ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI GULA DI PG PAGOTTAN
Oleh: TUTIK WIDARWATI A14104134
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN TUTIK WIDARWATI. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan. Di bawah bimbingan HARMINI. Gula merupakan salah satu bahan pangan pokok yang memiliki arti penting dan posisi yang strategis di Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi gula. Permintaan gula akan terus meningkat tiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan daya beli masyarakat, dan pertumbuhan industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya. Permintaan gula yang meningkat disebabkan konsumsi gula rumah tangga di Indonesia yang mengalami kecenderungan yang meningkat dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Meskipun terjadi peningkatan terhadap produksi gula nasional namun angka produksi tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan gula nasional Indonesia harus melakukan impor gula. Ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negeri disebabkan karena masih rendahnya produksi gula nasional. Rendahnya produksi nasional antara lain disebabkan oleh : (1) Penurunan luas dan produktivitas lahan, (2) Rendahnya rendemen industri gula Indonesia, (3) Efisiensi pabrik gula yang masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapang, maka diketahui bahwa kondisi inefisiensi produksi tersebut diduga juga dialami oleh PG Pagottan yang salah satunya diindikasikan oleh kualitas pasokan bahan baku tebu (rendemen) yang masih rendah. Selain itu terjadi kecenderungan pemanfaatan tenaga kerja yang berlebihan di dalam menjalankan kegiatan produksinya. Sesuai dengan kondisi yang terdapat di PG Pagottan maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan dan (2) Menganalisis tingkat efisiensi kegiatan produksi gula di PG Pagottan. Penelitian ini dilaksanakan di PG Pagottan Madiun yang merupakan salah satu pabrik gula yang berada di bawah pengelolaan PTPN XI wilayah kerja Jawa Timur. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei 2008. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, meliputi: data output, input, serta biaya rata-rata kegiatan produksi gula di PG Pagottan dari tahun 2001 hingga tahun 2007. Analisis data yang dilakukan menggunakan model fungsi produksi CobbDouglas yang diolah dengan pendugaan OLS (Ordinary Least Square). Kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap efisiensi kegiatan produksi gula, dengan asumsi terdapat kendala biaya. Pertumbuhan total produksi gula sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 menunjukkan kecenderungan peningkatan sebesar 3,48 persen per periode. Peningkatan ini dipengaruhi oleh kecenderungan peningkatan produksi gula tebu sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR) masing-masing sebesar 8,73 persen per periode dan 23,38 persen per periode. Peningkatan produksi gula TR terjadi tidak hanya karena perluasan areal tetapi juga disebabkan oleh perbaikan mutu intensifikasi budidaya dan introduksi varietas unggul pada areal bongkaran keprasan. Peningkatan juga terjadi pada jumlah tebu yang dipasok, rendemen, dan tenaga kerja musiman. Sedangkan lama giling, jam mesin, dan bahan pembantu mengalami kecenderungan yang menurun.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari hasil analisis regresi dengan memenuhi asumsi OLS (uji normalitas, homoskedastisitas, non autokorelasi, tidak terdapat gejala multikolinearitas) dan uji statistik , maka diperoleh faktor-faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap produksi gula di PG Pagottan. Faktorfaktor produksi tersebut, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja pada selang kepercayaan 95 persen . Nilai koefisien regresi dari faktorfaktor produksi tersebut masing-masing sebesar 0,066, 1,01, 1,03, dan -0,239. Nilai elastisitas yang negatif menunjukkan bahwa jika terdapat peningkatan satu persen tenaga kerja maka akan mengurangi produksi gula sebesar 0,239 persen. Selanjutnya dilakukan analisis efisiensi penggunaan faktor produksi di dalam kegiatan produksi gula. Dalam penelitian ini faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu karena faktor tersebut dapat diukur tingkat harganya dan memenuhi syarat Cobb-Douglas, yaitu nilai koefisien regrresi dari faktor poduksi tersebut antara nol dan satu.. Dengan menghitung nilai rasio antara NPM (Nilai Produk Marjinal) dan BKM (Biaya Korbanan Marjinal) diketahui bahwa nilai rasio antara NPM dan BKM faktor produksi jumlah tebu sebesar 0,01menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku belum efisien. Berdasarkan rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dari faktor produksi jumlah tebu yang tidak sama dengan satu, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan faktor produksi belum efisien. Penggunaan bahan baku tebu dalam produksi gula harus mencapai kondisi optimal agar efisiensi dapat tercapai. Kondisi optimal dari penggunaan factor produksi ini terjadi apabila rasio NPM dan BKM dari faktor produksi harus sama dengan satu.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI GULA DI PG PAGOTTAN
Oleh : TUTIK WIDARWATI A14104134
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi Nama NRP
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan : Tutik Widarwati : A14104134
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Ir. Harmini, MS NIP. 131 688 732
Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI GULA DI PG PAGOTTAN” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.
Bogor, September 2008
Tutik Widarwati A14104134
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 14 Agustus 1986 dari keluarga Bapak Darno dan Ibu Minten Widarti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan akademis penulis dimulai sejak tahun 1991 dengan bersekolah di TK Islam Wahyu, Cimanggis, Depok. Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri Curug IV Depok pada tahun 1998, yang dilanjutkan dengan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Cimanggis sejak tahun 1998 hingga tahun 2001. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Depok dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan sebagai syarat untuk melakukan penelitian yang menjadi bagian dari penelitian skripsi pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berisi tentang penelitian mengenai PG Pagottan sebagai suatu entitas usaha yang bergerak dalam pengolahan gula. Penelitian yang akan dilakukan berupaya untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan serta tingkat efisiensi faktor-faktor produksi tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, dan dapat diterima sebagi syarat dalam penelitian skripsi.
Bogor, September 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah serta karuniaNya kepada kita semua dan shalawat beserta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluaraga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Ir. Harmini, MS, sebagai dosen pembimbing skripsi, yang tak hentinya memberikan nasihat, motivasi dan masukan yang sangat berguna demi kesempurnaan skripsi penulis.
2.
Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS, sebagai dosen penguji utama.
3.
Etriya, SP,MM, sebagai dosen penguji wakil komisi pendidkan.
4.
Amzul Rifin, SP. M. A. sebagai dosen Pembimbing Akademik yang juga memberikan masukan, saran dan kritikan serta motivasi selama penulis menyusun skripsi ini.
5.
Bapak Gampil, Bapak Arysad sebagai SKW Bagian Tanaman PG Pagottan yang telah memberikan banyak informasi kepada penulis.
6.
Bapak Darno, Mas Yiyin, Mba Riski, Mba Yeni atas kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian.
7.
Pak Whumy, Pak Adit, Pak Budi, Pak Joseph yang banyak memberikan data dan informasi penting kepada penulis, pelajaran singkat mengenai gula, browsing gratis, dan kemudahannya lainnya yang telah diberikan kepada penulis.
8.
Dosen-dosen IPB yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
9.
Mas Ferry, Mba Etriya, Mas Yeka, Mas Arif, Mba Anita dan dosen lainnya yang pernah menjadi asdos dan memberikan ilmunya kepada penulis.
10.
Mba Dian, Mba Dewi, Ibu Ida dan staff lainnya atas bantuannya kepada penulis dalam mengurus birokrasi.
11.
Kedua orang tuaku, ibu dan bapak yang selalu memberikan bantuan baik dukungan moril maupun dukungan semangat serta kasih sayang yang tak hentinya dicurahkan kepada penulis.
12.
Adikku tercinta Ayub Dwi Prasetyo yang selalu meramaikan rumah dengan keisengan dan kejailannya.
13.
Sahabat-sahabat terbaikku di dunia Rizki Amelia, Sevia Fitrianingsih, Nur Novita Zayanty, Adisti Meisafitri, Imas Nunik Handayani, Rizal Syahrudin, Yustika Muharastri atas keceriaan, kebahagiaan, suka dan duka selama empat tahun. Semoga persahabatan kita akan selalu abadi, amin ya robbal alamin. Terimakasih setulusnya kuucapkan untuk kalian semua.
14.
Purdiyanti Pratiwi, Tantri Dewi Putriana, Nurhayati Zaenal, Vera Nova Gustrin, Jane Langking, dan Prety Elisabeth atas kebersamaan di rumah kontrakan Pak Ukun.
15.
Ss, Aries, Tejo, Yanti, Lukman, Neng-Q, Wanti, Rudi, Sastrow, Effendi, Pak De, Dian, serta teman-teman AGB 41 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, terimakasih atas kebersamaannya selama kuliah di IPB, menjadikan empat tahun ini warna-warni yang indah dalam hidupku, sungguh beruntung mengenal kalian semua.
16.
Madyastato Prabudi, seseorang yang baik hatinya, memotivasi penulis dan dengan tulus serta sabar membantu dan memfasilitasi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Ni shi wo de hen ke ai nanpengyou.
17.
Tante-tanteku tercinta Lek Nur dan Lek Pis, terimakasih Lek atas pelajaran hidup yang bermakna.
18.
Sepupu perempuanku Ayu, yang dengan baiknya membantu penulis untuk mentranslet buku-buku asing. Danke.
19.
Teman-teman KKP desa Cikadu Cita, Rena, dan Roni terimakasih atas kebersamaannya selama masa KKP, pengalaman tak terlupakan.
20.
Fotocopy Prima yang banyak membantu terwujudnya skripsi ini serta pihakpihak yang banyak membantu penulis selama penyusunan skripsi.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang ..................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................. 6 Tujuan Penelitian ................................................................................. 7 Kegunaan Penelitian ............................................................................ 7 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
Gambaran Umum Komoditi Tebu ........................................................ 9 Pengusahaan Tebu ............................................................................. 12 Pengusahaan Pabrik Gula ................................................................... 15 Jenis Gula .......................................................................................... 16 Penelitian Terdahulu .......................................................................... 18
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
3.2
Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori dan Fungsi Produksi ...................................................... 22 3.1.2 Konsep Efisiensi Produksi ...................................................... 31 Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................... 36
IV METODE PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 4.4 V
Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 39 Sumber dan Jenis Data ....................................................................... 39 Metode Analisis Data ......................................................................... 40 Pengukuran Variabel .......................................................................... 45
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 5.1 Sejarah dan Struktur Organisasi Perusahaan 5.1.1 Sejarah Perusahaan ................................................................. 49 5.1.2 Struktur Organisasi Perusahaan............................................... 50 5.2 Tinjauan Geografis dan Iklim ................................................................ 53 5.3 Kemittraan Antara Pabrik Gula dan Petani ............................................ 54 5.4 Perkembangan Produksi Pabrik ............................................................. 55
5.5 Agribisnis Gula 5.5.1 Usahatani Tebu ....................................................................... 62 5.5.2 Pengolahan Tebu .................................................................... 66 5.5.3 Distribusi Gula ....................................................................... 73 VI EFISIENSI PRODUKSI GULA PASIR 6.1 Pemilihan Model Fungsi Produksi...................................................... 75 6.2 Analisis Elastisitas Produksi............................................................... 80 6.3 Analisis Efisiensi ............................................................................... 83 VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ........................................................................................ 87 7.2 Saran.................................................................................................. 88 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 89 LAMPIRAN ..................................................................................................... 91
xii
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Halaman
Perkembangan Konsumsi dan Produksi Gula Indonesia Tahun 2003-2007 .... 2 Perkembangan Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2007 ............................... 3 Realisasi Produksi PG Pagottan Tahun 1997-2007 ........................................ 6 Jenis dan Sumber Data ................................................................................ 40 Varietas Tebu yang Digunakan PG Pagottan ............................................... 63 Standardisasi Mutu Gula Kristal Putih......................................................... 72 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Gula dengan Tujuh Faktor Produksi ....... 76 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Gula Setelah Uji Validitas Asumsi OLS 79 Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Kegiatan Produksi Gula Pasir pada PG Pagottan per Periode...................................... 85
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. 5.
Halaman
Proses Terbentuknya Gula di dalam Batang Tebu ....................................... 10 Fungsi Produksi Klasik dan Tiga Tahap Produksi........................................ 28 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ..................................................... 38 Struktur Organisasi PG Pagottan ................................................................. 51 Bagan Pemasaran Gula di PG Pagottan ....................................................... 74
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Halaman
Luas Areal dan Produksi Gula Indonesia Tahun 1996-2008.......................... 92 Angka Produksi PG Pagottan Tahun 2001-2007 ........................................... 93 Pertumbuhan Produksi PG Pagottan Tahun 2001-2007 ................................. 96 Perkembangan Luas Areal PG Pagottan ....................................................... 97 Hasil Analisis Regresi dengan Tujuh Faktor Produksi .................................. 98 Hasil Analisis Regresi Setelah Uji Validitas Asumsi OLS ............................ 99 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Tujuh Faktor Produksi ......... 100 Hasil Visual Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi dengan Tujuh Faktor Produksi ..................................................................................................... 101 9. Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Setelah Uji Validitas Asumsi OLS ........................................................................................................... 102 10. Hasil Visual Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Setelah Uji Validitas Asumsi OLS .............................................................................................. 103 11. Dokumentasi PG Pagottan.......................................................................... 104
I
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Gula merupakan salah satu bahan pangan pokok yang memiliki arti
penting dan posisi yang strategis di Indonesia. Meskipun telah beredar bahanbahan pemanis lainnya, seperti : madu, gula merah, fruktosa, glukosa dan gula tropika namun preferensi masyarakat Indonesia terhadap gula tebu masih lebih tinggi. Alasan kepraktisan (bentuk butiran), ketersediaan, dan berbagai kelebihan lainnya menjadikan gula tebu sebagai pilihan utama (Churmen, 2001). Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan gula akan terus meningkat tiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan daya beli masyarakat, dan pertumbuhan industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya1. Permintaan gula yang meningkat disebabkan konsumsi gula rumah tangga di Indonesia mengalami kecenderungan yang meningkat dari tahun 2003 sampai tahun 2007 (Tabel 1). Kecenderungan konsumsi yang meningkat seiring dengan meningkatnya produksi gula. Namun, besarnya jumlah konsumsi gula tersebut tidak diimbangi dengan jumlah produksi gula. Hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dengan kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai produksi gula nasional pada tahun 2003 hanya sebesar 1,63 juta ton padahal nilai konsumsi gula saat itu mencapai 2,29 juta ton. Kemudian pada tahun 2007 produksi gula nasional mengalami kenaikan sebesar 4,7 persen dibandingkan tahun 2006 menjadi 2,42 juta ton, namun angka
1
Simatupang, Pantjar. 2005. Analisis Kebijakan Tentang Kebijakan Komprehensif Pergulaan Nasional. www.pse.litbang.deptan.go.id diakses 10 April 2008.
2
ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang mencapai 2,69 juta ton. Peningkatan produksi gula nasional yang terjadi lima tahun terakhir disebabkan oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mengenai penetapan harga provenue gula pasir produksi petani yang bertujuan untuk menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi. Selain itu pemerintah juga menetapkan tarif spesifik untuk impor gula mentah sebesar Rp 550 per kilogram (setara 20 persen) dan gula putih Rp 700 per kilogram (setara 25 persen) yang berlaku hingga sekarang untuk merangsang petani menanam tebu. Tabel 1 Perkembangan Konsumsi dan Produksi Gula Indonesia Tahun 2003-2007 Konsumsi Gula Rumah Tangga (ton) 2003 2.294.539 2004 2.442.000 2005 2.625.540 2006 2.664.135 2007 2.699.832 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2007 Tahun
Produksi Gula (ton) 1.634.918,9 2.051.643,8 2.241.742,0 2.307.027,0 2.415.625,0
Kekurangan (ton) 1.435.105,3 825.304,1 151.126,2 383.798,0 357.108,0
Salah satu penyebab rendahnya produksi gula nasional adalah bersumber dari penurunan luas areal dan penurunan produktivitas. Sebagai contoh, rendemen yang dicapai pada tahun 1970-an masih sekitar 10 persen, sedangkan rata-rata rendemen pada sepuluh tahun terakhir hanya 7,19 persen (Lampiran 1). Menurunnya rendemen tersebut selain disebabkan oleh faktor teknis di usahatani tebu dan belum selarasnya hubungan antara PG dan petani, faktor teknis di pabrik juga menjadi faktor penyebab (Susila, 2005). Rendahnya produktivitas usahatani tebu Indonesia disebabkan rendahnya produktivitas ton tebu per hektar maupun rendemen yang dihasilkan oleh tebu. Rendahnya produktivitas berkaitan dengan teknik budidaya yang belum optimal dan belum terpadunya jadwal tanam dan tebang/giling antara petani dan PG.
3
Kurang terpadunya jadwal tanam dan tebang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas, khususnya yang berkaitan dengan rendemen. Rendemen yang terus menurun juga berkaitan dengan rendahnya efisiensi di tingkat pabrik. Angka rata-rata rendemen selama sepuluh tahun tersebut masih jauh di bawah target rendemen rata-rata Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional sebesar 8,79 persen2. Adanya inefisiensi di pabrik gula ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kondisi pabrik gula, terutama yang ada di Jawa, umumnya sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal. Berbagai upaya untuk melakukan pembaharuan beberapa peralatan masih belum mampu menghilangkan inefisiensi secara maksimal, baik karena keterbatasan dana maupun teknologi (PTPN XI, 2000). Faktor kedua adalah keterbatasan ketersediaan jumlah bahan baku sehingga pabrik beroperasi dibawah kapasitas optimal (Susila, 2005). Dalam mencukupi kebutuhan gula dalam negeri gula dalam negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang tataniaga impor gula yang mulai diberlakukan sejak tahun 1967. Dari tahun 1993 hingga tahun 2004 impor gula Indonesia terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu, untuk mengurangi ketergantungan
pada
impor
pada
pertengahan
tahun 2004
pemerintah
mengeluarkan kebijakan melalui SK Memperindag No. 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa institusi yang diizinkan untuk mengimpor gula (IT) adalah PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PT.
2
RR Ariyani. 2006. Rendemen Gula PTPN XI Rendah. www.tempointeraktif.com diakses 10 April 2008.
4
RNI, dan PT. PPI3. Selain itu, pada tahun 2007 pemerintah telah menerbitkan persetujuan impor gula kristal putih sebesar 250.000 ton kepada para importir terdaftar (IT) gula dan PT. PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia) untuk memenuhi kebutuhan dan mengantisipasi terjadinya defisit stok gula nasional4. Impor gula Indonesia mengalami fluktuatif dari tahun 2003 sampai tahun 2007 (Tabel 2). Pada tahun 2003, Indonesia mengimpor gula sebesar 647 ribu ton. Sedangkan tahun 2007, impor Indonesia mencapai 448 ribu ton. Tabel 2 Perkembangan Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Impor Gula (ton) 647.908 256.644 453.160 216.490 448.681
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2007
PTPN XI merupakan salah satu institusi yang berperan dalam produksi gula nasional. Pada tahun 2008, produksi gula oleh PTPN XI diperkirakan mencapai 458 ribu ton. Angka ini membuat PTPN XI menjadi perusahaan terbesar kedua yang memberikan kontribusi terhadap stok gula nasional setelah PTPN X (526 ribu ton) (Asosiasi Gula Indonesia, 2007). PTPN XI mengelola enam belas pabrik gula (PG) yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Salah satu PG yang dikelola oleh PTPN XI adalah PG Pagottan yang berada di Kabupaten Madiun. Pada tahun 2006 PG Pagottan memiliki kapasitas giling yang cukup besar yaitu 2,26 ribu ton per hari. Selain itu, dilihat dari pertumbuhan rendemen dari tahun 1997-2007, rata-rata pertumbuhan rendemen PG Pagottan sebesar 4,93 persen per tahun. Pada tahun 2007 rendemen PG Pagottan sebesar 7,96 persen dan 3
Mansur, Natsir. 2007. Rancunya Distribusi Gula Nasional. www.bisnisindonesia.comdiakses 13 Maret 2008. 4 Departemen Pertanian. 2007. Impor Gula Diharapkan Tidak Mendistorsi Pasar. www2.kompas.com diakses 13 Maret 2008.
5
merupakan rendemen terbesar dibandingkan dengan pabrik gula lainnya di bawah PTPN XI. Meskipun masih berada di bawah target rendemen pemerintah, namun PG Pagottan memiliki potensi untuk mengoptimalkan nilai rendemennya. Tahun 2009 pemerintah menargetkan Indonesia mencapai swasembada gula nasional dan tahun 2010 diharapkan Indonesia sudah memasuki era liberalisasi perdagangan gula. Oleh karena itu, setiap pabrik gula termasuk PG Pagottan diwajibkan untuk meningkatkan produksi dan efisiensinya. Hal ini bertujuan untuk memenuhi target yang diharapkan, mencapai tujuan perusahaan serta mampu bersaing dengan produsen-produsen gula negara lain.
