ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR GONDORUKEM PERUM PERHUTANI
Oleh DIAH AYU RETNO ARIMBI A 14105527
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR GONDORUKEM PERUM PERHUTANI
Oleh : DIAH AYU RETNO ARIMBI A 14105527
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
PENAWARAN
EKSPOR GONDORUKEM PERUM PERHUTANI” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2008
Diah Ayu Retno Arimbi NRP. A14105527
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 16 Maret 1984 dari keluarga Bapak Istiadi dengan Ibu Endang Ardati. Penulis menempuh pendidikan formal mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) Katolik Dewi Sartika Tangerang pada tahun 1988-1990, dilanjutkan di Sekolah Dasar (SD) Katolik Santo Fransiskus Tangerang pada tahun 1990-1996, pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menegah Pertama (SMP) Katolik Santa Maria 2 Tangerang pada tahun 19961999, kemudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menegah Umum (SMU) Angkasa 2 Jakarta pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Diploma III Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB), selesai pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi alih jenjang Sarjana dan diterima di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat, karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor
Gondorukem Perum
Perhutani”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan yang mempengaruhi produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani, sehingga dapat dilakukan upaya untuk meningkatkan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat menjadi referensi dan informasi bagi semua pihak dalam mengambil keputusan maupun kebijakan yang berhubungan dengan penawaran ekspor gondorukem, khususnya Perum Perhutani. Skripsi ini merupakan hasil maksimal yang dapat dikerjakan penulis dan menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Namun dengan segala keterbatasan yang ada diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2008
Diah Ayu Retno Arimbi NRP. A14105527
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat, karunia dan berkat-Nya, sehingga memberikan kekuatan dan kemudahan serta kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Mama Endang Ardati dan Bapak Istiadi yang telah memberikan cinta, waktu, biaya, serta mendoakan penulis demi keberhasilan penulis.
2.
Ir. Anita Ristianingrum, MSi yang telah memberikan arahan, saran dan bimbingan mulai awal proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan
masukan,
saran
dan
kritiknya
kepada
penulis
untuk
kesempurnaan penulisan skripsi ini.
4.
Etriya, SP., MSi, sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan atas masukan, saran dan kritiknya untuk penulisan yang lebih baik.
5.
Biro Pemasaran, Produksi, Keuangan serta Informasi dan Data,
Perum
Perhutani Jakarta.
6.
Seluruh staf pengajar Manajemen Agribisnis atas segala ilmu yang telah diberikan.
7.
Masku Eko Wisnu Wardhana terima kasih atas doa dan dukungannya.
8.
Rendy Heryandi Prabowo atas segala doa, perhatian, kasih sayang dan dukungannya.
9.
Mila Yulisa sebagai pembahas dalam seminar hasil. Terima kasih atas masukannya.
10.
Nunik Handayani dan Endi Santoso atas dukungannya.
11.
Fristiana teman satu bimbingan yang telah memberikan semangat.
12.
Sahabat-sahabatku, Ka Maria, Ka Nawi, Ka Iip, Ka Novitasari, Mba Sari, Ranny, Fiolenta, Tiska F., Kamal, Ellen, Nenny, Shinta, Terima Kasih atas Kebersamaannya selama ini.
13.
Keluarga besar TM 7 atas doa, dukungan dan kebersamaannya selama ini.
Bogor, Januari 2008 Diah ayu Retno Arimbi NRP. A14105527
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....................................................................................... DAFTAR GAMBAR................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
iii iv V
I PENDAHULUAN...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang.......................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
12
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
12
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................
12
II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
13
2.1 Deskripsi Gondorukem ..........................................................
13
2.2 Standar Mutu Gondorukem Indonesia dan Kegunaannya.....
18
2.3 Sejarah Gondorukem Dunia ..................................................
19
2.2 Penelitian Terdahulu..............................................................
21
III KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................
28
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis..................................................
28
3.1.1 Teori Produksi..............................................................
28
3.1.2 Teori Penawaran Ekspor .............................................
28
3.1.3 Teori Perdagangan Internasional ................................
31
3.1.4 Teori Nilai Tukar ..........................................................
35
3.1.5 Analisis Regresi ...........................................................
36
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ..........................................
39
3.3 Definisi Operasional...............................................................
44
IV METODE PENELITIAN ........................................................................
46
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian................................................
46
4.2 Jenis dan Sumber Data .........................................................
46
4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data..................................
47
4.3.1
Spesifikasi model.......................................................
47
4.3.1.1 Produksi Gondorukem Indonesia...................
48
4.3.1.2 Penawaran Ekspor Gondorukem ...................
49
4.3.2
Identifikasi model .......................................................
50
4.4 Pengujian Hipotesis ...............................................................
51
4.5.1 Koefisien determinasi ...................................................
51
4.5.2 Uji t................................................................................
52
4.5.3 Uji-F ..............................................................................
53
4.5 Uji Multikolinier......................................................................
54
4.6 Uji Autokorelasi .....................................................................
54
4.7 Uji Normalitas .......................................................................
55
4.8 Uji Homoskedastisitas ..........................................................
56
4.10 Pendugaan Nilai Elastisitas .................................................
56
4.11 Hipotesis ..............................................................................
57
V GAMBARAN UMUM PERUM PERHUTANI..........................................
61
VI HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................
65
6.1 Gambaran Umum Hasil Dugaan Model Produksi dan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani.............
65
6.1.1
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi Gondorukem Perum Perhutani ................................
71
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penawaran Ekspor Gondorukem Indonesia................................
77
6.2 Upaya untuk Meningkatkan Ekspor Gondorukem Indonesia........................................................
83
VII KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
90
7.1 Kesimpulan ......................................................................
92
7. 2 Saran ..............................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
94
LAMPIRAN ...............................................................................................
97
6.1.2
DAFTAR TABEL
Nomor 1
Halaman PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah) Tahun 2002-2005..................................................
1
Total Pendapatan Perum Perhutani dari Kayu dan HHBK Tahun 1995-1999 ..........................................................................
2
Perkembangan Produksi, Volume dan Nilai Ekspor Gondorukem Tahun 1980-2005.....................................................
5
4
Perkembangan Jumlah Pohon Pinus merkusii yang disadap........
7
5
Berbagai Jenis Pinus yang Tumbuh di Berbagai Negara ..............
20
6
Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Sekarang ..........................................................................
27
7
Hasil Identifikasi Model ..................................................................
50
8
Hasil analisis asumsi multikolinearitas pada persamaan produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani............................................................................
67
Hasil Analisis Setelah Dilakukan Pengeluaran Beberapa Peubah Bebas Untuk Menghilangkan Asumsi Multikolinearitas Pada Persamaan Produksi dan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani..........................................
68
10 Hasil Analisis Asumsi Multikolinearitas pada Persamaan Produksi dan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah Dilakukan Pengeluaran Beberapa Peubah Bebas ...........
69
11 Parameter Dugaan Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani............................................................................
71
12 Parameter Dugaan Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani ......................................................
78
2
3
9
DAFTAR GAMBAR Nomor 1
Halaman Perkembangan Penjualan Gondorukem Di Dalam Negeri Perum Perhutani Tahun 1980-2005 ..............................................
4
Perkembangan Luas Kawasan Hutan Pinus merkusii Yang Disadap Tahun 1980-2005 ............................................................
7
Perkembangan Produksi Getah Pinus Perum Perhutani Tahun 1980-2005 ..........................................................................
8
Perkembangan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Tahun 1980-2005 ..........................................................................
10
Perkembangan Volume Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Tahun 1980-2005 ..........................................................................
10
Perkembangan Harga Ekspor Gondorukem (FOB) Perum Perhutani Tahun 1980-2005 ..........................................................
11
7
Tahap Kegiatan dalam Proses Produksi Gondorukem..................
14
8
Kurva Perdagangan Internasional .................................................
33
9
Kerangka Pemikiran Operasional ..................................................
43
10 Jalur Tata Niaga Gondorukem Dalam Negeri................................
62
11 Jalur Tata Niaga Gondorukem Ke Luar Negeri .............................
63
2
3
4 5
6
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Gambar Komoditas Gondorukem ................................................
97
2
Persyaratan Umum Gondorukem di Indonesia...........................
97
3
Persyaratan Khusus Mutu Gondorukem di Indonesia .................
98
4
Syarat Mutu Getah Tusam/ Pinus................................................
99
5
Daftar Agen Hasil Industri Non Kayu Perum Perhutani Tahun 2007 .................................................................................
102
Volume dan Nilai Ekspor Gondorukem Indonesia dan Negara Tujuan Ekspor Tahun 2005.............................................
103
Volume, Nilai Impor dan Negara Pengekspor Gondorukem Ke Indonesia Tahun 2005............................................................
104
Volume Ekspor, Produksi Domestik Gondorukem, Harga Ekspor Gondorukem, Harga Domestik Gondorukem, Nilai Tukar Rupiah Terhadap US$, Ekspor Gondorukem Tahun sebelumnya, Penjualan Domestik Gondorukem, Jumlah Bahan Baku Gondorukem (Getah Pinus), Harga Bahan baku Gondorukem, produksi Gondorukem tahun Sebelumnya............
105
Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Linear ..................................................................
106
10 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Linear ..................................................
106
11 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Semi Log X .......................................................................
107
12 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Semi Log X..........................................................
107
13 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Semi Log Y..........................................................
108
6
7
8
9
14 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani
Dengan Model Semi Log Y..........................................................
108
15 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Double log...........................................................................
109
16 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Double log .............................................................
109
17 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah LQPDG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Linear ...............
110
18 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah ER dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Linear.............................................................................................
110
19 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah LQPDG Dikeluarkan Dengan Model Double Log ..........................
111
20 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah DD dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log .....
111
21 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah QBB Dikeluarkan Dengan Model Double Log ...............................
112
22 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah ER dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log......
112
23 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah QBB Dikeluarkan Dengan Model Double Log ..................
113
24 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah DD dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log .....
113
25 Nilai-Nilai Kritis untuk Statistik F dan Statistik t ...........................
114
26 Normalitas Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani............................................................................
115
27 Normalitas Normalitas Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani .....................................................
115
28 Homoskedastisitas Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani............................................................................
116
29 Homoskedastisitas Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani........................................................................
116
I PENDAHULUAN
1.6 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai fungsi yakni fungsi produksi, fungsi lindung dan fungsi konservasi. Hutan juga memberikan manfaat besar bagi bangsa Indonesia, baik bagi manfaat ekologi, sosial-budaya maupun ekonomi. Sektor kehutanan memberikan devisa negara bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa nilai Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha, pada tahun 2002-2005 sektor kehutanan cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 nilai PDB sektor kehutanan berada pada peringkat kedua setelah Tanaman Bahan Makanan, yaitu sebesar Rp 59.631,9 miliar. Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan berasal dari barang kayu dan hasil olahannya yaitu sebesar Rp 1,34 miliyar (BPS, 2006).
Tabel 1. PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah) Tahun 2002-2005 Lapangan Usaha Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan r * ** Sumber
2002r 146.210,8 43.037,9 17.602,4 40.304,8 34.434,9
Tahun 2003 2004* 157.648,8 165.558,2 46.753,8 51.590,6 18.414,6 19.678,3 45.612,1 54.091,2 37.354,2 40.634,7
2005** 183.581,2 57.773,0 21.450,0 59.631,9 43.123,5
: Angka yang diperbaiki : Angka sementara : Angka sangat sementara : BPS (2006)
Pada sektor kehutanan menghasilkan kayu, produk kayu, produk bukan kayu atau yang dikenal dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan produk jasa lingkungan lainnya. Produk HHBK berupa rotan, minyak kayu putih, gondorukem
atau rosin, terpentin, dan kopal. Produk kayu berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis (plywood) dan produk kayu olahan lainnya merupakan produk yang memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian nasional (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa Perum Perhutani yang merupakan perusahaan besar milik negara dengan total luas hutan yang dikelolanya 3.009.780 ha di Pulau Jawa memperoleh pendapatan total rata-rata Rp 801.548.000,- per tahun dengan pendapatan terbesar diperoleh dari kayu sebesar Rp 718.861.000,- sedangkan HHBK hanya memberikan kontribusi pendapatan sebesar Rp 82.688.000,- (11,50 persen). Hal ini menunjukkan kesan bahwa pemanfaatan hasil hutan lebih terfokus pada hasil hutan kayu, sedangkan HHBK kurang mendapatkan perhatian (Subarudi dan Mega Lugina, 2006).
Tabel 2. Total Pendapatan Perum Perhutani dari Kayu dan HHBK Tahun 1995-1999 Tahun anggaran 1995 1996 1997 1998 1999 Total Rata-rata
Pendapatan (dalam Rp 000) Total 637.484 706.997 665.942 909.248 1.088.071 4.007.742 801.548
Kayu 563.950 626.606 595.325 823.134 985.289 3.594.304 718.861
HHBK 73.534 80.391 70.617 86.114 102.782 413.438 82.688
Andil dari HHBK (%) 11,54 11,37 10,66 9,47 9,45 11,50
Sumber: Perum Perhutani (2000; hasil perhitungan) dalam Subarudi dan Mega Lugina 2006
Pada saat ini HHBK hanya memberikan kontribusi devisa lebih kecil dibandingkan hasil hutan kayu, namun pada masa yang akan datang HHBK berpeluang memberikan devisa yang lebih besar dari pada hasil hutan kayu. Hal ini disebabkan laju kerusakan hutan semakin bertambah dari 1,6 juta hektar per tahun pada periode 1985-1997 menjadi 3,8 juta hektar per tahun pada periode 1997-2000, potensi kayu terus menurun yang diakibatkan oleh besarnya tingkat penjarahan (illegal logging) dan penebangan hutan yang tidak terkendali. Akibat
kerusakan hutan yang terus bertambah maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan pada tahun 1985 mengenai larangan ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih serta kebijakan menurunkan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2003. Semenjak diberlakukannya kebijakan JPT pada tahun 2003 menyebabkan ketersediaan bahan baku kayu pada industri pengolahan kayu menurun. Melihat kondisi seperti ini maka pemerintah khususnya Perum Perhutani memulai untuk memanfaatkan HHBK yang belum dimanfaatkan secara optimal, khususnya hasil pengolahan getah Pinus merkusii yaitu gondorukem, untuk mengantisipasi menurunnya pendapatan1. Pemanfaatan HHBK tidak saja menguntungkan secara ekonomi, namun juga memberikan manfaat ekologis. Di Indonesia, gondorukem dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara yaitu Perum Perhutani yang berada dalam pembinaan teknis Departemen Kehutanan. Untuk mengelola gondorukem, Perum Perhutani memperoleh getah Pinus merkusii dari unit kerjanya yaitu Perum Perhutani Unit I Jawa Timur, Unit II Jawa Tengah dan Unit III Jawa Barat dan Banten. Gondorukem digunakan sebagai bahan yang penting bagi industri batik, kulit, sabun cuci, cat, isolator kertas, vernis, bahan campuran ban, kosmetik, industri semen dan bahan lapisan kabel. Selama periode 26 tahun terakhir, produksi gondorukem yang dihasilkan oleh Perum Perhutani sebagai produsen satu-satunya telah memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ekspor gondorukem Indonesia. Selama periode tersebut perkembangan volume ekspor mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,57 persen per tahun. Produksi gondorukem sudah ada sebelum tahun 1980-an namun pada saat itu hanya dioerientasikan untuk
1
Gun. 2004. Ekspor Capai US$ 10 juta Perhutani Genjot Produksi Gondorukem, www. Sinarharapan.com [10 Mei 2007]
memenuhi kebutuhan dalam negeri yaitu sebesar 60 hingga 77 persen, sedangkan sisanya untuk ekspor. Adapun konsumen dalam negeri terbesar adalah industri batik (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1972). Semenjak tahun 1985 hingga sekarang pemasaran gondorukem lebih diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan luar negeri yaitu sebesar 60 hingga 86 persen. Hal ini disebabkan permintaan akan gondorukem di pasar internasional terus meningkat yaitu sebanyak 347.462.314 kg pada tahun 2005. Selain itu juga diikuti oleh harga gondorukem di pasar internasional lebih tinggi yaitu sebesar US$ 511,2 atau
Rp
5.025.096,-
dibandingkan
di
dalam
negeri
yaitu
sebesar
Rp 4.280.426,747 per ton. Di lain pihak penjualan di dalam negeri cenderung menurun, dengan laju rata-rata tiap tahunnya sebesar 1,82 persen (Gambar 1). Hal ini disebabkan oleh adanya produk subtitusi untuk bahan baku pembuatan sabun yaitu minyak kelapa atau ampas minyak dan melemahnya daya beli industri yang membutuhkan gondorukem sebagai bahan baku utama atau sebagai bahan
35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
19 86
19 84
19 82
0
19 80
Volume Pejualan (Ton)
penolong (Astana S., Muttaqin.M.Z, dan Yuhono J.t. (2004).
Tahun
Gambar 1. Perkembangan Volume Penjualan Gondorukem Di Dalam Negeri Tahun 1980-2005 Sumber: Perum Perhutani (1985, 1989, 1991, 1996, 2000, 2005, 2007)
Mengingat permintaan di pasar internasional yang cukup tinggi, maka gondorukem Indonesia berpeluang untuk memenuhi permintaan di pasar internasional. Pada saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi gondorukem sebesar 5,67 persen setiap tahunnya dan memenuhi permintaan ekspor
gondorukem dengan laju pertumbuhan sebesar 8,57 persen, sehingga perlu lebih ditingkatkan (Tabel 3).
Tabel 3. Perkembangan Produksi, Volume dan Nilai Ekspor Gondorukem Tahun 1980-2005 Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Laju produksi/ Tahun (%)
Produksi (Ton) 6.292 8.814 10.945 8.491 9.511 14.315 16.094 24.807 31.858 39.079 37.290 48.980 54.168 69.296 64.769 66.696 77.845 69.926 47.605 62.110 51.874 47.468 55.454 58.660 57.573 46.674 41.792,08
28,61 19,47 -28,90 10,72 33,56 11,05 35,12 22,13 18,48 -4,80 23,87 9,58 21,83 -6,99 2,89 14,32 -11,32 -46,89 23,35 -19,73 -9,28 14,40 5,47 -1,89 -23,35 5,67
Volume Ekspor (Ton)
Laju ekspor/Tahun (%)
1.725 1.994 1.970 3.115 6.039 10.670 10.324 16.560 22.544 19.768 30.788 36.417 38.089 45.933 42.358 35.270 34.143 39.029 38.362 39.166 41.848 36.274 47.639 49.191 44.273 33.032 27.943,12
Nilai (US$)
13,49 -1,22 36,76 48,42 43,40 -3,35 37,66 26,54 -14,04 35,79 15,46 4,39 17,08 -8,44 -20,10 -3,30 12,52 -1,74 2,05 6,41 -15,37 23,86 3,16 -11,11 -34,03 8,57
936.632 1.558.082 1.218.681 1.195.328 2.201.160 3.163.493 3.742.226 6.317.688 7.965.952 8.371.389 12.089.731 14.243.439 15.901.392 22.071.442 19.530.430 19.562.870 21.732.623 27.245.864 16.550.573 18.400.892 17.283.872 15.331.963 20.369.780 1.278.577 1.053.620 16.887.420 11.392.504,6
Sumber: Perum Perhutani (1985, 1989, 1991, 1996, 2000, 2005, 2007)
Gondorukem
dikenal
dengan
nama
rosin
di
dunia
perdagangan
internasional. Indonesia merupakan negara produsen kedua setelah China. Gondorukem Indonesia memiliki keunggulan komparatif dengan negara lain yaitu lebih tahan panas, lebih lengket dan memiliki aroma khas yang lebih wangi. Pada tahun 2005 Indonesia baru dapat memasok 6,99 persen
yaitu sekitar
31.953.859 kg dibandingkan China yang mampu memasok 76,07 persen yaitu sekitar 347.462.314 kg dari total kebutuhan konsumsi gondorukem dunia2.
