Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Lama Mencari Kerja Lulusan Sekolah Menengah dan Pendidikan Tinggi di Indonesia Pada Tahun 2012
RATIH PRATIWI 120120110052
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 2003). Salah satu tujuan dalam pembangunan nasional adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertumbuhan angkatan kerja terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang pertumbuhan angkatan kerjanya lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Pendidikan diketahui sebagai aspek penting dalam kehidupan karena melalui pendidikan seseorang dapat menjadi individu yang lebih berkualitas. Pendidikan adalah sarana untuk mendapatkan SDM yang berkualitas karena pendidikan dianggap mampu untuk menghasilkan tenaga kerja yang bermutu tinggi, mempunyai pola pikir dan cara bertindak yang modern. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang telah ditempuh maka seharusnya semakin berkualitas pula output atau lulusan yang dihasilkan. Salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai ukuran kualitas output tersebut adalah bagaimana output ini mampu bersaing di dunia kerja dan diharapkan mampu menggerakkan pembangunan nasional (Putranto dan Mashuri, 2012). Menurut Kemenakertrans (2013), sejalan dengan diterapkan sistem pendidikan melalui program pendidikan dasar sembilan tahun serta semakin mudahnya akses pendidikan, maka jumlah angkatan kerja berpendidikan SD dan SMTP dari tahun ke tahun diprediksikan akan terus menurun. Sebaliknya angkatan kerja berpendidikan SMTA ke atas diharapkan akan terus mengalami peningkatan, sehingga struktur angkatan kerja di Indonesia beberapa tahun ke depan diperkirakan akan mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Di negara berkembang, pengangguran terdidik adalah sebagai konsekuensi dari berperannya faktor penawaran “supply factors”
1
(Bloom dan Sevilla 2003). Proses bergesernya kelompok umur penduduk yang lahir dua puluh sampai tiga puluh tahun sebelumnya, mereka secara potensial memasuki pasar kerja, baik setelah menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atau terhenti (Oshima dalam Elfindri dan Bachtiar, 2004). Upaya yang dilakukan untuk memperluas fasilitas pendidikan di negara-negara berkembang guna pencapaian pemerataan hasil-hasil pendidikan ternyata tidak diiringi dengan peningkatan kualitas tamatannya. Efek ganda dari dilemma tersebut adalah semakin banyaknya pencari kerja berusia muda dan berpendidikan (Elfindri dan Bachtiar, 2004). Menurut BPS (2012), bahwa pengangguran terdidik merupakan jumlah pencari kerja yang berpendidikan SMA ke atas (sebagai kelompok terdidik). Pengangguran terdidik terjadi selama lulusan mengalami masa tunggu (job search periode) yang dikenal sebagai pengangguran friksional. Lama masa tunggu itu bervariasi menurut tingkat pendidikan. Secara makro, pengangguran terdidik merupakan suatu pemborosan jika dikaitkan dengan opportunity cost yang dikorbankan oleh negara akibat dari menganggurnya angkatan kerja terdidik terutama pendidikan tinggi. Dari segi ekonomis, pengangguran terdidik mempunyai dampak ekonomis yang lebih besar daripada pengangguran kurang terdidik jika ditinjau dari konstribusi yang gagal diterima perekonomian. Dan dalam pandangan mikro, menganggur dapat mempengaruhi tingkat utilitas individu (Sutomo, dkk, 1999). Dari sisi penawaran, kecenderungan makin meningkatnya tingkat pendidikan akan berakibat pada makin tinggi harapan untuk mendapatkan kedudukan atau kesempatan kerja yang lebih sesuai. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pengangguran terdidik (Sutomo, dkk, 1999), yaitu sebagai berikut : 1.) Ketimpangan struktural dan ketidakcocokan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (labor supply) dan kesempatan kerja yang tersedia. Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau masalah keahlian khusus; 2.) Pengaruh teori human capital (Woodhall dan Psacharopoulus, 1997) yang menyebabkan timbulnya asumsi pendidikan sekolah sebagai lembaga yang secara langsung mempersiapkan tenaga kerja yang mampu dan terampil
2
bekerja; 3.) Terbatasnya daya serap tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil); 4.) Belum efisiennya fungsi pasar kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Kemudian faktor optimisasi utilitas juga menyebabkan lulusan akademi atau universitas memilih menganggur jika tidak sesuai dengan bidangnya. Dari sisi permintaan pasar tenaga kerja, di era globalisasi saat ini, kegiatan bisnis korporasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional, pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Hal ini menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan terhadap struktur dan strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis cost efficiency dan competitive advantages, termasuk dalam hal rekrutmen terutama bagi tenaga kerja terdidik (Kemenakertrans, 2013). Pada kondisi globalisasi, keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing SDM bermutu yang tercipta lewat pendidikan (Kemenakertrans, 2013). Karena pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan penting dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan, peningkatan tingkat pendidikan masyarakat adalah upaya pemerintah yang harus dipertahankan. Akselerasi laju bertambahnya angkatan kerja terdidik di Indonesia harus disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Konsekuensinya, lulusan terdidik harus dimanfaatkan potensinya seoptimum dan sesegera mungkin. Realitanya, lulusan pendidikan menengah dan tinggi tidak secara otomatis terserap oleh lapangan pekerjaan sehingga menimbulkan terjadinya pengangguran terdidik. Cepat atau lambatnya penyerapan lapangan kerja dapat terlefleksikan dari lama mencari kerja (job search period). Berdasarkan kompleksitas baik dari sisi permintaan
