ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN EMOSIONAL PADA KISAH-KISAH AL-QURAN DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh: Lia Widyawati NIM: 107011000241
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN EMOSIONAL PADA KISAH.KISAH AL.QURAN DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK USIA6SAMPAI 9TAHUN Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh:
Lia Widvawati NIM: 107011000241
Dibawah Bimbingan
NIP:
:
1971 103 191998032001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1435 H/2014
M
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
Skipsi berjudul "ANALISIS DESKRIPTIF
KECERDASAN
EMOSIONAL PADA KISAH.KISAH AL.QURAN DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN"
disusun oleh Lia Widyawati Nomor Induk Mahasiswa 107011000241, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 03 Juli 2014 dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Jakarta, Juli20l4
Panitia Uj ian Munaqasah Tanggal
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Dr. H. Abdul Maiid Khon. M.Ae
NIP. 19580707 198703 1 005 Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Marhamah Saleh Lc MA.
:1)
f:r?!1
NIP. 19720313 200801 2010
2p4
Penguji I
Siti 4hadiiah. MA NrP. 19700727 199703 2 004 Penguji
II
Dra. Elo AL Busis. M.As
rl,
t,o11 "'r'T"""""""'
NrP. 19560119 t99403 2 001
Mengetahui: Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
NIP. 19591020 r98603 2 001
Tanda Tangan
SIIRAT PERNYATAAN KARYA
ILMIAII
Yang bertandatangan di bawah ini: : Lia Widyawati Nama
NIM Jurusan
Alamat
:1070I1000241 : Pendidikan Agama Islam : Jl. H" Sulaiman No. 12 Bedahan Kec. Sawangan Kota Depok
Dengan ini menyatakan : Bahwa skripsi yang berjudul Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosional Pada Kisah-Kisah Al-Qru'an Dan Pengembangannya Pada Anak Usia 6 Sampai 9 Tahun adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen: Nama Pembimbing
:Dr.Sururin, MA.
NIP
:1971103191998032001
JurusanlProgram Studi
: Pendidikan Agama Islam
Demikian surat prnyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap rrenerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri. Iakarta,03 Juli 2014 Yang Menyatakan
Lia Widyawati
MM. 107011000241
ABSTRAK Lia Widyawati, NIM. 107011000241, Skripsi Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosional Pada Kisah-kisah Al-Qur’an Dan Upaya Pengembangannya Pada Anak Usia 6 sampai 9 Tahun, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Juli 2014.
Skripsi ini membahas tentang konsep kecerdasan emosional bertujuan untuk mengenalkan kepada manusia atau masyarakat betapa pentingnya mengembangkan kecerdasan emosional sejak dini. Karena kecerdasan emosional merupakan aspek pendukung dalam mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ). Selain itu, ia juga menjelaskan tentang perkembangan emosi anak usia 6 sampai 9 tahun dalam merealisasikan kecerdasan emosionalnya tersebut. Adapun metode yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif, melalui pendekatan deskriptif dalam menemukan jawaban yang terkait dengan permasalahan yang ada pada skripsi ini. Dalam mencapai hasil perkembangan yang baik, terdapat lima kecakapan atau kemahiran yang perlu dikembangkan dalam kecerdasan emosional ini, yaitu kemahiran mengenali emosi diri, kemahiran pengaturan diri, kemahiran empati, dan kemahiran memotivasi emosi diri, serta kemahiran dalam membina hubungan dengan orang lain. Kelima kecakapan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika ada salah satu dari kelima kecakapan tersebut yang tidak berkembang dengan baik, maka kecerdasan emosional seorang itu dapat dikatakan belum sempurna dan sulit untuk mengembangkannya ketika ia telah tumbuh dewasa. Dalam mengembangkan kecerdasan emosional dibutuhkan sarana yang tepat yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam. Oleh karenanya, dalam pembahasan ini dikaitkan dengan kisah-kisah Nabi yang terkandung dalam Al-Quran. Ada tiga kisah tentang Nabi yang berhubungan dengan perkembangan emosi anak, yaitu kisah kedua putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., dan Kisah kelahiran Nabi Musa as. Di dalam ketiga kisah tersebut terdapat berbagai macam hikmah yang dapat diambil untuk diteladani dalam perkembangan pribadi seorang anak.
i
ABSTRACT
Lia Widyawati, NIM. 107011000241, “Skripsi”, Analysis Of Descriptive Of Emotional Intelligence In Quran Histories And The Effort Of Achievement In Child Of 6 To 9 Years Old. Islamic Department, July 2014. This “Skripsi” explains about the concept of emotional intelligence that aims to introduce human being or people how it is important to develop the emotional intelligence in early age because it is one of many aspects needed in developing the intelligence intellectual (IQ). Besides, it also explains about the developing the child emotion in 6 and 9 years old in realizing that. The method used in this “skripsi” is the descriptive method, through the descriptive approach finding the solution and answer related to the problem which is discussed. In achieving the result of good development, there are five accomplishments or skills which have to be developed in this emotional intelligence, those are the skill of recognizing the emotion, the competence of self-regulation, empathy skills, the skills of motivating ourselves, and the skills of leading the other relationships. The five skills mentioned cannot be separated from each other. If one of these skills is not good, the emotional intelligence will not complete and difficult to develop when he grows up. In developing the emotional intelligence, it needs the proper things which are related to the Islamic education. Therefore, this discussion is associated with the prophet storiesin the Quran. There are three prophet stories related to the development of the child emotion, namely the story of two Adam’s sons, Noah, and the birth of Musa. There are many lessons which can be learned from those stories to be applied in developing the child character.
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulilah, kata yang dapat saya ucapkan kepada Tuhan yang Maha Agung dan Bijaksana, yakni Allah SWT. karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul “ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN EMOSIONAL PADA KISAHKISAH AL-QUR’AN DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN”. Shalawat teriring salam tidak lupa penulis sampaikan kepada sang rahmatan lil ‘alamin Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Beliau yang menjadi tauladan bagi penulis untuk terus berusaha menyelesaikan skripsi ini yang menjadi sebuah kewajiban bahwa menuntut ilmu pengetahuan wajib hukumnya bagi setiap muslim. Penulis sampaikan rasa terima kasih yang begitu besar kepada kedua orang tua yang telah menyayangi, membiayai, serta senantiasa mendoakan penulis agar menjadi sukses dan bermanfaat setelah menempuh perjuangan masa kuliah di universitas ini. Salam ta’zim penuh khidmat penulis kepada Ibu Dr. Sururin, MA. yang telah memberikan waktu luang kepada penulis dalam membimbing sehingga terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih atas semua kebaikan Ibunda semoga Allah membalas dengan berlipat ganda. Amin. Karya skripsi ini merupakan hasil perjuangan panjang yang penulis tempuh selama mengenyam pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyelesaian ini tidak lepas dari motivasi dan dukungan orang-orang yang berhati luhur, dengan segala gormat penulis sampaikan terima kasih kepada: 1. Dra. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, MA., ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Marhamah Saleh, Lc. MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Sururin, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
pengarahan
secara
berkala
kepada
penulis
hingga
terselesaikannya skripsi ini. 5. Segenap Dosen yang ada di Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dari semester pertama hingga semester terakhir penulis. 6. Kedua orang tua penulis, Bapak H. Bacheroni dan Ibu Hj. Rohimah serta yang senantiasa membimbing dan memotivasi baik secara moril maupun materil. 7. Suami penulis tercinta, Ahmad Syarif, S,Pd.I beserta buah hati tersayang, Faazat
Faradina Syarief
yang selalu memberikan inspirasi
dan
penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 8. Untuk rekan-rekan seperjuangan, Jurusan PAI angkatan 2007 khususnya kelas A yang telah memberikan warna selama menempuh studi kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karya skripsi ini bukanlah akhir dari kesempurnaan pemikiran penulis, masih banyak kekurangan dan kesalahan yang penulis lakukan dalam penyusunan karya ini. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan guna penyempuraan di masa mendatang. Jakarta, 02 Juni 2014 Penyusun
iii
DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH ABSTRAK ..........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ........................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB
I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..............................................................
6
C. Pembatasan Masalah .............................................................
7
D. Perumusan Masalah ..............................................................
8
E. Tujuan Penelitian ..................................................................
9
F. Kegunaan Penelitian..............................................................
9
G. Metode Penelitian..................................................................
9
1.
BAB
II
Sumber Data .................................................................. 10 a.
Sumber Data Primer ............................................... 10
b.
Sumber Data Sekunder ........................................... 11
2.
Pendekatan Penelitian ................................................... 11
3.
Teknik Penulisan ........................................................... 12
LANDASAN TEORI TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL A. Pengertian Kecerdasan Emosional ....................................... 13 1. Pengertian Emosi............................................................. 13 2. Pengertian Kecerdasan Emosional................................... 16 B. Kecakapan-kecakapan Utama Kecerdasan Emosional ......... 19 1. Mengenali Emosi Diri...................................................... 19 2. Mengelola Emosi Diri...................................................... 20 3. Memotivasi Diri Sendiri .................................................. 22 4. Mengenali Emosi Orang Lain .......................................... 23 iv
5. Membina Hubungan Dengan Orang Lain ....................... 24 C. Karakteristik Perkembangan Kecerdasan Emosional Untuk Anak 6 sampai 9 Tahun......................................................... 26 D. Sasaran Kecerdasan Emosional............................................. 29 BAB
III
KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN ...................................... 32 A. Pengertian Kisah Al-Quran ................................................... 32 1.
Pengertian Kisah ........................................................... 32
2.
Pengertian Kisah Al-Quran ........................................... 35
B. Macam-macam Kisah dalam Al-Quran ................................. 36 C. Kisah-kisah Nabi dalam Al-Quran ........................................ 38 1. Kisah Dua Putra Nabi Adam as.: Qabil dan Habil ........ 39 2. Kisah Nabi Nuh as. ........................................................ 42 3. Kisah Kelahiran Nabi Musa as. ..................................... 47 BAB
IV
ANALISIS KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN MENGENAI KECERDASAN
EMOSIONAL
PADA
PERKEMBANGAN
ANAK USIA 6 – 9 TAHUN ....................................................... 53 A. Aspek-aspek
Kemahiran
Kecerdasan
Emosional
pada
Perkembangan Anak Usia 6 – 9 Tahun melalui Kisah-kisah Al-Quran ............................................................................... 53 1. Kemahiran Mengenali Emosi Diri ................................ 53 2. Kemahiran Mengelola Emosi Diri ................................ 57 3. Kemahiran Memotivasi Emosi Diri .............................. 61 4. Kemahiran Mengenali Emosi Orang Lain .................... 67 5. Kemahiran Membina Hubungan Dengan Orang Lain .. 71 B. Upaya Penerapan Kecerdasan Emosional pada Anak Usia 6 – 9 Tahun ..................................................................................... 75 BAB
V
PENUTUP ................................................................................... 78 A. Kesimpulan ........................................................................... 78 B. Saran-saran ............................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia pendidikan saat ini, banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa anak yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Qoutient) yang tinggi, maka anak tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding dengan anak-anak yang lain. Apabila melihat kenyataan yang terjadi pada saat ini, banyak sarjana yang belum sukses dalam pekerjaannya, mirisnya lagi bahkan masih ada yang menjadi pengangguran. Namun seringkali orang yang memiliki pendidikan formal lebih rendah, justru sebaliknya mereka banyak yang berhasil.1 Orangtua adalah guru pertama bagi anak-anaknya, untuk itu orangtua harus mengetahui kecerdasan apa yang pertama-tama patut dimiliki seorang anak. Muhammmad Muhyidin mengatakan bahwa kecerdasan yang pertama-
1
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, (Jakarta: Arga, 2001), h. 41.
1
2
tama patut dimiliki seorang anak adalah kecerdasan emosional, sebelum anak memiliki kecerdasan-kecerdasan yang lain.2 Daniel Goleman, yang telah berjasa mempopulerkan kecerdasan emosional (Emotional Qoutient) pada akhir tahun 1995, menjelaskan bahwa ada patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang selain IQ (Intelligence Quotient). Ia berpendapat bahwa keberhasilan kita tidak hanya ditentukan oleh IQ semata tetapi juga kecerdasan emosional.3 Selanjutnya ia juga telah membuktikan bahwa tingkat emosional manusia ternyata lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang. Mengadaptasi dari definisi Peter Salovey, Daniel Goleman membagi kecakapan Kecerdasan emosional dalam lima ranah utama yaitu ; mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.4 Kecerdasan emosional dengan beberapa kecakapan utamanya ini, tidaklah mudah diperoleh karena ia tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba atau langsung jadi. Sebaliknya, kemampuan tersebut harus dipelajari sejak dini. Kecerdasan emosional tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Anggapan masyarakat untuk menekankan kecerdasan intelektual (Intelligence Qoutient) pada anak saja tidak cukup untuk menjamin kesuksesannya, hal ini harus diimbangi dengan menanamkan kecerdasan emosional (Emotional Qoutient). Pentingnya penanaman kecerdasan emosional ini salah satunya dapat dilihat dalam sebuah riset keterbatasan peranan IQ.
2
Muhammmad Muhyidin, Manajemen ESQ Power, (Jogjakarta: DIVA Press, 2007), h. 180. Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari buku, Working with Emotional Inteligence,oleh Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), Cet. 6, h. 512. 4 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence, oleh T. Hermaya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 59. 3
3
Riset di Macaussets, Amerika. Riset ini meneliti kondisi 450 bayi hingga 40 tahun kemudian. 2/3 anak berasal dari keluarga berpenghasilan terbatas dan hidup dengan bantuan-bantuan lembaga-lembaga sosial. IQ 1/3 anak berada dibawah 90. Meskipun demikian, penelitian itu membuktikan bahwa IQ memberikan pengaruh yang tidak begitu penting bagi mereka dalam menjalankan pekerjaannya dan hidupnya. Sementara pengaruh terbesar diberikan oleh kemampuan sederhana yang mereka dapatkan diwaktu kecil, seperti kemampuan mernyikapi kegagalan, tidak tercapainya harapan, mengendalikan perasaan-emosi, dan kemampuan hidup berdampingan dengan orang lain.5 Dengan melihat hasil riset tersebut menunjukkkan EQ mempunyai peran yang penting dalam menciptakan kemampuan dan keterampilan untuk keberhasilan anak dimasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan barbagai cara untuk menerapkan kecerdasan emosional pada anak sejak dini, karena kecerdasan emosional tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba atau langsung jadi. Terdapat berbagai cara untuk menanamkan dan membentuk kecakapankecakapan emosional pada anak. Salah satunya adalah dengan menggunakan cerita-cerita atau kisah keteladanan. Shapiro berpendapat bahwa kisah-kisah keteladanan bisa menjadi cara yang paling baik untuk mengajarkan keterampilan emosional, entah dibacakan dari buku yang sudah ada atau di karang sendiri.6 Dunia anak merupakan dunia yang pasif ide, maka untuk menunjang menyesuaikan diri membutuhkan rangsangan yang cocok dengan jiwa mereka. Dengan mendengarkan kisah-kisah keteladanan dapat dijadikan bekal 5
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj dari Adz-Dzaka’ AlAthifi wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah, oleh. Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 16. 6 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, oleh. Alex Tri Kantjono, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 98.
