i
ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)
NOVITA RANDAN I34070095
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT NOVITA RANDAN. IMPACT ANALYSIS OF MARINE CONSERVATION AREAS ESTABLISHMENT ON THE FISHERS SOCIO ECONOMIC CONDITION (In Case of Marine Protected Areas (MPAs) Saporkren Village, Waigeo Selatan District, Raja Ampat Regency, West Papua ). Under supervision by ARIF SATRIA. Damage to coastal and marine resources in Indonesia leads to a conservation effort for ecosystem sustainability. Marine Protected Areas (MPAs) are established with the aim to protect marine ecosystems within and ensure the welfare of fishers living around the area. When MPAs are formed it will have an impact on limiting the rights of fishers and fishers fishing area changes, and also affect on the catch of fishers and their income. The goals of this research are to, (1) analyze the impact of MPA establishment against bundles of fishers’s rights, (2) analyze the impact of MPA establishment towards the income level of fishers. Results show that, (1) the establishment of MPA causes a change in the second type rights of fishers which is utilization type, while the access rights, management rights, and exclusion rights are retained by the fishers, (2) The establishment of marine protected areas give a positive effect on the income of fishers . Most of the fishers stated that the catch and their income increased since the establishment of MPA, caused by major increase of the fish quantity, which allowed fishers catches fish more easily. Keywords: Marine Protected Areas (MPAs), bundles of rights, fishers response, revenue
iii
RINGKASAN NOVITA RANDAN. ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat) (Di bawah bimbingan ARIF SATRIA)
Indonesia dikenal dengan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki sumberdaya laut dan pesisir yang melimpah. Jutaan penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut yang ada. Kesejahteraan masyarakat terjamin apabila kelestarian pesisir dan laut tetap dijaga, tetapi akan mengancam jika sumberdaya yang dimiliki rusak. Salah satu upaya yang dianggap dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya tersebut adalah penetapan suatu kawasan konservasi laut. Kabupaten Raja Ampat adalah salah satu kabupaten bahari yang wilayahnya terdiri dari ratusan pulau besar dan kecil. Posisinya pada jantung segitiga karang dunia menjadikan kabupaten ini termasuk dalam salah satu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut tropis terkaya (CII 2004 dikutip DKP Raja Ampat 2009). Kekayaan keanekaragam hayati yang dimiliki Kabupaten Raja Ampat menjadi salah satu pendorong upaya perlindungan sumberdaya laut. Salah satu kegiatan konservasi yang dilakukan adalah pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan yang menjadi zona ini dari KKLD disebut Daerah Perlindungan Laut (DPL). Tujuan pembentukan suatu kawasan konservasi, dalam hal ini Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah menjaga ekosistem di dalam laut baik itu karang, ikan, megabenthos, dan hasil laut lainnya. Jika semua hasil laut dilindungi maka dapat menjamin kesejahteraan nelayan sebagai pihak yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem tersebut. Selain itu, ketika DPL dibentuk tentu saja akan berpengaruh pada kondisi sosial maupun perekonomian para nelayan, untuk mengetahui dampak yang terjadi maka perlu dilakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak penetapan DPL terhadap seperangkat hal (bundles of right) nelayan, dan dampaknya terhadap tingkat pendapatan para nelayan.
iv
DPL Yenmangkwan merupakan salah satu DPL yang dikembangkan oleh Kabupaten Raja Ampat melalui sistem pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), dan berada di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kondisi karang dan ikan karang diharapkan dapat terjaga bahkan meningkat dengan upaya konservasi melalui pembentukan DPL. Disamping untuk keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain berdampak positif terhadap kesejahteraan nelayan. Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data dari responden dengan menggunakan kuesioner. Peneliti melakukan survai pada 39 responden terkait respon mereka terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Yenmangkwan. Survai menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan memiliki respon yang positif terhadap DPL, artinya nelayan menyetujui adanya pembentukan kawasan tersebut. Hal ini didukung dengan minimnya konflik sejak pembentukan DPL diantara masyarakat dengan pihak penanggung jawab DPL. Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Yenmangkwan dilakukan pada akhir Tahun 2007, dan sejak saat itu segala aktivitas khususnya aktivitas menangkap ikan atau hasil laut lainnya. Perubahan tersebut terlihat pada perubahan hak nelayan, dimana pada tipe hak nelayan yakni hak pemanfaatan mengalami perubahan, sedangkan hak akses, pengelolaan, dan hak ekslusi tetap dimiliki para nelayan. Segala aktivitas yang terkait dengan pengambilan hasil laut dan berenang ataupun penyelaman sangat ditentang untuk dilakukan oleh siapapun. Hal yang menarik disini adalah walaupun hak pemanfaatan nelayan mengalami perubahan tetapi tidak menimbulkan konflik skala besar terkait kepemilikan sumberdaya laut diantara para aktor yang terlibat. Hal ini didasarkan pada beberapa hal yaitu: 1) sifat pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berbasis pada masyarakat lokal; 2) dukungan pemerintah daerah dan kampung melalui
penglegitimasian
SPKRN/2010
tentang
Perkam
Pengelolaan
DPL
Yenmangkwan
Daerah
Perlindungan
No.001/DPL/KPLaut
Berbasis
Masyarakat; 3) adanya kompensasi dari DKP melalui Coremap II bagi kampung untuk mendukung penyediaan sarana-prasarana kampun; 4) pengalaman sistem pengelolaan laut tradisional yakni Sasi yang telah diterapkan masyarakat lokal.; 5)
v
dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama sebagai penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi. Salah satu tujuan dari pembentukan DPL adalah meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari lokasi penelitian,
hampir
seluruh responden
menyatakan
bahwa
sejak
pembentukan DPL, hasil tangkapan dan pendapatan mereka pun bertambah. DPL dianggap sebagai tempat tabungan ikan, artinya DPL menjadi tempat seluruh ikan datang untuk berkembang biak dan kemudian akan keluar dari lokasi tersebut menuju daerah laut di luar zona DPL. Ikan-ikan yang keluar dari lokasi tersebut kemudian ditangkap oleh para nelayan, dan dinyatakan oleh responden bahwa ikan di sekitar kawasan DPL mengalami peningkatan kuantitasnya. Artinya bahwa pembentukan DPL Yenmangkwan di Kampung Saporkren memberikan dampak positif terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan.
vi
ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)
Oleh : NOVITA RANDAN I34070095
SKRIPSI Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vii
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Novita Randan
NIM
: I34070095
Judul Proposal
: ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)
Skripsi
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198 103 1 003 Tanggal Lulus Ujian :
viii
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN
INI
BERJUDUL KONSERVASI
SAYA
MENYATAKAN
“ANALISIS LAUT
DAMPAK
DAERAH
BAHWA
SKRIPSI
PENETAPAN
TERHADAP
YANG
KAWASAN
KONDISI
SOSIAL
EKONOMI NELAYAN (KASUS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT KAMPUNG SAPORKREN, DISTRIK WAIGEO SELATAN, KABUPATEN RAJA AMPAT, PAPUA BARAT)“ BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK
TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA
SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
BOGOR, AGUSTUS 2011
NOVITA RANDAN I34070095
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Novita Randan atau sering dipanggil Novi, dilahirkan di Nabire, Papua pada tanggal 03 November 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Yohanis Randan dan ibu Ruth. Pendidikan yang telah ditempuh adalah taman kanak-kanak selama satu tahun di TK Maranatha Nabire pada Tahun 1994 -1995, sekolah dasar selama enam tahun di SDN Inpres Oyehe Nabire pada Tahun 1995-2001, sekolah menengah pertama selama tiga tahun di SMPN 01 Nabire pada Tahun 2001-2004, dan sekolah menegah atas selama tiga tahun di SMAN 01 Nabire pada Tahun 2004-2007. Kemudian pada Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah IPB (BUD). Penulis merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Penulis mulai mengikuti kegiatan organiSasi diantaranya OSIS dan Pramuka sejak berada di sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Kemudian selama di bangku kuliah, penulis juga aktif dalam UKM Kristen dan OMDA Papua serta pernah mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis juga pernah meraih prestasi sebagai juara pertama olimpiade kimia SMA tingkat Kabupaten, juara harapan dua lomba menyanyi tingkat Kabupaten, dan mendapat juara dua kategori solo dalam acara festival musik PMK-IPB Tahun 2011. Penulis memiliki hobi membaca, traveling, dan bernyanyi. Penulis juga memiliki minat yang besar pada isu-isu pengembangan masyarakat serta kajian sosial pesisir dan kelautan.
x
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi
berjudul
KONSERVASI
”ANALISIS LAUT
DAMPAK
DAERAH
PENETAPAN
TERHADAP
KAWASAN
KONDISI
SOSIAL
EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penetapan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan. Tujuan lainnya ialah untuk menganalisis pengaruh DPL terhadap tingkat pendapatan nelayan. Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2011
Novita Randan NIM I34070095
xi
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis naikkan pada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan penyertaan-NYA, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah membimbing, memberikan saran, koreksi, pemikiran, dan bantuan materiil sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan .
2.
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen ujian petik yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi penulis.
3.
Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, Ms dan. Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji dalam sidang skripsi penulis yang telah memberikan saran dan kritikan bagi penulisan skripsi penulis.
4.
Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah mengajar dan mendidik penulis.
5.
Orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan perhatian bagi penulis. Sangat mencintai kalian.
6.
Seluruh sanak saudara (k’ Markus sekeluarga, k’ Ida sekeluarga, k’ Panus sekeluarga, k’ Mesak, k’ Feri, k’ Tina sekeluarga, dek Ima, dek Nolin, dek Silva, om Gunadi sekeluarga) yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan perhatian penuh bagi penulis.
7. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menuntut ilmu di IPB. 8. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat (Bpk. Manuel), Koordinator COREMAP II Raja Ampat (Ibu Meidi), Kabag Litbang Bappeda, seluruh staff Litbang Bappeda, staff DKP, staff COREMAP II, Kepala Kampung dan aparat Kampung Saporkren yang telah memberikan informasi selama penulis melakukan penelitian.
xii
9. K’ Esma, k’ Maurits, k’ Adi, k’ Herlin, k’ Bun, k’ Yuni, k’ Carla, dan k’ Daud sekeluarga yang telah memberikan pertolongan, dukungan, dan informasi selama penulis melakukan pengumpulan data. 10. Tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh masyarakat Saporkren yang bersedia memberikan informasi dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian. 11. Bapak Pdt. Daniel S. Koamesakh sekeluarga, Bpk. A. Sinaga sekeluarga, Bpk. Jeksen Simanjutak sekeluarga, Bpk. Shandy sekeluarga, Bpk. Suhendra sekeluarga, beserta tim pengerja GBI Ciomas yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang senantias memberi dukungan doa dan memotivasi penulis. 12. Rekan pelayan GBI Ciomas (k’ Nofa, k’ Isak, k’ Dial, k’ Jefri, k’ Rini, k’ Sarah, k’ Bagus, k’ Rheiner, David, Bensa, Connie, Angeline, Glory, Eka, Beatrick, Ikral, Well, Aftian, Andreas, Anna, Angel, Markus, Frisca, Versi, Helen, Ovie, Puyun, Dewi, Horas, Devi, Desi, Putri, Susi, dan semua yang belum sempat disebut satu persatu) yang tak pernah lelah memberikan motivasi, semangat, kritikan yang membangun, dan doa. Sangat menyayangi kalian. 13. Sahabatku, Reni dan Leni yang memberikan motivasi, dukungan doa, dan mau menjadi teman berbagi perasaan dan pengetahuan saat suka maupun duka. Tak akan pernah terlupakan kebersamaan kita. 14. Teman sepembimbingan (Helmi, Diah, Ume, Yochan, Maya, k’ Ratna) yang memberi saran dan mau bertukar pikiran dengan penulis. 15. Semua teman KPM 44 yang kurang lebih tiga tahun telah bersama dalam suka dan duka menjalani aktifitas sebagai mahasiswa yang saling memberikan semangat, dan kerjasamanya selama ini. 16. Christin dan Vlorent yang mau menjadi sahabat dan tempat mencurahkan isi hati selama di KPM. 17. Semua teman-teman BUD dari Nabire yang memberikan semangat dan doa. 18. Teman-teman kosan perwira 77 yang mau memberikan dukungan buat penulis.
xiii
19. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua yang membaca dan semoga kesuksesan saya dapat membanggakan bagi Tuhan, keluarga, dosen, agama, teman, dan sahabat-sahabatku. Bogor, Agustus 2011 PENULIS
xiv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xix DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xx BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Masalah Penelitian ................................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................... 3 1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................................. 3 BAB II PENDEKATAN TEORITIS .................................................................. 5 2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................... 5 2.1.1 Konservasi.......................................................................................... 5 2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi ............................ 5 2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi ....................................................... 6 2.1.2 Daerah Perlindungan Laut .................................................................. 8 2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL ............................... 8 2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) ............ 9 2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ...................... 10 2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL ......................................................... 12 2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ...................... 12 2.1.4 Hak Kepemilikan .............................................................................. 13 2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir ....................................... 15 2.1.5.1 Pendapatan ..................................................................................................... 17 2.1.6 Sikap ................................................................................................ 17 2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 18 2.3 Hipotesis ............................................................................................. 21 2.4 Definisi Konseptual ............................................................................. 21 2.5 Definisi Operasional ............................................................................ 22 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ............................................................ 25 3.1 Lokasi dan Waktu................................................................................ 25 3.2 Teknik Pengumpulan Data................................................................... 25 3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 28 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ............................................... 30 4.1 Kondisi Geografis ............................................................................... 30 4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ....................................................... 30 4.1.2 Konteks Kampung ............................................................................ 31 4.2 Kondisi Demografi .............................................................................. 33 4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ....................................................... 33 4.2.2 Konteks Kampung ............................................................................ 34
xv
4.3 Kondisi Ekonomi................................................................................. 34 4.4 Kondisi Sosial ..................................................................................... 36 4.4.1 Tingkat Pendidikan ........................................................................... 36 4.4.2 Budaya/Tradisi ................................................................................. 37 4.4.3 Kelembagaan Desa ........................................................................... 38 4.5 Potensi Pesisir dan Kelautan ................................................................ 39 4.5.1 Perhubungan..................................................................................... 39 4.5.2 Sarana dan Prasarana ........................................................................ 39 4.5.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap ....................................................... 40 4.5.4 Terumbu Karang............................................................................... 41 4.6 Karakteristik Responden...................................................................... 41 4.6.1 Jenis Kelamin Responden ................................................................. 41 4.6.2 Tingkat Usia Responden ................................................................... 42 4.6.3 Tingkat pendidikan Formal Responden ............................................. 43 BAB V KAWASAN KONSERVASI LAUT .................................................... 44 5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat .................................................. 44 5.1.1 Terumbu Karang............................................................................... 45 5.1.2 Ikan Karang ...................................................................................... 46 5.1.3 Hutan Mangrove ............................................................................... 48 5.1.4 Padang Lamun .................................................................................. 48 5.1.5 Hutan Rawa ...................................................................................... 49 5.1.6 Bahan Galian Tambang .................................................................... 49 5.1.6.1 Nikel................................................................................................................ 49 5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas ................................................................................ 49 5.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat .................................... 50 5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo ......................................................... 51 5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan............................................................ 52 5.2.3 KKLD Selat Dampier ....................................................................... 53 5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia ........................................................... 54 5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag ........................................................... 55 5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit .................................................................... 56 5.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL) ........................................................ 57 5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL ................................................. 58 5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL ...................... 59 5.3.3 Penetapan DPL ................................................................................. 59 5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut .................................. 60 5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary) ........................................... 60 5.4.2 Peraturan (Rules) .............................................................................. 61 5.4.3 Hak (Rights) ..................................................................................... 62 5.4.4 Kewenangan (Authority) ................................................................... 62 5.4.5 Pengawasan (Monitoring) ................................................................. 63 5.4.6 Sanksi (Sanctions) ............................................................................ 64 BAB VI DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI SOSIAL NELAYAN ........................................................................................................ 65 6.1 Analisis Stakeholder ............................................................................ 65 6.1.1 Pemerintah Daerah ........................................................................... 65
xvi
6.1.2 Coremap ........................................................................................... 66 6.1.3 Masyarakat ....................................................................................... 69 6.2 Sikap Masyarakat Terhadap Penetapan DPL ........................................ 71 6.3 Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak (Bundles of right) Nelayan ... 73 6.3.1 Sebelum adanya DPL ....................................................................... 74 6.3.2 Setelah adanya DPL.......................................................................... 75 6.4 Konflik ................................................................................................ 79 BAB VII DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI NELAYAN ........................................................................................................ 81 7.1 Pola Produksi Nelayan......................................................................... 81 7.1.1 Armada dan Peralatan Tangkap ........................................................ 81 7.1.2 Musim Penangkapan Ikan ................................................................. 83 7.1.3 Lokasi Penangkapan Nelayan ........................................................... 84 7.1.4 Jenis-jenis Hasil Tangkapan.............................................................. 85 7.2 Biaya Investasi .................................................................................... 86 7.3 Biaya Tetap ......................................................................................... 87 7.4 Biaya Variabel..................................................................................... 88 7.5 Pendapatan dan karakteristik usaha ...................................................... 89 7.6 Hubungan Penetapan DPL Terhadap Pendapatan Nelayan ................... 91 7.6.1 Sebelum Penetapan DPL .................................................................. 92 7.6.2 Setelah Penetapan DPL ..................................................................... 93 BAB VIII PENUTUP ........................................................................................ 98 8.1 Kesimpulan ......................................................................................... 98 8.2 Saran ................................................................................................... 99 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... xxi LAMPIRAN ................................................................................................... .xxv
xvii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia…………………………………………………
14
Tabel 2.
Status Hak Kepemilikan………………………………….
15
Tabel 3.
Jenis Data Primer dan Sekunder yang dikumpulkan di Lapangan……………………………………………….
26
Luas dan Persentase Wilayah di Kabupaten Raja Ampat menurut Distrik…………………………………………..
31
Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009……………………
33
Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut Jenis Kelamin……………………………………………
34
Jumlah dan Kondisi Sarana-Prasarana di Kampung Saporkren………………………………………………...
39
Persentase Tutupan Karang menurut Jenis Karang di DPL Yenmangkwan Tahun 2009………………………..
41
Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di Kabupaten Raja Ampat…………………………………
46
Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai CI, TNC, WWF Tahun 2001 dan 2002…………………..
46
Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat…………………………………………………….
50
Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja Ampat………………………………………………….....
57
Peranan Stakeholders DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren………………………………………………
70
Jumlah dan Persentase Responden menurut Respons Responden Terhadap Pembentukan DPL………………...
72
Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model Pengelolaan DPL di Kampung Saporkren……………….
77
Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan Status……………………………………………………..
81
Jenis Alat Tangkap dan Jenis Tangkapan Nelayan
82
Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17.
xviii
Saporkren ……………………………………………….. Tabel 18.
Kalender Musim Tangkap Nelayan Saporkren…………..
83
Tabel 19.
Harga Jual Ikan menurut Jenisnya……………………….
85
Tabel 20.
Rataan Biaya Investasi Perikanan Responden menurut Jenisnya………..................................................................
87
Rataan Biaya Tetap Responden menurut Jenisnya…………………………………………………..
88
Rataan Biaya Variabel Responden menurut Jenisnya Saporkren………………………………………………...
89
Pendapatan Rata-rata Nelayan Per Bulan………………...
90
Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23.
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Daerah Perlindungan Laut……………………………
9
Gambar 2.
Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir……………...
11
Gambar 3.
Kerangka Pemikiran………………………………….
20
Gambar 4.
Komponen Analisis Data : Model Interaktif…………
28
Gambar 5.
Jenis Mata Pencaharian Penduduk Saporkren………..
35
Gambar 6
Jumlah Responden menurut Golongan Usia…….
42
Gambar 7
Tingkat Pendidikan Formal Responden……………...
43
Gambar 8.
Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat…..
47
Gambar 9.
Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren……………………………………………..
58
Gambar 10.
Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren……
60
Gambar 11.
Penangggung Jawab Pengelolaan DPL Raja Ampat….
66
Gambar 12.
Struktur Kelembagaan Coremap Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir………………….
68
Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah Penetapan DPL Saporkren…………………………....
78
Penggolongan Responden menurut Tingkat Pendapatan Rata-rata Kampung Saporkren…………..
91
Gambar 15.
Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan……...
93
Gambar 16.
Konsep Ekologis DPL Raja Ampat…………………..
95
Gambar 17.
Grafik Hasil Tangkapan Per bulan Kampung Saporkren Tahun 2009……………………………….
96
Gambar 13. Gambar 14.
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Lokasi Penelitian……………………………….
xxv
Lampiran 2.
Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Tahun 2009………………………….
xxvi
Lampiran 3.
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011……
xxviii
Lampiran 4.
Kerangka Sampling…………………………….
xxix
Lampiran 5.
Daftar Responden………………………………
xxx
Lampiran 6.
Dokumentasi Penelitian………………………...
xxxi
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Data Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 menunjukkan luas daratan
Indonesia adalah 1,9 juta km persegi, sedangkan luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km persegi. Luasan ini terdiri dari luas perairan kepulauan sebesar 2,3 juta km persegi, luas perairan teritorial 0,8 juta km persegi, dan luas perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 2,7 juta km persegi. Selain itu terdapat pula 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (KKP 2009), beserta kekayaan sumberdaya di dalam laut maupun kawasan pesisir. Kekayaan sumberdaya laut dan pesisir yang dimiliki negara kita Indonesia pun mendapat tantangan bagi keberlanjutan di masa mendatang, akankah tetap terjaga kelestariannya atau justru mengalami penurunan atau kerusakan ekosistem di dalam laut dan pesisir. Keindahan dan kekayaan sumberdaya baik sumberdaya yang dapat pulih dan sumberdaya tak dapat pulih yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini menjadi salah satu pendukung adanya penetapan kawasan konservasi laut. Hal ini diperkuat dengan salah satu tujuan dari penetapan kawasan konservasi yakni melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses ekologi. Ketika kelestarian sumberdaya alam tercapai dan terjadi keseimbangan ekosistem maka dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Undang-Undang Konservasi Hayati Tahun 1990 pasal 3 dikutip oleh Hardjasoemantri 1991). Selain itu, menurut Bengen (2000) dikutip Putra (2001), tujuan konservasi yaitu melindungi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologi di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankannya produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan. Demi tercapainya kelestarian sumberdaya alam laut, maka salah satu langkah yang dianggap tepat adalah penetapan Kawasan Konservasi Laut (KKL), dengan anggapan bahwa ketika para pengguna sumberdaya laut dibatasi hak dan wewenangnya atas potensi laut dan
2
pesisir, maka upaya memperkecil terjadinya kerusakan sumberdaya laut dapat tercapai. Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola melalui sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Sistem KKL di Kabupaten Raja Ampat adalah sistem Kawasan Konservasi Laut Daerah yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat dan salah satu zona inti dari KKLD ini adalah Daerah Perlindungan Laut (DPL). DPL adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya laut (Coremap II 2009). Namun menjadi hal penting yang harus diperhatikan adalah dampak dari penetapan kawasan konservasi laut, dalam hal ini yakni DPL terhadap masyarakat atau nelayan yang berada di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat pesisir atau nelayan telah menggantungkan hidup mereka pada sumberdaya laut di sekitar mereka dan telah berlangsung turun temurun. Artinya bahwa mereka berhak pula mengatur dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut di kawasan konservasi. Kebijakan penetapan kawasan konservasi yaitu DPL terkadang mengundang kontroversi, terutama berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan. Pro dan kontra di kalangan masyarakat pesisir pun terjadi. Sebagian nelayan beranggapan bahwa dengan adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL) akan berdampak terhadap menurunnya pendapatan nelayan karena tertutupnya sebagian area penangkapan ikan (fishing ground) mereka dan hak-hak mereka menjadi terbatas untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Tetapi ada pula yang mendukung penetapan kawasan ini, dengan asumsi akan terjadi keberlanjutan bagi ekosistem pesisir dan laut, serta akan berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan. Hal inilah yang akan diteliti dalam penelitian ini, dengan menganalisis bagaimana dampak yang dirasakan oleh nelayan sekitar kawasan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan, apakah terjadi peningkatan pendapatan setelah ditetapkannya DPL ini atau justru mengalami penurunan karena keterbatasan hak, dan apakah terjadi perubahan hak-hak nelayan atas sumberdaya yang ada.
