Fluktuasi nilai tukar rupiah selama dan sesudah krisis dapat dilihat pada Gambar 4.2 Pergerakan Kurs (Rp/$US) 16000 14000 Rp/$US
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Jan-97
Jul-97
Jan-98
Jul-98
Jan-99
Pe riode Kurs (Rp/$US)
Sumber : Bank Indonesia, diolah (2008) Gambar 4.2. Pergerakan Kurs (Rp/$US) Permasalahan perbankan lainnya yaitu mengenai NPL. Hal ini terjadi sebagai akibat dari terjadinya kontraksi output dunia usaha dan meningkatnya beban utang perusahaan karena meningkatnya suku bunga. Maka kemampuan perusahaan membayar kredit menjadi berkurang. Konsekuensinya, bank harus mengalami banyak kredit macet sehingga NPL semakin meningkat. Dengan
60
demikian bank harus menyediakan PPAP yang pada gilirannya memperberat posisi keuangan perbankan. NPL
Persen(%)
60 45 30
Pe riode
May-99
Mar-99
Jan-99
Nov-98
Sep-98
Jul-98
May-98
Mar-98
Jan-98
Nov-97
Sep-97
May-97
Mar-97
Jan-97
0
Jul-97
15
NPL
Sumber : Bank Indonesia (2008) Gambar 4.3. Perkembangan NPL Lalu masalah permodalan muncul karena adanya beban negative spread, meningkatnya biaya pencadangan (PPAP), adanya kerugian valas, melonjaknya beban biaya overhead dan biaya operasional lainnya secara perlahan-lahan mengurangi modal bank, sehingga modal perbankan pun mengalami negatif. Modal Perbankan Indonesia 100000
-100000 -150000 -200000 -250000 -300000 Pe riode
Sumber : Bank Indonesia, 2008 Gambar 4.3. Modal Perbankan Indonesia
Modal
May-99
Mar-99
Jan-99
Nov-98
Sep-98
Jul-98
May-98
Mar-98
Jan-98
Nov-97
Sep-97
Jul-97
May-97
-50000
Mar-97
Milyar Rp
0
Jan-97
50000
61
4.2.
Perbankan Pasca Krisis Sejak terpuruknya sektor perbankan nasional sebagai akibat dari krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, banyak peristiwa penting
yang terjadi pada sektor perbankan. Peristiwa ini ditandai dengan
tindakan pemerintah (Depkeu, BPPN) dan BI dalam rangka perbaikan dan penyehatan kembali sektor perbankan. Tindakan penyehatan perbankan dilakukan dengan pencabutan izin usaha berbagai bank swasta nasional (dilikuidasi / bank beku operasi), pengambilalihan (bank take over) dan program rekapitalisasi. Hal ini merupakan langkah untuk menyelamatkan perbankan dari kehancuran setelah diterpa krisis. Penyelamatan ini tentu membutuhkan biaya yang sangat besar yang pada akhirnya terbebankan pada rakyat melalui APBN. Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1999, pemerintah melalui BPPN dan Bank Indonesia mengumumkan berbagai keputusan dalam rangka penyehatan perbankan nasional, yaitu73 : (1) 38 bank swasta nasional dilikuidasi atau bank beku operasi; (2) 7 bank swasta nasional diambil alih atau bank take over; (3) 9 bank swasta nasional diikutsertakan dalam program rekapitalisasi; (4) 73 bank swasta nasional tidak ikut dalam program rekapitalisasi. Program rekapitalisasi ini dimaksudkan agar dapat menyelematkan perbankan dari kehancuran melalui bantuan tambahan modal bagi bank yang cukup sehat namun masih berpotensi untuk dapat diselamatkan. Adapun tindak lanjut dari program rekapitalisasi yaitu
73
Lihat Lampiran 5, 6, 7, 8
62
dilakukannya merger antar bank (Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank Permata)74 dan divestasi (BCA, Bank Niaga, Bank Danamon).75 Perkembangan perbankan pasca krisis mulai membaik sedikit demi sedikit. Namun pada akhir tahun 1999, CAR perbankan masih negatif dan NPL masih tinggi (Tabel 4.3). Meskipun demikian, pada tahun 2000 nilai CAR telah menjadi positif dan meningkat secara perlahan sampai tahun 2007. Lalu NPL perbankan pun mulai menurun sedikit demi sedikit hingga tahun 2007. Sedangkan total DPK yang berhasil dihimpun dari masyarakat juga mengalami peningkatan hingga tahun 2007. Penyaluran kredit perbankan pun mengalami peningkatan, namun penyaluran kredit tersebut hanya sebesar kurang lebih 30 persen dari total dana pihak ketiga. Sehingga fungsi intermediasi perbankan belum berjalan dengan normal. Tabel. 4.3. Indikator Perbankan (1999-2007) Tahun Total DPK Total Kredit CAR (Miliar Rp) (Miliar Rp) (%) 1999 625.618 225.133 -8,10 2000 720.379 269.000 2,30 809.126 2001 307.594 19,93 2002 845.015 365.410 22,44 2003 902.325 437.942 19,43 2004 965.079 553.548 19,42 2005 1.134.086 689.669 19,30 1.298.755 2006 787.136 21,27 2007 1.413.740 907.260 21,27 Sumber : Bank Indonesia (2008)
NPL (%) 36,86 19,43 11,66 7,57 6,77 5,75 8,30 7,00 5,80
LDR (%) 35,98 37,34 38,01 43,24 48,53 57,35 60,81 61,56 66,24
74
Merger merupakan penggabungan bank-bank yang mengikuti program rekapitalisasi. Dengan dilakukannya merger tersebut, diharapkan bank-bank dapat diselamatkan dari kesulitan kinerjanya. Selain itu, diharapkan juga bahwa bank baru hasil merger akan berkembang jauh lebih baik dibandingkan jika tidak dilakukan merger. Lihat Lampiran 9.
75
Divestasi merupakan pelepasan saham-saham yang dimiliki pemerintah di dalam bank swasta nasional untuk dijual kepada masyarakat atau kepada iinvestor yang dapat melanjutkan kegiatan operasi bank dengan baik.
63
Setelah mengalami krisis ekonomi tahun 1997, banyak hikmah yang dapat dipetik oleh pemerintah. Sehingga untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa tersebut terutama krisis perbankan, maka pemerintah harus memiliki kebijakan jangka panjang untuk memperkokoh perbankan nasional melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan penegakan prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu, Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah mengeluarkan suatu kebijakan bagi sektor perbankan. Kebijakan tersebut disebut sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan
pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Maka untuk mempermudah pencapai visi tersebut, ditetapkan beberapa sasaran yang dituangkan dalam 6 pilar API, yaitu (1) Struktur perbankan yang sehat; (2) Sistem pengaturan yang efektif; (3) Sistem pengawasan yang independen dan efektif; (4) Industri perbankan yang kuat; (5) Infrastruktur pendukung yang mencukupi; (6) Perlindungan konsumen. Adanya API diharapkan dapat menjadikan perbankan nasional Indonesia menjadi perbankan yang kuat dan tangguh. Namun demikian, perbankan juga harus tetap dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediaries).
64
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai perkembangan perbankan Indonesia sebelum krisis, selama krisis dan sesudah krisis. Selama itu pula perbankan mengalami masa kejayaan dan juga mengalami masa keterpurukan. Setelah sektor perbankan mengalami keterpurukan, maka pemerintah melakukan berbagai program untuk melakukan penyehatan dan perbaikan perbankan nasional. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2007, perbankan nasional mulai memperlihatkan tanda-tanda perbaikan yang positif. Namun demikian, pertumbuhan penyaluran kredit masih lambat setelah mengalami penurunan yang drastis pada tahun 1999. Meskipun setelah tahun 2000 total penyaluran kredit setiap tahunnya mengalami peningkatan, tapi peningkatan itu tidak sejalan dengan peningkatan total DPK yang berhasil dihimpun oleh perbankan. Dengan demikian fungsi intermediasi perbankan belum sepenuhnya pulih. Pada bab ini akan dianalisis fenomena disintermediasi perbankan, yaitu identifikasi mengenai faktor yang menjadi penyebabnya ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan kredit. Selain itu akan dianalisis juga pengaruh disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi faktor penyebabnya akan digunakan metode estimasi Maximum Likelihood (ML). Sedangkan untuk menganalisis pengaruh disintermediasi perbankan akan digunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Kemudian akan diuraikan pula mengenai alternatif
65
solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi disintermediasi perbankan. Tapi sebelumnya, pada bab ini juga akan dideteksi mengenai terjadinya disintermediasi perbankan yang terjadi pasca krisis.
5.1
Disintermediasi Perbankan Pasca Krisis Perbankan memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan yaitu
menghimpun dana dari masyarakat (unit surplus) dan menyalurkan dana yang terakumulasi tersebut kepada sektor riil dan masyarakat (unit deposit) dalam bentuk investasi, modal kerja dan pembiayaan lainnya. Apabila perbankan tidak melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan baik, maka
terjadi
fenomena
disintermediasi
perbankan.
Secara
sederhana,
disintermediasi perbankan dapat diartikan sebagai kondisi dimana bank rajin menghimpun dana namun malas dalam menyalurkan kredit. Dengan demikian telah terjadi penurunan penyaluran kredit ataupun lambatnya pertumbuhan penyaluran kredit sedangkan di sisi lain bank mengalami kelebihan likuiditas. Hal tersebut telah terjadi di Indonesia setelah krisis ekonomi tahun 1997. Penurunan kredit perbankan yang cukup signifikan setelah krisis ekonomi, terutama pada tahun 1999-2000 dan lambatnya pertumbuhan kredit menandakan adanya gangguan fungsi intermediasi perbankan pasca krisis (Gambar 5.1). Meskipun pada tahun 2001-2007 total kredit yang disalurkan mulai mengalami peningkatan, tapi peningkatan tersebut tidak sebanding dengan peningkatan DPK. Padahal dana yang dihimpun perbankan (total DPK) mengalami peningkatan tiap tahunnya (Gambar 5.2).
66
900000
40
800000
30
700000
20
MilyarRp
0
500000
-10
400000
-20
300000
Persen(%)
10
600000
-30
200000
-40
100000
-50 -60
0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Total Kredit
Pertumbuhan Kredit
Sumber : Bank Indonesia, diolah (2008) Gambar 5.1. Total Kredit dan Pertumbuhan Kredit Perbankan (1998-2007) Dengan demikian bank memiliki kelebihan likuiditas. Kelebihan likuiditas yang dimiliki perbankan biasanya disimpan dalam bentuk SBI. Hal ini dikarenakan, SBI memiliki zero risk dan suku bunganya cukup tinggi. Sehingga bank lebih menyukai untuk menyimpan kelebihan likuiditasnya di SBI daripada
Total DPK
1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
Tahun
Sumber : Bank Indonesia, diolah (2008) Gambar 5.2. Total DPK Perbankan (1999-2007)
20 07
20 05 20 06
20 03 20 04
20 02
Total DPK
20 00 20 01
19 99
Miliar Rp
menyalurkannya dalam bentuk kredit.
67
Selain itu, disintermediasi perbankan pasca krisis juga tercermin dari rendahnya LDR perbankan yaitu masih berada di bawah 50 persen. Indikator yang mencerminkan intermediasi perbankan adalah dilihat dari besarnya LDR. Sejak tahun 1999-2004 LDR perbankan masih berada di bawah 50 persen. Kemudian tahun 2005-2007 LDR perbankan berada di atas 50 persen namun nilainya hanya mencapai 66,24 persen. Nilai LDR tersebut masih berada jauh di bawah ketentuan BI mengenai LDR perbankan yang sehat yaitu sebesar 94,75 persen. Sehingga fungsi intermediasi perbankan belum berjalan dengan baik. PERKEMBANGAN LDR PERBANKAN Pe r s e n (%) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00
LDR
20.00 10.00 0.00 1999
2000 2001
2002
2003 2004
2005
2006 2007
Tahun
Sumber : Bank Indonesia, diolah (2008) Gambar 5.3. Perkembangan LDR Perbankan (1999-2007) Secara lebih relevan, untuk mendeteksi terjadinya disintermediasi perbankan dapat dilihat dari perbandingan antara kapasitas kredit (lending capacity) dengan total penyaluran kredit (credit actual). Kapasitas kredit merupakan jumlah dana di bank yang tersedia untuk dialokasikan menjadi kredit kepada debitur. Semakin besar selisih antara kapasitas kredit dengan kredit aktual, maka terdapat indikasi bahwa telah terjadi disintermediasi perbankan.
68
Pada Gambar 5.4 dapat dilihat bahwa sebelum tahun 1998, selisih antara kapasitas kredit dengan kredit aktual sangat kecil. Namun setelah tahun 1998 terjadi peningkatan kapasitas kredit yang diikuti oleh penurunan kredit aktual yang cukup signifikan. Sehingga selisih antara kapasitas kredit dengan kredit aktual semakin membesar. Selisih yang paling besar dialami pada tahun 2001. Pada tahun 2001, kapasitas kredit adalah sebesar 924.154 miliar rupiah sedangkan kredit aktual hanya sebesar 307.594 miliar rupiah. Selisih yang cukup besar antara kapasitas kredit dan kredit aktual terus terjadi hingga tahun 2007. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada pasca krisis di Indonesia yaitu dari tahun 1999-2007 telah terjadi disintermediasi perbankan. Selanjutnya harus dianalisis mengenai penyebab disintermediasi perbankan tersebut apakah berasal dari sisi penawaran atau dari sisi permintaan. Analisis tersebut akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya.
