ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO COMPETITIVENESS ANALYSIS OF SHALLOTS AGRIBUSINESS IN PROBOLINGGO REGENCY
Competitiveness analysis of shallot business in Probolinggo Regency Oleh : Edy Sutiarso*) *) Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jember E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji daya saing agribisnis bawang merah di Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini menggunakan data cross-section yang dikumpulkan dari petani bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agribisnis bawang merah di Kabupaten Probolinggo masih menguntungkan dan layak diusahakan, baik secara finansial maupun ekonomi, serta masih memiliki daya saing, baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Daya saing sangat sensitif terhadap perubahan harga input, produktivitas, dan harga output, di samping perubahan nilai tukar terhadap keunggulan komparatif. Kebijakan pemerintah terhadap harga input tradeable (subsidi harga input) berdampak positif terhadap daya saing komoditas bawang merah, sedangkan kebijakan pemerintah terhadap harga output tidak ada. Harga output terbentuk kerana mekanisme pasar, bukan diakibatkan oleh adanya intervensi pemerintah. Kata kunci: daya saing, keunggulan kompetitif, Keunggulan komparatif. ABSTRACT This study aimed at assessing competitiveness of shallot business in Probolinggo Regency. Cross section data collected from shallot farmers was used in this study. The results showed that shallot agribusiness in Probolinggo Regency was still profitable and properly operated both financially and economically, and still had competitive ability, both competitive as well as comparative advantages. Competitive ability was very sensitive to changes in input price, productivity and output price, beside changes in exchange rates on comparative advantage. Government policy on tradeable input prices (subsidized input prices) had a positive impact on competitiveness of shallot commodity, while there was no government policy on price of output. Output prices were formed by market mechanism, not as a result of government intervention. Key words : competitiveness, competitive advantage, comparative advantage . PENDAHULUAN Walaupun secara relatif peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional semakin menurun, namun masih sangat vital dan dominan kontribusinya. Pembangunan pertanian telah memberikan kontribusi besar dalam pembangunan ekonomi nasional, baik secara langsung dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun kontribusi tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Pembangunan pertanian Indonesia bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, menyediakan lapangan kerja, mensejahterakan petani, dan meningkatkan devisa. Tujuan tersebut belum tercapai disebabkan oleh: (a) terus meningkatnya kebutuhan terhadap produk pertanian, sebagai akibat peningkatan
Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
jumlah penduduk; (b) sempitnya penguasaan lahan pertanian dan meningkatnya jumlah petani gurem; (c) tingginya laju konversi lahan pertanian; (d) adanya gap produktivitas pertanaman dengan potensinya; (e) lemahnya kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan, sehingga belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri pedesaan. Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada tidak efisiennya sistem pertanian, dan rendahnya keuntungan yang diterima petani (Deptan RI, 2005). Oleh karena itu perlu direvitalisasi melalui akselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah usaha pertanian 17 komoditas yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, tanaman perkebunan, dan peternakan. Salah satu komoditas hortikultura di antaranya adalah bawang merah yang merupakan komoditas sayuran unggulan. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang telah diusahakan sejak lama
45
46 Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Probolinggo merupakan salah satu sentra produksi bawang merah di Jawa Timur. Perkembangan produksi di Daerah ini menunjukkan trend yang landai meskipun positif, yaitu sebesar 1% per tahun selama periode 2004-2008 dengan rata-rata produksi 79 ribu ton per tahun. Peningkatan produksi tersebut terutama disebabkan karena meningkatnya produktivitas sebesar 4,3% per tahun dengan rata-rata sebesar 11,4 ton per hektar selama periode tersebut. 13.00
Produktivitas (ton/ha)
12.50
12.00
11.50
11.00
10.50
10.00 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1. Perkembangan Produktivitas Bawang Merah Di Kabupaten Probolinggo, Tahun 2004-2008 Namun selama periode 2004-2008 tersebut luas areal komoditas bawang merah di Probolinggo justru menunjukkan perkembangan yang menurun sebesar minus 3.9 persen per tahun dengan rata-rata luas areal sebesar 6,899 hektar. Pada hal pada tahun 2004 luas areal bawang merah di Probolinggo mencapai 7.510 hektar, dan tahun 2008 turun menjadi hanya 6.354 hektar. Bahkan pada tahun 2001 luas areal panen komoditas bawang merah mampu mencapai 8.351 hektar. Hal ini mengundang pertanyaan, yaitu apakah usahatani bawang merah di Probolinggo sudah tidak atau kurang menguntungkan. Bertolak dari fakta tersebut maka kajian mengenai analisis keuntungan dan daya saing bawang merah akan memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengatasi permasalahan guna meningkatkan gairah petani beragribisnis komoditas tersebut untuk mengatasi kebutuhan bawang merah dalam negeri dalam upaya mengurangi impor. 8,000
7,500
7,000
Areal (ha)