2
www.comtrade.un.org diolah (16 Juni 2007)
Adapun negara tujuan utama ekspor gondorukem pada tahun 2005 adalah India yaitu sebesar 25,65 persen dari total ekspor ke semua negara tujuan ekspor gondorukem, disusul oleh negara Pakistan, Belanda, negara di Asia Lainnya dan Republik Korea3. Pada masa yang akan datang, komoditas gondorukem yang merupakan salah satu HHBK diharapkan mampu terus memberikan devisa bagi negara. Selain devisa bagi negara, komoditas gondorukem juga diharapkan mampu memberikan lapangan pekerjaaan bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan serta memacu pemerataan pembangunan daerah. 1.7 Perumusan Masalah Seiring berkurangnya pasokan kayu sebagai bahan baku utama industri pengolahan kayu menyebabkan devisa negara dari hasil hutan kayu berkurang. Hal inilah yang mendorong pemerintah meningkatkan devisa melalui peningkatan ekspor HHBK seperti gondorukem. Gondorukem merupakan hasil olahan dari getah P. merkusii yang dikelola oleh Perum Perhutani. Getah pinus tersebut diperoleh dari pohon pinus yang telah disadap. Permasalahan yang dihadapi oleh Perum Perhutani adalah semenjak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, luas kawasan hutan P. Merkusii yang diperuntukkan untuk disadap mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 188.87 persen yang kemudian pada tahun 1998 mengalami penurunan kembali sebesar 4,19 persen (Gambar 2). Hal ini disebabkan pada tahun 1997 dan tahun 1998 terjadi penjarahan hutan. Pada tahun 2000 luas kawasan hutan pinus yang dapat disadap mengalami peningkatan 44,12 persen karena kawasan hutan yang sudah memasuki masa sadapnya yaitu umur pinus yang lebih dari 10 tahun dapat disadap. Pada tahun 2001 luas kawasan hutan 3
ibid
pinus yang disadap mengalami penurunan sebesar 84,63 persen karena pada saat itu terdapat beberapa kawasan hutan pinus yang pada awalnya dapat disadap menjadi tidak dapat disadap karena penghentian penyadapan di beberapa areal hutan produksi yang sudah tidak produktif dan beralihnya hutan produksi menjadi hutan lindung. 800.000 700.000 Luas (Ha)
600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
19 86
19 84
19 82
19 80
0
Tahun
Gambar 2. Perkembangan Luas Kawasan Hutan Pinus Tahun 1995-2005 Sumber: Perum Perhutani (2000 dan 2007)
Akibat berkurangnya luas kawasan hutan pinus yang disadap akibat penjarahan hutan pada tahun 1997 dan 1998 menyebabkan jumlah pohon pinus yang dapat disadap pun berkurang masing-masing turun sebesar 22,58 persen dan 37,58 persen (Tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan Jumlah Pohon Pinus merkusii yang disadap Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah (pohon) 50.817.496 44.923.160 36.648.600 26.638.984 28.260.507 31.680,000 902.759.860 685.121.416 553.539.747 816.653.556 10.562.488.000
Laju Pertumbuhan (%) -13,12 -22,58 -37,58 5,74 10,79 96,49 -31,77 -23,77 32,22 92,27
Sumber: Perum Perhutani (2000 dan 2007)
Pada tahun 2001 luas kawasan hutan pinus yang dapat disadap menurun sebesar 84,63 persen akibat beralihnya fungsi hutan produksi menjadi hutan
lindung, namun jumlah pohon yang dapat disadap mengalami peningkatan sebesar 96,49 persen. Hal ini disebabkan untuk memenuhi kebutuhan getah pinus Perum Perhutani meningkatkan jumlah pohon yang disadap pada kawasan yang diperbolehkan untuk disadap. Pada tahun 2004 dan 2005 jumlah pohon yang dapat disadap mengalami peningkatan masing-masing sebesar 32,22 persen dan 92,27 persen. Hal ini disebabkan setelah adanya kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) pada tahun 2003 maka pohon pinus yang seharusnya ditebang karena sudah memasuki masa tebangnya yaitu diatas umur 30 tahun, diperpanjang umur masa sadapnya yaitu hingga umur 50 tahun4. Akibat berfluktuasinya luas kawasan hutan pinus dan jumlah pohon pinus yang dapat disadap menyebabkan produksi getah pinus pun berfluktuasi. Produksi getah pinus berasal dari tiga wilayah unit bisnis yang tersebar di berbagai wilayah yaitu Perum Perhutani Unit I Jawa Timur, Unit II Jawa Tengah dan Unit III Jawa Barat dan Banten. Selama periode tahun 1980 hingga tahun 2005 volume produksi getah Pinus merkusii berfluktuasi dan cenderung menurun (Gambar 3). Produksi getah pinus mengalami peningkatan pada tahun 1980 hingga tahun 1996 sebesar 117.683 ton namun pada tahun 1997 hingga tahun 1998 mengalami penurunan yang sangat drastis sebesar 42,77 persen dari 99.073 ton pada tahun 1997 menjadi 69.392 ton. 140.000 Volume (Ton)
120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
19 86
19 84
19 82
19 80
0
Tahun
Gambar 3. Perkembangan produksi Getah Pinus Perum Perhutani Tahun 1980-2005 Sumber: Perum Perhutani (1985, 1989, 1991, 1996, 2000, 2005, 2007) 4
Nik. 2006. Gondorukem Jadi Andalan Perhutani, www.kompas.com [10 Mei 2007]
Penurunan produksi pada tahun 1997 dan tahun 1998 disebabkan pada saat itu terjadi krisis ekonomi dan terjadi penjarahan kayu pinus secara besarbesaran sehingga luas kawasan hutan pinus dan jumlah pohon pinus yang dapat disadap menurun (Gambar 2 dan Tabel 4), mengakibatkan produksi getah pinus pun berkurang. Pada tahun 2004 dan tahun 2005 laju produksi getah pinus menurun masing-masing sebesar 1,16 persen dan 18,77 persen disebabkan adanya kebijakan jatah produksi tebangan (JPT) yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Sejak pemeliharaan
diberlakukan tanaman
kebijakan pinus
sulit
tersebut, dilakukan
maka
penjarangan
sehingga
untuk
menyebabkan
pertumbuhan tanaman pinus menjadi terganggu dan kemampuan produksi getahnya juga kecil5. Produktivitas getah pinus juga dipengaruhi oleh faktor cuaca, umur tegakan, teknologi, cara penyadapan, waktu penyadapan, pengangkutan dan penyimpanan. Faktor lain yang berpengaruh adalah kuantitas getah pinus yang keluar disebabkan keterbatasan sumber bahan baku dan produktivitas masyarakat yang terlibat dalam proses produksi. Produksi getah pinus yang menurun akan mempengaruhi produksi dan volume ekspor gondorukem. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan produksi gondorukem (Gambar 4) terus menurun pada tahun 1997 dan tahun 1998 sebesar masing-masing sebesar 11,32 persen dan 46,89 persen yang disebabkan oleh berkurangnya luas kawasan hutan pinus dan jumlah pohon yang disadap akibat penjarahan hutan. Pada tahun 2001, tahun 2004 dan tahun 2005 produksi gondorukem kembali turun masing-masing sebesar 15,37 persen, 1,89 persen dan 23,5 persen. Hal ini disebabkan pada tahun 2001 luas kawasan hutan pinus yang dapat disadap berkurang akibat dialihkan fungsi menjadi hutan lindung sehingga pohon pinus tidak dapat disadap. Akibatnya Perum perhutani 5
Perhutani Naikkan Harga Getah Pohon Pinus US$700 www.mediaindo.co.id/ [2 Mei 2007]
meningkatkan jumlah pohon pinus yang dapat disadap pada kawasan hutan pinus yang tidak dialihkan fungsinya. Jumlah pohon pinus yang dapat disadap dapat meningkat namun produksi getah pinus menurun sebesar 16,11 persen sehingga produksi gondorukem pun menurun sebesar11,28 persen. Pada tahun 2004 dan tahun 2005 produksi gondorukem yang menurun masing-masing sebesar 1,89 dan 23,35 persen yang disebabkan adanya Kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) tahun 2003. 90.000
Volume(Ton)
80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
19 86
19 84
19 82
19 80
0
tahun
Gambar 4. Perkembangan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Tahun 1980-2005 Sumber: Perum Perhutani (1985, 1989, 1991, 1996, 2000, 2005, 2007)
Akibat berfluktuasinya produksi gondorukem maka laju pertumbuhan volume ekspor gondorukem pun berfluktuasi (Gambar 5). Hal ini dapat dilihat pada tahun 1998, 2004 dan 2005 volume ekspor gondorukem terjadi penurunan masing–masing sebesar 1,74 persen, 11,11 persen dan 34,03 persen. 60.000
Volume(ton)
50.000 40.000 30.000 20.000 10.000
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
19 86
19 84
19 82
19 80
0
Tahun
Gambar 5. Perkembangan Volume Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Tahun 1980-2005 Sumber: Perum Perhutani (1985, 1989, 1991, 1996, 2000, 2005, 2007)
Permasalahan lain yang juga dihadapi oleh Perum Perhutani adalah perkembangan harga gondorukem di pasar internasional. Sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 harga gondorukem terus meningkat dengan harga tertinggi pada tahun 1997 sebesar US$ 698,1. Setelah terjadinya krisis ekonomi yaitu pada tahun 1998 harga gondorukem cenderung menurun menjadi US$ 431,4. Setelah tahun 1998 harga gondorukem stabil di kisaran US$ 400 hingga US$ 500 (Gambar 6). 800 700
HARGAUS$
600 500 400 300 200 100
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
19 88
19 86
19 84
19 82
19 80
0
Gambar 6. Perkembangan Harga Ekspor Gondorukem (FOB) Tahun 1980-2005
Gambar 6. Perkembangan Harga Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Tahun 1980-2005 Sumber: Perum Perhutani (1985, 1989, 1991, 1996, 2000, 2005, 2007)
Mengingat pentingnya manfaat yang diberikan oleh komoditas gondorukem bagi sumbangan devisa negara maka perlu bagi pemerintah untuk melaksanakan ekstensifikasi dan intensifikasi bagi peningkatan produksi dan kualitas getah pinus sebagai bahan baku gondorukem, sehingga gondorukem memiliki daya saing. Indonesia merupakan produsen terbesar kedua dalam pasar gondorukem dunia seringkali mengalami kerugian yang diakibatkan pasokan yang besar dari produsen utama yaitu China yang menyebabkan turunnya harga, oleh karena itu Indonesia perlu meningkatkan produksi dan kualitas gondorukem agar memiliki posisi tawar yang cukup untuk dapat menjaga kestabilan harga. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan
pokok
yaitu
faktor-faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi produksi dan penawaran ekspor gondorukem dan seberapa jauh pengaruhnya terhadap produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani. 1.8 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
produksi
dan
penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani. 2. Merumuskan upaya untuk meningkatkan produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bagi pemerintah menjadi bahan masukan dalam membuat kebijakan pengelolaan hasil hutan yaitu berupa informasi mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan produksi dan penawaran ekspor gondorukem sehingga pendapatan devisa dari hasil hutan bukan kayu pun meningkat. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi serta informasi dan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani. Penelitian ini ruang lingkup pembahasan mengenai produksi dan penawaran ekspor gondorukem tanpa menggunakan Persamaan identitas.Persamaan identitas ekspor (XG) adalah selisih antara produksi domestik gondorukem (QPDG) dengan konsumsi domestik gondorukem (SDO) dengan persamaan matematis sebagai berikut : XG = QPDG - SDO
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Gondorukem Gondorukem merupakan salah satu komoditas HHBK yang diandalkan oleh sektor kehutanan dalam memberikan kontribusi pendapatan negara, khususnya dari sektor non migas. Gondorukem diperoleh dari hasil penyulingan getah pohon pinus, baik itu dengan atau tanpa bantuan tekanan uap. Gondorukem atau yang dikenal dengan nama pine resin, colophony atau kucing diproduksi dari sadapan getah Pinus merkusii yang tumbuh di Sumatra, Jawa dan Bali (Suryamiharja dan Buharman 1986)6. Pohon pinus dapat memproduksi getah hingga 500 kg per hektarnya. Getah yang disadap diproses menjadi gondorukem (60 persen) dan terpentin (17 persen). Sumadiwangsa (1978) menyatakan bahwa gondorukem merupakan bahan padat dan termasuk golongan resin yang diperoleh dari beberapa jenis pohon pinus. Di Amerika dikenal tiga macam gondorukem yaitu gondorukem getah (gum rosin), gondorukem kayu dan gondorukem “tall oil”. Gondorukem getah (gum rosin) diperoleh sebagai residu penyulingan getah hasil penyadapan pohon Pinus palustris Nill atau Pinus caribaea Mor. Gondorukem kayu diperoleh dengan jalan mengekstrak kayu pinus dengan bahan pelarut organik dimana larutan yang terjadi kemudian disuling untuk memperoleh gondorukem. Gondorukem “tall oil” (tall oil rosin) diperoleh sebagai hasil penyulingan bertingkat tall oil kasar yaitu ikutan industri pulp sulfat7. Proses produksi pengolahan getah pinus menjadi gondorukem sebagai berikut: penerimaan getah, penampungan getah, pemanasan awal, pengenceran getah, 6
pencucian
awal,
pencucian
ulang,
penampungan
getah
bersih,
Gum Naval Stores Turpuntine and rosin from pine resin www.fao.org/forestry/FOP/FOPW/NWFP [14 Agustus 2007] Loc.cit
7
pemasakan getah dan penampungan gondorukem. Proses produksi ini ada beberapa modifikasi yang bertujuan untuk mempermudah proses produksi itu sendiri dan meningkatkan mutu gondorukem yang dihasilkan (Syafitri, 2006). Secara umum tahap proses produksi gondorukem disajikan pada Gambar 7.
Penerimaan Getah
Penampungan Getah
Pemanasan Awal
Pengenceran
Pemasakan Getah
Penampungan Getah Bersih
Pencucian Ulang
Pencucian Awal
Penampungan Gondorukem
Gambar 7. Tahap Kegiatan dalam Proses Produksi Gondorukem a. Penerimaan Getah Penerimaan getah dilakukan untuk menyortir getah hasil dari sadapan yang telah dikumpulkan oleh pengumpul. Getah yang telah disadap dikumpulkan di tempat Pengumpulan Getah (TPG) sebelum dikirim ke pabrik. Getah pinus yang baru dikirim dari TPG masih bercampur dengan kotorankotoran berupa daun, tatal, jonjot, tanah dan lain-lain. b. Penampungan Getah Getah pinus ini ditampung dalam suatu tempat yang disebut dengan bak getah yang berukuran 10X5X3 m3. Dalam bak getah ada beberapa peralatan yaitu close steam yang berfungsi untuk mengencerkan getah, open steam yang berfungsi untuk mengencerkan getah yang mengkristal, stayner yang berfungsi untuk menyaring kotoran dan kran pengeluaran getah.
c. Pemanasan Awal Getah dari bak getah dialirkan ke blowcase melalui talang getah dan dilakukan pemanasan pendahuluan hingga mencapai suhu 70-800C. Setelah dicapai suhu pemanasan tersebut, selanjutnya getah dipindahkan ke tangki melter sampai habis. Fungsi dari blowcase adalah sebagai pemanasan awal agar getah menjadi encer sehingga mudah dialirkan ke melter. d. Pengenceran Pengenceran dilakukan di dalam tangki melter dengan mencampurkan terpentin sebanyak 1.000 kg lalu dipanasi kembali hingga mencapai suhu 70800C, kemudian getah diendapkan 4-6 menit. Kotoran air yang terendap dibuang atau dialirkan ke bak penampungan limbah sampai habis melalui pipa pembuangan. Getah yang ada kemudian dialirkan ke filter press B-1 untuk di filtrasi menggunakan steam dengan tekanan 0,2-2 kg/cm2. Setelah getah difiltrasi, getah dipindahkan ke tangki settler sampai habis. Adapun fungsi dari melter adalah untuk melarutkan getah dan terpentin, yang menyaring kotoran yang terbawa dalam getah dan mencairkan getah yang megkristal. e. Pencucian Awal Pencucian awal dilakukan dalam tabung settler dengan menggunakan air sebanyak 200 liter dari tangki water treatment, kemudian dicampurkan dengan larutan asam oksalat sebanyak 7,5 kg (0,3% setiap batch) dari tangki asam oksalat. Asam oksalat ini berfungsi untuk mengikat kotoran dan ion besi yang tercampur dalam larutan getah. Setelah tercampur dengan asam oksalat, larutan getah diendapkan 5-10 menit, kemudian air dan kotoran dialirkan ke bak penampungan limbah melalui pipa pembuangan sampai habis. Apabila larutan getah masih terlihat kotor, harus dilakukan pencucian ulang sebanyak 2-3 kali sampai larutan getah terlihat bersih, kemudian dipindahkan ke tangki scrubbing sampai habis.
f. Pencucian Ulang Pencucian
kembali
dilakukan
dalam
tangki
scrubbing
dengan
menambahkan air hangat sebanyak 1.000 liter dari water tereatment sambil dilakukan pengadukan dengan menggunakan agigator selama 10-15 menit. Suhu larutan dalam tangki scrubbing dipertahankan pada suhu 70-800C. Kemudian larutan getah diendapkan ke bak penampungan limbah melalui pipa pembuangan sampai habis. Pencucian getah dapat dilakukan ulang bila larutan getah belum memenuhi standar berdasarkan informasi dari quality controller. g. Penampungan Getah Bersih Jika larutan telah dinyatakan lulus oleh quality controller, larutan getah dipindahkan ke tangki penampungan A1 dan A2 sampai habis melalui filter press B-2 yang dilengkapi dengan filter duck dan filter wire mesh agar kotoran yang masih tertinggal dapat tersaring. Bila larutan getah dalam tangki penampung A1 dan A2 sudah memenuhi kapasitas pemasakan, dilakukan pengendapan, kemudian kotoran dibuang ke bak penampungan limbah. h. Pemasakan Getah Pemasakan getah dimaksudkan untuk mematangkan getah dan pengeluaran air serta komponen lainnya yang terdapat dalam getah dengan menggunakan energi panas yang dihasilkan oleh boiler. Dengan pemasakan maka sifat-sifat getah akan stabil serta memiliki daya tahan lebih lama. Pemasakan ini dilakukan dalam suatu ketel pemanas khusus yang memiliki ketahanan terhadap suhu dan tekanan. Tangki pemasak dirancang untuk bekerja pada tekanan yang dilengkapi dengan coil pemanas, closed steam, open steam, kaca pengamat dan kran untuk pengeluaran terpentin. Ketel pemasak ini mampu menampung getah sebanyak 4.800 kg.
Prosesnya, getah yang sudah bersih dan siap dimasak dalam tangki penampung dimasukkan ke dalam tangki ketel pemasak melewati filter gaff. Setelah getah masuk ke dalam ketel pemasak lalu dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 160-1700C. Selama pemanasan, suhu, aliran, tekanan dan kondensor harus selalu dikontrol. Ketika awal pemasakan pada suhu 1301400C uap air dan uap terpentin menguap dan masuk kondensor yang ditarik oleh pompa vakum untuk diembunkan dan dicairkan. i. Penampungan Gondorukem Hasil dari kondensasi dialirkan ke tangki sperator untuk memisahkan antara air dan terpentin. Setelah keduanya terpisah, terpentin dialirkan ke tangki penampung terpentin A yang disiapkan untuk digunakan dalam proses pengenceran getah dalam tangki melter. Pada suhu 130-1400C sampai suhu akhir pemanasan hasil terpentinnya dialirkan ke tangki penampungan terpentin B sebagai terpentin produk. Terpentin dalam tangki terpentin B dipindahkan ke tangki terpentin sementara melalui tangki dehidrator. Dalam dehidrator, terpentin disaring kembali dengan garam industri agar kandungan air yang masih terdapat dalam terpentin dapat tertinggal. Kemudian terpentin dialirkan kembali ke tangki terpentin produk. Sedangkan untuk gondorukem, jika suhu sudah mencapai 1700C dibiarkan untuk sementara kemudian didinginkan hingga suhu 1350C dan dipanasi kembali hingga suhu 1450C agar panasnya menyebar. Setelah itu, gondorukem siap dikemas. Gondorukem dikenal dengan nama resin, rosin, arpus, hars, colophonium dan coliophony di dunia perdagangan internasional. Pada beberapa tempat di Indonesia dikenal dengan nama malam cenet, damar (di Aceh dan Sumatera Utara), sedangkan di Jawa dan Sulawesi Selatan dikenal dengan nama gondorukem. Nama damar untuk sebutan gondorukem di daerah Aceh dan
Sumatera Utara berbeda dengan nama damar yang berasal dari pohon suku Dipterocarpaceae di daerah lain (Reksowardjono dan Abidin, 1973)8. 2.2 Standar Mutu Gondorukem Indonesia dan Kegunaannya Silitonga, T., Sumadiwangsa, S., Nayasaputra, S. (1973) menyatakan gondorukem terdiri dari 80-90% senyawa asam. Secara garis besar asam resin gondorukem dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tipe abietat dan primarat. Tipe abietat terdiri dari asam-asam abietat, levopimarat, palustrat, neoabietat, dihidroabietat dan tetradehidrobietat. Tipe primarat terdiri dari asam primarat dan isoprimarat. Asam abietat, neoabietat dan levopimarat bersifat tidak stabil dan mudah terisomer oleh panas dalam suasana asam, sedangkan tipe primarat lebih stabil. Silitonga, T., Sumadiwangsa, S., Nayasaputra, S. (1973) menyatakan bahwa penetapan persyaratan dan kualitas gondorukem secara laboratoris dapat digolongkan ke dalam sifat fisik dan kimia. Sifat fisik meliputi : berat jenis, titik lunak, warna, persen tramisi dan kerapuhan. Sedangkan sifat kimia meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester, bilangan iod bagian tak bersabun, kadar kotoran, kadar air dan kadar terpentin tersisa. Persyaratan dan kualitas gondorukem dibagi menjadi dua yaitu persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum merupakan standar pengolahan
getah
pinus
menjadi
gondorukem
dan
terpentin
sebelum
dikelompokkan menjadi beberapa kelas mutu yang berbeda (Lampiran 2). Sedangkan persyaratan khusus mutu gondorukem merupakan persyaratan untuk berbagai kualitas gondorukem dan digunakan untuk memisahkan gondorukem menjadi mutu-mutu tertentu yang akan diperdagangkan di dalam negeri dan untuk tujuan ekspor (Lampiran 3).
8
ibid
Ada beberapa indikator yang mempengaruhi diterima tidaknya gondorukem untuk berbagai macam aplikasi, namun warna dan titik lunaknya biasanya merupakan indikator kualitas yang cukup mewakili kualitas gondorukem. Berdasarkan warnanya, getah gondorukem diklafikasikan menjadi beberapa kelas yaitu B, C, D, E, F, G, H, I, K, M, N, dan W-G.9 Gondorukem diperdagangkan dalam beberapa kelas warna, dari kuning pucat hingga merah gelap. Perbedaan warna tersebut terjadi karena jenis pohon, peralatan dan cara pengolahan yang berbeda. Walaupun sifat lain seperti titik lunak dan bilangan asam mempunyai arti penting namun tidak digunakan dalam penetapan kualitas gondorukem, yang sering diperdagangkan yaitu X (Ekstra), WW (Water White), WG (Window Glass) dan N (Nancy). Berdasarkan kelas tersebut maka masing-masing kelas gondorukem memiliki kegunaan yang berbeda-beda yaitu: kelas B, C, D (Warna gelap) digunakan untuk industri minyak rosin dan vernis gelap. Kelas E, F, G digunakan sebagai bahan penolong dalam industri kertas. Kelas G dan K digunakan induk industri sabun. Kelas W-G dan W-W (Warna pucat) digunakan untuk bahan vernis warna pucat, scaling wax, bahan peledak, pelapis alat-alat yang dipegang tangan, bahan penggosok senar, bahan solar, bahan cat, tinta cetak, semen, kertas, pelitur kayu, plastik, kembang api dan sebagainya10. 2.3 Sejarah Gondorukem Dunia Selain
Indonesia
ada
beberapa
negara
yang
juga
memproduksi
gondorukem seperti Brazil, Argentina, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Kenya, China, Portugal, India, Meksiko, Vietnam, Pakistan, Rusia, Mesir, Venezuela,
9
Hasil Hutan Non Kayu, www.dephut.go.id [28 Mei 2007] Loc.cit
10
Honduras. Bahan baku pembuatan gondorukem berasal dari jenis pinus yang tumbuh di negaranya11. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Berbagai Jenis Pinus yang Tumbuh di Berbagai Negara Jenis Pinus Pinus elliottii Engelm. P. massoniana D. Don P. kesiya Royale ex Gordon P. pinaster Aiton P. merkusii Jungh. & Vriese P. roxburghii Sarg. P. oocarpa Schiede P. caribaea Morelet P. sylvestris L. P. halepensis Miller P. radiata D. Don
Tempat Tumbuh Brazil, Argentina, Afrika Selatan, (USA,Kenya) Republik Rakyat China Republik Rakyat China Portugal Indonesia, (Viet Nam) India, (Pakistan) Mexico, Honduras Venezuela, (Afrika Selatan, Kenya) Russia Mesir (Kenya)
Sumber : www.fao.org [28 Mei 2007]
Pada saat ini produksi gondorukem di seluruh dunia berjumlah 1,2 juta ton yang terdiri dari 60 persen atau 720.000 ton berupa gondorukem mentah (gum rosin), 35 persennya adalah “tall oil” gondorukem (tall oil rosin) dan sisanya adalah gondorukem kayu. Adapun negara-negara penghasil gondorukem terbesar di dunia adalah China, negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam, Portugal dan eropa lainnya, Rusia, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Selatan dan Caribbean, Afrika, Indian sub-continent. China merupakan negara terbesar yang mendominasi dalam memproduksi gondorukem di seluruh dunia. Tercatat bahwa pada tahun 1993 China mampu memproduksi 430.000 ton (60 persen) dari total produksi gondorukem dunia dan mampu mengekspor kira-kira 277.000 ton gondorukem (70 persen dari perdagangan dunia). Menurut catatan terakhir, pada tahun 2005 bahwa China mampu mengekspor 347.462.314 kg atau 76,07 persen dari perdagangan dunia. Di China, sebagian besar bahan baku gondorukem berasal dari Pinus 11
ibid
massoniana, P. yunnanensis, P. latteri, P. tabulaeformis dan P. Kesiya yang tumbuh di propinsi Guangxi, Guangdong, Fujian, Jiangxi, Yunnan dan Hunan. Provinsi Guangxi and Guangdong adalah penghasil utama gondorukem di China. Pada saat ini China sedang mengembangkan P. elliottii yang lebih banyak menghasilkan getah. Selain Indonesia, negara-negara di Asia Tenggara yang juga menghasilkan getah P. merkusii adalah Vietnam, Thailand dan Laos sedangkan Myanmar menghasilkan getah P. kesiya. Pada tahun 1986 hingga tahun 1990 produksi getah P. merkusii yang dihasilkan oleh Vietnam sangat kecil yaitu 2.500 ton, namun di masa yang akan datang Vietnam akan menjadi pesaing Indonesia dalam perdagangan internasional12. Pada tahun 2005, Thailand mengekspor gondorukem ke seluruh dunia sebesar 43.106 kg (0,009 persen) 13. Portugal juga menghasilkan gondorukem yang bahan bakunya berasal dari getah P. pinaster. Pada tahun 2005 Portugal mampu mengekspor gondorukem ke berbagai negara sebanyak 10.382.530 kg. Negara-negara di eropa tengah dan timur seperti Polandia, Bulgaria, Cekoslavia dan Yugoslvia juga merupakan negara penghasil gondorukem. 2.2 Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian tentang masalah gondorukem sebelumnya telah banyak dilakukan. Pada penelitian-penelitian terdahulu komoditas ini telah dikupas dalam berbagai aspek, baik aspek teknis, pemasaran dan keuangan. Pada aspek pemasaran belum banyak dilakukan penelitian. Aspek yang dikaji dari pemasaran adalah mengenai peramalan ekspor gondorukem. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor gondorukem belum pernah dilakukan. 12 13
ibid www.comtrade.un.org [14 Juni 2007]
Astana S., Muttaqin.M.Z, dan Yuhono J.t. (2004) telah malakukan penelitian mengenai keunggulan komparatif hasil hutan bukan kayu dari hutan tanaman. Adapun aspek hasil hutan yang dikaji adalah gondorukem, terpentin dan minyak kayu putih. Metode penelitian yang digunakan adalah Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Berdasarkan hasil penelitiannya diperoleh bahwa ketiga komoditas yang diteliti memiliki keunggulan komparatif yang relatif tinggi, ditunjukkan oleh nilai koefisien BSD-nya relatif rendah. Koefisien BSD gondorukem berkisar antara 0,35-0,59, terpentin 0,10-0,13 dan minyak kayu putih 0,54-0,71. Gondorukem memiliki keunggulan komparatif jika harga ekspornya menurun dari harga tertinggi (US$ 437/ton) menjadi US$153/ton atau menurun 64,99 persen, dan terpentin dari harga tertinggi (US$ 325/ton) menjadi US$35/ton atau menurun 89,23 persen, serta minyak kayu putih dari harga tertinggi (US$ 4938/ton) menjadi US$2874/ton atau menurun 41,80 persen. Penelitian yang dilakukan oleh Mamlukat (2005) dengan judul
Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Ekspor Karet Alam Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Penelitian ini diolah dengan menggunakan komputer program MINITAB 14 dengan pendekatan simultan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan model double log untuk persamaan jumlah ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional, diperoleh hasil bahwa variabel produksi tahunan karet alam Indonesia memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai signifikasi 0,01 persen, sedangkan untuk variabel dummy krisis ekonomi memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai signifikasi 0,05 persen. Persamaan jumlah permintaan impor karet alam Indonesia di pasar internasional, diperoleh hasil bahwa variabel konsumsi karet alam dunia berpengaruh nyata dengan taraf signifikansi 0,01 persen dengan nilai elastisitas tertinggi diantara variabel eksogen lainnya. Pada persamaan harga
ekspor karet alam Indonesia, diperoleh bahwa variabel harga riil karet alam di pasar internasional berpengaruh sangat nyata dengan nilai signifikansi sebesar 0,01 persen dan hanya satu-satunya variabel yang memiliki nilai elastisitas lebih dari satu, sedangkan untuk variabel harga riil ekspor karet alam Indonesia pada tahun sebelumnya berpengaruh nyata pada taraf signifikansi 0,05 persen. Hasil penelitian Setiawan (2005) dengan judul skripsinya Analisis Ekspor Teh Hitam Indonesia. Model penelitian ini menggunakan persamaan simultan, dimana beberapa variabel dalam setiap persamaan yang membentuk seri persamaan menunjukkan saling ketergantungan. Penelitian ini terdapat empat persamaan simultan yaitu produksi, permintaan domestik, penawaran ekspor, dan harga ekspor teh hitam Indonesia. Estimasi parameter persamaan struktural dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Kuadrat Terkecil Dua Tahap (2SLS). Hasil pendugaan fungsi-fungsi tersebut menunjukkan bahwa krisis ekonomi secara nyata menyebabkan penurunan terhadap volume ekspor yang berarti bahwa krisis ekonomi menjadi faktor penghambat dalam penawaran ekspor teh hitam Indonesia. Namun krisis ekonomi tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga domestik teh hitam Indonesia. Produksi teh hitam Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh variabel luas lahan, upah tenaga kerja, serta produksi tahun sebelumnya. Kebijakan yang bisa diambil adalah mengenai peningkatan luas lahan apalagi jika ditunjang dengan unsur peningkatan produktivitas. Penawaran domestik teh hitam Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang diwakili oleh PDB dan permintaan domestik teh hitam tahun sebelumnya. Tanda parameter untuk PDB negatif kemudian lag permintaan positif. Penawaran ekspor teh hitam Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh nilai tukar nominal rupiah terhadap dollar Amerika, dan dummy krisis, serta lag penawaran ekspor teh hitam tahun sebelumnya. Harga domestik teh hitam Indonesia dipengaruhi
secara nyata oleh dua variabel penjelas yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika serta lag harga domestik teh hitam tahun sebelumnya. Asih (2005) melakukan penelitian dengan judul Analisis Ekonomi Perkembangan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pada
penelitiannya
menggunakan
model
persamaan
simultan Two Stage Least Square (2SLS) yang terdiri dari delapan persamaan yaitu ekspor pulp, penawaran domestik pulp, produksi domestik pulp, permintaan domestik pulp, ekspor kertas, penawaran domestik kertas, produksi domestik kertas, dan permintaan domestik kertas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan ekspor pulp dan kertas Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh jumlah produksinya dan “dummy” devaluasi. Produksi domestik pulp dipengaruhi secara nyata oleh harga domestik pulp, upah rata-rata sektor industri pulp, “dummy” larangan ekspor kayu bulat, dan lag produksi domestik pulp. Sedangkan produksi domestik kertas dipengaruhi secara nyata oleh harga domestik kertas, harga domestik pulp tahun sebelumnya, upah rata-rata sektor industri kertas, tren waktu, dan lag produksi domestik kertas. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai gondorukem dilakukan oleh Syafitri (2006) dengan judul penelitiannya adalah Studi Peramalan Ekspor Gondorukem Perum Perhutani. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga tren ekspor komoditi gondorukem lima tahun mendatang. Alat analisis yang digunakan adalah metode peramalan time series. Hasil analisis diperoleh bahwa peramalan produksi gondorukem dengan metode peramalan time series yang terpilih adalah tren kurva-S, dengan Mean Square Error (MSE) sebesar 6,50E+07. Hasil peramalan dengan metode terpilih produksi gondorukem lima tahun mendatang akan mengalami peningkatan. Metode peramalan time series terpilih untuk volume dan nilai penjualan dalam negeri gondorukem adalah analisis tren kuadratik dengan MSE sebesar 5,55E+06 dan 7,01E+13,
sedangkan untuk volume dan nilai ekspor gondorukem adalah analisis tren kuadratik dengan nilai MSE sebesar 2,01E+07 dan 1,13E15. Berdasarkan hasil peramalan dengan metode terpilih menunjukkan bahwa volume penjualan dalam negeri lima tahun mendatang akan mengalami penurunan, sedangkan volume ekspor akan meningkat. Pradana (2006) juga melakukan penelitian dengan judul Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Ekspor Plywood di Indonesia yang bertujuan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ekspor plywood di Indonesia, menganalisis secara empiris elastisitas jangka panjang dan jangka pendek ekspor plywood di Indonesia dan bagaimana implikasi dari kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi ekspor plywood. Alat analisis yang digunakan adalah Error Correction Model atau ECM dengan program yang digunakan adalah Eview 4.1. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan ekspor plywood di Indonesia berfluktuasi pada tahun 1993-2003. Ekspor plywood dalam jangka pendek secara nyata dipengaruhi oleh harga relatif dari plywood, jumlah bahan baku yang tersedia, dan pengaruh dari nilai tukar. Sementara itu, baik kebijakan pelarangan ekspor maupun krisis ekonomi tidak berpengaruh pada jangka pendek. Pada jangka panjang, secara nyata dipengaruhi oleh harga relatif dari plywood, jumlah bahan baku yang tersedia, pengaruh dari nilai tukar, kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat dan krisis ekonomi. Perbedaan yang ada pada penelitian sebelumnya, khususnya yang berkaitan dengan gondorukem dengan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah topik penelitiannya. Pada penelitian sebelumnya berfokus pada keunggulan komparatif produk hasil hutan bukan kayu dan peramalan ekspor gondorukem Perum Perhutani lima tahun yang akan datang, sedangkan
penelitian ini meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perhutani. Dengan adanya perbedaan topik penelitian, maka penelitian ini mengacu pada studi terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dari berbagai komoditas seperti karet alam, teh hitam, pulp dan kertas, dan plywood. Berdasarkan penelitian sebelumnya ekspor suatu komoditas menggunakan persamaan simultan dengan metode Two Stage Least Square (2SLS) dan Error Correction Model (ECM) dengan berbagai persamaan. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa produksi komoditas dipengaruhi oleh luas lahan, upah tenaga kerja, produksi tahun sebelumnya, harga domestik, lag produksi domestik sebelumnya. Faktor-faktor yang dominan yang menyebabkan berfluktuasinya ekspor suatu komoditas adalah jumlah produksi, variabel dummy krisis ekonomi, nilai tukar nominal rupiah, dan lag penawaran ekspor sebelumnya. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan dengan metode Two Stage Least Square (2SLS) dengan bantuan perangkat lunak komputer program Minitab 14. Adapun persamaan yang digunakan adalah persamaan produksi gondorukem dan penawaran ekspor gondorukem. Penelitian ini memasukkan peubah eksogen “dummy” kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) dan “dummy” Larangan Ekspor Kayu Bulat untuk melihat pengaruh kebijakan tersebut terhadap produksi gondorukem serta “dummy” krisis ekonomi untuk melihat pengaruh keadaan tesebut terhadap penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Sekarang Penulis Astana S., Muttaqin.M., dan Yuhono J.t. (2004)
Mamlukat (2005)
Setiawan (2005)
Asih (2005)
Syafitri (2006) Pradana (2006)
Judul Keunggulan Komparatif Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan tanaman (Studi Kasus Minyak Kayu Putih, Gondorukem dan Terpentin). Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Harga Ekspor Karet Alam Indonesia Analisis Ekspor Teh Hitam Indonesia. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Analisis Analisis Ekonomi Perkembangan Ekspor Pulp dan kertas Indonesia dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya Studi Peramalan Gondorukem Perum Perhutani Analisis Faktorfaktor Yang Mempengaruhi Ekspor Plywood di Indonesia
Persamaan
Perbedaan
Hasil hutan bukan kayu
Penawaran ekspor gondorukem
Persamaan simultan, 2SLS dengan model double log, hasil hutan Program Minitab 14 Persamaan simultan 2SLS Program SAS
Penawaran ekspor gondorukem, Pengujian 4 model
Metode Penelitian 2SLS, hasil hutan
Dummy Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT), dummy larangan ekspor kayu bulat
Gondorukem, Perum Perhutani
Penawaran Ekspor
Dummy Larangan Ekspor Kayu Bulat
Persamaan simultan, 2SLS dengan model double log, hasil hutan Program Minitab 14
Menggunakan Model double log, gondorukem, menggunakan program Minitab 14
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Teori Produksi Lipsey (1995) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat komoditas, baik barang maupun jasa. Fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input. Nicholson (2002) menyatakan bahwa fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif misalnya antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam bentuk persamaan aljabar. Secara sistematis fungsi produksi sebagai berikut (Nicholson,2002) : Y = f (X1, X2,....,Xn) Dimana = Y
= output X1, X2,....Xn
f
= menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output.