Kapasitas Kredit dan Kredit Aktual 1600000 1400000
Miliar Rp
1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
96 96 97 97 98 98 99 99 00 00 01 01 02 02 03 03 04 04 05 05 06 06 07 07 n- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ul- an- ula J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J J Periode Kredit Aktual
Kapasitas Kredit
Sumber : Bank Indonesia, diolah (2008) Gambar 5.4. Perbandingan Kapasitas Kredit dan Kredit Aktual (1996-2007)
69
5.2
Penyebab Disintermediasi Perbankan Seperti yang telah dikemukakan di awal, bahwa penyebab disintermediasi
perbankan dapat berasal dari sisi permintaan kredit atau penawaran kredit. Pada subbab ini akan diidentifikasi penyebab disintermediasi perbankan di Indonesia pasca krisis yaitu dari tahun 1999 sampai tahun 2007. Estimasi Maximum Likelihood dilakukan terhadap persamaan permintaan kredit dan penawaran pada periode 1999 kuartal pertama sampai 2007 kuartal ketiga. Persamaan yang akan diestimasi adalah : LDt =
0
+
1
LnGDPt +
LSt =
0
+
1
LnCAPt +
2
2
Rt +
Rt +
3
3
LnIHSGt +
SBI t +
4
4
INFt +
CAt +
5
5
LnERt +
t
NPLt + µt
Hasil estimasi maximum likelihood ditunjukkan dalam tabel berikut : Tabel 5.1. Hasil Estimasi Maximum Likelihood Persamaan Permintaan dan Penawaran kredit Variable Coefficient z-Statistic Probability LnLtD (Permintaan Kredit) Constanta LnGDP R LnIHSG INF LnER
7.992624 0.758922 -0.025862 0.220740 -0.078412 -0.576199
1.212733 1.875429* -12.87988*** 1.769237* -4.963290*** -2.060277**
0.2252 0.0607 0.0000 0.0769 0.0000 0.0394
LnLtS (Penawaran Kredit) Constanta LnCAP R SBI CA NPL
-16.50680 2.136874 0.035611 -0.058408 0.003936 -0.004253
-8.062309*** 14.54001*** 7.619903*** -10.07779*** 4.548090*** -2.390321**
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0168
Sumber : Hasil Penelitian (2008) Keterangan : * signifikan pada level 10% (z tabel = 1.645), ** signifikan pada 5% (z tabel = 1.96), *** signifikan pada 1% (z tabel = 2.575)
70
Pada fungsi permintaan kredit dengan taraf nyata 10 persen, seluruh koefisien memiliki tanda yang sesuai dengan apa yang diperkirakan. Hal tersebut dapat dijelaskan secara ringkas, yaitu : a. Gross Domestic Product (GDP) atau produk domestik bruto memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap permintaan kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pada GDP akan menyebabkan peningkatan pada permintaan kredit. Demikian pula sebaliknya, setiap penurunan GDP akan menyebabkan penurunan pada permintaan kredit. Nilai koefisien sebesar 0,75 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan GDP sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan pertumbuhan permintaan kredit sebesar 0,75 persen. Peningkatan
GDP
menggambarkan
bahwa
kondisi
perekonomian
mengalami pertumbuhan positif. Ketika perekonomian mengalami pertumbuhan positif maka kesempatan investasi yang menguntungkan akan meningkat. Sehingga sektor riil akan berminat untuk meningkatkan outputnya maupun mengembangkan usahanya. Dengan demikian, investasi dalam bentuk inventory (persediaan) maupun ekspansi usaha akan meningkat. Olehkarena itu, kebutuhan akan dana untuk modal kerja maupun untuk ekspansi usaha akan meningkat. Sehingga permintaan kredit baik untuk kredit investasi dan modal kerja akan meningkat. b.
Suku bunga kredit memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap permintaan kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pada
71
suku bunga kredit akan menyebabkan penurunan pada permintaan kredit. Demikian pula sebaliknya, setiap penurunan suku bunga kredit akan menyebabkan peningkatan pada permintaan kredit. Nilai koefisien sebesar -0,02 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan suku bunga kredit sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan penurunan permintaan kredit sebesar 0,02 persen. Bagi debitur (sektor riil), semakin tinggi tingkat suku bunga kredit mencerminkan semakin mahalnya biaya untuk memperoleh kredit, sehingga permintaan kredit akan dikurangi. Selain itu, meningkatnya suku bunga kredit juga dapat mengurangi keuntungan yang diperoleh oleh sektor riil. Hal ini dikarenakan dengan pendapatan yang tetap dan biaya kredit yang meningkat, maka secara otomatis keuntungan yang diperoleh akan berkurang. Sehingga besarnya suku bunga kredit masih menjadi pertimbangan bagi sektor riil untuk mengajukan kredit kepada bank. c. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap permintaan kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pada IHSG akan menyebabkan peningkatan pada permintaan kredit. Demikian pula sebaliknya, setiap penurunan IHSG akan menyebabkan penurunan pada permintaan kredit. Nilai koefisien sebesar 0,22 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan IHSG sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan pertumbuhan permintaan kredit sebesar 0,22 persen.
72
Peningkatan IHSG mencerminkan baiknya kondisi keuangan perusahaan dan adanya kestabilan perekonomian. Pada kondisi ini terdapat prospek usaha yang bagus dan pada akhirnya memacu minat sektor riil untuk meningkatkan outputnya ataupun mengembangkan usahanya. Sehingga kebutuhan dana untuk modal kerja maupun ekspansi usaha akan meningkat. Sehingga permintaan kredit dari sektor riil baik untuk kredit modal kerja maupun untuk ekspansi usaha akan meningkat. d. Inflasi memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap permintaan kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pada inflasi akan menyebabkan penurunan pada permintaan kredit. Demikian pula sebaliknya, setiap penurunan inflasi akan menyebabkan peningkatan pada permintaan kredit. Nilai koefisien sebesar -0,07 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan inflasi sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan penurunan permintaan kredit sebesar 0,07 persen. Inflasi
mencerminkan
peningkatan
harga-harga
barang.
Maka,
peningkatan inflasi ini akan berpengaruh buruk terhadap sektor riil maupun masyarakat.
Bagi masyarakat, peningkatan
inflasi
akan
menyebabkan menurunnya daya beli mereka. Kemudian akan berdampak pada penurunan permintaan agregat. Sedangkan bagi sektor riil, peningkatan inflasi akan meningkatkan biaya produksi yang berarti akan menyebabkan berkurangnya keuntungan. Oleh karena itu, menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya biaya produksi mengakibatkan prospek usaha pada masa itu menjadi kurang bagus. Sehingga sektor riil
73
tidak berniat untuk meningkatkan outputnya ataupun melakukan ekspansi usaha. Hal ini akan berdampak pada penurunan permintaan kredit baik untuk kredit modal kerja ataupun untuk ekspansi usaha. e. Nilai Tukar (ER) rupiah terhadap dolar memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap permintaan kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pada nilai tukar akan menyebabkan penurunan pada permintaan kredit. Demikian pula sebaliknya, setiap penurunan nilai tukar akan menyebabkan peningkatan pada permintaan kredit. Nilai koefisien sebesar -0,57 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan nilai tukar sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan penurunan permintaan kredit sebesar 0,57 persen. Ketika
nilai
tukar
meningkat
(terdepresiasi
/
melemah)
maka
mencerminkan perekonomian yang tidak stabil sehingga iklim usaha menjadi tidak kondusif. Dengan demikian resiko usaha pun semakin meningkat, hal ini akan direspon oleh sektor riil untuk tidak meningkatkan outputnya ataupun mengembangkan usahanya (ekspansi). Sehingga permintaan kredit baik untuk kredit modal kerja ataupun untuk ekspansi usaha akan menurun. Terdapat beberapa alasan lain bahwa nilai tukar mempengaruhi aktivitas bisnis yaitu mempengaruhi keputusan untuk produksi dan pemasaran, serta untuk kebutuhan estimasi bisnis di masa mendatang. Selain itu, sebagian besar input industri di Indonesia berasal dari impor. Ketika terjadi peningkatan nilai tukar (terdepresiasi) maka harga impor akan meningkat. Sehingga biaya produksi pun akan
74
meningkat, yang pada akhirnya akan mengurangi keuntungan. Dengan demikian, prospek usaha pada masa itu menjadi kurang menguntungkan. Sektor riil akan mengurangi outputnya dan tidak mengembangkan usahanya. Sehingga permintaan kredit baik untuk modal kerja ataupun untuk ekspansi usaha akan menurun. Sedangkan dalam fungsi penawaran kredit dengan taraf nyata 10 persen, pengaruh variabel-variabelnya dijelaskan secara ringkas, yaitu : a. Kapasitas kredit memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan kapasitas kredit akan menyebabkan peningkatan pada penawaran kredit. Sebaliknya, setiap penurunan kapasitas kredit akan menyebabkan penurunan pada penawaran kredit. Nilai koefisien sebesar 2,13 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan kapasitas kredit sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan pertumbuhan penawaran kredit sebesar 2,13 persen. Kapasitas kredit adalah jumlah dana di bank yang tersedia untuk dialokasikan menjadi kredit kepada debitur. Dengan kata lain, kapasitas kredit
mencerminkan
kemampuan
bank
yang
sebenarnya
untuk
menyalurkan kredit. Peningkatan kapasitas kredit mencerminkan semakin besarnya kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit, sehingga semakin besar pula penawaran kredit perbankan. Sebaliknya, penurunan kapasitas kredit akan menurunkan kemampuan penyaluran kredit perbankan, sehingga semakin rendah pula penawaran kredit perbankan.
75
b. Suku bunga kredit memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan suku bunga kredit akan menyebabkan peningkatan pada penawaran kredit. Sebaliknya, setiap penurunan suku bunga kredit akan menyebabkan penurunan pada penawaran kredit. Nilai koefisien sebesar 0,03 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan suku bunga kredit sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan pertumbuhan penawaran kredit sebesar 0,03 persen. Semakin tinggi suku bunga kredit maka mencerminkan semakin besar keuntungan yang akan diperoleh bank dari kredit yang disalurkannya. Selain itu, sebagian besar pendapatan bank diperoleh melalui pendapatan bunga kredit. Oleh karena itu, semakin tinggi suku bunga kredit maka akan meningkatkan pendapatan bunga bagi bank sehingga akan meningkatkan net interest margin perbankan. Dengan demikian bank akan meningkatkan penawaran kreditnya. c. Suku bunga SBI memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan suku bunga SBI akan menyebabkan penurunan pada penawaran kredit. Sebaliknya, setiap penurunan suku bunga SBI akan menyebabkan peningkatan pada penawaran kredit. Nilai koefisien sebesar -0,05 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan suku bunga SBI sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan penurunan penawaran kredit sebesar 0,05 persen.
76
Meskipun SBI sesungguhnya memiliki fungsi sebagai monetary instrument, namun bagi perbankan SBI merupakan instrumen investasi substitusi kredit. Sehingga portofolio aset perbankan tidak hanya pada kredit namun juga pada surat-surat berharga seperti SBI. Selain itu, SBI menarik bagi perbankan karena sifatnya yang riskless. Peningkatan suku bunga SBI akan menyebabkan perbankan semakin tertarik untuk menanamkan dananya pada SBI, terutama pada saat risiko kredit meningkat. Pada saat perbankan menanamkan dananya pada SBI maka dana yang tersedia untuk kredit menjadi berkurang. Sehingga jumlah kredit yang ditawarkan oleh perbankan pun menurun. d. Rasio modal terhadap aset (CA) memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan rasio modal aset akan menyebabkan peningkatan pada penawaran kredit. Sebaliknya, setiap penurunan rasio modal aset akan menyebabkan penurunan pada penawaran kredit. Nilai koefisien sebesar 0,003 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan rasio modal aset sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan peningkatan penawaran kredit sebesar 0,003 persen. Rasio modal terhadap aset merupakan proxy dari Capital Adequacy Ratio (CAR). Semakin meningkat rasio modal terhadap aset mencerminkan besarnya modal terhadap aset-aset yang dimiliki perbankan termasuk aset beresiko seperti kredit. Oleh karena itu, semakin meningkat rasio modal terhadap aset maka kemampuan bank dalam menawarkan kredit akan
77
meningkat. Sebaliknya ketika rasio modal terhadap aset menurun maka kemampuan bank dalam menawarkan kredit akan menurun. Hal ini dapat digambarkan ketika perbankan sedang mengalami masalah likuiditas. Pada akhir tahun 1998 sampai awal tahun 2000 modal perbankan mengalami negatif. Kemudian dikeluarkan ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan CAR minimum 8 persen pada akhir tahun 2001. Hal tersebut mengharuskan bank-bank untuk meningkatkan modalnya dan mengurangi aset yang berisiko yaitu kredit. Dengan demikian perbankan mengurangi penawaran kreditnya, karena jika perbankan meningkatkan kredit maka akan menambah aset beresiko dan pada akhirnya syarat kecukupan modal minimum yang ditetapkan sebesar 8 persen tidak dapat tercapai. e. Non Performing Loan (NPL) memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap penawaran kredit. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan NPL akan menyebabkan penurunan pada penawaran kredit. Sebaliknya, setiap penurunan NPL akan menyebabkan peningkatan pada penawaran kredit. Nilai koefisien sebesar -0,004 memiliki arti bahwa setiap pertumbuhan NPL sebesar 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan penurunan penawaran kredit sebesar 0,004 persen. NPL yang tinggi mencerminkan tingginya resiko kredit yang ditanggung oleh perbankan. Sehingga akan menyebabkan bank harus membentuk dana cadangan penghapusan yang lebih besar. Dengan demikian, dana yang tersedia untuk disalurkan melalui kredit semakin berkurang. Sehingga penawaran kredit menjadi turun.
78
Selanjutnya, untuk mengetahui penyebab disintermediasi perbankan di Indonesia pasca krisis dapat diidentifikasi dari faktor manakah yang lebih mempengaruhi penyaluran kredit (kredit aktual). Melalui estimasi maximum likelihood didapatkan hasil berupa jumlah penawaran kredit dan permintaan kredit.76 Kemudian jumlah permintaan dan penawaran tersebut dibandingkan. Apabila permintaan kredit lebih besar dibandingkan penawaran kredit maka terjadi excess demand, sehingga penyaluran kredit lebih disebabkan oleh faktor penawaran kredit. Dengan kata lain telah terjadi credit crunch. Sebaliknya, apabila penawaran kredit lebih besar dibandingkan permintaan kredit maka terjadi excess supply. Sehingga penyaluran kredit lebih disebabkan oleh faktor permintaan kredit atau dengan kata lain telah terjadi credit slowdown.
