ANALISIS FAKTOR–FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI PENGANGGURAN BERDASARKAN PERSPEKTIF PERUSAHAAN
OLEH FITRI FARAHNITA H14104049
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
FITRI FARAHNITA. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran berdasarkan Perspektif Perusahaan (dibimbing oleh IMAN SUGEMA). Pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun-tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan, namun pertumbuhan tersebut masih didorong sebagian besar oleh sektor konsumsi. Sedangkan kontribusi sektor investasi masih sangat rendah terhadap PDB. Sehingga dapat disimpulkan dengan kontribusi yang rendah dari sektor investasi tersebut akan menyebabkan lambatnya kinerja sektor riil. Sedangkan sektor riil merupakan penyedia lapangan kerja, sehingga mengakibatkan penyerapan tenaga kerja berkurang. Dengan demikian, pengangguran akan semakin meningkat. Selain akibat lemahnya pertumbuhan perkonomian yang belum mampu mendorong penyerapan tenaga kerja, besarnya tingkat pengangguran juga disebabkan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah. Tingkat pengangguran di Indonesia tergolong tinggi, data menunjukkan bahwa antara tahun 1996-2000, tingkat pengangguran rata-rata sebesar 5.49 persen yang kemudian selama tahun 2000-2006 mengalami peningkatan menjadi 9.57 persen. Dengan demikian, terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran di antara kedua periode tersebut. Selain itu, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2007 masih mencapai 9.57 persen dari angkatan kerja atau sebesar 10.55 juta jiwa. Pengangguran yang cenderung terus meningkat dan relatif sulit untuk turun tersebut merupakan indikasi terjadinya kondisi pengangguran yang persisten. Menurut Blanchard dan Summer (1986), persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat semula atau tingkat sebelumnya (mean reversion). Adapun yang menjadi sumber-sumber persistensi pengangguran yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu terbagi menjadi tiga kelompok diantaranya penyebab kekakuan upah, proses pencarian pekerja yang menyebabkan semakin lamanya proses pencarian pekerja yang dilakukan oleh perusahaan dan faktor lainnya yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan kelembagaan pasar tenaga kerja. Sumber-sumber persistensi pengangguran akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan analisis tabel silang (crosstabs), sehingga dapat menjawab tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk menganalisis faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran, dan menganalisis keefektifan kebijakan inflation targeting dalam mempengaruhi tingkat pengangguran. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE). Berdasarkan hasil penelitian, kekakuan upah terdiri dari kekakuan upah nominal dan kekakuan upah riil. Kekakuan upah nominal telah membuat upah gagal untuk menjadi penyeimbang antara penawaran dan permintaan tenaga kerja (market
clearing mechanism) sehingga tingkat pengangguran menjadi lebih tinggi dari seharusnya (Elmeskov, 1993). Penyebab kekakuan upah nominal yaitu kekakuan upah ke bawah (downward wage rigidity), penyesuaian upah terhadap inflasi (indeksasi), kebijakan upah minimum, upah relatif dan upah efisiensi. Indeksasi yang dilakukan oleh pekerja dapat menyebabkan peningkatan pengangguran, sehingga kebijakan inflation targeting dengan sasaran inflasi jangka panjang yang lebih rendah menjadi lebih relevan digunakan untuk mengatasi masalah pengangguran. Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa tidak ada bukti kuat yang memperlihatkan upah relatif dan upah efisiensi merupakan sumber kekakuan upah nominal. Sedangkan, kekakuan upah riil disebabkan upah riil gagal menyesuaikan dengan Marjinal Productivity for Labor (MPL). Kekakuan upah riil dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber persistensi pengangguran lainnya yaitu waktu pencarian pekerja yang dilakukan oleh perusahaan, yang dipengaruhi oleh proses pencarian pekerja seperti ketidaksesuaian antara kualifikasi yang dimiliki pekerja dengan yang dibutuhkan oleh perusahaan (mismatch), pergeseran sektoral (sectoral shift), ketidaksempurnaan informasi lowongan kerja, dan mobilitas geografis. Selain itu, faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi persistensi pengangguran adalah regulasi pemerintah tentang perlindungan tenaga kerja dalam bentuk pembelakuan jaminan sosial bagi pekerja, peran serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja (misalnya; kenaikan upah), dan mekanisme penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan, seperti penambahan jam kerja (lembur) bagi pekerja ketika kinerja perusahaan meningkat.
ANALISIS FAKTOR–FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI PENGANGGURAN BERDASARKAN PERSPEKTIF PERUSAHAAN
OLEH FITRI FARAHNITA H14104049
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Fitri Farahnita
Nomor Registrasi Pokok
: H14104049
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran
berdasarkan
Perspektif
Perusahaan
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Intitut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Iman Sugema, Ph.D NIP. 131 846 870
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
Fitri Farahnita H14104049
RIWAYAT HIDUP
Fitri Farahnita. Dilahirkan di Tangerang pada hari Rabu tanggal 04 Juni 1986 dari pasangan Bapak Syarifudin Daud dan Ibu Siti Sualiah. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Penulis menjalani pendidikan di bangku sekolah dasar dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1998 di SD Negeri 2 Balaraja Tangerang. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 1998 sampai tahun 2001 di SLTP Negeri 1 Balaraja Tangerang. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 1 Balaraja Tangerang dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM).
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji hanya untuk Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis mendapat kemudahan dan kemampuan dalam setiap langkah penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Qudwah Hasanah kita, Rasulullah Saw, yang telah mengajarkan al-Islam sebagai jalan hidup sehingga membawa keselamatan bagi umat manusia sejagad raya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun judul skripsi ini adalah ”Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran berdasarkan Perspektif Perusahaan”. Penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE), pada bab enam yang membahas persistensi pengangguran dari perspektif perusahaan. Penulis terlibat dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh LPPM InterCAFE tersebut, yang bertindak sebagai kelompok peneliti. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Iman Sugema, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Noer Azam Acshani, Ph.D selaku dosen penguji utama yang telah memberikan ilmu dan kritikan yang membangun sehingga skripsi ini dapat diperbaiki menjadi lebih baik. 3. Syamsul H Pasaribu, M.Si selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan (Komdik) Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), yang telah memberikan ilmu dan kritikan yang membangun sehingga skripsi ini dapat diperbaiki menjadi lebih baik.
4. Kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda Syarifudin Daud dan Ibunda Siti Sualiah, Kakakku Fariz beserta keluarga besar Bapak Supriyanto dan Ibu Tati atas doa, kasih sayang, perhatian, bimbingan, dan dukungan yang telah dicurahkan. 5. Dosen dan staf penunjang LPPM InterCAFE atas ilmu dan bantuan yang diberikan. 6. Dosen dan staf penunjang Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), atas ilmu dan bantuan yang diberikan. 7. My best Friends, Eby, Ery, Ulfa, Idha, Mitha, Eya, Ntit, Reshe, dan Asay atas doa, dukungan, semangat dan bantuan selama proses pembuatan skripsi. 8. Teman satu bimbingan Dila, Dado (Arif), dan Irwan atas bantuan, semangat, dan dukungannya. Dan juga seluruh mahasiswa IE 41 atas persahabatan dan bantuan selama proses pembuatan skripsi. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, September 2008
Fitri Farahnita H14104049
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... v I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang............................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah.................................................................................... 3 1.3. Tujuan penelitian........................................................................................ 5 1.4. Manfaat Penelitian...................................................................................... 5 1.5. Ruang Lingkup Penelitian..........................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
7
2.1. Pengertian dan Definisi .............................................................................
7
2.1.1. Definisi pengangguran.......................................................................... 7 2.1.2. Penduduk Usia Kerja, Pekerja, Penganggur......................................... 9 2.1.3. Persistensi Pengangguran..................................................................... 10 2.2. Sumber-Sumber Persistensi Pengangguran................................................ 11 2.3. Kerangka Teoritis....................................................................................... 16 2.3.1. Pertumbuhan Serikat Pekerja berdasarkan Model Ashenfelter-Pencavel........................................................................... 16 2.3.2. Kurva Phillips dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang.................. 17 2.4. Penelitian Terdahulu.................................................................................. 20 2.5. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 23 2.6. Hipotesis Penelitian................................................................................... 24 III. GAMBARAN UMUM................................................................................ 26 3.1. Kondisi Umum Pengangguran di Indonesia.............................................. 26 3.2. Struktur Pengangguran berdasarkan Usia, Gender, dan Tingkat Pendidikan.................................................................................... 27 IV. METODE PENELITIAN........................................................................... 30 4.1. Jenis dan Sumber Data............................................................................... 30
4.2. Metode Pengolahan Data........................................................................... 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 33 5.1. Karakteristik Umum Responden................................................................ 33 5.2. Kekakuan Upah.......................................................................................... 34 5.2.1. Kekakuan Upah Nominal..................................................................... 35 5.2.2. Kekakuan Upah Riil............................................................................. 44 5.3. Proses Pencarian Pekerja............................................................................ 45 5.3.1. Mismatch.............................................................................................. 45 5.3.2. Pergeseran Sektoral dan Friksi............................................................. 47 5.3.3. Informasi Lowongan Kerja.................................................................. 49 5.3.4. Mobilitas Geografis............................................................................. 52 5.4. Faktor Lainnya........................................................................................... 53 5.4.1. Regulasi pemerintah............................................................................. 53 5.4.2. Mekanisme penyesuaian...................................................................... 54 5.4.3. Peran Serikat Pekerja........................................................................... 56 VI. KESIMPULAN............................................................................................ 58 6.1. Kesimpulan................................................................................................ 58 6.2. Saran.......................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 62 LAMPIRAN........................................................................................................ 64
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Tingkat Pengangguran di Indonesia............................................................
3
2. Struktur Pengangguran berdasarkan Usia dan Gender............................... 28 3. Penurunan Upah yang Tidak terkait Kinerja.............................................. 35 4. Kenaikan Upah yang Terjadi dalam Setahun Terakhir............................... 36 5. Kebijakan Pengupahan................................................................................ 37 6. Tindakan Pekerja dalam Penyesuaian Upah................................................ 39 7. Faktor untuk Penyesuaian Upah Minimum................................................. 39 8. Acuan Penentuan Upah Relatif................................................................... 43 9. Apresiasi Perusahaan terhadap Pekerja yang lebih Produktif..................... 43 10. Faktor-Faktor Motivasi Bekerja.................................................................. 44 11. Penyesuaian Upah Riil................................................................................ 45 12. Tingkat Kesulitan Mencari Pekerja yang Sesuai Kualifikasi...................... 46 13. Tingkat Kemudahan Pekerja untuk Mencari Pekerjaan Baru..................... 48 14. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan..................................................... 51 15. Kemudahan Perusahaan Memperoleh Pekerja dari Luar Wilayah.............. 52 16. Asal Tenaga Kerja....................................................................................... 53 17. Fasilitas Jamsostek dan Asuransi Lainnya.................................................. 54 18. Bekerja Lembur........................................................................................... 55 19. Upah Lembur Pekerja.................................................................................. 55 20. Efektivitas Serikat Pekerja dalam Memperjuangkan Kenaikan Upah......... 56
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Struktur Populasi Penduduk berdasarkan Pasar Tenaga Kerja..................... 10 2. Kurva Phillips Jangka Pendek...................................................................... 18 3. Kurva Phillips Jangka Panjang..................................................................... 19 4. Kerangka Pemikiran..................................................................................... 23 5. Persentase Sebaran Responden menurut Sektor dan Ketersediaan Tenaga Kerja Lepas...................................................................................... 34 6. Persentase Sebaran Responden menurut Provinsi dan Kabupaten............... 34
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Analisis Crosstabs Sektor dengan Kebijakan Pengupahan terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas................................................................. 64 2. Analisis Crosstabs Sektor dengan Pemberlakuan Upah Relatif terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas................................................................. 66 3. Analisis Crosstabs Sektor dengan Pemberlakuan Upah Efisiensi terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas.................................................. 68 4. Analisis Crosstabs Waktu Pencarian Pekerja dengan Kesulitan Mencari Pekerja sesuai dengan Kualifikasi (Mismatch) terhadap pekerja tetap dan pekerja lepas................................................................................................ 70 5. Analisis Crosstabs waktu Pencarian Pekerja dengan Kesulitan Pekerja untuk Pindah Kerja terhadap Pekerja Tetap dan Lepas.............................. 72 6. Analisis Crosstabs Waktu Pencarian Pekerja dengan Media Informasi Lowongan Kerja........................................................................ 74 7. Analisis Crosstabs Waktu Pencarian Pekerja dengan Kemudahan Memperoleh Pekerja dari Luar Wilayah terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas.(Mobilitas Geografis).......................................................... 75
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di setiap negara dipengaruhi oleh beberapa komponen, seperti akumulasi modal (yang meliputi semua investasi baru pada tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia), pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja serta kemajuan teknologi (Todaro, 1994). Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dipengaruhi oleh ketiga komponen tersebut. Pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun-tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan, namun pertumbuhan tersebut masih didorong sebagian besar oleh sektor konsumsi. Pada tahun 2005 triwulan III, pertumbuhan konsumsi swasta (year of year) adalah 4.43 persen dan konsumsi pemerintah 16.15 persen. Konsumsi masyarakat memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sekitar 68 persen, sedangkan sektor investasi masih sangat rendah yakni sekitar 17 persen dari PDB (InterCAFE, 2008). Sehingga dapat disimpulkan dengan kontribusi yang rendah dari sektor investasi tersebut akan menyebabkan lambatnya kinerja sektor riil. Sedangkan sektor riil merupakan penyedia lapangan kerja, sehingga penyerapan tenaga kerja akan berkurang. Dengan demikian, pengangguran akan semakin meningkat. Selain akibat pertumbuhan ekonomi yang belum mampu mendorong pertumbuhan kesempatan kerja yang tinggi dan menyerap angkatan kerja dalam jumlah besar, besarnya jumlah penganggur juga disebabkan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah dan hanya mengandalkan pengetahuan umum yang dimiliki. Kondisi tersebut menyebabkan
