1
ANALISIS ESENSI NE BIS IN IDEM DALAM PERKARA PERDATA (STUDI KASUS: SENGKETA TANAH STADION UNION MAKES STRENGTH) Claresta Islamey, Anbar Jayadi, Ida Ayu Grhamtika Saitya Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok 2012 ABSTRAK Stadion Union Makes Strength (UMS) merupakan objek yang digunakan untuk kepentingan umum yang pada bulan Januari 2011 dieksekusi oleh Tetty Hertika, Wibisono, Arie Lesmana, dan Ardy Krisnandhy berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) nomor 514/PK/Pdt/2007. Mereka berempat merupakan pihak yang dinyatakan berhak atas lahan stadion UMS. PK merupakan upaya terakhir dan tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh untuk mengoreksi putusan PK. Namun kemudian, yayasan UMS memperjuangkan stadion UMS dengan memasukkan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Bogor. Padahal seharusnya terhadap perkara yang sama berlaku asas ne bis in idem sehingga gugatan tidak diterima. Tapi ternyata gugatan tersebut diterima. Melalui penelitian ini, dilakukan penelitian esensi dari gugatan yang ne bis in idem dan juga meneliti mengenai gugatan yang dimasukkan ke Pengadilan Negeri Bogor tersebut merupakan gugatan yang ne bis in idem. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian dilakukan melalui metode yuridis-normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Data tersebut diperoleh melalui pemantauan di Pengadilan Negeri Bogor, arsip Kepaniteraan Mahkamah Agung, dan penggunaan buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Berdasarkan analisis dari peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan doktrin, gugatan yang ne bis in idem adalah gugatan yang mempersoalkan hal yang sama, dengan alasan yang sama, pihak yang sama, dan hubungan yang sama. Dikarenakan dalam gugatan yang kedua alasan yang dikemukakan oleh Yayasan UMS berbeda dari alasan pada jawaban dari gugatan yang pertama. Sehingga disimpulkan bahwa gugatan kedua yang dilayangkan Yayasan UMS ke Pengadilan Negeri Bogor tidaklah ne bis in idem. Kata Kunci: ne bis in idem, gugatan, Union Makes Strength (UMS), putusan, peninjauan kembali (PK). ABSTRACT Union Makes Strength (UMS) Stadium is an object which is used for public interest. In January 2011, it was executed byTetty Hertika, Wibisono, Arie Lesmana, and Ardy Krisnandhy based on Peninjauan Kembali (PK) Decision Number 514/PK/Pdt/2007. They are stated as the one who has ownership right on to UMS stadium. In law, there is no other thing can be done to recorrect PK’s decision. UMS foundation would like to maintain UMS stadium by entering suit
2
to Bogor District Court. Whereas for the same case, it works ne bis in idem principle so the suit won’t be accepted. But the suit is accepted. We investigate the essential of ne bis in idem and whether the suit which is entered to BogorDistrict Court can be classified as ne bis in idem suit or not. This research is done in juridicial-normative method using secunder data source.That datas were obtained from the monitoring process at Bogor District Court, Supreme Court Secretariat’s archives, books, and relevant legislation. Based on analyzing the legislation, jurisprudence, and doctrine, ne bis in idem is a suit which questions the same thing, with the same reason, the same party, and the same relation. In the second suit the reason brought by UMS foundation is different from the reason brought in the first suit’s answer. So the second suit which is sent by UMS foundation to Pengadilan Negeri Bogor is not ne bis in idem suit. Keywords: ne bis in idem, suit, Union Makes Strength (UMS), decision, peninjauan kembali (PK). PENDAHULUAN Latar Belakang Sengketa tanah Union Makes Strength (UMS) adalah sengketa yang terjadi antara Yayasan UMS dengan ahli waris Wagianto. Perkara perbuatan melanggar hukum sengketa tanah stadion UMS tersebut telah dimulai sejak Tahun 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Hingga akhirnya setelah melakukan upaya banding dan kasasi, pada tanggal 12 Juni 2008 dikeluarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan ahli waris Wagianto berhak atas objek a quo. Stadion UMS pun pada bulan Januari 2011 dieksekusi berdasarkan putusan PK tersebut. Setelah kejadian eksekusi yang merugikan lebih dari 250 siswa yang bersekolah di Sekolah Sepakbola UMS, pada tahun 2012 Yayasan UMS mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bogor dengan objek sengketa berupa tanah stadion UMS. Perkara ini menjadi menarik dikarenakan seharusnya sebagai putusan yang telah diputus berdasarkan PK maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh baik tergugat atau pun penggugat. Pasal 70 ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung) menyatakan bahwa,”Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir”. Tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk mengoreksi hasil putusan PK. Tertutup semua upaya hukum demi tegaknya kepastian hukum (legal certainty) (Yahya Harahap, 2008). Sedangkan pasal 1917 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa,”Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya”. Pasal tersebut merupakan dasar hukum asas ne bis in idem dalam
3
perkara perdata. Terhadap suatu perkara perdata yang telah diputus maka terhadapnya berlaku kekuatan mutlak putusan hakim. Lalu bagaimana sebenarnya esensi atau definisi yang tepat atas ne bis in idem dalam perkara perdata. Oleh karena itulah artikel ini mengambil judul,”Analisis Esensi Ne Bis In Idem dalam Perkara Perdata (Studi Kasus: Sengketa Tanah Stadion Union Makes Strength)”. Ne bis in idem adalah istilah dalam dunia hukum yang berarti apabila suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan dan terhadapnya telah dijatuhkan putusan, serta terhadap putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terhadap kasus itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk memperkarakannya kembali (Yahya Harahap, 2005). Permasalahan Fokus permasalahan kegiatan ini adalah: 1. bagaimana esensi ne bis in idem dalam perkara perdata? 2. apakah gugatan atas objek stadion UMS ke pengadilan Negeri Bogor merupakan gugatan yang ne bis in idem? Tujuan Kegiatan Kegiatan ini dilakukan untuk: 1. meneliti esensi dari ne bis in idem dalam perkara perdata; dan 2. mengetahui apakah gugatan stadion UMS yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor merupakan gugatan yang ne bis in idem . Manfaat Kegiatan Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dilihat dari sisi akademis dan praktis adalah: 1. Sisi Akademis Penelitian ini di samping bermanfaat untuk pengembangan ilmu bagi penulis, diharapkan nantinya juga bisa digunakan sebagai salah satu referensi awal mengenai penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ne bis in idem, menimbang masih sedikitnya referensi yang membahas mengenai ne bis in idem secara mendetail. 2. Sisi praktis Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi penting yang berkaitan dengan ne bis in idem. Penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai maksud dari ne bis in idem. Para advokat khususnya dapat memahami secara lebih jelas mengenai esensi ne bis in idem, sehingga mereka tidak ceroboh mengajukan gugatan yang sesungguhnya ne bis in idem. Hakim pun tidak salah dalam menjalankan tugasnya, sehingga perkara yang ne bis in idem diputuskan tidak diterima.
4
METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif. Jenis penelitian yuridis-normatif dipilih sebagai metode yang dipergunakan dalam penelitian ini dikarenakan sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm) (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990). Berdasarkan teori dan hukum yang ada dan berlaku, dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan yang dalam kasus ini sengketa stadion UMS, kemudian memahami kaedah hukum yang tepat atas kaedah yang telah ada berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Sehingga kaedah yang telah ada dapat lebih jelas dan lebih mudah dipahami. Sumber Data Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini diperoleh dari data sekunder. Data sekunder tersebut berupa: 1. bahan hukum primer yang mencakup peraturan perundang-undangan, asas hukum, putusan pengadilan, dan data pribadi yang tersimpan di pengadilan; 2. bahan hukum sekunder mencakup dasar-dasar teoritik atau doktrin yang relevan. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan beberapa cara. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan diperoleh dengan memilih peraturan perundang-undangan yang relevan dengan objek penelitian. Putusan Peninjauan Kembali atas kasus yang dipelajari diperoleh dari kepaniteraan Mahkamah Agung. Sedangkan mengenai berkas yang berkaitan dengan gugatan yang dimasukkan ke Pengadilan Negeri Bogor, diperoleh dengan datang ke Pengadilan Negeri Bogor, menghadiri sidang, dan menemui panitera pengganti yang menangani perkara tersebut, yaitu Suhendi. Sementara untuk bahan hukum sekunder, diperoleh dengan mencari buku-buku yang berkaitan dengan gugatan yang ne bis in idem. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif berupa studi kasus (Burhan Ashshofa, 2004). Proses analisis dilakukan dengan membandingkan dasar hukum yang ada atas perkara ne bis in idem untuk perkara perdata, kemudian dibandingkan dengan kejadian yang terjadi pada nyatanya (in concreto),dan kemudian mencari dasar hukum lain yang berkesesuaian untuk kemudian dibahas lebih lanjut mengenai konsep ne bis in idem yang tepat sesuai dengan hukum perdata di Indonesia. Setelah mandapatkan pemahaman tersebut, maka pemahaman tersebut diaplikasikan kembali ke kasus, apakah dalam kasus
5
tersebut gugatan yang diajukan keduakalinya tersebut merupakan gugatan yang ne bis in idem. Jadwal Penelitian Penelitian ke Pengadilan Negeri Bogor dilakukan secara kontinu mulai dari tanggal 11 April, 25 April, dan 9 Mei 2012 untuk melihat proses jawaban, replik, dan duplik perkara. Selain itu dikarenakan selama sidang, berkas-berkas tersebut tidak dibacakan, maka peneliti menemui panitera pengganti yang menangani perkara, guna mendapatkan informasi yang lebih lengkap mengenai dalil-dalil masing-masing pihak. Sehingga bisa didapatkan bahan primer atas perkara stadion UMS tersebut. Sementara penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan sekunder untuk dibandingkan dengan data yang telah diperoleh yaitu bahan primer, selain berdasarkan pemahaman pribadi, peneliti juga mendapatkan bantuan untuk memahami kaedah dan kasus yang dijadikan studi kasus kepada dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Bapak Wahyu Andrianto,S.H., M.H.. Konsultasi dengan beliau dilakukan sejak awal hingga akhir proses penelitian, tepatnya sejak tanggal 2 April 2012 hingga tanggal 18 Juli 2012. PEMBAHASAN Kasus Posisi Gugatan Pertama Gugatan atas sengketa hak milik stadion UMS pada tahun 2002 diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada saat itu gugatan diajukan oleh ahli waris Wagianto, yaitu Tetty Hertika, Wibisono, Arie Lesmana, dan Ardy Krisnandhy. Tetty Hertika adalah janda almarhum Wagianto sedangkan ketiga penggugat lainnya adalah anak Wagianto dan Tetty Hertika. Pada saat gugatan diajukan, pihak penggugat merupakan pihak yang memegang setifikat hak milik nomor 535/Mangga Besar atas tanah 12.265 m² yang terletak di Kelurahan Mangga Besar, Kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat yang notabene adalah sebagian besar lahan dari stadion UMS. Sertifikat tanah tersebut berada pada pihak penggugat atas dasar jual-beli yang dilakukan antara Wagianto dengan Anwar Manaf dan Moechsina binti Mochamad Soleh (istri Anwar Manaf) berdasarkan akta jual beli nomor 48/2/Tamansari/1988 pada tanggal 17 Juni 1988 di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) Puspodiharjo, S.H.. Tanah tersebut sebelumnya merupakan tanah yang kepemilikannya tercantum dalam sertifikat hak milik nomor 129/Kebon Jeruk, yang kemudian atas luas tanah yang 12.265 m² tersebut diterbitkan sertifikat tersendiri dari sertifikat yang sebelumnya. Namun semasa hidup Wagianto, ia belum sempat melakukan balik nama, sehingga sertifikat tanah masih atas nama Anwar Manaf dan Moechsina binti Mochamad Soleh.