LnKredit
Exce ss Dem and & Exce ss Supply
2.4 2.2 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 -0.299 99 00 00 01 01 02 02 03 03 04 04 05 05 06 06 07 07 - p- p- p- p- p- p- p- p- par ar ar ar ar ar ar ar ar -0.4 M Se M Se M Se M Se M Se M Se M Se M Se M Se -0.6 Pe riode
Excess Demand & Excess Supply
Sumber : Hasil Penelitian 2008 (Data Diolah) Gambar 5.5. Excess Demand dan Excess Supply Credit
76
Lihat lampiran 12
79
Berdasarkan Gambar 5.5, ketika nilainya positif maka terjadi excess demand credit namun ketika nilainya negatif maka terjadi excess supply credit. Berdasarkan Gambar 5.5 diperoleh gambaran bahwa pasca krisis yaitu tahun 1999 terjadi excess demand. Kemudian pada tahun 2000 sampai kuartal tiga tahun 2002 terjadi excess supply. Dari tahun kuartal empat tahun 2002 sampai kuartal tiga tahun 2007 terjadi excess demand dan excess supply secara bergantian. Namun dilihat dari keseluruhan observasi, penyaluran kredit pasca krisis lebih disebabkan oleh lemahnya penawaran kredit atau terjadi credit crunch. Sehingga dapat disimpulkan bahwa disintermediasi perbankan Indonesia pasca krisis lebih disebabkan oleh penawaran kredit atau dengan kata lain telah terjadi credit crunch. Berikut ini akan dibahas penyebab rendahnya penyaluran kredit pasca krisis ekonomi berdasarkan hasil estimasi yang telah dilakukan. Maret 1999 – Desember 1999 Credit crunch pada tahun 1999 terjadi karena adanya permasalahan internal perbankan yaitu masalah permodalan. Hal ini diakibatkan oleh nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tajam terhadap dolar US, permasalahan likuiditas, permasalahan negative spreads dan permasalahan NPL. Akumulasi dari permasalahan tersebut menyebabkan permodalan perbankan menjadi negatif. Pada saat terjadi depresiasi tajam nilai tukar rupiah terhadap dolar US, sektor perbankan mengalami kesulitan dalam mengelola usahanya dan dalam memenuhi kewajiban finansialnya kepada lembaga-lembaga kreditur dan terjadi pula penggelembungan nilai pinjaman valuta asing ketika dikonversi ke rupiah. Sehingga bank mengalami kerugian valas (foreign exchange loss). Lalu
80
permasalahan likuiditas timbul ketika kepercayaan masyarakat semakin turun kepada perbankan yang pada akhirnya
terjadi ”rush” terhadap bank-bank.
Sehingga perbankan mengalami kesulitan likuiditas yang pada akhirnya semakin mengurangi modal yang dimiliki perbankan. Kemudian suku bunga yang tinggi menyebabkan suku bunga deposit meningkat. Sedangkan suku bunga pinjaman tidak bisa disesuaikan sepenuhnya. Maka suku bunga deposit lebih besar dibandingkan suku bunga kredit. Sehingga terjadi negative interest margin atau negative spreads karena bank harus membayar biaya bunga kepada deposan (cost of fund) lebih besar dibandingkan pendapatan bunga yang diperoleh melalui suku bunga kredit. Selain itu NPL yang semakin meningkat, menyebabkan perbankan harus membentuk dana cadangan penghapusan menjadi semakin besar. Akumulasi dari semua permasalahan tersebut menyebabkan permodalan perbankan menjadi negatif. Kondisi tersebut semakin mempersulit posisi keuangan perbankan dan menyebabkan penurunan kemampuan perbankan dalam meyalurkan kredit. Selain itu, ketentuan prinsip kehati-hatian prudensial, seperti pencapaian rasio kecukupan modal sebesar 8% menyebabkan bank enggan untuk menyalurkan kredit. Sehingga mengakibatkan penurunan
penawaran
kredit.
Semakin
menurunnya
penawaran
kredit
menyebabkan semakin membesarnya excess demand. Maret 2000 – September 2002 Berdasarkan Gambar 5.5 pada Maret 2000 sampai September 2002 terjadi excess supply atau terjadi credit slowdown. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan DPK yang berhasil dihimpun oleh perbankan. Kepercayaan
81
masyarakat telah pulih karena pemerintah melakukan penjaminan terhadap perbankan. Sehingga penawaran kredit meningkat dibandingkan permintaan kredit. Sedangkan penurunan kredit terjadi karena neraca perusahaan di sektor riil masih lemah akibat pengaruh yang berkelanjutan dari nilai tukar yang semakin terdepresiasi pada masa krisis disertai suku bunga yang tinggi. Selain itu perekonomian masih dalam pemulihan ekonomi setelah mengalami resesi, sehingga prospek investasi masih rendah dan resiko usaha masih cukup tinggi. Oleh karena itu, penurunan pada permintaan kredit adalah sesuatu yang wajar di tengah kondisi pemulihan perekonomian. Selain itu, Laporan Tahunan BI 2001 menyebutkan
bahwa
pertumbuhan
perekonomian
Indonesia
mengalami
perlambatan. Dari sisi penawaran agregat, perekonomian Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan pada hampir seluruh sektor perekonomian, bahkan terjadi kontraksi pada sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.6. Dalam kondisi seperti ini, maka menjadi hal yang wajar jika permintaan kredit mengalami kecenderungan menurun.
Sumber : BI (2001) Gambar 5.6 Pertumbuhan Sektor Perekonomian Indonesia Tahun 2000-2001
82
Desember 2002 – September 2007 Berdasarkan Gambar 5.5 pada tahun 2002 sampai tahun 2007 terjadi excess demand (credit crunch) dan excess supply (credit slowdown) secara bergantian. Meskipun permintaan kredit telah meningkat tapi perbankan mengurangi penawaran kreditnya padahal bank memiliki kelebihan likuiditas. Pada Desember 2002 – September 2005 terjadi excess demand atau terjadi credit crunch yang terjadi pada masa ini lebih diakibatkan oleh permasalahan eksternal dari perbankan. Hal ini terjadi sebagai suatu konsekuensi dari informasi yang asimetri di pasar kredit, khususnya masalah adverse selection. Dalam hal ini bank tidak bisa membedakan kualitas debitur antara yang beresiko tinggi dan rendah. Hal ini didukung dengan kurangnya informasi mengenai debitur potensial (feasible) sehingga bank memiliki persepsi terhadap tingginya resiko kredit di sektor riil. Selain itu, perbankan mengalami trauma dengan kejadian yang telah dialami sepanjang krisis terutama permasalahan kredit macet. Sehingga bank menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan pemberian kredit kepada sektor riil. Perilaku bank yang menjadi risk averse dapat terlihat dari semakin ketatnya persyaratan kredit. Persyaratan tersebut tercermin dari rendahnya fleksibilitas perbankan dalam negosiasi agunan dan suku bunga kredit. Meskipun bank memiliki kelebihan likuiditas tapi bank tidak serta merta menyalurkan dananya melalui kredit. Karena bank lebih risk averse, maka bank mengalihkan dananya untuk ditanam dalam bentuk SBI. Bank lebih menyukai untuk menyimpan dananya dalam bentuk SBI karena SBI memiliki zero risk. Sehingga terjadi pergeseran portofolio aset perbankan dari kredit yang beresiko tinggi ke
83
aset-aset yang lebih beresiko rendah seperti SBI. Sehingga penawaran kredit menjadi lebih rendah dibandingkan permintaan kredit. Ketika penawaran kredit mulai meningkat, pada Desember 2005-Juni 2006 permintaan kredit justru menurun sehingga terjadi credit slowdown. Credit slowdown ini terjadi karena adanya peningkatan harga BBM dan peningkatan tarif dasar listrik yang semakin memperburuk kondisi sektor riil. Hal itu menyebabkan peningkatan biaya produksi sektor riil. Peningkatan harga BBM juga berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dan pada akhirnya akan menurunkan pengeluaran konsumsi. Akibat dari adanya penurunan daya beli masyarakat dan peningkatan biaya produksi, maka sektor riil akan mengurangi produksinya yang kemudian berdampak pada menurunnya permintaan kredit. Kemudian ketika permintaan kredit mulai meningkat, pada September 2006 – September 2007 perbankan justru mengurangi penawaran kredit. Hal ini dikarenakan perbankan masih memiliki persepsi resiko yang tinggi terhadap sektor riil. Perbankan menganggap bahwa sektor riil belum bergairah karena sektor riil masih memiliki permasalahan struktural yang masih belum dapat diatasi. Hal ini terkait dengan daya saing dan iklim investasi sektor riil yang belum kondusif dan adanya high cost economy. Permasalahan struktural yang dimiliki sektor riil antara lain seperti birokrasi yang berbelit-belit, banyaknya pungutan liar, belum menariknya insentif pajak, rendahnya kualitas dan kapasitas infrastruktur,
masalah
kepastian
hukum,
kurang
ketenagakerjaan, serta energi yang mahal dan langka.
kondusifnya
iklim
Berbagai permasalahn
tersebut mengakibatkan iklim investasi sektor riil belum kondusif. Sehingga
84
investasi di sektor riil memiliki resiko yang cukup tinggi. Dengan demikian untuk mengurangi
resiko
kredit
yang
akan
dihadapi,
perbankan
lebih
suka
mengalokasikan dananya di SBI ataupun bermain di pasar valas. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya penempatan dana perbankan di SBI pada tahun 2007 hingga mencapai 200 trilyun rupiah. Jika penempatan dana perbankan dalam SBI meningkat, maka dana yang tersedia untuk kredit akan berkurang. Sehingga penawaran kredit perbankan pun menurun dan terjadi excess demand. Berdasarkan semua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa disintermediasi perbankan pasca krisis lebih disebabkan oleh lemahnya penawaran kredit atau dengan kata lain telah terjadi credit crunch.
5.3 Dampak
Disintermediasi
Perbankan
terhadap
Sektor
riil
dan
Pertumbuhan Ekonomi Setelah mengidentifikasi penyebab disintermediasi perbankan, maka pada sub bab ini akan dilihat dampak dari disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mengetahui dampak dari disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi maka akan digunakan model ekonometrika, yaitu regresi berganda, dengan model yang akan diestimasi adalah : ln RSt = ln GDPt =
0
+ 0
1
+
BDt + 1
BDt +
2
ln I t + 2
3
ln CI t +
ERt + 4
4
Rt +
ln I t +
5
t
ln St +
t
85
5.3.1
Disintermediasi Perbankan dan Perkembangan sektor riil Sektor perbankan pada dasarnya tidak bisa lepas kaitan dengan sektor riil.
Keduanya merupakan satu kesatuan utuh seperti dua sisi uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Kredit yang diberikan perbankan dapat dipergunakan oleh sektor riil untuk membiayai aktivitas produksinya. Sehingga sektor riil dapat meningkatkan outputnya. Terlepas dari resiko struktural yang dimiliki sektor riil, faktor-faktor di dalam penelitian ini yang berpengaruh terhadap perkembangan sektor riil adalah disintermediasi perbankan, nilai tukar, suku bunga kredit dan investasi. Hasil estimasi terhadap model perkembangan sektor riil disajikan dalam tabel berikut: Tabel 5.2 Hasil Estimasi terhadap Peubah Terikat LnRS t-Statistic Variable Coefficient 14.07473 21.73729 C -0.070230 -2.236506 BD 0.380586 4.240738 LnI -0.428266 -15.54615 LnER -0.004939 -4.826689 R 0.901361 Prob Obs*R-squared R-squared 0.888210 (LM Test) Adjusted R-squared 2.340516 Prob Obs*R-Squared Durbin Watson Stat 68.53521 (White Heteroscedasticity) F-statistik 0.000000 Prob Jaque-Bera Prob F-statistik Sumber : Hasil Penelitian (2008) Ket : signifikan pada taraf nyata 10%
Probability 0.0000 0.0329 0.0002 0.0000 0.0000 0.303329 0.470884 0.548989
Hasil estimasi terhadap model yang digunakan menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini baik. Hal ini dapat dilihat dari uji kriteria statistik dan uji kriteria ekonometrika. Berdasarkan Tabel 5.2 uji kriteria statistik menunjukkan bahwa peubah disintermediasi perbankan, nilai tukar, suku bunga kredit dan investasi baik secara serentak maupun secara parsial berpengaruh nyata terhadap
86
perkembangan sektor riil.77 Selain itu, kemampuan peubah disintermediasi perbankan, nilai tukar, suku bunga kredit dan investasi dalam menjelaskan variasi perkembangan sektor riil cukup tinggi yaitu sebesar 90 persen. Sementara itu, uji kriteria ekonometrika menunjukan bahwa model ini terbebas dari gangguan heteroskedastisitas dan autokorelasi, normalitas dan multikolinearitas.78 1.
Disintermediasi Perbankan dan Perkembangan Sektor Riil Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa disintermediasi perbankan
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perkembangan sektor riil. Disintermediasi perbankan ditunjukkan oleh besarnya selisih antara permintaan kredit dan penawaran kredit. Penyaluran kredit adalah sebesar nilai yang paling kecil antara permintaan dan penawaran kredit. Seperti kita ketahui, bahwa pembiayaan sektor riil di Indonesia sebagian besar berasal dari kredit perbankan. Kredit merupakan salah satu instrumen yang sangat berperan bagi sektor riil untuk meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas sektor riil akan meningkatkan output yang dihasilkan sektor riil dan pada akhirnya berdampak positif bagi perkembangan sektor riil. Dengan demikian kredit memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan sektor riil. Oleh karena itu, disintermediasi perbankan yang terjadi pasca krisis menyebabkan terbatasnya pembiayaan dari kredit perbankan bagi sektor riil. 77
Berdasarkan tabel 5.3, uji secara parsial menunjukkan nilai probabilitas t-stat lebih kecil dari taraf nyata 10%. Uji secara serempak juga menunjukkan nilai probabilitas F-stat lebih kecil dari taraf nyata 10%. Nilai R-squared juga cukup besar yaitu 90 persen.
78
Nilai probabilitas Obs*R-squared (LM Test) lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga bebas dari autokorelasi. Nilai probabilitas Obs*R-squared (White Heteroskedasticity) lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga bebas heteroskedastisitas. Nilai probabilitas Jaque-Bera lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga tidak ada masalah normalitas.