3
1.2
Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusunlah dua rumusan masalah
sebagai berikut : 1. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan? 2. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan. 2. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak,
diantaranya adalah : 1. Bagi akademisi Tulisan ini dapat menambah literatur bagi akademisi dalam mengkaji masalah pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan dan dampaknya bagi seperangkat hak nelayan dan tingkat pendapatan nelayan. 2. Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsi dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang relevan terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut dan pengelolaan yang menjamin keberlanjutannya serta secara jelas mengetahui berdasarkan data kuantitatif tentang manfaat keberadaan KKL bagi masyarakat nelayan setempat.
ekonomi
4
3. Bagi Masyarakat Pesisir Penelitian ini diharapkan menjadi pedoman bagi nelayan dalam mengelola Daerah Perlindungan Laut (DPL) dengan kemampuan dan potensi masyarakat setempat.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konservasi Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi prosesproses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai berikut: “Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.
Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2.
2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001): 1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem. 2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.
6
3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. 4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut. 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.
Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan. Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring.
2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi Sistem zonasi kawasan konservasi adalah pembagian wilayah di dalam kawasan menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka mencapai tujuan
7
pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya (DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002). Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen (2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu: 1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas manusia khususnya mengeksploitasi. 2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi kawasan dari pengaruh eksternal. 3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penetapan zonasi di atas hampir berlaku di seluruh kawasan konservasi di Indonesia walaupun ada kawasan yang memiliki batas zonasi lebih dari ketiga zona di atas. Ketika penetapan zonasi dilakukan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan adalah komunitas lokal atau masyarakat pesisir yang beroperasi di zona-zona tersebut. Banyak kasus dilapangan membuktikan, area yang sering dilalui nelayan lokal harus di ambil dan dijadikan zona terlindungi bahkan nelayan tersebut tidak boleh melintas atau beroperasi di area tersebut. Padahal area yang termasuk zona terlindungi merupakan area yang sudah sejak lama mereka manfaatkan dan kelola. Hal ini lah yang justru menimbulkan konflik, sehingga ketika penetapan zonasi harus melibatkan peran masyarakat lokal guna meminimalisir konflik yang akan terjadi.
8
2.1.2 Daerah Perlindungan Laut 2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM (Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan kampung (Coremap II 2009). Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan untuk : 1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010) 2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi perikanan (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 4. Mengembangkan
kegiatan
yang
dapat
meningkatkan
perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat (Coremap II 2009) DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin
9
mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009) Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut 2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) COREMAP II (2008) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari Daerah Perlindungan Laut diantaranya adalah, (i) meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal, (ii) keuntungan ekonomis karena pemeliharaan ikan yang lebih baik, (iii) menciptakan kesempatan kerja, dan (iv) membantu penegakan aturan. DPL harus memiliki zona inti, yaitu suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya sama sekali tidak diperbolehkan (no take zone area). Begitu juga kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona inti seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu di atas terumbu karang juga dilarang. Aturan larang ambil sangat penting di zona inti. Namun demikian, keputusan pelarangan tersebut tergantung pada keinginan masyarakat itu sendiri.
10
Pada umumnya, DPL-BM memiliki zona inti dan zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba dan snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersil seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini (Coremap II 2009).
2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Daerah Perlindungan Laut ditetapkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan dari sumberdaya laut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pengelola utama. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dibuat dan ditetapkan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat melalui suatu peraturan yang disepakati bersama atau kesepakatan kampung. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pembentukan DPL adalah sebagai berikut (Coremap II 2009): 1. Pengenalan masyarakat dan identifikasi isu Langkah ini merupakan upaya mengajak masyarakat memahami peran DPLBM dan manfaat yang diperoleh. Kemudian mengidentifikasi isu dengan mengumpulkan data dasar mengenai kondisi desa dan mengidentifikasi isu utama. 2. Persiapan program DPL-BM Pada langkah kedua, kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan lingkungan hidup terhadap masyarakat lokal, pelatihan yang bertujuan membangun kapasitas masyarakat, pemetaan terumbu karang, dan pembentukan kelompok pengelola DPL-BM. 3. Konsultasi dan pembuatan aturan Langkah ini dilakukan secara formal dan informal demi mendapatkan kesepakatan terhadap, lokasi DPL, zona DPL, ukuran atau luasan DPL, hal-
11
hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam zona yang ditetapkan, sanksi dan kewajiban pengelola, serta rancangan peraturan desa. 4. Persetujuan aturan Ketika masyarakat dan pihak yang berkepentingan telah bersepakat untuk membentuk DPL maka selanjutnya adalah membuat persetujuan aturan yang telah didiskusikan. Aturan desa tentang DPL-BM ditetapkan secara formal melalui peraturan desa yang didukung mayoritas masyarakat setempat, ditandatangani oleh pemerintah desa dan lembaga-lembaga perwakilan di desa dan diteruskan kepada Kepala Kecamatan dan Bupati . 5. Pelaksanaan dan pemantauan Langkah terakhir yang dilakukan adalah pemasangan tanda batas permanen; pemasangan papan peraturan dan informasi; peresmian DPL; patroli dan pemantauan secara rutin; pelaksanaan dan penegakan peraturan DPL; serta evaluasi. Secara umum, konsep yang diterapkan oleh Coremap dalam proses pembentukan DPL-BM adalah mengikuti siklus pengelolaan sumberdaya pesisir, mulai dari identifikasi isu, persiapan perencanaan, pendanaan dan adopsi formal, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009) Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
12
2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL Adapun beberapa syarat penentuan lokasi dan ukuran Daerah Perlindungan Laut yang digunakan oleh Coremap II Kabupaten Raja Ampat, antara lain adalah (Coremap II 2008): 1. Kondisi tutupan karang hidup (karang keras dan lunak) dalam kondisi yang baik (tutupan karang di atas 50 persen) 2. Kepadatan ikan dan keanekaragaman organisme laut lainnya cukup tinggi 3. Merupakan terumbu karang “sumber” (source reef) 4. Mencakup 10 persen-20 persen dari keseluruhan habitat terumbu karang yang ada di wilayah suatu desa 5. Habitat terumbu karang yang mencakup rataan dan kemiringan karang dan secara ideal memiliki lamun dan habitat mangrove (tetapi tidak harus selalu memiliki lamun dan mangrove) 6. Suatu kawasan yang diketahui merupakan tempat ikan bertelur 7. Lokasinya masih berada dalam jangkauan penglihatan masyarakat sehingga mudah diamati dan memudahkan pemantauan serta penerapan aturan yang berlaku
2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia tentunya
memerlukan
strategi
pengelolaan
yang
dapat
secara
efektif
meningkatkan kuantitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Upaya tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez (1995) seperti dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan tersebut mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun temurun. Hal tersebut mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan pengelolaan bersama atau pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community based fisheries management). Saad (2003) mendefinisikan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan otoritas antara
13
pemerintah setempat dan sumberdaya setempat (local community) untuk mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan model ini diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Selain itu menurut Ruddle (1999) seperti dikutip oleh Ruddle dan Satria (2010), unsur-unsur pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain : 1. Territorial Boundary (batasan wilayah) 2. Rules (peraturan) 3. Authority (kewenangan) 4. Monitoring (pengawasan) 5. Sanctions (sanksi)
2.1.4 Hak Kepemilikan Ketika berbicara pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan. Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang menjadi objek. Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan seseorang atau kelompok atas sumberdaya. Menurut Ostrom dan Schlager yang dikutip Satria (2009), terdapat lima tipe hak-hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: 1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif. 2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya. 3. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam pengelolaan sumberdaya.
14
4. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. 5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak kolekif tersebut di atas. Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya, maka penting untuk diketahui rezim-rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property). Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia Rezim kepemilikan
Keterangan
Akses terbuka (open access)
Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan bebas. Pada rezim ini, tragedy of the commons sering terjadi. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya.
Negara (state property)
Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya.
Swasta (private property)
Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.
Komunal atau masyarakat
Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah atas aturan-aturan lokal yang ada.
Sumber : Satria (2009) Hak-hak di atas dikategorikan berdasarkan dimiliki atau tidaknya hak tersebut oleh setiap pemangku kepentingan. Orang yang memiliki hak tersebut juga diklasifikasikan ke dalam lima kategori, seperti tertera pada tabel dibawah ini:
15
Tabel 2. Status Hak Kepemilikan Hak Milik
Owner
Proprietor
Claimant
Authorized user
Authorized entrant
Access
x
x
x
x
x
Withdrawal
x
x
x
x
Management
x
x
x
Exclusion
x
x
Alienation
x
Sumber : Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009)
2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal atau berada di wilayah pesisir, dan sebagian besar hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Secara turun temurun mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang antar pulau, dan lain-lain. Nikijuluw (2005) menggolongkan masyarakat pesisir dalam dua tipe kelompok yaitu kelompok non-perikanan (penjual jasa pariwisata, jasa transportasi, dan yang memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir) dan kelompok perikanan (nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, dan pedagang ikan). Secara umum, yang menjadi pembeda masyarakat pesisir dengan masyarakat desa dan kota adalah dari aspek kondisi sosial dan ekonomi mereka yang umumnya terbelakang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). Penyebab dari kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya adalah : 1. Tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, dan akses terhadap pasar (Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003). 2. Pendapatan yang relatif rendah (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Satria 2002). 3. Kurangnya kelembagaan penunjang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). 4. Lemahnya insfrastruktur baik sosial, fisik, maupun ekonomi (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).
16
5. Rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003). 6. Kebijakan
pemerintah
yang
berorientasi
pada
produksi
sehingga
menyebabkan tangkap lebih (over fishing) (Tindjbate 2001 dikutip Karim 2005).
Kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan ukurannya menjadi dua macam yaitu kemiskinan tetap (absolute) dan kemiskinan relatif. Kemiskinan tetap (absolute) merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan (Satria 2002; Ibrahim 2007). Garis kemiskinan pun bermacam-macam bergantung pada institusi yang mengeluarkan ukurannya, diantaranya : 1. Menurut BPS, kemiskinan dapat diukur dengan cara membandingkan total pengeluaran penduduk per kapita per bulan terhadap garis kemiskinan yang berlaku yakni tingkat pengeluaran untuk makanan kurang dari 2100 kalori (Satria 2002; Ibrahim 2007). 2. Selain itu, Sajogjo menggunakan ukuran pengeluaran konsumsi beras untuk mengukur kemiskinan. Menurut garis kemiskinan Sajogjo, kategorinya berdasarkan tingkat pengeluaran setara kilogram beras perkapita pertahun adalah sebagai berikut (Sajogjo dikutip Satria 2002; Sajogjo 1977 dikutip Kamarijah 2003) : a. Sangat miskin : untuk desa adalah 180 kg beras/tahun sedangkan penduduk dikota adalah 270 kg beras/tahun. b. Miskin sekali : untuk daerah pedesaan setara dengan 240 kg beras/tahun, sedangkan penduduk perkotaan setara dengan 360 kg beras/tahun. c. Miskin : untuk pedesaan adalah 320 kg beras/tahun, sedangkan perkotaan setara dengan 480 kg beras/tahun.
Ukuran kemiskinan kedua adalah kemiskinan relatif, dimana pengukurannya dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya (Satria 2002) atau didasarkan pada pertimbangan individual untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan (Raharto dan Romdiati 2002 dikutip Ibrahim 2007).
17
Kesejahteraan masyarakat dapat dianalisis berdasarkan data kependudukan, kesehatan masyarakat, pendidikan, tingkat kelahiran atau fertilitas, kriminalitas, serta perumahan dan lingkungan (BPS 2001). Sedangkan karakteristik sosial ekonomi penduduk yang lebih spesifik diperoleh berdasarkan: 1. Konsumsi/pengeluaran/pendapatan. 2. Kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pemukiman. 3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga, dan kriminalitas.
2.1.5.1 Pendapatan Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang digunakan dalam usaha, serta besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha. Keuntungan usaha diperoleh dari selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Apabila penerimaan total lebih besar dibandingkan dengan biaya total maka usaha tersebut dikatakan untung, jika sebaliknya usaha tersebut dikatakan merugi (Djamin 1984 dikutip Lee Won Jae 2010). Adapun formula yang digunakan untuk menghitung keuntungan usaha adalah :
µ = TR-TC
Keterangan : µ = Keuntungan (rupiah) TR = Total Penerimaan (rupiah) TC = Total Biaya (rupiah)
2.1.6 Sikap Merujuk kepada Thurstone, Rokeach, Baron & Byrne, Myres, dan Gerungan seperti dikutip Walgito
(2003), sikap mengandung tiga komponen yang
membentuk struktur sikap, yaitu:
18
1. Komponen kognitif (komponen perseptual) Yaitu
komponen yang
berkaitan dengan pengetahuan,
pandangan,
keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap. 2. Komponen afektif (komponen emosional) Yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. 3. Komponen konatif (komponen perilaku) Yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
2.2
Kerangka Pemikiran Konservasi adalah salah satu upaya atau tindakan yang ditujukan untuk
melindungi ekosistem dan sumberdaya hayati. Penetapan suatu wilayah untuk menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilandasi dua faktor pendorong. Pertama, adanya kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti kerusakan terumbu karang, erosi pantai, kerusakan ekosistem mangrove, dan lain-lain. Menurunnya keanekaragaman hayati pesisir dan laut dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya di masa depan sehingga dibutuhkan upaya untuk menetapkan kawasan konservasi guna melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001). Faktor kedua yang menjadi pendorong penetapan DPL adalah sumberdaya alam yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia telah diakui, khususnya di daerah Timur Indonesia, oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan kelimpahan sumberdaya tersebut, konservasi diyakini sebagai upaya yang efektif. Selain tujuan konservasi laut untuk melindungi ekosistem sumberdaya pesisir dan laut, tujuan lainnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir atau nelayan (Agardy dan Barr et al. 1997 dalam Bengen 2001).
Kawasan konservasi
dapat
membantu
masyarakat
lokal dalam
19
mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini juga dipertegas dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) pasal 3 Tahun 1990 tentang tujuan dari penetapan kawasan konservasi adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun bagaimana kenyataan di lapangan, itulah yang menjadi fokus penelitian ini khususnya dampak penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan sebagai pihak yang telah turun temurun bergantung pada sumberdaya tersebut. Nelayan sebagai bagian dari Daerah Perlindungan Laut tentu saja memiliki hak-hak untuk memasuki kawasan, mengambil, mengolah, menjaga, dan mendapatkan hasil dari sumberdaya yang ada di dalam DPL. Seperangkat hak nelayan meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). Hak-hak tersebut telah dimiliki sejak sebelum wilayah pesisir dan laut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seperangkat hak tersebut setelah ditetapkan DPL, apakah mengalami perubahan atau tidak. Respon masyarakat mengenai keberadaan DPL dan sistem zonasi, dampak bagi seperangkat hak nelayan dan keuntungan yang didapatkan akan menjadi pengukuran bagaimana pengaruh penetapan DPL terhadap seperangkat hak yang dimiliki mereka. Penetapan DPL tentu saja membentuk sistem zonasi pengelolaan sumberdaya laut dan akan mempengaruhi hak nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Ketika sistem zonasi ditentukan, maka akan terjadi perubahan seperangkat hak tersebut, dan akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan. Bagaimanakah respon nelayan terhadap keberadaan DPL dan perubahan sistem zonasi akan menjadi salah satu fokus dari penelitian ini. Secara umum keterkaitan antar variabel-variabel dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut :
20
Faktor pendorong penetapan kawasan konservasi Penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya pesisir dan laut
Kekayaan sumberdaya pesisir dan laut
Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Perubahan Zonasi
Respon nelayan Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi Tingkat afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi
Kondisi sosial ekonomi nelayan Kondisi Sosial Seperangkat hak nelayan (bundles Of right) Sebelum
Sesudah
Keterangan :
Kondisi ekonomi Sebelum
Hak akses (access right) Hak pemanfaatan (withdrawal right) Hak pengelolaan (management right) Hak ekslusi (exclusion right)
Tingkat Pendapatan Nelayan Sesudah
Hubungan Pengaruh Fokus aspek yang dikaji
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
21
2.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai
berikut : 1. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap perubahan seperangkat hak (bundles of right) nelayan. 2. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.
2.4
Definisi Konseptual Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan
sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu: 1. Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah sebuah areal yang berada di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk kebudayaan, yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik sebagian maupun keseluruhannya. 2. Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. 3. Pengelolaan kawasan konservasi adalah pengelolaan yang dikelola oleh pemerintah tetapi tidak menutup kemungkinan dikelola oleh masyarakat untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengelolaan ini mencakup kegiatan memanfaatkan kawasan atau mengambil sumberdaya dalam DPL secara adil dan lestari. 4. Nelayan adalah penduduk lokal yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di Daerah Perlindungan Laut (DPL).
22
5. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).
2.5
Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan
untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu:
1. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). a. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya
yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan : Nelayan tidak dapat melintas di lokasi DPL = skor 1= rendah Nelayan dapat melintas di lokasi DPL = skor 2 = tinggi b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan
sumberdaya. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan: Nelayan tidak dapat mengambil sumberdaya di DPL = skor 1 = rendah Nelayan dapat mengambil sumberdaya secara bebas = skor 2 = tinggi c. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam
pengelolaan sumberdaya. Hak pengelolaan dapat diukur dari keterlibatan masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring, serta mendapatkan hasil. Pengukuran : Nelayan tidak terlibat dalam penjagaan DPL dan tidak berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 1 = rendah Nelayan terlibat dalam penjagaan DPL dan berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 2 = tinggi
23
d. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. Pengukurannya: Tidak ada = skor 1 Ada = skor 2
2. Respons nelayan adalah tanggapan nelayan atas penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibuat. Pengukurannya melalui aspek kognitif (pengetahuan) dan aspek afektif nelayan akan keberadaan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. a. Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL adalah pemahaman nelayan akan keberadaan Daerah Perlindungan Laut dan sistem zonasi. Tingkat pengetahun nelayan dapat diukur dengan pertanyaan : i) Nelayan tahu pengertian DPL ii) Nelayan tahu manfaat dan tujuan DPL iii) Nelayan tahu aturan dan larangan yang dibuat terkait DPL iv) Nelayan tahu sanksi-sanksi yang diberikan bagi yang melanggar aturan-aturan di DPL Pengukurannya :
Tidak = skor 1 Iya = skor 2
b. Aspek afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi adalah respon nelayan yang berhubungan dengan rasa setuju atau tidak setuju terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. Tingkat afeksi nelayan terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi dapat diukur dengan pernyataan : i) Penetapan DPL penting untuk keberlanjutan sumberdaya laut ii) Penetapan DPL tidak membuat nelayan terbatas untuk masuk keluar kawasan iii) Penetapan DPL tidak membuat jumlah tangkapan nelayan berkurang iv) Penetapan DPL tidak membuat perubahan sistem zonasi nelayan Pengukurannya:
Tidak= skor 1 Iya = skor 2
24
Pengukuran tingkat respons nelayan adalah skor total dari aspek kognitif dan aspek afeksi responden : Skor
di bawah skor rata-rata = Respons nelayan negatif terhadap
penetapan DPL Skor di atas skor rata-rata = Respons nelayan positif terhadap penetapan DPL
3. Pendapatan (TI) nelayan adalah total penerimaan nelayan (TR) dari sektor perikanan dikurangi total pengeluaran (TC) untuk menunjang kegiatan perikanan. Ukuran pendapatan ditentukan berdasarkan rata-rata pendapatan responden dari sektor perikanan di tempat penelitian. Pendapatan < rata-rata pendapatan = skor 1 = rendah Pendapatan > rata-rata pendapatan = skor 2 = tinggi
4. Tingkat penerimaan (TR) nelayan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan di laut. Skala pengukuran : Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi
5. Tingkat pengeluaran nelayan adalah jumlah pengeluaran secara keseluruhan untuk kegiatan melaut. Skala pengukuran : Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi
25
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan,
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (lampiran satu). Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa (1) lokasi ini merupakan salah satu lokasi yang menjadi kawasan konservasi laut yakni DPL dengan potensi terumbu karang kampung dalam kategori “sedang”, (2) kampung ini merupakan kampung penyuplai iklan terbanyak ke daerah pusat administrasi Raja Ampat yaitu Waisai. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2011. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal dan instrumen penelitian, kolokium, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Adapun rangkaian kegiatan penelitian tertera pada lampiran tiga.
3.2
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif.
Metode kuantitatif menggunakan metode survai dengan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data penelitian dari sejumlah sampel dalam sebuah populasi (Singarimbun 2006) terkait pengaruh penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan dan respon masyarakat terhadap keberadaan DPL. Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi atau data kualitatif dari subyek penelitian berdasarkan pengalaman sosial mereka terkait keberadaan DPL. Data deskripif yang berupa kata-kata dari subyek penelitian dikumpukan dan kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif ataupun bagan dan grafik. Data kualitatif yang diperoleh dikumpulkan dengan pengamatan langsung, wawancara mendalam, dan menggunakan dokumen tertulis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pengumpulan data secara langsung di lapangan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner
26
yang dibagikan kepada respoden dan wawancara kepada informan. Data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, artikel, skripsi, tesis, dan berbagai karya ilmiah lainnya.
Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sekunder yang dikumpulkan di Lapangan No.
Jenis Data
Metode/Sumber Data
Data Primer 1.
Data sosial dan ekonomi masyarakat
Kuesioner dan wawancara
2.
Data Stakeholder
Wawancara
Data Sekunder 3.
Data kependudukan : Jumlah penduduk total dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
Kantor desa
4.
Data sosial-ekonomi : jenis mata pencaharian, sarana dan prasarana desa, kesehatan
Kantor desa, Dinas kelautan dan perikanan, Bappeda
5.
Pedoman/panduan dan peraturan tentang kawasan konservasi laut di Raja Ampat
Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat
6.
Keanekaragaman hayati Raja Ampat
Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat
7.
Pedoman dan aturan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Coremap II
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa teknik, diantaranya adalah: 1. Observasi. 2. Studi literatur serta kajian dokumen-dokumen yang dapat menunjukkan perubahan ekologis sumberdaya hayati laut, kawasan konservasi (DPL), model pengelolaan dan dokumen yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi nelayan. 3. Wawancara mendalam kepada para nelayan dan informan dengan menggunakan pedoman pertanyaan. Data deskriptif berupa kutipan langsung kata-kata atau tulisan dari informan juga memungkinkan untuk digunakan.
27
4. Survai dengan instrument penelitian berupa kuesioner. Kuesioner ini memuat pertanyaan terbuka dan tertutup. Data yang diambil dari penelitian ini mencakup respon nelayan terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL), keterlibatan nelayan dalam perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi program konservasi, serta pengaruh penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan di Kampung Saporkren. 5. Diskusi kelompok terarah atau Focussed Group Discussion (FGD) kepada para nelayan untuk memetakan wilayah penangkapan nelayan sebelum dan sesudah adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Populasi dari penelitian ini adalah keluarga nelayan Kampung Saporkren yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan aktif menangkap hasil laut. Berdasarkan data statistik kampung, jumlah keluarga nelayan yang aktif melaut sebanyak 56 keluarga. Unit analisis dari penelitian ini adalah individu yakni kepala keluarga nelayan sebagai responden penelitian. Responden adalah nelayan kecil atau nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana atau tradisional.
