Analisis Esensi “Fair Play” dalam Pertandingan Sepak Bola Pada Nilai-Nilai Luhur Kemasyarakan di Kota Metro Randes Rahardian Aziz Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Email:
[email protected]
Abstrak Agama mengajarkan nilai-nilai terpuji di semua lapisan masyarakat. Nilai-nilai agama yang mulia akan mampu membawa perdamaian dalam setiap situasi. Beberapa nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Islam yang telah disampaikan meliputi hal-hal terkecil kehidupan umum seperti: gotong royong, toleransi, berjiwa besar serta nilai persatuan dalam masyarakat. Nilai-nilai luhur tersebut terpuji dalam semangat sportivitas dan fair play dalam olahraga, khususnya pertandingan sepak bola. Secara umum, fair play dapat didefinisikan sebagai: gotong royong, toleransi, tanggung jawab, siap untuk memimpin dan memimpin, serta kesatuan nilai-berfikir dalam masyarakat. Nilai di atas adalah nilai terpuji dalam semangat sportivitas dan fair play dalam olahraga, khususnya pertandingan sepak bola. Secara umum, fair play dapat didefinisikan sebagai: Bermain jujur, bermain untuk menang, tapi menerima kekalahan dengan martabat, mengamati hukum dari permainan, menghormati lawan, rekan setim, wasit, pejabat dan penonton, mempromosikan kepentingan sepak bola, menolak korupsi, narkoba, rasisme, kekerasan, perjudian, dan bahaya lainnya, untuk membantu orang lain melawan tekanan destruktif juga mencegah orangorang yang berusaha mendeskriminasi olahraga dan menggunakan sepak bola untuk memperbaiki dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan realitas serta budidaya sportivitas jiwa aktualisasi dan
272
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
fair play oleh pemain sepak bola dalam kehidupan masyarakat. pendekatan deskriptif kualitatif digunakan serta wawancara, dokumentasi, observasi dan kuesioner sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mengajar dan mengolah sportivitas dan semangat fair play dalam pemain telah dilakukan dengan baik. 2 dari 3 sampel juga telah terlihat sangat baik dalam mewujudkan nilai-nilai esensi fair play dalam kehidupan sehari-hari. Kata kunci: fair play, pertandingan sepak bola, olah raga, nilai-nilai
Abstract Religion teaches values commendable in all walks of life. Noble religious values will be able to bring peace in every situation. Some of the values contained in the noble teachings of Islam delivered include the smallest matters of public life such as: mutual cooperation, tolerance, high-minded as well as the value of unity in society. Values above are commendable in the spirit of sportsmanship and fair play in sport, particularly football matches. Broadly, fair play can be defined as: mutual cooperation, tolerance, responsibility, ready to lead and lead, as well as value-minded unity in society. Values above commendable value are in the spirit of sportsmanship and fair play in sport, particularly football matches. Broadly, fair play can be defined as: Playing honest, play to win, but accept defeat with dignity, observing the laws of the game, respect for opponents, team-mates, referees, officials and spectators, promotes the interests of football, reject corruption, drugs, racism, violence, gambling, and other hazards, to help others to fight the destructive pressures also prevent those who seek to discriminate sport and using football to make a better world. The purpose of this study was to describe reality as well as the cultivation of the soul actualization sportsmanship and fair play by the football players in the life of society. Descriptive qualitative approach was used as well as an interview, documentation, observation and questionnaire as a data collection tool in this study. The results of this research are teaching and cultivation of sportsmanship and fair play spirit within the players has performed well. 2 of 3 samples have also been seen very well in actualizing values the essence of fair play in everyday life. Keywords: fair play, football match, sport, value
A. Pendahuluan Indonesia sebagai bangsa timur mempunyai sebuah citra dimana masih tenggaknya nilai-nilai keagamaan, kepercayaan, tradisi,
Analisis Esensi “Fair Play”...|
273
tabu dan lain sebagainya. Mendukung pernyataan tersebut, bisa dilihat dari banyaknya tradisi, bahasa dan budaya yang dimiliki yang masih langgeng terjaga hingga saat ini merupakan sebuah kekayaan yang tak ternilai. Serta nilai keluhuran dan nilai-nilai keagamaan kental dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Sudrajad (seperti yang dikutip oleh Yustinus Sukarmin) bahwa karakter adalah nilai-nilai perilaku manusia yang berkaitan dan berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia,lingkungan, dan kebangsaan terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat1. Saat ini, banyak kampanye di indonesia seperti sebuah kalimat sederhana “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Kampanye ini mampu membuat beberapa orang sadar akan penting nya berolahraga. Esensi olahraga tidak hanya sebagai media untuk meningkatkan kebugaran tubuh, namun juga melalui olahraga bisa terjalin komunikasi yang baik, bertemu relasi baru dan sebagai ajang rekreasi. Islam sudah menjelaskan tentang penting nya olahraga, Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya : “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah Hati.” (HR. Bukhori). Dalil ini menegaskan bahwa jika seseorang mempunyai tubuh yang sehat, maka ia akan mempunyai jiwa yang sehat pula. Tidak hanya sehat secara tubuh dan jiwa, manusia perlu memiliki moral yang baik pula. Christopher S. Kudlac menegaskan bahwa anggota dari tim olahraga (pecinta olahraga) akan terlihat memiliki nilai-nilai luhur dan norma-norma sosial dibandingkan dengan kaum muda yang tidak tergabung di dalam nya2.