angkatan kerja sangat sulit diserap oleh perusahaan-perusahaan yang menyediakan lowongan kerja. Sementara saat ini, masih banyak angkatan kerja Indonesia yang tidak memiliki kompetensi yang diperlukan oleh dunia kerja. Disisi lain produktivitas dunia usaha Indonesia juga masih rendah yang mengakibatkan daya saing di pasar global sangat rendah serta sulit untuk mengembangkan usaha dan menyerap tambahan tenaga kerja. Penyebab utama rendahnya produktivitas dan daya saing Indonesia dalam pasar global adalah karena secara keseluruhan kualitas SDM Indonesia masih rendah, hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 53.1 persen berpendidikan sekolah dasar ke bawah, 41.2 persen berpendidikan sekolah menengah, dan hanya 5.6 persen berpendidikan diploma atau sarjana. Pengangguran adalah masalah makroekonomi yang mempengaruhi manusia secara langsung dan merupakan masalah yang paling berat. Tingkat pengangguran Indonesia berada di posisi paling atas di antara negara-negara Association of South East Asian Nations (ASEAN). Sejak krisis 1997, tingkat pengangguran Indonesia tergolong tinggi. Data menunjukkan bahwa antara tahun 1996-2000, tingkat pengangguran rata-rata sebesar 5.49 persen yang kemudian selama tahun 2000-2006 mengalami peningkatan menjadi 9.57 persen (InterCAFE, 2008). Dengan demikian, terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran di antara kedua periode tersebut. Selain itu, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2007 masih mencapai 9.57 persen dari angkatan kerja atau sebesar 10.55 juta jiwa (BPS, 2008). Pengangguran yang cenderung terus meningkat dan relatif sulit untuk turun tersebut
merupakan indikasi terjadinya kondisi pengangguran yang persisten. Hal ini merupakan masalah yang serius sehingga berbagai upaya untuk menanggulangi masalah tersebut mutlak dilakukan. Tabel 1.1. Tingkat Pengangguran di Indonesia Rata-rata 1996-2000
Rata-rata 2001-2006
5.49 % 9.57 % Sumber : InterCAFE (2008)
2006
Perubahan rata-rata tahun 1996-2000 terhadap rata-rata tahun 2001-2006
10.44 %
74.32 %
Pengangguran di Indonesia yang menggambarkan tingkat pengangguran yang terus meningkat, yang mengindikasikan kondisi pengangguran yang telah mencapai tahap persisten, mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang menyebabkan persistensi pengangguran tersebut. Selain itu, penelitian ini akan lebih diarahkan kepada perspektif perusahaan dalam mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan persistensi pengangguran. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan secara umum dapat memberikan informasi kepada para pembuat kebijakan agar penentuan kebijakan tentang pengangguran dapat tepat mengatasi masalah pengangguran di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah Tingkat pengangguran di Indonesia terus meningkat dan bahkan telah mencapai kondisi persistensi, sehingga perlu adanya kebijakan yang dapat mengatasi masalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah krusial yang belum bisa diselesaikan secara sistematis sampai saat ini. Perlu adanya upaya yang bersifat mendasar dan menyeluruh untuk mengatasi masalah
pengangguran tersebut, dengan mempelajari secara mendalam karakteristik pengangguran Indonesia. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan indikatorindikator makro lainnya tampaknya belum cukup untuk digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam menyelesaikan masalah pengangguran. Faktor-faktor lain yang dapat digunakan dalam membuat kebijakan untuk mengatasi masalah pengangguran antara lain terkait erat dengan aspek kebijakan pemerintah khususnya masalah hukum dan perundang-undangan, kualitas tenaga kerja, dan masalah serta kendala yang dihadapi oleh sektor industri sehingga terjadi keengganaan terhadap permintaan tenaga kerja. Dengan demikian, masalah pengangguran yang terjadi dapat dirangkum dalam pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, yaitu sebagai berikut : 1) Faktor-faktor
apa
saja
yang
menyebabkan
terjadinya
persistensi
pengangguran berdasarkan perspektif perusahaan ? 2) Bagaimana efektifitas kebijakan moneter inflation targeting dalam mempengaruhi tingkat pengangguran ? Mengingat berbagai permasalahan di atas, maka diperlukan suatu penelitian yang dapat menjawab masalah pengangguran dengan rekomendasi strategi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga penulis dalam hal ini akan melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang menyebabkan persistensi pengangguran, dimana penelitian ini akan diarahkan kepada perspektif perusahaan dalam mengkaji faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran tersebut. Dengan demikian, diharapkan kondisi pengangguran di Indonesia yang telah mencapai persisten dapat diatasi dengan sistematis dan menyeluruh.
1.3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Menganalisis faktor-faktor apa saja yang menyebabkan persistensi pengangguran berdasarkan perspektif perusahaan. 2) Menganalisis efektifitas kebijakan moneter inflation targeting dalam mempengaruhi tingkat pengangguran.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian
yang
menganalisis
faktor-faktor
penyebab
persistensi
pengangguran ini, diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang menyebabkan terjadinya persistensi pengangguran di Indonesia. Sehingga, secara umum penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah khususnya Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam mengatasi masalah pengangguran, dan memperkirakan apakah kebijakan moneter inflation targeting yang telah dilakukan oleh BI tepat digunakan untuk mengatasi pengangguran di Indonesia. Selain itu, secara khusus penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya, dan terutama semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya persistensi pengangguran di Indonesia. Dalam penelitian ini, akan menganalisis faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran yang lebih mengarah bukan pada indikator makroekonomi. Selain itu, pembahasannya juga dihubungkan dengan kebijakan moneter inflation targeting. Penelitian dilakukan berdasarkan data sekunder berupa data-data perusahaan yang diklasifikasikan menjadi tiga sektor, yaitu; pertanian, industri manufaktur, dan jasa. Oleh karena itu, penelitian ini akan berdasarkan pada perspektif perusahaan dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan persistensi pengangguran.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan pengangguran secara umum serta teori-teori yang berhubungan dengan faktorfaktor yang menyebabkan persistensi pengangguran secara khusus. Selain itu, juga mencakup tentang penelitian terdahulu, kerangka teoritis dan kerangka pemikiran serta hipotesis yang dibuat berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan penelitian ini.
2.1. Pengertian dan Definisi 2.1.1. Definisi Pengangguran Pengangguran ditinjau dari interpretasi ekonomi oleh para ekonom dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pengangguran friksional, struktural dan siklis. Menurut Bellante dan Jackson (1990), secara konseptual dapat dibedakan antara pengangguran friksional, struktural dan pengangguran karena kurangnya permintaan (demand deficiency unemployment) atau pengangguran siklis. Pengangguran karena kurangnya permintaan timbul apabila pada tingkat upah dan harga
yang
sedang
berlaku,
tingkat
permintaan
tenaga
kerja
secara
keseluruhannya terlalu rendah, akibatnya jumlah tenaga kerja yang diminta perekonomian secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan penawaran tenaga kerjanya. Sedangkan, pengangguran struktural dikatakan ada apabila lowongan yang tersedia membutuhkan keahlian yang berbeda dengan yang dimiliki oleh penganggur atau lowongan pekerjaan yang tersedia berada dalam
wilayah geografis yang berbeda dengan lokasi tempat tinggal pekerja yang menganggur. Seperti juga halnya dengan pengangguran struktural, pengangguran friksional terjadi diakibatkan oleh proses pencarian kerja dan penyebabnya adalah informasi lowongan kerja yang kurang sempurna serta biaya untuk mengakses informasi tersebut terlalu mahal. Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi jika permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil daripada keluaran potensial. Orang-orang yang menganggur secara siklis dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa (involuntary unemployed), dalam arti mereka ingin bekerja dengan tingkat
upah yang berlaku tetapi
pekerjaan tidak tersedia. Pengangguran struktural dapat didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan
ketidaksesuaian
antara
struktur
angkatan
kerja
berdasarkan
keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan juga struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena diberhentikan.
Selain itu, menurut Moore dan Elkin (1987), pengangguran friksional merupakan akibat dari fluktuasi jangka pendek di dalam pasar tenaga kerja, informasi yang tidak sempurna dan tenaga kerja yang tidak bergerak. Sedangkan, pengangguran struktural merupakan karakteristik jangka panjang, dimana terjadi persistensi ketidaksesuaian (mismatch) antara permintaan dan penawaran tenaga kerja dengan skill dan atau lokasi kerja.
2.1.2. Penduduk Usia Kerja, Pekerja, Penganggur Penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia di atas 15 tahun. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, ibu rumah tangga, atau pensiunan. Angkatan kerja terbagi menjadi dua, yakni bekerja dan menganggur atau mencari pekerjaan. Menurut BPS, bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut McConnell (2005), pekerja adalah seseorang yang berusia diatas 15 tahun, ketika survei dilakukan termasuk penduduk yang: (1) dipekerjakan oleh perusahaan swasta atau pemerintah, atau (2) bekerja sendiri (wiraswasta), atau (3) bekerja tapi tidak sedang bekerja yang dikarenakan sakit, cuaca buruk, adanya perselisihan tenaga kerja (misalnya: demonstrasi, mogok kerja, dan lain-lain), dan sedang melakukan liburan.
Menurut BPS, seseorang dikategorikan sebagai menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang: (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah bekerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Populasi Penduduk
Bukan Angkatan Kerja
Usia di bawah 16 Tahun
Angkatan Kerja
Pekerja
Penganggur Sumber : McConnell (2005)
Gambar 2.1. Struktur Populasi Penduduk berdasarkan Pasar Tenaga Kerja
2.1.3. Persistensi Pengangguran Persistensi
pengangguran
dapat
didefinisikan
sebagai
terjadinya
peningkatan tingkat pengangguran secara terus menerus. Dengan kata lain, gangguan dalam kesetimbangan pasar tenaga kerja menyebabkan terjadinya pengangguran yang persisten.
Menurut Blanchard dan Summer (1986), persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat semula atau tingkat sebelumnya (mean reversion).
2.2. Sumber-Sumber Persistensi Pengangguran Menurut Bruno dan Sachs (1985), pengangguran yang persisten terjadi karena adanya peran dari shock seperti kenaikan harga minyak dunia dan slowdown pertumbuhan produktivitas, sehingga menyebabkan kekakuan upah riil (real wage rigidities) dan kekakuan upah nominal (nominal wage rigidities). Selain itu, menurut Jonas Agell dan Per Lundborg (1990), Kekakuan upah nominal telah membuat upah gagal menjadi market clearing mechanism sehingga tingkat pengangguran menjadi lebih tinggi dari seharusnya. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya di Indonesia yakni: (1) biaya untuk menurunkan upah nominal dianggap lebih tinggi dibandingkan manfaatnya, dan (2) indeksasi upah minimum terhadap inflasi baik secara backward maupun forward. Penyebab kekakuan upah nominal tersebut, diakibatkan oleh adanya faktor-faktor, seperti kekakuan upah ke bawah (downward wage rigidity), pemberlakuan kebijakan upah minimum, penyesuaian upah terhadap inflasi (indeksasi), upah relatif, dan upah efisiensi. Upah nominal bersifat kaku ke bawah (downward rigidity) dan kekakuan tersebut bersifat asimetrik dalam arti upah nominal mudah mengalami kenaikan
tetapi sulit untuk turun (Nickell et al, 2003). Penurunan upah yang bersifat kaku, menurut John Maynard Keynes merupakan fakta sosial dari kehidupan (social fact of life), dan kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya perceived cost yang berasosiasi dengan penurunan upah sehingga perusahaan cenderung sulit mengalami penurunan upah. Ongkos penurunan upah dimanifestasikan dalam bentuk demo buruh, kehilangan pekerja yang produktif, dan turunnya produktivitas rata-rata pekerja. Kekakuan upah ke bawah ini juga dijelaskan dalam model kontrak implisit yang dikembangkan oleh Friedman dan Phelps (1968), yang menekankan proses memaksimumkan perilaku untuk pasar tenaga kerja. Secara ringkas model ini menunjukan bahwa upah pekerja di suatu perusahaan ditentukan secara kontrak antara pemilik perusahaan dan serikat pekerja. Dengan adanya serikat pekerja yang kuat, tingkat upah tidak dapat dengan mudah berubah seperti pada pasar persaingan sempurna. Selain itu, kekakuan upah bisa juga merupakan akibat dari pemberlakuan kebijakan upah minimum. Dalam kebijakan ini, perusahaan secara legal tidak boleh melakukan kebijakan pengupahan di bawah floor wage, sehingga upah minimum sering dijadikan alasan oleh serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah upah minimum. Dan upah minimum merupakan kewajiban legal dan harus diikuti oleh setiap perusahaan serta memiliki kekuatan hukum (Jonas Agell dan Per Lundborg, 1990). Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap inflasi ( Per Lundborg dan Hans Sackhen, 2003). Ketika terjadi inflasi (kenaikan biaya hidup) pekerja akan menuntut kenaikan upah, sehingga
kemungkinan besar perusahaan akan menaikan upah, karena adanya biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah oleh pekerja tidak dikabulkan oleh perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi, mediasi pemerintah). Selain itu, Upah relatif dan upah efisiensi juga dapat menyebabkan kekakuan upah nominal. Upah relatif merupakan upah yang diberikan oleh suatu perusahaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis. Upah tersebut adalah upah persaingan yang bertujuan untuk mencegah tenaga kerja pindah dari suatu perusahaan atau untuk menarik tenaga kerja produktif dari perusahaan lain (Bewley, 1998). Sedangkan upah efisiensi juga menyebabkan perusahaan cenderung untuk menetapkan upah yang lebih tinggi daripada upah kesetimbangan pasar persaingan sempurna. Upah efisiensi pertama kali diperkenalkan oleh Henry Ford, pada saat dilakukannya produksi mobil secara massal, memberikan upah pada pekerja sebesar $5 per hari yang lebih tinggi dari upah rata-rata perusahaan sejenis pada waktu itu, sebesar $2 per hari (Mankiw, 2003). Beberapa alasan dilakukan upah efisiensi, yaitu: 1. Upah efisiensi yang lebih banyak diterapkan di negara-negara miskin, yaitu perusahaan membayar upah di atas tingkat ekuilibrium untuk menjaga agar tenaga kerjanya tetap sehat sehingga akan lebih produktif. 2. Menghindari adverse selection, yaitu kecenderungan orang yang memiliki lebih banyak informasi (dalam hal ini, pekerja yang mengetahui peluang
mereka sendiri di luar) untuk menyeleksi sendiri dalam cara yang merugikan orang-orang yang memiliki lebih sedikit informasi (perusahaan). 3. Menghindari moral hazard. Teori ini menegaskan bahwa perusahaan tidak dapat memantau dengan sempurna upaya para pekerja, dan para pekerja harus memutuskan sendiri sejauh mana mereka akan bekerja keras. Dengan membayar upah yang lebih tinggi, perusahaan memotivasi lebih banyak pekerja agar rajin bekerja dan dengan demikian meningkatkan produktivitas para pekerja. 4. Menciptakan opportunity cost yang tinggi bagi pekerja untuk keluar dari perusahaan, hal ini lebih relevan bagi negara-negara maju. Upah yang tinggi dapat menurunkan perputaran tenaga kerja. Semakin besar perusahaan membayar pekerjanya, semakin besar insentif mereka untuk tetap bekerja dalam perusahaan tertentu. Dengan membayar upah yang tinggi, perusahaan juga mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan perusahaan untuk menarik dan melatih pekerja baru. Konsep kekakuan upah riil (real wage rigidity) sedikit berbeda dengan kekakuan upah nominal. Secara teoritis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan MPL (Marjinal Productivity to Labor). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku (Bruno and Sachs,
1985). Pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan pengangguran. Sedangkan menurut Phelps (1994), peran dari institusi pasar tenaga kerja seperti proteksi tenaga kerja dan asuransi pengangguran, tingginya arus keluar masuk tenaga kerja, adjustment cost, pajak ketenagakerjaan, serta ketentuan upah minimum
dapat
mengakibatkan
peningkatan
pengangguran
dan
tingkat
pengangguran menjadi persisten. Menurut Elmeskov (1993), pencarian pekerja oleh perusahaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti Pergeseran Sektoral (sectoral shift), kesulitan perusahaan mencari pekerja sesuai dengan kualifikasi (mismatch), ketidaksempurnaan media penyampaian informasi lowongan
kerja,
dan
Mobilitas
Geografis.