87
Padahal pembiayaan dari kredit perbankan digunakan untuk kegiatan investasi dan modal kerja bagi sektor riil. Kredit modal kerja digunakan untuk membiayai kegiatan operasional sektor riil dalam proses produksi sedangkan kredit investasi digunakan untuk menopang kepentingan bisnis yang lebih besar (ekspansi usaha). Oleh karena itu, ketika terjadi disintermediasi perbankan, sektor riil menjadi terbatas untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Misalnya untuk membeli input produksi, mengganti mesin-mesin yang rusak dan lain-lain. Sehingga output yang dihasilkan sektor riil menurun, dengan kata lain produktivitas sektor riil juga menurun. Selain itu, sektor riil pun tidak bisa mengembangkan usahanya jika kredit dari perbankan terhambat, misalnya untuk mendirikan pabrik baru. Akumulasi dari kondisi tersebut menyebabkan perkembangan sektor riil menjadi terhambat. Dengan demikian, terlepas dari faktor resiko struktural yang dimiliki sektor riil, terjadinya disintermediasi perbankan memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan sektor riil. 2.
Investasi dan Perkembangan Sektor Riil Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap perkembangan sektor riil. Bentuk
pengeluaran
investasi
diantaranya
yaitu
investasi
tetap
bisnis
(businessfixed investment) dan investasi persediaan (inventory investment). Pengeluaran investasi tetap bisnis mencakup peralatan yang perusahaan beli untuk digunakan dalam proses produksi masa depan. Investasi ini mencakup mesinmesin, kendaraan operasional sampai pendirian pabrik. Peningkatan investasi ini akan meningkatkan output yang dihasilkan. Sedangkan investasi persediaan
88
merupakan barang-barang yang disimpan dalam gudang sebagai persediaan dan akan dijual atau digunakan dalam waktu dekat. Selain itu, persediaan merupakan bagian dari faktor produksi, sehingga semakin besar persediaan yang disimpan perusahaan maka semakin besar output yang dapat diproduksi. Sehingga terjadinya peningkatan pengeluaran investasi baik dalam bentuk investasi tetap bisnis (businessfixed investment) maupun investasi persediaan (inventory investment) akan berpengaruh positif terhadap perkembangan sektor riil. 3.
Nilai Tukar dan Perkembangan Sektor Riil Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa nilai tukar memiliki
pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap perkembangan sektor riil. Semakin meningkatnya nilai tukar (terdepresiasi) mencerminkan kondisi ketidakpastian (uncertainty) perekonomian. Sehingga iklim usaha menjadi tidak kondusif karena memiliki resiko usaha lebih tinggi dan prospek usaha menjadi rendah. Pada masa tersebut sektor riil merespon kondisi tersebut dengan mengurangi kapasitas produksinya sehingga output yang dihasilkan pun akan berkurang. Berdasarkan penelitian di BI, setiap depresiasi 1 persen akan mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 0,05 persen. Sehingga melemahnya nilai tukar akan memberikan kontribusi
negatif
dalam
pengendalian
inflasi
yang
selanjutnya
tidak
memungkinkan penurunan suku bunga sehingga tidak dapat memacu kegiatan sektor riil. Peningkatan inflasi pun akan berdampak pada peningkatan biaya produksi dan melemahnya daya beli masyarakat. Sehingga secara keseluruhan akan berdampak negatif bagi perkembangan sektor riil.
89
Namun demikian, nilai tukar riil yang meningkat (terdepresiasi) dari sisi lain memiliki pengaruh positif bagi daya saing suatu negara. Ketika terjadi depresiasi nilai tukar riil maka harga barang domestik lebih murah dibandingkan harga barang luar negeri sehingga daya saing barang Indonesia akan meningkat dan berpengaruh positif terhadap peningkatan ekspor. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya dapat terwujud bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar bahan baku, input antara dan barang modal industri di Indonesia masih berasal dari impor. Kandungan impor untuk industri padat modal yaitu industri kimia hulu 51,66 persen, industri permesinan 37,84 persen, industri komponen alat angkut 54,90 persen, industri elektronik 65 persen dan industri alat listrik 33,48 persen. Sedangkan kandungan impor untuk industri padat karya yaitu industri tekstil 25,68 persen, industri garmen 39,23 persen, industri alas kaki 43,45 persen.79 Selain itu, biaya bahan baku di industri manufaktur mencapai 50 persen dari biaya produksi.80 Hal tersebut akan meningkatkan biaya produksi dan akan menyebabkan mahalnya harga produk domestik yang akan diekspor. Sehingga daya saing produk domestik tidak terlalu meningkat dan ekspor pun belum tentu meningkat secara signifikan. Sehingga keuntungan yang dapat diperoleh dari peningkatan daya saing menjadi tidak terlalu berarti. Hal ini dikarenakan keuntungan yang dapat diperoleh dari peningkatan daya saing menjadi lebih kecil dibandingkan peningkatan biaya produksi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa 79
Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Impor Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Hal.5
80
Mudrajad Kuncoro. 2007. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Penerbit Andi, Yogyakarta. Hal. 18
90
melemahnya nilai rupiah terhadap dolar tidak langsung menyebabkan kenaikan ekspor secara signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Herosobroto (2007) yang menyatakan bahwa pengaruh depresiasi nilai tukar semakin cepat jika nilai impor semakin kecil. Dengan kata lain, komoditi manufaktur dengan kandungan impor tinggi akan terkena dampak peningkatan ekspor lebih kecil dibandingkan dengan komoditi manufaktur dengan kandungan impor rendah.81 Pada sisi lain ketika terjadi depresiasi nilai tukar, harga bahan mentah pertanian domestik lebih murah dibandingkan harga luar negeri. Sehingga mendorong peningkatan ekspor bahan mentah pertanian. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas bahan mentah pertanian Indonesia tidak lebih unggul dibandingkan negara pesaing. Sehingga permintaan luar negeri terhadap bahan mentah pertanian belum tentu meningkat. Sehingga ekspor pun belum tentu meningkat secara signifikan. Selain itu Indonesia juga mengimpor bahan mentah pertanian dari luar negeri yang cukup tinggi. Hasil pertanian tersebut diantaranya kedelai, kapas, beras, gandum hingga sayur-mayur dan buah-buahan. Oleh karena itu, ekspor bahan mentah pertanian dengan impor bahan mentah pertanian hanya memiliki selisih yang kecil. Selain itu, tingginya nilai tukar juga menyebabkan tingginya premi resiko (risk premium) bagi perbankan. Sehingga biaya pendanaan terhadap sektor riil menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu bank cenderung untuk melakukan investasi finansial jangka pendek yang bersifat spekulatif daripada melakukan investasi 81
Herosobroto. Analisis Dampak Depresiasi Nilai Tukar Terhadap Kinerja Ekspor [Tesis]. Magister Ilmu Ekonomi, FE-UI. Hal. 48
91
proyek riil yang bersifat produktif di sektor riil. Sehingga penyaluran kredit ke sektor riil akan mengalami penurunan yang akan berdampak pada terbatasnya pembiayaan modal bagi sektor riil. Terbatasnya pembiayaan modal tersebut akan menyebabkan
penurunan
output
yang
dihasilkan
sektor
riil
sehingga
perkembangan sektor riil mengalami penurunan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peningkatan nilai tukar akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan sektor riil. 4.
Suku Bunga Kredit dan Perkembangan Sektor Riil Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa suku bunga kredit
memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap perkembangan sektor riil. Seperti kita ketahui, pembiayaan investasi sektor riil di Indonesia didominasi oleh kredit perbankan. Semakin tinggi suku bunga kredit perbankan akan menyebabkan sektor riil terbebani biaya modal dan investasi yang lebih mahal. Sektor riil hanya akan melakukan investasi jika tingkat keuntungan yang diharapkan mampu menutup biaya pembayaran untuk dana pinjaman (termasuk suku bunganya). Jika diasumsikan pendapatannya tetap, maka peningkatan suku bunga kredit akan mengurangi keuntungan yang diperoleh. Hal ini dikarenakan biaya yang harus ditanggung oleh sektor riil untuk memperoleh modal melalui kredit perbankan menjadi lebih mahal. Oleh karena itu, peningkatan suku bunga kredit akan menyebabkan sektor riil mengurangi permintaan kreditnya. Sehingga pembiayaan modal dari kredit perbankan yang diperoleh akan menjadi sedikit. Jika pembiayaan untuk permodalan dan investasi menurun maka output yang
92
dihasilkan sektor riil pun akan mengalami penurunan. Sehingga peningkatan suku bunga kredit memiliki pengaruh negatif terhadap perkembangan sektor riil. 5.3.2
Disintermediasi Perbankan dan Pertumbuhan Ekonomi Meskipun bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan, terjadinya disintermediasi perbankan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain disintermediasi perbankan, pada penelitian ini dimasukan variabel-variabel lain seperti tabungan domestik, investasi dan capital inflow. Hasil estimasi terhadap model pertumbuhan ekonomi disajikan dalam tabel berikut: Tabel 5.3 Hasil Estimasi terhadap Peubah Terikat LnGDP t-Statistic Variable Coefficient 7.341687 7.854574 C -0.078485 -2.351134 BD -0.151242 -3.601461 LnCI 0.547382 2.432781 LnI 0.416828 4.166093 LnS 0.791326 Prob Obs*R-squared R-squared 0.763503 (LM Test) Adjusted R-squared 1.313218 Prob Obs*R-Squared Durbin Watson Stat 28.44127 (White Heteroscedasticity) F-statistik 0.000000 Prob Jaque-Bera Prob F-statistik Sumber : Hasil Penelitian (2008) Ket : signifikan pada taraf nyata 10%
Probability 0.0000 0.0255 0.0011 0.0212 0.0002 0.124170 0.389609 0.477041
Hasil estimasi terhadap model yang digunakan menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini baik. Hal ini dapat dilihat dari uji kriteria statistik dan uji kriteria ekonometrika. Berdasarkan Tabel 5.3 uji kriteria statistik menunjukkan bahwa peubah disintermediasi perbankan, tabungan domestik, investasi dan capital inflow baik secara serentak maupun secara parsial berpengaruh nyata
93
terhadap pertumbuhan ekonomi.82 Selain itu, kemampuan peubah disintermediasi perbankan, tabungan domestik, investasi dan capital inflow dalam menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu sebesar 79 persen. Sementara itu, uji kriteria ekonometrika menunjukan bahwa model ini terbebas dari
gangguan
heteroskedastisitas,
autokorelasi,
normalitas
dan
multikolinearitas.83 1.
Disintermediasi Perbankan dan Pertumbuhan Ekonomi Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa disintermediasi perbankan
memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh disintermediasi perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat melalui sisi output maupun pengeluaran agregat. Dari sisi output, disintermediasi perbankan berpengaruh terhadap output sektor riil. Ketika terjadi disintermediasi perbankan maka pembiayaan modal bagi sektor riil menjadi terbatas. Seperti kita ketahui bahwa pembiayaan sektor riil didominasi oleh kredit perbankan. Jika sumber pembiayaan investasi terbatas maka output yang diproduksi pun akan menurun. Sedangkan selama ini, output sektor riil memiliki sumbangan yang besar terhadap GDP Indonesia. Maka ketika sumbangan output sektor riil terhadap GDP menurun, secara otomatis hal tersebut akan berpengaruh terhadap penurunan GDP dan pertumbuhan ekonomi. 82
Berdasarkan tabel 5.4, uji secara parsial menunjukkan nilai probabilitas t-stat lebih kecil dari taraf nyata 10%. Uji secara serempak juga menunjukkan nilai probabilitas F-stat lebih kecil dari taraf nyata 10%. Nilai R-squared juga cukup besar yaitu 79 persen.
83
Nilai probabilitas Obs*R-squared (LM Test) lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga bebas dari autokorelasi. Nilai probabilitas Obs*R-squared (White Heteroskedasticity) juga lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga bebas heteroskedastisitas. Nilai probabilitas Jaque-Bera lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga tidak ada masalah normalitas.
94
Jika dari sisi pengeluaran agregat, disintermediasi perbankan dapat memiliki pengaruh melalui konsumsi, investasi dan net ekspor. Ketika terjadi disintermediasi perbankan, maka penyaluran kredit mengalami penurunan ataupun perlambatan dalam pertumbuhan penyaluran kredit. Sedangkan investasi di Indonesia sebagian besar pembiayaannya berasal dari kredit perbankan. Ketika pembiayaan kredit menurun maka jumlah pengeluaran untuk investasi di Indonesia akan mengalami penurunan. Hal ini akan berpengaruh pada menurunnya pengeluaran agregat dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, disintermediasi berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi. Masyarakat di Indonesia banyak yang melakukan kredit konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti membeli rumah, kendaraan bermotor, perabotan rumah tangga, dan lain lain. Maka ketika penyaluran kredit mengalami penurunan ataupun perlambatan pertumbuhan maka konsumsi yang dibiayai oleh kredit akan menurun. Kondisi ini akan berdampak pada penurunan pengeluaran konsumsi, dan penurunan pengeluaran agregat, sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, disintermediasi perbankan juga berpengaruh terhadap net ekspor. Ketika penyaluran kredit menurun ataupun
mengalami
perlambatan, maka akan menurunkan pembiayaan sektor riil. Sehingga output yang diproduksi sektor rill akan menurun. Sehingga sektor riil yang berorientasi ekspor akan mengurangi ekspornya dan net ekspor pun menjadi turun. Hal ini berpengaruh terhadap penurunan pengeluaran agregat dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga secara keseluruhan terjadinya disintermediasi perbankan memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
95
2.
