ANALISIS FAKTOR RESIKO PENCEMARAN BAHAN TOKSIK BORAKS PADA BAKSO DI KELURAHAN CIPUTAT TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: MISYKA NADZIRATUL HAQ NIM: 1110101000020
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Juni 2014 MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020 Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 (XIII + 101 halaman, 13 tabel, 6 lampiran) ABSTRAK
Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan berbahaya yang dilarang penggunaannya dalam makanan. Penggunaannya pada makanan dapat merusak otak serta dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan hingga kematian. Namun penggunaannya masih ditemukan di beberapa makanan salah satunya pada bakso. Kegunaannya adalah untuk memperbaiki tekstur serta dapat mengawetkan bakso. Jika ditemukan adanya kandungan boraks pada suatu makanan, maka dapat dikatakan makanan tersebut telah tercemar dengan boraks. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor resiko yang dapat menyebabkan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Desain studi pada penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan kuesioner serta pemeriksaan laboratorium secara kualitatif. Populasi adalah semua pedagang bakso yang menetap di Kelurahan Ciputat. Metode penarikan sampel adalah sampel jenuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 14 responden (41,2%) yang tingkat pengetahuannya rendah selain itu terdapat 7 responden (20,6%) yang memiliki sikap positif terhadap penggunaan bahan toksik boraks, dan terdapat 7 responden (20,6%) yang melakukan praktik pembuatan bakso yang tidak baik. Dari hasil uji laboratorium dengan menggunakan food security kit didapatkan 10 bakso (29,4%) yang positif tercemar bahan toksik boraks. Dari hasil analisis dengan menggunakan Chi-square ditemukan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dengan p value 0,467. Ada hubungan antara sikap pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value = 0,014). Ada hubungan antara praktik pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value 0,009) Untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi pada makanan ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terhadap bahan tambahan pangan yang dijual di pasaran dan masyarakat dapat lebih teliti dalam membeli bahan pangan agar terhindar dari dampak negatif yang akan dihasilkan. ii
Kata Kunci: Faktor resiko, Pengetahuan, Sikap, Praktek, Boraks Daftar Bacaan: 1954 – 2014 FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCINCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate thesis, June 2014 MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020 Risk Factor Analysis of Borax Toxic Compound in Meatballs in Ciputat Village 2014 (XIII + 101 pages, 13 tables, 6 attachments) ABSTRACT Borax is one of harmfulfood additives that is forbidden to be used. Its use in food can damage brain and digestive system and may even lead to death. However, we still found borax compound in food, such as in meatballs. It is usedto add a firm rubbery texture to meatballs, or as a preservative. The aim of this research was to analyze risk factor of borax contamination in meatballs in Ciputat Village. This research used cross sectional study with quetionnaire and qualitative laboratory test. Population was all of the meatballs producers who located. Samples were taken by saturated sampling. The results showed that there are 14 respondents (41,2%) who have poor knowledge, 7 respondents (20,6%) who have positive attitude toward borax uses, and 7 respondents (20,6%) who have bad practice toward borax uses. Laboratory examination by food security kit showed that there are 10 samples (29,4%) positively contaminated by borax. The results of Chi-square analysis indicates that there is no signifficant relation between knowledge levels and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,467). There is relation between posistve attitude and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,014). There is relation between meatball producer practice and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,009). To overcome the food contamination, government is expected to improve supervision of food additives product which is sold in market. People could be more selective whenever they want to buy food product so that they would be spared from its negative effect.
Key word: Risk Factor, Knowledge, Attitude, Practice, Borax Reference: 1954 - 2014
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
: Misyka Nadziratul Haq
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Oktober 1992 Warganegara
: Indonesia
Agama
: Islam
Alamat
: Komplek Pelni Blok H2 No. 13 RT 04/019 Cimanggis – Depok 16418
Telepon
: 0812 - 87693848
Email
:
[email protected]
Pendidikan Formal: 1. SDI PB Soedirman
(1998 – 2004)
2. SMPIT Nurul Fikri
(2004 – 2007)
3. SMAIT Nurul Fikri
(2007 – 2010)
4. Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
(2010 - 2014)
KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat-Nya serta dorongan yang kuat, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014”. Shalawat serta salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan ilmu pengetahuan. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis. Baik itu bantuan moril, amteri, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Ibu Febrianti, SP, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat 3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan mendukung penulis di tengah kesibukannya untuk menyelesaikan skripsi ini
vii
4. Seluruh pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang telah bekerja sama dengan baik untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. 5. Keluarga yang paling penulis sayangi (Mama, Sarah, Afi, Caca) atas dukungan dan kasih sayang yang tidak ada habisnya kepada penulis. 6. Teman - teman penulis, Jeni, Hani, Huna, Nurin, Indun, Amel, Upid, Indun, Cesi, Mardi, Ilham, Agung, Supri, Rizka, Tuti, Bayu, Sofda, jama’ah Kesling 2010 & 2011 serta kesmas 2010 atas semangat dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Rekan - rekan yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini. Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan-, oleh karna itu penulis mengharapkan saran, kritik dan bimbingan yang bisa membangun sehingga dapat mempebaiki skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Ciputat, 5 Juni 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................................... i ABSTRAK ............................................................................................................................................. ii ABSTRACT .......................................................................................................................................... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................................................ vi KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... vii DAFTAR ISI......................................................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2
Perumusan Masalah .................................................................................................... 4
1.3
Pertanyaan Penelitian.................................................................................................. 6
1.4
Tujuan ......................................................................................................................... 6 1.4.1
Tujuan Umum ............................................................................................................. 6
1.4.2
Tujuan Khusus ............................................................................................................ 7
1.5
1.6
Manfaat ....................................................................................................................... 7 1.5.1
Manfaat Bagi Pemerintah............................................................................................ 7
1.5.2
Manfaat Bagi Masyarakat ........................................................................................... 8
1.5.3
Manfaat Bagi Peneliti.................................................................................................. 8 Ruang Lingkup ........................................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................... 9
ix
2.1
Pangan ........................................................................................................................ 9
2.2
Keamanan Pangan .................................................................................................... 10
2.3
Foodborne Disease ................................................................................................... 12
2.4
Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan ............................................................... 12
2.5
Bahan Tambahan Pangan ......................................................................................... 14 2.5.1
Definisi Bahan Tambahan Pangan ............................................................................ 14
2.5.2
Fungsi Bahan Tambahan Pangan .............................................................................. 15
2.5.3
Jenis Bahan Tambahan Pangan ................................................................................. 16
2.5.4
Golongan Bahan Tambahan Pangan ......................................................................... 17
2.5.5
Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan ...................................................... 18
2.6
Zat Pengawet ............................................................................................................ 19
2.7
Boraks ....................................................................................................................... 22 2.7.1
Kegunaan Boraks ...................................................................................................... 25
2.7.2
Pengawet Boraks pada Makanan .............................................................................. 25
2.7.3
Dampak Boraks Terhadap Kesehatan ....................................................................... 26
2.8
Bakso ........................................................................................................................ 28 2.8.1
Komposisi Bakso ...................................................................................................... 31
2.8.2
Zat kimia yang ditambahkan pada bakso .................................................................. 31
2.8.3
Pembuatan Bakso ...................................................................................................... 32
2.9
Boraks pada Bakso ................................................................................................... 34
2.10
Perilaku ..................................................................................................................... 34
2.10.1 Pengetahuan .............................................................................................................. 35
x
2.10.2 Sikap ......................................................................................................................... 39 2.10.3 Tindakan ................................................................................................................... 41 2.11
Pedagang ................................................................................................................... 41
2.11.1 Definisi Pedagang ..................................................................................................... 42 2.12
Kerangka Teori ......................................................................................................... 43
BAB III KERANGKA KONSEP ....................................................................................................... 45 3.1
Kerangka Konsep...................................................................................................... 45
3.2
Hipotesis ................................................................................................................... 46
3.3
Definisi Operasional ................................................................................................. 47
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................................................... 50 4.1
Desain Studi .............................................................................................................. 50
4.2
Lokasi Penelitian ...................................................................................................... 50
4.3
Populasi .................................................................................................................... 51
4.4
Sampel ...................................................................................................................... 51
4.5
Jenis Data .................................................................................................................. 51
4.6
Pengumpulan Data .................................................................................................... 52
4.7
Teknik Sampling Boraks pada Bakso ....................................................................... 52
4.8
Pengolahan Data ....................................................................................................... 53
4.9
Analisis ..................................................................................................................... 54
4.10
Uji Validitas dan Reliabilitas .................................................................................... 55
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................................................... 58 5.1
Karakteristik Responden........................................................................................... 58
xi
5.1.1
Jenis Kelamin ............................................................................................................ 58
5.1.2
Usia ........................................................................................................................... 59
5.1.3
Pendidikan................................................................................................................. 59
5.2
Analisis Univariat ..................................................................................................... 60 5.2.1
Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ...................................... 60
5.2.2
Gambaran Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ........................................................................................................... 61
5.2.3
Gambaran Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ....................................................................................................................... 62
5.2.4
Gambaran Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ........................................................................................................... 65
5.3
Analisis Bivariat ....................................................................................................... 65 5.3.1
Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ............................................................................ 66
5.3.2
Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ................................................................................................... 67
5.3.3
Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ........................................................ 68
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................................................... 69 6.1
Keterbatasan Penelitian ............................................................................................ 69
6.2
Analisis Univariat ..................................................................................................... 70 6.2.1
Pengetahuan Pengelola Bakso Mengenai Penggunaan Bahan Toksik Boraks ....................................................................................................................... 70
6.2.2
Sikap Pengelola Bakso Mengenai Boraks................................................................. 74
xii
6.2.3
Praktik Pengelolaan Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ....................................................................................................................... 77
6.2.4 6.3
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ........................................................ 79 Analisis Bivariat ....................................................................................................... 81
6.3.1
Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ............................................................................ 81
6.3.2
Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ................................................................................................... 86
6.3.3
Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ............................................................................ 90
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................... 97 7.1
Kesimpulan ............................................................................................................... 97
7.2
Saran ......................................................................................................................... 98 7.2.1
Saran Bagi Masyarakat ............................................................................................. 98
7.2.2
Saran Bagi Pemerintah .............................................................................................. 98
7.2.3
Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ............................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 100
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks ........................................................................................................ 23 Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso ........................................................................................................ 29 Tabel 3.1 Definisi Operasional ..................................................................................................... 47 Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ............. 58 Tabel 5.2 Distribusi Usia Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ............................ 59 Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 .................. 60 Tabel 5.4 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ............................................................................................................................... 61 Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ................................................................................. 61 Tabel 5.6 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Pada Beberapa Pernyataan ..................................... 62 Tabel 5.7 Distribusi Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ..................................................................................... 64 Tabel 5.8 Distribusi Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ..................................................................................... 65 Tabel 5.9 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ........................................................................................................ 66 Tabel 5.10 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 .................................................................... 67 Tabel 5.11 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ........................ 68
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Pengambilan Data
Lampiran 2
Kuesioner
Lampiran 3
Form Hasil Uji Kualitatif Boraks
Lampiran 4
Output Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 5
Output Analisis Data
Lampiran 6
Dokumentasi
xv
BAB I 1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) dikatakan bahwa salah satu zat aditif yang dilarang digunakan dalam makanan adalah asam borat dan senyawanya (termasuk boraks), dan makanan yang mengandung bahan tersebut dinyatakan sebagai makanan berbahaya. Namun pada kenyataannya boraks masih digunakan sebagai bahan tambahan pangan salah satunya di Kanada. Canadian Food Inspection Agent (CFIA) menemukan bahwa boraks telah dijual sebagai bahan tambahan pangan. CFIA menyatakan bahwa boraks dapat menimbulkan penyakit bawaan makanan. Oleh karena itu, CFIA melarang boraks untuk digunakan pada makanan (CFIA, 2004). Hal ini didukung dengan pernyataan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang memperkirakan bahwa terdapat 128.000 warga Amerika Serikat menjalani perawatan rumah sakit dan 3000 orang meninggal setiap tahunnya dikarenakan penyakit bawaan makanan. Penyakit bawaan makanan merupakan indikasi dari adanya masalah pada keamanan pangan. Salah satu yang menyebabkan suatu makanan dikatakan tidak aman adalah karena adanya kandungan bahan toksik (CDC, 2013).
1
2
Salah satu makanan yang sering ditambahkan boraks adalah bakso. Bakso adalah jenis makanan yang sangat populer dan sangat digemari masyarakat. Bakso dapat ditemui mulai dari restoran hingga pedagang keliling (Deptan, 2009). Keberadaan boraks pada bakso berfungsi untuk memperbaiki tekstur bakso serta dapat meningkatkan daya simpan. Dengan adanya keberadaan boraks pada bakso perlu dikhawatirkan dampak yang akan dihasilkan dari hal tersebut seperti gangguan otak, hati, dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, koma, bahkan kematian. Dari dampak yang dihasilkan, boraks dapat dikatakan sebagai bahan toksik dikarenakan efek racunnya terhadap kesehatan (Windayani, 2010). Dengan demikian makanan yang telah terkontaminasi boraks dapat disebut makanan yang telah tercemar oleh bahan toksik (Nurmaini, 2001). Terdapat dosis dimana tidak akan terjadi dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) adalah sebesar 8,8 mg/kg berat badan per-hari (EPA, 2006). Walaupun demikian, mengingat dampaknya yang bersifat kumulatif dan berbahaya, maka penggunaan boraks tidak sama sekali dianjurkan dan diperbolehkan pada makanan. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam SNI 01-3818-1995 menyatakan bahwa boraks tidak boleh ada sama sekali dalam makanan.