Yustinus Sukarmin,” Aktualisasi Nilai-Nilai Olahraga Sebagai Upaya Membangun Karakter Bangsa”. Fakultas Ilmu Keguruan Universitas Negeri Yogyakarta. 2 Christopher S. Kudlac. Fair and Foul Sports and Criminal Behavior in The United States, (United States. : Sports CORRUPT PRACTICES. 2010.), h. 5 1
274
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Kajian tentang nilai-nilai keluhuran kemasyarakat telah banyak dilakukan, namun jarang sekali mengambil fair play sebagai objek kajiannya. Esensi atau nilai fair play dari sebuah pertandingan, khususnya pertandingan sepak bola menjadi salah satu contoh dari nilai-nilai luhur kemasyarakatan. Pemilihan objek tersebut berdasarkan kenyataan sosial (socialsituation) saat ini, tidak hanya kegandrungan masyarakat indonesia menikmati pertandingan sepak bola, namun juga sepak bola menjadi olahraga yang paling sering dimainkan di indonesia. Tayangan pertandingan sepak bola naik secara fluktuatif beberapa dekade belakangan ini karena adanya perkembangan teknologi dan informasi yang memberikan sebuah kontribusi kemajuan sepak bola. Tanpa disadari popularitas permainan sepak bola dipengaruhi oleh masa eksistensi nya yang panjang. Perbedaan gender, usia, status sosial dan golongan lain yang tidak bisa membatasi manusia menggemari sepak bola3. Karena itu, para pemain sepak bola bermain totalitas sebagai sebuah pembuktian kepada pendukung fanatik mereka. Tak jarang dalam permainan sepak bola yang keras, sering terjadi kekisruhanyangmencoreng esensi dari fair play. Beberapa kejadian tersebut terjadi karena beberapa faktor: 1). Ketidakpuasan pemain terhadap keputusan sang pengadil lapangan. 2). Gesekan antara pemain. 3). Suasana dan euforia supporter atau pendukung yang menginginkan kemenangan. Mendukung dari faktor diatas, sebuah penilitian yang dilakukan oleh Wilson, J. and Herrnstein (dikutip dari Christopher S. Kudlac) menunjukan bahwa pelanggaran di dalam olahraga diantaranya: agresif (bersifat menyerang), impulsif, dan kebrutalan4. Secara luas, fair play dapat diartikan sebagai: Bermain jujur, bermain untuk menang, tapi menerima kekalahan dengan martabat, mengamati hukum permainan, menghormati lawan, tim-rekan, Septiana Citra Fridayani,”The Implications Of Football Commentary In Listening Comprehension Of English Language Education Study Program Students Focusing On Specific Information”, Undergraduate Conference On Elt, Linguistics And Literature, PBI USD, (July, 2013) , h. 46. 4 Christopher S. Kudlac. Fair and Foul., Introduction page. 3
Analisis Esensi “Fair Play”...|
275
wasit, pejabat dan penonton, menggalakkan kepentingan sepak bola, kehormatan orang-orang yang mempertahankan reputasi baik sepak bola, tolak korupsi, obat-obatan, rasisme, kekerasan, perjudian, dan bahaya lain, membantu orang lain untuk melawan tekanan merusak juga mencegah mereka yang berusaha untuk mendiskreditkan olahraga dan menggunakan sepak bola untuk membuat dunia yang lebih baik. Fair play tidak hanya untuk para pemain, stafataupun pelatih, tapi juga untuk para penonton (supporter) dimana sebagai pemain kedua belas dari sebuah tim. Kerusuhan para penonton sepak bola sering terjadi di beberapa daerah, dari pendukung sebuah tim yang berlaga di kanca persepak bolaan nasional maupun pendukung sebuah tim yang berlaga di pertandingan amatir. Ketidak puasan akan tim yang didukung menjadi alasan melakukan tindakan-tindakan yang mencoreng esensi fair play. Melemparkan sesuatu seperti botol minuman, batu, dan benda berbahaya lain nya ke dalam lapangan kepada wasit, pemain dan tim ofisial lawan5. Kota Metro sebagai tempat di mana para pembelajar berduyun-duyun berdatangan untuk menimba ilmu di sana. Sebuah kota yang mudah dijangkau secara ekonomi dan waktu membuat kota kecil ini banyak diminati sebagai tempat belajar. Selain sebagai kota pendidikan, eksistensi permainan sepak bola juga sangat maju layaknya daerah lain. Meskipun tidak memiliki tim yang berlaga di liga profesional, namun masyarakat kota Metro juga tergabung dalam persatuan pendukung (supporter) klub sepak bola tertentu. Berdasarkan realita tersebut, peniliti akan mencoba untuk meniliti dan menggambarkan serta menguraikan esensi fair play pertandingan sepak bola pada nilai-nilai keluhuran kemasyarakatan di kota Metro.
5
Ibid, h. 74.
276
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
B. Kajian Teori 1. Konsep Dasar Norma Agama a. Definisi norma-norma Agama Secara bahasa, agama ialah sebuah ajaran, sistem yangg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya6. Agama merupakan sebuah kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang dimana dalam sistem perundang-undangan di Indonesia telah diatur bahwa setiap warga negara memiliki hak memeluk suatu agama yang dipercayai. Pada Pasal 28e Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali7.” Merupakan sebuah jaminan secara hukum dari negara tentang keyakinan yang diyakini oleh seseorang, karna memang pada hakikatnya sebuah agama tidak memaksa para pengikutnya. Clifford Geertz (dikutip dari Mustika Dewi) merumuskan agama dalam sosiologi agama berbunyi “Agama ialah suatu sistem simbol yang berbuat untuk menciptakan suasana hati (mood) dan motivasi yang kuat, serba menyeluruh dan berlaku lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep yang bersifat umum tentang segala sesuatu (existence) dandengan membalut konsepsi itu dengan suasana faktual, sehingga suasana hati dan motivasi itu terasa sungguh-sungguh realistis”8. Tujuan dari memeluk agama adalah untuk menciptakan kedamaian hidup, menjawab ketidak pastian dan agama adalah jalan untuk manusia kembali ketika ia sudah tidak mampu lagi/mengalami keterbatasan kemampuan.Agama merupakan sebuah filter atau penyaring dari tindakan-tindakan negatif dari pengikutnya, menjadi Diakses Melalui Laman: http://kbbi.web.id/agama. Pada 21 Maret 2015. Diakses Melalui Laman: http://hukum.kompasiana.com/2014/08/31/ pasal-28-e-ayat-1-684578.html. Pada 21 Maret 2015. 8 Mustika Dewi, ”Agama dan Kehidupan Manusia”. FISIP UNS. Dialektika Edisi 07 Tahun 2011. 6 7
Analisis Esensi “Fair Play”...|
277