oleh petani secara intensif dan mempunyai arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari nilai ekonomisnya maupun dari kandungan gizinya. Dalam dekade terakhir permintaan akan bawang merah dalam negeri terus mengalami peningkatan, baik untuk konsumsi maupun bibit, sehingga Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi sebagian kebutuhan tersebut. Untuk mengurangi volume impor, maka peningkatan produksi dan mutu hasil bawang merah harus senantiasa ditingkatkan. Pengembangan produk pertanian berfungsi dalam: (a) membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian; (b) sumber perolehan devisa, terutama terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar internasional; (c) penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama dalam hubungannya dengan peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik; dan (d) pengembangan produk-produk baru, yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan perkembangan masa depan. Komoditas bawang merah merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Pengusahaan komoditas bawang merah telah menyebar disemua propinsi di Indonesia karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Meskipun minat petani beragribisnis bawang merah cukup kuat, namun dalam proses pengusahaannya masih dijumpai beberapa kendala, baik kendala yang bersifat teknis maupun ekonomis. Produk pertanian, termasuk bawang merah masih dihadapkan pada beberapa permasalahan fluktuasi dan sensitivitas harga yang cukup tinggi, terutama karena perubahan permintaan dan penawaran. Pada musim tanam petani mengalami tingginya harga benih bermutu, sedangkan pada saat panen menghadapi rendahnya harga produk. Berkenaan dengan hal ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah usahatani bawang merah mampu memberikan keuntungan yang layak ditinjau dari aspek finansial maupun ekonomi. Prospek pengembangan bawang merah di Indonesia cukup cerah jika dikaitkan dengan potensi pasar yang ada. Selain untuk memenuhi pasar domestik yang permintaannya terus meningkat sekitar 4,6%/th, peluang untuk meningkatkan ekspor sebenarnya masih terbuka lebar, terutama untuk mengisi peluang pasar ekspor bawang merah super. Namun sampai saat ini ekspor dilakukan secara terbatas mengingat kebutuhan dalam negeri yang begitu besar. Negara pesaing Indonesia untuk mengisi pasar ekspor adalah Malaysia, Thailand, Philipina, dan Taiwan. Hal yang perlu ditanyakan adalah apakah komoditas bawang merah memiliki daya saing, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Kendala yang ada adalah terbatasnya sumberdaya seperti lahan dan modal yang harus dialokasikan secara efisien.
6,500
6,000
5,500
5,000 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 2. Perkembangan Areal Bawang Merah Di Kabupaten Probolinggo, Tahun 2004-2008
2009
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengukur tingkat keuntungan agribisnis usahatani bawang merah secara finansial dan ekonomi, (2) mengkaji daya saing komoditas bawang merah, (3) mengidentifikasi bagaimana sensitivitas daya saing komoditas bawang merah sebagai dampak perubahan variabel output, harga output dan biaya, serta nilai tukar rupiah, dan (4) mempelajari sejauh mana kebijakan pemerintah terhadap input dan output mempengaruhi agribisnis bawang merah di Kabupaten Probolinggo.
yang lebih baik dari pada beberapa fungsi kesejahteraan sosial. Hasil Policy Analysis Matrix akan memberikan informasi tentang profitabilitas daya saing (keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan komparatif) suatu komoditas dan dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap sistem komoditi tersebut. Matriks analisis kebijakan (PAM) secara tabulasi dapat diformulasikan sebagai berikut : Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM) Biaya
METODOLOGI PENELITIAN Daerah Penelitian Penelitian analisis daya saing bawang merah ini dilaksanakan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu daerah sentra terluas penghasil komoditas bawang merah di Propinsi Jawa Timur dengan luas panen 7.510 hektar. Pengambilan Sampel dan Pengumpulan data Metode pengambilan sampel menggunakan multistage sampling berdasarkan kecamatan dan dersa penghasil komoditas bawang merah yang terluas. Sampel yang dipilih adalah petani yang melaksanakan usahatani bawang merah baik yang melaksanakan usahataninya pada musim tanam kemarau maupun musim hujan dengan kriteria luas lahan sempit (< 0,3 ha) dan cukupan ( 0,3 ha) pada tahun 2005. Jumlah petani sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 32 orang, yang terdiri dari 16 orang petani sempit dan 16 orang petani cukupan. untuk strata luas lahan besar dan masing-masing terbagi dalam dua kecamatan. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan tujuan untuk memperoleh informasi dari petani sebagai sumber data primer dan didukung data sekunder. Data primer tentang penerimaan dan biaya usahatani bawang merah dikumpulkan secara langsung dari responden dengan metode wawancara menggunakan daftar pertanyaan berupa isian kuisioner. Metode Analisis Data Untuk mengetahui sejauh mana daya saing usahatani bawang merah dapat diukur menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif dapoat dianalisis dengan pendekatan Domestic Resource Cost Ratio (DCRC). Nilai DCRC dapat diperoleh menggunakan metode analisis PAM (Policy Analysis Matrix) karena alat analisis matriks kebijaksanaan ini mampu memberikan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data-data dan kenyataan di lapang yang berkaitan dengan revenue, biaya dan profit baik secara privat maupun sosial (Monke dan Pearson, 1998). Dasar teori PAM adalah model keseimbangan umum yang sederhana dari perdagangan internasional
Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Deskripsi
Revenue
Harga privat
A
B
C
D
Harga sosial Pengaruh divergensi
E
F
G
H
I
J
K
L
Input Input Non Tradeable Tradeable
Profit
Sumber :Monke dan Pearson (1976), dalam Soetriono (2002) Dengan menggunakan model PAM tersebut dapat dianalisis beberapa indikator sebagai berikut (Monke dan Pearson, 1998): 1. Privat Profit (PP = D) : D = A – (B + C) 2. Social Profit (SP = H) : H = E – (F + G) 3. Output Transfer (OT = I) : I = A - E 4. Input Transfer (IT = J) : J=B-F 5. Faktor Transfer (FT = K) : K = C - G 6. Net Transfer (NT = L) : L=D-H 7. Privat Cost Ratio (PCR) : PCR C/(A B) 8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR):
DRCR 9.