Capital Inflow dan Pertumbuhan Ekonomi Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa capital inflow memiliki
pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Capital inflow merupakan aliran modal asing yang masuk ke Indonesia. Aliran modal ini terdiri dari investasi langsung dan investasi portofolio. Sebagian besar modal asing yang masuk ke Indonesia adalah hot money yaitu aliran dana dalam bentuk investasi portofolio seperti saham, obligasi dan commercial papers lainnya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah investasi langsung (foreign direct investment) di Indonesia yang hanya mencapai 54,23 triliun rupiah.84 Sedangkan jumlah dana asing yang ada di instrument financial Indonesia sampai akhir Juni 2007 mencapai sekitar 797 trilliun rupiah. Sekitar Rp 670 triliun rupiah (84 persen) diantaranya ditempatkan di instrument saham di BEJ (BI, 2007). Peningkatan capital inflow tersebut dipicu oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan luar negeri yang semakin tinggi. Investasi portofolio bersifat jangka pendek dan bersifat spekulatif yang bisa masuk dan keluar kapan saja sehingga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap pembalikan modal. Capital inflow yang sebagian besar investasi portofolio masuk melalui pasar modal dan pasar finansial (SUN, obligasi swasta dan SBI) yang menyebabkan semakin besarnya bubble economy. Banyak kalangan ekonom yang khawatir terhadap peningkatan capital inflow yang sangat sigifikan tersebut. Hal ini dikarenakan aliran masuk hot money dapat memberikan dampak ganda kontradiksi antara sektor finansial dengan sektor riil. Gelembung
84
BPKM. 2007. Summary of Statistics of Direct Investment December 2007. BPKM, Jakarta. Hal.5
96
finansial akibat hot money tersebut sangat berbahaya karena karakteristik hot money seperti pisau bermata dua. Selain dapat menggelembungkan nilai asset financial dan menguatkan nilai tukar rupiah, hot money juga pada gilirannya juga dapat menjadi bumerang bagi sektor finansial Indonesia ketika terjadi arus balik secara besar-besaran. Hal ini akan membahayakan perekonomian karena arus balik secara besar-besaran akan membuat bubble economy meletus. Ketika hal itu terjadi maka perekonomian Indonesia akan collapse seperti yang terjadi pada masa krisis. Sehingga akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi bahkan perekonomian secara keseluruhan. Apalagi saat ini sekitar 65-70 persen transaksi saham di BEJ dikuasai oleh investor asing. Sehingga naik turunnya harga saham berada di bawah kendali investor asing. Sedikit goncangan baik karena faktor internal maupun eksternal dapat berakibat pada terjadinya arus balik hot money dan terkoreksinya gelembung finansial, yang dapat mengarah pada krisis ekonomi Jilid II. Dari sisi lain, semakin banyak hot money mengalir ke Indonesia maka semakin besar pula potensi Indonesia bahaya yang dihadapi oleh Indonesia. Kenaikan nilai asset financial yang sangat tinggi justru memperlambat perkembangan sektor riil. Hal ini dikarenakan ketika return di sektor keuangan jauh lebih tinggi dari pada tingkat return di sektor riil, maka pemilik modal akan cenderung melakukan invenstasi di sektor keuangan dibandingkan dengan sektor riil. Sehingga sumbangan output sektor riil akan menurun dan pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan.
97
Selain itu, capital inflow yang semakin meningkat juga menyebabkan jumlah uang yang beredar meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan inflasi yang pada akhirnya akan menurunkan suku bunga sehingga menurunkan pengeluaran investasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu bagi negara berkembang seperti Indonesia, capital inflow yang tinggi terutama investasi portofolio, jika tidak bisa mengaturnya maka hal tersebut akan menyebabkan peningkatan current account deficit. Sehingga hal tersebut berpengaruh negarif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Endi T dan Hendy S (1998).85 Hasil penelitiannya menyatakan bahwa peningkatan capital inflow yang sebagian besar berasal dari investasi portofolio pada saat jatuh tempo maka akan semakin memperburuk current account defisit yang mengakibatkan depresiasi jangka panjang dari nilai tukar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa capital inflow yang sebagian besar berasal dari investasi portofolio berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. 3.
Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan
pengeluaran
investasi
secara
langsung
akan
meningkatkan
pengeluaran agregat (agregat expenditure), sehingga akan meningkatkan GDP dan akhirnya akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Secara tidak langsung pengeluaran investasi berpengaruh melalui pengeluaran konsumsi. Pengeluaran investasi salah satunya yaitu investasi tetap bisnis mencakup 85
Endy T dan Hendy S. 1998. Kebijakan Pengendalian Aliran Modal Masuk di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Hal. 208
98
peralatan yang perusahaan beli untuk digunakan dalam proses produksi masa depan. Investasi ini mencakup mesin-mesin, kendaraan operasional sampai pendirian pabrik untuk ekspansi usaha. Adanya ekspansi usaha dengan pendirian pabrik baru akan menambah lapangan pekerjaan. Sehingga semakin banyak orang yang bekerja di pabrik baru tersebut. Dengan demikian mereka memiliki pendapatan yang akan dibelanjakan untuk konsumsi. Sehingga secara agregat akan meningkatkan pengeluaran konsumsi yang akan meningkatkan pengeluaran agregat dan meningkatkan pendapatan nasional. Pada akhirnya hal tersebut berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 4.
Tabungan dan Pertumbuhan Ekonomi Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa tabungan memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin meningkat tabungan maka semakin besar dana yang tersedia untuk investasi. Semakin banyak orang melakukan investasi maka akan meningkatkan pendapatan nasional (GDP). Selain itu, peningkatan tabungan akan meningkatkan akumulasi modal nasional. Suatu perekonomian yang memiliki tabungan yang tinggi dapat mengakumulasi aset lebih cepat sehingga pertumbuhan pendapatan riil lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian yang memiliki tabungan yang rendah. Oleh karena itu, peningkatan tabungan akan meningkatkan GDP dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
99
Alasan ini juga dapat diperkuat oleh Harrod Domard model.
86
Model
tersebut menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi pada suatu negara sama dengan produktivitas modal dikalikan tingkat tabungan. Jika diasumsikan produktivitas modal adalah fixed maka pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tingkat tabungan. Sehingga peningkatan tabungan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
5.4
Rekomendasi Solusi dalam mengatasi Disintermediasi Perbankan Setelah melihat dampak negatif dari disintermediasi perbankan terhadap
perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi, maka diperlukan alternatif solusi untuk mengatasi disintermediasi perbankan. Jika permasalahan ini tidak segera diatasi maka akan memiliki dampak yang lebih buruk bagi perekonomian. Meskipun bukan hal yang mudah untuk mengatasi permasalahan disintermediasi perbankan, namun dampak dari permasalahan ini setidaknya dapat dikurangi. Jika disintermediasi
perbankan
bisa
diatasi
maka
akan
dapat
menstimulus
perkembangan sektor riil. Perkembangan sektor riil dapat membuka lapangan usaha dan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan daya beli masyarakat, yang berdampak lebih jauh lagi pada penurunan pengangguran dan kemiskinan. Sehingga secara keseluruhan dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada
subbab
sebelumnya,
telah
diidentifikasi
bahwa
penyebab
disintermediasi perbankan lebih disebabkan oleh adanya credit crunch. Namun 86
Anis C And Akhtar H. 2000. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publising Limited, UK. Hal. 81
100
setelah tahun 2000 terjadi credit slowdown dan credit crunch secara bergantian. Dengan
demikian
permasalahan
disintermediasi
perbankan
pasca
krisis
disebabkan adanya permasalahan dari penawaran dan permintaan kredit secara bergantian. Sehingga permasalahan disintermediasi perbankan harus diselesaikan tidak hanya dari satu sisi melainkan dari sisi penawaran dan permintaan kredit. Alternatif solusi yang dapat dilakukan tidak bisa hanya secara parsial melainkan harus secara komprehensif dalam mendorong sisi penawaran maupun permintaan kredit. Sehingga pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan satu instrumen kebijakan atau satu pihak saja. Dengan kata lain, koordinasi kebijakan menjadi faktor yang sangat penting dalam mengatasi disintermediasi perbankan. Ketika terjadi credit slowdown maupun credit crunch setelah tahun 2000, perbankan mengalami kelebihan likuiditas yang besar. Kelebihan likuiditas jika tidak segera diserap akan berpengaruh pada tekanan inflasi dan nilai tukar. Sehingga kebijakan yang harus dilaksanakan adalah bagaimana ekses likuiditas tersebut dapat diserap oleh sektor riil. Namun terdapat hal yang harus diperhatikan ketika terjadi credit crunch yaitu kebijakan moneter akan menghadapi suatu dilematis. Kebijakan kontraktif moneter melalui kenaikan suku bunga SBI untuk menyerap kelebihan likuiditas akan menyebabkan perbankan semakin banyak menempatkan dana dalam SBI. Hal ini dikarenakan penempatan dana di SBI lebih menguntungkan dan bebas resiko dibandingkan jika dana tersebut disalurkan melalui kredit. Selain itu peningkatan suku bunga SBI akan meningkatkan peningkatan suku bunga kredit. Tapi kondisi ini tidak selalu diikuti dengan
101
peningkatan penawaran kredit karena bank melihat masih tingginya resiko penyaluran kredit ke sektor riil. Peningkatan suku bunga kredit juga semakin memperparah kondisi sektor riil karena biaya untuk memperoleh kredit semakin mahal. Pada akhirnya kelebihan likuiditas hanya berputar di sektor keuangan dan tidak digunakan untuk membiayai aktivitas produktif di sektor riil. Sedangkan ketika dilakukan kebijakan ekspansif moneter melalui penurunan suku bunga SBI, perbankan tidak merespon secara cepat dalam menurunkan suku bunga kredit. Faktor utama yang mempengaruhi lambatnya penurunan suku bunga kredit ini adalah sebagai konsekuensi dari pendapatan perbankan yang didominasi oleh pendapatan bunga obligasi. Turunnya suku bunga obligasi akan menurunkan pendapatan perbankan sehingga bank cenderung mempertahankan pendapatannya dengan menahan penurunan suku bunga kredit. Kondisi ini pada akhirnya tetap memberatkan sektor riil. Dengan demikian, transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga tidak sepenuhnya dapat efektif bekerja terhadap peningkatan kredit dalam kondisi credit crunch. Setelah tahun 2000 disintermediasi perbankan menyebabkan perbedaan yang mencolok antara sektor keuangan dan sektor riil. Pada satu sisi, sektor keuangan mengalami kelebihan likuiditas karena dana terus masuk. Sedangkan pada sisi lain, sektor riil mengalami stagnansi. Stagnansi sektor riil dapat dilihat dari tidak adanya ekspansi usaha di sektor riil yaitu berupa pendirian pabrikpabrik baru. Bahkan banyak pabrik yang mengalami kebangkrutan ataupun pindah ke negara lain. Dengan demikian sektor riil di Indonesia mengalami stagnansi. Kondisi ini jika terus berlanjut akan berdampak buruk terhadap daya tahan sistem
102
keuangan dan perekonomian nasional karena perekonomian tumbuh tidak seimbang. Oleh karena itu, disintermediasi perbankan di Indonesia harus segera diatasi. Adapun alternatif solusi yang direkomendasikan untuk mengatasi disintermediasi perbankan harus dilakukan oleh semua pihak diantaranya pemerintah, BI, perbankan dan pelaku usaha. 5.4.1. Pemerintah 1.
Pemerintah harus segera mengatasi permasalahan struktural yang dihadapi sektor riil. Fenomena disintermediasi perbankan pasca krisis lebih disebabkan oleh
credit crunch
yaitu lemahnya penawaran kredit dari perbankan. Lemahnya
penawaran kredit diakibatkan keengganan perbankan menyalurkan kredit karena menganggap bahwa sektor riil belum bergairah sehingga memiliki resiko yang tinggi. Dengan demikian permasalahan yang ada pada saat ini bukan hanya dari perbankan tapi juga berasal dari sektor riil itu sendiri. Belum bergairahnya sektor riil dikarenakan sektor riil menghadapi berbagai resiko sruktural yang menghambat perkembangan sektor riil, seperti prosedur perijinan untuk memulai usaha (investasi) di Indonesia memiliki birokrasi yang berbelit-belit, banyak pungutan liar sehingga menyebabkan
high cost economy, masih rendahnya
kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah, belum menariknya insentif bagi kegiatan investasi dibandingkan dengan negara-negara lain, rendahnya kualitas dan kapasitas infrastruktur yang sebagian besar terus memburuk, iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif serta energi yang mahal dan langka.
103
Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi sektor riil harus segera diatasi agar memiliki daya tarik bagi investor. Pembenahan sektor riil harus dilakukan melalui suatu deregulasi di sektor riil secara menyeluruh. Pemerintah harus segera membuat kebijakan-kebijakan untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tersebut. Namun pemerintah tidak hanya sekedar membuat kebijakan tapi juga harus benar-benar merealisasikannya dan tepat sasaran. Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat memperbaiki iklim investasi sektor riil menjadi lebih kondusif. Adapun kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu: 1. Debirokratisasi Pemerintah harus membuat kebijakan untuk menyederhanakan prosedur perijinan dalam mendirikan usaha. Sebagai contoh, lamanya proses perijinan untuk mendirikan usaha dapat dikurangi secara bertahap. Jika dulu proses perijinan membutuhkan waktu yang lama sekitar 365 hari, pemerintah menguranginya menjadi 200 hari, kemudian menjadi 100 hari hingga menjadi 30 hari. Kemudian birokrasi dari pusat hingga daerah jangan sampai berbelit-belit, pemerintah perlu menyederhanakannya dan mengurangi jalur birokrasi tersebut sehingga akan mengurangi terjadinya high cost economy. 2. Law inforcement Pemerintah
harus
menegakkan
peraturan
yang
tegas
dalam
pemberantasan pungutan liar yang selama ini menghambat sektor riil. Sehingga oknum-oknum yang melakukan pungutan liar dapat dihukum
104
sesuai dengan peraturan yang ada. Dengan demikian, pungutan liar yang terjadi dapat dihilangkan. Sehingga akan mengurangi terjadinya high cost economy. 3. Kepastian hukum Untuk mewujudkan kepastian hukum, maka diperlukan koordinasi regulasi yang baik antara pusat dan daerah. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara kebijakan pusat dan daerah yang semakin memberatkan sektor riil. Seiring dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah banyak yang mengeluarkan perda, terutama yang berkaitan dengan semakin banyaknya pungutan retribusi dan pungutan pajak. Oleh karena itu pemerintah perlu merapikan dan menyempurnakan (kembali) peraturan-peraturan di tingkat daerah (perda) yang dinilai bermasalah. Perda-perda yang memiliki semangat memungut pajak dan retribusi yang terlalu besar hendaknya dapat di-review dan direvisi, disesuaikan dengan tuntutan investor tanpa harus mengorbankan kepentingan pemerintah daerah. Dengan demikian dapat mengurangi terjadinya high cost economy. 4. Kebijakan insentif fiskal Pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan dan administrasi Perpajakan. Salah satunya dengan penyederhanaan sistem perpajakan dan adanya keringanan pajak agar lebih kompetif. Sehingga sistem perpajakan tidak memberatkan sektor riil dan pada akhirnya dapat mengurangi biaya yang tinggi untuk berinvestasi. 5. Perbaikan infrastruktur
105
Pemerintah harus segera memperbaiki infrastruktur yang ada di Indonesia. Selain memperbaiki infrastruktur yang ada, pemerintah juga perlu memperbanyak infrastruktur seperti sarana transportasi di daerah meliputi prasarana jalan, bandara dan pelabuhan. Hal tersebut akan memudahkan pendistribusian hasil produksi sehingga dapat lebih menekan biaya transportasi. 6. RUU Ketenagakerjaan RUU ketenagakerjaan perlu dilakukan agar iklim ketenagakerjaan di Indonesia
lebih
kondusif.