Penentuan
responden
dalam
penelitian
dilakukan
dengan
menggunakan simple random sampling. Adapun kerangka sampling dalam penelitian tertera pada lampiran empat. Banyaknya sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Slovin, yaitu :
n=
N 1+ Ne²
Keterangan : n : Jumlah sampel N: Jumlah populasi e : Nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10 persen)
28
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jumlah sampel yang diambil dengan penggunan rumus Slovin sebanyak 36 orang. Agar hasil penelitian dapat lebih representatif, peneliti menambah tiga responden dengan asumsi menghindarkan ketidaktepatan responden dengan kriteria yang telah dibuat. Informan dipilih secara sengaja (purposive) dengan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan informasi dari satu informan ke informan lainnya. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai dampak penetapan DPL terhadap aktivitas nelayan secara khusus bagi pendapatan nelayan. Adapun informan kunci yang dipilih adalah pihak Pemerintah Desa, Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah, Lembaga Coremap II Raja Ampat, Tokoh Adat dan Tokoh Agama Kampung Saporkren, serta aktor-aktor yang terlibat dalam proses pengelolaan DPL di kampung ini.
3.3
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kualitatif yang telah diperoleh akan dianalisis dengan mengacu pada
konsep Miles dan Huberman (1984, 1994 dikutip Miles dan Huberman 2009) dimana terdapat tiga sub proses analisis data yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Proses ini berlangsung sebagaimana ditunjukkan oleh gambar 4.
Pengumpulan data di lapangan
Penyajian data
Reduksi data Kesimpulan Penggambaran/verivikasi
Sumber : Miles dan Huberman (2009) Gambar 4. Komponen Analisis Data : Model Interaktif
29
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data merupakan penyusunan informasi yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini dalam prakteknya dapat berbentuk teks naratif ataupun matriks, grafik, jaringan dan bagan. Penarikan kesimpulan berbentuk pencatatan keteraturan pola-pola yang terjadi, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsi. Ketiga kegiatan analisis dan pengumpulan data ini merupakan proses siklus dan interaktif. Analisis data dilakukan secara berlanjut, berulang, dan terus menerus. Analisis data kuantitatif dilakukan melalui proses pemeriksaan data yang terkumpul (editing) kemudian dilakukan pengkodean (coding) dengan tujuan untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap berikut adalah perhitungan Persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi deskriptif dengan menggunakan perangkat lunak yaitu SPSS Statistic versi 16.
30
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1
Kondisi Geografis
4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat terletak pada posisi di bawah garis khatulistiwa, antara 0” 14’ s dan 130” 31’ e. Dengan posisi di bawah garis khatulistiwa, suhu udara minimum sekitar 24°C, dan suhu udara maksimum sekitar 32,4°C (catatan Badan Meteorologi dan Geofisika stasion DEO Raja Ampat dikutip BPS Raja Ampat 2010). Sedangkan kelembaban udara rata-rata tercatat 85 persen dengan curah hujan tercatat 2458,9 milimeter dan cukup merata sepanjang tahun. Kepulauan ini berada dibagian paling barat pulau induk Papua, Indonesia dan membentang di area seluas kurang lebih 4,6 juta ha. Batas-batas geografis Kabupaten Raja Ampat adalah sebagai berikut :
Sebelah barat : Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara Sebelah utara : Republik Federal Palau, Samudra Pasifik Sebelah timur : Kota Sorong, Kabupaten Sorong Sebelah selatan : Kabupaten Seram Utara, Provinsi Maluku
Raja Ampat dideklarasikan sebagai Kabupaten baru pada tanggal 3 Mei Tahun 2002 berdasarkan UU No. 26 tentang pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong dan termasuk salah satu dari 14 kabupaten baru di tanah Papua. Kabupaten Raja Ampat terdiri dari empat pulau besar yaitu Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta, serta 600 pulau-pulau kecil. Selain itu, Kabupaten ini terbagi menjadi 17 distrik dengan total luas wilayah adalah 6.084,50 km persegi1. Pusat pemerintahan berada di Waisai, Distrik Waigeo Selatan, sekitar 36 mil dari kota Sorong, dan baru berlangsung efektif pada tanggal 16 September 2005 (Pemda Raja Ampat 2009).
1
Data statistik Raja Ampat Tahun 2009 dalam Kabupaten Raja Ampat dalam angka 2009
31
Tabel 4 dibawah ini menggambarkan luas wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut distrik. Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut Distrik Distrik
Luas / area (km²)
Persentase (%)
Misool
318, 71
5,24
Kofiau
639,97
10,52
Misool Timur
403,14
6,63
Kep. Sembilan
123,95
2,04
Waigeo Selatan
275,87
4,55
Teluk Mayalibit
207,40
3,41
Waigeo Timur
122,19
2,01
Meosmansar
169,70
2,79
Waigeo Barat
1264,58
20,78
Waigeo Barat Kepulauan
711,32
11,69
Waigeo Utara
120,10
1,97
Warwabomi
46,70
0,77
Kepulauan Ayau
256,75
4,22
Misool Selatan
469,11
7,71
Misool Barat
203,11
3,34
Salawati Utara
405,49
6,66
Selat Sangawin
345,41
5,68
6.084,50
100,00
Jumlah/total
Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat (2010)
4.1.2 Konteks Kampung Kampung Saporkren merupakan salah satu kampung yang terletak di Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat dengan luas wilayah ± 32 Ha. Bentuk topografi daratan pulau berbukit dengan ketinggian 20m hingga 30m dari permukaan laut sedangkan tekstur pulaunya berpasir. Kampung Saporkren dapat dijangkau dari pusat pemerintahan yaitu Waisai dengan perahu bermotor tempel 15 pk selama satu jam dengan jarak enam mil, dan jika dijangkau
32
menggunakan perahu bermesin katinting2 dapat ditempuh dalam waktu dua jam. Kondisi kampung ini didominasi oleh sumberdaya laut dan sumberdaya hutan. Sebelah selatan kampung terdapat laut dan sebelah utara terdapat pegunungan yang dijadikan masyarakat sebagai lahan perkebunan. Ekosistem daratan dan lautan keduanya saling mempengaruhi. Saporkren berasal dari bahasa Biak Berser yaitu “sapor” yang artinya tanjung dan “kren” yang artinya miring. Jadi Saporkren memiliki arti tanjung miring. Adapun sejarah terbentuknya kampung dan gambaran berbagai kegiatan yang berlangsung yang dianggap penting oleh masyarakat lokal adalah sebagai berikut: 1. Sebelum Tahun 1940 : Saat itu orang kafir yang berdomisili di pulau Urai dan pemimpin yang terakhir di pulau itu adalah bapak Abraham Mambrasar. Saat itu pulau tersebut masih berada dibawah pemerintah kampung Yembeser. 2. Tahun 1942 : Beberapa pemuda dari pulau Urai berkumpul di pulau Friwen untuk berperang melawan jepang (PD II) 3. Tahun 1945 : Setelah Perang dunia II berakhir mereka kembali menetap di pulau Urai 4. Tahun 1950-an : Penduduk dari pulau Urai berpindah ke Saporkren dibawah pimpinan Moses Sauyai (Kepala Dusun I) 5. Tahun 1962 - 1971: Mulai dibangunlah beberapa sarana penting di dusun Saporkren yaitu sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sarana peribadatan (Gereja) 6. Tahun 1973 : Diadakan pemilihan kepala dusun kedua yaitu Philipus Mambrasar 7. Tahun 1992 : Pergantian status dari dusun menjadi kampung dengan kepala kampung pertama adalah Melkianus Mambrasar 8. Tahun 2002 : Dilakukan kembali pengangkatan kepala kampung II yaitu Zadrak Mambrasar
2
Perahu Katingting merupakan perahu tradisional berukuran kecil dengan panjang 4-5 m, lebar 45 m, dan berbahan baku kayu. Perahu ini menggunakan mesin berkekuatan kurang dari 15 PK dan mengeluarkan bunyi raungan yang berat.
33
9. Tahun 2005 : Lalu pada tahun ini masuklah program COREMAP di Raja Ampat
4.2
Kondisi Demografi
4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat adalah 41.860 jiwa, sekitar 52 persen dari total penduduk adalah laki-laki dan sisanya sebesar 48 persen adalah perempuan. Tabel 5. Persentase Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009 Kecamatan/ Distrik
Laki-laki(%)
Perempuan(%)
Populasi(%)
Misool
5,60
5,78
5,68
Kofiau
6,42
6,58
6,50
Misool Timur
5,08
4,23
4,68
Kep. Sembilan
5.51
5,88
5,69
Waigeo Selatan
6,66
6,60
6,63
Teluk Mayalibit
4,50
4,38
4,44
Waigeo Timur
4,08
4,23
4,15
Meosmansar
5,59
5,30
5,50
Waigeo Barat
2,96
3,11
3,03
Waigeo Barat Kepulauan
6,25
6,07
6,16
Waigeo Utara
5,29
5,56
5,42
Warwabomi
3,52
3,37
3,45
Kepulauan Ayau
6,66
6,81
6,73
Misool Selatan
6,31
6,39
6,35
Misool Barat
2,71
2,68
2,70
Salawati Utara
9,60
9,61
9,60
Selat Sangawin
13,29
13,44
13,36
100
100
100
Jumlah/total
Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat (2010)
34
Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat adalah 41.860 jiwa, dengan jumlah penduduk total laki-laki adalah 21.965 orang dan jumlah penduduk perempuan adalah 19.895 orang. Tabel 5 menunjukkan komposisi penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan Persentase laki-laki 52,48 persen dari total penduduk dan persentase perempuan adalah 47,52 persen.
4.2.2 Konteks Kampung Berdasarkan data Monografi Kampung Saporkren (2011), jumlah penduduk pada Tahun 2010 adalah sebanyak 374 orang. Jumlah penduduk laki-laki adalah 212 orang dengan persentase 57 persen, sedangkan jumlah penduduk perempuan memiliki persentase 43 persen dengan total 162 orang. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut Jenis Kelamin Jumlah
Jenis Kelamin (Jiwa) 212 162 374
(Persen) 57 43 100
Laki-laki Perempuan Total Sumber : Data Monografi Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat (2011) 4.3
Kondisi Ekonomi Pada umumnya, mayoritas masyarakat Raja Ampat dan khususnya
Kampung Saporkren bermukim di daerah pesisir. Hal ini mendorong masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan, dan dianggap sebagai mata pencaharian pokok atau utama yang dapat memberikan hasil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi masyarakat Kampung Saporkren dan beberapa kampung lainnya, laut adalah segalanya bagi mereka karena dari situlah mereka bisa hidup sehingga membuat masyarakat menggantungkan hidup secara penuh terhadap hasil-hasil laut, namun, tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk bekerja di ladang ataupun kebun. Jika masyarakat yang bermata
35
pencaharian sebagai nelayan menghadapi cuaca yang buruk atau yang dikenal dengan istilah mereka “angin selatan”, maka para nelayan akan berganti profesi untuk berkebun demi menjamin kehidupan selama cuaca yang buruk terjadi. Masyarakat Kampung Saporkren rata-rata bekerja sebagai nelayan, mulai dari anak-anak kecil hingga dewasa telah dianggap sebagai nelayan, sedangkan sebagian masyarakat bekerja sebagai petani di ladang, sebagaimana diungkapkan oleh salah satu tokoh adat di kampung ini, PD (65 tahun) bahwa : “…disini itu semua nelayan, dari anak kecil sampe orang besar juga itu sama-sama kerjanya tangkap ikan, itu karena kami memang anak-anak laut jadi, kalo berkebun itu hanya sampingan kalau angin kencang di laut.”
Berdasarkan data Tahun 2010, terdapat 56 kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan dan sebanyak 41 kepala keluarga bekerja sebagai petani di ladang. Mata Pencaharian Nelayan
Petani
42% 58%
Gambar 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Saporkren
Pada umumnya nelayan di Raja Ampat, dan khususnya di Saporkren masih menggunakan alat yang tradisional ketika menangkap ikan ataupun hasil laut lainnya. Peralatan yang tradisional dan sangat sederhana itu hanyalah seutas tali nelon dan pancing. Alat-alat itu pun bermacam-macam bentuknya dan berbeda dalam penggunaannya sesuai dengan jenis ikan yang akan ditangkap oleh mereka. Para nelayan melakukan aktivitasnya pada pagi hari hingga menjelang sore hari, setelah itu akan dilanjutkan dengan melakukan penjualan di pusat pemerintahan yaitu daerah Waisai. Selain menangkap ikan disiang hari, adapula nelayan yang
36
mencari ikan pada malam hari dengan menggunakan alat tradisional yang disebut kalawai3 ataupun memakai sistem akar bore4.
4.4
Kondisi Sosial
4.4.1 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Saporkren tergolong relatif rendah karena sebagian besar penduduk yang termasuk usia kerja hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SD. Berdasarkan data terbaru dari balai kampung dan hasil pengumpulan data di lapangan terhadap responden, golongan dewasa yang bekerja sebagai nelayan merupakan lulusan SD dan SMP, walaupun ada beberapa yang merupakan tamatan SMA. Sedangkan anak-anak sekolah di Kampung Saporkren hingga Tahun 2011 tercatat anak-anak yang menempuh pendidikan di SMP sebanyak lima orang, pendidikan di SMA sebanyak tiga orang, bangku kuliah sebanyak dua orang, dan anak-anak lainnya masih menempuh pendidikan di tingkat SD. Rendahnya pendidikan di kampung ini disebabkan oleh dua faktor utama, pertama
karena
ketidakmampuan
orangtua
dari
segi
ekonomi
untuk
menyekolahkan hingga jenjang pendidikan yang tinggi. Kedua adalah minimnya fasilitas pendidikan di zaman dahulu yang kemudian menyebabkan para guru tidak optimal dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan juga minimnya tenaga kerja yaitu guru. Hingga kini, kampung ini hanya memiliki satu gedung Sekolah Dasar (SD) dan satu gedung pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai fasilitas anak-anak Kampung Saporkren untuk menuntut ilmu. Gedung PAUD baru saja didirikan dengan bantuan dana dari pemerintah yaitu dana bantuan PNPM, dan sebagian perlengkapan Sekolah Dasar (SD) juga diperlengkapi dengan dana tersebut. Sedangkan anak-anak Kampung Saporkren yang menuntut ilmu hingga tingkat SMP dan SMA harus keluar kampung dan menuntut ilmu di Distrik atau di ibukota Kabupaten yaitu Waisai dengan waktu tempuh dua jam menggunakan perahu tradisional.
3
4
Jenis alat tangkap yang berbentuk seperti tombak panjang dengan ujung runcing dan sering digunakan saat menangkap di malam hari Cara tangkap nelayan dengan menggunakan akar tanaman beracun
37
4.4.2 Budaya/Tradisi Kampung Saporkren didominasi oleh etnik asli Raja Ampat, dan hanya sebagian yang merupakan penduduk pendatang karena adanya ikatan pernikahan yang membuat mereka menjadi penduduk kampung tersebut. Proses komunikasi diantara masyarakat berjalan harmonis dan dinamis yang ditandai penggunaan bahasa lokal (bahasa suku Raja Ampat) sebagai bahasa komunikasi sehari-hari oleh penduduk baik asli maupun pendatang, tetapi tidak menutup kemungkinan penggunaan bahasa Indonesia. Masyarakat di Kampung Saporkren hampir seluruhnya menganut agama Kristen Protestan, dan hanya satu warga menganut agama Islam. Walau kuantitas yang tidak seimbang, kampung ini memiliki tenggang rasa yang sangat tinggi antara kedua agama dan kegotongroyongan yang begitu kuat diantara masyarakat. Hal ini dapat dilihat ketika ada salah satu warga yang meninggal kemudian warga yang lainnya datang dan memberi beberapa sumbangan bagi keluarga yang ditinggalkan seperti gula, kopi, beras, minyak, ikan, uang, dan lain-lain. Gotong royong dan kerjasama yang sifatnya tradisional sangat melekat di dalam diri masyarakat Saporkren. Ketika peneliti melakukan penelitian, saat itu sedang diadakan pembuatan pagar di depan rumah semua warga dengan menggunakan dana PNPM. Masyarakat bekerjasama untuk melakukannya dan terkesan menarik karena anak muda dan orangtua hingga lansia ikut bekerjasama. Kebiasaan lainnya yang menarik dari masyarakat Saporkren adalah ketika akan mengumpulkan masyarakat. Jika kepala kampung hendak mengumpulkan semua warganya, cukup dengan meniupkan bia atau kerang besar sebagai tanda kepada warga untuk berkumpul di rumah kepala kampung. Jika yang akan mengumpulkan warga adalah pihak gereja maka tanda yang digunakan adalah membunyikan lonceng gereja, sedangkan rapat dan acara Sosialisasi berkaitan dengan program lain akan dikumpulkan di pondok informasi dengan menggunakan bel. Masing-masing berbeda cara dan alat yang digunakan untuk mengumpulkan masyarakat. Kampung ini juga memiliki aturan yang kuat terkait kegiatan di hari sabtu dan hari minggu. Masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan hanya bisa menangkap dari hari senin hingga sabtu, dan pada hari minggu semua kegiatan
38
dihentikan, begitu pula dengan yang berkegiatan selain sebagai nelayan. Larangan ini berlaku untuk semua usia dari anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat harus sudah berada dikampung pada hari sabtu pukul tujuh malam atau 19.00 WIT, artinya tidak boleh ada yang keluar kampung khususnya untuk melaut maupun ke kampung lain. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan diri beribadah di hari minggu. Jika ada yang melanggar maka pihak pengurus gereja akan memberikan teguran, tetapi larangan ini dilonggarkan bagi warga yang ingin berobat ke rumah sakit di Waisai.
4.4.3 Kelembagaan Desa PengorganiSasian masyarakat dan proses-proses pembangunan lainnya di tingkat kampung difasilitasi oleh sebuah lembaga pemerintah kampung/desa yang terdiri dari kepala kampung dan dibantu oleh aparat yang lain. Disamping itu terdapat pula LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dimana pembentukan ketiga lembaga ini diinisiasi oleh Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang Tahap II (Coral reef Rehabilitation and Management Program Phase II/COREMAP II) dan dikelola oleh masyarakat lokal. Program Coremap II merupakan program pemerintah dibawah tanggung jawab Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan di kampung ini dibawah Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat. LPSTK secara umum memiliki fungsi dan peran dalam mengkoordinasikan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas) di kampung/desa dengan pengelola program Coremap II tingkat kabupaten dibawah koordinasi DKP Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur-unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan, dan pemerhati lingkungan/terumbu karang. Pokmaswas memiliki peran untuk melakukan pengawasan terhadap daerah Perlindungan Laut (DPL). Pokmaswas dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang anggota masyarakat dalam Pokmaswas yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah atau petugas. Siapapun di dalam
39
masyarakat bisa menjadi anggota Pokmaswas, asalkan mereka dipilih secara bersama.
4.5
Potensi Pesisir dan Kelautan
4.5.1 Perhubungan
Kampung Saporkren dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi laut dan darat dari pusat pemerintahan Raja Ampat, Waisai. Transportasi laut yang digunakan adalah perahu tradisional yang disebut katingting dan speed boat, sedangkan bila melewati darat dapat menggunakan motor dengan waktu tempuh satu jam. Alat transportasi yang dimiliki masyarakat masih bersifat tradisional baik yang menggunakan perahu dayung maupun perahu dengan menggunakan mesin berkekuatan kurang dari 15 PK. Bagi masyarakat, memiliki perahu menjadi hal yang utama atau prioritas, hal ini dikarenakan perahu membantu mereka untuk mencari makan di laut dan menjual hasil tangkapan ikan bagi para nelayan.
4.5.2 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan salah satu aset kampung yang mendukung aktivitas penduduk kampung. Kampung Saporkren memiliki sarana dan prasarana umum yang kondisinya relatif masih baik. Jenis sarana dan prasarana tersebut dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Jumlah dan Kondisi Sarana-Prasarana Kampung Saporkren No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sarana-Prasarana Kantor Desa/kampung Puskesmas pembantu Gereja Pondok Informasi/ Coremap Kampung Sekolah Dasar PAUD MCK Pembangkit Listrik Tenaga Solar (PLTS)
Jumlah 1 1 1 1
Kondisi Buruk Baik Baik Baik
1 1 5 1
Baik Baik Buruk Baik
40
Tabel 7 menunjukkan jenis, jumlah, dan kondisi sarana-prasarana yang ada di Kampung Saporkren. Data tersebut diambil berdasarkan pengamatan langsung peneliti selama kegiatan pengumpulan data. Pada umumnya, prasarana dan sarana yang ada tergolong “baik”, tetapi untuk jenis balai kampung atau MCK tergolong “buruk”. Hal ini dilihat dari segi pemeliharaan akan kebersihan gedung tersebut. Balai kampung sudah berdiri sejak lama, tetapi saat ini tidak berfungsi lagi. Gedung yang ada hanya berdiri secara formal tetapi tidak dimanfaatkan oleh aparat kampung, dan segala kegiatan administrasi kampung hanya dilakukan di rumah kepala kampung ataupun sekretaris kampung. Sedangkan dari lima bangunan fasilitas MCK yang ada, hanya satu yang tergolong baik, dan empat bangunan lainnya tidak layak dipakai karena tidak dikelola kebersihannya.
4.5.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap Sumberdaya perairan laut di Kampung Saporkren sebagian besar dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Wilayah penangkapan masyarakat berada di sekitar area kampung dan tergantung pula pada musim. Jenis alat tangkap yang sering digunakan masyarakat Kampung Saporkren adalah alat pancing menggunakan nilon atau sering disebut oleh masyarakat sebagai mata kail, dan tombak yang menurut istilah lokal kalawai. Masyarakat lokal dilarang keras menggunakan jaring ketika menangkap ikan, tetapi ada kasus-kasus terdahulu sebelum adanya larangan terkait DPL, dimana terdapat sebagian nelayan menggunakan potassium ataupun akar beracun atau istilah lokal disebut akar bore. Sedangkan sumberdaya ikan yang melimpah adalah ikan karang seperti ikan mubara, ikan cakalang, ikan lakorea, ikan merah, gutila, dan ikan oci. Selain itu, adapula masyarakat yang khusus menangkap ikan hiu untuk mengambil bagian sirip ikan lalu dijual. Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coremap II Raja Ampat, ditemukan 57 jenis ikan karang di lokasi DPL Yenmangkwan dan didominasi oleh jenis ikan target kemudian diikuti jenis ikan mayor dan jenis kelompok ikan indikator. Jenis ikan kelompok target terdiri dari suku Serranidae, Labridae, Lutjanidae, Holocentridae, Mullidae, Haemulidae, Scaridae, Scolopsidae, dan Acanthuridae. Sedangkan jenis kelompok ikan mayor
41
terdiri dari suku Pomacentridae, Apogonidae, Pomacanthidae, Siganidae, dan jenis kelompok ikan indikator terdiri dari suku Chaetodontidae.
4.5.4 Terumbu Karang Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Coremap II dalam kegiatan evaluasi dan monitoring terumbu karang di DPL Yenmangkwan, Saporkren, kondisi tutupan karang termasuk dalam kategori “sedang” (Coremap II 2009). Adapun persentase rata-rata tutupan karang keras hidup adalah sebagai berikut: Tabel 8. Persentase Tutupan Karang Yenmangkwan Tahun 2009
menurut
Jenis
Karang
di
DPL
Persentase tutupan karang (%) 17,0 Karang Acropora (AC) 1. 20,0 Karang Non Acropora (NA) 2. 10,0 Dead Coral With Algae (DCA) 3. 15,0 Soft Coral (SC) 4. 2,0 Tipe abiotik (algae/FS) 5. 19,0 Tipe abiotik (Rubble, Rock, Sand, OT, dan 6. Sponge Sumber : Coremap II (2009) No.