3
Penggunaan boraks juga ditemukan di Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Surveilan Keamanan Pangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI tahun 2009 bahwa penggunaan bahan toksik boraks pada makanan di Indonesia telah mencapai 8,80%. Selain itu, di Tangerang ditemukan sebanyak 25 sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan rata-rata kandungan boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010). Penggunaan boraks pada makanan dapat mengakibatkan pencemaran makanan. Pencemaran makanan perlu dicegah dengan cara mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pencemaran tersebut. Usaha untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi pengolahan makanan dapat mencegah terjadinya pencemaran makanan. Hal ini sesuai dengan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen (IPB, 2005) Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sugiyatmi (2006) yang dilakukan terhadap pedagang makanan tradisional di Semarang, faktor resiko terjadinya pencemaran pada makanan antara lain pendidikan, pengetahuan, sikap, dan praktik pembuat makanan. Didapatkan hasil yang signifikan dari variabel – variabel tersebut jika dihubungkan dengan
4
pencemaran pada makanan. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku merupakan faktor resiko dari terjadinya pencemaran pada makanan jajanan. Pencemaran pada makanan ditemukan pula di Pasar Ciputat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rusli (2009) ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks, dengan adanya kandungan boraks pada mie tersebut dapat dikatakan bahwa telah terjadi pencemaran pada makanan di Pasar Ciputat. Hal ini tidak menutup kemungkinan meluasnya pencemaran pada makanan ke wilayah Kelurahan Ciputat, mengingat Pasar Ciputat ini terletak di Kelurahan Ciputat. Berdasarkan paparan tersebut, timbul ketertarikan dari peneliti untuk melakukan penelitian terhadap faktor resiko yang dalam hal ini adalah pengetahuan, sikap dan praktik pada pengelola bakso terhadap pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat tahun 2014. 1.2
Perumusan Masalah Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Bila mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara kumulatif, disamping melalui saluran pencemaran boraks dapat diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan dan diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati otak dan
5
testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, boraks memiliki dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Namun penggunaannya masih dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya di Tangerang ditemukan sebanyak 25 sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan rata-rata kandungan boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010). Kemudian selain itu ditemukan pula di Kota Tangerang Selatan, lebih tepatnya di Kelurahan Ciputat, ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks (Rusli, 2009). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan toksik boraks pada makanan semakin meluas, padahal sebenarnya sudah terdapat peraturan yang melarang penggunaan boraks pada makanan sebagai bahan tambahan. Tentunya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat masih menggunakan bahan berbahaya tersebut pada makanan yang berakibat pada pencemaran makanan. Penelitian sebelumnya telah dilakukan terhadap mie, namun tidak menutup kemungkinan dapat ditemukannya bahan berbahaya tersebut pada makanan lain. Sehingga peneliti tertarik untuk menganalisis faktor resiko yang berasal dari perilaku atas terjadinya pencemaran bahan toksik boraks yang pada penelitian ini adalah pada bakso yang dijajakan di Kelurahan Ciputat tahun 2014.
6
1.3
Pertanyaan Penelitian 1. Apakah terdapat pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat? 2. Bagaimana tingkat pengetahuan pengelola bakso di Kelurahan Ciputat mengenai bahaya boraks dalam penggunaannya pada bakso terhadap kesehatan? 3. Bagaimana sikap pengelola bakso di Kelurahan Ciputat terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada dalam pengolahan bakso? 4. Bagaimana praktik penggunaan bahan toksik boraks pada pengelola bakso di Kelurahan Ciputat? 5. Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat? 6. Bagaimana hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat? 7. Bagaimana hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?
1.4
Tujuan 1.4.1
Tujuan Umum Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor resiko pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014.
7
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi adanya pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat 2. Mengetahui
tingkat
pengetahuan
pengelola
terhadap
penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 3. Mengetahui sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 4. Mengetahui praktik pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 5. Mengetahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 6. Mengetahui adanya hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 7. Mengetahui adanya hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 1.5
Manfaat 1.5.1
Manfaat Bagi Pemerintah Sebagai masukan bagi BPOM untuk memperbaiki upaya monitoring terhadap BTP yang kemudian dijadikan sebagai acuan
8
melakukan intervensi kepada para pedagang khususnya pedagang bakso yang beredar di pasaran. 1.5.2
Manfaat Bagi Masyarakat Sebagai informasi agar masyarakat lebih berhati-hati dan lebih cermat dalam memilih dan mengonsumsi makanan yang beredar
di
pasaran
serta
meningkatkan
proteksi
terhadap
keberadaan boraks pada makanan yang dikonsumsi. 1.5.3
Manfaat Bagi Peneliti Dengan
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
pengetahuan dan keterampilan peneliti serta dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama di perkuliahan. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor resiko pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat yang dilaksanakan pada bulan April - Mei 2014 dengan sasaran penelitian adalah pedagang bakso di wilayah Kelurahan Ciputat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional atau potong lintang. Dalam pengumpulan data primer pencemaran toksik boraks, peneliti menggunakan alat Food Security Kit dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK untuk menguji kandungan boraks yang ada pada bakso, sedangkan untuk pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks yang dilakukan pengelola bakso didapatkan melalui kuesioner.
BAB II 2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan atau minuman (Saparinto et al, 2006). Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa dan tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara alamiah tidak selalu bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan dapat mengandung senyawa yang merugikan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa yang dapat merugikan kesehatan dan tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan pangan dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama pengolahan maupun penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara alamiah. Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP) atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu lainnya ke dalam proses pengolahan pangan (Hardinsyah et al, 2001).
9
10
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 (Saparinto et al, 2006) : 1. Pangan Segar Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung. 2. Pangan Olahan Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi, pisang goreng dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan olahan siap saji dan tidak siap saji. 3. Pangan Olahan Tertentu Pangan
olahan
tertentu
adalah
pangan
olahan
yang
diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh: ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya. 2.2
Keamanan Pangan Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi penting perannya bagi
11
pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Cahyadi, 2008). Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001). Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan peranannya sampai siap dikonsumsi manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku (Saparinto et al, 2006). Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering mengakibatkan
terjadinya
dampak
berupa
penurunan
kesehatan
konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker
12
akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya (Syah, 2005). 2.3
Foodborne Disease Foodborne disease adalah penyakit bawaan makanan. Makanan dapat membuat orang menjadi sehat atau sakit. Makanan yang sehat membuat tubuh menjadi sehat namun, makanan yang sudah tecemar dapat menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, makanan dan minuman yang dikonsumsi haruslah terjamin baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Penyakit bawaan makanan ini terdiri dari tiga kategori yaitu, penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk parasit yang menginvasi dan bermultiplikasi dalam tubuh, penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkembang biak di saluran pencernaan dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi dengan bahan kimiawi yang beracun atau mengandungi toksin alami atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi (Sockett, 2001).
2.4
Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan Pencemaran pada makanan adalah pencemaran yang disebabkan oleh masuknya suatu bahan baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri (Nurmaini, 2001). Salah satu penyebab pencemaran pada makanan adalah adanya penambahan zat atau bahan toksik dengan tujuan ingin meningkatkan kualitas makanan. Bahan
13
toksik adalah bahan beracun dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan (adverse effect) terhadap organisme hidup (New York Health, 2013). Pencemaran bahan toksik pada makanan dapat terjadi dengan cara sengaja atau tidak sengaja. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang terjadi dengan cara sengaja, terjadi karena bahan pencemar secara sengaja diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Pencemaran boraks yang dilarang pada makanan merupakan contoh pencemaran bahan toksik pada makanan yang terjadi dengan sengaja. Pada kejadian itu pembuat makanan dengan tujuan tertentu sengaja menambahkan boraks pada makanan yang dibuatnya. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang terjadi dengan tidak sengaja, terjadinya pencemaran karena adanya bahan pencemar pada makanan tidak sengaja diberikan oleh pembuat makanan. Sebagai contoh, pencemaran pestisida pada makanan. Dalam hal ini pembuat makanan tidak sengaja memberikan pestisida kepada makanan yang dibuatnya. Pencemaran dapat terjadi mungkin karena air atau alat-alat yang digunakan untuk mengolahnya mengandung pestisida (Sugiyatmi, 2006) Dalam Permenkes RI No. 33 tahun 2012 disebutkan ada 19 bahan yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya dalam makanan. Di antara bahan-bahan tersebut adalah asam borat dan senyawa-senyawanya (Kemenkes RI, 2012).
14
2.5
Bahan Tambahan Pangan 2.5.1
Definisi Bahan Tambahan Pangan BTP adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan memperpanjang daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral dan vitamin (Widyaningsih et al, 2006). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 Tahun 2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa. Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan
15
nasional, termasuk pengunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2008). 2.5.2
Fungsi Bahan Tambahan Pangan Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu (Hughes, 1987): 1. Untuk mengembangkan nilai gizi suatu makanan. Biasanya untuk makanan diet dengan jumlah secukupnya. Di banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris, nutrisi tertentu harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan peraturan mereka. 2. Untuk mengawetkan dan memproduksi makanan. Demi kesehatan kita dan untuk mencegah penggunaan bumbu dengan masa singkat dan fluktuasi harga, sangatlah penting makanan itu dibuat mampu menahan pengaruh racun dalam jangka waktu selama mungkin. 3. Menolong produksi Fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin bahwa makanan diproses seefisien mungkin dan juga dapat menjaga keadaan makanan selama penyimpanan. 4. Untuk memodifikasi pandangan kita. Bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap, mencium, merasa dan bahkan mendengar bunyi makanan yang kita makan (kerenyahan). Ada dua alasan utama mengapa menggunakan bahan tambahan ini, pertama karena ekonomi,
16
misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus dapat dibuat lebih menarik dengan meniru produksi yang lebih berkualitas. Kedua, adalah karena permintaan publik, misalnya dalam
masakan
modern
dimana
bahan
makanan
dasar
dimodifikasi. 2.5.3
Jenis Bahan Tambahan Pangan Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu (Winarno, 1992): 1. Aditif sengaja yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk atau rupa dan lain sebagainya. 2. Aditif tidak sengaja yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan. Bila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya, dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetik mempunyai kelebihan
17
yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadi kanker pada hewan atau manusia. 2.5.4
Golongan Bahan Tambahan Pangan Menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012, bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut: 1. Antibuih (Antifoaming agent); 2. Antikempal (Anticaking agent); 3. Antioksidan (Antioxidant); 4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent); 5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt); 6. Gas untuk kemasan (Packaging gas) 7. Humektan (Humectant); 8. Pelapis (Glazing agent); 9. Pemanis (Sweetener); 10. Pembawa (Carrier); 11. Pembentuk gel (Gelling agent); 12. Pembuih (Foaming agent); 13. Pengatur keasaman (Acidity regulator); 14. Pengawet (Preservative);
18
15. Pengembang (Raising agent); 16. Pengemulsi (Emulsifier); 17. Pengental (Thickener); 18. Pengeras (Firming agent); 19. Penguat rasa (Flavour enhancer); 20. Peningkat volume (Bulking agent); 21. Penstabil (Stabilizer); 22. Peretensi warna (Colour retention agent); 23. Perisa (Flavouring); 24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent); 25. Pewarna (Colour); 26. Propelan (Propellant); dan 27. Sekuestran (Sequestrant). 2.5.5
Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam makanan menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012: 1.
Asam borat dan senyawanya (Boric acid)
2.
Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt)
3.
Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC)
4.
Dulsin (Dulcin)
5.
Formalin (Formaldehyde)
6.
Kalium bromat (Potassium bromate)
19
7.
Kalium klorat (Potassium chlorate)
8.
Kloramfenikol (Chloramphenicol)
9.
Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
10. Nitrofurazon (Nitrofurazone) 11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocaine) 13. Nitrobenzen (Nitrobenzene) 14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole) 16. Biji tonka (Tonka bean) 17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil) 2.6
Zat Pengawet Zat pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga tidak terjadi fermentasi (pembusukan), pengasaman atau penguraian makanan karena aktifitas jasadjasad renik (bakteri) (Fardiaz, 2007). Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik dalam bentuk asam dan garamnya. 1. Pengawet Organik Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat pengawet anorganik karena pengawet organik lebih mudah dibuat dan dapat
20
terdegradasi sehingga mudah diekskresikan. Bahan pengawet organik yang sering digunakan adalah: asam sorbat, asam propianat, dan asam benzoat. 2. Pengawet Anorganik Pengawet anorganik yang masih sering dipakai dalam bahan makanan adalah: nitrit, nitrat dan sulfit (Rohman dan Sumantri, 2007). Banyak cara yang telah dilakukan untuk mengawetkan bahan pangan, misalnya pengalengan makanan, pengawetan (asinan/manisan) dalam botol, pendinginan, pemanasan, pengeringan dan penggaraman. Dalam melakukan pengawetan biasanya digunakan bahan kimia dan dewasa ini penggunaannya semakin bertambah karena merupakan salah satu pilihan yang menguntungkan bagi produsen makanan olahan. Alasan produsen dalam penggunaan bahan pengawet adalah (Fardiaz, 2007): 1. Kebutuhan teknis. Dewasa ini banyak perubahan yang terjadi, misalnya pengawet pada mentega, banyak digunakan asam sitrat dan vitamin E dari pada butil hidroksi anisol (BHA) dan butil hidroksi toluen (BHT). 2. Memperpanjang masa simpan. Hal ini merupakan masalah yang sukar. Produsen dan konsumen sama-sama berkepentingan, artinya konsumen
21
menginginkan produk lebih awet supaya tidak belanja setiap hari dan produsen pun ingin makanan cukup waktu untuk pendisribusian dan penjualannya. 3. Melengkapi teknik pengawetan. Adanya pengawet membuat warna tetap selama masa distribusi. Teknik pengawetan misalnya dengan pemanasan menjadi lebih sempurna. Artinya untuk mengawetkan suatu bahan tidak diperlukan suhu yang terlalu tinggi lagi. 4. Mengganti kehilangan antioksidan dan pengawet alami secara proses. Pengawet juga berfungsi untuk menambah antioksidan yang ada pada bahan makanan secara alami dan oleh karena perlakuan pada prosesnya menjadi hilang atau berkurang. 5. Menanggulangi masalah higienis. Segi higienis dalam pabrik, jauh dari memadai. Bahan pengawet dapat membantu membuat makanan tidak cepat rusak, akibat sanitasi pabrik yang kurang baik. 6. Kebutuhan ekonomi Bahan pengawet yang digunakan adalah sangat sedikit. Tetapi untungnya sangat besar karena makanan menjadi awet dan dapat disimpan dalam waktu lama. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau
22
memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang disebabkan
oleh
mikroba.
Akan
tetapi
tidak
jarang
produsen
menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Syah, 2005). Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2008). 2.7
Boraks Boraks atau dalam nama ilmiahnya dikenal sebagai sodium tetraboratedecahydrate (Na2B4O7·10H2O) merupakan bahan pengawet yang dikenal masyarakat awam untuk mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa.
23
Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks Sifat Kimia
Keterangan
Titik didih
320oC
Titik lebur
75oC
pH
9,5
Kelarutan
6 g/100 ml air Sumber: BPOM, 2002
Dalam pasaran boraks biasa disebut dengan air bleng, garam bleng, pijer atau cetitet. Masyarakat umumnya menggunakan boraks sebagai pengawet pada mie, bakso, lontong, kerupuk uli, makaroni, ketupat. Tampilan fisik boraks adalah berbentuk serbuk kristal putih. Boraks tidak memiliki bau jika dihirup menggunakan indera pencium serta tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari boraks diuji dengan kertas lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman boraks cukup tinggi (Bambang, 2008). Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks adalah senyawa kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekanan
24
normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat (Syah, 2005). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 33 Tahun 2012, asam borat dan senyawanya merupakan salah satu dari jenis bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam produk makanan. Karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen. Meskipun boraks berbahaya bagi kesehatan ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan tambahan makanan, karena selain berfungsi sebagai pengawet, boraks juga dapat memperbaiki tekstur bakso dan kerupuk hingga lebih kenyal dan lebih disukai konsumen (Mujianto, 2003). Karekteristik boraks antara lain (Riandini, 2008): 1. Warna adalah jelas bersih 2. Kilau seperti kaca 3. Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya 4. Sistem hablur adalah monoklin 5. Perpecahan sempurna di satu arah 6. Warna lapisan putih 7. Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite, colemanite, ulexite dan garam asam bor yang lain. 8. Karakteristik yang lain: suatu rasa manis yang bersifat alkali.
