PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008: PERSISTENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
NILAM ANGGAR SARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2011
NILAM ANGGAR SARI NIM H151080071
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT NILAM ANGGAR SARI. 2011. Unemployment in Indonesia 1984-2008: Persistence and Its Sources. Under the guidance of DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and DJONI HARTONO. Unemployment is a common problem in most countries. Generally the national unemployment rate rose from average 4.83 percent in 1992-1999 to 9.08 percent in 2000-2008. An increase in the unemployment rate not only implies a serious underutilization of manpower, but also may likely generate a series of social problems in the long run. As such, dealing with the upsurge in the unemployment rate has become the top priority in the governments policy agenda. Aside from the rise of the aggregate unemployment rate, the regional unemployment rate in Indonesia shows wide variability of the unemployment rate among 26 provinces, moreover this unemployment rate seems to persist over time. This study intended to identify the persistence of regional unemployment and to explore the sources of this regional unemployment across Indonesian provinces. Using time series data from 1984 through 2008 it identified the existence of regional persistence with two approaches: Im Pesharan Shin panel unit root test and panel method to get the ‘near unit root’ coefficient. Thus, to analyze factors affecting regional unemployment, panel data analysis was used. Panel unit root test showed that panel data in this period was stationary and this study found the coefficient was a near unit root process (0.87). A cross-regional panel study showed that the variables contributing to unemployment rate were the share of the labor force (15-24), minimum wage province, the percentage of the labor force that is male, and the share of labor force with a higher education. Real GDRP per capita, dependency ratio, and industry composition (the share of manufacturing and agriculture sectors to GDRP) negatively effected the dependent variable. Related to industry composition, even though both sector have a negative effect which reduced regional unemployment but the result showed that agriculture has the largest employment elasticity.Understanding the sources of regional unemployment is helpful to determine the appropriate policies to mitigate the unemployment rate across regions. This study provides important implications for government to make a new reorientation so that sector which has relatively high growth can also create employment. Second, this study recommends the promotion of a vocational education and training as a transition for young person to enter labor market. Third, it also suggests development of agriculture in rural area. Fourth, the government in region must have a specific unemployment program depending on potential characteristics of the regions and promotes new investments to create employment. Fifth, UMP is still needed as a reference in setting the workers wage, but the criteria of minimum wage should be determined not only refers to inflation rate but also includes employment growth, financial capability of company, and macroeconomic stability. Keywords: Persistence, regional unemployment, panel, IPS panel unit root
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN NILAM ANGGAR SARI. 2011. Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Dibawah bimbingan DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan DJONI HARTONO. Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam perekonomian Indonesia. Dalam dua puluh tahun terakhir ini tingkat pengangguran agregat tidak pernah berkecenderungan menurun secara signifikan. Fenomena meningkatnya pengangguran secara agregat merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Beberapa permasalahan pengangguran dari dimensi regional adalah tidak adanya konvergensi dan tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu 1984 hingga 2008. Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan merupakan pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008). Dalam penelitian ini hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran provinsi yang persisten. Hal ini disebabkan karena pengangguran yang persisten memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap perekonomian namun juga sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi pengangguran pada level provinsi (secara statistik) dan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengangguran regional. Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan pertama (pembuktian persistensi pengangguran) adalah data sekunder tingkat pengangguran regional 26 provinsi (1984-2008) dengan menggunakan pendekatan panel unit root Im Pesharan Shin (IPS) dan menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan metode panel. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi determinan pengangguran regional dengan menggunakan data tahun 1998-2008. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak meregresikan variabel migrasi ke dalam model dan melihat persistensi secara umum. Hal ini disebabkan karena data migrasi yang hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakannya sensus penduduk. Secara teoritis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Hasil pengujian IPS dengan pendekatan intersep dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,00 yang berarti sangat signifikan sehingga diputuskan bahwa H 0 dimana data panel mengandung unit root ditolak dan disimpulkan bahwa data panel tersebut bersifat stasioner. Selanjutnya dengan menghitung koefisien persistensi diperoleh koefisien AR sebesar 0,87 (near unit root) dengan probabilitas 0,00 dan ini merupakan indikasi yang relatif kuat mengenai terjadinya persistensi pengangguran. Pengangguran regional di Indonesia mempunyai mekanisme yang lambat menuju keseimbangan disebabkan karena faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran regional yaitu kekakuan upah akibat pemberlakuan upah minimum provinsi, angkatan kerja berusia muda (15-24 tahun), angkatan
kerja berpendidikan tinggi dan angkatan kerja yang berjenis kelamin pria. Sementara faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran regional adalah PDRB per kapita, dependency ratio, serta komposisi industri yang mencakup pangsa sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB. Terkait dengan komposisi industri, walaupun semua sektor berdampak negatif terhadap pengangguran namun sektor pertanianlah yang mempunyai elastisitas penyerapan tenaga kerja paling besar. Alternatif kebijakan diperlukan untuk mengatasi persistensi pengangguran. Pertama, diperlukan reorientasi kebijakan bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya pro penciptaan lapangan kerja. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa fiskal maupun nonfiskal (suku bunga rendah) bagi industri dengan teknologi padat tenaga kerja. Kedua, penelitian ini merekomendasikan pembangunan sektor pertanian di pedesaan agar penyerapan tenaga kerja di sektor ini menjadi optimal. Ketiga, pengkajian sistem pengupahan harus memperluas kriteria penyesuaian upah minimum. Keempat, sistem pendidikan harus diupayakan agar angkatan kerja yang memasuki dunia kerja memiliki keterampilan yang memadai dan sesuai kebutuhan dunia industri. Kelima, terkait dengan adanya karakteristik yang berbeda-beda antarprovinsi seyogyanya pemerintah provinsi dituntut untuk memiliki program pengangguran sendiri yang disesuaikan dengan potensi daerah. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode selain uji stasioneritas dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran regional dan memasukkan variabel migrasi ke dalam model.
Kata kunci: persisten, pengangguran regional, panel, panel unit root IPS
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Halaman ini sengaja dikosongkan
PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008: PERSISTENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
NILAM ANGGAR SARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor Faktor yang Mempengaruhinya Nilam Anggar Sari H151080071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D S Priyarsono, MS Ketua
Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian : 4 Februari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nunung Nuryartono,M.Si
PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Tesis yang berjudul “PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008: PERSISTENSI DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA” ini disusun untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. D S Priyarsono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Nunung Nuryartono,M.Si dan Dr.Ir.Sri Mulatsih, M.Sc atas masukan berharga terhadap penelitian ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan kuliah, suami, orang tua, dan keluarga atas segala doa dan dukungannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangannya, baik dari segi materi maupun proses penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik yang membangun bagi perbaikan penulis. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak dan menjadi landasan yang baik menuju tahap berikutnya.
Bogor, Februari 2011
Nilam Anggar Sari
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nilam Anggar Sari lahir pada tanggal 22 Januari 1985 di Surakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Soesilo Wibowo dan Ibu Sri Indrati. Penulis sudah menikah dengan suami bernama Kamal Harpa. Pada tahun 2006 penulis menamatkan pendidikan S1 pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007, penulis bergabung dengan International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) sebagai asisten peneliti hingga Juni 2010. Kesempatan melanjutkan Program S2 di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor didapatkan penulis dari beasiswa InterCAFE pada tahun 2008.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................
xvii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xxi
I.
PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................
1 1 4 6 6 6
II.
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Definisi Pengangguran .................................................................... 2.2 Persistensi Pengangguran dan Hysteresis ....................................... 2.3 Faktor-Faktor Penyebab Pengangguran Regional........................... 2.3.1 Perubahan Demografi............................................................ 2.3.2 Hambatan Sosial dan Ekonomi ............................................. 2.3.3 Komposisi Industri ................................................................ 2.3.4 Kekakuan Upah ..................................................................... 2.3.5 Pencarian Kerja ..................................................................... 2.4 Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional ............................ 2.5 Hasil Penelitian Empirik Terdahulu ................................................ 2.6 Kerangka Pemikiran ........................................................................ 2.7 Hipotesis Penelitian.........................................................................
7 7 8 9 9 10 11 12 14 14 16 19 23
III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 3.1 Pengujian Persistensi....................................................................... 3.2 Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional................... 3.3 Jenis dan Sumber Data ....................................................................
25 25 27 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 4.1 Identifikasi Persistensi Regional ..................................................... 4.2 Analisis Determinasi Pengangguran Regional................................
29 29 30
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 5.2 Saran..............................................................................................
47 47 47
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
49
xvii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Pengujian Persistensi Pengangguran Regional Indonesia .......................
29
2
Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia .......................
30
3
Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional ..................
31
4
Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia (Persen) ...............................
33
5
Pengangguran Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persen) .............
36
6
Komposisi PDB dan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Indonesia ..........
39
7
Elastisitas Sektoral Tenaga Kerja............................................................
40
8
Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan Utama.....................................
42
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ............
1
2
Tingkat Pengangguran Antarprovinsi Tahun 1984 dan 2008 .............
2
3
Employment Rate Antarpulau, 1992-2008 ..........................................
3
4
Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008 .................
4
5
Diagram Ketenagakerjaan ....................................................................
8
6
Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ..........................................
13
7
Analisis Tahap Pertama .......................................................................
20
8
Analisis Tahap Kedua ..........................................................................
22
9
Perbandingan Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi dan Rendah .....
34
10
Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Pendidikan...................................
35
11
Perbandingan Angkatan Kerja Pria dan Wanita ..................................
36
12
Struktur Pengangguran Berdasarkan Jenis Kelamin ............................
37
13
Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Riil ..........................................
41
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Uji Stasioneritas Panel Unit Root IPS .................................................
54
2
Metode Panel Unit Root Selain IPS ....................................................
55
3
Uji Hausman ........................................................................................
56
4
Estimasi Koefisien dengan Menggunakan Fixed Effect dengan Dependent Variable Tingkat Pengangguran Menggunakan Fixed Effect dengan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance ...........................................................................................
57
5
Uji Hausman Persamaan Determinasi Pengangguran Regional ..........
58
6
Perbandingan Sum Squares Weighted dan Unweighted ......................
60
7
Estimasi Persamaan Pengangguran Menggunakan Fixed Effect
8
dengan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance .
61
Data Migrasi Netto Antarprovinsi .......................................................
62
xxi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxii
1
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di
berbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik dari pengambil kebijakan maupun akademisi. Pengangguran yang tidak teratasi akan menjadi beban bagi perekonomian (Amarullah 2008). Di samping itu, pengangguran juga menunjukkan masalah ketidakefisienan dalam penggunaan faktor-faktor produksi sehingga implikasinya adalah tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensinya yang maksimal. Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, pengurangan pengangguran biasanya menjadi target utama kebijakan perekonomian. Pada umumnya, tingkat pengangguran Indonesia terus mengalami peningkatan. Rata-rata tingkat pengangguran pada periode 1984-1991 adalah sebesar 2,42 persen, periode 1992-1999 sebesar 4,83 persen, sementara periode 2000-2008 mencapai 9,08 persen. Dengan demikian terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran di antara ketiga periode tersebut (Gambar 1). 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00
1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0,00
Pengangguran
Rata-Rata Pengangguran
Sumber: Sakernas (1984-2008), diolah
Gambar 1 Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
2
Fenomena meningkatnya pengangguran secara nasional merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Salah satu masalah pengangguran dari dimensi regional adalah perbedaan tingkat pengangguran antarprovinsi yang cenderung semakin melebar dan divergen. Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran provinsi-provinsi menunjukkan kondisi yang cukup heterogen. Pada tahun 2008 Jakarta memiliki tingkat pengangguran sebesar 12,16 persen, kemudian Sumatera Barat memiliki tingkat pengangguran yang mencapai 8,04 persen. Sementara, provinsi Papua hanya mencapai 5,18 persen. Dari 26 provinsi, tujuh provinsi di antaranya memiliki tingkat pengangguran yang melebihi tingkat pengangguran nasional. Mayoritas (lima provinsi) terletak di Kawasan Barat Indonesia (KBI), sementara provinsi lainnya terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada tahun tersebut, provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Jawa Barat (12,66 persen) sedangkan yang terendah adalah Bali (3,31 persen). Dengan demikian selisih nilai antara kedua provinsi tersebut adalah sebesar 9,35 persen. Nilai tersebut cenderung meningkat, mengingat pada tahun 1984 persen selisih nilai tersebut hanya 6,53 persen. Data ini menunjukkan bahwa jarak tingkat pengangguran antarprovinsi semakin besar. 14 12
Persen
10 8 6 4 2 0
1984
2008
Selisih
Sumber: BPS (1984-2008), diolah
Gambar 2 Tingkat Pengangguran Antarprovinsi Tahun 1984 dan 2008
3
Dispersi tingkat pengangguran antarprovinsi juga ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang cenderung terus meningkat. Pada periode 1984-2008 nilai dari standar deviasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun sempat mengalami penurunan pada beberapa titik waktu. Nilai tersebut berkisar antara 1,23 (tahun 1984) dan 3,34 (Tahun 1984) dengan rata-rata tingkat deviasi sebesar 2,12. Adanya perbedaan pengangguran antarprovinsi menunjukkan beragamnya kinerja pasar tenaga kerja regional. Secara nasional kemampuan penyerapan tenaga kerja cenderung menurun, walaupun mengalami peningkatan pada periode 2006 hingga 2008. Apabila dibandingkan dengan agregat nasional, Pulau Maluku, Jawa dan Sulawesi memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa proses pembangunan antarwilayah relatif kurang merata. 100 98 96
Persen
94 92 90 88 86 84
Sumber: BPS (2008), diolah 82
1992
1993
1994
Nasional
1995
1996
1997 Sumatra
1998
1999
2000 Jawa
2001
2002
2003
2004
2005
Bali
2006
2007
2008
Nusa Tenggara
Sumber: BPS (1992-2008), diolah Gambar 3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Antarpulau, 1992-2008
Permasalahan kedua dari dimensi regional adalah tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Gambar 4 menunjukkan bahwa semua provinsi mengalami peningkatan pengangguran. Sejak tahun 2006 tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008 belum bisa kembali pada periode 1984. Data menunjukkan bahwa pengangguran cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Gejala demikian disebut pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008).