identitas bagi para pengikutnya, menjadikan agama sebagai sesuatu yang sangat dijaga akan kesuciannya. Islam merupakan salah satu agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat indonesia. Data yang diperoleh menunjukan bahwa jumlah penganut agama islam sampai saat ini mencapai 87,18%. Islam sangat menjunjung tinggi pergaulan penuh nilai, dan mendudukan nya sebagai sebuah sarana untuk mencapai kemuliaan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab segala aspek kemasyarakatan, moral, kerohanian, kesehatan, sosial politik maupun yang lain, merupakan bentuk peribadatan kepada Allah SWT9. Agama mengajarkan nilai-nilai yang terpuji dalam semua sendi kehidupan. Nilai-nilai agama yang luhur mampu mendamaikan disetiap situasi. Beberapa nilai-nilai luhur yang terkadung dalam ajaran islam yang disampaikan meliputi hal-hal terkecil dalam kehidupan bermasyarakat seperti: gotong royong, tenggang rasa, bertanggagung jawab, siap dipimpin dan memimpin, berjiwa besar serta nilai persatuan dalam bermasyarakat. b. Nilai-Nilai Olahraga Pada Norma Agama Nilai sportivitas dan fair play yang ada dalam olahraga, terutama pada pertandingan sepak bola sangat erat dengan nilai-nilai luhur kehidupan. Tidak hanya nilai-nilai luhur yang sudah diajarkan agama, namun juga nilai-nilai luhur sosial kemasyarakatan. Permainan sepak bola yang keras dan persaingan bukan menjadi alasan untuk melakukan nilai-nilai yang terpuji di dalam-nya. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam persainganadalah agar persaingan tersebut dilakukan secara fair, mematuhi peraturan yang ada, menjunjung tinggi nilai moral dan keadilan. Pertama, pada ajang Olimpiade musim dingin di Austria, tahun 1964, Eugenio Monti, ialah seorang atlet kereta luncur (bobsled) menunjukkan sebagai seorang kompetitor dan olahragawan sejati. Setelah menyelesaikan aksinya (luncuran) dengan catatan waktu yang menakjubkan, ia menghampiri rivalnya, Tony Nash, untuk A. Mujab Mahali, Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya, (Yogyakarta : Mitra Pustaka. 2006), h. 8. 9
278
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
meminjamkan salah satu komponen kereta luncurnya kepadanya. Monti mengetahui bahwa salah satu komponen kereta luncur Nash rusak, sehingga dikhawatirkan kereta itu tidak dapat melakukan luncuran. Ia berpeluang besar akan memenangi perlombaan dengan rusaknya kereta luncur Nash. Akhirnya, dengan bantuan onderdil kepunyaan Monti, kereta Nash dapat meluncur dengan sempurna bahkan menciptakan rekor dunia dan mendapat medali emas. Andaikata, Monti hanya berorientasi pada kemenangan semata, dapat disimpulkan dan dipastikan ia tidak akan meminjamkan onderdil tersebut kepada Nash dan ia sadar betul risiko nya. Atlet berkebangsaan Italia tersebut mempunyai pendirian bahwa tidak ingin menang di atas ketidakberdayaan lawan dan lebih memilih memberikan kesempatan yang sama kepada lawannya. Ia tidak menginginkan kemenangan yang “murahan”. Apa yang telah diperbuat Monti tersebut jelas menunjukkan kepada dunia bahwa betapapun orang bersaing, berkompetisi, hendaknya semua harus dilakukan secara fair. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kemudian Monti dianugerahi International Fair Play untuk pertama kalinya10. Kedua, contoh dari sportivitas dan nilai-nilai fair play dalam pertandingan sepak bola pada salah satu liga terpanas dunia, liga spanyol. Peristiwa itu terjadi pada tanggal, 2 November 1969 pertandingan sepak bola babak final Liga Spanyol, yang mempertemukan klub raksasa Real Madrid versus Sabadell. Pedro Zaballa dialah orangnya, pemain sayap kanan kesebelasan Sabadell yang tidak mau menendang (memasukkan) bola ke gawang lawan karena pada saat yang bersamaan penjaga gawang rival (Real Madrid) mengalami cidera hebat dan tak sadarkan diri setelah bertabrakan dengan pemain bertahan tim-nya. Real Madrid menang dengan skor tipis 1-0, penonton di seisi stadion sontak memberikan sorak penghormatan kepada pemain yang satu ini dengan standing ovation. Zaballa menyatakan bahwa ia hanya mengikuti kata hatinya untuk tidak membuat gol dalam 10 Mutohir.Olahraga dan Pembangunan. (Jakarta: ProyekPeng-embangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga, Direktorat Jenderal Olah-raga, Departemen Pendidikan Nasional, 2004), h. 26.
Analisis Esensi “Fair Play”...|
279
ketidakberdayaan lawan. Berkat tindakannya yang mulia itu, Zaballa dianugerahi International Fair Play11. Pada saat ini, banyak orang yang melakukan tindakan amoral, mencuri, bahkan melakukan nya ditempat ibadah, korupsi, bermusuhan, saling somasi, berebut kekuasaan, jabatan, pengaruh dan tampuk kepemimpinan. Keteladanan yang telah ditunjukan para olahragawan diatas merupakan sebuah gambaran dimana seseorang yang tidak haus akan kekuasaandengan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Sangatdibutuhkan orang-orang yang dalam setiap sepak terjangnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan. Untuk mewujudkan generasi masyarakat yang demikian, diperlukannya individu-individu yang mempunyai nilai-nilai agama, kemasyarakatan dan kebangsaan yang luhur, yang mampu mengikuti kata hati-nya, melawan hasrat dan nafsu. Dalam konteks ini lah peran dari olahraga sebagai salah satu instrumen pembentukan nilai dan karakter kebangsaan, dimana olahraga telah mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan, jiwa sportif, tidak mudah menyerah,jiwa kompetitif yang tinggi, semangat bekerja sama, mengerti akan aturan, berani mengambil keputusan kepada seseorang. 2. Nilai-Nilai Luhur Kemasyarakatan a. Pendidikan Karakter Pentingnya pendidikan karakter belakangan ini mulai digemakan kembali. Keresahan akan fenomena pergeseran nilai-nilai luhur budi pekerti di kalangan masyarakat, khususnya para pebelajar yang menjadi pemicu untuk dibangkitkannya kembali semangat kebangsaan dan persatuan sebagai penopang keutuhan bangsa dan negara. Pada hakikatnya, pembentukan watak ini dilandasi oleh potensipotensi inteligensi yang ada di dalam diri manusia. Adalah umum kita dengar bahwa intelegensi yang harus dibangkitkan dan diasah di dalam diri seorang individu mencakupi ranah kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional merupakan sarana untuk menumbuhkan 11
Ibid, h. 27.