25
2.7.1
Kegunaan Boraks Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih/pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah dan Himawan, 2009). Boraks juga dapat digunakan sebagai algaesida, fungisida, herbisida
dan
insektisida.
Boraks
sering
digunakan
untuk
mengendalikan insekta seperti semut atau kecoa (EPA, 2006). 2.7.2
Pengawet Boraks pada Makanan Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso, lontong, mie basah, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti “lempeng” dan “alen-alen”(Yuliarti, 2007).
26
2.7.3
Dampak Boraks Terhadap Kesehatan Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain. Bila mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara kumulatif, disamping melalui saluran pencernaan boraks dapat diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan dan diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati otak dan testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004). Menurut standar internasional WHO, dosis fatal boraks berkisar 3-6 gram perhari untuk anak kecil dan bayi, untuk dewasa sebanyak 15-20g per-hari dapat menyebabkan kematian. Tidak adanya dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) adalah sebesar 8,8 mg/kg berat badan per-hari (EPA, 2006).
27
Menurut PERMENKES No.33 tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, boraks merupakan bahan tambahan yang dilarang karena 50% dari yang terabsorbsi diekresikan lewat urin, sedangkan sisanya dieksresikan 3-7 hari/lebih. Efek negatif dari penggunaan bahan toksik boraks dalam pemanfaatannya yang salah pada kehidupan dapat berdampak sangat buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai halnya zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia. Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi. Penggunaan bahan toksik boraks apabila dikonsumsi secara terusmenerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah serta dosis tertentu, boraks bisa mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati dan kulit karena boraks cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan dan pencernaan, kulit yang luka atau membran mukosa (Saparinto et al, 2006). Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis
28
toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan halhal berikut (Saparinto et al, 2006): 1.
Sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret
2.
Sakit kepala dan gelisah
3.
Penyakit kulit berat
4.
Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan
5.
Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah
6.
Hilangnya cairan dalam tubuh
7.
Degenerasi lemak hati dan ginjal
8.
Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-kejang
9.
Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning
10. Tidak memiliki nafsu makan, diare ringan dan sakit kepala 2.8
Bakso Bakso adalah makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serelia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (BSN, 1995). Biasanya istilah bakso tersebut diikuti dengan nama jenis dagingnya seperti bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi. Berdasarkan bahan bakunya terutama ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan dibedakan atas 3 yaitu: bakso daging yang dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, misalnya daging penutup, pendasar gandik dengan penambahan tepung lebih sedikit daripada berat daging yang digunakan;
29
bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung jaringan ikat atau urat misalnya daging iga. Penambahan tepung pada bakso urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan; sedangkan bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan jumlah tepungnya lebih banyak dibanding dengan jumlah daging yang digunakan. Bakso sebagai salah satu produk industri pangan, memiliki standar mutu yang telah ditetapkan. Adapun standar mutu bakso menurut SNI 013818-1995, dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso No. Kriteria Uji 1.
Satuan
Persyaratan
Keadaan: 1.1 Bau
Normal, khas daging
1.2 Rasa
Gurih
1.3 Warna
Normal
1.4 Tekstur
Kenyal
2.
Air
% b/b
Maks 70,0
3.
Abu (dihitung atas dasar
% b/b
Maks. 3,0
% b/b
Min. 9,0
bahan kering) 4.
Protein (N x 6,25) dihitung atas dasar bahan kering
30
Tabel 2.2 Lanjutan 5.
Lemak
% b/b
Min. 2,0
6.
Boraks
-
Tidak boleh ada sesuai
7.
Bahan tambahan
-
dengan SNI
8.1 Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 2.0
8.2 Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 20.0
8.3 Seng (Zn)
mg/kg
Maks 40.0
8.4 Timah
mg/kg
Maks 40.0
8.5 Raksa (Hg)
mg/kg
Maks. 0,03
9.
Cemaran arsen (As)
mg/kg
Maks. 0,5
10.
Cemaran mikroba: Koloni/g
Maks. 1.0 x 105
10.2 Bakteri bentuk coli
APM/g
Maks. 10
10.3 E.coli
APM/g
Maks. 1.0 x 104
10.4 Enterococci
Koloni/g
Maks. 1 x 103
10.5 C.perfingens
Koloni/g
Maks. 1 x 102
10.6 Salmonella
-
Negatif
10.7 S.aureus
Koloni/g
Maks. 1 x 102
makanan 8.
Cemaran logam
10.1 Angka lempeng total
Sumber: Standar Nasional Indonesia, 1995
31
2.8.1
Komposisi Bakso Dalam pembuatan bakso disamping daging diperlukan bahan-bahan lain seperti: 1. Daging, daging dicuci bersih kemudian digiling sebagai campuran pada saat pengulenan dengan tepung terigu 2. Tepung, yang digunakan umumnya tepung tapioka, gandum, atau tepung aren, dapat digunakan secara sendiri – sendiri maupun campuran, dalam jumlah 10 – 100% atau lebih dari berat daging. 3. Pati, semakin tinggi kandungan patinya semakin rendah mutu serta murah harganya. 4. Garam dapur dan bumbu, digunakan sebagai adonan penyedap untuk mendapatkan rasa yang enak. 5. Es, digunakan untuk mempertahankan suhu rendah untuk menghasilkan emulsi yang baik.
2.8.2
Zat kimia yang ditambahkan pada bakso Pada pembuatan bakso zat kimia yang biasa ditambahkan oleh pedagang seperti: 1. Benzoat, diperbolehkan dan aman dikonsumsi asalkan tidak melebihi kadar yang ditentukan 2. Boraks, biasanya boraks dengan dosis 800-4000 ppm atau 0,5 – 1 % (dari berat adonan) dicampur ke dalam adonan,
32
untuk mendapatkan produk bakso yang kering, kesat atau kenyal teksturnya. 3. Tawas,
digunakan
untuk
mengeringkan
sekaligus
mengeraskan permukaan 4. Titanium dioksida (TiO2), penambahan zat ini dalam adonan bakso umumnya sekitar 0,5-1,0% dari berat adonan, digunakan sebagai bahan pemutih untuk menghindarkan terjadinya bakso berwarna gelap 5. STPP (Sodium Tri-polyphosphate), STPP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan untuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya cengkram air (Pratomo, 2009) 2.8.3
Pembuatan Bakso Pembuatan
bakso
terdiri
dari
persiapan
bahan,
penghancuran daging, pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Berikut penjelasan setiap tahapnya: 1.
Persiapan Persiapan
bahan
meliputi
pemilihan
daging
dan
penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging bisa dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak permukaan dan jaringan ikat atau urat. 2.
Penghancuran daging Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut
33
daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau mencincang sampai lumat. 3.
Pencampuran bahan dan pembuatan adonan. Pembuatan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya sehingga
membentuk
adonan.
Atau
dengan
menghancurkan daging bersama-sama garam dan es batu terlebih dulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan lain dengan alat yang sama atau menggunakan mixer. 4.
Pemasakan bakso Pemasakan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam panci berisi air hangat sekitar 600C sampai 800C, sampai bakso mengeras dan
mengambang
di
permukaan
air.
Pada
tahap
selanjutnya bakso dipindahkan ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai matang, biasanya sekitar 10 menit. Pemasakan bakso dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan produk bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah
akibat
perubahan
(Menristek, 2006)
suhu
yang
terlalu
cepat
34
2.9
Boraks pada Bakso Pemakaian boraks untuk memperbaiki mutu bakso sebagai pengawet telah diteliti pada tahun 1993. Di DKI Jakarta ditemukan 26% bakso mengandung boraks, baik di pasar swalayan, pasar tradisional dan pedagang makanan jajanan. Pada pedagang bakso dorongan ditemukan 7 dari 13 pedagang menggunakan boraks dengan kandungan boraks antara 0,01 – 0,6%. Berikut ini cara pembuatan boraks pada bakso: 1.
Daging yang sudah digiling halus oleh mesin penggiling dimasukkan ke dalam wadah.
2.
Setelah daging tersebut dicampurkan dengan sagu dan bumbu lainnya, pengolah mencampurkan bahan bakso dengan boraks
3.
Setelah
itu
bakso
dibentuk
dan
direbus
kemudian
dikeringkan dan siap untuk dihidangkan (Eka, 2013) 2.10 Perilaku Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Menurut Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku manusia
35
merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004). 2.10.1 Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya, namun bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah akan mutlak berpengetahuan rendah,
36
sebab pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal saja melainkan dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Menurut Notoatmodjo, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih melekat dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang cukup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu: 1.
Tahu (Know) Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Yang termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara
lain
menyebutkan,
menguraikan,
mengidentifikasi serta menyatakan. 2.
Memahami (Comprehention) Memahami
artinya
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan di mana dapat menginterprestasikan secara benar.
37
3.
Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prisip dalam konteks atau situasi yang lain.
4.
Analisis (Analysis) Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5.
Sintesis (Syntesis) Sintesis yaitu menunjukan pada suatu kemampuan untuk melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau dengan kata lain merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
6.
Evaluasi (Evaluation) Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
38
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Nursalam (2003): 1.
Faktor Internal a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah citacita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan
seseorang
makin
mudah
menerima
informasi. Pendidikan seseorang dapat diperoleh secara formal, informal dan non formal. Pendidikan disebut juga dengan pendidikan prasekolah dan berupa rangkaian jenjang yang telah baku. Misalnya SD, SMP, SMA dan PT (Perguruan Tinggi). Pendidikan non formal lebih difokuskan pada pemberian keahlian dan skil yang berguna untuk terjun ke masyarakat. Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan yang berada disamping pendidikan formal dan non formal. Menurut UU RI No.2 Tahun 1989 ada tiga jenjang dari pendidikan yaitu pendidikan dasar jika pendidikan ibu (SD dan SMP), menengah jika (SMA) dan tinggi jika pendidikan ibu PT (Perguruan Tinggi).
39
b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. c. Umur Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok
(1998)
semakin
cukup
umur,
tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. 2. Faktor Eksternal a. Faktor lingkungan Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada di sekitar
manusia
dan
pengaruhnya
yang
dapat
mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. b. Sosial budaya Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi sikap dalam menerima informasi. 2.10.2 Sikap Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari
40
suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku. Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku tetutup. Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005), sikap memiliki pokok, yakni : a. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek b. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu konsep c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, antara lain : a. Menerima b. Merespon c. Menghargai d. Bertanggung jawab Pengkategorian sikap terdiri dari: a. Sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, menghadapkan objek tertentu.
b. Sikap negatif, terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu (Zuriah, 2003).
41
2.10.3 Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan : a. Persepsi, merupakan mekanisme mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. b. Respon terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. c. Mekanisme, yaitu dapat melakukan sesuatu secara otomatis tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain. d. Adopsi, merupakan Suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu telah dimodifikasikan tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007). 2.11 Pedagang Pada penelitian ini, pengelola bakso yang dimaksud adalah pengelola yang membuat sekaligus menjajakan bakso, sehingga pengelola dapat dikategorikan sebagai pedagang.
42
2.11.1 Definisi Pedagang Menurut Damsar (1997) pedagang adalah orang atau institusi yang memperjualbelikan produk atau barang, kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Pedagang dibedakan menurut jalur distribusi yang dilakukan yaitu: a. Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang hak distribusi satu produk dari perusahaan tertentu. b. Pedagang (partai) besar yaitu pedagang yang membeli suatu produk dalam jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual kepada pedagang lain. c. Pedagang eceran, yaitu pedagang yang menjual produk langsung kepada konsumen.
43
2.12 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori Modifikasi sumber: Winarno, 1994; Notoatmodjo, 2003; Nurmaini, 2001; Mulia, 2005; Sarwono, 2004
Menurut Mulia (2005) foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Pencemaran makanan dapat disebabkan oleh sanitasi makanan yang buruk. Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan 3 faktor yakni; faktor fisik, faktor kimia dan faktor biologi. Diantara 3 faktor tersebut, boraks masuk ke kategori kimia. Boraks merupakan suatu jenis senyawa kimia yang bersifat toksik sering digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan (Winarno
44
1994). Adanya bahan toksik dalam makanan mengindikasikan bahwa makanan tersebut telah tercemar. Menurut Nurmaini (2001), penggunaan bahan toksik boraks pada makanan merupakan pencemaran bahan toksik yang terjadi dengan cara sengaja atau terjadi karena bahan pencemar secara sengaja diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan pemaparan tersebut maka terbentuklah kerangka teori seperti demikian.
45
BAB III 3 3.1
KERANGKA KONSEP
Kerangka Konsep
Pengetahuan pengelola terkait bahaya boraks Sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks pada bakso
Cemaran toksik boraks pada bakso
Praktik pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks dalam pengolahan bakso Gambar 3.1 Kerangka Konsep Berdasarkan bagan pada kerangka teori dapat terlihat bahwa foodborne disease disebabkan oleh adanya makanan tercemar dan makanan tersebut dapat tercemar dikarenakan sanitasi yang buruk yang dapat disebabkan oleh faktor fisik, kimia, dan biologi. Pada penelitian ini, faktor yang akan diteliti adalah faktor kimia sesuai dengan tujuan dari penelitian ini adalah ingin menganalisis pencemaran boraks pada makanan, dimana boraks merupakan salah satu jenis senyawa kimia yang biasa ditambahkan pada makanan. Makanan yang dimaksud pada penelitian adalah bakso. Penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di penelitian ini dilihat dari dari keberadaan cemaran boraks pada bakso melalui uji laboratorium.
46
Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003) yang disesuaikan dengan penelitian ini, penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola bakso dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: pengetahuan pengelola terkait bahaya boraks, sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks, serta tindakan yang dalam hal ini berupa praktik pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks dalam pengolahan bakso. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh dari pengetahuan, sikap dan praktik dari pengelola bakso terhadap cemaran boraks yang terdapat pada bakso tersebut.
3.2
Hipotesis 1. Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat 2. Adanya hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat 3. Adanya hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.
47
3.3
Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Skala
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur Ukur
1.
Pengetahuan
Pemahaman dan
pengelola terkait
pengetahuan responden
bahaya boraks
tentang bahaya boraks.
Wawancara
Kuesioner
Tinggi: jika jawaban 1. benar ≥ 8 butir soal Rendah: jika jawaban benar < 8 butir soal. (Wijaya et al, 2013)
Ordinal
48
Tabel 3.1 Definisi Operasional No 2..