Selain
itu,
Arthur
Pigou
mengungkapkan bahwa mobilitas geografis diantara para pencari kerja merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pengangguran. Salah satu faktor lainnya yang menyebabkan persistensi pengangguran adalah mekanisme penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan berkaitan dengan kinerja perusahaan, seperti penumpukan tenaga kerja (labor hoarding). Implikasi penumpukan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan yaitu penambahan jam kerja bagi pekerja (lembur) (Elmeskov, 1993).
2.3. Kerangka Teoritis 2.3.1. Pertumbuhan Serikat Pekerja berdasarkan Model AshenfelterPencavel Ashenfelter
dan
pencavel,
pertama
kali
memulai
dengan
cara
mengidentifikasikan dan mengkuantitaskan perubahan dalam biaya dan keuntungan yang didapat dari keanggotaan serikat pekerja. Argumen yang dikemukakan adalah selama periode pertumbuhan ekonomi, tingkat harga berubah melebihi kenaikan upah, sehingga upah riil mengalami penurunan. Jika salah satu dari pendekatan utama serikat pekerja adalah untuk memperjuangkan kenaikan upah pekerja, maka keuntungan yang diharapkan dari bergabungnya pekerja dengan serikat pekerja akan meningkat dengan adanya kenaikan tingkat harga. Sama halnya, ketika terjadi pertumbuhan ekonomi penggunaan tenaga kerja oleh perusahaan semakin meningkat. Sehingga semakin bertambahnya lowongan kerja akan mengurangi biaya imbalan bagi perusahaan dan harapannya bagi keberhasilan organisasi. Selain itu, Ashenfelter dan pencavel juga melengkapi model mereka dengan memasukkan kedalamnya tiga variabel penjelasan lainnya, yang dimaksudkan untuk melihat dampak beberapa kekuatan sosial dan politik. Salah satu kekuatan sosial, yaitu serikat pekerja sebagai wadah penyalur aspirasi tenaga kerja. Meskipun hal ini merupakan suatu konsep yang sulit dihitung kuantitasnya, tapi semakin besarnya kepercayaan pekerja terhadap serikat pekerja sebagai wadah aspirasi pekerja, maka semakin besar keberhasilan keanggotaan serikat pekerja. Sedangkan tingkat penggunaan tenaga kerja pada masa resesi
sebelumnya, dapat menjadi variabel yang menetukan tingkat keresahan dan ketidakpuasan pekerja. Semakin besar nilai tersebut, maka semakin besar perolehan keanggotaan serikat pekerja, ceteris paribus. Sedangkan variabel politik yang digunakan menjelaskan bahwa keanggotaan serikat pekerja akan lebih besar keberhasilannya, jika semakin besar pula jumlah anggota yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, ceteris paribus. Argumen terakhir yang dikemukakan adalah yang dapat digambarkan sebagai argument “pengembalian marjinal yang semakin berkurang terhadap organisasi” (diminishing marginal returns to organizing). Dalam pandangan mereka, semakin besar persentase pekerja di sektor serikat pekerja yang telah bergabung dalam serikat pekerja, maka semakin kecil tingkat keberhasilan keanggotaan serikat pekerja. Dengan demikian dapat disimpulkan model Ashenfelter dan pencavel, mengemukakan bahwa perubahan dalam keanggotaan serikat pekerja haruslah dihubungkan secara positif dengan: (1) perubahan dalam tingkat harga, (2) perubahan dalam penggunaan tenaga kerja, (3) tingkat penggunaan tenaga kerja pada kurun waktu resesi yang sebelumnya, (4) persentase keanggotaan dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi secara negatif dikaitkan dengan keanggotaan serikat pekerja sebagai satu persentase penggunaan tenaga kerja dalam sektor serikat pekerja ekonomi (Bellante dan Jackson, 1990).
2.3.2. Kurva Phillips dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Kenaikan tingkat harga akan menyebabkan penurunan upah riil. Dengan upah riil yang rendah, maka upah tenaga kerja semakin murah sehingga
perusahaan akan menambah tenaga kerja. Dengan demikian, dapat mengurangi tingkat pengangguran.
Tingkat Inflasi Aktual
B
A 0
U*
Un
Tingkat Pengangguran
U’
C SRPCo
Sumber : Bellante dan Jackson (1990) Gambar 2.2. Kurva Phillips Jangka Pendek Keseimbangan awal pada titik A, yaitu tingkat pengangguran alamiah dan tingkat inflasi pada titik nol. Suatu kenaikan yang tidak diharapkan dalam inflasi mencapai tingkat tiga persen mengurangi tingkat pengangguran sampai U*. Sama pula halnya, suatu tingkat deflasi yang tidak diharapkan sebesar dua persen meningkatkan tingkat pengangguran sampai ke U’. Hubungan Phillips jangka pendek SRPCo mengandung semua kemungkinan kombinasi tingkat inflasi aktual dan
tingkat
pengangguran,
dimana
baik
perusahaan
maupun
pekerja
mengharapkan suatu tingkat inflasi pada titik nol. Sedangkan hubungan kurva Phillips dalam jangka panjang, menjelaskan ketika terjadi inflasi pekerja akan sadar bahwa upah nominal yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan upah riil, sehingga merangkum permintaan upah
nominal yang lebih tinggi dimasa yang akan datang dalam kontrak upah mereka. Dengan demikian, mereka menuntut kenaikan upah nominal, sehingga upah riil akan naik dan perusahaan akan mengurangi permintaannya terhadap tenaga kerja. Hal ini karena upah tenaga kerja akan semakin mahal dengan adanya ekspektasi inflasi oleh pekerja melalui kenaikan upah nominal. Hubungan kurva Phillips dalam jangka panjang dapat dilihat dari kurva dibawah ini :
Tingkat Inflasi Aktual LRPC
B
D
Tingkat Pengangguran
A U*
Un
U’
E
C
SRPC3 SRPCo SRPC2
Sumber : Bellante dan Jackson (1990) Gambar 2.3. Kurva Phillips Jangka Panjang Keseimbangan awal pada titik A (SRPCo) suatu tingkat inflasi yang tidak diharapkan sebesar tiga persen mengurangi tingkat pengangguran sampai U* (B). Sama halnya, suatu deflasi yang tidak diharapkan sebesar dua persen meningkatkan pengangguran sampai tingkat U’ (C). Kemudian adanya ekspektasi inflasi, sehingga kurva Phillips jangka pendek pun bergeser. Pada kasus pertama SRPCo bergeser sampai ke SRPC3, sedangkan pada kasus kedua, SRPCo bergeser
ke kiri (SRPC2). Jadi, hubungan kurva Phillips jangka panjang LRPC melukiskan bahwa keseimbangan dalam pasar tenaga kerja pada tingkat pengangguran alamiah mungkin terjadi pada setiap tingkat inflasi aktual sampai tingkat inflasi tersebut menjadi seperti yang diharapkan.
2.4. Penelitian Terdahulu Studi-studi yang menjelaskan mengapa tingkat pengangguran begitu tinggi dilakukan penelitian untuk menguji eksistensi persistensi pengangguran oleh Wu (2003). Penelitian ini menguji eksistensi persistensi pengangguran serta sumber persistensi yang terjadi di Cina. Studinya difokuskan pada perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum muda (total dan youth unemployment), tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga esensi penting. Pertama, pengangguran di tingkat provinsi (provincial unemployment) lebih persisten dibanding pengangguran agregat nasional (national aggregate unemployment). Kedua, pengangguran total lebih persisten daripada pengangguran kaum muda. Ketiga, walaupun wilayah barat Cina memiliki tingkat pengangguran provinsi tertinggi tetapi persistensi pengangguran regionalnya terendah. Kemudian, metode data panel digunakan untuk menganalisis sumber-sumber dari persistensi pengangguran. Hasil estimasi data panel menunjukkan bahwa persistensi pengangguran relatif regional di Cina disebabkan bukan hanya dari high output share by state sector tetapi juga dari high output share by collective sector. Semakin tinggi share
output industri terhadap state sector dan collective sector maka persistensi pengangguran regional semakin eksis. Elmeskov
(1993),
juga
melakukan
penelitian
tentang
eksistensi
pengangguran dengan judul “ High and Persistent Unemployment : Assesment of the Problem and Its Causes “. Penelitian ini, menjelaskan perkembangan pasar tenaga kerja bagi negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) dan faktor-faktor penyebabnya. Analisis penelitian ini, dimulai dengan menyimpulkan ukuran yang tepat untuk menentukan tingkat pengangguran, sehingga adanya perbedaan tingkat penganggguran antar beberapa negara dan dari tahun ke tahun. Dan juga menyatakan bahwa adanya peningkatan dalam ukuran pengangguran, hal ini mempresentasikan adanya penurunan dalam tingkat kebenaran perhitungan pengangguran. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan tren pengangguran di beberapa negara, kemudian disimpulkan
apakah
peningkatan
tren
pengangguran
tersebut
juga
mempresentasikan peningkatan dalam tingkat pengangguran alamiah dan kesetimbangan. Dan peningkatan tren pengangguran tersebut disebabkan oleh pengaruh kebijakan dan bukan kebijakan, yang mempengaruhi ekuilibrium pengangguran dan kecepatan penyesuaian pasar tenaga kerja. Linblad (1997) dalam penelitiannya mengenai persistensi pengangguran di Swedia, menemukan bukti yang cukup kuat bahwa komponen permanen dalam tingkat pengangguran meningkat secara substansial selama beberapa periode penelitiannya. Adapun penyebab pengangguran persisten adalah natural rate shocks, siklus pengangguran yang panjang, spill-over pengangguran siklikal
menjadi pengangguran permanen, dan kombinasi dari guncangan siklikal dan permanen dalam efek spill-over. Hasil temuan juga menunjukkan bahwa dalam kasus pengangguran terbuka, komponen permanen meningkat dari 1.4 persen (tahun 1990) menjadi 9.2 persen (tahun 1994) dan dari 3 persen menjadi 13.9 persen pada periode yang sama pada kasus pengangguran total. Catatan terpenting dari penelitian ini adalah bahwa hasil estimasi (untuk sampel jangka panjang) menunjukkan peningkatan 1 persen dalam pengangguran siklikal akan meningkatkan tingkat alamiah pengangguran (NAIRU) sekitar 0.5 – 0.8 persen. Selain itu, total pengangguran dan pengangguran terbuka di Swedia menunjukkan pola pengangguran yang persisten.
