ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN NON TARIF TERHADAP KINERJA EKSPOR HORTIKULTURA INDONESIA KE NEGARA-NEGARA ASEAN +3
DARMIATI DAHAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negaranegara ASEAN +3” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Darmiati Dahar NIM H151110161
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN DARMIATI DAHAR. Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3 . Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan WIWIEK RINDAYATI. Perdagangan pertanian dihadapkan pada hambatan tarif dan non tarif. WTO telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas dagang pada seluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang. Adanya batasan tarif yang diberlakukan dalam perdagangan, membuat negara untuk melakukan tindakan non tarif. Salah satu tujuan dari tindakan non tarif (non tariff measures/NTM) ini yaitu sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Penggunaan NTM yang paling banyak diberlakukan yaitu Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT). Pemberlakuan SPS dan TBT juga banyak ditemukan di kawasan Asia. Salah satu kerjasama tingkat regional yang berkembang adalah ASEAN +3. ASEAN +3 ini dipelopori oleh negara-negara ASEAN, Cina, Jepang, dan Korea. Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN yang juga merupakan negara agraris memiliki potensi yang besar dalam sektor pertaniannya. Neraca perdagangan hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN + 3 menunjukkan neraca yang bagus. Ini dikarenakan ekspor hortikultura Indonesia ke seluruh di dunia menunjukkan neraca yang positif. Walaupun, ada ekspor dengan negara tujuan yang negatif. Selain itu, potensi produksi hortikultura yang masih bisa dikembangkan. Oleh karenanya, penelitian mengenai dampak NTM terhadap ekspor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 perlu dilakukan. Dengan adanya penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai kebijakan perdagangan dalam bentuk NTM. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja perdagangan ekspor subsektor hortikultura di Indonesia; mendeskripsikan pemberlakuan NTM pada subsektor hortikultura di negara-negara ASEAN +3; menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan NTM terhadap kinerja ekspor pertanian subsektor hortikultura. Hortikultura terdiri atas beberapa kelompok yaitu tanaman hias, sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dengan kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu 2010-2012. Penelitian ini difokuskan pada ekspor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3. NTM yang dikaji yaitu SPS dan TBT. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif dan analisis panel data dengan model gravity. Neraca perdagangan hortikultura Indonesia terhadap negara ASEAN +3 menunjukkan untuk negara Cina dan Thailand mengalami defisit baik pada kelompok sayuran maupun kelompok buah-buahan. Sementara negara-negara lainnya (Jepang, Korea, Malaysia, Piliphina, Singapura) memiliki neraca yang surplus. Non Tarif Measures berupa SPS dan TBT yang diberlakukan oleh negaranegara ASEAN +3 masing-masing berjumlah 200 dan 43 kebijakan. Negara yang tidak memberlakukan NTM pada produk hortikulturanya adalah Singapura.
Pendekatan yang digunakan dalam mengukur besaran NTM pada penelitian ini adalah frequency index dan coverage ratio. Secara umum untuk SPS dan TBT yang dilihat dari frekuensi indeksnya selama kurun waktu 2010-2012 pada negara ASEAN +3 mengalami peningkatan khususnya dengan negara tujuan Cina dan Malaysia. Negara tujuan yang paling banyak memberlakukan NTM adalah Malaysia dan negara yang sama sekali tidak memberlakukan NTM adalah Singapura. Berdasarkan coverage ratio SPS dan TBT pada setiap negara ASEAN +3 menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu sebesar 100%. Kelompok hortikultura yang paling banyak terkena NTM yaitu pada kelompok tanaman hias dan sayuran. Hasil dari analisis model data panel gravity menunjukkan bahwa NTM berupa SPS dan TBT berpengaruh negatif pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh yaitu populasi negara pengimpor, GDP per kapita negara pengimpor, jarak ekonomi, dan NTM (SPS dan TBT). NTM dan jarak ekonomi berpengaruh negatif pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3. Untuk SPS dan TBT yang didekati dengan dua pendekatan dalam model (frequency index dan coverage ratio) menunjukkan koefisien yang tidak terlalu besar dengan tanda negatif masing-masing sebesar 0.006 dan 0.003. Implikasi kebijakan yang dapat disarankan pada penelitian ini yaitu upaya dalam memenuhi persyaratan/ketentuan SPS dan TBT oleh setiap negara harus saling mendukung. Ketentuan mengenai SPS dan TBT dipelihara dan diperkuat dengan saling membantu dalam menerapkan dan mengambil keuntungan dari perjanjian yang ada. Implikasi selanjutnya adalah pemerintah sebaiknya mendukung pelaku usaha agribisnis hortikultura dengan memberikan sosialisasi yang lebih efektif mengenai pemenuhan syarat SPS dan TBT. Terakhir, implikasinya yaitu pembuat kebijakan dalam hubungannya dengan ekspor produk hortikultura sebaiknya mempertimbangkan karakteristik dari SPS dan TBT. Kata kunci :
ASEAN +3, ekspor, hortikultura, NTM, SPS dan TBT
SUMMARY DARMIATI DAHAR. Impact Analisys of ASEAN’s +3 Non Tariff Measures (NTM) on the Performance of Indonesian Horticulture Exports. Supervised by RINA OKTAVIANI and WIWIEK RINDAYATI. Agricultural trading nowadays is facing the tariff and non tariff barriers. WTO has been set the tariff rate which applied to trade commodities for in entire countries either developed or developing countries. The existence of tariff limitation that already occurred into global trading imposes the country to conduct non-tariff measures (NTM). One of the main point of NTM is the protection of domestic producers facing import competition with foreign products. Utility of NTM that most widely applied NTM is Sanitary and Phytosanitary (SPS) and Technical Barriers to Trade (TBT). The implementation of SPS and TBT are also commonly occurred in Asia. One of the extending regional cooperation is ASEAN +3 which is led by ASEAN countries, China, Japan, and Korea. Indonesia as one of the ASEAN countries which has a huge potential in agricultural sector. Indonesia has a positive balance of trade on horticulture towards ASEAN +3 countries due the positive balance Indonesian export horticulture of the global trading, regardless there are some negative exports trade with others countries which still exist. Furthermore, potential horticulture production is still able to being developed. Thus, it is necessary to exploring the research about impact of NTM for Indonesian horticultural exports towards the ASEAN +3 countries. This research is expected to provides knowledge about trade policy by NTM system. The aim of this study are describing the performance of the export trade of horticultural subsector in Indonesia; describing the application of NTM in the horticultural subsector in the ASEAN +3 countries; analyzing and estimating the impact of the implementation of the NTM on the performance of horticultural exports which is NTM was about SPS and TBT. Horticultural consists of several groups of floriculture/ornamental plants, vegetables, fruits, and medical herbs. The data used in this research is a secondary data with a period of last three years that occurred on 2010-2012 and focused on the Indonesian horticultural exports towards the ASEAN +3 countries. The approach used in this study is a descriptive approach and data analysis with gravity models. Indonesia’s trade balance to ASEAN +3 countries showed deficit for China and Thailand either in the group of vegetable or fruit while other countries (Japan, Korea, Malaysia, Philipina, and Singapore) derived surplus. Non tariff measures such as SPS and TBT which is imposed by ASEAN +3 countries have been applying 200 and 43 policies. The country which is not imposing the products NTM horticulture is Singapore. The approach used to measure the amount of NTM in this study is the frequency index and the coverage ratio. In general, for the SPS and TBT as seen from frequency index during the period 2010-2012 at the ASEAN +3 countries have increased, especially with the destination country of China and Malaysia. Country of the most imposing NTM is Malaysia and Singapore the lowest is completely not impose NTM. Based on the coverage ratio of SPS and TBT in
each ASEAN +3 shows almost the same value that is equal to 100%. Horticulture group most affected NTM is ornamental plants and vegetables. The results of the analysis of the gravity panel data model showed that the SPS and TBT a negative effect on the export of horticultural products from Indonesia to ASEAN +3 countries. There are several factors that affecting the population of the importing country, GDP per capita of importing countries, economic distance, and NTM (SPS and TBT). NTM and economic distance have a negative effect on the export of horticultural products from Indonesia to ASEAN +3 countries. For SPS and TBT were approached by the two approaches in the model (frequency index and coverage ratio) indicates that the coefficient is not quite large with a negative sign respectively 0.006; 0.003, and 0.006. Policy implications can be suggested in this study is an attempt to meet the requirements/provisions of the SPS and TBT by each country should be mutually supportive. Provisions on SPS and TBT maintained and strengthened by helping each other in implementing and taking advantage of the existing agreements. Further implication is that the government should support the horticultural agribusiness entrepreneurs by providing a more effective dissemination regarding eligibility of SPS and TBT. Finally, the implication that policy makers in relation to the export of horticultural products should consider the characteristics of the SPS and TBT.
Keywords: ASEAN +3, export, horticulture, NTM, SPS and TBT
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN NON TARIF TERHADAP KINERJA EKSPOR HORTIKULTURA INDONESIA KE NEGARA-NEGARA ASEAN +3
DARMIATI DAHAR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Muhammad. Firdaus, SP., MSi.
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3 Darmiati Dahar H151110161
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. Ketua
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono , M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr
Tanggal Ujian: 24 Januari 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis Nama NIM
Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3 Danniati Dahar H151110161
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. Ketua
iwiek Rindayati, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Tanggal Ujian: 24 Januari 2014
Tanggal Lulus:
0 4 MAR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3” dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si, sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis. 2. Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP., MSi., sebagai dosen penguji luar komisi atas saran dan kritiknya. 3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, MScAgr., selaku dosen penguji perwakilan program studi Ilmu Ekonomi. 4. Orang tua penulis Muh. Dahar Mangngungjungi dan Runciasmi Daming, saudara penulis Putrawal Dahar, S.Kom., Al Chudri Dahar, Al Azhar Dahar, Dian Prasakti Dahar, dan Rinda Safitri serta keluarga besar penulis, terima kasih atas doa dan dukungannya kepada penulis. 5. Semua teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 2011, terima kasih telah memberikan bantuan, masukan, dan semangat kepada penulis. 6. Teman-teman dari Makassar terima kasih atas semangat dan bantuannya. 7. Rektor, Dekan dan Rekan-rekan kerja Universitas Ichsan Gorontalo atas bantuan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menjalani studi. 8. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS kepada penulis selama menjalani studi di Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Demikian, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
Bogor, Maret 2014
Darmiati Dahar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan Internasional Hambatan Perdagangan Non Tariff Measures (NTM) Model Gravity Tinjauan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian 3 METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Definisi Operasional 4 GAMBARAN UMUM Perkembangan Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia Non Tariff Measures (NTM) Hortikultura Indonesia 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Model Gravity Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Hortikultura Indonesia Dampak NTM Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negaranegara ASEAN +3 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x x xi 1 5 7 7 7 7 9 10 15 16 17 18 19 19 21 23 26 34 35 39
40 41 42 42 44
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5
PDB Atas Dasar Harga Berlaku 2000-2011 (dalam milliar rupiah) Kinerja ekspor dan impor hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3 Jenis dan sumber data yang digunakan Jumlah NTM yang diberlakukan pada produk hortikultura di negaranegara ASEAN +3 tahun 2000-2012 Hasil estimasi dampak SPS dan TBT
3 4 19 27 36
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Klasifikasi baru NTM Kerangka Pemikiran PDB Sektor Pertanian atas dasar harga konstan 2000 (Milliar rupiah) tahun 2007-2012 Nilai PDB Hortikultura Tahun 2007-2011 berdasarkan harga berlaku (dalam miliar rupiah) Ekspor hortikultura Indonesia pada negara-negara ASEAN +3, 2012 Frequency index SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Frequency index SPS pada produk ekspor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012 Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012 Coverage ratio SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Coverage ratio TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Coverage ratio SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012 Coverage ratio TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3 tahun 2012
12 18 22 23 25 29 30 30 31 32 32 33 33
DAFTAR LAMPIRAN
01 Cakupan Kode HS Hortikultura 02 Neraca perdagangan beberapa komoditas hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 (1000 USD) 03 Kinerja Ekspor impor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 berdasarkan kelompok komoditi tahun 2012 (1000 USD) 04 Trade Balance Hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010-2012 (1000 USD) 05 Uji Asumsi Dasar 06 Penetapan Model Terbaik
45 46 47
48
49 52
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1994. Melalui ratifikasi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang terkandung di dalamnya, termasuk Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture = AoA) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen WTO. Terdapat tiga pilar utama dalam AoA-WTO, yaitu: (1) Akses Pasar (Market Access); (2) Subsidi Domestik (Domestik Supports); dan (3) Subsidi Ekspor (Exports Subsidies). Selain itu, juga terdapat perlakuan khusus dan berbeda (S & D) yang merupakan bagian inklusif dari ketiga elemen AoA-WTO sehingga perlu dimanfaatkan untuk tujuan ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan (Malian 2004). Perjanjian pertanian yang dibentuk oleh WTO ini semakin menunjukkan fokus dunia terhadap sektor pertanian. Perdagangan pertanian yang banyak dilakukan oleh negara baik ekspor maupun impor, mengharuskan setiap negara mempunyai daya saing dan proteksi pada sektor pertanian. Oleh karenanya, terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi selaku importir dan eksportir. Perdagangan yang dilakukan menghadapi hambatan baik tarif maupun non tarif. WTO menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditas dagang pada seluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang. Adanya batasan tarif yang diberlakukan dalam perdagangan, membuat negara untuk melakukan tindakan non tarif. Salah satu tujuan dari tindakan non tarif (non tarif measures/NTM) yaitu sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Beberapa tahun terakhir ini, terjadi peningkatan penelitian pada tindakan non tarif dalam perdagangan pangan dan pertanian diantaranya Mellado et al (2010); Lema et al (2011); ITC (2013); dan Beghin (2013). Tindakan ini sering digunakan untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan impor. Tindakan non tarif (NTM) ini tidak sama seperti tarif. NTM seringkali sebagai akibat dari prosedur peraturan. International Trade Centre/ITC (2013) menyatakan bahwa NTM mendapat perhatian khusus dari eksportir dan importir di negara berkembang. Hal ini dikarenakan NTM merupakan hambatan utama dalam perdagangan internasional dan dapat mencegah akses pasar. Sebagai perusahaan eksportir mencari akses ke pasar luar negeri. Sementara sebagai importir produk perlu mematuhi berbagai persyaratan dalam perdagangan termasuk regulasi teknis, standar produk, dan prosedur kepabeanan. Terdapat beberapa hambatan perdagangan, diantaranya adalah Non Tariff Measures (NTM). NTM memperoleh perhatian signifikan di kalangan peneliti perdagangan beberapa waktu lalu antara lain Chen et al. (2008); Aloka et al. (2009); Nguyen (2010). Tujuan utamanya memberlakukan jenis tindakan untuk melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan pada suatu negara dari penyakit dan untuk menjamin kesejahteraan nasional dengan memperbaiki kegagalan pasar (Aloka et al. 2009). Tindakan-tindakan non tarif (NTM) adalah langkah-langkah kebijakan selain tarif yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perdagangan
2 barang internasional. Pengaruh NTM pada perdagangan sebagai tujuan utama dari kebijakan (misalnya kuota dan larangan), atau tujuan kebijakan yang lain (misalnya pengendalian mutu dan persyaratan kemasan). Menurut perjanjian WTO, penggunaan NTM diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Misalnya yang termasuk perjanjian hambatan teknis perdagangan (TBT) atau kebijakan kebersihan dan kesehatan (SPS) yang keduanya dinegosiasikan selama putaran Uruguay. Perjanjian ini dimaksudkan untuk memungkinkan pemerintah mencapai tujuan kebijakan yang sah bahkan jika hal ini dapat menyebabkan peningkatan biaya perdagangan. Namun, NTM kadang-kadang digunakan dengan tujuan untuk menghindari aturan-aturan perdagangan bebas (ITC 2013). Bachetta dan Beverelli (2012) dalam Beghin (2013) mengemukakan bahwa NTM mencakup semua instrumen kebijakan selain tarif mulai dari persyaratan pelabelan hingga kebijakan makro yang mempengaruhi perdagangan. Langkahlangkah sebagai tarif telah sangat berkurang dan kadang-kadang dihilangkan melalui perdagangan global dan perjanjian preferensi yang banyak seperti WTO dan FTA (Perjanjian perdagangan regional). Terdapat beberapa jenis NTM, khususnya Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) telah bertambah semakin banyak. Penggunaan kebijakan SPS lebih banyak pada sektor pertanian dan produk yang berasal dari hewan. Kebijakan SPS ini sebagai kontrol yang sangat penting untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan dari konsumen dan melindungi lingkungan. UNCTAD (2013) bahwa akibat dari penggunaan tersebut, lebih dari 60 % produk yang berhubungan dengan pangan ditemukan akan terpengaruh oleh setidaknya salah satu dari bentuk tindakan SPS ini. Selain itu, TBT dapat diterapkan pada sektor yang lebih luas dan memang ditemukan lebih merata pemberlakuannya pada seluruh sektor ekonomi. Penggunaannya paling banyak pada tekstil, sepatu, makanan olahan, dan kimia. Pada liberalisasi tarif dan pembatasan kuantitatif, telah berkembang perhatian yang semakin difokuskan mengenai dampak hambatan yang lain. Banyak diantaranya yang tidak secara eksplisit terkait dengan perdagangan pada ekpor pangan dan pertanian. Henson (2001) bahwa banyak langkah-langkah teknis mengenai kualitas makanan dan persyaratan sanitary dan phytosanitary (SPS) yang dapat menghambat perdagangan, khususnya dalam kasus negaranegara berkembang. Langkah-langkah teknis yang banyak diterapkan pada perdagangan pertanian dan produk pangan yaitu antara lain peratuaran keamanan pangan, persyaratan pelabelan, kualitas dan komposisi standar. Penggunaan SPS dan TBT juga banyak diberlakukan di kawasan Asia. Sehingga tidak sedikit penelitian yang mengkaji mengenai hambatan non tarif ini. Penelitian tersebut antara lain adalah Aloka et al. (2009) mengenai dampak NTM pada ekspor pertanian di Srilanka; Nguyen (2010) tentang ekspor Vietnam; Chen et al. (2008) mengenai efek SPS dari perspektif eksportir di Cina. Selain itu, banyaknya kerjasama tingkat regional di kawasan Asia. Terdapat beberapa kerjasama tingkat regional yang sudah berlangsung di antaranya adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA) sejak tahun 1992 yang beranggotakan sepuluh negara dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani tahun 2004. Selain itu, telah dirintis pula kerangka kerjasama untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community, AEC) pada tahun 2015 dan