G/(E F)
Effective Protection Coefficient (EPC):
EPC (A B)/(E F) 10. Profitability Coefficient (PC):
PC D/H (A - B - C)/(E - F - G) 11. Subsidy Ratio to Producer:
SRP L/E 12. Coefficient Protection Input Nominal:
NPCI B/F 13. Coefficient Protection Output Nominal:
NPCO A/E Berdasarkan nilai indikator Privat Provit (PP)dan Social Provit (SP) dari hasil analisis PAM dapat diambil keputusan bahwa jika nilai D dan H lebih besar dari 1, maka usahatani bawang merah dapat dinyantakan mampu memberikan keuntungan. Artinya, usahatani bawang merah menguntungkan secara finansial jika nilai D > 1, dan mampu meraih keuntungan secara ekonomis jika nilai H > 1. Usahatani bawang merah memiliki daya saing jika memiliki nilai PCR maupun DRCR lebih kecil dari 1. Artinya, usahatani bawang merah memiliki keunggulan kompetitif jika nilai PCR < 1 yang
47
menunjukkan bahwa usahatani pada daerah tersebut mempunyai daya saing pada kondisi perekonomian aktual. Sementara usahatani bawang merah memiliki memiliki keunggulan komparatif jika nilai DRCR < 1 yang menunjukkan bahwa usaha memproduksi bawang merah di dalam negeri masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengimpor dari negara lain guna memenuhi kebutuhan. Dampak kebijakan pemerintah di bidang input dan output terhadap usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo dapat didekati dari beberapa indikator.
FT bernilai positif, berarti biaya usahatani untuk barang-barang domestik harga yang dibayar lebih tinggi dari pada harga sesungguhnya. Sebaliknya jika FT bernilai negatif, berarti biaya usahatani untuk barang-barang domestik harga yang dibayar lebih rendah dari pada harga sesungguhnya. Apabila NT bernilai positif, berarti kebijakan pemerintah memberikan nilai tambah pada usahatani bawang merah. Akan tetapi jika NT bernilai negatif, berarti kebijakan pemerintah tidak memberikan nilai tambah pada usahatani bawang merah.