3
maupun penawaran ketenagakerjaan di Indonesia maka sangat perlu mengadakan penelitian mengenai perilaku pencarian kerja di Indonesia. Penelitian ini akan terfokus pada kalangan pencari kerja terdidik yang merupakan lulusan baru yaitu pencari kerja yang baru menamatkan pendidikan tinggi terakhir dan belum memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Dari sisi penawaran tenaga kerja, investasi berupa waktu dan biaya untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik menjadikan mereka memiliki ekspektasi return yang tinggi pada pekerjaan yang sedang mereka cari. Sementara, dari sisi permintaan tenaga kerja, terdapat kemungkinan pemberi kerja menghargai lulusan baru yang tidak memiliki pengalaman kerja lebih rendah dari ekspektasi pencari kerja terdidik. Hal ini membuat fenomena pencarian kerja di kalangan terdidik perlu untuk diteliti. Waktu tunggu kerja dari tenaga kerja terdidik di Indonesia menjadi menarik untuk diamati dan dikaji mengingat fenomena ini akan perpengaruh terhadap optimisasi utilitas individu terdidik dan produktvitas negara. Berdasarkan beberapa landasan teori dan kajian empiris sebelumnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi waktu tunggu kerja antara lain karakteristik individu seperti: jenis kelamin, umur, tempat tinggal,
tingkat pendidikan, pendidikan teknis,
metode mencari pekerjaan, dan jenis pekerjaan yang dicari. Untuk itu, dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi lama mencari kerja pada pencari kerja terdidik di Indonesia serta bagaimana besar pengaruhnya pada durasi pencarian kerja. Manfaat yang ingin dicapai dalam kegiatan penelitian ini antara lain : 1.) Dari teoritis, kita dapat mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi waktu tunggu kerja angkatan kerja terdidik dan berapa besar dampaknya pada lama mencari kerja; 2.) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan pendidikan; 3.) Dari praktis, penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam menyusun kebijakan sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan misalnya lama bersekolah, kegiatan pelatihan, dan metode yang efektif untuk membantu angkatan kerja untuk dapat memperoleh pekerjaan. Teori yang menunjang penelitian ini antara lain : teori human capital dan teori
4
mencari pekerjaan. Pada teori modal Sumber Daya Manusia (Human Capital Theory). Menurut Becker (1962), manusia bukan sekedar sumber daya namun merupakan modal (capital) yang menghasilkan pengembalian (return) dan setiap pengeluaran yang dilakukan dalam rangka mengembangkan kualitas dan kuantitas modal tersebut merupakan kegiatan investasi. Pendidikan merupakan kegiatan investasi penting karena kualitas SDM yang unggul dalam kapasitas penguasaan IPTEK dan mental sangat diperlukan dalam proses pembangunan. Menurut Becker dalam Atmanti (2005), investasi modal manusia akan menghasilkan output yang lebih tinggi. Teori human capital berpendapat bahwa tenaga kerja terdidik biasanya mempunyai produktivitas kerja dan efisiensi yang lebih tinggi daripada tenaga kerja tak terdidik. Teori ini bertumpu pada asumsi bahwa pendidikan formal sangat instrumental dan diperlukan untuk meningkatakan kapasitas indidividu sehingga pendidikan dianggap sebagai investasi modal manusia dalam industri (Woodhall dan Psacharopoulus, 1997). Peningkatan mutu modal manusia tidak dapat dilakukan dalam periode yang singkat, namun memerlukan waktu yang panjang. Seperti halnya investasi faktor produksi lainnya, investasi modal manusia juga memperhitungkan rate of return (manfaatnya) dan mempertimbangkan opportunity cost. Diharapkan dari investasi ini, manfaat yang diperoleh jauh lebih besar daripada biayanya. Teori ini sejalan dengan pemikiran Jacob Mincher mengenai fungsi penghasilan. Melalui penelitiannya pada 1974 berjudul Schooling, Experience and Earnings, distribusi pendapatan di Amerika beragam sesuai dengan tingkat pendidikan dan pelatihan yang dimiliki pekerja. Didapati bahwa di periode 1950 hingga 1960, pendapatan tahunan meningkat 5-10 % setiap penambahan lama sekolah dalam tahun (Polachek, 2007). Indikasi ini mengimplikasikan bahwa investasi pendidikan dapat meningkatkan penghasilan. Sehingga, sangat wajar bagi pencari kerja terdidik memiliki ekspektasi pada tingkat upah tertentu setelah menyelesaikan sekolahnya. Sedangkan, Search theory adalah metode yang menjelaskan masalah pengangguran dari sudut penawaran yaitu keputusan seorang individu untuk berpartisipasi di pasar kerja berdasarkan karakteristik individu pencari kerja. Menurut
5
Biro Pusat Stiatistik (2012), terdapat beberapa alasan utama seseorang mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha baru, antara lain: (1) Tamat sekolah/ tidak bersekolah lagi, (2) Tanggung jawab mencari nafkah/ membantu ekonomi rumah tangga atau keluarga, (3) Menambah penghasilan, (4) Pekerjaan yang ada kurang sesuai, (5) Pemutusan Hubungan Kerja, (6) Usaha terhenti. Search theory merupakan bagian dari economic uncertanty yang timbul karena informasi di pasar kerja tidak sempurna, artinya para penganggur tidak mengetahui secara pasti kualifikasi yang dibutuhkan dan tingkat upah yang ditawarkan pada lowonganlowongan pekerjaan yang ada di pasar. Pekerja hanya mengetahui informasi mengenai distribusi frekuensi dari seluruh tawaran pekerjaan yang didistribusikan secara random menurut tingkatan keahlian. Menurut Kaufman dan Hotchkiss (2002), dengan informasi yang sempurna, seseorang akan mengetahui perusahaan mana yang menawarkan upah yang lebih baik, dan proses mencari kerja menjadi tidak perlu dilakukan. Karena hal tersebut tidak akan terjadi, seseorang akan menganggur dalam waktu tertentu untuk mencari pekerjaan