1.2
Perumusan Masalah PG Pagottan merupakan satu dari 16 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN
XI (Persero), Surabaya. PG Pagottan sudah mulai beroperasi pada tahun 1905. Semakin tingginya konsumsi masyarakat terhadap gula merupakan peluang bisnis sekaligus tantangan bagi PG Pagottan. Dengan tingginya permintaan dari masyarakat terhadap gula mendorong peningkatan jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama, dengan kata lain tingkat persaingan menjadi lebih tinggi. PG Pagottan harus mampu bersaing dengan perusahan tersebut untuk tetap dapat melangsungkan proses produksinya. Hasil realisasi produksi PG Pagottan periode tahun 1997 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3. Dalam Tabel 3 terlihat bahwa pada tahun 2000 luas areal tebu mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 19,25 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penurunan luas areal tebu sendiri sebesar 4,41 persen dan penurunan luas areal TR sebesar 35,06 persen. Penurunan luas
6
areal tebu ini tidak mempengaruhi produksi gula yang dihasilkan. Jumlah produksi gula justru mengalami peningkatan sebesar 1,29 persen. Meningkatnya produksi gula ini disebabkan oleh adanya PG sesaudara yang ikut menggilingkan tebunya di PG Pagottan. Tabel 3 Realisasi Produksi PG Pagottan Tahun 1998-2007 Produksi (ton) /ha Jumlah 1998 3.200,348 81,4 260.440,6 1999 3.218,593 56,8 182.904,1 2000 2.598,885 75,8 197.019,9 2001 3.559,704 69,1 246.069,1 2002 3.894,294 77,8 303.053,2 2003 3.422,461 67,1 229.782,0 2004 3.277,460 77,2 252.887,7 2005 4.221,772 81,3 343.367,8 2006 4.567,937 76,6 349.845,3 2007 5.708,739 71,8 409.796,5 Sumber: Litbang Bagian Tanaman PG Pagottan, 2008 Tahun
Luas (ha)
Rendemen % 5,49 7,68 7,22 7,04 6,88 6,84 7,58 7,68 8,07 7,96
Hablur (ton) /ha Jumlah 4,50 14.285,40 4,40 14.038,00 5,50 14.219,50 4,90 17.319,60 5,40 20.836,70 4,59 15.706,60 5,85 19.160,98 6,25 26.380,08 6,18 28.217,20 5,71 32.599,30
Tahun 2003 produksi gula mulai mengalami kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2007 produksi gula mencapai 32.599,30 ton namun tingkat rendemen menurun dari 8,07 persen pada tahun 2006 menjadi 7,96 persen pada tahun 2007. Angka tersebut masih jauh dari target pemerintah sebesar 8,79 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi ketidakefisienan dalam produksi gula di PG Pagottan. Proses produksi yang efisien dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang digunakan. Faktor-faktor produksi yang biasa digunakan dalam proses produksi antara lain modal, tenaga kerja, bahan baku, dan lain-lain. Produksi yang dilakukan akan menjadi efisien jika faktor-faktor produksi tersebut dimanfaatkan secara optimal. PG Pagottan telah melakukan berbagai upaya yang sangat erat hubungannya dengan pemanfaatan faktor-faktor produksinya untuk meningkatkan produksi gula. Upaya yang telah dilakukan adalah dengan penggantian varietas unggul, intensifikasi budidaya dan perbaikan manajemen tebang-angkut, serta
7
penggunaan zat pemacu kemasakan (ZPK)5. Jika PG Pagottan mampu memanfaatkan faktor-faktor produksinya secara optimal maka diharapkan perusahaan mampu berproduksi secara efisien dan mempunyai daya saing tinggi. Daya saing tersebut meliputi daya saing untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik, mendapatkan sumberdaya manusia, penggunaan teknologi, dan persaingan untuk mendapatkan konsumen. Oleh karena itu perlu ditelaah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula serta efisiensinya agar target pemerintah dalam swasembada gula terwujud, tujuan perusahaan tercapai dan mampu bersaing dengan produsen lain. Berdasarkan uraian di atas maka secara spesifik permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi gula di PG. Pagottan? 2. Bagaimana tingkat efisiensi produksi gula di PG. Pagottan?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula. 2. Menganalisis tingkat efisiensi produksi gula.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
5
PTPN XI. 2006. 16 Pabrik Gula PTPN XI Siap Giling. www.kapanlagi.com diakses 13 Maret 2008.
8
1. Perusahaan, sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam usahanya untuk dapat meningkatkan produksi dan efisiensinya. 2. Pemerintah, sebagai bahan masukan dan sumber informasi agar lebih memperhatikan sektor pertanian, terutama industri gula sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan efisiensi produksi sehingga produksi gula nasional meningkat dan impor dapat dikurangi. 3. Penulis, penelitian ini berguna dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan dan menambah pengetahuan penulis mengenai industri gula di Indonesia serta dapat melatih kemampuan penulis dalam menganalisis setiap masalah sesuai dengan disiplin ilmu yang diperoleh selama di perguruan tinggi. Pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pabrik dan
produksi gula tanpa membahas dan menganalisis hasil sampingan produksi gula. Penelitian ini hanya berada pada sekup mikro, yaitu pabrik gula. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data perusahaan terutama produksi dari masa giling tahun 2001-2007 per lima belas hari (per periode) dan data-data biaya dari tahun 2001-2007. Penelitian ini juga hanya menganalisis efisiensi produksi secara alokatif. Pengaruh yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah tidak dibahas secara khusus dalam penelitian ini.
9
II
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Komoditi Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan tanaman perkebunan
semusim, yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula (Supriyadi, 1992). Batang tanaman tebu beruas-ruas, dari bagian pangkal sampai pertengahan ruasnya panjang-panjang, sedangkan di bagian pucuk ruasnya pendek. Tinggi batang antara 2-5 meter, tergantung baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu maupun keadaan iklim. Pada pucuk batang tebu terdapat titik tumbuh yang berperan penting dalam proses pertumbuhan. Akar tanaman tebu adalah akar serabut, hal ini sebagai salah satu ciri bahwa tanaman ini termasuk ke dalam kelas monocotyledone. Akar tebu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akar stek dan akar tunas. Akar stek disebut juga akar bibit yang masa hidupnya tidak lama, akar ini tumbuh pada cincin akar dari stek batang. Sedangkan akar tunas merupakan pengganti akar bibit. Pertumbuhan akar ada yang tegak lurus ke bawah dan ada yang mendatar dekat permukaan tanah. Daun tanaman tebu adalah daun tidak lengkap karena terdiri dari helai daun dan pelepah daun saja. Kedudukan daun berpangkal pada buku, dengan panjang helaian daun berkisar 1-2 meter sedangkan lebarnya 4-7 cm. Ujung daun meruncing, tepinya seperti gigi, dan mengandung kersik yang tajam. Bunga tebu merupakan malai yang berbentuk piramida, panjangnya antara 70-90 cm. Bunga tebu biasanya muncul pada bulan April-Mei. Bunganya terdiri dari tenda bunga, yaitu tiga helai daun kelopak dan satu helai daun tajuk bunga. Bunga tebu mempunyai satu bakal buah dan tiga benang sari,-kepala putiknya- berbentuk bulu-bulu.
10
Buah tanaman tebu termasuk buah padi-padian, bijinya hanya satu sedangkan besar lembaga hanya sepertiga dari panjang biji. Daur kehidupan tanaman tebu dimulai dari fase perkecambahan, fase pertunasan, fase pemanjangan batang, fase kemasakan, dan fase kematian. Fase perkecambahan dimulai dengan pembentukan taji pendek dan akar stek pada umur satu minggu dan diakhiri pada fase kecambah pada umur lima minggu. Fase pertunasan mulai dari umur lima minggu sampai umur 3,5 bulan, lalu dilanjutkan dengan fase pemanjangan batang, yaitu pada umur 3,5 bulan sampai sembilan bulan. Fase kemasakan merupakan fase yang terjadi setelah pertumbuhan vegetatif menurun dan sebelum batang tebu mati. Pada fase ini kadar gula di dalam batang tebu mulai terbentuk hingga titik optimal, kurang lebih terjadi pada bulan Agustus, dan setelah itu rendemennya berangsur-angsur menurun. Tahap pemasakan inilah yang disebut dengan tahap penimbunan rendemen gula. Proses terbentuknya gula di dalam batang tebu dapat dilihat pada Gambar 1. kadar gula 10
4
Agustus
Gambar 1 Proses Terbentuknya Gula di Dalam Batang Tebu Sumber : Ahmad Supriyadi, 1992
Pada Gambar 1 terlihat jelas bahwa rendemen berada pada masa optimal sekitar bulan Agustus, setelah itu berangsur-angsur turun sampai titik akhir pada fase kematian tanaman. Proses terbentuknya rendemen gula di dalam batang tebu berjalan dari ruas ke ruas yang tingkat kemasakannya tergantung pada umur ruas.
11
Ruas di bawah (lebih tua) lebih banyak tingkat kandungan gulanya dibandingkan dengan ruas di atasnya (lebih muda), demikian seterusnya sampai ruas bagian pucuk. Oleh karena itu, tebu dikatakan sudah mencapai masak optimal apabila kadar gula di sepanjang batang telah seragam, kecuali beberapa ruas di bagian pucuk. Menurut Mubyarto dan Daryanti (1991), tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula dengan optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan sedikit air pada saat pertumbuhan generatifnya. Terdapat dua cara penanaman tebu, yaitu di lahan sawah dengan sistem Reynoso (cara pengolahan tanah sawah untuk tanaman tebu) dan di lahan tegalan dengan sistem tebu lahan kering. Perbedaan antara dua cara ini terletak pada tersedia tidaknya fasilitas pengairan dan lamanya penggenangan air di musim hujan. Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang memiliki pengairan dan mengalami genangan air lebih dari 30 hari secara terus menerus (memiliki pengairan yang cukup). Lahan sawah hanya terdapat di Pulau Jawa. Sedangkan lahan kering tidak memiliki pengairan dan kemungkinan mengalami genangan air kurang dari 30 hari berturut-turut, dan lahan kering ini hanya menggantungkan air pada curah hujan (Adisasmito, 1989 dalam Nurrofiq, 2005). Mubyarto dan Daryanti (1991), menyatakan bahwa perbedaan mendasar kedua jenis lahan tersebut adalah kondisi tanah yang membawa konsekuensi pada teknis budidaya yang diharapkan dapat memberi kondisi yang cocok bagi
12
pertumbuhan tanaman tebu. Selanjutnya dikatakan bahwa budidaya tebu di lahan sawah bercirikan penggunaan tenaga kerja dan drainase yang intensif disertai pemberian air yang cukup. Sedangkan budidaya tebu di lahan kering dicirikan pada tidak adanya pengairan, pendayagunaan air dalam tanah dan air hujan secara optimal, pengolahan tanah sebagian atau seluruhnya secara mekanis yang ditujukan pada kelestarian dan peningkatan produktivitas lahan. Selain itu, perbedaan antara dua cara ini terletak pada pengolahan permukaan tanah. Pada sistem Reynoso tidak semua permukaan tanah diolah, namun hanya dibuat saluran dan guludan saja. Sedangkan di lahan tegalan dilakukan dengan pembajakan atau dengan traktor. Teknologi budidaya yang tepat dan penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan tingkat rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan kegiatan pasca panennya karena kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan dan banyaknya kotoran pada tebu dapat menyebabkan penurunan tingkat rendemen. Tebu yang berkualitas adalah tebu yang memenuhi kriteria MBS (manis, bersih, segar). Manis berarti tebu sudah cukup tua atau masak dengan Faktor Kemasakan 25-30 persen, Koefisien Daya Tahan dan Koefisien Peningkatan sebesar 90-100 persen. Bersih berarti tebu terbebas dari unsur non tebu (kotoran) maksimal lima persen. Sedangkan kriteria segar secara teoritis adalah saat tebu ditebang dan digiling maksimal 36 jam, kriteria ini yang paling sulit untuk dideteksi. 2.2
Pengusahaan Tebu Pada masa penjajahan Belanda, di tahun 1930 Indonesia pernah menjadi
negara pengekspor gula terbesar di dunia setelah Kuba. Keberhasilan tersebut
13
salah
satunya
bersumber
pada
kemudahan
pabrik-pabrik
gula
dalalm
memanfaatkan lahan yang subur untuk pertanaman tebu dengan sistem sewa paksa dari petani. Kemudahan itu dijamin dalam UU Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870) dan UU Sewa Tanah (Grondhuur Ordonantie 1918). Pada saat itu Indonesia mampu memproduksi gula sebesar 3 juta ton dengan luas lahan sekitar 200.000 hektar. Setelah era kemerdekaan banyak pabrik-pabrik gula yang dinasionalisasi. Walaupun pemerintah telah mengambil alih pabrik-pabrik gula tersebut tetapi sistem sewa tetap digunakan, yaitu pabrik gula menyewa lahan milik petani lalu mengusahakannya sendiri. Dengan sistem sewa tersebut petani hanya memperoleh pendapatan dari sewanya dan petani tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya. Berdasarkan hal-hal di atas, maka pada tahun 1975 dikeluarkan Inpres No. 9 Tahun 1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diringkas sebagai berikut: 1) Mengganti sistem sewa yang biasa dijalankan oleh pabrik gula dengan sistem tebu rakyat. Petani melakukan usaha budidaya di lahannya sendiri dengan menerapkan teknologi yang telah dianjurkan. Dalam pengelolaan usahatani tebu dilakukan dalam satuan kelompok hamparan. Sedangkan pabrik gula berperan sebagai perusahaan pengelola, yaitu bertanggung jawab secara operasional dan sebagai pimpinan kerja pelaksana budidaya tanaman tebu di wilayah kerjanya, serta menyusun perencanaan areal, melaksanakan bimbingan teknis, menyediakan dan menyalurkan bibit. 2) Melaksanakan program intensifikasi tebu dengan sistem BIMAS (Bimbingan Masyarakat).
14
3) Mendudukkan pabrik gula sebagai penggiling tebu yang dihasilkan oleh rakyat hingga menjadi gula pasir dengan sistem bagi hasil. Program TRI ini sebenarnya telah berhasil meningkatkan luas areal tebu, yaitu mencapai 428.000 hektar pada tahun 1994. Namun perluasan luas areal tanaman tebu tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas karena sebagian besar perluasan areal tebu dilakukan di lahan kering tanpa irigasi. Kemudian kebijakan ini dihapuskan pada tahun 1997 mengikuti persyaratan IMF (International Monetary Fund) sehingga menurunkan luas areal produksi yang telah ada. Akibatnya produksi tebu yang dihasilkan juga rendah dan menurun. Pada tahun 2002, Departemen Pertanian menerapkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional, yang meliputi kegiatan rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu
(bongkar
ratoon).
Program
ini bertujuan
memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. Selain itu, program ini diperkirakan dapat memberikan peningkatan hasil pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan oleh adanya pergantian ratoon seluas 7000 hektar, peningkatan produktivitas lahan dengan adanya penggunaan bibit berkualitas, dan peningkatan modal usahatani tebu melalui Kredit Ketahanan Pangan (KKP), serta pengendalian harga melalui implementasi kebijakan tata niaga pergulaan nasional. Selain itu bongkar ratoon ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat rendemen tebu nasional dari 7,6 persen pada tahun 2007 menjadi delapan persen di tahun 2008. Sehingga pada tahun 2008 ditargetkan akan terjadi peningkatan produksi gula nasional menjadi sebesar 2,6 juta – 2,7 juta ton6.
6
www.els.bappenas.go.id “Deptan Optimis Tak Perlu Impor Gula” diakses 7 Februari 2008.
15
2.3
Pengusahaan Pabrik Gula Sejak tahun 1975 pabrik gula telah dinyatakan secara resmi sebagai usaha
pemroses atau pengolah tebu menjadi gula pasir. Pabrik gula juga berperan sebagai pembimbing petani dalam budidaya tebu. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperoleh jumlah dan kualitas tebu sesuai harapan. Sebagai imbalan atas pemrosesan tebu menjadi gula pasir, pihak pabrik gula menerima “ongkos giling” yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan hasil giling. Sistem pembagian hasil ini ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip dasar pembagian adalah semakin tinggi rendemen tebu yang digilingkan semakin tinggi pula persentase bagian yang diterima petani. Dengan demikian, semakin banyak hasil gula semakin rendah ongkos gilingnya. Walaupun telah beberapa kali dilakukan peninjauan, ketentuan bagi hasil ini tidak banyak berubah. Ketentuan bagi hasil yang tercantum dalam SK Mentan No.03/SK/Mentan/BIMAS/VI/187 menyatakan bahwa: 1) Petani tebu akan mendapatkan 62 persen gula yang dihasilkan dari tebu yang nilai rendemennya sampai dengan delapan persen, bila rendemen melampaui delapan persen maka petani mendapatkan tambahan hasil. 2) Petani tebu akan mendapatkan bagian tetes sebanyak 4,5 kilogram untuk setiap kuintal tebu yang digilingkan. Berdasarkan kepemilikannya sebagian besar pabrik gula di Indonesia adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan sisanya adalah BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Pada tahun 1930, Indonesia memiliki 179 pabrik gula (PG). Jumlah PG semakin menurun karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Tahun 2006 tercatat sebanyak 50 unit PG milik BUMN (diusahakan oleh PTPN
16
dan RNI) dan delapan PG milik swasta 7. Pada umumnya pabrik-pabrik yang ada beroperasi dibawah kapasitas giling. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil (kurang dari 3.000 TCD) karena mesin yang sudah tua serta tidak mendapat perawatan yang memadai yang menyebabkan biaya produksi per kilogram gula tinggi.
2.4
Jenis Gula Menurut Moerdokusumo (1993) sesuai dengan negara tujuan, secara
umum dikenal tiga jenis gula utama, yaitu gula mentah, gula merah (tidak termasuk gula jawa, aren, dsb), dan gula putih (termasuk gula rafinade, SHS). 1) Gula mentah Yang dimaksud dengan gula mentah adalah sejenis gula merah yang berbutir tidak terlalu halus, terutama diperuntukkan sebagai bahan baku pabrik gula rafinade. Gula mentah ini meliputi HS, NA, dan Muscovado. Jenis muscovado sudah sejak lama tidak lagi dipakai sebagai bahan baku pabrik rafinade. Negara yang menggunakan gula mentah dari Indonesia untuk bahan rafinadenya adalah Hongkong, Jepang, Australia, Selandia Baru, Korea, China, India, dan beberapa negara di Eropa. Sebagai gula mentah untuk bahan rafinade, HS dan NA terutama harus memenuhi persyaratan ukuran butiran kristal gula, kadar air dan polarisasi. Pasaran gula mentah ini sebagian besar telah hilang karena Indonesia tidak mampu mengekspor gulanya. Hal ini diakibatkan produksi yang sangat merosot bahkan untuk konsumsi dalam negeri pun masih kurang. Dalam rangka memantapkan kebijakan pangan, timbul gagasan untuk tidak mengimpor gula 7
www.bei.co.id/images/_res/opini. “Mengembalikan Kejayaan Si Manis” diakses 10 April 2008.
17
putih melainkan mengimpor gula mentah (gula merah) untuk kemudian diputihkan di pabrik gula tertentu di luar tahun gilingnya sendiri. 2) Gula merah Ada beberapa jenis gula merah, antara lain: a) HS atau gula utama adalah jenis gula dengan polarisasi minimal 98°V. Kebanyakan HS yang dijual mempunyai polarisasi antara 99,4°V sampai 99,5°V yang dapat lebih tinggi jika bahannya diambil dari SHS yang diberi campuran karamel. Berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu untuk konsumsi langsung atau bahan rafinade, HS masih dibagi lagi menjadi beberapa golongan menurut nomor tipe warna standar Belanda. Daerah pasaran HS untuk konsumsi langsung adalah Indonesia dan Malaysia. b) NA (New Assortiment), yaitu gula dengan polarisasi 96,5°V – 97,25°V dan kadar bahan gula antara 2,5 sampai tiga persen. Faktor tahan simpan tidak boleh melebihi 0,27. Jenis NA tidak digolongkan khusus menurut tipe warna. 3) Muscovado Muscovado digolongkan dalam Java Assortiment dan termasuk gula merah yang memiliki polarisasi minimal 96,5°V. Sebagai bahan mentah gula rafinade, muscovado sudah jarang digunakan. Meskipun polarisasinya sama dengan NA, pada dasarnya kedua jenis gula tersebut berlainan terutama sifat fisik dan kimianya. Muscovado dibuat dengan cara mencampurkan HS dengan karamel untuk memperendah warna. Muscovado lebih mudah dikeringkan dan lebih tahan lama daripada NA.
18
4) Gula tetes MS, gula sirup SS, dan gula sirup superior SSS Meskipun warnanya merah, gula tetes tidak termasuk jenis gula kristal merah tetapi jenis gula sirup. Gula sirup (SS) dan gula sirup superior (SSS) dikenal sebagai soft sugar. Jenis gula ini tidak banyak diproduksi. SSS adalah jenis gula berbutir halus merata yang telah dicampur dengan larutan gula invest. 5) Gula putih Gula putih yang dimaksud adalah SHS dan gula rafinade. Untuk SHS tidak ada pembagian atas dasar spesifikasi butir yang ketat. 6) Gula pasir dan bahan pemanis non gula pasir Menurut Sawit et al. (1999) pemanis digolongkan menjadi dua, yaitu gula dan non gula. Kelompok gula meliputi gula kristal, gula bukan kristal, dan gula cair. Golongan non gula terdiri dari pemanis yang dibuat dari bahan tanaman (misalnya dari Stevia) dan pemanis sintesis seperti saccharine (sodium).