3 Masyarakat Ekonomi Asia Timur (East Asian Economic Community, EAEC) yang dipelopori oleh negara-negara ASEAN, Cina, Jepang dan Korea Selatan atau dikenal dengan sebutan ASEAN +3. Kerjasama regional ASEAN+3 dimaksudkan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kutub baru pertumbuhan dunia, selain European Union (EU) di Benua Eropa dan North American Free Trade Area (NAFTA) di Kawasan Amerika Utara (Purwanto 2011). Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN yang juga sebagai negara agraris memiliki potensi yang besar dalam sektor pertaniannya. Akan tetapi, potensi ini belum dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sektor pertanian memiliki beberapa subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Potensi yang belum termanfaatkan dengan maksimal ini terlihat dari jumlah masyarakat miskin yang identik dengan masyarakat pedesaan atau pertanian. Salah satu subsektor yang berperan penting dan juga menunjang ketahanan pangan yaitu subsektor hortikultura. Dimana subsektor hortikultura ini terdiri atas sayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Kontribusi sektor pertanian tanaman hortikultura terhadap produk domestik bruto selama periode 2000-2011, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 hanya sebesar Rp41 731 M, hingga tahun 2011 menjadi Rp96 220 M. Perkembangan ini berlaku untuk ke empat kelompok komoditas tanaman hortikultura. Keempat kelompok komoditas tersebut adalah buah-buahan, sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Selain itu, kelompok buah-buahan memberikan konstribusi yang cukup besar mencapai Rp53 437 M pada tahun 2011, yang kemudian diikuti oleh sayuran sebesar Rp31 969 M, tanaman hias sebesar Rp7 302 M, dan tanaman biofarmaka sebesar Rp3 512 M di tahun yang sama. Hortikultura memberikan share yang cukup besar sekitar 11.83% pada PDB Indonesia. Nilai tersebut menjadi tambahan devisa bagi pendapatan nasional. Tabel 1 PDB atas dasar harga berlaku 2000 – 2011 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Buah-buahan 22 533 25 620 29 168 28 246 30 765 31 694 35 448 42 362 47 060 48 437 45 482 53 437
Milyar Rupiah Sayuran Tan. Obat 15 525 430 17 704 491 17 867 506 20 573 565 20 749 722 22 630 2 806 24 694 3 762 25 587 4 105 28 205 3 853 30 506 3 897 31 244 3 665 31 969 3 512
Tan. Hias 3 242 3 706 3 458 4 501 4 609 4 662 4 734 4 741 5 085 5 494 6 174 7 302
Total 41 731 47 521 51 000 53 885 56 844 61 792 68 639 76 795 84 203 88 334 86 565 96 220
Share (%) 5.13 5.84 6.27 6.62 6.99 7.60 8.44 9.44 10.35 10.86 10.64 11.83
Sumber: Hasil kajian Dirjen Hortikultura 2012
Hortikultura menjadi subsektor yang mengalami perkembangan pada beberapa tahun terakhir ini. Peningkatan tersebut dikarenakan masyarakat Indonesia menyadari pentingnya mengkonsumsi tanaman dari hortikultura. Subsektor tanaman hortikultura menyediakan kebutuhan yang menunjang kesehatan manusia. Oleh karena itu, pertanian tanaman hortikultura menjadi
4 sebagai salah satu sub sektor pertanian yang mempunyai arti yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Dilihat dari laju pertumbuhan hortikultura lebih cepat dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya. Pertumbuhan hortikultura diperkirakan akan terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012) pengeluaran rata-rata per kapita sebulan, masyarakat Indonesia untuk sayuran dan buah-buahan pada tahun 2011 masing-masing sebesar 4.31 dan 2.15%. Konsumsi per kapita yang meningkat bersamaan dengan jumlah penduduk yang bertambah telah mendorong peningkatan konsumsi total hortikultura selama beberapa tahun terakhir ini. Akan tetapi, jumlah hortikultura yang dikonsumsi masyarakat masih jauh dari rekomendasi FAO sebesar 67 kg per kapita per tahun. Selama periode 2002-2012, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat untuk konsumsi sayur-sayuran dan buahbuahan di Indonesia sekitar 40 kg per kapita per tahun. Tabel 2 Kinerja ekspor dan impor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 (000 USD) Negara Partner Cina
Jepang
Korea
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
World
Tahun 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012
Ekspor 37 569.63 54 238.67 34 193.86 19 768.65 24 036.46 25 917.87 10 398.51 10 085.79 7 056.27 23 527.43 37 829.96 34 577.74 5 731.03 7 639.88 8 782.66 77 890.31 65 002.45 72 577.50 4 227.28 33 523.77 12 343.30 1 394 625.45 1 891 511.99 1 697 011.85
Impor 661 299.91 765 985.95 729 175.73 134.94 264.74 155.51 2 185.40 1 762.82 1 582.53 14 457.15 22 406.95 18 778.06 4 486.22 6 766.76 3 392.69 3 008.41 2 471.61 3 160.01 116 229.56 197 295.15 191 426.64 1 091 929.63 1 449 414.26 1 376 716.39
Neraca -623 730.28 -711 747.28 -694 981.87 19 633.72 23 771.72 25 762.36 8 213.12 8 322.97 5 473.74 9 070.28 15 423.01 15 799.68 1 244.81 873.12 5 389.97 74 881.90 62 530.85 69 417.49 -112 002.28 -163 771.39 -179 083.33 302 695.82 442 097.73 320 295.46
Sumber: UNCOMTRADE 2013
Kinerja perdagangan hortikultura Indonesia dengan negara-negara ASEAN +3 menunjukkan neraca yang positif kecuali pada Cina dan Thailand. Tujuan ekspor hortikultura Indonesia yang paling banyak adalah ke Singapura. Sementara ekspor yang terendah dengan negara tujuan Korea. Umumnya ekspor hortikultura mengalami penurunan dari tahun 2011 ke tahun 2012. Kinerja impor hortikultura di dominasi oleh Cina dan Thailand. Kinerja ekspor dan impor hortikultura Indonesia ke seluruh dunia menunjukkan nilai yang positif.
5 Pengembangan subsektor hortikultura dalam perspektif paradigma baru tidak hanya terfokus pada upaya peningkatan produksi komoditas saja namun terkait dengan isu-isu strategis dalam pembangunan yang lebih luas. Pembangunan subsektor hortikultura juga mengacu pada pencapaian target sukses Kementerian Pertanian yaitu peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu, pengembangan subsektor hortikultura juga untuk mengantisipasi meningkatnya nilai impor komoditas hortikultura dan sebaliknya harus mampu meningkatkan nilai ekspor (Ibrahim 2012). Situasi perdagangan yang semakin liberal dapat dimanfaatkan sehingga kinerja produksi dan perdagangan dari komoditas ekspor Indonesia harus dapat bersaing dengan negara-negara produsen utama lainnya. Upaya menembus pasar ekspor komoditas hortikultura pun masih mengalami hambatan dari negara-negara tujuan. Indonesia dengan kondisi pasar hortikultura ke negara-negara ASEAN +3 harus mampu merebut akses pasar dengan memenuhi persyaratan yang diberikan oleh negara tujuan. Subsektor hortikultura beberapa tahun terakhir ini menjadi topik yang banyak diperbincangkan di kalangan akademisi maupun praktisi. Hal ini dikarenakan jumlah kebutuhan untuk konsumsi semakin meningkat. Dimana masyarakat semakin sadar akan pentingnya mengkonsumsi sayuran dan buahbuahan bagi kesehatan. Ibrahim (2012) mengemukakan bahwa pada tahun 2013, Direktorat Jenderal Hortikultura melakukan beberapa refocusing terhadap kegiatan strategis pada program peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk hortikultura berkelanjutan sehingga penyaluran dan pemanfaatannya lebih efektif, efisien dan tepat sasaran. Refocusing tersebut dilakukan dengan melakukan pengembangan komoditas utama pada lokasi sentra produksi. Ekspor hasil pertanian menjadi salah satu program yang dicanangkan pemerintah (Kementrian Pertanian) dalam dua belas program pembangunan pertanian untuk periode 2010-2014. Untuk mengekspor hasil pertanian, sebelumnya pemerintah juga membuat program strategis dalam hal peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk tanaman hortikultura berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga memprogramkan peningkatan kualitas perkarantinaan pertanian dan pengawasan keamanan hayati. Hal ini berhubungan dengan kondisi pasar global yang dalam perdagangannya lebih banyak memberlakukan hambatan non tarif. Rumusan Permasalahan Kemampuan untuk mendapatkan akses pasar yang dapat diandalkan semakin tergantung pada kepatuhan terhadap peraturan tindakan perdagangan yang berada di luar bagian kebijakan perdagangan internasional. Meskipun akses pasar masih dapat ditingkatkan dengan liberalisasi yang lebih lanjut pada sejumlah produk yang sebagian besar dibebaskan. Kebijakan perdagangan tradisional seperti tarif dan kuota tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan dalam membatasi akses pasar. Tarif pada perdagangan internasional umumnya rendah karena telah semakin diliberalisasi. Pertama di bawah naungan perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan (GATT)/WTO. Selanjutnya dalam konteks perjanjian perdagangan preferensial regional dan bilateral. Pentingnya penurunan tarif untuk akses pasar juga hasil dari skema perlakuan khusus dan berbeda,
6 seperti preferensi tarif umum UNCTAD dan berbagai skema preferensial yang diberikan kepada negara-negara yang paling membutuhkan. Fakta bahwa liberalisasi tarif secara umum terbukti berhasil dalam menyediakan akses pasar yang sebenarnya telah menarik perhatian lebih lanjut pada Non Tarif Measures (NTM) sebagai penentu utama dalam membatasi akses pasar (UNCTAD 2013). Tindakan non tarif mencakup kebijakan yang sangat beragam yang berlaku bagi negara pengekspor dan pengimpor barang. Beberapa NTM digunakan dengan jelas sebagai instrument kebijakan yang komersial. Misalnya kuota, subsidi, langkah-langkah pertahanan perdagangan, dan pembatasan ekspor. Selain itu, terdapat pula kebijakan non trade, misalnya mengenai tindakan teknis. Terlepas dari tujuan NTM untuk proteksi atau mengatasi kegagalan pasar, NTM diperkirakan memiliki efek distorsi pada perdagangan internasional. Kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah khususnya kebijakan non tarif memberikan hambatan perdagangan dalam bentuk yang baru dalam perdagangan dengan negara lain. Perdagangan dengan negara ASEAN +3 dihadapkan dengan banyaknya hambatan-hambatan baru yang menjauhkan tujuan dari perdagangan bebas dengan kurang atau pun tidak adanya hambatan. Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Techincal Barriers to Trade (TBT) memiliki dampak perdagangan yang paling banyak diakui atau pun diterapkan oleh negara-negara maju. Berdasarkan yang dikemukakan oleh UNCTAD (2013) bahwa SPS dan TBT paling banyak diberlakukan oleh seluruh negara di dunia. Dalam langkah-langkah regulasi yang paling umum digunakan adalah SPS dan TBT dengan pemberlakuan 15-30% dari produk perdagangan. Tingginya angka kejadian dari ketentuan SPS dan TBT ini menimbulkan kekhawatiran bagi pengekspor dari negara berkembang. Ketentuan ini memaksakan kualitas dan keamanan dan perpajakan yang tepat. Hambatan-hambatan yang diterapkan negara tujuan pada produk hortikulturanya mengharuskan Indonesia sebagai negara pengekspor memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi. Sehingga dengan demikian, perlu dikaji lebih lanjut mengenai SPS dan TBT yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor hortikultura Indonesia. BPS (2013) mencatat bahwa adanya peningkatan produksi dari tahun ke tahun, dengan produksi pada tahun 2007 untuk keseluruhan hortikultura mencapai 698 juta ton. Jumlah ini terus menunjukkan peningkatan hingga tahun 2012 dengan jumlah sebesar 1 101 juta ton. Atau dengan pertumbuhan dari tahun 2007 sebesar 7.69% dan menjadi 12.12% pada tahun 2012. Potensi produksi yang meningkat dari tahun ke tahun, hortikultura Indonesia memiliki potensi ekspor yang besar. Indonesia sebagai negara agraris dengan agroklimat yang bagus untuk hortikultura. Perdagangan hortikultura di kawasan ASEAN +3 menjadi salah satu kajian menarik untuk diteliti. Penggunaan NTM di kawasan ASEAN +3 memberikan dampak pada perdagangan. Dampak dari NTM pada subsektor hortikultura menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Terdapat beberapa permasalahan yang ada untuk diteliti yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja ekspor subsektor hortikultura di Indonesia? 2. Bagaimana pemberlakuan NTM pada subsektor hortikultura di negara-negara ASEAN+3? 3. Bagaimana dampak NTM pada ekspor pertanian khususnya subsektor hortikultura?
7 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan pada uraian sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: 1. Mendeskripsikan kinerja ekspor subsektor hortikultura di Indonesia. 2. Mendeskripsikan pemberlakuan NTM pada subsektor hortikultura di negaranegara ASEAN +3. 3. Menganalisis dan mengestimasi dampak pemberlakuan NTM terhadap kinerja ekspor pertanian subsektor hortikultura.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan pengetahuan secara umum dan khususnya pada kawasan ASEAN +3 mengenai kebijakan perdagangan yang diambil dalam bentuk Non Tariff Measures (NTM). Dan sebagai tambahan pengetahuan lebih pada dampak dari NTM terhadap arus ekspor pada subsektor hortikultura. Serta memberikan masukan bagi pemerintah atau pun stakeholder terkait dengan kebijakan perdagangan khususnya NTM. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu pada arus ekspor perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN (Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand) dan tiga negara maju Asia Timur (Korea, Jepang, dan Cina). Pada penelitian ini membahas sektor pertanian khususnya pada subsektor hortikultura. Subsektor hortikultura terdiri dari empat kelompok besar yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan. Penelitian ini menggunakan model data panel. Data yang digunakan untuk analisis pada penelian ini dengan range tahun 2010-2012. Untuk estimasi NTM dikhususkan pada Sanitary dan Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers Trade (TBT).
2 TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan Internasional Perkembangan ekonomi dunia yang begitu pesat telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan mempertajam persaingan yang menambah semakin rumitnya strategi pembangunan yang mengandalkan ekspor di satu pihak, hal ini merupakan tantangan dan kendala yang harus dihadapi. Di pihak lain hal tersebut merupakan peluang baru yang dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional. Kondisi perekonomian nasional yang menjadi semakin saling berhubungan dan globalisasi (pergerakan ke arah satu perekonomian global) telah semakin nyata. Pengaruh perekonomian luar negeri berdampak kuat pada perekonomian Indonesia.
8 Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antar negara dalam berbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi (Halwani 2002). Selain hubungan saling ketergantungan (interdependence) antar negara, adanya kecenderungan terpisahnya kegiatan ekonomi dimana proses kegiatan ekonomi produksi industri pengolahan semakin melemah. Hal ini berakibat pada tidak berkembangnya produksi barang primer. Pada akhirnya menyebabkan merosotnya harga komoditi primer yang disebabkan oleh permintaan yang berkurang, merosotnya nilai tukar perdagangan dari sektor pertanian, sementara produksi yang terus menerus meningkat. Umumnya negara di dunia menghadapi perkembangan tersebut dengan melakukan berbagai langkah penyesuaian yang cenderung proteksionis. Munculnya berbagai blok perdagangan atau penerapan perundang-undangan yang jelas proteksionis. Halwani (2002) lebih lanjut mengemukakan bahwa globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara nasional, regional, ataupun internasional. Adanya komunikasi dan transportasi yang semakin canggih; lalu lintas devisa yang semakin bebas; ekonomi negara yang makin terbuka; penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara; metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang makin efisien; dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seluruh dunia, menjadi penyebab dari menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara keseluruhan. Perdagangan internasional secara teori membahas hubungan ekonomi antar negara di dunia yang merupakan refleksi dari munculnya saling ketergantungan (interdependence) antara satu negara dengan negara lainnya karena adanya perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi (resources) yang dibutuhkan. Suatu negara mungkin memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak memiliki teknologi dan modal untuk memprosesnya, sebaliknya negara lainnya miskin sumber daya alam tetapi memiliki teknologi yang mampu menjadikan sumber daya alam tersebut lebih dekat pada penggunaan akhir dan memiliki nilai guna yang lebih tinggi. Teori-teori perdagangan secara umum banyak memusatkan perhatian pada persoalan pola perdagangan internasional yang dapat berbeda dan bergeser karena perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi (Prabowo 2006). Perdagangan internasional bagi negara-negara di dunia memiliki arti penting yang berbeda-beda. Negara dengan ekonomi yang lebih kecil cenderung tidak mampu menghasilkan berbagai jenis produk yang ingin dikonsumsi. Sehingga ada kebutuhan untuk ekspor dengan dijual ke negara-negara lain, dengan pertukaran barang yang tidak tersedia dalam negeri. Pada umumnya negara yang lebih besar lebih mampu mendifersifikasi produksi mereka. Apalagi jika negara tersebut memiliki keanekaragaman sumber daya yang besar dengan berbagai faktor produksi. Husted dan Melvin (2010) menyatakan bahwa perubahan dalam keterbukaan berbeda jauh antara kelompok pendapatan. Pada umumnya, negara berpenghasilan rendah merupakan negara yang paling tertutup. Tingkat keterbukaan dari pertumbuhan rata-rata merupakan indikasi dari kenyataan bahwa
9 perdagangan internasional telah menjadi semakin penting bagi perekonomian dunia. Tingkat partisipasi pada perdagangan internasional bersifat bebas (free), sehingga keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela. Abidin (2000) bahwa menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimum mungkin pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan. Namun karena terdapat perbedaan penguasaan sumberdaya yang menjadi komponen pendukung daya saing, sebagian pakar yang lain berpendapat liberalisasi pasar berpotensi menimbulkan dampak negatif karena mendorong persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar itu maka timbul pandangan pentingnya upaya-upaya proteksi terhadap produksi dalam negeri dan kepentingan lainnya dari tekanan pasar internasional melalui pemberlakuan kendala atau hambatan perdagangan. Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk meliberalisasi pasar, efektivitas pemberlakuan kendala atau hambatan tersebut dalam perdagangan akan menentukan derajat keterbukaan pasar. Keterbukaan pasar semakin tinggi bila pemerintah suatu negara menurunkan tarif (bea masuk) produk yang diperdagangkan (tariff reduction) dan menghilangkan hambatan-hambatan non tarif (non tariff barriers). Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah cenderung menaikkan tarif dan meningkatkan hambatan non tarif. Liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan komoditas di pasar internasional dalam era globalisasi saat ini, tidak terkecuali perdagangan pangan. Sebagai negara ekonomi terbuka dan ikut meratifikasi berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan regional maupun global, tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerjasama tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan berbenturan dengan kebijakan internal dan mengancam kepentingan nasional.