280
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
akar karakter seseorang. Kecerdasan intelektual akan dengan sendirinya terisolasi bila tidak didukung oleh kedua kecerdasan lainnya tersebut. Brenneman memperluas kecerdasan ini menjadi 6, yaitu kecerdasan spiritual, kecerdasan fisik, kecerdasan mental, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, dan kecerdasan karir. Secara lebih terperinci, kecerdasan-kecerdasan ini dapat diasosiasikan dengan pilarpilar pendidikan karakter. Ada banyak sumber yang mendeskripsikan tentang pilar pilar pendidikan karakter, namun dalam tulisan ini, penulis merujuk pada 6 pilar yang disebutkan oleh Major (2008:19). 1) Trustworthiness (Keterpercayaan). Pilar pertama ini mengandung unsur-unsur berikut: 1) kejujuran, yang merefleksikan keengganan untuk berbohong, menipu, atau mencuri; 2) reliabilitas, yang mencakupi pemenuhan komitmen, kepatuhan akan aturan dan kode etik yang mengikat; 3) keberanian bertindak atas dasar kebenaran; 4) pembangunan reputasi yang baik; dan 5) kesetiaan, baik pada keluarga, teman, dan negara. 2) Rasa Hormat. Komponen pembangun karakter ini adalah: 1) menghargai dan memperlakukan orang lain dengan hormat; 2) bertenggang rasa dan menerima berbagai perbedaan; 3) berperilaku baik dan menghindari kata-kata kasar; 4) mempertimbangkan perasaan orang lain; 5) tidak mengancam, memukul atau mencederai orang lain; dan 6) menahan amarah, tidak menghina orang lain, dan tidak memaksakan ketidaksetujuan pada orang lain. 3) Bertanggungjawab. Bertanggungjawab dipahami dalam beberapa perspektif seperti melaksanakan kewajiban, membuat perencanaan, ketangguhan, berusaha melakukan yang terbaik, pengendalian diri, disiplin, berpikir sebelum bertindak, bertanggungjawab atas ucapan, perbuatan, dan sikap, dan menjadi teladan bagi orang lain. 4) Fairness (adil). Pengertian fairness adalah kesediaan untuk bertindak adil bagi diri sendiri dan orang lain. Tindakan adil ini diindikasikan oleh kesediaan untuk mengikuti aturan main, memberikan kesempatan pada diri sendiri dan orang lain, berpikiran terbuka (mau mendengar orang lain), tidak memanfaatkan orang lain, tidak menyalahkan orang lain
Analisis Esensi “Fair Play”...|
281
dengan semena-mena, dan memperlakukan orang lain secara adil. 5) Keperdulian. Secara nyata keperdulian ditandai oleh keramahan/kebaikan hati, simpati dan empati, rasa terima kasih, kemauan memaafkan orang lain, dan membantu orang yang tengah membutuhkan. 6) Citizenship (Rasa Persatuan). Nilai-nilai rasa persatuan ini dimanifestasikan dalam bentuk kontribusi nyata untuk membuat komunitas tempat ia berada menjadi lebih baik, bekerjasam dengan orang lain, terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, terus mengikuti perkembangan informasi, menjadi anggota masyarakat yang baik, mematuhi hukum dan perundang-undangan, menghargai para pemimpin, perduli pada lingkungan, dan kesukarelaan. Dalam konteks Indonesia, pilar-pilar karakter ini telah terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Nilai-nilai moral dan sosial secara gamblang dinyatakan yang berujung pada pewujudan perdamaian dunia. Secara tradisional, dalam sistem pendidikan kita nilai-nilai yang terdapat dalam pilar-pilar tersebut sering diasosiasikan dengan konsep-konsep agama, budaya, dan kebangsaan. b. Perilaku Agresif Agresif berasal dari kata agresi yang diartikan sebagai perilaku melukai atau maksud seseorang untuk melukai (Sears,1991). Pendapat ini dianalisis lebih jauh oleh Berkowitz (1995) yang menyatakan bahwa agresi sebagai tingkah laku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun secara mental. Defenisi klasik yang diusulkan Buss dalam Krahe (2001:15) mengatakan bahwa agresi sebagai sebuah tindakan yang mengantarkan stimuli beracun kepada mahkluk hidup lain. Dalam arti tertentu, ternyata defenisi yang murni behavioristis ini dianggap terlalu luas, karena mencakup banyak bentuk perilaku yang tidak dapat digolongkan sebagai agresi. Tetapi dalam arti lain, defenisi ini justru terlalu sempit karena mengesampingkan semua proses nonperilaku, seperti pikiran dan perasaan. Beberapa aspek
282
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
tambahan selanjutnya dimasukkan untuk sampai ke defenisi yang lebih berimbang. Agar perilaku seseorang memenuhi kualisifikasi agresi, perilaku itu harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya dan sebaliknya menimbulkan harapan bahwa tindakan itu akan menghasilkan sesuatu. Dalam dunia sepakbola sebutan agresif memang sudah tidak asing lagi didengar, agresif ini adalah salah satu perilaku yang sering dilakukan para suporter sepakbola, khususnya sebagai salah satu pelampiasan akibat kekalahan timnya, agresif ini dipandang sebagai salah satu perilaku yang berusaha untuk menciderai orang lain sehingga menimbulkan efek terhadap orang yang dimaksud baik dengan tindakan kekerasan, lemparan, atau ungkapan dengan katakata yang dapat menyakitkan dan merugikan orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Deaux dalam Priantini menyatakan: “Ada dua jenis perilaku agresi yaitu: a) Agresi secara fisik meliputi tingkah laku seperti memukul teman, menarik baju teman dengan kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman dengan benda, berkelahi, merusak barang milik teman, mengganggu teman, mengancam teman dengan mengacungkan tinju, membuang barang milik teman, mencakar teman, memaksa teman memenuhi keinginannya, melukai diri sendiri; b) Agresi secara verbal meliputi tingkah laku seperti mengejek teman, menghina teman, mengeluarkan kata-kata kotor, bertengkar mulut, menakut-nakuti teman, memanggil teman dengan nada kasar, mengancam dengan kata-kata mengkritik, menyalahkan, dan menertawakan”.
Agresif dipandang sebagai tindakan destruktif yang dilakukan individu atau kelompok secara sengaja, langsung ataupun tidak langsung dan bisa merugikan materil, fisik, ataupun psikologis dari korban agresivitas. Selain itu suporter adalah orang yang melihat atau menyaksikan pertandingan sepakbola. Oleh karena itu agresivitas penonton sepakbola adalah suatu tindakan destruktif yang dilakukan dengan sengaja, langsung atau tidak langsung oleh penonton sepakbola dan merugikan baik materil, fisik ataupun psikologis dari korban agresivitas. 3. Sepakbola a. Sejarah Sepakbola Awal mula sejarah munculnya olahraga sepakbola masih mengundang perdebatan. Beberapa dokumen menjelaskan bahwa
Analisis Esensi “Fair Play”...|
283
sepakbola lahir sejak masa Romawi, sebagian lagi menjelaskan bahwa sepakbola berasal dari Tiongkok. FIFA sebagai badan sepakbola dunia secara resmi menyatakan bahwa sepakbola lahir dari daratan Cina yaitu berawal dari permainan masyarakat Cina abad ke-2 sampai dengan ke-3 SM. Olahraga ini saat itu dikenal dengan sebutan “tsu chu“.12 Dalam salah satu dokumen militer menyebutkan, pada tahun 206 SM, pada masa pemerintahan Dinasti Tsin dan Han, masyarakat Cina telah memainkan bola yang disebut tsu chu. Tsu sendiri artinya “menerjang bola dengan kaki”. Sedangkan chu, berarti “bola dari kulit dan ada isinya”. Permainan bola saat itu menggunakan bola yang terbuat dari kulit binatang, dengan aturan menendang dan menggiring dan memasukkanya kesebuah jaring yang dibentangkan diantara dua tiang.13 Versi sejarah kuno tentang sepak bola yang lain datangnya dari negeri Jepang, sejak abad ke-8, masyarakat disana telah mengenal permainan bola. Masyarakat disana menyebutnya dengan: Kemari. Sedangkan bola yang dipergunakan adalah kulit kijang namun ditengahnya sudah lubang dan berisi udara. Menurut Bill Muray,(dalam Sukatamsi, 2001: 34. Salah seorang sejarahwan sepakbola, dalam bukunya The World Game: A History of Soccer, permainan sepakbola sudah dikenal sejak awal Masehi. Pada saat itu, masyarakat Mesir Kuno sudah mengenal teknik membawa dan menendang bola yang terbuat dari buntalan kain linen. Sisi sejarah yang lain adalah di Yunani Purba juga mengenal sebuah permainan yang disebut episcuro, tidak lain adalah permainan menggunakan bola. Bukti sejarah ini tergambar pada relief-relief museum yang melukiskan anak muda memegang bola dan memainkannya dengan pahanya. Sejarah sepakbola modern dan telah mendapat pengakuan dari berbagai pihak, awal mulanya dari Inggris, yang dimainkan pada pertengahan abad ke-19 pada sekolah-sekolah. Tahun 1857 beridiri klub sepakbola pertama di dunia, yaitu: Sheffield Football Club. Klub ini adalah asosiasi sekolah yang menekuni permainan sepak bola. 12 Anonim, Sejarah Sepak Bola, Diakses Melalui Laman http://info-biografi. blogspot.com/2013/03/sejarah-sepak-bola.html. Pada 21 Maret 2015. 13 Sukatmari H. P.,. Buku: Permainan Besar 1(Sepak Bola), (Jakarta : Depdikbud, 2001), h. 67.