6
Penggugat sebagai ahli waris yang sah dari almarhum Wagianto memperjuangkan haknya atas tanah yang merupakan hak milik mereka dan pada saat itu tengah digunakan oleh Yayasan UMS untuk digunakan sebagai stadion UMS dan sekolah sepakbola UMS. Penggugat sebelum mengajukan gugatan ini telah meminta pada pihak tergugat yaitu Yayasan UMS untuk mengosongkan tanah yang merupakan hak milik penggugat. Namun tergugat tidak mau mengosongkan lahan tersebut. Maka dari itulah penggugat mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum pada pihak tergugat karena telah menguasai lahan penggugat sejak tahun 1998 hingga saat itu. Sementara di pihak tergugat adalah pihak yang memegang sertifikat hak milik nomor 129/Kebon Jeruk. Menurut pihak tergugat, pada tanggal 29 Juni 1996 telah dibuat akta jual-beli antara Wagianto dengan Johny Idam di hadapan PPAT Mohamad Afdal Gazali, S.H.. Namun pihak tergugat pun belum melakukan balik nama atas sertifikat nomor 129/Kebon Jeruk tersebut. Di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, gugatan penggugat dikabulkan atas tanah seluas 12.265 m² tersebut yang dimuat dalam putusan nomor 146/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Brt tanggal 5 September 2002. Selanjutnya tergugat mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hasilnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat melalui putusan nomor 85/PDT/2003/PT.DKI. Tergugat/pembanding kemudian mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pun menguatkan putusan putusan nomor 415/K/Pdt/2004 tanggal 28 Desember 2005. Upaya hukum luar biasa PK pun akhirnya ditempuh oleh pihak tergugat/pembanding/pemohon kasasi. Hasilnya permohonan PK ditolak oleh Mahkamah Agung karena fakta-fakta baru yang dikemukakan bila telah dikemukakan pada proses gugatan, banding, dan kasasi maka majelis hakim tidak akan memutus pihak ahli waris Wagianto sebagai pihak yang berhak atas tanah tersebut. Penolakan PK dalam putusan nomor 514/PK/Pdt/2007 pun menegaskan bahwa putusan nomor 415/K/Pdt/2004 tetap mempunyai kekuatan hukum nmengikat bagi pemohon PK dan termohon PK (Yahya Harahap, 2008). Gugatan Kedua Pada bulan Januari 2011, tergugat/pembanding/pemohon kasasi/pemohon PK diminta mengosongkan lahan stadion UMS oleh jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kemudian, yayasan UMS memasukkan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Bogor untuk memperjuangkan haknya atas stadion UMS dan anak didik Sekolah Sepakbola (SSB) UMS. Perkara perbuatan melanggar hukum tersebut masuk ke register perkara masuk Pengadilan Negeri Kota Bogor dengan nomor perkara 12/Pdt.G/2012/PN.Bgr.. Di dalam gugatan tersebut, yayasan UMS bertindak sebagai pihak penggugat. Sementara di pihak tergugat adalah H. Farisyah Manaf, dan Turut Tergugat terdiri atas empat orang yaitu Tetty Hertika sebagai Turut Tergugat I,
7
Wibisono sebagai Turut Tergugat II, Arie Lesmana sebagai Turut Tergugat III, dan Ardy Krisnandhy sebagai Turut Tergugat IV. H. Farisyah Manaf menjadi pihak yang digugat dalam perkara ini, dikarenakan beliau adalah putra dari Anwar Manaf yang mana Anwar Manaf adalah orang yang menyebabkan sengketa tanah ini terjadi. Sementara turut tergugat merupakan pihak yang atas putusan nomor 514/PK/Pdt/2007 berhak atas objek a quo. Penggugat dalam perkara ini menggunakan dalil bahwa penggugat merupakan pihak yang berhak atas objek a quo berdasarkan akta jual beli nomor 53 tanggal 6 Maret 1954 di hadapan notaris Raden Kadiman di Jakarta antara almarhum Abdul Manaf dengan Tjoa Tjoen Bie selaku ketua perkumpulan Tiong Hoa Oen Tong Hwee-Union Makes Strength. Kemudian Anwar Manaf yang merupakan anak dari Abdul Manaf, setelah ayahnya meninggal menyatakan secara sepihak membatalkan jual beli objek a quo dengan alasan cicilan 6 miliar rupiah yang seharusnya dilunasi oleh yayasan UMS paling lambat tahun 1958 tidak juga dilunasi. Kemudian pada tahun 1988, Anwar Manaf menjual tanah tersebut pada Wagianto. Sementara dalam Undang-undang Pokok Agraria berlaku sifat terang dan tunai. Sifat tunai berarti transaksi jual-beli seketika terjadi dengan penyerahan uang yang pertama kali. Selanjutnya yang terjadi adalah hubungan hutang piutang dan hubungan jual-beli tanah a quo berarti telah selesai. Sementara tergugat bersama turut tergugat dalam jawabannya menyatakan bahwa pembayaran cicilan tersebut belum dilunasi oleh pihak penggugat dan maka dari itulah tergugat berhak membatalkan perjanjian jual-beli. Sementara Wagianto yang merupakan pewaris dari turut tergugat, merupakan pembeli beritikad baik sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang hendaknya kepentingannya dilindungi. Ia sebagai pembeli tidak melakukan kesalahan apapun dalam proses jual-beli. Dalam replik, penggugat mendalilkan bahwa transaksi jual beli antara Anwar Manaf dengan Wagianto merupakan transaksi yang berlangsung tanpa alas hak yang sah, karena tanah tersebut sebelumnya telah dijual kepada yayasan UMS. Selain itu, pembatalan jual-beli tanah oleh Anwar Manaf terhadap transaksi yang dilakukan antara Abdul Manaf dengan yayasan UMS, tidak dapat dibenarkan, karena pembatalan jual-beli hendaknya dilakukan dengan putusan pengadilan, dan tidak sepihak seperti pernyataan yang Anwar Manaf keluarkan terhadap transaksi antara Abdul Manaf dengan Yayasan UMS. Analisis mengenai Esensi Ne Bis in Idem Ne bis in idem adalah eksepsi terhadap perkara yang sama yang telah pernah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (Muhammad Nasir, 2005). Hal yang perlu dititikberatkan dalam definisi tersebut adalah “perkara yang sama”. Perkara yang bagaimana yang dimaksud sebagai perkara yang sama yang oleh karenanya gugatan dapat dinyatakan sebagai gugatan yang ne bis in idem.