2.5. Kerangka Pemikiran Sumber Persistensi Pengangguran
Proses Pencarian Pekerja
Kekakuan Upah
Faktor Lainnya
Mismatch
Kekauan Upah ke Bawah
Regulasi Pemerintah
Pergeseran Sektoral
Upah Relatif
Peran Serikat Pekerja
Informasi Lowongan Kerja
Upah Efisiensi
Mekanisme Penyesuaian
Mobilitas Geografis
Kebijakan Upah Minimum
Waktu Pencarian Pekerja oleh Perusahaan
Kekakuan Upah Riil Indeksasi
Persistensi Pengangguran
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran digunakan sebagai panduan dalam pelaksanaan penelitian, yaitu untuk menjawab tujuan dari penelitian ini. Kerangka pemikiran
ini menggambarkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam tingkat pengangguran dan akhirnya menyebabkan tingkat pengangguran menjadi persisten. Sumber-sumber
yang
menyebabkan
persistensi
pengangguran
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu faktor yang berkaitan dengan proses pencarian pekerja oleh perusahaan, yang dapat menyebabkan waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendapatkan pekerja semakin lama, faktor yang menyebabkan kekakuan upah sehingga upah yang diberikan perusahaan kepada pekerja lebih tinggi dari upah kesetimbangan di pasar tenaga kerja, dan faktor lainnya seperti adanya regulasi pemerintah, peran serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja (misalnya; kenaikan upah), dan mekanisme penyesuaian yang dilakukan perusahaan yang berhubungan dengan kondisi kinerja perusahaan. Faktor-faktor tersebut dapat menjelaskan secara deskriptif tentang penyebab persistensi pengangguran, sehingga dapat ditentukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah pengangguran.
2.6. Hipotesis Penelitian 1) Kekakuan upah berpengaruh terhadap tingkat upah berada diatas upah kesetimbangan, sehingga mengakibatkan peningkatan dalam tingkat pengangguran. 2) Proses pencarian pekerja (yang dipengaruhi oleh pergeseran sektoral, mismatch, informasi lowongan, dan mobilitas geografis) mempengaruhi
lamanya waktu pencarian pekerja oleh perusahaan, sehingga menyebabkan tingkat pengangguran semakin meningkat. 3) Regulasi pemerintah (pemberlakuan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) bagi semua pekerja) berpengaruh terhadap tingkat upah berada di atas upah kesetimbangan, sehingga mempengaruhi peningkatan tingkat pengangguran. 4) Mekanisme
penyesuaian
(penambahan
jam
kerja
bagi
pekerja),
berpengaruh terhadap peningkatan tingkat pengangguran. 5) Keefektifan serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja (kenaikan upah), berpengaruh terhadap tingkat upah berada di atas upah kesetimbangan sehingga mempengaruhi peningkatan pengangguran.
III. GAMBARAN UMUM
3.1. Kondisi Umum Pengangguran di Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa tingkat pengangguran pada Agustus 2007 lebih rendah jika dibandingkan dengan Agustus 2006 yang tercatat sebesar 10.28 persen. Penurunan angka pengangguran tersebut yaitu sebesar 920.86 ribu orang, dengan kondisi angka pengangguran pada Agustus 2006 sebesar 10.93 orang. Penurunan angka pengangguran sebesar 921 ribu orang dari Agustus 2006 ke Agustus 2007 tersebut, 720 ribu orang diantaranya adalah penganggur perempuan. Sedangkan penurunan penganggur laki-laki hanya 201 ribu orang. Selain itu, menurunnya angka penggangguran juga terjadi pada Agustus 2007 yaitu sebanyak 536.78 ribu orang jika dibanding dengan kondisi Februari 2007. Penurunan tersebut dari 10.55 juta orang pada Februari 2007 menjadi 10.01 juta pada Agustus 2007. Meskipun angka pengangguran tersebut menurun, penurunan jumlah pengangguran tidak sebanding dengan penambahan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2007 tercatat sebanyak 109.94 juta orang atau bertambah sebesar 1.81 juta orang dibandingkan dengan angkatan kerja pada Februari 2007 yang mencapai 108.13 juta orang. Jika dibandingkan dengan kondisi Agustus 2006, jumlah angkatan kerja meningkat sebesar 3.55 juta orang. Sehingga, dapat disimpulkan tingkat pengangguran Indonesia tetap mengalami peningkatan.
Fenomena lain yang terjadi adalah peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal, pada Agustus 2007 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 99.93 juta orang, bertambah 2.35 juta orang jika dibandingkan Februari 2007 yang tercatat sebesar 97.58 juta orang. Sebagian besar penduduk tersebut adalah angkatan kerja yang masuk dalam kategori under employment atau bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Artinya, dapat disimpulkan penyerapan tenaga kerja lebih banyak di sektor informal, terutama sektor jasa dan perdagangan. Sedangkan sektor industri yang merupakan sektor formal memiliki daya serap tenaga kerja yang rendah. Hal ini disebabkan lambatnya pertumbuhan industri di Indonesia. Dengan demikian, angkatan kerja yang setiap tahun bertambah tidak sepenuhnya dapat diserap dan akhirnya mengakibatkan peningkatan jumlah pengangguran.
3.2. Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia, Gender, dan Tingkat Pendidikan Hal yang umumnya terjadi adalah tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran usia dewasa. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 rasio pengangguran usia muda berjumlah sekitar dua kali lebih besar dibandingkan rasio pengangguran usia dewasa. Salah satu faktor yang ditengarai menjadi penyebab tingginya pengangguran usia muda adalah lemahnya sistem pendidikan dalam mempersiapkan siswa-nya untuk memasuki dunia kerja. Sistem pendidikan yang terbentuk selama ini tampaknya masih menghasilkan angkatan kerja usia
muda dengan kemampuan yang terbatas (lack of skill). Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pengalaman (lack of experience) angkatan kerja usia muda tersebut. Tabel 3.1. Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia dan Gender 1996
2000
2006
Perbandingan antara tingkat pengangguran usia muda (usia 15-24 tahun) terhadap tingkat pengangguran dewasa (usia 25-64 tahun)
2.42
2.11
1.61
Perbandingan antara tingkat pengangguran tua (usia 55-64 tahun) terhadap tingkat pengangguran usia produktif (usia 25-54 tahun)
0.02
0.02
0.15
Perbandingan antara tingkat pengangguran Wanita terhadap tingkat pengangguran Laki-laki
0.87
0.74
0.97
Sumber : InterCAFE (2008) Perbandingan pengangguran kelompok usia lainnya, yaitu rasio tingkat pengangguran usia tua (55-64 tahun) lebih rendah dibandingkan usia produktif (25-54 tahun). Salah satu aspek yang mendapat perhatian dalam studi ekonomi tenaga kerja adalah scarring theory of unemployment. Ide dasarnya adalah bahwa pengalaman menganggur akan mempengaruhi prospek seseorang dalam kesempatan kerja yang akan datang. Semakin lama seseorang menganggur akan semakin berdampak pada perkembangan karirnya seperti kemampuan yang semakin berkurang, pendapatan yang cenderung menurun, rendahnya kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang baru serta semakin tingginya peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang cenderung kurang stabil. Dampak scarring unemployment ini terutama dirasakan oleh angkatan kerja yang lebih terampil (more skilled), berpendidikan tinggi (high educated), dan tenaga kerja terlatih (trained).
Sedangkan struktur pengangguran di Indonesia berdasarkan gender, secara umum ditunjukkan melalui data pengangguran di Indonesia yang menggambarkan bahwa rasio tingkat pengangguran laki-laki lebih tinggi dibandingkan pengangguran wanita meskipun perbedaannya relatif kecil. Studi Elmeskov (1993), menunjukkan kondisi yang sama dengan Indonesia juga dialami oleh beberapa negara di Eropa. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa perbedaan tingkat pengangguran antar gender tersebut semakin mengecil. Penelitian yang akan dilakukan ini tidak membahas secara khusus penyebab terjadinya perbedaan tersebut, tapi lebih mengarah kepada penyebab persistensi pengangguran secara menyeluruh.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data cross section pada tahun 2008. Sumber data berasal dari Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE). Data-data yang digunakan merupakan hasil survei penelitian perusahaanperusahaan di Indonesia, diantaranya Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari setiap provinsi ini, ditentukan dua kota atau kabupaten yang representatif dengan kriteria, sebagai berikut: (1) kota atau kabupaten dengan PDRB per kapita mendekati PDRB per kapita provinsi, dan (2) kota atau kabupaten yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi. Dengan merujuk pada kriteria tersebut, penelitian yang dilakukan oleh LPPM InterCAFE tersebut terdapat di wilayah berikut: 1. Riau (Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru), 2. Jawa Barat (Kabupaten Bogor dan Kota Cimahi), 3. Kalimantan Barat (Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak), 4. Sulawesi Utara (Kota Manado dan Kabupaten Bolaang Mongondow), 5. Nusa Tenggara Barat (Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur). Data perusahaan tersebut terbagi menjadi tiga sektor, yaitu pertanian, industri manufaktur dan jasa. Selain itu, data-data yang digunakan adalah data yang berkaitan dengan sumber-sumber persistensi pengangguran yang terdiri dari
penyebab kekakuan upah, proses pencarian pekerja yang dilakukan oleh perusahaan yang dapat menyebabkan waktu pencarian pekerja semakin lama, serta faktor lainnya seperti peraturan pemerintah, mekanisme penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan, dan peran serikat pekerja.
4.2. Metode Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan program SPSS 15.0. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif tersebut dilakukan dengan menggunakan metode tabel silang (crosstabs) untuk penggunaan data berskala nominal atau kategori. Faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran yang akan diamati dalam penelitian ini adalah faktor penyebab kekakuan upah, yaitu kekakuan upah ke bawah (downward wage rigidity), kebijakan upah minimum, indeksasi (penyesuaian upah terhadap inflasi), upah efisiensi, upah relatif, dan kekakuan upah riil. Selain itu, faktor proses pencarian pekerja, diantaranya: kesulitan perusahaan dalam memperoleh pekerja yang sesuai dengan kualifikasi (mismatch), pergeseran sektoral (sectoral shift), informasi lowongan kerja yang tidak sempurna, mobilitas geografis, serta faktor lainnya, yaitu peraturan pemerintah tentang ketenagakerjaan (contohnya, pemberlakuan asuransi sosial kepada pekerja), adanya mekanisme penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan, misalnya penumpukan tenaga kerja yang dilakukan perusahaan (labor hoarding) dengan implikasinya yaitu tindakan perusahaan dalam menambah jam kerja bagi para pekerjanya (lembur) ketika kinerja perusahaan meningkat, dan peran serikat
pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja (misalnya memperjuangkan kenaikan upah bagi pekerja). Faktor-faktor penyebab tersebut dapat menyebabkan waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendapatkan pekerja baru semakin lama dan upah yang diberikan perusahaan kepada pekerja berada di atas upah kesetimbangan. Upah
tersebut
dapat
memberatkan
perusahaan
sehingga
terjadi
pengurangan penyerapan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan, yang dapat mengakibatkan peningkatan pengangguran. Dan akhirnya, kondisi pengangguran akan mencapai tahap persisten.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Umum Responden Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang menyebabkan persistensi pengangguran berdasarkan perspektif perusahaan ini merupakan data sekunder dari hasil survei penelitian yang dilakukan oleh LPPM InterCAFE, yang terdiri dari 72 responden perusahaan. Responden perusahaan tersebut tersebar di lima provinsi dengan proporsi yang hampir merata, yaitu Riau (19.4 persen), Jawa Barat (20.8 persen), Kalimantan Barat (19.4 persen), Sulawesi Utara (19.4 persen), dan Nusa Tenggara Barat (20.8 persen). Dengan penyebaran di beberapa kabupaten, yaitu Pekan Baru (19.4 persen), Cimahi (15.3 persen), Bogor (5.6 persen), Kota Pontianak (11.1 persen), Kabupaten Pontianak (8.3 persen), Manado (11.1 persen), Bolaang Mongondow (8.3 persen), Mataram (13.9 persen), Lombok Timur (6.9 persen). Selain itu, responden perusahaan ini diklasifikasikan dalam tiga sektor, yang terdiri atas 9 perusahaan di sektor pertanian (12.5 persen), 37 perusahaan di sektor industri manufaktur (51.4 persen), dan 26 perusahaan di sektor jasa (36.1 persen). Responden perusahaan juga menggambarkan mengenai perusahaan yang memiliki tenaga kerja lepas dan tidak memiliki tenaga kerja lepas, dari ketersediaan pekerja lepas, terdapat 69.4 persen perusahaan yang memiliki pekerja lepas dan 30.6 persen tidak memiliki pekerja lepas.
Sektor Pekerja Lepas
Pertanian
12.50%
30.60%
36.10%
51.40%
Industri Manufaktur Jasa
Punya Tidak Punya
69.40%
Gambar 5.1. Persentase Sebaran Responden Menurut Sektor dan Ketersediaan Tenaga Kerja Lepas
Kabupaten
Provinsi 19.40%
20.80%
13.90%
6.90%
19.40%
8.30%
20.80%
19.40% 19.40%
Riau Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat
Jawa Barat Sulawesi Utara
15.30%
11.10% 8.30%
Pekan Baru Bogor Kab Pontianak Bolaang Mongondow Lombok Timur
11.10%
5.60%
Cimahi Kota Pontianak Manado Mataram
Gambar 5.2. Persentase Sebaran Responden Menurut Provinsi dan Kabupaten
5.2. Kekakuan Upah Kekakuan upah (wage rigidity) sering dipandang sebagai salah satu penyebab utama kenaikan tingkat pengangguran secara berkepanjangan. Pada dasarnya kekakuan upah dikelompokan menjadi dua, yaitu kekakuan upah nominal dan kekakuan upah riil.