Hambatan Perdagangan Pada umumnya dalam perdagangan internasional, negara mendapatkan keuntungan dengan peningkatan perdagangannya. Para ekonom berpendapat bahwa perdagangan internasional adalah perdagangan yang baik, tetapi perdagangan bebas merupakan perdagangan yang terbaik. Dengan analisis tentang kebijakan perdagangan yang lebih rinci, mereka mendasarkan pandangannya bahwa perdagangan bebas umumnya lebih disukai daripada perdagangan dengan ada restriksi parsial. Perdagangan bebas (free trade) akan dapat memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya. Namun dalam kenyataannya, hampir setiap negara masih menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas. Karena hambatan-hambatan tersebut berkaitan erat dengan praktek dan kepentingan perdagangan atau komersial dari masing-masing negara, maka hambatan tersebut lazim disebut sebagai kebijakan perdagangan (trade policy) atau kebijakan komersial (commercial policy). Meskipun secara umum penerapan kebijakan
10 perdagangan selalu dikemukakan sebagai suatu alat yang perlu diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan nasional, dalam kenyataannya hal tersebut lebih bertolak belakang dari kepentingan sepihak dari kelompok-kelompok tertentu yang memang paling diuntungkan oleh pemberlakuan hambatan-hambatan perdagangan (Salvatore 1997). Halwani (2002) mengemukakan bahwa proteksi secara umum ditujukan sebagai tindakan untuk melindungi produksi dalam negeri terhadap persaingan barang impor di pasaran dalam negeri. Secara luas perlindungan ini juga mencakup untuk promosi ekspor. Sedangkan metode proteksi yang dilakukan menyangkut sistem pungutan tarif (pajak) terhadap barang impor yang masuk ke dalam negeri. Tarif merupakan pajak yang dikenakan atas barang impor. Pajak atas barang impor itu biasanya tertulis dalam bentuk pernyataan Surat Keputusan (SK) atau undang-undang. Tarif terhadap barang impor merupakakan salah satu hambatan perdagangan internasional. Pengenaan tarif tersebut tentunya ada pihak yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi yang telah diatur sebelumnya, menjadikan perdagangan yang akan dilakukan tidak sebebas yang diharapkan oleh negara-negara tertentu. Lindert et al. (1993) mengemukakan tentang keburukan dan kebaikan dari tarif. Tarif hampir selalu menurunkan kesejahteraan dunia. Tarif juga biasanya menurunkan kesejahteraan masingmasing negara, termasuk negara yang mengenakan tarif. Sebagai aturan umum, manfaat apa pun yang dapat diberikan oleh pengenaan tarif bagi suatu negara, cara lainnya dengan melakukan yang lebih baik. Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas territorial. Ditinjau dari aspek asal komoditi, ada dua macam tarif yakni tarif impor (import tariff) dan tarif ekspor (export tariff). Tarif impor merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain sedangkan tarif ekspor adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor. Kemudian jika ditinjau dari mekanisme perhitungannya, jenis tarif terbagi atas tarif ad valorem (ad valorem tariffs) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor; tarif spesifik (specific tariffs) dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor; dan tarif campuran (compound tariff) adalah gabungan dari keduanya, yaitu mengenakan pungutan dalam jumlah tertentu dan juga memungut dalam bentuk persen (Salvatore 1997).
Non Tarif Measures (NTMs) Pemberlakuan NTM dalam arti sempit tidak menimbulkan masalah bagi perekonomian, terlebih setelah tahun 2005, semua NTM untuk pertanian, tekstil dan pakaian telah dihapus sesuai dengan perjanjian WTO. Akan tetapi, dalam arti luas, NTM akan menjadi masalah yang sangat berkembang pada perdagangan internasional dan atau untuk forum-forum internasional lainnya secara khusus. Robert Baldwin dalam PECC (2000) bahwa kebijakan distorsi perdagangan non tarif adalah setiap ukuran/langkah/tindakan (publik atau swasta) yang menyebabkan perdagangan barang dan jasa internasional, atau sumber daya yang dikhususkan untuk produksi barang dan jasa yang dialokasikan dengan cara
11 mengurangi pendapatan potensial riil dunia. Cakupan NTM dapat terus berkembang menjadi lebih luas seiring dengan pemerintah yang dengan cerdik mengembangkan langkah baru untuk menolong produsen domestiknya dari persaingan dengan pihak asing. NTM mencakup semua instrumen selain tarif, mulai dari persyaratan pelabelan hingga makro yang mempengaruhi kebijakan perdagangan. Tindakan ini telah tumbuh sebagai pengurangan tarif yang besar dan kadang-kadang dihapuskan melalui banyak perjanjian komprehensif dan perdagangan preferensial, seperti WTO dan sebelumnya, serta perjanjian perdagangan regional (RTAs/Regional Trade Agreements). Di antara NTM, khususnya tindakan SPS (Sanitary dan Phytosanitary) dan hambatan teknis perdagangan (TBTs/Technical Barriers to Trade) telah diproliferasi/dikembangkan. Tindakan ini memiliki banyak kesamaan tindakan standar yang mempengaruhi biaya dan potensi permintaan dengan mengatasi ketidaksempurnaan pasar (informasi asimetris), pengaruh eksternal (Baccheta dan Beverelli dalam Beghin 2013). Istilah NTM meliputi sejumlah tindakan yang bukan tarif, dan definisi dari NTM agak komprehensif dengan daftar yang cukup panjang. Secara umum untuk definisi NTM oleh Von Lampe, OECD, Nicita, UNCTAD, dan Rau, LEI, cukup berbeda antara satu sama lain. Tetapi dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah NTM mengacu pada tindakan dan tidak mengacu pada kondisi yang berlaku yang ada di negara seperti infrastruktur, kualifikasi dan pemerintahan. NTM cenderung dipicu oleh kurangnya sarana transportasi yang efisien dan jalan sebagai contoh yang berkontribusi terhadap kemungkinan NTM membatasi pengaruh perdagangan (Mellado et al. 2010). Sejak tahun 1994, UNCTAD mulai mengumpulkan dan mengklasifikasikan Non Tariff Barriers (NTBs) berdasarkan Coding System of Trade Control Measures (TCMCS). Coding system ini kemudian mengklasifikasikan tariffs, para-tariffs, dan Non Tariff Measures (NTMs) ke dalam 100 sub kategori. Coding system ini kemudian digunakan untuk membangun database NTM yang disebut database Trade Analysis and Information System (TRAINS). Kemudian kerja sama yang dibangun oleh UNTAD dan World Bank mengembangkan TRAINS menjadi system yang dapat diakses oleh peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi software yang disebut World Integrated Trade Solution (WITS). Melalui klasifikasi dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dapat dibedakan antara inti NTM, seperti tingkat tarif kuota dan pajak ekspor, dan langkah-langkah tradisional lainnya. Berdasarkan kategori klasifikasi utama oleh UNCTAD tersebut fokus utama pada NTM adalah kebijakan perdagangan. Terdapat enam belas klasifikasi yang dibuat oleh UNCTAD. Enam kategori utama yaitu price control measures; finance measures; automatic licensing measures; quantity control measures; monopolistic measure; dan technical measures. Kebijakan non tarif pada perdagangan internasional dalam perkembangannya telah mengalami kemajuan. Perkembangan ini terjadi sesuai dengan kondisi beberapa tahun terakhir. Terjadi perubahan dalam metodologi klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTM. Pada tahun 2006, dibentuk tim yang dinamakan Multi Agency Support Team dalam rangka menyusun dan memperbarui klasifikasi, metode penghitungan, dan pengumpulan data NTM.
12 Non tariff measures (NTM) didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada perdagangan komoditi internasional, dengan mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya (UNCTAD 2013). Hal yang baru dari klasifikasi NTM ini yaitu dengan adanya penambahan beberapa cabang klasifikasi baru.Secara garis besar, dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu Import Measures dan Export Measures. Pada import measures terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu technical measures dan non technical measures. Sementara pada export measures hanya satu klasifikasi yaitu export related measures.
Sumber: UNCTAD, 2013
Gambar 1 Klasifikasi baru NTM SPS dan TBT Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan bukan dengan tujuan perdagangan. Misalnya untuk menjamin keamanan, kualitas, dan perlindungan lingkungan, dan sebagainya). Tindakan SPS seperti hukum, keputusan, regulasi, kebutuhan, standar dan prosedur untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan. Untuk hambatan teknis perdagangan (TBT) merupakan regulasi/standar yang mengacu pada spesifikasi teknis dari suatu produk dan adanya sistem kesesuaian penilaian. Menurut UNCTAD (2013) definisi dari sanitary and phytosanitary measures merupakan tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk melindungi
13 manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit; untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab penyakit. Selain itu, untuk mencegah atau membatasi kerusakan lainnya terhadap suatu negara dari entry, pembentukan atau penyebaran hama, dan melindungi keanekaragaman hayati. Hal ini termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi kesehatan dari ikan dan fauna liar, serta hutan dan tumbuhan liar. Definisi technical barriers to trade (TBT) menurut UNCTAD (2013) adalah tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian SPS. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis atau memenuhi standar, yang mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya. Perjanjian SPS dan TBT diperbolehkan untuk diadopsi oleh anggota WTO. Kedua perjanjian ini memuat ketentuan mengenai bantuan teknis dan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) untuk membantu negara berkembang dan negara yang kurang berkembang (developing and least developed countries/DC and LDC) untuk melaksanakan dan memanfaatkan perjanjian ini. Disdier et al. (2007) menyatakan bahwa walaupun adanya dukungan dengan perjanjian SPS dan TBT, negara DC dan LDC menghadapi kesulitan dalam pelaksanannya. Protes yang secara teratur terhadap meningkatnya penggunaan SPS dan TBT oleh negara-negara maju. Penggunaan SPS dan TBT ini dilihat sebagai bentuk proteksionisme yang terselubung. Meningkatnya notifikasi SPS dan TBT dan potensi penggunaannya dalam cara proteksionis yang dapat menjadi sumber sengketa perdagangan antar negara. Sengketa yang banyak terjadi terdapat pada ketentuan SPS dibandingkan dengan ketentuan TBT. Banyaknya sengketa ini menjadi salah satu fokus pada perdagangan untuk segera diselesaikan. Hambatan Non Tarif Lainnya Hambatan non tarif dalam perdagangan internasional yang diterapkan oleh negara sangat beragam.Biasanya terdiri dari kode etik pemerintah yang diterapkan untuk impor. Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut sering menyamar, akan tetapi hambatan non tarif juga tetap menjadi sumber penting dari kebijakan komersial. Beberapa diantaranya yaitu Kebijakan Pengadaan Pemerintah (Government Procurement Policies), Regulasi Sosial (Social Regulations), Transportasi laut dan regulasi pengiriman (Sea transport and freight regulations), Praktek Penilaian Khusus (Custom Valuation Practices), Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barriers to Trade), Standar Kesehatan dan Keselamatan (Health and Safety Standards), Kegagalan melindungi hak kekayaan intelektual (Failure to Protect Intellectual Property Rights), Subsidi Ekspor (Export Subsidies), dan lain sebagainya.
14 Hambatan-hambatan tersebut hadir dimaksudkan untuk menghalangi masuknya barang impor ke suatu negara. Hambatan-hambatan perdagangan non tarif atau proteksionisme baru semakin menonjol dan menjadi lebih penting dibanding tarif. Ancamannya terhadap arus perdagangan internasional secara bebas juga lebih membahayakan (Salvatore 1997). Pada kebijakan pengadaan pemerintah, didasarkan karena instansi pemerintah adalah pembeli besar pada barang dan jasa. Mereka menarik konsumen untuk pemasok asing. Carbaugh (2005) mengemukakan bahwa jika pemerintah membeli barang dan jasa hanya dari pemasok dengan biaya terendah, maka pola perdagangan tidak akan berbeda secara signifikan dari apa yang terjadi dalam pasar yang kompetitif. Husted dan Melvin (2010) ketika pemerintah (pusat dan daerah) membeli barang dan jasa, mereka sering dibatasi oleh mandat legislatif untuk membeli dari produsen domestik. Contoh lain dari hambatan non tarif yaitu regulasi sosial. Regulasi sosial mencoba untuk memperbaiki berbagai efek samping yang tidak diinginkan dalam ekonomi berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, dan lingkungan. Regulasi sosial ini berlaku untuk isu-isu tertentu, misalnya mengenai kualitas lingkungan, dan pengaruh dari perilaku perusahaan di berbagai industri seperti mobil, baja, dan bahan kimia (Carbaugh 2005). Kemudian mengenai praktek penilaian khusus, dimana tingkat pengumuman tarif dapat mengacaukan jika dikenakan terhadap basis artificial dengan harga yang meningkat. Hal ini dapat dengan mudah ditangani secara empiris, dengan membandingkan pendapatan dari tarif dan nilai impor. Kemudian menyimpulkan persentase tarif yang benar (Deardoff and Stern 1997). Salah satu bentuk hambatan perdagangan non tarif yang paling penting dewasa ini adalah pembatasan ekspor “secara sukarela” (VERs/Voluntary Export Restraints). Konsep ini mengacu pada kasus dimana negara pengimpor mendorong atau bahkan memaksa negara lain untuk mengurangi ekspornya “secara sukarela”. Alasannya adalah dengan impor dikhawatirkan akan melumpuhkan sektor tertentu dalam perekonomian domestik (Salvatore 1997). Menurut Salvatore (1997) subsidi ekspor merupakan pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir atau calon eksportir nasional dan/atau pemberian pinjaman berbunga rendah kepada para pengimpor asing dalam rangka memacu ekspor suatu negara. Subsidi ini diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan produsen sehingga dapat mendorong peningkatan ekspor sehingga permintaan impor meningkat sementara harga dunia menurun. Tindakan kontrol harga (Price Control Measures) merupakan implementasi pada kontrol harga yang diimpor yang mendukung harga domestik dari kepastian produk ketika ada barang impor yang harganya lebih rendah, menetapkan harga domestik pada produk tertentu karena fluktuasi harga pada pasar domestik. Atau ketidakstabilan harga di pasar asing, dan mengatasi kerusakan akibat dari terjadinya praktek perdagangan luar negeri yang tidak adil. Tindakan kontrol kuantitas (Quantity Control Measures) bertujuan untuk membatasi jumlah dari barang-barang yang dapat diimpor, terlepas dari apakah berasal dari sumber yang berbeda atau satu pemasok tertentu. Tindakan ini dapat mengambil bentuk pembatasan lisensi, penetapan kuota yang telah ditetapkan dalam jumlah tertentu, atau melalui larangan. Sedangkan Para-tariff measures merupakan tindakan lain
15 yang meningkatkan biaya impor dengan cara yang hampir sama dengan tindakan tarif. Dibedakan dalam empat kelompok yaitu biaya kepabeanan; biaya dan pajak tambahan; pajak internal dan biaya yang dipungut dari impor; dan penetapan penilaian bea cukai (Mellado et al. 2010).