Kebijakan pemerintah terhadap input tradeable Kebijakan pemerintah terhadap input tradeable dapat dideteksi menggunakan indikator Input Transfer (IT) untuk menunjukkan besarnya subsidi yang perlu diberikan oleh pemerintah kepada produsen dan indikator Nominal Protection Coefficient Input (NPCI) yang digunakan untuk menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen yang diformulasikan sebagai:
Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output dapat diukur dari besarnya indikator Transfer Output (OT) yang digunakan untuk melihat sejauh mana kebijakan pemerintah dalam memberikan insentif kepada produsen dan Nominal Protection Coefficient Output (NPCO) yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu komoditas mendapat proteksi output atau tidak. Indikator OT dan NPCO diformulasikan sebagai:
IT B - F
dan
NPCI
B F
di mana : B = biaya input tradeable privat (Rp) F = biaya input tradeable sosial (Rp) Apabila IT bernilai negatif, berarti menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap input tradeable (terdapat subsidi). Namun jika IT bernilai positif, berarti mengindikasikan tidak adanya kebijakan pemerintah terhadap input tradeable (tidak terdapat subsidi). Seandainya NPCI > 1, maka sistem agribisnis mengindikasikan adanya proteksi terhadap produsen input, sedang sektor yang mempergunakan input tersebut dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya jika NPCI < 1, berarti sistem menunjukkan tidak adanya proteksi terhadap produsen input. Kebijakan pemerintah terhadap input nontradeable Adanya kebijakan pemerintah terhadap input non tradeable dapat dilihat dari indikator Transfer Faktor (FT) yang digunakan untuk melihat perbedaan harga sosial dan harga privat yang diterima produsen untuk input non tradeable dan Transfer Netto (NT) yang digunakan untuk melihat pertambahan dan pengurangan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Hal ini dirumuskan sebagai berikut: FT C - G dan NT D - H I - J - K di mana : C = biaya input non tradeable (Rp) D = keuntungan privat (Rp) G = biaya input non tradeable sosial (Rp) H = keuntungan sosial (Rp) I = pengaruh kebijakan terhadap penerimaan (Rp) J = pengaruh kebijakan terhadap biaya input tradeable (Rp) K = pengaruh kebijakan terhadap biaya input non tradeable (Rp)
48 Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
OT A - E
dan
NPCO
A E
di mana : A = penerimaan privat (Rp) E = penerimaan sosial (Rp) Jika OT bernilai positif, berarti produsen menerima harga yang lebih tinggi atau produsen menerima insentif dari kebijakan pemerintah. Sebaliknya jika OT bernilai negatif, berarti produsen menerima harga yang lebih rendah atau produsen tidak menerima insentif dari kebijakan pemerintah. Seandainya NPCO > 1, hal ini mengindikasikan adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih besar dari harga di pasaran dunia atau adanya kebijakan pemerintah yang mendukung ekspor output, di mana produsen mendapatkan proteksi output dari pemerintah. Namun jika NPCO < 1, hal ini mengindikasikan adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih kecil dari harga di pasaran dunia atau adanya kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output, di mana produsen tidak mendapatkan proteksi output dari pemerintah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profitabilitas Finansial dan Ekonomi Berdasarkan hasil analisis PAM menunjukkan bahwa secara finansial maupun ekonomis usahatani bawang merah di kabupaten Probolinggo mampu memberikan keuntungan. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani bawang merah yang merupakan komoditas masik layak untuk diusahakan. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan mampu ditutup oleh total penerimaan yang diterima pada tingkat produksi yang dicapai dan tingkat harga yang berlaku. Keuntungan usahatani secara finansial lebih tinggi daripada
keuntungan ekonomi (Tabel 2). Perbedaan ini disebabkan karena tingkat harga aktual yang diterima petani lebih tinggi daripada harga sosialnya. Di samping itu, harga privat input tradeable lebih rendah dibanding harga sosialnya yang terjadi karena adanya subsidi harga pupuk walaupun kecil. Tabel 2. Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Probolinggo Keuntungan Deskripsi Finansial Ekonomi Produksi 15.780 15.780 (kg/ha) Harga output 4.476 3.813 (Rp/kg) Revenue 70.625.671 60.176.816 (Rp/ha) Biaya (Rp/ha) 35.693.808 36.254.668 Keuntungan 34.931.863 23.922.148 (Rp/ha) R/C 1.98 1.66 Sumber: Hasil Analisis Data Primer. Ditinjau dari nilai R/C menunjukkan bahwa secara finansial setiap rupiah biaya usahatani yang
dikorbankan mampu menghasilkan keuntungan sebesar 0,98 rupiah per hektar lahan. Sementara secara ekonomi hanya mampu memberikan tingkat keuntungan sebesar Rp 0,66 untuk setiap rupiah biaya. Daya Saing Usahatani Bawang Merah Daya saing usaha suatu komoditas ditunjukkan oleh kemampuannya dalam mempertahankan profitabilitas dan pangsa pasarnya. Daya saing menunjukkan kemampuan suatu usaha untuk tetap layak secara finansial maupun ekonomi. Determinan daya saing sangat ditentukan oleh produktivitas, harga input-output, teknologi, serta permintaan. Daya saing tercermin dari besarnya nilai rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah input tradeablenya, yaitu nilai PCR dan DRCR yang mengindikasikan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif suatu usaha. Dari hasil analisis PAM menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai PCR yang positif dan lebih kecil dari 1 sebesar 0,222 (Tabel 3). Fakta ini mengindikasikan bahwa petani mampu menutup biaya sumberdaya domestik harga aktual yang telah dikorbankan dalam proses produksi bawang merah.
