ANALISIS EKUALISASI PAJAK PENGHASILAN DAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA PT. WIJAYA KARYA REALTY I Nyoman Nopen Kurnado, Tjhin Tjiap Lung Universitas Bina Nusantara Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27 Kebon Jeruk Jakarta Barat 11530 Phone +62.21 53696969 - +62.21 53696999
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study was to determine whether there is a difference between the SPT Board Annual, SPT Masa PPh Article 21, 23, 4 (2), and VAT with accounts in the financial statements. Wijaya Karya Realty and what causes the difference, if there is a difference. The method used in this study is a qualitative method. The results of analysis of the research that has been done is there is a difference between the accounts of the costs in the financial statements on a tax return Tax Base Article Annual Income Tax Agency, return period 21, 23, 4 (2) and VAT. Differences that occur due to objects Income Tax Article 21 and 23, which together with other expenses not subject to income tax under Article 21 and 23 to the annual tax return bodies are costs that should be expensed in the income statement. In the VAT equalization are due to differences in recording selisish advances, sales made on credit, sales to collectors of VAT, and the use of itself freely. (INK) Keywords: Equalization, SPT, Income Tax, Value Added Tax
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahu apakah terdapat perbedaan antara SPT Tahunan Badan, SPT Masa PPh Pasal 21, 23 4 ayat (2), dan PPN dengan akun-akun di laporan keuangan PT. Wijaya Karya Realty dan apa penyebab perbedaan tersebut bila terdapat perbedaan. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis dari penelitian yang telah dilakukan adalah terdapat selisih antara akun-akun biaya di laporan keuangan dengan Dasar Pengenaan Pajak pada SPT Pajak Penghasilan Pasal Tahunan Badan, SPT Mas 21, 23, 4 ayat (2) dan PPN. Selisih yang terjadi dikarenakan adanya objek Pajak Penghasilan Pasl 21 dan 23 yang disatukan dengan biaya lainnya yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 dan 23. Untuk SPT Tahunan badan terdapat biaya-biaya yang seharusnya tidak bisa dibiayakan di dalam laporan laba rugi. Pada ekualisasi PPN terdapat selisish dikarenakan perbedaan pencatatan uang muka, penjualan yang dilakukan secara kredit, penjualan kepada pemungut PPN, dan pemakaian sendiri secara cuma-cuma. (INK) Kata kunci: Ekualisai, Surat Pemberitahuan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai
Pendahuluan Latar belakang saya mengambil judul ini adalah, dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, negara membutuhkan dana yang tidak sedikit. Yang mana dana tersebut didapat dari pendapatan negara dari sector pajak dan pendapatan negara dari bukan pajak yaitu migas dan non migas. Saat ini penerimaan negara paling besar berasal dari sector pajak yaitu sekitar 70%-75%. Oleh karenanya pajak sangat berperan penting dalam penerimaan negara. Mengingat pentingnya peranan pajak, pemerintah selalu melakukan evaluasi dan memperbaharui kebijakan di bidang perpajakan, seperti pada tahun 1983 dilakukan reformasi
perpajakan. Sebagai salah satu contohnya adalah penerapan self assess,ment system pada tahun 1984. Selft assessment sistem adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai adalah contoh pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak. Jenis pajak ini berkaitan dengan biaya-biaya dan penjualan yang dilakukan oleh WP yg memiliki usaha. PT. WIJAYA KARYA REALTY adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi, manajemen property dan pengembangan bisnis realty yang atas penghasilannya dikenakan pajak final dan non final dan juga PPN. Dalam pembuatan laporan keuangannya mungkin saja terdapat perbedaan dengan SPT yang dilaporkan, yang mungkin karena perbedaan waktu atau pencatatan transaksi. Dan untuk mengetahui penyebab perbedaan tersebut harus dilakukan ekualisasi. Ekualisasi sendri memiliki arti pemeriksaan tingkat keseimbangan antara satu jenis pajak dengan jenis pajak lain yang mempunyai hubungan antara elemen-elemen laporan jenis pajak lain (baik sebagian maupun keseluruhan).