Namun
demikian,
perubahan
UU
ketenagakerjaan tersebut harus win-win solution sehingga menguntungkan kedua belah pihak baik pengusaha maupun tenaga kerja. 7. Penyediaan Pasokan Energi Pemerintah harus dapat menyediakan pasokan energi (listrik) yang lebih terjamin bagi sektor riil. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan memberantas penyelundupan BBM ke luar negeri. Selain itu pemerintah harus mencari alternatif bahan bakar yang lebih murah dan banyak tersedia, seperti bio gas, bio etanol, sel surya (PLTS), dan pembangkit listrik tenaga angin. Dengan demikian jika semua resiko struktural yang terjadi pada sektor riil dapat diatasi maka sektor riil dapat kembali bergairah. Selain itu, bergairahnya sektor riil akan menurunkan profil resiko sektor riil bagi perbankan. Sehingga preferensi perbankan diharapkan tidak lagi tertuju kepada SBI dan obligasi lainnya sebagai instrumen bebas resiko.
106
2.
Controlling dan Sustainable Program KUR (Kredit Usaha Rakyat) serta Optimalisasi Linkage Program antara Lembaga Keuangan Mikro dengan KUR Selama ini perbankan mempunyai persepsi mengenai resiko yang dihadapi
perbankan dalam menyalurkan kredit. Sehingga bank lebih bersikap risk averse dalam menyalurkan kredit. Sehingga bank lebih memilih untuk menanamkan dananya pada SBI karena dianggap lebih aman dan menguntungkan dibandingkan dengan menyalurkan kredit. Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan harus ada bentuk skim penjaminan terhadap kredit yang diberikan atau disebut sebagai asuransi kredit. Hal ini ditujukan agar perbankan tidak takut menyalurkan kredit ke sektor yang potensial. Penjaminan kredit ini dapat diberikan kepada UMKM. Pemilihan UMKM dalam penjaminan kredit karena UMKM dapat menyerap tenaga kerja cukup besar, fleksibilitas tinggi dalam mengembangkan usaha dan dapat bertahan meskipun saat krisis. Pada tahun 2006, UKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 85.416.493 orang atau 96,18 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada.87 Selain itu, peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional 2006 menurut harga konstan 2000 tercatat sebesar Rp. 1.778,75 triliun atau 53,28 persen dari total PDB nasional.88 Meskipun demikian, perbankan masih enggan menyalurkan kredit ke sektor-sektor usaha yang potensial seperti UMKM karena bank lebih mengutamakan agunan (colateral) dibandingkan prospek bisnis yang 87
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah. 2006. Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2005-2006. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah, Jakarta. Hal. 10.
88
Ibid. Hal. 7.
107
cerah dalam mengevaluasi kelayakan kredit. Perbankan sering menilai UMKM potensial dan layak dikembangkan namun tidak bankable karena permasalahan agunan. Oleh karena itu, pemerintah pada november 2007 telah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yaitu program kredit untuk sektor usaha mikro kecil menengah yang diberikan dengan pola penjaminan pemerintah. Selaku penjamin kredit adalah Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo). Bank pelaksana yang turut terlibat dalam program penjaminan UMKM tersebut adalah BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri. Maka dengan adanya penjaminan kredit dari pemerintah, UMKM dapat mengakses kredit perbankan meskipun tidak memiliki agunan dan perbankan pun tidak takut untuk menyalurkan kredit ke UMKM karena 70% kredit dijamin oleh pemerintah. Namun demikian, pemerintah harus melakukan pengawasan (controlling) atas berjalannya program KUR ini agar tidak terjadi penyelewengan baik dari pihak perbankan maupun masyarakatnya. Fakta di lapangan, masih banyak oknum dari pihak perbankan tersebut yang tetap meminta jaminan agar calon debitur dapat memperoleh KUR. Sehingga program KUR dengan slogan “tanpa jaminan bisa memperoleh kredit” itu tidak sepenuhnya benar. Padahal banyak debitur yang memiliki usaha kecil memerlukan kredit untuk tambahan modal usahanya. Selain itu, perlu diawasi juga bahwa kredit yang diberikan akan digunakan untuk kegiatan produktif bukan kegiatan konsumtif. Perlu diawasi juga bahwa yang menerima KUR adalah benar-benar debitur yang memiliki usaha mikro, kecil dan
108
menengah bukan usaha besar yang dapat memperoleh kredit dari perbankan dengan agunan. Pemerintah juga harus menjaga keberlangsungan KUR ini jangan sampai terhenti di tengah jalan, yang akan berdampak buruk terhadap UKMK yang baru akan berkembang. Selain itu, pemerintah pun harus dapat memperluas akses KUR hingga ke pelosok desa di tanah air. Seperti kita ketahui bahwa begitu banyak usaha UMKM berada di berbagai pelosok daerah yang tidak semuanya dapat dijangkau bank umum yang menyalurkan KUR. Maka UMKM sulit untuk mendapatkan pembiayaan dari KUR tersebut. Oleh karena itu pemerintah perlu terus mengembangkan linkage program antara Bank penyalur KUR dengan Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga keuangan mikro diantaranya adalah koperasi, BMT (Baitul Maal wa Tamwil), BPR, lembaga dana kredit pedesaan. Dengan adanya linkage program tersebut maka calon debitur yang berada di pelosok daerah dapat memperoleh kredit KUR. 3.
Diversifikasi sumber pembiayaan investasi agar tercipta persaingan. Pemerintah perlu melakukan diversifikasi pembiyaan investasi sektor riil.
Diversifikasi ini dapat dilakukan dengan mengembangkan pasar keuangan dalam pembiayaan investasi sektor riil selain perbankan, misalnya pasar obligasi. Adanya alternatif lain dari sumber pembiayaan investasi sektor riil akan menciptakan persaingan, sehingga perbankan
akan lebih terpacu untuk
menyalurkan kredit dalam pembiayaan investasi sektor riil.
109
5.4.2. Bank Indonesia 1. Penalti yang lebih tegas terhadap LDR perbankan yang rendah BI telah menciptakan sistem disinsentif bagi perbankan agar dapat mendorong perbankan menyalurkan kredit. Hal tersebut dilakukan melalui kebijakan GWM tambahan bagi bank yang memiliki LDR rendah. Sehingga bank yang kurang aktif menyalurkan kredit akan mendapatkan disinsentif berupa peningkatan biaya dana bank. Selain itu, GWM tambahan juga dapat menyerap kelebihan likuiditas yang dimiliki perbankan. Kebijakan disinsentif tersebut akan mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit ke sektor riil. Hingga akhir tahun 2007 LDR bank umum sebesar 66,24 persen masih berada di bawah ketentuan BI yang sebesar 94,75 persen. Dengan demikian masih banyak bank-bank yang memiliki LDR di bawah 50 persen. Oleh karena itu BI harus lebih mempertegas penalti terhadap perbankan yang memiliki LDR dibawah 50 persen. GWM pokok sebesar 8 persen kemudian penalti tersebut berupa tambahan GWM sebesar 1-8 persen bagi bank dengan LDR di bawah 50 persen. Kebijakan ini dapat menyerap likuiditas perbankan yang tidak disalurkan ke kredit dan mencegah kelebihan likuiditas tersebut disimpan di SBI. Selain itu, dengan lebih mempertegas penaltinya, akan mendorong perbankan menyalurkan kredit agar dapat menurunkan biaya dana. BI pun dapat menerapkan ketentuan pencapaian LDR perbankan berdasarkan jenis kredit yang disalurkan misalnya LDR untuk kredit modal kerja berapa persen, LDR untuk kredit investasi berapa persen dan LDR untuk kredit konsumsi berapa persen.
110
2. BI memperlengkap informasi dan meng-update DIBI (Data Informasi Bisnis di Indonesia) tiap bulannya. Permasalahan utama yang terjadi pada pasar kredit adalah adanya asymetric information. Bank tidak dapat membedakan kualitas debitur sehingga akan memungkinkan terjadinya adverse selection. Hal ini dikarenakan bank tidak memiliki informasi yang lengkap mengenai debitur yang feasible. Hal ini terutama terjadi setelah terjadi krisis ekonomi banyak perusahaan yang bangkrut. Sehingga bank harus mencari nasabah kredit baru. Selain itu banyak informasi mengenai debitur yang hilang ketika dilakukan merger bank. Adanya asymetric information menyebabkan bank menjadi lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit. Padahal tidak semua debitur memiliki resiko tinggi, ada debitur yang memiliki kelayakan kredit yang tinggi dan memiliki prospek yang cerah namun bank tidak mengetahuinya. Bank pun mengalami trauma kredit macet pada masa krisis perbankan. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan keterbatasan informasi maka BI telah membuat DIBI (Data Informasi Bisinis di Indonesia). Keberadaan DIBI ini harus dioptimalkan agar dapat mengurangi asymetrics information. Maka BI harus terus memperlengkap dan lebih memperinci informasi DIBI ini baik dari segi regional, sektoral, komoditi, jenis usaha (besar, sedang, kecil) serta terus meng-update datanya tiap bulan. Hal tersebut dapat semakin mengurangi asymetric information dan mengurangi persepsi resiko
perbankan
terhadap
para
calon
debitur.
Selain
itu,
untuk
111
memperlengkap informasi yang tersedia maka setiap bank harus melaporkan informasi mengenai kualitas seluruh debitur yang dimilikinya. Optimalisasi DIBI ini akan menjadi infrastruktur pendukung tidak hanya untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan kredit dari perbankan, melainkan juga kuantitas pemberian kredit. Sehingga proses pemberian kredit dapat dilakukan lebih cepat dan mengurangi potensi munculnya kredit bermasalah. Pada akhirnya penyaluran kredit perbankan ke sektor riil dapat semakin meningkat. 3. Tetap menjaga stabilitas makroekonomi Stabilitas makroekonomi tercermin dari nilai tukar yang relatif stabil, dan inflasi yang relatif rendah dan stabil. Terwujudnya stabilitas ekonomi makro berarti mengurangi kondisi ketidakpastian (uncertainty) dalam melakukan usaha dan memberikan iklim yang kondusif bagi perekonomian riil. Dalam kondisi tersebut resiko usaha lebih kecil dan prospek usaha lebih cerah sehingga sektor riil akan meningkatkan kapasitas produksinya. Nilai tukar dan inflasi yang stabil akan memudahkan sektor riil dalam merencanakan kegiatan usahanya. Dalam kondisi ketidakpastian, seperti tingginya nilai tukar menyebabkan tingginya premi resiko (risk premium) bagi perbankan. Sehingga
biaya
pendanaan terhadap sektor riil menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu bank cenderung untuk melakukan investasi finansial jangka pendek yang bersifat spekulatif daripada melakukan investasi proyek riil yang bersifat produktif di sektor riil.
112
Dengan
demikian,
BI
selaku
otoritas
moneter
dengan
segala
kewenangannya harus dapat tetap menciptakan stabilitas makroekonomi dengan kebijakan-kebijakan moneternya, salah satunya melalui Inflation Targeting Framework. Sehingga dapat menciptakan stabilitas makroekonomi agar terwujud iklim yang kondusif bagi pertumbuhan di sektor perbankan dan sektor riil. 5.4.3. Perbankan 1.
Perbankan harus meningkatkan efisiensi operasional Perbankan juga perlu melakukan pembenahan diri, salah satunya adalah
dengan meningkatkan efisiensi operasional. Hal ini dimaksudkan untuk menurunkan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Biaya operasional merupakan salah satu elemen dalam overhead cost yang menentukan penghitungan suku bunga kredit. BOPO perbankan Indonesia tergolong masih tinggi mencapai 80-120 persen (Gambar 5.7). Hal ini mencerminkan masih belum efisiennya perbankan Indonesia apalagi jika dibandingkan dengan perbankan di luar negeri yang rata-rata memiliki BOPO 60 persen. BOPO
Persen(% )
140 120 100 80 60 40 20 0 Jan-02
Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Pe riode
Sumber : BI (2008) Gambar 5.7 BOPO Perbankan Indonesia (2002-2007)
Jan-07 BOPO
113
Belum efisiennya operasional perbankan menyebabkan overhead cost tidak dapat ditekan sehinggga menjadi kendala dalam penurunan suku bunga kredit. Oleh karena itu jika efisiensi operasional perbankan dapat ditingkatkan maka suku bunga kredit tidak sulit untuk diturunkan. Kemudian jika suku bunga kredit dapat diturunkan maka akan menjadi sinyal positif bagi sektor riil, karena biaya untuk memperoleh kredit perbankan lebih murah. Sehingga pendapatan yang diperoleh sektor riil akan lebih tinggi dibandingkan jika suku bunga kredit tidak mengalami penurunan. Oleh karena itu, ketika suku bunga kredit turun, sektor riil menjadi lebih tertarik dalam mengajukan kredit untuk memperoleh tambahan modal. Ketika sektor riil memperoleh tambahan modal melalui kredit, maka sektor riil dapat meningkatkan outputnya ataupun melakukan ekspansi usaha. Sehingga perkembangan sektor riil pun dapat meningkat. 5.4.4. Pelaku usaha di Sektor Riil 1.
Pelaku usaha di sektor riil harus meningkatkan kualitas usahanya Selain pihak pemerintah, BI dan perbankan, pelaku usaha di sektor riil
juga berperan untuk mengatasi disintermediasi perbankan dengan meningkatkan kualitas baik dari sisi pengelolaan usahanya dan SDM. Selain itu, pelaku usaha di sektor riil harus lebih kreatif dan inovatif dalam meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan menciptakan efisiensi produksi. Sehingga memiliki daya tarik bagi perbankan untuk menyalurkan kredit karena memiliki prospek usaha yang cerah. Sehingga perbankan akan meningkatkan penawarannya dan kredit yang disalurkan akan meningkat. Pada akhirnya, disintermediasi perbankan di Indonesia sedikit demi sedikit dapat diatasi.