4
Tingkat Pengangguran Propinsi (Persen)
14,00
Jabar
12,00
Jakarta
Kaltim
NAD Sulut Maluku Sumut Sulsel 8,00 Lampung Sumbar Sumsel NTB Kalsel 6,00 Sulteng Jambi Kalbar Kalteng 4,00 Bali NTT
2008
10,00
Papua
2,00 0,00 0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
1984
5,00
6,00
7,00
8,00
Sumber: BPS (1984-2008), diolah
Gambar 4 Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008
Persistensi pada level regional telah menjadi fenomena di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Chuang dan Lai (2007), pada periode 1987-2004 menyatakan bahwa tingkat pengangguran diantara 23 kota di Taiwan menunjukkan heterogenitas yang tinggi dan cenderung persisten sepanjang waktu. Wu (2007) juga mengidentifikasi persistensi regional di berbagai wilayah di China.
1.2.
Perumusan Masalah Masalah ketenagakerjaan yang terkait pengangguran di Indonesia
merupakan salah satu masalah makroekonomi yang utama. Dilihat dari dimensi regional beberapa permasalahan pengangguran adalah pertama, tidak adanya konvergensi
dan
kedua,
tingkat
pengangguran
provinsi
menunjukkan
kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu tersebut. Dalam penelitian ini hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran provinsi yang persisten. Pengangguran memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap perekonomian namun juga sosial. Pertama, pengangguran menunjukkan permasalahan ketidakefisienan. Apabila terdapat pengangguran yang persistensi di tingkat regional, maka tingkat
5
pendapatan
regional
aktual
lebih
rendah
daripada
tingkat
pendapatan
potensialnya. Keadaaan ini berarti tingkat kemakmuran yang dinikmati masyarakat lebih rendah daripada tingkat kemakmuran yang mungkin dicapainya. Kedua, mengurangi persistensi pengangguran ini berarti mengurangi dampak negatif berkaitan dengan geographical concentrations of unemployment. Daerah yang mempunyai tingkat pengangguran yang persisten cenderung memiliki demand terhadap barang dan jasa lokal yang rendah dalam jangka panjang. Ketiga, di samping akibat buruk yang bersifat ekonomi, pengangguran menimbulkan pula biaya sosial. Terhadap individu, pengalaman menganggur akan mempengaruhi prospek seseorang dalam kesempatan kerja yang akan datang (the scarring theory of unemployment). Semakin lama seseorang menganggur akan semakin berdampak pada perkembangan karirnya seperti kemampuan yang semakin berkurang serta semakin tingginya peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang cenderung kurang stabil. Di samping itu, pengangguran yang semakin sulit untuk diatasi ditengarai sebagai pemicu masalah sosial ekonomi masyarakat, sehingga dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Studi
terdahulu
menunjukkan
bahwa
semakin
tinggi
angka
pengangguran, probabilitas meningkatnya kemiskinan, kriminalitas dan fenomena sosial-ekonomi politik lainnya semakin tinggi. Persistensi pengangguran regional akan membawa konsekuensi pada semakin tingginya beban terhadap perekonomian. Tingkat pengangguran yang tidak teratasi pada level provinsi akan membawa konsekuensi pada semakin tingginya tingkat pengangguran nasional. Dengan demikian dibutuhkan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab pengangguran yang mengacu pada tingkat regional. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah benar terjadi persistensi pengangguran provinsi di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi sumber pengangguran provinsi di Indonesia?
6
1.3.
Tujuan Penelitian Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi keberadaan persistensi di tingkat provinsi di Indonesia. 2. Mengidentifikasi sumber penyebab pengangguran pada level provinsi di Indonesia. 1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan persistensi
pengangguran pada level provinsi, karena pengangguran yang tidak teratasi pada level ini akan berimplikasi pada semakin tingginya tingkat pengangguran agregat. Dengan demikian secara umum penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1. Pemerintah: Sebagai acuan dalam mengatasi permasalahan pengangguran pada level regional berdasarkan perumusan strategi maupun langkah kebijakan. Kebijakan yang diambil bisa berbeda antarprovinsi disesuaikan dengan karakter masing-masing daerah. 2. Akademisi: Sebagai referensi dalam menggali lebih dalam mengenai pengangguran. 3. Masyarakat: Memperluas wawasan serta cakrawala berpikir dalam memahami kondisi pengangguran. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena ketersediaan data yang tidak memungkinkan untuk mencakup provinsi-provinsi baru. Keterwakilan tiap-tiap provinsi di seluruh pulau diharapkan dapat merepresentasikan persistensi pengangguran regional di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini tidak mengidentifikasi persistensi untuk tiap-tiap provinsi di Indonesia.
II.TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan pengangguran secara umum serta teori-teori yang berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran di tingkat regional yang selanjutnya mengarah pada kondisi yang menyebabkan persistensi. Selain itu, juga mencakup tentang penelitian terdahulu, kerangka pemikiran serta hipotesis yang dibuat berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan penelitian ini. 2.1.
Definisi Pengangguran Menurut BPS, konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka
yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja. Di Indonesia digunakan batasan umur 15 tahun sebagai batas seseorang dianggap mulai bisa bekerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja, adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam angkatan
kerja.
Golongan
ini
secara
ekonomi
memang
tidak
aktif
(non-economically active population). Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah, mengurus rumah tangga, pensiun, dan cacat jasmani. Sementara angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur. Menurut BPS, bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang; (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan kerja yang tidak bekerja. Secara keseluruhan konsep statistik ketenagakerjaan yang digunakan
8
dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada the labor force concept yang disarankan ILO (International Labor Organization). Secara skematis konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:
Penduduk
Bukan Usia Kerja
Usia Kerja
Angkatan Kerja
Sekolah
Pengangguran
Bekerja
Sedang Bekerja
Bukan Angkatan Kerja
Sementara Tidak Bekerja
Mencari Pekerjaan
Mengurus RT
Merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan
Mempersiapkan Usaha
Cacat Jasmani
Sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja
Sumber: BPS (2008)
Gambar 5 Diagram Ketenagakerjaan
2.2.
Persistensi Pengangguran dan Hysteresis Blanchard dan Summer (1986) menyatakan bahwa the existence of
hysteresis should not be confused with persistence. Persistence implies that, although the speed of adjustment towards the equilibrium level is slow, unemployment shows mean reversion. Thus persistence is a special case of the natural rate hypothesis in which unemployment is a near-unit root process. Under hysteresis,
macroeconomic
policy
would
have
permanent
effects
on
unemployment. If persistence were the prevailing case it would have long lasting but not permanent effects. Persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Pernyataan ini sesuai dengan Elmeskov (1993) yang menyatakan bahwa the adjustment towards equilibrium takes time and the adjustment process may be complicated. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada
9
pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Equilibrium rate menurut Elmeskov (1993) adalah natural rate (tingkat pengangguran alamiah). Kondisi ini perlu dibedakan dengan hysteresis yang merupakan kondisi fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang memiliki dampak yang permanen terhadap tingkat pengangguran. Menurut Mankiw (2003), hysteresis adalah teori yang menyatakan bahwa resesi dapat mempengaruhi tingkat pengangguran alamiah secara permanen. Hysteresis merupakan suatu proses unit root (tidak stasioner) sedangkan persistensi pengangguran disebut sebagai near unit root dan memiliki kecenderungan untuk mean reversion. Mean reversion dalam ekonometrika adalah suatu series jika fluktuasi cenderung kembali ke nilai rata-rata dan varian cenderung bersifat konstan.
2.3.
Faktor-faktor Penyebab Pengangguran Regional Sub bab berikut memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab
pengangguran regional yang terdiri dari labor supply, labor demand, dan mekanisme upah sebagai market clearing. 2.3.1. Perubahan Demografi Berdasarkan berbagai literatur sebelumnya, perubahan demografi dapat dikategorikan berdasarkan: struktur umur, gender, pendidikan, angkatan kerja, migrasi dan latar belakang keluarga. Tiap-tiap faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: -
Struktur umur: Pengangguran usia muda (15-24) kerap menjadi fokus perhatian para pembuat kebijakan dan peneliti. Pada umumnya yang terjadi adalah tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan pengangguran usia dewasa. Hal ini disebabkan karena tingginya frekuensi dalam pergantian/pencarian kerja pada kelompok umur tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian mereka.
-
Gender: Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja terbagi menjadi angkatan kerja pria dan wanita. Pria pada umumnya memikul tanggung jawab utama untuk menghidupi keluarga. Oleh karena itu menurut Chuang dan Lai (2007)
10
mereka lebih termotivasi dan aktif dalam mencari pekerjaan dan lebih enggan untuk berhenti bekerja. Dengan demikian seharusnya, semakin tinggi pangsa pria terhadap angkatan kerja maka tingkat pengangguran akan semakin rendah. -
Pendidikan: Elhorst (2003) menyatakan dalam beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan berikut: Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang.
-
Beban tanggungan keluarga (dependency ratio): Ide dasarnya adalah apabila dalam suatu rumah tangga terdapat anggota keluarga (non produktif) yang menjadi beban bagi individu (usia produktif) di keluarga, maka individu tersebut akan lebih intensif dalam mencari pekerjaan. Dengan demikian semakin tinggi dependency ratio di suatu wilayah tersebut semakin rendah tingkat pengangguran (Chuang dan Lai 2007).
-
Migrasi: Filiztekin (2007) menyatakan bahwa migrasi bisa mempengaruhi sisi supply maupun demand tenaga kerja. Migrasi keluar bisa mengurangi labor supply, sementara migrasi masuk bisa menyebabkan peningkatan baik dalam supply tenaga kerja (pengaruh langsung) dan demand tenaga kerja (tidak langsung). Efek terhadap demand tenaga kerja yaitu jika migrant berketerampilan dan berpendidikan tinggi, migrant memiliki kontribusi human capital dalam bentuk akumulasi keahlian, bakat kewirausahaan keterampilan dan inovasi yang akan berkontribusi terhadap produktivitas lokal sehingga produksi dapat meningkat. Selanjutnya hal ini dapat berimplikasi terhadap demand tenaga kerja.