284
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Pada tahun 1863, berdiri asosiasi sepak bola Inggris, yang bernama Football Association (FA). Badan ini yang mengeluarkan peraturan permainan sepak bola, sehingga sepak bola menjadi lebih teratur, terorganisir, dan enak untuk dinikmati penonton. Seorang pakar sejarah sepakbola misalnya, Bill Muray, menuliskan sebuah buku The World Game: A History of Soccer mengatakan bahwa sepakbola sudah dimainkan sejak awal Masehi, orang-orang di era Mesir Kuno telah mengenal permainan ini dengan cara membawa dan menendang bola yang terbuat dari buntalankain linen. Kemudian, dalam sejarah Yunani Purba mencatatkan juga terdapat sebuah permainan yang disebut Episcuro (permainan dengan menggunakan bola) sebutan mereka untuk permainan sepak bola ini terbukti dari gambar relief pada dindingmuseum yang mengisahkan tentang seorang anak muda yang sedang memegang bola bulat dan memainkannyadengan pahanya. Terdapat juga sebuah versi sejarah kuno tentang asal muasal sepak bola lainnya yang berasal dari Negeri Sakura, Jepang, sejak abad ke 8, masyarakat Jepang menyebutnya dengan sebutan Kemari (bola yang digunakan terbuat dari kulit kijang yang ditengah-tengahnya terdapat lubang yang berisi udara). Sesungguhnya sepak bola memang telah ditemukan sejak 3000 tahun yang lalu di berbagai pelosok dunia namun dalam bentuk yang berbeda-beda. Jika kelahiran sepakbola modern memang pertama kalinya lahir di Inggris yang biasanya di gunakan sebagai olahraga ‘perang’ yang terjadi pada tahun 1863 pada sebuah pertemuan di Freemason’s Tavern. b. Menejemen Olahraga Sebagaimana diketahui bahwa UU RI No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pada Bab IV menyebutkan adanya tiga ruang lingkup olahraga yang meliputi kegiatan Olahraga pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Oleh karenanya dikenal manajemen olahraga pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Manajemen olahraga pendidikan diterapkan di lingkungan sekolah baik pendidikan formal, non formal maupun perguruan tinggi. Manajemen olahraga rekreasi diterapkan pada organisasi olahraga masyarakat. Sedangkan manajemen olahraga prestasi umumnya
Analisis Esensi “Fair Play”...|
285
digunakan oleh induk-induk organisasi olahraga tingkat kabupaten dan kota, tingkat provinsi maupun tingkat nasional, maupun pada organisasi perkumpulan-perkumpulan olahraga termasuk juga olahraga professional. Harsuki menyebutkan bahwa manajemen olahraga adalah perpaduan ilmu manajemen dan ilmu olahraga.14 Istilah manajemen menurut Harsuki diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memperoleh suatu hasil, dalam rangka pencapaian tujuan dengan melalui kegiatan orang lain.15 Olahraga dan manajemen olahraga merupakan disiplin ilmu yang unik karena memiliki keragaman. Keragaman di sini yaitu menggabungkan keterampilan di bidang manajemen, pemasaran, akuntansi, komunikasi, sumber daya manusia, keuangan, ilmu sosial serta hiburan dan pendidikan jasmani dan reksreasi. Menurut pendapat Desensi, Kellet, Blanton and Beitel (1998:3) menyatakan bahwa : ”Sport management as any combination of skills related to planning, organizing, directing, controlling, budgeting, leading, and evaluating within the context of an organization or department whose primary product or services is related to sport an or physical activity” Manajemen olahraga sebagai kombinasi yang saling berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, penganggaran, memimpin, dan mengevaluasi dalam konteks organisasi atau departemen yang utamanya menyangkut produk atau jasa terkait dengan kegiatan olahraga atau aktivitas fisik. Sedangkan menurut pendapat Wawan S. Suherman (2002:2) manajemen olahraga adalah suatu pendayagunaan dari fungsi-fungsi manajemen terutama dalam konteks organisasi yang memiliki tujuan utama untuk menyediakan aktivitas, produk dan layanan olahraga atau kebugaran jasmani.
h. 117.
14
Harsuki, Manajemen Olahraga, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
15
Ibid, h.143.