Variabel
Definisi
Cara Ukur Wawancara
Alat Ukur Kuesioner
Hasil Ukur
Sikap pengelola
Respon yang
- Sikap positif: jika
terhadap penggunaan
ditunjukkan responden
jawaban benar ≥5
bahan toksik boraks
penggunaan bahan
butir soal (>50%)
pada bakso
toksik boraks pada
- Sikap negatif: jika
bakso
jawaban benar <5
Skala Ukur Ordinal
butir soal (<50%) (Hidayat, 2007) 3.
Praktik penggunaan
Kegiatan yang
bahan toksik boraks
dilakukan pengelola berkaita dengan penggunaan bahan toksik boraks
Wawancara
Kuesioner
0
= Tidak baik
Nominal
49
Tabel 3.1 Definisi Operasional No
4.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
dalam pengolahan
dalam proses
bakso
pengolahan bakso
Pencemaran bahan
Terdeteksinya
toksik boraks pada
kandungan boraks pada
bakso
bakso saat uji kualitatif
warna (tidak terjadi
dengan menggunakan
pencemaran)
alat uji.
Skala Ukur
1= Baik
Pengukuran
Food
Warna kertas uji:
Security Kit
0= Tidak berubah
1 = Merah bata (terjadi pencemaran)
Nominal
BAB IV 4 4.1
METODE PENELITIAN
Desain Studi Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dimana data yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
4.2
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Luas Kelurahan Ciputat adalah 183,34 Ha/km2 dengan jumlah penduduk 18.880 jiwa. Kelurahan Ciputat terdiri dari 15 RW. Berikut batas geografi Kelurahan Ciputat: Utara
: Kelurahan Sawah Lama
Selatan
: Kelurahan Pondok Cabe Ilir
Barat
: Kelurahan Kedaung & Kelurahan Pamulang Timur
Timur
: Kelurahan Cempaka Putih/Kelurahan Cipayung
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, di Kelurahan Ciputat terdapat sebanyak 34 pedagang bakso yang berjualan secara menetap. Seluruh pedagang tersebut merupakan responden pada penelitian ini.
50
51
4.3
Populasi Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya akan diduga. Anggota unit populasi disebut elemen populasi (Sumantri, 2011). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang bakso yang berjualan secara menetap di Kelurahan Ciputat.
4.4
Sampel Sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau di ukur (Sumantri, 2011). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan sampel jenuh. Sampel jenuh merupakan teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel, atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana anggota populasi dijadikan sampel (Sugiono, 2005). Sampel pada penelitian ini berjumlah 34 responden yang merupakan pedagang bakso menetap yang berlokasi di sekitar kelurahan Ciputat. Jumlah tersebut didapatkan berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan melalui turun ke lapangan untuk mencari serta mengumpulkan data seluruh pedagang yang berjualan bakso secara menetap di Kelurahan Ciputat.
4.5
Jenis Data Data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung. Data primer dalam penelitian ini adalah cemaran bahan toksik
52
boraks, pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks yang dilakukan pengelola bakso. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah data pedagang bakso yang berasal dari Kelurahan Ciputat. 4.6
Pengumpulan Data Data primer diperoleh dari hasil pengukuran terhadap variabel yang akan diteliti langsung dan kuesioner yang diisi oleh responden. Pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik boraks yang dilakukan pengelola bakso didapatkan melalui kuesioner sedangkan, pencemaran bahan toksis boraks pada bakso diperoleh dari pengukuran menggunakan Food Security Kit. Pengumpulan data dengan kuesioner dilakukan dengan mengunjungi pengelola bakso satu persatu ke lokasi berjualannya untuk melakukan wawancara. Selain wawancara, peneliti juga membeli bakso yang dijual oleh pengelola tersebut untuk diambil sampelnya serta diuji dengan menggunakan Food Security Kit.
4.7
Teknik Sampling Boraks pada Bakso Pada penelitian ini, sampel diambil dan diuji kandungannya dengan tes kit atau alat uji yang bernama food security kit. Food security kit merupakan alat yang berfungsi untuk menguji kandungan bahan kimia berbahaya yang terdapat dalam makanan.
53
Berikut langkah-langkah penggunaan alat Food Security Kit: 1.
Haluskan bakso sebanyak 10 gram menggunakan mortar
2.
Setelah bakso menjadi halus, masukkan ke dalam gelas kaca atau tabung reaksi
3.
Tambahkan dengan 10 ml air panas, aduk dan biarkan hingga dingin
4.
Tambahkan 10 - 15 tetes reagen cair, kemudian aduk kembali
5.
Celupkan kertas uji ke dalam air campuran sampai terendam sebagian
6.
Keringkan kertas uji di bawah terik matahari atau anginkan. Setelah kering, amati kertas uji yang telah tercelup. Jika tebentuk warna merah bata pada kertas, maka dapat disimpulkan bakso mengandung boraks.
4.8
Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan meliputi: 1.
Data Coding Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Peneliti membuat kode untuk setiap jawaban dari pertanyaan pada kuesioner. Pada penelitian ini coding dilakukan saat seluruh responden telah mengisi kuesioner.
54
2.
Data Editing Penyuntingan data dilakukan sebelum proses pemasukan data. Proses editing ini dilakukan peneliti setelah data terkumpul untuk pengecekan jika ada data yang salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada responden/informan yang bersangkutan.
3.
Data Structure Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah SPSS.
4.
Data Entry Pada proses data entry, peneliti memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program SPSS diantaranya data mengenai pengetahuan,
sikap,
praktik
pada
pengelola
bakso
serta
pencemaran yang terjadi pada bakso tersebut.
5.
Data Cleaning Proses pembersihan data ini dilakukan setelah data telah selesai dimasukkan. Pembersihan data ini dilakukan dengan melihat distribusi frekuensi.
4.9
Analisis Analisis univariat yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pada masing – masing variabel yang telah diteliti.
55
Data disampaikan dalam bentuk distribusi frekuensi menurut masing – masing variabel yang telah diteliti. Variabel dependen pada penelitian ini yaitu cemaran bahan toksik boraks, sedangkan variabel independen pada penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan praktik pengelola bakso. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji Chi-Square, yaitu uji yang dilakukan dimana variabel yang dihubungkan keduanya adalah kategorik. Untuk
melihat
hasil
kemaknaan
dari
perhitungan
statistik
menggunakan batas kemaknaan 0,05 yaitu (Hastono, 2001):
Kriteria hipotesis nol (Ho) ditolak apabila nilai p < 0,05 yang berarti ada signifikansi perbedaan yang bermakna secara statistik
Kriteria hipotesis (Ho) diterima apabila nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada signifikansi perbedaan yang bermakna secara statistik.
4.10 Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 10 orang pengelola bakso dimana sampel yang dipilih adalah sampel yang memiliki karakteristik yang sama dengan sampel dalam penelitian A. Uji Validitas Uji validitas dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan – pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner mengenai
56
substansi pertanyaan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik pengelola bakso. Uji validitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kebenaran alat ukur dengan cara mengukur korelasi antar variabel. Dengan total skor variabel pada analisis reliabilitas dengan melihat nlai correlation corrected item dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel (0,6319) maka dinyatakan valid. Dari 16 pertanyaan untuk variabel pengetahuan terdapat 15 pertanyaan yang valid, sehingga peneliti memutuskan untuk menghilangkan 1 pertanyaan yang tidak valid. Sehingga total pertanyaan untuk variabel pengetahuan adalah sebanyak 15 pertanyaan. Sedangkan untuk variabel sikap dan praktik seluruh pertanyaannya valid. Sehingga total pertanyaan pada kuesioner ini adalah sebanyak 33 pertanyaan. B. Uji Reliabilitas Pertanyaan dinyatakan reliabel jika jawaban responden terhadap pertanyaan adalah konsisten. Reliabilitas menunjukkan bahwa suaru instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya. Hasil uji reliabilitas ini menunjukkan nilai Alpha sebesar 0,741. Kuesioner atau angket dikatakan reliabel jika memiliki nilai
57
Cronbach’s Alpha > 0,05. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen yang telah diuji dikatakan reliabel karena mempunyai nilai Cronbach’s Alpha > 0,05.
58
BAB V 5
5.1
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden Karakteristik responden terdiri dari jenis kelamin, usia dan pendidikan. 5.1.1
Jenis Kelamin Berikut distribusi jenis kelamin pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang dijadikan responden pada penelitian: Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Jenis
Frekuensi
Kelamin
Persentase (%)
Laki - laki
22
64,7
Perempuan
12
35,3
Total
34
100
Pada tabel 5.1 terlihat bahwa responden terbanyak adalah berjenis kelamin laki – laki dengan jumlah sebanyak 22 responden (64,7%).
59
5.1.2
Usia Berikut distribusi usia pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang menjadi responden pada penelitian: Tabel 5.2 Distribusi Usia Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Kategori
Frekuensi
Usia
Persentase (%)
<25
8
23,5
25 - 45
24
70,6
>45
2
5,9
Total
34
100
Pada tabel 5.2 terdapat 3 kategori usia yaitu < 25 tahun (remaja), 25 – 45 tahun (dewasa), dan > 45 tahun (lansia) (Depkes RI, 2009). Terlihat bahwa pengelola bakso mayoritas berada pada usia 25 – 45 tahun yaitu sebanyak 24 responden (70,6%). 5.1.3
Pendidikan Berikut distribusi pendidikan pengelola bakso di Kelurahan Ciputat yang menjadi responden pada penelitian:
60
Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Kategori
Frekuensi
Persentase
Pendidikan
(%)
Rendah
15
44,1
Tinggi
19
55,9
Total
34
100
Pada tabel 5.3 terlihat bahwa 19 responden (55,9%) memiliki pendidikan tinggi, sedangkan sebanyak 15 responden (44,1%) memiliki pendidikan rendah.
5.2
Analisis Univariat Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan untuk melihat gambaran pada masing – masing variabel yang telah diteliti. Analisis ini diantara dilakukan pada pencemaran bahan toksik boraks, pengetahuan, sikap dan prakek pedagang bakso di Kelurahan Ciputat. 5.2.1
Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Berikut hasil identifikasi pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat:
61
Tabel 5.4 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Pencemaran Boraks
Frekuensi
Presentase (%)
Ada
10
29,4
Tidak ada
24
70,6
Total
34
100
Berdasarkan hasil uji statistik yang tertera pada tabel 5.4 bahwa presentasi bakso yang tidak terdapat cemaran boraks sebanyak 24 bakso (70,6%), sedangkan yang terdapat cemaran boraks di dalamnya sebanyak 10 bakso (29,4%). 5.2.2
Gambaran Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Berikut adalah distribusi pengetahuan pengelola bakso terhadap penggunaan bahan toksik boraks di Kelurahan Ciputat: Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Pengetahuan
Frekuensi
Presentase (%)
Tinggi
20
58,8
Rendah
14
41,2
TOTAL
34
100
62
Pada tabel 5.5 terlihat bahwa terdapat 20 responden (58,8 %) yang memiliki pengetahuan kategori tinggi mengenai penggunaan bahan toksik boraks. 5.2.3
Gambaran Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Tabel 5.6 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Pada Beberapa Pernyataan No
Pernyataan Sikap
Setuju
Tidak
Total
Setuju
1
Diperbolehkan menggunakan
n
%
n
%
n
%
4
11,8
30
88,2
34
100
6
17,6
28
82,4
34
100
6
17,6
28
82,4
34
100
3
8,8
31
91,2
34
100
11
32,4
23
67,6
34
100
boraks pada bakso 2
Bakso yang menggunakan boraks terasa lebih enak
3
Bakso yang mengandung boraks boleh dijual di pasaran
4
Boraks harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan
5
Boraks digunakan sebagai pengenyal pada bakso
63
No
Pernyataan Sikap
Setuju
Tidak
Total
Setuju
6
Boraks digunakan sebagai
N
%
n
%
n
%
11
32,4
23
67,6
34
100
2
5,9
32
94,1
34
100
4
11,8
30
88,2
34
100
3
8,8
31
91,2
34
100
5
14,7
29
85,3
34
100
pengawet pada bakso 7
Boraks tidak berbahaya bagi kesehatan
8
Penggunaan boraks tidak perlu dilarang
9
Boraks merupakan bahan yang berguna bagi kesehatan
10
Boraks hanya boleh digunakan dalam pembuatan makanan
Berdasarkan tabel 5.6 terdapat 30 responden (88,2%) yang tidak setuju boraks diperbolehkan digunakan pada bakso, terdapat 28 responden (82,4%) tidak setuju bahwa bakso lebih enak jika ditambahkan boraks, terdapat 28 responden (82,4%) tidak setuju bahwa bakso yang mengandung boraks tidak menimbulkan masalah kesehatan, terdapat 31 responden (91,2%) tidak setuju bahwa boraks harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan, terdapat 23 responden (67,6%) tidak setuju boraks digunakan sebagai pengenyal pada bakso, terdapat 23 responden (67,6%) tidak setuju boraks digunakan sebagai pengawet pada bakso, terdapat 32 responden
64
(94,1%) tidak setuju bahwa boraks tidak berbahaya bagi kesehatan, terdapat 29 responden (85,3%) tidak setuju bahwa penggunaan boraks tidak perlu dilarang, terdapat 31 responden (91,2%) tidak setuju bahwa boraks merupakan bahan yang berguna bagi kesehatan, terdapat 29 responden (85,3%) tidak setuju bahwa boraks hanya boleh digunakan pada pembuatan makanan. Dalam penelitian ini, variabel sikap dikategorikan menjadi sikap negatif dan positif. Berikut adalah distribusi sikap pengelola bakso terhadap penggunaan bahan toksik boraks di Kelurahan Ciputat Tabel 5.7 Distribusi Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Sikap
Frekuensi
Presentase (%)
Sikap negatif
27
79,4
Sikap positif
7
20,6
TOTAL
34
100
Pada tabel 5.7 terlihat bahwa responden yang memiliki sikap negatif terhadap penggunaan bahan toksik boraks sebanyak 27 responden (79,4%), sedangkan yang memiliki sikap positif sebanyak 7 responden (20,6%).
65
5.2.4
Gambaran Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Berikut adalah distribusi praktik pengelola bakso terhadap penggunaan bahan toksik boraks di Kelurahan Ciputat: Tabel 5.8 Distribusi Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Praktik
Frekuensi
Presentase (%)
Tidak baik
7
20,6
Baik
27
79,6
Total
34
100
Pada tabel 5.8 terlihat bahwa terdapat 27 responden (79,6%) responden yang melakukan praktik pembuatan bakso yang baik sedangkan yang melakukan praktik pembuatan bakso yang tidak baik terdapat 7 responden (20,6%). 5.3
Analisis Bivariat Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan dari analisis univariat yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks adalah uji Chi-square.