4.6
Jenis karang
Karakteristik Responden Karakteristik
umum
responden
di
Kampung
Saporkren
diperoleh
berdasarkan survai terhadap 39 orang nelayan. Karakteristik umum ini dijelaskan dari beberapa kriteria seperti yang dijelaskan di bawah ini :
4.6.1 Jenis Kelamin Responden Responden dari penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki yang tergolong dalam usia kerja.
42
4.6.2 Tingkat Usia Responden Tingkat usia responden cukup bervariasi dengan distribusi usia antara 25 tahun hingga 65 tahun. Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 2530 tahun sebanyak 11 orang, dan jumlah responden terendah berada pada sebaran usia 61-65 tahun sebanyak satu orang, dan responden lainnya menyebar pada golongan usia 31-60 tahun.
12
Jumlah
10 8 6 4 2 0 25-30
31-35
36-40
41-45
46-50
51-55
56-60
61-65
Golongan Usia
Gambar 6. Jumlah Responden menurut Golongan Usia
Tingkat usia seseorang biasanya mencerminkan tingkat kedewasaan orang tersebut dalam mengambil keputusan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan diriya. Dalam penelitian ini, hal tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk terlibat dalam proses penetapan DPL dari sejak perencanaan hingga evaluasi yang dilakukan dan terhadap respon nelayan, apakah positif atau negatif terhadap program pembentukan DPL itu. Walaupun jumlah responden terbanyak berada pada golongan usia 25-30 atau golongan usia paling muda diantara golongan usia semua responden, mereka termasuk kedalam golongan nelayan yang memiliki respon positif terhadap pembentukan DPL.
43
4.6.3 Tingkat pendidikan Formal Responden Tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh responden bervariasi dari pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Hampir keseluruhan nelayan menempuh pendidikan hingga tingkat SD saja dengan Persentase sebesar 62 persen, kemudian diikuti responden yang menempuh pendidikan hingga SMP dengan Persentase 28 persen, SMA sebesar 10 persen, sedangkan untuk kategori tingkat pendidikan S0/S1/S2/S3 dan yang tidak bersekolah memiliki persentase 0 persen.
0% 0% 10%
Tidak Bersekolah SD
28%
SMP Umum/Kejuruan 62%
SMA Umum/Kejuruan S0/S1/S2/S3
Gambar 7. Tingkat Pendidikan Formal Responden Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung sekolah. Hingga saat ini kampung ini hanya memiliki satu gedung SD, sedangkan masyarakat yang ingin menempuh pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus ke luar kampung. Menurut responden yang hanya menempuh pendidikan hingga SD, mereka sebenarnya ingin bersekolah hingga sekolah tinggi tetapi pada masa mereka kecil, fasilitas pendidikan sangat sulit dan juga karena keterbatasan ekonomi keluarga untuk menyekolahkan anaknya ke luar kampung. Sedangkan responden yang dapat menempuh pendidikan hingga ke tingkat SMP dan SMA dikarenakan keberanian mereka untuk ke luar kampung bersekolah dan kemampuan perekonomian orangtua.
44
BAB V KAWASAN KONSERVASI LAUT
5.1
Keanekaragaman Hayati Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat yang berada di wilayah barat Pulau Papua memiliki
potensi sumberdaya laut yang luar biasa. Keindahan alam dan potensi sumberdaya alam yang melimpah mendukung kabupaten ini menjadi salah satu jantung potensi terumbu karang dunia dalam kawasan coral triangle. Luas area kabupaten ini kurang lebih 9,8 juta ha yang terdiri dari darat dan lautan (termasuk sebagian teluk cenderawasih) sehingga menjadikannya sebagai taman laut terbesar di Indonesia (Coremap II 2009). Keindahan bawah laut yang dimiliki kabupaten ini mendorong minat para wisatawan khususnya wisatawan asing untuk menyelam dan melihat keindahan tersebut. Kepulauan yang menjadi tujuan para wisatawan khususnya para penyelam terdiri dari 1800 pulau dan 105 kampung (Coremap II 2009). Penelitian yang dilakukan oleh tim ahli dari Conservation Internasional (CI), The Nature Conservancy (TNC), dan Lembaga Oseanografi Nasional (LON), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diadakan pada Tahun 2001-2002 mencatat bahwa terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75 persen dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska (Coremap II Raja Ampat 2009 dan Pemda Raja Ampat 2006). Selain itu Raja Ampat juga kaya akan padang lamun, hutan mangrove yang tersebar disetiap pinggir pantai, dan pantai tebing berbatu yang menjadi salah satu objek wisata bagi para wisatawan baik asing maupun lokal. Wilayah geografis Kabupaten Raja Ampat yang didominasi oleh laut dan pulau (± 1800 pulau) mengakibatkan bentuk dan tipe habitat pesisirnya memiliki karakteristik yang khas, unik, dan sangat beragam. Gambaran umum sebaran dan tipe habitat ekosistem pesisir di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi terumbu karang, ikan karang, hutan mangrove, padang lamun, hutan rawa, dan bahan galian tambang dapat diuraikan sebagai berikut5 :
5
Dikumpulkan dari berbagai data sekunder yang didapatkan peneliti selama dilapangan dari beberapa instansi Pemerintah dan Coremap
45
5.1.1 Terumbu Karang Terumbu karang adalah ekosistem khas yang dimiliki daerah tropis dan memiliki arti penting dari segi sosial ekonomi masyarakat pesisir Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari perikanan. Terumbu karang memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut, tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah asuhan, dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya, atau menurut istilah yang sering digunakan oleh Coremap Raja Ampat adalah tempat ikan berkembang biak atau tempat tabungan ikan. Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat terbentang di paparan dangkal dan hampir di semua pulau-pulau. Terdapat empat tipe terumbu karang di daerah ini yaitu berupa karang tepi (fringing reef), dengan kemiringan yang cukup curam, karang kanang cincin (otol), terumbu penghalang (barrier reef), dan taka dan gosong (patch reel). Semua tipe karang tersebut tersebar di semua daerah Raja Ampat, mulai dari daerah rataan terumbu sampai daerah tubir. Berdasarkan hasil penelitian dalam kegiatan Marine RAP (Rapid Assesment Program) yang dilakukan oleh CI (Conservation International) dan kegiatan REA (Rapid Ecological Assesment) oleh TNC dan WWF, menyatakan bahwa keanekaragaman hayati terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat luar biasa dan umumnya dalam kondisi fisik
yang baik (Persentase tutupan karang 51-75
persen). Hasil tersebut menunjukkan terdapat 37 jenis karang keras (CI, TNCWWF), sembilan diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemic. Jumlah ini merupakan 75 persen dari jumlah karang di dunia. Tercatat pula sebanyak 537 spesies karang batu, mewakili 76 genus, dan 19 famili6. Keanekaragaman terumbu karang jika dilihat dari hadirnya spesies tertentu pada lokasi penelitian yang telah dilakukan oleh TNC dan WWF, maka ada 10 lokasi yang memiliki kekayaan spesies tinggi. Kekayaan tertinggi ditemukan di sebelah utara Pulau Djam dengan jumlah 182 spesies, diikuti Teluk Wambong dengan jumlah 174 spesies. Kesepuluh lokasi yang memiliki jumlah spesies tertinggi tersaji pada tabel 11.
6
Hasil penelitian The Concervancy National bersama WWF pada tahun 2001-2002, dalam Atlas Sumberdaya Pesisir Kab. Raja Ampat, 2006
46
Tabel 9. No.
Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di Kabupaten Raja Ampat Total spesies Lokasi 182 Sebelah utara Pulau Djam; Misool 174 Teluk Wambong; Kofiau 173 Tanjung Sool; Kofiau 169 Jef Bi; Misool 169 Sebelah Selatan Walo; Kofiau 168 Los; Misool 164 Mesemta; Misool 163 Sebelah selatan Pulau Ouoy 163 Teluk Fofak; Waigeo 161 Selatan Pulau Tiga; Misool
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Sumber: TNC- WWF (2003) dalam Pemda (2006)
Tabel 9 menunjukkan 10 lokasi yang memiliki terumbu karang terbaik, dan semua tersebar di empat pulau besar Kabupaten Raja Ampat. Lokasi terbaik pertama yang memiliki terumbu karang tertinggi adalah wilayah Misool, tetapi perbedaan tidak terlalu signifikan dengan daerah lainnya, termasuk wilayah Waigeo yang menjadi tempat penelitian.
5.1.2 Ikan Karang Perairan Raja Ampat mengandung keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil penelitian oleh TNC, CI, dan WWF terkait jumlah ikan yang berada di perairan Raja Ampat.
Tabel 10. Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai CI, TNC, WWF Tahun 2001 dan 2002 2001 (CI)
2002 (TNC dan WWF) 899
Gabungan CI, TNC-WWF 1.104
828 Jumlah Ikan (ekor) 1.084 1.149 1.436 Estimasi Jumlah Ikan (ekor) Sumber: McKenna et al. dan TNC- WWF dikutip oleh Pemda (2006)
Indonesia 2.056 2.032
47
Conservation International (CI) menemukan 828 jenis ikan selama survai kelautan pada Tahun 2001. The Nature Concervancy (TNC) bersama WWF dalam studi ekologi secara cepat pada Tahun 2002 menemukan 899 jenis ikan. Secara keseluruhan Raja Ampat memiliki 1.104 jenis ikan yang terdiri dari 91 famili (Pemda Raja Ampat 2006). Daerah Raja Ampat yang mempunyai keanekaragaman ikan karang tertinggi adalah daerah Selat Dampier yang terletak diantara Pulau Batanta dan selatan pulau Waigeo-Gam, perairan di sebelah barat Pulau Waigeo, yaitu teluk Aljui, Pulau Wayag dan pulau Sayag, perairan Kofiau, perairan Misool Timur dan Selatan, dan Waigeo Timur. Daerah tersebut tercatat memiliki jenis ikan lebih dari 200 spesies. Berdasarkan pengalaman menyelam, seorang ahli karang dunia Gerry Allen, menemukan 284 dan 283 jenis ikan dalam satu kali penyelaman. Spesies ikan utama yang hidup di perairan kepulauan Raja Ampat merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Sepuluh famili yang dominan di perairan Raja Ampat adalah Gobiidae, Pomacentridae, Labridae, Apogonidae, Serranidae, Chaetodontidae, Acanthuridae, Blenniidae, Lutjanidae, dan Scaridae. Grafik berikut menunjukkan sepuluh famili yang dominan beserta jumlah spesiesnya.
Gambar 8. Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat
48
5.1.3 Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut pantai berlumpur. Berdasarkan hasil survei dan analisis citra digital, luas hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat adalah kurang lebih 27.180 hektar dan hutan tersebar di beberapa wilayah yaitu : Pulau Waigeo
: 6.843 Ha
Pulau Batanta
: 785 ha
Pulau Kofiau
: 279 ha
Pulau Misool
: 8.093 ha
Pulau Salawati
; 4.258 ha
Hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat didominasi oleh famili Rhizophoraceae dan famili Sonneratiaceae. Pulau yang memililiki sebaran hutan mangrove terbesar adalah pulau Misool kemudian diikuti oleh Waigeo, Salawati, dan Batanta, sedangkan sebaran hutan mangrove paling sedikit berada di Pulau Kofiau.
5.1.4 Padang Lamun Lamun
(Seagrass)
merupakan
satu-satunya
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae) yang memiliki Rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Padang lamun hampir tersebar di seluruh Kepulauan Raja Ampat yakni di sekitar Waigeo, Kofiau, Batanta, Ayau, dan Gam. Padang lamun yang terdapat di wilayah ini umumnya homogen dan berdasarkan ciri-ciri umum lokasi, tutupan, dan tipe substrat dapat digolongkan sebagai padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang (Rumfaker 2010). Secara umum, vegetasi dari padang lamun yang terdapat di Raja Ampat merupakan tipe campuran dengan kombinasi dari beberapa jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai dari pinggir pantai sampai ke tubir. Jenis lamun yang tumbuh antara lain jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemrichii, Halophila ovalis, Cymodoceae rotundata, dan Syringodium isoetifolium (Rumfaker 2010).
49
5.1.5 Hutan Rawa Hutan sagu tersebar di seluruh distrik Kabupaten Raja Ampat. Rawa-rawa sagu ditemukan di daerah-daerah batu gamping/kapur di Kofiau dan daerah tanah liat di Kapatlap, Salawati.
5.1.6 Bahan Galian Tambang 5.1.6.1 Nikel Nikel merupakan bahan galian logam untuk keperluan industri terutama sebagai campuran besi baja dan stainless steel. Penyebaran nikel di Raja Ampat terdapat di pulau Gebe, pulau Kawe, pulau Gag, pulau Batangpele, pulau Manyaifun, pulau Nawan, dan pulau Waigeo di sebelah utara dan selatan Teluk Mayalibit. Berdasarkan informasi dari PT Pacific Nikkel Indonesia dan Reynolds dikutip oleh Pemda (2006), di pulau Gag laterit, nikel terdapat pada lereng sedang sampai curam, pada lokasi 129°53’ bujur timur. Parameter konsentrasi rata-rata tertinggi 1,5 - 1,76 persen Ni, kobalt rata-rata 0,02 persen dari 12.000 ton contoh kasar dari laterit tinggi sampai rendah (Pemda Raja Ampat 2006).
5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas Berdasarkan data Pemerintah Daerah Raja Ampat, potensi kandungan minyak dan gas bumi didasarkan dari penafsiran hidrokarbon di Misool, bagian dari Cekungan Salawati (Samuel 1990 dikutip Pemda Raja Ampat 2006) yang telah terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Pada saat ini perusahaan JOB Pertamina - Petro China telah mendapatkan konsesi di Misool Utara hingga Salawati. Potensi ini didasarkan dari data pemboran dari dua sumur di sekitar selatan Kepulauan Dua yang terdapat adanya indikasi gas pada sumur TBA-2x dengan kedalaman 2.516 m dan sumur TBC-IX kedalaman 2.501 m (Rusmana 1989 dalam Pemda Raja Ampat 2006). Rencana produksi dan lokasi minyak dan gas bumi di empat sumur TBA-3x (1033’39,2”-130031’09.0’), TBA-4x (1033’16.0”- 130031’13.9”), TBC-2x (1031’44.3”- 130034’28.5”) dan TBC-3x (1031’59.4”- 130034’18,3”) adalah 13.400 BCPD (barel minyak/hari) selama 3234 bulan dan 75 MMSCFD (juta kaki gas/hari) (Pemda Raja Ampat 2006).
50
5.2
Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat Kekayaan sumberdaya laut yang dimiliki oleh Raja Ampat mendorong
tindakan pelestarian dan pengelolaan yang efektif agar terjamin keberlanjutannya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pentingnya suatu penetapan kawasan konservasi, sehingga Raja Ampat menjadi area prioritas untuk kegiatan perlindungan atau konservasi laut. Kabupaten Raja Ampat memiliki beberapa kawasan konservasi laut yang dikenal dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD merupakan kawasan konservasi perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk mengkonservasi habitat dan proses-proses ekologi, dan perlindungan nilai sumberdaya sehingga kegiatan perikanan, pariwisata, penelitian, dan pendidikan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (Coremap II 2008). Adapun kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat terdiri dari enam kawasan KKLD yang berada di empat pulau besar yaitu Batanta, Waigeo, Misool, dan Salawati. Secara keseluruhan total kawasan konservasi laut yang telah ditetapkan adalah 1.125.940 ha wilayah laut dan menurut Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat, cakupan jejaring KKLD Raja Ampat meliputi wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang terdapat didalamnya.
Tabel 11. Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat No.
Nama Kawasan KKLD Kep. Kofiau-Boo KKLD Misool Timur Selatan KKLD Selat Dampier KKLD Kep. Ayau-Asia KKLD Kawe/ Sayang Wayag KKLD Teluk Mayalibit
1. 2. 3. 4. 5. 6. Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Luas (ha) 170.000 343.200 303.200 101.440 155.000 53.100
Jika dibandingkan dengan data nasional tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah di Tahun 2009, maka KKLD Kab. Raja Ampat memiliki Persentase
51
sebesar 35,7 persen dari total keseluruhan luas KKLD di Indonesia. Hal ini menunjukkan KKLD di Raja Ampat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi keberlanjutan sumberdaya di masa mendatang. Kawasan Konservasi Laut Daerah ini dideklarasikan secara sah oleh Menteri kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di Waisai pada tanggal 15 Desember 2007 dan pengelolaannya diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat. Deskripsi lengkap tentang masing-masing KKLD yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat dibahas dalam uraian berikut.
5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kep. Kofiau-Bo dengan luas 170.000 ha terletak di Distrik Kofiau dan mencakup tiga kampung. Kawasan ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut yang cukup tinggi dan menjadi tempat penting bagi beberapa jenis penyu hijau (Green turtle) dan penyu sisik (Humpback turtle) sebagai jalur migrasi (Corridors) dan tempat bertelur (Nesting beach) serta habitat beberapa jenis mamalia laut, dugong, serta jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapa (Grouper) dan napoleon (Wrasse). Hasil survai ekologi TNC pada Tahun 2001 dikutip DKP Raja Ampat (2009) menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki kurang lebih 284 jenis ikan karang dalam sekali penyelaman (tertinggi di Raja Ampat) dan 174 jenis karang keras (dari jumlah total 537 pesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat) yang sekaligus menjadi “rumah bagi berbagai jenis ikan karang” yang terdapat di laut Kofiau. Selain itu berdasarkan hasil survai program tim monitoring TNC Raja Ampat, terdapat kurang lebih delapan jenis cetacean yaitu Orca (Orchinus orca) atau paus pembunuh yang sering disebut dengan bahasa lokal rowetroyer atau paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens), paus pemandu sirip pendek (Gobichepala
macrorhynchus),
lumba-lumba
paruh
panjang
(Stenella
longirostris), lumba-lumba totol (Stenella attennuata), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncates), dan beberapa jenis lainnya yang tidak dapat teridentifikasi (DKP Raja Ampat 2009).
52
Pengelolaan KKLD Kofiau-Boo dilakukan berdasarkan asas mufakat, keterpaduan, keseimbangan, berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat serta dilakukan berdasarkan manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur pemerintah kabupaten, distrik dan kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan, dan unsur adat dengan memadukan antara manajemen konservasi modern dan konservasi tradisional yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009). Prinsip pengelolaan KKLD ini adalah, (1) pencegahan tangkap lebih, (2) penggunaan pertimbangan bukti ilmiah, (3) pertimbangan kearifan lokal, (4) pendekatan kehati-hatian, (5) keterpaduan pengembangan wilayah pesisir, (6) pengembangan alat dan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan, (7) pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (8) pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, (9) perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis, (10) perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan, dan (11) pengelolaan adaptif (DKP Raja Ampat 2009). Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan saat ini lebih difokuskan pada tiga hal yaitu, penjangkauan masyarakat (community outreach), monitoring (biologi laut dan pemanfaatan sumberdaya laut), dan kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan. Jika dilihat dari sisi sumberdaya, terlihat adanya peningkatan kualitas terutama terumbu karang dan sumberdaya ikan. Selain itu, terjadi kemajuan dalam aspek kebijakan yang mendukung upaya pembentukan KKLD Kofiau dan Boo ini.
5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Misool Timur Selatan memiliki luas 343.000 ha dan terletak mencakup tiga distrik yaitu Distrik Misool Timur, Misool Selatan, dan Misool Barat, serta terdiri dari 11 kampung. KKLD Misool Timur Selatan memiliki keunikan bentang lahan berupa pulau-pulau karst/kapur (Lime stone) yang sangat unik dan menjadi tempat penting bagi jenis penyu seperti penyu hijau (Eretmochelys imbricate) dan penyu sisik (Humpback turtle) sebagai jalur migrasi dan tempat bertelur. Selain itu menjadi habitat beberapa jenis mamalia laut, dugong, serta jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerap (Grouer) dan napoleon (Wrasse).
53
Hasil penelitian ekologi TNC pada Tahun 2002 dikutip DKP Raja Ampat (2009) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 144 spesies terumbu karang (dari jumlah total 537 spesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat) dengan panjang kurang lebih 700 km yang mengelilingi gugus pulau-pulau berada di kawasan ini, terutama jenis Acropora, Labophytum, Favia, dan Motypora. Hasil survai monitoring kesehatan karang yang dilakukan oleh TNC Raja Ampat pada tahun 2007/2008 pada 91 titik pemantauan menunjukkan rata-rata tutupan karang keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral) berturut-turut mencapai 60,67 persen dan 49,67 persen. Keberadaan ekosistem karang ini semakin menarik karena dihuni oleh ± 300 jenis ikan (REA 2002 dikutip DKP Raja Ampat 2009). Prinsip pengelolaan di KKLD ini memiliki kesamaan dengan pengelolaan KKLD Kofiau Boo yakni berdasarkan asas mufakat, keterpaduan, keseimbangan, berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat, serta dilakukan berdasarkan manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur pemerintah kabupaten, distrik dan kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan, dan unsur adat dengan memadukan antara manajemen konservasi modern dan konservasi tradisional yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009). Demikian halnya dengan prinsip-prinsip yang diberlakukan dalam KKLD Kofiau-Boo.
5.2.3 KKLD Selat Dampier Kawasan Konservasi Laut Daerah Selat Dampier meliputi empat distrik, yaitu, Distrik Waigeo Selatan, Distrik Meosmansar, Distrik Selat Sagawin, dan Distrik Salawati Utara. KKLD Selat Dampier memiliki luas 303.200 ha. Kawasan ini menjadi penting untuk dijaga dan dilindungi karena merupakan jalur arus air pasifik ke laut Halmahera, menjadikannya up welling dan menyebabkan laut menjadi kaya akan nutrient. Nutrient inilah yang diperlukan oleh biota laut terutama plankton sebagai bahan makanan, jalur migrasinya jenis ikan paus dan lumba-lumba, serta ditemukannya 270-an jenis ikan dalam sekali penyelaman. Selat Dampier berada dekat dengan pusat pengembangan ibukota Kabupaten Raja Ampat, Waisai, sehingga aktifitas pengembangan itu mempengaruhi keberadaan KKLD, seperti pembangunan pelabuhan, darmaga, bandara, jalan, dan pengembangan pemukiman. Selain itu, selat ini merupakan pusat pengembangan
54
infrastruktur pariwisata baik oleh pengusaha asing maupun lokal, serta pemanfaatan perikanan pun tidak kalah besarnya (DKP Raja Ampat 2009). Pada kawasan ini telah ditetapkan sejumlah Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat kampung. Dalam sistem zonasi KKLD, daerah perlindungan ini akan berfungsi sebagai area larang ambil no take zone dan masih akan diperbanyak lagi untuk mencapai tujuan pengelolaannya. Kegiatan di Selat Dampier dimulai dengan serangkaian koordinasi dan kegiatan bersama dengan masyarakat diantaranya adalah lokakarya patroli pengawasan yang dilakukan melalui sistem Pokmaswas yang dibentuk di setiap kampung. Kemajuan terkini dari pengembangan Selat Dampier sebagai KKLD, sedang dibuat zonasi dan penyusunan draft rencana pengelolaan KKLD Selat Dampier sebagai pilot project pengembangan rencana pengelolaan KKLD-KKLD di Raja Ampat.