4
untuk menghadapi dunia yang akan ditempuhnya tanpa merasa dijejali. Apa yang dibaca seseorang di masa kecil sangat membekas dan berpengaruh pada emosi, perilaku, dan pemikirannya saat ia dewasa kelak.7 Ketika seorang anak berhadapan dengan hal yang baru, maka mereka akan menyikapinya secara langsung dengan meniru apa yang telah didengar. Hal ini yang menjadikan pentingnya pengaruh kisah-kisah dalam menerapkan kecakapan-kecakapan emosional pada diri anak. Kisah yang yang dapat menggambarkan emosi dan perasaan anak dapat dilakukan dengan penyajian tokoh-tokoh dalam kisah. Hal ini dapat membantu anak memahami diri mereka sendiri, memahami orang lain, dan memahami lingkungan tempat hidupnya serta anak dapat mengidentifikasi diri dengan tokoh dalam kisah.8 Anak pada usia 6 sampai 9 tahun merupakan masa mendongeng atau berkisah karena pada usia ini anak gemar sekali dengan kisah-kisah kehidupan yang menyajikan tokoh-tokoh. Masa ini bertepatan dengan perkembangan anak ke arah kenyataan.9 Sehingga cocok untuk menanamkan kecerdasan emosional pada usia ini. Sebagai pendidik, baik itu orangtua maupun guru secara teliti harus dapat memilih kisah-kisah manakah yang dapat memberikan keteladanan kepada anak usia 6 sampai 9 tahun. Seringkali anak pada masa itu hanya dijejali dengan kisah-kisah yang hanya berisi kekerasan tanpa memberikan bimbingan, sehingga anak tumbuh dewasa dengan rasa takut atau sebaliknya cenderung beringas.
Dengan demikian kesesuaian kisah-kisah
yang
mengandung nilai-nilai keteladanan merupakan dasar untuk menerapkan kecakapan-kecakapan emosional kepada mereka.
7
Makmun mubayidh, Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2006) h. 247. 8 Makmun mubayidh, Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak, h. 249. 9 Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. 2, h. 56.
5
Salah satu sumber kisah yang baik untuk diajarkan pada anak adalah AlQuran. Al-Quran telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah Al-Quran dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan rinci yang mencangkup semua sisi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, tentang karakter kehidupan, alam semesta dan dimensi kejiwaan. Dimensi kejiwaan ini dibahas dalam banyak ayat-ayat, khususnya ayat-ayat yang membahas tentang cerita atau kisah. Namun sekarang ini banyak masyarakat yang kurang perhatian terhadap manfaat yang terkandung dalam kisah-kisah Al-Quran. Mereka cenderung meniru kehidupan barat, dengan menceritakan kisah-kisah yang belum deketahui kebenarannya. Allah telah menceritakan kepada manusia kisahkisah Nabi dan menyifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Allah juga menyifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (Ahsanul Qashash), sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui (Q.S. Yusuf: 3)10 Allah telah memerintahkan agar meneladani orang-orang baik (shalihin) dan penganjur kebaikan (muslihin ) dari orang-orang terdahulu, yang kisahkisah mereka telah dipaparkan serta telah diperlihatkan metode mereka dalam dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan terhadap musuh musuh Allah,
10
h. 348.
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994),
6
perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan.11 Sehingga tidak diragukan lagi bahwa kisah-kisah Nabi dalam Al-Quran yang perlu untuk disampaikan kepada anak dalam rangka menerapkan kecerdasan emosi kepada mereka. Dalam perkembangan tafsir tematik (maudhu’i), akan terdapat berbagai tafsir, salah satunya tafsir kejiwaan secara umum dan tafsir emosi secara khusus. Ayat-ayat yang berkaitan dengan emosi yang membahas tokoh-tokoh misalkan kedua putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., Nabi Musa as., dan lainlain. Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat masih asing dengan masalah kecerdasan emosional dan mereka cenderung mengabaikan manfaat kisah-kisah dalam Al-Quran sebagai alat untuk menerapkankan kecerdasan emosional kepada anak. Untuk itulah maka penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya kisah-kisah dalam Al-Quran sebagai alat untuk menerapkan kecerdasan emosional pada anak penulisan
skripsi
ini,
dengan
judul
“ANALISIS
melalui
DESKRIPTIF
KECERDASAN EMOSIONAL PADA KISAH-KISAH AL-QURAN DAN UPAYA PENGEEMBANGANNYA PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN” .
B. Identifikasi Masalah Seperti yang di paparkan dalam latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian kali ini sebagai berikut: 1. Dalam pendidikan untuk anak, mayoritas masyarakat cenderung lebih menekankan kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional, sehingga kecerdasan emosional kurang ditekankan. 2. Perlunya cara penanaman kecerdasan emosional anak sejak dini, karena kecerdasan emosional tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba. 11
Shalah Al-Khalidy, Kisah-kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu, Terj. dari Qoshosul Qur’an, oleh. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), jilid 1, h. 16.
7
3. Pentingnya penyajian kisah-kisah pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun dalam penanaman kecerdasan emosional. 4. Mayoritas
masyarakat
belum
mengetahui
kisah-kisah
yang
mengandung kecerdasan emosional untuk perkembangan anak. 5. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hikmah atau pelajaran yang terdapat di dalam kisah Al-Quran yang mengandung kecerdasan emosional. 6. Kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun dapat diterapkan melalui kisah-kisah dalam Al-Quran, seperti Kisah Kedua Putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., dan Nabi Musa as.
C. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti agar pembahasan ini nantinya lebih terarah, spesifik, dan sistematis. Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka dalam penelitian ini dibuat suatu batasan. Ruang lingkupnya dibatasi pada kecerdasan emosional teori Daniel Goleman pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun yang terkandung dalam kisah Kedua Putera Nabi Adam as. dalam surat Al-Maidah ayat 27-32, Nabi Nuh as. dalam surat Al-Ankabut ayat 14, dan Nabi Musa as. dalam surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13. 1. Kecerdasan Emosional Kecerdasan Emosional atau Emotional Intelligence merrujuk kepada kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain. Kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri serta dalam hubungannya dengan orang lain.12
12
Daniel Goleman, op.cit., h. 512
8
Adapun pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada pembentukan lima kecakapan utama kecerdasan emosional yang meliputi: a. Kemahiran mengenali emosi diri b. Kemahiran mengelola emosi diri c. Kemahiran memotivasi emosi diri d. Kemahiran mengenali emosi orang lain e. Kemahiran membina hubungan dengan orang lain. 2. Cerita-cerita dalam Al-Quran Yang dimaksud dengan cerita-cerita dalam Al-Quran disini adalah cerita-cerita yang bersumber dari kitab suci Al-Quran kisah-kisah para Nabi. Dalam masalah ini, akan dibahas pengertian, macam-macam, dan hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah-kisah dalam Al-Quran, yaitu kisah kedua putera Nabi Adam as. dalam surat Al-Maidah ayat 27-32, Nabi Nuh as. dalam surat Al-Ankabut ayat 14, dan Kelahiran Nabi Musa as. dalam surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kecerdasan emosional yang terkandung pada kisah-kisah Al-quran dalam surat Al-Maidah ayat 27-32, surat Al-Ankabut ayat 14, surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.? 2. Bagaimana pengembangan kecerdasan emosional anak usia 6 sampai 9 tahun melalui kisah-kisah Al-Quran?
9
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang didasarkan atas perumusan masalah di atas, tujuan tersebut yaitu mengetahui: 1. Untuk mengetahui kecerdasan emosional yang harus dimiliki oleh anak usia 6 sampai 9 tahun. 2. Untuk memahami hikmah dan pelajaran yang terdapat di dalam AlQuran yang mengandung kecerdasan emosional.
F. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat memperlancar proses pengambangan ilmu yang diperoleh sebagai alternatif pelaksanaan salah satu Tri Darma Perguruan yaitu penelitian.
2.
Sebagai masukan bagi pendidik baik orangtua maupun guru supaya menjadi bahan pertimbangan bahwa dalam proses pembelajaran tidak hanya berorientasi pada perkembangan intelektual siswa semata, akan tetapi kecerdasan emosional anak juga perlu dikembangkan secara lebih maksimal.
3.
Bagi universitas, menambah khazanah ilmiyah di kalangan akademis khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan diharapkan menjadi sumbangsih
gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisaasi. G. Metode Penelitian Penulisan skripsi ini bersifat kualitatif (Qualitative research). Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang diajukan untuk mendskripsikan dan menganalisis fenomena, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi
10
pemikiran orang secara individual maupun kelompok.13 Penelitian pada skripsi ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun melalui kisahkisah Al-Quran. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah dengan menggunakan metode Deskriptif, yaitu metode pembahasan masalah dengan cara memaparkan atau menguraikan pokok masalah secara teoritis, kemudian menganalisanya dalam rangka mendapatkan suatu kesimpulan yang tepat.14 Adapun yang dimaksud pada penelitian skripsi ini dengan menggunakan pendekatan deskriptif, adalah ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun melalui kisah-kisah Al-Quran.
1. Sumber Data Penulisan
menggunakan
metode
penelitian
berupa
penelitian
kepustakaan (Library research) adalah penelitian yang dilakukan di perpustakaan sebagai tempat penelitian dimana objek penelitiannya adalah bahan-bahan perpustakaan.
15
Sumber data yang akan digunakan dalam
penulisan skripsi ini meliputi: a. Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber-sumber yang dijadikan bahan pokok dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang dijadikan sumber pokok dalam penulisan skripsi ini adalah : 1) Yang berhubungan dengan kecerdasan emosional: - Buku Emotional intelligence karya Daniel Goleman. 13
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet.3, h. 60. 14 Nana Syaodih Sukmadinata, ibid., h. 72 15
Nuraida dan halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Tangerang: Islamic Research Publising, 2009), C.1, h.20.
11
- Working with Emotional Intelligence karya Daniel Goleman. 2) Yang berhubungan dengan kisah-kisah dalam Al-Quran: - Al-Quran . - Buku-buku tentang kisah-kisah dalam Al-Quran. - Kitab Mabahits Fi ulumil Qur’an karangan Mana’ul Qathan.
b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder adalah sumber-sumber yang dapat menunjang bagi pembahasan skripsi ini. Sumber-sumber sekunder ini antara lain berupa buku-buku kecerdasan emosional, kitab-kitab tafsir yang terkait dengan permasalahan yang dibahas, artikel, karya ilmiah, dan buku-buku lainnya yang menunjang penulisan skripsi ini.
2. Pendekatan Penelitian Pendekatan
yang
digunakan
dalam
penelitaian
ini
dengan
menggunakan pendekatan data kualitatif yang bersifat induktif. Dalam proses mencari data dengan menginventarisasi seluruh data yang berhubungan dengan kecerdasan emosional teori Daniel Goleman dan kisah-kisah Nabi dari berbagai sumber. Kemudian kisah-kisah Nabi dikategorisasikan pada lima kecakapan kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun. Usia 6 sampai 9 tahun merupakan masa dimana seorang anak menyukai sebuah cerita atau kisah mengenai sesuatu hal sehingga kecakapan kecerdasan emosional yang terdapat pada perkembangan anak tersebut melalui kisah-kisah dalam AlQuran akan mudah terbentuk. Dengan merujuk pada objek penelitian maka pendekatan yang digunakan dalam kisah Al-Quran ini menggunakan pendekatan tafsir maudhu’i. Yaitu, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik
12
masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayatayat tersebut.16
3. Teknik Penulisan Adapun untuk teknik penulisan dalam menulis skripsi ini penulis menggunakan buku panduan dari UIN Syarif Hidayatullah yakni, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis oleh tim penulis: Kadir, Sururin dkk, tahun 2011, yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
16
Al-Farmawi, Metode Tafsir mawdhu’iy, Terj. dari Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy, oleh. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 38.
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL
A. Pengertian Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Emosi Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.1 Menurut Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf dalam bukunya Executive EQ, kata emotion bisa didefinisikan dengan gerakan (movement), baik secara metaforis maupun literal, kata emotion adalah kata yang menunjukkan perasaan. Dengan begitu, menurut mereka, 1
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari buku, Working with Emotional Inteligence,oleh Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), Cet. 6, h. 411
13
14
kecerdasan emosionallah yang lebih memotivasi kita untuk mencarin potensi kita sendiri, untuk mencapai tujuan unik kita yang mengaktifkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kita yang paling dalam dari apa yang kita pikirkan.2 Sedangkan menurut Zikri Neni Iska, emosi adalah setiap keadaan diri seseorang yang disertai dengan warna yang efektif, baik pada tingkat yang lemah maupun pada tingkat yang kuat. Namun ada pendapat lain yang memberikan definisi emosi adalah reaksi yang kompleks yang mengandung aktifitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmanian serta berkaitan dengan perasaan yang kuat.3 Ahli psikologi memandang manusia adalah makhluk yang secara alami memiliki emosi. Menurut James, emosi adalah keadan jiwa yang menampakan diri dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya.4 Pada dasarnya emosi manusia bisa dibagi menjadi dua kategori umum jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannnya. Ketegori pertama adalah emosi positif yang memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Macam dari emosi positif ini seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru dan senang. Kategori kedua adalah emosi negatif yang menberikan dampak tidak menyenangkan atau menyusahkan. Macam dari emosi negatif ini
2
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 176-177 3 Zikri Neni Iska, Psikologi pengantar pemahaman diri dan lingkungan, (Jakarta: KIZI BROTHER’S, 2006),h. 104 4 Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 11
15
diantaranya, sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam dan masih banyak lagi.5 Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas: Desire (hasrat), Hate (benci), Sorrow (sedih), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan).6 Sedangkan JB Watson mengemukakann tiga macam emosi, yaitu: Fear (ketakutan), Rage (kemarahan), Love (cinta).7 Dan menurut F. Wundi ada tiga pasang kutub emosi, yaitu: Lust-Unlust (senang-tak senang), Spanning-Losung (tegang-tak tegang), Eerregungberubigung (semangat-tenang).8 Daniel Goleman mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan ketiga tokoh diatas, yaitu: 1) Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati. 2) Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa. 3) Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri. 4) Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga. 5) Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih sayang. 6) Terkejut: terkesiap, terkejut, takjub, terpana. 7) Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka. 8) Malu: malu hati, kesal, sesal, hina.
5
Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi,h. 13 Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. 1, h. 100 7 Netty Hartati, dkk., Ibid., h. 94 8 Netty Hartati, dkk., Ibid., h. 102 6
16
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (efek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun luar dirinya.