yang terbaik (diasumsikan berarti upah yang paling tinggi). Model job search terkait dengan intensitas pencarian dan reservation wage dari tiap individu. Search theory mengasumsikan bahwa pencari kerja adalah individu yang riskneutral, artinya mereka akan memaksimisasi expected income-nya. Tujuan untuk memaksimisasi expected-income dan reservation wage adalah kriteria menerima atau menolak suatu pekerjaan. Pencari kerja akan mengakhiri proses mencari kerja pada saat marginal cost dari tambahan satu tawaran kerja tepat sama dengan marginal return dari tawaran kerja tersebut (Sutomo, dkk, 1999). Hal sejalan dinyatakan oleh Zukerman (1983), bahwa individu mencari pekerjaan dengan durasi tertentu. Aktivitas pencarian ini memerlukan biaya keuangan per satuan waktu. Jika di asumsikan bahwa pekerjaan yang diterima bersifat random dan gaji yang ditawarkan bersifat posistif, i.i.d maka keputusan terpenting yang harus dilakukan pencari kerja adalah menentukan waktu yang tepat untuk berhenti mencari dan meneriwa sebuah tawaran kerja. Stopping rule ini akan menjadi optimal jika pencari kerja mempertimbangkan faktor expected net-return yang maksimum dan expected discounted net-return yang maksimum.
6
Sejalan dengan teori di atas, keputusan untuk menerima tawaran pekerjaan juga dapat dipengaruhi penawaran gaji yang lebih tinggi atau justru lebih rendah dari reservation wage. Terdapat dua skentario yang meningkatkan probabilitas individu untuk memutuskan akan memulai bekerja. Pertama, penawaran gaji lebih besar dari reservation wage. Kedua, individu dapat menerima pekerjaan ketika reservation wagenya lebih rendah. Akan tetapi reservation wage ini sifatnya tidak konstan, bahkan terdapat kecenderungan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya wakktu (Kasper, 1967). Terdapat beberapa studi terdahulu yang telah menjelaskan mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi lama mencari kerja pada tenaga kerja terdidik, antara lain: Zaretky, A dan Coughlin, C (1995), dalam penelitian “An Intorduction to Theory and Estimation of a Job-Search Model. Monthly Labor Review. Feb 1995 pg. 53-65. Dengan metode logit dan regresi berganda. Menyimpulkan bahwa: 1). Terdapat pengaruh negatif bagi perempuan, seseorang yang berprofesi sebagai data processor, seseorang yang memiliki asuransi pengangguran, dan masa kerja yang lebih lama terhadap probabilitas mendapat pekerjaan kembali. Dan 2). Terdapat pengaruh positif karena perbedaan pendidikan tingkat pergguruan tinggi dan insinyur dibandingkan yang tidak terhadap Ln gaji di tempat kerja baru. Selain itu terdapat, Sutomo, Hadiwiyono, V dan Prihartini, B. S. (1999), dalam penelitian “Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Lama Mencari Kerja Terdidik di Kabupaten Klaten Tahun 1996”. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Manajemen, dan Akuntansi. Perspektif : No.4 th 1999. Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret. Disimpulkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja sedangkan tingkat umur berpengaruh positif terhadap lama mencari kerja. Variabel jenis kelamin laki-laki mempunyai lama mencari kerja yang lebih panjang dibandingkan perempuan. Variabel pengalaman kerja berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja. Umur tenaga kerja berpengaruh negatif sedangkan tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap probabilitas mencari kerja. Probabilitas mencari kerja lakilaki lebih kecil dibanding perempuan. Pendidikan teknis dan pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap perbedaan probabilitas mencari kerja.
7
Kemudian, terdapat penelitian lagi dari Kuhn, P dan Skuterud, M (2004) dalam penelitan berjudul: Internet Job Search and Unemployment Durations. The American Economic Review, Vol. 94, No. 1 (Mar., 2004), pp. 218-232. Disimpulkan bahwa pencarian kerja menggunakan internet tidak mempersingkat waktu mencari kerja. Dan juga penelitian Frijters, P., Shields, M. A dan Price, S. W. (2005) dalam penelitian berjudul: Job Search Methods and Their Success: A Comparison of Immigrants and Natives in the UK. The Economic Journal, Vol. 115, No. 507, Features (Nov., 2005), pp. F359-F376, Royal Economic Society. Wiley: UK. Disimpulkan bahwa probabilitas hasil pencarian kerja yang dilakukan immigran kurang sukses jika dibandingkan penduduk asli UK, immigran memiliki kemungkinan lebih untuk mendapatkan pekerjaan melalui metode informal dibandingkan metode terverifikasi, lamanya waktu imigran menetap di UK berpengaruh posistif terhadap probabilitas kesusksesan mencari kerja. Sebagian besar penelitian terdahulu menggunakan metode logit atau probit dan regresi berganda. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan beberapa landasaan teori yang ada maka penulis memperkirakan: jenis kelamin perempuan berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja, Umur berpengaruh positif terhadap lama mencari kerja, lama sekolah berpengaruh positif terhadap lama mencari kerja, keterampilan berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja, pencari kerja yang tinggal di perkotaan berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja, metode informal yang digunakan pencari kerja dapat berpengaruh negatif atau positif
terhadap lama
mencari kerja, dan jenis pekerjaan purna waktu berpengaruh positif terhadap lama mencari kerja. Penelitian ini menggunakan sampel yang berasal dari data Sakernas 2012. Sampel merupakan pencari kerja terdidik lulusan sekolah menengah (SMA dan SMK) serta lulusan pendidikan tinggi (diploma dan sarjana) yang baru saja menamatkan pendidikan terakhir mereka dan tidak memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Metode yang digunakan adalah metode regresi berganda (OLS) dan metode logit.