114
Dengan dilaksanakannya rekomendasi solusi tersebut oleh pihak pemerintah, BI, perbankan dan pelaku usaha sektor riil, maka diharapkan dapat mengatasi permasalahan disintermediasi perbankan di Indonesia. Sehingga akan efektif menstimulus perkembangan sektor riil. Selain itu, dapat diwujudkan pula sinergitas antara sektor riil dan sektor moneter sehingga dapat tercapai akselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.
115
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan, tujuan penelitian yang akan dicapai
dan hasil pembahasan yang telah dipaparkan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian, yaitu : 1.
Setelah terjadi krisis ekonomi, Indonesia mengalami disintermediasi perbankan. Hal ini dapat dilihat penurunan penyaluran kredit perbankan dan lambatnya pertumbuhan penyaluran kredit. Selain itu, disintermediasi perbankan juga tercermin dari besarnya selisih antara kapasitas kredit dengan total kredit aktual. Nilai LDR perbankan yang masih berada di bawah ketentuan BI sebesar 94,75 persen juga menjadi indikasi terjadinya disintermediasi perbankan.
2.
Pada pasca krisis disintermediasi perbankan lebih disebabkan oleh melemahnya penawaran kredit atau disebut sebagai credit crunch. Namun demikian sejak pertengahan tahun 2000 hingga 2007 terjadi credit slowdown dan credit crunch secara bergantian. Hal ini mencerminkan adanya permasalahan di sisi penawaran dan permintaan kredit yang harus segera diatasi.
3.
Disintermediasi perbankan membawa dampak negatif terhadap perkembangan sektor riil, terlepas dari resiko struktural yang dimiliki sektor riil. Disintermediasi perbankan juga membawa dampak negatif
116
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak disintermediasi perbankan tersebut bisa melalui sisi pengeluaran agregat maupun sisi output. 4.
Rekomendasi solusi untuk mengatasi disintermediasi perbankan harus dilakukan oleh pihak pemerintah, BI, perbankan dan pelaku usaha sektor riil. Pemerintah harus segera mengatasi permasalahan struktural yang dihadapi sektor riil, melakukan pengawasan dan keberlangsungan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) serta optimalisasi Linkage Program antara Lembaga Keuangan Mikro dengan KUR, dan dilakukan diversifikasi sumber pembiayaan investasi agar tercipta persaingan. Kemudian, BI harus memberikan penalti yang lebih tegas terhadap LDR perbankan yang rendah, memperlengkap informasi dan meng-update DIBI (Data Informasi Bisnis di Indonesia) tiap bulannya, dan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Sedangkan pihak perbankan harus meningkatkan efisiensi operasional perbankan. Kemudian pelaku usaha sektor riil harus meningkatkan kualitas usahanya.
6.2.
Saran Berdasarkan
hasil
penelitian
ini,
maka
saran
yang
dapat
direkomendasikan, yaitu : 1.
Terbuktinya dampak negatif dari disintermediasi perbankan terhadap perkembangan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi, harus segera direspon oleh pemerintah untuk segera mengatasi permasalahan tersebut.
117
Namun demikian, untuk mengatasi permasalahan ini dibutuhkan kerjasama antara pemerintah, Bank Indonesia, perbankan dan pelaku usaha di sektor riil. Oleh karena itu, koordinasi kebijakan menjadi faktor yang sangat penting dalam mengatasi disintermediasi perbankan. 2.
Dalam mengatasi permasalahan struktural sektor riil pemerintah tidak hanya sekedar membuat paket-paket kebijakan, melainkan juga harus benar-benar
direalisasikan
secara
berkelanjutan
dan
dilakukan
pengawasan agar tidak terjadi penyelewengan. 3.
Untuk peneliti selanjutnya, diharapkan dapat meneliti disintermediasi perbankan yang terjadi di negara-negara di Asia lainnya yang juga mengalami krisis ekonomi. Sehingga dapat dilihat penyebabnya berasal dari sisi permintaan atau penawaran. Selain itu dapat dibedakan juga kebijakan-kebijakan yang diterapkan di negara-negara tersebut dalam mengatasi disintermediasi perbankan.
118
DAFTAR PUSTAKA Agung, J., B. Kusmiarso, B. Pramono, E.G. Hutapea, A. Prasmuko, N.J. Prastowo. 2001. Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis:Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia. Amemiya, Takeshi. 1974. A Note on a Fair and Jaffee Model. Econometrica, Vol. 42, No. 4. (July, 1974). The Econometric Society. Ascarya. 2002. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Seri Kebanksentralan No. 3. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1999-2007. Buletin Statistik Bulanan : Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2002. Statistik Impor. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 1998. Buletin Statistik Bulan Desember 1998: Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 1999-2007. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI). Bank Indonesia, Jakarta. Chowdhury, A and Akhtar H. 2000. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publising Limited, UK. Damanhuri, D.S. 2006. Problem Utang Asing dalam Situasi Hegemoni Ekonomi Global dalam Korupsi, Reformasi Birokrasi, & Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Dendawijaya, L. 2001. Manajemen Perbankan. Ghalia Indonesia, Jakarta. Dendawijaya, L. 2003. Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional 19982003.Ghalia Indonesia, Bogor. Fair dan Jaffee. 1972. Method of Estimation for Markets in Disequilibrium. Econometrica, Vol. 40, No. 3 (May, 1972). The Econometric Society. Ghosh, A dan Swati G. 1999. East Asia in The Aftermath:Was there a crunch?. IMF Working Paper Series 1999/38. Gujarati, D dan Sumarno Z.1995. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta.
119
Harmanta dan Mahyus. 2005. Disintermediasi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis 1997 : Faktor Permintaan atau Penawaran Kredit, Sebuah Pendekatan Dengan Model Disequilibrium. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2005. Herosobroto. Analisis Dampak Depresiasi Nilai Tukar Terhadap Kinerja Ekspor [Tesis]. Magister Ilmu Ekonomi, FE-UI. Jakarta Stock Exchange (JSX). 1999-2007. JSX Statistics. Research & Development Division JSX, Jakarta. Judge, W.E. Griffits, R.C Hill, H. Lutkhepohl, Tsoung Chao Lee. 1985. The Theory and Practise of Econometrics. John Wiley & Sons, New York. Katalog BPS:4103. 2001. Indikator Kesejahteraan Rakyat Tahun 2000. BPS, Jakarta. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah. 2006. Statistik Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2005-2006. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah, Jakarta. Kuncoro, M. 2007. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Penerbit Andi, Yogyakarta. Levine, R. 1996. Financial Development and Economic Growth : Views and Agenda. Policy Research Working Paper. World Bank. Mankiw, N.G. 2000. Teori Makroekonomi, dalam Imam Nurmawan (penerjemah). Penerbit Erlangga, Jakarta. Miskhin, F. S. 1997. The Economics of Money, banking and Financial Markets Fifth edition. Addison Wesley Longman Inc, New York. Pazarbasiouglo, C. 1997. A Credit Crunch?Finland in The Aftermath of The Banking Crisis. Staff Papers International Monetary Fund, Vol 44, No.3 (Sep, 1997). Peliyana, Y. 2005. Pengaruh Intermediasi Perbankan dan Pasar Modal Terhadap Pertumbuhan ekonomi Indonesia [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB. Rachmawati, M. 2005. Analisis Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang Penawaran Kredit Perbankan Pasca Krisis Moneter di Indonesia[Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB.
120
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional, dalam Haris Munandar (penerjemah). Penerbit Erlangga, Jakarta. Siamat, D. 2001. Manajemen Lembaga Keuangan. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Simomangkir, O.P. 2004. Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Nonbank. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sinungan, M. 1992. Manajemen Dana Bank. Rineka cipta, Jakarta. Sugiyono, F.X. 2003. Instrumen Pengendalian Moneter: Operasi Pasar Terbuka.. Seri Kebanksentralan No. 10. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Survei Sosial Ekonomi Nasional. 1998. Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 1998. BPS, Jakarta. Tim INDEF. 2003. Restrukturisasi Perbankan di Indonesia: Pengalaman Bank BNI. Penerbit INDEF, Jakarta. Tim Statistik Sektor Riil. 2007. Angka-angka Sektor Riil. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia. Tjahjono, E dan Hendy S. 1998. Kebijakan Pengendalian Aliran Modal Masuk di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Todaro, M.P. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga, dalam Haris Munandar (penerjemah). Erlangga, Jakarta. Warjiyo, P dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Seri Kebanksentralan No. 6. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta.
121
LAMPIRAN
122
Lampiran 1. Data Mentah
Periode 1999:1 1999:2 1999:3 1999:4 2000:1 2000:2 2000:3 2000:4 2001:1 2001:2 2001:3 2001:4 2002:1 2002:2 2002:3 2002:4 2003:1 2003:2 2003:3 2003:4 2004:1 2004:2 2004:3 2004:4 2005:1 2005:2 2005:3 2005:4 2006:1 2006:2 2006:3 2006:4 2007:1 2007:2 2007:3
L 1370763 816741 770265 715396 677970 706841 736933 794867 824823 914249 881971 929347 907302 918420 995201 1069903 1100692 1156896 1212427 1291467 1316367 1411984 1506873 1610885 1686150 1819737 1968772 2047486 2030043 2097392 2176818 2298551 2341950 2480325 2659101
GDP 325641.06 320938.44 339138.52 329091.43 342852.40 340865.20 355289.50 350762.80 356114.90 360533.00 367517.40 356240.40 368650.40 375720.90 387919.60 372925.50 386743.90 394620.50 405607.60 390199.30 402597.30 411935.50 423852.30 418131.70 427003.00 436110.00 448492.50 439050.60 448276.80 457724.70 474797.50 465855.90 475124.50 486734.90 505761.20
Sumber : BI, BPS, BEJ (2008)
R 33.12 28.84 23.07 28.89 18.93 18.14 17.99 18.43 17.90 18.45 19.06 19.19 19.35 19.08 18.74 18.25 18.08 17.41 16.07 15.07 14.61 14.10 13.80 13.41 13.31 13.36 14.51 16.23 16.35 16.15 15.82 15.07 14.49 13.80 13.31
IHSG 392.862 662.025 547.937 676.919 583.276 515.110 421.336 416.321 381.050 437.620 392.479 392.036 481.775 505.009 419.307 424.945 398.004 505.499 597.652 691.895 735.677 732.401 820.134 1000.233 1080.165 1122.376 1079.275 1162.635 1322.974 1310.263 1534.615 1805.523 1830.920 2139.280 2359.210
ER 8685 6726 8386 7100 7590 8735 8780 9595 10400 11440 9675 10400 9655 8730 9015 8940 8908 8285 8389 8465 8587 9415 9170 9290 9480 9713 10310 9830 9075 9300 9235 9020 9118 9054 9137
INF -0.18 -0.33 -0.67 1.73 -0.45 0.51 -0.05 1.95 0.89 1.68 0.64 1.63 -0.01 0.36 0.54 1.20 -0.23 0.09 0.37 0.95 0.36 0.48 0.02 1.04 1.91 0.50 0.69 -0.04 0.03 0.45 0.38 1.21 0.24 0.23 0.80
SBI 37.84 22.05 13.02 12.51 11.03 11.74 13.62 14.53 15.58 16.65 17.57 17.61 16.76 15.11 13.22 12.93 11.40 9.53 8.66 8.31 7.42 7.34 7.39 7.43 7.44 8.25 10.00 12.75 12.73 12.50 11.25 9.75 9.00 8.50 8.25
CAP 2537459 2305338 2335514 2289594 2333130 2429083 2500649 2632877 2735222 2910976 2659207 2743592 2704234 2621620 2667708 2703768 2741962 2708173 2748583 2838980 2816011 2875048 2889726 2936029 2980480 3128102 3290761 3372620 3438443 3503913 3594522 3790156 3881640 3994540 4182201
123
Periode 1999:1 1999:2 1999:3 1999:4 2000:1 2000:2 2000:3 2000:4 2001:1 2001:2 2001:3 2001:4 2002:1 2002:2 2002:3 2002:4 2003:1 2003:2 2003:3 2003:4 2004:1 2004:2 2004:3 2004:4 2005:1 2005:2 2005:3 2005:4 2006:1 2006:2 2006:3 2006:4 2007:1 2007:2 2007:3
NPL 54.99 45.66 44.38 36.86 35.28 33.20 28.23 19.43 18.62 16.84 14.47 11.66 12.42 11.27 10.08 7.57 7.62 7.11 6.65 6.77 7.80 7.50 6.90 5.75 5.60 7.90 8.80 8.30 9.40 8.80 8.50 7.00 6.60 6.40 5.80
CA -121.19 -77.58 -17.43 -2.74 -2.55 0.90 3.89 5.14 6.28 4.17 6.77 6.42 7.90 8.31 9.14 8.84 9.42 9.46 9.90 9.60 10.96 10.46 10.91 10.82 11.32 10.18 10.06 10.23 10.82 10.25 10.69 10.70 11.07 10.82 11.08