Model Gravity Model gravity telah lama menjadi salah satu model empiris yang paling sukses di bidang ekonomi.Sangat baik dalam pengamatan variasi yang besar pada interaksi ekonomi dalam perdagangan dan faktor pergerakannya. Head (2003) bahwa persamaan gravity merupakan formulasi yang popular untuk analisis statistik antara arus bilateral dengan entitas geografis yang berbeda. Model gravity didasarkan pada hukum gravitasi Newton. Newton mengusulkan “The Law of Universal Gravitation” pada tahun 1687. Newton menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung dipengaruhi secara proporsional oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya secara proporsional dipengaruhi oleh arah kuadrat antara keduanya. Secara matematis hukum tersebut menyatakan bahwa gaya tarik menarik antara dua benda i dan j ditentukan oleh: (1) Dimana notasi tersebut didefinisikan Fij adalah gaya/kekuatan tarik menarik. Mi dan Mj adalah massa/berat. Dij adalah jarak antara dua objek. Dan G adalah konstanta gravitasi yang tergantung pada unit pengukuran untuk berat dan kekuatan. Pada konteks perdagangan, model ini menyatakan intensitas perdagangan antara negara-negara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan nasional masing-masing negara dan berhubungan terbalik dengan jarak antara keduanya (Yuniarti 2007). Gravity model dapat menjelaskan aliran perdagangan internasional dengan baik. Anderson (2011) bahwa persamaan ini pertama kali digunakan oleh Ravenstein (1884) dengan menerapkannya pada migrasi di UK. Persamaan ini digunakan pertama kali untuk aliran perdagangangan internasional oleh Tinbergen (1962) yang menjelaskan aliran perdagangan bilateral oleh mitra dagang pada GNP dan jarak geografi antar negara. Persamaan gravitasi dapat dianggap sebagai semacam representasi singkat penawaran dan permintaan. Jika negara i adalah negara asal, maka Mi mewakili jumlah total yang bersedia dipasok ke semua pelanggan. Sementara Mj mewakili jumlah total tujuan negara j yang diminta. Jarak bertindak sebagai semacam pajak “wedge” yang memberlakukan biaya perdagangan dan menghasilkan arus keseimbangan perdagangan yang lebih rendah. Sifat perkalian persamaan gravitasi berarti bahwa dapat diperoleh logaritma natural dan mendapatkan hubungan linier antara arus perdagangan dan ukuran ekonomi dan jarak. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson (2011) dengan persamaan sebagai berikut: (2) Ln Fij = α ln Mi + β ln Mj – θ ln Dij + ρ ln Rj + ϵij
(3)
16 Disertakannya error term ϵij memberikan bahwa persamaan dapat diestimasi oleh regresi kuadrat terkecil biasa (ordinary least squares). Diharapkan diperoleh estimasi dengan α = β = ρ = 1. Ada banyak aplikasi empiris dari model gravity dikarenakan banyaknya variasi dari persamaan gravity. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah model gravitasi diterapkan untuk menjelaskan perdagangan bilateral, variabel dependen dari persamaan gravitasi selalu variabel perdagangan.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Disdier et al. (2008) menganalisis efek perdagangan dari tindakan SPS dan TBT pada produk tropis dan diversifikasinya. Meneliti sampai sejauh mana dan untuk apa sanitasi dan phytosanitary produk dan persyaratan teknis dibawah hukum publik yang merupakan hambatan untuk ekspor produk tropis dan diversifikasi untuk masuk di pasar negara-negara maju yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Australia, dan Swiss. Tujuan dari penelitian ini juga untuk menghasilkan analisis yang berorientasi solusi dan untuk mengidentifikasi kebijakan yang mungkin ditanggapi. Penelitian oleh Eita (2008) yaitu determinan dari ekspor Namibia dengan pendekatan model gravity. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan ekspor Namibia dengan menggunakan pendekatan model gravity. Hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan GDP importir dan GDP Namibia menyebabkan ekspor juga meningkat. Sementara jarak dan GDP per kapita importir berhubungan dengan penurunan ekspor. GDP per kapita Namibia dan nilai tukar riil tidak berpengaruh pada ekspor. Penelitian ini menunjukkan adanya ekspor potensial yang belum dimanfaatkan antara lain Australia, Belgia, Kenya, Mauritius, Belanda, Portugal, Afrika Selatan, Switzerland, dan Inggris. Hasil ini penting untuk formulasi/perumusan kebijakan perdagangan dalam rangka memastikan bahwa potensi ekspor Namibia dimanfaatkan sebaik mungkin dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Gomel et al. (2012) meneliti tentang pengaruh standar internasional pada arus ekspor Turki ke negara Uni Eropa. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi dampak standar internasional pada arus ekspor Turki ke negara EU. Turki telah secara positif bersama anggota perjanjian Custom Union dengan Uni Eropa dengan tanpa menjadi anggota EU dan perdagangan secara intensif dengan anggota inti persatuan tersebut. Penelitian ini menggunakan data sertifikasi ISO 9000 sebagai pendekatan untuk standar internasional. Penelitian ini mengadopsi model grafity dengan sampel dari negara-negara Uni Eropa 15 (EU15). Penelitian ini menggunakan panel gravity. Hasil dari penelitian ini menyarankan adopsi ISO 9000 di promosi ekspor Turki ke parner dagang Eropa yang mungkin diindikasi dari signal kualitas produk yang tinggi. Kien (2009) meneliti aplikasi empiris dengan implikasi pada ASEAN Free Trade Area (AFTA). Penelitian ini menguji determinan arus eksport dari negaranegara AFTA melalui estimasi panel data dengan menggunakan model gravity. Penelitian ini menggunakan Hausman-Taylor (HT) mengestimasi untuk data panel negara sebanyak 39 negara selama periode 1988–2002 berdasar pada two-way
17 error component dari model gravity. Hasil estimasi menunjukkan bahwa arus ekspor meningkat secara proporsional dengan GDP, dan bahwa formasi/susunan dari AFTA menghasilkan ciptaan perdagangan yang signifikan antar anggota. Penelitian ini menyarankan kebijakan fasilitasi perdagagan dapat berperan penting pada pengaturan tingkat AFTA., Penelitian oleh Nguyen (2010) mengenai determinan arus ekspor Vietnam dengan pendekatan statis dan dinamis panel gravity. Penelitian ini menguji faktor penting dengan teknik baru yang berpengaruh pada arus ekspor Vietnam. Regresi statis dan dinamis model gravity ditemukan bahwa adanya korelasi yang kuat antara arus ekspor Vietnam dengan tahun sebelumnya. Dan model dinamis yang sesuai dengan data lebih baik daripada model statis. Pertumbuhan ekspor Vietnam berkorelasi positif dengan pertumbuhan pendapatan Vietnam dan parner dagangnya. Selain itu, biaya transpor memiliki efek yang signifikan pada performa ekspor Vietnam. Faktor penting lainnya termasuk nilai tukar dan keanggotan ASEAN dari parner dagang. Lema et al. (2011) meneliti tentang dampak penilaian NTM pada perdagangan internasional terbuka jeruk. Penelitian ini menganalisis regulasi SPS pada perdagagan jeruk dengan menggunakan model gravity panel data non-linier yang diestimasi dengan Poisson Pseudo-Maximum Likelihood (PPML). Menganalisa ekspor dari Argentina, Spanyol, Amerika Serikat, Meksiko, Afrika Selatan, dan Turki ke pelaku parner dagang mereka selama periode 1995-2005. Data diperoleh dari database UNCTAD. Tindakan SPS dianalisis dari data yang diperoleh dari SPS Information Management System di WTO, International Food and Food Safety, dan beberapa sumber yang terkait. Hasil ekonometrik mengenai efek SPS menunjukkan perbedaan untuk kasus global dan dua studi kasus khusus. Tindakan SPS memiliki efek negatif dan secara marginal pada perdagangan dunia. Efek negatif tetapi tidak signifikan ditemukan untuk ekspor Argentina dan Spanyol. Ditemukan bahwa nilai tukar riil sebagai determinan penting untuk ekspor lemon Argentina berpengaruh signifikan dan positif. Selain itu, efek perbatasan berhubungan negatif dengan jarak dari parner dagang untuk ekspor Spanyol.
Kerangka Penelitian Kerjasama antara ASEAN dan negara kawasan Asia Timur khususnya Cina, Jepang, dan Korea semakin erat. Kerjasama ini kemudian lebih sering disingkat menjadi ASEAN +3. Dalam rangka memajukan kesejahteraan antar anggota dalam ASEAN +3 ini, banyak perjanjian-perjanjian yang dibuat. Salah satunya mengenai kebijakan perdagangan yaitu Non Tarif Measures (NTM). Untuk mencapai liberalisasi perdagangan, hambatan yang ada antar negara harus dapat dikurangi. Sehingga dalam pelaksanaannya banyak yang terkena dampaknya baik secara langsung maupun tidak. Salah satu implementasi non tarif yang paling banyak digunakan yaitu sanitary dan phitosanitary (SPS) dan technical barriers to trade (TBT) di hortikultura. Hortikultura yang merupakan salah satu subsektor dari pertanian berkaitan erat dengan pemenuhan pangan manusia. Selain itu, hortikultura Indonesia sangat beragam dengan produksi yang setiap tahunnya meningkat. Jumlah produksi yang
18 banyak memungkinkan pemerintah untuk mengekspor produk hortikultura yang diminta oleh negara tujuan khususnya ke negara-negara ASEAN +3. Penggunaan SPS dan TBT ditemukan paling banyak pada sektor pertanian dan makanan olahan. SPS dan TBT pada hortikultura berguna untuk melindungi manusia, hewan, dan tumbuhan hidup, serta menghindari adanya transfer penyakit tanaman. Analisis dampak SPS dan TBT pada hortikultura digunakan model gravity. Penelitian ini menghasilkan implikasi kebijakan yang terkait dengan perdagangan yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah. Instrumen kebijakan perdagangan di ASEAN +3
Kebijakan Perdagangan
Tarif
Non Tarif
Implementasi Non Tarif pada ekspor Hortikultura
SPS dan TBT
Model Gravity
Dampak NTM pada ekspor Hortikultura
Implikasi Kebijakan Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis yang dibuat dalam penelitian ini adalah: 1. GDP per kapita suatu negara berhubungan positif dengan arus ekspor. GDP perkapita yang meningkat pada suatu negara berhubungan positif dengan GDP per kapita parner dagangnya. Peningkatan ini mengakibatkan perdagangan bilateral antara keduanya meningkat. 2. Biaya perdagangan antar negara dagang dengan proxy pada jarak berhubungan negatif dengan arus ekspor. 3. Nilai tukar riil berpengaruh positif pada arus ekspor antar negara dagang. 4. Non Tariff Measures yang diberlakukan pada subsektor hortikultura di suatu negara diharapkan berhubungan negatif terhadap arus ekspor.
19
3 METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data berasal dari berbagai sumber. Rincian data yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Jenis dan sumber data yang digunakan Jenis Data Non Tariff Measures (NTM) Populasi GDP Per Kapita Ekspor /Impor Jarak Nilai Tukar IHK/CPI
Sumber WTO UNCTAD WDI WITS CEPII UNCTAD, World Bank WDI
Keterangan Jiwa Juta US $ Juta US $ Km Rp/Dollar
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis data panel dengan model gravity. Analisis Deskriptif Analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai kinerja perdagangan subsektor hortikultura Indonesia dan kebijakan perdagangan berupa NTM khususnya SPS dan TBT yang diberlakukan di negara ASEAN +3. Bagian ini terdiri atas dua sub pokok bahasan. Pertama membahas mengenai kinerja perdagangan pada subsektor hortikultura terhadap negara-negara ASEAN +3. Kemudian yang kedua membahas kebijakan yang terkait dengan SPS dan TBT di negara-negara ASEAN +3 pada subsektor hortikultura. Pada bagian ini akan dilakukan analisis pemberlakuan SPS dan TBT dengan menggunakan pendekatan inventory (inventory approach). Pendekatan ini melakukan inventarisasi kebijakan-kebijakan non tarif khususnya SPS dan TBT yang dilakukan oleh setiap negara. Pendekatan ini dilakukan dengan menghitung frequency index dan coverage index pada periode waktu yang disesuaikan dengan ketersediaan data. UNCTAD (2013) menyatakan bahwa frequency index hanya untuk menghitung ada tidaknya suatu NTM dan persentase seringnya suatu produk satu atau lebih yang diterapkan NTM. Coverage ratio merupakan persentase dari perdagangan suatu produk yang dikenakan NTM pada negara pengimpor dan memberikan ukuran pentingnya NTM impor secara keseluruhan. Frequency index dihitung dengan proporsi komoditi 4 digit HS (Harmonize System) yang diterapkan terhadap jumlah total komoditi pada empat kelompok utama subsektor hortikultura. Sedangkan Coverage ratio merupakan perhitungan dengan mempertimbangkan nilai impor komoditi.
20 Perhitungan frequency index dan coverage ratio dapat dibandingkan dengan pemberlakuan NTM (SPS dan TBT) di masing-masing negara pada empat kelompok subsektor hortikultura. Jumlah komoditi hortikultura dalam penelitian ini didasarkan pada kode HS 2000 dengan keempat kelompok komoditi hortikultura yaitu tanaman hias (kode HS: 06); sayuran (kode HS: 07); buahbuahan (kode HS: 08) dan tanaman obat (kode HS: 0910). Cakupan produk yang digunakan dalam penelitian dengan keempat kelompok hortikultura secara keseluruhan berjumlah 33 kode HS (Lampiran 1). Merujuk pada metodologi yang digunakan oleh Bora et al. (2002), frequency index dan coverage ratio dapat dirumuskan dalam persamaan berikut ini: [
∑
]
∑ [
∑ ∑
]
Dimana: Fijt = Frequency index negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun t (persen). Cijt = Coverage ratio negara pengekspor i ke negara pengimpor j pada tahun t (persen). Dkt = variabel Dummy ada tidaknya satu atau lebih NTM pada suatu produk k pada tahun t. MkT = jumlah produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor. VkT = nilai produk k dengan total tahun dari jumlah yang diimpor. j = negara pengimpor i = negara pengekspor k = produk yang diimpor t = tahun diberlakukannya NTM T = Total tahun dari jumlah yang dimpor ke negara tujuan Frequency Index dan coverage ratio merupakan metode pengukuran non tariff measures. Nilai frequency index dan coverage ratio akan berada pada rentang nilai 0100. Sehingga semakin kecil nilai frequency index yaitu mendekati 0 menunjukkan semakin sedikit penggunaan NTM oleh suatu negara. Sebaliknya semakin besar nilai frequency index mendekati 100 menunjukkan semakin banyak penggunaan NTM oleh suatu negara. Semakin tinggi nilai frequency index menunjukkan negara tersebut semakin protektif terhadap perdagangan. Nilai coverage ratio yang semakin kecil menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan semakin kecil, sedangkan coverage ratio yang semakin besar menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan semakin luas.
Analisis Model Gravity Analisis model gravity digunakan untuk memperoleh model terbaik yang menggambarkan bagaimana dampak SPS dan TBT terhadap arus ekspor di ASEAN +3. Rancangan model yang diajukan menggunakan beberapa variabel bebas yaitu GDP per kapita negara pengimpor, Populasi negara pengimpor, Jarak ekonomi antara negara pengekspor dengan pengimpor, NTM (SPS dan TBT),
21 nilai tukar riil. Variabel independennya adalah nilai ekspor Indonesia pada negara partner dagangnya. Periode waktu yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu tahun 2010-2012. Hal ini dikarenakan data yang diperoleh lebih lengkap dengan kurun waktu tersebut. Dampak NTM dilihat melalui SPS dan TBT dalam model. Model yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model gravity yang dibuat oleh Fontagne et al. (2005) dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Pada penelitian ini digunakan dua model dengan variabel untuk mengukur dampak NTM yaitu dengan pendekatan pada Coverage Ratio (CR) dan Frequency Index (FI). Dari kedua model tersebut dapat dilihat bagaimana dampak NTM baik SPS maupun TBT pada suatu produk. Sehingga secara ekonometrika model tersebut menjadi: Model 1:
Model 2:
Dimana: Expijt POPjt GDPCjt DISTij CR SPSijt
= = = = =
CR TBTijt
=
FI SPSijt
=
FI TBTijt
=
ERijt
=
ekspor negara i ke negara j pada tahun t (juta $US) Populasi negara pengimpor j pada tahun t (jiwa) GDP per kapita negara pengimpor j pada tahun t (juta $US) Jarak ekonomi antara negara ekportir i dan importir j (km) Coverage ratio SPS negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t (persen). Coverage ratio TBT negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t (persen). Frequency index SPS negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t (persen). Frequency index SPS negara pengimpor j pada negara pengekspor i pada tahun t (persen). nilai tukar riil negara pengekspor i terhadap negara pengimpor j pada tahun t (Rp/dollar). Definisi Operasional
Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini antara lain: 1. Ekspor (Exp) merupakan total ekspor dari produk hortikultura Indonesia ke negara mitra dagangnya. 2. Populasi (Pop) merupakan total jumlah penduduk di negara tujuan ekspor (negara pengimpor) dalam satu tahun, dinyatakan dalam satuan jiwa. 3. GDP Per Kapita (GDPC) yaitu jumlah pendapatan rata-rata dari penduduk suatu negara pada suatu periode tertentu. 4. Coverage Ratio SPS (CR SPS) merupakan ukuran NTM berupa SPS yang dihitung dengan nilai impor suatu produk (persen).
22 5. Coverage Ratio TBT (CR TBT) merupakan ukuran NTM berupa TBT yang dihitung dengan nilai impor suatu produk (persen). 6. Frequency Index SPS (FI SPS) merupakan ukuran seberapa seringnya NTM berupa SPS yang dikenakan pada suatu produk, yang diukur dalam persentase. 7. Frequency Index TBT (FI TBT) merupakan ukuran seberapa seringnya NTM berupa TBT yang dikenakan pada suatu produk, yang diukur dalam persentase. 8. Jarak Ekonomi (Dist) menjadi variabel utama dalam gravity model pada arus perdagangan, yang merupakan pendekatan yang mewakili biaya transportasi. ∑ 9. Real Exchange Rate (ER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor dan negara pengimpor yang diperoleh dari :
4 GAMBARAN UMUM
PDB harga konstan (Milyar Rp)
Hortikultura sebagai salah satu subsektor dari pertanian memberikan konstribusi yang cukup penting pada perekonomian Indonesia. Hortikultura terdiri atas empat kelompok yaitu kelompok buah-buahan, sayuran, tanaman obat (biofarmaka), dan tanaman hias atau florikultur. Keempat kelompok ini mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis, yang tentunya akan mendorong peningkatan pendapatan petani khususnya petani hortikultura. 60
a. Tanaman Bahan Makanan (Tanaman Pangan dan Hortikultura)
50
b. Tanaman Perkebunan
40 30
c. Peternakan
20 d. Kehutanan
10 0 2007
2008
2009 2010 Tahun
2011* 2012**
e. Perikanan
Sumber: BPS 2013
Gambar 3 PDB sektor pertanian atas dasar harga konstan 2000 (milliar Rupiah) tahun 2007-2012.