5.2.1. Kekakuan Upah Nominal Kekakuan upah nominal dapat diakibatkan oleh kekakuan upah ke bawah (downward wage rigidity), pemberlakuan kebijakan upah minimum, penyesuaian upah terhadap inflasi (indeksasi), upah relatif, dan upah efisiensi. Semua faktor tersebut berpotensi untuk mengakibatkan upah nominal berada di atas upah kesetimbangan di pasar tenaga kerja. Upah nominal bersifat kaku ke bawah (downward rigidity) dan kekakuan tersebut bersifat asimetrik dalam arti upah nominal mudah mengalami kenaikan tetapi sulit untuk turun, dijelaskan dalam tabel di bawah ini yang merangkum jawaban responden tentang penurunan dan kenaikan upah yang dilakukan perusahaan. Tabel 5.1 Penurunan Upah yang Tidak Terkait Kinerja Apakah perusahaan Anda pernah melakukan penurunan upah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dan penurunan tersebut tidak berkaitan dengan kinerja pekerja? Pernah Tidak Pernah Total
Persentase Pekerja Tetap
Pekerja Lepas
5.7 94.3 100
1.9 98.1 100
Responden perusahaan yang tidak pernah melakukan penurunan upah bagi pekerja tetap dan pekerja lepas selama kurun waktu tiga tahun terakhir yang tidak terkait kinerja, masing-masing 94.3 persen dan 98.1 persen. Hal ini membuktikan terjadinya kekakuan upah ke bawah. Oleh karena itu, kekakuan upah ke bawah merupakan fenomena umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan. Kekakuan upah nominal dapat menyebabkan upah yang diberlakukan perusahaan kepada pekerja berada di atas upah kesetimbangan sehingga mengakibatkan peningkatan
tingkat pengangguran. Karena upah tenaga kerja akan semakin mahal, maka perusahaan mengurangi penyerapan tenaga kerja atau memberhentikan tenaga kerja yang sudah bekerja di perusahaan. Dengan demikian meningkatkan pengangguran. Selain itu, kekakuan upah nominal yang bersifat asimetrik tersebut juga dijelaskan dalam tabel di bawah ini, tentang pendapat responden pernah atau tidak mengalami kenaikan upah. Tabel 5.2. Kenaikan Upah yang Terjadi dalam Setahun Terakhir Dibandingkan dengan setahun yang lalu, apakah upah pekerja telah mengalami kenaikan? Ya Tidak Total
Persentase Pekerja Pekerja Tetap Lepas 97.1 90.4 2.9 9.6 100 100
Secara umum, mayoritas perusahaan telah melakukan kenaikan upah dibandingkan setahun yang lalu, baik untuk pekerja tetap maupun pekerja lepas. Namun, persentase jawaban perusahaan yang menaikkan upah pekerja lepas relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja tetap (90.4 persen untuk pekerja lepas dan 97.1 persen untuk pekerja tetap). Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan lebih memprioritaskan kenaikan upah untuk pekerja tetap karena sifat pekerja lepas yang secara relatif lebih banyak menerima kontrak kerja dengan terpaksa sehingga mereka akan menerima upah berapa saja yang diberikan perusahaan. Selain itu, pekerja lepas biasanya tidak bekerja lama di suatu perusahaan, artinya sering berpindah-pindah kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Kekakuan upah nominal dapat juga merupakan akibat dari pemberlakuan kebijakan upah minimum oleh pemerintah. Tabel di bawah ini menjelaskan terjadinya pemberlakuan upah minimum di perusahaan. Tabel 5.3. Kebijakan Pengupahan Kebijakan Upah Minimum Kurang lebih sama dengan upah minimum Lebih rendah dibanding upah minimum Lebih tinggi dibanding dengan upah minimum Total
Persentase Pekerja Tetap Pekerja Lepas 38.6
46.2
7.1
17.3
54.3
36.5
100
100
Kenyataannya berdasarkan data (Tabel 5.3), hanya 38.6 persen responden perusahaan yang menjawab bahwa upah yang diberikan kepada pekerja tetap kurang lebih sama dengan upah minimum, sedangkan untuk pekerja lepas 46.2 persen. Pemberlakuan kebijakan upah minimum ini dapat mengakibatkan kekakuan upah nominal dan upah akan berada di atas upah kesetimbangan, sehingga pengangguran akan meningkat. Responden perusahaan yang menjawab pemberian upah lebih rendah dari upah minimum, untuk pekerja tetap persentasenya lebih kecil daripada pekerja lepas, yaitu 7.1 persen untuk pekerja tetap dan 17.3 persen untuk pekerja lepas. Sedangkan, pemberian upah lebih tinggi dari upah minimum, persentasenya lebih besar pekerja tetap daripada pekerja lepas yaitu 54.3 persen untuk pekerja tetap dan 36.5 persen untuk pekerja lepas. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lebih baik untuk menentukan upah di bawah upah minimum untuk pekerja lepas daripada pekerja tetap.
Sepertinya, dalam situasi pengangguran yang tinggi, preferensi perusahaan cenderung akan lebih besar kepada pekerja lepas karena pekerja lepas ini bersedia diberikan upah lebih rendah asalkan mereka bisa mendapatkan kerja. Meskipun demikian, berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan upah minimum dapat mencegah sebagian besar perusahaan agar tidak memberikan upah lebih rendah dari upah minimum. Penelitian ini juga menganalisis untuk melihat hubungan masing-masing sektor dengan kebijakan upah minimum. Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari ketiga sektor yaitu pertanian, industri manufaktur dan jasa, yang memiliki persentase jawaban terbesar dalam pemberlakuan kebijakan upah minimum adalah sektor industri manufaktur dan jasa (17.1 persen dan 15.7 persen untuk pekerja tetap, 21.2 persen dan 17.3 persen untuk pekerja lepas) (Lampiran 1). Artinya, sektor pertanian berpotensi lebih besar untuk tidak memberlakukan kebijakan upah minimum kepada para pekerja mereka (5.7 persen untuk pekerja tetap dan 7.7 persen untuk pekerja lepas, perusahaan yang memberlakukan kebijakan upah minimum) (Lampiran 1). Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya penyesuaian upah terhadap kenaikan biaya hidup atau inflasi baik secara backward maupun forward. Adanya penyesuaian upah oleh pekerja diwujudkan dengan melakukan tuntutan kenaikan upah kepada perusahaan. Salah satu implikasi dari indeksasi adalah adanya penyesuaian dalam penetapan upah minimum terhadap inflasi yang dapat menyebabkan market clearimg mechanism tidak berjalan. Hal ini dapat dilihat
dari tabel-tabel di bawah ini tentang tindakan pekerja ketika terjadi kenaikan biaya hidup dan penyesuaian upah minimum terhadap inflasi. Tabel 5.4. Tindakan Pekerja dalam Penyesuaian Upah Manakah yang biasa dilakukan pekerja ? Jika telah terjadi peningkatan biaya hidup, pekerja akan segera menuntut upah yang lebih tinggi. Jika diperkirakan akan terjadi kenaikan biaya hidup, pekerja akan segera menuntut upah yang lebih tinggi. Tidak melakukan apa-apa, baik setelah terjadi kenaikan biaya hidup ataupun pada saat diperkirakan akan ada kenaikan biaya hidup. Total
Persentase
28.6
4.3
67.1 100
Tabel 5.5. Faktor untuk Penyesuaian Upah Minimum Berdasarkan pengamatan Anda, berdasarkan apakah upah minimum disesuaikan? Inflasi tahun lalu Inflasi yang akan datang Inflasi tahun lalu dan yang akan datang Total
Persentase Pekerja Pekerja Tetap Lepas 29.4 30.9 13.7 14.7 56.9 54.4 100.0 100.0
Data menunjukkan bahwa 28.6 persen pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi setelah terjadi peningkatan biaya hidup, dan 4.3 persen pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi ketika akan terjadi kenaikan biaya hidup (Tabel 5.4). Persentase tersebut mengindikasikan terjadinya indeksasi yang dilakukan pekerja terhadap upah. Indeksasi dapat mengakibatkan upah yang diberlakukan perusahaan kepada pekerja akan lebih tinggi di atas upah kesetimbangan di pasar tenaga kerja. Sehingga tingkat pengangguran akan meningkat, karena upah tenaga kerja
semakin mahal. Selain itu, hasil penelitian juga membuktikan bahwa terjadinya indeksasi upah minimum terhadap inflasi, yaitu 56.9 persen terhadap pekerja tetap dan 54.4 persen terhadap pekerja lepas (Tabel 5.5), upah minimum diindeksasi secara backward dan forward. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 67.1 persen perusahaan menjawab para pekerja mereka tidak melakukan penyesuaian upah (indeksasi), baik setelah terjadi kenaikan biaya hidup yang diindikasikan dengan terjadinya inflasi ataupun pada saat diperkirakan akan terjadi kenaikan biaya hidup. Hal ini, menjelaskan bahwa pekerja belum mampu untuk memprediksi terjadinya inflasi ataupun menyesuaikan upah yang mereka peroleh dengan inflasi. Implikasi terpenting dari adanya penyesuaian upah terhadap inflasi (indeksasi) adalah kemungkinan tidak efektifnya kebijakan moneter yang bersifat ekspansif dalam mengatasi pengangguran. Karena, seharusnya saat upah nominal tidak berubah dan terjadi inflasi, maka upah riil akan turun yang membuat tenaga kerja menjadi lebih murah sehingga mendorong perusahaan menggunakan lebih banyak tenaga kerja. Artinya, terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran. Namun, yang terjadi kenyataannya tidak demikian, karena adanya penyesuaian upah oleh pekerja terhadap inflasi. Sehingga, kebijakan moneter yang berusaha mendorong anticipated inflation maupun unanticipated inflation sama sekali tidak efektif karena akan dikompensasi oleh mekanisme indeksasi secara backward maupun forward yang terlalu berlebihan. Bahkan yang tercipta adalah inflasi yang persisten tanpa memiliki pengaruh terhadap tingkat pengangguran. Dalam situasi seperti ini,
kebijakan inflation targeting dengan sasaran inflasi jangka panjang yang lebih rendah menjadi lebih relevan. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan kekakuan upah nominal adalah upah relatif dan upah efisiensi yang diberikan perusahaan. Dari hasil penelitian, perusahaan yang memberlakukan upah relatif bagi pekerja mereka yaitu responden perusahaan yang menjawab memberikan upah bagi pekerja lebih tinggi dari perusahaan lain yang sejenis, adalah 33.8 persen untuk pekerja tetap dan 25 persen untuk pekerja lepas (Tabel 5.6). Upah relatif dapat menyebabkan upah yang diberikan perusahaan kepada pekerja lebih tinggi dari upah kesetimbangan, sehingga tingkat pengangguran akan meningkat. Namun dari hasil penelitian juga menunjukkan
besarnya
jawaban
responden
yang
menyatakan
tidak
diberlakukannya upah relatif bagi para pekerja, yaitu 66.2 persen untuk pekerja tetap dan 66.7 persen untuk pekerja lepas. Hal ini terjadi karena kondisi tingkat pengangguran yang tinggi, sehingga perusahaan tidak perlu memberikan upah yang lebih kompetitif untuk bersaing dengan perusahaan sejenis dalam mencari tenaga kerja. Pemberlakuan upah relatif terbanyak yang dilakukan oleh masing-masing sektor yaitu sektor industri manufaktur, 19.1 persen untuk pekerja tetap dan 17.6 persen untuk pekerja lepas. Sektor industri manufaktur merupakan sektor terbanyak yang memberlakukan kebijakan upah relatif bagi pekerja, karena industri manufaktur lebih kompetitif dan selektif dalam mencari tenaga kerja yang produktif. Sedangkan untuk sektor pertanian sebagian besar perusahaan di sektor
ini tidak memberlakukan upah relatif, yaitu hanya 5.9 persen untuk pekerja tetap dan 3.9 persen untuk pekerja lepas dari total responden perusahaan (Lampiran 2). Sedangkan untuk upah efisiensi berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5.7), secara signifikan beberapa perusahaan memberlakukan upah efisiensi, persentase perusahaan yang menjawab memberlakukan upah efisiensi sebesar 38.6 persen untuk pekerja tetap dan 33.3 persen untuk pekerja lepas, dari jawaban responden yang menyatakan adanya pemberian renumerasi untuk pekerja produktif. Persentase tersebut tidak jauh berbeda antara pekerja tetap dan lepas, artinya pekerja lepas pun akan diberikan upah efisiensi oleh perusahaan jika memiliki kinerja tinggi. Upah efisiensi akan menyebabkan upah yang berlaku kepada pekerja lebih tinggi dari upah kesetimbangan, sehingga mengakibatkan peningkatan pengangguran. Upah efisiensi yang diberlakukan oleh masing-masing sektor terbanyak dilakukan oleh sektor industri manufaktur, yaitu 21.4 persen untuk pekerja tetap dan 15.4 persen untuk pekerja lepas dari total responden perusahaan. Sedangkan untuk sektor pertanian, persentase jawaban responden yang menyatakan diberlakukannya upah efisiensi sangat kecil, yaitu 4.3 persen untuk pekerja tetap dan 1.9 persen untuk pekerja lepas (Lampiran 3). Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian tidak memotivasi pekerja untuk lebih produktif dengan memberikan upah efisiensi bagi pekerjanya, tetapi dengan faktor lain yang dapat meningkatkan produktivitas pekerja, seperti pengawasan yang ketat terhadap pekerja, walaupun faktor ini tidak efektif dilakukan pada perusahaan yang memiliki tenaga kerja banyak karena akan
menimbulkan moral hazard akibat pengawasan yang tidak sempurna. Selain itu, dapat juga dengan menciptakan kondisi hubungan dan lingkungan kerja yang baik, sehingga pekerja nyaman dalam bekerja. Faktor-faktor motivasi bekerja yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerjanya juga dapat dilihat dari hasil penelitian (Tabel 5.8). Berdasarkan hasil penelitian, faktor motivasi paling banyak digunakan oleh perusahaaan adalah hubungan yang baik antara pihak manajemen dan pekerja, 48.6 persen terhadap pekerja tetap dan 43.4 persen terhadap pekerja lepas. Faktor motivasi lainnya yang digunakan oleh perusahaan yaitu pengawasan yang ketat terhadap pekerja, kondisi dan lingkungan kerja yang baik, banyaknya angkatan kerja yang menganggur, dan target yang ditetapkan oleh perusahaan. Tabel 5.6. Acuan Penentuan Upah Relatif Apakah upah yang dibayarkan oleh perusahaan : Kira-kira setara dengan perusahaan sejenis Kurang dari perusahaan sejenis Lebih dari perusahaan sejenis Total
Persentase Pekerja Tetap Pekerja Lepas 66.2
66.7
33.8 100
33.3 100
Tabel 5.7. Apresiasi Perusahaan terhadap Pekerja yang Lebih Produktif Apakah yang akan diterima oleh pekerja yang memiliki kinerja di atas rata-rata pekerja lainnya? Renumerasi/fasilitas/posisi/jabatan yang lebih baik Bonus tambahan Tidak ada Total
Persentase Pekerja Tetap Pekerja Lepas 38.6
25
47.1 14.3 100
46.2 28.8 100
Tabel 5.8. Faktor- Faktor Motivasi Bekerja Faktor apakah yang paling penting memotivasi pekerja dalam bekerja ? Pengawasan yang ketat terhadap pekerja Gaji/renumerasi yang tinggi Hubungan yang baik antara pihak manajemen dan pekerja Kondisi dan lingkungan kerja yang baik Banyaknya angkatan kerja yang menganggur Target yang ditetapkan perusahaan Total
Persentase Pekerja Tetap
Pekerja Lepas
10
9.4
25.7
22.6
48.6
43.4
8.6
9.4
4.3
7.5
2.9
7.5
100
100
5.2.2. Kekakuan Upah Riil Konsep kekakuan upah riil (real wage rigidity) sedikit berbeda dengan kekakuan upah nominal. Hasil data olahan (Tabel 5.9), 25.7 persen responden perusahaan menyatakan akan menaikkan tingkat upah untuk pekerja tetap saat produktifitas perusahaan menurun dan bersamaan dengan adanya kenaikan biaya hidup yang disebabkan oleh inflasi. Seharusnya saat produktifitas perusahaan menurun maka upah riil yang diterima pekerja juga turun, dengan dilakukannya penurunan upah nominal oleh perusahaan. Tetapi adanya kenaikan biaya hidup menyebabkan pekerja menuntut kenaikan upah maka perusahaan dengan berbagai pertimbangan terutama adanya perceived cost dari tuntutan pekerja jika tidak dikabulkan, maka perusahaan
melakukan kenaikan tingkat upah nominal sehingga upah riil yang diterima pekerja tidak turun. Hal ini menjelaskan adanya kekakuan upah riil. Dengan demikian, tingkat pengangguran akan meningkat, karena upah tenaga kerja akan semakin mahal sehingga perusahaan mengurangi penyerapan tenaga kerja atau memberhentikan pekerja kurang produktif yang sudah bekerja di perusahaan. Tabel 5.9. Penyesuaian Upah Riil Jika perusahaan mengalami penurunan produktivitas dan pada saat yang sama terjadi kenaikan biaya hidup, apa yang akan dilakukan perusahaan yang terkait dengan upah pekerja? Menaikkan tingkat upah Menahan kenaikan upah Lainnya Total
Persentase Pekerja Tetap
Pekerja Lepas
25.7 58.6 15.7 100
22 54 24 100
5.3. Proses Pencarian Pekerja. Pencarian pekerja oleh perusahaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pergeseran sektoral (sectoral shift), kesulitan perusahaan mencari pekerja sesuai dengan kualifikasi (mismatch), ketidaksempurnaan media penyampaian informasi lowongan kerja , dan mobilitas geografis.