8
Merujuk pada dasar hukum ne bis in idem dalam perkara perdata yaitu pasal 1917 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa,”Kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya”. Dari dasar hukum tersebut maka menurut penafsiran peneliti dapat ditarik beberapa hal, yaitu: 1. Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap memperoleh kekuatan yang mutlak. Dengan demikian, muncullah kewajiban bagi tiap-tiap pihak yang menurut putusan tersebut dihukum berdasarkan putusan hukum atau terlibat dalam isi putusan hakim. 2. Putusan tersebut memiliki kekuatan mutlak tidak lebih daripada sekedar mengenai soal putusannya. Sehingga kekuatan mutlak tersebut terbatas pada substansi putusan hakim. Tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang telah diputuskan oleh hakim atas perkara tersebut. 3. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan mutlak untuk dilaksanakan. Sehingga terhadap hal yang telah harus dilaksanakan tersebut, tidak bisa untuk tidak dilakukan. Putusan tersebut harus dilaksanakan. Sementara dalam pasal 1917 ayat (2) KUHPerdata disebutkan bahwa,”Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula”. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan, dan tidak bisa untuk tidak dilaksanakan. Tidak boleh diajukan gugatan baru yang mempersoalkan substansi yang sama sebagaimana telah diputus dalam putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Gugatan yang mempersoalkan persoalan yang sama dengan substansi yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap itulah yang dinamakan ne bis in idem. Ne bis in idem dalam istilah lain disebut juga dengan istilah exceptio res judicata, atau ada pula yang menyebut dengan istilah exceptie van gewijsde zaak (Yahya Harahap, 2005). Selain itu bila dicermati pasal 1917 ayat (2) KUHPerdata juga mengatur mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi bagi suatu gugatan untuk dinyatakan sebagai gugatan yang ne bis in idem, yaitu gugatan tersebut haruslah: 1. Soal yang dituntut (digugat) adalah sama. 2. Tuntutan (gugatan) tersebut didasarkan atas alasan yang sama. 3. Tuntutan (gugatan) tersebut dimajukan oleh dan terhadap pihak yang sama. 4. Pihak-pihak yang berperkara, dalam hubungan yang sama seperti dalam tuntutan (gugatan) sebelumnya. Berdasarkan kata lagipula dalam ayat tersebut, maka disimpulkan bahwa keempat syarat tersebut bersifat kumulatif.