23
PDB harga berlaku (milyarupiah)
Produk hortikultura merupakan produk yang potensial dimana bernilai ekonomis dan permintaan pasar yang tinggi. Produk hortikultura yang terbesar adalah kelompok buah-buahan, yang kemudian diikuti kelompok sayuran. Dengan kondisi wilayah Indonesia yang luas dan keragaman agroklimat, memberikan potensi bagi produk hortikultura untuk dapat dikembangkan lebih baik lagi. Pengembangan berbagai jenis tanaman ini mencakup 323 jenis komoditas yang terdiri dari 60 jenis kelompok buah-buahan, 80 jenis kelompok sayuran, 66 jenis kelompok biofarmaka atau tanaman obat, dan 117 jenis kelompok tanaman hias atau florikultur. Jumlah-jumlah tersebut diatur dalam komoditas binaan untuk empat kelompok hortikultura Direktur Jenderal Hortikultura sesuai keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 511/Kpts/PD.310/9/2006 Tanggal: 12 September 2006. Jumlah ini dapat bertambah melihat luas wilayah Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya. Nilai PDB sebagai salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan konstribusi sektor terhadap pendapatan nasional. Total nilai PDB hortikultura umumnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada kelompok komoditas, buah-buahan menunjukkan share yang besar dari tahun 2007-2011. Kelompok berikutnya adalah sayuran yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sementara kelompok tanaman obat memberikan share yang menurun dan semakin sedikit pada tahun-tahun tersebut. 60.00
55.16
55.89
54.83
52.54
55.54
50.00 40.00
33.32
33.50
34.53
36.09
33.22
30.00 20.00 10.00
Buah-buahan Sayuran
6.17 5.35
6.04 4.58
6.22 4.41
7.13 4.23
7.59 3.65
Tan. Obat Tan. Hias
0.00 2007
2008
2009
2010
2011
Tahun Sumber: Hasil Kajian Dirjen Hortikultura 2012
Gambar 4 Nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku tahun 2007-2011 (milliar Rupiah). Perkembangan Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia Kinerja perdagangan Indonesia pada sektor hortikultura menunjukkan perkembangan yang cukup baik yang dilihat berdasarkan data ekspor impor. Neraca perdagangan komoditi pertanian subsektor hortikultura pada tahun 2012 mempunyai pertumbuhan dengan total 7.03% yang terdiri atas 92 komoditi hortikultura (Lampiran 2). Pada neraca perdagangan tersebut komoditi hortikultura segar dan olahan, komoditi kentang (segar) mengalami pertumbuhan yang negatif (defisit) sebesar 365.41%. Pada umumnya untuk sayuran lainnya (olahan) mengalami defisit sebesar 471.29%. Untuk kelompok buah-buahan secara umum baik segar maupun olahan mempunyai pertumbuhan yang cukup
24 bagus dengan nilai masing-masing 666.86 dan 12.76%. Akan tetapi terdapat pula beberapa komoditi yang mengalami pertumbuhan defisit. Pisang (segar), misalnya, dengan nilai sebesar -252.24%. Untuk kelompok tanaman obat atau biofarmaka secara keseluruhan mengalami surplus sebesar 66.66% yang diwakilkan oleh tanaman biofarmaka lainnya (segar). Pada neraca perdagangan ini, untuk kelompok biofarmaka terdiri atas jahe (segar dan olahan), saffron (segar), turmeric (segar) dan kapulaga (segar). Trade balance hortikultura Indonesia ke seluruh dunia menunjukkan nilai yang positif dengan kelompok yang terbesar baik ekspor maupun impornya adalah kelompok buah-buahan. Ekspor hortikultura Indonesia untuk kelompok buah-buahan ke seluruh dunia sebesar US $ 113 juta. Kinerja perdagangan Indonesia terhadap negara-negara ASEAN +3 untuk masing-masing kelompok hortikultura menunjukkan kondisi dengan nilai yang cukup bagus. Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian masih memiliki potensi yang tinggi. Hal ini terlihat dari tingkat keragaman hortikultura dan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang tropis sangat cocok untuk kondisi tumbuh yang dibutuhkan tanaman hortikultura. Oleh karenanya, hortikultura masih berpotensi untuk peningkatan ekspornya. Neraca pada tabel 2 terlihat bahwa tanaman hortikultura Indonesia masih harus ditingkatkan produksinya. Hal ini dikarenakan, ada beberapa neraca pada negara kawasan ASEAN +3 yang memiliki neraca negatif (defisit). Sehingga untuk meningkatkan ekspor yang lebih tinggi lagi perlu peningkatan produksi dan mengurangi impor baik pada kelompok tanaman sayuran maupun buah-buahan. Neraca perdagangan Indonesia terhadap negara ASEAN +3 pada tahun 2012 menunjukkan untuk negara Cina dan Thailand mengalami defisit baik pada kelompok sayuran maupun kelompok buah-buahan (Lampiran 3). Sementara negara-negara lainnya (Jepang, Korea, Malaysia, Piliphina, Singapura) memiliki neraca yang surplus. Surplus yang terbesar dengan tujuan ekspor pada negara Singapura dengan ekspor yang paling banyak pada kelompok buah-buahan. Perdagangan Indonesia untuk ekspor yang paling banyak kedua adalah Malaysia dengan kelompok yang terbanyak yaitu buah-buahan. Sedangkan untuk perdagangan ekspor kelompok sayuran dengan total 14 kelompok produk yang paling banyak ke Jepang. Neraca perdagangan juga menunjukkan defisit pada negara tujuan yang paling tinggi adalah Cina dan diikuti oleh Thailand. Jika dilihat dari neraca perdagangan, Indonesia memiliki neraca perdagangan yang dapat dikatakan stabil. Melihat kondisi dimana terjadi ekspor yang tinggi pada suatu negara, tetapi terjadi juga impor yang tinggi pada negara lain. Adapun kelompok hortikultura yang mengalami defisit besar-besaran adalah kelompok buah-buahan dengan total 14 kelompok produk. Tetapi kelompok ini juga memiliki surplus dengan tujuan negara yang lain. Ekspor produk hortikultura Indonesia pada negara ASEAN +3 pada tahun 2012 didominasi dengan negara tujuan Singapura. Kemudian diikuti oleh negara Malaysia, Cina dan Jepang. Ekspor hortikultura yang paling sedikit dengan negara tujuan Thailand, Philipina, dan Korea. Pada gambar 5, Singapura dengan tujuan terbanyak disebabkan oleh karena tidak adanya atau kurangnya hambatan perdagangan khususnya mengenai SPS dan TBT. Hal ini dapat dilihat lebih jelas pada bagian selanjutnya yang membahas mengenai ada tidaknya hambatan
25 perdagangan (Non Tarif Measures). Kondisi ekspor hortikultura Indonesia dengan negara ASEAN +3 masih dapat ditingkatkan lebih jauh lagi. Singapura tidak memberlakukan NTM berupa SPS dan TBT pada produk hortikultura yang diekspor oleh Indonesia. Perdagangan ekspor untuk hortikultura Singapura memperlihatkan jumlah yang berfluktuasi selama tiga tahun terakhir. WITS (2013) mencatat bahwa untuk ekspor Singapura pada tahun 2010-2012 masing-masing sebesar US $ 282; 372; dan 334 juta. Berdasarkan kelompok hortikultura, Singapura mengekspor paling banyak pada kelompok buah-buahan dengan nilai yang juga fluktuatif. Neraca perdagagan hortikultura selama tiga tahun terakhir menunjukkan neraca yang defisit. Hal ini terlihat dari nilai impor yang sangat besar daripada nilai ekspornya. Total impor Singapura untuk produk hortikultura selama kurun waktu tersebut sebesar US $ 5 383 juta sedangkan total ekspor hortikultura hanya sebesar US $ 989 juta. Oleh karenanya, Singapura tidak memberlakukan NTM pada produk hortikulturanya. Selain untuk dikonsumsi, diindikasikan Singapura juga melakukan diversifikasi produk untuk diekspor kembali. 12 343.304 China
34 193.86
Japan 72 577.501
25 917.873
Korea, Rep. Malaysia Philippines
34 577.736 7 056.271
Singapore Thailand
8 782.655 Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 5 Ekspor hortikultura Indonesia pada negara-negara ASEAN +3 tahun 2012 (USD) Nilai ekspor hortikultura Indonesia bervariasi pada setiap negara tujuan ASEAN +3. Berdasarkan kelompok hortikultura selama tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan nilai yang diekspor. Kelompok tanaman hias selama tiga tahun terakhir menunjukkan produk yang paling banyak diekspor berupa bunga dan kuncup bunga potong yang digunakan untuk karangan bunga atau untuk pajangan/hiasan baik segar maupun kering (Cut flowers and flower buds of a kind suitable for bouquets or for ornamental purposes, fresh, dried, dyed, bleached, impregnated or otherwise prepared). Produk dari kelompok tanaman hias yang paling sedikit diekspor adalah umbi, bonggol, akar berbonggol, tajuk dan sebagainya (Bulbs, tubers, tuberous roots, corms, crowns and rhizomes, dormant, in growth or in flower; chicory plants and roots other than roots of heading 12.12). Kelompok sayuran yang terdiri atas 14 produk selama tiga tahun terakhir menunjukkan nilai produk yang bertambah. Pada tahun 2010-2012 produk yang paling banyak diekspor adalah ubi kayu atau ubi jalar dan sejenisnya (Manioc, arrowroot, salep, Jerusalem artichokes, sweet potatoes and similar roots and
26 tubers with high starch or inulin content, fresh, chilled, frozen or dried, whether or not sliced or in the form of pellets; sago pith). Ketimun dan acarnya baik segar maupun dingin (Cucumbers and gherkins, fresh or chilled) merupakan produk yang paling sedikit diekspor. Produk berupa kelapa, kacang brazil dan kacang mede baik segar maupun kering (Coconuts, Brazil nuts and cashew nuts, fresh or dried, whether or not shelled or peeled) merupakan produk yang paling banyak diekspor dari kelompok buah-buahan. Akan tetapi, jumlah yang diekspor selama tiga tahun mengalami perubahan tiap tahunnya. Nilai ekspor yang terbesar pada tahun 2011 mencapai US $ 77 852. Jumlah ini berkurang pada tahun 2012 yang hanya sebesar US $ 56 850. Selain itu, buah yang paling banyak diekspor adalah buah bertempurung lainnya baik segar atau kering (Other nuts, fresh or dried, whether or not shelled or peeled). Kelompok buah-buahan memiliki keragaman pada setiap produknya selama tiga tahun terakhir. Salah satunya pada tahun 2010, produk berupa anggur, apel, apricot dan sejenisnya, kulit buah jeruk atau melon (termasuk semangka) merupakan produk yang tidak ada nilai ekspornya. Akan tetapi pada tahun 2012, produk-produk tersebut tercatat ada transaksi ekspor yang dilakukan walaupun dengan jumlah yang sangat kecil berkisar US $ 0.019-11.337. Kecuali pada produk berupa anggur pada tahun 2012 tetap tidak ada ekspor ke negara-negara ASEAN +3. Berbeda halnya dengan ketiga kelompok sebelumnya, untuk kelompok tanaman obat dimana dalam perhitungannya hanya menggunakan satu kode hs (0910). Kondisi ini menyebabkan tidak adanya pencatatan atau pun data yang diperoleh secara detail untuk masing-masing produk tanaman obat. Walaupun demikian, selama kurun waktu 2010-2012 kelompok tanaman obat menunjukkan peningkatan dari US $ 4 713.09 menjadi US $ 5 268.251.
Non Tariff Measures (NTM) Hortikultura Indonesia Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) mendorong negaranegara di kawasan ASEAN untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan. Pengurangan yang dilakukan pada tarif dan non tarif. MAE dapat tercapai dengan adanya integrasi antara pasar dan produksi, khususnya pada sektor pertanian. Untuk memenuhi tujuan tersebut, ASEAN dihadapkan pada tantangan efisiensi produk pertanian agar dapat bersaing dengan negara lain. Efisiensi ini harus diiringi dengan adanya tindakan-tindakan yang berpengaruh terhadap efisiensi tersebut. Dalam rangka mengurangi biaya transaksi untuk tercapainya keefisienan dan keefektifan, salah satu hal yang penting yaitu mengenai isu non tariff measure. Pada bagian ini dilakukan analisis mengenai pemberlakuan NTM di ASEAN +3 dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang digunakan yaitu dengan menghitung jumlah pemberlakuan NTM (Incidence of NTM), frequency index, dan coverage ratio. Untuk incidence of NTM menyajikan sebaran penggunaan NTM baik berdasarkan negara, komoditas, maupun jenis NTM. Sementara untuk frequency index menyajikan informasi besaran indeks yang dapat dijadikan ukuran tingkat hambatan suatu negara. Sedangkan coverage ratio
27 memberikan informasi berapa besar cakupan komoditi impor yang terkena kebijakan non tarif (NTM) tersebut. Incidence of NTM Non Tarif Measures di negara ASEAN +3 menjadi fokus pada perdagangan antar anggotanya. Non Tarif Measures berupa Sanitary dan Phitosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT) yang diberlakukan oleh negara ASEAN +3 disajikan pada tabel berikut. Dengan jumlah pemberlakuan masing-masing sebanyak 200 kebijakan dan 43 kebijakan selama tahun 2000-2012. Tabel 4 Jumlah NTM yang diberlakukan pada produk hortikultura di negara ASEAN +3 tahun 2000-2012 Negara Cina Indonesia Jepang Korea Malaysia Philipina Singapura Thailand Total
SPS 53 10 90 11 1 11 0 24 200
TBT 21 0 1 9 3 1 0 8 43
Total 74 10 91 20 4 12 0 32 243
Sumber: UNCOMTRADE 2013
Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa hampir seluruh negara ASEAN +3 menggunakan kebijakan-kebijakan NTM khususnya SPS dan TBT kecuali Singapura. Singapura baik SPS maupun TBT tidak ada yang diberlakukan. Hal ini pula yang menjadi alasan negara tujuan ekspor hortikultura Indonesia didominasi ke Singapura. Sementara untuk Indonesia, kebijakan NTM yang digunakan lebih banyak pada Sanitary dan Phitosanitary (SPS) daripada Technical Barriers to Trade (TBT). Indonesia bahkan tidak memberlakukan TBT pada perdagangan hortikulturanya. Penerapan NTM Indonesia untuk hortikultura lebih banyak pada SPS dengan 10 kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut mengenai karantina tanaman dan rekomendasi impor yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Negara tujuan ekspor yang paling banyak memberlakukan NTM untuk seluruh produk hortikultura adalah Jepang dengan total 91 kebijakan, dengan SPS sebanyak 90 kebijakan dan sisanya pada TBT. Jepang memberlakukan SPS berupa standar dan spesifikasi untuk makanan dan zat tambahan makanan dibawah hukum kesehatan pangan sebanyak 43 peraturan/kebijakan. Selain itu, terdapat 32 kebijakan/peraturan yang tidak diketahui atau pun tidak tercatat secara detail dari SPS. Negara yang memberlakukan NTM terbanyak selanjutnya adalah Cina dan Thailand dengan masing-masing sebanyak 74 dan 32 kebijakan. Cina memberlakukan NTM berupa SPS sebanyak 53 kebijakan dengan peraturan/kebijakan mengenai standar nasional keamanan pangan sebanyak 18 kebijakan/peraturan. NTM berupa TBT yang diberlakukan oleh Cina paling banyak adalah standar nasional dan standar peraturan spesifik dengan jumlah masing-masing sebanyak 7 kebijakan/peraturan. Berbeda halnya dengan Jepang
28 dan Cina, Thailand memberlakukan NTM berupa SPS dalam berbagai jenis kebijakan atau pun peraturan dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Kebijakankebijakan tersebut berupa penentuan larangan pangan untuk diproduksi baik yang diimpor maupun dijual (prescribed prohibited food to be produced, imported or sold), food additives, the food act (imported food requirement). SPS dan TBT yang diberlakukan negara-negara ASEAN +3 terdiri atas berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut, banyak kebijakan yang tidak ada penjelasan atau pun deskripsi yang menggambarkan mengenai kebijakan yang ada. Kebijakan SPS dan TBT yang banyak diterapkan pada produk hortikultura yang mengenai food additives dan standar nasional. Kebijakan food additives yang paling banyak digunakan oleh Jepang. Frequency Index dan Coverage Ratio Pengukuran besaran NTM umumnya dilakukan dengan menggunakan inventory approach. Inventory approach ini merupakan pendekatan yang sederhana dengan menggunakan dua indeks yaitu frequency index dan coverage ratio. Definisi frequency index menurut UNCTAD (2013) adalah pendekatan yang hanya menghitung ada tidaknya NTM dan persentase dari produk yang menggunakan NTM satu atau pun lebih. Sedangkan coverage ratio merupakan persentase dari subyek perdagangan yang terkena NTM pada negara pengimpor dan memberikan suatu ukuran pentingnya NTM dari keseluruhan impor. Selain itu, Disdier et al. (2008) menyatakan bahwa frequency index menyediakan informasi ada tidaknya tindakan non tarif. Sedangkan coverage index memberikan informasi pada nilai relatif dari produk yang terkena non tarif. Frequency index dan coverage ratio ini mempunyai kelemahan dalam menghitung non tarif. Hal ini dikemukakan oleh Deardoff dan Stern (1997) bahwa terdapat dua kelemahan dari frequency index dan coverage ratio. Pertama, tidak menunjukkan efek jera dari hambatan non tarif pada harga dan kuantitas berdasarkan keputusan eksportir. Kedua, indeks ini tidak memberikan informasi mengenai mungkin adanya efek hambatan perdagangan pada harga, produksi, dan perdagangan internasional. Selain itu pada kasus SPS dan TBT, terdapat informasi yang tidak lengkap pada produk yang diperdagangkan. Dimana SPS dan TBT memfasilitasi perdagangan dengan menandakan bahwa produk yang diperdagangkan aman untuk dikonsumsi. Ekspor produk hortikultura ke negara-negara ASEAN +3 yang terkena SPS selama kurun waktu 2010-2012 berdasarkan frequency index menunjukkan bahwa penggunaannya masih tinggi berkisar antara 50% hingga 75.76%. Negara yang paling banyak penggunaan SPS pada produk hortikultura adalah Malaysia. Selanjutnya adalah Jepang yang mengalami perubahan dari tahun ke tahunnya. Penggunaan SPS yang konstan pada produk hortikultura dari tahun 2010-2012 adalah Philipina sebesar 18.18%. Penggunaan SPS di Cina selama tahun 20102012 mengalami peningkatan dari 39.39% menjadi 51.52%. Sementara untuk Thailand, memberlakukan SPS pada produk hortikultura mengalami peningkatan pada tahun 2011 sebesar 45.45% daripada pada tahun 2010 sebesar 33.33%. Akan tetapi pemberlakuan SPS ini menurun pada tahun 2012 menjadi 42.42%. Korea mempunyai tren yang sama dengan Thailand, hanya saja jumlahnya sebesar 21.21; 24.24; dan 18.18% selama kurun waktu yang sama.