8
Berdasarkan disusun fungsi persamaan regresinya, yaitu sebagai berikut: Ln Dur = -1.1051 +0.0037 Genderi + 0.1696 Agei - 0.1612 Areai - 0.0760 Trainingi + 0.2401Educ_SMKi
- 0.3841Educ_Diplomai
- 0.7583Educ_Sarjanai
+0.2119Method1i - 0.1345Method3i - 0.1489Method4i - 0.1625Jobi + νi Terlihat bahwa terdapat perbedaan lama mencari kerja antara pencari kerja lakilaki dan pencari kerja perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin memiliki pengaruh positif dengan koefisien regresi jenis kelamin adalah sebesar 0.0037 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja perempuan 0.37 % lebih lama dibanding dengan pencari kerja laki-laki dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hasil ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa laki-laki kemungkinan mendapatkan pekerjaan lebih lama dibandingkan perempuan karena pekerja laki-laki biasanya lebih selektif dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan aspirasinya baik dari segi pendapatan maupun kedudukan dibanding pekerja perempuan. Hal ini disebabkan karena karena laki-laki diidentifikasi sebagai pencari nafkah utama. Perbedaan dengan teori dapat terjadi karena pemberi pekerjaan lebih memilih memperkejakan tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan karena faktor pertimbangan tertentu, misalnya: alasan fleksibilitas (bersedia ditempatkan di lokasi yang jauh, bersedia bekerja dalam shift). Selain itu, responden pada penelitian ini adalah lulusan yang baru menamatkan pendidikan akhir mereka dan didominasi oleh responden yang belum menikah (95.24%). Sehingga, faktor selektifitas sebagai pencari nafkah utama tidak berlaku. Sebagai lulusan baru, mendapat pengalaman pekerjaan lebih baik dibandingkan menambah waktu tunggu kerja lebih lama lagi. Variabel umur juga berpengaruh terhadap lama mencari kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel umur memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap lama mencari kerja. Hasil ini memperlihatkan bahwa umur yang semakin tua akan semakin sulit untuk mencari kerja. Koefisien regresi umur adalah sebesar 0.1696 menyatakan bahwa setiap pertambahan umur sebesar satu tahun akan menyebabkan lama mencari kerja bertambah sebesar 16.96 % dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap
9
tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Dengan kondisi persaingan kerja yang semakin besar, pemberi kerja akan berperan aktif dalam menyeleksi tenaga kerja yang akan dipekerjakannya. Salah satu pertimbangan perusahaan adalah mengenai umur pencari kerja. Bukti empiris ini mendukung teori yang membenarkan bahwa umur berpengaruh positif terhadap lama mencari kerja. Hal ini dapat berkaitan dengan produktifitas baik secara fisik maupun potensi keahlian dan pengetahuan pekerja. Umur responden yang lebih tua dapat diasosiasikan dengan jeda waktu yang lebih lama sejak responden menamatkan pendidikan terakhirnya. Semakin lama responden meninggalkan dunia pendidikan maka pengetahuan mereka pun semakin kurang mutakhir dan keahliannya makin tidak terasah. Kondisi ini tentunya kurang menguntungkan bagi responden lulusan baru yang tidak belum memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Variabel tempat tinggal juga berpengaruh secara signifikan terhadap lama mencari kerja. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel tempat tinggal memiliki pengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.1612 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja yang bertempat tinggal di daerah perkotaan memiliki waktu tunggu kerja lebih singkat 16.12 % dibandingkan dengan pencari kerja yang berdomisili di daerah pedesaan dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa seseorang yang berletak tinggal di perkotaan memiliki lebih banyak akses yang dapat mempersingkat waktu tunggu kerja. Adanya kesempatan kerja yang lebih besar serta tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang lebih lengkap, memudahkan seseorang untuk mendapat pekerjaan. Selain itu, pendapatan yang lebih tinggi yang ditawarkan di daerah perkotaan dapat memenuhi reservation wage tenaga kerja terdidik. Di sisi lain, regulasi juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan signifikansi pengaruh tempat tinggal terhadap lama mencari kerja. Misalkan, adanya peraturan memiliki kartu kuning dan pengurusan SKCK (Surat Keterangan Catatan Berkelakuan Baik) untuk memenuhi persyaratan administrasi ketika melamar pekerjaanpekerjaan bersifat formal seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil atau karyawan perusahaan
10
swasta (Disnaker, 2014). Untuk memiliki kedua syarat tersebut, pelamar kerja harus mengurus syarat administrasinya di Dinas Sosial dan Keternagakerjaan serta di kantor kepolisian sesuai dengan domisili yang tercantum pada kartu identitas pencari kerja. Hal ini memperlihatkan bahwa tempat tinggal dapat membuat limitasi kesempatan melamar pekerjaan. Kemudian, pada variabel pelatihan teknis, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.0760 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja yang pernah mengikuti pelatihan teknis 7.60 % lebih singkat dibandingkan dengan pencari kerja yang tidak pernah mengikuti pelatihan dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Bukti empiris ini mendukung teori yang menyatakan bahwa pelatihan dapat memepercepat seseorang mendapatkan pekerjaan. Jika merujuk pada teori human capital maka pelatihan juga merupakan bagian dari investasi human capital. Secara teori, individu yang memiliki keterampilan akan lebih cepat mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan orang yang kurang memiliki ketrampilan karena keterampilan juga merupakan indikator mutu produktivitas tenaga kerja. Sedangkan dari sisi permintaan tenaga kerja, pemberi kerja cenderung memilih tenaga kerja yang terdidik dan sudah terlatih untuk memperkecil biaya pelatihan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan dalam melatih karyawan baru. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan data World Bank mengenai keperluan industri di Indonesia terhadap tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus dan tersertifikasi. Faktanya, keperluan industri yang terus meningkat ini tidak diimbangi dengan penawaran tenaga kerja dengan keahlian tersertifikasi. Hal ini dapat disebabkan terbatasnya lembaga pelatihan keahlian yang difasilitasi oleh pemerintah misalnya Balai Latihan Kerja (BLK) (Worl Bank, 2010).Variabel lain yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja adalah pendidikan. Pada regresi ini, variabel tingkat pendidikan SMA dijadikan sebagai base variabel. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel pendidikan memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada masing-masing tingkat pendidikan
11
terhadap lama mencari kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pendidikan SMK berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.2401 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja tamatan SMK 24.01 % lebih singkat dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Walaupun lama sekolah lulusan SMA dan SMK sama, waktu mencari kerja yang lebih singkat pada lulusan SMK ini dapat disebabkan keahlian khusus yang dimiliki lulusan SMK. Faktor kejurusan ini menjadi signaling kepada penyedia lapangan kerja. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel pendidikan diploma berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.3841 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja tamatan diploma 38.41 % lebih singkat dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hal serupa juga terlihat pada koefisien regresi pada lulusan sarjana.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa
variabel pendidikan sarjana berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.7583 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja tamatan diploma 75.83 % lebih singkat dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hasil ini memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka lama mencari kerja akan semakin singkat. Hal ini bertolak belakang dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin lama durasi lama mencari kerja terkait dengan tingginya aspirasi untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dan sebanding dengan return biaya pendidikannya. Fenomena ini dapat terjadi ketika pada periode pengambilan sampel, lapangan pekerjaan dapat lebih mengakomodasi lulusan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih memiliki keterampilan. Situasi ini bersinergi dengan penelitian World Bank bahwa persyaratan keahlian dan pendidikan semakin meningkat secara berkesinambungan, terutama pada sektor jasa (World Bank, 2010).
12
Selain itu, perusahaan juga mungkin dapat menyediakan tingkat pendapatan tertentu yang dapat memenuhi ekspektasi reservation wage tenaga kerja terdidik. Hal ini menunjukan bahwa memiliki tenaga kerja yang berproduktivitas tinggi merupakan hal yang menjadi pertimbangan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja. Kemungkinan besar telah terjadi pergeseran pada pola produksi barang dan jasa yang berbasis teknologi sehingga membutuhkan komplemen tenaga kerja berpendidikan. Variabel lain yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja adalah metode mencari kerja. Pada regresi ini, variabel metode formal dijadikan sebagai base variabel. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel dengan responden yang melakukan metode formal dan informal memiliki pengaruh signifikan terhadap lama mencari kerja. Tabel 4.8 menunjukkan bahwa melakukan kedua metode berpengaruh positif dengan koefisien regresi sebesar 0.2119 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja yang melakukan kedua metode 21.19 % lebih lama dibanding dengan pencari kerja yang hanya melakukan metode formal saja dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Jika merujuk pada hasil regresi ini, melakukan kedua metode tidak efektif untuk mempersingkat durasi mencari kerja. Hal ini dimungkinkan karena responden yang melakukan kedua metode justru memerlukan waktu yang lebih lama untuk memutuskan mengakhiri masa pencarian kerjanya. Sedangkan pada hasil regresi menunjukkan bahwa variabel dengan responden yang melakukan metode informal saja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap lama mencari kerja. Terlihat bahwa melakukan metode informal memiliki koefisien regresi sebesar 0.1345
menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja yang
melakukan metode informal saja 13.45 % lebih singkat dibanding dengan pencari kerja yang hanya melakukan metode formal saja dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Pencarian kerja dengan melakukan metode informal saja terbukti lebih efektif memberikan informasi yang lebih cepat. Selain itu sangat dimungkinkan pada sistem rekrutmen tertutup, proses seleksi berlangsung lebih pendek sehingga dapat mempersingkat waktu tunggu kerja. Hal
13