CI 419941.20 320711.28 443312.39 407896.85 523567.84 712014.40 767171.90 898365.46 883018.76 901185.31 445335.12 381775.47 250764.87 183893.87 208001.47 246209.12 284741.46 298333.49 350267.43 399453.19 405834.23 424859.23 428979.40 435900.93 436227.21 433280.21 538006.73 524807.40 515245.70 508319.10 503301.40 499666.50 497033.40 495125.90 493744.10
S 79453 89088 117802 122981 135801 146662 148665 154328 153383 160825 163278 172611 165021 171506 174815 193467 190286 202420 213408 244437 247990 261041 270997 296646 284657 284415 280748 281743 268200 279390 291993 334384 333843 355321 378936
Sumber : BI, BPS (2008) L = total kredit (milyar Rp) GDP = GDP tahun dasar 2000 (milyar Rp) R = suku bunga kredit (%) IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan ER = nilai tukar (Rp/$) INF = inflasi (%) SBI = suku bunga SBI (%) CAP = kapasitas kredit (milyar Rp)
I 54976.33 54333.20 57350.18 63195.56 63438.38 66678.55 70330.82 75036.14 77023.93 75672.97 68022.47 70183.31 69432.04 69060.74 71748.64 73365.67 70886.20 71577.21 75739.17 77086.78 83984.58 87406.09 95409.88 97676.68 98497.89 105946.16 109690.88 106940.49 106074.21 111120.58 116354.30 117646.59 119696.15 124636.25 133372.73
BD 2.12 1.08 0.22 0.04 -0.01 -0.16 -0.28 -0.14 -0.20 -0.06 -0.07 0.03 -0.15 0.01 -0.03 0.04 0.02 0.04 0.05 0.10 -0.01 -0.08 -0.01 0.08 0.02 0.04 0.04 -0.23 -0.08 -0.01 0.02 0.38 0.20 0.20 0.15
RS 298945.19 293742.91 311235.85 300703.17 314622.50 312445.90 326064.40 321174.10 325912.60 329892.50 336211.70 325122.90 336112.60 343206.50 354731.40 339642.90 352158.60 359729.60 370412.20 354496.50 365720.10 374928.70 385730.60 379014.10 387808.20 396075.90 407444.30 397943.40 406833.90 415571.20 431810.60 421943.60 430420.90 441246.70 459328.50
CI = capital inflow (milyar Rp) S = saving (milyar Rp) I = investasi (milyar Rp) RS = outpur real sektor BD = banking disintermediation (excess demand/excesssupply) NPL = non performing loan (%)
124
Lampiran 2. Daftar Bank Beku Operasi (November 1997) No. Nama Bank No. Nama Bank 1. Bank Harapan Sentosa 9. Bank Citrahasta Manunggal 2. Bank Guna Internasional 10. South East Asia Bank 3. Bank Andromeda 11. Bank Pinaesaa 4. Bank Astria Raya 12. Bank Mataram Dhanarta 5. Bank Sejahtera B. Umum 13. Bank Anrico 6. Bank Dwipa 14. Bank Majapahit Jaya 7. Bank Kosagraha Semesta 15. Bank Pasific 8. Bank Jakarta 16. Bank Industri Sumber : Dendawijaya, 2003 Lampiran 3. Daftar Bank Beku Operasi (April 1998) No. Nama Bank 1. Bank Kredit Asia 2. Centris International Bank 3. Bank Deka 4. Bank Subentra 5. Bank Pelita 6. Hokindo Bank 7. Bank Surya Sumber : Dendawijaya, 2003
Lampiran 4. Daftar Bank Take Over (April 1998) No. Nama Bank 1. BDNI 2. Bank Ekspor Impor Indonesia 3. Bank Danamon 4. Bank Umum Nasional 5. Bank Tiara Asia 6. Bank PDFCI 7. Bank Modern Sumber : Dendawijaya, 2003
125
Lampiran 5. Daftar Bank Beku Operasi (Maret 1999) No. Nama Bank No. Nama Bank 20. Bank Mashill Utama 1. Bank Intan Bank Dana Asia 2. Bank Bahari 21. Bank Tata 22. Bank Bumi Raya Utama 3. Bank Namura Internusa 4. Bank Dewa Ritji 23. Bank Pesona Kriya Dana 24. Bank Umum Servutia 5. 25. Bank Umum Putra Surya Perkasa 6. Bank Dagang dan Industri Bank Baja Internasional Bank Papan Sejahtera 26. 7. 27. Bank Sahid Gajah Perkasa 8. Bank Dharmala Bank Sanho 9. Bank Indotrade 28. 29. Bank Arya Penduarta 10. Bank Orient 30. Bank Hastin Internasional 11. Bank Danahutama Bank Metropolitan Rays 31. 12. Bank Ficorinvest 32. Bank Sewu Internasional 13. Bank Lautan Berlian Bank Alfa 33. 14. Bank Uppindo Bank Asia Pasifik 34. 15. Bank Yakin Makmur 35. Bank Kharisma 16. Bank Bapenda Indonesia Sino 36. 17. Bank Central Dagang Bank Ciputra 37. 18. Bank Indonesia Raya Bank Aken 38. 19. Bank Budi Internasional Sumber : Dendawijaya, 2000 Lampiran 6. Daftar Bank Take Over (Maret 1999) No. Nama Bank 1. Bank Duta 2. Bank Nusa Nasional 3. Bank Risjad Salim Internasional 4. Bank Tamara 5. Bank Pos Nusantara 6. Bank Jaya 7. Bank Rama Sumber : Dendawijaya, 2000 Lampiran 7. Daftar Bank yang mengikuti Program Rekapitalisasi (Maret 1999) No. Nama Bank 1 Bank Internasional Indonesia 2 Bank Lippo 3 Bank Bali 4 Bank Bukopin 5 Bank Niaga 6 Bank Universal 7 Bank Prima Express 8 Bank Artha Media 9 Bank Patriot Sumber : Dendawijaya, 2000
126
Lampiran 8. Daftar Bank yang tidak mengikuti Program Rekapitalisasi (Maret 1999) No. Nama Bank No. Nama Bank 38. Bank Alfindo Indonesia 1. Bank Royal Indonesia 39. Bank Muamalat 2. Bank Express 40. Bank Prasidha Utama 3. Bank Harta 41 Bank Utama Internasional 4. Bank Putra Danata 42. Bank Mitraniaga 5. Bank Index Salindo 43. Bank Indo Monex 6. Bank Kesejahteraan Ekonomi 44. Bank Prima Master 7. Bank Artos Indonesia 45. Bank Windu Kencana 8. Bank Danpac 46. Bank Fama Internasional 9. Bank Arta Pratama 47. Bank Haga 10. Bank Halim Indonesia 48. Bank Himpunan Saudara 11. Bank Nusantara Parahyangan 49. Bank Ekonomi Raharja 12. Bank Swadesi 50. Bank Century Interest Tbk 13. Bank Pikko Tbk. 51. Bank Antardaerah 14. Bank Jasa Jakarta 52. Bank Dipo Internasional 15. Bank Yudha Bakti 53. Bank Ina Pendana 16. Bank Anglomas Internasional 54. Bank Ganesha 17. Bank Asiatic 55. Bank Mayora 18. Bank Mestika Dharma 56. Bank Agroniaga 19. Bank Bisnis Internasional 57. Bank Susila Bakti 20. Bank Shinta Indonesia 58. Bank Akita 21. Bank Jasa Arta 59. Bank Dagang Bali 22. Bank Victoria Internasional 60. Bank Global Internasional Tbk 23. Bank Arta Niaga Kencana 61. Bank Multiarta Sentosa 24. Bank Tugu 62. Bank Ratu 25. Bank Maspion Indonesia 63. Bank Swaguna 26. Bank Mayapada Tbk 64. Bank Panin Tbk 27. Bank Hagakita 65. Bank NISP Tbk 28. Bank Centratama Nasional 66. Bank Harmoni Internasional 29. Bank Kesawanan 67. Bank Seri Partha 30. Bank Sinar Harapan 68. Unibank Tbk 31. Bank Tabungan Pensiun Nasional 69. Bank Multikarsa 32. Bank Swansarindo 70. Bank Artha Graha 33. Bank Bumi Artha 71. Bank IFI 34. Bank Mega 72. Bank Eksekutif Internasional 35. Bank Bintang Manunggal 73. Bank Harda Internasional 36. Bank Bumiputera 37. Bank Buana Indonesia Sumber : Dendawijaya, 2000
127
Lampiran 9. Bank-Bank yang melakukan Merger MERGER
MERGER
MERGER
BANK MANDIRI
BANK DANAMON
BANK PERMATA
Bank yang mengikuti Bank yang mengikuti merger : merger : 1. Bank Dagang Negara 1. Bank Danamon (BDN) 2. Bank Pos Nusantara 2. Bank Bumi Daya 3. Bank Jaya (BBD) 4. Bank Duta 3. Bank Ekspor Impor 5. Bank Tiara Asia Indonesia 6. Bank Rama (BEII) 7. Bank Tamara 4. Bank Pembangunan 8. Bank Nusa Nasional Indonesia 9. Bank Risjad Salim (Bapindo) Sumber : Dendawijaya, 2003
Bank yang mengikuti merger : 1. Bank Bali Tbk. 2. Bank Universal Tbk. 3. Bank Patriot 4. Bank Prima Express 5. Bank Artha Media
128
Lampiran 10. Hasil Estimasi Maximum Likelihood (ML) LogL: LL1 Method: Maximum Likelihood (BHHH) Date: 07/30/08 Time: 02:10 Sample: 1999:1 2007:3 Included observations: 35 Evaluation order: By observation Convergence not achieved after 500 iterations ALPHA(1) ALPHA(2) ALPHA(3) ALPHA(4) ALPHA(5) ALPHA(6) GAMMA(1) BETA(1) BETA(2) BETA(3) BETA(4) BETA(5) BETA(6) SIGMA(1) SIGMA(2) Log likelihood Avg. log likelihood Number of Coefs.
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
7.992624 0.758922 -0.025862 0.220740 -0.078412 -0.576199 16.75520 -16.50680 2.136874 0.035611 -0.058408 0.003936 -0.004253 0.143608 0.098660
6.590591 0.404666 0.002008 0.124765 0.015798 0.279670 2.439441 2.047404 0.146965 0.004673 0.005796 0.000865 0.001779 0.019011 0.012987
1.212733 1.875429 -12.87988 1.769237 -4.963290 -2.060277 6.868457 -8.062309 14.54001 7.619903 -10.07779 4.548090 -2.390321 7.554094 7.596873
0.2252 0.0607 0.0000 0.0769 0.0000 0.0394 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0168 0.0000 0.0000
-146.9864 -1.399871 15
Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
3.085455 3.464593 3.239089
129
Lampiran 11. Hasil Estimasi Demand Credit, Supply Credit & Excess DemandCredit Periode Mar-99 Jun-99 Sep-99 Des-99 Mar-00 Jun-00 Sep-00 Des-00 Mar-01 Jun-01 Sep-01 Des-01 Mar-02 Jun-02 Sep-02 Des-02 Mar-03 Jun-03 Sep-03 Des-03 Mar-04 Jun-04 Sep-04 Des-04 Mar-05 Jun-05 Sep-05 Des-05 Mar-06 Jun-06 Sep-06 Des-06 Mar-07 Jun-07 Sep-07
Demand Credit 8.996236 9.068699 9.015981 9.242605 9.077114 9.102345 9.079870 9.211026 9.116257 9.190243 9.164859 9.200439 9.156836 9.244201 9.264524 9.289425 9.212086 9.315569 9.380047 9.415886 9.407210 9.419963 9.436371 9.539627 9.638989 9.544008 9.570212 9.536382 9.604432 9.656711 9.712254 9.784988 9.725943 9.770040 9.871488
Supply Credit 6.873774 7.984573 8.797944 9.199980 9.082819 9.262920 9.362610 9.347505 9.317622 9.250757 9.238481 9.170387 9.310592 9.237421 9.294424 9.251558 9.188942 9.279968 9.330847 9.311115 9.419504 9.504576 9.450147 9.456083 9.623200 9.502384 9.525758 9.768215 9.684059 9.662469 9.696802 9.402342 9.522005 9.571294 9.720351
Ket : Positif = excess demand credit Negatif= excess supply credit
Excess Demand 2.12246 1.08413 0.21804 0.04262 -0.00571 -0.16058 -0.28274 -0.13648 -0.20137 -0.06051 -0.07362 0.03005 -0.15376 0.00678 -0.02990 0.03787 0.02314 0.03560 0.04920 0.10477 -0.01229 -0.08461 -0.01378 0.08354 0.01579 0.04162 0.04445 -0.23183 -0.07963 -0.00576 0.01545 0.38265 0.20394 0.19875 0.15114
130
Lampiran 12. Hasil Estimasi OLS
Dependent Variable: LNRS Method: Least Squares Date: 07/30/08 Time: 05:57 Sample: 1999:1 2007:3 Included observations: 35 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BD LNI LNER R C
-0.070230 0.380586 -0.428266 -0.004939 14.07473
0.031402 0.089745 0.027548 0.001023 0.647493
-2.236506 4.240738 -15.54615 -4.826689 21.73729
0.0329 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.901361 0.888210 0.040993 0.050414 64.83679 2.340516
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
12.79508 0.122606 -3.419245 -3.197052 68.53521 0.000000
Dependent Variable: LNGDP Method: Least Squares Date: 07/30/08 Time: 05:52 Sample: 1999:1 2007:3 Included observations: 35 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BD LNCI LNI LNS C
-0.078485 -0.151242 0.547382 0.416828 7.341687
0.033382 0.041995 0.225003 0.100052 0.934702
-2.351134 -3.601461 2.432781 4.166093 7.854574
0.0255 0.0011 0.0212 0.0002 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.791326 0.763503 0.061419 0.053169 50.68608 1.313218
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
12.88777 0.126296 -2.610633 -2.388441 28.44127 0.000000
131
Lampiran 13. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model LnRS White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.914812 9.659199
Probability Probability
0.535812 0.470884
Probability Probability
0.448884 0.389609
Model LnGDP White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.050826 14.83381
Lampiran 14. Hasil Uji Autokorelasi Model LnRS Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.024165 2.385874
Probability Probability
0.372158 0.303329
Model LnGDP Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.894750 4.172212
Probability Probability
0.169138 0.124170
132
Lampiran 15. Hasil Uji Normalitas Model LnRS 7
Series: Residuals Sample 1999:1 2007:3 Observations 35
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.10
-0.05
0.00
-8.17E-15 0.004440 0.067667 -0.093082 0.038507 -0.437941 2.764953 1.199355 0.548989
0.05
Model LnGDP
7
Series: Residuals Sample 1999:1 2007:3 Observations 35
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.1
0.0
0.1
3.06E-15 -0.008062 0.137434 -0.111521 0.057693 0.503743 2.993813 1.480304 0.477041
133
Lampiran 16. Hasil Uji Multikolinearitas LNRS BD LNI LNRER R
LNRS 1.000000 -0.230779 0.270564 -0.861867 -0.194751
BD -0.230779 1.000000 -0.310264 -0.009822 -0.794448
LNI 0.270564 -0.310264 1.000000 -0.054598 0.044345
LNRER -0.861867 -0.009822 -0.054598 1.000000 0.135684
R -0.194751 -0.794448 0.044345 0.135684 1.000000
LNGDP BD LNCI LNI LNS
LNGDP 1.000000 -0.230588 -0.460548 0.266061 0.776645
BD -0.230588 1.000000 -0.043436 -0.310264 -0.609320
LNCI -0.460548 -0.043436 1.000000 0.599212 -0.222072
LNI 0.266061 -0.310264 0.599212 1.000000 0.439358
LNS 0.776645 -0.609320 -0.222072 0.439358 1.000000