3.1.2 Teori Penawaran Ekspor Lipsey (1995), menyatakan bahwa penawaran suatu komoditas adalah jumlah komoditas yang ditawarkan, baik barang maupun jasa oleh produsen kepada konsumen pada tingkat harga tertentu. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah penawaran yaitu : 1. Harga komoditas Hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah penawarannya memiliki hubungan positif antara
harga suatu komoditas dengan jumlah yang ditawarkan, demikian pula sebaliknya.
Peningkatan
harga
akan
merangsang
produsen
untuk
meningkatkan produksinya dan menjualnya dengan tujuan peningkatan keuntungan. Elastisitas harga untuk penjualan adalah seberapa jauh kepekaan jumlah yang akan ditawarkan akibat perubahan harga itu sendiri. Elastisitas untuk penawaran adalah positif, ini berarti semakin besar elastisitas harga untuk penawaran maka semakin peka jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga produk itu sendiri. 2. Harga produk alternatif Komoditas alternatif dapat berupa komoditas komplemen (joint product) ataupun komoditas subtitusi (competitive product). Antara komoditas dengan produk komplemennya memiliki hubungan elastisitas
penawaran positif,
sehingga peningkatan harga suatu produk komplemen akan menurunkan jumlah penawaran komoditas tersebut, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi apabila terjadi peningkatan harga terhadap suatu produk subtitusi maka akan meningkatkan jumlah penawaran komoditas. Hal ini disebabkan adanya hubungan elastisitas penawaran yang negatif antara komoditas dengan produk subtitusinya. 3. Harga faktor produksi Harga suatu faktor produksi merupakan harga yang harus dikeluarkan perusahaan. Harga faktor produksi yang meningkat maka keuntungan yang diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini akan berakibat perusahaan akan mengurangi produksinya. 4. Tujuan Perusahaan Jumlah perusahaan.
komoditas Tujuan
yang
ditawarkan
perusahaan
tidak
juga
tergantung
semata-mata
pada
tujuan
memaksimumkan
keuntungan saja. Jika perusahaan lebih mementingkan volume produksi, perusahaan dapat menghasilkan dan menjual lebih banyak. 5. Tingkat Penggunaan Teknologi Kunci utama dari penawaran suatu komoditas adalah teknologi. Teknologi mengacu pada bagaimana input diproses menjadi output. Apabila teknologi yang digunakan dapat mempercepat proses produksi atau mengurangi biaya produksi, maka keuntungan dan insensif produsen untuk memproduksi akan meningkat. Akibatnya jumlah komoditas yang ditawarkan akan meningkat, jadi teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan, ceteris paribus. Penawaran ekspor suatu negara adalah selisih antara produksi/penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi atau permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan stok tahun sebelumnya. Secara matemaris sederhana dapat dituliskan sebagai berikut: Xt = f( Qt-Ct+St-1) ................................................................................ (3-1) Dimana : Xt = Jumlah ekspor komoditas pada tahun ke-t Qt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t Ct = Jumlah konsumsi domestik pada tahun ke-t St-1 = Jumlah stok tahun sebelumnya (t-1) Jika jumlah stok tahun sebelumnya diasumsikan nol, karena produksi pada tiap tahun semuanya diekspor, maka dengan demikian fungsi ekspor dapat dirumuskan sebagai berikut : Xt = f(Qt-Ct).......................................................................................... (3-2) Untuk komoditas ekspor, penawaran komoditas bersangkutan akan dialokasikan untuk memenuhi permintaan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Apabila masih terdapat sisa yang belum terjual, maka sisa ini akan menjadi persediaan (stok) dan akan dijual pada tahun berikutnya. Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t (Qt) ditentukan oleh luas areal tanaman (At),
iklim selama satu tahun yang ditunjukkan dengan curah hujan (CHt), trend penggunaan teknologi yang mempengaruhi produktivitas (Tt), harga domestik tahun lalu untuk komoditas yang bersangkutan (HDt-1) dan harga barang subtitusi (HSt-1). Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut : Qt = f(At, CHt, Tt, HDt-1, HSt-1)............................................................. (3-3) Produksi yang dihasilkan tersebut sebagian dikonsumsi di dalam negeri. Besarnya konsumsi (Ct) tergantung pada harga domestik (HDt), harga barang subititusi (HSt), jumlah penduduk (Nt), pendapatan perkapita (YPt) dan selera (CPt). Fungsi konsumsi dapat dituliskan sebagai berikut: Ct = f(HDt, HSt ,Nt, YPt) ...................................................................... (3-4) Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam negeri, ekspor suatu komoditas juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri yaitu nilai tukar (ERt) dan harga ekspor komoditas tahun ke-t (HXt). Jumlah ekspor tahun ke-t juga dipengaruhi oleh jumlah ekspor dari tahun-tahun sebelumnya (Xt-1). Fungsi penawaran ekspor dapat dinyatakan sebagai berikut: Xt = f (Qt, HDt, HSt, ,Nt, YPt HXt, ERt Xt-1) ...................................... (3-5) 3.1.3 Teori Perdagangan Internasional Pengertian perdagangan internasional dalam arti sempit adalah suatu masalah yang timbul akibat adanya pertukaran komoditas suatu negara. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perdagangan internasional yaitu keinginan untuk memperluas pemasaran komoditas ekspor, memperbesar penerimaan negara melalui devisa, adanya perbedaan antara penawaran dan permintaan antar negara, dan ketidakmampuan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, serta akibat adanya perbedaan relatif dalam menghasilkan komoditas tertentu (Salvatore, 1997).
Dalam teori Heckscher-Ohlin menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu yang bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut (Salvatore, 1997). Secara teoritis, suatu negara A akan mengeksor komoditas X kepada negara B apabila harga domestik komoditas tersebut (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Hal ini terjadi karena adanya kelebihan penawaran (excess supply) di negara A yaitu produksi domestik lebih tinggi dari pada konsumsi domestik. Dalam hal ini, negara A memiliki faktor produksi yang relatif melimpah. Kondisi ini, menciptakan peluang bagi negara A untuk menjual kelebihan produksinya kepada negara lain. Di lain pihak, negara B mengalami kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestiknya (excess demand) sehingga tingkat harga domestik menjadi tinggi. Dalam keadaan ini, negara B berkeinginan untuk membeli komoditas X dari negara lain yang harganya lebih murah. Jika terjadi komunikasi antara kedua negara tersebut maka akan menyebabkan adanya perdagangan, dalam hal ini negara A mengekspor komoditasnya ke negara B.
Panel A Pasar di Negara 1 untuk Komoditi X
Panel B Hubungan Perdagangan Internasional Komoditi X
Px/Py
Panel C Pasar di Negara 2 untuk Komoditi X
Px/Py
Px/Py
Sx Ekspor P3 P2
S
Sx
P3
A”
B
B*
E
E*
A’
B’
E’ Impor
P1
A*
A
Dx
D
Dx 0
X
0
X
0
X
Gambar 8. Proses Terjadinya Perdagangan Internasional (Keseimbangan Parsial) Sumber : Salvatore, 1997
Keterangan : Px/Py
= Harga relatif komoditi X
P1
= Harga domestik komoditi X di Negara A tanpa perdagangan internasional
P2 (E*)
= Harga komoditi X setelah terjadi perdagangan internasional
P3
= Harga domestik komoditi X di Negara B tanpa perdagangan internasional
A
= Keseimbangan di Negara 1
A’
= Keseimbangan di Negara 2
B-E
= Jumlah yang diekspor oleh negara 1
B’-E’
= Jumlah yang diimpor oleh negara 2 Panel A pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa dengan adanya
perdagangan internasional, negara A akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar P1, sedangkan negara B akan berproduksi dan konsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif P3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung diantara keduanya, harga relatif akan
berkisar antara P1 dan P3 seandainya kedua negara tersebut cukup besar (kekuatan ekonominya). Jika harga yang berlaku diatas P1 maka negara A akan memasok atau memproduksi komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan domestik Kelebihan produksi tersebut selanjutnya akan diekspor (Panel A) ke negara B. Dilain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3 , maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan yang melebihi kapasitas produksi domestik. Hal tersebut akan mendorong negara B untuk mengimpor kekurangan kebutuhan atas komoditi X itu dari negara A. (lihat panel C). Secara spesifik panel A memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P1, kuantitas komoditi X yang ditawarkan (QSx) akan sama dengan kuantitas yang diminta (QDx) oleh konsumen di negara A, dan demikian pula halnya dengan negara A (jadi negara ini tidak akan mengekspor komoditi X sama sekali). Hal tersebut memunculkan titik A* pada kurva S pada panel B (yang merupakan kurva penawaran ekspor negara A). Panel A juga memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P2, maka akan terjadi kelebihan penawaran (QSx) apabila dibandingkan dengan tingkat permintaan untuk komoditi X (QDx), dan kelebihan itu sebesar B-E. Kuantitas B-E itu merupakan kuantitas komoditi X yang akan diekspor oleh negara A pada harga relatif P2. B-E sama dengan B*-E* dalam panel B, dan disitulah terletak titik E* yang berpotongan dengan kurva penawaran ekspor komoditi X dari negara A atau S. Sementara itu panel C memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P3 maka penawaran dan permintaan untuk komoditi X akan sama besarnya atau QDx=QSx (titik A’), sehingga negara B tidak akan mengimpor komoditi X sama sekali. Hal tersebut dilambangkan oleh titik A’ yang terletak pada kurva permintaan impor komoditi X negara B (D) yang berada di panel B. Panel C itu juga menunjukkan bahwa harga relatif P2 akan terjadi kelebihan permintaan
sebesar B’-E’. Kelebihan itu sama artinya dengan kuantitas komoditi X yang akan diimpor oleh negara B berdasarkan harga relatif P2. Lebih lanjut, jumlah itu sama dengan B*-E* pada panel B yang menjadi kedudukan E*. Titik ini sendiri melambangkan jumlah atau tingkat permintaan impor komoditi X dari penduduk di negara B (D). Kemudian berdasarkan harga relatif P2, kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara B (yakni B’-E’ dalam panel C) sama dengan kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan oleh Negara A (yaitu B-E dalam panel A). Hal tersebut diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan S setelah komoditi X diperdagangkan diantara kedua negara tersebut (lihat panel B). Dengan demikian P2 merupakan harga relatif ekuilbrium setelah terjadi perdagangan diantara kedua negara. Dari panel B tersebut kita juga dapat melihat bahwa apabila Px/Py lebih besar P2 maka kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan akan melebihi tingkat impor sehingga lambat laun harga relatif komoditi X itu (Px/Py) akan mengalami penurunan sehingga pada akhirnya akan sama denga P2. Dilain pihak apabila Px/Py lebih kecil dari P2, maka kuantitas impor komoditi X yang diminta akan melebihi kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan sehingga Px/Py pun akan meningkat dan pada akhirnya akan sama dengan P2. 3.1.4 Teori Nilai Tukar Nilai tukar adalah harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual (Lipsey, 1995). Nilai tukar mata uang ini mempengaruhi kebijakan perdagangan antara masing-masing negara pengekspor dan pengimpor. Peningkatan atau penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing dapat mempengaruhi volume ekspor yang diperdagangkan. Bertambah mahal atau murahnya suatu komoditas ekspor di pasar internasional sangat ditentukan oleh nilai mata uang suatu negara.
3.1.5 Analisis Regresi Model persamaan melalui pendekatan ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal adalah model persamaan dimana variabel terikat (dependent variabel) dinyatakan sebagai fungsi linear dari satu atau lebih variabel bebas (independent variabel), sehingga hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan hubungan satu arah (Gujarati, 2000) Persamaan simultan merupakan sejumlah persamaan yang membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan antara berbagai variabel dalam persamaan tersebut (Gujarati, 2000). Secara teoritis model ini dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu: 1. Spesifikasi model, untuk menentukan sistem persamaan yang digunakan. 2. Identifikasi terhadap model hasil spesifikasi, dari hasil identifikasi diperoleh model pendugaan yang akan digunakan. 3. Evaluasi model, tahapan ini untuk mengevaluasi apakah model tersebut telah dapat digunakan atau belum. Tahap pertama dalam setiap persamaan yang dibangun, varibelvariabelnya dispesifikan secara linear agar menghasilkan perhitungan yang sederhana. Varibel-variabel pada model ini dibagi atas tiga jenis: 1. Variabel endogenous, merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabelvariabel lain yang ada dalam sistem persamaan (dependent). 2. Variabel exogenous, merupakan variabel di dalam sistem persamaan yang mempengaruhi variabel endogenous dan tidak dipengaruhi oleh sistem persamaan (independent). 3. Variabel pre-determined, merupakan variabel yang terdiri dari variabel exogenous dan lagged variabel endogenous dan ditentukan di luar sistem persamaan.
Tahap selanjutnya dari spesifikasi model adalah melakukan identifikasi terhadap hasil spesifikasi model. Jika model tersebut tidak dirumuskan dalam bentuk statistik yang tepat, maka parameter-parameternya tidak bisa ditaksir secara unik, sekalipun data yang diolah sudah selesai dan akurat. Pada bahasa ekonometrik model semacam ini disebut model yang tidak teridentifikasi (not identified). Suatu persamaan bisa berada dalam salah satu kondisi identifikasi berikut: 1. Under identified Jika
koefisien
persamaan
struktural
tidak
mungkin
ditemukan
atau
disimpulkan dari koefisien bentuk tereduksi yang ditaksir. Suatu sistem dikatakan under identified jika satu atau lebih persamaan yang ada dalam sistem tersebut under identified. Kondisi ini tidak mungkin dilakukan estimasi dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrika manapun. 2. Identified : a) exactly identified dan b) over identified Persamaan yang teridentifikasi, koefisien yang terdapat di dalamnya dapat diestimasi secara statistik. Jika persamaan exactly identified metode yang sesuai untuk estimasi adalah Indirect Least Square (ILS), sedangkan jika persamaan over identified maka ILS tidak dapat digunakan karena tidak dapat menghasilkan estimasi tunggal dari parameter-parameter struktural. Metode yang dapat digunakan dalam persamaan over identified adalah Two Stage Least Square (2SLS) dan 3SLS (Three Stage Least Square). Beberapa keuntungan penggunaan metode 2SLS (Koutsoyiannis,1977) antara lain sebagai berikut: 1. Metode ini merupakan metode yang cocok untuk digunakan dalam estimasi parameter model ekonometrika simultan selain 3SLS dan yang lainnya, terutama persamaan over identified.