9
Analisis Kasus Sengketa Stadion UMS Pada subbab pengaturan telah dijelaskan bahwa pada hakikatnya yang dimaksud dengan perkara yang sama sebagaimana sering disebutkan dalam literatur-literatur hukum acara perdata adalah mengenai soal, alasan, pihak, dan hubungan yang sama. Jadi tidak semata-mata objek yang sama antara gugatan yang satu dengan gugatan yang lain berarti suatu perkara yang ne bis in idem. Esensi dari ne bis in idem berdasarkan pasal 1917 ayat (2) KUHPerdata adalah gugatan yang mempersoalkan hal yang sama, dengan dalil yang sama, dimajukan oleh pihak yang sama, dan pihak-pihak yang berperkara tersebut berperkara dalam hubungan yang sama sebagaimana telah pernah digugat dalam gugatan lain. Pihak tergugat dan turut tergugat dalam eksepsinya pun menyampaikan bahwa gugatan penggugat adalah ne bis in idem dikarenakan telah ada putusan PK atas substansi yang sama, yang sebelumnya diproses melalui proses gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, proses banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan proses kasasi di Mahkamah Agung. Pembahasan mengenai apakah gugatan yang dimasukkan ke Pengadilan Negeri Bogor tersebut merupakan gugatan yang ne bis in idem dilakukan berdasarkan unsur gugatan yang masuk dalam gugatan yang ne bis in idem. Pertama mengenai soal yang digugat adalah sama. Gugatan pertama mempersoalkan hak milik tanah seluas 12.265 m² yang terletak di Kelurahan Mangga Besar, Kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat yang meliputi sebagian besar wilayah stadion UMS. Sementara dalam gugatan yang kedua yang dipermasalahkan adalah tanah seluas 12.600 m², yang meliputi seluruh wilayah stadion UMS. Sehingga dalam gugatan kedua, ada 12.265 m² dari luas 12.600 m² yang sebelumnya telah pernah diproses hak kepemilikannya dan telah diputus melalui putusan PK. Sehingga dilihat dari persoalan hal yang disengketakan maka keduanya sama-sama mempermasalahkan hak milik tanah seluas 12.265 m². Kedua mengenai alasan mengajukan gugatan. Dalam gugatan pertama, Yayasan UMS mendasarkan hak kepemilikannya dari jual-beli yang dilakukan antara Wagianto dan Jhony Idam di hadapan PPAT Mohamad Afdal Gazali, S.H.. Namun pihak tergugat belum melakukan balik nama atas sertifikat nomor 129/Kebon Jeruk tersebut. Sementara pada gugatan kedua penggugat mendalilkan bahwa ia memiliki alas hak yang sah atas tanah a quo dikarenakan berdasarkan akta jual beli nomor 53 tanggal 6 Maret 1954, telah dilakukan jual beli tanah a quo antara almarhum Abdul Manaf dengan Tjoa Tjoen Bie selaku ketua perkumpulan Tiong Hoa Oen Tong Hwee-Union Makes Strength di hadapan notaris Raden Kadiman di Jakarta. Jadi alasan yang disampaikan Yayasan UMS dalam mengajukan gugatan berbeda dengan apa yang didalilkannya dalam jawaban pada saat gugatan pertama. Ketiga mengenai pihak yang sama yang berperkara. Berdasarkan putusan MA No.1121/K/Sip1973 dan putusan MA No.102/K/Sip/1972 (Rubini, 1977), yang dimaksud dengan pihak yang sama adalah pihak yang berperkara adalah
10
orang yang mendapat hak dari putusan berdasarkan titel para pihak. Dalam gugatan ini turut tergugat merupakan pihak yang berdasarkan putusan nomor 514/PK/Pdt/2007, merupakan pihak yangberhak atas tanah a quo karena titelnya sebagai pembeli. Sehingga syarat ketiga ne bis in idem terpenuhi. Terakhir mengenai hubungan antara kedua belah pihak. Pada gugatan pertama, penggugat menggugat sebagai pemilik objek a quo atas dasar titelnya sebagai pembeli, dalam perjanjian jual-beli. Tergugat pada gugatan pertama, yaitu yayasan UMS pun pada saat itu mendalilkan titelnya sebagai pembeli objek a quo, sehingga ia merasa berhak atas tanah a quo. Sehingga hubungan keduanya sama, sebagai sesama pembeli atas objek a quo. Namun dikarenakan unsur-unsur tersebut bersifat kumulatif, dan unsur kedua berupa alasan yang sama dalam pengajuan gugatan tidak terpenuhi. Maka jelaslah bahwa gugatan yang dilayangkan Yayasan UMS pada Farisyah Manaf dan ahli waris Wagianto bukan merupakan gugatan yang ne bis in idem. Sehingga perkara perbuatan melanggar hukum itu pun selayaknya dapat terus berjalan hingga tercapai putusan hakim untuk mengabulkan atau menolak gugatan tanpa pihak penggugat perlu khawatir bahwa gugatannya merupakan gugatan yang ne bis in idem. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Berdasarkan pasal 1917 ayat (2) KUHPerdata, suatu gugatan yang ne bis in idem haruslah merupakan gugatan yang mempersoalkan hal yang sama, alasan yang sama untuk mengajukan gugatan, pihak yang sama dalam berperkara, dan adanya hubungan hukum yang sama. 2. Gugatan yang dilakukan Yayasan UMS pada Farisyah Manaf, Tetty Hertika, Wibisono, Arie Lesmana, dan Ardy Krisnandhy bukanlah merupakan gugatan yang ne bis in idem. DAFTAR PUSTAKA Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Harahap, Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, Yahya. 2008. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Nasir, Muhammad. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan. Rubini. 1977. Hukum Acara Perdata dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (1968-1976). Bandung: Alumni. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.