5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia KKLD kepulauan Ayau Asia terletak di daerah paling utara Kabupaten Raja Ampat dan berbatasan dengan Negara Palau. Secara geografis KKLD Kep. Ayau Asia terbagi dalam tiga daerah yaitu, Ayau kecil, Ayau besar, dan Kepulauan Ayau. Luas keseluruhan KKLD ini adalah 101.400 ha. Penetapan wilayah ini didahului oleh kegiatan kampanye tentang pembangunan berwawasan lingkungan hidup dan kegiatan konservasi dengan melibatkan berbagai pihak (masyarakat adat, pemerintah, LSM lokal, pihak keamanan, dan lembaga agama). Dukungan positif dari masyarakat akan kegiatan konservasi ini ditandai dengan berbagai kegiatan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Zonasi kawasan ini ditetapkan oleh masyarakat lokal dan terdapat enam zona area larang ambil (no take zone) yang telah direkomendasikan dan diberi tanda dengan pelampung oleh masyarakat kampung Yenkwir dan kampung Rutum. Masyarakat juga membuat kesepakatan-kesepakatan tertulis dan lisan
55
untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan beserta sanksi-sanksi yang akan diberikan bagi pelanggar aturan tersebut. Pengelolaan kawasan KKLD ini didukung dengan kegiatan pembuatan zonasi kampung dan marga; monitoring terumbu karang seluruh KKLD Kep. Ayau Asia; pembentukan tim patroli masyarakat di tiap kampung; penguatan kelompok pemuda mahasiswa; pembuatan peta partisipatif; pembuatan pos patroli di Pulau Moof; studi banding tentang penyu; pengadaan fasilitas patroli; diskusi kampung; studi banding pembuatan garam dari air laut di Bali; pelatihan peternakan babi di Bali; pendirian radio komunitas; dan pendidikan lingkungan hidup untuk anak-anak SD, SMP, dan masyarakat dengan slogan no turtle on the menu yang merupakan suatu komitmen diantara masyarakat untuk tidak mengkonsumsi penyu terutama dalam acara besar seperti natal, tahun baru, pesta perkawinan, dan hajatan lainnya.
5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag KKLD Kawe atau Sayang Wayag terletak di bagian barat laut Raja Ampat dan berbatasan dengan laut Halmahera. Secara geografis terbagi dalam dua daerah yaitu, Pulau Sayang-Pulau Piai, dan Pulau Wayag dengan total wilayah keseluruhan adalah 155.000 ha. Kawasan konservasi ini adalah pulau-pulau kosong dan tidak ada perkampungan satupun (DKP Raja Ampat 2009). Potensi KKLD Kawe adalah keindahan pulau-pulau Karst dan pantai, tempat bertelurnya penyu, biota laut seperti hiu, manta, tengiri, kerapu, terumbu karang, dan menjadi lokasi tempat bermigrasinya paus dan lumba-lumba. Pulau Wayag Sayang, termasuk dalam pertuanan adat suku Kawe dan Maya yang tinggal di Kampung Selpelel dan Salio. Ancaman yang selama ini dirasakan oleh masyarakat adalah penangkapan ikan skala besar dari nelayan luar, penggunaan bom dan potassium dalam mengambil sumberdaya laut, perburuan daging dan telur penyu, pencemaran oleh limbah tambang; konflik internal kepemilikan lokasi oleh masyarakat Salio, Selpele maupun masyarakat Halmahera. Kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan mengurangi tekanan terhadap lingkungan di kawasan Wayag-Sayag dibentuk tim patroli masyarakat dengan
56
jadwal kegiatan patroli selama sebulan, setiap kelompok mendapat dua kali selama dua hari. Secara empiris, dilaporkan oleh nelayan Salio dan Selpele bahwa telah terjadi peningkatan populasi teripang, udang, dan lola (Trocus niloticus) karena berkurangnya pengambilan oleh nelayan luar. Sebagai dukungan moriil dan semangat masyarakat, maka dibuatlah kesepakatan-kesepakatan bersama untuk menjaga kawasan Wayag Sayag yang ditandatangani bersama dengan surat dukungan para tokoh adat dan masyarakat Kawe untuk penetapan KKLD pada tanggal 18 November 2007.
5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit Kawasan Konservasi Laut Daerah Teluk Mayalibit terletak di Pulau Waigeo dengan luas kawasan 53.100 ha. Teluk Mayalibit merupakan teluk memanjang yang hampir memisahkan Pulau Waigeo menjadi dua bagian dengan mulut teluk yang sangat sempit menjadikan Teluk Mayalibit sebagai kawasan yang relatif tertutup. Teluk Mayalibit memilki habitat mangrove dan lamun yang sangat baik. Lebar hamparan padang lamun dapat mencapai 70 meter dari tepi hutan mangrove menuju darat. Pada beberapa titik seperti di daerah sebelum Kalitoko, terdapat formasi mangrove dan lamun yang baik. Hutan mangrove juga dijumpai di daerah Waifoi dan Weenok dan antara Kabilol dan Arawai dengan Persentase karang keras relatif kecil, namun daerah Teluk Mayalibit sangat berpotensi sebagai tempat pembesaran biota-biota laut seperti tenggiri, ikan samandar, udang, bubara, kakap, kepiting bakau, dan ikan lema (Restraiger kanagurta) sebagai ikan konsumsi terutama masyarakat Raja Ampat dan Sorong (DKP Raja Ampat 2009). Masyarakat lokal merasa peduli terhadap pentingnya perlindungan sehingga mereka berperan aktif dalam upaya konservasi. Salah satunya adalah dengan kegiatan patroli untuk menjaga kawasan ini dari kerusakan. Sistem patroli yang diterapkan adalah pengawasan dengan menggunakan sebuah speed boat untuk melakukan pengontrolan kurang lebih dua kali seminggu. Dampak dari penetapan Teluk Mayalibit sebagai kawasan konservasi antara lain, kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi bagi keberlangsungan hidup lebih meningkat; kegiatan over fishing dan penangkapan yang merusak
57
telah menurun drastis; telah terdapat zona inti dan kawasan konservasi kampung seluas 20 ha; terbentuknya 10 Kelompok Penggiat Konservasi Kampung (KPKK) se-Distrik Telma dengan jumlah personil sebanyak 175 orang.
5.3
Daerah Perlindungan Laut (DPL) Setiap kampung dapat membuat DPL yang diatur dalam peraturan kampung,
dengan tujuan menjaga dan melindungi sumberdaya laut di masing-masing wilayah. Pengelolaan DPL dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan kondisi ekologi dan melibatkan peran serta masyarakat. Berdasarkan data terakhir Tahun 2009, jumlah Daerah Perlindungan Laut yang dibentuk di Kabupaten Raja Ampat berjumlah 19 DPL, dan menyebar di kampung-kampung. Adapun daftar nama DPL, luas, dan lokasinya dapat terlihat pada tabel berikut. Tabel 12. Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja Ampat No. Nama DPL Kampung 1. Fiaduru Yenbeser 2. Gurabessy Saonek 3. Yenmangkwan Saporkren 4. Kordiris Friwen 5. Mursika Mutus 6. Bianci Bianci 7. Kapsarau Waisilip 8. Masadimmawa Meosmanggara 9. Manfakwak Manyaifun 10. Mansilo Selpele 11. Warasmus Yenbuba 12. Yendersner Kurkapa 13. Imburnos Sawandarek 14. Tanadi Kapisawar 15. Kormansiwin Yenwaupnor 16. Mansaswar Sawinggrai 17. Ikwan Iba Yenbekwan 18. Indip Arborek 19. Mambarayup Arborek Sumber : Coremap II Raja Ampat (2009)
Lokasi Waigeo Selatan Waigeo Selatan Waigeo Selatan Waigeo Selatan Waigeo Barat Waigeo Barat Waigeo Barat Waigeo Barat Waigeo Barat Waigeo Barat Meosmansar Meosmansar Meosmansar Meosmansar Meosmansar Meosmansar Meosmansar Meosmansar Meosmansar
Luas (Ha) 65,000 168,155 32,200 155,013 791,790 60,605 84,987 111,777 47,999 39,512 43,000 37,000 15,000 33,000 80,000 85,000 65,000 32,500 32,500
Kampung Saporkren memiliki satu Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang diberi nama DPL Yenmangkwan. Luas kawasan ini adalah 32,2 ha dan berada tidak jauh dari kawasan perkampungan masyarakat. Jika dianalisis, rezim
58
kepemilikan sumberdaya laut di Kampung Saporkren tergolong rezim komunal atau masyarakat. Hal ini ditandai dengan hak kepemilikan yang sifatnya sudah turun temurun di dalam masyarakat Saporkren. Sebelum adanya DPL, masyarakat lokal telah menerapkan sistem pengelolaan laut yang dikenal dengan istilah Sasi Gereja. Model pengelolaan tersebut dipercaya sebagai salah satu tindakan untuk menjaga hasil laut dan dengan menerapkan aturan-aturan lokal yang bersifat keagamaan, masyarakat dituntut untuk mematuhinya. Hal ini didukung dengan pernyataan salah satu tokoh adat, PD (67 tahun) : “…sebelum ada DPL, kami juga sudah buat aturan sendiri yang sering kami bilang Sasi Gereja. Semua dilarang untuk mengambil hasil laut kalo Sasi itu jalan, tapi biasanya tong hanya atur sampe 1 tahun, habis itu boleh lagi ambil. Kalo pas mau Sasi dilakukan, torang buat acara adat trus doa juga biar berhasil”.
Kemudian pada Tahun 2006, pihak Pemerintah Daerah bersama pihak konservasi mendatangi kampung ini dan memulai dengan tahap Mensosialisasikan program
DPL.
Adapun
tahapan
pembentukan
dan
pengelolaan
DPL
Yenmangkwan meliputi Sosialisasi pembentukan DPL, survai lokasi calon DPL, dan penetapan DPL.
Sosialisasi pembentukan DPL
Survai lokasi calon DPL
Penetapan DPL
Gambar 9. Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren
5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL Sosialisasi awal pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dilakukan dalam bentuk Sosialisasi kepada masyarakat tentang materi potensi laut yang ada di Kampung Saporkren, permasalahan kerusakan terumbu karang dan sumberdaya laut lainnya, serta pentingnya suatu cara penjagaan yang sifatnya berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Saat itu pula diadakan pemutaran video tentang terumbu karang dan kerusakan yang terjadi saat-saat ini. Kegiatan ini dilaksanakan pada Tahun 2006 sebagai langkah awal pendekatan kepada
59
masyarakat. Selain itu, diperkenalkan pula konsep Daerah Perlindungan Laut. yang meliputi, pengertian DPL, tujuan dan manfaat DPL, sistem pengelolaan DPL, dan topik lainnya yang berkaitan dengan materi DPL.
5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL Tahap ini diawali dengan Forum Group Discussion (FGD) dimana Coremap bersama masyarakat duduk bersama membicarakan kesepakatan lokasi yang akan ditetapkan sebagai area DPL. Agenda utama yang dibicarakan antara lain penggambaran bersama calon lokasi DPL, penentuan besar luasan lokasi tersebut, pemetaan sumberdaya yang akan dilindungi dan stakeholder yang bertanggung jawab terhadap lokasi DPL, serta penandatanganan penyerahan lokasi sebagai wilayah DPL. Survai lokasi calon DPL dilakukan berdasarkan pemetaan potensi yang telah dilakukan oleh masyarakat. Lokasi yang dipilih adalah lokasi dengan tutupan karang yang baik dan cukup baik, tidak jauh dari pemukiman masyarakat agar memudahkan masyarakat dalam pengawasan terhadap lokasi DPL. Lokasi yang dipilih ditetapkan sebagai daerah larang ambil atau no take zone.
5.3.3 Penetapan DPL Setelah dilakukan survai lokasi DPL, maka ditetapkanlah Daerah Perlindungan Laut dan diberi suatu nama yakni Yenmangkwan yang artinya adalah pasir panjang. Penetapan DPL dikukuhkan dengan peraturan kampung No. 001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM). Berdasarkan
peraturan
kampung
yang
telah
disepakati
bersama,
pembentukan DPL ini bertujuan untuk menjaga terumbu karang dan ekosistem di dalam laut serta mensejahterakan masyarakat. Proses penetapan DPL melibatkan beberapa pihak khususnya masyarakat, dan saat itu masyarakat diminta menandatangani surat persetujuan atau kesepakatan bersama sebagai bukti pengesahan pembentukan DPL.
60
5.4
Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary) Pembatasan wilayah Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dimulai dari pangkal rataan terumbu yang berupa garis pantai hingga ke ujung tubir terumbu, sehingga bentuk wilayahnya tidak begitu berbentuk persegi pada umumnya. Pada garis pantai, bentuk batas DPL mengikuti lekuk garis pantai dan pada wilayah tubir terumbu polanya mengikuti bentuk batas terumbu. Pemasangan tanda batas dengan pelampung dilakukan pada empat titik penempatan sehingga nantinya membentuk formasi persegi panjang. Pemasangan batas pelampung menggunakan dana yang diberikan untuk proses pembentukan Daerah Perlindungan Laut. Namun saat ini, hingga peneliti melakukan penelitian, batas-batas tersebut tidak nampak lagi karena dicabut oleh orang-orang yang tidak dikenal pada saat masyarakat tidak dalam penjagaan (saat masyarakat lokal tertidur). Batas-batas tersebut kemudian digantikan dengan batangan kayu panjang yang menancap di keempat titik tersebut. Pembatasan wilayah DPL Yenmangkwan membuat perubahan pada wilayah tangkap nelayan Saporkren. Namun, sejak pembentukan DPL hingga saat ini tidak terjadi konflik yang besar terkait perubahan wilayah tangkap para nelayan. Hal ini dikarenakan masyarakatlah yang menjadi penentu dalam pembuatan batas-batas DPL. Adapun gambaran perubahan wilayah tangkapan nelayan Saporkren sebelum dan sesudah adanya DPL dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Sebelum DPL
Setelah DPL
Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren
61
Gambar 10 menggambarkan wilayah tangkap nelayan Saporkren sejak sebelum terbentuknya DPL dan setelah adanya DPL. Gambar tersebut diperoleh melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) diantara masyarakat. Masyarakat berkumpul lalu menggambarkan pemataan wilayah tangkap mereka sebelum DPL dan setelah adanya DPL. Sebelum DPL terbentuk, nelayan bebas menangkap di seluruh wilayah laut khususnya bagian laut yang dekat dengan perkampungan. Namun setelah adanya DPL nelayan tidak dengan bebas melaut karena ada batasan yang tidak boleh dilanggar, dan para nelayan hanya bisa melaut di sekitar DPL dan bahkan akan menangkap di daerah yang lebih jauh misalnya di daerah Tanjung Pisang. Namun, jika terjadi angin kencang maka wilayah tangkap alternatif bagi nelayan adalah wilayah laut yang berdekatan dengan Pulau Urai.
5.4.2 Peraturan (Rules) Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut tidak terlepas dari aturan-aturan yang diberlakukan. Sejak pembentukan DPL Yenmangkwan, masyarakat duduk bersama untuk mendiskusikan aturan yang akan ditetapkan sebagai peraturan dalam pengelolaan kawasan ini. Berdasarkan Perkam (Peraturan kampung) No. 001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM), adapun hal-hal yang dilarang untuk dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pemboman ikan dan bius/potas 2. Penambangan karang dan pasir 3. Pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan kapal 4. Reklamasi dan buang jangkar 5. Penebaran jala, pukat, atau sejenisnya 6. Memancing segala jenis ikan 7. Menangkap ikan dengan menggunakan alat panah/kalawai (tombak) 8. Pengambilan kerang-kerangan dan jenis biota lainnya 9. Menggunakan perahu berlampu (balobe) 10. Berjalan di atas terumbu karang
62
11. Mengambil biota laut yang dilindungi oleh undang-undang 12. Melintas di atas DPL Berdasarkan keputusan bersama antara pihak Coremap II dengan masyarakat, peraturan nomor 12 saat ini tidak diberlakukan lagi dengan alasan area DPL adalah area bagi masyarakat untuk menuju Waisai ataupun sebaliknya. Apabila aturan tersebut tetap diberlakukan, masyarakat harus menempuh jarak yang lebih jauh. Oleh karena itu, siapapun berhak melintas di atas DPL tetapi tidak boleh melakukan aktivitas apapun. Adapun kegiatan yang diperbolehkan di lokasi DPL yaitu : 1. Kegiatan penelitian ilmiah/pendidikan 2. Kegiatan pariwisata atau penyelaman terbatas 3. Kegiatan monitoring atau pengawasan oleh kelompok pengelola
5.4.3 Hak (Rights) Hak nelayan Saporkren sebelum adanya Daerah Perlindungan Laut terdiri dari hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi, sedangkan untuk hak alienasi tidak dikenal di dalam masyarakat karena menurut masyarakat setempat, laut adalah milik bersama. Artinya, tidak ada satu orang pun yang berhak menjual atau menyewakan hak yang dimiliki masyarakat kepada orang lain diluar masyarakat setempat. Kemudian sejak adanya DPL, seperangkat hak nelayan mengalami sedikit perubahan yakni perubahan pada hak pemanfaatan, karena DPL telah ditetapkan sebagai zona inti dari Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan itu artinya DPL merupakan area larang ambil. Ketiga tipe hak lainnya yaitu hak untuk mengakses, mengelola, dan hak ekslusi tidak mengalami perubahan.
5.4.4 Kewenangan (Authority) Sistem pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dikelola secara penuh oleh masyarakat, dengan asumsi masyarakat lokal yang lebih paham akan kondisi laut. Masyarakat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola DPL dengan menerapkan kearifan lokal yang telah dipegang sejak zaman dahulu. Masyarakat
63
bersama pemerintah daerah bekerjasama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, artinya masyarakat juga memiliki kewenangan penuh untuk terlibat. Terkait sistem pengelolaan, adapula lembaga pengelola DPL yang dibentuk sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap DPL, yaitu MK (Motivator Kampung), LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), dan Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas). Ketiga lembaga tersebut dibentuk berdasarkan pemilihan masyarakat dan anggotanya adalah masyarakat Kampung Saporkren. MK (Motivator Kampung) berperan sebagai fasilitator masyarakat khususnya terkait
program DPL,
menjadi pemandu masyarakat
dalam
melaksanakan tahapan pengelolaan berbasis masyarakat di kampung, dan memberikan laporan pengelolaan DPL kepada SETO yang bertanggung jawab di tingkat distrik. Sedangkan LPSTK dan Pokmaswas di Kampung Saporkren digabung menjadi satu kesatuan yang beranggotakan lima orang dan bertugas sebagai pengelola di lapang atau langsung di area DPL, serta wajib memberikan laporan kepada MK terkait pengelolaan DPL.
5.4.5 Pengawasan (Monitoring) Pengawasan dan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pemilik sumberdaya laut tersebut. Siapapun berhak mengawasi, tetapi tanggung jawab sepenuhnya diberikan kepada Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang sekaligus menjadi anggota LPSTK. Teknik pengawasan yang diterapkan di kampung Saporkren adalah patroli dengan menggunakan perahu oleh anggota Pokmaswas/LPSTK. Mereka menjalankan tugasnya baik pada siang hari maupun malam hari sesuai jadwal pengawasan yang telah disusun bersama. Biasanya petugas mengawasi DPL sekaligus mereka menangkap ikan di luar area DPL. Selain anggota LPSTK/Pokmaswas, masyarakat yang non-anggota juga mengawasi DPL. Cara masyarakat mengawasi adalah memantau dari kampung dan ketika mereka sedang menangkap ikan di laut. Teknik pengawasan yang dilihat nampak sederhana tetapi cukup efektif dalam pengelolaan DPL. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden dinyatakan bahwa banyak kasus yang mereka temui terkait pelanggaran
64
aturan dan pelakunya adalah nelayan dari kampung lain atau anak-anak kecil yang tidak mengetahui akan keberadaan DPL. Bagi pelanggar aturan akan diberikan sanksi yang telah disepakati oleh masyarakat Saporkren.
5.4.6 Sanksi (Sanctions) Terkait aturan yang telah ditetapkan dalam proses penjagaan DPL, apabila ada yang melanggar peraturan-peraturan tersebut, maka sanksi yang diberikan adalah teguran oleh Pokmaswas, dimana teguran ini berupa teguran I, II, dan III, oleh MK atau LPSTK sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh. Apabila tersangka telah mendapatkan tiga kali teguran dan tetap melakukannya maka sanksi yang lebih berat akan diberikan yakni diserahkan ke kantor polisi dan penyitaan alat tangkap. Menurut responden, sejak ditetapkan peraturan untuk pengelolaan DPL, pelanggaran terhadap aturan tersebut tetap terjadi. Namun, hal itu lebih sering terjadi saat awal pembentukan DPL, khususnya bagi pihak yang kontra dan merasa hak mereka untuk menangkap ikan di DPL berubah secara drastis. Tindakan tersebut dianggap sebagai salah satu tindakan nelayan yang tidak menyetujui adanya Daerah Perlindungan Laut. Jika dibandingkan dengan intensitas pelanggaran di awal pembentukan DPL, saat ini sudah berkurang. Jika konflik terjadi hanyalah skala kecil, yaitu pelanggaran oleh nelayan dari kampung lain. Hal ini disebabkan oleh perubahan persepsi nelayan yang telah menerima keberadaan DPL Yenmangkwan. Apabila ada pelanggaran terjadi, pelakunya adalah nelayan dari kampung lain yang belum mengetahui keberadaan DPL. Salah satu kasus yang pernah dialami oleh salah satu responden, DS (29 tahun): “…sa pernah dapat satu orang yang lagi tangkap ikan dengan jaring, terus sa pergi tegur dia dan lapor dia ke LPSTK di kampung. nelayan ini orang dari Waisai yang lagi ambil ikan pas di DPL, padahal waktu itu sa baru pulang jual ikan dari Waisai, baru sa dapat dia. Pace ini tara mau ikut tapi sa paksa dia untuk ikut ke kampung sini supaya dapat tegur sedikit dulu, habis tanda besar-besar begini masa da tara liat.”
65
BAB VI DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI SOSIAL NELAYAN
6.1
Analisis Stakeholder Pengelolaan kawasan konservasi baik laut maupun darat tidak terlepas dari
konteks hak kepemilikan atau hak pengelolaan para pihak yang berkepentingan (stakeholders). Masing-masing pihak memiliki peranan dan kepentingan yang berbeda, dan perbedaan itu memungkinkan terjadinya konflik ketika tidak adanya kejelasan akan wilayah yang menjadi bagiannya. Oleh karena itu, dalam proses pengelolaan diperlukan kejelasan akan hak milik yang akan menentukan dan membatasi sejauh mana pihak tersebut dapat berperan dalam proses pengelolaan. Daerah Perlindungan Laut yang dibentuk melibatkan banyak pihak dalam proses perencanaan, pengelolaan, hingga evaluasi, dan masing-masing pihak memiliki tugas dan dan tanggung jawab yang berbeda. Adapun pihak-pihak yang terlibat antara lain, pemerintah pusat, pemeritah daerah, Coremap II, dan masyarakat. Hal terpenting yang diharapkan dari semua stakeholder adalah kerjasama yang dapat menjamin pengelolaan yang berkelanjutan.
6.1.1 Pemerintah Daerah Peran pemerintah daerah dalam proses pembentukan dan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah menetapkan peraturan daerah terkait kawasan konservasi laut dalam hal ini adalah KKLD. Pelaku-pelaku dari pihak Pemda Kabupaten Raja Ampat meliputi, Bupati, Bappeda, DKP, Dinas Pendidikan dan Pengajaran, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kepala Bagian Hukum, Kepala Distrik Waigeo Selatan dan Barat, Kepala Distrik Meos Mansar, dan Kepala Distrik Selat Sagawin. Namun secara keseluruhan tugas dan tanggung jawab dari Pemerintah Daerah tentang kawasan perairan dan khususnya konservasi laut diberikan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Raja Ampat. DKP memiliki kewenangan untuk mengatur KKLD yang berada di Kabupaten Raja Ampat dan bersama Coremap II bekerjasama dalam pengelolaan setiap DPL. DKP juga setiap
66
tahun membuat anggaran bagi kawasan-kawasan konservasi laut yang ada di Raja Ampat baik dana pelaksanaan dan dana bantuan bagi masyarakat lokal sekitar kawasan konservasi. Pemerintah daerah bertanggung jawab dalam bentuk bantuan teknis pendanaan dan persetujuan aturan-aturan pengelolaan DPL yang telah telah disepakati bersama masyarakat, misalnya surat persetujuan pengelolaan DPL atau sering disebut Perkam DPL.