2.5
Penelitian Terdahulu Meiditha (2003), menganalisis mengenai efisiensi produksi gula pasir di
PG Kebon Agung. Dalam pendugaan modelnya produksi gula dipengaruhi oleh tujuh faktor produksi dan satu peubah dummy. Faktor produksi tersebut terdiri dari bahan baku tebu, rendemen tebu, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, residu dan jumlah bahan pembantu. Sedangkan variabel dummy ditambahkan untuk mengetahui pengaruh dari kebijakan tataniaga gula dan tataniaga impor terhadap produksi gula. Setelah dilakukan analisis regresi dihasilkan lima variabel yang berpengaruh nyata, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman serta variabel dummy.
19
Analisis efisiensi yang dilakukan dengan membandingkan antara NPMxi dengan BKMxi hanya dapat menilai tiga faktor produksi, yaitu tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman yang ketiganya dinyatakan belum efisien secara ekonomis. Sedangkan dua faktor produksi lainnya, yaitu rendemen dan jam mesin tidak dapat dilihat efisiensinya karena tidak dapat diukur tingkat harganya. Hidayat (2003), menganalisis kinerja produksi dan keuangan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang. Analisis yang dilakukan antara lain: Pertama, analisis rasio untuk mengukur rentabilitas, aktivitas, dan leverage. Kedua, analisis titik impas dan analisis profitabilitas untuk mengetahui hubungan biaya produksi terhadap titik impas dan profitabilitas. Ketiga, analisis Du Pont untuk melakukan identifikasi hubungan antara struktur biaya dengan kinerja keuangan. Hasil analisis digunakan untuk merumuskan alternatif-alternatif perbaikan kondisi perusahaan. Kinerja keuangan PG Subang cenderung naik pada tahun 1999-2001 dan menurun pada tahun 2002 untuk rentabilitas dan likuiditas. Nurrofiq (2005), menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto. Dalam analisisnya terdapat enam faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari keenam peubah tersebut hanya lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap model produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, dan lama giling. Pengolahan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model regresi yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi gula di PG Djatiroto serta rasio
20
NPM dan BKM untuk melihat efisiensi alokatif pabrik tersebut. Untuk perumusan model produksi gula dipergunakan model fungsi produksi linier berganda. Wahyuni (2007), di dalam penelitiannya terdapat enam faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Madukismo, Yogyakarta. Faktor-faktor produksi tersebut antara lain: tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, bahan pembantu, lama giling, dan jam mesin. Namun setelah dianalisis menggunakan model regresi, ternyata hanya ada lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula, yaitu tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, lama giling, dan jam mesin. Kemudian faktorfaktor tersebut diukur tingkat efisiensinya dengan melihat perbandingan antara nilai NPM dan BKM. Dalam penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman karena ketiga faktor produksi tersebut dapat diukur tingkat harganya. Dari nilai NPM dan BKM dari setiap faktor produksi dapat dijelaskan bahwa pengalokasian sumberdaya dari ketiga faktor produksi belum optimal. Untuk perumusan model produksi gula menggunakan model fungsi produksi linier berganda. Dari penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula dapat dilihat dari berbagai karakteristik, yaitu usahatani, karakteristik dalam pabrik, keadaan pasar, serta karakteristik kebijakan. Dalam segi usahatani faktor-faktor yang biasa diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu, dan tingkat rendemen. Dalam pabrik faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, residu, jumlah bahan
21
pembantu, dan lama giling. Sedangkan karakteristik di pasar berupa harga gula di pasaran (domestik dan impor) serta kebijakan pergulaan yang dikeluarkan pemerintah. Untuk penelitian yang dilakukan di pabrik gula Pagottan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, jam mesin, serta lama giling. Pendugaan ini berasal dari penelitian-penelitian terdahulu dan pengamatan yang dilakukan di lapang. Dapat disimpulkan metode yang digunakan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh, yaitu metode OLS (Ordinary Least Square). Model fungsi produksi yang biasa digunakan yaitu model fungsi CobbDouglas dan model fungsi Linier. Dalam penelitian ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Efisiensi merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produksi gula nasional. Efisiensi dapat bermacam-macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis dapat diukur dengan melihat perbandingan antara persentase kapasitas giling dengan kapasitas terpasangnya, atau dapat juga dengan mengukur antara rasio bahan baku dan gula yang dihasilkannya. Efisiensi alokatif dapat diukur dengan membandingkan antara NPM dan BKM. Sedangkan efisiensi ekonomis dapat dilihat dari persentase harga pokok dengan persentase harga provenue, nilai titik impas serta nilai kemampuan laba. Dalam penelitian ini akan dicari tingkat efisien alokatifnya. Dengan efisiensi alokatif ini maka diketahui efisiensi dari faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, dimana efisiensi alokatif menilai pengorbanan yang dibutuhkan untuk menambah suatu input terhadap hasil.
22
III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Teori Dan Fungsi Produksi Produksi merupakan kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Untuk
memproduksi barang dan jasa tersebut digunakan sumberdaya yang disebut sebagai faktor produksi (Lipsey et al, 1995). Faktor produksi seperti lahan, pupuk, tenaga kerja, modal dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi yang diperoleh. Keputusan kombinasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai target produksi ditentukan oleh kebijaksanaan produsen. Untuk menjelaskan kombinasi-kombinasi input yang diperlukan untuk menghasilkan output, para ekonom menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Pappas (1995) menambahkan fungsi produksi adalah sebuah pernyataan deskriptif yang mengaitkan masukan dengan keluaran, yang memperlihatkan keluaran maksimum yang dapat diproduksi dengan jumlah masukan tertentu. Umumnya untuk menghasilkan output diperlukan lebih dari satu input. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f(X1, X2, X3,....,Xn)
(1)
Dimana: Y
: output
X1, X2, X3,....,Xn
: input-input yang digunakan dalam proses produksi
Dengan fungsi produksi tersebut di atas, maka hubungan Y dan X dapat diketahui dan sekaligus hubungan X1, X2,…, Xn dan X lainnya juga dapat
23
diketahui. Berbagai macam fungsi produksi telah dikenal dan dipergunakan oleh berbagai peneliti, tetapi yang umum dan sering dipakai (Soekartawi, 1990), yaitu: a. Fungsi Produksi Linier Secara matematis fungsi produksi linier dapat ditulis sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3,....,Xn) Dimana: Y : variabel yang dijelaskan (dependent variable) X : variabel yang menjelaskan (independent variable)
Fungsi produksi linier dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi produksi linier sederhana dan linier berganda. Perbedaan ini terletak pada jumlah variabel X yang dipakai pada model. Fungsi produksi linier sederhana biasa digunakan untuk menjelaskan hubungan dua variabel. Model ini sering digunakan karena analisisnya
dan
hasilnya
mudah
dimengerti
secara
cepat.
Sedangkan
kelemahannya terletak pada jumlah variabel X yang digunakan dalam model. Karena hanya satu variabel yang dimasukkan maka peneliti akan kehilangan informasi karena ada variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Y = a + Bx + e Dimana: a : intersep (perpotongan) b : koefisien regresi e : error term Untuk mengatasi masalah di atas maka peneliti biasanya menggunakan fungsi produksi linier berganda. Berbeda dengan fungsi produksi linier sederhana,
24
fungsi produksi linier berganda menggunakan jumlah variabel lebih dari satu. Secara matematis hal ini dapat ditulis berikut: Y = f (X1, X2, X3,....,Xn); atau Y = a + b1X1 + b2X2 + …. + biXi + … + b nXn + e Dimana a, b, X,Y, dan e telah dijelaskan sebelumnya. Estimasi garis regresi linier berganda ini memerlukan bantuan asumsi dan model estimasi tertentu sehingga diperoleh garis estimasi atau garis penduga yang baik. b. Fungsi Produksi Kuadatrik Rumus matematik dari fungsi produksi kuadratik atau juga disebut dengan fungsi produksi polynomial kuadratik biasanya dituliskan sebagai berikut: Y = a + bX + cX2 + e Dimana: Y
: variabel yang dijelaskan
X
: variabel yang menjelaskan
a,b,c
: parameter yang diduga
e
: error term
Berbeda dengan garis linier (sederhana dan berganda) yang tidak memiliki nilai maksimum, maka fungsi kuadratik justru mempunyai nilai maksimum. Dalam proses produksi pertanian, dimana berlaku hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang, maka fungsi kuadratik dapat dituliskan sebagai berikut: Y = a + bX – cX2 + e c. Fungsi Produksi Eksponensial Secara umum fungsi produksi eksponensial dapat dituliskan sebagai berikut:
25
Y = aXb (biasanya disebut fungsi Cobb-Douglas) Menurut Soekartawi (2003) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan variable yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variabel yang menjelaskan, (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X adalah biasanya dengan cara regresi dimana variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Dengan demikian kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Karena di dalam fungsi produksi eksponensial ini ada bilangan berpangkat maka penyelesaiannya diperlukan bantuan logaritma. d. Fungsi Produksi CES Fungsi produksi CES untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Arrow, dkk (1960). Fungsi ini dipakai jika berlaku asumsi atau situasi constant return to scale (CRS). Rumus matematik dari CES adalah sebagai berikut: Y = γ[δK-P + (1 - δ)L-P1-1/P] Dimana: Y : output γ : parameter efisiensi (γ > 0) δ : distribusi parameter (0 < δ < 0) K : kapital L : input tenaga kerja p : parameter substitusi (p > -1)
Oleh Fletcher (1968), fungsi produksi CES tersebut dimodifikasi dan juga dipakai oleh Soskie (1968). Selanjutnya model CES yang telah di modifikasi ini dilaporkan oleh Lau dan Fletcher (1969) dengan VES (variable elasticity of substitution). Secara matematis fungsi VES dapat ditulis sebagai berikut:
26
γ = γ [δK-p + (1 - δ)µ (KL)-C(1+p)L-p]-1/p Dimana: µ dan C adalah konstan. Persamaan VES ini mempunyai cirri antara lain mempunyai produk marjinal yang positif dan menurun ke bawah dan homogenitas. Persamaan VES ini mempunyai ciri antara lain mempunyai produk marjinal yang positif dan menurun ke bawah dan homogenitas derajat satu. Sedangkan kelemahan dari fungsi VES ini adalah jumlah variabel yang dipakai terbatas, yaitu hanya dua variabel. Bila digunakan lebih dari dua variabel maka penyelesaiannya akan menjadi relatif lebih sulit. e. Fungsi Produksi Transcendental Rumus umum dari fungsi produksi transcendental adalah sebagai berikut: Y=A Dimana:
1
1
1 1
2
2
2 2
+u
Y : output X : input a, b, c : parameter yang akan diduga e : bilangan konstan u : galat (disturbance term)
Dalam kondisi-kondisi tertentu fungsi produksi transcendental ini akan menjadi
fungsi
Cobb-Douglas.
Keunggulan
fungsi
ini
adalah
dapat
menggambarkan kondisi dimana produk marjinal dapat menaik, menurun, dan menurun dalam “negatif” (negative marginal products). Sebaliknya kelemahan dari fungsi ini adalah bila salah satu dari nilai X adalah nol maka fungsi tersebut tidak dapat diselesaikan karena fungsi Y menjadi nol.
27
f. Fungsi Produksi Translog Fungsi produksi translog dapat dituliskan sebagai berikut: log Y = log A + b1 log X1 + b2 log X2 + b3 (log X1 log X2) + u Dimana: Y : output X : input b1, b2, b3 : parameter yang diduga A : parameter yang juga berfungsi sebagai intersep u : galat (disturbance term)
Fungsi produksi translog ini dapat berubah bentuknya menjadi fungsi produksi Cobb-Douglas jika parameter b tidak berbeda nyata dengan nol. Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi, yaitu “Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang (The Law of Diminishing Return)”. Hukum ini menyatakan bahwa jika faktor produksi terus menerus ditambahkan pada faktor produksi tetap maka tambahan jumlah produksi per satuan akan semakin berkurang. Hukum ini menggambarkan adanya kenaikan hasil yang negatif dalam kurva fungsi produksi. Fungsi produksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Doll dan Orazem (1984) fungsi produksi klasik dapat dibagi menjadi tiga wilayah atau tahap, masing-masing tahap tersebut penting dari segi efisiensi penggunaan sumberdaya. Tiga tahap tersebut ditunjukkan pada Gambar 2. Tahap I terjadi ketika MPP lebih besar daripada APP. APP adalah peningkatan seluruh Tahap I, mengindikasikan bahwa nilai rata-rata dimana input variabel, X, ditransformasi menjadi produk, Y, meningkat hingga APP mencapai nilai maksimum pada akhir Tahap I.
28
Y= output
(a)
I
(b)
II
TPP
III X= input
MPP, APP
MPP
APP I
II
III X= input
Gambar 2 Fungsi Produksi Klasik dan Tiga Tahap Produksi Sumber: John P. Doll dan Frank Orazem, 1984
Tahap II terjadi ketika MPP menurun dan kurang dari APP, tetapi lebih besar dari nol. Efisiensi fisik dari input variabel mencapai puncak pada awal Tahap II, hal ini terjadi ketika MPP sama dengan APP, batas ini ditunjukkan oleh garis putus-putus (a). Di sisi lain, efisiensi input tetap terbesar adalah pada akhir Tahap II. Hal ini dikarenakan angka unit-unit input tetap yang konstan, biasanya pada angka satu. Oleh sebab itu, output per unit dari input tetap harus menjadi yang terbesar ketika output total dari proses produksi mencapai nilai maksimum.
29
Tahap III terjadi dimana MPP bernilai negatif. Tahap III terjadi ketika jumlah input variabel sudah berlebih dikombinasikan dengan input tetap yang sangat besar, padahal total produksi sudah mulai menurun. Garis putus-putus (b) pada Gambar 2. menunjukkan batas antara Tahap II dan Tahap III. Berdasarkan nilai elastisitasnya, fungsi produksi dibagi atas tiga daerah, yaitu elastisitas produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), elastisitas produksi antara nol dan satu (daerah II), dan elastisitas produksi lebih kecil dari nol (daerah III). Daerah produksi I mempunyai nilai elastisitas produksi lebih dari satu, artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum masih belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan dengan penggunaan faktor produksi yang lebih banyak. Oleh karena itu, daerah I disebut daerah irrasional. Daerah II elastisitas produksinya bernilai antara nol dan satu. Hal ini berarti bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol. Pada tingkat penggunaan faktor produksi tertentu pada daerah ini akan tercapai keuntungan maksimum. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah yang rasional karena produsen harus menetapkan tingkat produksi yang dapat mencapai maksimum. Elastisitas produksi pada daerah III adalah lebih kecil dari nol, yang artinya setiap penambahan faktor-faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah produksi ini mencerminkan pemakaian faktor-faktor produksi yang tidak efisien. Daerah ini disebut daerah irrasional.
30
Produsen yang rasional akan berhenti berusaha atau berupaya mencari alternatif lain. Menurut Doll dan Orazem (1984) elastisitas produksi didefinisikan sebagai sebuah konsep yang mengukur derajat responsivitas antara input dan output. Elastisitas produksi, seperti elastisitas lainnya, tidak bergantung pada unit-unit pengukuran. Elastisitas produksi ( p) dirumuskan sebagai berikut: p
=
Dari sini, elastisitas produksi ditentukan menjadi: p
= Y Y ÷
=
.
=
X X
Pada Tahap I, MPP lebih besar dari APP. Oleh sebab itu, dari satu. Pada Tahap II, MPP lebih kecil dari APP sehingga
p lebih besar
p kurang dari satu
tetapi lebih besar dari nol. Pada Tahap III, MPP bernilai negatif sehingga
p
bernilai negatif.
Menurut Lipsey et al (1990) ada beberapa macam nilai elastisitas baik jangka panjang maupun jangka pendek, yaitu: 1. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E = 0), keadaan seperti ini dikatakan inelastis sempurna, dimana jumlah yang diminta atau yang ditawarkan tidak berubah dengan adanya perubahan harga. 2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1), keadaan ini dikatakan inelastis atau tidak responsif karena jumlah yang diminta atau yang
31
ditawarkan berubah dengan persentase yang lebih kecil daripada perubahan harga. Pada kondisi ini perubahan satu persen variabel indepeden menyebabkan perubahan variabel dependen kurang dari satu persen. 3. Jika nilai elastisitas sama dengan satu (E = 1), keadaan seperti ini disebut unitary elastis, dimana jumlah yang diminta atau yang ditawarkan berubah dengan persentase yang sama dengan perubahan harga. 4. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E > 1), keadaan seperti ini dikatakan elastis atau responsif karena jumlah yang diminta atau yang ditawarkan berubah dalam persentase yang lebih besar daripada perubahan harga. Pada kondisi ini perubahan satu persen variabel independen akan menyebabkan perubahan variabel dependen lebih dari satu persen.
3.1.2 Konsep Efisiensi Produksi Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara nilai hasil atau output terhadap nilai masukan atau input (Lipsey et al, 1995). Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya apabila menghasilkan produk yang lebih tinggi nilainya untuk nilai tingkat korbanan yang sama atau dapat mengurangi korbanan untuk memperoleh produk yang sama. Jadi konsep efisiensi merupakan konsep yang bersifat relatif (Soekartawi, 2003). Konsep efisiensi mengandung tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis menyatakan sejumlah produk yang dapat diperoleh dengan penggunaan kombinasi masukan yang paling sedikit. Efisiensi teknis akan tercapai apabila di dalam mengalokasikan sumbersumber produksi tidak terdapat barang yang dapat diproduksi tanpa keharusan untuk mengurangi produksi barang lainnya. Efisiensi alokatif menyatakan nilai
32
produk marginal sama dengan oportunitas dari masukan yang berarti setiap tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mampu menghasilkan tambahan penerimaan yang besarnya sama dengan tambahan biaya. Produksi output dikatakan efisien secara alokatif jika tidak ada cara lain untuk memproduksi output yang dapat menggunakan seluruh nilai input dengan jumlah yang lebih sedikit. Efisiensi teknis dan efisiensi alokatif merupakan komponen dari efisiensi ekonomi (Semaoen, 1992 dalam Januarsini, 2000). Menurut Doll dan Orazem (1984) efisiensi ekonomi adalah kombinasi input-input yang memaksimalkan tujuan individu atau sosial. Efisiensi ekonomi ditentukan dalam dua syarat, yaitu syarat kebutuhan dan syarat kecukupan. Syarat kebutuhan ditemukan pada proses produksi ketika: pertama tidak mungkin memproduksi output dalam jumlah yang sama dengan input yang lebih sedikit, dan kedua tidak mungkin memproduksi lebih banyak output dengan input yang sama. Dalam analisis fungsi produksi, syarat ini ditemukan pada Tahap II dimana jika elastisitas produksi sama dengan atau lebih dari nol dan sama dengan atau kurang dari satu (0
p
1). Berbeda dengan syarat kebutuhan yang objektif, syarat
kecukupan untuk efisiensi meliputi tujuan-tujuan individu atau sosial. Kondisi efisien pada suatu perusahaan terkait dengan tujuan perusahaan pada umumnya, yaitu untuk memaksimumkan keuntungan (profit). Keuntungan tersebut dapat dicapai antara lain dengan cara memanfaatkan sejumlah input pada tingkat optimumnya (Gambar 2). Secara matematis penggunaan input yang optimum dapat diturunkan dari pengurangan keuntungan dengan biaya totalnya, sesuai dengan persamaan berikut: = Py.Y – Px.X – TFC
33
Dimana: : keuntungan Py
: harga output
Px
: harga input
Y
: output
X
: input
TFC
: biaya input total (Total Fixed Cost)
Sedangkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum jika diasumsikan bahwa di suatu perusahaan tidak terdapat kendala internal, maka diisyaratkan bahwa turunan pertama dari persamaan di atas sama dengan nol. Sehingga persamaan umum menjadi:
= Py Atau
Px = 0
= Py. MPPxi Pxi = 0
(2) (3)
Py. MPPxi = Pxi
(4)
MPPxi =
(5)
Dengan membagi ruas kiri dan kanan dengan Py, maka persamaan menjadi:
Dengan demikian secara matematis dapat diketahui besarnya marginal produk. Apabila harga faktor produksi tidak dipengaruhi oleh jumlah pembelian faktor produksi, persamaan dapat ditulis sebagai berikut: NPMXi = BKMxi
=1
(6) (7)
Untuk penggunaan lebih dari satu faktor produksi (i faktor produksi), maka keuntungan maksimum dapat dicapai jika:
34
=
=
Apabila rasio
NPM Xi BKM xi
=
=1
(8)
< 1, maka penggunaan faktor produksi telah
melampaui batas optimal sehingga produsen yang rasional akan mengurangi penggunaan faktor produksi agar mencapai kondisi optimal. Namun di dalam kegiatan untuk mencapai keuntungan yang maksimum, pada umumnya perusahaan akan dihadapkan oleh beberapa kendala, terutama berupa kendala internal. Kendala tersebut dapat berupa keterbatasan modal yang dimiliki perusahaan untuk membeli faktor-faktor produksi sehingga dapat mencapai kondisi yang efisien. Jika diasumsikan perusahaan menghadapi kendala internal berupa biaya produksi maka kondisi tersebut dapat ditulis dalam bentuk persamaan berikut: Co =
Dimana:
n i=1 xi
vi
(9)
C : kendala biaya xi : faktor produksi ke-i vi : harga faktor produksi ke-i i : 1,2,3,...,n Dengan melibatkan unsur kendala berupa keterbatasan modal, maka untuk mencapai kondisi maksimum profit dapat digunakan pendekatan teknik optimasi klasik
(clasical
optimization
technique).