5.3.1. Mismatch Mismatch adalah ketidaksesuaian antara lowongan kerja (job vacancy) yang tersedia dengan skill dari para pencari kerja (job seekers). Penyebabnya adalah perbedaan kualifikasi dan latar belakang pendidikan calon pekerja dengan
yang diinginkan oleh perusahaan. Akibatnya, perusahaan mengalami kesulitan mencari pekerja yang sesuai dibutuhkan oleh perusahaan dan pekerja juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi dan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh mereka. Tabel di bawah ini menjelaskan tentang besarnya kemungkinan terjadinya mismatch bagi perusahaan. Tabel 5.10. Tingkat Kesulitan Mencari Pekerja yang Sesuai Kualifikasi Apakah perusahaan anda pernah mengalami Persentase kesulitan mencari pekerja bagian operasional Pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang Pekerja Tetap Lepas diperlukan? Ya 37.7 24.5 Tidak 62.3 75.5 100 100 Total Tabel 5.9 menunjukkan bahwa 37.7 persen jawaban responden perusahaan menyatakan terjadinya mismatch dalam mencari pekerja tetap oleh perusahaan, 24.5 persen juga terjadi pada pekerja lepas. Persentase ini menjelaskan bahwa perusahaan relatif lebih sulit dalam mendapatkan pekerja tetap yang sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan daripada pekerja lepas. Hal ini dikarenakan oleh pekerja lepas yang memiliki keterampilan lebih beragam atau jenis pekerjaan yang disediakan oleh perusahaan untuk pekerja lepas tergolong pekerjaan umum, artinya dapat dikerjakan tanpa harus memiliki kemampuan khusus. Kesulitan mencari pekerja sesuai kualifikasi oleh perusahaan dapat mengakibatkan waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mengisi lowongan kerja akan semakin lama. Sehingga menyebabkan tingkat pengangguran meningkat, sejalan dengan bertambahnya angkatan kerja. Hubungan mismatch dengan waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mencari pekerja baru, juga dijelaskan oleh
hasil penelitian. Berdasarkan data, 26.1 persen untuk pekerja tetap dan 20.8 persen untuk pekerja lepas dari total responden yang menyatakan perusahaan mengalami mismatch, hanya membutuhkan waktu kurang dari satu bulan untuk mendapatkan pekerja baru. Sedangkan, waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja baru yang tergolong lama yaitu kurang dari enam bulan, hanya sebagian kecil ditentukan oleh jawaban responden yang menyatakan terjadinya mismatch, yaitu 2.9 persen untuk pekerja tetap dan 1.9 persen untuk pekerja lepas (Lampiran 4). Hal ini disebabkan karena perusahaan lebih memilih untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia dengan pekerja yang tidak sesuai kualifikasi daripada membutuhkan waktu yang lama untuk mengisi lowongan kerja tersebut, karena akan menambah biaya yang ditanggung oleh perusahaan.
5.3.2. Pergeseran Sektoral Struktur perekonomian dari waktu ke waktu selalu berubah, sehingga terjadi pergeseran sektor dari pertanian, ke industri yang kemudian ke sektor jasa. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dalam permintaan tenaga kerja (demand for labor), karena syarat-syarat tenaga kerja (misalnya; karakteristik dan skill) yang dibutuhkan perusahaan juga mengalami perubahan. Dengan demikian perubahan struktur perekonomian dapat menyebabkan syarat-syarat kerja juga berubah. Perubahan komposisi sektoral (sectoral shift) dalam perekonomian nasional sudah lama ditengarai sebagai salah satu sumber semakin tingginya tingkat pengangguran.
Tingkat pengangguran alamiah dapat meningkat sebagai akibat dari sulitnya para pencari kerja untuk berpindah dari sektor yang sedang menurun ke sektor yang sedang berkembang pesat. Setiap sektor mensyaratkan kualifikasi dan jenis pengalaman yang berbeda-beda sehingga diperlukan proses re-training dan re-tooling bagi para pekerja yang berpindah sektor. Dengan demikian, akan semakin lama perusahaan mendapatkan pekerja untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia. Tabel 5.11. Tingkat Kemudahan Pekerja untuk Mencari Pekerjaan Baru Menurut Anda, apakah mudah bagi pekerja untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya? Mudah Sulit Total
Persentase Pekerja Tetap
Pekerja Lepas
32.9 67.1 100
45.3 54.7 100
Mayoritas perusahaan menganggap (67.1 persen terhadap pekerja tetap dan 54.7 persen terhadap pekerja lepas) bahwa tidak mudah bagi pekerja untuk berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (Tabel 5.11). Dengan demikian, terdapat bukti kuat bahwa salah satu sumber pengangguran adalah karena terjadi kesulitan oleh pekerja dalam mencari pekerjaan baru. Jika masalah sectoral shift tidak ditangani, maka akan timbul masalah yang lebih besar dalam pengangguran friksional. Masalah
pergeseran
sektoral
dapat
menyebabkan
peningkatan
pengangguran, karena akan menyebabkan semakin lama perusahaan mengisi lowongan kerja yang tersedia. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menghubungkan kesulitan pekerja untuk pindah kerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya dengan waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan
pekerja baru. Namun, berdasarkan hasil data penelitian, menggambarkan bahwa 51.4 persen terhadap pekerja tetap dan 43.4 persen terhadap pekerja lepas dari total jawaban responden yang menyatakan kesulitan pindah kerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, hanya membutuhkan waktu kurang dari satu bulan bagi perusahaan untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia (Lampiran 5). Hal ini menjelaskan bahwa kemajuan perekonomian biasanya ditandai dengan pergeseran peran sektoral dari dominasi pertanian ke manufaktur dan kemudian ke jasa. Sedangkan, elastisitas penyerapan tenaga kerja untuk sektor jasa sangat rendah jika dibandingkan dengan pertanian dan industri manufaktur. Sehingga, sesuai dengan hasil penelitian bahwa perusahaan tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan pekerja baru meskipun adanya mayoritas jawaban responden yang menyatakan pekerja mengalami kesulitan dalam melakukan pindah kerja, karena perusahaan yang sebagian besar di dominasi oleh sektor jasa tidak membutuhkan pekerja terlalu banyak meskipun kinerja perusahaan meningkat. Sedangkan penawaran tenaga kerja di pasar tenaga kerja tinggi, maka pekerja akan semakin sulit untuk pindah kerja yang diakibatkan keterbatasan lowongan kerja yang disediakan oleh perusahaan. Namun, perusahaan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari tenaga kerja baru.
5.3.3. Informasi Lowongan Kerja Peningkatan pengangguran terkadang bukan semata-mata diakibatkan oleh ketidaktersediaan lapangan kerja tetapi juga oleh hambatan informasi. Dari jawaban responden perusahaan, terlihat dua cara yang paling dominan dilakukan
oleh perusahaan dalam menyampaikan lowongan kerja (Tabel 5.12), yaitu surat kabar atau majalah dengan persentase 40.3 persen dan melalui perantara pekerja sebesar 44.4 persen. Kedua cara ini merepresentasikan kebutuhan perusahaan terhadap pekerja tetap dan pekerja lepas. Jika informasi lowongan kerja sebagian besar disampaikan oleh perusahaan melalui surat kabar atau majalah, seperti yang terlihat dari hasil data penelitian, sedangkan lowongan kerja yang tersedia sebagian besar berisi pekerjaan untuk buruh dengan latar pendidikan rendah, maka terjadi ketidaktepatan media informasi lowongan kerja yang digunakan oleh perusahaan. Sehingga perusahaan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan tenaga kerja yang dibutuhkan dan buruh juga sulit mendapat pekerjaan, yang pada akhirnya akan meningkatkan pengangguran. Implikasinya perusahaan harus lebih tepat menentukan media untuk menyampaikan informasi lowongan kerja sehingga informasi cepat dan tepat sampai kepada tenaga kerja. Di samping itu, lowongan kerja melalui Kantor Depnaker ternyata sangat kecil, hanya 1.4 persen. Dengan demikian membuktikan ternyata dinas ketenagakerjaan bukan merupakan sumber utama dalam mencari informasi lowongan kerja bagi calon pekerja. Hal ini menandakan bahwa kemungkinan besar informasi yang bisa didapatkan dari dinas tenaga kerja memang relatif terbatas jika dibandingkan dengan yang tersedia di media massa ataupun jasa-jasa penyedia tenaga kerja. Karena itu fungsi penyediaan informasi di dinas tenaga kerja wajib diperkuat. Sumber informasi lainnya yang digunakan perusahaan yaitu, internet dan selebaran atau papan pengumuman.
Tabel 5.12. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan Media apa yang digunakan perusahaan Anda untuk mengumumkan lowongan kerja? Surat kabar/majalah Kantor Depnaker Melalui internet Melalui pekerja untuk mencari teman/keluarga yg ingin bekerja Selebaran/Papan pengumuman Lainnya Total
Persentase 40.3 1.4 1.4 44.4 2.8 9.7 100
Hubungan waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja baru dengan ketidaktepatan penggunaan media informasi lowongan kerja oleh perusahaan, dijelaskan juga oleh hasil penelitian. Data menggambarkan bahwa media informasi lowongan kerja melalui antar pekerja yang sebagian besar digunakan oleh perusahaan, 38.9 persen responden yang menyatakan penggunaan media informasi tersebut menyebabkan waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja baru kurang dari satu bulan (tergolong cepat). Sedangkan, waktu yang dibutuhkan kurang dari enam bulan, sebagian besar dinyatakan oleh responden yang menggunakan media informasi surat kabar yaitu 2.8 persen (Lampiran 6). Hal ini mungkin terjadi karena sebagian besar pengangguran adalah pengangguran yang tidak memiliki kemampuan khusus (unskill), sehingga media informasi tersebut tidak tepat digunakan oleh perusahaan. Dengan demikian ketepatan penggunaan media informasi lowongan kerja oleh perusahaan sangat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja baru dan akhirnya mempengaruhi tingkat pengangguran.