2.3.2. Hambatan Sosial dan Ekonomi Berbagai pandangan menyatakan bahwa adanya pengangguran di tingkat regional merefleksikan slow operation of equilibrating mechanisms karena adanya
11
hambatan ekonomi dan sosial. Pertama, sebagai catatan bahwa perilaku migrasi tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan konsep ekonomi. Hambatan sosial dan ekonomi bisa memisahkan pasar tenagakerja regional (friction) terdiri dari: 1. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya tingkat kepemilikan rumah. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat kepemilikan rumah dengan tingkat pengangguran yaitu “a house ownership variabel to stand for the workers community identity and sosial networks affect the cost of migration and thus workers mobility. Strong community identification and cohesive social networks increase the cost of migration”. 2. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya kebijakan ‘social security’. Banyak studi telah mengkaji dampak asuransi pengangguran terhadap pencarian pekerjaan. Keberadaan sistem ‘social security’ atau asuransi pengangguran pada khususnya berhubungan positif dengan tingkat pengangguran regional karena sistem ini mengurangi biaya dari ‘menganggur’ dan meningkatkan upah reservasi (tingkat upah terendah agar penganggur mau bekerja). Dengan kata lain, kebijakan tersebut menurunkan tingkat pencarian kerja. Di samping itu Elhorst (2003) menemukan hubungan yang positif bahwa sistem upah minimum meningkatkan pengangguran regional. Upah minimum dianggap sebagai proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja. Dalam kebijakan ini, perusahaan secara legal tidak boleh melakukan kebijakan pengupahan di bawah floor wage, sehingga upah minimum sering dijadikan alasan oleh serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah upah minimum. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan demand akan tenaga kerja. 2.3.3. Komposisi Industri Argumen yang sering dikemukakan bahwa salah satu penyebab pengangguran regional adalah struktur perekonomian dalam suatu wilayah tersebut. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa pergeseran dalam komposisi industri berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja pada level regional. Dengan demikian komposisi industri mempengaruhi tingkat pengangguran
12
regional. Hal ini juga diperkuat oleh Wu (2003) bahwa persistensi pengangguran regional tergantung pada struktur ekonomi wilayah tersebut. Tiap sektor akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. 2.3.4. Kekakuan Upah Kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya merupakan indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity). Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran.
13
Penawaran Upah Riil Pengangguran
W1
W0 Permintaan
Tenaga Kerja L1
L0
Sumber: Mankiw (2003)
Gambar 6 Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 6, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi
permintaannya,
maka
perusahaan-perusahaan
diharapkan
akan
menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003). Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja
14
dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah. Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi. Ketika terjadi inflasi (kenaikan biaya hidup) pekerja akan menuntut kenaikan upah, sehingga kemungkinan besar perusahaan akan meningkatkan upah, karena ada biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah oleh pekerja tidak dikabulkan oleh perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi). 2.3.5. Pencarian Kerja Pencarian kerja terkait dengan waktu yang dibutuhkan para pencari kerja. Pencarian kerja bisa menjadi lebih lama atau lebih cepat karena dipengaruhi oleh komposisi industri, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, dan migrasi. Pencari kerja membutuhkan waktu untuk mencocokkan antara kualifikasi, keahlian yang dimiliki dengan lowongan kerja yang tersedia. Perbedaan keahlian dan upah dari setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan. Kondisi ini akan menyebabkan pengangguran semakin sulit untuk berkurang. Menurut Mankiw (2003), pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran friksional. Sumber utama pengangguran ini adalah angkatan kerja muda. 2.4.
Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional Saat ini banyak metode ekonometrika yang ditawarkan untuk mengukur
tingkat pengangguran disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang diinginkan, dimana setiap metode pengukuran memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah beberapa metode yang dapat digunakan: 1. Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. ADF-test umumnya dilakukan sebagai indikasi awal terjadinya persistensi pengangguran, seperti yang diacu oleh banyak publikasi ilmiah. Namun demikian studi-studi tersebut juga mencatat
15
bahwa ADF-test memiliki kekurangan yaitu adanya kecenderungan untuk menerima Ho (tidak stasioner) terutama apabila data series mengalami structural break dan memiliki tren. 2. Vector Auto Regression (VAR). Kelebihan metode ini terutama terletak pada analisis impulse response yang bermanfaat untuk mengetahui bagaimana dan seberapa lama pengaruh dari suatu shock terhadap tingkat pengangguran (Murillo et al 2005). 3. Markov Switching Model. Model ini dilakukan oleh Bianchi dan Zoega (1998), dimana jika dalam suatu series terjadi structural breaks maka dapat diidentifikasi dan dampaknya pada data dapat dihilangkan. 4. Panel unit root metode Levin-Lin (LL) atau Im-Pesaran-Shin (IPS). Metode ini merupakan pengembangan dari ADF-test namun telah mengakomodasi perbedaan unit cross-section untuk kategori series yang dianalisis. Salah satu metode panel unit root yang digunakan adalah pendekatan LL. Namun demikian, pengujian dengan metode LL mempunyai kelemahan karena adanya asumsi bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju kesetimbangan. Oleh karena itu, metode pengujian alternatif adalah metode IPS. Metode ini mempunyai kelebihan dari metode sebelumnya karena bisa menganalisis panel data yang mempunyai tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Salah satu aplikasi model ini adalah studi yang dilakukan Ledesma (2000). 5. Bayesian Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA). Pendekatan ini merupakan pendekatan alternatif untuk menguji dan mengestimasi ketergantungan jangka panjang. Hal ini didasari bahwa fenomena pengangguran merupakan proses jangka panjang. Kelebihan metode ini adalah kemampuannya dalam memprediksi dampak jangka panjang suatu shock. Terkait dengan pengangguran regional, InterCAFE dengan Bank Indonesia telah melakukan penelitian “Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro”. Di dalam studi tersebut terdapat pembahasan mengenai pengukuran persistensi pengangguran pada tingkat regional. Metode analisis yang digunakan adalah metodologi panel
16
data, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE). Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi persistensi dalam pengangguran regional di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh kerjasama InterCAFE dan Bank Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi pengangguran regional dengan menggunakan rentang data yang lebih panjang dan metode yang berbeda. 2.5.
Hasil Penelitian Empirik Terdahulu Analisis lain di Negara-negara Eropa mengenai masalah dan penyebab
tingginya persistensi pengangguran dilakukan Elmeskov pada tahun 1993 yaitu ‘High and Persistent Unemployment: Assessment of the Problem and Its Causes’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren kenaikan pengangguran disertai oleh kenaikan secara drastis pada pengangguran dalam tingkat regional. Kondisi ini diakibatkan kurangnya fleksibilitas pada upah di tingkat regional untuk melakukan penyesuaian. Selain itu, kenaikan pengangguran tersebut juga diakibatkan oleh rendahnya mobilitas geografis tenaga kerja. Elmeskov juga menyatakan bahwa penyesuaian yang lambat dalam pasar tenaga kerja disebabkan oleh beberapa faktor utama. Penyebab utama tersebut yakni besarnya kompensasi untuk pengangguran, tingkat upah minimum dan regulasi mengenai perlindungan pekerja. Berkaitan dengan struktur pengangguran, konsentrasi terhadap penduduk berusia muda merupakan suatu fenomena tersendiri di berbagai negara. Di samping itu, fenomena penting lainnya adalah penduduk dengan pendidikan dan keterampilan yang minim merupakan mayoritas dari penganggur. Secara bersamaan, karakteristik tersebut merefleksikan kegagalan sistem pendidikan untuk mengelola proses transisi yang tepat dari kehidupan sekolah untuk bekerja. Trend yang meningkat dalam pengangguran di berbagai negara OECD sejak tahun 1973 merupakan tantangan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi. Mayoritas negara anggota mengalami peningkatan yang cukup substansial saat terjadi peningkatan harga minyak yang cukup tajam yaitu pada tahun 1973-1974 dan 1979/1980, yang berimplikasi pada penurunan pertumbuhan total factor productivity (TFP).
17
Pengujian eksistensi persistensi pengangguran selanjutnya mengarah pada kawasan Asia, yakni Cina. Penelitian ini dilakukan oleh Wu (2003) ‘The Persistence of Regional Unemployment: Evidence from China’. Studinya difokuskan pada perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum muda (total dan youth unemployment), tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga esensi
penting.
Pertama,
pengangguran
total
lebih
persisten
daripada
pengangguran kaum muda. Ketiga, wilayah barat Cina memiliki tingkat pengangguran provinsi tertinggi tetapi persistensi pengangguran regionalnya terendah. Metode data panel digunakan untuk menganalisis sumber-sumber dari persistensi pengangguran. Hasil estimasi terhadap data panel menunjukkan bahwa persistensi pengangguran relatif regional di Cina disebabkan bukan hanya oleh high output share by state sector tetapi juga oleh high output share by collective sector. Semakin tinggi share output industri terhadap state sector dan collective sector maka pengangguran regional semakin persisten. Riset yang dilakukan Ledesma (2000) bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi persisten atau hysteresis pengangguran antara kawasan regional Eropa dan Amerika. Estimasi dengan menggunakan panel unit root digunakan untuk mencerminkan derajat persistensi. Hasil riset memastikan temuan terdahulu yang dilakukan oleh Blanchard dan Summers (1986) yang menemukan bahwa derajat persistensi di negara-negara Eropa lebih tinggi daripada di Amerika. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa fenomena persistensi lebih cenderung terjadi di Eropa daripada AS sekaligus mengindikasikan adanya hysteresis pengangguran di kawasan Eropa. Penelitian mengenai disparitas pengangguran antarregional juga dilakukan oleh Filiztekin (2007) di Turki. Hasil analisis mengindikasikan adanya persistensi pengangguran di tingkat provinsi. Analisis regresi dengan Ordinary Least Square dilakukan pada dua titik waktu yaitu pada tahun 1980 dan 2000. Sumber-sumber persistensi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua titik waktu tersebut. Pada tahun 1980 faktor yang berpengaruh positif terhadap persistensi pengangguran adalah pangsa jumlah pekerja di bidang pertanian, pangsa dari populasi berusia muda, dan pangsa angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tinggi.
18
Sementara untuk tahun 2000 faktor yang berpengaruh positif adalah pangsa jumlah pekerja di bidang manufaktur dan pangsa angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tinggi. Faktor net migrasi pada tahun 2000 berpengaruh negatif terhadap persistensi pengangguran. Hal ini mengindikasikan efek demand yang dominan di wilayah tersebut. Studi yang dilakukan oleh Chuang dan Lai (2007) The Sources of Taiwan Regional Unemployment: A Cross-Region Panel Analysis menyatakan adanya disparitas yang cukup signifikan diantara 23 wilayah di Taiwan. Di samping itu, tingkat pengangguran regionalnya menunjukkan persistensinya sepanjang waktu. Metode cross region panel yang digunakan menunjukkan bahwa mayoritas faktor yang berpengaruh terhadap persistensi dan divergensi tingkat pengangguran antar regional adalah komposisi demografi (pangsa dari populasi usia muda), karakteristik keluarga (pangsa pria terhadap angkatan kerja, pangsa populasi perempuan yang telah menikah), struktur industri, tingkat kepemilikan rumah, dan mobilitas tenaga kerja (migrasi keluar). InterCAFE (2008) melakukan studi empiris ‘Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro’. Persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Digunakan tiga alternatif pendekatan yang merujuk pada studi Elmeskov (1993). Hasil pengujian menunjukkan koefisien yang mendekati satu, hal itu merupakan indikasi terjadinya peristensi pengangguran. Pada intinya, studi ini menyimpulkan bahwa persistensi pengangguran yang terjadi selama ini di Indonesia termasuk kategori disequiliubrium persistent unemployment without self correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi di luar kesetimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme automatis untuk menuju titik kesetimbangan. Selain itu, persistensi merupakan akibat dari lambatnya proses akumulasi modal, kekakuan upah, semakin lamanya pencarian lapangan kerja (job search), dan berbagai kelembaman yang diakibatkan oleh faktor kelembagaan pasar tenaga kerja. Sugema (2009), menganalisis adanya disparitas tingkat pengangguran regional di Indonesia dan persistensinya sepanjang waktu. Hasil analisis menunjukkan beberapa temuan yang cukup menarik. Pertama, terdapat
19
kecenderungan tingkat pengangguran yang divergen antar provinsi ketika persistensi meningkat. Tingkat pengangguran yang semakin tinggi meningkatkan ketidakpastian untuk migrasi (pindah) antarprovinsi. Di samping itu, tingkat pengangguran yang tinggi juga dapat mengindikasikan adanya ‘mismatch’ yaitu waktu yang dibutuhkan para pencari kerja untuk mencocokkan antara kualifikasi yang dimiliki dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Kedua, belum adanya pertanda ‘equilibrating mechanism’ melalui penyesuaian upah riil. Tingkat upah tidak fleksibel dalam merespon pengangguran, oleh karena itu perbedaan tingkat upah
antarprovinsi
tidak
bisa
diharapkan
untuk
mengatasi
disparitas
pengangguran. Hal ini terjadi karena tidak adanya insentif upah bagi penganggur untuk migrasi dari wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang tinggi ke wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang rendah. Ketiga, persistensi juga berkaitan dengan struktur ekonomi dalam suatu wilayah. Dengan menggunakan metode panel dapat disimpulkan bahwa semakin ‘advanced’ perekonomian dalam suatu wilayah, maka semakin persisten pengangguran. Lebih spesifik, persistensi pengangguran lebih tampak pada wilayah dengan pangsa sektor manufaktur dan jasa yang dominan. Hal ini mengimplikasikan bahwa tingkat pengangguran alamiah cenderung meningkat ketika terjadi pergeseran struktur ekonomi tradisional menjadi modern. Keempat, mobilitas tenaga kerja masih sangat terbatas. Hal ini lebih merupakan akibat faktor sosial daripada faktor ekonomi. Dengan demikian, Indonesia dikarakteristikkan dengan socially driven spatial fragmentation of labour market. Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi disparitas pengangguran harus mempertimbangkan isu-isu sosial seperti faktor keluarga. 2.6.