Dengan
menggunakan
fungsi
Lagrangian, maka pendapatan yang diperoleh perusahaan dapat dirumuskan sebagai berikut: L = Py + [ Co
n i=1 xi
vi ]
(10)
35
Dimana: L : pendapatan perusahaan p : harga output y : jumlah output : multiplier Lagrange xi : faktor produksi ke-i vi : harga faktor produksi ke-i i : 1,2,3,...,n Sedangkan untuk mencapai kondisi keuntungan maksimum, maka disyaratkan turunan pertama dari persamaan (10) terhadap variabel X dan multiplier Lagrange ( ) sama dengan nol. Sehingga persamaan umum menjadi:
=p
Dimana:
v =0
x v =0
= C
(11)
(12)
: Marjinal produk dari xi
: Nilai Produk Marjinal dari xi Dari persamaan (11) dan (12), maka diperoleh persamaan sebagai berikut: NPMxi vi
=
(13)
Jika di dalam produksi digunakan lebih dari 1 faktor produksi (i faktor produksi), maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: NPMx1 v1
=
NPMx2 v2
=
NPMxi vi
(14)
36
Jika diasumsikan bahwa harga faktor produksi tidak dipengaruhi oleh jumlah pembelian faktor produksi, maka persamaan (14) dapat dinyatakan dalam bentuk:
=
=
=
(15)
Sehingga dapat diketahui bahwa dengan adanya kendala tertentu di perusahaan kondisi efisien tidak lagi mutlak terjadi pada saat dapat terjadi pada saat
3.2
NPM Xi BKM xi
NPM Xi BKM xi
= 1, namun
= , dengan lamda ( ) adalah suatu nilai tertentu.
Kerangka Pemikiran Operasional PG Pagottan merupakan salah satu pabrik gula terbesar di Jawa Timur.
Luas lahan HGB (Hak Guna Bangunan) PG Pagottan adalah 225.891 m2. Kegiatan utama pabrik ini adalah memproduksi gula. Pabrik ini diindikasikan mengalami masalah dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Pabrik tersebut mempunyai rata-rata produktivitas tebu per periode yang cukup besar, yaitu 75,8 ton per hektar selama tahun 2001 sampai 2007. Namun untuk rata-rata rendemen dan produktivitas gula per periode dinilai masih rendah, yaitu sebesar 7,50 persen dan 5,69 ton per hektar (Lampiran 3). Berdasarkan studi terdahulu, teori-teori serta pengamatan di lapang maka produksi gula di Pabrik Gula Pagottan diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa variabel, yaitu jumlah tebu yang dipasok ke pabrik baik dari tebu rakyat maupun tebu sendiri (tebu dari lahan sewa ke petani), rendemen tebu, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dugaan pengaruh variabel tersebut terhadap produksi gula, yaitu jumlah tebu diduga
37
berpengaruh secara positif karena dengan semakin banyaknya tebu yang akan digiling maka jumlah gula yang akan dihasilkan juga semakin banyak. Rendemen tebu diduga berpengaruh positif, dengan semakin tinggi rendemen tebu maka jumlah gula yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Jam mesin diduga berpengaruh positif karena jika jumlah jam mesin yang tinggi maka gula yang dihasilkan juga semakin banyak. Tenaga kerja tetap dan tenaga kerja musiman diduga berpengaruh positif terhadap produksi gula, secara umum semakin banyak tenaga kerja maka semakin banyak produksi gula yang dihasilkan. Jumlah bahan pembantu diduga berpengaruh positif terhadap produksi gula karena dengan semakin banyak jumlah bahan pembantu yang digunakan maka kotoran-kotoran yang menganggu dalam proses produksi semakin sedikit dan proses produksi semakin cepat sehingga gula yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Sedangkan lama giling diduga berpengaruh negatif terhadap produksi gula karena semakin lama waktu giling maka rendemen akan semakin turun dan selanjutnya produksi gula akan menurun.
38
PG Pagottan merupakan salah satu pabrik gula yang memiliki kapasitas giling besar di bawah PTPN XI.
Rendemen tebu yang dihasilkan masih rendah.
Terjadi inefisiensi terhadap penggunaan faktorfaktor produksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula:
Karakteristik Usahatani: 1. Jumlah tebu 2. Rendemen
Karakteristik Pabrik: 1. Tenaga kerja tetap 2. Tenaga kerja musiman 3. Lama giling
Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas dengan pendugaan OLS.
Analisis Elastisitas
Analisis Efisiensi
Efisiensi Produksi Gula di PG Pagottan Gambar 3 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
39
IV
4.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PG Pagottan, Madiun, Jawa Timur.
Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa pabrik gula ini merupakan salah satu pabrik gula terbesar di Jawa Timur yang masih dapat beroperasi dengan baik di saat banyak pabrik gula yang tutup sehingga pabrik ini sangat berpotensi membantu penyediaan kebutuhan gula nasional. Penyusunan rencana penelitian (proposal penelitian) dilakukan pada Bulan Maret 2008 sampai dengan Bulan April 2008. Selanjutnya pengumpulan data di lapang berlangsung mulai Bulan Mei 2008. Kegiatan pengolahan data dan penyusunan skripsi dilakukan mulai Bulan Juni sampai Agustus 2008.
4.2
Sumber dan Jenis Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan data
sekunder. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder diperoleh dari catatan atau dokumen yang terdapat di Pabrik Gula Pagottan dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Data sekunder yang merupakan data time series (deret waktu) terdiri dari data output dan input sejak tahun 2001 sampai tahun 2007 serta harga input dan output rata-rata di PG Pagottan dari tahun 20012007. Sedangkan untuk data primer diperoleh dari wawancara terhadap administratur, kepala bagian, karyawan pabrik, dan petani serta pengamatan
40
langsung untuk mendapatkan informasi tambahan. Secara terperinci jenis data yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan Sumber Data Penelitian Keterangan
Gambaran Umum Perusahaan
Data Output dan Input
4.3
Jenis Data a. Sejarah Umum Pabrik b. Tinjauan Geografis dan Iklim c. Perkembangan Pabrik d. Proses Produksi Gula e. Struktur Organisasi Perusahaan Output a. Produksi Gula b. Produktivitas Gula c. Harga Gula Input a. Produksi Tebu b. Rendemen Tebu c. TK Tetap d. TK Musiman e. Bahan Pembantu f. Lama Giling g. Harga Tebu h. Gaji TK Tetap i. Upah TK Musiman
Sumber
Pabrik Gula Pagottan
Pabrik Gula Pagottan
Metode Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif. Pengolahan secara kualitatif digambarkan dengan perkembangan perusahaan secara umum, proses produksi serta sistem agribisnis gula. Pengolahan kuantitatif menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula Pagottan serta rasio
NPMx1 BKMx1
untuk melihat efisiensi alokatif pabrik tersebut. Bentuk
model fungsi produksi yang digunakan untuk membuat fungsi produksi gula adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas. Model ini dipilih karena fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan model yang umum digunakan dalam
41
penelitian ekonomi selain itu menurut Soekartawi (2003) terdapat tiga alasan pokok mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti, yaitu: Pertama, penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier. Kedua, hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastis. Ketiga, besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale. Namun karena penyelesaian fungsi Coob-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum peneliti menggunakan fungsi Cobb-Douglas. Persyaratan ini antara lain: a. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite). b. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada
setiap
pengamatan
(non-neutral
difference
in
the
respective
technologies). Ini artinya jika fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan diperlukan analisis lebih dari satu model (dua model) maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. c. Tiap variabel X adalah perfect competition. d. Perbedaan lokasi (pada fungsi tersebut) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan, u.
42
Fungsi produksi Cobb-Douglas untuk produksi gula dapat dituliskan sebagai berikut: Y= Dimana:
bi 7 i=1 Xi
eu
Y
: jumlah hasil produksi (kuintal)
Xi
: faktor produksi ke-i
i
: 1,2,3,…,7
X1
: jumlah tebu (ton)
X2
: rendemen (persen)
X3
: jam mesin (jam)
X4
: tenaga kerja tetap (orang)
X5
: tenaga kerja musiman (orang)
X6
: bahan pembantu (ton)
X7
: lama giling (hari) : intersep
u
: error term (galat)
1, 2,..., 6 : nilai dugaan besaran parameter
Untuk variabel independent seperti jumlah tebu giling ( 1>0), rendemen 2>0),
jam mesin ( 3>0), tenaga kerja tetap ( 4>0), tenaga kerja musiman ( 5>0),
bahan pembantu ( 6>0) diduga berpengaruh positif terhadap produksi gula, artinya setiap penambahan satu satuan dalam variabel-variabel tersebut akan menambah jumlah tertentu (satuan) variabel produksi gula di pabrik. Sedangkan untuk lama giling ( 7<0) diduga berpengaruh negatif terhadap produksi gula, artinya setiap penambahan jumlah hari giling dalam periode optimal (170-180 hari) akan mengurangi jumlah produksi gula di pabrik. Sebelum dilakukan analisis lanjutan, maka harus dilakukan pemilihan fungsi produksi Cobb-Douglas terbaik, yang sesuai untuk data produksi yang
43
tersedia. Pemilihan fungsi tersebut antara lain didasarkan pada asumsi OLS. Asumsi pertama dari model regresi adalah suatu model dikatakan baik jika memenuhi asumsi normalitas. Normalitas menunjukkan bahwa residu atau sisa diasumsikan mengikuti distribusi normal. Pengujian ini dapat dilihat melalui grafik yang dihasilkan output komputer. Apabila tebaran sisaan membentuk suatu garis lurus maka asumsi ini terpenuhi. Asumsi OLS lain yang harus terpenuhi adalah bahwa tidak terdapat gejala multikolinearitas di dalam fungsi. Gejala multikolinearitas tersebut dapat ditunjukkan oleh nilai Variance Inflation Factor (VIF). Menurut Kleinbaum dalam Meidhita (2003) tingkat multikolinearitas yang tinggi ditunjukkan oleh nilai VIF yang lebih besar dari 10. Nilai VIF tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: VIFxj =
(1
1
)
Dimana: VIFxj : Variance Inflation Factors peubah bebas ke-j R2j
: nilai koefisien determinasi pada xj yang merupakan fungsi dari peubah bebas lainnya
Selain itu suatu fungsi dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi OLS yang lain, yaitu tidak terdapat gejala autokorelasi. Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series atau ruang seperti dalam data cross-sectional (Gujarati, 1991). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji gejala autokorelasi tersebut adalah dengan menggunakan Uji Durbin-Watson (Gujarati, 1991) yang dapat diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program Minitab 14. Pada output komputer dapat dilihat
44
apabila nilai Durbin watson mendekati dua maka tidak terjadi masalah autokorelasi (Pappas, 1995). Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (ragam error yang sama). Untuk dapat membuktikan kesamaan varians (homoskedastisitas) secara visual dengan cara melihat penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai prediksi. Jika penyebarannya tidak membentuk pola tertentu seperti meningkat atau menurun, maka keadaan homoskedastisitas terpenuhi. Model terbaik juga dapat dilihat dari nilai MSE yang merupakan akar dari error term. Semakin kecil nilai MSE maka semakin baik suatu model karena selisih jarak antara nilai aktual dan nilai model semakin kecil. Suatu fungsi produksi dikatakan semakin baik apabila memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang semakin tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai koefisien determinasi persamaan maka faktor-faktor produksi di dalam persamaan model fungsi produksi semakin berpengaruh terhadap hasil produksi. Dari fungsi produksi dugaan terbaik yang telah diperoleh sebelumnya, maka dapat diketahui apakah faktor-faktor produksi telah dimanfaatkan secara efisien. Yaitu dengan menghitung rasio antara nilai produk marjinal dan biaya korbanan marjinal untuk faktor produksi tertentu. Di dalam fungsi produksi Cobb-Douglas besarnya produk marjinal faktor produksi ke-i (MPPxi) adalah (Heady dalam Meiditha, 2003): MPPxi =
i
=
i
Y Xi
Y Xi
45
Dimana: MPPxi
: produk marjinal faktor produksi ke-i : nilai dugaan parameter ke-i
i
Xi
: rata-rata geometri faktor produksi ke-i
Y*
: nilai dugaan output
i
: 1,2,3,...,7
Untuk mengetahui apakah rasio tersebut sudah memenuhi kondisi efisien, maka diperlukan pengujian rasio tersebut secara statistik, yaitu dengan menguji apakah nilai
NPMx1 BKMx1
secara signifikan berbeda dari satu. Apabila nilai rasio yang
dihasilkan lebih besar atau kurang dari satu maka faktor produksi yang digunakan belum efisien, namun jika nilai rasionya sama dengan satu berarti faktor produksi yang digunakan sudah efisien.
4.4
Pengukuran Variabel Konsep pengukuran variabel yang dipakai dalam penentuan pendugaan
fungsi produksi gula ini terdiri dari variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variable). Produksi gula merupakan variabel tak bebas, yaitu peubah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dalam model. Sedangkan variabel bebas adalah variabel yang tidak dipengaruhi oleh faktor lain dalam model, seperti jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dalam menganalisis efisiensi produksi gula, variabel-variabel yang diukur adalah:
46
1. Produksi gula (Y) Gula yang dimaksud adalah gula tebu atau gula pasir atau gula putih (refined sugar), gula ini dihasilkan dari tebu rakyat maupun tebu sendiri yang dinyatakan dalam satuan ton. Setelah tata niaga gula lepas dari Bulog (Badan Urusan Logistik) maka untuk pemasaran gula dilakukan dengan dijual sendiri maupun dilelang dengan tingkat harga terendah sebesar harga provenue (harga dasar yang ditetapkan pemerintah). 2. Jumlah tebu (X1) Jumlah tebu adalah tebu yang dihasilkan dari tebu sendiri (TS) yang lahannya adalah lahan sewa dan lahan tebu rakyat (TR). Satuan yang digunakan adalah ton. Harga tebu diperkirakan berasal dari biaya pengolahan tanah, pembibitan, budidaya, dan tebang-angkut tebu. 3. Rendemen (X2) Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam satuan persen. Bila dinyatakan bahwa rendemen tebu 10 persen, artinya bahwa dari 100 kilogram tebu yang digiling di PG akan diperoleh gula sebanyak 10 kilogram. Nilai persentase rendemen tersebut diperoleh dari rumus: Rendemen
= Sejumlah hablur (gula yang dihasilkan)
x 100%
Sejumlah tebu yang digiling Rendemen ini diperkirakan tidak dapat dinilai efisiensi alokatifnya karena tidak dapat ditentukan harganya, namun dengan menilai elastisitasnya maka dapat diketahui pengaruhnya terhadap produksi gula.
47
4. Jam mesin (X3) Mesin merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi gula. Jam mesin yang digunakan akan berpengaruh terhadap keluaran yang dihasilkan dari kegiatan produksi tersebut. Berdasarkan sifat proses produksi gula yang kontinyu, apabila terjadi kerusakan atau kemacetan pada salah satu mesin maka akan mengakibatkan kemacetan pada proses produksi secara keseluruhan sehingga kegiatan produksi gula dipengaruhi oleh kemampuan mesin untuk beroperasi, salah satunya ditunjukkan oleh nilai jam mesin. Satuan yang digunakan untuk jam mesin adalah jam. 5. Tenaga kerja tetap (X4) Tenaga kerja tetap adalah pekerja yang sifat hubungan kerjanya tidak ditentukan batas waktunya oleh peraturan-peraturan sehingga mereka harus melakukan pekerjaannya baik pada saat giling maupun tidak giling. Satuan yang digunakan adalah orang. Gaji tenaga kerja tetap dihitung berdasarkan tingkat golongan pekerja. 6. Tenaga kerja musiman (X5) Tenaga kerja musiman adalah pekerja yang sifat hubungannya ditentukan oleh batas waktu yang pada umumnya bekerja pada saat giling. Satuan tenaga kerja musiman yang digunakan adalah orang. Upah tenaga kerja dihitung dari upah yang diberikan dalam suatu proses pekerjaan. 7. Bahan pembantu (X6) Bahan pembantu yang banyak digunakan dalam proses produksi gula di PG Pagottan adalah kapur tohor, belerang, P2O5, dan flokulant. Kapur tohor dan belerang ini digunakan untuk memurnikan gula dengan sistem sulfitasi alkalis.
48
Sedangkan P2O5 digunakan sebagai peningkat kadar fosfat dalam nira mentah. Flokulant berfungsi untuk mempercepat pengendapan kotoran di dalam nira selama proses produksi berlangsung. Satuan yang digunakan adalah ton. 8. Lama giling (X7) Lama giling adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengolah tebu menjadi gula dalam satu musim giling. Satuan lama giling adalah hari.
49
V
5.1
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Sejarah dan Struktur Organisasi Perusahaan
5.1.1 Sejarah Perusahaan Pabrik Gula (PG) Pagottan didirikan oleh N.V. Kooy Coosteren Van Voorhout pada tahun 1905. Sejarah perkembangan PG Pagottan terdiri dari beberapa periode yang sering mengalami pergantian kepemilikan sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan pemerintahan sampai akhirnya PG Pagottan menjadi sebuah BUMN. Berikut sejarah perkembangan PG Pagottan berdasarkan pergantian kepemilikan: 1) Tahun 1941-1945 (masa pendudukan Jepang) : PG Pagottan digunakan untuk memproduksi semen dengan bahan baku gipa. 2) Tahun 1945-1948 (masa revolusi fisik) : PG Pagottan diambil alih oleh rakyat Indonesia dan dimanfaatkan untuk membuat ubin. Sedangkan sebagian halaman pabrik digunakan untuk membuat senjata (granat tangan). 3) Tahun 1948-1949 (masa agresi Belanda) : Belanda kembali menguasai Indonesia dan PG Pagottan dijadikan markas Belanda. 4) Tahun 1949-1956 (masa kedaulatan RI) : Dimulai pembangunan kembali PG Pagottan yang rusak akibat perang. 5) Tahun 1956-1957 : Pada periode ini Bank Industri Negara (BIN) mengelola Suiker Onderneming Pagottan dan merubah namanya menjadi Pabrik Gula Pagottan. 6) Tahun 1958-1967 : Berdasarkan Keputusan Pengesahan Militer dan Menteri Perkebunan N0. 1063/PMT/1957 tanggal 9 Desember 1957 PG Pagottan
50
dikelola oleh Pusat Perkebunan Negara dan jawatan Kementrian Pertahanan dengan nama BPU-PPN Gula Daerah V yang berpusat di Surabaya. 7) Tahun 1968-1981 : Pemerintah membentuk badan hukum negara dengan nama Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) XX yang berpusat di Surabaya. PG Pagottan termasuk dalam wilayah pengelolaan PNP XX. 8) Periode 1981-1996 : Berdasarkan peraturan pemerintah No.6 Tahun 1973 dan PP No. 43 Tahun 1979, maka pada tanggal 2 Mei 1981 PNP XX berubah nama menjadi PT Perkebunan XX (Persero). 9) Periode 1996-2008 : Berdasarkan PP No.16 tanggal 14 Februari 1996 PTP XX dan PTP XXIV-XXV dibubarkan dan dibentuk badan usaha yang sama sekali baru dengan nama PT Perkebunan Nusantara XI (Persero).
5.1.2
Struktur Organisasi Perusahaan Pabrik Gula Pagottan merupakan salah satu unit usaha yang berada
dibawah naungan PTP Nusantara XI (Persero). Di dalam menjalankan kegiatan produksinya, PG Pagottan mempunyai visi (Visi N-XI), yaitu PG Pagottan menjadi perusahaan perkebunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan stakeholders
secara
berkesinambungan.