Metode Penelitian Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi lapangan dan studi kepustakaan. 1. Studi Kepustakaan Penelitian dilakukan dengan cara membaca serta mempelajari literatur yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini. 2. Studi Lapangan Penelitian dilakukan secara langsung di PT. Wijaya Karya Realty untuk mendapat informasi dan gambaran jelas mengenai objek penelitian dengan cara: a. Observasi Observasi ini dilakukan dengan pemangamatan langsung atas kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan objek yang diteliti, sehingga memperoleh data yang diinginkan. b. Wawancara Melakukan Tanya-jawab kepada pihak-pihak terkait yaitu PT. Wijaya Karya Realty guna mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan penelitian. c. Dokumentasi Metode ini dilakukan dengan cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumentasi data dari PT. Wijaya Karya Realty.
Hasil dan Bahasan Ekualisasi Pajak adalah pemeriksaan tingkat keseimbangan antara satu jenis pajak dengan jenis pajak yang lain yang memiliki hubungan antara elemen-elemen laporan suatu jenis pajak yang lain (baik itu sebagian maupun keseluruhan). Ekualisasi yang dilakukan dalam proses pemeriksaan, antara lain: 1.Ekualisasi SPT Masa PPN dengan Omset penjualan SPT Badan/ OP dan akun-akun yang ada di neraca atau laporan posisi keuangan. 2.Ekualisasi SPT Masa PPh Pasal 21, 22, 23, 26, dan 4 ayat 2 dengan akun-akun biaya pada laporan laba rugi dan akun-akun biaya yang dikapitalisasi sebagai aset pada neraca atau laporan posisi keuangan. Adakalanya penghasilan di laporan keuangan berbeda dengan SPT Tahunan PPh Badan. Tidak semua standar akuntansi dapat diterapkan untuk kepentingan pajak penghasilan. Wajib Pajak seharusnya membuat ekualisasi antara pos-pos di laporan keuangan komersial dan angka-angka di SPT Tahunan PPh Badan. Setiap perpedaan angka antara laporan keuangan dengan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak wajib kudu mempersiapkan alasan-alasan yang rasional dan berdasar. Berdasar maksudnya, bahwa perbedaan tersebut dikarenakan peraturan perpajakan yang berlaku, baik undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri keuangan maupun keputusan direktur jenderal pajak. SPT Tahunan PPh Pasal 21 berfungsi sebagai rekapitulasi dari semua objek-objek PPh Pasal 21. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 seperti laporan keuangan interim, dilihat dari teknis perhitungan pajak, hanya sementara. Angka-angka yang dicantumkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus dapat dijelaskan bersumber dari perkiraan apa saja. Saat membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 kita harus membuat ekualisasi antara pos-pos biaya di Laporan Laba Rugi dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Ekualisasi ini akan sangat bermanfaat. Setidaknya tidak akan terjadi penghitungan ganda (double accounting) objek PPh Pasal 21. Penghitungan ganda bisa dilakukan oleh Wajib Pajak saat membuat SPT Tahunan maupun pemeriksa pajak yang tidak mengerti sumber angka di SPT Tahunan PPh Pasal
21. Pemeriksa menduga objek PPh Pasal 21 belum dilaporkan di SPT Tahunan kemudian menghitung ulang (koreksi positif). Jika terjadi penghitungan ganda seperti itu tentu merugikan Wajib Pajak sendiri. Teknik ekualisasi PPh Pasl 21, seperti yang diuraikan diatas, sama dengan PPh Pasal 23. Hanya saja karena PPh Pasal 23 tidak ada SPT Tahunan maka Wajib Pajak tetap harus membuat rekapitulasi SPT Masa. Harus jelas berapa pembayaran PPh Pasal 23 atas royalti, atas sewa, atas jasa teknik selama setahun. Total pembayaran selama setahun masing-masing tahun pajak dapat diperinci. Kemudian sandingkan dengan biaya-biaya yang dilaporkan di Laporan Laba Rugi. Sedangkan untuk Pasal 4 ayat 2, teknik ekualisasinya sama dengan PPh pasal 23 yang berbeda hanya jenis penghasilannya. Pembayaran yang sudah dikenakan PPh Pasal 23 tidak dapat dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu jika dilakukan ekualisasi, maka kita akan dapat mengetahui akun-akun atau pos-pos mana yang dipotong PPh 23 atau PPh Pasal 4 ayat 2. Sebagian