Tabel 3. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Usahatani bawang Merah di Kabupaten Probolinggo Keuntungan Deskripsi Divergensi Privat Sosial Revenue 70.625.671 Biaya : 1. Input Tradable 25.706.460 2. Faktor Domestik 9.987.348 PCR 0,222 DRCR Sumber: Hasil Analisis Data Primer. Di samping itu, usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo juga memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai DRCR (=0,291) yang positif dan lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa usaha memproduksi komoditas bawang merah di dalam negeri dengan tujuan memenuhi permintaan dalam negeri lebih menguntungkan dari pada mengimpor. Nilai DRCR tersebut menunjukkan bahwa biaya memproduksi bawang merah di Probolinggo hanya sebesar 29,1% dari biaya impor. Dengan demikian dapat dihemat devisa sebesar 70,9% dari besarnya biaya impor yang harus dikeluarkan jika pemenuhan kebutuhan komoditas tersebut diproduksi di Probolinggo. Hal lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah fakta bahwa nilai DRCR lebih tinggi dibanding nilai PCR atau keunggulan komparatif usahatani bawang merah lebih unggul daripada keunggulan kompetitifnya. Dalam artian, pengusahaan bawang
Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
60.176.816
10.448.855
26.448.610 9.806.058
-742.150 181.289
0,291
merah di Probolinggo mendatangkan manfaat yang lebih tinggi untuk masyarakat secara keseluruhan dari pada manfaat bagi petani produsen. Hasil analisis PAM, selain memaparkan nilai penerimaan, biaya dan keuntungan berdasarkan pada harga privat dan harga sosial, juga menyajikan hasil disvergensi yang terjadi. Hasil analisis yang ditampilkan oleh Tabel 3. menunjukkan bahwa besarnya disvergensi revenue usahatani bawang merah bernilai positif Rp. 10.448.855. Hal ini berarti bahwa produsen menerima harga yang lebih tinggi atau kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Disvergensi biaya input tradeable bernilai negatif -742.150 rupiah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan pemerintah terhadap input tradeable atau pemerintah memberikan subsidi terhadap input tradeable, yaitu subdidi terhadap pupuk Urea dan TSP. Sementara disvergensi Biaya Input Non Tradeable bernilai positif sebesar Rp. 181.289,-, yang
49
menunjukkan biaya usahatani bawang merah atas barang-barang domestik dibayar dengan harga yang relatif lebih tinggi dari harga sosialnya, terutama untuk sewa lahan, irigasi dan modal. Analisis Sensitivitas Sensitivitas daya saing usahatani bawang merah dapat diukur melalui analisis “break event point” atau BEP sebagai harga batas (border price) di mana usahatani tersebut masih memiliki keunggulan keunggulan komparatif. Dari hasil analisis PAM diperoleh temuan bahwa nilai BEP harga dunia sebesar Rp 2.297 per kg atau US$ 209 per ton pada tingkat produksi aktual 15.780 kg per hektar. Dalam artian, usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo masih memiliki keunggulan komparatif asal harga dunia atau biaya sosialnya di atas harga batas tersebut. Apabila harga dunia untuk bawang merah sama atau lebih rendah dari harga BEP, maka secara ekonomis kebutuhan bawang merah sebaiknya dipenuhi dengan cara mengimpor daripada memproduksi sendiri, karena akan lebih hemat atau menguntungkan. Ditinjau dari harga aktual menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Probolinggo masih memiliki keunggulan kompetitif jika harga yang diterima petani di atas Rp 2,262 per kg. Artinya, jika harga yang diterima petani bawang merah sama atau lebih rendah dari harga tersebut, maka secara finansial petani akan rugi karena tidak mampu menutup keseluruhan biaya yang telah dikeluarkan. Tingkat keuntungan yang diterima dipengaruhi oleh variabel penerimaan dan biaya. Tinggi rendahnya penerimaan yang diterima petani tergantung pada
produksi dan harga yang berlaku. Oleh karena bawang merah merupakan komoditas ekspor-impor, maka nilai tukar sangat menentukan besarnya penerimaan yang sekaligus menentukan besarnya tingkat keuntungan yang diperoleh. Sementara secara keseluruhan biaya yang dikorbankan meliputi biaya input tradeable dan biaya faktor domestik. Dengan demikian, perubahan kuantitas dan harga output, biaya input tradeable dan faktor domestik, serta nilai tukar akan menentukan daya saing (keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif) yang tercermin dari perubahan nilai PCR dan DRCR. Dampak Perubahan Produktivitas Terhadap Daya Saing Perubahan produktivitas usahatani berpengaruh terhadap kuantitas yang mampu dicapai produsen yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap penerimaan. Semakin tingginya tingkat penurunan output akan menyebabkan semakin rendahnya nilai tambah finansial maupun ekonomis input tradeable yang berakibat pada semakin tingginya nilai PCR atau PCR. Hal ini mengindikasikan semakin rendahnya keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif usahatani bawang merah dengan semakin rendahnya produksi yang dihasilkan. Usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo masih memiliki keunggulan kompetitif jika penurunan produksi tidak lebih dari 50%. Sementara keunggulan komparatif masih dimiliki seandainya penurunan produksi dalam usahatani bawang merah kurang dari 40% (Tabel 4 dan Gambar 3).