2. Metode ini lebih efisien digunakan dibandingkan 3SLS dalam kondisi dimana semua persamaan dalam sistem akan diestimasi parameternya. 3. Metode ini lebih cocok digunakan jika sampel kecil dibandingkan 3SLS. 4. Metode ini menghindari estimasi yang bias dan tidak konsisten dibandingkan dengan menggunakan OLS. Pada saat yang sama juga menghindari sensitivitas terhadap kekeliruan spesifikasi dan pengukuran yang dapat ditemukan dalam penggunaan 3SLS dan Full Information Maximum Likehood. Kelemahan
metode
2SLS
adalah
estimatornya
kurang
efisien
dibandingkan estimator 3SLS. Metode ini bekerja dengan kurang baik jika koefisien determinasi (R2) pada tahap pertama estimasi terlalu kecil (mendekati nol). Dua macam dalil adalah order condition dan rank condition yang diterapkan langsung pada bentuk struktural model. Kondisi order digunakan untuk mengetahui apakah persamaan tersebut dapat diidentifikasi atau tidak dapat diidentifikasi (under identified), sedangkan kondisi rank digunakan untuk menentukan apakah persamaan pada kondisi order yang hasilnya dapat diidentifikasi memenuhi exactly atau over identified. Untuk memenuhi kondisi order, digunakan notasi-notasi sebagai berikut: K
: total variabel (endogenous dan exogenous) dalam sistem persamaan
M
: jumlah variabel (endogenous dan exogenous) pada persamaan yang akan diidentifikasi
G
: jumlah total persamaan dalam sistem
Jika : (K - M)
=
(G - 1)
Exactly identified
(K - M)
>
(G - 1)
Over identifed
(K - M)
<
(G - 1)
Under identifed
Model ekonometrik yang telah diduga selanjutnya dievaluasi atas dasar kriteria tertentu yaitu untuk melihat dugaan-dugaan tersebut sesuai secara teoritis (theoritically meaningfull) dan berpengaruh nyata secara statistik (satistically meaningfull). Untuk itu digunakan tiga kriteria berikut : 1. Kriteria “a priori” ekonomi Kriteria ini ditentukan oleh prinsip-prinsip teori ekonomi. Jika nilai maupun tanda taksiran parameter tidak sesuai dengan kriteria “a priori’ maka taksirantaksiran ini harus ditolak, kecuali dengan alasan kuat untuk menyatakan bahwa kasus pada khusus ini prinsip-prinsip ekonomi tidak berlaku. 2. Kriteria statistik (First Order Test) Kriteria ini ditentukan oleh teori statistik, termasuk koefisien korelasi dan standar deviasi atau kesalahan standar (standard error) dari taksiran. 3. Kriteria Ekonometrika Kriteria ini ditentukan oleh teori ekonometrika. Jika asumsi-asumsi teknik ekonometrik yang diterapkan untuk menaksir parameter tidak dipenuhi, maka taksiran-taksiran tersebut dianggap tidak memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan. 3.4
Kerangka Pemikiran Operasional Hutan memberikan manfaat yang sangat besar, baik secara ekologis, sosio
budaya maupun ekonomi. Hutan juga menghasilkan produk hasil hutan berupa kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan lainnya. Pada awalnya, sektor kehutanan lebih memanfaatkan produk hasil hutan kayu karena memberikan sumbangan devisa bagi negara yang sangat besar yaitu sebesar 88,5 persen, sisanya berasal dari HHBK. Pada saat ini pendapatan pemerintah dari sektor kehutanan menurun dibandingkan sebelum adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Hal ini disebabkan berkurangnya pajak ekspor akibat ekspor yang lebih rendah 773.553
m3 per tahunnya. Hal ini pemerintah merugi sebesar Rp 161,58 milyar selama pemberlakuan larangan ekspor kayu bulat atau Rp 11,54 milyar per tahun. Selain itu adanya ekspor illegal logging kayu bulat dan kerusakan hutan yang terus meningkat sehingga sektor kehutanan menggunakan alternatif lain yang ramah lingkungan untuk meningkatkan ekspornya. HHBK merupakan alternatif terbaik untuk meningkatkan ekspor dari sektor kehutanan. Salah satu HHBK yang sedang ditingkatkan adalah hasil pengolahan dari getah Pinus merkusii yaitu gondorukem. Akan tetapi dari beberapa periode ekspor gondorukem mengalami permasalahan yaitu fluktuatifnya produksi dan penawaran ekspor serta harga gondorukem Indonesia yang kurang memiliki bargaining position di pasar internasional. Pada tahun 1998 produksi gondorukem mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 46,89 persen. Hal ini disebabkan pada tahun 1997 terjadi penjarahan (illegal logging) dan penebangan hutan pinus yang tidak terkendali. Pada tahun 2003 mulai diberlakukannya kebijakan jatah produksi tebangan tahunan (JPT). Kebijakan ini menyebabkan penjarangan untuk pemeliharaan tanaman pinus sulit dilakukan sehingga pertumbuhan tanaman pinus menjadi terganggu dan kemampuan produksi getahnya juga kecil, sehingga pasokan getah pinus sebagai bahan baku utama gondorukem berkurang. Akibatnya, pada tahun 2004 dan tahun 2005 produksi gondorukem kembali turun masing-masing sebesar
1,89
persen
dan
23,35
persen,
sehingga
penawaran
ekspor
gondorukem pun mengalami penurunan masing-masing sebesar 11,11 persen dan 34,03 persen. Harga gondorukem Indonesia di pasar internasional, kurang memiliki bargaining position walaupun memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Pada saat ini harga gondorukem Indonesia di pasar Internasional sebesar US$ 511,2, sedangkan China mampu menjual di atas US$
900. Hal ini disebabkan produksi gondorukem Indonesia kalah bersaing dengan China sebagai negara pengekspor gondorukem terbesar di dunia. China mampu memenuhi permintaan gondorukem di dunia sebesar 76,07 persen, sedangkan Indonesia hanya mampu memenuhinya sebesar 6,9 persen. Produksi gondorukem Indonesia diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya harga domestik gondorukem. Hal ini menjadi penting karena apabila harga domestik gondorukem tinggi maka akan memacu untuk memproduksi gondorukem lebih banyak. Begitu pula halnya dengan harga eskpor gondorukem. Jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) mempengaruhi produksi gondorukem domestik, jika produksi getah pinus meningkat maka dapat memenuhi kebutuhan kapasitas produksi gondorukem. Harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) berpengaruh terhadap produksi gondorukem Indonesia. Hal ini disebabkan getah pinus menjadi faktor produksi yang penting bagi keberlanjutan produksi gondorukem. Kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) juga diduga mempengaruhi produksi gondorukem karena jika ada kebijakan tersebut maka produksi getah pinus sebagai bahan baku gondorukem menurun dan mengakibatkan produksi gondorukem pun menurun. Luas hutan pinus juga mempengaruhi produksi gondorukem, jika luas hutan pinus meningkat maka akan meningkatkan produksi gondorukem, karena semakin banyak pohon pinus yang disadap untuk dimanfaatkan getahnya sebagai bahan baku utama gondorukem. Begitu pula halnya dengan Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat diduga mempengaruhi produksi gondorukem karena jika ada kebijakan tersebut maka pemerintah akan lebih meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu khususnya gondorukem. Ekspor gondorukem Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu produksi gondorukem. Produksi gondorukem yang meningkat maka jumlah penawaran ekspor pun akan meningkat. Harga ekspor gondorukem juga
mempengaruhi penawaran ekspor gondorukem karena menjadi pertimbangan dalam mengekspor gondorukem ke luar negeri karena berkaitan dengan keuntungan dan kerugian usaha. Harga domestik gondorukem yang meningkat maka akan mengurangi penawaran terhadap
dollar
Amerika,
ekspor gondorukem. Nilai tukar rupiah
mempengaruhi
dalam
kaitannya
pembayaran
perdagangan ekspor produk tersebut serta laju inflasi yang terjadi di Indonesia. Faktor lainnya adalah variabel dummy yaitu krisis ekonomi yang berarti apakah krisis ekonomi menghambat perkembangan ekspor gondorukem. Faktor lainnya yang juga mempengaruhi penawaran ekspor gondorukem adalah ekspor gondorukem tahun sebelumnya, sehingga dapat memberikan gambaran tentang perkembangan ekspor gondorukem Indonesia dan dapat menjadi acuan untuk membuat rencana ekspor gondorukem tahun berikutnya. Variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dan penawaran ekspor gondorukem diperoleh dari hasil studi terdahulu dan dianalisis menggunakan regresi berganda dengan persamaan simultan yaitu 2SLS (Two Stage Least Square). Model ini untuk mengetahui sejauh mana faktor faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap produksi dan penawaran ekspor gondorukem Indonesia, sehingga dapat meningkatkan ekspor gondorukem Indonesia. Bagan kerangka pemikiran operasional disajikan pada Gambar 9.
Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu
Bukan Kayu
Banyak dimanfaatkan dan memberikan devisa terbesar dari sektor kehutanan
Kerusakan hutan akibat adanya illegal logging
Kurang dimanfaatkan dan sedikit memberikan devisa
Tidak merusak hutan
• Diberlakukannya Kebijakan larangan Ekspor kayu bulat pada tahun 1985 • Kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) tahun 2003
Kebijakan meningkatkan ekspor dari industri hasil hutan bukan kayu misalnya gondorukem
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gondorukem Perum Perhutani : Harga domestik gondorukem Jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) Harga domestik getah pinus Harga eskpor gondorukem Luas hutan pinus “Dummy” Kebijakan Jatah Produksi Tebangan (JPT) “Dummy” Larangan Ekspor Kayu Bulat Lag produksi gondorukem
Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani : Penjualan domestik gondorukem Jumlah produksi gondorukem Harga ekspor gondorukem Harga domestik gondorukem Nilai Tukar rupiah terhadap Dollar Amerika “Dummy” krisis ekonomi Lag penawaran ekspor gondorukem
Analisis Regresi Linear Berganda
Peningkatan ekspor gondorukem Gambar 9. Kerangka Pemikiran Operasional
3.3 Definisi Operasional a. Gondorukem yang dimaksud adalah hasil olahan getah pinus yang dijual. b. Produksi gondorukem adalah jumlah produksi domestik gondorukem total dalam per tahun tanpa memilah-milah kualitasnya, dinatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005. c. Volume ekspor gondorukem adalah total volume ekspor gondorukem yang diekspor ke pasar internasional setiap tahunnya dan dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005. d. Harga domestik gondorukem adalah harga produsen dari gondorukem setelah disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia yang terjadi di pasar dalam negeri, dinyatakan dalam satuan rupiah per ton (Rp/Ton). Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005. e. Produksi bahan baku gondorukem (getah pinus) merupakan jumlah produksi getah pinus yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan gondorukem, dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005. f.
Harga bahan baku gondorukem (getah pinus) merupakan harga getah pinus yang ditetapkan oleh Perum Perhutani, dinyatakan dalam satuan rupiah per ton (Rp/Ton).
g. Harga ekspor gondorukem merupakan harga Free on Board (FOB) yang merupakan hasil bagi antara nilai ekspor gondorukem dengan volume ekspor gondorukem dengan satuan dollar Amerika Serikat per ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005.
h. Penjualan domestik gondorukem adalah sejumlah komoditas gondorukem yang dijual di pasar domestik (Indonesia) dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005. i.
Luas hutan pinus adalah luas kawasan hutan pinus yang disadap oleh Perum Perhutani dalam satuan hektar (ha). Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005.
j.
Ukuran nilai tukar rupiah yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, dinyatakan dalam satuan rupiah per satuan dollar Amerika Serikat (Rp/US$). Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1980 hingga tahun 2005.
k. Dummy Krisis ekonomi adalah pembeda antara masa sebelum terjadinya krisis ekonomi di Indonesia (1980-1997) dan sesudah krisis ekonomi (1997-2005). l.
Kebijakan Jatah Produksi Tebangan adalah suatu kebijakan pemerintah untuk mengurangi produksi tebangan yang berlaku sejak tahun 2003
m. Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat adalah suatu kebijakan pemerintah untuk mengurangi adanya illegal logging dan menambah devisa negara melalui pengolahan hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. n. Lag penawaran ekspor adalah volume ekspor tahun sebelumnya dari komoditas gondorukem dengan satuan ton. o. Lag produksi gondorukem adalah volume produksi tahun sebelumnya dari komoditas gondorukem dengan satuan ton.
IV METODE PENELITIAN
4.9 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Direktorat Pemasaran, Perum Perhutani Jakarta. Pengambilan data dilakukan selama satu bulan yaitu bulan September hingga Oktober tahun 2007. 4.10
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan didapatkan dengan wawancara dengan bagian produksi dan pemasaran Perum Perhutani. Data sekunder berupa data time series dari tahun 1980 hingga tahun 2005. Penggunaan data time series sejak tahun 1980 hingga tahun 2005 karena untuk melihat pengaruh sebelum dan sesudah kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) pada tahun 2003 terhadap produksi gondorukem, melihat pengaruh sebelum dan sesudah kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1985 terhadap produksi gondorukem Perhutani, serta melihat pengaruh sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1997 terhadap penawaran ekspor gondorukem. Data yang digunakan adalah adalah harga domestik gondorukem, bahan baku gondorukem yaitu produksi getah pinus, harga domestik getah pinus, produksi
gondorukem
domestik,
produksi
gondorukem
domestik
tahun
sebelumnya, harga ekspor gondorukem, nilai tukar uang terhadap dollar (US$), volume ekspor gondorukem, volume ekspor gondorukem tahun sebelumnya. Data-data tersebut dicari dan dikumpulkan dari Direktorat Pemasaran, Perum Perhutani Jakarta dan Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk melengkapi data-data
yang diperlukan maka digunakan hasil penelitian terdahulu, internet, jurnal-jurnal serta buku sebagai bahan literatur. 4.11
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan kuantitatif.
Analisis deskriptif dilakukan dengan tabulasi frekuensi. Analisis kuantitatif dengan model regresi berganda dengan persamaan simultan. 4.3.1 Spesifikasi model Penelitian ini, model yang diduga terdiri dari dua persamaan, yang dibangun
oleh
2
variabel
endogenous,
yaitu
QPDG
(jumlah
produksi
gondorukem) dan XG (jumlah penawaran ekspor gondorukem ); dan 12 variabel exogenous, yaitu PDOG (harga domestik gondorukem), QBB (jumlah bahan baku gondorukem), PBB (harga bahan baku gondorukem), PXGR (harga ekspor gondorukem), LHP (luas hutan pinus), DJPT (dummy Jatah Produksi Tebangan Tahunan), LKB (Larangan ekspor kayu Bulat), LQPDG (lag jumlah produksi gondorukem), SDO (penjualan domestik gondorukem), ER (nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika), DD (dummy krisis ekonomi) dan LXG (lag ekspor gondorukem). Untuk menduga besarnya jumlah produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani maka akan dilakukan dengan menggunakan empat model yaitu model linear, model log linear X, model log linear Y dan model double log linear. Dari keempat model tersebut akan ditentukan satu model yang memiliki kriteria ekonometrika yang paling baik, salah satunya memiliki R-sq (adj) yang paling besar.
4.3.1.1 Produksi Gondorukem Indonesia Hipotesis dugaan model faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gondorukem adalah sebagai berikut : Model linear QPDGt
= a0 + a1PDOGt +a2QBBt+ a3PBBt + a4PXGRt + a5LHP+a6DJPTt + a7LKBt + a8LQPDG+ ℮1..................(4-1)
Model log linear X QPDG
= a0 + a1lnPDOGt +a2lnQBBt + a3lnPBBt + a4lnPXGRt + a5lnLHP+a6lnDJPTt + a7lnLKBt + a8LQPDG+ ℮1........(4-2)
Model log linear Y LnQPDGt
= a0 + a1PDOGt +a2QBBt + a3PBBt + a4PXGRt + a5LHP + a6DJPTt + a7LKBt + a8lnLQPDG+ ℮1..........................(4-3)
Model double log LnQPDGt = a0 + a1LnPDOGt +a2LnQBBt + a3PBBt + a4lnPXGRt + a5lnLHPt + a6lnDJPTt + a7lnLKBt + a8lnLQPDG+ ℮1...(4-4) Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah : a1 , a2, a4, a5,a7,a8 > 0 ; a3, a6 < 0 Dimana : a0
: intercept
QPDGt
: Jumlah produksi gondorukem domestik tahun ke-t (ton)
PDOGt
: Harga domestik gondorukem tahun ke-t (Rp/ton)
QBBt
: Jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) tahun ke-t (ton)
PBBt
: Harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) tahun ke-t (Rp/ton)
PXGRt
: Harga ekspor gondorukem tahun ke-t (US$/ton)
LHPt
: Luas Hutan Pinus tahun ke-t (ha)
DJPTt
: “Dummy” Kebijakan Jatah Tebangan (JPT) • DD = 0, jika tidak ada kebijakan JPT
• DD = 1, jika ada kebijakan JPT LKBt
: “Dummy” Larangan ekspor Kayu Bulat • LKB = 0, jika tidak ada larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1985 • LKB =1, jika ada larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1985
LQPDG
: lag produksi gondorukem domestik (ton)
℮1
: error
4.3.1.2 Penawaran Ekspor Gondorukem Berdasarkan kerangka teori dan tinjauan terdahulu serta berbagai alternatif spesifikasi model yang telah dicoba, dan juga asumsi-asumsi yang diterapkan dalam membangun model maka hipotesis dugaan model faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor gondorukem adalah sebagai berikut : Model linear XGt
= a0+ a1SDOt + a2QPDGt + a3PXGRt + a4PDOGt + a5ERt + a6 DDt + a7LXG+℮2.............................................................................(4-5)
Model log linear X XGt
= a0+ a1 lnSDOt + a2lnQPDGt + a3lnPXGRt +a4lnPDOGt + a5lnERt + a6 lnDDt + 7lnLXG+℮2............................................................(4-6)
Model log linear Y LnXGt = a0+ a1SDOt + a2QPDGt + a3PXGRt + a4PDOGt + a5ERt + a6 DDt+a7LXG+℮2.................................................................(4-7) Model Double log LnXGt = a0+ a1LnSDOt + a2LnQPDGt + a3LnPXGRt + a4LnPDOGt + a5LnERt + a6 LnDDt + a7LXG+℮2................................................................(4-8) Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah : a2, a3, a5,a6, a7 >0
a1, a4<0
dimana: a0
: intercept
XGt
: Jumlah penawaran ekspor gondorukem tahun ke-t (ton)
SDOt
: Penjualan domestik gondorukem tahun ke-t (Rp/ton)
QPDGt
: Jumlah produksi domestik gondorukem tahun ke-t (ton)
PXGRt
: Harga ekspor gondorukem tahun ke-t (US$/ton)
PDOGt
: Harga domestik gondorukem tahun ke-t (Rp/ton)
ERt
: Nilai tukar rupiah terhadap dollar USA tahun ke-t riil (Rp/US$)
DDt
: “Dummy” Krisis ekonomi • DD = 0 jika sebelum ada krisis ekonomi • DD = 1 jika sesudah krisis ekonomi
LXG
: Jumlah penawaran ekspor gondorukem tahun sebelumnya (lag ekspor gondorukem) (ton)
℮2
: error
4.3.2 Identifikasi model Berdasarkan hasil spesifikasi model diatas (4.3.1 dan 4.3.2), maka diperoleh dua persamaan behavioral, dengan total variabel dalam model adalah 17 variabel dan untuk masing-masing terdiri dari 7-8 variabel, sehingga nilai (K-M) berada pada selang 9 hingga 10 yang berarti nilainya lebih dari (G-1) yang memiliki nilai 1. Hasil spesifikasi model di atas maka dapat dilihat di Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Identifikasi Model No
Persamaan
K
M
G
1 2
Produksi gondorukem Perum Perhutani Penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani
17 17
8 7
2 2
Hasil identifikasi Over identified Over identified
Spesifikasi model yang akan diduga dalam kondisi over identified, maka pendugaan dilakukan dengan metode Two Stage Least Square (2SLS) dan diolah dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 14. Metode 2SLS dipilih untuk menduga model dibandingkan menggunakan 3SLS (Three Stage Least Square) karena 2SLS menawarkan suatu metode yang ekonomis dan hanya memberikan satu taksiran per parameter.
Metode 3SLS tidak dipilih untuk
menduga model karena lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan identifikasi, jika perubahan salah satu parameter dalam satu persamaan akan sangat cepat mengakibatkan perubahan pada parameter lainnya. 4.12
Pengujian Hipotesis Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesis-
hipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan melihat nyata atau tidaknya pengaruh peubah yang dipilih terhadap peubah-peubah yang diteliti. Adapun pengujian yang akan dilakukan adalah: 4.4.1
Koefisien determinasi Suatu angka yang mengukur keragaman pada variabel dependen yang
dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi disebut koefisien determinasi (R2). Nilai R2 berkisar antara 0 < R2 < 1, dengan kriteria pengujiannya adalah R2 yang semakin tinggi (mendekati 1) menunjukkan model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel dependen, demikian pula sebaliknya. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut (Gujarati, 2000) :
R2 = 1−
SSE SST
R2-adjusted dalam regresi berganda adalah nilai R2 yang telah disesuaikan terhadap banyaknya variabel bebas dan banyaknya observasi. Koefisien determinasi yang disesuaikan dirumuskan sebagai berikut :
R 2 − adjusted = 1 −
SSE /( n − k ) SST /(n − k )
Dimana : R2-adjust
= Koefisien determinasi yang disesuaikan
R2
= Koefisien determinasi
SSE
= Sum square error
SST
= Sum Square total
k
= Jumlah variabel bebas
n
= Jumlah observasi
4.4.2
Uji-t
Uji-t digunakan untuk menghitung koefisien regresi secara individu. Adapun hipotesis dalam uji ini adalah: Ho:b = 0, menyatakan koefisien regresi populasi (parameter) tidak berbeda nyata dengan nol. H1:b1≠ 0, menyatakan koefisien regresi populasi (parameter) berbeda nyata dengan nol. Statistik uji yang digunakan dalam uji-t: Thitung=
bi
, derajat bebas (n-k)
Se(bi) Dimana : Se(bi) = standar deviasi untuk parameter ke-n bi
= koefisien regresi atau parameter
Jika thitung > ttabel (α/2;n-k) maka tolak H0, artinya peubah yang diuji berpengaruh nyata (signifikan) terhadap variabel tak bebas pada taraf α persen.
Jika Jika thitung < ttabel (α/2;n-k) maka terima H0, artinya, artinya peubah yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas pada taraf α persen. 4.4.3
Uji-F
Untuk menguji parameter dugaan secara serentak apakah peubah-peubah bebas secara bersama-sama dapat menjelaskan variasi dari peubah tak bebasnya digunakan uji-F. Hipotesis: H0 : b1 =b2 = ......+ b4 = 0 (tidak berpengaruh nyata) H0 : b1≠ b2 ≠ ......≠ b4 ≠ 0 (ada pengaruh nyata) Statistik yang digunakan dalam uji-F : F hitung =
SSR/(k-1) SSE/(n-k)
Dengan derajat bebas = (k-1), (n-k) Dimana :
SSR = Jumlah kuadrat regresi SSE = Jumlah kuadrat sisa n
= jumlah pengamatan
k
= Jumlah koefisien regresi
Kriteria uji: F hitung > Ftabel, (k-1)/(n-k)....................maka tolak H0 F hitung< Ftabel, (k-1)/(n-k)....................maka terima H0 Jika tolak H0 artinya secara bersamaan keragaman dari peubah bebas dalam model dapat dijelaskan dengan baik keragaman dari peubah tak bebas pada taraf α persen. Jika terima H0 artinya secara bersamaan keragaman dari peubah bebas dalam model tidak dapat dijelaskan dengan baik keragaman dari peubah tak bebas pada taraf α persen.
4.4.4 Uji Multikolinearitas Uji multikolinear digunakan untuk melihat apakah dalam persamaan yang diduga terdapat hubungan linear antar peubah bebasnya. Uji multikolinear dapat diduga dengan melihat Variance Inflation Factor (VIF). Jika VIF lebih besar dari 10 maka terdapat masalah multikolinear.
VIF =
1 1-R2xi
Dimana : VIF R2xi
= Variance Inflation Factor
= korelasi antara variabel xi dengan variabel x lainnya maka nilai
R2xi akan meningkat dan nilai VIF meningkat. 4.4.5 Uji Autokorelasi Autokorelasi timbul ketika sederetan pengamatan dari waktu ke waktu saling berkaitan satu dengan yang lainnya (Hanke, John E, Dean W. Wighern dan Arthur G.Reitsgh, 2003). Persoalan autokorelasi sering dijumpai pada data yang memperhitungkan waktu atau time series. Uji autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linear antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Cara mendeteksinya dengan menggunakan uji DurbinWatson. Pengujian ini dengan menggunakan rumus : n
DW =
∑ (e t=2
t
− e t −1 )
n
∑e t =1
2 t
Keterangan : DW
= nilai Durbin Watson
∑et
= residual periode waktu ke t
et-1
= residual
periode waktu ke t-1
Menurut Hanke, John E, Dean W. Wighern dan Arthur G.Reitsgh (2003), nilai statistik hitung Durbin Watson akan dibandingkan dengan batas atas (U) dan batas bawah (L). Kaidah keputusannya adalah sebagai berikut : Jika DW > U maka Ho: ρ = 0, tidak terdapat autokorelasi positif Jika DW < L maka Ho: ρ > 0, terdapat autokorelasi positif Jika DW berada diantara batas atas dan bawah (L < DW < U) pengujian tidak dapat disimpulkan. 4.4.6 Uji Normalitas Salah satu pengujian yang dilakukan dalam persamaan regresi untuk menguji apakah nilai-nilai dari Y berdistribusi normal pada tiap nilai dari X adalah uji normalitas. Pengujian normalitas dapat dilakukan dengan metode yang digunakan untuk menguji kenormalan data adalah metode Kolmogorov Smirnov. Hipotesis H0
: Sebaran Normal
H1
: Sebaran Tidak Normal
Uji Statistik Dn = max (Fe – Fo) Dimana : Dn
= Nilai Kolmogorov Smirnov hitung
Fe
= Frekuensi harapan
Fo
= Frekuensi observasi
Kriteria Uji KShitung > KStabel atau Pvalue < 1%, maka tolak H0 KShitung < KStabel atau Pvalue > 1%, maka tolak H1
4.4.7 Uji Homoskedastisitas Asumsi ini pada dasarnya menyatakan bahwa nilai-nilai Y (variabel dependen) bervariasi dalam satuan yang sama, baik untuk nilai X (variabel independen) yang tinggi maupun nilai X yang rendah. Jika asumsi tersebut tidak terpenuhi maka dapat dikatakan terjadi penyimpangan. 4.5
Pendugaan Nilai Elastisitas Untuk mengetahui ukuran kuantitatif respon suatu fungsi terhadap faktor-
faktor yang mempengaruhinya, digunakan suatu konsep yang disebut elastisitas. Konsep elastisitas ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu elastisitas jangka pendek (short run) dan elastisitas jangka panjang (long run). 1. Elastisitas jangka pendek
ε ( Xi ) sr
= sr
dYi Xi x dXi Yi
Keterangan : ε (Xi)sr = elastisitas peubah Xi dalam jangka pendek
dYi = Koefisien regresi peubah Xi (peubah eksogen) dXi Xi
=
Rata-rata peubah Xi
Yi
=
Rata-rata peubah Yi (peubah endogen)
2. Elastisitas Jangka Panjang
ε ( Xi) lr =
ε ( Xi) sr 1 − an
Keterangan : ε(Xi)lr
= elastisitas dalam jangka panjang
an
= nilai koefisien regresi dugaan peubah lag
Jika model yang dipakai adalah model double log : Log Y
= a log X1 +b logX2
Apabila di antilog-kan akan menjadi persamaan cobb douglass sebagai berikut: = X1aX2b
Y
Sehingga nilai elastisitas dari variabel X1dapat dilihat dari parameter dugaannya sebesar: E(X1)
=a
dimana : E (X1) : elastisitas variabel X1 a
: nilai parameter dugaan dari variabel X1
Kriteria uji elastisitas adalah sebagai berikut : a. Jika nilai elastisitas lebih besar daripada satu (ε>1), dikatakan elastis karena perubahan satu persen peubah bebas mengakibatkan perubahan tak bebas lebih dari satu persen. b. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<ε<1), dikatakan inelastis karena perubahan satu persen peubah bebas mengakibatkan perubahan peubah tak bebas kurang dari satu persen. c. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (ε=0), dikatakan inelastis sempurna. d. Jika nilai elastisitas tak hingga (ε=∞), dikatakan elastis sempurna e. Jika elastisitas sama dengan satu (ε=1), dikatakan unitary elastis 4.6 Hipotesis Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Harga domestik gondorukem (PDOG) diduga mempunyai hubungan positif dengan produksi gondorukem domestik, dan sebaliknya. Apabila harga
domestik gondorukem meningkat maka produksi gondorukem akan meningkat. 2.
Jumlah bahan baku tersedia yang berasal dari getah pinus (QBB) diduga mempunyai hubungan positif dengan produksi gondorukem dan dengan adanya peningkatan jumlah bahan baku yang tersedia maka penawaran ekspor gondorukem Indonesia akan meningkat. Apabila jumlah produksi getah meningkat maka industri pengolahan gondorukem bisa meningkat jumlah kapasitas produksinya.
3.
Harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) (PBB) diduga berhubungan negatif dengan produksi gondorukem. Apabila terjadi peningkatan harga bahan baku gondorukem maka produksi gondorukem domestik menurun dan pada akhirnya akan menurunkan penawaran ekspor gondorukem, begitu pula sebaliknya.
4.
Harga ekspor gondorukem (PXGR) diduga mempunyai hubungan positif dengan produksi gondorukem. Apabila harga ekspor gondorukem tinggi maka akan meningkatkan produksi gondorukem domestik, begitu pula sebaliknya.
5.
Luas hutan pinus (LHP) diduga mempunyai hubungan positif dengan produksi gondorukem. Artinya apabila terjadi peningkatan luas hutan pinus maka produksi gondorukem akan meningkat, dan sebaliknya.