Kerangka Pemikiran Keterkaitan antara perumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode
penelitian dapat dilihat dalam kerangka penelitian yang tersaji pada Gambar 7 dan Gambar 8. Penelitian ini berawal dari permasalahan pengangguran dari dimensi regional yaitu kondisi pengangguran antarprovinsi yang cenderung divergen serta pada rentang waktu 1984-2008 keseluruhan provinsi cenderung mengalami peningkatan pengangguran. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan
20
merupakan pengangguran yang persisten. Namun, tetap diperlukan pengukuran secara statistik di dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran. Dengan demikian tujuan pertama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi apakah pengangguran pada level provinsi di Indonesia tergolong persisten atau tidak. Secara
umum,
persistensi
pengangguran
terjadi
manakala
penyesuaian
(adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner (mean reversion). Analisis tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
Permasalahan Pengangguran Dimensi Regional
Jarak Tingkat Pengangguran Antardaerah Melebar
Periode 1984-2008 Seluruh Propinsi Mengalami Peningkatan Pengangguran
Pembuktian Persistensi Regional
Koefisien Persistensi: Persamaan Dickey Fuller dengan Metode Panel
Uji Stasioneritas: Panel Unit Root Im Pesharan Shin
Gambar 7 Analisis Tahap Pertama
21
InterCAFE (2008) telah melakukan pengukuran persistensi di tingkat regional dengan menggunakan metode panel dengan persamaan ADF (untuk menghitung koefisien) dan didapat koefisien sebesar 0,929. Data yang digunakan yaitu dari tahun 1996 hingga 2006. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah pengujian panel unit root dengan menggunakan data pengangguran regional. Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian InterCAFE (2008) dengan metode yang berbeda serta rentang data yang lebih panjang (1984-2008). Tahap selanjutnya dari penelitian ini mengidentifikasi sumber-sumber pengangguran regional. Hasil identifikasi atas dapat menjadi landasan untuk mengatasi persistensi pengangguran. Kondisi dimana terjadi pengangguran antarregional dapat dibagi menjadi tiga kategori: labor supply, labor demand, dan mekanisme upah yang terdiri dari perubahan demografi yang mencakup angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berpendidikan tinggi (highskilled), total angkatan kerja provinsi, angkatan kerja berjenis kelamin pria, dan dependency ratio. Struktur perekonomian daerah berpengaruh terhadap demand tenaga kerja regional. Tiap sektor jelas akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Dengan demikian struktur komposisi industri yang berbeda turut berpengaruh terhadap tingkat pengangguran yang berbeda-beda antarwilayah. Terkait dengan komposisi industri regional penelitian ini hanya menggunakan pangsa sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB untuk menghindari masalah multikolinearitas. Di samping itu, PDRB perkapita digunakan untuk melihat performance ekonomi dalam mempengaruhi demand tenaga kerja dalam suatu wilayah. Mengidentifikasi perilaku migrasi menjadi salah satu kendala dalam penelitian ini, karena data migrasi masuk, migrasi keluar, dan net migrasi hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakan Sensus Penduduk (SP). Dengan demikian, penelitian ini hanya menggunakan faktor tingkat kepemilikan rumah tiap provinsi (persen) sebagai pendekatan dalam menangkap faktor migrasi. Selanjutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah upah riil merespon tingkat pengangguran atau berperan sebagai market clearing. Upah riil berkaitan dengan upah minimum, di mana kebijakan meningkatkan upah
22
minimum provinsi secara langsung akan meningkatkan upah riil (Rizqal 2010). Bagi pengusaha atau perusahaan kenaikan upah minimum ini akan menyebabkan kenaikan biaya produksi yang berasal dari kenaikan upah, sehingga apabila total biaya produksi lebih besar daripada penerimaannya maka perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan mempertahankan tenaga kerja yang lebih produktif. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah regresi panel dengan variabel pengangguran sebagai variabel dependent. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran regional berarti faktor tersebut menjadi penyebab lambatnya mekanisme penyesuaian terhadap tingkat pengangguran alamiah. Berdasarkan uraian di atas, maka tahap kedua dalam penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 8. Identifikasi Faktor Penyebab Pengangguran Regional
Mekanisme Upah UMP
Supply dan Demand
Mobilitas Demografi
OWN AK
HEDU MALE DEPEND YOU
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 8 Analisis Tahap Kedua
Komposisi Industri PDRBK AGRI, MANU
23
2.7.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan teoretis dan penelitian-penelitian empiris terdahulu,
dapat dirumuskan berbagai hipotesis terkait dengan tujuan penelitian sebagai berikut: 1.
Terdapat persistensi pengangguran provinsi. Sejak tahun 2006 tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008 belum bisa kembali pada periode 1984.
2.
Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran adalah angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berjenis kelamin pria, pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB, total angkatan kerja provinsi, tingkat kepemilikan rumah, dan upah minimum provinsi.
3.
Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap pengangguran adalah dependency ratio, pangsa sektor pertanian terhadap PDRB, PDRB perkapita.
24
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Pengujian Persistensi
Tahap pertama dalam penelitian ini adalah membuktikan bahwa pengangguran bersifat persisten. Secara teoretis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Data yang digunakan adalah data tingkat pengangguran provinsi dengan rentang waktu 1984 hingga 2008. Pendekatan yang dominan dalam berbagai literatur adalah mengasumsikan bahwa tingkat pengangguran (u t ) merupakan proses autoregressive (AR) dengan ordo p. Model AR menunjukkan u t sebagai fungsi linear dari sejumlah u t aktual sebelumnya atau dinyatakan dalam: p
ut = µ + ∑ ρ z ut − z + et
et ~ i.i.d (0, σ 2 )
z =1
(1)
Bianchi dan Zoega (1993) menyatakan bahwa ‘the sum of the autoregressive p
coefficients in the model, ρ = ∑ ρ z
is called ‘measure of persistence’ of
z =1
unemployment’. Sebagai penyederhanaan, maka Dickey Fuller (DF) memodelkan AR dengan ordo 1 persamaan berikut: ui ,t = α + φi ui ,t −1 + ei ,t
(2)
dimana u it adalah tingkat pengangguran dari provinsi i = 1, 2, .... , N pada waktu t = 1, 2, ...., T, dan φ adalah parameter yang akan diestimasi. Jika φ = 1 atau φ > 1 maka terjadi hysteresis pengangguran karena trend data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya dan varian dari u it akan meningkat sejalan dengan peningkatan waktu dan cenderung untuk tak berhingga atau fluktuasi pasar tenaga kerja yang memiliki dampak permanen terhadap tingkat pengangguran alamiah. Lebih jelasnya, jika φ mendekati nilai 1 (near unit root)
26
maka dapat disimpulkan adanya pengangguran yang persisten. Hal ini disebabkan karena fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang hampir mempunyai dampak permanen terhadap tingkat pengangguran alamiah, namun masih memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion).
Selanjutnya, hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan
menguji apakah nilai absolute dari ρ i betul-betul lebih kecil dari 1. Pengujian umum terhadap hipotesis diatas adalah H 0 : φ =1, dengan pengujian satu sisi hipotesis alternative H 1 : φ <1. Standar umum pengujian akar-akar unit dari DF ini adalah persamaan 2, selanjutnya dengan mengurangi kedua sisi persamaan 2 dengan ui ,t −1 diperoleh persamaan:
∆u= ρi ui ,t −1 + ei ,t i ,t Atau dengan menambahkan variabel lag
(3)
∆ui ,t disisi kanan persamaan 3 akan
diperoleh pengujian Augmented Dickey Fuller (ADF) sebagai berikut: pi
∆ui ,t = ρ i ui ,t −1 + ∑ γ ij ∆ui ,t − j + ε i ,t .
(4)
j =1
Pengujian unit root pada penelitian ini didasarkan pada metode Im, Pesharan, Shin yang merata-ratakan keseluruhan individual unit root test statistics dengan H 0 : ρ i = 0, untuk setiap i, sedangkan alternatifnya H 1 : ρ i < 0 untuk setiap i. Pengujian ρ i = 0 pada persamaan (4) di atas ekuivalen dengan pengujian φ = 1 pada persamaan (2) untuk setiap unit provinsi karena ρ = (φ-1). Secara prinsip pengunaan panel data unit root test adalah dimaksudkan untuk meningkatkan power of the test dengan meningkatkan jumlah sample (Baltagi 2005). Pengujian unit root untuk homogenous panel dikembangkan oleh Levin dan Lin. Pengujian unit root tersebut, tidak dapat mengakomodasi heterogenitas antar kelompok, seperti pengaruh unik individu (individual special effects) serta mengasumsikan bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju keseimbangan. Im et al (2002) memperkenalkan unit root test dengan dynamic heterogenous panels. Pada umumnya, unit root test dengan dynamic heterogenous lebih banyak digunakan dibandingkan dengan homogenous dynamic. Metode ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode
27
sebelumnya karena bisa menganalisis data panel yang mempunyai tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Perlu dicatat pengujian IPS tidak mengasumsikan bahwa semua unit provinsi menuju ke tingkat keseimbangan dengan kecepatan yang sama, dengan demikian ρ 1 = ρ 2 = ... = ρ i < 0. Pengujian IPS didasarkan pada statistik t yang distandardisasi dengan formulasi berikut:
Γt =
N N t NT − N −1 ∑ E {t iT ( pi ) ρ i = 0} 1 ~ N (0,1)
(5)
N −1 ∑ Var {t iT ( pi ) ρ i = 0}
di mana t NT
adalah rata-rata ADF(p i ) t-statistik dari N unit provinsi,
E{tiT ( pi ) ρ i = 0} dan Var{tiT ( pi ρ i = 0} adalah rata-rata dan varian dari rata-rata statistik ADF(p i ) di bawah hipotesis nol, sebagimana yang ditabulasi oleh Im, Pesaran, dan Shin untuk setiap T yang berbeda dan ordo lag p i dari pengujian ADF. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam hipotesis nol dari sebuah unit root, Γ t adalah terdistribusi normal, N(0,1). 3.2. Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional Tahap kedua pada penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pengangguran regional di Indonesia. Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah data tahun 1998 hingga 2008 dengan menggunakan dua pendekatan dalam metode data panel yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) 1. Dasar pertimbangan dalam memilih kedua model tersebut adalah dengan menggunakan uji Hausman, karena berkaitan dengan ditolak atau diterimanya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Tahap selanjutnya yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat Best Liniear Unbiased Estimate (BLUE) dengan melakukan uji asumsi autokorelasi, heteroskedastisitas, serta multikolinieritas.