66
5.3.1
Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dapat terlihat melalui tabel berikut: Tabel 5.9 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Pengetahuan
Tinggi Rendah Total
Cemaran boraks pada Bakso Positif (+) Negatif (-) n % n % 7 35 13 65 3 21,4 11 78,6 10 29,4 24 70,6
pValue Total n 20 14 34
% 100 100 100
0,467
Berdasarkan analisis hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso yang tertera pada tabel 5.9 diperoleh 7 responden (35%) berpengetahuan tinggi yang baksonya positif mengandung boraks. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,467 (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso.
67
5.3.2
Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dapat terlihat melalui tabel berikut: Tabel 5.10 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Sikap
Cemaran boraks pada bakso
pValue Total
Positif (+)
Negatif (-)
n
%
N
%
n
%
Sikap negatif
5
18,5
22
81,5
27
100
Sikap positif
5
71,4
2
28.6
7
100
Total
10
29,4
24
70,6
34
100
0,014
Berdasarkan analisis hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso yang tertera pada tabel 5.10 diperoleh 5 responden (71,4%) yang bersikap positif yang baksonya positif mengandung boraks. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,014 (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso.
68
5.3.3
Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Hubungan antara praktik pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dapat terlihat melalui tabel berikut: Tabel 5.11 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 Praktik
Cemaran boraks pada bakso Total
Tidak
Positif (+)
Negatif (-)
n
%
n
%
n
%
7
100
0
0
7
100
Baik
pValue
0,009
Baik
3
11,1
24
88,9
27
100
Total
10
29,4
24
70,6
34
100
Berdasarkan analisis hubungan antara praktik pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso yang tertera pada tabel 5.11 diperoleh 7 responden (100%) pada kelompok praktik tidak baik yang baksonya positif mengandung boraks. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,009 (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara praktik pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso.
69
BAB VI 6
6.1
PEMBAHASAN
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Penelitian ini hanya mengidentifikasi pencemaran pada bakso namun tidak melihat gejala atau dampak yang diakibatkan dari pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan dampak yang signifikan akan terlihat apabila responden mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks dilakukan dalam jangka waktu yang lama, dikarenakan dampak dari boraks tersebut yang bersifat kronis. Saat mengidentifikasi dampak harus dilakukan penelitian dengan desain studi kohort, sedangkan dalam penelitian ini desain studi yang digunakan adalah cross sectional. 2. Karena luasnya cakupan faktor resiko, maka pada penelitian ini hanya menganalisis faktor resiko yang berkaitan dengan perilaku yaitu pengetahuan,
sikap
penggunaan boraks.
serta
praktik
pengelola
bakso
terhadap
70
6.2
Analisis Univariat 6.2.1
Pengetahuan Pengelola Bakso Mengenai Penggunaan Bahan Toksik Boraks Pada
variabel
pengetahuan,
sikap
dan
praktek
data
dikumpulkan melalui wawancara dengan instrumen kuesioner. Wawancara dilakukan secara langsung dengan pengelola bakso. Pada penelitian ini pengetahuan responden diukur melalui kuesioner yang terdiri dari 15 pertanyaan meliputi pengetahuan mengenai boraks, kegunaannya, dampak yang ditimbulkan, serta peraturan yang berkaitan dengan penggunaan bahan toksik boraks. Dari kuesioner tersebut
didapatkan
20
responden (58,8%)
yang
berpengetahuan tinggi terkait penggunaan bahan toksik boraks. Sedangkan pada kategori pengetahuan rendah terdapat 14 responden (41,2%). Menurut
Notoatmodjo
(2003),
pengetahuan
dapat
dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Jika dilihat dari distribusi pendidikannya,
pendidikan
sebagian
besar
responden
sudah
tergolong baik. Pendidikan secara umum dapat dikaitkan dengan tingkat pengetahuan. Tingkat pendidikan yang rendah diasumsikan memiliki keterkaitan dengan tingkat pengetahuan yang rendah, termasuk pengetahuan mengenai boraks. Hal ini didukung dengan penelitian Handoko (2010) yang menyatakan tingkat pendidikan
71
yang relatif rendah diasumsikan berkaitan dengan rendahnya pengetahuan mengenai cara pembuatan bakso daging sapi yang aman bagi kesehatan. Pada penelitian ini ditemukan sebesar 55,9% responden
memiliki
menyebabkan
pendidikan
pengetahuan
yang
tinggi, dimiliki
sehingga
hal
responden
ini dapat
dinyatakan cukup memadai. Pengetahuan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan seseorang, tetapi sumber informasi, pengalaman, serta kegiatan penyuluhan juga mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Dari hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa responden mendapatkan informasi mengenai boraks bersumber dari berita di televisi saja. Responden yang berpengetahuan tinggi dapat dikatakan sering mendapatkan informasi mengenai boraks melalu media massa. Hal ini didukung oleh penelitian Habsah (2009) yang menyatakan bahwa pedagang yang berpengetahuan baik cenderung sering melihat tayangan di televisi seputar boraks sehingga pengetahuan yang dimilikinya mengenai boraks dapat dikatakan cukup memadai. Boraks yang sudah ramai diperbincangkan di media massa ini seharusnya menjadi sumber pengetahuan untuk masyarakat untuk mengetahui lebih dalam mengenai bahan tambahan pangan yang dilarang ini. Responden yang memiliki pengetahuan rendah memiliki kecenderungan jarang melihat media massa sehingga berdampak
72
pada ketidaktahuannya mengenai boraks sebagai bahan tambahan yang dilarang. Disamping jarangnya responden melihat media massa, kemungkinan lain yang menyebabkan masih adanya responden yang memiliki pengetahuan yang rendah adalah kurangnya konsentrasi dalam menjawab pertanyaan dikarenakan adanya konsumen yang membeli saat dilakukan wawancara, sehingga konsentrasi responden terpecah saat dilakukan wawancara. Saat wawancara berlangsung, tidak sedikit konsumen yang datang, sehingga wawancara sempat tertunda beberapa kali dikarenakan responden harus melayani konsumen terlebih dahulu. Namun dengan datangnya beberapa konsumen dapat dipastikan bahwa wawancara tidak dapat terdengar oleh konsumen yang datang karena wawancara berlangsung di tempat yang jauh dari konsumen sehingga kecil kemungkinannya bahwa konsumen dapat mendengar wawancara tersebut. Selain
kurangnya
konsentrasi
pada
diri
responden,
diperkirakan ada rasa takut pada diri responden ketika diwawancara mengenai boraks, sehingga responden lebih memilih untuk menjawab dengan seadanya. Respon tersebut terlihat saat pertama kali peneliti menanyakan kesediaan responden untuk diwawancarai mengenai boraks. Banyak responden yang sempat menolak secara halus atau meminta orang lain untuk diwawancarai. Selain itu terlihat saat responden ditanyakan mengenai peraturan dilarangnya menggunakan boraks pada makanan, sebagian besar responden
73
terlihat mengetahui hal tersebut. Dalam kasus ini diperkirakan bahwa sebenarnya responden telah mengetahui bahwa boraks merupakan bahan yang dilarang untuk digunakan, namun responden tetap menggunakannya demi mencari keuntungan yang lebih. Hal ini juga didukung oleh teori Singarimbun (1989) yang mengatakan responden tidak ingin diketahui pikiran yang sesungguhnya karena takut untuk mengutarakan pemikirannya, maka responden lebih memilih menjawab “tidak tahu”. Selain pengetahuan umum mengenai boraks, berdasarkan wawancara ternyata responden banyak yang tidak mengetahui bahwa air bleng yang digunakan untuk merendam bakso yang mereka gunakan mengandung boraks. Menurut Bambang (2008), boraks sendiri memiliki nama sebutan lain seperti air bleng, garam bleng, pijer, dan cetitet. Menurut pengetahuan responden, air bleng yang mereka gunakan merupakan bahan yang lumrah digunakan dalam penbuatan makanan, bukan merupakan bahan berbahaya. Menurut beberapa responden penggunaan air bleng diperlukan agar tekstur bakso lebih kenyal dan lebih awet. Dengan menggunakan air bleng bakso yang diproduksinya menjadi lebih disenangi para konsumen. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa tidak ada dampak yang akan
terjadi
ketika
konsumen
mengkonsumsi
bakso
yang
menggunakan air bleng tersebut. Hal ini terlihat pada jawaban responden saat menjawab pertanyaan mengenai dampak dari
74
penggunaan bahan toksik boraks. Masih terdapat beberapa responden yang menganggap tidak akan terjadi apapun ketika mengkonsumsi boraks. Menurut pendapat responden, belum ada pembeli yang mengatakan sakit setelah mengkonsumsi bakso yang menggunakan air bleng saat proses pembuatannya. Pada dasarnya, dampak dari penggunaan bahan toksik boraks tidak akan muncul sesaat setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks. Senyawa boraks akan diserap dalam tubuh secara kumulatif dan akan terlihat
dampaknya
setelah
mengkonsumsi
makanan
yang
mengandung boraks dalam jangka waktu yang lama (BPOM, 2004). Mengingat dampaknya yang tidak langsung terlihat, responden menganggap bahwa dampak dari mengkonsumsi boraks tidak perlu dikhawatirkan. 6.2.2
Sikap Pengelola Bakso Mengenai Boraks Sikap menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu baik terhadap rangsangan positif atau negatif dari suatu objek rangsangan. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa terdapat 27 responden
(79,4%)
yang
memiliki
sikap
negatif
terhadap
penggunaan bahan toksik boraks dan terdapat 7 responden (20,6%) yang memiliki sikap positif. Hal ini menunjukkan bahwa lebih
75
banyak responden yang menunjukkan ketidaksetujuannya atas penggunaan bahan toksik boraks daripada yang setuju terhadap penggunaan bahan toksik boraks atau dengan kata lain responden telah menunjukkan sikap yang kontra terhadap penggunaan bahan toksik boraks. Sikap ini diukur dengan menggunakan kuesioner dengan pernyataan negatif dengan skala setuju dan tidak setuju. Pernyataan pada kategori sikap ini diantaranya adalah persetujuan atas diperbolehkannya penggunaan bahan toksik boraks pada bakso, boraks yang terasa lebih enak dan kenyal, boraks yang dapat menimbulkan masalah pada kesehatan, boraks yang digunakan untuk mengawetkan dan mengenyalkan bakso, serta penggunaan bahan toksik boraks pada makanan. Pada penelitian ini, sikap dikategorikan menjadi 2 yaitu sikap positif dan sikap negatif. Menurut Zuriah (2003), sikap negatif adalah kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu, sedangkan sikap positif adalah kecenderungan untuk mendekati, menyenangi dan menghadapkan objek tertentu. Berkaitan dengan teori tersebut, dalam penelitian ini yang dimaksud sikap negatif adalah kecenderungan untuk menjauhi atau ketidaksetujuan atas penggunaan bahan toksik boraks, sedangkan sikap positif adalah kecenderungan untuk mendekati atau kesetujuan atas penggunaan bahan toksik boraks.
76
Menurut
Gerungan
(2004),
sikap
merupakan
suatu
pandangan tetapi dapat berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Sikap negatif yang dominan dari hasil pengukuran sikap ini merupakan cerminan dari pandangan yang dimiliki oleh para pengelola bakso. Sikap ini sangat tergambar pada poin pernyataan mengenai penggunaan boraks sebagai pengenyal dan pengawet bakso. Terdapat 23 responden (67,6%) menyatakan tidak setuju atas pernyataan tersebut. Selain itu terlihat pada pernyataan sikap mengenai diperbolehkannya menggunakan boraks pada bakso. Dari 34 responden, 30 responden (88,2%) menyatakan tidak setuju atas penggunaan boraks pada bakso. Dari hasil pengukuran sikap ini dapat terlihat bahwa sikap yang tertanam dalam diri responden sudah cukup baik. Melihat hasil penelitian yang telah didapatkan bahwa sebenarnya sikap yang dimiliki oleh pengelola bakso sudah cukup baik. Sikap yang baik ini dapat terbentuk dari adanya pengetahuan pengelola bakso yang cukup memadai mengenai boraks. Sikap yang tertanam pada diri pengelola merupakan cerminan dari hal yang telah diketahui dan diyakininya, sehingga dapat menghasilkan sikap demikian. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, boraks merupakan bahan berbahaya yang dilarang digunakan pada makanan. Sikap yang seharusnya dimiliki seseorang terhadap boraks adalah tidak menggunakan atau menolak penggunaan bahan toksik boraks pada
77
makanan, sehingga dapat diasumsikan dalam penelitian ini sikap negatif adalah sikap yang harus ditanamkan dalam diri masyarakat terhadap penggunaan bahan toksik boraks. Dengan adanya sikap negatif pada diri seseorang akan membuat dirinya menjauhi atau tidak menggunakan boraks yang dampaknya dapat merugikan orang lain. Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003) yang mengatakan sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan
predisposisi
tindakan
suatu
perilaku.
Hal
ini
menunjukkan semakin baik sikap seseorang maka akan semakin baik juga
tindakannya.
Tindakan
yang
diharapkan
adalah
tidak
menambahkan boraks pada makanan agar terhindar dari dampak negatif yang akan dihasilkan dari tindakan tersebut. Menurut PERMENKES RI No. 33 Tahun 2012 boraks merupakan salah satu dari jenis bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam produk makanan. Oleh karena itu, sikap yang dimiliki oleh sebagian besar responden dianggap baik karena telah menghindari atau menjauhi penggunaan bahan toksik boraks pada makanan. 6.2.3
Praktik Pengelolaan Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Tindakan atau praktik adalah respon atau reaksi konkret seseorang terhadap stimulus atau objek. Respon ini sudah dalam bentuk tindakan (action) yang melibatkan aspek psikomotor atau
78
seseorang telah mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapi (Notoatmodjo, 1993). Pengukuran praktik pengelolaan bakso ini dilakukan dengan menggunakan pengukuran perilaku secara tidak langsung. Menurut Notoatmodjo (2003), pengukuran perilaku secara tidak langsung adalah dengan mewawancarai terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan kuesioner, sehingga hasil yang didapatkan dari variabel praktik berasal dari pengakuan responden. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah terdapat 27 responden (79,6%) yang melakukan praktik yang baik, sedangkan terdapat 7 responden (20,6%) melakukan praktik yang tidak baik. Hal ini berarti sebagian besar responden dalam melakukan praktik pengelolaan bakso tidak menggunakan boraks. Praktik yang mereka lakukan merupakan kebiasaan yang mereka lakukan setiap harinya. Praktik dapat terjadi karena adanya sebuah sikap yang didukung oleh adanya faktor lain, yaitu fasilitas atau sarana dan prasarana (Notoatmodjo, 2005). Sikap pada sebagian besar responden pada penelitian ini menunjukkan 7 responden memiliki sikap positif terhadap penggunaan bahan toksik boraks, yaitu sikap kecenderungan untuk mendekati, menyenangi dan menghadapkan objek tertentu. Hal ini sejalan dengan fakta yang ditemukan di lapangan bahwa hanya 7 responden yang melakukan praktik
79
menggunakan boraks pada bakso. Hal ini terjadi dikarenakan adanya fasilitas yang mempermudah pengelola bakso untuk mendapatkan boraks. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 7 responden yang menyatakan bahwa boraks dapat dengan mudah ditemukan di pasar terdekat. Selain itu, harganya yang terjangkau juga merupakan salah satu faktor pendukung responden menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pada pengelolaan baksonya. Harga boraks menurut responden adalah berkisar antara Rp1000 – 5000 per bungkusnya. Murahnya harga boraks dapat semakin menarik para pengelola bakso untuk menggunakan bahan bahaya tersebut dikarenakan harganya yang terjangkau. Karena hanya dengan bermodalkan uang sebesar itu, mereka dapat mengawetkan makanan yang dijualnya serta dapat menarik pembeli. 6.2.4
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Hasil penelitian menemukan adanya 10 sampel bakso (29,4%) yang mengandung boraks dan sebanyak 24 sampel bakso (70,6%) tidak mengandung boraks. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 10 sampel bakso yang tercemar boraks. Boraks merupakan zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks banyak digunakan masyarakat sebagai bahan tambahan pada bakso, mie, lontong kerupuk, makaroni, dan ketupat.