Tabel 4. Pengaruh Perubahan Tingkat Penurunan Produktivitas Terhadap Daya Saing Usahatani Bawang Merah Perubahan (%)
0
10
20
25
30
40
50
PCR
0,222
0,264
0,324
0,366
0,421
0,599
1,040
DRCR
0,291
0,354
0,452
0,525
0,626
1,015
2,694
3.000 2.750 2.500 2.250
PCR/DRCR
2.000 1.750 PCR
1.500
DRCR
1.250 1.000 0.750 -
10
20
30
40
50
60
0.500 0.250 0.000
Perubahan produktivitas (%)
Gambar 3. Pengaruh Perubahan Produktivitas Terhadap Nilai PCR dan DRCR
50 Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Dampak Perubahan Harga Output Terhadap Daya Saing Dampak perubahan harga output searah dengan perubahan produktivitas. Kedua variabel ini berpengaruh terhadap revenue yang diterima produsen (petani). Semakin rendahnya harga output yang diterima petani berdampak pada semakin rendahnya revenue. Hal ini akan menyebabkan semakin tingginya nilai PCR maupun DRCR karena semakin rendahnya nilai tambah finansial maupun ekonomis input tradeable. Secara finansial usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo tetap memiliki keunggulan kompetitif pada tingkat penurunan harga output sama dengan atau kurang dari 50%. Secara ekonomis, usahatani bawang merah sudah tidak memiliki keunggulan komparatif jika harga output turun lebih
dari 50%, yaitu pada saat nilai DRCR sama dengan 1
(Tabel 5 dan Gambar 4).
Tabel 5. Pengaruh Perubahan Harga Output Terhadap Daya Saing Usahatani Bawang Merah Perubahan (%)
0
10
20
30
40
50
PCR
0,222
0,264
0,324
0,366
0,421
0,599
1,040
DRCR
0,29
0,35
0,44
0,50
0,59
0,89
1,82
2.000 1.800 1.600 1.400
PCR/DRCR
25
1.200 PCR
1.000 0.800
-
10
20
30
40
50
60
DRCR
0.600 0.400 0.200 0.000
Perubahan harga output (%)
Gambar 4. Pengaruh Perubahan Harga Output Terhadap Nilai PCR dan DRCR Dampak Perubahan Biaya Input Tradeable Terhadap Daya Saing Biaya Produksi usahatani bawang merah di antaranya mencakup input tradeable yang meliputi sarana produksi berupa benih, pupuk dan pestisida. Biaya input tradeable merupakan komponen biaya produksi terbesar yang mencapai 72% (privat) dan
73% (sosial). Oleh karena itu perubahan jumlah dan harga input ini sangat sensitif terhadap besarnya biaya input tradeable yang harus dikorbankan oleh produsen. Nilai PCR dan DRCR akan semakin besar dengan semakin besarnya kenaikan biaya input tradeable, karena akan menyebabkan semakin rendahnya nilai tambah finansial atau ekonomis input tersebut. Dalam artian, semakin besarnya kenaikan biaya input tradeable akan berdampak terhadap semakin tidak kompetitifnya usahatani bawang merah. Ditinjau dari perubahan meningkatnya biaya input tradeable (Tabel 6 dan Gambar 5) menunjukkan bahwa dari hasil analisis sensitivitas diperoleh temuan nilai PCR dan DRCR sama dengan satu pada tingkat kenaikan biaya input tradeable masing-masing sebesar 136% dan 90%. Artinya, secara finansial usahatani bawang merah masih memiliki keunggulan kompetitif seandainya kenaikan biaya input tradeable tidak lebih dari 136%. Sementara secara ekonomis masih memiliki keunggulan komparatif apabila biaya input tradeable usahatani bawang merah kurang dari 90%.
Tabel 6. Pengaruh Perubahan Biaya Input Tradeable Terhadap Daya Saing Usahatani Bawang Merah Perubahan (%)
0
25
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130 0,87
140
150
1,12
1,57
0,29 0,32 0,34 0,36 0,38 0,42 0,48 0,55 0,64 0,78 0,99 1,35 2,12 4,93 -14,97 -2,97 -1,65
DRCR
PCR/DRCR
20
0,22 0,24 0,25 0,26 0,27 0,29 0,31 0,34 0,37 0,41 0,46 0,52 0,60 0,71
PCR
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0 -1.00 -2.00 -3.00 -4.00 -5.00 -6.00 -7.00 -8.00 -9.00 -10.00 -11.00 -12.00 -13.00 -14.00 -15.00 -16.00
10
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130 140 150 160
PCR DRCR
Perubahan biaya input tradable (%)
Gambar 5. Pengaruh Perubahan Biaya Input Tradeable Terhadap Nilai PCR dan DRCR
Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Dampak Perubahan Biaya Faktor Domestik Terhadap Daya Saing Besarnya komponen biaya faktor domestik terhadap total biaya hanya sekitar 28% untuk privat dan 27% untuk sosial. Biaya ini meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja, modal kerja, penggunaan air dan sewa lahan. Perubahan biaya faktor domestik terhadap daya saing relatif kurang sensitif dibandingkan dengan biaya input tradeable. Dalam kondisi yang ada, pada harga aktual dengan kenaikan biaya faktor domestik di bawah 250%, usahatani bawang merah secara finansial privat masih memiliki keunggulan kompetitif. Sementara pada harga sosial, usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo masih memiliki keunggulan komparatif jika tingkat kenaikan biaya faktor domestik
51
tidak melebihi 244%. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo, keunggulan komparatif lebih sensitif terhadap
perubahan biaya yang terjadi dibandingkan dengan keunggulan kompetitif.