1
Penjelasan serta berbagai pendekatan FEM dan REM dapat dilihat pada Baltagi (2005)
28
Dalam
penelitian
ini
digunakan
model
sebagai
berikut
untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran di tingkat provinsi:
U it = α + β1YOU it + β 2 HEDU it + β3 MALEit + β 4 DEPENDit − − − + β5 AGRI it + β 6 MANU it + β 7OWN it + β8 log AK it + β 9 log UMPit − − − + β10 log PDRBK it + ε it
(6)
dimana: U it
: Tingkat pengangguran provinsi (persen)
YOU it
: Pangsa angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) provinsi (persen)
HEDU it
: Pangsa angkatan kerja berpendidikan tinggi (≥ SLTA) provinsi (persen)
MALEit
: Pangsa angkatan kerja pria provinsi (persen)
DEPENDit
: Dependency Ratio tiap provinsi (persen)
AGRI it
: Pangsa sektor pertanian terhadap PDRB (persen)
MANU it
: Pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB (persen)
OWN it
: Tingkat kepemilikan rumah dengan status milik sendiri tiap provinsi (persen)
AK it
: Logaritma natural dari total angkatan kerja provinsi (orang)
UMPit
: Logaritma natural dari UMP (rupiah)
PDRBK it
: Logaritma natural dari PDRB perkapita (juta rupiah)
3.3
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data
sekunder berupa data panel. Data tersebut terutama berasal dari BPS antara lain Survei Angkatan Kerja (Sakernas), Statistik Kesejahteraan Rakyat, Statistik Perumahan, dan Statistik Indonesia. Beberapa data diubah ke dalam bentuk logaritma untuk memperkecil skala serta memudahkan hasil analisis. Di samping itu, studi pustaka dilakukan dengan membaca literatur yang berkaitan dengan penelitian baik dari media cetak maupun internet.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Identifikasi Persistensi Regional Subbab berikut bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan persistensi
pengangguran di tingkat provinsi di Indonesia. Secara teoretis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Regresi ADF (persamaan 4) dengan pendekatan intercept dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,000 sehingga diputuskan bahwa H 0 di mana data panel mengandung unit root ditolak dan disimpulkan bahwa data panel tersebut bersifat stasioner. Di samping itu, untuk memperkuat keyakinan bahwa data panel pada periode tersebut stasioner, pengujian juga dilakukan dengan metode panel unit root lain seperti LL, dan Breitung yang menunjukkan bahwa data panel pada rentang waktu tersebut stasioner (Lampiran 2).
Tabel 1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional di Indonesia Statistic
Probabilitas
-5,91667
0,0000
Sumber: Lampiran 1
Selanjutnya adalah menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan persamaan 2 untuk memastikan bahwa koefisien tersebut lebih kecil dari satu (near unit root). Hasil estimasi Hausman diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,000 yang berarti tolak H 0 sehingga fixed effect merupakan model yang terbaik(Lampiran 3) . Dengan menggunakan pendekatan fixed effect nilai koefisien yang diperoleh adalah sebesar 0,8753 (near unit root) dengan probabilitas 0,000. Hasil analisis secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2 berikut dan ini merupakan
indikasi
yang
relatif
kuat
mengenai
terjadinya
persistensi
pengangguran. Dengan demikian, berdasarkan dua pengujian tersebut dapat
30
disimpulkan bahwa selama periode analisis, pengangguran pada 26 provinsi yang terjadi di Indonesia secara umum bersifat persisten. Tabel 2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia. Koefisien
Probabilitass
t-stat
R2
0,8753
0,0000
19,33
0,863
Sumber: Lampiran 4
4.2.
Analisis Determinasi Pengangguran Regional Sub bab berikut bertujuan untuk menganalisis faktor determinasi
pengangguran regional. Uji Hausman digunakan untuk memilih metode terbaik antara fixed effects dengan random effects. Hasil uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas 0,000 yang berarti tolak H 0 sehingga dapat disimpulkan fixed effects lebih baik dari random effect (Lampiran 5). Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat Best Linier Unbiased Estimate (BLUE) maka var (u i ) harus sama dengan σ2 (konstan) atau semua error mempunyai varian yang sama. Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan membandingkan sum squared resid pada GLS (weighted) dengan OLS (unweighted). Berdasarkan uji dan pengamatan hasil pengolahan, ditemukan adanya heteroskedastisitas (Lampiran 6). Hal ini disebabkan karena sum square resid pada GLS (weighted) lebih kecil dibandingkan dengan OLS (unweighted). Untuk mengatasi pelanggaran ini dilakukan estimasi GLS dengan whiteheteroscedasticity (Lampiran 7). Pendeteksian dengan adanya autokorelasi juga dilakukan pada model dengan melihat nilai statistik Durbin-Watson. Hasil estimasi pada output didapatkan DW hitung sebesar 1,545 yang berarti berada di daerah dU dan 4-dU (tidak ada korelasi). Berdasarkan estimasi dan evaluasi dengan menggunakan uji OLS klasik terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity, maka model estimasi tersebut merupakan model terbaik dalam penelitian ini. Setelah mengestimasi model maka selanjutnya adalah interpretasi terhadap persamaan regresi. Pada Tabel 3 hasil estimasi memberikan nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,87. Hal ini menunjukkan bahwa 87 persen
31
keragaman variabel terikat (tingkat pengangguran) dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 13 persen. Hasil uji ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik sebesar 0,000 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Tabel 3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional Variabel Angkatan Kerja 15-24(YOU) Angkatan Kerja High-educated (HEDU) Angkatan Kerja Pria (MALE) PDRB Perkapita (PDRBK) Dependency Ratio (DEPEND) Pangsa Sektor Pertanian terhadap PDRB (AGRI) Pangsa Sektor Manufaktur terhadap PDRB ( MANU) Upah Minimum Provinsi (UMP) Angkatan Kerja (AK) Tingkat Kepemilikan Rumah (OWN) Sumber: Lampiran 7
Koefisien
Probabilitas
0,209217 0,013130 0,173306 -0,128572 -0,120253
0,0003 0,0016 0,0001 0,0928 0,0019
-0,035573
0,0074
-0,055265 1,842472 1,545013 -0,000329
0,0199 0,0002 0,1404 0,9925
Angkatan Kerja Usia Muda (15-24 Tahun) Variabel angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) berpengaruh nyata terhadap tingkat pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berusia muda akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 0,20 persen. Hal ini disebabkan tingginya frekuensi pencarian atau pergantian pekerjaan pada kelompok usia tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa sebuah proses yang natural ketika kelompok ini kalah bersaing dalam kesempatan kerja. Kesempatan kerja jelas akan mendahulukan tenaga kerja yang memiliki pengalaman. Lipsey et al (1997) menyatakan bahwa angkatan kerja muda yang baru memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan merupakan sumber utama penyebab pengangguran friksional. Terdapat beberapa fenomena yang terjadi pada angkatan kerja kelompok usia tersebut. Pertama, BPS (2008) menyatakan bahwa kelompok usia muda
32
umumnya masih bersifat idealis termasuk dalam memilih pekerjaan misalnya sesuai keinginan, keahlian, hobi, standar gaji dan gengsi. Selain itu, kelompok usia ini belum memiliki banyak beban tanggungan ekonomi keluarga dan masih ada jaring pengaman ekonomi baginya yaitu keluarga. Berdasarkan penelitian Jones dan Supraptilah (1979) di Ujung Pandang dan Palembang ditemukan bahwa keluarga
dengan
kepala
rumah
tangga
bekerja
cenderung
melindungi
pengangguran muda. Para penganggur tersebut cenderung bergantung hidup dari orang tuanya dan memilih untuk menganggur secara sukarela untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Fenomena kedua, yaitu BPS (2008) menyatakan bahwa penduduk pada kelompok umur ini (15-24 tahun) merupakan penduduk usia sekolah yang selayaknya masih melakukan kegiatan pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Terdapat banyak hal yang melatarbelakangi mengapa kelompok usia muda itu ikut terjun ke pasar kerja, antara lain kesulitan ekonomi keluarga sehingga memaksa mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah dan terpaksa memasuki dunia kerja. Di lain pihak, sulitnya mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya lapangan pekerjaan serta kurangnya pengalaman dan keahlian menyebabkan mereka ikut terjebak dalam kelompok pengangguran sehingga menambah akumulasi jumlah penganggur menjadi lebih banyak lagi. Fenomena selanjutnya adalah efek ‘downskilling’, efek ini muncul ketika tenaga kerja dengan keahlian dan pendidikan yang lebih tinggi (high-skilled) belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan ia bersedia menerima pekerjaan yang bersifat low-skilled (Collard et al. 2003). Fenomena ini terjadi mayoritas pada kelompok usia muda, tanpa pengalaman, yang membutuhkan pekerjaan pertama sebagai on-the-job training. Setelah beberapa saat, mereka akan pindah ke pekerjaan lain yang membutuhkan keahlian yang lebih tinggi dari sebelumnya (temporary stop-gaps). Di sisi lain, perusahaan akan merekrut high-skilled untuk posisi low-skilled, misalnya untuk menghindari biaya pelatihan atau karena mereka memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
33
Tabel 4 Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia (Persen) Kategori Usia Tingkat pengangguran usia muda (usia 15-24 tahun)
1996
2000
2006
2008
71,0
68,00
62,00
54,00
Tingkat pengangguran usia produktif (25-55)
28,4
31,4
33,0
44,50
Tingkat pengangguran usia tua (diatas 55 tahun)
0,60
0,60
5,00
2,00
Sumber: BPS (1996-2008), diolah
Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa tipikal penduduk Amerika (usia muda) rata-rata akan berganti pekerjaan hingga tujuh kali ketika memasuki dunia kerja. Di Indonesia data menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 pengangguran usia muda lebih besar dibandingkan pengangguran usia dewasa walaupun nilai ini telah menurun pada tahun 2006 (Tabel 4). Mutu dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pasar tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui sarana transformasi pendidikan. Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa sistem pendidikan yang terbangun selama ini tampaknya masih menghasilkan angkatan kerja usia muda dengan pengetahuan yang terlalu umum dan kemampuan yang terbatas (lack of skill) karena minim praktek. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pengalaman (lack of experience) angkatan kerja usia tersebut. Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi Variabel pangsa angkatan kerja yang berpendidikan tinggi berpengaruh nyata terhadap pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi akan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 0,013 persen. Menurut definisi BPS kelompok berpendidikan tinggi merupakan seseorang yang berpendidikan tingkat atas (SLTA) dan yang setara ditambah dengan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi (perguruan tinggi atau universitas). Data
menunjukkan
bahwa
angkatan
kerja
berpendidikan
rendah
merupakan mayoritas dari total angkatan kerja yaitu mencapai 70 persen
34
(Gambar 9) yang seharusnya berimplikasi pada tingginya tingkat pengangguran angkatan kerja kelompok tersebut. 90 80 70 Persen
60 50 40 30 20 10 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pendidikan Rendah (Belum pernah sekolah-SMP)
2005
2006
2007
2008
Pendidikan Tinggi (SMA>)
Sumber: BPS (2008), diolah
Gambar 9 Perbandingan Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi dan Rendah Hasil ini tampaknya bertentangan dengan teori yang dinyatakan oleh Elhorst (2003) bahwa semakin tinggi pendidikan angkatan kerja akan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap PHK dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang serta cenderung lebih kompetitif. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pertama mayoritas tenaga kerja (lebih dari 70 persen) yang terserap di berbagai bidang pekerjaan termasuk ke dalam kategori berpendidikan rendah (Gambar 10). Tingginya tingkat pengangguran pendidikan tinggi (Tabel 5) dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah menunjukkan terbatasnya penyediaan kesempatan kerja di sektor formal yang hanya mencapai sekitar 30 persen. Sementara itu, tingkat pengangguran pendidikan yang lebih rendah menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja informal lebih banyak. Hal ini diperkuat dengan
35
adanya fakta bahwa pendidikan rendah berasosiasi dengan kemiskinan sehingga mereka tidak bisa menanggung pengangguran (too poor to be unemployed). 90 80
79,41
78,54
77,70
78,00
78,00
77,00
76,00
76,00
76,00
74,88
70 Persen
60 50 40 30 20
20,59
21,46
22,30
22,00
22,00
23,00
24,00
24,00
24,00
25,12
10 Dari total penganggur, 90% diantaranya merupakan angkatan kerja yang 0 1998
1999
2000 2001 2002 TK Pendidikan Rendah
2003 2004 2005 TK Pendidikan Tinggi
2006
2007
Sumber: BPS (2008), diolah
Gambar 10 Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Kedua, tingginya kelompok angkatan kerja berpendidikan kemungkinan mencerminkan adanya proses mismatch. Mismatch ini merupakan indikasi bahwa sisi penawaran tenaga kerja kita tidak sesuai dengan kebutuhan permintaan industri kita. Hal ini diakibatkan keterampilan tenaga kerja yang belum memenuhi kriteria yang dibutuhkan industri. Keterampilan yang dimaksud disini adalah kesiapan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di industri dan tingkat kompetensi yang belum memenuhi kriteria industri. Berdasarkan survei yang dilakukan dunia usaha bahwa perusahaan seringkali harus memerlukan pelatihan kembali (training) agar siap untuk bekerja. Faktor lainnya mengapa tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih banyak menganggur karena alasan dari tenaga kerja tersebut yang cenderung memilih pekerjaan karena memiliki bargaining position yang tinggi sehingga mereka rela untuk menganggur demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Perbedaan keahlian, upah, lokasi penempatan, industri dari setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan. Kartasasmita