5.3.4. Mobilitas Geografis Faktor berikutnya yang menjadi penghambat pencarian kerja adalah faktor geografis. Tenaga kerja menganggur bukan hanya disebabkan tidak tersedianya pekerjaan, tapi pekerjaan tersebut tersedia di tempat yang tidak diinginkan, dengan kata lain penganggur menjadi lebih rela menunggu pekerjaan lebih lama di tempat tinggalnya daripada bekerja di tempat yang tidak sesuai. Tabel 5.13. Kemudahan Perusahaan Memperoleh Pekerja dari Luar Wilayah Mudahkah bagi perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja dari luar wilayah? Mudah Tidak mudah Total
Persentase Pekerja Tetap
Pekerja Lepas
65.7 34.3 100
71.7 28.3 100
Perusahaan relatif mudah untuk mendapatkan pekerja dari luar wilayah, 65.7 persen perusahaan yang menjawab mudah mendapatkan pekerja tetap dan 71.7 persen pekerja lepas dari luar wilayah (Tabel 5.13). Sedangkan responden perusahaan yang menyatakan sulit mendapatkan pekerja dari luar wilayah, yaitu sebesar 34.3 persen untuk pekerja tetap dan 28.3 persen untuk pekerja lepas. Hal ini mengakibatkan waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendapatkan pekerja baru akan semakin lama, sehingga tingkat pengangguran meningkat. Namun hasil penelitian, menggambarkan kondisi yang berbeda yaitu sebagian besar responden yang menyatakan tidak mudah untuk mendapatkan tenaga kerja dari luar wilayah, yaitu 27.1 persen mendominasi jawaban responden waktu yang cepat dibutuhkan perusahaan dalam mendapatkan pekerja baru (< 1 bulan) (Lampiran 7). Dengan demikian, meskipun perusahaan kesulitan
mendapatkan tenaga kerja dari luar wilayah tetapi tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan tenaga kerja baru. Hal ini dikarenakan sebagian besar tenaga kerja perusahaan berasal dari sekitar wilayah perusahaan, dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Tabel 5.14. Asal Tenaga Kerja Dari mana mayoritas tenaga kerja perusahaan berasal? Sekitar perusahaan Luar wilayah perusahaan Total
Persentase 79.2 20.8 100
5.4. Faktor Lainnya Selain faktor-faktor di atas, terdapat hal-hal lainnya yang secara bersamaan dapat mempengaruhi kekakuan upah dan waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam proses pencarian pekerja, yang pada akhirnya akan menyebabkan
peningkatan
pengangguran.
Faktor-faktor
tersebut
dapat
dikelompokan menjadi tiga, yakni regulasi pemerintah, peran serikat pekerja, dan mekanisme penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan, seperti penumpukan tenaga kerja (labor hoarding).
5.4.1. Regulasi Pemerintah Aspek regulasi yang paling kelihatan pengaruhnya terhadap peningkatan pengangguran adalah peraturan pemerintah mengenai asuransi sosial (contohnya Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek)).
Tabel 5.15. Fasilitas Jamsostek dan Asuransi Lainnya Apakah perusahaan mengikutsertakan pekerja dalam program Jamsostek dan asuransi lainnya? Ya Tidak Total
Persentase Asuransi Jamsostek Lain 65.3 27.8 34.7 72.2 100 100
Secara teoritis, biaya-biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dengan menetapkan asuransi bagi para pekerja, sebetulnya mencerminkan upah efektif (upah ditambah dengan jaminan sosial dan asuransi lain) yang lebih tinggi di atas upah kesetimbangan sehingga akan menambah pengangguran. Data hasil olahan (Tabel 5.15), ditemukan bahwa 65.3 persen perusahaan mengikutsertakan pekerja mereka dalam Jamsostek dan 27.8 persen untuk asuransi lainnya. Sedangkan, 34.7 persen perusahaan tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek dan 72.2 persen asuransi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan mengenai jaminan sosial tenaga kerja walaupun sudah menjadi kewajiban bagi setiap perusahaan untuk menyediakannya, tetapi ada sekitar sepertiga dari perusahaan yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Konsisten dengan hasil survei terhadap pekerja yang menunjukan lebih dari sepertiga pekerja tidak terlindungi oleh jaminan sosial. Hal ini dikarenakan, kemungkinan besar perusahaan merasa beban premi yang harus ditanggung terlalu tinggi.
5.4.2. Mekanisme Penyesuaian Kinerja perusahaan pada kenyataannya mengalami fluktuasi setiap saat tetapi jumlah pekerja yang ada di perusahaan relatif tetap. Hal ini dikarenakan,
perusahaan lebih memilih untuk menumpuk tenaga kerja dibandingkan dengan harus memberhentikan pekerja ketika produksi turun. Hal ini yang disebut dengan penumpukan tenaga kerja (labor hoarding). Implikasi dari labor hoarding yaitu perusahaan yang lebih memilih menambah waktu kerja (lembur) terhadap para pekerja ketika produksi meningkat. Mekanisme penyesuaian ini dilakukan karena perusahaan memandang pemberian upah lembur lebih efisien daripada mempekerjakan pekerja baru. Biaya untuk memberhentikan tenaga kerja dan mempekerjakan tenaga kerja baru lebih tinggi dari biaya untuk menambah jam kerja bagi pekerja (lembur). Hal ini terutama terjadi pada pekerja dengan keahlian yang sangat spesifik atau pekerja yang sudah diberikan pelatihan oleh perusahaan sebagai investasi sumber daya manusia. Tabel 5.16. Bekerja lembur Pernahkah pekerja diminta untuk bekerja lembur ?
Persentase
Pernah
79,2
Tidak pernah
20,8
Total
100
Tabel 5.17. Upah Lembur Pekerja Bagaimana perusahaan memandang upah lembur pekerja ?
Persentase
Memberatkan perusahaan
11.9
Tidak memberatkan perusahaan
88.1
Total
100 Berdasarkan data (Tabel 5.16), menjelaskan bahwa mayoritas perusahaan
menjawab pernah menambah jam kerja bagi pekerjanya (79.2 persen), dan hanya
20.8 persen yang tidak pernah memberikan tambahan jam kerja bagi pekerja mereka. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa akan terjadinya keterbatasan lowongan kerja bagi angkatan kerja baru, sehingga pengangguran bertambah. Selain itu, data juga menjelaskan bahwa perusahaan lebih memilih menambah jam kerja bagi pekerjanya daripada menambah tenaga kerja baru, karena pemberian upah lembur lebih efisien daripada mempekerjakan pekerja baru. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan jawaban responden perusahaan yang sebagian besar tidak merasa keberatan dengan adanya upah lembur (Tabel 5.17).
5.4.3. Peran Serikat Pekerja Hal lain yang menjadi penyebab pengangguran yang tinggi di Indonesia adalah semakin kuatnya peran serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja. Semenjak terjadinya reformasi ekonomi pasca krisis yang ditandai dengan kemerdekaan dalam membentuk organisasi pekerja telah memacu tumbuhnya serikat pekerja. Semakin kuat serikat pekerja, semakin kuat posisi tawar menawar pekerja dan semakin besar peran serikat pekerja dalam melindungi hak-hak pekerja. Salah satu implikasinya adalah dalam posisi tawar menawar kenaikan upah. Tabel 5.18. Efektivitas Serikat Pekerja dalam Memperjuangkan Kenaikan Upah Berdasarkan penilaian Anda, apakah serikat pekerja berperan dalam memperjuangkan kenaikan upah? Ya Tidak Kadang-kadang Total
Persentase 60 20 20 100
Efektifitas serikat pekerja dalam memperjuangkan kenaikan upah, mayoritas perusahaan (60 persen) yang mempunyai serikat pekerja mengatakan bahwa peran serikat pekerja efektif dalam memperjuangkan kenaikan upah (Tabel 5.18). Dalam situasi pengangguran yang tinggi seharusnya kenaikan upah tidak terjadi namun karena posisi tawar serikat pekerja tinggi maka upah justru mengalami kenaikan. Kondisi akan menyebabkan berkurangnya penyerapan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan, karena upah yang terlalu tinggi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Sebuah fenomena persistensi pengangguran bisa terjadi di luar titik kesetimbangan. Hal ini dimungkinkan terjadi pada saat kekuatan dan tata kelembagaan pasar tenaga kerja tidak lagi sepenuhnya berfungsi dalam menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja. Selain itu, persistensi pengangguran merupakan akibat dari terjadinya kekakuan upah, semakin lamanya proses pencarian pekerja oleh perusahaan dan berbagai kelembaman yang diakibatkan oleh faktor kelembagaan pasar tenaga kerja. kekakuan upah terdiri dari kekakuan upah nominal dan upah riil. Kekakuan upah nominal telah membuat upah gagal menjadi market clearing mechanism sehingga tingkat pengangguran menjadi lebih tinggi dari seharusnya. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya di Indonesia yakni: (1) biaya untuk menurunkan upah nominal dianggap lebih tinggi dibandingkan manfaatnya, dan (2) indeksasi upah minimum terhadap inflasi baik secara backward maupun forward. Tetapi hasil penelitian memperlihatkan bahwa penyebab yang pertama merupakan yang paling penting. Sedangkan adanya penyesuaian upah terhadap inflasi yang dilakukan oleh pekerja (indeksasi), mengakibatkan kebijakan inflation targeting dengan sasaran inflasi jangka panjang yang lebih rendah menjadi lebih relevan. Hal ini dikarenakan, dengan dilakukannya indeksasi tingkat inflasi yang tinggi tidak menyebabkan penurunan upah riil, yang dapat
mengakibatkan tenaga kerja semakin murah. Sehingga perusahaan akan menambah penyerapan tenaga kerja dan akan mengurangi tingkat pengangguran. Fakta lain yang terjadi dalam penelitian ini adalah tidak adanya bukti kuat yang memperlihatkan bahwa upah relatif dan upah efisiensi merupakan sumber kekakuan upah nominal. Fakta berikutnya yang jauh lebih penting adalah fenomena kekakuan upah riil. Fenomena ini terjadi manakala upah riil yang dibayarkan kepada pekerja melebihi marginal productivity of labor. Agar pengangguran bisa diturunkan maka pertumbuhan upah riil harus lebih rendah dibanding pertumbuhan produktifitas perusahaan. Kenyataanya, keduanya memiliki tingkat pertumbuhan yang sama, sehingga bisa disimpulkan bahwa upah riil gagal melakukan penyesuaian atau bersifat kaku. Sumber persistensi lainnya yaitu yang menyebabkan semakin lamanya waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja baru. Pencarian pekerja oleh perusahaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini, yaitu pergeseran sektoral (sectoral shift), ketidaksesuaian lowongan kerja yang tersedia dengan kemampuan yang dimiliki oleh pencari kerja (mismatch), ketidaksempurnaan informasi lowongan kerja, mobilitas geografis (geografhic barier). Perubahan komposisi sektoral (sectoral shift) dalam perekonomian nasional mengarah pada membesarnya pangsa sektor manufaktur dan jasa. Padahal kedua sektor tersebut memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang lebih kecil dibandingkan sektor pertanian. Akibatnya limpahan tenaga kerja dari sektor pertanian tidak bisa tertampung di kedua sektor tersebut. Selain itu, pekerja dari sektor pertanian sebagian besar memiliki kualifikasi yang tidak
sesuai dengan industri manufaktur dan jasa, sehingga mengakibatkan pekerja sulit untuk pindah kerja. Fenomena ini dikenal dengan mismatch. Oleh karena itu, meskipun pekerja kesulitan untuk pindah kerja tetapi perusahaan tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan pekerja baru. Ketepatan penggunaan media informasi lowongan kerja oleh perusahaan dapat mempengaruhi kecepatan waktu proses pencarian tenaga kerja baru. Sedangkan kesulitan pindah wilayah untuk bekerja oleh pekerja dapat menyebabkan lamanya waktu proses pencarian pekerja oleh perusahaan. Tetapi, fakta lain yang terjadi kesulitan pindah wilayah oleh pekerja tersebut tidak menjadi hambatan yang besar bagi perusahaan, karena perusahaan lebih memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja dari sekitar wilayah perusahaan. Selain faktor-faktor di atas, terdapat hal-hal lainnya yang secara bersamaan dapat mempengaruhi kekakuan upah dan waktu pencarian pekerja oleh perusahaan. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni: regulasi pemerintah, peran serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja (misalnya; kenaikan upah), dan mekanisme penyesuaian yang dilakukan perusahaan berkaitan dengan kinerja perusahaan, seperti penumpukan tenaga kerja (labor hoarding). Implikasi dari labor hoarding adalah penambahan jam kerja bagi pekerja (lembur) ketika produksi perusahaan meningkat.
6.2. Saran 1. Kebijakan moneter yang paling relevan untuk mengatasi kekakuan upah nominal adalah inflation targeting. Selain itu, kebijakan inflation targeting
dengan sasaran inflasi jangka panjang yang lebih rendah menjadi lebih relevan. 2. Kekakuan upah riil dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), meskipun tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. 3. Untuk memperkecil terjadinya mismatch, maka perlu ada perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan nasional menuju sistem yang berbasis kepada keahlian. Pendidikan kejuruan harus lebih dikembangkan. Akan tetapi masalah ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat karena membutuhkan penyediaan infrastruktur dan pengajar. Selain itu, stigma yang bekerja di masyarakat bahwa pendidikan kejuruan lebih inferior harus dikikis.
DAFTAR PUSTAKA
Agell, J. dan P. Lunborg. 1999. Survey Evidence on Wage Rigidity and Unemployment: Sweden in The 1990’s. FIEF Working Paper, SE-112 24: 1-38. Bellante, D. dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. [penerjemah]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Blanchard, O. J. 2005. European Unemployment: The Evolution of Facts and Ideas. NBER Working Paper, 11750: 1-61. Blanchard, O. J. dan L. H. Summers. 1986. Hysteresis and The European Unemployment Problem. NBER Working Paper, 1950. Elmeskov, J. P. 1993. High and Persistent Unemployment: Assesment Of The Problem and Its Causes. OECD Working Paper, 132: 93-138. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Ledesma, L. M. 2000. Unemployment Hysteresis in The US and The EU: A Panel Data Aproach. Department of Economics, University of Kent at Canterbury, Working Paper, 1-10. Linblad, H. 1997. Persistence in Swedish Unemployment Rates. Department of Economics, University of Stockholm, Working Paper, 106 91: 1-31. Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. Steiner. 1997. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. International Center for Applied Finance and Economics, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. 2008. Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro. Final Report. Lundborg, P. dan H. Sacklen. 2003. Low Inflation Targeting and Unemployment Persistence. FIEF Working Paper, 188: 1-37. Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi ke-5. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. McConnell, C. R. dan S. L. Brue. 2005. Contemporary Labor Economics. McGRAW-HILL, INC, New York.