2. Pengertian kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional merupakan istilah yang belum lama dikenal baik di dunia psikologi dan sosial pada umumnya. Sebagai sandingan IQ, aspek terpenting Kecerdasan emosional berada pada mental dan emosi. Topik tentang Kecerdasan emosional menjadi ramai dibicarakan oleh masyarakat luas setelah terbitnya buku karya Daniel Goleman pada tahun 1995 yang berjudul Emotional Intelligence. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Sebuah model pelopor lain untuk kecerdasan emosi diajukan dalam tahun 1980-an oleh Reuven Bar-On, seorang psikolog Israel. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.9 Mengutip pendapat Cooper dan Sawaf dalam buku Revolusi Kecerdasan
Abad
21
mendefinisikan
Kecerdasan
Emosional
nsebagaimana dibawah ini: “Emotional Intellegence is the ability to sense, un derstand, and effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human energy, information, connection, and influence. (kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara
9
Daniel Goleman, op.cit., h. 513
17
efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai energy manusia, informasi, hubungan dan pengaruh)”.10 Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan
terutama
orangtua
pada
masa
kanak-kanak
sangat
mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Gardner mengemukakan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.11 Dalam buku Frame Of Mind, Gardner menyatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spectrum kecerdasan yang lebar dengan
tujuh
varietas
matematika/logika, intrapersonal.
spasial,
Kecerdasan
utama
yaitu
kinestetik, ini
naturalistik, musik,
dinamakan
oleh
linguistik,
interpersonal Gardner
dan
sebagai
kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.12 Menurut Gardner, “Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain : apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu-membahu dengan mereka. Tenaga-tenaga penjualan yang sukses , para guru, dokter dan pemimpin keagamaan semuanya orang-orang yang mempunyai tingkat kecerdasan pribadi yang tinggi. Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan korelatif, tetapi terarah. Ke dalam kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk model diri sendiri yang diteliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif”13. 10
Iskandar, Psikologi Sebuuah Orientasi baru, (Ciputat: gaung Persada Press, 2009),
h. 53 11
Ibid. Daniel Goleman,Kecerdasan Emosional ,Terj dari Emotinal Intellegence oleh T. Hermaya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cet. 7 h. 50-53 13 Ibid., h. 52 12
18
Dalam rumusan lain Gadner mencatat bahwa inti kecerdasan antarpribadi itu mencangkup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat orang lain”. Dalam kecerdasan antarpribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaanperasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”.14 Kedua jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner ini jelas memperlihatkan kaitan yang erat dengan pengertian kecerdasan emosional sebagaimana yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer. Hanya saja di sini terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu dalam hal ini Gardner serta rekan-rekannya tidak mengejar secara lebih terperinci peran perasaan dalam kecerdasan, mereka lebih memfokuskan pada pemahaman tentang perasaan dan dari sudut pandang bagaimana kognisi melihat emosi. Fokus ini barangkali secara tidak sengaja menyebabkan belum terjelajahinya lautan emosi yang begitu kaya dan yang membuat kehidupan batin dan hubungan-hubungan menjadi begitu kompleks.15 Sedangkan kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.16 Orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia. Mereka adalah pemimpin-pemimpin alamiah, orang yang mampu 14 15 16
Ibid., h. 53 Ibid., h. 53 Daniel Goleman, op. cit, h. 512
19
menyuarakan perasaan kolektif serta merumuskannya dengan jelas sebagai penduan bagi kelompok untuk meraih sasaran. Mereka adalah jenis orang yang disukai oleh orang disekitarnya karena secara emosional mereka menyenangkan. Mereka membuat orang lain merasa tenteram, dan
menimbulkan,
komentar,
“menyenangkan
sekali
bergaul
dengannya.”17 Dalam penelitian ini penulis memilih pada pendekatan yang digunakan oleh Daniel Goleman, yang lebih mengarah kepada peranan emosi dalam pembentukan kecerdasan emosional antara lain, kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
B. Kecakapan-kecakapan Utama Kecerdasan Emosional Dalam definisi yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer serta Daniel Goleman, disebutkan beberapa kemampuan utama yang harus dimiliki yang berhubungan
dengan
kecerdasan
emosional.
Kemampuan-kemampuan
tersebut mencakup lima wilayah utama kecerdasan emosional yaitu: 1. Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional. kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan berusaha menyadari emosinya ketika emosi itu menguasai dirinya. Melalui kesadaran diri tersebut, seseorang dapat mengetahui dan memahami emosinya. Namun kesadaran diri ini tidak berarti bahwa seseorang itu hanyut terbawa dalam arus emosinya tersebut sehingga suasana hati 17
Agus Efendi, op. cit., h. 172
20
itu menguasai dirinya sepenuhnya. Sebaliknya kesadaran diri adalah keadaan ketika seseorang dapat menyadari emosi yang sedang menghinggapi fikirannya akibat permasalahan-permasalahan yang dihadapi untuk selanjutnya ia dapat menguasainya. Orang yang keyakinannya lebih dan menguasai perasaannya dengan baik dapat diibaratkan pilot yang andal bagi kehidupannya, karena ia mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya.18 Kesadaran emosi dimulai dengan penyelarasan diri terhadap aliran perasaan yang terus ada dalam diri seseorang, kemudian mengenali bagaimana emosi-emosi ini membentuk persepsi, fikiran dan perbuatannya. Seseorang yang unggul dalam kecakapan ini selalu sadar tentang emosinya bahkan sering dapat mengenali kehadiran emosi-emosi
itu
mengartikulasikan
dan
merasakannya
perasaan-perasaan
secara itu,
fisik.
selain
Ia
dapat
menunjukkan
ekspresi sosialnya yang sesuai.19 2. Mengelola Emosi Diri Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Dengan kata lain pengendalian emosi oleh diri sendiri berarti berupaya untuk meredam atau menahan gejolak nafsu yang sedang berlaku agar emosi tidak terekspresikan secara berlebihan sehingga seseorang tidak sampai dikuasai sepenuhnya oleh arus emosinya. Namun demikian pengendalian emosi diri tidak berarti pengendalian secara berlebihan, sebab kendali diri yang berlebihan dapat mendatangkan kerugian baik fisik maupun mental. Orang yang 18 19
Daniel Goleman, op. cit., h. 58 Daniel Goleman,,ibid., h. 86
21
mematikan perasaannya, terutama perasaan negatif yang kuat, menyebabkan meningkatnya denyut jantung sekaligus naiknya tekanan darah. Mereka yang memendam emosi akan mendapatkan sejumlah kerugian. Mereka mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda yang kelihatan bahwa mereka sedang mengalami pembajakan emosi, tetapi sebagai gantinya mereka menderita kehancuran internal seperti; pusing-pusing, mudah tersinggung, terlalu banyak merokok dan minum, sulit tidur dan sebagainya. Dan mereka mempunyai resiko yang sama dengan mereka yang mudah meledak emosinya.20 Menangani perasaan agar dapat terungkapkan secara pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Emosi muncul secara tiba-tiba dan cepat sekali tanpa dapat kita duga. Misalnya, emosi marah akan menjadi aktif dan bertindak dengan cepat sekali tanpa kita duga, ketika mendapat rangsangan emosi seperti apabila hak kita dirampas, dicemooh orang ataupun ketika merasa disakiti baik secara fisik maupun psikis. Dalam situasi seperti ini orang mempunyai waktu yang sangat terbatas untuk dapat mengendalikan emosi
tersebut.
Semakin
cepat
ia
dapat
menentukan
dan
mengidentifikasi emosi ini maka akan semakin berpeluang untuk dapat mengendalikannya, sehingga emosi akan tersalurkan secara tepat, dan orang itu akan terhindar dari melampiaskan emosi ini secara berlebihan. Terdapat lima kemampuan utama yang berhubungan dengan pengaturan diri sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel Goleman yaitu: pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovatif.21
20 21
Daniel Goleman, op. cit., h. 129 Ibid., h. 130
22
3. Memotivasi Diri Sendiri Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis, dan keyakinan diri. Dalam salah satu definisi kecerdasan emosional di muka telah disebutkan
bahwa
kecerdasan
emosional
adalah
mengetahui
bagaimana untuk meraih dari emosi yang negatif menjadi positif. Dalam hal ini Motivasi diri adalah komponen utama untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan memotivasi emosi negatif yang sedang dirasakan. Melalui motivasi diri emosi negatif tersebut diarahkan kepada hal-hal yang baik. Emosi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan prestasi fikiran kognitif dengan cara-cara tertentu. Di antaranya adalah dengan cara menumbuhkan harapan dalam diri seseorang itu. Harapan, menurut penelitian modern, lebih bermanfaat daripada memberikan sedikit hiburan di tengah kesengsaraan..22 Apabila seseorang mempunyai harapan, maka segala kebimbangan, keputusasaan dan kesedihan yang dialami dapat diredakan karena segala masalah dapat diatasi. Segala pekerjaan yang diiringi dengan harapan akan dibantu perasaan gembira dan bersemangat untuk melaksanakannya. Dan orang yang memiliki harapan yang tinggi, menurut penemuan Snyder, memiliki ciri-ciri tertentu, di antaranya adalah mampu memotivasi diri, merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang menghadapi tahap sulit, cukup luwes untuk 22
Ibid.,h. 121
23
menemukan cara alternatif agar sasaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula musykil dicapai.23 Adapun yang termasuk dalam kecakapan motivasi diri yang diungkapkan oleh Daniel Goleman antara lain : Dorongan prestasi, Komitmen, Inisiatif dan Optimisme.24 4. Mengenali Emosi Orang Lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Daniel Goleman, kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orng lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Seseorang yang mau membaca emosi orang lain haruslah berempati. Empati berbeda dengan simpati. Simpati hanya sekedar memahami masalah atau perlakuan seseorang. Empati lebih dari itu, empati bukan hanya memahami masalah orang lain tetapi juga merasakan apa yang dirasakan orang tersebut. Misalnya, seseorang memahami masalah yang dihadapi temannya yang sedang tertimpa musibah, tetapi ia tidak ikut merasakan perasaan temannya, maka orang itu hanya bersimpati. Jika orang tersebut berempati terhadap temannya, maka ia tidak sekedar memahami masalah yang dihadapi temannya, tetapi meletakkan dirinya dalam kedudukan temannya untuk merasakan perasaan temannya itu. Rosenthal dalam openelitiannya menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca dan isyarat non verbal lebih mampu 23 24
Ibid., h. 120 Ibid., h. 127
24
membaca
perasaan
dan
isyarat
non
verbal
lebih
mampu
menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul dan lebih peka.25 Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.26 Kemampuan
empati
sangat
penting
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyalsinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Tanpa empati akan menyebabkan
seseorang
sulit
untuk
bergaul
dan
membina
persahabatan yang erat dengan orang lain. Namun empati atau memahami sudut pandang atau perspektif seseorang -tahu mengapa mereka merasakan demikian- tidak berarti kita juga harus mengalaminya.27 Setelah berempati barulah kita dapat membantu dengan cara yang lebih rasional dan positif. 5. Membina Hubungan dengan Orang Lain Kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan
suatu
keterampilan
yang
menunjang
popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.28 Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapat apa yang
25 26 27 28
Ibid., h. 136 Ibid., h. 172 Ibid., h. 232 Ibid., h. 59
25
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Keterampilan berhubungan dengan orang lain merupakan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan sesame. Tidak
dimilikinya
kecakapan
ini
akan
membawa
pada
ketidakcakapan dalam dunia sosial, atau berulangnya bencana antarpribadi. Karena tidak dimiliki keterampilan-keterampilan inilah, orang-orang yang paling pintar otaknya dapat gagal dalam membina hubungan mereka. Sebab, penampilan mereka angkuh, mengganggu, atau tidak berperasaan. Kemampuan sosial ini memungkinkan orang untuk membentuk hubungan, menggerakkan dan mengilhami orangorang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman.29 Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang yang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancer pada orang lain. Orang-orang ini popular dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
29
Ibid., h. 158-159
26
C. Karakteristik Perkembangan Kecerdasan Emosional Pada Anak Usia 6 Sampai 9 Tahun Peran kematangan emosi berkembang seiring dengan perkembangan intelektual anak, yang menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama dan memutuskan ketegangan emosi pada satu objek. Demikian pula dengan kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi lebih reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda. Kelenjar endokrin mempengaruhi kematangan perilaku emosional selama rentang kehidupan seseorang, sejak lahir sampai usia matang secara seksual. Pengaruh kelenjar ini membesar pada fase sampai anak berusia 5 tahun, kemudian pembesarannya melambat pada usia 5-11 tahun, dan membesar kembali bahkan lebih pesat sampai anak berusia 16 tahun. Pengaruhnya penting terhadap keadaan emosional pada masa kanakkanak.30 Beriikut adalah karakteristik perkembangan emosional anak khususnya dalam rentang 6-9 tahun. Hal ini disesuaikan dengan pembatasan pada penelitian ini. Pada masa ini anak sudah menyadari bahwa anak tidak dapat menyatakan dorongan dan emosinya begitu saja tanpa pertimbangan lingkungan. Anak mulai belajar mengungkapkan perasaannya dalam perilaku yang dapat diterima secara sosial. Tumbuhnya kesadaran ini bergantung dari bagaimana sikap orangtua dan pendidik dalam mengajarkan perilaku sosial pada anak. Melalui permainan dan olahraga dimungkinkan anak dapat mengeluarkan emosinya secara wajar. Dalam hal perkembangan sosial, keinginan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok makin besar. penerimaan oleh kelompok teman sebaya begitu berarti bagi anak. 30
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Terj. dari Developmental psicology, oleh. Istiwidayanti dan Soedjarwo, (Jakarta: Erlangga, 1998), h.213
27
Rentang usia 6-10 tahun merupakan masa kritis bagi anak-anak untuk mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa anak mampu berkarya dan bereksplorasi. Erik Erikson yang mengemukakan tentang perkembangan emosi, menyatakan bahwa anak-anak di usia ini memasuki masa Industry vs. Inferiory (berkarya/etos kerja vs. minder). Pada masa ini seharusnya anak terlihat antusias dalam belajar dan berimajinasi, sehingga mereka tumbuh dengan sikap ingin berkarya, bermotivasi tinggi dan beretos kerja. Sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri bahwa “aku bisa”, “aku kuat” atau “aku anak yang baik”, apabila ini tidak tumbuh, maka akan timbul perasaan rendah diri atau minder, seperti “aku gagal” atau “aku tidak dapat berkarya”. Usia ini anak paling kritis dalam membentuk kepribadian anak yang akan menentukan masa depannya. 31 Nurani mengemukakan tentang karakteristik perkembangan emosional anak usia 6-8 tahun, sebagai berikut: emosi cenderung meninggi bila anak sedang sakit atau lelah, misalnya cepat marah, rewel dan susah untuk dihadapi. Anak suka beradaptasi dengan pekerjaan orang dewasa, seperti membantu pekerjaan orangtuanya. Anak belajar membina persahabatan dengan anak lain. Menerima kelainan-kelainan pada teman dan menghargai akan kebutuhan-kebutuhannya. Menunjukkan rasa setia kawan yang besar terhadap teman sebayanya. Suka menolong dan membantu orang lain dalam kesusahan. Berperilaku sayang pada semua ciptaan Tuhan, karena pada usia ini kemapuan berempati sudah muncul. Menghargai pendapat orang lain saat berinteraksi.32 Pada usia sekolah ini anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh
31
Ratna Megawati, Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan, (Bogor: Indonesia heritage Foundation. 2004), h. 12 32 Yuliani Nuraini, kurikulum Alternatif Berbasis Kompetensi Anak Usia Dini, (Jakarta: Pusdiani Press, 2002), h. 82
28
karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh, apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila kebiasaan orangtua dalam mengepresikan emosinya kurang stabil atau kurang control (seperti: marah-marah, mudah mengeluh, kecewa dan pesimisdalam menghadapi masalah), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat.33 Menurut Aliah, anak pada usia tujuh sampai dua belas tahun menunjukkan keterampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih luas. Kecanggihan dalam memahami dan menunjukkan tempilan emosi yang sesuai dengan aturan sosial meningkat pada tahap ini. Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Anak lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial yang mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Berbagai faktor mempengaruhi keputusan perilaku, termasuk termasuk jenis emosi yang telah dialami, hubungan dengan orang yang melibatkan emosi, usia anak dan jenis kelamin. Anak juga sudah membentuk serangkaian harapan tentang hasil dari ekspresi emosinya kepada orang lain. Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada teman-temannya daripada orangtuanya. Karena mereka mengharap emosi negative dari teman-temannya, sepeti ejekan atau cemoohan. 33
Syamsu Yusuf, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rajawali, 2011), h. 63-64
29
Anak pada usia ini juga mendemonstrasikan keterampilan kognitif dan perilaku untuk mengatasi emosinya, seperti rasionalisasi atau kejadian yang tidak mereka sukai. Selama masa kanak-kanak pertengahan, anak mulai memahami keadaan emosi orang lain tidak sesederhana yang mereka perkirakan, dan seringkali merupakan hasil dari penyebab yang rumit dan terkadang tidak jelas. Mereka juga memahami bahasa sesorang mungkin merasakan lebih dari satu waktu, walaupun kemampuan ini terbatas dan berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih sering pada tahap ini. Anak dengan keluarga yang sering mendiskusikan kompleksitas emosi lebih siap menghadapi hal ini daripada keluarga yang biasa menghindarinya. Orangtua yang terbiasa memberikan aturan yang jelas dan lebih banyak memperhatikan oranglain, lebih dapat menghasilkan anak yang empatik daripada orangtua yang kasar dalam membatasi perilaku.34
D. Sasaran Kecerdasan Emosional Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu kecerdasan emosional perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Upaya penanaman kecerdasan emosional dapat dilakukan oleh orang tua dan para guru di sekolah dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, orang tua dan guru sebagai pendidik emosi harus mengetahui dan memahami sasaran-sasaran yang terkandung di dalam setiap kecakapan-kecakapan emosional. Dengan demikian, arah serta tujuannya akan menjadi jelas dan terancang. Adapun sasaran-sasaran di dalam lima komponen utama kecakapan emosional, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Goleman, adalah sebagai berikut
34
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi perkembangan Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 169-170
30
1. Kesadaran emosi diri : a. Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri. b. Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul. c. Mengenali perbedaan perasaan dan tindakan. 2. Mengelola emosi : a. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah. b. Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas. c. Lebih mampu memngungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi. d. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri. e. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga. f. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa. g. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan. 3. Memotivasi diri : a. Lebih bertanggung jawab. b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian. c. Kurang impulsif, lebih menguasai diri. 4. Empati (membaca emosi) : a. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain. b. Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. c. Lebih baik dalam mendengarkan orang lain. 5. Membina hubungan dengan orang lain : a. Meningkakan hubungan.