(1996) menyatakan bahwa sekitar 40 persen dari tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan swasta tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan keahlian yang
36
diinginkan oleh perusahaan tersebut. Selayaknya pemerintah bekerjasama dengan dunia pendidikan dan dunia usaha untuk menyesuaikan kurikulum pendidikan (standar pembelajaran) yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Tabel 5 Pengangguran Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persen) Pendidikan 1994 1996 1998 SD atau Kurang 24,80 24,43 23,09 SMP 17,13 18,14 19,44 SLTA 49,62 48,15 48,98 Akademi/Diploma /Universitas 8,46 9,28 8,48 Sumber: BPS (1994-2008), diolah
2000 24,71 23,37 43,98 7,94
2002 2004 2006 2008 22,63 18,58 31,74 28,17 23,54 25,87 25,75 21,01 45,95 47,46 36,44 40,58 7,88
8,09
6,05 10,22
Angkatan Kerja Pria Variabel jumlah angkatan kerja berjenis kelamin pria berpengaruh nyata
terhadap pengangguran regional dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berjenis kelamin laki-laki akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 0,17 persen. Hal ini disebabkan karena jumlah angkatan kerja pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Gambar 11) sehingga menyebabkan tingkat pengangguran pria lebih tinggi dibandingkan wanita (Gambar 12). 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 1998
1999
2000
2001
2002 AK Pria
2003
2004
2005
2006
2007
AK Wanita
Sumber: BPS, 2008
Gambar 11 Perbandingan Angkatan Kerja Pria dan Wanita
2008
37
70 60
Persen
50 40 30 20 10 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pengangguran Pria
Pengangguran Wanita
Sumber: BPS (2008), diolah
Gambar 12 Struktur Pengangguran Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah angkatan kerja pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita disebabkan adanya budaya di Indonesia bahwa pria mempunyai tanggung jawab dan tuntutan yang lebih tinggi di dalam menghidupi keluarga dibandingkan wanita. Di sisi lain, banyaknya jumlah wanita yang keluar dari angkatan kerja setelah mereka menikah karena ingin tinggal di rumah dan mengurus anak juga turut berkontribusi terhadap besarnya angkatan kerja pria. PDRB Perkapita Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita dapat didekati dengan PDRB per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di Indonesia. Variabel PDRB perkapita berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen PDRB per kapita akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,12 persen. Hal ini sesuai dengan logika ekonomi bahwa semakin besar PDRB pada suatu wilayah
38
maka akan membutuhkan faktor-faktor produksi yang lebih banyak, termasuk tenaga kerja. Dependency Ratio Variabel dependency ratio berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen dependency ratio akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,12 persen. Hal ini berarti bahwa beban tanggungan dalam suatu keluarga (orang tua dan anak-anak) akan membuat seseorang yang termasuk dalam penduduk usia kerja (15-64 tahun) di keluarga tersebut berusaha mencari pekerjaan lebih intensif karena adanya tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. Semakin tinggi rasio beban ketergantungan maka semakin rendah tingkat pengangguran regional dalam suatu wilayah. Komposisi Industri Tingkat pengangguran regional juga dipengaruhi oleh komposisi industri di wilayah tersebut. Variabel pangsa sektor pertanian terhadap PDRB berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen pangsa sektor pertanian terhadap PDRB akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,03 persen. Variabel pangsa sektor industri terhadap PDRB berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional
dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen pangsa sektor industri terhadap PDRB akan menyebabkan tingkat pengangguran regional
menurun sebesar 0,05 persen. Data menunjukkan bahwa angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cukup besar, namun memiliki persentase penyerapan tenaga kerja yang terus mengalami penurunan (Tabel 6). Hal ini juga sejalan dengan menurunnya pangsa sektor pertanian terhadap PDB, namun penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB jauh lebih cepat dibanding penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja. Persentase penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian yang relatif besar tersebut menunjukkan strategisnya sektor
39
tersebut dalam penciptaan lapangan kerja. Dengan demikian pertumbuhan di sektor ini diharapkan mampu mengurangi masalah pengangguran regional. Tabel 6 Komposisi PDB dan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Indonesia Tahun
Pertanian Industri Pangsa Pangsa Pangsa Pangsa PDB (%) tenaga PDB (%) tenaga kerja (%) kerja (%) 1980 25 55 43 13 1990 22 50 39 17 1995 17 44 42 18 2000 16 44 40 14 2003 15 46 39 13 2007 14 41 43 19 2008 14 42 42 18 Sumber: Statistik Indonesia (1980-2008), diolah
Jasa Pangsa Pangsa PDB (%) tenaga kerja (%) 32 32 39 33 41 38 45 42 46 41 43 40 44 40
Tabel 6 tersebut juga menunjukkan bahwa pangsa sektor manufaktur terhadap PDB pada tahun 2008 mencapai 40 persen, namun persentase penyerapan tenaga kerja di sektor ini hanya mencapai 18 persen. Pada periode 2000-2003 pangsa sektor industri terhadap penyerapan tenaga kerja sempat mengalami penurunan dan meningkat lagi pada tahun 2007. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan orientasi pembangunan dari industri dengan orientasi substitusi impor yang padat modal menjadi industri orientasi ekspor yang relatif lebih padat tenaga kerja. Di sisi lain kontribusi sektor jasa terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja mencapai 40 persen, nilai yang cukup besar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Namun, terdapat hal yang menarik untuk dikaji. InterCAFE (2008) telah menghitung elastisitas sektoral penyerapan tenaga kerja suatu sektor sebagai akibat adanya 1 persen pertumbuhan ekonomi sektor tersebut. Data yang digunakan mencakup data panel 26 provinsi pada periode 2000-2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja tertinggi terjadi di sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga kerja sebanyak 0,61 persen untuk setiap satu persen pertumbuhan PDB sektor tersebut. Sementara sektor jasa memiliki elastisitas yang paling rendah yaitu hanya mencapai 0,25 persen (Tabel
7).
Implikasinya
adalah
semakin
modern
(advanced)
struktur
perekonomian suatu wilayah maka pengangguran di wilayah tersebut makin sulit
40
untuk diturunkan. Dengan demikian perlu reorientasi kebijakan dan inisiatif khusus bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya mampu menyerap tenaga kerja lebih tinggi. Tabel 7 Elastisitas Sektoral Tenaga Kerja Sektor Pertanian Industri (Manufaktur) Jasa
Nilai Elastisitas 0,606*** 0,406*** 0,253***
R2 0.4649 0.7772 0.9984
Catatan: *** signifikan pada taraf nyata 1%
Sumber: InterCAFE (2008)
Upah Minimum Provinsi Dalam teori ekonomi neo-klasik, penawaran dan permintaan tenaga kerja menentukan tingkat upah yang berlaku, yang pada akhirnya menentukan tingkat upah keseimbangan. Jika upah kaku maka mekanisme market clearing dalam pembentukan upah keseimbangan cenderung tidak berfungsi. Salah satu penyebab kekakuan upah adanya pemberlakuan upah minimum provinsi. Tingkat produktivitas minimum pekerja bagi negara sedang berkembang dipengaruhi oleh upah minimum. Hal ini dikarenakan upah minimum terkait dengan tingkat kebutuhan hidup minimum. Artinya jika kebutuhan hidup (nutrisi) terpenuhi maka pekerja dapat bekerja dengan produktivitas yang diharapkan. Sedangkan bagi negara maju, upah minimum cenderung dijadikan proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja (Mankiw 2003). Variabel UMP berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen upah minimum provinsi akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 1,84 persen. Kebijakan upah minimum sering dijadikan pokok permasalahan yang menyebabkan tingkat upah riil menjadi kaku bawah (downward rigidity). Hal ini dikarenakan upah minimum merupakan kewajiban legal dan harus diikuti oleh setiap perusahaan serta memiliki kekuatan hukum, dimana perusahaan tidak boleh memberikan upah di bawah upah minimum. Selain itu, upah minimum sering dijadikan alasan bagi
41
serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah upah minimum. Semua perusahaan mempunyai tujuan untuk memaksimumkan laba. Perusahaan akan mengganti input lain yang relatif lebih mahal dengan input yang relatif lebih murah. Apabila upah tenaga kerja meningkat akibat upah minimum provinsi maka perusahaan akan berusaha mengganti dengan input lain yang lebih murah atau mengurangi jumlah tenaga kerja agar keuntungan yang diperoleh maksimal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, upah dipengaruhi oleh struktur biaya, yaitu proporsi biaya untuk pekerja (labor cost) terhadap seluruh biaya produksi (total cost). Pengusaha dapat memutuskan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika Marginal Productivity of Labor (MPL) > w/P atau (upah riil), karena tambahan output masih lebih besar dari tambahan biaya tenaga kerjanya. Sebaliknya jika MPL < w/P (upah riil), maka perusahaan akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, karena tambahan output menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tambahan biaya tenaga kerjanya. Perusahaan akan terus menambah tenaga kerja sampai pada titik dimana MPL = w/P. Peningkatan produktivitas tenaga kerja tidak bisa mengimbangi kenaikan upah riil (Gambar 13). Sesuai dengan hipotesis, jika upah riil lebih cepat naik maka seharusnya diimbangi dengan produktivitas. 140
25 20
100
Upah Riil (Ribu Rp)
Produktivitas (Juta Rp)
120
80
15
60
10
40 5
20
0
0 98
99
00
01 02 03 Produktivitas
04 05 Upah Riil
06
07
08
Sumber: BPS (1998-2008), diolah Gambar 13 Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Riil
42
Studi tim Suryahadi (2001) menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum mempunyai pengaruh yang tidak sama terhadap semua jenis pekerja yaitu menguntungkan sebagian kelompok kerja di satu pihak dan merugikan kelompok tenaga kerja pihak lainnya. Pengaruh negatif terutama terjadi pada tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya pekerja dengan tingkat pendidikan rendah, angkatan kerja berusia muda dan pekerja kasar. Sebaliknya, pekerja kerah putih adalah satu-satunya kategori pekerja yang mendapat keuntungan dari upah minimum dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Studi ini juga menyatakan bahwa dengan kebijakan upah minimum, pekerja yang malas dan rajin diberikan upah yang sama. Sehingga hal ini dapat menimbulkan disinsentif bagi pekerja yang tingkat produktivitasnya tinggi.
Tabel 8 Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan Utama Status Pekerjaan Utama
2004 18309288
19504632
20324527
20921567
20810300
21512405
19946732
21024297
21772994
21636761
3
Berusaha Sendiri Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar
2965893
2850448
2883832
3015326
2968481
4
Buruh/Karyawan/Pegawai
25459554
26821889
28042390
28183773
28913118
5
Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas di Non Pertanian Pekerja Keluarga/Tak Dibayar Total
4449921
5541158
5917400
5991493
6346122
3732838
4618280
4458772
5292262
5151536
17292137
16173796
17278999
17375335
18659126
93722036
95456935
99930217
102552750
104485444
Formal
30.33
31.08
30.95
30.42
30.51
Informal
69.67
68.92
69.05
69.58
69.49
1 2
6 7
2006 (Agst)
2007 (Agst)
2008 (Agst)
2009 (Feb)
Sumber: BPS (2008), diolah
Dilihat dari status pekerjaan, Tabel 8 menunjukkan bahwa struktur ketenagakerjaan Indonesia masih didominasi oleh pekerja informal. Menurut
43
definisi BPS, secara umum terdapat empat kelompok yang dikategorikan sebagai pekerja informal, yaitu: (a) pengusaha mandiri, (b) pengusaha dibantu buruh tidak tetap/keluarga, (c) pekerja tidak dibayar, dan (d) pekerja bebas di pertanian dan non pertanian. Dengan pengkategorian seperti itu, sekitar 68 persen dari pekerja Indonesia pada tahun 2004 hingga 2008 merupakan pekerja informal. Menurut Priyono (2002) pemahaman tentang struktur pekerja menurut status pekerjaan ini penting untuk dikaitkan dengan kebijakan upah, khususnya upah minimum. Dalam teori maupun praktek, kebijakan upah minimum merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki nasib pekerja dengan status “4” (buruh/karyawan). Akan tetapi di sisi lain, dengan asumsi bahwa kebijakan upah minimum ditegakkan secara baik, dia akan menjadi beban bagi kelompok pekerja status “2” dan “3” (pengusaha yang mempekerjakan buruh). Sementara itu, status “5,6,7” (pekerja tidak dibayar) praktis tidak terpengaruh sama sekali dengan kebijakan tersebut. Jelas bahwa kebijakan upah minimum dalam kondisi dimana proporsi buruh/karyawan terhadap total pekerja relatif kecil, tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan. Jika yang menjadi masalah
adalah
bagaimana
meningkatkan
kesejahteraan
pekerja
secara
keseluruhan (bukan hanya buruh/karyawan), maka fokus utamanya seharusnya diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan pekerja informal yang merupakan mayoritas dari pekerja di Indonesia. Upah minimum mengacu berdasarkan inflasi, namun survei InterCAFE (2008) menyatakan bahwa sekitar 74,8 persen responden bahkan mengalami kenaikan upah melebihi tingkat inflasi yang berlaku. Dengan demikian seyogyanya Dewan Pengupahan Nasional (DPN) melakukan kajian sistem upah yang layak bagi pekerja sebelum memberikan rekomendasi penetapan upah minimum. Kekakuan upah ke bawah merupakan social fact of life (InterCAFE 2008), sebuah kenyataan hidup yang tidak terbantahkan dan umum terjadi di mana pun. Ada dua hal yang menyebabkan kekakuan upah ke bawah merupakan social facts of life, yaitu: 1.