6.
Dummy Kebijakan pemerintah mengenai jatah produksi tebangan (JPT) diduga mempunyai hubungan negatif (DJPT) dengan ketersediaan bahan baku gondorukem yaitu getah pinus. Apabila jatah produksi tebangan diturunkan maka volume produksi getah pinus meningkat sehingga mampu meningkatkan ketersediaan ekspornya.
7.
Dummy Kebijakan larangan ekspor kayu bulat (LKB) diduga mempunyai hubungan positif dengan produksi gondorukem. Apabila adanya kebijakan
larangan ekspor kayu bulat maka akan meningkatkan ekspor hasil hutan non kayu khususnya gondorukem. 8.
Produksi gondorukem domestik tahun sebelumnya (LQPDG) diduga berhubungan positif dengan produksi gondorukem, artinya apabila terjadi peningkatan lag volume produksi gondorukem maka produksi gondorukem akan meningkat, dan sebaliknya.
9.
Penjualan domestik gondorukem (SDO) diduga mempunyai hubungan negatif dengan penawaran ekspor gondorukem, yang berarti apabila terjadi peningkatan penjualan dalam negeri maka akan menurunkan penawaran ekspor gondorukem ke pasar internasional, dan sebaliknya.
10.
Produksi gondorukem domestik (QPDG) diduga mempunyai hubungan positif dengan penawaran ekspor gondorukem Indonesia, yang berarti apabila terjadi kenaikan produksi domestik gondorukem Perum Perhutani akan menyebabkan peningkatan volume penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani.
11.
Harga ekspor gondorukem (PXGR) diduga mempunyai hubungan positif dengan penawaran ekspor gondorukem Indonesia, yang berarti jika terjadi peningkatan harga ekspor maka volume ekspor akan meningkat dan sebaliknya.
12.
Harga domestik gondorukem (PDOG) diduga mempunyai hubungan negatif dengan
penawaran
ekspor
gondorukem,
yang
berarti
jika
terjadi
peningkatan harga domestik gondorukem maka volume ekspor akan menurun dan sebaliknya. 13.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (ER) diduga mempunyai hubungan positif dengan penawaran ekspor gondorukem Indonesia, yang berarti jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah maka volume penawaran ekspor akan meningkat.
14.
Setelah krisis ekonomi (DD) diduga mempunyai hubungan positif dengan penawaran ekspor gondorukem yang berarti jika terjadinya krisis ekonomi maka penawaran ekspor meningkat, dibandingkan sebelum krisis ekonomi.
15.
Volume penawaran ekspor gondorukem tahun sebelumnya (LXG) diduga mempunyai hubungan positif dengan penawaran ekspor gondorukem Indonesia, artinya jika terjadi kenaikan lag volume penawaran ekspor maka penawaran ekspor akan meningkat.
V GAMBARAN UMUM PERUM PERHUTANI
Di Indonesia gondorukem berasal dari hasil pengolahan getah Pinus merkusii Jung.& Vriese yang dikelola satu-satunya oleh Perum Perhutani. Perum Perhutani adalah BUMN yang berada di bawah naungan Departemen Kehutanan yang merupakan satu-satunya penghasil dan pengekspor gondorukem dan terpentin di Indonesia. Perum Perhutani didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 15 Tahun 1972, kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 1978 seterusnya keberadaan dan usaha-usahanya ditetapkan kembali berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1986 dan terakhir adalah PP No.30.Th.2003. Sebagai BUMN, Perum Perhutani diberi tugas dan
wewenang
untuk
menyelenggarakan
perencanaan,
pengurusan,
pengusahaan dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya. Perum Perhutani memiliki tiga pembagian wilayah kerja. Pembagian tersebut dibagi menjadi Unit I yang menangani wilayah Jawa Tengah, Unit II menangani wilayah kerja Jawa Timur dan Unit III yang menangani wilayah Jawa Barat dan Banten. Luas kawasan hutan yang dimiliki oleh Perum Perhutani adalah 3.552.756 ha, terdiri dari hutan produksi, hutan Lindung dan Hutan Konservasi. Luas hutan produksi sebesar 60 persen dari luas kawasan hutan yang dimiliki oleh Perum Perhutani, dan didalamnya terdapat kelas perusahaan (KP) Pinus dengan proposi luas sekitar 30 persen dari luas hutan produksi yang tersebar di wilayah kerjanya. Hutan produksi tersebut dikelola untuk diambil hasil getah dan kayu karena memiliki nilai ekonomis. Realisasi luas kawasan hutan pinus yang telah disadap diambil getahnya oleh Perum Perhutani sebesar 142.119 Ha. Getah pinus yang telah diambil, dikelola menjadi gondorukem dan terpentin oleh Perum Perhutani. Pada saat ini Perhutani memiliki delapan pabrik
gondorukem dan terpentin (PGT), yakni PGT Cimangggu (Banyumas), PGT Winduaji (Pekalongan), PGT Saparan (Kedu Selatan), PGT Paninggaran (Pekalongan Timur), PGT Garahan (Jember), PGT Sukun (Lawu), PGT Rejowinagun (Kediri) dan PGT Sindangwangi (Nagreg)14. Gondorukem
yang
telah
diproduksi,
dipasarkan
untuk
memenuhi
permintaan dalam negeri dan luar negeri. Pemasaran gondorukem di dalam negeri menurut arah peredarannya ada dua macam yaitu, pemasaran lokal dan antar pulau. Penjualan dikategorikan dalam penjualan langsung. Penjualan gondorukem dapat dilihat pada Gambar 10. Pembeli
KBM/KPE
PGT
SIP Keterangan : KBM KPE SIP
: Kesatuan Bisnis Mandiri : Kantor Pelaksana Ekspor : Surat Ijin Penjualan
Gambar 10. Jalur Tata Niaga Gondorukem Dalam Negeri
Tahapan dimulai dari pengajuan surat permohonan dari pembeli ke salah satu KBM (Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung). Setelah permohonan pembeli disetujui, maka dikeluarkan SIP dari direksi Perum Perhutani. Pembeli dapat langsung mengambil gondorukem di PGT yang telah ditentukan. Realisasi penjualan gondorukem Perum Perhutani di dalam negeri umumnya dilakukan dengan cara penjualan di bawah tangan (Pakai bon penjualan/ SIP atau tunai. Sebelumnya penjualan dilakukan dengan cara lelang namun cara ini kurang menguntungkan sehingga sudah tidak dilaksanakan lagi. Di masa yang akan datang penjualan dengan cara kontrak baru akan dilaksanakan. 7
Gun.2004. Ekspor Capai US$ 10 juta Perhutani Genjot Produksi Gondorukem www.sinarharapan.co.id [10 Mei 2007]
Menurut catatan Soepardi dalam Syafitri (2006), pada tahun 1939 sebelum perang Dunia II, Indonesia telah mengekspor, namun selama pendudukan Jepang gondorukem tidak diproduksi hingga Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pada tahun 1972, gondorukem mulai diproduksi kembali karena permintaan
akan
gondorukem
terus
meningkat,
sehingga
Perhutani
meningkatkan unit produksinya menjadi 15 unit, baik yang dikerjakan sendiri maupun yang dikerjasamakan dengan pihak lain. Dalam memenuhi permintaan dari luar negeri, maka harus melalui beberapa tahap persyaratan yang harus dipenuhi. Tahapan dimulai dari pengajuan surat permohonan dari pembeli ke salah satu KPE (Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung). Setelah permohonan pembeli disetujui, maka dikeluarkan Cost Confirmation Off-Sales (CCO) dari direksi Perum Perhutani. Pembeli dapat langsung mengambil gondorukem di
Pabrik
Gondorukem dan Terpentin (PGT) yang ditelah ditentukan. Alur penjualan luar negeri yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani dapat dilihat pada Gambar 10. Pembeli
KBM/KPE
PGT
CCO Keterangan : KBM KPE CCO
: Kesatuan Bisnis Mandiri : Kantor Pelaksana Ekspor : Cost Confirmation Off-Sales
Gambar 11. Jalur Tata Niaga Gondorukem ke Luar Negeri
Untuk memenuhi permintaan gondorukem dari luar negeri, Perum Perhutani memiliki tiga agen yang tersebar di beberapa negara seperti India, Singapura dan Korea Selatan. Di Indonesia, terdapat empat agen yang terletak di Surabaya dan Jakarta. Hal ini dapat dilihat di Lampiran 4.
Perum Perhutani selaku satu-satunya yang mengelola gondorukem di Indonesia mampu berada pada urutan kedua setelah China dalam memenuhi kebutuhan gondorukem di pasar internasional yaitu sebanyak 31.953.859 kg (6,99 persen). Pada tahun 2005, Indonesia mampu mengekspor gondororukem ke berbagai negara tujuan utama seperti India sebanyak 8.195.070 kg (24,9 persen), Pakistan (11,73 persen), Belanda (9,34 persen), negara di Asia lainnya (6,71 persen), Korea (5,86 persen), dan Polandia (5,43 persen). Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 5 Indonesia tidak hanya mengekspor gondorukem, namun juga mengimpor gondorukem dari luar negeri sejak tahun 1968 hingga sekarang. Hal ini disebabkan gondorukem yang diolah kembali oleh luar negeri seperti Singapura, kualitasnya lebih baik dibandingkan kualitas gondorukem dalam negeri. Oleh karena itu untuk pabrik-pabrik yang memerlukan gondorukem bermutu tinggi, ia harus mengimpor dari luar negeri seperti pabrik kertas. Pada tahun 2005 Indonesia mengimpor gondorukem sebanyak 472.717 kg15. Sebagian besar impor tersebut berasal dari Amerika Serikat (31,71 persen), Inggris (29,39 persen), Italia (19,24 persen) dan Singapura (11,02 persen). Singapura merupakan negara yang tidak menghasilkan gondorukem, namun negara tersebut mengolah kembali gondorukem yang diimpor dari negara-negara penghasil gondorukem, menjadi gondorukem dengan kualitas yang lebih baik, kemudian gondorukem tersebut diekspor kembali. Hal ini disajikan pada Lampiran 6.
15
www.comtrade.un.org [14 Juni 2007]
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.3
Gambaran Umum Hasil Dugaan Model Produksi dan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan
penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani, dilakukan analisis model produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani dengan menggunakan model fungsi produksi linear berganda dengan persamaan simultan dan diduga dengan metode kadrat terkecil dua tahap (2SLS= Two Stage Least Square). Data time series dalam penelitian ini sebanyak 26 tahun. Berdasarkan persamaan-persamaan yang diperoleh pada Lampiran 9, 11, 13 dan 15 maka model persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani adalah persamaan dengan model double log, karena memiliki R-sq (adj) tertinggi dibandingkan dengan model linear, model semi log X dan semi log Y yaitu sebesar 98,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani mampu menjelaskan 98,3 persen dari variasi yang terjadi di dalam peubah jumlah produksi gondorukem. Pada persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani (Lampiran 10, 12, 14 dan 16), model yang terpilih adalah model double log dengan memiliki R-sq adj sebesar 95,6 persen, yang berarti bahwa persamaan ini mampu menjelaskan 95,6 persen dari variasi yang terjadi di dalam peubah jumlah penawaran ekpor gondorukem Perum Perhutani. Selain itu, model double log juga dipilih karena pada persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani memiliki nilai SSE (Sum Square Error) dan MSE (Mean Square Error) yang terkecil dibandingkan keempat model yang lain, yaitu masing-masing sebesar 0,1476
dan 0,0092.
Pada persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani memiliki nilai SSE dan MSE masing-masing sebesar 0,7290 dan 0,0429.
Model double log juga dipilih sebagai alternatif persamaan produksi dan penawaran ekspor gondorukem untuk mengurangi adanya asumsi pelanggaran autokorelasi dan heteroskedastisitas. Pengujian ada tidaknya pelanggaran asumsi autokorelasi dengan melakukan uji Durbin Watson. Uji Durbin Watson memiliki batas atas dan batas bawah. Nilai batas atas (U) yang diperoleh adalah 1,88 dan batas bawah (L) adalah 0,98 pada taraf nyata 5 persen. Pada persamaan persamaan produksi dan ekspor gondorukem Perum Perhutani menggunakan model double log masing-masing diperoleh nilai sebesar 2,42822 dan 2,52469. Pada persamaan produksi dan ekspor gondorukem Perum Perhutani menggunakan model double log tidak terdapat autokorelasi positif. Dikatakan tidak terdapat autokorelasi positif apabila statistik DW lebih besar dari batas di atas (U). Produksi gondorukem diduga sebagai fungsi dari harga domestik gondorukem tahun ke-t (PDOG), jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) (QBB), harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) (PBB), harga ekspor gondorukem (PXGR), luas hutan pinus (LHP), Dummy Kebijakan Jatah Tebangan (JPT) (DJPT), Dummy Larangan Ekspor kayu Bulat (DLKB), dan lag produksi gondorukem domestik (LQPDG atau QPDG). Penawaran ekspor gondorukem diduga dipengaruhi oleh penjualan domestik gondorukem (SDO), produksi gondorukem (QPDG), harga ekspor gondorukem (PXGR),
harga
domestik gondorukem dalam negeri (PDOG), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, dummy krisis ekonomi (DD) dan lag ekspor gondorukem (LXG). Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar peubah bebas, maka dilakukan uji multikolinearitas. Pengujian terhadap masalah multikolinearitas dilakukan dengan cara melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor). Apabila nilai VIF lebih dari 10 maka terdapat masalah multikolinearitas. Berdasarkan pengujian, ternyata pada model terpilih yaitu model double log terdapat
pelanggaran terhadap asumsi multikolinearitas pada persamaan produksi maupun persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani. Hal ini disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Analisis Asumsi Multikolinearitas Pada Persamaan Produksi dan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Persamaan Produksi Harga domestik gondorukem (lnPDOG) Jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) (lnQBB) Harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) (lnPBB) Harga ekspor gondorukem tahun ke-t (lnPXGRt) Luas Hutan Pinus (lnLHP) “Dummy” Kebijakan Jatah Tebangan (JPT) (DJPTt) Dummy Larangan Ekspor kayu Bulat (DLKB) lag produksi gondorukem domestik (lnLQPDG atau QPDGt-1) Sumber
VIF 5,9 15,3 8,3 1,8 1,5 2,0 6,0
Persamaan Penawaran Ekspor Penjualan domestik gondorukem (lnSDO) Jumlah produksi domestik gondorukem (lnQPDG) Harga ekspor gondorukem (lnPXGR) Harga domestik gondorukem (lnPDOG) Nilai tukar rupiah terhadap dollar USA (lnER) “Dummy” Krisis ekonomi (DD) Jumlah ekspor gondorukem tahun sebelumnya (lag ekspor gondorukem) (lnLX)
VIF 5,3 44,7 3,3 6,5 30,8 17,4 38,8
17,5
: hasil pengolahan
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani terdapat ada saling hubungan antara jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) dengan lag produksi gondorukem domestik. Pada persamaan penawaran ekspor gondorukem juga terdapat hubungan antar peubah bebas yaitu jumlah produksi domestik gondorukem (QPDG), nilai tukar rupiah terhadap dollar USA (ER), “Dummy” Krisis ekonomi (DD) dan jumlah ekspor gondorukem tahun sebelumnya (lag ekspor gondorukem) (LX). Untuk menghilangkan adanya multikolinearitas, maka dilakukan pengeluaran satu atau beberapa peubah bebas.
Tabel 9. Hasil Analisis Setelah Dilakukan Pengeluaran Beberapa Peubah Bebas Untuk Menghilangkan Asumsi Multikolinearitas Pada Persamaan Produksi dan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Persamaaan dan Pembanding
Penawaran Ekspor
Produksi
R2 adj (%) SSE MSE Durbin Watson R2 adj (%)
LQPDG, ER, LXG 98,4 0,1781 0,0099 2,34859
Peubah yang Dikeluarkan LQPDG,D QBB, QBB, DD, D,LXG ER,LXG LXG 98,4 94,1 94,1 0,1781 0,5335 0,5335 0,0099 0,0314 0,0314 2,34859 1,94978 1,94978
90,9
92,8
90,8
90,0
SSE
2,1584
1,7213
1,7300
1,8729
MSE
0,1079
0,0861
0,0911
0,0986
1,18855
1,40589
1,63583
1,57968
Durbin Watson
Keterangan : LQPDG QBB ER DD LXG
: lag produksi gondorukem : Jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) : Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika : Dummy Krisis ekonomi : Lag penawaran ekspor gondorukem
Sumber : hasil pengolahan
Tabel 9 menunjukkan pada persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani, peubah bebas lag produksi gondorukem domestik dikeluarkan. Peubah bebas lag produksi gondorukem (LQPDG) domestik dipilih untuk dikeluarkan karena setelah diuji memiliki nilai R2 (adj) yang lebih besar yaitu sebesar 98,4 persen dibandingkan mengeluarkan peubah jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) (QBB) dengan nilai R2 (adj) sebesar 94,1 persen. Hasil dugaan yang terpilih menunjukkan bahwa model ini lebih mampu menjelaskan 98,4 persen dari variasi yang terjadi di dalam peubah jumlah produksi gondorukem peubah bebas, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hal ini disajikan pada Lampiran 17, 19, 21 dan 23. Pada persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani (Tabel 9) dilakukan pengeluaran peubah bebas yaitu Dummy Krisis Ekonomi (DD) dan lag penawaran ekspor gondorukem (LXG) karena memiliki nilai R2 adj yang lebih besar yaitu sebesar 92,8 persen dibandingkan mengeluarkan peubah nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika dan Lag ekspor godorukem. Hasil dugaan yang terpilih menunjukkan bahwa model ini lebih mampu menjelaskan 92,8 persen dari variasi yang terjadi di dalam peubah penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hal ini disajikan pada Lampiran 18, 20, 22 dan 24. Setelah dilakukan pengeluaran peubah bebas lag produksi gondorukem domestik (LQPDG), Dummy Krisis Ekonomi (DD) dan lag penawaran ekspor gondorukem (LXG), maka pada persamaan produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani sudah tidak ada multikolinearitas. Hal ini disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Analisis Asumsi Multikolinearitas pada Persamaan Produksi dan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah Dilakukan Pengeluaran Beberapa Peubah Bebas Persamaan Produksi Harga domestik gondorukem (lnPDOG) Jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus tahun ke-t (lnQBB) Harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) (lnPBB) Harga ekspor gondorukem tahun ke-t (lnPXGR) Luas Hutan Pinus (lnLHP) “Dummy” Kebijakan Jatah Tebangan (JPT) lnDJPT) “Dummy” Larangan Ekspor kayu Bulat (lnLKB) Sumber
VIF 5,5
2,0
Persamaan Penawaran Ekspor Penjualan domestik gondorukem (lnSDO) Jumlah produksi gondorukem (QPDG) Harga ekspor gondorukem (lnPXGR) Harga domestik gondorukem (lnPDOG) Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (lnER) -
6,4
-
6,9 9,4 1,8 1,3
VIF 5,0 7,0 1,8 6,0 7,0 -
: hasil pengolahan
Setelah dilakukan pengeluaran beberapa peubah pada persamaan produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani diperoleh nilai Uji Durbin Watson masing-masing sebesar 2,34859 dan 1,40589. Uji Durbin Watson memiliki batas atas dan batas bawah. Nilai batas atas (U) yang diperoleh adalah 1,88 dan batas bawah (L) adalah 0,98 pada taraf nyata 5 persen. Pada persamaan
produksi
gondorukem
Perum
Perhutani
dan
tidak
adanya
autokorelasi positif karena nilai Durbin Watson lebih besar dari batas atas (U) sedangkan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani tidak diketahui adanya autokorelasi karena nilai Uji Durbin Watson berada di antara batas bawah (L) dan batas atas (U). Untuk mengetahui nilai-nilai dari Y berdistribusi normal pada tiap nilai dari X dilakukan uji normalitas dengan metode Kolmogorov Smirnov. Hasil pengujian pada taraf 1 persen pada persamaan produksi dan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani diperoleh nilai KShitung masing-masing sebesar 0,244 dan 0,281. Hasil yang diperoleh ini lebih kecil jika dibandingkan dengan KStabel yaitu sebesar 0,290. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa asumsi normalitas sudah terpenuhi. Lampiran 25 dan Lampiran 26. Berdasarkan gambar plot residual (Lampiran 28 dan Lampiran 29) baik persamaan produksi maupun penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani terlihat bahwa data tersebar, artinya data tersebut berada di posisi dibawah nol maupun diatas nol. Data tersebut juga tidak menggambarkan suatu pola tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Hasil pengujian menunjukkan asumsi homoskedastisitas sudah terpenuhi. Berdasarkan pengujian, terdapat beberapa peubah yang dimasukkan dalam dugaan persamaan namun menghasilkan koefisien arahan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan ekonomi seperti harga bahan baku gondorukem (PBB) dan luas hutan pinus (LHP) pada pesamaan produksi gondorukem Perum Perhutani. Pada persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani peubah yang tidak sesuai dengan arahan ekonomi adalah harga ekspor gondorukem (PXGR).
6.1.1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah dikeluarkannya peubah lag produksi gondorukem Perum Perhutani agar tidak terjadi multikolinearitas, maka produksi gondorukem Perum Perhutani (QPDG) diduga sebagai fungsi dari harga domestik gondorukem (PDOG), jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) (QBB), harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) (PBB), harga ekspor gondorukem (PXGR), luas hutan pinus (LHP), “Dummy” Kebijakan Jatah Tebangan (JPT) (DJPT), Dummy Larangan Ekspor kayu Bulat (DLKB). Adapun model persamaan regresi yang dihasilkan sebagai berikut: lnQPDG = - 0,451 + 0,0391 lnPDOG + 0,875 lnQBB + 0,0520 lnPBB + 0,142 lnPXGR - 0,0399 lnLHP – 0,115 lnDJPT + 0,177 lnDLKB Tabel 11. Parameter Dugaan Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Peubah lnPDOG lnQBB (A) lnPBB (D) lnPXGR (D) lnLHP lnDJPT lnDLKB (C) DW F hitung R-sq (adj) A B C D
: nyata taraf 1 persen : nyata taraf 5 persen : nyata taraf 10 persen : nyata taraf 25 persen
Sumber
: hasil pengolahan
Koefisien
t-hitung 0,0391 0,875 0,0520 0,142 - 0,0399 - 0,115 0,177
0,67 12,20 0,70 0,95 -1,01 -1,12 1,51 : 2,34859 : 221,75 : 98,4%
Untuk mengetahui apakah peubah bebas signifikan atau tidak terhadap peubah tak bebas maka dapat dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung atau F-hitung dengan tabel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Dengan menggunakan uji statistik F diperoleh F-hitung berdasarkan model terpilih yaitu double log sebesar 221,75 yang nilainya lebih besar dari F-tabel (2,08) pada taraf
nyata 1 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa secara bersama-sama peubah-peubah penjelas dalam model sangat berpengaruh nyata terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani pada taraf nyata 1 persen. Berdasarkan hasil uji t statistik, peubah-peubah yang diduga berpengaruh terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 1 persen, yaitu peubah jumlah bahan baku gondorukem (QBB), dummy Larangan Ekspor Kayu Bulat menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 10 persen, harga bahan baku gondorukem (getah pinus) (PBB) dan harga ekspor gondorukem menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 25 persen. Seberapa besar pengaruh peubah-peubah bebas dalam model terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani, dijelaskan dalam uraian berikut: a. Harga domestik gondorukem (PDOG) Koefisien peubah harga domestik gondorukem sesuai dengan nilai dugaan yang diharapkan, dimana teorinya jika harga suatu produk meningkat maka jumlah yang diproduksi akan meningkat pula. Dari hasil regresi yang dihasilkan koefisien dari harga domestik gondorukem bernilai positif yaitu sebesar 0,0391, artinya kenaikan harga domestik sebesar Rp 1.000,- akan meningkatkan produksi gondorukem Perum Perhutani sebesar 39,1 ton, ceteris paribus. Harga domestik gondorukem tidak berpengaruh nyata pada taraf 1 persen, 5 persen, 10 persen dan 25 persen. Hal ini berarti, harga domestik gondorukem tidak menjadi penentu utama Perum Perhutani untuk berproduksi, masih ada faktor utama yang menentukan produksi gondorukem yaitu jumlah bahan baku (getah pinus). Dugaan untuk nilai elastisitas peubah harga domestik gondorukem sebesar 0,0391. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga domestik gondorukem sebesar 1 persen maka akan meningkatkan jumlah produksi gondorukem 0,0391 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa harga domestik
gondorukem bersifat inelastis, sehingga produksi gondorukem Indonesia tidak cukup responsif terhadap perubahan harga domestik gondorukem. b. Jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) (QBB) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa koefisien peubah jumlah bahan baku gondorukem sesuai dengan nilai dugaan yang diharapkan. Dari hasil regresi yang dihasilkan koefisien dari jumlah bahan baku gondorukem bernilai positif yaitu sebesar 0,875, artinya kenaikan jumlah bahan baku gondorukem (getah pinus) sebesar 1 ton maka akan meningkatkan produksi gondorukem Perum Perhutani sebanyak 0,875 ton. Jumlah bahan baku gomdorukem (getah pinus) berpengaruh nyata terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani pada taraf 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pasokan bahan baku sangat berpengaruh terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani. Apabila terjadi hambatan pada produksi getah pinus maka produksi gondorukem akan menurun. Dugaan untuk nilai elastisitas peubah jumlah bahan baku gondorukem 0,875. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah bahan baku gondorukem sebesar 1 persen maka akan meningkatkan jumlah produksi gondorukem sebesar 0,875 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa harga domestik gondorukem bersifat inelastis, sehingga jumlah produksi gondorukem
tidak
responsif
terhadap
perubahan
jumlah
bahan
baku
gondorukem. c. Harga domestik bahan baku gondorukem (getah pinus) (PBB) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa koefisien peubah harga bahan baku gondorukem tidak sesuai dengan dugaan yang diharapkan menurut hipotesa yaitu negatif. Hasil koefisien dari jumlah bahan baku gondorukem bernilai positif yaitu sebesar 0,0520, artinya peningkatan harga bahan baku gondorukem yaitu getah pinus sebesar Rp 1,- akan menyebabkan peningkatan
produksi gondorukem sebesar 0,0520 ton, ceteris paribus. Hasil dugaan yang tidak sesuai dengan hipotesis dapat disebabkan karena harga getah pinus dapat dipengaruhi oleh kualitas getah pinus yang disadap, jarak antara rumah dengan hutan pinus yang telah dikurangi oleh spilasi dan upah setor getah yang dipengaruhi oleh upah angkut (Jariyah, 2005). Spilasi adalah proses kehilangan getah karena proses penguapan pada waktu getah berada di Tempat pengumpulan Getah (TPG) dan adanya sisa-sisa getah pada tempat getah setelah getah dimasukkan atau dikumpulkan di TPG. Namun demikian harga domestik bahan baku gondorukem berpengaruh nyata sebesar 25 persen terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani. Hal ini menunjukkan bahwa Perum Perhutani selaku satu-satunya produsen dalam negeri yang memproduksi gondorukem tetap akan memproduksi gondorukem meskipun harga bahan baku gondorukem tinggi. Dugaan nilai elastisitas harga bahan baku gondorukem yaitu getah pinus terhadap produksi gondorukem sebesar 0,0520. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga getah pinus sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi gondorukem sebesar 0,0520 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa harga getah pinus bersifat inelastis sehingga produksi gondorukem tidak responsif terhadap perubahan harga getah pinus. d. Harga ekspor gondorukem (PXGR) Tanda
positif
koefisien harga ekspor gondorukem
sebesar 0,142
menunjukkan bahwa peningkatan harga ekspor sebesar 1 US Dollar maka akan meningkatkan jumlah produksi gondorukem sebesar 0,142 ton, ceteris paribus. Harga ekspor gondorukem berpengaruh nyata pada taraf 25 persen. Hal ini berarti Perum Perhutani akan lebih banyak produksi gondorukem apabila harga ekspor gondorukem meningkat.