kemampuan
menganalisis
dan
memahami
31
b. Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan. c. Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan. d. Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi. e. Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya. f. Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya. g. Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa. h. Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok. i. Lebih suka berbagi rasa, bekerja keras,dan suka menolong. j. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.35 Sasaran-sasaran dalam lima komponen utama kecerdasan emosional itu jelas mengarah pada pembentukan kecerdasan emosional. Kecakapankecakapan tersebut tidak mudah diperoleh kecuali dengan adanya pendidikan dan pelatihan emosi sejak dini. Dan hal ini adalah tugas utama bagi orang tua dan para guru untuk mewujudkannya. Pendidikan emosi yang teratur dan terancang dengan baik akan dapat membina anak-anak untuk memiliki kecakapan-kecakapan emosional sebagaimana yang tersebut di atas. Salah satu cara untuk membentuk kecakapan-kecakapan ini pada anak-anak adalah dengan menggunakan cerita-cerita keteladanan, terutama cerita-cerita yang ada dalam Al-Quran yang begitu kaya akan hikmah dan pelajaran hidup. Pendekatan ini sangat baik digunakan oleh orang tua dan guru, diberikan kepada anak-anak atau murid-muridnya agar berhasil sebagai manusia yang seimbang perkembangan intelek, emosi dan rohaninya.
35
Daniel Goleman, op. cit., h. 403
BAB III KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN A. Pengertian Kisah Al-Quran 1. Pengertian Kisah Dalam percakapan sehari-hari seseorang sering mendengarkan katakata kisah. Ketika manusia mendengar kata kisah tersebut yang terlintas dalam fikirannya adalah suatu cerita yang berkenaan dengan suatu kejadian pada masa lampau tentang seseorang atau masyarakat tertentu. Kata “kisah” berasal dari akar kata “al-qassu” yang berarti mencari atau mengikuti jejak. Kata al-qasas adalah bentuk masdar. 1 Menurut alKhalidy al-qasas berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah). Kisah dengan arti-arti tersebut di atas, dipergunakan juga dalam Alquran, antara lain;
1
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi „ulumil Al-Quran, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996),
h. 305.
32
33
a) Al-qashash berarti mengikuti jejak sebagaimana firman Allah SWT.
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahfi: 64)
Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia". (Al-Qashash: 11) b) Al-qashash berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah), seperti dalam surat Ali Imran ayat 62 dan surat Al-Qashash ayat 25 dan surat Yusuf ayat 3.
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar…”(Ali Imran: 62)
“Maka
tatkala
Musa
mendatangi
bapaknya
(Syu'aib)
dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut.” (Al-Qashash: 25) Secara terminologi kisah dalam kesusteraan bahasa Indonesia atau Melayu dapat diartikan dengan cerita, penuturan tentang suatu peristiwa, suatu kejadian atau seseorang.2 Pada tataran terminologi ini para pakar dan ulama pun banyak sekali memberikan defenisi tentang pengertian kisah ini diantaranya menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebutkan kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau imajinatif, sesuai 2
AG Pringgo Digdo dan Hasan Syadily, Ensiklopedi Umun, (Yogyakarta: Ofset Kanissus, 1997), h. 567
34
dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu episode atau episode demi episode. Al-Quran tidak selalu menggunakan kata tersebut dalam arti mengisahkan satu kisah, tetapi ia juga digunakan dalam arti memberi tuntutan, baik tuntutan tersebut merupakan kisah maupun hanya pesan singkat.3 Adapun Muhammad Khalafullah mendefinisikan kisah sebagai suatu karya kesusastraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada, atau dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa-peristiwa itu terjadi atas diri pelaku, tetapi dalam kisah tersebut disusun atas dasar seni yang indah, di mana sebagian peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dibuang, atau terhadap peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali”.4 Selain itu, Al-Syiba’i al-Bayumi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kisah adalah setiap tulisan yang bersifat kesusasteraan dan indah. Yang keluar dari seorang penulis dengan maksud untuk menggambarkan suatu keadaan tertentu dengan suatu cara dimana penulis melepaskan diri dari perasaan dan pikirannya, sehingga pribadinya tercermin dalam penggambaran itu yang dapat mengadakan dari orang lain yang mempunyai tulisan yang sama.5 Dari beberapa definisi mengenai kisah di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan kisah adalah sebuah cerita atau peristiwa yang telah terjadi pada masa sebelumnya mengenai perubahan 3
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah vol 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 363 A. Hanafi. MA., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al-Qur‟an, 0(Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 14. 5 AG Pringgo Digdo dan Hasan Syadily, op.cit., h. 567 4
35
alam ataupun kehidupan manusia baik bersumber dari ucapan turun temurun maupun tulisan-tulisan yang ditemukan dari generasi ke generasi. 2. Pengertian Kisah Al-Quran Al-Quran banyak sekali memuat keterangan-keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri, dan peninggalan atau jejak setiap umat. Semua keadaan ini diceritakan dan disampaikan dengan cara yang menarik dan mempesona para pembaca maupun pendengarannya. Untuk itu semua ini Al-Quran memaknai istilah kisah Al-Quran. Manna Al-Qattan dalam bukunya Studi ilmu-ilmu Al-Quran menyatakan bahwa Qasas Al-Quran adalah pemberitaan Al-Quran tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.6 Hasby al-Shiddieqy juga memberikan definisi yang tidak jauh berbeda, bahwa yang dimaksud dengan Qasasul Quran ialah kabar-kabar Al-Quran tentang keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa terdahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Quran melengkapi tentang keterangan peristiwaperistiwa yang telah terjadi, keadaan negeri-negeri serta menerangkan bekas-bekas dari kaum terdahulu tersebut.7 Dari definisi yang telah diberikan oleh pakar-pakar ilmu Al-Quran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kisah AlQuran adalah kabar atau keterangan tentang hal dan ihwal umat atau suatu komunitas yang telah lalu ataupun yang akan datang, yang menjadi gambaran sebuah peristiwa, untuk dapat mengambil manfaat dan
6
Manna’ Al-Qaththan, Ibid, h. 305. Hasby Al-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran Media Pokok Dalam Penafsiran Al-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), cet.1, h. 176 7
36
pelajaran bagi generasi yang akan datang. Semua ini disampaikan dengan gaya bahasa khas dan khusus sehingga dapat menarik perhatian. B. Macam-Macam Kisah Dalam Al-Quran Di dalam Alquran banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari Alquran dapat diketahui beberapa kisah yang pernah dialami oleh orang-orang terdahulu. Al-Quran juga telah menceritakan beberapa peristiwa yang terjadi di zaman Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad Saw. Di samping itu kisah selain nabi, seperti kisah tentang orang-orang Yahudi, Majusi dan Nasrani serta kisah orang mukmin dan musyrik juga banyak dimuat dalam Alquran. Untuk mengungkap macam-macam kisah dalam Alquran, terdapat tiga pendekatan antara lain: 1) Tinjauan waktu (timing) Ditinjau dari segi waktunya, kisah-kisah dalam Alquran dapat di kategorikan dalam tiga bagian yaitu: a) Kisah-kisah gaib tentang masa lampau, Contohnya: 1) Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah di bumi sebagaimana dijelaskan dalam QS AlBaqarah: 30-34. 2) Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana terdapat dalam QS Al- Furqan: 59., Qaf: 38. 3) Kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di syurga sebagaimana terdapat dalam QS Al-A’raf: 11-25. b) Kisah tentang hal gaib yang terjadi masa kini, Contohnya : 1) Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam lailatul Qadar seperti diungkapkan dalam QS Al-Qadar:1-5.
37
2) Kisah-kisah tentang kehidupan makhluk-makhluk gaib seperti setan, jin atau iblis seperti diungkapkan dalam QS Al-A’raf: 1314. 3) Kisah hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang, contohnya: a. Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti dijelaskan dalam Alquran surat Al-Qari’ah, surat Al-Zalzalah dan lainnya. b. Kisah tentang Abi Lahab kelak di akhirat seperti diungkapkan dalam surat Al-Lahab. c. Kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan orang-orang yang hidup di dalam neraka seperti diungkapkan dalam Alquran surat Al-Ghasyiah dan lainnya. 8 4) Pendekatan kedua, dari sudut isi (matter), setidaknya untuk pendekatan ini terbagi menjadi tiga bagian juga yaitu: a)
Kisah-kisah yang menyangkut para rasul dan para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang
memperkuat
dakwahnya,
sikap
orang-orang
yang
memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya; kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa dan sebagainya. b) Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang-orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah talut dan jalut, dua orang putra Nabi Adam, penghuni gua, Zulkarnain,
8
Ahmad Syadali, Ulumul Al-Quran II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 28.
38
Qarun, Ashabus Sabti, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan Ashabul Fil dan sebagainya. c)
Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surat AtTaubah, perang akhzab dalam surat Al-Ahzab, hijrah, isra’, dan lain sebagainya. 9
5) Dari segi jenisnya, kisah-kisah Alquran terbagi menjadi dua macam yaitu: a) Kisah yang dibawa oleh Alquran. Kisah ini terdiri dari kisah tentang para nabi dan rasul terdahulu berikut sikap dan kesabarannya menghadapi aneka ragam tanggapan dan tingkah laku kaumnya. Para nabi dan rasul itu didustakan dan disakiti oleh kaum yang menentang, tetapi pada akhirnya mereka memperoleh kemenangan atas izin Allah, dan kaum kafir itu mendapatkan siksaan karena perbuatannya sendiri. Dengan kisah semacam ini, dimaksudkan oleh Allah agar Nabi Muhammad Saw. memiliki keteguhan hati dalam mengajarkan agama Islam. b) Kisah yang mengundang turunnya Alquran. Kisah ini berisi kasuskasus, fenomena-fenomena, masalah-masalah dan problem-problem yang mendapat tanggapan Alquran, baik tanggapan positif seperti pelajaran,
pengarahan,
maupun
tanggapan
negatif
seperti
pengungkapan rahasia kejahatan, kekufuran, kemunafikan dan lain sebagainya. Kisah jenis kedua inilah yang oleh para ahli ilmu-ilmu Alquran diistilahkan sebagai Asbabun Nuzul. 10
9
Manna’ Al-Qaththan., op.cit., h. 306 Ahmad Muhammad Jamal, Koreksi Al-Quran Terhadap Ummat, (Alih bahasa; Jamaluddin Kafie), (Jakarta: Media Da’wah, tt), h. 1. 10
39
C. Kisah-Kisah Nabi Dalam Al-Quran Kisah para Nabi merupakan kisah yang mengandung dakwah Nabi kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang
yang
memusuhinya,
tahapan-tahapan
dakwah
dan
perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad dan Nabi-nabi serta Rasul lainnya.
11
Untuk membatasi kisah-kisah para Nabi, maka penulis membatasi
pada tiga kisah yaitu, kisah dua anak Nabi Adam as., kisah kelahiran Nabi Nuh as. dan kisah Nabi Musa as. Berikut kisah-kisahnya: 1. Kisah Dua Putra Nabi Adam: Qabil dan Habil Kisah mengenai kedua Putra Nabi Adam as. merupakan kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan diambil melalui pendekatan tafsir maudhu’i. Sedangkan dalam segi macamnya, kisah dua putra Nabi Adam as. termasuk ke dalam macam yang ditinjau dari sudut isi, yakni kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Para ulama sepakat. Sejak diturunkan ke bumi, istri Adam as. yakni Hawa melahirkan anak-anak Adam as. sebanyak 20 kali. Namun, setiap kelahiran selalu kembar putra dan putri. Dan diantara sekian banyak anak adam, terdapat kisah yang menjadi awal mula pembunuhan di muka bumi. Pembunuhan itu dilakukan oleh Qabil terhadap adiknya yang bernama Habil. Nabi Adam as. menikahkan Qabil dengan kembaran Habil, begitu juga sebaliknya. Namun Qabil menolak karena dia merasa lebih tua daripada Habil dan kembarannya lahir bersama dirinya. 12
11
Manna’ Khalil Al-Qaththan, Ibid, h. 436 Syahruddin El Fikri, Situs-Situs Dalam Al-Quran (Dari Banjir Hingga Bukit Tursina), (Jakarta: Republika, 2010), h. 34 12
40
Nabi Adam memerintahkan keduanya untuk berkorban, siapa yang korbannya diterima oleh Allah SWT maka dialah yang berhak atas saudara sekelahiran dengan Qabil. Akhirnya Allah menerima kurban Habil. Maka terjadilah Qabil membunuh saudaranya (Habil).13 Allah Ta’ala berfirman,
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".(Q.S. Al-Maidah ayat 27)14 Hal ini dijelaskan pula dalam hadis shohih:
Tidaklah jiwa seorang dibunuh secara aniyaya kecuali atas putra Adam yang pertama menanggung darahnya, karena sesungguhnya ia orang pertama yang mengadakan peraturan pembunuhan. Ucapan Habil ketika diancam dibunuh oleh saudaranya (Qabil):
13
Muhammad Ali ash Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, Terj. Dari an Nubuwwah wal Anbiya‟oleh Arifin Jamian Maun, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h. 199 14 Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2008), Cet. 10, h. 112 15 Muhammad Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Shohih Bukhori, (Beirut: Dar al-Hadist, 1987), juz. 3, h. 1213
41
Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. (Q.S. Al-Maidah ayat 28)16 Menunjukkan akhlak mulia yang dimiliki Habil, serta rasa takutnya kepada Allah SWT, dan enggan membalas saudaranya itu dengan keburukan serupa. Firman Allah SWT,
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-Maidah ayat 29-30)17 Syaikh Salim bin Ied menjelaskan bahwa Habil tidak ingin membunuh Qabil, meskipun ia lebih perkasa dan kuat dari pada Qabil. Jika Qabil bersikeras membunuh Habil maka ia akan menanggung dosa setiap
16 17
Depag RI, op. cit., h. 112 Ibid., h. 113
42
pembunuhan sebelumnya.
dan
dosa-dosanya
sendiri
yang
pernah
dilakukan
18
firman Allah SWT:
kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.( Q.S. AlMaidah ayat 31)19 Sebagian ulama menyebutkan bahwasanya setelah Qabil membunuh saudaranya (Habil), ia menggendongnya diatas punggungnya. Dan terus menggendongnya sehingga Allah mengirimkan dua ekor burung gagak, lalu kedua burung itu saling bertengkar dan akhirnya salah satunya berhasil membunuh yang lainnya. Setelah membunuh saudaranya, burung gagak itu turun ke tanah dan menggalinya untuk mengguburkan saudaranya itu. Dan Akhirnya Qabil melakukan apa yang dilakukan oleh burung gagak tersebut, menggali tanah dan menguburkannya dalam lubang tersebut.20 Kisah antara Habil dan Qobil di atas merupakan sebuah contoh tokoh yang memiliki sifat baik dan buruk. Keburukan atau kejahatan yang dilakukan oleh Qobil terhadap Habil yang baik telah merugikan 18
Salim bin Ied Hilali, Kisah Shahih Para Nabi,Terj dari Shahiih Qishashil Anbiya‟ oleh M. Abdul Goffar, ( Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009), h. 69 19 Depag RI. Loc. Cit. 20 Salim, op. cit., h. 72-73
43
dirinya sendiri. Ia tidak hanya merugi di dunia, tetapi juga merugi di akhirat. Karena perbuatan buruk akan dibalas dengan keburukan, begitupun perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan oleh Allah SWT.