Rasa keadilan (fairness). Di mana pun adalah dipandang tidak adil secara sosial jika perusahaan menurunkan upah dan karenanya pekerja bereaksi
44
sangat negatif terhadap penurunan upah tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pemogokan, penurunan produktivitas dan bagi pekerja yang produktif keluar dari perusahaan. Demonstrasi yang dilakukan pekerja kemungkinan besar biayanya lebih besar daripada gain yang akan diterima perusahaan dengan melakukan penurunan upah. Biaya yang harus ditanggung perusahaan jika terjadi demonstrasi adalah: (a) banyak waktu hilang (b) jika tuntutan yang diajukan berlarut-larut, pekerja akan lebih melibatkan faktor emosional dan jika tidak bisa dikelola dengan baik maka akan memicu pekerja untuk menuntut hal lain di luar upah seperti tunjangan, dan insentif transportasi sehingga biaya yang harus ditanggung perusahaan akan bertambah besar (c) menyebabkan terjadinya gangguan produksi sehingga pesanan pelanggan tidak terpenuhi dan (d) citra perusahaan memburuk di mata konsumen karena biasanya perusahaan tidak hanya menjual produk tapi juga image perusahaan. Dengan demikian oportunity cost perusahaan lebih tinggi jika menurunkan upah. 2.
Upah relatif yaitu upah rata-rata perusahaan lain yang sejenis. Artinya perusahaan takut jika perusahaan lain tidak ikut menurunkan upah. Bisa jadi perusahaan tidak takut. tetapi pekerja yang produktif akan keluar dan perusahaan akan rugi. Perbedaan upah minimum antarprovinsi seharusnya bisa memicu adanya
migrasi. Namun, keputusan untuk melakukan migrasi bagi penduduk tidaklah mudah (Bellante dan Jackson 2000). Di sisi lain, data migrasi yang ditunjukkan oleh BPS (2008) menunjukkan peningkatan migrasi dari tahun ke tahun. Apabila data migrasi neto dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja tiap provinsi maka pangsa migrasi mencapai rata-rata 21 persen dari total angkatan kerja. BPS (2008) menyatakan bahwa gejala migrasi antarprovinsi di Indonesia meningkat pesat dalam dua dasarwarsa terakhir sebagai konsekuensi logis dari perubahan besar dalam bidang sosial dan ekonomi. Selain itu mobilitas terjadi karena ada perbaikan sarana transportasi ekonomi. Namun dari data migrasi pada Lampiran 8 tersebut, terdapat hal yang menarik untuk dikaji. Menurut Murillo (2005) untuk mengurangi tingkat pengangguran suatu wilayah maka mobilitas seharusnya diarahkan menuju wilayah yang mempunyai
45
tingkat pengangguran yang rendah. Namun, data pada tahun 2005 menunjukkan bahwa migrasi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan karena adanya teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) dimana pemusatan ekonomi suatu wilayah akan menjadi faktor penarik orang yang tinggal di luar wilayah tersebut untuk bekerja di sentra perekonomian. Sebagai contoh, data menunjukkan bahwa migrasi masuk merupakan mobilitas yang dominan di provinsi DKI Jakarta. Hal ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa seharusnya mobilitas yang dominan adalah migrasi keluar mengingat tingginya tingkat pengangguran di provinsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada provinsi Jawa Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Sebaliknya data menunjukkan bahwa migrasi keluar merupakan mobilitas yang dominan di provinsi NTB dan NTT, mengingat kedua provinsi tersebut memiliki tingkat pengangguran yang cukup rendah maka mobilitas yang seharusnya dominan adalah migrasi masuk. Hal ini akan semakin memperparah tingkat pengangguran karena akan terjadi penumpukan angkatan kerja pada wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi. Dari uraian tersebut kemungkinan migrasi belum berperan sebagai equilibrating mechanism, namun untuk memastikan apakah migrasi sudah berperan ssebagai equilibrating mechanism maka variabel migrasi perlu diregresikan ke dalam model, namun hal ini menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini dikarenakan keterbatasan data yang dimiliki oleh BPS. Berdasarkan pembahasan faktor penyebab pengangguran regional di atas maka perlu mengintegrasikan berbagai temuan interpretasi variabel yang telah dibahas sebelumnya. Analsis menunjukkan bahwa pengangguran provinsi di Indonesia tergolong persisten. Hal ini berarti bahwa mengidentifikasi faktor penyebab pengangguran regional berarti mengidentifikasi faktor penyebab persisten. Di samping itu, berbagai faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran regional tersebut secara simultan mengarah kepada kondisi pencarian kerja yang lebih panjang serta kekakuan upah yang berkepanjangan sehingga berimplikasi terjadinya persistensi. Pertama, karena adanya kekakuan upah. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa kekakuan upah sering dipandang sebagai penyebab utama kenaikan tingkat pengangguran secara berkepanjangan.
46
Kekakuan upah menjadi lebih kompleks ketika upah minimum diindeksasi terhadap inflasi bahkan sering melebihi tingkat inflasi. Faktor kedua penyebab persistensi pengangguran adalah pencarian kerja. Tingkat pengangguran semakin sulit diturunkan jika waktu yang dibutuhkan untuk pencarian kerja menjadi lebih lama. Pencarian kerja ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti migrasi akibat growth pole (berimplikasi pada penumpukan angkatan kerja), pengangguran friksional (bersumber dari angkatan kerja muda (15-24 Tahun), dan tingginya angkatan kerja berpendidikan tinggi.
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Hasil pengujian panel unit root test menyatakan bahwa data panel pada periode tersebut bersifat stasioner dan diperoleh koefisien sebesar 0,87 (near unit root). Berdasarkan beberapa pengujian tersebut dapat disimpulkan selama periode analisis secara umum pengangguran regional pada 26 provinsi bersifat persisten. Di samping itu, fenomena ini sejalan dengan dispersi tingkat pengangguran antarprovinsi yang cenderung terus meningkat 2. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran regional yaitu upah minimum propinsi, angkatan kerja yang berusia muda (15-24 tahun), angkatan kerja berpendidikan tinggi, dan angkatan kerja yang berjenis kelamin pria. Faktor-faktor tersebut secara simultan mengarah pada kondisi kekakuan upah yang berkepanjangan dan proses pencarian kerja yang lebih panjang sehingga berdampak pada persistensi pengangguran. 3. Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran regional adalah PDRB per kapita, dependency ratio, serta komposisi industri yang mencakup sektor pertanian dan manufaktur. Terkait dengan komposisi industri, walaupun kedua sektor berdampak negatif terhadap pengangguran namun sektor pertanianlah yang mempunyai elastisitas penyerapan tenaga kerja paling besar. 5.2.
Saran
1. Diperlukan reorientasi kebijakan bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya pro penciptaan lapangan kerja. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa fiskal maupun nonfiskal (suku bunga rendah) bagi industri dengan teknologi padat tenaga kerja. Sebagai prioritas jangka panjang, pemerintah harus mendorong pertumbuhan UMKM dan industri kreatif.
48
2. Terkait dengan sektor pertanian, agar penyerapan tenaga kerja pada sektor ini tetap optimal pemerintah dapat mengawali pembangunan dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian di pedesaan menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan sumberdaya manusia dengan pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Hal ini menjadi strategi penciptaan lapangan kerja yang diintegrasikan dengan pengurangan kemiskinan. 3. UMP tetap diperlukan sebagai acuan dalam penetapan upah pekerja, namun (DPN) Dewan Pengupahan Nasional seyogyanya melakukan kajian sistem upah yang layak bagi pekerja sebelum memberikan rekomendasi penetapan upah minimum. Pengkajian sistem pengupahan harus memperluas kriteria penyesuaian upah minimum seperti pertumbuhan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, stabilitas makro ekonomi, kemampuan perusahaan serta tidak hanya mengacu pada inflasi sebagai tolak ukur. Di samping itu, mengingat bahwa upah minimum diindeksasikan dengan tingkat inflasi maka kebijakan inflation targeting dalam jangka panjang sangat diperlukan. 4. Selayaknya pemerintah lebih mempersiapkan siswanya untuk memasuki dunia kerja serta memiliki kompetensi yang memenuhi kriteria perusahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan standar pembelajaran dengan kebutuhan dunia industri. 5. Pembangunan daerah juga tidak akan maksimal tanpa adanya peran serta dunia usaha sebagai usaha untuk menciptakan lapangan kerja formal yang lebih luas. Dengan demikian berbagai upaya diarahkan untuk menarik dan mendorong penyebaran investasi di daerah seperti birokrasi yang tidak berbelit-belit, jaminan keamanan, serta infrastruktur yang memadai. Mengingat investasi pada umumnya menciptakan lapangan kerja baru terutama sektor formal. 6. Bagi
penelitian
selanjutnya
diharapkan
mengidentifikasi
persistensi
pengangguran untuk tiap-tiap propinsi, menggunakan metode selain uji stasioneritas serta memasukkan variabel migrasi ke dalam model.
DAFTAR PUSTAKA
Amarullah I. 2008. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran Indonesia Berdasarkan Perspektif Penganggur [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2010. Ekonomi dan Ketenagakerjaan Indonesia 2009-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 1998-2008. Survei Angkatan Kerja Nasional. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 1980-2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 1998-2008. Statistik Perumahan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 1998-2008. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. England: John Wiley and Sons LTD. Bellante D, Jackson M. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bianchi M, Zoega G. 1998. Unemployment Persistence: Does the Size of the Shock Matter?. Journal of Applied Econometrics, Vol. 13, No. 3, pp: 283-304. Blanchard OJ, Summers LH. 1986. Hysteresis and the European Unemployment Problem. NBER Working Paper, No. 1950. Chalmers JA, Greenwood MJ. 1985. The Regional Labor Market Adjustment Process: Determinants of Changes in Rates of Labor Force Participation, Unemployment, and Migration. The Annals of Regional Science, No. 19, pp: 1-17. Chuang YC, Lai WW. 2007. The Sources of Taiwan’s Regional Unemployment: A Cross-Region Panel Analysis. Hitotsubashi Journal of Economics, No. 49, pp :47-65. Collard F, Fonseca R, Munoz R. 2003. Spanish Unemployment Persistence and The Ladder Effect. Working Papers, University of Salerno.