Dugaan nilai elastisitas harga ekspor gondorukem terhadap produksi gondorukem sebesar 0,142 menunjukkan bahwa peningkatan harga ekspor gondorukem sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah produksi gondorukem sebesar 0,142 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa harga ekspor gondorukem inelastis, sehingga produksi gondorukem tidak responsif terhadap perubahan harga ekspor gondorukem. e. Luas hutan pinus (LHP) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa koefisien luas hutan pinus sebesar - 0,0399 arti jika luas hutan meningkat sebesar satu hektar maka produksi gondorukem akan menurun sebesar 0,0399 ton per hektar. Hasil dari koefisien regresi ini berlawanan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa jika luas hutan pinus meningkat maka produksi gondorukem akan meningkat pula. Hal ini disebabkan karena dari keseluruhan luasan hutan pinus yang dikelola oleh Perum Perhutani, tidak seluruhnya disadap untuk diambil getahnya. Dari luasan hutan pinus tersebut ada pohon-pohon pinus yang belum layak atau belum memasuki umur untuk disadap getahnya. Selain itu faktor cuaca dan keterampilan penyadap yang kurang ahli juga mengurangi jumlah getah yang dihasilkan. Pohon pinus yang disadap adalah pohon yang memiliki produktivitas yang tinggi yang memiliki umur antara 10 hingga 35 tahun. Jika pohon yang belum masuk dalam fase produktif dipaksa untuk diambil getahnya, maka hasil getah yang didapat akan sedikit. Selain itu juga membuat umur pohon pinus menjadi lebih pendek. Pohon pinus yang telah melewati umur 35 tahun maka akan dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan atau bahan pembuatan korek api. Dugaan nilai elastisitas luas hutan pinus Perhutani terhadap produksi gondorukem sebesar - 0,0399 menunjukkan bahwa peningkatan luas hutan pinus Perhutani sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah produksi gondorukem
sebesar 0,0399 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa luas hutan pinus Perhutani inelastis, sehingga produksi gondorukem tidak responsif terhadap perubahan luas hutan pinus Perhutani. Peubah berupa luas hutan pinus Perhutani tidak berpengaruh nyata pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani. Hal ini berarti, Perum Perhutani tetap akan memproduksi gondorukem meskipun luas hutan pinus berkurang karena Perum Perhutani dapat menyadap pohon pinus yang sudah memasuki umur sadap yaitu umur 10 tahun, namun belum disadap. f.
Dummy” Kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) (DJPT) Hasil dugaan peubah dummy kebijakan Jatah Tebangan berpengaruh
negatif terhadap persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani. Koefisien dugaan peubah “Dummy” Kebijakan Jatah Tebangan sebesar - 0,115. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan akan menurunkan produksi gondorukem sebesar 0,115 ton, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa dengan adanya kebijakan Jatah Poduksi Tebangan (JPT) maka akan menurunkan produksi gondorukem. Kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) tidak berpengaruh nyata pada taraf 1 pesen, 5 persen, 10 persen dan 25 persen terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani. Hal ini menunjukkan Perum perhutani tetap akan memproduksi gondorukem walaupun sudah diberlakukannya kebijakan Jatah Produksi Tebangan. Gondorukem tetap diproduksi karena masih tersedianya bahan baku gondorukem, yaitu getah pinus. walaupun jumlah getah pinus yang dihasilkan lebih kecil yaitu sebesar 72.540 ton pada tahun 2005 dibandingkan sebelum adanya Kebijakan Jatah Produksi Tebangan yaitu sebesar 87.157 ton pada tahun 2003 (Perum Perhutani, 2007).
g. Dummy Larangan Ekspor kayu Bulat (DLKB) Hasil dugaan peubah dummy Larangan Ekspor kayu Bulat berpengaruh positif terhadap persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa dengan adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat maka akan meningkatkan ekspor hasil hutan non kayu khususnya gondorukem. Koefisien dugaan peubah “Dummy” Larangan Ekspor kayu Bulat sebesar 0,177. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya larangan ekspor kayu bulat maka akan meningkatkan produksi gondorukem sebesar 0,177 ton, ceteris paribus. Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat (LKB) berpengaruh nyata pada taraf 10 persen terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani. Hal ini menunjukkan bahwa semenjak diberlakukannya Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat (LKB), mendorong pemerintah untuk meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu (HHBK), yaitu gondorukem. 6.1.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah dikeluarkannya peubah Dummy Krisis Ekonomi dan lag ekspor
gondorukem Perum Perhutani supaya tidak terjadinya asumsi multikolinearitas, maka persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani (XG) dipengaruhi oleh penjualan domestik gondorukem (SDO), produksi domestik gondorukem (QPDG), harga ekspor gondorukem (PXGR), harga domestik gondorukem (PDOG) dan nilai tukar rupiah (ER). Adapun model persamaan regresi yang dihasilkan sebagai berikut: lnXG = 3.01 – 0,124 lnSDO + 1,40 FITS1 (QPDG) – 0,920 lnPXGR – 0,286 lnPDOG + 0,377 lnER
Tabel 12. Parameter Dugaan Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Peubah lnSDO lnQPDG (A) lnPXGR lnPDOG ER (B) DW F-hitung R-sq (adj) A B C D
: nyata taraf 1 persen : nyata taraf 5 persen : nyata taraf 10 persen : nyata taraf 25 persen
Sumber
: hasil pengolahan
Koefisien
t-hitung
– 0,124 1,40 – 0,920 – 0,286 0,377
-0,53 7,05 -2,12 -1,59 2,27 = 1,40589 = 65,08 = 92,8
Hasil dugaan persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani menunjukkan bahwa 92,8 persen dapat dijelaskan oleh penjualan domestik gondorukem (SDO), produksi domestik gondorukem (QPDG), harga ekspor gondorukem (PXGR), harga domestik gondorukem (PDOG) dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Pada model regresi terpilih yaitu model double log menunjukkan bahwa hasil uji statistik F- hitung yaitu 65,08 lebih besar dibanding dengan F-tabel yaitu 2,16 pada taraf nyata 1 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa secara bersama-sama peubah-peubah penjelas dalam model sangat berpengaruh nyata terhadap produksi gondorukem Indonesia pada taraf nyata 1 persen (Tabel 12). Berdasarkan hasil uji t statistik, peubah-peubah yang diduga berpengaruh sangat nyata terhadap penawaran ekspor gondorukem Indonesia yaitu peubah jumlah produksi gondorukem (QPDG) pada taraf 1 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (ER) pada taraf 5 persen. Seberapa besar pengaruh peubah-peubah bebas dalam model terhadap penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani, dijelaskan dalam uraian berikut:
a. Penjualan Domestik Gondorukem (SDO) Hasil regresi menunjukkan bahwa parameter koefisien peubah penjualan domestik gondorukem sesuai dengan hipotesis yaitu – 0,124. Artinya bahwa setiap peningkatan 1 ton penjualan domestik gondorukem maka akan menurunkan penawaran ekspor gondorukem sebesar
0,124 ton ke pasar
internasional, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga gondorukem di pasar domestik lebih tinggi maka Perum Perhutani lebih memilih untuk menjual gondorukem di pasar domestik. Hasil dugaan elastisitas peubah penjualan domestik gondorukem sebesar – 0,124. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan penjualan domestik gondorukem sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penawaran ekspor gondorukem
sebesar
0,124
persen.
Dugaan
nilai
elastisitas
tersebut
menunjukkan bahwa penjualan domestik gondorukem inelastis, sehingga penawaran ekspor gondorukem tidak responsif terhadap penjualan domestik gondorukem. Penjualan domestik gondorukem tidak berpengaruh nyata pada taraf 1 persen, 5 persen, 10 persen dan 25 persen. Hal ini menunjukkan penawaran ekspor gondorukem lebih dipengaruhi oleh faktor lain yaitu tersedianya gondorukem di dalam negeri. Selain itu meskipun penjualan domestik meningkat, Perum Perhutani tetap akan menawarkan ekspor gondorukem di pasar internasional, walaupun jumlah yang ditawarkan ke pasar internasional lebih rendah. Seperti yang terjadi pada tahun 1999, jumlah penjualan gondorukem dalam negeri meningkat 24,96 persen dari tahun sebelumnya, sehingga jumlah volume ekspor pun menurun, namun tidak cukup berarti yaitu sebesar 1,74 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan harga di pasar internasional meningkat menjadi US$ 469,8 per ton dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar US$ 431,4.
b. Produksi Domestik Gondorukem (QPDG) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa koefisien peubah produksi domestik gondorukem sesuai dengan dugaan yang diharapkan menurut hipotesa yaitu 1,40. Artinya peningkatan produksi domestik gondorukem sebesar 1 ton akan menyebabkan peningkatan penawaran ekspor gondorukem sebesar 1,40 ton, ceteris paribus. Dugaan
nilai
elastisitas
produksi
domestik
gondorukem
terhadap
penawaran gondorukem sebesar 1,40. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produksi sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penawaran ekspor gondorukem sebesar 1,40 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa produksi domestik gondorukem elastis, sehingga penawaran ekspor gondorukem responsif terhadap perubahan produksi domestik gondorukem. Produksi domestik gondorukem berpengaruh nyata pada taraf 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan gondorukem akan mempengaruhi jumlah gondorukem yang akan ditawarkan di pasar internasional. Apabila produksi gondorukem tidak tersedia maka Perum Perhutani tidak dapat menawarkan gondorukemnya di pasar internasional. c. Harga Ekspor Gondorukem (PXGR) Teori ekonomi menyatakan bahwa setiap peningkatan harga ekspor gondorukem maka akan meningkatkan penawaran ekspor gondorukem ke pasar internasional. Hasil regresi menunjukkan bahwa pada model penawaran ekspor gondorukem tidak sesuai dengan harapan yaitu memiliki tanda negatif pada koefisien harga ekspor gondorukem senilai – 0,920. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga ekspor sebesar 1 US Dollar maka akan menurunkan jumlah penawaran ekspor gondorukem sebesar 0,920 ton, ceteris paribus. Keadaan seperti ini diduga akibat jumlah gondorukem yang ditawarkan Indonesia kalah bersaing dengan jumlah yang ditawarkan oleh China sehingga menyebabkan
harga gondorukem Indonesia di pasar internasional kurang memiliki daya tawar (bargainning position). Selain itu berdasarkan penelitian Astana S., Muttaqin.M.Z, dan Yuhono J.t. (2004) menyatakan bahwa Gondorukem memiliki keunggulan komparatif jika harga ekspornya menurun dari harga tertinggi US$ 437 per ton menjadi US$ 153 per ton atau menurun 64,99 persen. Dugaan nilai elastisitas harga ekspor gondorukem terhadap penawaran ekspor gondorukem sebesar – 0,920. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga ekspor gondorukem sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penawaran ekspor gondorukem sebesar 0,920 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa harga ekspor gondorukem inelastis, sehingga penawaran ekspor gondorukem tidak responsif terhadap perubahan harga ekspor gondorukem. Harga ekspor gondorukem tidak berpengaruh nyata pada taraf 1 persen, 5 persen, 10 persen dan 25 persen. Hal ini berarti, masih adanya faktor lain yang menyebabkan
meningkatnya
penawaran
ekspor
yaitu
jumlah
produksi
gondorukem dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Perum Perhutani tetap akan mengekspor gondorukem walaupun harga gondorukem di pasar internasional turun. Hal ini disebabkan pendapatan Perum Perhutani masih akan bertambah dibandingkan hanya menjual di dalam negeri. Pada tahun 2005, jika Perum Perhutani hanya menjual gondorukem di dalam negeri hanya akan mendapatkan pendapatan sebesar Rp 34.059.246.000,-, namun karena Perum Perhutani juga melakukan penjualan di pasar internasional maka Perum Perhutani mendapat tambahan pendapatan sebesar pendapatan sebesar US$ 16.887.420 atau Rp 16.600.333.860,-. d. Harga Domestik Gondorukem (PDOG) Harga domestik gondorukem memiliki tanda parameter yang sesuai dengan harapan yaitu – 0,286, artinya adalah peningkatan harga domestik
gondorukem Rp 1,- maka akan menurunkan penawaran gondorukem Perum Perhutani ke pasar internasional sebesar 0,286 ton. Dugaan untuk nilai elastisitas peubah harga domestik gondorukem sebesar – 0,286. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga domestik gondorukem sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penawaran ekspor gondorukem sebesar 0,286 persen. Dugaan nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa harga domestik inelastis, sehingga penawaran ekspor gondorukem tidak responsif terhadap perubahan harga domestik gondorukem. Harga domestik gondorukem tidak berpengaruh nyata pada taraf 1 persen, 5 persen, 10 persen dan 25 persen. Hal ini berarti, apabila harga domestik meningkat, Perum Perhutani tetap akan mengekspor gondorukem di pasar internasional. Hal ini dapat terjadi apabila harga ekspor di pasar internasional tinggi dan jumlah produksi gondorukem di Indonesia meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2002, harga domestik gondorukem meningkat sebesar 22,23 persen dari tahun sebelumnya namun penawaran ekspor gondorukem pun meningkat sebesar 23,86 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh produksi gondorukem dan harga gondorukem yang meningkat, masing-masing sebesar 14,40 persen dan 1,150 dari tahun sebelumnya. e. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika (ER) Nilai tukar memiliki tanda parameter yang sesuai dengan harapan yaitu 0,377, artinya adalah peningkatan nilai nominal rupiah terhadap dollar satu satuan akan meningkatkan volume penawaran ekspor gondorukem Indonesia sebanyak 0,377ton, cetris paribus. Dugaan untuk nilai elastisitas peubah nilai tukar rupiah terhadap Dollar sebesar 0,377. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga domestik gondorukem sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penawaran ekspor gondorukem
sebesar
0,377
persen.
Dugaan
nilai
elastisitas
tersebut
menunjukkan bahwa harga domestik inelastis, sehingga penawaran ekspor gondorukem tidak responsif terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap Dollar. Nilai tukar rupiah berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah merangsang peningkatan volume ekspor. Hal ini terjadi karena harga yang diterima eksportir dalam dollar ketika ditukar ke dalam rupiah nilainya menjadi besar, ketika hal ini terjadi maka logikanya eksportir akan melakukan peningkatan terhadap penawarannya. 6.4 Upaya untuk Meningkatkan Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Berdasarkan analisis estimasi diperoleh hasil bahwa produksi gondorukem Perum Perhutani dipengaruhi nyata pada taraf 1 persen oleh jumlah produksi bahan baku gondorukem, yaitu getah pinus (QBB), Dummy Larangan Ekspor Kayu Bulat (DLKB) berpengaruh nyata pada taraf 10 persen, harga bahan baku gondorukem yaitu getah pinus (PBB) dan harga ekspor gondorukem (PXGR) berpengaruh nyata pada taraf 25 persen. Produksi
gondorukem
dipengaruhi
oleh
ketersediaan
bahan
baku
gondorukem yaitu getah pinus. Produktivitas getah pinus pun dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu cuaca, umur tegakan, teknologi, cara penyadapan, waktu penyadapan, pengangkutan dan penyimpanan. Faktor lainnya adalah kuantitas dari getah pinus selain disebabkan karena keterbatasan sumber bahan baku, iklim serta teknologi dapat juga disebabkan karena produktivitas masyarakat yang terlibat dalam proses produksi. Musim sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi getah pinus. Musim hujan yang terus menerus dapat menyebabkan temperatur udara menjadi rendah dan kelembaban tinggi, sehingga getah yang mengalir akan cepat membeku. Musim kemarau akan memberikan produksi getah yang lebih tinggi
karena suhu udara akan meningkat dan kelembaban rendah. Selain itu sinar matahari yang masuk cukup, musim kemarau yang terus menerus pun mempunyai dampak yang kurang baik terhadap aliran getah karena aliran getah akan cepat mengering sehingga getah menjadi kering bahkan akan berhenti mengalir. Produksi getah juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Cuaca yang dingin dapat memperlambat aliran getah, sedangkan kelembaban juga dapat dipengaruhi oleh produksi getah maupun kualitas dan kuantitas. Berdasarkan SK Direksi Perhutani nomor 688/KPTS/DIR/1985, Perum Perhutani menggunakan metode kowakan untuk menyadap getah pinus. Padapenyadapan pinus dengan metode kowakan dikenal dua macam sadapan yaitu sadapan mati yang dilaksanakan pada pohon yang ditebang (penjarangan dan tebang habis) dan sadapan biasa yaitu yang dilaksanakan pada pohon mulai dari umur lebih dari 10 tahun.
Kowakan yang dibuat untuk kedua macam
sadapan tersebut sama yaitu tinggi 15 cm, lebar maksimum 6,5 cm dan kedalaman maksimum 4,5 cm. (Sumantri, 1991) sistem kowakan yang selama ini dilaksanakan menunjukkan hal-hal yang cukup rawan jika pengawasan yang melemah. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan yang melebihi ukuran, terutama kedalaman kowakan yang besar sehingga merusak batang kayu. Kerusakan ini akan mengakibatkan mudah tumbangnya pohon pada waktu terjadi musim hujan dan angin ribut. Fluktuasi produksi getah yang tidak stabil pada setiap musim kadangkadang sangat tajam yang mengakibatkan kurang teraturnya suplai pada pabrik begitu juga penghasilan para penyadap. Kecenderungan akibat ini adalah penyadap memperbesar luka sadap agar diperoleh hasil getah yang cukup banyak.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
Perum
Perhutani
adalah
perlunya
pengawasan kepada penyadap getah agar produktivitasnya dapat dipertahankan atau pun ditingkatkan serta penyuluhan dan sosialisasi kepada mandor dan para penyadap untuk mempertahan produksinya. Untuk meningkatkan volume sadapan upaya yang dapat dilakukan diantaranya pengawasan dan sosialisasi kepada para penyadap tentang teknik melakukan penyadapan yang benar, sehingga produksi getah dapat optimal tanpa harus merusak batang kayu. Dengan meningkatnya volume getah pinus maka getah pinus yang diolah dapat memenuhi kapasitas pengolahan getah pinus yang dimiliki oleh Perum Perhutani. Pada saat ini kapasitas pengolahan getah pinus yang dimiliki oleh Perum Perhutani sebesar 145.020 ton sedangkan jumlah produksi getah pinus pada tahun 2005 sebanyak 72.540 (Perum Perhutani, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa suplai getah pinus kurang memenuhi 49,98 persen kapasitas terpasang industri pengolahan getah yang ada. Artinya peningkatan produksi getah masih memungkinkan tanpa mengurangi nilai jual getah pinus ke mitra Perum Perhutani yaitu petani penyadap. Larangan ekspor kayu bulat juga mempengaruhi produksi gondorukem Perum Perhutani. Pada awalnya larangan ekspor log (kayu bulat) di Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah untuk memperoleh nilai tambah dari produk kayu olahan terutama kayu lapis. Namun kenyataannya bahwa larangan ekspor log Indonesia telah menyebabkan industri pengolahan kayu tumbuh secara inefisien Lindsay (1989) dalam Parnala (2004). Berdasarkan penelitian Manurung (1995) dalam Parnala (2004) juga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1981-1989 Indonesia kehilangan US$ 2,5 miliar dari ekspor log, kehilangan penerimaan pajak log sebesar US$1,2 miliar, kehilangan 14.000 lapangan pekerjaan. Hal ini tidak dapat dikompensasi oleh tambahan US$ 1,3 miliar dari ekspor kayu lapis dan US$ 0,8 miliar dari ekspor kayu gergajian, serta
tambahan 2.800 lapangan kerja baru di industri kayu lapis dan 1.600 di industri kayu gergajian. Berdasarkan penelitian Parnala (2004) diperoleh bahwa pemerintah mengalami kerugian akibat berkurangnya pajak ekspor akibat ekspor yang lebih rendah 773.553 m3 per tahunnya. Hal ini pemerintah merugi sebesar Rp 161,58 milyar selama pemberlakuan larangan ekspor kayu bulat atau Rp 11,54 milyar per tahun. Hal ini menunjukkan dengan adanya kebijakan ini mendorong pemerintah untuk memulai memperhatikan produksi hasil hutan bukan
kayu
khususnya
gondorukem,
sehingga
pemerintah
memperoleh
tambahan pendapatan yang berasal dari ekspor hasil hutan non kayu seperti gondorukem. Pada saat ini, kontribusi pendapatan Perum Perhutani berasal dari hasil hutan bukan kayu hanya 11,50 persen namun di masa yang akan datang kontribusi pendapatan pemerintah yang berasal dari hasil hutan bukan kayu akan terus meningkat dan tidak menutup kemungkinan menjadi lebih besar dibandingkan hasil hutan berupa kayu. Hal ini disebabkan kerusakan hutan yang semakin besar yaitu sebesar 1,6 juta hektar per tahun pada periode 1985-1997 menjadi 3,8 juta hektar per tahun pada periode 1997-2000. Hasil regresi juga menunjukkan bahwa harga getah pinus berpengaruh nyata terhadap produksi gondorukem Perum Perhutani. Namun, koefisien pada peubah tersebut tidak sesuai dengan dugaan yaitu berpengaruh positif, semakin tinggi harga getah pinus maka produksi gondorukem dapat meningkat. Upaya lain yang dapat dilakukan oleh Perum Perhutani adalah dengan melatih para penyadap getah pinus agar dapat menghasilkan getah pinus yang baik, yaitu kualitas A. Getah dikatakan kualitas A apabila getah tersebut mudah diaduk dan penampakan warnanya seperti contoh dasar getah mutu A, yaitu berwarna putih (Lampiran 3). Pada umumnya para penyadap getah pinus mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan yang memadai sehingga biasanya
mereka hanya berdasarkan pengalaman kecil dan secara tradisional. Dengan meningkatnya ketrampilan mereka dalam menyadap maka diharapkan jumlah pohon yang disadap meningkat dengan kualitas getah yang baik juga, sehingga pendapatan petani penyadap pun meningkat tanpa harus meningkatkan harga getah pinus. Upaya lainnya adalah melakukan sosialisasi kepada para penyadap untuk mengubah cara kerja para penyadap, yaitu pekerjaan menyadap sebagai pekerjaan utama, bukan sebagai pekerjaan sampingan. Hal ini disebabkan pekerjaan menyadap memberikan kontribusi yang lebih besar. Berdasarkan penelitian Jariah (2005) diperoleh bahwa para petani penyadap di desa Burat mempunyai pekerjaan pokok sebagai petani atau buruh tani. Para penyadap ini tidak memiliki sawah. Hasil pertaniannya hanya berasal dari tegal dan pekarangan yang hanya ditanami tanaman kelapa dan tanaman yang dikonsumsi sendiri. Penghasilan dari sektor pertanian rata-rata sebesar Rp 178.180,- per tahun. Pendapatan para penyadap berasal dari dari sektor peternakan. Pada umumnya jenis ternak yang dipelihara adalah sapi (14,7 persen), kambing (26,16 persen) dan ayam (59,15 persen). Ternak yang paling banyak dipelihara adalah ayam karena pemeliharaannya lebih mudah, yaitu diangon. Pendapatan rata-rata dari sektor ternak Rp 185.450,- per tahun. Pendapatan petani dari sektor lainnya sebesar Rp 8.440,- , sehingga rata-rata penghasilan diluar penyadap Rp 371.100,- per tahun. Pendapatan penyadap setelah melakukan kegiatan penyadapan getah meningkat menjadi Rp 963.660,per tahun. Begitu juga dengan penelitian Melany (2007) diperoleh bahwa penghasilan dari pekerja harian lepas PGT Sukun sudah melebihi dari besar UMR. Besarnya Upah Minimum Regional (UMR) kabupaten Ponorogo tahun 2006 Rp 405.000,-.