2. Kisah Nabi Nuh as. Kisah mengenai Nabi Nuh as. merupakan kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan diambil melalui pendekatan tafsir maudhu’i. Sedangkan dalam segi macamnya, kisah mengenai Nabi Nuh as. ini termasuk ke dalam macam yang ditinjau dari segi jenisnya, yakni jenis kisah yang dibawa oleh Al-Quran. Kisah ini menceritakan tentang Nabi dan Rasul terdahulu berikut sikap dan kesabarannya menghadapi aneka ragam tanggapan dan tingkah laku kaumnya. Nabi dan Rasul tersebut telah didustakan dan disakiti oleh kaum yang menentang, tetapi pada akhirnya ia memperoleh kemenangan atas izin Allah, dan kaum kafir itu mendapatkan siksaan karena perbuatannya sendiri. Nabi Nuh as. diutus Allah SWT untuk mengajak kaumnya menyembah Allah SWT. Dan selama kurang lebih 950 tahun. Syahruddin menyatakan, dakwah Nabi Nuh as. yang panjang (tiga generasi kaumnya) itu hanya mendapat pengikut sebanyak 70 orang dan delapan anggota keluarganya.21 Firman Allah SWT:
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Ankabut ayat 14) 21
Syahruddin, op.cit. h. 50
44
Firman Allah SWT:
… … dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.(Q.S. Huud ayat 40) Dan di dalam sektor yang lain, Nabi Nuh as. selalu memperoleh kesakitan-kesakitan dari kaumnya..22 Firman Allah SWT:
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar…(Q.S. al-Ahqaf ayat 35) Setiap pergantian generasi berlangsung, mereka senantiasa berpesan kepada generasi penerus mereka agar tidak beriman kepada Nabi Nuh as. dan supaya melawan dan melanggarnya. Ciri khas mereka adalah senantiasa menolak iman dan enggan mengikuti kebenaran. Oleh karena itu Allah berfirman:23
Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma'siat lagi sangat kafir.(Q.S. Nuh ayat 27) Karena itu pula, Allah berfirman:
22 23
Muhammad, op. cit., h. 220 Salim, op. cit., h. 130
45
Mereka berkata "Hai Nuh, Sesungguhnya kamu telah berbantah dengan Kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap Kami, Maka datangkanlah kepada Kami azab yang kamu ancamkan kepada Kami, jika kamu Termasuk orang-orang yang benar". Nuh menjawab: "Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri.(Q.S. Hud ayat 32-33) Syaikh Salim bin Ied al-Hilali menjelaskan bahwa yang mampu melakukan itu hanya Allah SWT. Tidak akan ada sesuatu pun yang lepas dari-Nya.24 Setelah berdakwah siang malam namun kaumnya tak juga mau menerima kehadirannya sebagai utusan Allah SWT. Maka Nabi Nuh as. berdoa agar kaumnya yang suka membangkang diberikan peringatan agar mereka mau menyembah Allah SWT. Allah memerintahkan untuk membuat kapal sebagai persiapan bila siksa Allah berupa banjir telah datang.25
24 25
Ibid. Syahruddin, loc. Cit.
46
Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (Q.S Hud ayat 36-37)26 Nabi Nuh as. juga diperintahkan untuk membawa binatang dan semua makhluk hidup dengan pasangan mereka masing-masing. Selain itu Nabi Nuh as. juga diperintahkan untuk mebawa keluarganya, kecuali yang sudah didakwahi tetapi tetap kafir. Dan juga diperintahkan agar tidak meminta penangguhan lagi bagi kaumnya jika mereka telah tertimpa oleh adzab.27 Firman Allah SWT:
Lalu Kami wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, Maka apabila perintah Kami telah datang dan tanur (permukaan bumi) telah memancarkan air, Maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim, karena Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.(Q.S. al-Mu’minun:27) Firman Allah SWT:
26 27
Depag RI, op. cit., h.225 Salim, op. cit., h. 139
47
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama Kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang". dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; Maka jadilah anak itu Termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Q.S. Hud: 42-43) Dijelaskan oleh syaikh Salim bin Ied bahwa putera Nabi Nuh as. yang bernama Qan’an adalah seorang yang kafir dan tidak pernah berbuat amal shalih. Ia menentang agama dan pendapat ayahnya, sehingga dia pun binasa bersama orang-orang yang binasa. Namun demikian, banyak dari mereka yang bukan keluarga Nabi Nuh as. yang selamat, karena mereka sepaham dan seagama dengannya.28 Kisah mengenai Nabi Nuh as. diatas terdapat sebuah nilai yang sangat berharga, yakni bahwa ia memiliki kesabaran yang besar dalam berdakwah. Meskipun berdakwah selama ratusan tahun dengan hanya mendapatkan 80 orang yang mau beriman serta mengikutinya, dan selalu mendapat ejekan dari kaumnya yang membangkang, ia tetap sabar dalam menghadapinya. Begitu pun terhadap keluarganya yang tidak mau
28
Salim, op. cit., h. 145
48
mengikutinya, ia tetap berusaha membujuk serta mengajaknya untuk beriman kepada Allah SWT. 3. Kisah Kelahiran Nabi Musa as. Kisah mengenai Nabi Musa as. merupakan kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan diambil melalui pendekatan tafsir maudhu’i. Sedangkan dalam segi macamnya, kisah Nabi Musa as. ini merupakan macam kisah yang ditinjau dari sudut isinya, yakni kisah yang menyangkut seorang Nabi atau Rasul. Kisah ini mengandung dakwahnya kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orangorang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakannya. Nabi Musa as. dilahirkan di zaman tagut, yakni pada zaman Fir’aun yang sombong dan memusuhi Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Qhashas ayat 4
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S. AlQhashas ayat 4)29 Syaikh Salim bin Ied menjelaskan bahwa Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang, lebih mengutamakan kehidupan dunia dan menolak 29
Depag RI, op. cit., h. 385
49
berbuat taat kepada Allah SWT. Fir’aun membagi rakyatnya menjadi beberapa kelompok, dia juga menindas satu kelompok dari mereka yaitu Bani Israil yang termasuk dalam garis silsilah Nabi Ya’kub.30 Di ayat tersebut Syaikh Salim bin Ied menjelaskan bahwa Fir’aun berusaha keras dan mati-matian agar Nabi Musa as.tidak lahir ke dunia, bahkan dia mengutus beberapa orang dan kabilah untuk mencari wanitawanita yang sedang hamil dan mendata waktu kelahirannya, sehingga tidak ada seorang wanita pun yang melahirkan anak laki-laki melainkan akan dibunuh. Oleh karena itu ibunda Nabi Musa as. mendapatkan ilham.31 Seperti dalam Al-Quran surah Al-Qhashas ayat 7-9:
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para rasul. Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya Dia menja- di musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Ha-man beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah isteri Fir'aun: "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. janganlah kamu 30 31
Salim, op.cit. h. 25 Ibid., h. 27
50
membunuhnya, Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak", sedang mereka tiada menyadari.32 Ayat diatas menunjukkan janji Allah SWT yang akan mengembalikan Nabi Musa as. ke pangkuan ibunya. Ibunda Nabi Musa as. melakukan perintah Allah dengan meletakkannya di peti, lalu menghanyutkannya. Hingga akhirnya melewati tempat tinggal Fir’aun, dan keluarga Fir’aun memungutnya. Sebagian ulama mengatakan huruf laam pada ayat
(maka pungutlah dia) menunjukkan laam al’aaqibah yang berarti bergantung pada kandungan pembicaraan, bahwa keluarga Fir’aun memungut bayi yaitu nabi Musa. Para ahli tafsir menyebutkan bahwa para budak perempuan Fir’aun telah memungut Nabi Musa as. Namun mereka tidak berani membukanya, hingga mereka meletakkannya dihadapan istri
Fir’aun yang bernama
Asiyah binti Muzahim. Setelah Nabi Musa as. tinggal dirumah Fir’aun, wanita-wanita didekat dekat Fir’aun ingin menyusuinya, tetapi Nabi Musa as. menolak dan tidak mau makan. Kemudian Nabi Musa as. dibawa ke pasar, untuk mendapatkan wanita yang tepat untuk menyusuinya.33 Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah surat al-Qhashas ayat 12:
Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; Maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan
32 33
Depag RI, ibid., h. 386 Salim, op.cit. h. 36
51
memeliharanya kepadanya?".34
untukmu
dan
mereka
dapat
Berlaku
baik
Ibnu Abbas mengatakan: setelah saudara perempuan Nabi Musa as. berkata “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat Berlaku baik kepadanya?” maka mereka berkata: Dari mana kamu tahu kalau mereka akan memelihara dan berlaku baik terhadapnya? Saudara perempuan itu pun menjawab: “ mereka hanya ingin membahagiakan raja dan mengharap kebaikannya.” Dan Nabi Musa as. dibawa kerumah Ibunya dan langsung meminum susunya. Firman Allah SWT surat al-Qhashas ayat 13:
Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.35 Ayat diatas menunjukkan janji Allah untuk mengembalikan Nabi Musa as. disisi Ibunya dan mengangkatnya sebagai Rasul.
D. Manfaat Kisah-Kisah Al-Quran Mengenai manfaat dari kisah-kisah Al-Quran, antara lain, a)
Orang tua dapat mengenalkan figur manusia-manusia yang terbaik, yaitu para nabi.
b)
Menghindarkan anak dari bersikap seperti tokoh manusia yang tidak baik, seperti Qabil.
34 35
Depag RI, op. cit., h. 386 Ibid
52
Dengan
demikian,
anak-anak
akan
terangsang
untuk
mengidetifikasikan dirinya sesuai dengan perilaku figur merekaatau bukan. Di samping itu terdapat beberapa kegunaan yang lain dari aktivitas berkisah di lingkungan keluarga sebagaimana yang diungkapkan oleh Nunu Achdiyat di antaranya adalah; a) Membantu pengajaran Al-Quran. b) Membantu pembentukan watak dasar. c) Membantu terciptanya hubungan harmonis. Manna’ Al Qathan juga menyebutkan faedah mempelajari kisahkisah dalam Al-Quran : a) Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para Nabi. b) Memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang kebenaran dan para pendukung Nabi serta hancurnya kebathilan dan para pembelanya. c) Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan ketenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya. d) Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi Di samping itu, kisah perlu dilaksanakan dalam sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, karena hal ini mempunyai beberapa kegunaan di antaranya adalah: a) Membantu minat anak terhadap sejarah. b) Membantu anak bersikap ilmiah berdasarkan keimanan.36
36
Nunu Achdiat, Seni Berkisah; Memandu Anak Memahami Al-Quran, h. 75-77
53
Pengajaran melalui kisah-kisah dapat dilakukan dengan memutar media
ataupun
dengan
menggunakan
gambar-gambar,
sehingga
memudahkan sang anak mengimajinasikan cerita. Mengajar melalui kisah dalam Al-Quran lebih efektif karena dapat sekaligus mengajarkan dan mengajak mereka untuk lebih mempercayai kitab suci Al-Quran yang telah diturunkan oleh Allah swt. Serta dapat menumbuhkembangkan keimanan pada diri anak sejak dini. Kisah yang diambil dari Al-Quran adalah sebaik-baik kisah yang harus diajarkan kepada anak-anak.
BAB IV ANALISIS KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL PADA PERKEMBANGAN ANAK USIA 6–9 TAHUN
A. Aspek-aspek Kemahiran Kecerdasan Emosional Pada Perkembangan Anak Usia 6 – 9 Tahun Melalui Kisah-kisah dalam Al-Quran 1. KemahiranMengenaliEmosiDiri a. Emosi Qabil terhadap Habil
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkataHabil: "Sesungguhnya Allah
54
55
hanyamenerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".(Q.S. AlMaidah ayat 27)1 Ayat ini merupakan sebuah peringatan dari Allah bahwa kezhaliman dan pelanggaran janji yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi adalah sama dengan kezhaliman yang dilakukan seorang putra Adam terhadap saudaranya. Makna ayat di atas adalah, jika orang-orang Yahudi itu hendak membunuhmu wahai Muhammad, maka sesungguhnya mereka telah membunuh para nabi sebelum kamu, dan Qabil pun membunuh Habil. Kejahatan itu, telah ada sejak dahulu kala. Yakni, kisah ini mengingatkan kepada mereka.2 Kedua putra Adam as., yakni Qabil dan Habil berkurban kepada Allah. Kurban Qabil adalah segenggam sunbulah (benih) – sebab dia adalah seorang petani – yang dipilihnya dari tanamannya yang paling jelek. Dia kemudian menemukan sunbulah yang baik, namun dia justru memecahkannya dan memakannya. Sedangkan kurban Habil adalah seekor Kibasy – sebab dia adalah seorang peternak kambing – yang diambilnya dari kambingnya yang paling baik. “maka diterima” (kurban Habil) dan kambing itu pun diangkat ke surga. Ketika kurban Habil diterima, sebab dia adalah orang yang beriman, maka Qabil pun berkata kepadanya karena perasaan Hasud – sebab dia adalah orang yang kafir, “Akankah engkau berjalan di muka bumi dimana manusia melihatmu lebih baik dariku? membunuhmu!”.