ini mungkin terjadi karena metode non-verifikasi masih banyak terjadi pada pola rekrutmen pegawai di Indonesia sehingga hal ini memberi keuntungan bagi pencari kerja yang memiliki keluarga atau kenalan yang telah bekerja sebelumnya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi lama mencari kerja adalah jenis pekerjaan yang dicari. Terlihat bahwa terdapat perbedaan lama mencari kerja dari jenis pekerjaan purna waktu dan paruh waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis pekerjaan memiliki pengaruh negatif dengan koefisien regresi jenis pekerjaan sebesar 0.1625 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja paruh waktu 16.25 % lebih singkat dibanding dengan pencari kerja purna waktu dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Dari sisi permintaan tenaga kerja, hal ini dapat terjadi karena umumnya kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pekerja paruh waktu lebih rendah dibandingkan pekerja purna waktu sehingga proses seleksi tenaga kerja pun lebih singkat. Dengan metode logit, dapat disusun fungsi persamaan regresinya, yaitu sebagai berikut:
Ln ଵି = 6.0959 - 0.0467 Genderi - 0.3065 Agei + 0.2889 Areai + 0.2116 Trainingi + 0.2688 Educ_SMKi + 0.9721 Educ_Diplomai + 1.4894 Educ_Sarjanai 0.3192 Method1i + 0.2583 Method3i + 0.6530 Method4i
+
0.0140 Jobi + νi
Pada output metode logit, hasil koefisien yang dihasilkan tidak dapat langsung diinterpretasikan. Koefisien regresi hanya dapat menunjukan arah pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Koefisen negatif menunjukan bahwa variabel independen berhubungan negatif dengan variabel dependen dan sebaliknya. Pada penelitian ini terdapat dua kategori pilihan variabel dependen yaitu mendapatkan pekerjaan dengan lama mencari kerja 0-12 bulan dan lama mencari kerja lebih dari setahun. Untuk menginterpretasikan nilai koefisien, koefisien hasil estimasi logit harus ditransformasi ke dalam antilogaritma natural sehingga mendapatkan odds ratio. Odds ratio merupakan rasio anatara dua peluang yaitu peluang sukses atau gagal. Pada
14
penelitian ini, peluang sukses diartikan sebagai beluang mendapatkan pekerjaan dengan waktu tunggu kerja 0-12 bulan sementara peluang gagal adalah waktu tunggu kerja lebih dari setahun. Secara umum, hasil regeresi dengan metode logit memiliki hasil yang sama dengan regresi OLS. Terlihat bahwa terdapat perbedaan lama mencari kerja antara pencari kerja lakilaki dan pencari kerja perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin memiliki pengaruh negatif berarti terdapat kecenderungan bahwa pencari kerja perempuan untuk mengakhiri masa mencari kerja kurang dari setahun semakin menurun. Dalam konteks ini, odds rationya yakni peluang mendapatkan pekerjaan kurang dari setahun dibanding peluang mencari pekerjaan lebih dari setahun adalah 0.95 dengan marginal effect sebesar -0.0092. Artinya, kemungkinan pencari kerja perempuan untuk mendapatkan pekerjaan dalam 0-12 bulan semakin menurun sebanyak 0.92 % dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Dengan kata lain pencari kerja laki-laki memiliki kemungkinan mendapatkan pekerjaan lebih dahulu. Interpretasi variabel umur juga yang mendukung hasil regresi OLS bahwa umur yang semakin tua akan semakin sulit untuk mencari kerja. Hasil regresi logit menunjukkan bahwa variabel umur memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap probalitas lama mencari kerja selama setahun. Odds ratio umur adalah 0.7360 dengan marginal effect sebesar -0.6038 menyatakan bahwa setiap pertambahan umur sebesar satu tahun akan menyebabkan kecenderungan pencari kerja untuk mendapat pekerjaan kurang dari setahun semakin menurun sebesar 6.04 % dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Variabel tempat tinggal juga berpengaruh secara signifikan terhadap probalitas mendapatkan pekerjaan dalam periode 0-12 bulan. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel tempat tinggal memiliki pengaruh positif dengan odds ratio sebesar 1.3350 menyatakan pencari kerja yang bertempat tinggal di daerah perkotaan memiliki probabilitas mencari pekerjaan dalam periode setahun 1.34 kali dibandingkan peluang mencari pekerjaan lebih dari setahun. Marginal effect 0.0569 menunjukan bahwa
15
kencederungan pencari kerja di daerah perkotaan mencari kerja hanya dalam periode 0-12 bulan lebih besar 5.69 % dibandingkan dengan pencari kerja yang berdomisili di daerah pedesaan dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Dengan kata lain, daerah perkotaan dengan kesempatan lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi tenaga kerja terdidik dapat mempersingkat waktu tunggu kerja. Kemudian, pada variabel pelatihan teknis, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh positif dengan odds ratio sebesar 1.2357 dan marginal effect 0.0417 menyatakan bahwa pencari kerja yang pernah mengikuti pelatihan teknis memiliki kecenderungan mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun semakin naik 4.17 % lebih dibanding dengan pencari kerja yang tidak pernah mengikuti pelatihan dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Akan tetapi, variabel ini tidak signifikan. Variabel lain yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja adalah pendidikan. Seperti halnya pada regresi berganda, variabel tingkat pendidikan SMA dijadikan sebagai base variabel pada model logit. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel pendidikan memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada masing-masing tingkat pendidikan terhadap lama mencari kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pendidikan SMK berpengaruh positif dengan odds ratio sebesar 1.3084 dan marginal effect 0.0529. Hasil menunjukan bahwa kecenderungan pencari kerja tamatan SMK untuk mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun lebih besar 5.29 % dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel pendidikan diploma berpengaruh positif dengan odds ratio sebesar 2.6435. Marginal effect 0.1915 menyatakan bahwa probabilitas pencari kerja tamatan diploma untuk mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun setelah kelulusan lebih besar 19.15 % dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hal serupa juga terlihat pada
16