besar pemeriksa pajak, ketika menerima SPT Masa PPN selalu melihat SPT Masa Desember. Dilihatnya kolom “s.d. bulan ini”. Seandainya angka di kolom tersebut tidak sama dengan angka di SPT Tahunan PPh Badan, maka timbul pertanyaan, “kenapa?” Kenapa angkanya berbeda? Itulah yang harus dijawab dengan cara ekualisasi SPT Masa PPN dengan SPT Tahunan PPh Badan. Angka peredaran usaha pada SPT Masa PPN harusnya sama dengan angka peredaran usaha yang ada pada SPT Tahunan PPh Badan. Jika berbeda, ada beberapa macam kemungkinan yang terjadi, antara lain: 1. Beda waktu pelaporan 2. Beda waktu pengakuan pendapatan 3. Pemakaian sendiri dan bonus 4. Selisih kurs Untuk hasil ekualisasi SPT Tahunan Badan antara laporan keuangan komersil dan laporan keuangan fiscal mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2010 dijelaskan bahwa biaya yang tidak dapat dijadikan pengurang untuk mengitung penghasilan kena pajak adalah biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang telah dikenakan pajak final. Oleh karena itu harus dikoreksi masing-masing sebesar Rp 74.178.710, Rp 30.765.800, dan Rp 35.606.070 untuk tahun 2011, 2012, dan 2013 pada biaya riset pasar. Dan mengacu kepada PMK 02/PMK.03/2010 dijelaskan bahwa biaya promosi yang tidak bias dikurangkan untuk menghitung penghasilan bruto adalah biaya promosi yang digunakan untuk mendapatkan, menagiih, dan memelihara penghasilan yang telah dikenakan pajak final. Oleh karena itu harus dikoreksi masingmasing sebesar Rp 89.951.600, Rp 88.912.622, dan Rp 92.654.709 untuk tahun 2011, 2012, dan 2013 pada biaya promosi. Berdasarkan koreksi-koreksi tersebut maka pajak terutangnya menjadi lebih besar, dan selisih masingmasing sebesar Rp 2.302.667, Rp 979.401, dan Rp 1.481.891 untuk tahun 2011, 2012, dan 2013. Sanksi dari kesalahan ini adalah denda bunga sebesar 2% per bulan selama 24 bulan dari saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak (Pasal 8 ayat 2 UU KUP) atau bila sudah dilakukan pemeriksaan oleh Dirjen Pajak maka sanksi yang dikenakan adalah sanksi kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak (Pasal 13 ayat 2 UU KUP). Saran dari penulis, perusahaan sebaiknya melakukan pembetulan sendiri agar terhindar dari sanksi kenaikan. Pemotongan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh pihak-pihak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tersebut terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. Tarif pajak yang digunakan dalam pemotongan atas penghasilan yang terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan pemerintah. Sistem perpajakan yang digunakan untuk pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 menggunakan withholding tax system.Withholding tax system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan perpajakan yang berlaku.Withholding tax system menekankan pemberian kepercayaan kepada pihak ketiga, di luar fiskus, yaitu pemberi penghasilan atau konsultan pajak untuk melakukan perhitungan, pemungutan atau pemotongan pajak atas penghasilan yang diberikan sesuai dengan presentasi tertentu dari jumlah penghasilan. Dalam hal ini pihak yang melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah PT. Wijaya Karya Realty selaku pemberi kerja.Dimana besarnya potongan tergantung pada berapa besarnya penghasilan yang diterima setiap pegawai.Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 mengacu pada formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 formulir 1721. Selisih ekualisasi Pajak Penghasilan Pasal 21 juga terjadi karena pada biaya personalia atas biaya lainlain personalia merupakan natura dari perusahaan kepada karyawannya yang seharusnya juga dimasukkan ke dalam perhitungan objek Pajak Penghasilan Pasal 21. Sesuai dengan PER-31/PJ/2012 pasal 5 ayat 2 dijelaskan bahwa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau 26 sebagaimana dimaksud pada ayat 1 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnyadengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit), biaya lain-lain personalia tersebut seharusnya juga dimasukkan ke dalam perhitungan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu masing-masing sebesar Rp 145.137.898, Rp 189.119.942, Rp 223.372.624 untuk tahun 2011, 2012, dan 2013. Sedangkan selisih sebesar Rp 156.072.500 pada tahun 2011 dikarenakan perusahaan tidak memasukkan upah ke dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21. Sesuai dengan PER 31/PJ/2012 pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan. Jadi seharusnya gaji upah dimasukkan ke dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan tidak memasukkan biaya yang termasuk objek Pajak Penghasilan Pasal 21 ke dalam biaya yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21, agar pemeriksa pajak tidak mengindikasikan adanya kelalaian yang dilakukan oleh perusahaan dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan juga memudahkan perusahaan dalam membuat atau memeriksa biaya terkait objek Pajak Penghasilan Pasal 21. Untuk biaya lain-lain personalia sebaiknya perusahaan memasukkan biaya tersebut ke dalam Surat Pemberitahuan Pasal 21 karena merupakan objek dari Pajak Penghasilan Pasal 21. Akibat dari kesalahan tersebut, peusahaan dapat dikenakan sanksi bunga sebesar 2% menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 8 ayat 2. Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi maupun badan), dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pajak Penghasilan Pasal 23 ini dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pada prinsipnya pelaksanaan Pajak Penghasilan Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi dalam arti bahwa pemotongan, penyetoran dan pelaporannya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.Dalam hal ini perusahaan telah melakukan pemotongan atas jasa dan sewa yang termasuk ke dalam objek PPh Pasal 23. Berdasarkan ekualisasi Pajak Penghasilan Pasal 23 perbedaan yang terjadi dikarenakan biaya yang merupakan objek dari Pajak Penghasilan Pasal 23 disatukan dengan biaya lainnya yang masih menjadi satu kesatuan dari objek Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut. Karenanya sebaiknya perusahaan tidak mencampurkan biaya yang merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan biaya lainnya.Agar pemeriksa pajak tidak mengindikasikan adanya kelalaian yang dilakukan oleh perusahaan dan juga lebih memudahkan perusahaan dalam membuat atau memeriksa biaya terkait objek Pajak Penghasilan Pasal 23.Untuk pemotongan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 yang lainnya, perusahaan memasukkan objek tersebut ke dalam liabilitas di neraca bukan di laporan laba rugi karena masih dalam proyek sehingga belum diakui sebagai biaya oleh perusahaan namun sudah dipotong PPh Pasal 23 oleh perusahaan.
Keterangan
2011
2012
448.242.354.672
732.868.163.373
955.679.345.321
2.237.707.214
1.404.066.983
2.398.980.994
45.926.413.996
85.721.587.558
121.151.945.389
270.337.193
360.449.572
273.239.182
Total
496.676.813.075
820.354.267.486
1.079.503.510.886
Objek PPh Final menurut SPT Badan Penghasilan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
448.242.354.672
732.868.163.373
955.679.345.321
Objek PPh Final menurut Laporan Keuangan Penghasilan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Sewa Atas Tanah dan/atau Bangunan Jasa Konstruksi Bunga Depostio / Tabungan
Sewa Atas Tanah dan/atau Bangunan Jasa Konstruksi
2.237.707.214
1.404.066.983
2.398.980.994
45.926.413.996
85.721.587.558
121.151.945.389
270.337.193
360.449.572
273.239.182
496.676.813.075
820.354.267.486
1.079.503.510.886
0
0
0
Bunga Depostio / Tabungan Total
2013
Selisih