Habil
berkata,
“Mengapa
„Aku pasti engkau
akan
membunuhku, sementara aku tidak melakukan kesalahan apapun? Aku juga tidak berdosa bila Allah menerima kurbanku. Adapun (karena) aku bertakwa kepada Allah dan menetapi kebenaran,
1
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2008), Cet. X, h. 112 2 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi Juz VI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 319320
56
sesungguhnya Allah itu hanya akan menerima (kurban) dari orangorang yang bertakwa”.3 Kisah di atas menunjukkan emosi yang tidak mencerminkan pribadi yang baik bagi seorang anak. Anak 6 sampai 9 tahun akan mengenali dan merasakan emosi dari masing-masing perilaku Qabil dan Habil. Anak yang tidak dapat mengenali emosi dirinya maka akan seperti Qabil yang langsung marah ketika kurban yang diberikannya tidak diterima Allah. SWT. Anak usia 6 – 9 tahun yang memiliki emosi yang baik adalah anak yang dapat mengendalikan emosinya tersebut tatkala berada pada kondisi apapun, sebagaimana kisah tersebut menggambarkan sebuah pertikaian dengan saudara kandungnya sendiri dikarenakan tidak dapat mengalahkan emosi yang muncul pada suatu masalah tertentu. b. Emosi Fir‟aun terhadap penduduknya
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. SesungguhnyaFir'aunTermasuk orang-orang yang berbuatkerusakan.(Q.S. Al-Qhashasayat 4) Ayat ini menyatakan, Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenangwenang di muka bumi baik terhadap Allah dengan mengakui dirinya sebagai tuhan, dan juga kepada manusia dengan menjadikan penduduk negeri Mesir yang dikuasai-nyaberpecah belah menjadi dua kelompok besar. Pertama, masyarakat Mesir dan kedua, masyarakat Bani Isra‟il. Kesewenang-wenangan itu antara lain dengan menindas segolongan 3
Syaikh Imam Al Qurthubi,ibid., h. 320-324
57
dari mereka yakni golongan Bani Isra‟il, dengan menyembelih secara kejam dan dalam jumlah yang banyak anak laki-laki merekadan membiarkan hidup sambil mempermalukan perempuan-perempuan mereka. Sesungguhnya dia, yakni Fir‟aun adalah salah seorang yang termasuk kelompok para perusak, yang telah mendarah daging lagi membudaya secara mantap sifat buruk dalam kepribadiannya.4 Kisah Fir‟aun di atas menggambarkan sebuah emosi yang tidak baik bagi rakyatnya ataupun orang lain yang hidup bersamanya. Anak akan mengenali emosi Fir‟aun yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya karena egois mementingkan kehidupan dunia dibandingkan beriman kepada Allah. SWT. emosi tersebut merupakan emosi yang negatif atau buruk dan tidak patut ditiru.Sebagaimana halnya emosi anak usia 6 – 9 tahun terhadap teman-temannya, baik di sekolah maupun
di
lingkungan
bermain
di
sekitarnya,
harus
dapat
menunjukkan emosi yang baik dengan tidak merugikan atau melukai jasmani maupun rohani temannya sendiri.
c. Emosi Nabi Nuh as. terhadap kaumnya
SesungguhnyajikaEngkaubiarkanmerekatinggal, niscayamerekaakanmenyesatkanhamba-hamba-Mu, danmerekatidakakanmelahirkanselainanak berbuatma'siatlagisangatkafir.(Q.S. Nuhayat 27)
yang
Ayat diatas menjelaskan emosi Nabi Nuh as. terhadap kaumnya merupakan sebuah gambaran tentang pelaksanaan perintah Allah dalam memisahkan kaumnya yang beriman dengan yang kafir. Begitu pun pada diri anak usia 6 – 9 tahun harus memiliki emosi untuk dapat memilih teman bermain atau bergaul. Karena emosi memilih teman bermain atau bergaul dapat menentukan baik atau buruknya perkembangan anak tersebut. 4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 304
58
Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam mengenali emosi diri diantaranya adalah: a) Mampu memperbaiki dalam mengenali dan merasakam emosi sendiri. b) Mampu mengenali emosinya dan pengaruhnya. c) Mampu bersifat optimis. Adapun cara dalam penyampaian kisah pada aspek kemahiran ini yang harus ditekankan adalah dari segi intonasi suara, ekspresi dan nasehat pada akhir cerita.5 Kisah-kisah mengenai pengenalan emosi pada anak seusia itu akan terfokus jika disampaikan dengan ekspresi tertentu seperti ekspresi ketika marah, sedih, dan lain sebagainya. Selain itu, gerak anggota tubuh juga dapat
membuat anak merasakan seperti
kisah yang sedang terjadi. Karena sebuah ekspresi dan gerak tubuh dalam hal menyampaikan akan mengantarkan pikiran anak tersebut menjadi sesuatu yang menarik. Dan dengan memberikan nasehat akan membuat anak lebih memahami hikmah dari kisah-kisah yang disampaikan.Selainitudapatdilakukandenganmemutar
media
ataupunmenggunakangambar-gambar, sehinggamemudahkananakmengimajinasikancerita.
2. KemahiranMengelola EmosiDiri a. Ketakwaan Habil kepada Allah
Sungguhkalaukamumenggerakkantanganmukepadakuuntukmembunuh ku, akusekali-kali tidakakanmenggerakkantangankukepadamuuntukmembunuhmu.
5
Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, Teknik Bercerita, (Yogyakarta : PT. Kurnia Kalam Semesta, 2010), Cet. Ke-3, h. 38
59
Sesungguhnyaakutakutkepada Allah, Tuhanserusekalianalam. (Q.S. Al-Maidah ayat 28)6 Firman Allah ta‟ala, “sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku”, yakni, jika engkau bermaksud untuk membunuhku, maka aku tidak bermaksud membunuhmu. Ini merupakan kepasrahan dari Habil. Dalam hadits dinyatakan: “Jika fitnah meletus, maka jadilah engkau seperti orang yang terbaik dari dua putra Adam as.”. Makna dari firman Allah tersebut adalah, aku tidak bermaksud membunuhmu, akan tetapi aku bermaksud untuk membela diri (karena Habil lebih kuat dari padanya). Berdasarkan pendapat ini dikatakan, Habil sedang tidur, lalu Qabil datang dan memukul kepalanya dengan batu. Kemudian sebelum di akhir hayatnya, Habil berkata kepadanya, aku tidak akan berbuat zhalim, sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan seru sekalian alam.7 Kisah Habil di atas menggambarkan sebuah pengelolaan emosi yang baik dengan tidak merubah keyakinan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Seorang anak usia 6 – 9 tahun yang memiliki pengaturan diri yang baik seperti yang dilukiskan Habil di atas, akan mampu mengelola emosinya ketika mendapatkan suatu ancaman sehingga mampu mengungkapkan emosi dengan tepat tanpa harus berkelahi yang dapat merusak diri sendiri. Dengan mengelola emosi dengan baik anak akan mempunyai sebuah komitmen yang kuat untuk selalu berbuat baik yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kedua orangtuanya, saudara-saudaranya, orang lain yang hidup disekitarnya, serta untuk agama atau Tuhannya.
b. Keteguhan hati Ibu Nabi Musa as. 6
Depag RI, op. cit., h. 112 Syaikh Imam Al Qurthubi,op.cit., 325-327
7
60
Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya kami tidak teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). (Al-Qashash ayat 10) Ayat di atas menguraikan keadaan ibu Nabi Musa as. yang anaknya berada di istana Fir‟aun. Ayat ini pula menyatakan, Dan menjadilah hati ibu Musa kosong dari segala yang merisaukannya – setelah Allah meneguhkan hatinya, sesungguhnya dia akibat kekhawaitannya yang sangat mendalam – hampir saja menyatakannya, yakni mengakui rahasia yang dipendamnya tentang Musa. Seandainya tidak Kami ikat yakni teguhkan hatinya, pastilah dia mengakui bahwa anak yang dipungut Fir‟aun itu adalah anak kandungnya. Peneguhan itu Kami lakukan supaya ia termasuk orang-orang makmin yang mempercayai janji-janji Allah SWT.8 Kisah Ibu Nabi Musa as. di atas mencerminkan seseorang yang dapat menjaga amanah dengan baik, yakni dengan tidak membuka rahasia meski hal tersebut berkaitan dengan anak kandungnya sendiri. Anak usia 6 – 9 tahun yang telah mahir dalam mengelola emosinya adalah anak yang dapat menjaga amanah yang telah diberikan kepadanya tanpa mengurangi sedikitpun dari apa yang telah diamanahkannya tersebut. Ia telah dapat bertekad untuk tidak merubah keteguhan hatinya meskipun datang sesuatu yang hendak mengganggu hati dan pikirannya.
c. Kesabaran Nabi Nuh as. dalam berdakwah 8
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 314
61
Makabersabarlahkamuseperti orang-orang yang mempunyaiketeguhanhatidariRasul-rasultelahbersabar…(Q.S. alAhqafayat 35) Nuh as. adalah salah satu dari lima rasul yang mendapat gelar ulul azmi. Kaitan dengan ayat diatas ditujukan kepada Nabi Muhammad untuk bersabar dalam menghadapi kaumnya. Pada kata ْ“ فَبصْبِزmaka bersabarlah”, wahai Muhammad atas apapun yang menimpamu di jalan Allah, berupa siksaan orang-orang yang mendustakanmu dari kaummu. ِ“ َكًَب صَ َبزَ أُونُوا ا ْن َعزْوseperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati”, dalam menunaikan perintah Allah dan tunduk menaati-Nya dari kalangan rasul-Nya yang tidak terhalangi untuk tetap menunaikan perintah-Nya meski mendapat siksa dan gangguan. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa rasul-rasul ulum azmi adalah mereka yang diuji dengan berbagai musibah di duniakarena Allah, namun musibah itu justru semakin meneguhkan mereka dalam menunaikan perintah Allah. Mereka adalah Musa, Nuh, Ibrahim, Isa, dan Muhammad.9 Kisah Nabi Nuh as. di atas menggambarkan sebuah kesabaran yang sangat besar dalam menghadapi kaumnya yang senantiasa membangkang
kepadanya
yang
sekian
lama
telah
berjuang
menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka. Begitu juga bagi anak usia 6 – 9 tahun yang mahir dalam pengaturan dirinya akan memiliki kesabaran dalam menghadapi cobaan yang menimpanya. Ia tidak merasa putus asa dan menyesal atas apa yang telah dilakukannya, bahkan ia jadikan hal tersebut sebuah hikmah bagi dirinya serta meningkatkan perjuangannya demi menggapai sesuatu yang hendak dicapainya.
9
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 438
62
Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam mengelola emosi diri pada anakantara lain adalah: a) Mampu mengendalikan jiwa. b) Mampu memperkecil perasaan gelisah yang terjadi pda dirinya. c) Mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi. d) Mengurangi perilaku agresif atau merusak diri. e) Mampu menghadapi kegagalan. Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah dengan mengajak anak tersebut untuk mengambil hikmah dari kisah-kisah di atas baik dengan bercerita atau menggunakan perantara media lainnya.10 Setelah menyampaikan sebuah kisah tertentu terutama mengenai kisah tentang seorang tokoh di atas, harus terdapat penyampaian nasehat di akhir kisah tersebut. Nasehat tersebut bersifat singkat atau intinya saja dengan menuntut anak melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
3. KemahiranMemotivasiEmosiDiri a. Balasan terhadap tindakan Qabil
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orangorang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-Maidah ayat 29-30)11
10
Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, op.cit., h. 39 Ibid., h. 113
11
63
Dalam Firman Allah Ta‟ala ini, Habil berkata, “Sesungguhnya aku tidak ingin membunuhmu. Dengan demikian, dosa yang akan aku bawa jika aku ingin membunuhmu, aku harap akan engkau bawa bersama dosamu karena membunuhku. Makna ْ بِإِ ْثًِيadalah dosa yang dikhususkan kepadaku karena kesalahan-kesalahan yang aku perbuat. Maksudnya, dosa-dosaku akan diambil dan ditimpakan kepadamu karena kezhalimanmu terhadapku, dan engkaupun akan kembali membawa dosamu karena membunuhku. Sebagaimana dalam sebuah hadis:
ٍ ْ َ ي: َ قَبلَ رَسُ ْولُ اهللِ صَهيَ اهللُ عَهَ ْيِّ وَ سَهَى: ٍَ أَبِي ُْزَ ْيزَةَ رَضِيَ اهللُ عَ ُُّْ قَبل ْ َع ٌٌَ يَكُ ْو ْ َ قَ ْبمَ أ،َم يِ ُُّْ انْيَ ْوو ْ َ فَ ْهيَتَحَه،ٍيء ْ ٍَ عَ ْزضِِّ أَ ْو ش ْ ِظهًََ ٌت نِأَخِ ْيِّ ي ْ َج نَُّ ي ْ َ كَب ٍَُّ ن ْ ٌُ نَ ْى يَك ْ ِ وَ إ،ِِّظهًََت ْ َح أُخِذَ يِ ُُّْ بِقَ ْذرِ ي ٌ ِم صَبن ٌ ًٌََ كَبٌَ نَُّ ع ْ ِ إ.دِ ْيَُبرٌ أَ ْو دِ ْرَْ ٌى ) (رواِ انبخبرى.ٍِّ سَيِئَبثِ صَبحِبِِّ فَحًََمَ عَهَ ْي ْ ِحَسََُبثٌ أُخِذَ ي “.... Rasulullah Saw. Bersabda: akan dilakukan pada hari kiamat kepada orang yang zhalim dan dizhalimi, dimana kebaikan-kebaikan orang yang zhalim akan diambil dan ditambahkan kepada kebaikan orang-orang yang dizhalimi hingga lunas. Jika orang yang zhalim itu tidak memiliki kebaikan, maka dosa-dosa orang yang dizhalimi akan diambil dan ditimpakan kepada orang yang zhalim.”12 Selanjutnya, firman Allah Ta‟ala: “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah.” Yakni hawa nafsunya membujuknya, membuatnya menganggap mudah, mendorongnya, dan
membentuk
(pendapat)
bahwa
membunuh
saudaranya
merupakan suatu perkara yang ringan dan mudah bagi dirinya. Diriwayatkan
bahwa Qabil
tidak tahu
bagaimana
cara
membunuh Habil, lalu iblis datang dengan membawa seekor burung 12
Syaikh Imam Al Qurthubi,op.cit., h. 328
64
– atau binatang lainnya – dan memukul kepala yang berada di atas batu dengan sebongkah batu supaya diikuti oleh Qabil, lalu Qabil pun melakukan itu. Dan Setelah kejadian itu, “Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi”, yakni dia merupakan bagian dari orang-orang yang merugi kebaikannya.13 Kisah diatas menggambarkan sifat Qabil yang tidak baik terhadap saudara kandungnya sendiri, yakni Habil. Ia tidak senang jika saudaranya mendapatkan apa yang seharusnya ia miliki. Dari rasa tidak senangnya tersebut, ia tega membunuh saudaranya tersebut. Oleh karenanya, Allah menambahkan dosa kepadanya jika ada yang melakukan perbuatan seperti apa yang telah ia perbuat kepada saudara kandungnya. Anak usia 6 – 9 tahun yang mahir dalam memotivasi dirinya selalu berusaha untuk melakukan perbuatan baik. Karena sekecilkecilnya perbuatan baik akan mendapatkan balasan yang baik dari Allah. Begitupun sebaliknya, sekecil-kecilnya perbuatan buruk akan dibalas dengan keburukan oleh Allah.
b. Janji Allah kepada Ibu Nabi Musa as.