koefisien regresi pada lulusan sarjana. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel pendidikan sarjana berpengaruh positif dan terdapat kecenderungan yang kuat bahwa pencari kerja tamatan sarjana untuk mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun setelah kelulusan lebih besar 29.34 % dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hasil ini mendukung hasil pada model OLS yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka lama mencari kerja akan semakin singkat. Variabel lain yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja adalah metode mencari kerja. Pada regresi logit, variabel metode formal dijadikan sebagai base variabel. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel dengan responden yang melakukan metode formal dan informal memiliki pengaruh signifikan terhadap lama mencari kerja. Tabel 4.9 menunjukkan bahwa melakukan kedua metode berpengaruh negatif dengan odds ratio sebesar 0.7267 dan marginal effect -0.0628 .Hal ini menyatakan bahwa probabilitas mengakhiri masa mencari kerja lebih singkat bagi pencari kerja yang melakukan kedua metode semakin menurun 6.29 % dibandingkan dengan pencari kerja yang hanya melakukan metode formal saja dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Sedangkan pada hasil regresi menunjukkan bahwa variabel dengan responden yang melakukan metode informal saja memiliki pengaruh positf dan signifikan terhadap probabilitas durasi lama mencari kerja yang lebih pendek. Dari hasil regresi diketahui bahwa kecenderungan pencari kerja yang melakukan metode informal saja untuk mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun lebih besar 5.09 % dibandingkan dengan pencari kerja yang hanya melakukan metode formal saja dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi lama mencari kerja adalah jenis pekerjaan yang dicari. Terlihat bahwa terdapat perbedaan lama mencari kerja dari jenis pekerjaan purna waktu dan paruh waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis pekerjaan memiliki pengaruh positif dengan odds ratio 1.0141 dan marginal effect
17
0.0028. Berarti, kecenderungan untuk mendapat pekerjaan lebih cepat bagi pencari kerja paruh waktu lebih besar 0.28 % dibanding dengan pencari kerja purna waktu dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai upaya untuk membantu mengatasi masalah ketenagakerjaan khususnya bagi pencari kerja terdidik yang belum memiliki pengalaman kerja, antara lain sebagai berikut: 1. Para pencari kerja diharapkan lebih aktif dalam mencari informasi lowongan pekerjaan terutama di waktu awal kelululusan karena kesempatan untuk memperoleh pekerjaan akan lebih besar. Selain itu, pencari kerja diharapkan mengisi jeda waktu selama periode mencari kerja dengan hal-hal yang produktif seperti mengikuti pelatihan tertentu, magang dan tetap mengasah pengetahuan. Hal ini menjadi penting sebagai signal tenaga kerja yang memiliki potensi produktifitas tinggi bagi penyedia lapangan kerja. 2. Pemerintah harus memberikan akses untuk memudahkan para pencari kerja yang bertempat tinggal di pedesaan untuk memperoleh pekerjaan dengan lebih mudah. Pencipataan fasilitas, infrastruktur dan lapangan pekerjaan di daerah pedesaan harus menjadi prioritas investasi pemerintah. 3. Penelitian ini membuktikan bahwa peningkatan lama sekolah dan peningkatan keahlian khusus dapat mempersingkat lama mencari kerja sehingga pemerintah pantas mencanangkan wajib belajar 12 tahun atau lebih dengan menyertakan kurikulum yang dapat menunjang kompetensi lulusan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. 4. Metode
informal
yang
lebih
efektif
mempersingkat
lama
mencari
kerja
memperlihatkan peran pemerintah dan peran pasar kerja belum teroptimalisasi secara efektif. Penyelenggaraan penjaringan tenaga kerja dengan metode terverifikasi perlu diperbanyak sehingga kesempatan terbuka luas tidak hanya bagi tenaga kerja yang memiliki keluarga atau kenalan yang telah bekerja sebelumnya. 5. Rata- rata mencari kerja 13.87 bulan dan 38.91% responden yang memiliki waktu tunggu kerja lebih dari setahun menunjukan penyerapan tenaga kerja terdidik yang
18
tidak berpengalaman belum cukup optimal. Perlu dipertimbangkan alternatif lain selain mencari pekerjaan, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan dengan memulai usaha. 6. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menambahkan variabel kontrol lain yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja di Indonesia antara lain karakteristik ras atau etnik pencari kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, A. 1990. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Demografi. Fakultas Ekonomi dan Pusat Antar Universitas Bidang Ekonomi, Universitas Indonesia. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Atmanti, H. D. 2005. Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan. Jurnal Dinamika Pembangunan, vol. 2 no.1, 7 (2005): 30 – 39. Bloom, C dan Sevilla. 2003. The Demographic Devidend, A New Perspective on The Economic Consequences of Population Change. California: RAND. Badan Pusat Statistik. 2012. Kuisioner Survey Angkatan Kerja Nasional 2012. Badan Pusat Statistik. 2013. Istilah Statistik. Melalui www.bps.go.id [10/13] Becker, G. S. 1962. Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis. The Journal of Politcal Economy, Vol 70, Issue 5, 1992: 9-49. Depnaker. 2013. Lowongan Pekerjaan. Melalui www.depnaker.net [12/ 13]. Disnaker. 2014.
Informasi Pembuatan Kartu Kuning. Melalui http://disnaker-
kabindramayu.blogspot.com/p/tki-indramayu.html [4/ 14]. Effendi, T. N. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Ehrenberg, R. G dan Smith, R. S, 2003. Modern Labor Economics: Theory and Public Policy, Eight Edition. New York City: Pearson Education, Inc.