286
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
4. Pembinaan a. Pembinaan Olahraga Secara Umum Untuk mencapai prestasi yang tertinggi di bidang olahraga diperlukan latihan teratur, meningkat dan berkesinambungan dalam waktu yang cukup lama, yaitu antara 8 sampai dengan 12 tahun. Latihan harus dimulai sejak umur dini dan mencapai puncak prestasi antara umur 18 sampai dengan 25 tahun. Dalam sistem pembinaan olahraga jangka panjang, tahap awal dimulai dengan memasalkan olahraga diseluruh kalangan masyarakat dengan semboyan yang sudah dicanangkan pemerintah yaitu “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat“. Di kalangan internasional dikenal dengan istilah “ Sport For All “. Setelah olahraga menjadi masal, akan banyak bermunculan bibit berbakat. Melalui berbagai pendekatan ilmiah, dipilih bibit berbakat untuk setiap cabang olahraga, yang kemudian dipandu untuk mencapai prestasi setinggi-tingginya. Dalam proses yang panjang itu diperlukan sumber daya pendukung yang terkoordinasi dengan baik serta komitmen yang tinggi dari berbagai pihak terkait. Pembinaan ini berlansung sejak usia dini mulai dari pemasalan menuju ke tahap pembibitan kemudian dilakukan pemanduan bakat sampai pada puncak prestasi tertinggi sesuai dengan cirri dan karakter cabang olahraga tertentu. Untuk lebih jelasnya tahap-tahap sistem pembinaan jangka panjang seperti table di bawah ini :
Analisis Esensi “Fair Play”...|
287
Tabel 3.1. Sistem Pembinaan Olahraga Prestasi Jangka Panjang Pemasalan
Pembibitan
Pemanduan Bakat
Pencapaian Puncak Prestasi
Sarana dan Prasarana
Menjaring Atlet Berbakat
Memandu Atlet Berbakat
Faktor Penentu Keberhasilan
• Fasilitas dan Sport Search • Analisis ciri Kualitas Latihan Alat. khusus cabang • Mengukur • Kemampuan atlet • Sumber Daya cirri-ciri fisik. olahraga. (motivasi dan Manusia. bakat). • Mengukur • Seleksi dengan • Gerakan kemampuan Instrumen khusus • Fasilitas dan memasyarakat- gerak dasar. cabang olahraga. peralatan. kan olahraga • Mengukur - Seleksi • Kompetisi yang dan Antropometri kemampuan teratur dan mengolahraga- keterampilan (kesesuaian berjenjang. kan bentuk tubuh dasar. • Kemampuan dan masyarakat. dengan cabang kepribadian pelatih. olahraga). • Pendidikan Manajemen Jasmani. - Biomotor. Organisasi - Psikologi/mental • Data Base : • Latihan terarur - Pengurus meningkat dan - Atlet berkesinambungan. - Wasit. • Gerakan Nasional - Fasilitas Garuda Mas. Dukungan Ahli • Indonesia Bangkit. • Dokter Olahraga. • PAL. • Psikologi Olahraga. • PRIMA • Ahli Gizi Olahraga. • Ahli Kepelatihan Olahraga. Kesejahtaraan • Pelatih. • Atlet. Sumber Dana. Sumber : Panduan Pembinaan Olahraga Prestasi KONI DIY (2005:16)
b. Sistem Pembinaan Olahraga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Pasal 1, ayat (3) menyatakan bahwa sistem keolahragaan nasional adalah keseluruhan aspek keolahragaan yang saling terkait secara terencana, sistematis,
288
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
terpadu, dan berkelanjutan sebagai satu kesatuan yang meliputi pengaturan, pendidikan, pelatihan, pengelolaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan tujuan keolahragaan nasional. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mengatakan sistem pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan keolahragaan nasional diatur dengan semangat kebijakan otonomi daerah guna mewujudkan kemampuan daerah dan masyarakat yang mampu secara mandiri mengembangkan kegiatan keolahragaan. Penanganan keolahragaan tidak dapat lagi ditangani secara sekadarnya tetapi harus ditangani secara professional. Sistem pembinaan dimulai dari institusi yang terkecil, yaitu keluarga, baru kemudian bergerak ke arah lingkungan yang lebih besar seperti masyarakat, sekolah, dan klub. UU RI No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pada Bab IV menyebutkan adanya tiga ruang lingkup olahraga yang meliputi kegiatan Olahraga pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka dikenal tiga pilar bangunan olahraga yaitu pendidikan jasmani/olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Sekilas Kota Metro Kota Metro adalah salah satu kota di provinsi Lampung, berjarak 45 km dari Kota Bandar Lampung (Ibukota Provinsi Lampung), kota ini merupakan kota terbesar kedua setelah Kota Bandar Lampung. Sebelum menjadi kota otonom, Metro merupakan kota administratif yang berfungsi sebagai ibukota Lampung Tengah hingga tahun 1999.
Analisis Esensi “Fair Play”...|
289
Gambar 4.1. Peta Provinsi Lampung Saat ini Metro sedang meletakkan dasar bagi perkembangan sebuah kota masa depan. Ruang publik dan hutan kota dirawat dan ditambah untuk paru-paru kota dan tempat komunikasi warga. Jalan protokol dan jalan utama dihijaukan, ruas jalan masuk dan keluar kota Metro dilebarkan. Metro tidak hanya menjadi tempat mencari nafkah penduduknya, penduduk kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah ini, Lampung Timur dan Lampung Tengah mencari nafkah dengan berdagang dan menjual jasa di Kota Metro. Terletak 46 kilometer dari Bandar Lampung, Ibukota Provinsi Lampung. Metro juga dikenal sebagai kota pendidikan karena dalam kota ini terdapat sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Kota Metro terbagi atas 5 kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 25 tahun 2000 tentang Pemekaran Kelurahan dan Kecamatan di Kota Metro, wilayah administrasi pemerintahan Kota Metro dimekarkan menjadi 5 kecamatan yang meliputi 22 kelurahan. Adapun 5 kecamatan tersebut adalah Metro Barat (11,28 km2), Metro Pusat (11,71 km2), Metro Selatan (14,33 km2), Metro Timur (11,78 km2) dan Metro Utara (19,64 km2). Kondisi lahan, berdasarkan karakteristik topografinya, Kota Metro merupakan wilayah yang relatif datar dengan kemiringan <6”, tekstur tanah lempung dan liat berdebu, berstruktur granular serta jenis tanah podzolik merah kuning dan sedikit berpasir. Sedangkan
290
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
secara geologis, wilayah Kota Metro di dominasi oleh bantuan endapan gunung berapi jenis Qw. Iklim, wilayah Kota Metro yang berada di Selatan Garis Khatulistiwa pada umumnya beriklim humid tropis dengan kecepatan angin rata-rata 70 km/jhari. Ketinggian wilayah berkisar antara 25-60 m dari permukaan laut, suhu udara antara 26 oc – 29 oc, kelembaban udara 80% - 88% dan rata-rata curahan hujan pertahun 2.264 sampai dengan 2.868 mm. Mata Pencaharian Penduduk, pada wilayah Kota Metro mata pencaharian penduduk pada tahun 2005 bergerak pada sektor pemerintahan (28,56%), sektor perdagangan (28,18%), sektor pertanian (23,97%), sektor transportasi dan komunikasi (9,84%) serta konstruksi (5,63%). Pemerintahan, Kota Metro dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 12 Tahun 1999 yang peresmiannya dilakukan di Jakarta pada tanggal 27 April 1999. Struktur Organisasi Pemerintahan Kota Metro pada mulanya dibentuk melalui Peraturan Daerah Nomor 1Tahun 2001 yang terdiri dari 9 Dinas Otonom Daerah yaitu : 10 Bagian Sekretaria Daerah, 4 Badan dan 2 Kantor. Dalam perkembangan berikutnya, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2003, Pemerintah Daerah Kota Metro melakukan penataan organisasi Perangkat Daerah sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 3 tahun 2003 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata kerja Pperangkat Daerah. 2. Hasil Pengumpulan Data a. Observasi Observasi dilakukan peneliti guna melihat semua hal yang terjadi pada setiap SSB yang diamati yaitu AMOR, PASER dan K UNITED. Adapun hal yang diamati yaitu struktur organisasi, sarana prasarana, program latihan, proses latihan, perilaku atlet dan prestasi yang diraih. Dalam observasi ini peneliti menggunakan teknik observasi partisipan dengan tujuan peneliti dapat bergabung dan langsung mengamati apa yang terjadi di lapangan secara langsung sehingga semua sumber yang akan diperoleh terlihat secara jelas.