Frequency Index SPS (%)
29 80 60 2010 2011 2012
40 20 0
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 6 Frequency index SPS pada ekspor produk hortikultura ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Frequency index SPS berbeda dengan jumlah yang beragam pada tiap negara-negara ASEAN +3. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan frequency index TBT. Berdasarkan gambar di bawah dapat diketahui bahwa Malaysia masih tetap menjadi negara yang paling banyak memberlakukan NTM berupa TBT. Jumlah pemberlakuannya meningkat dari tahun ke tahun yang mencapai hingga 87.88%. Sementara Jepang dengan penggunaan SPS terbanyak kedua, untuk TBT hanya mencapai 15.15% selama tahun 2010-2012 dan menjadi negara yang paling rendah memberlakukan NTM berupa TBT. Frekuensi indeks selama kurun waktu 2010-2012 pada gambar menunjukkan pemberlakuan NTM pada total ekspor hortikultura. Hortikultura terbagi atas empat kelompok besar yaitu tanaman hias, sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat. Jumlah produk hortikultura yang terkena NTM yang paling banyak dengan jumlah 100% pada kelompok tanaman obat. Hal ini dikarenakan dalam perhitungannya yang dimasukkan dalam kode HS dua digit hanya satu dari kelompok tersebut. Tanaman obat yang dimasukkan dalam kelompok ini yaitu pada kelompok empat digit HS yaitu 0910. Sehingga hampir seluruh negara tujuan ekspor di ASEAN +3 memberlakukan NTM pada produk ini. Secara keseluruhan untuk masing-masing kelompok hortikultura terdapat beberapa produk yang paling sering diberlakukan NTM. Pemberlakuan NTM berupa SPS yang paling sering pada kelompok tanaman hias adalah tanaman hidup lainnya termasuk akarnya baik yang dipotong atau berupa stek dan yang menumbuhkan jamur. Pada kelompok sayuran yang paling sering berupa sayuran lainnya baik segar maupun beku. Selain itu produk sayuran seperti bawang merah, bawang putih, selada, chicory, dan sejenisnya juga merupakan produk yang paling sering dalam pemberlakuan NTM berupa SPS. Kelompok buah-buahan yang paling tinggi keseringan pemberlakuan SPS yaitu buah-buahan lainnya (buaha-buahan yang tidak termasuk dalam kode HS yang lain) dalam bentuk segar. Selain itu, buah-buahan seperti apricot, cherri, buah persik, apel, pear juga sering diberlakukan hambatan SPS. Berdasarkan gambar 7, Korea lebih banyak memberlakukan TBT daripada SPS. Hal ini terlihat dari frequency index yang mencapai 42.42% pada tahun 2010, walaupun mengalami penurunan untuk dua tahun berikutnya hingga 33.33%. Philipina dan Thailand merupakan negara yang pemberlakuan baik SPS dan TBT berjumlah sama selama kurun waktu 2010-2012.
Frequency Index TBT (%)
30 100 80 60 40
2010
20
2011
0
2012
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 7 Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Kebijakan mengenai TBT pada keempat kelompok hortikultura menunjukkan keragaman pada negara-negara ASEAN +3. Kelompok tanaman hias, tanaman hidup lainnya dan umbi, bonggol, akar berbonggol dan sejenisnya merupakan produk yang paling sering. Negara yang memberlakukan hambatan pada produk tersebut yaitu Cina, Jepang, dan Malaysia. Pada kelompok sayuran, produk seperti sayuran kering, sayuran kacang-kacangan kering, dan kentang yang pemberlakuannya paling sering. Penerapan hambatan berupa TBT pada produk ini diberlakukan paling banyak oleh Jepang dan Malaysia. Pisang, Jeruk, dan buahbuahan lainnya (other fruit) merupakan produk dari kelompok buah-buahan dengan tingkat keseringan yang paling tinggi. Negara yang menerapkan kebijakan tersebut yaitu Korea, Malaysia, dan Thailand.
Frequncy Index SPS
100 71.43
80 60 40 20
75
92.86 78.57
57.14 50
50 42.86 28.57
25 0
14.29 7.14
21.43 21.43 0
0
0
000
0
Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 8 Frequency index SPS pada produk ekspor hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012
Frequency Index TBT (%)
31 100 80 Tan. Hias
60
Sayuran 40
Buah-buahan
20
Tan. Obat
0
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 9 Frequency index TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012 Secara umum untuk SPS dan TBT yang dilihat dari frekuensi indeksnya ekspor hortikultura Indonesia selama kurun waktu 2010-2012 pada negara tujuan yaitu negara ASEAN +3 mengalami peningkatan khususnya dengan negara tujuan Cina dan Malaysia. Sementara untuk Jepang dan Thailand pemberlakuan NTM mengalami penurunan pada tahun 2012. Kemudian pada negara tujuan Korea mengalami penurunan pemberlakuan NTM dari tahun 2010-2012 dan Philipina yang selama kurun waktu tersebut memberlakukan NTM dalam jumlah yang sama. Berdasarkan gambar juga dapat diperoleh informasi bahwa negara tujuan yang paling banyak memberlakukan NTM adalah Malaysia dan yang terendah adalah Singapura yang sama sekali tidak memberlakukan NTM. Pilihan lain dalam mengukur NTM selain frequency index adalah coverage ratio. Coverage ratio ini merupakan pengukuran NTM dengan memasukkan cakupan impor yang terkena dampak kebijakan di negara yang bersangkutan. Cakupan NTM yang semakin besar dapat terlihat dari semakin besarnya nilai coverage ratio. Coverage ratio produk ekspor hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3 pada tahun 2012 menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu sebesar 100%. Coverage ratio SPS dan TBT terlihat hampir di setiap negara ASEAN +3 menunjukkan nilai yang sama. Misalnya seperti Cina, Korea, dan Malaysia yang untuk masing-masing kelompok sebesar 100%. Sementara Philipina dan Thailand, masing-masing kelompok hortikultura sebesar 100% kecuali kelompok tanaman hias yang nilainya nol. Sedangkan untuk Jepang, kelompok tanaman hias sebesar 17.71% dan ketiga kelompok lainnya sebesar 100%. Ini berarti untuk semua kelompok hortikultura dikenakan NTM baik SPS maupun TBT. Berdasarkan coverage ratio SPS ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 selama tahun 2010-2012 diperoleh informasi bahwa penggunaan NTM berupa SPS yang beragam pada tiap negara yang berkisar antara 0-99.91% pada produk hortikultura yang diekspor. Negara yang tidak memberlakukan NTM pada produk hortikulturanya adalah Singapura.
Coverage ratio TBT (%)
32 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
99.39 99.27
96.17 89.66
99.91
99.33
99.67
96.48
76.75 75.92
2010 2011
16.69 18.08
2012
0 0
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 10 Coverage ratio SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 selama tahun 2010-2012 berdasarkan coverage ratio TBT menunjukkan adanya keseragaman pada beberapa negara. Kesegaraman coverage ratio TBT yang mencapai 100% terdapat pada beberapa negara yaitu Cina, Malaysia, dan Singapura. Sementara untuk tiga negara lainnya yaitu Jepang, Korea, dan Thailand menunjukkan perbedaan dalam tiga tahun terakhir. Jepang memiliki tren menurun dengan nilai 7.34% menjadi 5.45% pada pemberlakuan TBT berdasarkan coverage ratio selama tahun 2010-2012. Sementara, Korea dan Thailand selama kurun waktu yang sama mengalami perubahan tiap tahunnya. 100 100
100 100 100 100
96.48 91.63
Coverage ratio TBT (%)
100 82.34 74.14
80 60
2010 2011
40
2012 20
7.34 5.45
0
0
0
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 11 Coverage ratio TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 Selain itu, coverage ratio SPS maupun TBT pada tahun 2012 berdasarkan kelompok hortikultura menunjukkan keseragaman nilai kecuali pada Jepang dan Korea. Coverage ratio SPS berdasarkan kelompok hortikultura pada negara
33
Coverage Ratio SPS (%)
Jepang mencapai 100% kecuali pada kelompok tanaman hias yang tidak ada. Pemberlakuan SPS pada tanaman hias di negara-negara ASEAN +3 umumnya masih rendah bahkan pada beberapa negara tidak ada hambatan yang dikenakan. Berbeda halnya dengan negara yang lain, Korea memberlakukan NTM berupa SPS pada kelompok tanaman hias dengan persentase yang mencapai 100%. Sementara untuk kelompok lain (sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat) hanya sedikit yang nilainya sangat jauh dari negara lainnya. 100 80 60
Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat
40 20 0
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 12 Coverage ratio SPS pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2012 Pemberlakuan TBT berdasarkan coverage ratio dari tiap negara juga memperlihatkan tren yang hampir sama dengan coverage ratio SPS yang umumnya sama. Perbedaan terlihat pada Jepang yang berbeda dengan hasil coverage ratio sebelumnya. NTM berupa TBT di negara Jepang hanya mencapai 17.71% untuk kelompok tanaman hias pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, NTM berupa SPS di negara Jepang mencapai 100%. Ini berarti selama tahun 2012 pemberlakuan hambatan berupa SPS sangat sering pada setiap produk hortikultura. Coverage Ratio TBT (%)
100
100
100 80 60 40 20
17.71 0
0
0
0
Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat
0
Negara Sumber: Data setelah diolah 2013
Gambar 13 Coverage ratio TBT pada ekspor produk hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3 tahun 2012
34 Pada gambar diketahui bahwa setiap negara tujuan ekspor kecuali Singapura memberlakukan NTM pada seluruh kelompok hortikultura Indonesia pada tahun 2012. Berdasarkan gambar Philipina memberlakukan NTM tidak pada seluruh kelompok hortikultura. Negara ini hanya memberlakukan pada tiga kelompok hortikultura, kecuali pada tanaman hias. Pemberlakuan NTM di negara ini pun yang paling sedikit untuk semua kelompok hortikultura. Kelompok hortikultura yang paling banyak terkena NTM yaitu pada kelompok tanaman hias dan sayuran. Tiap negara memberlakukan NTM dalam jumlah yang berbeda-beda untuk setiap kelompok hortikultura. Dari kelompok buah-buahan, Korea dan Philipina memberlakukan NTM hanya sampai 20% dari keseluruhan produk yang mencapai 14 jenis produk buah-buahan. Sementara untuk kelompok tanaman hias, selain Philipina dan Singapura, negara tujuan ekspor yang tidak memberlakukan NTM pada kelompok tanaman hias adalah Thailand. Kelompok sayuran yang penerapan NTM paling banyak pada negara tujuan Malaysia. Tingginya frekuensi pemberlakuan NTM di negara-negara ASEAN +3 akan menyulitkan terbentuknya integrasi perdagangan pada subsektor hortikultura. Pemberlakuan NTM ini pun tentunya akan menyulitkan ekspor Indonesia untuk dapat bersaing di negara-negara ASEAN +3 dan negara maju lainnya. Dalam rangka memenuhi kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh negara-negara tujuan, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing produk hortikultura. Hambatan non tarif yang diberlakukan harus mampu dipenuhi oleh Indonesia atau adanya upaya pengurangan atau pun kebijakan yang mampu mengurangi hambatan-hambatan tersebut. Sehingga ekspor hortikultura Indonesia dapat bersaing dengan negara ASEAN +3 dan negara maju lainnya.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis dampak SPS dan TBT ini dimulai dengan membahas mengenai pengujian model gravity. Hal ini dilakukan guna memperoleh model yang layak dan estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), kemudian menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor hortikultura Indonesia. Terakhir menganalisis dampak SPS dan TBT sesuai dengan model yang telah diperoleh. Pengujian Model Gravity Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis gravity model. Model ini diestimasi dengan menggunakan pendekatan ordinary least square (OLS). Untuk memperoleh model yang cocok maka dilakukan uji kelayakan dan kecocokan model (goodness of fit). Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE maka dilakukan pengujian asumsi dasar. Uji Kelayakan dan Kecocokan Model (Goodness of fit) Nilai probability (F-Statistic) yang ditujunjukkan sebagai uji kelayakan model pada kedua model yang digunakan adalah 0.0000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal terdapat satu variabel bebas yang mempengaruhi
35 variabel tidak bebas. Uji kecocokan model (goodness of fit) ditunjukkan pada nilai koefisien determinasi (R2). Pada kedua model menunjukkan nilai R2 sebesar 0.97 dan 0.97 yang berarti variasi variabel bebas mampu menjelaskan 97 dan 98% variasi variabel tidak bebas, sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya. Uji Asumsi Dasar Uji asumsi dasar dilakukan untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Uji asumsi dasar ini meliputi uji normalitas, multikolinieritas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Uji normalitas dilihat dari hasil Jarque-Bera test. Kedua model yang digunakan menunjukkan nilai probability (P-Value) > 0.05 maka H0 tidak dapat ditolak (Lampiran 5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data residual yang diteliti berdistribusi normal. Sehingga untuk asumsi normalitas telah terpenuhi. Uji multikolinearitas antar variabel bebas dapat dilakukan dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 6, diperoleh nilai Correlation Matrix antar masing-masing variabel bebas < 0.8 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas. Untuk menguji autokorelasi dilihat dari nilai Durbin Watson (DW) pada hasil estimasi yang telah dilakukan dengan program Eviews 6.0. Hasil yang diperoleh dari estimasi tersebut menunjukkan masing-masing 2.72 dan 2.7. Karena nilai tidak berada diantara 1.96 dan 2.04, maka dapat dinyatakan bahwa data-data yang digunakan terdapat korelasi antar error yang dihasilkan. Hal ini berarti adanya pelanggaran asumsi autokorelasi. Kemudian pada uji heteroskedastisitas dilihat dengan membandingkan sum square weighted kurang dari sum square unweigted. Jika hal ini terjadi maka harus dilakukan dengan metode panel lain dengan weighted. Berdasarkan uji asumsi klasik tersebut, autokorelasi dan heteroskedastisitas dilakukan pembobotan dengan metode yang lain yang tersedia pada program eviews 6.0. Pada estimasi ini dilakukan metode panel weights dan cross-section weights. Sehingga pelanggaran-pelanggaran pada uji asumsi klasik dapat teratasi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Hortikultura Indonesia Hasil pengujian pada model 1 dan model 2 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ekspor hortikultura. Faktor-faktor tersebut antara lain populasi negara pengimpor, produk domestik bruto per kapita negara pengimpor, jarak, dan kebijakan non tarif (SPS dan TBT). Model 1 dan model 2 digunakan variabel frequency index dan coverage ratio untuk SPS dan TBT. Kedua model menunjukkan bahwa NTM yang diberlakukan pada produk hortikultura berpengaruh negatif pada ekspor hortikultura Indonesia. Koefisien dari kedua model tersebut masing-masing sebesar 0.006 dan 0.003. Selain itu, kedua model menunjukkan untuk variabel nilai tukar riil tidak berpengaruh nyata pada ekspor hortikultura. Kemudian pada model kedua dengan pendekatan frekuensi indeks, NTM berupa TBT tidak signifikan. TBT yang tidak signifikan ini dikarenakan kebijakan yang diambil oleh tiap negara banyak yang sama dan dengan jumlah yang sangat sedikit. Hasil estimasi yang diperoleh dari kedua model disajikan pada tabel 5.
36 Tabel 5 Hasil Estimasi Dampak SPS dan TBT Variabel Bebas C Populasi GDPC Distance Nilai Tukar Riil CR SPS CR TBT FI SPS FI TBT R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic)
Model 1 Model 2 Koefisien Prob Koefisien Prob 2.556255 0.0244 -2.669038 0.2053 0.954276 0.0000 0.907082 0.0000 0.578274 0.0000 0.790793 0.0000 -2.003754 0.0000 -1.926405 0.0000 -0.169389 0.5216 0.558232 0.4109 -0.006398 0.0000 -0.003490 0.0000 -0.006274 0.0008 0.000211 0.5489 0.976833 0.968445 0.966905 0.954922 98.38597 71.61230 0.000000 0.000000
Populasi Negara Pengimpor Nilai koefisien variabel populasi negara pengimpor (Populasi) sebesar 0.954 dan 0.907. Hal ini mengindikasikan jika populasi negara pengekspor meningkat 1%, maka nilai ekspor akan meningkat sebesar 0.954 dan 0.907% dari nilai ekspor sebelumnya, asumsi cateris paribus. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang menjelaskan bahwa populasi negara pengimpor berpengaruh positif pada ekspor hortikultura Indonesia. Tanda pada koefisien populasi dengan ekspor hortikultura mengindikasikan adanya kaitan yang erat antara populasi dengan ekspor hortikultura Indonesia dengan negara tujuannya yaitu ASEAN +3. Populasi negara pengimpor berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap aliran ekspor hortikultura Indonesia. Adanya pertambahan populasi pada negara pengimpor akan meningkatkan jumlah hortikultura yang dapat diekspor karena adanya pertambahan konsumsi di negara tersebut, cateris paribus. Populasi yang bertambah berbanding lurus dengan pertambahan konsumsi suatu produk pada suatu negara. Konsumsi yang meningkat di negara pengimpor, akan meningkatkan jumlah produk hortikultura yang diimpor. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara pengeskpor dapat meningkatkan jumlah ekspornya di negara pengimpor tersebut. Besarnya populasi pada suatu negara menunjukkan potensi pasar yang besar bagi negara pengekspor. Populasi akan menjadi suatu indikasi untuk meningkatkan jumlah ekspor. Sehingga dapat berpengaruh positif. Negara-negara dengan populasi yang besar dapat menjadi sebagai suatu potensi pasar bagi Indonesia untuk dapat lebih dikembangkan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2007) yang menyatakan bahwa populasi digunakan untuk mengukur ukuran negara. Eita (2008) bahwa ukuran populasi dapat meningkatkan perdagangan dan juga menghambat perdagangan. Populasi yang besar di satu sisi dapat mengindikasikan ketersediaan sumber daya yang besar, adanya swasembada, dan mengurangi ketergantungan terhadap perdagangan internasional. Di lain sisi, pasar domestik yang besar atau mendorong populasi dengan pembagian kerja dan menciptakan peluang bagi perdagangan pada
37 berbagai macam barang dan dalam hal ini koefisien variabel populasi dapat menjadi positif. GDP Per kapita Negara Pengimpor Berdasarkan teori ekonomi, GDP Per Kapita merepresentasikan ukuran daya beli masyarakat di suatu negara terhadap barang dan jasa. Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel GDP per kapita negara pengimpor berpengaruh signifikan dengan taraf nyata 5% dengan nilai koefisien untuk ketiga model sebesar 0.578 dan 0.79. Hal ini berarti bahwa peningkatan GDP Per kapita negara pengimpor akan meningkatkan ekspor masing-masing pada ketiga model sebesar 0.578 dan 0.79% antara Indonesia dengan mitra dagangnya, ceteris paribus. Peningkatan GDP per kapita di suatu negara akan secara otomatis dapat meningkatkan daya beli masyarakat di negara tersebut. Peningkatan GDP per kapita negara pengimpor sebesar 1% akan meningkatkan ekspor hortikultura masing-masing sebesar 0.578 dan 0.79%, ceteris paribus. Pendapatan per kapita negara pengimpor ini menunjukkan daya beli konsumen. Daya beli masyarakat negara pengimpor (negara mitra dagang Indonesia) yang semakin tinggi, maka ekspor hortikultura Indonesia akan semakin tinggi pula. Tanda positif pada koefisien sesuai dengan hipotesis penelitian. GDP per kapita dari negara importir mempunyai hubungan yang positif dengan perdagangan bilateral. GDP per kapita negara pengimpor sebagai ukurun dalam mengukur kapasitas absorsi. Peningkatan GDP per kapita negara pengimpor menyebabkan kapasitas absorsinya juga meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan impor. Hasil ini sesuai dengan yang diperoleh Gomel et al. (2012) bahwa estimasi koefisien negara pengimpor positif dan signifikan yang mengindikasikan bahwa ukuran ekonomi mitra dagang sesuai untuk ekspor. Jarak Ekonomi (Distance) Biaya ekspor (biaya transportasi) dalam penelitian ini didekati dengan jarak ekonomi. Jarak ekonomi merupakan salah satu syarat yang cukup penting pada gravity model. Berdasarkan teori gravity ini, jarak berpengaruh negatif terhadap hubungan perdagangan antar wilayah. Hasil estimasi yang diperoleh pada ketiga model menunjukkan bahwa variabel jarak berpengaruh signifikan terhadap taraf nyata 5%. Dengan nilai koefisien masing-masing sebesar 2.003 dan 1.926. Koefisien tersebut bernilai negatif yang sesuai dengan teori atau pun hipotesis pada penelitian ini. Nilai koefisien dengan tanda negatif tersebut berarti apabila jarak dengan negara tujuan ekspor lebih jauh satu persen, maka akan terjadi penurunan ekspor hortikultura sebesar 2.003 dan 1.926. Hal ini sesuai dengan teori gravity dimana jarak mempengaruhi interaksi antara dua objek. Semakin jauh jarak negara tujuan dengan Indonesia maka semakin besar biaya transportasi untuk perdagangan hortikultura dari Indonesia. Hal ini akan menyebabkan semakin berkurangnya jumlah ekspor hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3. Hasil ini didukung oleh hasil dari penelitian Eita (2008) bahwa jarak memiliki koefisien negatif dan konsisten dengan yang diharapkan.