Perhutani juga memberikan semacam tunjangan untuk pekerja harian lepas sebesar 10 persen dari UMR. Sistem pembayaran upah pekerja harian lepas yang diterapkan oleh Perum Perhutani khususnya PGT Sukun adalah sistem borongan. Upah tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan. Upah membongkar getah Rp 1.867,- , upah menuang getah ke bak penampung adalah Rp 1.311,- , upah mengisi dan mengatur gondorukem Rp 2.500,-. Penghasilan tenaga kerja harian lepas tergantung dari penerimaan getah per hari. Semakin banyak penerimaan getah PGT (Pabrik Gondorukem dan Terpentin) Sukun dari tiap TPG (Tempat Pengumpulan Getah) maka menghasilkan banyak gondorukem. Penghasilan pekerja di PGT Sukun sesuai dengan pekerjaannya berkisar antara Rp 440.000,hingga Rp 460.000,- per bulan atau rata-rata berkisar Rp 450.000,- per bulan. Pada saat ini China menjadi penentu harga gondorukem dunia karena merupakan negara produsen terbesar gondorukem dunia. Pada tahun 2005, China mampu menghasilkan gondorukem sebanyak 640 ribu ton dengan harga gondorukem US$800 per ton hingga US$900 per ton Freight On Board (FoB). sedangkan Indonesia merupakan negara kedua produsen gondorukem yaitu sebesar 46.674 ton dengan harga US$ 511,2 per ton. Harga ekspor gondorukem juga mempengaruhi produksi gondorukem Perum Perhutani. kebijakan yang dapat diambil mengenai harga gondorukem Indonesia di pasar internasional adalah dengan melakukan kerjasama dengan beberapa negara eksportir gondorukem sehingga memiliki bargainning position yang kuat. Upaya yang sudah dilakukan Perum Perhutani adalah melakukan kolaborasi perdagangan gondorukem dengan China untuk ekspor gondorukem mengingat China merupakan negara produsen terbesar gondorukem dunia. Selain itu upaya yang dapat dilakukan adalah menjaga kualitas gondorukem, sehingga harga gondorukem Indonesia di pasar internasional dapat meningkat.
Hasil
estimasi
penawaran
ekspor
gondorukem
Perum
Perhutani
dipengaruhi oleh kuantitas produksi gondorukem (QPDG) pada taraf 1 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika pada taraf 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gondorukem harus selalu ada. Namun demikian produksi gondorukem tidak terlepas dari ketersediaannya getah pinus, sehingga upaya terakhir yang dapat dilakukan Perum Perhutani agar dapat meningkatkan produksi gondorukem adalah dengan mendatangkan getah pinus yang berasal dari Sumatra, Bali dan Sulawesi sehingga tidak hanya dari Pulau Jawa. Selama ini getah pinus yang berasal dari Sumatra tidak diolah menjadi gondorukem, namun langsung dijual untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri dan di luar negeri. Pada saat ini Perum Perhutani sedang melakukan ekspansi ke beberapa daerah yang tumbuh Pinus merkusii dan menghasilkan getah pinus. Dengan upaya tersebut maka diharapkan produksi gondorukem meningkat, sehingga penawaran ekspor gondorukem pun meningkat. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika pun berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor. Hal ini terjadi karena nilai rupiah terhadap dollar Amerika terdepresiasi, sehingga harga gondorukem yang diterima eksportir dalam dollar Amerika ketika ditukar ke dalam rupiah nilainya menjadi besar. Ketika hal ini terjadi maka eksportir akan melakukan peningkatan terhadap penawarannya.
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa produksi gondorukem Perum Perhutani dipengaruhi oleh jumlah produksi bahan baku gondorukem, yaitu getah pinus, kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat, harga bahan baku gondorukem yaitu getah pinus dan harga ekspor gondorukem, sedangkan, harga domestik gondorukem, luas hutan pinus dan Kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan (JPT) tidak mempengaruhinya. Penawaran ekspor gondorukem dipengaruhi oleh jumlah produksi gondorukem dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, sedangkan penjualan domestik gondorukem, harga ekspor gondorukem dan harga domestik gondorukem tidak mempengaruhinya. Perum Perhutani harus menjaga kualitas gondorukem, yaitu lebih tahan panas, lebih lengket dan memiliki aroma khas yang lebih wangi , meningkatkan produksi dan menjaga kontinuitas produksi gondorukem agar harga gondorukem Indonesia memiliki bargaining position yang kuat di pasar internasional dengan cara pengawasan kepada penyadap getah agar produktivitasnya dapat dipertahankan ataupun ditingkatkan serta penyuluhan dan sosialisasi kepada mandor dan para penyadap untuk mempertahankan produksinya. Untuk meningkatkan volume sadapan upaya yang dapat dilakukan diantaranya pengawasan dan sosialisasi kepada para penyadap tentang teknik melakukan penyadapan yang benar. Penyadapan yang benar adalah tidak melebihi standar kedalaman menyadap, maksimum 4,5 cm, sehingga produksi getah dapat optimal tanpa harus merusak batang kayu. Dengan meningkatnya volume getah pinus maka getah pinus yang diolah dapat memenuhi kapasitas pengolahan getah pinus yang dimiliki oleh Perum Perhutani.
Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat, berpengaruh positif terhadap produksi
gondorukem,
sehingga
mendorong
pemerintah
untuk
memulai
memperhatikan produksi hasil hutan bukan kayu khususnya gondorukem. Produksi hasil hutan bukan kayu khususnya gondorukem meningkat maka pemerintah memperoleh pendapatan tambahan selain yang berasal dari hasil hutan berupa kayu. Perum Perhutani perlu melatih para penyadap getah pinus agar dapat menghasilkan getah pinus yang baik, yaitu kualitas A, yaitu tidak mengandung banyak kotoran. Dengan meningkatnya ketrampilan mereka dalam menyadap maka diharapkan jumlah pohon yang disadap meningkat dengan kualitas getah yang baik juga, sehingga pendapatan petani penyadap pun meningkat tanpa harus meningkatkan harga getah pinus, serta melakukan sosialisasi kepada para penyadap untuk mengubah cara kerja para penyadap, yaitu pekerjaan menyadap sebagai pekerjaan utama, bukan sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama para petani penyadap pinus sebelumnya adalah beternak ayam dan bertani. Produksi gondorukem tidak terlepas dari ketersediaannya getah pinus, sehingga upaya terakhir yang dapat dilakukan Perum Perhutani agar dapat meningkatkan produksi gondorukem sehingga dapat meningkatkan penawaran ekspor adalah dengan mendatangkan getah pinus yang berasal dari Sumatra, Bali dan Sulawesi sehingga tidak hanya dari Pulau Jawa karena selama ini getah pinus yang berasal dari Sumatra, Bali dan Sulawesi tidak diolah menjadi gondorukem. Berdasarkan hasil regresi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor. Nilai tukar rupiah terhadap dollar melemah merangsang peningkatan volume ekspor, karena harga gondorukem di negara pengimpor menjadi murah.
7.2 Saran 1. Perum Perhutani perlu sosialisasi dan pelatihan kepada para mandor dan penyadap getah pinus tentang cara menyadap yang benar, yaitu tidak merusak kayu dan menghasilkan getah pinus berkualitas A, yaitu berwarna putih. Perlu adanya pengawasan kepada penyadap getah pinus agar petani penyadap tidak menyadap kayu melebihi standar kedalaman menyadap yaitu sedalam 4,5 cm produksi getah meningkat dan kontinuitas getah pinus terjaga sehingga produksi meningkat dan akan mempengaruhi penawaran ekspor gondorukem. 2. Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat harus terus dijalankan, mengingat setelah
adanya
kebijakan
tersebut
berpengaruh
terhadap
produksi
gondorukem sehingga pemerintah khususnya Perum Perhutani memperoleh tambahan
pendapatan
dari
hasil
hutan
bukan
kayu,
khususnya
gondorukem. 3. Kebijakan Jatah Produksi Tebangan Tahunan masih dapat dilaksanakan asalkan pemerintah memperbanyak jumlah pohon pinus yang dapat disadap khususnya pohon yang masih menghasilkan getah pinus yaitu umur pinus yang lebih dari 10 tahun dan juga pinus yang seharusnya ditebang yaitu umur 35 tahun, namun karena adanya Kebijakan Jatah Produksi Tebangan maka pohon pinus diperpanjang umur sadapnya menjadi 50 tahun. Pinus yang dapat disadap adalah yang berada di kawasan hutan yang dibatasi jumlah produksi tebangan, tanpa merusak kayu mengingat hasil kayu memberikan nilai jual yang tinggi. 4. Perum Perhutani perlu mempromosikan gondorukem produksi Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif yaitu lebih tahan panas, lebih lengket dan memiliki aroma khas yang lebih wangi dan harga yang lebih murah. Hal tersebut dilakukan agar gondorukem Indonesia dapat bersaing dengan
gondorukem
produksi
China
yang
merupakan
negara
penghasil
gondorukem terbesar di dunia.
5. Pada penelitian ini hanya membahas faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor gondorukem tanpa memperhatikan negara tujuan. Untuk itu perlu adanya penelitian lebih lanjut yang membahas aliran perdagangan gondorukem berdasarkan negara tujuan untuk melihat. Hal ini untuk memperluas pangsa pasar gondorukem, yang selama ini pangsa pasar utama gondorukem Perum Perhutani adalah India, namun masih kalah dengan china.
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Sri. 2005. Analisis Analisis Ekonomi Perkembangan Ekspor Pulp dan kertas Indonesia dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Departemen Ilmu ekonomi dan studi pembangunan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Astana S., Muttaqin.M.Z, dan Yuhono J.t., 2004. Keunggulam Komparatif Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan tanaman (Studi Kasus Minyak Kayu Putih, Gondorukem dan Terpentin). Jurnal Penelitian Sosial ekonomi kehutanan Vol 1, No. 1 Agustus 2004, hal : 31-44. Bogor Badan Pusat Statistika. 2006. Statistik Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik. Jakarta Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Ramin dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Rapat Kerja. Jakarta Fakultas Pertanian Universitas sebelas Maret. 1996. Kajian Teknis Ekonomi Pengolahan Gondorukem Dalam Rangka Peningkatan Nilai Tambah (Studi Kasus di PGT Panggaran dan PGT Cimanggu) Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Republik Indonesiadan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Jakarta/Surakarta Gujarati, Damodar. 2000. Ekonometrika Dasar. Alih bahasa : Sumarno Zain. Erlangga. Jakarta Hanke, John E, Dean W. Wighern dan Arthur G.Reitsgh. 2003. Peramalan Bisnis. Edisi Ketujuh. PT Prenhallindo. Jakarta Jariyah, Nur Ainun. 2005. Peranan Pendapatan Dari Penyadapan Getah Pinus Merkusii terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Burat, RPH Gebang, BKPH Purworejo, KPH Kedu Selatan, Propinsi Jawa tengah. Jurnal Penelitian Sosial ekonomi kehutanan Vol.2, no.3 September 2005, Hal : 269-277 Kamilla, Helmi. 2004. Analisis Biaya produksi Pengolahan Getah Pinus Di Pabrik Gondorukem dan Terpentin Cimanggu KPH Banyumas Barat (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas kehutanan. Institut Pertanian Bogor Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second edition. The Macmillan Press Ltd. United Kingdom
Lipsey, Richard G. 1995. Pengantar Mikro Ekonomi. Jilid 1. edisi kesepuluh. Binarupa Aksara. Jakarta Mamlukat, 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Ekspor Karet Alam Indonesia. Skripsi. Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Melany, Intan., 2007. Analisis Aspek Pemasaran dan Sosialisasi Ekonomi Perusahaan Gondorukem dan Terpentin (Studi Kasus PGT Sukun Kesatuan Bisnis Mandiri Industri Non Kayu Perum Perhutani Unit II Jawa Timur). Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Nicholson,Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya; Alih Bahasa, Ign Bayu Mahendra, Abdul Aziz, Yati Sumiharti, Nurcahyo Mahanani. Edisi kedelapan. Erlangga. Jakarta Perum Perhutani. 1985. Buku Statistik Tahun 1980-1984. Perum Perhutani. Jakarta ________ . 1989. Buku Statistik Tahun 1983-1987. Perum Perhutani. Jakarta ______ _ . 1991. Buku Statistik Tahun 1987-1991. Perum Perhutani. Jakarta ________ . 1996. Statistik Tahun 1991-1995. Perum Perhutani. Jakarta ________ . 2000. Statistik Tahun 1995-1999. Perum Perhutani. Jakarta ________ . 2001. Statistik Tahun 1996-2000. Perum Perhutani. Jakarta ________ . 2004. Statistik Tahun 1999-2003. Perum Perhutani. Jakarta ________ .2005. Statistik Tahun 2000-2004. Perum Perhutani. Jakarta ________ .2007. Statistik Tahun 2001-2005. Perum Perhutani. Jakarta
Parnala, Mona. 2004. Dampak Kebijakan Larangan Ekspor log Terhadap Illegal Logging. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB
Pradana, Aditya Agung. 2006. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Plywood di Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi VII. Cetakan III. Penerbit Erlangga. Jakarta Setiawan, Trisnandar. 2005. Analisis Ekspor Teh Hitam Indonesia. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Silitonga, T., Sumadiwangsa, S., Nayasaputra, S. 1973. Pengolahan dan Pengawasan Kwalitas Gondorukem dan Terpentin. Laporan no. 9 Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor Subarudi, Ngaloken,G., Sumadiwangsa, S. 2005. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung: Kemungkinan Penyadapan Getah Pinus Di Hutan Lindung. Jurnal Analisis Kebijakan volume 2 nomor 2. Hal 101-103. Bogor Sumantri, Ishak. 1991. Perbaikan Sistem Penyadapan Getah Pinus Untuk Meningkatkan Hasil Getah. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan volume VII Nomor 2 September. Bogor SNI. 2001. Gondorukem. Badan Standarisasi Nasional ________ 2001. Getah Tusam. Badan Standarisasi Nasional Subarudi dan Mega Lugina, 2006. Teknologi Budidaya pemanfaatan dan pengembangan Hsil Hutan Bukan Kayu. Penyunting: Entet S. Sumadiwongso dan Gusmalina. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor Syafitri, Ely. 2006. Studi Peramalan Gondorukem Perum Perhutani. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lampiran 1 Gambar Komoditas Gondorukem
Lampiran 2 Persyaratan Umum Gondorukem di Indonesia Persyaratan Umum Gondorukem Satuan
1)
2)
Warna
-
Tidak berwarna hitam
-
Pecahan
-
Pecah seperti kaca
-
C
Indikator
Titik leleh
0
750C
-
Titik cair
0
C
1200C-1350C
-
Berat Jenis
-
1,045-1,085
-
Bilangan asam
-
150-175
160-190
Bilangan ester
-
720
-
Bilangan penyabunan
-
160-190
170-220
bilangan iod
-
118-190
25-26
Bagian tak bersabun
%
4-9%
-
-
80-99
-
Kelarutan dalam petroleum ester sumber: 1. Silitonga, T., Sumadiwangsa, S., Nayasaputra, S. (1973) 2. SNI (2001)
Lampiran 3 Persyaratan Khusus Mutu Gondorukem di Indonesia Indikator
Satuan
Persyaratan Khusus
Mutu
U
P
D
T
Warna
X
WW
WG
N
Titik Lunak
0
C
≥ 78
≥ 78
≥76
≥74
Kadar Kotoran
%
≤0,02
≤0,05
≤0,07
≤0,08
Kadar abu
%
≤0,01
≤0,04
≤0,05
≤0,08
Komponen menguap
%
≤2
≤2
≤2,5
≤3
Sumber : . SNI (2001) dalam Syafitri (2006) Keterangan: 1) U : Kualitas Utama; X : Ekstra; P: Kualitas Utama; WW: Water White; D: Kualitas Kedua; WG : Window Glass; T : Kualitas Ketiga; N : Nancy 2) Titik Lunak : suhu saat gondorukem menjadi lunak diukur dengan cincin dan bola 0 (softening point ring and ball apartus dinyatakan dalam derajat Celsius ( C); warna gondorukem : warna yang ditetapkan dibandingkan dengan warna standar lavibond; Bilangan asam : banyaknya kalium hidrosida dalam milligram untuk menetralkan satu gram lemak yang terkandung dalam senyawaan gondorukem; Bilangan penyabunan: banyaknya kalium hidroksida dalam miligram untuk menyabunkan satu gram lemak baik asam lemak bebas maupun terikat yang terkandung dalam senyawaan gondorukem; Bilangan iod: suatu bilangan yang menunjukkan banyaknya ikatan rangkap yang terkandung dalam komponen gondorukem : kadar kotoran: jumlah bahan yang tidak larut dalam toluol pada kondisi tertentu, dinyatakan dalam persen (%)
Lampiran 4 . Syarat Mutu Getah Tusam/ Pinus Standar Nasional Indonesia SNI 01-5009.4-2001 GETAH TUSAM 1. Ruang lingkup Standar ini digunakan sebagai pedoman pengujian Getah Tusam (Pinus sp.) yang diproduksi maupun yang beredar di Indonesia. 2. Acuan normatif Pedoman Sortasi Mutu dan Pengukuran Berat Getah Pinus. (Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 896/Kpts/Dir/1999 tanggal 08 Nopember 1999. 3. Istilah, definisi, simbol dan singkatan istilah 3.1. Getah Tusam Zat cair pekat dari pohon Tusam (Pinus sp.) yang diperoleh dengan cara penyadapan . 3.2. Kadar Air Jumlah air yang terdapat dalam getah yang terikat secara emulsi maupun yang terlarut dalam getah. 3.3. Kadar Kotoran Benda lain yang tercampur dalam getah misalnya tatal kayu, daun, kulit tusam, tanah dan lain lainnya. Benda ini tidak larut dalam toluol atau pelarut lain. 3.4. Pabrik Gondorukem dan Terpentin (PGT) Tempat pengolahan getah tusam menjadi gondorukem dan terpentin . 3.5. Tempat Pengumpulan Getah (TPG) Tempat pengumpulan getah tusam dari penyadap sebelum dikirim ke PGT . 3.6. Warna Kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya . 4. Klasifikasi mutu Getah Tusam dibagi dalam dua kelas mutu, yaitu : 4.1. Mutu A dengan tanda mutu A pada dokumen dan kemasan. 4.2. Mutu B dengan tanda mutu B pada dokumen dan kemasan. 5. Syarat Mutu Syarat mutu getah Tusam dapat dilihat berikut : Tabel 1. Syarat mutu Getah Tusam Mutu
No
Karakteristik
Satuan
A
B
1
Kadar Air
%
<3
<3
2
Kadar Kotoran
%
< 2,0
2,1 – 5,0
3
Warna
-
Putih
Putih sampai keruh kecoklat – coklatan
6. Cara Uji
6.1. Uji Visual 6.1.1. Prinsip Pengujian dilakukan dengan cara kasat mata. 6.1.2. Bahan 6.1.2.1. Contoh standar getah mutu A. 6.1.2.2. Contoh standar getah mutu B. 6.1.3. Peralatan Tongkat dari kayu atau bambu. 6.1.4. Tempat Pengujian Pengujian getah dilakukan di TPG dan PGT. 6.1.5. Prosedur Kerja Pengujian a. b. c. d. e. f. g.
Sebelum dilakukan pengujian, buanglah air yang berlebih. Aduk getah yang ada di dalam drum dengan tongkat sampai ke dasar drum hingga merata, kemudian tongkat diangkat. Cocokkan penampakan warna getah yang melekat pada tongkat dengan contoh standar getah mutu A atau mutu B. Apabila getah mudah diaduk dan penampakan warnanya seperti contoh standar getah mutu A, maka getah tersebut ditetapkan sebagai getah mutu A. Apabila getah tidak mudah diaduk dan penampakan warnanya seperti contoh standar getah mutu B, maka getah tersebut ditetapkan sebagai getah mutu B. Apabila getah tidak mudah diaduk tetapi penampakan warnanya seperti contoh standar getah mutu A, maka getah tersebut ditetapkan sebagai getah mutu B. Bila getah tidak mudah diaduk dan penampakan warnanya tidak sama atau lebih jelek dari contoh standar getah mutu B, maka getah tersebut “Tidak diterima“ (Tolak Uji).
6.2. Uji Laboratoris 6.2.1. Prinsip Pengujian dilakukan secara laboratoris. 6.2.2. Bahan Toluol teknis atau pelarut sejenis. 6.2.3. Peralatan a. b. c. d. e. f.
Ember plastik atau wadah lain yang tidak terkontaminasi. Tongkat yang tidak terkomintasi. Saringan ukuran 200 mesh. Corong plastik diameter 15 cm. Gelas ukur 250 cc. Timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,1 gram.
6.2.4. Pengambilan Contoh Cara pengambilan contoh sesuai SNI 19-0429-1998 tentang Petunjuk pengambilan contoh cairan dan semi padat. 6.2.5. Prosedur Kerja Pengujian 6.2.5.1. Uji Kadar Kotoran a. b. c. d. e.
Timbang contoh getah tusam sebanyak + 1 kg ( a ) dalam ember plastik (wadah lain) yang telah diketahui beratnya. Tambahkan toluol teknis atau pelarut sejenis sebanyak 3 liter, lakukan pengadukan hingga getah tersebut larut. Timbang saringan 200 mesh ( b ). Lakukan penyaringan dan tampung cairan filtrasi pada ember lain. Timbang saringan dan kotoran ( c ).
f. g. h. i.
Hitung kadar kotoran dengan rumus : c-b Kadar kotoran = ------- x 100% a
6.2.5.2. Uji Kadar Air a. b. c. d. e. f. g.
Larutan filtrasi pada pengujian kadar kotoran getah dibiarkan selama + 30 menit agar terjadi pemisahan antara air dan larutan getah. Tuangkan larutan getah pada tempat lain. Tuangkan air kedalam gelas ukur 250 cc dengan menggunakan corong plastik (alat lain), biarkan mengendap dan baca larutan air pada gelas ukur ( d ). Hitung kadar air dengan rumus : d Kadar air = ------- x 100% a
6.3. Syarat Lulus Uji Getah tusam dianggap lulus uji, apabila semua syarat mutu getah tusam telah dipenuhi. 6.4. Pembuatan Contoh Standar Getah 6.4.1. Contoh standar getah diambilkan dari getah tusam yang dipastikan telah memenuhi persyaratan sesuai dengan mutunya. 6.4.2. Contoh standar getah dimasukkan ke dalam botol warna jernih dengan volume 250 cc dan ditutup rapat, kemudian diberi label. Apabila contoh getahnya berasal dari getah mutu A, maka diberi tanda “Mutu A” dan apabila berasal dari contoh getah mutu B, maka diberi tanda “Mutu B” dan selanjutnya disegel dengan lak. 6.4.3. Pada label tersebut ditetapkan masa berlakunya (mulai tanggal s/d tanggal) untuk masa 1 tahun. 6.4.4. Pembaharuan contoh standar getah dilakukan sebelum masa berlakunya habis. 7. Pengemasan dan penandaan 7.1. Pengemasan Getah tusam dikemas dalam drum yang tidak berkontaminasi dengan getah yaitu drum fiber ukuran 120 kg atau 200 kg, dilengkapi tutup agar tidak kemasukan air dan kotoran. 7.2. Penandaan Getah tusam yang telah diuji, pada kemasannya dicantumkan : 7.2.1. Asal Getah 7.2.2. Tanda Mutu 7.2.3. Berat Bersih Sumber : SNI. 2001. Getah Tusam. Badan Standarisasi Nasional
Lampiran 5 Daftar Agen Hasil Industri Non Kayu Perum Perhutani Tahun 2007
1. KAPSCO PRIVATE LTD = PT DUTA PERMATA MURNI #10-02 United Square Pintu Air Raya No. 36 E 101 Thomson road PO.BOX 2627 SINGAPORE 307591 Jakarta 10710 Tel : 65-6253 5332 Tel : 3865757, 3852358 Fax : 65-6253 4770/6255 1282 Fax: 380 2620 Cp: Mr.D.S. Kapoor Cp : Mr. B.S. Kapoor 2. PT. MILATRONIKA KARYA NIAGA = PT. NINDY ABINA ABADI SENTOSA Jl. Kapuas No. 24 SURABAYA Tel : 031-5680789 Fax : 031-5618906 Cp : Mr. F. Suwandi Putro 3. R.R. MEWANI & CO = PT ISPAK 112-a, Maker Bhavan 3 JL. Tanah abang III No. 28A-B New Marine Lines JAKARTA 10160 PO.BOX 11218 TEL: 384 1001 BOMBAY 400020 FAX: 3852712 Tel : 91-222088001 CP : Mr. Suresh Fax : 91-222052658,2054818 4. PT ALAM JAYA LOKA Wisma Permai Blok XII no 8 Surabaya Tel : 031-5932908 Fax : 031-5994796/5994736 Cp: Mrs. Jenny Ervina 5. HONEST TRADING CO (PTE) LTD
11 Syed Alwi Road, Teck Heng Long Building # 02-03 Singapore 207629 Sumber : Direktorat Pemasaran Perum Perhutani, 2007
Lampiran 6 Volume dan Nilai Ekspor Gondorukem Indonesia dan Negara Tujuan Ekspor Tahun 2005
Negara India Pakistan
NetWeight (kg) 8,195,070 3,859,266
Trade Value
Persentase (%)
$4,474,910 $2,086,980
25.64657 12.07762
Netherlands
3,071,995
$1,556,705
9.61385
Other Asia, nes
2,207,033
$1,114,323
6.90694
Rep. of Korea Poland Germany Portugal France Japan Belgium
1,873,198 1,785,595 1,516,798 1,478,396 1,151,999 1,082,423 1,055,996
$964,297 $907,096 $789,107 $754,756 $563,764 $559,517 $530,368
5.86220 5.58804 4.74684 4.62666 3.60520 3.38746 3.30475
Bangladesh Italy China Colombia Thailand Turkey USA Spain
836,171 479,999 415,200 422,399 520,398 307,200 311,040 249,599
$437,227 $254,252 $221,009 $213,313 $177,932 $158,349 $151,374 $135,157
2.61681 1.50216 1.29937 1.32190 1.62859 0.96139 0.97340 0.78112
South Africa Malaysia
229,200 194,400
$120,844 $118,937
0.71728 0.60838
New Zealand Ecuador Iran
134,400 134,400 76,800
$71,578 $66,720 $55,868
0.42061 0.42061 0.24035
Saudi Arabia
96,000
$48,768
0.30043
Philippines Romania
76,800 57,600
$39,424 $29,344
0.24035 0.18026
Neth. Antilles
57,600
$28,032
0.18026
United Kingdom
38,400
$22,510
0.12017
Venezuela
38,400
$18,688
0.12017
Singapore World
84 31,953,859
$477 $16,671,626
0.00026 100
Sumber : www.comtrade.un.org
Lampiran 7 Volume, Nilai Impor dan Negara Pengekspor Gondorukem Ke Indonesia Tahun 2005
Negara Australia
Volume (kg) 15,264
Nilai $38,698
Persentase (%) 3.23
Netherlands Belgium Brazil China Germany Italy Japan Malaysia France
400 1,000 5,191 4,251 2,000 90,922 11,947 542 4
$3,171 $1,741 $18,254 $4,077 $3,368 $189,091 $76,065 $463 $237
0.08 0.21 1.10 0.90 0.42 19.24 2.53 0.11 0.00
Singapore Thailand
52,242 29
$99,761 $170
11.06 0.01
138,880 149,815
$275,271 $245,458
29.39 31.71
United Kingdom USA Sumber : www.comtrade.un.org
Lampiran 8 Volume Ekspor, Produksi Domestik Gondorukem, Harga Ekspor Gondorukem, Harga Domestik Gondorukem, Nilai Tukar Rupiah Terhadap US$, Ekspor Gondorukem Tahun sebelumnya, Penjualan Domestik Gondorukem, Jumlah Bahan Baku Gondorukem (Getah Pinus), Harga Bahan baku Gondorukem, produksi Gondorukem tahun Sebelumnya.