6.1.2 Coremap Coral reef rehabilitation and management program (program pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang) adalah perpanjangan tangan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat. Adapun tahapan Coremap di Raja Ampat terbagi dalam tiga tahap yaitu, tahap pertama disebut tahap inisiasi (1998-2003), tahap kedua, akselerasi (2004-2009), dan tahap ketiga pelembagaan (2010-2015). Saat ini Coremap tahap II yang menjadi penanggung jawab di Kabupaten Raja Ampat. Coremap II terbentuk di Raja Ampat sejak Tahun 2005 dengan alasan dibutuhkan suatu program yang dianggap dapat melindungi sumberdaya laut yang dimiliki Raja Ampat dari berbagai upaya yang dapat merusak. Visi dari Coremap II adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat dan kesehatan terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat.
DKP
LPSTK
COREMAP II
Tingkat Kabupaten
SETO
Tingkat Distrik
Motivator Kampung
Tingkat Kampung
POKMASWAS
Tingkat Kampung
Gambar 11. Penangggung Jawab Pengelolaan DPL Raja Ampat
67
Lembaga Coremap sebagai perpanjangan tangan dari DKP memiliki tanggung jawab untuk mengatur setiap DPL-DPL yang berada di Kabupaten Raja Ampat. Kegiatan yang telah dilakukan adalah melakukan Sosialisasi-Sosialisasi ke semua kampung yang menjadi target dari program DPL, melakukan kegiatan pendidikan lingkungan hidup, pengawasan melalui LPSTK yang berada di kampung-kampung DKP, melakukan monitoring terumbu karang di DPL, pemantauan hasil tangkapan nelayan setiap bulan, membangun pondok informasi di setiap kampung yang memiliki DPL, dan memberi dana bantuan bagi pembangunan sarana dan prasarana kampung. Coremap II Raja Ampat juga membagi tugas dan tanggung jawabnya kebeberapa pihak baik di distrik maupun kampung. Penanggung jawab di tingkat distrik disebut SETO yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di beberapa kampung. Masing-masing distrik memiliki satu atau dua SETO, misalnya Distrik Waigeo Selatan yang terdiri dari beberapa kampung termasuk Kampung Saporkren dipercayakan pada satu orang sebagai pihak yang bertanggung jawab nantinya kepada Coremap. SETO yang hanya terdiri dari satu atau dua orang saja menyebabkan mereka tidak setiap saat berada di kampung karena
tugasnya
adalah
mengelilingi
setiap
kampung
untuk
melihat
perkembangan pengelolaan DPL. Oleh karena itu, penanggung jawab di tingkat kampung diserahkan kepada MD atau MK (Motivator Desa/Kampung). MD atau MK ini dibentuk oleh masyarakat sendiri, berada dibawah pengawasan SETO, dan bertugas sebagai fasilitator masyarakat khususnya terkait dengan program DPL. MD akan menjadi pemandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan pengelolaan berbasis masyarakat di kampung. Selain itu, dibentuk pula LPSTK dan Pokmaswas sebagai lembaga pengelola DPL di lapangan. Pada Kampung Saporkren, motivator kampungnya terdiri dari empat orang, sedangkan LPSTK dan Pokmaswas digabung menjadi satu kesatuan dan dipercayakan pada lima orang sebagai pengelola di lapangan. Sistem pengelolaan di lapangan adalah masyarakat secara bersama memiliki hak untuk menjaga dan melarang siapapun yang hendak melakukan aktivitas di lokasi DPL, sedangkan LPSTK dan Pokmaswas adalah penanggung jawab di DPL, dimana mereka akan melakukan patroli dan akan selalu akan memberikan laporan kepada MD/MK sebagai
68
fasilitator di masyarakat. Laporan tersebut nantinya akan dilanjutkan kepada SETO dan disampaikan pada Coremap II sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab penuh kepada DKP. Dewan Pemberdayaan masyarakat Pesisir atau Coastal Community Empowerment Board (CCEB) terdiri dari beberapa instansi terkait dan perwakilan pemangku kepentingan seperti masyarakat, LSM yang diwakili secara berimbang, dan dibentuk oleh Bupati sebagai upaya untuk melakukan pembinaan pengembangan peran serta masyarakat. Gambar 13, adalah gambar struktur kelembagaan Coremap di suatu daerah.
Bupati
Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pemda, Bappeda, Dinas KP, KSDA, LSM, Adat dan pihak terkait lainnya
Project Management Unit (PMU)
Coral Reef Information And Training Center (CRITC)
Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM)
Monitoring, Controling, and Surveillance (MCS)
Public Awareness (PA)
Pengelolaan Kawasan Konservasi (MCA)
SETO (Fasilitator Masyarakat) Kampung
Motivator Desa
Sumber : DKP Raja Ampat (2009) Gambar 13.
Struktur Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Coremap
Dewan
Pemberdayaan
69
Bupati memiliki posisi tertinggi sebagai ketua atau pemilik tanggung jawab penuh dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, dan pembagian selanjutnya diberikan kepada dinas-dinas yang terkait seperti DKP Kabupaten, Bappeda, KSDA, LSM, dan adat. Unit ini bertugas untuk melaksanakan sistem kegiatan Coremap II secara teknis sesuai dengan komponen dan sub komponen yang telah ditetapkan. Tanggung jawab kemudian diberikan kepada PMU atau PMU Coremap II yang bertanggung jawab terhadap program-program unit antara lain, CRITC, PBM, MCS, PS, dan MCA. Apabila program tersebut sampai hingga ke kampung maka diberikan tanggung jawab lagi kepada Motivator Desa dan dalam pengawasannya diserahkan pada SETO sebagai fasilitator masyarakat di lapangan (Coremap II Raja Ampat 2009).
6.1.3 Masyarakat Fokus utama dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut
yang
membedakan dengan kawasan konservasi lainnya adalah pengelolaan secara penuh oleh masyarakat. Daerah Perlindungan Laut merupakan daerah laut dimana masyarakat lokal sebagai pemilik utama oleh karena itu masyarakat bertanggung jawab sebagai pengelola utama (DPL-BM). Pengaturan, pembatasan, dan larangan yang berlaku di DPL ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan kampung. Intinya adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Tujuan dari penyerahan tanggung jawab sepenuhnya pada masyarakat adalah karena laut merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir, dan masyarakatlah yang paling memahami kondisi laut jadi lebih mudah dalam proses penjagaannya. Selain itu, pemberian tanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat adalah untuk mendidik masyarakat dalam hal perlindungan sumberdaya laut sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat. Masyarakat bertanggung jawab dalam menentukan lokasi DPL, luasan DPL, tujuan pengelolaan, mengelola, dan membuat peraturanperaturan DPL atau disebut dengan peraturan kampung (Perkam). Secara umum, peran masing-masing stakeholders yang terlibat dalam proses pengelolaan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren ditunjukkan pada tabel berikut :
70
Tabel 13. Peranan Stakeholders DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren No.
Stakeholders
Peran
1.
Bupati Kab. Raja Ampat
Penanggung jawab KKLD dan DPL, Mengesahkan setiap peraturan terkait kawasan konservasi di Kab. Raja Ampat termasuk DPL
1.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Raja Ampat
Pengelola dan penanggung jawab Coremap II Kab. Raja Ampat
2.
PMU Coremap II Raja - Menyusun rencana tahunan Ampat - Mengkoordinasikan dan melaksanakan kegiatan Coremap II di kabupaten - Memonitor dan mengevaluasi kegiatan di masing-masing kampung dan melaporkan pada DKP - Melaksanakan kegiatan penelitian terumbu karang dan pelatihan LH - Melaksanakan kegiatan penguatan SDM dan kelembagaan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat, penyadaran masyarakat, pengelolaan kawasan DPL dan monitoring, control, and surveillance (MCS)
3.
Pemerintah kampung
- Mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam program pengelolaan terumbu karang di kampung sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi - Mengangkat MD dan Pokmaswas sesuai hasil musyawarah dan kesepakatan bersama - Mengesahkan Perkam yang terkait dengan pembentukan DPL
4.
LPSTK
- Membantu penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) - Membantu melakukan identifikasi seluruh potensi yang ada di kampung - Mengelola pondok informasi masyarakat
5.
Pokmaswas
- Melakukan patroli secara teratur di DPL - Mengamati, mencatat, dan melaporkan pelanggaran yang terjadi di DPL kepada MD - Melakukan perawatan berbagai peralatan patroli dan tanda batas DPL
6.
SETO (Fasilitator senior)
- Menjalankan fungsi manajerial pengelolaan DPL di setiap kampung. - Mengarahkan, mendukung, dan membantu
71
kelancaran pelaksanaan seluruh kegiatan. 7.
MD/MK (Motivator desa/motivator kampung)
- Memandu masyarakat dalam melaksanakan tahapan pengelolaan DPL-BM di kampung - Menjadi penanggung jawab di tingkat kampung dan akan memberikan laporan kepada SETO terkait pengelolaan DPL
8.
Masyarakat
Menentukan lokasi DPL, luas DPL, membuat Perkam, dan mengelola serta menjaga DPL berdasarkan Perkam
Tabel 13 menunjukkan peran dari semua pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Kampung Saporkren. Aktor-aktor yang terlibat meliputi Pemerintah Daerah (Bupati dan DKP), PMU Coremap II, Pemerintah Kampung Saporkren, LPSTK, Pokmaswas, SETO, MK, dan Masyarakat.
6.2
Sikap Masyarakat Terhadap Penetapan DPL Respons masyarakat lokal terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut
Yenmangkwan dapat diukur dengan sikap mereka. Variabel dari sikap masyarakat dilihat dari beberapa variabel, yaitu pengetahuan dan afeksi masyarakat terhadap DPL. Pengetahuan masyarakat terhadap Daerah Perlindungan Laut dapat dijadikan salah satu bagian dari pengukuran respons nelayan sejak adanya DPL. Asumsinya adalah jika masyarakat mampu menjelaskan dan memahami akan keberadaan DPL dan beragam pengetahuan yang mendukung akan pemahaman tehadap masyarakat maka dapat dikatakan respons mereka positif. Selain itu pengukuran respons para nelayan akan adanya DPL dapat diukur dengan afeksi nelayan. Asumsinya jika nelayan menjawab “Ya” dan mampu memberi alasan terhadap jawaban tersebut dari beberapa pertanyaan yang diajukan, maka nelayan merasa perlu dan penting akan adanya daerah perlindungan hasil laut. Berdasarkan hasil analisis, dari delapan pertanyaan yang diajukan, diperoleh hasil bahwa sebanyak 29 orang menjawab “Ya” artinya responden memiliki sikap positif terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Skor dari jawaban setiap responden berada di atas rataan skor, artinya respons responden
72
positif. Responden lainnya, sebanyak 10 responden dianggap memiliki sikap negatif terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut dengan menjawab “Tidak”. Ketika
masyarakat
secara
keseluruhan
mampu
menjawab
“Ya”
menunjukkan bahwa mereka telah memahami esensi dari pembentukan DPL. Secara tidak langsung responden yang memiliki respons positif menyetujui pembentukan DPL, hal ini tergambarkan dengan pemahaman mereka akan tujuan, larangan, aturan, dan sanksi yang berlaku di Daerah Perlindungan Laut. Bagi responden yang menjawab “Tidak” dianggap memiliki respons yang negatif terhadap pembentukan DPL, dengan perolehan skor masing-masing individu di bawah skor rata-rata. Responden ini belum mau menerima adanya DPL yang menyebabkan wilayah tangkap mereka terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan, dinyatakan oleh FS (59 tahun): “…mereka yang tidak tahu tujuan DPL, maksud pembentukannya apa, dan sebagainya adalah mereka yang masa bodoh dengan DPL dan kegiatankegiatan yang mendukung penjagaan DPL.”
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Respons Responden Terhadap Pembentukan DPL Respon Masyarakat
Valid
Frekuensi
Persen
Valid Percent
Persentase Total
Negatif
10
25.6
25.6
25.6
Positif
29
74.4
74.4
100
Total
39
100
100
Rendahnya pemahaman nelayan akan keberadaan DPL dapat dipengaruhi oleh rendahnya minat keikutsertaan responden sejak awal perencanaan hingga pada pelaksanaan, misalnya nelayan enggan mengikuti rapat-rapat yang mendiskusikan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dan pada akhirnya mereka tidak antusias untuk terlibat dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang ekstra untuk membangkitkan minat nelayan lain untuk meresponi kegiatan-kegiatan tersebut.
73
6.3
Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak (Bundles of right) Nelayan Pada umumnya masyarakat Raja Ampat bermata pencaharian sebagai
nelayan dan menggantungkan hidup mereka pada laut. Laut dianggap sebagai warisan nenek moyang yang sangat berharga dan wajib dijaga dan dilindungi. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebagian besar menyatakan bahwa laut adalah hidup mereka karena warisan leluhur dan sejak jaman dahulu nelayan bebas melaut di daerah mana pun, sebagaimana seperti pendapat YM (55 tahun): “…saya punya nenek moyang bilang laut itu punya bersama dan bisa ambil ikan sepuasnya dimana saja dan kapan saja kita suka.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa kebebasan memiliki dan mengelola sumberdaya pesisir adalah milik bersama artinya siapapun berhak mengambil hasil laut tanpa batasan dan tanpa memperhitungkan waktu. Nelayan Saporkren mayoritas adalah nelayan lokal dan telah ada di kampung ini sejak mereka dilahirkan. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata responden merupakan penduduk asli Kampung Saporkren dan telah menetap lebih dari 10 tahun. Oleh karena itu, setiap nelayan merasa memiliki hak yang besar untuk mengatur, menjaga, memanfaatkan, dan mengelola sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Hak kepemilikan seseorang atas sumberdaya menjadi hal yang penting untuk diketahui dengan tujuan untuk mengurangi konflik kepentingan atau konflik pemanfaatan atas sumberdaya yang ada. Teori Ostrom dan Schlager tentang hak pengelolaan yang dikutip oleh Satria (2009), menyatakan bahwa terdapat lima tipe hak yaitu, a) hak akses, b) hak pemanfataan, c) hak pengelolaan, d) hak ekslusi, dan e) hak pengalihan. Secara teori, kelima hak tersebut semestinya dimiliki oleh pemilik sumberdaya, tetapi bisa mengalami perubahan ketika suatu program diberikan. Nelayan pun memiliki hak-hak tersebut walau tidak semuanya, sifatnya tergantung pada tipe sumberdaya alam yang berada di masing-masing daerah. Artinya, hak nelayan bisa berbeda dengan hak petani, tergantung pada tipe sumberdaya yang dimiliki, apakah sifatnya yang mudah dikelola, seperti lahan dan sifatnya cenderung individu, atau sifatnya yang sulit untuk dikelola/dijaga seperti laut dan cenderung milik bersama.
74
6.3.1 Sebelum adanya DPL Area yang dijadikan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan adalah area yang merupakan wilayah tangkapan nelayan Saporkren sehari-hari. Posisi DPL tidak jauh dari perkampungan nelayan dan merupakan kawasan perlintasan perahu-perahu masyarakat menuju Waisai. Sebelum pembentukan Daerah Perlindungan Laut para nelayan Saporkren bebas menangkap di area mana saja termasuk area yang menjadi DPL saat ini. Jika dianalisis berdasarkan teori hak Ostrom dan Schlager dikutip Satria (2009), nelayan Saporkren memiliki empat tipe hak yaitu hak untuk mengakses, hak untuk memanfaatkan sumberdaya, hak untuk mengelola sumberdaya alam, dan hak ekslusi, sedangkan tipe hak kelima tidak dimiliki oleh nelayan karena terkait hak menjual atau menyewakan sumberdaya laut tidak berlaku di kampung ini. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan hak kepemilikan dengan rezim kepemilikan yang berlaku di Kampung Saporkren yakni rezim komunal atau masyarakat. Masyarakat setempat menganggap sumberdaya laut adalah warisan turun temurun dari nenek moyang dan peraturan yang berlaku adalah peraturan lokal berdasarkan pengetahuan lokal (sasi), oleh karena itu hak pengelolaan adalah milik bersama dan bukan individu. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak individu untuk menjual atau menyewakan seluruh atau sebagian hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi. Masyarakat Saporkren terlebih dahulu telah memiliki sistem pengelolaan sumberdaya laut sebelum adanya DPL. Sistem pengelolaan tersebut dikenal dengan Sasi. Sasi laut yang diterapkan di kampung ini merupakan Sasi Gereja, artinya peraturan terkait pengelolaan laut ditentukan atau dibuat oleh tokoh-tokoh Gereja. Sasi Gereja adalah model sistem pengelolaan laut tradisional yang diterapkan bagi semua masyarakat Saporkren dengan tujuan menjaga kelestarian sumberdaya laut dan ekosistemnya. Aturan Sasi melarang masyarakat untuk mengambil sumberdaya laut secara khusus teripang dan lola, karena banyak kasus yang terjadi terkait pengambilan berlebihan yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan akar bore (sejenis tanaman beracun). Teripang dan lola dianggap memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan kuantitasnya yang lebih sedikit dibandingkan ikan tangkapan sehari-hari, sehingga menjadi incaran para nelayan.
75
Ketika Sasi diterapkan, nelayan Saporkren dapat mengakses, dapat memanfaatkan (terkecuali saat laut “ditutup”), mengelola, dan dapat menentukan siapa yang boleh mengakses, mengambil hasil laut di wilayah perairan Kampung Saporkren. Penerapan Sasi membuat nelayan terbatas untuk mengambil hasil laut di wilayah yang telah ditetapkan untuk “ditutup”. Laut akan “ditutup” selama setahun tetapi tidak menutup kemungkinan melebihi waktu tersebut, semua tergantung kesepakatan bersama dan melihat kondisi hasil laut, apakah semakin sedikit jumlah hasil laut atau tidak. Jika hasil laut semakin berkurang jumlahnya, maka laut akan ditutup lebih dari satu tahun. Laut ditutup artinya kegiatan mengambil hasil laut dihentikan pada wilayah laut tertentu dan dikhususkan pada jenis hasil laut yang akan dilindungi, misalnya nelayan selama setahun dilarang mengambil teripang dan lola boleh mengambil jenis ikan apapun, tetapi aturan itu bisa berubah di tahun akan datang tergantung pada kondisi hasil laut.
6.3.2 Setelah adanya DPL Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan yang berlokasi di Kampung Saporkren dibentuk pada Tahun 2007 dengan luas 32,2 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota MD di kampung, alasan pembentukan DPL di kampung ini adalah adanya jenis terumbu karang terbaik di wilayah laut Kampung Saporkren. Hal tersebut didukung pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak Coremap II untuk melihat tutupan karang yang ada di Raja Ampat, dan ternyata potensi karang di DPL ini termasuk dalam kategori “sedang”, oleh karena itu diperlukan adanya kegiatan perlindungan demi menjamin keberlanjutan terumbu karang dan hasil laut lainnya.. Penetapan suatu kawasan yang awalnya bebas untuk diakses kemudian menjadi area larangan ambil tentu berdampak terhadap perubahan seperangkat hak-hak para nelayan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan seperangkat hak (bundles of right) para nelayan di Saporkren sejak adanya Daerah Perlindungan Laut. Perubahan hak tersebut sangat dirasakan oleh nelayan yang sejak awalnya menjadikan area itu sebagai daerah tangkapan mereka. Para nelayan yang awalnya memiliki empat tipe hak yaitu hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi menjadi tiga tipe hak yaitu hak akses, hak
76
pengelolaan, dan hak ekslusi. Perubahan hak yang terjadi adalah perubahan tipe hak kedua, dimana masyarakat tidak lagi memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya di area DPL. Seluruh masyarakat Saporkren dilarang untuk melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya mengambil ataupun memanfaatkan sumberdaya laut yang ada. Hal yang menarik disini adalah perubahan hak pemanfaatan tidak menyebabkan konflik yang besar terkait kepemilikan sumberdaya laut diantara para aktor yang terlibat. Hal ini didasarkan pada beberapa hal yaitu : 1. Sifat pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berbasis pada masyarakat lokal. Prinsip yang diterapkan dalam pengelolaan DPL adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. 2. Dukungan pemerintah daerah dan kampung melalui penglegitimasian Perkam
DPL
Yenmangkwan
No.001/DPL/KP-SPKRN/2010
tentang
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. 3. Adanya kompensasi dari DKP melalui Coremap II bagi kampung untuk mendukung penyediaan fasilitas-fasilitas umum, seperti mendirikan pondok informasi, mendirikan beberapa MCK, dan pembuatan pagar di depan rumah penduduk. Menurut koordinator Coremap II, pemberian dana baru diberikan pada akhir tahun lalu sebesar Rp. 80 juta untuk kegiatan penyediaan sarana dan prasarana di kampung. 4. Pengalaman sistem pengelolaan laut tradisional yakni Sasi yang telah diterapkan masyarakat lokal. Hal ini telah membiasakan masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan penangkapan di area yang telah dilarang. Alhasil ketika
DPL
dibentuk,
nelayan
tidak
mengalami
kesulitan
untuk
menerapkannya. 5. Dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama sebagai penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi. Saat pembentukan DPL, sistem Sasi tidak berjalan lagi, tetapi larangan untuk tidak mengambil Lola dan Teripang tetap berlangsung karena menjadi salah satu larangan dalam Perkam DPL Yenmangkwan. Walaupun Sasi tidak diterapkan lagi, tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi proses penerapan DPL, karena
77
masyarakat dan pihak Gereja sebagai penanggung jawab saat Sasi diterapkan ikut mendukung pengelolaan DPL. Secara ringkas perbandingan model pengelolaan Sasi (sebelum DPL) dan model pengelolaan DPL dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 15. Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model Pengelolaan DPL di Kampung Saporkren No. Indikator Sistem 1. Tujuan 2.
3.
Latar belakang pembentukan
4.
Penanggung jawab
5.
Aturan yang berlaku
6.
Sanksi
7.
Bundles of rights
Sasi
DPL
Tradisional Melindungi hasil-hasil laut dan menjaga kelestarian sumberdaya laut
Modern Melindungi hasil laut baik karang, ikan, dan lain-lain guna menjamin ekosistem yang berkelanjutan
- Berkurangnya hasil laut khususnya Lola dan Teripang - Kerusakan laut akibat penggunaan akar bore dan potassium Pihak Gereja
Kondisi tutupan karang di daerah DPL termasuk dalam kategori “sedang”
Dilarang mengambil lola dan teripang serta hasil laut yang mulai berkurang jumlahnya selama waktu yang ditentukan (biasanya satu tahun) “laut ditutup” - Hasil tangkapan diambil - Dilarang melaut untuk beberapa hari sesuai keputusan pihak Gereja
-
Hak akses Hak pemanfaatan Hak pengelolaan Hak ekslusi
Pihak Pemda Raja Ampat, Coremap II, MK, LPSTK, Pokmaswas, dan masyarakat Dilarang melakukan aktivitas apapun di dalam area DPL terkecuali melintas di atas DPL
Diberikan tiga kali teguran oleh penanggung jawab DPL di lapangan, dan jika tetap melakukan akan dilakukan penyitaan alat tangkap - Hak akses - Hak pengelolaan - Hak ekslusi
78
Jika dibandingkan antara sistem pengelolaan sebelum DPL dengan sistem pengelolaan DPL, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni melindungi sumberdaya laut demi keberlanjutan ekosistem dimasa akan datang. Perbedaan yang ada hanya pada penerapan dari masing-masing model pengelolaan tersebut. Tetapi perubahan model tersebut memberi dampak terhadap perubahan seperangkat hak nelayan (bundles of rights). Adapun perubahan seperangkat hak para nelayan dapat terlihat pada gambar 13.