Sedangkan
Misi
N-XI,
yaitu
menyelenggarakan usaha agribisnis utamanya yang berbasis tebu melalui pemanfaatan sumberdaya secara optimal dengan memperhatikan kelestatrian lingkungan. Selain visi dan misi, dalam menjalankan kegiatan operasionalnya PG Pagottan juga menerapkan budaya perusahaan, yaitu: 1) Sukses merupakan hasil kerja sama yang didukung prakarsa perseorangan, 2) Senantiasa berorientasi pada pertumbuhan dengan menciptakan dan memanfaatkan peluang, 3) Mutu melandasi setiap perilaku. Sistem organisasi di PG Pagottan secara garis besar
51
menganut sistem organisasi fungsional yang dipimpin oleh seorang administratur dan dibantu oleh empat orang kepala bagian (Kabag), yaitu Kabag Tanaman, Kabag TUK (Tata Usaha dan Keuangan), Kabag Pabrikasi/Pengolahan, dan Kabag Instalasi. Untuk lebih jelasnya strktur organisasi dapat dilihat pada Gambar 4. ADMINISTRATUR
KABAG TANAMAN
KABAG TUK
KABAG PABRIKASI
KABAG INSTALASI
KARYAWAN
Gambar 4 Struktur Organisasi Pabrik Gula Pagottan Sumber : Pabrik Gula Pagottan, 2008
Adapun mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing bagian adalah sebagai berikut: Administratur 1. Merencanakan dan menetapkan kebijaksanaan dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan yang telah digariskan. 2. Memimpin, mengendalikan, dan mengkoordinir secara fisik pelaksanaan tugas bagian Tata Usaha dan Keuangan (TUK), Tanaman, Pabrikasi, dan Instalasi agar tercapai kesatuan tindak. 3. Bertanggung jawab atas pelaksanaan rencana yang sudah ditetapkan direksi dengan RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan). 4. Menyelesaikan dan memutuskan masalah baik dengan intern maupun ekstern.
52
5. Mengkoordinir dan memberikan pengarahan kepada setiap Kabag. Kabag Tanaman 1. Menyediakan bahan baku tebu siap giling untuk diolah menjadi gula produk. 2. Memberikan saran, pendapat, dan umpan balik kepada administratur dalam persoalan di bidang tanaman, tebang, dan angkutan tebu. Kabag TUK (Tata Usaha dan Keuangan) 1. Menjalankan kebijaksanaan dan rencana kerja yang telah ditetapkan administratur dalam bidang TUK sesuai dengan yang digariskan oleh direksi secara berhasil guna dan berdaya guna. 2. Mengkoordinir dan melaksanakan tugas-tugas dalam bidang TUK, antara lain: a. Perencanaan, pembukuan, penggudangan, umum, kesekretariatan, dan tenaga kerja. b. Mengkoordinasi antar bagian dan mengawasi sub bagian. c. Berdasarkan penunjukan mewakili administratur bila sedang tidak ada. Kabag Pabrikasi 1. Bertanggung jawab terhadap proses produksi dalam pabrik mulai dari penimbangan tebu sampai menjadi gula produk. 2. Bertanggung jawab terhadap penyimpanan gula di gudang sebelum di pasarkan. 3. Memberikan pendapat dan umpan balik yang berhubungan dengan bidangnya. 4. Membantu administratur secara aktif dalam menyusun rencana anggaran belanja di bidang pengolahan. 5. Bertanggung jawab atas lancarnya operasi produksi pabrik.
53
Kabag Instalasi 1. Bertanggung jawab terhadap pengadaan, operasi, dan pemeliharaan mesinmesin serta perlengkapan lainnya. 2. Berkoordinasi dengan bagian-bagian lain yang berhubungan dengan masalah proses produksi, penyediaan sarana dan prasarana perkantoran serta perumahan karyawan. 3. Sebagai pembantu administratur dalam mengadakan hubungan dengan pihak luar yang berkaitan dengan permasalahan instalasi pabrik.
5.2
Tinjauan Geografis dan Iklim Wilayah PG Pagottan Pabrik Gula Pagottan berada di Desa Pagottan, Kecamatan Geger,
Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Secara geografis PG Pagottan terletak pada 7°42’11’’ - 7°48’25’’ Lintang Selatan dan 111°32”20 - 111°42’11’’ Bujur Timur dengan ketinggian 94m di atas permukaan laut. PG Pagottan terletak 175 km dari ibukota propinsi dan 9 km dari ibukota kabupaten. Iklim merupakan faktor yang sangat penting pengaruhnya terhadap proses pertumbuhan tanaman tebu dan erat hubungannya dengan pelaksanaan pekerjaan dengan mekanisasi pertanian terutama terhadap pengoperasian alat dan mesin pertanian. Iklim secara umum terdiri dari curah hujan, jumlah hari hujan, tipe iklim suhu udara, kelembaban udara, dan lama penyinaran. Bila diklasifikasikan menurut Oldeman dan Syarifuddin, PG Pagottan termasuk ke dalam tipe iklim C3 dengan 6 bulan basah dan 6 bulan kering yang sangat sesuai untuk pertumbuhan tebu. Sedangkan menurut Schmidt dan Ferguson PG Pagottan termasuk ke dalam tipe iklim basah. Rata-rata curah hujan per tahun di wilayah PG dan sekitarnya,
54
yaitu sebesar 1.544 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 98 hari. Suhu udara PG Pagottan rata-rata sebesar 26,5°C dan kelembaban nisbi sebesar 80 persen.
5.3
Kemitraan Antara PG dan Petani Setelah Inpres No. 9/1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
dihentikan pelaksanaannya, maka PG “diwajibkan” untuk mengadakan hubungan kemitraan dengan petani tebu, kemitraan ini juga didukung oleh Undang-undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44/1997 tentang Kemitraan. Di samping itu hubungan kemitraan merupakan tuntutan objektif dari PG-PG yang tidak memiliki areal HGU tetapi masih memerlukan tambahan areal untuk mencukupi kapasitas gilingnya seperti PG Pagottan. Pola kemitraan di PG Pagottan didasarkan pada prinsip saling menguntungkan antar petani tebu sebagai pemasok dan PG sebagai pemroses (mengolah tebu menjadi gula). Keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang dirumuskan bersama-sama mencakup segala aspek baik pengadaan input, budidaya, pengolahan maupun pemasarannya. Kemitraan secara menyeluruh penting karena kemitraan pada dasarnya adalah strategi bisnis yang dilakukan oleh dua atau lebih lembaga dalam jangka waktu tertentu untuk meraih manfaat bersama, ataupun keuntungan bersama sesuai prinsip saling membutuhkan dan mengisi. Selain itu kemitraan merupakan instrumen kerjasama yang mengacu pada terciptanya suasana antara keseimbangan dan keselarasan yang saling bersinergi, saling membutuhkan, saling menguntungkan, saling memperkuat (etika bisnis), keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta setara dalam hal bargaining position.
55
Dalam pengadaan input kemitraan yang dibangun antara PG dan petani, yaitu untuk input modal kerja, PG menjadi penjamin (avalist) kredit yang disalurkan oleh pemerintah melalui bank kepada petani seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP). PG juga mengenalkan varietas-varietas yang cocok untuk dikembangkan agar dapat menghasilkan produksi tebu yang optimal. Untuk input lahan, PG berlaku sebagai penyewa karena PG tidak mempunyai lahan HGU. Biasanya PG menyewa lahan petani selama satu musim tanam dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Perbandingan antara jumlah tebu yang ditanam sendiri dan tebu rakyat adalah 34 banding 66. Dalam budidaya kemitraan dilakukan dengan cara PG memberikan pembinaan budidaya tebu yang baik serta melakukan pengawasan terhadap kebun-kebun petani agar dihasilkan tebu dengan kriteria MBS (Manis, Bersih, Segar). Dalam kegiatan pasca panen PG memberikan bantuan transportasi tebu kepada para petani khususnya yang menerima kredit. Dalam pengolahan kemitraan yang dilakukan, yaitu petani memasok tebu ke PG yang sesuai kriteria (MBS) serta tepat waktu. Sedangkan di dalam pemasaran kemitraan dilakukan dimana PG dan petani bersama-sama memperjuangkan agar menerima harga gula secara layak.
5.4
Perkembangan Produksi Pabrik Perkembangan produksi di PG Pagottan dapat ditinjau dari beberapa hal,
antara lain penyediaan bahan baku, keberhasilan dalam proses pengolahan, serta ketersediaan tenaga kerja. Data yang dianalisis merupakan data-data yang terjadi selama tujuh tahun terakhir. Untuk melihat kinerja penyediaan bahan baku maka dapat dilihat perkembangan dari luas lahan yang digunakan, jumlah tebu yang
56
dihasilkan, produktivitas tebu per ha serta tingkat rendemen yang dihasilkan. Keberhasilan dalam proses pengolahan dapat dilihat dari data produksi gula, lama giling serta pemakaian bahan pembantu, yaitu belerang, kapur tohor, P2O5, dan flokulant. Sedangkan untuk melihat ketersediaan tenaga kerja dapat melihat formasi karyawan PG Pagottan. 1) Luas lahan Bahan baku yang dipasok ke PG Pagottan berasal dari dua sumber, yaitu tebu yang berasal dari petani yang disebut sebagai Tebu Rakyat (TR) dan tebu yang berasal dari lahan yang disewa PG Pagottan yang disebut sebagai Tebu Sendiri (TS). Luas lahan yang dimaksud adalah luas lahan tebu yang digiling. Berdasarkan Lampiran 3 terlihat bahwa dari periode pertama masa giling 2001 hingga periode akhir masa giling 2007, luas lahan mengalami peningkatan sebesar 2,44 persen per periode. Pada Lampiran 2 juga dapat dilihat bahwa pada tahun 2004 luas lahan dalam satu periode giling tidak sama, hal ini disebabkan oleh adanya penambahan areal dari PG sesaudara, yaitu PG yang berada di wilayah kerja PTPN XI dan letaknya masih dalam satu kabupaten. Total luas lahan yang berasal dari PG sesaudara pada tahun 2004 adalah 1,665 ha. Terdapat beberapa alasan mengapa PG sesaudara menggilingkan tebunya di PG Pagottan. Pertama karena adanya kondisi cost major, yaitu kondisi tidak normal yang dihadapi PG sesaudara, seperti terjadi kebakaran lahan tebu sebelum waktunya giling sehingga dirasa lebih menguntungkan jika PG sesaudara ikut menggilingkan tebunya pada PG yang telah memasuki masa giling. Alasan lainnya adalah ketika PG sesaudara mengalami kerusakan mesin dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperbaikinya, sehingga untuk
57
mengurangi kerugian maka PG sesaudara menggilingkan tebunya ke PG lain (PG Pagottan). 2) Jumlah tebu Tanaman tebu merupakan bahan baku utama dalam kegiatan proses produksi gula pasir, sehingga ketersediaannya sangat mempengaruhi kegiatan produksi. Dari perkembangan jumlah pasokan tebu yang terlihat pada Lampiran 3, dapat diperoleh gambaran bahwa pertumbuhan produksi tebu rata-rata di pabrik dari periode awal masa giling 2001 sampai periode akhir masa giling 2007 cenderung mengalami peningkatan sebesar 1,45 persen per periode. Peningkatan jumlah tebu ini sangat dipengaruhi oleh pasokan bahan baku dari tebu sendiri yang mengalami peningkatan sebesar 4,68 persen per periode dan peningkatan yang cukup signifikan dari tebu rakyat, yaitu sebesar 14,2 persen per periode. Peningkatan produksi tebu, baik untuk tebu sendiri maupun tebu rakyat sangat dipengaruhi oleh peningkatan luas lahan dan produktivitas tebu per hektar. Penurunan produksi tebu yang cukup drastis terjadi pada tahun 2001 baik untuk produksi tebu rakyat maupun tebu sendiri, dengan total penurunan mencapai 40 persen. 3) Kualitas tanaman tebu Selain kuantitas pasokan bahan baku tebu, produksi gula juga dipengaruhi oleh kualitas pasokan tebu tersebut. Kualitas tebu didasarkan pada kadar gula dalam tebu, yang dapat ditunjukkan oleh tingkat rendemen. Besarnya nilai rendemen antara lain dipengaruhi oleh budidaya tebu (jenis lahan, iklim, varietas, pupuk, tanaman pertama atau keprasan), tingkat kemasakan sebelum ditebang, jarak waktu tebang-giling, serta kinerja pabrik. Pada budidaya tebu di lahan sawah
58
umumnya mempunyai rendemen yang lebih tinggi daripada lahan tegalan. Rendemen akan tinggi bila iklim dan jumlah pupuk yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tebu dimana pada umumnya tebu membutuhkan banyak air dan pupuk pada saat tanam dan membutuhkan keadaan yang kering sebelum tebang agar berfotosintesis secara optimal. Disamping itu membudidayakan tanaman pertama akan mendapatkan rendemen yang lebih tinggi daripada membudidayakan tanaman keprasan. Untuk tingkat kemasakan tebu sangat dipengaruhi oleh periode penebangannya. Apabila tebu ditebang pada periode optimal maka akan diperoleh tingkat rendemen yang tinggi. Sebaliknya, apabila penebangan dilakukan sebelum maupun sesudah periode optimal maka akan diperoleh tingkat rendemen yang rendah. Setelah tebang, tebu harus digiling maksimal 36 jam dari waktu tebang agar rendemen tidak menurun. Sedangkan kelancaran di dalam proses produksi ditentukan oleh pengelolaan dari kegiatan produksi serta keadaan mesin dan peralatan yang digunakan. Perkembangan mengenai rendemen yang dihasilkan baik dari tebu rakyat maupun tebu sendiri dapat dilihat pada Lampiran 3 pertumbuhan rendemen dari periode awal masa giling 2001 hingga periode akhir masa giling 2007 menunjukkan kecenderungan peningkatan sebesar 1,83 persen per periode, peningkatan ini dipengaruhi oleh peningkatan rendemen tebu sendiri sebesar 6,5 persen per periode, dan peningkatan rendemen tebu rakyat sebesar 3,3 persen per periode. Tingkat rendemen tebu rakyat tiap tahunnya selalu lebih kecil daripada tebu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pola tebang yang diperbaharui dimana pelaksanaan tebang-giling sudah proporsional dimana tebu sendiri dan tebu rakyat sama-sama digiling pada waktu optimalnya dengan memperhitungkan
59
rasio jumlah tebu rakyat dan tebu sendiri, yaitu 40-45 bagian tebu sendiri dan 5560 bagian tebu rakyat. 4) Produksi gula Gula produk yang dihasilkan PG Pagottan berupa gula kristal putih (direct plantation white sugar) atau juga dikenal sebagai SHS (Superieur Hoofd Suiker). Berdasarkan Lampiran 3, terlihat bahwa pertumbuhan total produksi gula sejak tahun 2001 hingga 2007 menunjukkan kecenderungan peningkatan sebesar 3,48 persen per periode, peningkatan ini dipengaruhi oleh kecenderungan peningkatan produksi gula tebu sendiri dan tebu rakyat masing-masing sebesar 8,73 persen per periode dan 23,38 persen per periode. Peningkatan produksi gula tebu rakyat yang cukup signifikan terjadi tidak hanya karena perluasan areal tetapi juga disebabkan oleh perbaikan mutu intensifikasi budidaya dan introduksi varietas unggul pada areal bongkaran keprasan (bongkar ratoon). Pada tahun 2001 hingga 2007 jumlah produksi gula yang dihasilkan oleh PG terlihat selalu lebih besar daripada Petani Tebu Rakyat (PTR), meskipun pada beberapa tahun tertentu jumlah rendemen dan produksi gula tebu rakyat lebih besar daripada PG. Hal ini dapat dipahami bahwa data produksi gula tersebut merupakan data bagi hasil, dengan demikian jumlah tebu yang dimiliki PG selain kontribusi dari tebu yang dihasilkan di lahan sewa juga dihasilkan dari bagi hasil pengolahan tebu rakyat. Bagi hasil ini merupakan “upah” yang diberikan petani karena PG telah menggiling tebu mereka, dengan perjanjian bagi hasil, yaitu 66 persen untuk petani dan 34 persen untuk PG.
60
5) Lama giling Lama giling merupakan waktu yang digunakan oleh pabrik untuk mengolah tebu menjadi gula. Lama giling dinyatakan dengan satuan hari. Lama giling sangat dipengaruhi oleh jumlah tebu yang akan digiling, semakin banyak jumlah tebu yang akan digiling maka semakin lama waktu gilingnya demikian pula sebaliknya. Di samping itu lama giling sangat mempengaruhi tingkat rendemen gula yang dihasilkan, semakin banyak waktu yang digunakan untuk menggiling maka tingkat rendemen akan turun sehingga akan mempengaruhi jumlah gula yang dihasilkan. Namun bila lama giling terlalu cepat juga menyebabkan rendemen turun karena tebu belum masak sudah digiling sehingga dapat mempengaruhi jumlah gula yang dihasilkan. Pada umumnya waktu yang optimal untuk lama giling, yaitu 170 sampai 180 hari. Sedangkan rata-rata lama giling di PG Pagottan dari tahun 2001 hingga 2007 adalah 15 hari per periode. Secara umum perkembangan lama giling di PG Pagottan memperlihatkan kecenderungan yang menurun sebesar 0,42 persen per periode selama tahun 2001 hingga 2007. Lama giling tercepat terjadi pada periode awal tahun 2002 dan periode akhir tahun 2003 dengan lama giling 8 hari, hal ini terjadi karena jumlah bahan baku yang sedikit dibandingkan periode sebelumnya. 6) Bahan pembantu Dalam proses produksi gula PG Pagottan banyak menggunakan bahan pembantu. Bahan pembantu tersebut digunakan untuk memperlancar proses produksi. Penambahan bahan pembantu tersebut disesuaikan dengan kondisi bahan baku tebu baik kualitas maupun kuantitasnya. Bahan pembantu yang banyak digunakan dalam proses produksi gula di PG Pagottan adalah kapur tohor,
61
belerang, P2O5, dan flokulant. Penggunaan bahan pembantu di PG Pagottan selama periode awal masa giling 2001 hingga periode akhir masa giling 2007 cenderung mengalami penurunan sebesar 1,52 persen per periode. Penurunan pemakaian bahan pembantu ini terutama disebabkan oleh penurunan penggunaan belerang sebesar 3,63 per periode selama masa giling 2001-2007. 7) Tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja merupakan salah satu faktor dalam kegiatan produksi. Tenaga kerja merupakan sumberdaya yang dapat mengelola dan mengkombinasikan faktor-faktor produksi lain sehingga dapat menghasilkan suatu output yang diinginkan. Di PG Pagottan terdapat dua jenis tenaga kerja, yaitu karyawan staf atau karyawan pimpinan dan karyawan non staf atau karyawan pelaksana. Karyawan pelaksana dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karyawan tetap bulanan dan karyawan tetap harian. Di samping itu juga ada karyawan tidak tetap yang terdiri dari karyawan kampak, karyawan tebang, karyawan musim tanam, karyawan musim lain-lain, dan karyawan ekstra atau harian lepas. Karyawan yang akan dilihat perkembangannya adalah karyawan pelaksana yang terbagi atas karyawan tetap dan karyawan tidak tetap atau musiman. Secara umum perkembangan karyawan tetap dari periode awal tahun 2001 hingga periode akhir tahun 2007 mengalami kecenderungan penurunan sebesar 0,23 persen per periode. Penurunan ini disebabkan oleh karyawan tetap yang pensiun ataupun mutasi pekerjaan. Sedangkan jumlah karyawan musiman mengalami peningkatan sebesar 0,33 persen per periode. Meskipun demikian jika ada pengurangan jumlah karyawan itu bukan disebabkan oleh PHK namun karena
62
adanya peningkatan golongan dari karyawan harian menjadi karyawan kampanye. Sehingga jumlah karyawan tetap namun dengan komposisi yang berbeda. Berkurangnya jumlah karyawan juga disebabkan oleh faktor usia (sudah lanjut).
5.5
Agribisnis Gula
5.5.1 Usahatani Tebu 5.5.1.1 Pengadaan Bahan Tanam dan Persiapan Lahan Tebu Giling Pengadaan bahan tanam atau bibit merupakan kegiatan awal yang memegang peranan penting dalam usaha mendapatkan pembibitan dengan kualitas yang baik. Bibit tebu dengan varietas yang sesuai merupakan salah satu modal utama dalam keberhasilan produksi tebu. Varietas tebu yang diusahakan di PG Pagottan sangat beragam (17 varietas, namun yang sering digunakan 10 varietas) dan secara garis besar dibedakan atas empat kemasakan, yaitu masak awal, masak awal tengah, masak tengah, dan masak tengah lambat (Tabel 5). Untuk varietas yang diusahakan dalam pembibitan umumnya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu tingkat kemurnian tinggi (85 persen), bebas hama dan penyakit, daya kecambah tinggi (90 persen), tahan kekeringan, tahan dikepras (produksi tanaman keprasan tinggi), sesuai dengan bulan tanam serta sesuai lahan dan iklim. Tabel 5 Varietas Tebu yang Digunakan PG Pagottan No. Masak Awal Awal Tengah Tengah BM 9605 (F 05)/KK N XI 1-1 PS 85-1 1. PS 92-1 PS 86-2 PS 82-1064 2. PS JT 941 PS BM 88-144 PS 86-4 3. PS CO 902 ROC 11 4. PS BM 89-95 ROC 12 5. ROC 13 6. PA 117 7. Sumber: Litbang Bagian Tanaman PG Pagottan, 2008
Tengah Lambat BL PS 95-1
63
Berdasarkan kepemilikan lahan PG Pagottan belum mempunyai Hak Guna Usaha atau lahan Non HGU. Oleh karena itu, untuk budidaya tebu PG Pagottan harus menyewa lahan dari petani atau masyarakat sekitar. Karena menggunakan lahan sewa maka untuk mendapatkan lahan seluas satu hektar saja perlu menyewa beberapa tempat. Luas lahan sewa yang digunakan PG Pagottan untuk tanaman tebu per 2007 adalah 2.390,142 ha dengan komposisi lahan sawah sebesar 2.378,566 ha dan lahan tegalan sebesar 7,376 ha. Sisanya digunakan untuk kebun bibit sebesar 4,2 ha. Lahan sewa tersebut dapat menghasilkan tebu sebesar 182.527,8 ton. Selain tebu sendiri PG Pagottan juga menampung tebu rakyat sebesar 227.268,7 ton dari luas lahan 3.318,597 ha. Dari produksi tebu tersebut terdapat perbedaan rendemen antara tebu sendiri dan tebu rakyat, yaitu masingmasing sebesar 8,86 persen dan 7,23 persen. Perbedaan tersebut diduga berasal dari sistem penanaman dan pemeliharaan tanaman.