Tahun
XG
QPDG
PXGR
PDOG
ER
LXG
SDO
QBB
PBB
LQPDG
LHP
DJPT
DLKB
DD
1980
1725
6292
360
346059
634
*
4750
11902
129.96
*
450876
0
0
0
1981
1994
8814
410
418571
645
1725
5795
16728
138.55
6292
347654
0
0
0
1982
1970
10945
407.8
412131
692
1994
4892
21454
163.23
8814
298797
0
0
0
1983
3115
8491
387.8
302147
994
1970
6539
12975
122.56
10945
197645
0
0
0
1984
6039
9511
364.4
267911
1076
3115
5364
15208
130.95
8491
223431
0
0
0
1985
10670
14315
333
445437
1131
6039
5283
22975
643.75
9511
143987
0
0
0
1986
10324
16094
357
352052
1641
10670
6748
24748
643.75
14315
121543
0
1
0
1987
16560
24807
558
538183
1650
10324
7142
37288
672.65
16094
413205
0
1
0
1988
22544
31858
353.4
559272
1729
16560
9278
46465
672.65
24807
203645
0
1
0
1989
19768
39079
423.5
620253.5
1795
22544
9613
43449
683.56
31858
105964
0
1
0
1990
30788
37290
392.7
600236
1901
19768
13450
67250
683.56
39079
67250
0
1
0
1991
36417
48980
391.1
646421.34
1992
30788
14632
77532
673.56
37290
755532
0
1
0
1992
38089
54168
417.5
712681.0
2033
36417
17329
83340
692.57
48980
83340
0
1
0
1993
45933
69296
480.5
861047.0
2110
38089
20028
108039
692.57
54168
108039
0
1
0
1994
42358
64769
461.1
616639.0
2200
45933
21373
97477
745.23
69296
97477
0
1
0
1995
35270
66696
554.7
808062.5
2038
42358
15075
99761
745.23
64769
151810
0
1
0
1996
34143
77845
636.5
1220772.7
2383
35270
20089
117683
756.84
66696
363089
0
1
0
1997
39029
69926
698.1
1261777.3
4650
34143
15075
99073
1082.26
77845
125730
0
1
0
1998
38362
47605
431.4
1081412.2
8025
39029
20089
69392
1165.85
69926
120670
0
1
1
1999
39166
62110
469.8
1261777.3
7100
38362
24595
90313
1286.13
47605
125802
0
1
1
2000
41848
51874
413.0
1329556.0
9595
39166
17298
82146
1314.800
62110
225120
0
1
1
2001
36274
47468
422.7
2707495.1
10400
41848
17629
70749
1364.064
51874
121929
0
1
1
2002
47639
55454
427.6
3481433.3
8940
36274
30254
70206
1364.064
47468
149691
0
1
1
2003
45989
58660
411.2
1612809.9
8465
47639
12959
87157
1436.906
55454
140553
0
1
1
2004
41825
57573
460.3
4351112.432
9290
45989
11276
86157
1436.906
58660
140510
1
1
1
2005
33032
46674
511.2
4280426.747
9830
41825
9499
72540
1436.906
57573
142119
1
1
1
Keterangan : XG (1) : Volume ekspor gondorukem (ton) QPDG1) : Produksi domestik gondorukem (Ton) PXGR(1) : Harga ekspor gondorukem (US$/Ton) PDOG(1) : Harga dometik gondorukem (Rp/Ton) ER(2) : Nilai Tukar Rupiah Terhadap US$ LXG(1) : Ekspor gondorukem tahun sebelumnya (Ton) SDO(1) : Penjualan domestic gondorukem (Ton) QBB(1) : Jumlah bahan baku gondorukem (Ton) PBB(1) : Harga bahan Baku gondorukem (RP/Kg) LQPDG(1) : Produksi gondorukem tahun sebelumnya (LQPDG) LHP : Luas hutan pinus (ha) DJPT : Dummy Jatah Produksi Tebangan tahun 2003 DLKB : Dummy Larangan Ekspor Kayu Bulat 1987 DD : Dummy Krisis Ekonomi tahun 1997 Sumber : 1. Buku statistik Perum Perhutani (1985, 1989, 1991, 1996, 2000, 2005, 2007) 2. BPS
Lampiran 9. Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Linear Regression Analysis: QPDG versus PDOG, QBB, ... The regression equation is QPDG = - 5227 + 0.00239 PDOG + 0.571 QBB - 0.78 PBB + 13.9 PXGR - 0.00378 LHP + 3342 DLKB - 9139 DJPT + 0.0417 LQPDG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant PDOG QBB PBB PXGR LHP DLKB DJPT LQPDG
Coef -5227 0.002388 0.57105 -0.775 13.90 -0.003775 3342 -9139 0.04170
S = 3384.16
SE Coef 4337 0.001550 0.06271 4.261 10.82 0.005305 3020 4482 0.09727
R-Sq = 98.4%
-1.21 1.54 9.11 -0.18 1.28 -0.71 1.11 -2.04 0.43
T P 0.246 0.143 7.1 0.000 8.6 0.858 7.1 0.217 1.9 0.487 1.3 0.285 3.2 0.058 3.2 0.674 10.6
VIF
R-Sq(adj) = 97.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 8 16 24
SS 11311949636 183240418 11495190054
MS 1413993705 11452526
F 123.47
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 2.68427 Lampiran 10. Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Linear Regression Analysis: XG versus SDO, FITS1, PXGR, PDOG, ER, DD, LXG The regression equation is XG = 12031 + 0.372 SDO + 0.441 FITS1 - 39.8 PXGR + 0.00013 PDOG + 1.66 ER - 8710 DD + 0.226 LXG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant SDO FITS1 PXGR PDOG ER DD LXG
Coef 12031 0.3721 0.4408 -39.78 0.000129 1.658 -8710 0.2265
S = 3685.55
SE Coef 5375 0.2187 0.1759 15.23 0.001171 1.179 7902 0.2019
R-Sq = 95.9%
T 2.24 1.70 2.51 -2.61 0.11 1.41 -1.10 1.12
P 0.039 0.107 0.023 0.018 0.914 0.178 0.286 0.278
VIF 3.9 25.8 3.1 3.4 30.6 25.0 18.9
R-Sq(adj) = 94.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 17 24
SS 5389423061 230915552 5620338613
MS 769917580 13583268
Durbin-Watson statistic = 2.00024
F 56.68
P 0.000
Lampiran 11 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Semi Log X Regression Analysis: QPDG versus lnPDOG, lnQBB, ... The regression equation is QPDG = - 346265 + 2549 lnPDOG + 28385 lnQBB - 3953 lnPBB + 13188 lnPXGR - 983 lnLHP - 6495 lnDJPT - 3916 lnDLKB + 0.147 LQPDG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnPDOG lnQBB lnPBB lnPXGR lnLHP lnDJPT lnDLKB LQPDG
Coef -346265 2549 28385 -3953 13188 -983 -6495 -3916 0.1475
S = 4996.36
SE Coef 68337 3027 5154 3784 8201 2200 5161 6038 0.1311
R-Sq = 96.5%
T -5.07 0.84 5.51 -1.04 1.61 -0.45 -1.26 -0.65 1.13
P 0.000 0.412 0.000 0.312 0.127 0.661 0.226 0.526 0.277
VIF 5.6 11.9 8.2 2.1 1.4 2.0 5.8 8.8
R-Sq(adj) = 94.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 8 16 24
SS 11095772158 399417896 11495190054
MS 1386971520 24963618
F 55.56
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 2.41891 Lampiran 12 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Semi Log X Regression Analysis: XG versus lnSDO, FITS1, ... The regression equation is XG = 3313 + 6128 lnSDO + 0.362 FITS1 - 19116 lnPXGR + 1490 lnPDOG + 5700 lnER - 6611 lnDD + 0.185 LXG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnSDO FITS1 lnPXGR lnPDOG lnER lnDD LXG
Coef 3313 6128 0.3616 -19116 1490 5700 -6611 0.1853
S = 3325.03
SE Coef 59730 3130 0.1593 6682 2208 3031 4789 0.1679
R-Sq = 96.7%
T 0.06 1.96 2.27 -2.86 0.68 1.88 -1.38 1.10
P 0.956 0.067 0.036 0.011 0.509 0.077 0.185 0.285
VIF 6.1 25.5 3.1 6.7 16.3 11.3 16.0
R-Sq(adj) = 95.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 17 24
SS 5432390049 187948564 5620338613
MS 776055721 11055798
Durbin-Watson statistic = 2.11798
F 70.19
P 0.000
Lampiran 13 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Semi Log Y Regression Analysis: lnQPDG versus PDOG, QBB, ... The regression equation is lnQPDG = 7.19 + 0.000000 PDOG + 0.000012 QBB + 0.000127 PBB - 0.000116 PXGR 0.000000 LHP - 0.156 DJPT + 0.451 DLKB + 0.201 lnLQPDG Predictor Constant PDOG QBB PBB PXGR LHP DJPT DLKB lnLQPDG
Coef 7.193 0.00000003 0.00001157 0.0001265 -0.0001164 0.00000006 -0.1558 0.4511 0.2009
S = 0.127542
SE Coef 1.241 0.00000006 0.00000261 0.0001565 0.0003877 0.00000020 0.1685 0.1319 0.1391
R-Sq = 97.9%
T 5.80 0.44 4.44 0.81 -0.30 0.31 -0.92 3.42 1.44
P 0.000 0.663 0.000 0.431 0.768 0.759 0.369 0.004 0.168
+
VIF 7.1 10.4 6.7 1.7 1.3 3.2 4.3 18.3
R-Sq(adj) = 96.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 8 16 24
SS 12.4008 0.2603 12.6610
MS 1.5501 0.0163
F 95.29
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 2.51957
Lampiran 14 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Semi Log Y Regression Analysis: lnXG versus SDO, FITS1, PDOG, PXGR, ER, DD, lnLXG The regression equation is lnXG = 3.13 + 0.000016 SDO - 0.335 FITS1 - 0.000000 PDOG - 0.000162 PXGR + 0.000048 ER - 0.414 DD + 1.03 lnLXG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant SDO FITS1 PDOG PXGR ER DD lnLXG
Coef 3.134 0.00001605 -0.3352 -0.00000003 -0.0001617 0.00004787 -0.4136 1.0332
S = 0.224605
SE Coef 1.841 0.00001229 0.3863 0.00000007 0.0008790 0.00007537 0.4923 0.2159
R-Sq = 96.4%
T 1.70 1.31 -0.87 -0.46 -0.18 0.64 -0.84 4.79
P 0.107 0.209 0.398 0.648 0.856 0.534 0.413 0.000
R-Sq(adj) = 94.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 17 24
SS 22.7923 0.8576 23.6499
MS 3.2560 0.0504
Durbin-Watson statistic = 2.23279
F 64.54
P 0.000
VIF 3.3 36.7 3.5 2.8 33.7 26.1 27.2
Lampiran 15 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Double log Regression Analysis: lnQPDG versus lnPDOG, lnQBB, ... The regression equation is lnQPDG = - 0.454 + 0.0204 lnPDOG + 0.728 lnQBB + 0.0566 lnPBB + 0.105 lnPXGR 0.0035 lnLHP - 0.110 lnDJPT + 0.140 lnDLKB + 0.158 lnLQPDG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnPDOG lnQBB lnPBB lnPXGR lnLHP lnDJPT lnDLKB lnLQPDG
Coef -0.4538 0.02037 0.7284 0.05659 0.1046 -0.00352 -0.10983 0.1395 0.1584
S = 0.0960398
SE Coef 0.9053 0.05999 0.1126 0.07343 0.1462 0.04341 0.09936 0.1180 0.1022
R-Sq = 98.8%
T -0.50 0.34 6.47 0.77 0.72 -0.08 -1.11 1.18 1.55
P 0.623 0.739 0.000 0.452 0.485 0.936 0.285 0.254 0.141
VIF 5.9 15.3 8.3 1.8 1.5 2.0 6.0 17.5
R-Sq(adj) = 98.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 8 16 24
SS 12.5134 0.1476 12.6610
MS 1.5642 0.0092
F 169.58
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 2.42822
Lampiran 16 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Dengan Model Double log Regression Analysis: lnXG versus lnSDO, FITS1, ... The regression equation is lnXG = 1.44 + 0.178 lnSDO - 0.007 FITS1 - 0.521 lnPXGR - 0.046 lnPDOG + 0.508 lnER - 0.750 lnDD + 0.703 lnLXG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnSDO FITS1 lnPXGR lnPDOG lnER lnDD lnLXG
Coef 1.444 0.1776 -0.0070 -0.5206 -0.0455 0.5084 -0.7498 0.7032
S = 0.207076
SE Coef 1.805 0.1815 0.3823 0.4273 0.1361 0.2597 0.3704 0.2379
R-Sq = 96.9%
T 0.80 0.98 -0.02 -1.22 -0.33 1.96 -2.02 2.96
P 0.435 0.342 0.986 0.240 0.742 0.067 0.059 0.009
VIF 5.3 42.7 3.3 6.5 30.8 17.4 38.8
R-Sq(adj) = 95.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 17 24
SS 22.9210 0.7290 23.6499
MS 3.2744 0.0429
Durbin-Watson statistic = 2.52469
F 76.36
P 0.000
Lampiran 17. Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah LQPDG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnQPDG versus lnPDOG, lnQBB, ... The regression equation is lnQPDG = - 0.451 + 0.0391 lnPDOG + 0.875 lnQBB + 0.0520 lnPBB + 0.142 lnPXGR - 0.0399 lnLHP - 0.115 lnDJPT + 0.177 lnDLKB Predictor Constant lnPDOG lnQBB lnPBB lnPXGR lnLHP lnDJPT lnDLKB
Coef -0.4513 0.03905 0.87459 0.05201 0.1423 -0.03990 -0.1151 0.1770
S = 0.0994802
SE Coef 0.9372 0.05835 0.07169 0.07431 0.1499 0.03969 0.1024 0.1174
R-Sq = 98.9%
T -0.48 0.67 12.20 0.70 0.95 -1.01 -1.12 1.51
P 0.636 0.512 0.000 0.493 0.355 0.328 0.276 0.149
VIF 5.5 6.9 9.4 1.8 1.3 2.0 6.4
R-Sq(adj) = 98.4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 18 25
SS 15.3613 0.1781 15.5394
MS 2.1945 0.0099
F 221.75
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 2.34859
Lampiran 18 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah ER dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnXG versus lnSDO, FITS1, lnPDOG, lnPXGR, lnDD The regression equation is lnXG = 1.87 - 0.037 lnSDO + 1.48 FITS1 + 0.004 lnPDOG - 1.18 lnPXGR + 0.074 lnDD Predictor Constant lnSDO FITS1 lnPDOG lnPXGR lnDD
Coef 1.868 -0.0373 1.4814 0.0042 -1.1766 0.0736
S = 0.328509
SE Coef 2.844 0.2721 0.2328 0.2141 0.5118 0.2992
R-Sq = 92.7%
T 0.66 -0.14 6.36 0.02 -2.30 0.25
P 0.519 0.892 0.000 0.984 0.032 0.808
VIF 5.3 7.7 6.8 2.0 4.6
R-Sq(adj) = 90.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 20 25
SS 27.5661 2.1584 29.7245
MS 5.5132 0.1079
Durbin-Watson statistic = 1.18855
F 51.09
P 0.000
Lampiran 19 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah LQPDG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnQPDG versus lnPDOG, lnQBB, ... The regression equation is lnQPDG = - 0.451 + 0.0391 lnPDOG + 0.875 lnQBB + 0.0520 lnPBB + 0.142 lnPXGR - 0.0399 lnLHP - 0.115 lnDJPT + 0.177 lnDLKB Predictor Constant lnPDOG lnQBB lnPBB lnPXGR lnLHP lnDJPT lnDLKB
Coef -0.4513 0.03905 0.87459 0.05201 0.1423 -0.03990 -0.1151 0.1770
S = 0.0994802
SE Coef 0.9372 0.05835 0.07169 0.07431 0.1499 0.03969 0.1024 0.1174
R-Sq = 98.9%
T -0.48 0.67 12.20 0.70 0.95 -1.01 -1.12 1.51
P 0.636 0.512 0.000 0.493 0.355 0.328 0.276 0.149
VIF 5.5 6.9 9.4 1.8 1.3 2.0 6.4
R-Sq(adj) = 98.4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 18 25
SS 15.3613 0.1781 15.5394
MS 2.1945 0.0099
F 221.75
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 2.34859
Lampiran 20 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah DD dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnXG versus lnSDO, FITS1, lnPXGR, lnPDOG, lnER The regression equation is lnXG = 3.01 - 0.124 lnSDO + 1.40 FITS1 - 0.920 lnPXGR - 0.286 lnPDOG + 0.377 lnER Predictor Constant lnSDO FITS1 lnPXGR lnPDOG lnER
Coef 3.010 -0.1241 1.3972 -0.9202 -0.2859 0.3770
S = 0.293366
SE Coef 2.451 0.2360 0.1982 0.4348 0.1798 0.1661
R-Sq = 94.2%
T 1.23 -0.53 7.05 -2.12 -1.59 2.27
P 0.234 0.605 0.000 0.047 0.127 0.034
VIF 5.0 7.0 1.8 6.0 7.0
R-Sq(adj) = 92.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 20 25
SS 28.0032 1.7213 29.7245
MS 5.6006 0.0861
Durbin-Watson statistic = 1.40589
F 65.08
P 0.000
Lampiran 21 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah QBB Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnQPDG versus lnPDOG, lnPBB, ... The regression equation is lnQPDG = - 0.13 - 0.012 lnPDOG + 0.157 lnPBB + 0.269 lnPXGR + 0.0781 lnLHP 0.175 lnDJPT + 0.194 lnDLKB + 0.677 lnLQPDG
-
25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnPDOG lnPBB lnPXGR lnLHP lnDJPT lnDLKB lnLQPDG
Coef -0.132 -0.0120 0.1571 0.2686 0.07808 -0.1751 0.1940 0.6767
S = 0.177157
SE Coef 1.667 0.1103 0.1324 0.2656 0.07662 0.1823 0.2172 0.1171
R-Sq = 95.8%
T -0.08 -0.11 1.19 1.01 1.02 -0.96 0.89 5.78
P 0.938 0.915 0.252 0.326 0.322 0.350 0.384 0.000
VIF 5.9 8.0 1.7 1.4 1.9 6.0 6.7
R-Sq(adj) = 94.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 17 24
SS 12.1275 0.5335 12.6610
MS 1.7325 0.0314
F 55.20
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 1.94978
Lampiran 22 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah ER dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnXG versus lnSDO, FITS1, lnPXGR, lnPDOG, lnDD The regression equation is lnXG = 1.37 + 0.016 lnSDO + 1.47 FITS1 - 1.61 lnPXGR + 0.217 lnPDOG - 0.336 lnDD 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnSDO FITS1 lnPXGR lnPDOG lnDD
Coef 1.366 0.0163 1.4664 -1.6065 0.2169 -0.3363
S = 0.301746
SE Coef 2.532 0.2424 0.2235 0.4877 0.1845 0.2611
R-Sq = 92.7%
T 0.54 0.07 6.56 -3.29 1.18 -1.29
P 0.596 0.947 0.000 0.004 0.254 0.213
VIF 4.4 6.7 2.0 5.7 4.1
R-Sq(adj) = 90.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 19 24
SS 21.9200 1.7300 23.6499
MS 4.3840 0.0911
F 48.15
Durbin-Watson statistic = 1.63583
P 0.000
Lampiran 23 Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Setelah QBB Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnQPDG versus lnPDOG, lnPBB, ... The regression equation is lnQPDG = - 0.13 - 0.012 lnPDOG + 0.157 lnPBB + 0.269 lnPXGR + 0.0781 lnLHP - 0.175 lnDJPT + 0.194 lnDLKB + 0.677 lnLQPDG 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnPDOG lnPBB lnPXGR lnLHP lnDJPT lnDLKB lnLQPDG
Coef -0.132 -0.0120 0.1571 0.2686 0.07808 -0.1751 0.1940 0.6767
S = 0.177157
SE Coef 1.667 0.1103 0.1324 0.2656 0.07662 0.1823 0.2172 0.1171
R-Sq = 95.8%
T -0.08 -0.11 1.19 1.01 1.02 -0.96 0.89 5.78
P 0.938 0.915 0.252 0.326 0.322 0.350 0.384 0.000
VIF 5.9 8.0 1.7 1.4 1.9 6.0 6.7
R-Sq(adj) = 94.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 7 17 24
SS 12.1275 0.5335 12.6610
MS 1.7325 0.0314
F 55.20
P 0.000
Durbin-Watson statistic = 1.94978
Lampiran 24 Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Setelah DD dan LXG Dikeluarkan Dengan Model Double Log Regression Analysis: lnXG versus lnSDO, FITS1, lnPXGR, lnPDOG, lnER The regression equation is lnXG = 2.08 - 0.030 lnSDO + 1.53 FITS1 - 1.38 lnPXGR + 0.070 lnPDOG - 0.057 lnER 25 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Constant lnSDO FITS1 lnPXGR lnPDOG lnER
Coef 2.082 -0.0295 1.5309 -1.3782 0.0702 -0.0567
S = 0.313967
SE Coef 2.568 0.2503 0.2562 0.5063 0.1959 0.1991
R-Sq = 92.1%
T 0.81 -0.12 5.98 -2.72 0.36 -0.28
P 0.428 0.907 0.000 0.014 0.724 0.779
VIF 4.4 8.1 2.0 5.9 7.9
R-Sq(adj) = 90.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 19 24
SS 21.7770 1.8729 23.6499
MS 4.3554 0.0986
Durbin-Watson statistic = 1.57968
F 44.18
P 0.000
Lampiran 25 Nilai-Nilai Kritis untuk Statistik F dan Statistik t Nilai-nilai kritis untuk statistik F (α, k, n-k-1) pada taraf 1 persen Derajat bebas untuk penyebut (df2) 18 20
Derajat bebas untuk pembilang (df 1) 5 7 2,20 2,08 2,16 2,04
Sumber : Hanke, dkk (2003)
Keterangan : Pada baris kedua untuk persamaan produksi gondorukem Perum Perhutani, sedangkan pada baris ketiga untuk persamaan penawaran ekspor gondorukem Perum Perhutani Nilai-nilai kritis untuk statistik t (α, n-k-1) df 18 20
0,25 0,688 0,687
Sumber : Hanke, dkk (2003)
0,1 1,330 1,325
0,05 1,734 1,725
0,01 2,552 2,528
Lampiran 26 Normalitas Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Probability Plot of lnQPDG Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
10.41 0.7884 26 0.244 <0.010
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
8.5
9.0
9.5
10.0
10.5 lnQPDG
11.0
11.5
12.0
12.5
Lampiran 27 Normalitas Normalitas Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Probability Plot of lnXG Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
7
8
9
10 lnXG
11
12
13
9.870 1.090 26 0.281 <0.010
Lampiran 28 Homoskedastisitas Persamaan Produksi Gondorukem Perum Perhutani Residuals Versus the Fitted Values (response is lnQPDG) 0.3
Residual
0.2
0.1
0.0
-0.1
-0.2 9.0
9.5
10.0 Fitted Value
10.5
11.0
11.5
Lampiran 29 Homoskedastisitas Persamaan Penawaran Ekspor Gondorukem Perum Perhutani Residuals Versus the Fitted Values (response is lnXG) 0.50
Residual
0.25
0.00
-0.25
-0.50
-0.75 7.5
8.0
8.5
9.0 9.5 Fitted Value
10.0
10.5
11.0