Analisis Esensi “Fair Play”...|
291
Struktur Organisasi
Sarana Prasarana
Prestasi
OBSERVASI Perilaku Atlet
Program Latihan
Proses Latihan
Bagan 4.1. Pengamatan Observasi Lapangan b. Wawancara Wawancara dilakukan untuk memperoleh data secara langsung dari sumber yang akan diwawancarai oleh peneliti. Dalam hal ini wawancara ditujukan kepada pelatih dan atlet yang terdapat pada 3 SSB yaitu AMOR, PASER dan K - UNITED. Wawancara diberikan kepada pelatih yangbertujuan untuk memperoleh data sebagai berikut :1) Tujuan Program, 2) Penerimaan Pelatih, 3) Penerimaan Atlet, 4) Sarana dan Prasarana, 5) dana, 6) Pelaksanaan Program Latihan, 7) Prestasi. Sedangkan wawancara yang diberikan kepada atlet hanya sebagian kecil dari indikator wawancara yang ada pada pengurus dan pelatih, adapaun indikator wawancara kepada atlet adala : 1) Sarana dan Prasaran, 2) Pelaksanaan Program Latihan, 3) Prestasi. Dibawah ini adalah bagan wawancara dan indikator wawancara yang ditujukan kepada pelatih, pengurus dan atlet. c. Dokumentasi Dokumentasi dilakukan dengan melihat arsip atau dokumen yang ada pada setiap SSB yang diteliti yaitu AMOR, PASER dan K UNITED. Dalam setiap SSB memiliki arsip atau dokumen tentang SSB masing baik berupa foto, catatan, surat-surat, laporan, cendramata,
292
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
kliping dan lain sebagainya. Berikut ini adalah bagan dokumentasi yang akan peneliti ajukan kepada setiap SSB. d. Angket Pembagian angket dilakukan kepada seluruh atlet yang ada pada masing-masing SSB yaitu AMOR, PASER dan K - UNITED. Pembagian angket ini bertujuan untuk memperoleh data dari setiap atlet guna menunjang data yang sudah ada. Dibawah ini adalah indikator angket yang dibagikan kepada atlet.
ANGKET
Asal Sekolah
Bagaimana Proses Masuk
Jaminan Prestasi Dari SSB
Program Latihan
Tanggapan Tentang Pelatih
Bagan 4.4. Indikator Angket Bagi Atlet Dalam penilitian ini, peniliti menggunakan angket terbuka dan tertutup. Angket tertutup digunakan untuk mendapatkan respon para responden, sedangkan angket terbuka digunakan untuk mendapatkan alasan dari para responden. Pertama, peniliti akan menyajikan data yang diperoleh dari angket tertutup. Data disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini. Pertanyaan Apa yang anda lakukan jika pemain lawan melanggar anda dengan keras?
Bagaimana respon anda jika kawan satu tim anda dilanggar oleh pemain lawan?
Nama SSB
Respon
Amor
Memaafkan
Passer
Diam saja
K - UNITED
Memaafkan
Amor
Memaafkan
Passer
Memaafkan
K - UNITED
Memaafkan
Analisis Esensi “Fair Play”...|
Apa yang anda lakukan jika pemain lawan memukul teman anda?
Bagaimana reaksi anda jika anda dicederai oleh pemain lawan?
Jika pemain lawan memprofokasi saat bertanding, apa yang anda lakukan?
Amor
Memaafkan
Passer
Memaafkan
K - UNITED
Memaafkan
Amor
Memaafkan
Passer
Diam Saja
K - UNITED
Memaafkan
Amor
Memaafkan
Passer
Memaafkan
K - UNITED
Memaafkan
293
Data diatas merepresentasikan jiwa fair play dari masingmasing Sekolah Sepak Bola atau SSB. Dari 5 pertanyaan tersebut, mayoritas jawaban responden adalah memaafkan. Hal ini menunjukan bahwa para pemain telah menyerap dan telah terpatri dalam dirinya akan jiwa fair play. Angket terbuka untuk mendapatkan data tentang program latihan, proses pembelajaran fair play, penerapan fair play, respon ketika dilanggar, serta hasil belajar. Pertama, tentang program latihan seluruh responden menuturkan bahwa program yang telah diberikan sudah berjalan dengan baik. Ketiga kapten tim juga menjawab bahwa para pelatih memberikan materi yang bervariasi pada setiap sesi pertemuan nya. Pertanyaan kedua dalam angket adalah apasaja yang dilakukan pelatih dalam mengajarkan jiwa sportifitas? Ketiga peserta penilitian mengungkapkan jawaban yang berbeda-beda. “Pelatih saya mengajarkan bagaimana bermain sportif dengan mengajarkan kami ketika ada pemain yang cedera didalam lapangan, kami harus membuang bola, dan menghidupkan bola dengan mengarahkan bola ke lawan bukan rekan satu tim”. SSB Amor
294
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
“Kami diajarkan bermain bagus, tidak boleh mencederai lawan, memprofokasi rekan dan lawan, dan menjaga nama baik SSB”. SSB Passer “Bermain bukan hanya meraih juara,bermain mencari banyak teman.pelatih kami akan marah dan mengganti kami dengan kawan yang lain, jika kami bermain curang,kotor dan berlaku tidak terpuji kepada wasit”. SSB KUNITED
Data diatas menggambarkan cara pelatih mengajarkan fair play dan sportifitas kepada para pemain nya. Dari cara-cara serta materi ajar yang telah disebutkan oleh para responden diatas telah menunjukan nilai-nilai yang harus di lakukan oleh para siswa dan atlet. D. Simpulan Dari hasil analisa data diatas dapat disimpulkan bahwa pemain telah mengaktualisasikan nilai-nilai dari fair play pada kehidupan nyatanya. Misalnya menghargai orang lain, menolong, kerja sebagai tim, dan rasa peduli dengan sesama. Mereka juga merepresentasikan penerapan fair play dalam latihan dan saat bertanding. Seperti disiplin, bertanggung jawab, serta peduli ketika pemain lawan cedera atau sakit di dalam lapangan. Hasil yang didapat setelah ia menerapkan jiwa fair play adalah pernyataan “Lebih baik kalah tapi jujur, dari pada menang tapi bermain kotor”. Dia lebih baik kalah tapi bermain bersih tanpa adanya kecurangan baik di dalam maupun di luar lapangan. Jawaban tersebut telah menunjukan bahwa nilai-nilai kebaikan dalam fair play berperan dalam mengkontrol emosi, nafsu, serta diri nya ketika bermain sepak bola maupun dalam kehidupan sehari-harinya. Para pemain juga merepresentasikan jiwa fair play dari masing-masing Sekolah Sepak Bola atau SSB. Mayoritas pemain adalah memaafkan. Hal ini menunjukan bahwa para pemain telah menyerap dan telah terpatri dalam dirinya akan jiwa fair play[.]
DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, Hubungan Frustasi Dengan Agresivitas Pada Suporter sepak Bola Pasoepati, Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.
Analisis Esensi “Fair Play”...|
295
Anderson, C. A, Buckley, K. E, Carnagey, N. L., Creating Your Own Hostile Environment: A Laboratory Examination Of Trait Aggressiveness and The Violence Esalation Cycle. Journal Social Psychology. PSB, Vol.34 No.4: 462-473. By The Society For Personality and Social Psychology. Inc, 2008. Arma, Abdullah, Olahraga Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Sastra Hudaya, 1985. Baron, B. Bryne, D., Bransombe, N., Social Psychology (11thed). USA: Pearson Education. Inc, 2006. Berkowitz, S., Agresi: Sebab dan Akibatnya Terjemahan, Alih BAhasa: Susianti.H.W.J, Jakarta: Pustaka Psinamon Pressindo, 1995. Berument, M.H., Ceyland, N.B, dan Eker, G.O., Soccer, Stock Return Fanaticism: Evidence From Turkey. The Social Science Journal 46: 594-600. Published By Elsevier inc, 2009. Bompa Tudor, O., Total Training for Young Champions. Champaign Human Kinetics, 2000. Christian M. and Foster, Natalie J. Aggressiveness. North American Journal Of Psychology, Publisher: North American Journal of Psychology. Dec, 2010. Coakley, J.J., Sports in Society. New York: McGraw-Hill, 1998. Creswell, John, W., Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, California: Sage Publikations, Inc., 2003. Dachnel, Kamars H.M. Administrasi Pendidikan Teori dan Praktek. Padang: Universitas Putra Indonesia Press, 2005. Depdiknas, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Dan Pengembangan Klub, Bakat dan Minat Siswa .Jakarta: Depdiknas, 2001. Diakses Malalui Laman: http://bolacamp.blogspot.com/2012/04/ pengertian-tentang-fair-play dalam.html?m=1 Pada 18 Maret 2015. Diakses Malalui Laman: http://kbbi.web.id/agama. Pada 21 Maret 2015.
296
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Diakses Malalui Laman:http://info-biografi.blogspot.com/2013/03/ sejarah-sepak-bola.html Pada 25 Juli 2015. Dirjen Olahraga Depdiknas, Fair Play (Semangat Olahragawan Sejati), Jakarta: Depdiknas, 2002. Echols, John M. Dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cetakan XXVI. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1988. Fridayani, Septiana Citra,”The Implications Of Football Commentary In Listening Comprehension Of English Language Education Study Program Students Focusing On Specific Information”. Undergraduate Conference On Elt, Linguistics And Literature, PBI USD, July, 2013. Hagger, M dan N. Chatzisarantis, The Social Phsycology of Exercise and Sport, New York, 2005. Harsuki, Manajemen Olahraga. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003. _______, Perkembangan Olahraga Terkini. Kajian Para Pakar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Holliday, Adrian, Doing and Writing Qualitative Research, London: SAGE Publikation, 2002. Husdarta, Psikologi Olahraga, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010. Kompasiana, Pasal 28 E Ayat 1, Diakses Malalui Laman: http://hukum. kompasiana.com/2014/08/31/pasal-28-e-ayat-1-684578.html. Pada 21 Maret 2015. Koni Daerah Istimewa Yokyakarta, Panduan Pembinaan Olahraga Prestasi Koni DIY. Yokyakarta: KONI DIY, 2005. KONI. Pedoman Pembentukan dan Pembinaan Klub Olahraga, Jakarta: Koni Pusat, 1997. Krahe, B., Perilaku Agresif, Penerjemah Helly Prajitno dan Sri Mulyantini. Pustaka Pelajar, 2001.
Analisis Esensi “Fair Play”...|
297
Kudlac, Christopher S., Fair And Foul Sports And Criminal Behavior In The United States. United States: Sports Corrupt Practices, 2010. Loland, Sigmund, Fair Play In Sport A Moral Norm System, United States of America: Routledge, 2013. Lutan, Rusli, dkk., Manusia dan Olahraga, ITB dan FPOK/IKIP Bandung, 1992. Lutan, Rusli, Olahraga dan Etika Fair Play, Jakarta: Direktorat Jendral Olahraga Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Minarni, Hubungan Antara Kecemasan Dengan Agresivitas Pada Remaja Di SMA Negeri Pangkajene Sidenreng Rappang, Skripsi. Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa, 2006. Mujab A, Mahali, Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006. Mustika, Dewi, ”Agama dan Kehidupan Manusia”, FISIP UNS. Dialektika Edisi 07 Tahun 2011. Mutohir, Toho Cholik, Olahraga dan Pembangunan. Jakarta: Proyek Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga, Direktorat Jenderal Olah-raga, Departemen Pendidikan Nasional, 2004. Preuss, Holger,’’UEFA Financial Fair Play: The Curse Of Regulation”, 2014. Priantini, A., Hubungan Antara Gaya Manajemen Konflik dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Narapi Dana Usia Remaja Di Lapas Anak Pria Tangerang. Jurnal Psiko-Edukasi, Vol. 6 Mei 2008, (10-20) . Proyek Garuda Emas, Rencana Induk Pengembangan Olahraga Prestasi di Indonesia. Jakarta: KONI, 2007. Roberts, Weinberg dan Daniel Gould, Foundations Of Sport And Exercise Psychology. United states of America: Human Kinetics, 1999.
298
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Scheunemann, T., Reyna, C., Perez, J., Gunadi, Paul. Kurikulum Sepakbola Indonesia Untuk Usia Dini (U5-U12), Usia Muda (U13U20) dan Senior. Jakarta : PSSI, 2012. Sear, David. O., Freedman, J.L., Carlsmith , JM. Psikologi Sosial, Alih Bahasa: Michael Andryanto, Jakarta: Erlangga, 1991. Soegijono, Proyek Pembinaan prestasi Olahraga Garuda Emas menuju Tahun 2000. Semarang: Makalah Dies Natalis IKIP Semarang ke 29, 1994. Sugiyanto, Pengembangan Modul Pembinaan Olahraga Usia Dini. Makalah Disajikan pada konferensi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga di IKIP Bandung, 1997.