5.5.1.2 Sistem Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Ada dua macam cara tanam yang biasa digunakan pada lahan khususnya pada lahan tegalan, yaitu tanam kering dan basah. Tanam kering dilakukan jika pengairan sulit. Proses tanam kering, yaitu dilakukan penanaman dahulu setelah itu dilakukan pengairan. Sedangkan cara tanam basah, pengairan dilakukan sebelum tanam sehingga keadaan alas tanam membentuk jenangan. Dibandingkan dengan tanam kering, tanam basah lebih menguntungkan karena dapat menghemat pengairan dan mata tunas lebih cepat berkecambah.
64
Pemeliharaan tanaman bertujuan mendapatkan pertumbuhan tebu yang baik. Pemeliharaan meliputi pemeliharaan tanaman pertama (plant cane/PC) meliputi: penyulaman yang bertujuan mempertahankan populasi tanaman dalam jumlah tetap pada satuan luas tertentu, pengairan, pengendalian gulma baik secara mekanis maupun khemis, pemupukan, pembumbunan atau penimbunan tanah disekitar tanaman, klentek atau membersihkan tebu dari kulit dan daun yang sudah kering, pemberantasan hama dan penyakit serta kuras got yang bertujuan memperdalam got sesuai ukuran standard agar mampu berfungsi dengan baik. Sedangkan pemeliharaan tanaman keprasan pada umumnya sama dengan PC. Adapun yang membedakan antara tanaman keprasan dan PC adalah kegiatankegiatan seperti : pedot oyot yang dilakukan segera setelah tanaman dikepras. Pedot oyot, yaitu memotong disamping kanan dan kiri barisan tanaman dengan kedalaman 20 cm dengan tujuan memutus akar-akar lama dan mendorong tumbuhnya akar-akar baru yang sehat dan kuat.
5.5.1.3 Tebang dan Angkut Tebang, muat, dan angkut merupakan pekerjaan terakhir dari kegiatan pengadaan bahan baku industri gula. Pelaksanaan kegiatan tersebut harus direncanakan secara matang karena tebu merupakan tanaman semusim yang mempunyai nilai produksi yang ditentukan oleh batasan waktu. Agar diperoleh tebu yang manis, bersih, dan segar maka pelaksanaan tebang harus tepat dan proses penebangan serta angkutan harus berpegang pada batasan-batasan tertentu. Sebagai dasar penentuan suatu kebun cukup optimal untuk ditebang adalah dengan analisa pendahuluan yang akan menghasilkan angka rendemen, Koefisien Daya Tahan (KDT) dan Koefisien Peningkatan (KP). Dari hasil analisa tersebut
65
kemudian diberi skor atau nilai yang selanjutnya dikalkulasikan. Kebun yang mempunyai nilai tertinggi mendapat prioritas tebang terlebih dahulu. Analisa pendahuluan dilakukan pada saat tebu berumur 1-45 hari. Tebu yang dianalisa adalah tebu dari PC dan ratoon. Kegunaan dari analisa pendahuluan selain dari yang disebutkan di atas, yaitu dengan analisa pendahaluan PG dapat menentukan lahan mana yang akan diberikan perlakuan tambahan seperti pemberian ZPK (Zat Pemacu Kemasakan).
5.5.1.4 Pasca Panen dan Kriteria Bahan Baku Tebu Pengaturan tebu dari lori maupun truk di PG Pagottan menggunakan sistem FIFO (first in first out). Maksudnya adalah tebu yang masuk paling awal akan digiling terlebih dahulu sesuai jadwal. Truk dari kebun sebelum ditimbang biasanya diatur di emplasment sesuai dengan jadwal kedatangan. Sedangkan untuk lori setelah ditimbang diatur di emplasment sesuai dengan jadwal kedatangan. Kritera tebu giling sebagai bahan baku pabrik adalah manis, bersih, dan segar. Yang dimaksud manis, yaitu tebu sudah cukup tua atau masak yang ditebang pada saat rendemen puncak dan tebu ditebang dengan cara didongkel atau pemotongan sampai tanah dengan Faktor Kemasakan (FK) sebesar 25-30 persen, Koefisien Daya Tahan (KDT) dan Koefisien Peningkatan (KP) sebesar 90-100 persen. Besarnya faktor-faktor tersebut tergantung pada varietas tebu yang ditanam. Adapun yang dimaksud bersih adalah bahan baku tebu terbebas dari unsur non tebu (kotoran) maksimal 5 persen, meliputi: pucukan, tebu muda (sogolan), daun tebu (pucuk dan daun kering/daduk), akar dan tanah, serta barang
66
asing lain. Sedangkan yang dimaksud tebu segar secara teoritis adalah saat tebu ditebang dan digiling maksimal 36 jam, tebu tidak kering, dan tebu tidak dibakar.
5.5.2 Pengolahan Tebu 5.5.2.1 Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula Proses produksi gula pasir di PG Pagottan pada dasarnya berupa aliran proses produksi. Diagram tersebut menunjukkan bahwa proses pengolahan tebu menjadi gula merupakan proses yang saling berhubungan, jika terjadi kemacetan pada satu tahapan produksi akan mempengaruhi proses produksi selanjutnya. Tahapan kegiatan produksi di PG Pagottan dapat dibagi berdasarkan uni stasiun pelaksana proses produksi, yaitu: 1.
Stasiun Gilingan Proses ini bertujuan mendapatkan nira mentah sebanyak-banyaknya dari
dalam batang tebu sehingga didapatkan kandungan gula semaksimal mungkin dengan menekan kehilangan gula yang ikut bersama ampas sekecil mungkin. Proses pada stasiun penggilingan tebu dimulai dari truk atau lori yang diterima dibagian penerimaan kemudian dipindahkan ke keprak tebu melalui tipper atau meja tebu yang selanjutnya dibawa ke cane cutter. Tebu yang masuk ke stasiun gilingan dipotong dan dicacah, cacahan tebu kemudian digiling pada rol-rol gilingan sehingga dihasilkan nira mentah dan ampas. Untuk memaksimalkan pemerahan di stasiun gilingan PG Pagottan dilengkapi 5 unit rol penggiling. Sedangkan untuk memperkecil kehilangan gula dalam ampas ditambahkan air imbisisi pada gilingan ke IV dan V. Nira mentah yang dihasilkan dipompa ke stasiun pemurnian dan ampas dipakai sebagai bahan bakar. Banyaknya komponen
67
di dalam nira akan membawa pengaruh terhadap sifat-sifat nira. Karena yang diambil adalah saccharosa maka yang perlu dihilangkan adalah air dan komponen bukan gula. 2.
Stasiun Pemurnian Tujuan dari pemurnian adalah menghilangkan atau membuang bahan
organik maupun anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira dengan cara kimia atau fisika sehingga diperoleh kadar sukrosa yang semaksimal mungkin dari nira dan kerusakan sukrosa yang serendah mungkin. Proses pemurnian ini dilakukan dengan sistem sulfitasi alkalis, yaitu cara pemurnian nira dengan menggunakan bahan pembantu penetralan berupa susu kapur (Ca (OH)2) yang berguna untuk mencegah terjadinya inversi (kerusakan), mengendapkan kotorankotoran pada nira encer serta mengatur derajat keasaman (pH) nira. Selain itu di dalam stasiun ini terdapat penambahan gas belerang (SO2) yang diperoleh dari pembakaran belerang padat yang berguna untuk menetralkan kelebihan susu kapur dalam nira. Pada penetralan dengan gas SO2 akan terjadi endapan ekstra kalsium sulfit. Endapan ini akan mengabsorbsi kotoran-kotoran dalam nira. Di stasiun pemurnian diperoleh nira jernih (nira encer) dan nira kotor. Nira jernih akan dialirkan ke stasiun penguapan sedangkan nira kotor dialirkan ke vacum filter untuk memisahkan kotoran padat (blotong) dengan kotoran cair (nira tapis). Nira tapis dikembalikan lagi pada bak nira mentah tertimbang, sedangkan blotong dijadikan bahan pembuatan kompos yang selanjutnya digunakan sebagai pupuk. 3.
Stasiun Penguapan
68
Dalam stasiun ini terjadi proses penguapan (evaporasi) yang dialakukan untuk menguapkan air yang terdapat dalam nira encer sehingga diperoleh nira dengan kekentalan tertentu. Nira kental yang keluar dari pan penguapan dilakukan pemberian gas SO2 sampai nilai pH nira kental mencapai 5,4-5,6 yang bertujuan memucatkan warna nira kental agar kristal gula yang dihasilkan berwarna lebih putih dan mencegah terjadinya perubahan warna karena gas SO2 mempunyai sifat menahan peningkatan intensitas warna. Nira kental tersulfitir tersebut kemudian dialirkan ke stasiun masakan untuk proses lebih lanjut. Di dalam proses penguapan tersebut akan didapat hasil sampingan berupa air kondensat yang dapat dimanfaatkan pada stasiun ketel. 4.
Stasiun Kristalisasi Nira yang dihasilkan di stasiun penguapan masih mempunyai kadar air
yang tinggi sehingga sukrosa dalam keadaan terlarut. Bila nira kental ini diuapkan airnya maka akan mencapai titik jenuh dan jika penguapan masih berlanjut maka larutan akan menjadi sangat jenuh yang akhirnya terjadi pengkristalan. Akan tetapi gula yang terkandung dalam nira kental tidak dapat dikristalkan seluruhnya dan harus dilakukan secara bertahap dengan menggunakan pan masakan yang bertekanan vakum di atas 65 mmHg dan suhu 70°C, yaitu masakan A, C, dan D. Pada stasiun ini akan dihasilkan larutan kristal gula (mascuite) serta hasil sampingan berupa air kondensat yang dapat dimanfaatkan oleh stasiun ketel. Pada tingkat masakan A, nira kental dimasak pada masakan A dengan bibitan magma C, hasil masakan (mascuite) diputar menjadi stroop A dan gula A1. Gula A1 dicampur dengan klare A menjadi magma A kemudian diputar lagi sehingga menjadi gula produk (GKP) dan klare A. Bahan untuk membuat
69
masakan C adalah stroop A dengan bibitan magma D. hasil masakan C adalah mascuite dan diputar menjadi stroop C dan gula C. Setelah dicampur air, gula C akan menjadi magma C kemudian dipakai sebagai bibitan masakan A. Bahan untuk membuat masakan D adalah stroop A, stroop C, dan klare D dengan bibitan Fondan. Mascuite D setelah didinginkan kemudian diputar dan dihasilkan tetes dan gula D1. Magma D1 diputar menjadi klare D dan gula D2. Gula D2 dicampur dengan air menjadi magma dan dipakai sebagai bibitan masakan C. 5.
Stasiun Puteran dan Penyelesaian Mascuite dari hasil proses pengkristalan dalam pan merupakan suatu
massa campuran yang terdiri dari larutan dan kristal sakarosa. Sesudah mengalami pendinginan dalam palung pendingin selanjutnya dipisahkan kristal dan larutannya. Pemisah dilakukan dalam suatu alat saringan (puteran) yang menggunakan gaya sentrifugal sebagai kekuatan pendorongnya. Langkah-langkah yang terjadi pada pemutaran mascuite terbagi atas tiga langkah, yaitu: a. Penghilangan larutan yang ada disekitar kristal dan memenuhi ruanganruangan di antara kristal-kristal. b. Penghilangan sisa larutan yang masih tertinggal di antara kristal sehingga hanya tinggal lapisan yang menempel pada kristal. c. Mengurangi jumlah atau ketebalan lapisan larutan yang tertinggal pada permukaan kristal. Gula produk yang dihasilkan dari pemutaran mascuite A kondisinya masih basah. Gula basah ini dijatuhkan pada talang goyang/getar. Pengeringan gula dengan dihembus udara kering dan panas pada suhu 104° -132°C. Gula yang
70
dihasilkan dibagi menjadi gula halus, normal dan kasar. Gula halus dan kasar akan dilebur lagi sebagai bahan masakan A. Gula normal dengan diameter 0,9-1,1 mm dimasukkan ke gudang untuk disimpan.
5.5.2.2 Limbah Limbah diartikan sebagai bahan yang dihasilkan dalam suatu proses yang tidak berguna lagi untuk proses tersebut. Semua proses menghasilkan limbah, mulai dari proses hidup yang terjadi dalam tubuh organisme hidup, misalnya CO2 dan panas dari pernapasan serta O2 dari fotosintesis, sampai pada proses dalam industri misalnya CO2, NO serta logam berat dari proses kimia tertentu dalam pabrik. Limbah yang tidak berguna untuk proses tersebut keluar dari pabrik ke lingkungan. Jika laju masukan limbah ke dalam lingkungan lebih besar daripada laju asimilasi atau degradasi limbah maka akan merusak dan terjadilah pencemaran. Limbah pabrik gula Pagottan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Limbah padat terdiri dari blotong, abu ketel dan ampas halus, namun limbah ini telah dapat dimanfaatkan oleh pabrik baik menjadi pupuk maupun bahan berguna lainnya. Limbah cair dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan jumlah dan sifat pencemarannya, yaitu 1) tingkat pencemaran rendah dengan jumlah besar seperti air bekas kondensor, 2) tingkat pencemaran tinggi dengan jumlah sedikit seperti air cucian peralatan, tumpahan nira, cucian tapisan, bocoran dari peralatan yang rusak, air cucian evaporator, dan air buangan ketel. Limbah cair yang dihasilkan dapat diatasi dengan sistem pengolahan limbah yang baik. Sedangkan untuk limbah gas terdiri
71
dari CO2, CO, SO2, dan asap cerobong. Limbah inilah yang masih belum dapat dikelola dengan baik oleh PG Pagottan.
5.5.2.3 Hasil Samping Gula Tebu Dalam proses pengolahan tebu selain menghasilkan gula juga dihasilkan produk-produk sampingan, yaitu berupa tetes, blotong, dan ampas. Tetes merupakan larutan sisa yang tidak bisa lagi dimasukkan dalam proses untuk diambil kristalnya. Saat ini tetes sudah bisa dijadikan barang produk dan sudah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan peranannya. Di PTPN XI usaha diversifikasi yang telah dilakukan adalah mengolah tetes menjadi alkohol dan spirtus yang pabriknya berlokasi di Djatiroto. Selain pembuatan alkohol di Indonesia, tetes dapat dibuat bermacam-macam keperluan, misalnya bumbu masak (MSG), pellet (makanan ternak), kecap, dan ragi. Blotong merupakan hasil pemisahan di stasiun pemurnian, di PG Pagottan blotong dapat dijadikan pupuk kompos yang dicampur abu ketel dan dijadikan bahan bakar karena mengandung biogas. Sedangkan ampas adalah hasil pemisahan di stasiun gilingan. Ampas dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan pulp kertas, solvent, particle board, hard board, cellulose, dan lain-lain.
5.5.2.4 Standardisasi Mutu Gula Standardisasi mutu gula produk ditentukan oleh P3GI. Adapun standardisasi mutu gula dapat dilihat pada Tabel 6.
72
Tabel 6 Standardisasi Mutu Gula Kristal Putih No.
Unsur
Satuan
GKP
Metode
1.
Warna
1.1
Warna Kristal
CT
5,0 – 10,0
Refleksi
1.2
Warna larutan (ICUMSA)
IU
Max 300
Spektometris
2.
Berat jenis butir
mm
0,8 – 1,2
Ayakan
3.
Susut pengeringan
% bb
Max 0,15
Oven/IR driyer
4.
Polarisasi
°Z, 20°C
Min 99,5
Polarimetris
5.
Abu konduktiviti
% bb
Max 0,15
Konduktometris
6.
Bahan tambahan makanan
6.1
Belerang dioksida (SO2)
mg/kg
Max 30
Iodometri
Sumber: Bagian Pabrikasi PG Pagottan, 2008
5.5.2.5 Pengepakan dan Penyimpanan Gula produk yang telah ditimbang dimasukkkan ke dalam karung goni yang bagian dalamnya telah dilapisi plastik, tujuannya adalah melindungi kristal gula dari uap air selama penyimpanan. Berat setiap karung adalah 50 kg. karung yang telah diisi kemudian dijahit dan disimpan di gudang. PG Pagottan mempunyai empat gudang penyimpanan gula (gudang A, B, C, dan D) dan satu gudang cadangan (gudang E) dengan luas dan kapasitas yang berbeda-beda. Luas gudang A, gudang B, gudang C, dan gudang D masingmasing adalah 1830 m2, 774 m2, 968 m2, 968 m2. Dengan kapasitas gudang A sebesar 56.881 kuintal, gudang B sebesar 26.803 kuintal, gudang C sebesar 35.556 kuintal, dan gudang D berkapasitas 34.455 kuintal. Sedangkan gudang E merupakan gudang cadangan yang digunakan jika semua gudang tidak mampu menampung jumlah produksi gula. Biasanya gudang E digunakan sebagai gudang rabuk (pupuk).
73
5.5.3 Distribusi Gula 5.5.3.1 Bagi Hasil Giling Antara PG dan PTR PG Pagottan disamping mengolah tebu sendiri juga mengolah tebu rakyat. Bagi hasil terhadap gula yang dihasilkan tebu rakyat mengacu pada kesepakatan antara PTPN XI dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) mengenai tata cara atau perhitungan bagi hasil gula, yaitu apabila rendemen tebu rakyat sampai dengan enam persen maka petani mendapatkan 66 persen hasil sedangkan PG mendapatkan 34 persen. Tetapi jika rendemen tebu rakyat di atas enam persen maka hasil awal (rendemen enam persen) ditambah selisih di atas enam persen dengan perhitungan bagi hasil 70 persen untuk petani dan 30 persen untuk PG.