38 Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) Nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara pengimpor hortikultura yang diteliti memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap ekspor hortikultura Indonesia. Hal ini berarti bahwa nilai tukar riil tidak berpengaruh pada ekspor hortikultura. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sejalan dengan Eita (2008) yang memperoleh nilai tukar riil tidak signifikan dan berakibat tidak adanya pengaruh pada ekspor. Hasil estimasi dari ketiga model yang menunjukkan koefisien variabel nilai tukar riil (real_er) bernilai positif, kecuali pada model ketiga koefisien yang dihasilkan negatif. Akan tetapi, probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5% sehingga variabel ini tidak signifikan ataupun tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor hortikultura Indonesia. Nilai tukar yang tidak signifikan ini dapat disebabkan karena negara tujuan umumnya merupakan negara yang tergolong kelompok negara maju atau high income. Dengan demikian, pendapatan yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakatnya tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar. SPS & TBT Estimasi dengan kedua model menunjukkan hasil yang sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Dimana hipotesis menyatakan adanya pengaruh negatif NTM terhadap ekspor hortikultura Indonesia. Pemberlakuan NTM khususnya SPS dan TBT dilakukan sebagai proteksi perdagangan pada suatu negara. SPS dan TBT pada model dengan pendekatan coverage ratio dan frequency index. Pendekatan coverage ratio menunjukkan SPS dan TBT berdampak negatif dan berpengaruh nyata. Frequency index yang digunakan pada model kedua menunjukkan untuk SPS berdampak negatif dan berpengaruh nyata sedangkan untuk TBT tidak berpengaruh nyata. Kedua pendekatan CR SPS, CR TBT, dan FI SPS menunjukkan nilai koefisien masing-masing sebesar 0.006; 0.003; dan 0.006 dengan tanda yang negatif. SPS termasuk regulasi dan hambatan untuk melindungi manusia, hewan, atau tumbuhan hidup atau kesehatan dan lingkungan. TBT untuk menangani semua peraturan teknis lainnya, standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan dengan tujuan non-trade. Sebagai contoh untuk menjamin keamanan, kualitas, dan perlindungan lingkungan, dan lain sebagainya. SPS dan TBT memiliki efek ekonomi yang penting pada perdagangan internasional. UNCTAD (2013) kebijakan SPS dan TBT sering meningkatkan biaya tetap dan marginal perdagangan dan atau biaya produksi. Peraturan SPS dan TBT berdampak negatif pada perdagangan produk hortikultura. Menurut peraturan WTO yang membolehkan adanya pemberlakuan SPS dan TBT didasari dengan alasan yang penting untuk setiap negara mengadopsi peraturan dibawah perjanjian SPS dan TBT ini. Hal ini berhubungan dengan perlindungan manusia, hewan, dan tanaman yang sehat serta lingkungan, satwa liar, dan keamanan bagi manusia. Bagian lain permintaan ekspor untuk produk pertanian adanya peningkatan yang berfokus pada kualitas, pengemasan, pelabelan, dan standar dari produk. Karakteristik-karakteristik tersebut menjadi bagian dari peraturan SPS dan TBT.
39 Dampak NTM Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara ASEAN +3 Suatu negara memberlakukan NTM didasari dengan berbagai alasan baik berdasarkan kondisi ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan. Bidang ekonomi, kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi suatu negara. Kondisi lingkungan, kebijakan dibuat untuk melindungi lingkungan hidup pada negara tersebut. Bagi kesehatan, kebijakan yang diambil untuk melindungi kesehatan manusia, tumbuhan, dan hewan. Pemberlakuan NTM yang bertujuan untuk melindungi kondisi perekonomian, lingkungan, dan kesehatan, produsen dan konsumen dapat lebih terlindungi dalam perdagangan internasional. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang dipikirkan dalam memberlakukan NTM. Misalnya bahaya kesehatan yang mungkin muncul akibat dari produk-produk yang diekspor. Kebijakan yang paling umum dan paling banyak diberlakukan oleh suatu negara yaitu sanitary dan phytosanitary (SPS) dan technical barriers to trade (TBT). Koefisien NTM pada kedua model coverage ratio dan frequency index menunjukkan nilai masing-masing sebesar 0.006; 0.003; dan 0.006. Pengaruh NTM khususnya SPS dan TBT nyata pada level signifikansi 5%. Meskipun memiliki nilai elastisitas yang kecil, namun NTM tetap berpengaruh pada ekspor hortikultura Indonesia. Dengan berpengaruhnya NTM pada ekspor, pemerintah harus mampu memenuhi syarat-syarat yang diberlakukan oleh negara pengimpor atau parner dagang. Sehingga dengan demikian, sektor pertanian khususnya subsektor hortikultura dapat bersaing dan memiliki peran dalam perdagangan pertanian. Pemberlakuan NTM khususnya SPS dan TBT akan menurunkan ekspor hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3 sebesar 0.006 dan 0.003%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Disdier et al. (2008) yang menyatakan bahwa koefisien estimasi yang diteliti adalah negatif dan signifikan. Hasil yang diperoleh Disdier et al. (2008) dengan melakukan penelitian yang mengkaji efek perdagangan kebijakan SPS dan TBT pada produk tropis. Perjanjian SPS dan TBT memiliki keistimewaan implikasi yang penting dalam perdagangan. Meskipun diakui adanya hak negara anggota untuk mengadopsi peraturan yang berpotensi mempengaruhi perdagangan internasional. Perjanjian ini memberlakukan tiga jenis disiplin dalam peraturan tersebut. UNCTAD (2013) ketiga jenis displin dalam peraturan tersebut adalah (1) pada proses adopsi kebijakan dan implementasinya; (2) pada proporsionalitasnya dalam mencapai tujuan yang diharapkan; dan (3) sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan ketentuan/kebijakan SPS umumnya lebih banyak digunakan pada sektor pertanian dan produk yang berasal dari hewan. Sebagai contoh pengawasan pada produk-produk tersebut yang sangat penting untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan konsumen dan perlindungan lingkungan. Di sisi lain, TBT dapat diterapkan pada satu set produk yang lebih luas dan ditemukan keseragaman dalam penerapannya di seluruh sektor ekonomi. TBT tidak hanya diterapkan di sektor pertanian, tetapi juga dalam industri tekstil, alas kaki, makanan olahan, dan bahan kimia. Pentingnya NTM bukan hanya dari ada tidaknya tetapi juga dampak nyata terhadap perdagangan internasional. Kebijakan SPS dan TBT memiliki efek ekonomi yang penting pada perdagangan internasional. Misalnya dengan
40 pemberlakuannya kebijakan tersebut pada produk hortikultura, maka akan meningkatkan biaya tetap perdagangan dan biaya produksi. Hal ini dapat terlihat dari hasil estimasi pada model, dimana jarak menunjukkan hubungan negatif dengan ekspor hortikultura Indonesia. Jarak merupakan salah satu pendekatan/parameter yang digunakan dalam mengukur biaya perdagangan. Hortikultura Indonesia masih diperhadapkan dengan berbagai masalah yang cukup kompleks. Mulai dari masalah produktivitas, lokasi, skala usaha, transportasi, hingga kebijakan dan regulasi di bidang perbankan. Kendala dan permasalahan tersebut terkait dalam upaya meningkatkan produksi, mutu dan daya saing produk hortikultura. Daya saing produk dipengaruhi oleh harga dan kualitas dari produk tersebut. Produk yang berkualitas dengan harga yang murah akan lebih disukai oleh konsumen, baik itu produk dari dalam maupun luar negeri. Perdagangan bebas saat ini semakin terintegrasi antar satu negara dengan negara lain, oleh karenanya daya saing produk hortikultura perlu ditingkatkan lebih intensif lagi. Pemerintah juga perlu memperhatikan beberapa isu yang sedang berkembang khususnya yang terkait dengan integrasi ekonomi dan perdagangan. Sebagai langkah dalam mengatasi kendala dan masalah yang dihadapi, pemerintah membuat pendekatan dengan pengembangan hortikultura secara terpadu dan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Langkah ini lebih dikenal dengan istilah enam pilar pengembangan hortikultura. Enam pilar ini merupakan fokus kegiatan prioritas dalam mengembangkan hortikultura yang dilaksanakan secara simultan dan terintegrasi antar pusat, provinsi, dan kabupaten. Dengan demikian pelaku usaha (swasta/pengusaha) mempunyai akses yang lebih mudah dalam mengembangkan hortikultura. Keenam pilar kegiatan pengembangan hortikultura tersebut adalah: 1.Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura; 2. Penataan manajemen rantai pasokan (supply chain management); 3. Penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agricultural Practices/GAP) dan Standard Operating Procedure (SOP); 4. Fasilitasi terpadu investasi hortikultura; 5. Pengembangan kelembagaan usaha; 6. Peningkatan konsumsi dan akselerasi ekspor.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Perdagangan hortikultura Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup baik selama tahun 2007 sampai 2011. Kinerja perdagangan pada tahun 2012 menunjukkan kondisi yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ekspor produk hortikultura yang terbanyak pada kelompok buah-buahan dan sayuran dengan negara tujuan ASEAN +3. Arus ekspor hortikultura Indonesia yang paling besar adalah ke Singapura. 2. Non tariff measures yaitu sanitary and phytosanitray (SPS) dan technical barriers to trade (TBT) yang dikenakan oleh negara ASEAN +3 pada produk hortikultura diberlakukan pada seluruh kelompok hortikultura. Kelompok
41 hortikultura yang paling banyak terkena NTM adalah kelompok buah-buahan. Negara ASEAN +3 yang memberlakukan NTM paling banyak adalah Jepang. NTM yang digunakan pada negara ASEAN +3 lebih banyak adalah SPS. Singapura merupakan negara yang tidak memberlakukan SPS dan TBT. 3. Pendapatan perkapita negara pengimpor, populasi negara pengimpor, dan jarak ekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perdagangan ekspor hortikultura Indonesia. Jarak ekonomi berpengaruh negatif pada ekspor hortikultura Indonesia. Sementara nilai tukar riil tidak berpengaruh pada ekspor hortikultura Indonesia. SPS dan TBT baik dengan menggunakan pendekatan coverage ratio maupun frequency index memiliki pengaruh pada ekspor hortikultura Indonesia. SPS dan TBT berpengaruh negatif pada ekspor hortikultura Indonesia ke negara ASEAN +3 dengan nilai yang tidak terlalu besar yaitu 0.006 dan 0.003.
Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka ada beberapa hal yang dapat disarankan yaitu: 1. Upaya untuk mematuhi persyaratan/ketentuan SPS dan TBT oleh setiap negara harus saling mendukung. Hal ini dikarenakan SPS dan TBT tidak dapat dihilangkan atau mungkin dikurangkan, maka setiap negara ASEAN +3 harus mampu saling mendukung salam pemenuhan persyaratan SPS dan TBT. Ketentuan mengenai SPS dan TBT dipelihara dan diperkuat dengan saling membantu dalam menerapkan dan mengambil keuntungan dari perjanjian tersebut. 2. Pemerintah sebaiknya mendukung pelaku usaha agribisnis hortikultura. Misalnya dengan memberikan sosialisasi yang lebih efektif dalam pemenuhan syarat SPS dan TBT. Mengatasi mutu produksi yang rendah atau tidak sesuai standar internasional dengan menggiatkan sosialisasi terkait dengan system penjaminan mutu, penerapan teknologi, teknik pengendalian hama dan penyakit. 3. Pembuat kebijakan dalam hubungannya dengan ekspor produk hortikultura, sebaiknya mempertimbangkan karakteristik dari SPS dan TBT ketika merancang program-program yang akan dilaksanakan ke depannya. Selain itu, petani harus mampu menyiasati atau pun memenuhi syarat-syarat yang diberlakuan oleh negara tujuan ekspor. Dengan demikian, diharapkan petani dapat berproduksi sesuai dengan tuntutan pasar.
Saran Penelitian Lanjutan 1. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan spesifik komoditi ekspor hortikultura Indonesia atau salah satu dari keempat kelompok hortikultura. Memilih komoditi yang spesifik yaitu misalnya komoditi andalan dari subsektor hortikultura. Penelitian tersebut mungkin dapat dilakukan dengan model analisis time series, cross section, bahkan data panel. Sehingga dengan demikian dapat lebih mendetail hasil yang diperoleh.
42 2. Model pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu coverage ratio dan frequency index. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan metode pendekatan lain yang tersedia. Sehingga dapat diperoleh perbandingan dari metode-metode yang digunakan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan, Bogor: IPB Pr. Aloka B, Wijerathne B, Weerahewa J. 2009. Impacts of Non Tariff Measures (NTMs) on Agricultural Exports: A Gravity Modeling Approach. Asia – Pacific Trade Economists Conference. Srilanka: ESCAP. Anderson J-E. 2011. The Gravity Model. Boston College and NBER. Badan Pusat Statistik [BPS]. 2012. Pengeluaran Per Kapita. Publikasi BPS. Jakarta. . 2013. Produksi Hortikultura. Diunduh pada 18 November 2013. Tersedia di www.bps.go.id Beghin J-C. 2013. Non-Tariff Measures with Market imperfections: Trade and Welfare Implications. Journal.Volume 12 in Frontiers of Economics and Globalization.Emerald Press. Bora B., Kuwahara A. dan Laird S. 2002. Quantification of Non-Tariff Measures. Policy Issues In International Trade And Commodities. UNCTAD: Geneva. Carbaugh R-J. 2005. International Economics. United States: Thomson SouthWestern. Chen C., Yang J., Findlay C. 2008. Measuring the effect of food safety standards on China’s agricultural exports. Review of World Economics. Deardoff, Alan V., dan Robert M. Stern. 1997. “Measurement of Non-Tariff Barriers.” [internet]. Michigan (US): OECD Economics Department Working Papers No. 179, OECD Publishing. [diunduh pada 25 Maret 2013]. Tersedia di http://dx.doi.org/10.1787/568705648470. Disdier A-C., Fekadu B., Murillo C.., Wong, S. 2008. Trade Effects of SPS and TBT Measures on Tropical and Diversification Products. ICTSD Project on Tropical Products, Issue Paper no. 12, International Centre for Trade and Sustainable Development, Geneva, Switzerland. Disdier A-C., Lionel F., Mondher M., 2007. The Impact of Regulations on Agricultural Trade: Evidence from SPS and TBT Agreements. Working Paper 06/22. Agricultural Trade Agreements. http://tradeag.vtamib.com. Eita J-H., 2008. Determinants of Namibian Exports: A Gravity Model Approach. University of Namibia. Windhoek. Namibia. Fontagne L., Mondher M., Pastells J-M., 2005. Estimating the Impact of Environmental SPS and TBT on International Trade. Intergration and Trade Journal. Gomel F, Nihal T, Tune D, 2012. The effect of international standards on Turkish export flows to the EU Countries. Turkey.
43 Halwani H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Head K. 2003. Gravity for Beginners. University of Columbia. Canada. Henson S dan Loader R., 2001. Barriers to Agricultural Exports from Developing Countries: The Role of Sanitary and Phytosanitary Requirements. World Development Vol 29. No. 1. www.elsevier.com/locate/worlddev. Husted S. dan Melvin M., 2010. International Economics eighth edition. United States: Addison-Wesley. Ibrahim. 2012. Petunjuk Umum Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Produk Hortikultura Berkelanjutan TA 2013. Jakarta: Direktorat Jenderal Hortikultura. International Trade Center [ITC]. 2013. Trinidad and Tobago: Company Perspectives – An ITC Series on Non-Tariff Measures. Geneva. Kien N-T. 2009. Gravity Model by Panel Data Approach: An Empirical Application with Implications for the ASEAN Free Trade Area. ASEAN Economic Bulletin, Vol 26, No. 3. Lema D., Iglesias D., Santini J., Tapia C., Ghezan G., 2011. Impact Assessment of the non-tariff measures (NTM) upon international lemon trade. Working Paper 11/09. www.ntm-impact.com. Lindert P-H., Kindleberger C-P., Abdullah B., 1993. Ekonomi Internasional edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga. Malian A. H. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian. Jurnal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Mellado A-G., Sophie H., Rau M-L., Monika T., 2010. Non-tariff measures affecting agro-food trade between the EU and Africa. Summary of Workshop. European Commission Join Research Centre. Institute for Prospective Technological Studies. European Union. Nguyen B-X. 2010. The Determinants of Vietnamese Export Flows: Static and Dynamic Panel Gravity Approaches. International Graduate School of Social Sciences. Yokohama National University. International Journal of Economics and Finance. www.ccenet.org/ijef. Pacific Economic Cooperation Council [PECC]. 2000. Non tariff measures in goods and services trade. [diunduh pada 1 April 2013]. Tersedia di http://www.pecc.org/resources/doc_view. Prabowo D W. 2006. Dampak Kebijakan Perdagangan terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara-negara Importir Dunia. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Purwanto. 2011. Dampak Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara ASEAN +3. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga. UNCTAD. 2013. Non Tariff Measures to Trade: Economic and Policy Issues for Developing Countries. Switzerland. Geneva. Yuniarti. 2007. Analisis Determinan Perdagangan Bilateral Indonesia Pendekatan Gravity Model. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2. World Integrated Trade Solution [WITS]. Data Ekspor Impor 2000-2012. [terhubung berkala]. http://wits.worldbank.org/wits/.