19
Elfindri dan Nasri, B. 2004. Ekonomi Ketenagakerjaan. Padang: Andalas University Press. Essletbichler, J. 2004. The Geography of Job Creation and Destruction in the U.S. Manufacturing Sector, 1967-1997. Annals of the Association of American Geographers, Vol. 94, No. 3 (Sep., 2004), pp. 602-619. US : Taylor & Francis, Ltd. Frijters, P., Shields, M. A and Price, S. W. 2005. Job Search Methods and Their Success: A Comparison of Immigrants and Natives in the UK. The Economic Journal, Vol. 115, No. 507, Features (Nov., 2005), pp. F359-F376, Royal Economic Society. UK: Wiley. Gujarati, D. N. 2009. Basic Econometrics 5th Edition. USA: Mc Graw-Hill. Hanson, S and Pratt, G. 1991. Job Search and the Occupational Segregation of Women. Annals of the Association of American Geographers, Vol. 81, No. 2 (June, 1991), pp. 229-253. USA: Taylor & Francis, Ltd. Jobsdb. 2013. Lowongan Kerja Untuk Fresh Graduate. Melalui www.jobsdb.com [12/ 13] Jobstreet. 2013. Lowongan Kerja Untuk Fresh Graduate. Melalui www.jobstreet.com. [12/ 13] Kasper, H. 1967. The Asking Price of Labor and the Duration of Unemployment, Review of Economics and Statistics, 49 (2), p. 165–172. Kemenakertrans. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Ketenagakerkaan dan Ketransmigrasian. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Kuhn, P dan Mikal, S. 2004. Internet Job Search and Unemployment Durations. The American Economic Review, Vol. 94, No. 1 (Mar., 2004), pp. 218-232. USA: American Economic Association Moeis, J. P. 1992. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik di Indonesia: Penerapan Search Theory. Dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. 40 No. 2. Polachek, S. 2007. Earning Over the Lifecycle: The Mincer Earning Function and Its Application. IZA Discussion Papper no. 3181.
20
Pusdatinaker. 2013. Kondisi Ketenaga Kerjaan Umum di Indonesia. Melalui http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id [12/13] Putranto, R dan Mashuri, M. 2012. Analisis Statistik Tentang Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Waktu Tunggu Kerja Fresh Graduate di Jurusan Statistika Institut Sepuluh Nopember Dengan Metode Logistik Ordinal. Jurnal Sains dan Seni ITS, Vol. 1, No. 1, Sept 2012. ISSN 2301-928X. Rahmawati, F dan Hadwiyono,V. 2004. Analisis Waktu Tunggu Tenaga Kerja Terdidik di Kecamatan
Jebres Kota Surakarta Tahun 2003. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Manajemen, dan Akuntansi. Perspektif :Vol 9, no.1, hal 82 – 94. Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret. Rogerson, R., Shimer, R and Wright, R. 2005. Search-Theoretic Models of the Labor Market: A Survey. Journal of Economic Literature
Vol. XLIII (December 2005), pp. 959–988. Shively, G., Woodward, R and Stanley, D. 1999. Strategy and Etiquette for Graduate Students Entering the Academic Job Market. Review of Agricultural Economics, Vol. 21, No. 2 (Autumn - Winter, 1999), pp. 513- 526, Agricultural & Applied Economics Association. Oxford: Oxford University Press. Simanjuntak, P. J. 2001. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Subri, M. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suits, D. 1957. Use of Dummy Variables in Regression Equations. Journal of the American Statistical Association, Vol. 52, No. 280 (Dec., 1957), pp. 548- 551. Sukirno, S. 1994. Pengantar Teori Ekonomi Makro. Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Sukirno, S. 2003. Makro Ekonomi, Teori Pengantar, Edisi Ketiga. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sutomo, Susilo, A.M dan Susanti, L. 1999. Analisis Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik di Kotamadya Surakarta Tahun 1996. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Manajemen, dan Akuntansi. Perspektif : No.2 th 1999. Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret.
21
Sutomo, Hadiwiyono, V dan Prihartini, B. S. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lama Mencari Kerja Terdidik di Kabupaten Klaten Tahun 1996. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Manajemen, dan Akuntansi. Perspektif : No.4 th 1999. Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret. Todaro, M. P. 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Terjemahan Haris Munandar. Jakarta: Erlangga. Tempo.
2013.
Angka
Pengangguran
di
Indoensia
Menurun.
Melalui
http://www.tempo.co/read/news/2013/04/04/090471201/Angka- Pengangguran di-Indonesia-Turun [11/13] Tri, E. 2013. Materi Pasar Tenaga Kerja. Melalui www.smanepus.sch.id [11/ 13] Undang-Undang RI Tentang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. 2003. Melalui http://portal.jogjaprov.go.id/attachments/article/106/UU132003%20perlindunga n%20naker.pdf [01/ 2014]. Woodhall, M and Psacharpoulos. 1997. Education for Development: An Analysis of Investment Choice. New York: Oxford University Press. Woolridge, J. 2012. Introductory Econometrics: A Modern Approach. USA: CencageLearning, South Western. World Bank. 2010. Indonesia Jobs Report Towards Better Jobs and Security for All. Jakarta: World Bank Report. Zukerman, D. 1983. Job Search : The Continous Case. Journal of Applied Probability. Israel : Hebrew University of Jerusalem.
22