5.5.3.2 Sistem Penjualan Gula PTR dan PG Setelah lepas dari monopoli BULOG pada tahun 1999, saat ini sistem perdagangan gula dikelola oleh masing-masing perusahaan. Sebagian besar gula milik PTR dan PG bersama-sama dijual dalam pelelangan. Dalam pelelangan gula milik PTR dan PG telah mendapatkan dana talangan yang besarnya sesuai harga dasar yang disepakati antara petani, perusahaan selaku penjamin bahwa petani yang mendapatkan dana talangan benar-benar memiliki gula dari hasil penggilingan tebu, investor dana talangan, dan pemerintah. Dana talangan ini dimaksudkan agar petani dapat melakukan kegiatan budidaya dikebun tanpa harus menunggu kapan gula akan terjual semua. Di samping itu dana talangan juga dimaksudkan untuk melindungi para produsen tebu dari kerugian. Dana talangan tersebut biasanya dibayarkan oleh investor dengan perjanjian bila harga gula di pelelangan lebih tinggi dari dana talangan maka kelebihannya tersebut akan dibagi menurut perhitungan 60 persen untuk PTR dan 40 persen untuk PG sisa dari
74
masing-masing tersebut, yaitu 40 dan 60 persen akan diberikan kepada investor sebagai penyedia dana talangan. Selain dijual dalam pelelangan untuk gula milik PG sebagian kecil (lima persen dari total produksinya) dijual dalam bentuk ritel ke perusahaan-perusahaan seperti alfamart, indomaret, grosir, dan lain-lain dengan harga yang telah disepakati bersama. Sedangkan untuk gula milik PTR (sepuluh persen dari total produksinya) diberikan ke petani dalam bentuk natura. Natura ini diberikan agar petani tebu mempunyai gula untuk konsumsinya sehari-hari. Untuk lebih jelasnya mengenai pemasaran gula PG Pagottan dapat dilihat pada Gambar 5. KD PASAR MILIK PG TEBU
PABRIK
GULA
MILIK PTR
PG RITEL 5%
LELANG PTR
NATURA 10%
Gambar 5 Bagan Pemasaran Gula di PG Pagottan Sumber: PG Pagottan, 2008
75
VI
6.1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA PASIR
Pemilihan Model Fungsi Produksi Model fungsi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah model fungsi
produksi Cobb-Douglass. Sebelum menerima model fungsi yang diajukan tersebut, terlebih dahulu harus dilakukan pengujian terhadap ketepatan model dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dengan melihat koefisien determinasi (R2), F-hitung dan t-hitung untuk masing-masing parameter dugaan. Hal ini perlu dilakukan agar validitasnya terjamin. Analisis regresi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi produksi gula di PG Pagottan. Factor-fakor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, yaitu bahan baku tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling yang digunakan dalam proses produksi dari tahun 2001-2007 (per periode) (Lampiran 2). Dari variable-variabel yang terdapat pada Lampiran 2, maka dapat dibentuk suatu model regresi berganda. Hasil analisis dan model regresi kegiatan produksi gula dengan memanfaatkan ketujuh faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut. Hasil pendugaan awal yang diperoleh dari model Cobb-Douglas adalah : Ln produksi gula = 2,60 + 0,0555 Ln jumlah tebu + 0,988 Ln rendemen + 1,126 Ln jam mesin + 0,329 Ln tenaga kerja tetap – 0,796 Ln tenaga kerja musiman – 0,026 Ln bahan pembantu – 0,084 Ln lama giling
76
Tabel 7 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Gula dengan Tujuh Faktor Produksi Variabel
Koefisien Dugaan
T-Hitung
Nilai Peluang-t
Nilai VIF
Konstanta
2,599
2,42
0,019
Jumlah tebu (X1)
0,055
2,18
0,016
3,0
Rendemen (X2)
0,998
12,55
0,000
1,5
Jam mesin (X3)
1,126
10,38
0,000
9,7
Tenaga kerja tetap (X4)
0,329
1,98
0,220
4,1
Tenaga kerja musiman (X5)
-0,796
-3,62
0,031
4,0
Bahan pembantu (X6)
-0,029
-0,81
0,591
1,6
Lama giling (X7)
-0,084
2,39
0,024
10,0
2
R : 96,2% R2 adj : 95,7% F- hitung : 214,85 P-value : 0,000 MS : 0,00261 Uji Durbin-Watson : 2,11653
Suatu model terbaik harus memenuhi beberapa asumsi OLS antara lain adalah normalitas (kenormalan sisaan), homoskedastisitas (kehomogenan ragam), tidak terdapat multikolinearitas (hubungan antar variabel) dan autokorelasi. Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa pada analisis regresi dengan tujuh faktor produksi asumsi normalitas terpenuhi. Asumsi ini terpenuhi karena tebaran sisaan membentuk suatu garis lurus. Asumsi homoskedastisitas juga terpenuhi karena penyebaran nilai-nilai residual tidak membentuk suatu pola tertentu (Lampiran 8). Dari hasil pengolahan, dapat dilihat bahwa nilai VIF lama giling sebesar 10,0. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka diduga di dalam model terdapat gejala multikolinearitas. Variabel independen lain yang diduga berkorelasi dengan variabel independen lama giling adalah jam mesin yang memiliki nilai VIF sebesar 9,7. Nilai VIF kedua variabel tersebut tidak berbeda nyata dari 10, sehingga diduga kedua faktor produksi
77
tersebut memiliki korelasi yang kuat. Hal ini sangat mungkin terjadi karena fakta yang ada di lapang adalah jumlah jam mesin dipengaruhi oleh lamanya hari giling atau lama kampanye. Jika lama giling meningkat maka jam mesin juga akan meningkat (Lampiran 2). Adanya gejala multikolinearitas tersebut, mengakibatkan model fungsi produksi Cobb-Douglass dengan tujuh faktor produksi belum dapat dikatakan sebagai
model
fungsi
produksi
yang
baik.
Dengan
demikian
gejala
multikolinearitas tersebut harus diatasi. Menurut Soekartawi, 2003, salah satu cara untuk mengatasi gejala multikolinearitas tersebut adalah dengan mengurangi salah satu atau beberapa variabel bebas yang memiliki tingkat korelasi yang tinggi diantara satu dengan yang lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka di dalam penelitian ini variabel lama giling dihilangkan dari model fungsi produksi. Pengujian terhadap gejala autokorelasi sangat penting dilakukan karena data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series. Pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai hasil DW dari model Cobb-Douglas dengan tujuh faktor produksi sebesar 2,11653. Hal ini berarti bahwa pada model tersebut tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai DW yang mendekati dua. Setelah dilakukan pengujian terhadap asumsi OLS, maka selanjutnya dilakukan pengujian secara statistik yang meliputi koefisien determinasi, uji-F, dan uji-t. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan tujuh faktor produksi pada taraf nyata lima persen menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi, yaitu 0,962. Hal ini berarti bahwa 96,2 persen dari variasi produksi gula dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi jumlah tebu (X1), rendemen (X2), jam
78
mesin (X3), tenaga kerja tetap (X4), tenaga kerja musiman (X5), bahan pembantu (X6), dan lama giling (X7) sedangkan sisanya 3,8 persen dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Uji secara bersama-sama dengan menggunakan uji-F didapat nilai sebesar 214,85 lebih besar dari F-tabel yang nilainya sebesar 2,95 dan berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketujuh faktor produksi secara bersama-sama berpengaruh terhadap produksi gula di PG Pagottan. Untuk uji setiap faktor produksi dengan menggunakan t-hitung pada tingkat kepercayaan 95 persen terlihat terdapat dua faktor produksi yang pengaruhnya tidak nyata terhadap produksi gula di PG Pagottan, yaitu faktor tenaga kerja tetap dan faktor bahan pembantu. Sehingga berdasarkan hasil pengolahan fungsi produksi dengan tujuh faktor produksi menghasilkan lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap kegiatan produksi di PG Pagottan, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja musiman, dan lama giling. Selain itu, faktor produksi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja musiman dijumlahkan menjadi tenaga kerja total. Penggabungan didasarkan atas pertimbangan bahwa di dalam penggunaan faktor produksi tenaga kerja tetap kurang adanya variasi sehingga kurang mencerminkan adanya pengaruh yang signifikan antara penggunaan input tenaga kerja tetap terhadap produksi gula. Sehingga faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi gula di Pabrik Gula Pagottan berupa bahan baku tebu, rendemen tebu, tenaga kerja total, jam mesin, dan bahan pembantu.
79
Hasil pengolahan data dengan menghilangkan variabel independen lama giling dan penggabungan faktor produksi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja musiman menjadi faktor produksi tenaga kerja total disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Gula setelah Uji Validitas Asumsi OLS Koefisien
Variabel
Dugaan
Konstanta
2,841
T-Hitung
Nilai Peluang-t
2,80
0,007
Nilai VIF
Jumlah tebu (X1)
0,066
2,54
0,014
2,7
Rendemen (X2)
1,010
11,99
0,000
1,5
Tenaga kerja total (X3)
-0,239
-2,25
0,029
1,4
Jam mesin (X4)
1,030
16,84
0,000
2,7
Bahan Pembantu (X5)
-0,01543
-0,40
0,688
1,6
R
2
: 96,0%
2
: 95,6%
R adj
F- hitung : 255,65 P-value
: 0,000
MS
: 0,00259
Uji Durbin-Watson : 1,983035
Jika dibandingkan dengan hasil pendugaan dengan tujuh faktor produksi, hasil dugaan lima faktor produksi dirasa lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari asumsi normalitas yang terpenuhi (Lampiran 9). Asumsi ini terpenuhi karena tebaran sisaan membentuk suatu garis lurus. Asumsi homoskedastisitas juga terpenuhi karena penyebaran nilai-nilai residual tidak membentuk suatu pola tertentu (Lampiran 10). Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai VIF dari semua faktor produksi dugaan memiliki nilai VIF kurang dari 10 sehingga model memenuhi asumsi OLS, yaitu tidak ada gejala multikolinearitas. Demikian halnya dengan pengujian terhadap gejala autokorelasi pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai hasil DW dari
80
model Cobb-Douglas dengan lima faktor produksi sebesar 1,983035. Hal ini berarti bahwa pada model tersebut tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai DW yang mendekati dua. Demikian halnya dengan nilai R2 dan R2 adj yang tidak berbeda nyata dibandingkan persamaan sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 96,0 persen dan 95,6 persen dan memiliki nilai F hitung sebesar 255,65 yang nilainya lebih besar dibandingkan nilai F tabel, yaitu 3,34 dan berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Sedangkan pengaruh faktor-faktor produksi secara parsial dapat dilihat dengan menggunakan uji-t atau dengan melihat nilai dugaan-t (Tabel 8). Jika nilai dugaan-t lebih kecil dari
= 0,05 maka secara parsial faktor produksi
tersebut secara nyata berpengaruh terhadap produksi gula. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa terdapat empat faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi gula di PG Pagottan, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja total. Dalam Tabel 8, terlihat bahwa persamaan dugaan dengan empat faktor produksi koefisien dari variabel bebas jumlah tebu, rendemen, jam mesin memiliki tanda yang sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. Namun tanda untuk variabel tenaga kerja total adalah negatif, tidak sesuai dengan hipotesa awal yang diduga berpengaruh positif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jumlah tenaga kerja total di PG Pagottan sudah melebihi batas normalnya sehingga bila ditambah maka semakin memperkecil rasio antara jumlah tenaga kerja dengan produksi gula yang dihasilkan.
81
6.2
Analisis Elastisitas Produksi Di dalam fungsi produksi Cobb-Douglass besaran koefisien regresi
merupakan nilai elastisitas produksi dari variabel-variabel yang digunakan dalam fungsi. Sehingga pengaruh masing-masing faktor produksi gula pasir dapat diketahui, yaitu sebagai berikut: 1. Jumlah tanaman tebu Berdasarkan analisis regresi, jumlah tebu mempunyai pengaruh yang positif dan nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil ini sesuai dengan fungsi tebu sebagai bahan baku utama yang secara langsung mempengaruhi produksi gula, dimana peningkatan jumlah tebu akan meningkatkan produksi gula. Nilai koefisien regresi yang diperoleh adalah sebesar 0,066. Nilai ini menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pasokan jumlah tebu satu persen maka produksi akan meningkat sebesar 0,066 persen, dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). 2. Rendemen Kualitas tebu ditunjukkan oleh tingkat rendemen, pada taraf nyata lima persen ternyata faktor rendemen berpengaruh nyata terhadap produksi gula pasir di lokasi penelitian. Elastisitas produksi faktor rendemen adalah sebesar 1,01 persen, artinya bahwa setiap penambahan satu persen rendemen maka akan memberikan peningkatan produksi gula pasir sebesar 1,01 persen, dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Hal ini berarti bahwa kualitas tebu berpengaruh besar terhadap produksi gula pasir.
82
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa tingkat rendemen tebu yang dipasok ke PG Pagottan dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan.
Beberapa
kebijakan
perusahaan
telah
ditetapkan
untuk
meningkatkan kembali tingkat rendemen tersebut, antara lain dengan pemberian pelatihan teknis kepada petani dan diperkenalkan beberapa varietas tebu unggul kepada petani. Namun, tampaknya untuk beberapa tahun terakhir usaha tersebut masih belum membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan rendemen gula. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam rangka meningkatkan produksi gula maka tingkat rendemen juga perlu ditingkatkan. 3. Jam mesin Sesuai dengan analisis regresi menunjukkan bahwa faktor jam mesin berpengaruh nyata terhadap produksi gula pasir. Dengan nilai elastisitas produksi sebesar 1,03 persen menunjukkan bahwa peningkatan sebesar satu persen jam mesin akan meningkatkan produksi gula pasir sebesar 1,03 persen, dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Hal ini menunjukkan bahwa jam mesin sangat berpengaruh terhadap produksi gula pasir dan dengan nilai elastisitas produksi seperti ini produksi gula pasir masih dapat ditingkatkan dengan melakukan penambahan jumlah jam mesin. Berdasarkan catatan angka produksi perusahaan, diketahui bahwa jumlah jam mesin yang digunakan diduga belum optimal karena setiap bulannya dalam masa giling sering terjadi jam berhenti giling yang sebagian besar disebabkan oleh peralatan produksi yang sudah tua. Sehingga mengurangi jam giling yang menyebabkan produksi gula belum mencapai tingkat optimalnya.
83
4. Tenaga kerja total Hasil analisis regresi pada taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi gula pasir di lokasi penelitian. Berdasarkan persamaan fungsi produksi dengan lima faktor produksi, nilai koefisien regresi tenaga kerja total sebesar -0,239. Nilai koefisien ini menunjukkan hubungan yang negatif antara faktor tenaga kerja total dan produksi gula di PG Pagottan. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa dengan adanya peningkatan tenaga kerja total sebanyak satu persen maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap produksi gula pasir sebesar 0,239 persen, dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa di lokasi penelitian terjadi kelebihan pemanfaatan tenaga kerja total. Meskipun pemanfaatan jumlah tenaga kerja total di PG Pagottan cenderung mengalami penurunan, namun ternyata proporsi tersebut belum mampu mengatasi masalah inefisiensi dalam penggunaan tenaga kerja. Oleh karena itu, untuk menghindari penurunan produksi gula pasir lebih lanjut maka pihak perusahaan perlu melakukan pengaturan kembali terhadap proporsi tenaga kerja yang dimanfaatkannya.
6.3
Analisis Efisiensi Sebelum melakukan analisis efisiensi terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi terhadap produksi gula penting untuk mengetahui apakah nilai koefisien regresi dari faktor-faktor produksi yang akan dinilai efisiensinya sudah memenuhi syarat dari model Cobb-Douglas, yaitu nilai koefisien regresi berada antara nol dan satu. Dari hasil analisis elastisitas yang telah dilakukan sebelumnya dapat diketahui bahwa nilai koefisien regresi dari faktor produksi tenaga kerja
84
total tidak memenuhi syarat model Cobb-Douglas karena mempunyai nilai koefisien regresi yang negatif sehingga faktor tersebut tidak dapat dinilai tingkat efisiensinya terhadap produksi gula di PG Pagottan. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi secara alokatif pada kegiatan produksi gula pasir dapat dilihat dari nilai perbandingan Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Nilai produk marjinal diperoleh dari perkalian antara harga rata-rata gula pasir di Pabrik Gula Pagottan dengan nilai produk marjinalnya. Sedangkan biaya korbanan marjinal diperoleh dari harga rata-rata input, yaitu berupa harga rata-rata tebu yang dipasok ke Pabrik Gula Pagottan. Harga rata-rata tebu petani yang dipasok ke Pabrik Gula Pagottan diperoleh dari bagi hasil dalam bentuk gula pasir (natura) yang diterima petani, dengan mempertimbangkan tingkat rendemen nota gula yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. Besarnya bagi hasil petani tersebut nilainya bervariasi baik dalam satu musim giling maupun antar musim giling. Dengan memperhitungkan nilai bagi hasil rata-rata tersebut maka dapat diperoleh harga tebu per ton per periode. Namun di dalam kenyataannya, perusahaan memiliki keterbatasan modal yang digunakan untuk membeli faktor-faktor produksi. Sehingga kendala tersebut juga harus diperhitungkan di dalam analisis efisiensi produksi. Kondisi tersebut mengakibatkan nilai perbadingan antara NPM dan BKM belum tentu bernilai sama dengan satu, melainkan sama dengan nilai tertentu. Faktor produksi yang akan diukur tingkat efisiensinya di dalam penelitian ini adalah faktor produksi
85
jumlah tebu. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan bahwa faktor produksi tersebut yang dapat diukur tingkat harganya. Rata-rata produksi gula pasir per periode dari tahun 2001-2007 adalah sebesar 2510,22 ton dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 4.002.530,- per ton (Tabel 9). Penggunaan rata-rata bahan baku tebu dalam proses produksi gula pasir sebesar 33.144,7 ton per periode. Harga tebu per ton adalah Rp 1.956.190 per periode. Penggunaan rata-rata faktor produksi serta harga rata-ratanya digunakan untuk menduga besarnya rasio NPM dan BKM. Tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi pada PG Pagottan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rasio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal Kegiatan Produksi Gula Pasir pada Pabik Gula Pagottan per Periode Variabel
Rata-rata Penggunaan
Koefisien Regresi
NPM (Rp)
BKM (Rp)
Jumlah tebu (ton)
33.144,7
0,066
20.006,74
1.956.190
Rasio NPMBKM 0,01
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 9, terlihat bahwa penggunaan faktor produksi gula di PG Pagottan belum mencapai kondisi efisien. Hal ini ditunjukkan oleh rasio antara NPM dan BKM faktor produksi jumlah tebu tidak sama dengan satu. Jumlah tebu mempunyai NPM sebesar Rp 20.006,74 yang mempunyai arti bahwa setiap penambahan pasokan satu ton tebu, akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 20.006,74. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 0,01dengan harga rata-rata tebu sebesar Rp 1.956.190 per ton dan koefisien regresi sebesar 0,066. Nilai rasio NPM dan BKM jumlah tebu kurang dari satu menyatakan bahwa jumlah pasokan tebu sudah melampaui batas optimal. Oleh karena itu, perusahaan harus mempertimbangkan kembali jadwal tebang angkut
86
sehingga tidak terlalu banyak tebu yang menurun rendemennya karena terlalu lama menunggu di lori sehingga tebu tidak lagi memenuhi kriteria MBS yang berakibat akan menurunkan jumlah produksi gula. Salah satu upaya yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan mengurangi harga jual tebu petani ke PG, karena dengan menurunkan harga pasokan tebu petani maka perusahaan akan memperkecil tambahan biaya yang akan dikeluarkan untuk menambah satuan input sehingga tambahan biaya yang dikeluarkan akan sama dengan tambahan penerimaan yang diperoleh. Namun upaya ini tidak sesuai dengan visi perusahaan, yaitu PG Pagottan menjadi perusahaan perkebunan yang mampu meningkatkan kesjahteraan stakeholders secara berkesinambungan. Sehingga tidak mungkin perusahaan menilai harga tebu petani lebih rendah. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan harga gula yang diproduksi. Upaya ini mungkin dilakukan jika pemerintah meningkatkan tarif impor gula sehingga harga gula dalam negeri dapat lebih bersaing. Dengan meningkatkan harga gula maka dengan rata-rata penggunaan faktor produksi tebu di PG Pagottan yang sebesar 33.144,7 ton per periode dari tahun 2001 hingga tahun 2007 dan harga tebu rata-rata Rp 1.956.190 per ton maka perusahaan akan dapat beroperasi secara lebih efisien. Dari beberapa analisis yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa kegiatan produksi gula pasir di PG Pagottan belum efisien. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh pengalokasian sumberdaya atau faktor-faktor produksi yang kurang tepat. Akibatnya, pencapaian keuntungan perusahaan belum mencapai tingkat yang maksimum.
87
VII
7.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis regresi dengan pendugaan OLS, maka dapat
diketahui terdapat empat faktor produksi yang berpengaruh nyata pada taraf nyata = 0,05 terhadap produksi gula di PG Pagottan. Faktor-faktor tersebut, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa jumlah tebu, rendemen, dan jam mesin berpengaruh positif terhadap produksi gula di PG Pagottan. Berdasarkan analisis elastisitas diketahui nilai elastisitas untuk masingmasing faktor produksi, yaitu jumlah tebu sebesar 0,066, nilai menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pasokan jumlah tebu sebesar satu persen maka produksi akan meningkat sebesar 0,006 persen dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Elastisitas faktor produksi rendemen adalah sebesar 1,01, artinya bahwa setiap penambahan satu persen rendemen maka akan memberikan peningkatan produksi gula sebesar 1,01 persen dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Sedangkan nilai koefisien regresi jam mesin sebesar 1,03, nilai ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu persen jam mesin maka akan memberikan peningkatan produksi gula sebesar 1,03 persen dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Nilai koefisien regresi tenaga kerja sebesar -0,239. Nilai koefisien ini menunjukkan hubungan yang negatif antara faktor tenaga kerja dan produksi gula di PG Pagottan. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja ditambah sebesar satu persen maka produksi gula akan menurun sebesar 0,239 persen.
88
Hasil analisis efisiensi alokatif dengan menggunakan rasio antara NPM dan BKM jumlah tebu diperoleh nilai sebesar 0,01. Nilai ini menunjukkan bahwa pemanfaatan faktor produksi tersebut belum efisien secara alokatif. Sehingga perlu dilakukan upaya agar penggunaan jumlah tebu mencapai tingkat optimal sehingga tercapai kondisi yang efisien.
7.2
Saran Dalam rangka meningkatkan produksinya maka sebaiknya perusahaan
meningkatkan kualitas dari pasokan bahan baku tersebut dengan melakukan pengaturan kembali terhadap jadwal tanam dan tebang. Karena hampir sebagian besar bahan baku tebu yang akan digiling memiliki waktu tunggu yang lebih dari 36 jam sehingga mempengaruhi kualitas dari bahan baku tebu itu sendiri. Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jumlah gula yang dihasilkan oleh PG Pagottan. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan harga gula yang diproduksi. Upaya ini mungkin dilakukan jika pemerintah meningkatkan tarif impor gula sehingga harga gula dalam negeri dapat lebih bersaing. Dengan meningkatkan harga gula maka dengan rata-rata penggunaan faktor produksi tebu di PG Pagottan yang sebesar 33.144,7 ton per periode dari tahun 2001 hingga tahun 2007 dan harga tebu rata-rata Rp 1.956.190 per ton maka perusahaan akan dapat beroperasi secara lebih efisien. Karena tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap produksi gula maka saran untuk peneliti selanjutnya dapat dilakukan penelitian mengenai tingkat kinerja SDM di PG Pagottan.