50
[Depnakertrans]. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Pemetaan Pengangguran Berdasarkan Kabupaten dan Kota. Jakarta: Depnakertrans. Dornbusch R, Fisher S, Startz R. 2004. Makroekonomi. Jakarta: Media Global. Elhorst JP. 2003. The Mystery of Regional Unemployment Differentials: Theoritical and Empirical Explanations. Journal of Economic Survey,Vol 17, pp: 709-748. Elmeskov J. 1993. High and Persistent Unemployment: Assessment of the Problem and Its Causes. Economics Department Working Paper, No. 13. Elmeskov J, Macfarlan M. 1993. Unemployment Persistence. OECD Economic Studies, No. 21. Filiztekin A. 2007. Regional Unemployment in Turkey. Working Papers, Sabanci University. Farahnita F. 2008. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran Indonesia Berdasarkan Perspektif Perusahaan [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Galiani S, Lamarche C, Porto A, Escudero WS. 2004. Persistence and Regional Disparities in Unemployment (Argentina 1980–1997). Regional Science and Urban Economics, No. 35, pp: 375-394. Im SK, Pesaran MH, Shin Y. 2002. Testing for Unit Roots in Heterogenous Panels. University of Cambridge DAE Working Paper, No.9526. [InterCAFE] International Center for Applied Finance and Economics. 2008. Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya Berdasarkan Analisis data Mikro. Bogor: Penelitian Kerjasama dengan PPSK Bank Indonesia. Jones G, Supraptilah B. 1979. “Underutilization” Tenaga Kerja di Palembang dan Ujung Pandang [artikel]. Di dalam: Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kartasasmita G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES. Kementrian Perdagangan. 2010. Rencana Strategis 2010-2014. Jakarta: Kementrian Perdagangan. Ledesma MAL. 2000. Unemployment Hysteresis in The US and The EU: A Panel Data Approach. Working Papers, University of Kent.
51
Lipsey RG, Courant PN, Purvis DP, Steiner PO. 1997. Pengantar Makroekonomi.Maulana, Agus [penerjemah]. Jakarta: Binarupa Aksara. Mankiw NG. 2003. Teori Makroekonomi. Nurmawan, Imam [penerjemah]. Jakarta: Erlangga. Murillo I, Nunez F, Usabiaga C. 2005. Differentials and Persistence in Unemployment: An Analysis of the Spanish Regions with the Highest Unemployment Rates. European Union-Regional Economics Applications Laboratory Discussion Papers. Patuelli et al. 2007. Persistent Disparities in Regional Unemployment: Application of a Spatial Filtering Approach to Local Labor Markets in Germany. The Rimini Centre for Economic Analysis Working Paper. Priyono E. 2002. Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Upah Minimum. Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7, No. 1. Rizqal M. 2010. Analisis Hubungan Simultan Antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja Serta Variabel yang Mempengaruhinya [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Suryadarma D, Suryahadi A, Sumarto S. 2007. Reducing Unemployment in Indonesia: Results from a Growth-Employment Elasticity Model. SMERU Working Paper. SMERU Research Institute. Suryahadi A. 2001. Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia. Laporan Lapangan SMERU. SMERU Research Institute. Sugema I. 2009. Regional Persistent Unemployment in Indonesia. Prosiding Indonesia Regional Science Association International Conference; Bogor 22-23 Juli 2009. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Trendle B. 2002. Regional Variation in Queenslands Unemployment Rate. The Labour Market Research Working Paper, No.7. Vindayani D. 2008. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran Indonesia Berdasarkan Perspektif Pekerja [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Wu Z. 2003. The Persistence of Regional Unemployment: Evidence from China. Journal of Applied Economic, No. 35, pp : 1417-1421. Wu S, Maddala GS. 1999. A Comparative Study of Unit Root Test With Panel Data And A New Simple Test. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, pp: 631-652.
52
Halaman ini sengaja dikosongkan
LAMPIRAN
54
Lampiran 1 Uji Stasioneritas Panel Unit Root IPS Null Hypothesis: Unit root (individual unit root process) Series: UT Date: 09/17/07 Time: 13:27 Sample: 1984 2008 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 4 Total number of observations: 598 Cross-sections included: 26 Method Im, Pesaran and Shin W-stat
Statistic -5.91667
Prob.** 0.0000
** Probabilities are computed assuming asympotic normality Intermediate ADF test results Cross section 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
t-Stat -4.4498 -2.1361 -2.1225 -2.0899 -3.4021 -2.8827 -3.8839 -3.5837 -2.1698 -1.7790 -2.3973 -4.2925 -2.3450 -3.7114 -3.2688 -3.1198 -2.6492 -3.0800 -3.6950 -4.2968 -2.9888 -4.8887 -1.8523 -3.9068 -2.7074 -4.2926
Average
-3.1535
Prob. 0.0110 0.5001 0.5082 0.5251 0.0747 0.1848 0.0308 0.0560 0.4838 0.6831 0.3715 0.0150 0.3962 0.0411 0.0955 0.1286 0.2640 0.1332 0.0434 0.0123 0.1562 0.0039 0.6473 0.0314 0.2424 0.0124
E(t) E(Var) -1.911 1.052 -2.172 0.799 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -2.058 0.848 -2.039 0.959 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -1.911 1.052 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -1.911 1.052 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -2.172 0.799 -2.167 0.723 -2.172 0.799 -2.058 0.848 -2.167 0.723 -1.911 1.052 -2.167 0.723 -2.167 0.723 -2.115
0.801
Lag 4 1 0 0 0 0 2 3 0 0 0 4 0 0 0 4 0 0 1 0 1 2 0 4 0 0
Max Lag 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Obs 20 23 24 24 24 24 22 21 24 24 24 20 24 24 24 20 24 24 23 24 23 22 24 20 24 24
55
Lampiran 2 Metode Panel Unit Root Selain IPS Panel unit root test: Summary Series: UT Date: 01/14/08 Time: 11:02 Sample: 1984 2008 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 4 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -2.19744 0.0140 Breitung t-stat -1.84091 0.0328 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -5.91667 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 119.915 0.0000 PP - Fisher Chi-square 103.634 0.0000
Crosssections
Obs
26 26
598 572
26 26 26
598 598 624
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
56
Lampiran 3 Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
22.947725
1
0.0000
Test Summary Cross-section random
** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable UT_1
Fixed 0.851228
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.899868
0.000103
0.0000
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: UT Method: Panel Least Squares Date: 01/14/08 Time: 11:14 Sample (adjusted): 1985 2008 Periods included: 24 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 624 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C UT_1
0.979098 0.851228
0.112857 0.019559
8.675576 43.51999
0.0000 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.830327 0.822938 1.449290 1253.963 -1103.167 112.3668 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
5.191906 3.444230 3.622329 3.814278 3.696919 2.253087
57
Lampiran 4 Estimasi Koefisien dengan Dependent Variable Tingkat Pengangguran Menggunakan Fixed Effect dengan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance Dependent Variable: UT Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 01/14/08 Time: 11:13 Sample (adjusted): 1985 2008 Periods included: 24 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 624 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
UT_1 C
0.875386 0.859539
0.045267 0.254919
19.33827 3.371817
0.0000 0.0008
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.863080 0.857117 1.447084 144.7384 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
5.680588 3.687592 1250.149 2.285703
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.829894 1257.167
Mean dependent var Durbin-Watson stat
5.191906 2.302660
58
Lampiran 5 Uji Hausman Persamaan Determinasi Pengangguran Regional
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
58.437883
10
0.0000
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.336730 1.847739 -0.018017 -0.026097 -0.032536 0.263620 0.025130 -0.038410 1.849979 -0.060158
0.001892 0.030518 0.005699 0.000199 0.000579 0.000773 0.000001 0.000642 1.641440 0.000774
0.9200 0.0627 0.3319 0.0048 0.6543 0.0008 0.0000 0.0063 0.3044 0.1912
Cross-section random effects test comparisons: Variable YOU UMP PDRBK OWN MANU MALE HEDU DEPEND AK AGRI
Fixed 0.332359 2.172938 -0.091262 0.013612 -0.043316 0.170029 0.017530 -0.107639 0.534256 -0.023795
59
Lanjutan Lampiran 5 Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: UT Method: Panel Least Squares Date: 02/22/08 Time: 07:39 Sample: 1998 2008 Periods included: 11 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 286 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C YOU UMP PDRBK OWN MANU MALE HEDU DEPEND AK AGRI
-34.31414 0.332359 2.172938 -0.091262 0.013612 -0.043316 0.170029 0.017530 -0.107639 0.534256 -0.023795
9.429036 0.065975 0.256263 0.082151 0.025853 0.026793 0.041380 0.006088 0.035390 1.365913 0.036132
-3.639200 5.037645 8.479325 -1.110906 0.526510 -1.616716 4.109009 2.879571 -3.041532 0.391135 -0.658568
0.0003 0.0000 0.0000 0.2677 0.5990 0.1072 0.0001 0.0043 0.0026 0.6960 0.5108
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.811274 0.784852 1.488834 554.1567 -500.4046 30.70481 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
7.555315 3.209796 3.751081 4.211276 3.935541 1.399355
60
Lampiran 6 Perbandingan Sum Squares Weighted dan Unweighted
Dependent Variable: UT Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 02/22/08 Time: 07:37 Sample: 1998 2008 Periods included: 11 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 286 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
YOU UMP PDRBK OWN MANU MALE HEDU DEPEND AK AGRI C
0.209217 1.842472 -0.128572 -0.000329 -0.055265 0.173306 0.013130 -0.120253 1.545013 -0.035573 -31.17419
0.055224 0.220481 0.071054 0.023287 0.018673 0.038412 0.004535 0.027213 1.069829 0.020225 7.414557
3.788487 8.356621 -1.809499 -0.014136 -2.959622 4.511798 2.895234 -4.418927 1.444168 -1.758865 -4.204458
0.0002 0.0000 0.0716 0.9887 0.0034 0.0000 0.0041 0.0000 0.1499 0.0798 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.876820 0.859575 1.461236 50.84447 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
9.070623 5.014091 533.8023 1.545373
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.806630 567.7909
Mean dependent var Durbin-Watson stat
7.555315 1.390612
61
Lampiran 7 Estimasi Persamaan Pengangguran Menggunakan Fixed Effect dengan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance
Dependent Variable: UT Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 02/22/08 Time: 07:34 Sample: 1998 2008 Periods included: 11 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 286 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
YOU UMP PDRBK OWN MANU MALE HEDU DEPEND AK AGRI C
0.209217 1.842472 -0.128572 -0.000329 -0.055265 0.173306 0.013130 -0.120253 1.545013 -0.035573 -31.17419
0.056396 0.487153 0.076201 0.035102 0.023588 0.044396 0.004112 0.038307 1.044696 0.013180 8.681445
3.709751 3.782124 -1.687271 -0.009378 -2.342959 3.903653 3.193034 -3.139191 1.478911 -2.698899 -3.590899
0.0003 0.0002 0.0928 0.9925 0.0199 0.0001 0.0016 0.0019 0.1404 0.0074 0.0004
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.876820 0.859575 1.461236 50.84447 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
9.070623 5.014091 533.8023 1.545373
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.806630 567.7909
Mean dependent var Durbin-Watson stat
7.555315 1.390612
62
Lampiran 8 Data Migrasi Netto Antarprovinsi
Migrasi Netto 1971 NAD
AK
1990
-4853
67722
Sumut
341686
-317175
Sumbar
-236996
Riau
U
% AK
%U
2005 -
1762214
220241
866785
5803112
636980
14.9
136.1
-426894
-620858
1963332
225860
31.6
274.9
-21030
553955
1127824
2556891
355568
44.1
317.2
Jambi
128437
393549
416676
1200356
103149
34.7
404
Sumsel
128252
488648
328179
3356262
287188
9.8
114.3
Bengkulu
11285
204512
228623
805651
49509
28.4
461.8
Lampung DKI Jakarta
971375
1559404
1149069
3343115
229131
34.4
501.5
1659420
2088980
1291531
4181248
615917
30.9
209.7
Jabar
-821539
640011
1780269
17157083
2527807
10.4
70.4
Jateng
-1544524
-4015587
-4797364
16995013
1446404
28.2
331.7
DIY
-167151
-243373
-347348
1851209
93507
18.8
371.5
Jatim
-476620
-1915086
-2559495
19298199
1629882
13.3
157
Bali
35062
-98700
1944
2027343
81748
0.1
2.4
NTB
20811
-29751
-42624
1959828
174996
2.2
24.4
NTT
16004
-53132
-71662
2156396
117821
3.3
60.8
Kalbar
14304
80141
106449
1993428
171724
5.3
62
Kalteng
38564
192674
306116
932867
45262
32.8
676.3
Kalsel
18138
70861
102796
1609510
99547
6.4
103.3
Kaltim
19825
536668
893238
1230515
111180
72.6
803.4
Sulut
42169
-65751
-468
998398
143752
0.04
0.3
Sulteng
16663
237782
282825
1024308
78145
27.6
361.9
Sulsel
174742
-422295
-626370
3803397
516622
16.5
121.2
Sultra
4865
129175
218464
886546
79081
24.6
276.3
Maluku
5615
89531
-97271
476690
58631
20.4
165.9
Papua
27064
230522
383285
1302370
92778
29.4
413.1