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan, sewa tanah dan/ atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate yang merupakan objek-objek dalam Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2. Berdasarkan hal tersebut maka dari penghasilan-penghasilan yang diperoleh PT. Wijaya Karya Realty dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 atau Pajak Penghasilan Final. Berdasarkan keterangan yang penulis terima, penghitungan Pajak Penghasilan Final atas jasa konstruksi , persewaan atas tanah dan/atau bangunan, dan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh PT. Wijaya Karya Realty secara garis besar dapat dirumuskan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat oleh PT. Wijaya Karya Realty dan pihak kedua. Dari perjanjian tersebut timbullah besarnya harga yang sudah disepakati, dimana nilai harga tersebut akan dikenai Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat 2 atas jasa konstruksi, persewaan atas tanah dan/atau bangunan, dan pengalihan atas tanah dan/atau bangunan dan pajak ini diakui pada saat pembayaran atau pada saat dicatatnya hutang tergantung mana yang terlebih dahulu. Terkait Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2, perusahaan telah sesuai memotong, melaporkan, dan menyetorkannya sesuai dengan PP Nomor 40 Tahun 2009 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, PP Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan dan PP Nomor 71 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Karena perusahaan bergerak di bidang realty, jasa konstruksi, dan jasa manajemen property, maka pendapatan dari sektor realty, jasa konstruksi, dan sewa tanah dan/atau bangunan yang termasuk ke dalam pendapatan dari jasa property tidak dihitung di dalam Surat Pemberitahuan Badan melainkan langsung dikenai pajak final. 2011 Keterangan
DPP PPh Badan
DPP PPN
522.688.357.389
325.403.518.910
peredaran usaha Penjualan pendapatan lain-lain Total
4.977.656.259 527.666.013.648
325.403.518.910
Perbedaan Wakktu Uang Muka
61.988.680.395
Pendapatan Diterima Di Muka
611.632.397
Jumlah Objek Pajak Menurut Undang-Undang
527.666.013.648
388.003831.702
Jumlah Objek Pajak Menurut Wajib Pajak
527.666.013.648
388.003831.702
0
0
Selisih Ekualisasi
2012 Keterangan
DPP PPh Badan
DPP PPN
842.036.295.677
450.085.571.680
peredaran usaha Penjualan pendapatan lain-lain Total
498.389.466 842.534.685.143
450.085.571.680
Perbedaan Wakktu Uang Muka
166.005.381.363
Pendapatan Diterima Di Muka
0
Jumlah Objek Pajak Menurut Undang-Undang
842.534.685.143
616.090.953.043
Jumlah Objek Pajak Menurut Wajib Pajak
842.534.685.143
616.090.953.043
0
0
Selisih Ekualisasi
2013 Keterangan
DPP PPh Badan
DPP PPN
peredaran usaha Penjualan
1.131.523.573.000
861.758.514.668
1.131.523.573.000
861.758.514.668
pendapatan lain-lain Total Perbedaan Wakktu Uang Muka
274.695.564.000
Pendapatan Diterima Di Muka
0
Jumlah Objek Pajak Menurut Undang-Undang
1.131.523.573.000
1.136.454.078.668
Jumlah Objek Pajak Menurut Wajib Pajak
1.131.523.573.000
1.136.454.078.668
0
0
Selisih Ekualisasi
Wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan dan pembelian barang atau jasa yang dilakukannya. Begitu pun dengan PT. Wijaya Karya Realty yang merupakan Pengusaha Kena Pajak. Sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT. Wijaya Karya Realty telah melakukan kewajibannya dengan melakukan pemungutan, penyetoran dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilainya atas penyerahan dan pembelian barang atau jasa. Pemungutan yang dilakukan oleh perusahaan atas Pajak Pertambahan Nilai untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu sendiri sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai pada setiap tingkat mata rantai jalur produksi maupun distribusinya. Namun dengan adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit pajak) oleh Pengusaha Kena Pajak, pemungutan secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda, sehingga presentasi beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama sesuai denan tarif yang berlaku. Dalam tabel di atas terdapat perbedaan pada tahun 2011 dan 2012. Hal ini disebabkan karena, perusahaan baru mengakui pendapatan-pendapatan yang telah dikenai Pajak Pertambahan Nilai pada tahun sebelumnnya yang ada pada akun uang muka tahun sebelumnya dan terdapat beda waktu pelaporan, dimana perusahaan telah mengakui pendapatan namun baru dibayarkan 20% oleh konsumen dan sisanya masuk ke dalam akun piutang pada neraca yang nantinya akan dilakukan tagihan. Hal ini terjadi karena dalam pengakuan pendapatan realty perusahaan menggunakan metode akrual sehingga omset dari Pajak Penghasilan lebih besar dari Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai.
Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis ekualisasi Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai serta peraturan perpajakan pada PT. Wijaya Karya Realty maka kesimpulan yang dapat diambil adalah: 1. Dalam laporan laba rugi terdapat biaya-biaya yang seharusnya tidak dapat dibiayakan seperti pada biaya promosi yang tidak bisa dibiayakan karena berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010 dijelaskan bahwa biaya promosi tidak dapat dijadikan biaya pengurang apabila wajib pajak yang terhadap produk ataupun penghasilannya sudah dikenakan Pajak Penghasilan final. Oleh karena itu harus dikoreksi masing-masing sebesar Rp 74.178.710, Rp 30.765.800, Rp 35.606.070 untuk tahun 2011, 2012, dan 2013. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 dijelaskan bahwa biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang sudah dikenakan pajak final tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak. Biaya riset pasar merupakan biaya-biaya yang direalisasikan untuk kegiatan memperluas pasaran. Yang dimaksud pasaran disini adalah pengembangan lahan dan bangunan untuk realty. Jadi berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut biaya riset pasar tidak bisa dibiayakan. Oleh karena itu harus dikoreksi masing-masing sebesar Rp 89.951.600, Rp 88.912.622, Rp 92.654.709 untuk tahun 2011, 2012, dan 2013. 2. Dalam hal penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 terdapat selisih antara yang dilaporkan di Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan biaya yang ada di laporan laba rugi dikarenakan adanya objek Pajak Penghasilan Pasal 21 yang digabungkan dengan biaya lain yang bukan merupakan objek dari Pajak Penghasilan Pasal 21. Adanya natura dari perusahaan kepada karyawannya yang seharusnya dimasukkan ke dalam perhitungan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu masing-masing sebesar Rp 145.137.898, Rp 189.119.942, dan 223.372.624 untuk tahun 2011, 2012 dan 2013, karena sesuai dengan PER 31/PJ/2012 pasal 5 ayat 2 dijelaskan bahwa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau 26 sebagaimana dimaksud pada ayat 1 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit), dan selisih yang terjadi juga dikarenakan adanya upah yang tidak dimasukkan dalam perhitungan objek Pajak Penghasilan Pasal 21. 3. Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terdapat selisih antara yang dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan biaya yang ada di laporan laba rugi dikarenakan adanya objek Pajak Penghasilan Pasal 23 yang digabungkan dengan material atau barang yang menjadi satu kesatuan dari jasa yang termasuk ke dalam objek Pajak Penghasilan Pasal 23. 4. Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 PT. Wijaya Karya Realty telah melakukannya dengan benar sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. 5. Untuk ekualisasi Omset Pajak Penghasilan dengan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai masih banyak terdapat perbedaan karena berbagai macam faktor seperti: perbedaan pencatatan uang muka, penjualan yang dilakukan secara kredit, pengakuan pendapatan secara akrual, penjualan kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai, dan pemakaian sendiri secara cuma-cuma. Berdasarkan kepada hasil dari analisis dan simpulan tersebut. Penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada PT. Wijaya Karya Realty yang mungkin dapat membantu dalam meningkatkan dan memperbaiki kewajiban perpajakannya sebagai berikut; 1. Untuk mencegah adanya pemeriksaan pajak, maka sebaiknya PT. Wijaya Karya Realty melakukan ekualisasi atas seluruh Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai 2. Pada pencatatan biaya-biaya, sebaiknya PT. Wijaya Karya Realty tidak menyatukan biaya yang merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 dan 23 dengan biaya lainnya sehingga pemeriksa pajak tidak mengindikasikan adanya kelalaian yang dilakukan perusahaan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan. 3. Sebaiknya perusahaan selalu waspada dalam pengelompokan pajak dengan cara melakukan pelatihan pada pegawai mengenai perpajakan, sehingga pegawai yang menangani perpajakan benar-benar menguasainya.
Referensi Billy, Ivan Tansuria. (2011). Pajak Penghasilan Final. Yogyakarta: Graha Ilmu. Christianty, Fita .(2012). Analisis Ekualisasi Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai di PT. KAS. Tesis S1 tidak dipublikasikan.Universitas Bina Nusantara. Jakarta. Grace. (2013). Analisis Ekualisai Pajak Penghasilandan Pajak Pertambahan Nilai pada PT. TBP. Tesis S1 tidak dipublikasikan, Universitas Bina Nusantara. Jakarta. Ilyas, Wirawan B. dan Richard Burton. (2010). Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat. Manihuruk, Wiston. (2010). Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: PT. Kharisma Bintang Kreativitas Prima. Mardiasmo. (2011). Perpajakan. Yogyakarta: CV Andi Offset. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Resmi, Siti. (2012). Perpajakan Teori dan Kasus Buku 2. Jakarta: Salemba Empat. Resmi, Siti. (2011). Perpajakan Teori dan Kasus Buku 1. Jakarta: Salemba Empat. Siahaan, Marohot P. (2010). Hukum Pajaka Material. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suandy, Erly. (2011). Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat. Suhartono, Rudi dan Wirawan B. Ilyas. (2010). Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jakarta: Salemba Empat. Waluyo. (2011). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Riwayat Penulis I Nyoman Nopen Kurnado lahir di kota Jakarta pada 16 November 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang akuntansi pada tahun 2014.