Tabel 7. Pengaruh Perubahan Biaya Faktor Domestik Terhadap Daya Saing Usahatani Bawang Merah Perubahan (%)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
PCR
0.222
0.334
0.445
0.556
0.667
0.778
0.889
1.001
1.112
DRCR
0.291
0.436
0.581
0.727
0.872
1.018
1.163
1.308
1.454
menjadi semakin mahal (dalam mata uang domestik), sehingga akan mengurangi impor. Kondisi ini akan mendorong ekspor bawang merah karena harga komoditas dalam mata uang lokal menjadi semakin murah bagi pengimpor dan merangsang petani untuk lebih meningkatkan produksinya. Menguatnya nilai tukar mata uang asing tidak merubah nilai PCR, tetapi hanya berpengaruh pada nilai DRCR. Menguatnya nilai tukar uang asing akan menurunkan nilai DRCR yang disebabkan oleh meningkatnya revenue sosial akibat meningkatnya harga output. Artinya, keunggulan kompetitif usahatani bawang merah tida berubah, sedangkan keunggulan komparatif semakin meningkat (Tabel 8 dan Gambar 7). Penurunan nilai rupiah sebesar 5% menyebabkan meningkatnya daya saing komparatif bawang merah sekitar 9%. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa keunggulan komparatif sangat sensitiv terhadap perubahan nilai tukar mata uang.
1.600 1.400
PCR/DRCR
1.200 1.000 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
PCR
0.800
DRCR
0.600 0.400 0.200 0.000
Perubahan biaya faktor domestik (%)
Gambar 6. Pengaruh Perubahan Biaya Faktor Domestik Terhadap Nilai PCR dan DRCR Dampak Perubahan Biaya Nilai Tukar Terhadap Daya Saing Dampak menguatnya nilai tukar mata uang asing (US$) terhadap mata uang domestik (Rupiah) mengakibatkan harga impor komoditas bawang merah
Tabel 8. Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Terhadap Daya Saing Usahatani Bawang Merah Sensitivitas (%)
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
PCR
0.22
0.22
0.22
0.22
0.22
0.22
0.22
0.22
0.22
0.22
0.22
DRCR
0.50
0.44
0.39
0.35
0.32
0.29
0.27
0.25
0.23
0.22
0.20
1.10 1.00 -30
-25
-20
-15
-10
-5 0 0.90
5
10
15
20
25
30
PCR/DRCR
0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10
Perubahan nilai tukar (%)
Gambar 7. Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Terhadap Nilai PCR dan DRCR
52 Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
PCR DRCR
Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Usahatani Bawang Merah Kebijakan Pemerintah terhadap Input Tradeable Kebijakan pemerintah terhadap nilai input tradeable dalam usahatani bawang merah di Kabupaten Probolinggo tercermin pada nilai indikator transfer input (IT), sedangkan besarnya nilai insentif yang diberikan oleh pemerintah terhadap input produksi tradeable dapat diamati dari nilai indikcator Nominal Protection Coefficien on Input (NPCI). Hasil analisis PAM terhadap input tradeable usahatani bawang merah menunjukkan nilai IT minus Rp 742.150,- dan nilai NPCI sebesar 0,972 (Tabel 9). Dari nilai IT tersebut dapat dinyatakan bahwa biaya input tradeable privat lebih rendah dibandingkan dengan biaya input tradeable sosialnya. Hal ini disebabkan karena adanya transfer dari pemerintah kepada petani bawang merah dengan kebijakannya yang berupa subsidi harga untuk
pupuk Urea dan TSP. Fakta ini mengindikasikan bahwa subsidi harga input berdampak positif terhadap kemampuan daya saing komoditas yang dihasilkan petani. Tabel 9. Nilai IT dan NPCI Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Probolinggo Uraian
Nilai
IT (Rp)
-742.150
NPCI Sumber : Hasil Analisis Data Primer.