Presentase Responden
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% Hak Akses
Hak Pemanfaatan
Hak Pengelolaan
Hak Ekslusi
Sebelum DPL
100%
100%
100%
100%
Setelah DPL
100%
0%
100%
100%
Gambar 13. Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah Penetapan DPL
Gambar 13 menunjukkan seperangkat hak-hak nelayan sejak sebelum penetapan DPL dan sesudah DPL. Sebanyak 39 orang responden menyatakan bahwa sebelum dan sesudah adanya DPL, mereka memiliki kebebasan untuk melintas di atas lokasi DPL dengan menggunakan perahu. Artinya hak akses yang dimiliki nelayan tidak mengalami perubahan. Pada kategori hak kedua yaitu hak pemanfaatan, terlihat sangat jelas perubahan yang terjadi. Sebesar 39 orang menyatakan dahulu sebelum adanya DPL mereka dapat mengambil hasil laut apa saja yang ada di lokasi DPL, dan mereka dapat berenang tanpa ada larangan. Tetapi setelah adanya DPL, hak tersebut tidak dimiliki lagi, hal ini diperkuat dengan tidak adanya pernyataan bahwa mereka dapat mengambil hasil laut. Kategori ketiga adalah hak pengelolaan, dimana seluruh responden menyatakan bahwa mereka terlibat dalam pengelolaan sumberdaya laut baik sebelum dan
79
setelah adanya DPL. Masyarakatlah yang menjaga, membuat aturan pengelolaan, dan menegur jika ada yang melanggar aturan. Hal ini didorong dengan alasan laut telah menjadi bagian hidup mereka dari dahulu kala, jadi sistem pengelolaan harus melibatkan masyarakat. Tipe hak terakhir yang berlaku di kampung ini adalah hak ekslusi. Sebanyak 39 responden atau seluruh responden menyatakan bahwa hak ekslusi itu dimiliki oleh masyarakat. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang boleh melintas di atas DPL, berhak memberikan ijin jika ada pihak yang hendak melakukan kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di DPL seperti studi penelitian ilmiah, dan kegiatan penyelaman terbatas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan hak para nelayan hanya mengalami perubahan pada tipe hak kedua yaitu hak pemanfaatan, sedangkan untuk tipe hak akses, hak pengelolaan, dan hak ekslusi tetap dimiliki oleh seluruh nelayan dan semua masyarakat pada umumnya.
6.4
Konflik Proses
penetapan
Daerah
Perlindungan
Laut
sejak
perencanaan,
pelaksanaan, hingga proses evaluasi dilakukan sejauh ini tidak menyebabkan konflik yang besar antara pihak yang bersangkutan. Konflik yang masih terjadi hingga kini hanyalah konflik yang sifatnya kecil. Hal ini didukung dengan pernyataan salah satu anggota Pokmaswas dan LPSTK yaitu LM (32 tahun): “…sekarang tara ada konflik yang terlalu besar lagi, paling hanya nelayan kampung laut yang didapat menangkap di DPL terus ditegur dan diselesaikan secara kekeluargaan.”
Selain itu, konfik yang sempat terjadi menurut salah satu informan adalah pada awal penetapan DPL terdapat dua kelompok yang pro dan kontra terhadap program ini. Kelompok yang pro terhadap DPL berasumsi bahwa program pembentukan DPL adalah hal yang sangat baik bagi pemeliharaan terumbu karang dan beragam ikan serta hasil laut lainnya. Tetapi kelompok yang kontra terhadap pembentukan DPL memiliki pandangan bahwa jika wilayah laut tersebut dibatasi maka nelayan akan mengalami kesulitan mencari ikan karena aktivitas harian mereka berlangsung di area tersebut. Artinya wilayah tangkap para nelayan akan
80
semakin sempit dan mendorong mereka mencari di area yang lebih jauh. Namun, hingga kini kelompok yang awalnya tidak menyetujui akan adanya penetapan DPL mulai memahami tujuan sesungguhnya dan telah menyetujuinya.
81
BAB VII DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI NELAYAN
7.1
Pola Produksi Nelayan
7.1.1 Armada dan Peralatan Tangkap Armada yang digunakan oleh masyarakat Kampung Saporkren untuk kegiatan penangkapan ikan hingga saat ini adalah berupa perahu tradisional yang disebut perahu katingting, perahu dayung, dan perahu bermesin jhonson dengan kekuatan lebih dari 15 PK. Antara ketiga jenis perahu tersebut, perahu katingting adalah perahu yang paling banyak dimiliki oleh nelayan, kemudian diikuti oleh perahu dayung, dan perahu bermesin jhonson. Perahu katingting adalah perahu semang (penyeimbang yang terbuat dari kayu) yang menggunakan mesin tempel berkekuatan kurang dari 15 PK dengan bahan bakar bensin. Perahu jhonson adalah perahu yang menggunakan mesin berkekuatan lebih dari 15 PK dan memiliki panjang badan dua kali panjang dari pada perahu katingting. Rata-rata penggunaan bahan bakar (bensin) yang digunakan oleh para nelayan dalam satu kali melaut mencari tangkapan yaitu lima liter bensin perhari, termasuk juga penggunaan untuk menjual hasil tangkapan di Waisai.
Tabel 16. Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan Status Jenis Perahu
Jumlah (Unit)
Status
Perahu Dayung
11
Milik sendiri
Perahu Katingting
28
Milik sendiri
Perahu Jhonson
-
-
Total
39
Tabel 16 menunjukkan jenis dan jumlah perahu yang dimiliki oleh nelayan yang menjadi responden penelitian. Sebanyak 11 responden adalah nelayan yang melaut dengan menggunakan perahu dayung, sebanyak 28 orang menggunakan perahu katingting, sedangkan yang menggunakan perahu jhonson tidak ada.
82
Peralatan tangkap yang digunakan oleh nelayan Saporkren umumnya berupa pancing atau nilon dan kalawai atau tombak. Alat pancing nilon adalah alat pancing yang menggunakan nilon atau senar dengan nomor 10, 15, 20, 25, dan 30. Senar atau nilon tersebut akan dikaitkan pada gulungan yang berbeda-beda ukurannya. Pancing nilon terdiri dari beberapa tipe, diantaranya adalah, nilon tonda, nilon dasar, nilon pompa, dan masing-masing menggunakan jenis nilon atau tali senar yang berbeda. Alat pancing lainnya yang biasa digunakan adalah kalawai atau tombak. Alat pancing ini berbentuk kayu sepanjang dua meter dan memiliki ujung yang tajam berbentuk pisau. Kalawai biasanya digunakan oleh para nelayan jika melaut di malam hari dengan menggunakan perahu berlampu. Penggunaan jaring di Kampung Saporkren merupakan hal yang sangat dilarang untuk digunakan, karena penggunaan jaring saat menangkap ikan dianggap akan merusak terumbu karang dan ikan-ikan kecil akan ikut terambil.
Tabel 17. Jenis Alat Tangkap dan Jenis Tangkapan Nelayan Saporkren Jenis alat tangkap Pancing Nilon
Jenis tangkapan Nilon tonda
Ikan Tenggiri, ikan Cakalang
Nilon dasar
Ikan Mubara, ikan Geropah, ikan Gutila, ikan Merah Ikan Mubara, ikan Oci
Nilon Pompa Kalawai
Ikan apa saja tetapi pada malam hari
Alat pancing nilon tonda sering digunakan untuk menangkap ikan Tenggiri dan ikan Cakalang, nilon dasar untuk jenis ikan Bubara, ikan Geropah, ikan Gutila, dan ikan Merah, sedangkan kalawai digunakan untuk jenis ikan apa saja tetapi digunakan hanya pada malam hari dengan menggunakan perahu berlampu petromax (Balobe)7.
7
teknik menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu berlampu
83
7.1.2 Musim Penangkapan Ikan Pemanfaatan wilayah laut sebagai penghasil sumberdaya perikanan tangkap tidak hanya membutuhkan kemampuan nelayan serta armada yang digunakan untuk memperoleh tangkapan, tetapi juga membutuhkan pertimbangan faktor cuaca dan iklim untuk melaut. Pada suatu komunitas nelayan biasanya terdapat musim penangkapan ikan yang ditetapkan sendiri oleh para nelayan tersebut dengan menyesuaikan kondisi cuaca ataupun iklim serta keberadaan ikan-ikan di wilayah penangkapan mereka. Faktor-faktor iklim tersebut yang selama ini mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan Saporkren adalah musim hujan, musim kemarau, angin kencang (selatan), angin teduh (barat), dan tingginya gelombang. Nelayan Saporkren mengenal tiga musim yang berlaku yaitu musim gelombang kuat atau angin selatan, musim gelombang teduh atau angin barat dan musim pancaroba yaitu peralihan musim selatan dan musim barat. Jika musim gelombang kuat terjadi, nelayan biasanya mengurangi waktu melaut, dan mengganti profesi dengan berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi ada juga nelayan yang memberanikan diri untuk melaut, dan keberanian ini didorong oleh keinginan mengejar pendapatan nelayan. Apabila musim angin barat atau laut teduh maka hasil tangkapan nelayan akan melimpah dan jika musim pancaroba, menurut nelayan kondisi laut tidak dapat dipastikan, adakalanya laut teduh namun tiba-tiba laut bergelombang kuat. Tabel 18. Kalender Musim Tangkap Nelayan Saporkren No. 1.
2. 3.
Jenis musim Musim gelombang lemah (Barat) Musim pancaroba Musim gelombang kuat (Selatan)
1 2
3
4
5
Bulan 6 7 8
9
Lokasi Penangkapan 10 11 12 Tanjung Pisang dan sekitar kampung Daerah sekitar kampung Wilayah sekitar kampung dan Pulau Uray
84
Saat musim gelombang lemah atau angin barat terjadi, nelayan dapat menangkap dengan lebih mudah hingga menempuh jarak yang jauh dari perkampungan, seperti Tanjung Pisang, tetapi juga menangkap ikan di sekitar perkampungan. Pada musim gelombang kuat atau angin selatan, masyarakat merasa kesulitan untuk melakukan penangkapan ikan karena kencangnya angin, sehingga nelayan tidak berani menangkap ikan hingga pada jarak yang jauh dan sebagai pilihan alternatif lainnya adalah Pulau Uray. Cuaca yang buruk juga mendorong sebagian nelayan beralih profesi untuk berkebun. Namun saat ini penentuan
musim
berdasarkan
hitungan
bulan
sulit
untuk
diprediksi.
Memburuknya kondisi alam saat ini juga berpengaruh pada arah angin laut yang menjadi dasar penentuan musim tersebut. Saat ini arah angin ke utara ataupun ke selatan dapat berubah-ubah hanya dalam hitungan hari. Sama halnya ketika melakukan penelitian cuaca tidak menentu, misalnya pada hari senin udara sangat baik untuk melaut tetapi keesokan harinya angin yang sangat kencang datang dan membuat nelayan sulit untuk melaut dan masyarakat pun tidak bisa melakukan kegiatan di mana-mana. Hal inilah yang membuat nelayan mengalami kesulitan dalam memprediksi kondisi laut, bahkan berdasarkan hasil wawancara salah satu responden SM (56 tahun) menyatakan: “…sekarang kami susah jawab kalau ditanya musim ikan melimpah dan musim angin kencang, karena kondisi dulu sangat berbeda dengan kondisi musim sekarang. Kami jadi dibuat bingung, dan susah untuk memperkirakan jenis ikan yang melimpah dibandingkan masa dulu.”
7.1.3 Lokasi Penangkapan Nelayan Areal penangkapan ikan dan sumberdaya perairan lainnya di Kabupaten Raja Ampat pada umumnya adalah di pesisir dan daerah teluk. Bagi nelayan Saporkren pada umumnya melakukan kegiatan penangkapan hanya di perairan sekitar tempat tinggal mereka, tetapi jika angin kencang terjadi maka nelayan dapat menempuh hingga jarak yang lebih jauh hingga Pulau Uray. Kegiatan penangkapan nelayan Saporkren dilakukan 5-6 hari dalam satu minggu, dan dengan lama waktu menangkap adalah 6-8 jam per hari. Aktivitas nelayan selain menangkap ikan adalah menjualkan hasil tangkapan mereka ke
85
daerah pemerintahan Kab. Raja Ampat yaitu Waisai. Terkait dengan aktivitas menjual hasil tangkapan, peran istri sangat berpengaruh.
7.1.4 Jenis-jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan nelayan Saporkren terdiri dari beragam jenis ikan, yaitu ikan Cakalang, ikan Merah, ikan Bubara, ikan Gutila, ikan Tenggiri, ikan Oci, dan ikan Geropah. Ikan hasil tangkapan nelayan sebagian besar untuk dijual, dan sebagian kecilnya untuk dikonsumsi. Beberapa jenis ikan tertentu atau ikan bernilai ekonomis akan dijual dengan sistem pertali (kisaran satu kg) dan per ekor, sedangkan untuk ikan tertentu seperti ikan Puri, Oci atau ikan Kembung akan dikonsumsi. Adapun kisaran harga jual untuk jenis ikan hasil tangkapan nelayan seperti tabel 19. Tabel 19. Harga Jual Ikan menurut Jenisnya No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Harga Jual
Jenis Ikan
Gutila Geropah Tenggiri Cakalang Ikan Merah Bubara
Kecil 20.000 20.000 -
Per ekor (Rp) Sedang 30.000 30.000 40.000-50.0000 30.000 40.000 20.000
Per tali (Rp) Besar 50.000 50.000 70.000 50.000 60.000 40.000
20.000 20.000 20.000
Tabel 19 menunjukkan harga jual ikan yang berlaku di Kampung Saporkren berdasarkan jenis ikan yang didapatkan. Sistem penjualan yang berlaku di Kampung Saporkren adalah sistem penjualan per tali dan per ekor. Harga tersebut sudah merupakan harga baku yang digunakan oleh para nelayan Saporkren. Para nelayan Saporkren tidak mengenal sistem jual perkilo. Besar atau kecilnya ukuran ikan yang didapatkan hanya diperkirakan saja. Jenis ikan Tenggiri, ikan Cakalang, dan ikan Merah biasanya dijual per ekor dan penentuan harga jual disesuaikan dengan ukuran ikan tersebut. Untuk jenis ikan Gutila, Bubara, dan Geropah biasanya di jual pertali dengan kisaran satu tali
86
3-5 ekor, jika ketiga jenis ikan tersebut memiliki ukuran yang besar maka akan dijual per ekor, tetapi pada umumnya kebanyakan dijual per tali karena ukuran besar sulit didapatkan. Selain ikan, hasil tangkapan lainnya adalah udang dan cumi-cumi atau sotong. Harga jual udang lobster yang berlaku adalah Rp. 150.000 per tali sedangkan cumi-cumi ataupun sotong akan dijual dengan harga Rp. 20.000 per tali dengan jumlah empat cumi. Udang yang umumnya tertangkap adalah jenis lobster (Ponulirus sp.), kemudian akan ditampung dalam satu keranjang khusus dengan istilah lokal akan ditabung. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu anggota LPSTK yang juga merangkap nelayan, OS(43 Tahun): “…sa sering tangkap lobster, tapi nanti ditampung dulu baru sampai banyak baru saya jual supaya untungnya lebih besar.”
7.2
Biaya Investasi Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk
membeli barang-barang yang diperlukan dalam melaksanakan suatu unit usaha. Berdasarkan hasil wawancara dengan 39 nelayan di Kampung Saporkren, kegiatan usaha penangkapan memerlukan biaya investasi yang tidak begitu besar. Biaya tersebut digunakan untuk pengadaan perahu, mesin perahu, dan kotak pendingin (cool box). Khusus bagi nelayan yang menggunakan perahu dayung tidak menginvestasikan dananya untuk pengadaan mesin. Pada Tabel 20 disajikan komponen investasi usaha penangkapan nelayan Saporkren. Tabel 20. Rataan Biaya Investasi Perikanan Responden menurut Jenisnya No.
Jenis Investasi
1.
Perahu
937.500
2.
Mesin
1.892.300
3.
Kotak Pendingin (cool box) TOTAL
Rataan Biaya Investasi (Rp)
138.700 2.968.500
87
Biaya investasi untuk kegiatan perikanan di Kampung Saporkren meliputi investasi untuk perahu, mesin, dan kotak pendingin. Responden penelitian ini terdiri dari 39 orang dan yang memiliki perahu bermesin berjumlah 28 orang dan 11 orang merupakan nelayan yang menggunakan perahu dayung. Hampir semua nelayan (31 orang) memiliki perahu tanpa mengeluarkan biaya atau tidak membeli, karena perahu yang dimiliki adalah perahu buatan sendiri, sedangkan sebanyak 8 orang membeli perahu dengan kisaran rata-rata biaya satu perahu adalah Rp. 937.500. Nelayan yang memiliki mesin berjumlah 28 orang dan terdiri dari nelayan yang membeli mesin sebanyak 18 orang, sedangkan 10 orang mendapatkan mesin perahu dengan dana bantuan yang diberikan oleh Coremap II Raja Ampat. Biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan yang membeli mesin adalah Rp. 1.892.300, sedangkan investasi nelayan untuk kotak pendingin atau cool box tidak dimiliki oleh semua nelayan Saporkren, hanya 21 orang nelayan yang mengeluarkan biaya investasi untuk kotak dengan rataan harga per kotak adalah Rp. 138.700. Data pada tabel di atas menunjukkan secara keseluruhan total investasi dana nelayan untuk pembelian perahu, mesin, dan box ikan adalah sebesar Rp. 2.968.500.
7.3
Biaya Tetap Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak tergantung pada
perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan tingkat pengeluaran atau produk dalam interval waktu tertentu. Tabel 21. Rataan Biaya Tetap Perikanan Responden menurut Jenisnya No.
Jenis Biaya Tetap
Rataan Biaya Tetap (Rp)
1.
Perawatan perahu
97.900
2.
Perawatan mesin
145.500
3.
Alat pancing
31.700 TOTAL
275.100
88
Tabel 21 menunjukkan total biaya tetap yang dikeluarkan untuk kegiatan melaut para nelayan Saporken. Jenis biaya tetap terdiri dari tiga yaitu, biaya perawatan perahu, biaya perawatan mesin, dan biaya alat pancing untuk satu bulan. Rataan biaya yang dikeluarkan responden untuk perawatan perahu adalah Rp.97.900, dimana biaya tersebut digunakan untuk membeli cat perahu. Dari seluruh jumlah responden yang ada, terdapat 19 orang yang melakukan pengecatan perahu sedangkan sebanyak 20 orang tanpa mengecat perahu. Pengeluaran bagi perawatan mesin dilakukan hanya oleh responden yang menggunakan perahu bermesin dan rata-rata biaya tersebut adalah Rp.145.500 per individu. Sedangkan biaya tetap untuk kategori alat pancing dikeluarkan oleh seluruh responden dengan rataan Rp. 7.600 per individu. Perhitungan biaya tetap dilakukan saat responden menghadapi musim pancaroba yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan April.
7.4
Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya mengalami perubahan sesuai
dengan tingkat produksi yang dilakukan (Soeharto 1999 dalam Lee Won Jae 2010). Penghitungan biaya variabel nelayan Saporkren dilakukan selama sebulan peneliti berada di lapangan. Rincian biaya variabel kegiatan penangkapan nelayan Saporkren disajikan pada tabel 22. Tabel 22. Rataan Biaya Variabel Perikanan Responden menurut Jenisnya No. Jenis Biaya Variabel
Rataan Biaya Variabel (Rp)
1.
BBM Perahu (bensin)
895.000
2.
Rokok
285.500
3.
Makan/Biskuit
234.000
4.
Es
422.600
5.
Oli mesin
36.400 Total
1.873.500
89
Jenis biaya variabel terdiri dari lima kategori yaitu BBM, rokok, makan/biskuit, es, dan oli mesin. Perhitungan biaya ini berdasarkan pengeluaran individu setiap satu bulan. Diantara kelima jenis biaya, proporsi biaya untuk pembelian BBM (bensin) lebih besar daripada biaya yang lain. Kemudian diikuti oleh pengeluaran untuk pembelian es, dimana responden biasanya menggunakan 10-20 es balok per hari. Sedangkan biaya untuk rokok dan makan berkisar pada rataan dua ratus ribu, dan biaya untuk pembelian oli adalah Rp. 36.500. Penggunaan oli adalah satu liter per satu bulan. Setiap jenis variabel dikonversi ke dalam hitungan biaya per satu bulan, misalnya biaya rokok dan makan setiap hari dikalikan dengan waktu melaut dalam satu bulan (biaya perhari x waktu tangkap dalam satu bulan). Setelah itu dikalkulasikan untuk mendapat total pengeluaran biaya variabel setiap responden. 7.5
Pendapatan dan karakteristik usaha Perhitungan pendapatan kegiatan usaha penangkapan dilakukan dengan
mengkombinasikan hasil wawancara dan hasil tangkapan yang peneliti temukan di lapangan selama sebulan, kemudian dikonversi dan disesuaikan dengan data hasil wawancara. Berdasarkan metode tersebut diperoleh kesamaan antara tingkat pendapatan berdasarkan wawancara dan hasil konversi pendapatan nelayan selama di lapangan (hasil tangkapan x harga). Berdasarkan hasil di lapangan dimana peneliti mendatangi responden yang habis melaut dan melihat hasil tangkapan diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat pendapatan bersih yang diterima oleh nelayan Saporkren dalam satu bulan adalah Rp. 896.800. Saat perhitungan pendapatan ini dilakukan, nelayan menghadapi musim sedang atau pancaroba yang berada diantara bulan Maret sampai dengan bulan Juni. Perhitungan biaya dilakukan dengan menggunakan rumus total penerimaan dikurangi total biaya pengeluaran. µ = TR-TC
Keterangan :
µ = Keuntungan (Rp) TR = Total biaya penerimaan (Rp) TC = Total biaya pengeluaran (Rp)
90
Perhitungan pendapatan bersih nelayan dari kegiatan penangkapan ikan diperoleh dari pengurangan hasil biaya penerimaan responden dalam satu bulan (maret-april 2011) terhadap total biaya pengeluaran responden dalam satu bulan. Tabel 23. Pendapatan Rata-rata Nelayan Per Bulan Rata-rata per individu (Rp) Total Reveneu (TR)
3.045.400
Total Cost (TC)
2.148.600
Profit (µ)
896.800
Tabel 23 menunjukkan data rata-rata biaya penerimaan, biaya pengeluaran, dan biaya bersih dari aktivitas nelayan dalam satu bulan. Data tersebut adalah data yang diperoleh dari penghasilan 39 responden. Secara keseluruhan biaya total penerimaan bersih dari aktivitas per individu adalah Rp.896.800 per satu bulan. Biaya yang diterima nelayan dari aktivitas melaut dalam satu bulan adalah Rp. 3.045.400, sedangkan biaya pengeluaran yang mencakup total biaya tetap dan biaya variabel dalam satu bulan adalah Rp. 2.148.600. Perhitungan tersebut berlaku saat musim pancaroba di bulan Maret hingga bulan April Tahun 2011. Keuntungan responden dari kegiatan penangkapan ikan diperoleh dari pengurangan biaya penerimaan (jumlah tangkapan x harga jual) terhadap biaya pengeluaran untuk proses operasional saat menangkap ikan yang mencakup biaya tetap dan biaya variabel. Perhitungan biaya investasi tidak dimasukkan dalam total biaya pengeluaran karena sifatnya yang dikeluarkan tidak dalam hitungan perbulan. Melalui perhitungan tersebut diperoleh pendapatan bersih dari kegiatan menangkap ikan untuk setiap individu adalah Rp.896,800. Perolehan rataan biaya keuntungan masing-masing responden kemudian digolongan berdasarkan struktur pendapatan. Struktur pendapatan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua kategori yaitu, rendah (rata-rata). Data pada gambar 16 menunjukkan penggolongan responden berdasarkan pendapatan per bulan.