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para rasul. (Al-Qashash ayat 7)
13
Syaikh Imam Al Qurthubi, ibid., h. 332-337
65
Allah menetapkan bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Fir‟aun menyangkut kepunahan kerajaannya pasti akan terjadi melalui seseorang, yang dipersiapkan Allah untuk maksud tersebut. Dia adalah Nabi Musa as. Ia lahir tanpa diketahui oleh Fir‟aun, namun ibunya sangat khawatir. Ayat ini Allah menguraikan keadaan ibu dan sang anak, sekaligus menjelaskan langkah pertama yang dilakukan-Nya guna memenangkan orang-orang yang tertindas dan mengalahkan Fir‟aun dan rezimnya. Allah berfirman: Kami menetapkan segala sesuatu sesuai kehendak Kami, dan untuk itu Kami wahyukan, yakni bisikan berupa ilham kepada ibu Musa yang anaknya akan berperan dalam kebinasaan Fir‟aun dan kekuasaannya – Kami ilhamkan bahwa, Susuilah dia yakni anakmu itu dengan tenang bila engkau merasa tidak ada yang memperhatikanmu. Dan apabila engkau khawatir terhadapnya, misalnya khawatir ada yang engkau curigai melihatmu menyusukan anak lelaki atau khawatir jangan sampai anakmu itu dibunuh atas perintah Fir‟aun, maka jatuhkanlah dia ke sungai Nil setelah meletakkannya di peti kecil yang dapat mengapung. Dan janganlah engkau khawatir bahwa dia akan tenggelam atau mati kelaparan, atau terganggu oleh apapun dan jangan pula bersedih hati
karena
kepergiannya,
karena
sesungguhnyaKami
akan
mengembalikannya kepadamu dalam keadaan sehat bugar. Dan setelah dia dewasa, Kami akan menjadikannya salah seorang dari kelompok para rasul yang Kami utus kepada Bani Isra‟il.14 Kisah di atas menggambarkan sebuah perjuangan seorang ibu dalam melaksanakan perintah Allah SWT. untuk sementara waktu berpisah dengan anaknya, yakni Musa. Allah menjanjikan suatu kebaikan atas kesabarannya dengan mempertemukan kembali dengan anaknya serta menjadikannya salah seorang rasul Allah. 14
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 309-310
66
Begitupun seorang anak usia 6 – 9 tahun yang dapat menghadapi cobaan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan akan mendapatkan balasan yang baik dari Allah di dunia bahkan di akhirat kelak. Karena Allah itu selalu bersama dengan orang-orang yang sabar dan janji Allah itu nyata. c. Nasehat Allah kepada Nabi Nuh as.
Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.(Q.S Hud ayat 3637)15 Ayat ini menjelaskan tentang apa yang diduga Nabi Nuh as. terhadap kaumnya adalah benar bahwa Allah telah menetapkan kesesatan mereka, dengan Firman-Nya: Dan diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nuh, bahwa setelah ini sekali-kali tidak seorang pun akan beriman di antara kaummu yang selama ini keras kepala dan menolak kerasulanmu, selain orang yang sebelum ini benar-benar telah beriman, maka karena itu janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan antara lain menolak kerasulanmu, mendurhakai tuntunanmu lagi menyakiti hatimu, karena tak lama lagi Kami akan menjatuhkan hukuman atas mereka. Ketika itulah Nabi Nuh as. mengadu kepada Allah dan bermohon. Maka Allah SWT mengabulkan permohonannya itu 15
Depag RI, op. cit., h.225
67
danAllah
berfirman:
buatlah
sebuah
behtera
untuk
menyelamatkanmu dan pengikut-pengikutmu dengan pengawasan Kamidan petunjuk wahyu Kami dalam tata cara membuatnya, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku dalam bentuk dan hal apa pun tentang orang-orang yang zalim itu misalnya dengan memohon agar mereka Aku maafkan, atau Aku tangguhkan atau ringankan siksa-Ku,
karena
keputusan-Ku
telah
sesungguhnya mereka akan ditenggelamkan.
Kutetapkan
bahwa
16
Kisah di atas menggambarkan sebuah perjuangan Nabi Nuh as. dalam berdakwah terhadap kaumnya, akan tetapi banyak dari kaumnya tersebut tidak mau mengikutinya. Allah telah memberikan wahyu kepada Nuh untuk menyelamatkan kaumnya yang beriman dan menenggelamkan kaumnya yang sesat. Seorang anak usia 6 – 9 tahun yang memiliki kemahiran dalam memotivasi dirinya akan selalu memilih kebaikan daripada keburukan. Ia akan selalu mengambil suatu kebaikan meskipun susah mendapatkannya daripada mengambil suatu keburukan yang mudah untuk didapatkan. Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam memotivasi diri sendiri diantaranya adalah: a) Mampu bertanggung jawab. b) Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian. c) Menambahkan semangat. Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah dengan menjelaskan kisah-kisah di atas apa adanya, tanpa menambahkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu karena akan mengganggu keotentikan dari kisah tersebut.17 Selain itu juga karena dalam sebuah kisah terdapat peristiwa atau perbuatan yang telah dilakukan oleh tokoh tertentu yang mengandung akibat atau dampak 16
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 249 Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, lok.cit., h. 38
17
68
positif maupun negatif. Menyampaikan dampak dari sebuah perbuatan akan memotivasi anak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut.
4. KemahiranMengenali Emosi Orang Lain a. Qabil tidak membiarkan mayat Habil
kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.( Q.S. AlMaidah ayat 31)18 Firman Allah Ta‟ala: “kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi.” Allah mengirim dua ekor burung gagak, lalu keduanya berkelahi hingga salah satunya berhasil membunuh
temannya,
kemudian
dia
menggali
lubang
dan
menguburkannya. Dari burung gagak itu maka Qabil dapat menguburkannya. Ketika itulah Qabil berkata, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?‟ karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” Sebab dia melihat Allah memuliakan Habil, yaitu dengan mengirimkan burung gagak kepadanya hingga burung gagak tersebut menguburkan temannya yang mati. Namun penyesalan tersebut
18
Depag RI. Loc. Cit.
bukanlah
penyesalan
taubat.
Penyesalan
Qabil
itu
69
dikarenakan dia telah kehilangan Habil, bukan karena dia telah membunuhnya. Kalau pun penyesalan itu adalah penyesalan taubat, penyesalan itu tidak mencukupi syarat-syarat taubat, atau penyesalan itu hanyalah penyesalan sesaat dan tidak kontinyu.19 Seorang anak usia 6 – 9 tahun dilahirkan telah memiliki rasa sosial sebagai salah satu ciri sifat kemanusiaan sebagai tanda empati terhadap sesama. Mahir dalam empati menempatkan anak tersebut pada
posisi
yang
menjadikannya
sebagai
makhluk
sosial.
Sebagaimana pada kisah di atas, meskipun sejahat-jahatnya Qobil, ia tetap tidak menelantarkan jasad Habil yang telah ia bunuh. Ia menguburkannya secara manusiawi walaupun tindakan membunuh saudaranya tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji. b. Menyenangkan hati Ibu Nabi Musa as.
Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.(Al-Qashash ayat 13) Ayat ini adalah lanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang pencegahan Allah terhadap para wanita yang hendak menyusui musa yang disertai dengan penawaran tentang siapa yang mampu menyusui Musa. Maka inilah janji Allah dengan mengatakan, kami
mengembalikan
kepada,
yakni
ke
pangkuan
ibunya,
supayasenang hatinya melalui kebersamaan sang ibu dengan anaknya dan tanpa rasa takut atau sembunyi.sembunyi, dan agar dia tidak berduka cita akibat kejauhan atau kecemasannya, dan supaya ia mengetahui dengan pengetahuan berdasar ilmu yang mantap, yaitu 19
Syaikh Imam Al Qurthubi,op.cit., 339-340
70
“ain al-yaqin” bahwa janji Allah benar adanya, yakni sesuai dengan kenyataan. Demikianlah adanya, tetapi kebanyakan mereka, yakni rezim Fir‟aun bahkan manusia tidak mengetahui.20 Kisah di atas menggambarkan tentang keadaan ibu dari Nabi Musa as. yang sedang berada dalam sebuah kesedihan. Ia sangat merindukan anaknya, yakni Musa yang rindu akan air susu ibunya. Akan tetapi, Allah SWT. telah menghiburnya sehingga ia telah dapat menghilangkan kesedihannya tersebut. Anak usia 6 – 9 tahun yang memiliki kemahiran empati akan selalu merasa tidak tenang jika di sekitanya terdapat orang lain sedang dalam kesusahannya. Ia akan berusaha membantu dan menghiburnya agar beban yang dialaminya terasa berkurang. c. Usaha Nabi Nuh as. membujuk anaknya
Dan bahteraituberlayarmembawamerekadalamgelombanglaksanagununggunung.danNuhmemanggilanaknya,sedangdiaberada di tempatterpencil: "Haianakku, naiklahbersama Kami danjanganlahberadabersama orang-orang yang kafir." Anaknyamenjawab: "Akuakanmencariperlindungankegunung yang dapatmemeliharakudari air bah!" Nuhberkata: "tidakadapelindunghariinidariketetapan Allah selainsiapa yang dirahmati". dangelombangmenjadipenghalangantarakeduanya; Makajadilahdiatermasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Q.S. Hud: 42-43)
20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 10, h. 315-316
71
Ayat di atas menjelaskan para penumpang yang berada di dalam bahtera Nabi Nuh as. menyebut nama Allah SWT. dan menghayati makna-makna ucapan yang diajarkan Nabi Nuh as. itu dan pada saat sama bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang yang demikian besar dan tinggi laksana gunung-gunung dan sebelum itu Nabi Nuhmemanggil anaknya sedang dia anaknya itu berada di tempat yang jauh terpencil serta jauh pula dari tuntunan agama yang diajarkan sang ayah, maka ia berseru dengan penuh kasih dan harap kepada anaknya, “Hai anakku yang kusayang, naiklah ke kapal bersama kami agar engkau selamat dan janganlah berada dalam bentuk dan keadaan apapun bersama orang-orang yang kafir, karena tidak satu orang kafir pun hari ini yang akan diselamatkan Allah.” Dia, yakni anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang tinggi yang dapat memeliharaku dari air bah sehingga aku selamat, tidak tenggelam!” Dia yakni Nabi Nuh berkata, “Tidak ada pelindung yang dapat melindungi sesuatu pada hari ini dari ketetapan Allah, yakni ketetapan-Nya menjadikan air membumbung tinngi dan ombak gelombang yang menggunung selain siapa yang dirahmati oleh-Nya.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; yakni antara ayah dan anak, atau antara anak dan gunung yang akan dicapainya sehingga mereka tidak dapat melanjutkan percakapan, dan sang anak pun tidak dapat selamat bahkan sang anak tidak dapat lagi melihat anaknya dengan datangnya ombak yang besar, maka serta merta dan dengan cepat jadilah dia, yakni putra Nabi Nuh as. itu termasuk orang-orang yang ketika itu juga benar-benar telah ditenggelamkan.21 Pencerminan atas kisah Nabi Nuh bersama anaknya merupakan suatu pertentangan mengenai keyakinan yang dimiliki oleh keduanya. Meskipun anaknya telah durhaka kepadanya, tetapi ia tidak akan 21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 256
72
membiarkan anaknya berada dalam sebuah kesesatan, ia selalu berusaha dengan cara membujuknya sampai ajal menjemputnya. Seorang anak usia 6 – 9 tahun harus saling menasehati satu sama lain untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak baik. Jangan sampai salah satu dari temannya tersebut berada dalam kesesatan dan selalu berbuat dosa. Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam empati diantaranya adalah: a) Suka menolong orang lain. b) Tidak egois. c) Membaca pesan orang lain, baik yang diutarakan langsung dengan kata-kata maupun tidak. d) Mengenali perasaan dan emosi orang lain. e) Mengetahui kebutuhan orang lain. Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah dengan memberikan contoh perilaku tertentu, yakni melalui pergerakan tubuh. Anak seusia itu lebih suka dan peka terhadap kejadian atau perilaku yang sedang dilihatnya. Penyampaian cerita dengan cara tersebut akan mentransfer sikap pendengar (anak) seperti apa yang telah dicontohkan kepadanya. Oleh karenanya, penyampaian cerita dengan cara ini sangat penting bagi anak untuk diteladani atau berperilaku baik yang bukan hanya
untuk
dirinya
sendiri,
tetapi
juga
lain.Selainitudapatdilakukandenganmemutar ataupunmenggunakangambar-gambar, sehinggamemudahkananakmengimajinasikancerita.
5. KemahiranMembinaHubunganDengan Orang Lain a. Nabi Adam as. mengadakan kurban
untuk
orang media
73
.... Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)...(Q.S. Al-Maidah ayat 27)22 Ayat diatas merupakan penjelasan mengenai perselisihan kedua putera Adam as. dalam memperebutkan seorang wanita yang untuk dinikahi. Padahal semuanya telah diatur bahwa pernikahan keturunan Nabi Adamas. dilakukan melalui persilangan dari setiap anak yang lahir kembar siam, yaitu laki-laki dan perempuan. Tetapi ada salah satu keturunan Adam yang hendak melanggar peraturan tersebut, yaitu Qabil. Awalnya Qabil ingin menikahi saudari kembarnya sendiri yang merupakan jodoh bagi saudaranya yang lain, yaitu Habil. Oleh karena itu, Adam memerintahkan keduanya untuk mempersembahkan korban kepada Allah SWT. yang bertujuan untuk mengetahui korban siapa yang diterima oleh Allah SWT, maka dialah yang berhak menikahi wanita tersebut.23 Kisah di atas menggambarkan sebuah jalan keluar untuk memecahkan masalah diantara perselisihan kedua putra Adam as. Nabi Adam as. mengadakan sebuah perlombaan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pasangan bagi wanita yang sedang diperebutkan. Begitu juga bagi seorang anak, anak usia 6 – 9 tahun yang sedang berada dalam suatu masalah dengan temannya harus dapat diselesaikan dengan cara sehat sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak mengarah kepada sebuah perpecahan.
22
Depag RI, op. cit., h. 112 Ahmad Bahjat, Nabi-nabi Allah, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 50-51
23
74
b. Menunjukkan solusi terbaik
Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuanperempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; Maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat Berlaku baik kepadanya?".(Al-Qashash ayat 12) Ayat di atas menguraikan bagaimana Allah SWT. mengembalikan Musa as. ke pangkuan ibunya. Allah berfirman: Dan Kami cegah atasnya, yakni Allah menjadikan Musa enggan menyusu kepada para wanita yang bersedia menyusukan dan dihadirkan untuk menyusukannya sebelum itu, yakni sebelum musa dikembalikan kepada ibunya. Maka saudara Nabi Musa as. Itu menampakkan dirinya sebagai salah seorang yang bersedia membawa seorang yang dapat menyusukannya dan berkatalah dia, yakni: “Maukah aku tunjukkan kepada kamu, keluarga yang akan memeliharanya untuk kamu mereka terhadapnya akan berlaku baik?”. Maka keluarga Fir‟aun menyetujui penawaran tersebut.24 Kisah di atas mencerminkan sebuah pemecahan masalah yang baik dan bermanfaat bagi orangtua si anak dan keluarga Fir‟aun. Pemecahan masalah tersebut merupakan solusi terbaik yang diberikan kepada sang Ibu kandung yang sekian lama rindu kepada anaknya yakni Nabi Musa as. untuk disusui, begitu pun bagi keluarga Fir‟aun yang merasa tenang dengan adanya orang yang dapat menyusui si anak. Anak usia 6 – 9 tahun yang mahir dalam membina hubungan baik dengan orang lain atau temannya selalu memberikan solusi yang
24
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 315
75
baik dalam memecahkan suatu permasalahan agar sebuah hubungan tetap terjalin dengan baik. Ia akan merasa tidak tenang bila ada suatu masalah yang belum diselesaikan dengan temannya atau diantara teman-temannya.