80
Menurut Saparinto (2006), penggunaan bahan toksik boraks pada makanan dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sama halnya dengan zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia. Senyawa boraks dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan dan pencernaan atau absorbsi melalui kulit yang luka atau membran mukosa. Saat sampai di lambung, boraks akan diubah menjadi asam borat, sehingga gejala keracunannya pun sama dengan asam borat. Setelah diabsorbsi, akan terjadi kenaikan konsentrasi dan ion boraks dalam cairan serebrospinal (Hamdani, 2010). Efek yang dapat terjadi antara lain degradasi mental, gangguan pencernaan, serta gangguan reproduksi. Selain itu, menurut Mujiyanto (2003), boraks juga merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen sehingga dapat menyebabkan timbulnya kanker yang dapat berujung pada kematian. Dengan adanya efek – efek tersebut, boraks seharusnya tidak lagi digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan pangan sebenarnya tidak diizinkan. Hal tersebut sudah tertera pada PERMENKES RI No. 33 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa boraks merupakan bahan tambahan pangan yang dilarang untuk digunakan dalam produk makanan. Namun, boraks masih ditemukan di sejumlah wilayah sebagai bahan pengawet. Seperti yang
81
ditemukan oleh Rusli (2009) pada penelitiannya ditemukan kandungan boraks pada 4 dari 5 sampel mie yang ditemukan di Pasar Ciputat. Menurut Sultan (2013), boraks yang diberikan pada makanan terutama pada bakso akan membuat bakso tersebut sangat kenyal dan tahan lama. Dengan begitu, pengelola bakso tidak perlu khawatir baksonya akan kadaluarsa, dikarenakan adanya boraks tersebut yang dapat meningkatkan daya tahan bakso. Menurut Oktavia (2012), bakso yang tidak habis terjual pengelola masih dapat menjualnya kembali untuk 3 hari berikutnya jika ditambahkan boraks pada saat pembuatannya. Hal ini lah yang membuat masih maraknya penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan pangan. 6.3
Analisis Bivariat 6.3.1
Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Pengetahuan merupakan hasil penginderaan yang diperoleh melalui
penglihatan,
pendengaran,
penciuman,
raba,
yang
memberikan informasi tertentu kepada seseorang dan menjadi pengetahuannya. Penginderaan tersebut dapat bersumber dari pengalaman yang ada, baik berupa pengalaman belajar, bekerja serta aktivitas
dan
interaksi
(Notoatmodjo, 2003).
lain
dalam
kehidupan
sehari-hari
82
Berdasarkan hasil uji Chi-Square didapatkan p value = 0,467 (α = 0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Green menyebutkan dalam Notoadmodjo (2003) bahwa pengetahuan
merupakan
salah
satu
faktor
penting
yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Pada penelitian ini ditemukan tidak adanya hubungan antara pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Oktavia (2012) yang menyatakan
adanya
hubungan
antara
pengetahuan
terhadap
penggunaan bahan toksik boraks (p value = 0,032) Jika dilihat dari distribusi pengetahuan pada penelitian ini, terdapat 20 responden (58,8%) berpengetahuan tinggi, dan 14 responden (41,2%) yang memiliki pengetahuan rendah. Hasil tersebut mencerminkan bahwa pengetahuan yang dimiliki mayoritas responden sebenarnya sudah cukup memadai. Cukup memadainya pengetahuan responden tidak menutup kemungkinan ditemukannya pencemaran boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. Dengan ditemukannya cemaran boraks pada bakso mencerminkan terdapat adanya tindakan penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola bakso sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selamanya seseorang dengan pengetahuan yang tinggi dapat melakukan tindakan atau perilaku mengenai sesuatu dengan baik. Hal ini sesuai
83
dengan teori yang dikemukakan menurut Sarwono (1997) bahwa pengetahuan yang positif atau tinggi tidak selamanya akan diikuti dengan praktik yang sesuai. Kemungkinan terjadinya masalah ini dikarenakan adanya faktor-faktor
lain
yang
membuat
pengelola
bakso
tetap
menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pangan meskipun mereka
mengetahui
dampak
yang
akan
terjadi
ketika
menggunakanannya. Faktor tersebut dapat berupa motif ekonomi. Menurut David (1985), kebutuhan individu menyebabkan keinginan dan keinginan ini menimbulkan motivasi yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan. Salah satu kebutuhan dari pengelola bakso ini adalah kebutuhan finansial. Tentunya setiap pedagang atau pengelola bakso ingin mencapai keuntungan yang besar. Berbagai upaya dapat dilakukan oleh pengelola bakso untuk mendapatkan target keuntungan usaha yang optimal. Bentuk upaya tersebut dapat berupa modifikasi cara pembuatan bakso daging sapi agar memiliki nilai sensorik yang digemari konsumen. Menurut Mujiyanto (2003), bakso yang menggunakan boraks ini dipercaya dapat memperbaiki tekstur bakso menjadi lebih kenyal dibandingkan dengan yang tidak menggunakan boraks. Penggunaan bahan toksik boraks pada bakso merupakan salah satu upaya yang dilakukan pengelola untuk mendapatkan keuntungan yang lebih meskipun pengelola mengetahui bahwa boraks merupakan bahan yang
84
berbahaya jika digunakan pada makanan. Atas dasar faktor inilah pengelola bakso menggunakan boraks pada bakso yang dijajakannya. Ketika pengelola bakso mencampurkan boraks ke dalam bakso, maka bakso akan dapat disimpan lebih lama dan tekstur bakso akan menjadi lebih baik. Hal inilah yang dapat menarik konsumen untuk berdatangan. Dengan tingginya pengetahuan responden yang mencapai 58,8%
serta
pencemaran
boraks
yang
mencapai
29,4%
mencerminkan adanya ketidakpedulian dalam diri pengelola bakso terhadap efek yang akan terjadi jika pengelola tetap menggunakan boraks pada baksonya. Hal ini dapat membuktikan bahwa pengetahuan tidak mempengaruhi terjadinya pencemaran boraks. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Lambok (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dari penggunaan bahan toksik boraks antara responden yang berpengetahuan tinggi dan rendah dikarenakan banyak dari mereka yang tidak peduli terhadap efek bahaya yang disebabkan oleh penggunaan bahan toksik boraks dalam bakso. Walaupun ditemukan tidak ada perbedaan antara pengelola yang berpengetahuan rendah dan tinggi terkait penggunaan boraks, pengetahuan merupakan faktor terpenting dari adanya perilaku penggunaan boraks. Jika dibandingkan dengan sikap dan praktek, pengetahuan merupakan faktor yang paling penting karena
85
pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan perilaku. Dengan adanya pengetahuan mengenai boraks
dapat membuat
pengelola mempunyai pandangan yang membantu pengelola dalam memilih keputusan dalam mencampur boraks dengan bakso. Seperti yang telah diungkapkan Notoatmodjo (2003), terdapat 6 tingkatan pengetahuan salah satunya adalah evaluasi. Pada kasus penggunaan boraks, tingkat evaluasi berkaitan dengan kemampuan pengelola untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap penggunaan boraks, seperti perlu atau tidaknya boraks digunakan pada pembuatan baksonya. Adanya pengetahuannya mengenai boraks dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pengelola bakso atas dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Selain itu, pengetahuan juga merupakan salah satu faktor terbentuknya sebuah sikap seseorang. Pengetahuan dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu. Dengan adanya pengetahuan, seseorang dapat menentukan sikap atas rangsangan apa yang dihadapkan pada dirinya. Hal inilah yang membuat pengetahuan dijadikan sebagai faktor yang paling penting karena dengan adanya pengetahuan dapat mempengaruhi pengelola dalam mengambil keputusan untuk berperilaku. Merujuk pada pernyataan Lambok (2012), terlihat adanya ketidakpedulian dalam diri responden terkait efek dari penggunaan boraks pada bakso. Ketidakpedulian dari pengelola bakso terhadap
86
efek yang dihasilkan dari penggunaan bahan toksik boraks tentunya dapat berakibat pada kesehatan masyarakat luas. Masyarakat sebagai konsumen bakso berada pada posisi tidak mengetahui bahwa bakso yang dikonsumsi memiliki kandungan boraks. Jika terus menerus dikonsumsi, maka dapat menimbulkan dampak yang buruk pada masyarakat. Salah satunya dampak yang akan terjadi adalah keracunan makanan. Pada tahun 2011, telah terjadi keracunan makanan pada 35 penduduk di Kota Bengkulu yang mengkonsumsi makanan mengandung boraks. Peristiwa ini dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) oleh Dinas Kesehatan Bengkulu (Dinkes Bengkulu, 2011). Terjadinya KLB ini dapat mengakibatkan menurunnya status kesehatan masyarakat. Terdapat beberapa cara agar terhindar dari mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks, salah satunya adalah dengan mengenali ciri-ciri dari bakso tersebut. Bakso yang mengandung boraks memiliki struktur yang kenyal dan lebih keras, memiliki daya tahan lebih lama, warna cenderung keputihan, baunya menyengat, bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola (BPOM RI, 2013). 6.3.2
Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu
87
baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Pada penelitian ini sikap digolongkan menjadi 2, yaitu sikap negatif atau menolak dan sikap positif atau menyenangi.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Chisquare didapatkan p value = 0,014 (α = 0,05) yang dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yunarni (1999) yang juga menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan keberadaan boraks pada bakso (p value = 0,032). Berdasarkan hasil analisis univariat yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa 27 dari 34 pengelola bakso (79,4%) memiliki sikap yang negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks dalam proses pembuatan makanan terutama bakso. Sikap pengelola bakso yang baik diperoleh dari pengalaman pengelola sendiri maupun orang lain (lingkungan) baik itu keluarga maupun teman dan kerabat pengelola bakso yang memiliki pengalaman mengenai penggunaan bahan toksik boraks pada bakso. Pengalaman tersebut mempengaruhi sikap pengelola bakso terhadap penggunaan bahan
88
toksik boraks. Lin (2011) dalam penelitiannya pada penjaja makanan goreng menyatakan bahwa sikap penjual makanan yang baik diperoleh dari pengalaman penjual makanan maupun orang lain (lingkungan) baik itu keluarga maupun teman dan kerabat penjual makanan
yang
memiliki
pengalaman.
Pengalaman
tersebut
mempengaruhi sikap penjual makanan terhadap perilaku yang dilakukannya. Sikap
merupakan
faktor
perdisposisi
adanya
perilaku
penggunaan bahan toksik boraks. Dapat dikatakan sikap memiliki andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan penggunaan boraks. Jika seseorang memperlihatkan sikap negatif terhadap penggunaan bahan toksik boraks maka orang tersebut tidak akan menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pada makanannya, dengan begitu tidak akan ditemukan kandungan boraks pada bakso dan pada akhirnya tidak akan terjadi pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang menemukan bahwa terdapat 22 responden (81,5%) yang memiliki sikap negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks yang baksonya negatif mengandung boraks. Dari hasil penelitian yang telah didapatkan dapat tergambar bahwa sikap yang dimiliki masyarakat mengenai boraks sudah terbilang cukup baik. Dari pemaparan sebelumnya dapat dinyatakan bahwa sikap memiliki hubungan dengan pencemaran boraks pada
89
makanan. Dengan adanya sikap yang baik dapat mendukung masyarakat untuk tidak menggunakan boraks pada makanan. Angka keracunan pangan yang tadinya sebesar 18.144 kasus (BPOM RI, 2011) dapat diturunkan jika sikap yang dimiliki masyarakat di Indonesia adalah sikap negatif atau menolak penggunaan bahan toksik boraks. Agar sikap negatif ini dapat terwujud, masyarakat harus dipaparkan pengetahuan mengenai dampak dari penggunaan bahan toksik boraks pada kesehatan tubuh. Adanya kandungan boraks pada makanan dapat menyebabkan keracunan pangan. Menurut BPOM RI (2008), keracunan pangan sudah menjadi kejadian luar biasa (KLB) yang menjadi keprihatinan di tingkat nasional maupun global. Adanya KLB keracunan pangan ini tentunya dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat Indonesia. Adanya penggunaan boraks pada makanan ini ikut berperan dalam terjadinya KLB keracunan pangan. Namun, sangat disayangkan belum didapatkan data pasti mengenai besarnya pengaruh penggunaan boraks pada keracunan pangan ini. Salah satu yang dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan kasus keracunan pangan ini adalah dengan memperbaiki sikap yang dimiliki masyarakat melalui penanaman pemahaman mengenai bahaya boraks dengan mengadakan penyuluhan mengenai bahan tambahan pangan.
90
6.3.3
Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso Praktik dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2, yaitu baik dan tidak baik. Variabel praktik ini didapatkan berdasarkan wawancara. Menurut Notoatmodjo (2003), pengukuran praktik atau tindakan dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran perilaku secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran perilaku secara langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden, sedangkan pengukuran secara tidak langsung adalah dengan mewawancarai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan responden dalam beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Situasi yang terjadi saat wawancara ini berlangsung adalah pengelola bakso hanya diwawancara seorang diri tanpa ada pihak lain serta jauh dari kerumunan konsumen yang sedang membeli bakso. Sehingga percakapan yang terjadi antara peneliti dengan pengelola bakso tidak dapat terdengar oleh konsumen atau orang lain. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Chisquare diperoleh nilai p value = 0,009 (α = 0,05). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara praktik pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Dari 10 bakso yang positif mengandung cemaran boraks, hanya 7 responden yang mengaku melakukan praktik penggunaan bahan toksik boraks pada bakso.