91
35
Jumlah Responden
30 25 20 15 10 5 0 Rendah
< Rp.896.800
Tinggi > Rp.896.800
Gambar 14. Penggolongan Responden menurut Tingkat Pendapatan Rata-rata Kampung Saporkren Gambar 14 menunjukkan penggolongan hasil pendapatan responden, dimana sebanyak 7 orang tergolong pada kategori rendah dengan jumlah pendapatan bersih dari kegiatan melaut kurang dari pendapatan rata-rata (< Rp. 896.800). Sedangkan sebanyak 32 orang termasuk dalam kategori tinggi yang memiliki pendapatan lebih dari rata-rata pendapatan kegiatan melaut (> Rp.896.800).
7.6
Hubungan Penetapan DPL Terhadap Pendapatan Nelayan Keterkaitan antara pembentukan Daerah Perlindungan Laut terhadap
pendapatan nelayan dapat ditunjukkan dengan Persentase pernyataan responden menanggapi hal tersebut. Selain itu didukung pula dengan data jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya DPL. Data jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan sebelum penetapan DPL diperoleh dengan sistem “recall” atau daya ingat para nelayan dan diperkuat dengan data yang diperoleh oleh Coremap II saat melakukan pendataan awal pembentukan DPL terkait hasil dan jumlah tangkapan para nelayan. Data jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan setelah pembentukan DPL didapatkan dari hasil penelitian ini selama sebulan di lapangan dan diperkuat dengan data creel tahun lalu terkait hasil tangkapan dan penghitungan pendapatan
92
nelayan yang dilakukan oleh pihak Coremap II Raja Ampat. Selain itu, diperkuat pula dengan hasil wawancara dengan responden dan informan.
7.6.1 Sebelum Penetapan DPL Sebelum pembentukan Daerah Perlindungan Laut di Kabupaten Raja Ampat, secara khusus di Kampung Saporkren, Coremap wajib melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar yaitu aspek sosial ekonomi. Untuk mendapatkan data dasar tersebut maka perlu dilakukan baseline studi social economi yang bertujuan mengumpulkan data tentang kondisi sosial ekonomi di suatu kampung tempat DPL itu dibentuk. Hasil baseline ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial maupun kondisi ekonomi di suatu kampung sebelum adanya DPL (Coremap 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi awal kondisi ekonomi nelayan yang dilakukan oleh Coremap fase I pada awal Tahun 2007 pendapatan nelayan dari kegiatan melaut adalah Rp. 735.600 per bulan (CRITC-LIPI 2007). Perhitungan pendapatan nelayan saat itu dilakukan pada bulan Januari atau diawal Tahun 2007, artinya saat nelayan menghadapi musim gelombang lemah atau laut dalam kondisi teduh. Menurut pendapat responden, hasil tangkapan dan pendapatan mereka sebelum adanya DPL berkisar 3-5 tali sehari (3 kg – 5 kg) untuk jenis ikan Bubara, Gutila, Lakorea, Mubara yang berukuran kecil dan sedang, sedangkan hasil tangkapan untuk ikan besar tidak tetap selalu dapat. Penerimaan rata-rata yang di dapatkan Rp.500,000. Kisaran pendapatan tersebut merupakan jawaban responden secara kualitatif dengan mengingat kembali penghasilan mereka sebelum adanya DPL, dan telah diperkirakan dengan pengeluaran untuk biaya yang harus dikeluarkan selama melaut. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu responden, LS (45 tahun): “…kalo dulu itu kita memang bebas menangkap ikan dimana saja kita pu mau, tapi pendapatan kalau dibandingkan dengan sekarang, mending sekarang karena bertambah, dan kalau hitung pendapatan, hitung saja satu bulan bisa dapat Rp, 1.500.000 terus dikasih keluar lagi untuk beli bensin, rokok, sama biskuit yah bisa tinggal Rp.500.000, pokoknya tinggal sedikit saja.“
93
7.6.2 Setelah Penetapan DPL Coremap fase II yang telah dimulai sejak Tahun 2004 di Kabupaten Raja Ampat bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumberdaya
laut
dapat
direhabilitasi,
diproteksi,
dan
dikelola
secara
berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Begitupula dengan salah satu aspek yang diharapkan berpengaruh dari pembentukan DPL adalah aspek ekonomi yakni terjadinya peningkatan pendapatan penduduk dari kegiatan penangkapan ikan karena meningkatnya kuantitas ikan di daerah DPL dan menyebar ke luar DPL. Keberadaan DPL diharapkan akan berpengaruh pada pendapatan dan hasil tangkapan nelayan di lokasi penangkapan sekitar perkampungan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan tentang pendapatan dan hasil tangkapan nelayan, dapat dikatakan bahwa keberadaan DPL telah dapat meningkatkan pendapatan dan jumlah tangkapan nelayan. Gambar di bawah ini menunjukkan pernyataan nelayan terhadap peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan mereka.
90,00% 80,00%
Persentase
70,00% 60,00% 50,00%
Berkurang
40,00%
Bertambah
30,00%
Sama saja
20,00% 10,00% 0,00% Berkurang
Bertambah
Sama saja
Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan
Gambar 15. Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan
Gambar
15
menunjukkan pernyataan
masyarakat
terkait
pengaruh
pembentukan DPL terhadap hasil tangkapan mereka. Setelah adanya pembentukan
94
Daerah Perlindungan Laut, nelayan mengalami perubahan wilayah tangkapan dan mempengaruhi jumlah tangkapan para nelayan. Berdasarkan hasil, ditemukan bahwa sebesar 76,9 persen responden menyatakan bahwa hasil tangkapan dan pendapatan mereka bertambah dengan adanya Daerah Perlindungan Laut. Menurut mereka, ikan di sekitar wilayah tangkapan dan terlebih khusus di sekitar perkampungan semakin banyak, sebagaimana diungkapkan oleh SM (50 tahun): “…sekarang to ikan tambah banyak, anak-anak ikan juga semakin bertambah, apalagi di daerah yang dekat dengan DPL. Karna DPL itu tempat ikan berkembang biak, makanya ikan yang keluar juga semakin banyak, dan saya jadi mudah tangkap ikan sekarang.”
Hal senada juga diungkapkan oleh DM (42 tahun) selaku ketua LPSTK dan merangkap sebagai responden: “…DPL ini punya konsep seperti bank ikan, artinya tempat ikan berkembang biak. Nanti kalo sudah banyak secara otomatis samua ikan da keluar trus nelayan bisa tangkap. Kalo liat sa punya pengalaman, ikan di sekitar DPL itu semakin banyak saja, itu karna ikan rasa aman tinggal di DPL.”
Daerah Perlindungan Laut dianggap menjadi lokasi ikan untuk berkembang biak atau dengan istilah nelayan Saporkren, DPL adalah tempat tabungan ikan. Secara otomatis ikan akan merasa terlindungi di dalam daerah tersebut, hal ini dikarenakan karang terjaga dan ketika ikan semakin bertambah maka ikan tersebut akan keluar dari area DPL dan berenang ke luar. DPL di Kabupaten Raja Ampat tidak hanya satu tetapi 19 DPL, dan untuk kasus Kampung Saporkren, bertambahnya jumlah pasokan ikan di laut dipengaruhi juga dengan DPL-DPL yang berada di kampung sebelah seperti Yenbeser. Kemudian sebesar 7,7 persen nelayan menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka berkurang sejak adanya Daerah Perlindungan Laut. Menurut mereka, lokasi DPL adalah tempat mereka menangkap ikan sebelum daerah itu dilarang, dan ketika DPL dibentuk maka wilayah tangkap mereka pun berkurang atau terbatas, alhasil berpengaruh terhadap penurunan jumlah tangkapan dan pendapatan mereka. Kemudian sebesar 15,4 persen nelayan menyatakan bahwa tidak terjadi perubahan sebelum dan sesudah adanya DPL. Mereka merasa bahwa hasil tangkapan dan pendapatan
95
mereka sama saja dari dulu hingga sekarang, artinya bahwa tidak ada pengaruh apapun dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut. Peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan setelah adanya DPL diperkuat dengan pernyataan pihak Coremap II Raja Ampat sebagai penanggung jawab dan yang telah melakukan monitoring setiap tahunnya di daerah DPL. Seperti yang dinyatakan koordinator Coremap II Raja Ampat ibu M (43 tahun): “…DPL yang telah ada selama empat tahun sudah menyediakan suplai ikan ke luar wilayah DPL yang banyak, sehingga suplai ikan tersebut memudahkan nelayan yang menangkap di daerah luar DPL mendapatkan ikan lebih banyak dibandingkan dulu.”
Pada dasarnya prinsip yang dipegang dalam Daerah Perlindungan Laut adalah, ketika DPL dibentuk maka ikan-ikan kecil dari area yang berdekatan dari DPL akan masuk untuk mencari makan dan berkembang biak. Kemudian ikanikan kecil yang terbawa oleh arus selanjutnya akan menetap di area DPL dan berkembang biak. Setelah membesar dan menjadi semakin padat dengan kuantitas ikan kecil dan besar, maka tidak menutup kemungkinan ikan di dalam DPL mulai berenang ke luar dan menetap di area luar DPL yang akhirnya akan ditangkap oleh nelayan. Konsep ekologis penerapan DPL yang berlaku di Raja Ampat dapat dilihat pada gambar 16.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009) Gambar 16. Konsep Ekologis DPL Raja Ampat
96
Berdasarkan hasil lapangan yang telah diolah, rataan penghasilan dari kegiatan penangkapan ikan para nelayan per individu adalah sebesar Rp.896.800 per bulan dengan jumlah tangkapan rata-rata 6-8 kg perhari atau 156-208 kg per bulan. Perhitungan pendapatan tersebut dilakukan saat nelayan menghadapi musim pancaroba, artinya jika musim laut teduh (musim barat) hasil tangkapan dan pendapatan bisa melebihi rataan biaya tersebut. Selain itu data terakhir yang menunjukkan pendapatan dan hasil tangkapan nelayan Saporkren adalah pada Tahun 2009 (data creel). Data creel tersebut menunjukkan grafik hasil tangkapan nelayan perbulan pada bulan Juli, Agustus, dan September 2009. Rata-rata hasil tangkapan nelayan Saporkren perbulan adalah 116,8 kg (Coremap II Raja Ampat 2009). Adapun grafik hasil tangkapan nelayan Saporkren pada Tahun 2009 sejak bulan Juli, Agustus, hingga September dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Hasil Tangkapan (Kg)
140
120 100 80 60 40 20 0
Juli
Agustus
September
Bulan Gambar 17. Grafik Hasil Tangkapan Per bulan Nelayan Saporkren Tahun 2009 Jika dibandingkan dengan sebelum penetapan DPL, maka dapat dinyatakan bahwa penetapan DPL memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil tangkapan dan pendapatan para nelayan. Hal ini didukung dengan perbandingan hasil tangkapan dan rata-rata pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya DPL. Rataan hasil tangkapan nelayan Saporkren perbulan pada Tahun 2009 adalah 116,8 kg (Coremap II 2009), sedangkan pada Tahun 2011 hasil tangkapan
97
perbulan yang diperoleh berkisar antara 156-208 kg (data di lapangan). Kemudian rataan pendapatan bersih dari kegiatan penangkapan ikan sebelum adanya DPL adalah Rp.735.600 (CRITC-LIPI 2007) pada musim angin barat/laut teduh, sedangkan setelah adanya DPL pendapatan bersih yang didapatkan adalah sebesar Rp.896.800 per bulan (data dilapangan) saat nelayan menghadapi musim pancaroba, artinya pada musim laut teduh pendapatan yang diperoleh lebih besar lagi.
Kesimpulannya
adalah
pembentukan
Daerah
Perlindungan
Laut
Yenmangkwan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah hasil tangkapan dan pendapatan nelayan Kampung Saporkren.
98
BAB VIII PENUTUP 8.1
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa : 1. Sebesar 74 persen responden menyatakan respon yang positif terhadap pembentukan DPL. Artinya bahwa sebagian besar nelayan lokal menyetujui adanya DPL Yenmangkwan di Kampung Saporkren. Hal ini terlihat dari minimnya konflik yang terjadi terkait hak kepemilikan, minimnya pelanggaran yang terjadi, dan tingginya keterlibatan nelayan untuk menjaga dan mengawasi DPL. 2. Pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan menyebabkan hak masyarakat terbatas untuk memanfaatkan sumberdaya laut yang ada dalam area DPL. Berdasarkan tipe seperangkat hak nelayan yang dikemukakan oleh Ostrom, hanya tipe pemanfaatan saja yang berubah setelah adanya DPL, sedangkan tipe hak untuk mengakses, mengelola, dan hak ekslusi masih dimiliki oleh masyarakat lokal. Untuk tipe mengakses dalam penelitian ini adalah hak nelayan untuk melintas di atas DPL tanpa melakukan kegiatan apapun. 3. Sebesar 76,9 persen responden menyatakan bahwa hasil tangkapan nelayan dan pendapatan nelayan bertambah sejak adanya Daerah Perlindungan Laut. Hal ini dipengaruhi dengan bertambahnya kuantitas berbagai jenis ikan di DPL dan menyebar ke luar DPL sehingga hasil tangkapan nelayan pun bertambah. Kemudian diperkuat dengan hasil evaluasi dan monitoring yang dilakukan oleh Coremap II terkait penghitungan jumlah tangkapan nelayan setiap tiga bulan berturut-turut dalam setahun.
99
8.2
Saran Saran yang dapat peneliti sampaikan terkait penelitian ini antara lain :
1. Peningkatan partisipasi seluruh masyarakat dalam pengelolaan DPL sehingga ketika Coremap II berakhir, masyarakat dapat mengelola secara berkelanjutan seperti penguatan kelembagaan, pengawasan, penegakan aturan, monitoring, dan evaluasi DPL. 2. Pemerintah daerah dan pemerintah kampung perlu mengupayakan kegiatan yang tetap menjamin terjadinya dampak positif dari pembentukan DPL dan meminimalkan dampak negatif misalnya dengan cara penguatan institusi yang didukung dengan regulasi yang tepat. 3. Perlu dilakukan penelitian secara berkala setiap satu tahun untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dari pelaksanaan DPL serta dampak yang ditimbulkan baik dari segi ekologi, sosial, maupun ekonomi.
xxi
DAFTAR PUSTAKA Bengen, Dietriech G, editor. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding: Bogor 29 Oktober s/d 3 November 2001. Bogor [ID]: Pusat kajian sumberdaya pesisir dan lautan, IPB. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2001. Survai Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta [ID]: Biro Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Raja Ampat. 2010. Kabupaten Raja Ampat Dalam Angka 2009. Kabupaten Raja Ampat [ID]: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. [BPS] Badan Pusat Statistik Raja Ampat. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat 2009. Kabupaten Raja Ampat [ID]: Kabupaten Raja Ampat Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Coremap II. 2009. Data Creel: Laporan Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat [ID]: Coremap Raja Ampat. 2008. Baseline Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Raja Ampat. Jakarta [ID]: LIPI. CRITC, LIPI. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II; Kasus Kabupaten Raja Ampat. Jakarta [ID]: LIPI. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat. 2009. Profil Jejaring Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Pemda Raja Ampat [ID]: Kerjasama DKP dengan Pemda Raja Ampat. Hardjasoemantri, Koesnadi. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta [ID]: UGM Press. Huberman, A. Michael, dan Matthew B. Miles. 2009. Manajemen Data dan Metode Analisis, Handbook of Qualitative Research (Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar.
xxii
Ibrahim, Hasan. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten Lembata, NTT. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Kamarijah, Siti. 2003. Analisis Dampak Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Karim, M. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan di Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. [Internet]. [dikutip 30 Januari 2011]. Dapat diunduh dari : http://www.scribd.com/doc/33204136/Kelautan-Dan-Perikanan-DalamAngka-2009. Lee Won Jae. 2010. Pengaruh Periode Hari Bulan Terhadap Hasil Tangkapan dan Tingkat Pendapatan Nelayan Bagan Tancap di Kabupaten Serang. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Manoppo, Norma M. P. 2002. Kajian Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa, Suatu Pendekatan Cell Based Modeling. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Mustamin, Andi. 2003. Analisis Dampak Co-Manajemen Terhadap Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw, Victor P. H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. Jakarta [ID]: FERACO. Pemda Raja Ampat. 2006. Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. Raja Ampat [ID]: Kerjasama Pemda Raja Ampat dengan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kab. Raja Ampat. Putra, Drama Panca. 2001. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Penetapan Kawasan Konservasi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan. Tesis. Tidak dipublikasikan.
xxiii
Ruddle, Kenneth, A. Satria. 2010. Managing Coastal and Inland Waters, Preexisting Aquatic Management Systems In Southeast Asia. Germany [GM]: Springer. Rumfaker, Maurits K. 2010. Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Saad, Sudirman. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Jakarta [ID]: Dian Pratama Printing. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. Setianingsih, Anita 2010. Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Mittiro Deceng, Kab. Pangkep, Provinsi Sulsel. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Singarimbun Masri, Sofian Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Edisi kedua. Yogyakarta [ID]. ANDI.
xxiv
LAMPIRAN
xxv
Lampiran 1. Lokasi Penelitian
Peta Kabupaten Raja Ampat
Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat
xxvi
Lampiran 2. Jumlah dan Luasan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Tahun 2009 TNL (Taman Nasional Laut)
Provinsi
Jumlah
SML (Suaka Margasatwa Laut)
Jumlah
Luas (Ha)
Jumlah
18
767.610
7
Nanggroe Aceh Darussalam
2
Sumatera Barat
1
JumlahTotal
7
Luas (Ha)
TWAL (Taman Wisata Alam Laut)
4.045.049
Luas (Ha)
CAL (Cagar Alam Laut)
Luas (Ha)
Jumlah
24
3.155.572
19
13.591.406
231.400
1
50.000
1
1.518
39.900
4
51.276
1
66.867 1
36.000
1
96.061
1
662.794
9
Luas (Ha) 274.215
Riau Bengkulu 1
Lampung
13.735
Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI. Jakarta
1
1 1
Luas (Ha)
3
589.505
1
400.000
1
720
1
27.663
1
6.800
111.625
1.228
1
90
3
2.320
Jawa Timur Banten Bali
DPL (Daerah Perlindungan Laut) Jumlah
2
Luas (Ha) 2.086
SUAKA PERIKANAN
Jumlah
Luas (Ha)
3
453
1
12
1
370
107.489
Jawa Barat Jawa Tengah
CKKLD (Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah)
Jumlah
339.218
Jumlah
KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah)
1
101.784
xxvii
Lampiran 2.
Jumlah dan Luasan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Tahun 2009 (Lanjutan)
Provinsi
TNL (Taman Nasional
TWAL (Taman Wisata Alam Laut)
Laut)
Jumlah
Luas (Ha)
Jumlah
SML (Suaka Margasatwa Laut)
Luas (Ha) Jumlah
Nusa Tenggara Barat
3
11.554
Nusa Tenggara Timur
3
119.350
Luas (Ha)
Kalimantan Barat 1
Kalimantan Timur
280
1
CAL (Cagar
KKLD(Kawasan
CKKLD(Calon
DPL(Daerah
Alam Laut)
Konservasi Laut Daerah)
Kawasan Konservasi Laut Daerah)
Perlindungan Laut)
Jumlah
Luas (Ha)
1
Luas (Ha)
2
49.557
1
21.850
1
11.000. 000
1
77.000
1
15.300
1
186.643
2
1.321.40 7
1
2.095
1
22.099 2
1.624
1
41.227
3
389.320
1
644.678
220
Sulawesi Utara* 1
Gorontalo 1
362.605
Sulawesi Selatan
1
530.765
Sulawesi Tenggara
1
1.390.000
Maluku
3
167.800
3
13.098
Papua Barat Papua
1
Sumber : KKP (2009)
1.453.500
1
183.000
1
2.000
3
65.278
1
271.630
Luas (Ha)
2000
89.065
Sulawesi Tengah
Jumlah
1
Kalimantan Selatan Sulawesi Utara
Jumla h
2
1
2.460
2
30.936
1
26.796
1
900.000
116.50 0
62.660
Jumlah
SUAKA PERIKANAN
Luas (Ha)
Jumlah
1
1.317
1
1
769
Luas (Ha) 71
xxviii
Lampiran 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 Februari Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian
1
2
3
Maret 4
1
2
3
April 4
1
2
3
Mei 4
1
2
3
Juni 4
1
2
3
Juli 4
1
2
3
Agustus 4
1
2
3
4
xxix
Lampiran 4. Kerangka Sampling
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Nama OS DM EO HS RS YD YM YD SM TD YM LM AM DS HS MM HM BM MM AM SS EW AM YB YM ES FM MR
Keterangan :
Keterangan * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * = Responden
No. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Nama SS PK JD KS FD JW NM JD AD YM YM YW MM PD YM FS LM PD RM LS YM AM SM NM SM MS DD MM
Keterangan * * * * * * * * * * *
* * * * * * * *
xxx
Lampiran 5. Daftar Responden No. responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Nama responden YB LS DM FS SS AM HS DS AD MM SM EW JW LM YD MM YM YM AM AM PD YM JD SS MS NM ES SM RS MM YW YM NM MM HM FM MR PD KS
Usia 42 45 42 59 42 25 30 29 26 35 50 38 39 32 33 39 39 30 55 53 67 55 28 37 26 41 28 56 35 32 26 39 25 34 36 27 50 52 42
xxxi
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Kampung Saporkren
Kantor Kampung
Darmaga
Toilet Umum
Poliklinik
Sumur Umum
Sarana dan Prasarana Kampung Saporkren
xxxii
Perahu Katingting
Nelayan Menggunakan Perahu Dayung
Proses Pembuatan Perahu
Posisi Perahu Saat Tidak Digunakan
Nelayan Bersiap Melaut
Proses Pengecatan Perahu
Aktivitas Melaut Nelayan Saporkren
xxxiii
Pancing Nilon Dasar
Pancing Nilon Pompa
Pancing Nilon Tonda Tipe 1
Pancing Nilon Tonda Tipe 2
Mesin Perahu Katingting
Responden Saat Melaut
Jenis Alat Tangkap Nelayan Saporkren
xxxiv
Responden Setelah Melaut
Hasil Tangkapan Ikan Tenggiri (5KG)
Hasil Tangkapan Ikan Gutila
Hasil Tangkapan Satu Kali Melaut
Hasil Tangkapan Ikan Cakalang dan Ikan Geropah
Ikan yang dijual Pertali
Hasil Tangkapan Nelayan Saporkren
xxxv
Peta DPL Yenmangkwan
Gambaran Rangkaian Kegiatan Pengelolaan DPL
Lokasi DPL dilihat dari Perkampungan
Bukti Pengesahan DPL Yenmangkwan
Gambaran Berbagai Kegiatan LPSTK
Tiang Pembatas DPL Yenmangkwan
Nelayan yang Daerah Melaut Perlindungan Laut Yenmangkwan (1)
xxxvi
Dokumentasi Penandatangan Bukti Persetujuan oleh Masyarakat
Pondok Informasi DPL Yenmangkwan
Peraturan Kampung Pengelolaan DPL Yenmangkwan
Bersama Masyarakat dan Pengurus LPSTK, MK, dan Pokmaswas
Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan (2)
xxxvii