0,972
Tabel 11. Nilai OT dan NPCO Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Probolinggo Uraian
Sementara dari nilai NPCI (= 0,972) yang kurang dari satu menunjukkan bahwa dalam aktivitas usahatani bawang merah terdapat intervensi pemerintah terhadap input tradeable. Pemerintah memberikan subsidi terhadap input tradeable yang digunakan petani dalam upaya untuk mencukupi kebutuhan atau memenuhi permintaan bawang merah dalam negeri, serta memanfaatkan peluang ekspor yang terbuka bagi komoditas ini. Kebijakan pemerintah terhadap input non tradeable Dari hasil analisis PAM menunjukkan bahwa biaya usahatani untuk barang-barang domestik dibayar oleh produsen (petani) dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga sesungguhnya. Hal ini terlihat dari nilai FT yang positif sebesar Rp. 181.289. Kebijakan pemerintah terhadap input non-tradeable mampu memberikan nilai tambah terhadap agribisnis bawang merah. Fakta ini ditunjukkan oleh nilai NT yang positif sekitar Rp. 11 juta (Tabel 10). Tabel 10. Nilai FT dan NT Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Probolinggo Uraian
pendapatan dari konsumen ke produsen (petani). Pada hakekatnya pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap harga output bawang merah di Kabupaten Probolinggo. Harga bawang merah yang berlaku di tingkat petani sesungguhnya murni terjadi karena mekanisme pasar yang cenderung fluktuatif. Namun demikian dimungkinkan adanya kebijakan pemerintah yang mendukung ekspor output.
Nilai
FT (Rp)
181.289
NT (Rp) 11.009.715 Sumber : Hasil Analisis Data Primer. Kebijakan Pemerintah terhadap Output Untuk menguji hipotesis ketiga mengenai kebijakan pemerintah terhadap nilai output dalam agribisnis bawang merah di Kabupaten Probolinggo, dapat menggunakan indikator Transfer output (OT) dan indikator Nominal Protection Coefficien on Output (NPCO). Produk bawang merah di Kabupaten Probolinggo sebagai komoditas pertanian domestik memperoleh proteksi dari pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai NPCO yang lebih besar dari 1 (=1,174) dan nilai transfer output (OT) yang juga positif sekitar Rp. 10, 5 juta (Tabel 11). Fakta ini mengindikasikan bahwa petani bawang merah di Kabupaten Probolinggo menerima harga output yang relatif lebih tinggi sekitar 17,4 persen dibanding harga di tingkat pasar dunia. Artinya, ada transfer
Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
OT (Rp) NPCO
Nilai 10.448.855 5 1,174
Sumber : Hasil Analisis Data Primer. KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Agribisnis bawang merah di Kabupaten Probolinggo masih menguntungkan dan layak untuk tetap diusahakan, baik secara finansial (Rp. 34,9 juta/ha/musim) maupun ekonomi (Rp. 23,9 juta/ha/musim). 2. Agribisnis bawang merah di Kabupaten Probolinggo masih memiliki daya saing, baik keunggulan kompetitif (PCR = 0,222) dengan daerah lain, maupun keunggulan komparatif (DRCR = 0,291) dengan negara lain. 3. Keunggulan kompetitif sangat sensitif terhadap perubahan harga input, produktivitas, dan harga output, tetapi tidak terpengaruh oleh perubahan nilai tukar. Sementara keunggulan komparatif, selain sensitif terhadap perubahan produktivitas, harga input dan harga output, juga peka terhadap perubahan nilai tukar. 4. Kebijakan pemerintah terhadap harga input tradeable (subsidi harga input) berdampak positif terhadap kemampuan daya saing komoditas bawang merah yang dihasilkan petani di Kabupaten Probolinggo. Sementara dampak terhadap harga output tidak ada. Harga output terbentuk kerana mekanisme pasar, bukan diakibatkan oleh adanya intervensi pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W. dan T.A. Soetiarso (1997), Keunggulan Komparatif dan Insentif Ekonomi Usahatani bawang Merah, Jurnal Hortikultura, Volume 7, No. 7. Balai penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung. Agustian, Adang dan Supena (2005), Analisis Perkembangan Ekspor dan Daya Saing Komoditas Kopi di Provinsi Lampung, Pusat
53
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. BPS Pemerintah Kabupaten Probolinggo (2000-2008), Kabupaten Probolinggo Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Pemerintah Kabupaten Probolinggo, Probolinggo. Deptan (2005), Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah, Departemen Pertanian, Jakarta. Grey, Clive dkk (1988), Pengantar Evaluasi Proyek, Edisi Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Monke, E.A., dan S.R. Pearson, S.R. (1989), The Policy Analisis Matrix for Agricultural Development, Cornell University Press, London. Pearson, S.R., C. Gotsch dan S. Bahri (2004),
54 Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Applications of The Policy Analisis Matrix in Indonesian Agriculture, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Saptana, H.M. dan Supena Friyanto (2004), Daya Saing Komoditas Bawang Merah dan Cabe Merah Simalungun Sumatera Utara, Jurnal Agribisnis dan Industri Pertanian, Volume 3 No. 1, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Siregar, M dan Saptana (2003), Daya Saing Komoditas Bawang Merah di Jawa Tengah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.