91
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, variabel praktik ini diukur
melalui
wawancara,
sehingga
terdapat
kemungkinan
responden tidak mengakui bahwa mereka melakukan penggunaan boraks pada bakso karena kekhawatirannya jika diketahui orang lain maka baksonya tidak akan laku terjual. Selain itu diduga bahwa sebenarnya responden telah mengetahui bahwa boraks adalah bahan yang berbahaya, oleh karena itu responden lebih memilih untuk tidak mengaku menggunakan boraks. Adanya boraks pada bakso merupakan salah satu contoh pencemaran pada makanan. Pencemaran pada makanan adalah pencemaran yang disebabkan oleh masuknya suatu bahan baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri (Nurmaini, 2001). Salah satu penyebab pencemaran pada makanan adalah adanya praktik penambahan zat atau bahan toksik dengan tujuan ingin meningkatkan kualitas makanan.
Bahan
toksik
adalah
bahan
beracun
dan
dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan (adverse effect) terhadap organisme hidup (New York Health, 2013). Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan pedagang untuk menggunakan boraks dapat menimbulkan dampak nyata. Boraks merupakan salah satu contoh bahan toksik yang berbahaya bagi kesehatan. Pencemaran bahan toksik pada makanan dapat terjadi dengan cara sengaja atau tidak sengaja. Praktik penggunaan bahan toksik boraks pada
92
pengolahan bakso merupakan salah satu contoh pencemaran bahan toksik yang terjadi secara sengaja karena boraks ditambahkan secara sengaja ke makanan sebagai bahan tambahan. Adanya pencemaran ini memiliki dampak negatif pada kesehatan tubuh. Senyawa boraks ini dapat diserap di berbagai organ dalam tubuh. Menurut penelitian Forbes (1954) boraks dapat tersimpan di tulang, otot, jantung, paru-paru, usus, ginjal, hati, kulit, sistem syaraf dan darah. Kadar boraks tertinggi pada tubuh akan tercapai saat ekskresi yaitu sebesar 0,25 ppm. Oleh karena itu ginjal merupakan salah satu organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain. Pada dasarnya terdapat jumlah dosis yang tidak akan menimbulkan dampak yang membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) yaitu sebesar 8,8 ppm perhari (EPA, 2006). Namun, dengan terserapnya boraks pada organ – organ tersebut, maka lama kelamaan akan mengakibatkan dampak buruk pada tubuh. Dampak yang dihasilkan dari mengkonsumsi boraks bersifat kronis. Efek kronis dapat disebabkan oleh absorbsi dalam waktu lama sehingga gejalanya tidak akan terasa langsung sesaat setelah mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks. Menurut Saparinto
93
(2006) akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi. Selain itu, terdapat beberapa kasus keracunan fatal yang terjadi pada anak – anak yang disebabkan oleh mengkonsumsi boraks dalam jumlah banyak yaitu 6 anak meninggal dunia karena mengkonsumsi 60 – 160 ml air yang mengandung 3-6 g boraks yang berada pada air yang didestilasi. Konsumsi boraks yang tinggi dan diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati otak dan testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004). Berdasarkan hasil penelitian, dari 7 responden yang mengakui melakukan praktek boraks, didapatkan sebanyak 5 responden menyatakan bahwa sebagian besar praktik penggunaan boraks pada bakso biasanya dilakukan setelah bakso dibentuk. Boraks akan dilarutkan ke dalam air kemudian bakso yang telah dibentuk akan direndam ke dalam air tersebut. Selain direndam, ada juga
responden
yang
menggunakan
boraks
dengan
cara
mencampurnya dengan adonan bakso sebanyak 1 sendok. Bubuk boraks akan dibubuhkan ke adonan dan di aduk hingga merata. Tujuannya adalah agar bakso menjadi lebih kenyal dan tidak cepat berlendir sehingga akan awet jika di simpan dalam waktu yang lama.
94
Sebanyak
7
responden
menyatakan
bahwa
terdapat
perbedaan yang terlihat antara bakso yang dibuat dengan boraks dan yang tidak. Perbedaan yang sering terlihat adalah tidak munculnya lendir pada bakso setelah disimpan dalam beberapa hari, selain itu bakso yang menggunakan boraks biasanya terlihat lebih cerah warnanya dibandingkan dengan yang tidak. Terjadinya praktik atau perilaku penggunaan boraks pada bakso ini tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor pendukungnya. Salah satunya adalah sikap pada diri pelaku. Suatu sikap belum tentu secara otomatis dapat terwujud menjadi suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau situasi yang memungkinkan seperti sarana dan prasarana dan juga dukungan dari pihak lain (Notoatmodjo, 2003). Terbentuknya sikap ini juga didorong dengan adanya faktor lain seperti faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini yang mendorong pengelola untuk menggunakan boraks pada baksonya. Hal ini sesuai dengan pendapat Walgito (2002) yang menuliskan adanya teori dorongan dalam pembentukan perilaku dimana dorongan-dorongan tersebut berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong berperilaku. Bila organisme itu mempunyai kebutuhan dan organisme ingin memenuhi kebutuhannya maka akan terjadi ketegangan dalam diri organisme itu. Hal ini mencerminkan kebutuhan ekonomi yang mendesak pengelola bakso untuk
95
menggunakan boraks. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, boraks dapat membuat bakso memiliki daya tahan yang lebih lama, sehingga pengelola bakso tidak harus membuang bakso yang tersisa dan dapat dijual kembali, dengan begitu pengelola bakso tidak perlu mengeluarkan uang untuk memproduksi baksonya kembali. Selain itu, harga boraks yang relatif murah juga merupakan salah satu faktor pendukung dari perilaku penggunaan bahan toksik boraks. Pada dasarnya, terdapat bahan alami pengganti boraks yang dapat ditambahkan pada makanan dan tidak menimbulkan dampak negatif. Salah satunya adalah karagenan. Karagenan adalah salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai pengganti boraks yang berasal dari rumput laut. Fungsinya yang mengenyalkan inilah yang membuat karagenan bisa digunakan dalam makanan dan tidak menimbulkan efek samping pada mulanya karagenan bukan digunakan untuk pengenyal makanan seperti bakso, tapi untuk saus, susu kental manis, dan es krim. Setelah dicobakan untuk mengenyalkan bakso, ternyata hasilnya cukup memuaskan dengan sangat efektif dan murah. Di samping itu karagenan mempunyai banyak kandungan mineral dan serat karena berasal dari rumput laut sehingga lebih sehat digunakan bagi kesehatan manusia (Soeid & Hardjito 2012, Habsah 2012).
96
Jika dibandingkan antara harga boraks dengan harga karagenan, memang harga boraks lebih murah dibandingkan dengan karagenan. Satu kilogram adonan bakso membutuhkan 0,5 – 1,5 gram karagenan yang dijual dengan harga Rp 750 sampai Rp 1000, sedangkan untuk 0,5 – 1,5 gram boraks dijual dengan harga Rp 500. Walaupun demikian tetap saja pedagang bakso tidak boleh menggunakan boraks karena berbahaya bagi kesehatan.
97
BAB VII 7 7.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap dari 34 pengelola bakso didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Terjadi pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat sebesar 29,4% atau sebanyak 10 pengelola bakso positif menggunakan boraks. 2. Pengetahuan pengelola bakso mengenai penggunaan bahan toksik boraks berada pada kategori tinggi adalah sebesar 58,8% 3. Sikap pengelola bakso mengenai penggunaan bahan toksik boraks berada pada kategori sikap negatif yaitu sebesar 79,4%. 4. Praktik pengelola bakso terhadap penggunaan bahan toksik boraks berada pada kategori baik yaitu sebesar 79,6%. 5. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 6. Terdapat hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. 7. Terdapat hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.
98
7.2
Saran 7.2.1
Saran Bagi Masyarakat a. Dengan ditemukannya cemaran boraks pada bakso, diharapkan masyarakat dapat dengan cermat mengenali mana bakso yang mengandung boraks berdasarkan kondisi fisik bakso. b. Diharapkan
para
pengelola
bakso
dapat
menghindari
penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan pada baksonya, mengingat dampak berbahaya yang dapat dihasilkan dari penggunaan bahan toksik boraks tersebut c. Masyarakat diharapkan dapat mengganti boraks dengan bahan tambahan pangan alami seperti karagenan. 7.2.2
Saran Bagi Pemerintah a. Pemerintah (BPOM RI) perlu meningkatkan pengawasan terhadap penjualan makanan yang diduga mengandung bahan yang berbahaya melalui pemantauan langsung ke pasar atau tempat penjualan bahan makanan. b. Perlu adanya sanksi yang akan diberlakukan bagi seseorang yang dengan sengaja menambahkan boraks pada makanan.
99
c. Perlu adanya penyuluhan dari puskesmas terkait penggunaan bahan toksik boraks pada makanan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya dari bahan tersebut 7.2.3
Saran Bagi Penelitian Selanjutnya a. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melihat besarnya keterpaparan boraks pada individu yang mengkonsumsi boraks tersebut b. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melihat pencemaran boraks pada makanan lain seperti mie, lontong dan kerupuk.
100
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, MS. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam Kehidupan. Bandung: Salamadani. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Laporan Tahunan. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Ciri Bakso Mengandung Boraks. Diakses
dari
http://www.pom.go.id/index.php/subsite/balai/palangkaraya/18/tips/17 pada tanggal 28 Mei 2014 Badan Standardisasi Nasional. 1992. Syarat Mutu Bakso. SNI 01-2987-1992. Jakarta. Bambang. 2008. Dampak Penggunaan Formalin dan Borax.
Diakses
dari
http://smk.putraindonesiamalang.or.id/dampak-penggunaan-formalin-danborax, pada tanggal 10 Desember 2013 Cahyadi, W. 2008. Analisis Dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Ilmu Teknologi Pangan. 2005. Apa itu HACCP?. Bogor: Institut Pertanian Bogor David Keith., 1985. Perilaku dalam Organisasi, Jakarta : Penerbit Erlangga. European Food Safety Authority. 2013. EFSA Journal 11(10):3407, 52. Scientific Opinion on the re-evaluation of boric acid (E 284) and sodium tetraborate (borax) (E 285) as food additives. Diakses pada 25 Juni 2014 dari http://www.efsa.europa.eu/en/efsajournal/pub/3407.htm#
101
Eka, Reysa. 2013. Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya. Jakarta:Titik Media Publisher Endrinaldi. 2006. Identifikasi dan Penetapan Kadar Boraks pada Bakso yang Beredar di Beberapa Pasar di Kota Padang. Lembaga Penelitian. Padang: Universitas Andalas Environmental Protection Agency. 2006. Report of the Food Quality Protection Act (FQPA) Tolerance Reassessment Eligibility Decision (TRED) for Boric Acid/Sodium Borate Salts. Environmental Protection Agency, Prevention, Pesticides and Toxic Substances. United States. Fardiaz, S. 2007. Bahan Tambahan Makanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Forbes RM, Cooper AR, Mitchell HH. 1954. On The Occurrence Of Beryllium,Boron, Cobalt, And Mercury In Human Tissues. The Journal of Biological
Chemistry.
No.
209
(857
–
865)diakses
dari
http://www.jbc.org/content/209/2/857.full.pdf+html?sid=1ecabde8-add04f15-8121-faadfaf7cb05 Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach. Baltimore. The John Hopkins University, Mayfield Publishing Co. Habsah. 2012. Gambaran Pengetahuan Pedagang Mi Basah terhadap Perilaku Penambahan Boraks dan Formalin pada Mi Basah di Kantin-Kantin Universitas X Depok Tahun 2012. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia Hardinsyah et al. 2001. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta: Koswara Handoko et al. 2010. Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 2 No. 4 (128-138). Aspek Lingkungan Sosial dan Potensi Munculnya Perilaku Penambahan Boraks Dalam Proses Produksi Bakso Daging Sapi Di Kota Pekanbaru. Riau: Universitas Riau. Hidayat, A. 2007. Metode Penelititan Kebidanan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika
102
Hughes, Christopher C. 1987. The Additive Guide. Photographics. Honiton, De Great Britain. Lin, Lau Wei. 2011. Karakteristik Pengetahuan Sikap dan Tindakan Penjual Gorengan tentang Penggunaan Minyak Goreng di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara Medan pada Tahun 2011. Skripsi. Sumatera Utara: USU Menristek. 2006. Bakso Daging, Warung Informasi Teknologi. Diakses dari http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/Bakso%20 daging.pdf pada 27 Januari 2013 pukul 20.35. Mujiyanto et al. 2005. Jurnal Penelitian Kesehatan. Vol 33, No. 4, (152-161). Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penggunaan bahan toksik boraks
pada Bakso di Kecamatan Pondok Gede-Bekasi. Depkes RI. Mulia, Ricki. 2005. Kesehatan Lingkungan. Penerbit Graha Ilmu.
Moseman R.F. 1994. Environmental Health Perspective 102. Vol 7 (113 – 117) Chemical Disposistion of Boron in Animals and Humans. Oktavia, Lambok. 2012. Pengaruh Pengetahuan dan Motif Ekonomi Terhadap Penggunaan Formalin dan Boraks Oleh Pedagang dalam Pangan Siap Saji (Bakso) di Kecamatan Medan Denai dan Medan Tuntungan Tahun 2014. Skripsi. Sumatera Utara: USU. New York State Health Department. 2013. An Introduction to Toxic Substances diakses dari http://www.health.ny.gov/environmental/chemicals/toxic_substa pada 27 Januari 2014 Notoadmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurmaini. 2001. Pencemaran Makanan Secara Kimia dan Biologis. Lecture Papers. Sumatera: Universitas Sumatera Utara
103
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Bakso Sehat. Vol. 31. No. 6. Diakses dari
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr316098.pdf
pada 16 Januari 2014 PERMENKES No.722/PER/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Jakarta PERMENKES RI No. 33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan, Jakarta Pratomo, Ardian. 2009. Identifikasi Boraks pada Bakso yang Dijual di Pasar Pucang Gading Kabupaten Demak.
Tesis. Semarang:
Universitas
Muhammadiyah Semarang. Reysa, Eka. 2013. Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya. Jakarta: Titik Media Publisher Riandini, N. 2008. Bahan Kimia dalam Makanan dan Minuman. Bandung: Shakti Adiluhung Riwidikdo, H. 2012. Statistik Kesehatan. Yogyakarta. Mitra Cendikia Press. Robert F. Moseman. 1994. Chemical Disposition of Boron in Animals and Humans. Environmental Health Perspective. No. 7 (113-117) diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1566637/pdf/envhper004030110.pdf Rohman, A. Dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Rusli, R. 2009. Penetapan Kadar Boraks pada Mie Basah yang Beredar di Pasar Ciputat dengan Metode Spektrofotometri UV-VIS Menggunakan Pereaksi Kurkumin. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Saparinto, C. Dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Sarwono, Sarlito W (2004). Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Refika Aditama. Seto, S. 2001. Pangan dan Gizi : Ilmu Teknoligi, Industri dan Perdagangan Internasional.