89
DAFTAR PUSTAKA
Churmen, Imam. 2001. Menyelamatkan Industri Gula Indonesia Edisi 1. Jakarta : Millenium Publisher. Djauhari, Aman. 1999. Pendekatan Fungsi Cobb-Douglas Dengan Elastisitas Variabel Dalam Studi Ekonomi Produksi. Suatu Contoh: Aplikasi Pada Padi Sawah. Informatika Pertanian Vol. 8 (Desember 1999). Doll, J. P. dan Frank Orazem. 1984. Production Economics Theory With Application 2nd Edition. Canada : John Willey and Sons Inc. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikati. Jakarta : Bumi Aksara. Gujarati, Damodar. 1978. Ekonometrika Dasar. Penerjemah Soemarno Zain. Jakarta : Erlangga. Hafsah, M. Jafar. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hidayat, Sutan Emir. 2003. Evaluasi Kinerja Produksi dan Keuangan PT PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Subang di Subang, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kartasapoetra, A. G. 1988. Pengantar Ekonomi Produksi Pertanian. Jakarta : Bina Aksara. Meiditha, Nilla. 2003. Analisis Efisiensi Produksi Gula Pasir di Pabrik Gula Kebon Agung, Kabupaten Malang. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Bandung : ITB. Mubyarto dan Daryanti. 1991. Gula Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta:Aditya Media. Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Petanian Edisi Ketiga. Jakarta : LP3ES. .1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. Yogyakarta : BPFE. Muin, G. M. 2006. Ilmu Teknologi Gula dan Pengawasan Fabrikasi. Situbondo : PG Assem Bagoes. Muljana, Wahyu. 1983. Teori dan Praktek Cocok Tanam Tebu dengan Segala Permasalahannya. Semarang: Aneka Ilmu.
90
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nurrofiq, Akhmad. 2005. Analisis Efisiensi Produksi Pabrik Gula. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Pappas, James L. dan Marks Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta : Binarupa Aksara. Sawit, M. Husein, et al. 2004. Penyelamatan dan Penyehatan Industri Gula Nasional. Kajian Akademis. Jakarta : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers. . 2003. Teori Ekonomi produksi Dengan Poko Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Sulastri, Indahsih. 2008. Sosiologi dan Kemitraan. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Perkebunan. Supriyadi, Ahmad. 1992. Rendemen Tebu dan Liku-Liku Permasalahannya. Yogyakarta: Kanisius. Susila, Wayan Reda. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia Analisis Kebijakan dan Keterpaduan istem Produksi. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Umar, Husein. 1996. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Wahyuni, I. T. 2007. Analisis Efisiensi Produksi Gula di PG Madukismo, Yogyakarta. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wira, I. S. 2008. Taksasi Produksi dan Tebang Muat Angkut. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Perkebunan. Yenni. 2005. Optimalisasi Pengadaan Tebu Sebagai Bahan Baku Gula. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
91
LAMPIRAN
92
Lampiran 1 Luas Areal dan Produksi Gula di Indonesia Tahun 1996-2008 Jumlah Tebu Tahun
Luas Areal (ha)
(ton)
(ton/ha)
403.266 28.603.532 70,9 1996 385.669 27.953.841 72,5 1997 378.293 27.177.766 71,8 1998 340.800 21.401.834 62,8 1999 340.660 24.031.355 70,5 2000 344.441 25.186.254 73,1 2001 350.723 25.533.431 72,8 2002 335.725 22.631.109 67,4 2003 344.793 26.743.179 77,6 2004 381.786 31.242.267 81,8 2005 396.441 30.232.833 76,3 2006 418.506 32.332.327 77,3 2007* 431.141 33.894.431 78,6 2008** Keterangan : * Hasil Kesepakatan rapat November 2007 ** Sumber data Asosiasi Gula Indonesia 2007 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2007
Jumlah Hablur Rendemen %
(ton)
(ton/ha)
7,32 7,83 5,49 6,96 7,04 6,85 6,88 7,21 7,67 7,18 7,63 7,47 7,96
2.094.195 2.189.975 1.491.553 1.488.599 1.690.667 1.725.467 1.755.434 1.631.919 2.051.644 2.241.742 2.307.027 2.415.625 2.698.265
5,19 5,68 3,94 4,37 4,96 5,01 5,01 4,87 5,95 5,87 5,82 5,77 6,26
93
Lampiran 2 Angka Produksi PG Pagottan Tahun 2001-2007
Masa giling
Luas (ha)
Ha digiling
Jumlah tebu (ton)
ton tebu /ha
Rnd (%)
jmlh hablur (ton)
2001 14-Jun 01-Jul 16-Jul 01-Agust 16-Agust 01-Sep 16-Sep 01-Okt 2002 8-Jun 16-Jun 01-Jul 16-Jul 01-Agust 16-Agust 01-Sep 16-Sep 01-Okt 2003 11-Jun 01-Jul 16-Jul 01-Agust 200416-Agust 01-Sep
3155,220 3155,220 3155,220 3155,220 3155,220 3155,220 3155,220 3155,220 3253,358 3253,358 3253,358 3253,358 3253,358 3253,358 3253,358 3253,358 3253,358 3900,282 3900,282 3900,282 3900,282 3900,282 3900,282
439,859 421,628 489,566 414,174 440,339 538,200 495,499 324,139 219,110 470,414 465,137 517,251 494,944 520,931 436,389 459,281 384,908 608,589 398,228 451,286 461,350 494,519 527,369
30239,5 30500,9 36286,0 31035,8 36557,0 32424,5 30133,4 18892,0 15873,5 34775,5 35075,6 38990,7 37375,8 38423,3 34105,9 33708,1 38216,4 44585,3 32682,9 35975,7 34213,7 35012,4 32272,0
68,7 72,3 74,1 74,9 83,0 60,2 60,8 58,3 72,4 73,9 75,4 75,4 75,5 73,8 78,2 73,4 99,3 73,3 82,1 79,7 74,2 70,8 61,2
6,82 6,54 6,82 6,96 7,13 7,35 7,71 6,95 6,82 6,75 6,55 6,96 7,39 7,22 7,40 7,12 5,92 6,51 6,53 6,59 6,55 7,00 7,81
2063,54 1994,20 2475,78 2158,87 2606,95 2383,06 2323,62 1313,55 1082,07 2347,01 2297,60 2714,18 2760,25 2774,42 2525,23 2401,22 2262,44 2900,73 2133,34 2370,59 2240,01 2449,31 2519,09
jml gula/ha (ton)
lm kmpny (hari)
jam mesin (jam)
b.p slf (ton)
4,69 4,73 5,06 5,21 5,92 4,43 4,69 4,05 4,94 4,99 4,94 5,25 5,58 5,33 5,79 5,23 5,88 4,77 5,36 5,25 4,86 4,95 4,78
17 15 16 15 16 15 15 10 8 15 15 16 15 16 15 15 18 20 15 16 15 16 15
359,92 341,50 384,00 336,16 377,50 357,50 344,50 222,17 173,00 355,00 352,50 379,58 356,33 373,41 339,91 353,91 407,99 454,58 333,50 366,75 351,75 371,50 353,50
18,53 19,83 26,85 24,70 25,56 20,30 17,33 12,10 11,33 19,34 19,30 20,60 19,33 20,30 19,33 20,45 23,95 27,95 20,74 21,10 18,23 18,50 18,70
b.p b.p P2O5 flk (ton) (ton) 1,65 1,76 2,36 1,46 1,68 1,58 1,54 1,05 0,81 1,19 1,04 1,11 1,46 0,93 1,63 1,52 1,60 2,05 1,64 2,13 0,75 4,75 4,50
0,07 0,07 0,07 0,06 0,07 0,07 0,07 0,05 0,04 0,07 0,07 0,08 0,07 0,08 0,08 0,11 0,13 0,05 0,04 0,05 0,06 0,11 0,06
b.p kpt (ton)
tot bp (ton)
36,71 35,78 58,67 51,78 57,48 41,43 39,31 25,20 23,57 47,24 49,07 54,36 51,51 56,81 48,60 47,82 54,37 48,88 36,83 40,10 38,30 39,99 38,41
56,96 57,43 87,96 78,00 84,80 63,37 58,24 38,39 35,74 67,84 69,48 76,14 72,37 78,11 69,63 69,90 80,05 78,92 59,23 63,38 57,33 63,34 61,67
tk tetap
tkm
total tk
15 15 15 15 15 15 15 15 14 14 14 14 14 14 14 14 14 13 13 13 13 13 13
201 201 221 201 241 214 218 201 234 244 245 246 242 241 234 234 234 252 242 242 242 248 250
216 216 236 216 256 229 233 216 248 258 259 260 256 255 248 248 248 265 255 255 255 261 263
94
Lanjutan Lampiran 2 16-Sep 3,442.558 481,117 15040,0 2004 23-Mei 3090,435 205,304 15029,8 01-Jun 3090,435 412,493 30397,9 16-Jun 3090,435 442,980 33860,4 01-Jul 3090,435 393,212 32140,9 01-Agust 3328,536 403,793 30099,1 16-Agust 3328,536 332,496 22396,6 01-Sep 3328,536 446,886 32885,4 16-Sep 3277,460 227,188 21981,1 2005 25-Mei 3676,408 610,207 47828,4 16-Jun 3676,408 368,476 27757,0 01-Jul 3676,408 394,548 30812,8 16-Jul 3676,408 424,454 36723,8 01-Agust 3676,408 432,977 35004,2 16-Agust 3676,408 425,938 35220,7 01-Sep 3676,408 426,329 33719,3 16-Sep 3676,408 410,775 34561,7 01-Okt 3676,408 364,553 30341,1 2006 11-Mei 3835,008 590,760 45372,5 01-Jun 3835,008 435,135 33942,4 16-Jun 3835,008 413,962 32216,7 01-Jul 3835,008 404,626 32381,2 16-Jul 3835,008 434,295 36719,0 01-Agust 3835,008 399,773 33180,8 16-Agust 3835,008 449,567 36627,6 01-Sep 3835,008 437,828 33920,6
31.3 73,2 73,7 76,4 81,7 74,5 67,4 73,6 96,8 78,4 75,3 78,1 86,5 80,8 82,7 79,1 84,1 83,2 76,8 78,0 77,8 80,0 84,5 83,0 81,5 77,5
7.27 1,093.55 6,65 999,80 6,63 2014,66 6,87 2326,34 7,34 2358,97 8,01 2412,25 7,94 1778,53 8,82 2899,59 8,38 1841,93 6,65 3180,14 6,97 1935,31 7,51 2313,70 7,47 2742,95 7,71 2700,08 8,29 2918,08 8,53 2877,49 8,52 2945,43 8,22 2494,52 7,01 3179,28 7,42 2517,20 7,68 2475,16 8,82 2857,53 8,42 3091,69 8,85 2938,12 8,71 3190,17 8,46 2869,42
2.27 4,87 4,88 5,25 6,00 5,97 5,35 6,49 8,11 5,21 5,25 5,86 6,46 6,24 6,85 6,75 7,17 6,84 5,38 5,78 5,98 7,06 7,12 7,35 7,10 6,55
8 9 15 15 15 15 16 15 10 22 15 15 16 15 16 15 15 15 21 15 15 15 16 15 16 15
183.25 10,34 195,00 113,20 354,00 21,84 358,50 20,61 333,83 19,50 322,00 19,81 249,00 14,73 384,50 20,53 243,25 9,55 521,00 32,38 309,75 20,87 325,25 20,13 380,50 22,28 357,00 20,68 361,50 21,15 350,42 20,35 358,00 20,68 324,09 18,58 487,82 28,00 360,00 20,98 345,25 19,88 342,50 19,71 380,00 21,80 344,00 19,48 380,00 21,58 356,00 20,28
2,15 0,93 2,31 2,36 2,15 1,90 1,06 0,18 1,24 2,94 2,29 1,44 2,99 2,40 2,54 1,75 2,10 1,82 2,61 2,36 2,28 2,28 2,48 2,08 2,48 2,20
0,03 0,03 0,07 0,07 0,07 0,62 0,44 0,65 0,47 0,15 0,15 4,08 0,19 0,16 0,09 0,08 0,09 0,10 0,15 0,12 3,85 1,10 1,20 0,10 0,10 0,11
19,24 31,76 18,26 132,41 35,68 59,89 34,79 57,83 32,64 54,35 31,63 53,95 23,67 39,89 35,07 56,43 24,57 35,82 57,38 92,85 39,19 62,50 40,08 65,72 46,76 72,22 43,34 66,57 44,26 68,04 43,57 65,75 44,12 66,99 38,83 59,33 48,60 79,35 38,76 62,22 29,49 55,48 33,86 56,93 37,91 63,39 34,14 55,80 37,29 61,44 34,33 56,92
13 13 13 13 13 13 13 13 13 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
242 230 240 236 237 238 239 230 230 239 232 232 234 233 236 235 238 232 219 219 221 223 224 226 221 219
255 243 253 249 250 251 252 243 243 251 244 244 246 245 248 247 250 244 231 231 233 235 236 238 233 231
95
Lanjutan Lampiran 2 16-Sep 01-Okt 2007 3-Jun 16-Jun 01-Jul 16-Jul 01-Agust 16-Agust 01-Sep 16-Sep Rata-rata
3835,008 3835,008 4497,942 4497,942 4497,942 4497,942 4497,942 4497,942 4497,942 4497,942 3637,410
453,697 548,354 377,503 460,489 501,879 567,296 508,366 557,973 498,399 504,201 444,423
Sumber : PG Pagottan, 2008
32442,8 33041,7 26698,0 33874,2 36945,5 40749,8 37617,8 41501,3 37881,7 37267,2 33144,7
71,5 60,3 70,7 73,6 73,6 71,8 74,0 74,4 76,0 73,9 75,8
8,51 7,89 6,60 6,89 7,25 7,73 8,20 8,72 8,96 8,71 7,50
2760,23 2608,40 1762,92 2333,90 2679,81 3148,72 3084,44 3618,03 3395,57 3245,51 2510,22
6,08 4,76 4,67 5,07 5,34 5,55 6,07 6,48 6,81 6,44 5,69
15 17 13 15 15 16 15 16 15 15 15
346,30 361,90 280,25 338,00 360,00 379,50 341,50 379,00 384,50 346,25 349,77
20,05 21,65 17,35 21,08 22,88 24,57 22,66 25,21 23,00 22,95 22,11
1,54 2,66 0,14 3,43 2,33 3,12 2,98 3,36 2,61 3,05 2,01
0,09 0,09 0,09 0,12 0,13 0,14 0,12 0,14 0,13 0,12 0,29
58,60 41,24 38,80 31,14 41,34 43,57 41,22 46,40 42,38 42,15 40,62
80,28 65,64 56,37 55,77 66,67 71,39 66,97 75,11 68,12 68,26 65,03
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 13
219 219 207 207 207 209 210 214 211 211 228
231 231 219 219 219 221 222 226 223 223 241
96
Lampiran 3 Pertumbuhan Produksi PG Pagottan Tahun 2001-2007 Tahun
Luas Lahan -2,49 12,32 -2,32 9,62 -4,92 0,03 4,84
Jumlah Tebu -4,65 16,34 -13,40 12,90 -3,73 -2,84 5,51
Rendemen
2001 0,40 2002 -1,49 2003 2,03 2004 3,50 2005 2,76 2006 1,52 2007 4,08 Rata2,44 1,45 1,83 rata Sumber : PG Pagottan, 2008 (diolah)
Jumlah Hablur -3,69 14,43 -10,87 17,27 -1,11 -1,62 9,91
Lama Giling -6,32 13,54 -11,81 4,82 -3,87 -1,60 2,32
Jam Mesin -5,33 2,30 -9,41 9,63 0,96 0,94 3,57
Bahan Pembantu -5,66 2,15 -7,76 -2,55 0,56 0,75 1,85
Tenaga Kerja -5,77 2,17 -6,29 -0,30 0,58 0,79 2,27
3,48
-0,42
0,38
-1,52
-0,93
97
Lampiran 4 Perkembangan Luas Areal, Produktivitas Tebu, Rendemen, dan Produksi Gula PG Pagottan Tahun 2001-2007 Kategori
Luas (ha)
2001 Tebu Sendiri 2287,995 Tebu Rakyat 678,709 2002 Tebu Sendiri 1747,954 Tebu Rakyat 2132,260 2003 Tebu Sendiri 1926,129 Tebu Rakyat 1496,332 2004 Tebu Sendiri 1971,876 Tebu Rakyat 1305,584 2005 Tebu Sendiri 2401,408 Tebu Rakyat 1820,364 2006 Tebu Sendiri 2424,708 Tebu Rakyat 1934,177 2007 Tebu Sendiri 2390,142 Tebu Rakyat 3318,597 Sumber : PG Pagottan, 2008
Produksi(ton) /ha
jumlah
66,9 89,5
105068,6 91528,2
69,5 84,7
Rendemen
Hablur (ton) /ha
jumlah
7,18 7,26
4,80 6,50
10768,30 6551,30
121549,7 180624,1
7,20 6,67
5,00 5,70
8748,50 12047,60
63,3 71,7
122486,8 107295,2
7,12 6,52
4,52 4,67
8715,20 6991,40
69,5 88,7
137089,1 115798,6
8,13 6,92
5,65 6,14
11146,98 8014,00
77,8 86,0
186777,0 156590,8
8,36 6,88
6,50 5,92
15608,94 10771,16
71,3 84,1
173000,5 162632,8
8,97 7,13
6,40 6,00
15514,25 11603,56
76,4 68,5
182827,8 227268,7
8,86 7,23
6,76 4,95
16166,60 16432,70
98
Lampiran 5 Hasil Analisis Regresi dengan Tujuh Faktor Produksi Residual Plots for PG Regression Analysis: PG versus JT; RND; JM; TKT; TKM; BP; LMG The regression equation is PG = 2,60 + 0,0555 JT + 0,999 RND + 1,13 JM + 0,330 TKT - 0797 TKM - 0,029 BP 0,084 LMG
Predictor Constant JT RND JM TKT TKM BP LMG
Coef 2,599 0,05546 0,99897 1,1267 0,3298 -0,7969 -0,02909 -0,0840
S = 0,0547209
SE Coef 1,073 0,02550 0,07957 0,1085 0,1664 0,2201 0,03575 0,1166
R-Sq = 96,2%
T 2,42 2,18 12,55 10,38 1,98 -3,62 -0,81 2,39
P 0,019 0,016 0,000 0,000 0,220 0,031 0,591 0,024
VIF 3,0 1,5 9,7 4,1 4,0 1,6 10,0
R-Sq(adj) = 95,7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 51 58
SS 3,90974 0,15271 4,06246
MS 0,55853 0,00299
Durbin-Watson statistic = 2,11653
F 214,85
P 0,000
99
Lampiran 6 Hasil Analisis Regresi Setelah Uji Validitas Asumsi OLS Regression Analysis: PG versus JT; RND; JM; TTK; BP The regression equation is PG = 2,841 + 0,0664 JT + 1,01 RND
Predictor Constant JT RND JM TTK BP
Coef 2,841 0,06636 1,01122 1,03082 -0,2386 -0,01543
S = 0,0552418
SE Coef 1,014 0,02616 0,08433 0,06121 0,1062 0,03820
R-Sq = 96,0%
0,239 TTK + 1,03 JM
T 2,80 2,54 11,99 16,84 -2,25 -0,40
P 0,007 0,014 0,000 0,000 0,029 0,688
VIF 2,7 1,5 2,7 1,4 1,6
R-Sq(adj) = 95,6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 53 58
SS 3,90072 0,16174 4,06246
MS 0,78014 0,00305
Durbin-Watson statistic = 1,983035
F 255,65
P 0,000
0,015 BP
100
Lampiran 7 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Tujuh Faktor Produksi Normal Probability Plot of the Residuals (response is PG) 99,9 99
Percent
95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0,1
-0,0010
-0,0005
0,0000 Residual
0,0005
0,0010
101
Lampiran 8 Hasil Visual Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi dengan Tujuh Faktor Produksi Residuals Versus the Fitted Values (response is PG) 0,00075
Residual
0,00050
0,00025
0,00000 -0,00025
-0,00050 7,00
7,25
7,50 Fitted Value
7,75
8,00
8,25
102
Lampiran 9 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Setelah Uji Validitas Asumsi OLS Normal Probability Plot of the Residuals (response is PG) 99,9 99
Percent
95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0,1
-0,0010
-0,0005
0,0000 Residual
0,0005
0,0010
103
Lampiran 10 Hasil Visual Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Setelah Uji Validitas Asumsi OLS Residuals Versus the Fitted Values (response is PG) 0,00075
Residual
0,00050
0,00025
0,00000
-0,00025
-0,00050 7,00
7,25
7,50 Fitted Value
7,75
8,00
8,25