44
LAMPIRAN
45
Lampiran 1 Cakupan Kode HS Hortikultura HS 2002 (Selected Classification) 06 Live tree & other plant; bulb, root; cut flowers 0601 Bulbs, tubers, tuberous roots, corms, crowns and rhizomes, dormant, in growth or in flower; chicory plants and roots other than roots of heading 12.12. 0602 Other live plants (including their roots), cuttings and slips; mushroom spawn. 0603 Cut flowers and flower buds of a kind suitable for bouquets or for ornamental purposes, fresh, dried, dyed, bleached, impregnated or otherwise prepared. 0604 Foliage, branches and other parts of plants, without flowers or flower buds, and grasses, mosses and lichens, being goods of a kind suitable for bouquets or for ornamental purposes, fresh, dried, dyed, bleached, impregnated or otherwise prepared. 07 0701 0702 0703 0704 0705 0706 0707 0708 0709 0710 0711
0712 0713 0714
Edible vegetables and certain roots and tubers. Potatoes, fresh or chilled. Tomatoes, fresh or chilled. Onions, shallots, garlic, leeks and other alliaceous vegetables, fresh or chilled. Cabbages, cauliflowers, kohlrabi, kale and similar edible brassicas, fresh or chilled. Lettuce (Lactuca sativa) and chicory (Cichorium spp.), fresh or chilled. Carrots, turnips, salad beetroot, salsify, celeriac, radishes and similar edible roots, fresh or chilled. Cucumbers and gherkins, fresh or chilled. Leguminous vegetables, shelled or unshelled, fresh or chilled. Other vegetables, fresh or chilled. Vegetables (uncooked or cooked by steaming or boiling in water), frozen. Vegetables provisionally preserved (for example, by sulphur dioxide gas, in brine, in sulphur water or in other preservative solutions), but unsuitable in that state for immediate consumption. Dried vegetables, whole, cut, sliced, broken or in powder, but not further prepared. Dried leguminous vegetables, shelled, whether or not skinned or split. Manioc, arrowroot, salep, Jerusalem artichokes, sweet potatoes and similar roots and tubers with high starch or inulin content, fresh, chilled, frozen or dried, whether or not sliced or in the form of pellets; sago pith.
08 Edible fruit and nuts; peel of citrus fruit or me 0801 Coconuts, Brazil nuts and cashew nuts, fresh or dried, whether or not shelled or peeled. 0802 Other nuts, fresh or dried, whether or not shelled or peeled.
46
0803 Bananas, including plantains, fresh or dried. 0804 Dates, figs, pineapples, avocados, guavas, mangoes and mangosteens, fresh or dried. 0805 Citrus fruit, fresh or dried. 0806 Grapes, fresh or dried. 0807 Melons (including watermelons) and papaws (papayas), fresh. 0808 Apples, pears and quinces, fresh. 0809 Apricots, cherries, peaches (including nectarines), plums and sloes, fresh. 0810 Other fruit, fresh. 0811 Fruit and nuts, uncooked or cooked by steaming or boiling in water, frozen, whether or not containing added sugar or other sweetening matter. 0812 Fruit and nuts, provisionally preserved (for example, by sulphur dioxide gas, in brine, in sulphur water or in other preservative solutions), but unsuitable in that state for immediate consumption. 0813 Fruit, dried, other than that of headings Nos. 08.01 to 08.06; mixtures of nuts or dried fruits of this Chapter. 0814 Peel of citrus fruit or melons (including watermelons), fresh, frozen, dried or provisionally preserved in brine, in sulphur water or in other preservative solutions. 0910 Ginger, saffron, turmeric (curcuma), thyme, bay leaves, curry and other spices.
47
Lampiran 2 Neraca perdagangan beberapa produk hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 tahun 2010-2012 (000 USD) Bulan No
Pertumbuhan (%)
Komoditi Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
1
Kentang (segar)
-2 247.58
-2 376.91
-2 741.28
-6 476.42
-2 920.44
-4 314.27
-3 843.98
-2 335.74
-5 532.63
-1 516.87
50.26
-2 000.74
-365.41
2
Kentang (olahan)
-2 804.70
-3 053.37
-3 777.31
-8 467.83
-4 148.68
-4 133.12
-7 195.37
-4 414.76
-8 036.54
-3 599.44
-3 369.28
-2 807.50
13.14
3
Bawang Merah (segar)
-2 368.59
-12 727.60
-11 643.07
-17 215.73
-5 687.91
-1 816.55
1 792.58
1 089.94
1 528.12
1 835.97
132.6
-587.31
-42.87
4
Bawang Putih (segar)
-17 239.31
-19 526.36
-15 990.76
-40 305.19
-16 955.69
-17 240.85
-20 355.11
-24 286.02
-45 381.66
-9 630.90
-19 347.81
-12 024.15
18.13
5
Bawang Putih (olahan)
-1 424.71
-750.34
-1 122.85
-2 173.17
-975.38
-660.99
-947.03
-557.45
-1 143.44
-737.92
-660.53
-280.89
1.12
6
Wortel (segar)
-4 473.65
-3 023.29
-4 007.33
-5 617.27
-1 182.04
-3 033.42
-3 271.81
-1 194.03
-2 072.76
-2 139.84
-2 845.37
-1 806.83
12.33
7
Jeruk (segar)
-52 050.15
-22 408.01
-29 969.91
-64 573.39
-19 975.93
-3 861.28
-5 982.55
-5 614.23
-6 321.14
-3 549.86
-10 850.61
-11 159.90
15.32
8
Jeruk (olahan)
-1 080.88
-1 511.99
-1 211.92
-3 261.40
-1 505.20
-2 749.79
-1 128.16
-1 312.95
-1 934.25
-949.94
-1 450.87
-743.26
15.98
-5 769.37
-5 013.05
-11 168.31
-22 472.80
-12 302.44
-6 263.90
-13 525.04
-12 624.27
-8 871.56
-6 885.06
-9 522.95
-1 752.57
11.86
-318.85
-481.08
-790.71
-1 419.59
-717.69
-983.65
-915.43
-492.02
-872.48
-941.01
-725.54
-714.96
17.28
-9 084.63
-8 937.28
-16 165.06
-28 020.66
-18 111.52
-18 065.63
-20 352.14
-15 283.10
-14 327.95
-10 778.38
-19 917.37
-7 625.82
8.8
-373.28
-408.21
-249.44
-624.99
-419.03
-414.54
-378.54
-261.97
-134.82
-297.29
-141.87
-28.95
-1.13
9
Anggur (olahan)
10
Anggur (segar)
11
Apel (segar)
12
Apel (olahan)
13
Durian (segar)
14
Lengkeng (segar)
15
Lengkeng (olahan)
16
Jahe (segar)
17
Jahe (olahan) TOTAL
-282.23
-268.45
-1 205.42
-6 923.11
-7 827.28
-4 950.19
-1 306.43
-2 782.62
-3 336.18
-645.68
-250.36
-240.38
64.38
-8 063.54
-7 766.40
-3 926.64
-8 862.04
-3 541.36
-5 696.51
-33 791.35
-37 703.58
-16 138.73
-8 556.36
-5 080.24
-3 315.49
36.24
-193.63
-92.87
-168.81
-227.48
-170.86
-294.77
-167.18
-93.2
-976.71
-171.53
-88.43
0
67.43
-2 323.65
-1 092.41
-2 865.95
-5 432.29
-844
-427.33
-980.02
-803.16
-805.73
-548.87
-979.75
-1 423.60
24.42
17.92
18.05
11.18
-36.36
6.83
-35.19
6.93
17.44
94.63
113.5
-9.54
19.55
-101.42
-110 080.83
-89 419.56
-106 993.59
-222 109.70
-97 278.62
-74 941.97
-112 340.62
-108 651.71
-114 263.83
-48 999.49
-75 057.66
-46 492.78
3.55
48
Lampiran 3 Kinerja Ekspor Impor Hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 berdasarkan kelompok komoditi tahun 2012 (000 USD) Negara
Cina
Jepang
Korea
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
Total
Kelompok Komoditi Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat
Ekspor 6 620.197 9 009.075 18 561.102 3.486 6 426.993 18 248.894 146.169 1 095.817 1 824.127 3 638.379 1 292.970 300.795 1 546.668 8 128.577 21 924.318 2 978.173 0 8 519.245 237.815 25.595 1 542.798 16 863.700 53 317.037 853.966 1 032.332 6 650.437 4 650.116 10.419 21 916.565 88 210.092 309 786.673 7 357.575
Impor 639.864 306 133.640 409 737.863 12 664.358 15.17 101.707 38.324 0.311 0 810.855 746.183 25.491 4 255.760 10 192.873 2 248.865 2 080.558 128.973 2 450.294 813.422 0 0 1 974.887 1 185.126 0 13.124 21 796.844 169 308.622 308.045 5 066.924 384 329.076 61 8710.91 17 857.145
Neraca 5 980.333 -297 124.565 -391 176.761 -12 660.872 6 411.823 18 147.187 107.845 1 095.506 1 824.127 2 827.524 546.787 275.304 -2 709.092 -2 064.296 19 675.453 897.615 -128.973 6 068.951 -575.607 25.595 1 542.798 14 888.813 52 131.911 853.966 1 019.208 -15 146.407 -164 658.506 -297.626 16 849.641 -296 118.984 -308 924.237 -10 499.57
49
Lampiran 4 Trade Balance Hortikultura Indonesia ke negara-negara ASEAN +3 berdasarkan kelompok komoditi tahun 2010-2012 (000 USD) Negara
Cina
Indonesia
Jepang
Korea
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
Kelompok Komoditi Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat Tan. Hias Sayuran Buah-buahan Tan. Obat
Sumber: UNCOMTRADE 2013
2010
2011
2012
1 167.784 -263 774.685 -360 467.555 -655.823 0 -269.431 -4.163 0 4 750.476 13 465.444 393.026 1 024.773 1 829.263 5 846.777 -273.506 810.581 -1 108.961 -2 738.839 11 842.527 1 075.551 0 2 368.468 -1 142.322 18.663 1 244.747 13 538.314 59 482.243 616.592 120.221 -13 459.915 -98 658.364 -4.218
5 395.089 -320 145.830 -386 025.251 -10 971.286 0 -160.030 -116.380 -5.550 5 582.318 17 208.070 66.670 914.666 1 622.074 6 427.666 12.389 260.842 -1 936.668 -6 460.639 25 565.062 -1 744.747 -28.736 2 176.924 -1 281.983 -56.420 -927.420 15 280.284 47 416.000 825.313 172.237 -394 58.991 -124 246.44 -238.193
5 980.333 -297 124.565 -391 176.761 -12 660.872 0 -85.261 -286.364 0 6 411.823 18 147.187 107.845 1 095.506 1 824.127 2 827.524 546.787 275.304 -2 709.092 -2 064.296 19 675.453 897.615 -128.973 6 068.951 -575.607 25.595 1 542.798 14 888.813 52 131.911 853.966 1 019.208 -15 146.407 -164 658.506 -297.626
50
Lampiran 5 Uji Asumsi Dasar 1. Uji Normalitas Model 1 : CR SPS dan TBT 5
Series: Standardized Residuals Sample 2010 2012 Observations 21
4
3
2
1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
0.000828 0.128890 0.495035 -0.528757 0.369065 -0.289443 1.487920
Jarque-Bera Probability
2.293808 0.317619
0 -0.6
-0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
Model 2: FI SPS dan TBT 6
Series: Standardized Residuals Sample 2010 2012 Observations 21
5
4
3
2
1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-0.007008 0.106369 0.510457 -0.557205 0.365525 -0.359522 1.593288
Jarque-Bera Probability
2.183881 0.335565
0 -0.6
-0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
0.6
Berdasarkan nilai prob 0,317 dan 0,335 > α (0,05) sehingga dapat disimpulkan tolak H0 (residual tersebar normal) 2. Autokorelasi H0 : Tidak ada korelasi H1 : Ada korelasi H0 tidak ditolak jika ρ value obs R square < α atau nilai ρ value dari Durbin Watson terletak pada du < dw < 4 - du Kesimpulan : Karena ρ value Durbin Watson 2.56; 2.54; dan 2.7 sementara du 1.96. Berdasarkan hasil perhitungan ini dapat disimpulkan bahwa ada korelasi.
51
3. Multikolinearitas
Model 1: CR SPS dan TBT POPULASI POPULASI 1.000000 GDPC -0.481951 DISTGDP 0.765706 REAL_ER -0.009647 CRSPS 0.584375 CRTBT 0.459456
GDPC -0.481951 1.000000 -0.026846 -0.096209 -0.747723 -0.841280
DISTGDP 0.765706 -0.026846 1.000000 -0.460254 0.187444 0.135235
REAL_ER -0.009647 -0.096209 -0.460254 1.000000 -0.032627 -0.129227
CRSPS 0.584375 -0.747723 0.187444 -0.032627 1.000000 0.621343
CRTBT 0.459456 -0.841280 0.135235 -0.129227 0.621343 1.000000
GDPC -0.481951 1.000000 -0.026846 -0.096209 -0.114175 -0.398061
DISTGDP 0.765706 -0.026846 1.000000 -0.460254 0.195058 -0.043884
REAL_ER -0.009647 -0.096209 -0.460254 1.000000 -0.056515 -0.014118
FISPS 0.405581 -0.114175 0.195058 -0.056515 1.000000 0.720345
FITBT 0.289165 -0.398061 -0.043884 -0.014118 0.720345 1.000000
Model 2: FI SPS dan TBT POPULASI POPULASI 1.000000 GDPC -0.481951 DISTGDP 0.765706 REAL_ER -0.009647 FISPS 0.405581 FITBT 0.289165
Dikarenakan nilai korelasi antar variabel bebas > 0,8 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multukolinearitas antara variabel bebas. 4. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas dilihat dengan membandingkan nilai sum square residu weight < sum square residu unweight. Jika terjadi, maka harus dilakukan dengan metode POLS lain, sehingga heteroskedastisitas dapat diabaikan. Model 1: CR SPS dan TBT Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.976833 0.966905 0.441119 98.38597 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
25.30249 20.26723 2.724200 2.725957
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid Model 2: FI SPS dan TBT
0.820624 2.769988
Mean dependent var 9.943221 Durbin-Watson stat 3.215556
52
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.968445 0.954922 0.436971 71.61230 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
22.62738 14.14443 2.673207 2.700566
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.807576 2.971471
Mean dependent var 9.943221 Durbin-Watson stat 3.104453
53
Lampiran 6 Penetapan Model Terbaik Model 1: CR SPS dan TBT Dependent Variable: EKSPOR Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 12/23/13 Time: 09:57 Sample: 2010 2012 Periods included: 3 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 21 Linear estimation after one-step weighting matrix White period standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C POPULASI GDPC DISTGDP REAL_ER CRSPS CRTBT
2.556255 0.954276 0.578274 -2.003754 -0.169389 -0.006398 -0.003490
1.013330 0.036722 0.013288 0.069119 0.257689 0.000452 0.000408
2.522629 25.98660 43.51963 -28.99007 -0.657338 -14.16957 -8.563764
0.0244 0.0000 0.0000 0.0000 0.5216 0.0000 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.976833 0.966905 0.441119 98.38597 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
25.30249 20.26723 2.724200 2.725957
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.820624 2.769988
Mean dependent var Durbin-Watson stat
9.943221 3.215556
54
Model 2: FI SPS dan TBT Dependent Variable: EKSPOR Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 12/23/13 Time: 09:59 Sample: 2010 2012 Periods included: 3 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 21 Linear estimation after one-step weighting matrix White period standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C POPULASI GDPC DISTGDP REAL_ER FISPS FITBT
-2.669038 0.907082 0.790793 -1.926405 0.558232 -0.006274 0.000211
2.009129 0.098579 0.058725 0.198469 0.658532 0.001472 0.000343
-1.328455 9.201574 13.46609 -9.706349 0.847691 -4.263093 0.614298
0.2053 0.0000 0.0000 0.0000 0.4109 0.0008 0.5489
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.968445 0.954922 0.436971 71.61230 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
22.62738 14.14443 2.673207 2.700566
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.807576 2.971471
Mean dependent var Durbin-Watson stat
9.943221 3.104453
55
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Darmiati Dahar, dilahirkan di Makassar pada tanggal 18 Agustus 1986 dari pasangan Muh. Dahar Mangngungjungi dan Runciasmi Daming. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Inpres Mamajang Bertingkat I pada tahun 1992 sampai dengan 1998, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 24 Makassar pada tahun 1998 sampai dengan 2001, dan Sekolah Menengah Umum Negeri 11 Makassar pada tahun 2001 sampai dengan 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Hasanuddin Makassar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2008 dengan judul skripsi “Analisis Manajemen Usaha Pemasaran Kakao Studi Kasus Pada PT. Coklat Murni Jl. Sultan Abdullah No. 5 Kel. Pannampu, Kota Makassar, Sulawesi Selatan). Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai tenaga pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo. Pada tahun 2011 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Untuk penyelesaian tugas akhir tesis, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dampak Kebijakan Non Tarif terhadap Kinerja Ekspor Hortikultura Indonesia ke Negara-negara ASEAN +3”.