Moore, G. A. dan R. D. Elkin. 1987. Labor and The Economy. South-Western Publishing Co, Cincinnati, Ohio. Romer, D. 1993. The New Keynesian Synthesis. Journal of Economic Perspectives, 7. Sneessens, H. R., R. Fonseca, dan B. Maillard. 1998. Structural Adjustment and Unemployment Persistence (with an Application to France and Spain). IRES Working Paper, 98: 1-42. Sugiyono, A. 2001. Ringkasan Pemikiran Keynesian Baru. Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada Working Paper. Todaro, M. P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta. Andi. 2007. Analisis Data Statistik dengan SPSS 15.0. Wahana Komputer, Yogyakarta. Wu, Z. 2003. The Persistence of Regional Unemployment : Evidence from China. Applied Economics, 35: 1417-1421.
Lampiran 1. Analisis Crosstabs Sektor dengan Kebijakan Pengupahan terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas
kodesektorbaru
pertanian
industri manufaktur
jasa
Total
Count % within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkT) % of Total Count
% within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkT) % of Total Count % within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkT) % of Total Count % within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkT) % of Total
kebijakan pengupahan(tkT) Kurang Lebih lebih Lebih tinggi sama rendah dibanding dengan dibanding dengan upah upah upah minimum minimum minimum 4 2 3
Total
9
44,4
22,2
33,3
100,0
14,8
40,0
7,9
12,9
5,7
2,9
4,3
12,9
12
2
22
36
33,3
5,6
61,1
100,0
44,4
40,0
57,9
51,4
17,1 11
2,9 1
31,4 13
51,4 25
44,0
4,0
52,0
100,0
40,7
20,0
34,2
35,7
15,7 27
1,4 5
18,6 38
35,7 70
38,6
7,1
54,3
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
38,6
7,1
54,3
100,0
Lanjutan lampiran 1 (Pekerja Lepas)
kodesektorbaru
pertanian
industri manufaktur
jasa
Total
Count % within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkL) % of Total Count % within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkL) % of Total Count % within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkL) % of Total Count % within kodesektorbaru % within kebijakan pengupahan(tkL) % of Total
kebijakan pengupahan(tkL) Lebih tinggi dibandin Kurang Lebih g lebih sama rendah dengan dengan dibanding upah upah upah minimu minimum minimum m 4 1 1
Total
6
66,7
16,7
16,7
100,0
16,7
11,1
5,3
11,5
7,7
1,9
1,9
11,5
11
6
9
26
42,3
23,1
34,6
100,0
45,8
66,7
47,4
50,0
21,2 9
11,5 2
17,3 9
50,0 20
45,0
10,0
45,0
100,0
37,5
22,2
47,4
38,5
17,3 24
3,8 9
17,3 19
38,5 52
46,2
17,3
36,5
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
46,2
17,3
36,5
100,0
Lampiran 2. Analisis Crosstabs Sektor dengan Pemberlakuan Upah Relatif terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas
kodesektorbaru
pertanian
industri manufaktur
jasa
Total
Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkT) % of Total Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkT) % of Total Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkT) % of Total Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkT) % of Total
Upah yang dibayarkan perusahaan(tkT) Kira-kira setara dengan Lebih dari perusahaan perusahaan sejenis sejenis 5 4
Total
9
55,6
44,4
100,0
11,1
17,4
13,2
7,4
5,9
13,2
22
13
35
62,9
37,1
100,0
48,9
56,5
51,5
32,4 18
19,1 6
51,5 24
75,0
25,0
100,0
40,0
26,1
35,3
26,5 45
8,8 23
35,3 68
66,2
33,8
100,0
100,0
100,0
100,0
66,2
33,8
100,0
Lanjutan lampiran 2 (Pekerja Lepas)
kodesektorbaru
pertanian
industri manufaktur
jasa
Total
Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkL) % of Total Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkL) % of Total Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkL) % of Total Count % within kodesektorbaru % within Upah yang dibayarkan perusahaan(tkL) % of Total
Upah yang dibayarkan perusahaan(tkL) Kira-kira setara dengan Lebih dari perusahaan perusahaan sejenis sejenis 5 2
Total
7
71,4
28,6
100,0
14,7
11,8
13,7
9,8
3,9
13,7
16
9
25
64,0
36,0
100,0
47,1
52,9
49,0
31,4 13
17,6 6
49,0 19
68,4
31,6
100,0
38,2
35,3
37,3
25,5 34
11,8 17
37,3 51
66,7
33,3
100,0
100,0
100,0
100,0
66,7
33,3
100,0
Lampiran 3. Analisis Crosstabs Sektor dengan Pemberlakuan Upah Efisiensi terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas
kodesektorbaru
pertanian
industri manufaktur
jasa
Total
Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaT lebih produktif % of Total Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaT lebih produktif % of Total Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaT lebih produktif % of Total Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaT lebih produktif % of Total
yang akan di terima dari perusahaan jika pekerja lebih produktif (tkT) Renumer asi/fasilit as/posisi/ jabatan Bonus yang tambaha Tidak lebih baik n ada 3 4 2
Total
9
33,3
44,4
22,2
100,0
11,1
12,1
20,0
12,9
4,3
5,7
2,9
12,9
15
17
4
36
41,7
47,2
11,1
100,0
55,6
51,5
40,0
51,4
21,4 9
24,3 12
5,7 4
51,4 25
36,0
48,0
16,0
100,0
33,3
36,4
40,0
35,7
12,9 27
17,1 33
5,7 10
35,7 70
38,6
47,1
14,3
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
38,6
47,1
14,3
100,0
Lanjutan lampiran 3 (Pekerja Lepas)
kodesektorbaru
pertanian
industri manufaktur
jasa
Total
Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaL lebih produktif % of Total Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaL lebih produktif % of Total Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaL lebih produktif % of Total Count % within kodesektorbaru % within yang akan di terima dari perusahaan jika pekerjaL lebih produktif % of Total
yang akan di terima dari perusahaan jika pekerja lebih produktif (tkL) Renumer asi/fasilit as/posisi/ jabatan yang Bonus Tidak lebih baik tambahan ada 1 3 3
Total
7
14,3
42,9
42,9
100,0
7,7
12,5
20,0
13,5
1,9
5,8
5,8
13,5
8
12
6
26
30,8
46,2
23,1
100,0
61,5
50,0
40,0
50,0
15,4 4
23,1 9
11,5 6
50,0 19
21,1
47,4
31,6
100,0
30,8
37,5
40,0
36,5
7,7 13
17,3 24
11,5 15
36,5 52
25,0
46,2
28,8
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
25,0
46,2
28,8
100,0
Lampiran 4. Analisis Crosstabs Waktu Pencarian Pekerja dengan Kesulitan Mencari Pekerja sesuai dengan Kualifikasi (Mismatch) terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkT) Ya Tidak Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja
< 1 bulan
< 3 bulan
< 6 bulan
Tidak yakin/sus ah
Total
Total
Count
% within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkT) % of Total Count
% within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkT) % of Total
18
35
53
34,0
66,0
100,0
69,2
81,4
76,8
26,1 6
50,7 5
76,8 11
54,5
45,5
100,0
23,1
11,6
15,9
8,7 2
7,2 0
15,9 2
100,0
0
100,0
7,7
0
2,9
2,9
0
2,9
0
3
3
0
100,0
100,0
0
7,0
4,3
0 26
4,3 43
4,3 69
37,7
62,3
100,0
100,0
100,0
100,0
37,7
62,3
100
Lanjutan lampiran 4 ( Pekerja Lepas). Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkL) Ya Tidak Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja
< 1 bulan
< 3 bulan
< 6 bulan
Tidak yakin/susah
Total
Total
Count
% within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi(tkL) % of Total
11
30
41
26,8
73,2
100,0
84,6
75,0
77,4
20,8 1
56,6 8
77,4 9
11,1
88,9
100,0
7,7
20,0
17,0
1,9 1
15,1 0
17,0 1
100,0
0
100,0
7,7
0
1,9
1,9
0
1,9
0
2
2
0
100,0
100,0
0
5,0
3,8
0 13
3,8 40
3,8 53
24,5
75,5
100,0
100,0
100,0
100,0
24,5
75,5
100,0
Lampiran 5. Analisis Crosstabs waktu Pencarian Pekerja dengan Kesulitan Pekerja untuk Pindah Kerja terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkT) mudah sulit Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja
< 1 bulan
< 3 bulan
< 6 bulan
Tidak yakin/susah
Total
Total
Count
% within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkT) % of Total
18
36
54
33,3
66,7
100,0
78,3
76,6
77,1
25,7 3
51,4 8
77,1 11
27,3
72,7
100,0
13,0
17,0
15,7
4,3 1
11,4 1
15,7 2
50,0
50,0
100,0
4,3
2,1
2,9
1,4 1
1,4 2
2,9 3
33,3
66,7
100,0
4,3
4,3
4,3
1,4 23
2,9 47
4,3 70
32,9
67,1
100,0
100,0
100,0
100,0
32,9
67,1
100,0
Lanjutan lampiran 5 (Pekerja Lepas) Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkL)
Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja
< 1 bulan
< 3 bulan
< 6 bulan
Tidak yakin/susah
Total
Total
mudah
sulit
18
23
41
43,9
56,1
100,0
75,0
79,3
77,4
34,0 5
43,4 4
77,4 9
55,6
44,4
100,0
20,8
13,8
17,0
9,4 0
7,5 1
17,0 1
0
100,0
100,0
3,4
1,9
0 1
1,9 1
1,9 2
50,0
50,0
100,0
4,2
3,4
3,8
1,9 24
1,9 29
3,8 53
45,3
54,7
100,0
100,0
100,0
100,0
45,3%
54,7%
100,0%
Count
% within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Kemudahan untuk pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan dalam satu perusahaan)(tkL) % of Total
Lampiran 6. Analisis Crosstabs Waktu Pencarian Pekerja dengan Media Informasi Lowongan Kerja
Surat kabar/majalah Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja
< 1 bulan
< 3 bulan
< 6 bulan
Tidak yakin/susah
Total
sumber informasi lowongan pekerjaan Melalui pekerja untuk mencari Melalui teman/keluarga yg Kantor Depnaker internet ingin bekerj
Total Selebaran/P apan pengumuma n
Lainnya
Count
% within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within sumber informasi lowongan pekerjaan % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within sumber informasi lowongan pekerjaan % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within sumber informasi lowongan pekerjaan % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within sumber informasi lowongan pekerjaan % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within sumber informasi lowongan pekerjaan % of Total
21
0
1
28
0
5
55
38,2%
,0%
1,8%
50,9%
,0%
9,1%
100,0%
72,4% 29,2% 5
,0% ,0% 1
100,0% 1,4% 0
87,5% 38,9% 4
,0% ,0% 1
71,4% 6,9% 0
76,4% 76,4% 11
45,5%
9,1%
,0%
36,4%
9,1%
,0%
100,0%
17,2% 6,9% 2
100,0% 1,4% 0
,0% ,0% 0
12,5% 5,6% 0
50,0% 1,4% 0
,0% ,0% 0
15,3% 15,3% 2
100,0%
,0%
,0%
,0%
,0%
,0%
100,0%
6,9% 2,8% 1
,0% ,0% 0
,0% ,0% 0
,0% ,0% 0
,0% ,0% 1
,0% ,0% 2
2,8% 2,8% 4
25,0%
,0%
,0%
,0%
25,0%
50,0%
100,0%
3,4% 1,4% 29
,0% ,0% 1
,0% ,0% 1
,0% ,0% 32
50,0% 1,4% 2
28,6% 2,8% 7
5,6% 5,6% 72
40,3%
1,4%
1,4%
44,4%
2,8%
9,7%
100,0%
100,0% 40,3%
100,0% 1,4%
100,0% 1,4%
100,0% 44,4%
100,0% 2,8%
100,0% 9,7%
100,0% 100,0%
Lampiran 7. Analisis Crosstabs Waktu Pencarian Pekerja dengan Kemudahan Memperoleh Pekerja dari Luar Wilayah terhadap Pekerja Tetap dan Pekerja Lepas.(Mobilitas Geografis) Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkT) tidak mudah mudah Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja
< 1 bulan
< 3 bulan
< 6 bulan
Tidak yakin/susah
Total
Total
Count
% within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkT) % of Total Count % within Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkT) % of Total
35
19
54
64,8
35,2
100,0
76,1
79,2
77,1
50,0 8
27,1 3
77,1 11
72,7
27,3
100,0
17,4
12,5
15,7
11,4 1
4,3 1
15,7 2
50,0
50,0
100,0
2,2
4,2
2,9
1,4 2
1,4 1
2,9 3
66,7
33,3
100,0
4,3
4,2
4,3
2,9 46
1,4 24
4,3 70
65,7
34,3
100,0
100,0
100,0
100,0
65,7
34,3
100,0
Lanjutan lampiran 7 (Pekerja Lepas) Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkL) tidak mudah mudah Berapa lama kira-kira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja
< 1 bulan
< 3 bulan
< 6 bulan
Tidak yakin/sus ah
Total
Total
Count
% within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkL) % of Total Count
% within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkL) % of Total Count % within Berapa lama kirakira waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mendapatkan pekerja % within Mudahkah memperoleh pekerja dari luar wilayah(tkL) % of Total
30
11
41
73,2
26,8
100,0
78,9
73,3
77,4
56,6 6
20,8 3
77,4 9
66,7
33,3
100,0
15,8
20,0
17,0
11,3 0
5,7 1
17,0 1
0
100,0
100,0
0
6,7
1,9
0
1,9%
1,9
2
0
2
100,0
0
100,0
5,3
0%
3,8
3,8 38
0 15
3,8 53
71,7
28,3
100,0
100,0
100,0
100,0
71,7
28,3
100,0