c. Kepedulian Nabi Nuh as. terhadap kaumnya yang beriman
Lalu Kami wahyukankepadanya: "Buatlahbahtera di bawahpenilikandanpetunjuk Kami, MakaapabilaperintahKami telahdatangdantanur (permukaanbumi)telahmemancarkan air, Makamasukkanlahkedalambahteraitusepasangdaritiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telahlebihdahuluditetapkan (akanditimpaazab) di antaramereka. danjanganlahkamubicarakandenganakutentang orang-orang yang zalim, karenaSesungguhnyamerekaituakanditenggelamkan.(Q.S. al-Mu‟minun:27) Kisah diatas memberikan gambaran tentang betapa penting dan berharganya suatu kaum yang beriman serta mau mengikuti jalan nabi Nuh as. Ia sangat peduli dengan mereka dan tidak ingin salah satu dari mereka celaka atau hilang. Oleh karenanya ia memutuskan untuk membuat sebuah bahtera agar mereka terlindung
dari
musibah
banjir
besar
yang
hendak
menenggelamkan kota mereka. Seorang anak usia 6 – 9 tahun dalam menjalin hubungan baik dengan temannya akan selalu peduli di setiap keadaannya baik susah maupun senang. Terlebih dalam keadaan susah, ia akan bersedia hati menolong atau membantunya. Ia tidak akan membiarkan dirinya senang di atas penderitaan temannya. Ia selalu
76
merasa gelisah sebelum ia dapat menghilangkan kesusahan yang ada pada diri temannya. Dari beberapa analisis diatas, yang dimaksud anak mahir dalam membina hubungan dengan orang lain diantaranya adalah: a) Mampu mendengar orang lain secara efektif. b) Mampu memecahkan masalah tertentu. c) Mampu menahan beban dan mampu bertoleransi. d) Mampu meringankan beban dan penderitaan orang lain. e) Mampu bersikap tegas dan keras tanpa memperlihatkan sikap marah dan negatif. f) Mampu bekerja dalam kelompok atau team. g) Mampu menganalisis diri dan orang lain. h) Mampu membaca sikap dan keadaan sosial. Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah dengan memberikan arahan kepada anak-anak sebelum dimulainya bercerita dari anak yang sekiranya telah mengetahui cerita atau kisah tersebut untuk tidak mengganggu teman-temannya yang ingin mendengarnya.25 Permulaan semacam ini telah mendidik anak untuk dapat menghargai orang lain dengan tidak mengganggu temannya dalam mendengarkan kisah yang belum mereka ketahui. Selainitudapatdilakukandenganmemutar
media
ataupunmenggunakangambar-gambar, sehinggamemudahkananakmengimajinasikancerita. B. UpayaPenerapanKecerdasanEmosionalPadaAnakUsia 6 – 9 Tahun Sebelum seorang anak mencapai usia antara 6 – 9 tahun, pada usia 5 tahun ia mulai mampu menjaga rahasia yang merupakan keterampilan atau kemampuan menyembunyikan inforamasi-informasi secara terarah dan sensitif. Jika fase ini dilalui secara alamiah dan sehat, anak yang mencapai
25
Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, lok.cit., h. 39
77
usia 6 tahun akan memiliki keterikatan yang baik dengan kedua orangtuanya. Dan dalam batas tertentu akan terhindar dari ketakuan dan kegoncangan. Ia akan memahami dengan baik emosi dan perasaannya, serta mampu mengungkapkannya dengan bahasa yang tepat. Pada usia antara 7 hingga 8 tahun, kesadaran anak atas kehidupan pribadi dan privacy-nya akan bertambah. Ia akan lebih bersinggungan dengan gagasan dan emosi khususnya. Pada usia ini juga anak mulai membandingkan dirinya dengan teman seusianya. Ia akan lebih memperhatikan kemampuannya, serta apa yang sanggup dan tidak sanggup dilakukannya. Seperti halnya ia telah menyadari akan adanya permainan-permainan yang menuntut adanya kelompok yang saling bekerja sama. Sedangkan pada usia 9 tahun, perhatian anak pada permainan emajiner akan berkurang. Ia akan bertambah agresif dalam menekan teman-temannya. Karena ia mulai mempunyai perasaan bersalah, terkadang ia tidak membutuhkan orang lain yang menunjukkan benar atau salahnya suatu perbuatan.26 Dalam menerapkan dan mengembangkan kecerdasan emosional pada anak, langkah pertama adalah dengan mengajarinya bagaimana mengenali perasaan khususnya, dan dengan mengembangkan kecakapan bahasanya agar ia bisa mengekspresikan emosi-emosinya.
Ia tidak
hanya diajari, misalnya
bagaimana mengatakan bahwa dirinya sedang marah atau sedih, tetapi juga diajari melukiskan secara detil perasaan marah dan sedihnya itu. Disaat kita mengajari anak bagaimana cara mengekspresikan perasaannya, sebenarnya kita juga sedang mengajarinya untuk mengemban tanggung jawab terhadap kebutuhan emosinya. Di saat kita sedang mengajari anak bagaimana mengenali hakekat emosinya dan mengungkapkannya dalam kata-kata, maka sebenarnya kita sedang membekalinya kemampuan diri dalam beradaptasi dengan emosi dan hidupnya. Jika hal ini ditambah dengan penghormatan kita akan perasaan anak dan mengajari mereka untuk menghormati perasaan orang lain, maka masa depan anak akan lebih gemilang. Dimana ia mampu 26
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2006), h. 66-67
78
menyelesaikan semua masalah dan konflik secara damai, jauh dari kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik.27 Di lingkungan sekolah, anak pada usia ini telah menginjakkan kakinya untuk belajar ilmu-ilmu dasar setelah menempuh pendidikan persiapan di taman kanak-kanak. Kondisi ini sangat penting mengingat bahwa hal ini merupakan awal ia mengenal situasi pembelajaran yang baru, dan merupakan tugas penting bagi seorang guru bagaimana cara mengenalkan kepadanya tentang situasi serta hal apa saja yang harus dilakukan di sekolah. Oleh karenanya, sebelum guru mengenalkan kecerdasan emosi pada anak di sekolah, ia pun harus terlebih dahulu mempunyai sifat tersebut. Kecerdasan emosional menentukan karakter sang anak atau murid dalam berprilaku di sekolah ataupun di kelas. Maka peran guru sangat penting dalam mengembangkan kecerdasan emosional murid-muridnya. Diantara peran guru tersebut antara lain: a. Membantu murid mempelajari bahasa emosi dan kalimat yang digunakan untuk mengekspresikannya. b. Membantu murid untuk “merasa” dirinya diperhatikan oleh guru, bukan dihegemoni atau dikuasai guru. c. Melatih murid untuk mengenali berbagai situasi emosi dan membedakan satu emosi dengan lainnya. d. Guru harus memahami emosi dan ketakutannya sendiri. e. Guru berusaha mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan emosinya muncul, dan jangan mencela murid karena emosinya sendiri. f. Guru berusaha mengenali kebutuhan emosinya yang belum terpenuhi, jangan sampai memenuhi kebutuhan tersebut dengan melampiaskan emosi pada murid, atau jangan mengutamakan kebutuhan dirinya di atas kebutuhan murid.28
27
Makmun Mubayidh,Ibid., h. 111-112 Makmun Mubayidh,Ibid., h. 128
28
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Konsep mengenai kecerdasan emosional telah dijelaskan oleh Daniel Goleman adalah sebuah kemampuan yang dimiliki oleh seorang anak dalam hal mengenali emosi atau perasaannya sendiri maupun orang lain, dapat mengendalikan dirinya dengan baik, dapat memotivasi dirinya sendiri, empati kepada orang lain, serta dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain. Dan kemampuan tersebut harus dipelajari sejak dini. 2. Salah satu cara yang paling baik untuk mengajarkan keterampilan emosional adalah melalui kisah-kisah teladan. Dan salah satu sumber kisah yang baik adalah Al-Quran. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an khususnya kisah-kisah tentang kehidupan para Nabi merupakan sebuah alat untuk mengantarkan seorang anak menjadi baik. Karena dalam kisah-kisah tersebut terdapat sebuah hikmah atau pelajaran yang utuk diteladani sehingga ia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan yang buruk. 79
80
3. Proses penyampaian tentang kisah-kisah dapat berjalan efektif jika diterapkan pada anak usia 6 sampai 9 tahun. Karena pada usia tersebut seorang anak mulai menyukai dongeng atau cerita-cerita yang menarik. Pada usia itulah seorang anak mulai merasakan apa yang ada pada dirinya maupun disekitarnya, serta mencoba mengembangkan sesuatu untuk dijadikan sebuah teladan dalam dirinya. 4. Kisah tentang kedua putra Nabi Adam as. merupakan sebuah kisah tentang dua sosok seorang anak yang memiliki karakter atau perilaku yang bertentangan, yaitu yang baik yakni Habil, dan yang buruk yakni Qabil. Seorang anak yang cerdas dalam mengenali emosinya akan mengambil sosok Habil, bukan Qabil. Dan dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain, anak-anak akan meneladani Nabi adam as. yang mampu memecahkan masalah dalam persoalan kedua anaknya. 5. Kisah Nabi Nuh as. menceritakan tentang kehidupan seorang Nabi Nuh as. yang senantiasa bersabar dalam berdakwah terhadap kaumnya. Ia selalu mendapat hinaan atas dakwah yang telah disampaikan kepada mereka, termasuk anaknya sendiri, yakni Kan’an. Seorang anak yang cerdas emosinya tidak akan meneladani sikap Kan’an yang buruk terhadap bapaknya sendiri. Maka anak yang memahami kisah tersebut mampu untuk mengelola emosi diri. 6. Kisah Kelahiran Nabi Musa as. menceritakan tentang kehidupan Nabi Musa as. di masa kecilnya yang pada masa bayi telah dipisahkan oleh ibu kandungnya. Allah SWT. senantiasa memberikan kesabaran dan keteguhan hati kepada ibunya untuk menjaga rahasia anaknya tersebut kepada Fir’aun yang disertai pemenuhan janji untuk dipertemukan kembali keduanya dengan ia menyusuinya, yakni nabi Musa as. anak yang cerdas emosinya akan merasakan betapa besarnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya dan akan memotivasi dirinya ddengan senantiasa berbakti kepadanya.
81
7. Dalam menyampaikan sebuah cerita atau kisah dibutuhkan teknik atau cara yang tepat agar mendapatkan suatu hasil yang diharapkan. Diantara teknik penyampaian dalam berkisah itu yang sangat ditekankan adalah pada segi intonasi suara, ekspresi wajah dan gerak tubuh. Karena kedua hal tersebut dapat membuat seorang anak yang sedang mendengarkan sebuah kisah dapat tertarik dan terbawa ke alam yang menyenangkan, serta dapat lebih memahami alur dari kisah tersebut. Selain itu dapat dilakukan dengan memutar media ataupun menggunakan
gambar-gambar,
sehingga
memudahkan
anak
mengimajinasikan cerita.
B. Saran-saran 1. Setiap orang perlu memahami konsep kecerdasan emosional yang telah dipaparkan oleh Daniel Goleman dalam rangka mengembangkan kepribadian seorang anak, khususnya pada anak usia 6 sampai 9 tahun. Karena mayoritas manusia lebih banyak menekankan pada kecerdasan intelektual dibanding kecerdasan emosional yang pada dasarnya merupakan langkah awal sebelum mengembangkan kecerdasan intelektual. 2. Orang tua merupakan orang yang dekat dengan anaknya. Oleh karena itu, pendidikan informal atau keluarga sangat penting dalam hal mengembangkan kecerdasan emosional anaknya. Dengan banyak berkomunikasi
yang
baik
serta
berkelakuan
baik
ataupun
menyampaikan sebuah cerita yang baik, semuanya akan menjadi teladan bagi anak tersebut. Orang tua adalah sebuah figur yang akan membentuk kepribadian sang anak menjadi baik atau buruk. 3. Pendidikan formal juga merupakan suatu hal yang sangat penting disamping pendidikan informal. Karena pendidikan formal atau sekolah adalah pendidikan lanjutan daripada pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua. Dalam pendidikan sekolah ini yang ditekankan adalah seorang guru. Guru yang dapat mendidik dengan
82
baik adalah guru yang mempunyai nilai seni dalam menyampaikan pelajaran, khususnya dalam menyampaikan sebuah cerita atau kisah dari tokoh atau peristiwa tertentu. Dengan demikian, seorang anak atau murid akan senang kepada guru tersebut, serta dapat dijadikan teladan untuknya. 4. Setiap
lapisan
masyarakat
berkewajiban
mendukung
program
Pendidikan Islam. Program pendidikan tersebut bukan hanya terdapat di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan masyarakat seperti majlis ta’lim, TPQ, dan sebagainya. Tanpa dukungan tersebut maka program Pendidikan Islam yang ada di lingkungan mereka akan terhambat untuk berkembang bahkan dapat tertinggal dan lambat-laun akan ditinggalkan. Oleh karenanya, program tersebut perlu adanya sebuah sistem atau teknik dalam penyampaiannya kepada pendengar atau anak-anak baik mengenai sebuah pelajaran maupun kisah tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Achdiat, Nunu. Seni Berkisah; Memandu Anak Memahami Al-Quran.
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga, 2001. Al-Farmawi. Metode Tafsir mawdhu’iy, Terj. dari Al-Bidayah Fi al-Tafsir alMawdhu’iy, oleh. Suryan A. Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. Al-Khalidy, Shalah. Kisah-kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu, Terj. dari Qoshosul Qur’an, oleh. Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘ulumil Al-Quran. Beirut: Muassasah ArRisalah, 1996. Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi Juz VI. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Al-Shidieqy, Hasby. Ilmu-Ilmu Al-Quran Media Pokok Dalam Penafsiran AlQuran. Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. Kenabian dan Para Nabi, Terj. Dari an Nubuwwah wal Anbiya’oleh Arifin Jamian Maun. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993. Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Bahjat, Ahmad. Nabi-nabi Allah. Jakarta: Qisthi Press, 2007. Digdo, AG Pringgo dan Syadily, Hasan. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Ofset Kanissus, 1997. Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005. El Fikri, Syahruddin. Situs-Situs Dalam Al-Quran (Dari Banjir Hingga Bukit Tursina). Jakarta: Republika, 2010. Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari buku, Working with Emotional Inteligence, oleh Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.
83
84
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence, oleh T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Hanafi, A. MA. Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984. Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003. Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi perkembangan Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Hilali, Salim bin Ied. Kisah Shahih Para Nabi, Terj dari Shahiih Qishashil Anbiya’ oleh M. Abdul Goffar. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009. Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Terj. dari Developmental psicology, oleh. Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga, 1998. Iska, Zikri Neni. Psikologi pengantar pemahaman diri dan lingkungan. Jakarta: KIZI BROTHER’S, 2006. Iskandar. Psikologi Sebuuah Orientasi baru. Ciputat: Gaung Persada Press, 2009. Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori, Muhammad. Shohih Bukhori Juz 3. Beirut: Dar al-Hadist, 1987. Jamal, Ahmad Muhammad. Koreksi Al-Quran Terhadap Ummat. Alih bahasa; Jamaluddin Kafie. Jakarta: Media Da’wah, tt. Megawati, Ratna. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Bogor: Indonesia heritage Foundation. 2004. Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj dari AdzDzaka’ Al-Athifi wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah, oleh. Muhammad Muchson Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010. Muhyidin, Muhammmad. Manajemen ESQ Power. Jogjakarta: DIVA Press, 2007. Nuraida dan Alkaf, Halid. Metodologi Penelitian Pendidikan. Tangerang: Islamic Research Publising, 2009. Nuraini, Yuliani. Kurikulum Alternatif Berbasis Kompetensi Anak Usia Dini. Jakarta: Pusdiani Press, 2002. RI, Depag. Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994.
85
RI, Depag. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2008. Safaria, Triantoro dan Saputra, Nofrans Eka. Manajemen Emosi. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, oleh. Alex Tri Kantjono. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997. Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah vol. 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Syihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah vol 8. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah vol. 10. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Syadali, Ahmad. Ulumul Al-Quran II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Yogyakarta, Tim Pendongeng SPA. Teknik Bercerita. Yogyakarta : PT. Kurnia Kalam Semesta, 2010. Yusuf, Syamsu. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali, 2011. Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.