Bogor: Institut Pertanian Bogor
Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3S.
104
Sumantri, Arif. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Prenada Sockett, P.N., 2001. Foodborne disease. New York. Available from: http://www.answers.com/topic/food-borne-disease. [Accessed 18 March 2010]. Streetfood Project. 1990. Quality and Safety of Streetfoods, An Assessment Study in Bogor. Streetfood Project Working Report No.2, Bogor. Sudarmaji. 2005. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Jurnal Kesehatan
Lingkungan,
Vol.
1.
No
2.
Diakses
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-1-2-09.pdf
pada
dari 22
Januari 2014. Sugiyatmi, Sri. 2006. Analisis Faktor-Faktor Risiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna pada Makanan Jajanan Tradisional yang Dijual di Pasar-Pasar Kota Semarang Tahun 2006.Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Syah, D, dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor The Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Estimates of Foodborne Illness in the United States. Diakses pada 8 April 2014 dari http://www.cdc.gov/foodborneburden/ Wartapedia. 2011. Keracunan Makanan: 35 Orang Diduga Keracunan Boraks. (15 Maret 2011) Wijaya et al. 2013. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga. Vol 1, No 1, (38 - 48). Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Motivasi Kader Kesehatan Dengan Aktivitasnya Dalam Pengendalian Kasus Tuberkulosis Di Kabupaten Buleleng. Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
105
Widyaningsih, Tri D. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Jakarta. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Winarno, F.G. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Windayani, Kustri. 2010. Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta: Andi Yunarni, Ritin. 1999. Faktor – Faktor Yang Berhubungan dengan Keberadaan Boraks Pada Bakso di Kecamatan Banyumanik Tahun 1999. Tesis. Semarang:Universitas Diponegoro Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara
106
LAMPIRAN 1
107
Lampiran 2 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN Assalamualaikum. Wr. Wb Perkenalkan nama Saya Misyka Nadziratul Haq mahasiswi peminatan kesehatan lingkungan program studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bermaksud melakukan penelitian mengenai “Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014”. Penelitian ini dilakukan sebagai tahap akhir dalam penyelesaian studi saya. Saya berharap Bapak/Ibu bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini dimana akan dilakukan pengisian kuesioner yang terkait dengan penelitian.
Semua
informasi
yang
Bapak/Ibu
berikan
terjamin
kerahasiaannya. Jika Bapak/Ibu bersedia, maka saya mohon untuk menandatangani lembar persetujuan ini. Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: ……………………………………………………………
Umur
: ___ tahun
Jenis kelamin
:
Alamat No Hp
Laki – laki
Perempuan
: ……………………………………………………………. : .........................................
Dengan ini saya menyatakan setuju untuk diikutsertakan sebagai responden dalam penelitian ini. Peneliti
Responden
(..............................................) (.............................................)
108
KUESIONER PENELITIAN
Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 I. IDENTITAS RESPONDEN Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin : 1. Laki – laki 2. Perempuan
Pendidikan
: 1. Tidak Sekolah 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Perguruan Tinggi
II. PENGETAHUAN BERILAH TANDA SILANG (X) YANG MENURUT BAPAK/IBU PALING BENAR 1. Menurut Bapak/ Ibu, apakah boraks itu? a. Bahan sejenis garam dapur b. Bahan pembunuh kuman c. Bahan tambahan makanan yang berbahaya d. Tidak tahu 2. Apakah boraks bisa larut dalam air? a. Bisa b. Tidak bisa c. Tidak tahu 3. Menurut Bapak/ Ibu, apakah boraks perlu ditambahkan dalam pembuatan bakso? a. Perlu
109
b. Tidak perlu 4. Menurut Bapak/ Ibu, apa kegunaan boraks dalam pembuatan bakso? a. Sebagai bahan pengawet b. Sebagai bahan pengenyal c. Keduanya benar 5. Apakah boraks berbahaya? a. Ya b. Tidak (Jika jawaban Anda “tidak” lanjut ke nomor 7) 6. Mengapa boraks berbahaya? a. Dapat menyebabkan kanker serta gangguan pada pencernaan b. Dapat menyebabkan diare c. Dapat menyebabkan gatal-gatal pada kulit d. Tidak tahu 7. Menurut peraturan, boraks adalah termasuk golongan? a. Golongan bahan pengawet b. Golongan bahan pengenyal c. Golongan bahan tambahan pangan yang dilarang d. A dan B benar e. Tidak tahu 8. Menurut Bapak/ Ibu, bolehkah menambahkan boraks pada bakso? a. Boleh b. Tidak boleh 9. Bagaimana pengaruh boraks pada kesehatan tubuh? a. Dapat meningkatkan kesehatan b. Tidak ada pengaruhnya bagi kesehatan c. Berbahaya dan dapat menimbulkan penyakit d. Tidak tahu 10. Apakah akibat yang akan terjadi sesaat setelah seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks? a. Kejang b. Muntah c. Gatal-gatal d. Sakit kepala
110
e. Tidak terjadi apa-apa f. Tidak tahu 11. Apakah akibat yang akan terjadi jika mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks dalam jangka waktu yang lama? a. Gangguan pada pencernaan, otak dan alat reproduksi b. Kejang, muntah dan sakit kepala c. Demam disertai batuk dan pilek d. Tidak terjadi apa-apa 12. Bagaimana tanda atau gejala dari keracunan boraks pada tubuh? Jawaban boleh lebih dari satu a. Sakit kepala b. Sakit perut c. Pucat d. Sesak nafas e. Diare/ mencret f. Kejang g. Tidak nafsu makan h. Tidak keluar air kencing i. Batuk j. Pilek k. Tidak tahu 13. Menurut Bapak/Ibu makanan apa saja yang biasanya menggunakan boraks sebagai bahan tambahan? Jawaban boleh lebih dari satu a. Bakso b. Mie c. Kerupuk d. Lontong e. Gorengan (tempe, tahu, risol dll) f. Kecap g. Gendar h. Lainnya (sebutkan:........................................) 14. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar peraturan di Indonesia mengenai boraks yang tidak diizinkan untuk digunakan pada makanan? a. Pernah b. Tidak pernah
111
15. Sebutkan bahan alami pengganti boraks yang Bapak/Ibu ketahui. a. Karagenan b. Lainnya ________ c. Tidak tahu
III.
SIKAP Apakah Bapak/Ibu setuju dengan pernyataan – pernyataan berikut?
1.
Dalam pembuatan bakso diperbolehkan menggunakan boraks 1. Setuju 2. Tidak Setuju
2.
Bakso yang ditambahkan boraks terasa lebih enak dan kenyal dibandingkan dengan yang tidak ditambahkan boraks 1. Setuju 2. Tidak Setuju
3.
Bakso yang mengandung boraks tidak masalah jika dijual di pasaran 1. Setuju 2. Tidak setuju
4.
Boraks harus selalu digunakan dalam pengolahan makakan agar makanan lebih enak 1. Setuju 2. Tidak setuju
5.
Boraks digunakan untuk mengenyalkan bakso 1. Setuju 2. Tidak setuju
6.
Boraks digunakan untuk mengawetkan bakso 1. Setuju 2. Tidak setuju
112
7.
Boraks tidak berbahaya bagi kesehatan 1. Setuju 2. Tidak setuju
8.
Penggunaan boraks dalam pembuatan bakso tidak perlu dilarang 1. Setuju 2. Tidak setuju
9.
Boraks merupakan bahan yang berguna bagi kesehatan 1. Setuju 2. Tidak setuju
10.
Boraks hanya boleh digunakan dalam pembuatan makanan 1. Setuju 2. Tidak setuju
IV.
PRAKTEK BERILAH TANDA SILANG (X) YANG MENURUT BAPAK/IBU PALING BENAR 1. Bahan
tambahan
apa
yang
Bapak/Ibu
gunakan
untuk
mengenyalkan dan mengawetkan bakso? a. Bleng/ Gendar/ Boraks b. Keragenan c. Garam dapur d. Lainnya:.........................
2. Bagaimana teknik pencampuran yang Bapak/Ibu lakukan dengan bakso dan bahan tambahan lain? a. Memasukkan bahan tambahan ke adonan b. Merendam bakso di larutan bahan tambahan
113
c. Lainnya:..........
3. Dari mana Bapak/Ibu memperoleh bahan tambahan tersebut (bleng)? 1.
Membeli di pasar
2.
Membeli di apotek/ toko bahan kimia
4. Apakah sulit untuk mendapatkannya? 1. Sulit 2. Tidak Sulit
5. Berapakah harga bleng yang biasa anda beli 1. < Rp. 1000/ bungkus 2. Rp. 1000 – Rp. 5000/ bungkus 3. > Rp. 5.000/ bungkus
6. Menurut Bapak/bu pakah harga tersebut termasuk mahal? 1. Ya 2. Tidak
7. Saat
mengolah bakso, berapa takaran bleng
yang biasa
dicampurkan /kg? 1. 1 sendok 2. >1 sendok
8. Apakah ada perbedaan antara bakso yang menggunakan boraks dengan yang tidak menggunakan boraks? 1. Ada (Sebutkan:..................................................................) 2. Tidak
114
Lampiran 3 FORM HASIL UJI KUALITATIF BORAKS PADA BAKSO DI KELURAHAN CIPUTAT TAHUN 2014
Kode Sampel
Perubahan Warna
Hasil Uji
PL 1
Merah Bata
Positif (+)
PL 2
Merah Bata
Positif (+)
PL 3
Merah Bata (samar)
Positif (+)
PL 4
Merah Bata (samar)
Positif (+)
PL 5
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 6
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 7
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 8
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 9
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 10
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 11
Tidak berubah
Negatif (-)
115
PL 12
Merah Bata
Positif (+)
PL 13
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 14
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 15
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 16
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 17
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 18
Merah Bata (samar)
Positif (+)
PL 19
Merah Bata (samar)
Positif (+)
PL 20
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 21
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 22
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 23
Merah Bata (samar)
Positif (+)
PL 24
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 25
Tidak berubah
Negatif (-)
116
PL 26
Merah Bata
Positif (+)
PL 27
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 28
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 29
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 30
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 31
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 32
Tidak berubah
Negatif (-)
PL 33
Merah Bata (samar)
Positif (+)
PL 34
Tidak berubah
Negatif (-)
Lampiran 4
Case Processing Summary
N
Cases
Valid
%
10
100.0
Excluded
0
.0
Total
10
100.0
a
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.741
16
117
118
119
Correlations
120
s1
Pearson Correlation
s1
s2
1
.764
Sig. (2-tailed)
s2
s3
s4
s3
s4
s5
s6
s7
s8
s9
s10
TOTAL_SIKAP
*
.764
*
.375
.612
.102
.667
*
.764
*
.764
*
1.000
**
.010
.010
.286
.060
.779
.035
.010
.010
.000
.000
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
1
.524
.218
.356
.356
.509
.524
.524
.764
*
.712
.120
.545
.312
.312
.133
.120
.120
.010
.021
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
1
.218
.356
.356
.509
.524
.524
.764
*
.712
.545
.312
.312
.133
.120
.120
.010
.021
10
10
10
10
.897
**
N
10
Pearson Correlation
.764
Sig. (2-tailed)
.010
N
10
Pearson Correlation
.764
*
.524
Sig. (2-tailed)
.010
.120
N
10
10
10
10
10
10
10
Pearson Correlation
.375
.218
.218
1
.612
.102
.667
*
.218
.764
*
.375
.571
Sig. (2-tailed)
.286
.545
.545
.060
.779
.035
.545
.010
.286
.085
N
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
*
10
*
*
121
s5
s6
s7
s8
s9
Pearson Correlation
.612
.356
.356
.612
Sig. (2-tailed)
.060
.312
.312
.060
N
10
10
10
10
Pearson Correlation
.102
.356
.356
Sig. (2-tailed)
.779
.312
N
10
Pearson Correlation
.667
**
.167
.408
.802
.645
.242
.005
10
10
10
.102
.167
1
.312
.779
.645
10
10
10
10
*
.509
.509
.667
*
Sig. (2-tailed)
.035
.133
.133
N
10
10
Pearson Correlation
.764
*
Sig. (2-tailed)
*
.732
.005
.060
.016
10
10
10
10
.408
.356
-.089
.102
.333
.242
.312
.807
.779
.347
10
10
10
10
10
10
.408
.408
1
.509
.509
.667
*
.761
.035
.242
.242
.133
.133
.035
.011
10
10
10
10
10
10
10
10
10
.524
.524
.218
.802
.356
.509
1
.524
.764
.010
.120
.120
.545
.005
.312
.133
.120
.010
.007
N
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
Pearson Correlation
.764
.524
.524
.764
-.089
.509
.524
1
.764
*
.802
**
**
.802
**
.612
*
1
*
*
.783
.783
*
**
**
122
s10
TOTAL_SIKAP
Sig. (2-tailed)
.010
.120
.120
.010
.005
.807
.133
.120
N
10
10
10
10
10
10
10
10
Pearson Correlation
1.000
Sig. (2-tailed)
**
10
*
.764
*
.375
.612
.102
.667
*
.764
*
.764
.000
.010
.010
.286
.060
.779
.035
.010
.010
N
10
10
10
10
10
10
10
10
10
Pearson Correlation
.897
Sig. (2-tailed) N
**
.764
10
10
1
.897
10
.571
.732
*
.333
.761
.000
.021
.021
.085
.016
.347
.011
.007
.007
.000
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
**
10
*
.783
**
.000
.712
.783
**
.007
*
.712
*
*
.010
.897
**
1
10
LAMPIRAN 5
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
hasil pengukuran sikap *
34
hasil uji dengan boraks kit
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 34
100.0%
hasil pengukuran sikap * hasil uji dengan boraks kit Crosstabulation hasil uji dengan boraks kit positif boraks hasil pengukuran sikap
sikap positif
Count % within hasil pengukuran sikap
sikap negatif
sikap Total
22
27
18.5%
81.5%
100.0%
5
2
7
71.4%
28.6%
100.0%
10
24
34
29.4%
70.6%
100.0%
Count % within hasil pengukuran sikap
Total
5
Count % within hasil pengukuran
negatif boraks
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.006
5.164
1
.023
6.944
1
.008
7.496 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.014 7.275
1
.007
34
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,06.
123
.014
124
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.006
5.164
1
.023
6.944
1
.008
7.496 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.014 7.275
1
.007
34
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,06. b. Computed only for a 2x2 table
.014
125
Lampiran 6 Prosedur Uji
Hasil Uji