Analisis Dampak IJEPA Terhadap Indonesia Dan Jepang1 Sigit Setiawan2 1
Peneliti pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Jl. Dr. Wahidin 1 Jakarta 10710. E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini merupakan suatu analisis dari dampak kesepakatan perdagangan barang IJEPA terhadap Indonesia dan Jepang. Pendekatan dengan metode analisis ekonometrik digunakan untuk menilai pengaruh dari IJEPA terhadap kedua pihak dari dua sisi : kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional dan pertumbuhan kontribusi tersebut. Kesimpulan yang diperoleh adalah secara makro, Indonesia maupun Jepang sama-sama memetik manfaat dari pemberlakuan IJEPA. Namun demikian, Indonesia menerima tingkat manfaat yang lebih besar dari Jepang dari sisi naiknya kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional secara nominal dan persentase, serta berlipat gandanya tingkat pertumbuhan ekspor. Kata Kunci : kawasan perdagangan bebas, perdagangan preferensial, ekspor, analisis dampak
Abstract The study is an impact assessment of IJEPA trade agreement in goods toward Indonesia and Japan. The econometric analysis approach has been used to assess the impact of IJEPA toward the two countries from two sides : export contribution to national income and the export contribution growth. The result is at macro level, both Indonesia and Japan took benefits of IJEPA. Yet, Indonesia received more benefits than Japan from the increased export contribution to national income by amount and by percentage, and from leverage toward the export contribution.
Keyword : free trade area, perdagangan preferensial, export, impact assessment JEL Classification : F13, F15, F17
1
Telah dipublikasikan sebelumnya dalam Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis Volume 17 No. 2 Tgl. 2 Agustus 2012 Peneliti pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Jl. Dr. Wahidin 1 Jakarta 10710. E-mail :
[email protected] 2
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesepakatan perdagangan bebas dalam bingkai kesepakatan kerjasama ekonomi secara bilateral yang pertama kali Indonesia lakukan dengan negara mitra adalah IJEPA (IndonesiaJapan Economic Partnership Agreement). Perjanjian tersebut disusun guna menghasilkan manfaat bagi kedua pihak secara fair, seimbang, dan terukur melalui liberalisasi akses pasar, fasilitasi, dan kerjasama melalui pengembangan kapasitas untuk sektor-sektor industri prioritas. Terdapat 11 bidang yang dicakup dalam kesepakatan IJEPA antara lain perdagangan barang, pengaturan terkait asal barang dan prosedur kepabeanan. Penandatanganan perjanjian tersebut telah dilakukan oleh baik kepala negara Indonesia dan Jepang pada tanggal 20 Agustus 2007 di Jakarta. Dalam sektor perdagangan barang IJEPA, Indonesia dan Jepang sama-sama menyepakati adanya konsesi khusus yang diberikan. Konsesi tersebut berupa penghapusan atau penurunan tarif bea masuk dalam tiga klasifikasi : fast–track, normal track, dan pengecualian, dengan memasang rambu-rambu tindakan pengamanan (emergency and safeguard measures) untuk mencegah kemungkinan dampak negatifnya terhadap industri domestik. Untuk produk klasifikasi fast-track, persentase tertentu dari total pos tarif akan diturunkan ke 0% pada saat berlakunya IJEPA. Bagi produk klasifikasi normal-track, tarif diturunkan menjadi 0% pada jangka waktu tertentu yang bervariasi dari minimal tiga tahun hingga maksimal 10 tahun (bagi Jepang) atau 15 tahun (bagi Indonesia) sejak berlakunya IJEPA bagi persentase tertentu dari total pos tarif. Di samping konsesi tarif tersebut, diatur pula suatu skema konsesi tarif khusus bagi sektor-sektor industri tertentu dan kompensasinya melalui fasilitasi pusat pengembangan industri manufaktur. Neraca perdagangan antara Indonesia dan Jepang pada tahun 2010 mencatat surplus bagi Indonesia sebesar US$ 8,7 miliar. Angka surplus ini merupakan peningkatan sebesar 8,9% dibandingkan surplus perdagangan tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 9,6 miliar. Pada tahun 2010 nilai perdagangan kedua negara secara keseluruhan telah mencapai angka US$ 42,3 miliar. Indonesia mengekspor ke Jepang sebesar US$ 25,5 miliar dan mengimpor dari Jepang sebesar US$ 16,8 miliar. Nilai total perdagangan tersebut merupakan kenaikan sebesar 45,6% dibanding total perdagangan pada tahun 2009 sebesar US$ 29 miliar. Sementara itu pada periode Januari-Oktober 2011, total perdagangan kedua negara telah berjumlah US$ 43,8 miliar atau naik 27% dibanding periode yang sama pada tahun 2010 sebesar US$ 34,4 miliar. Nilai total perdagangan antar kedua negara menunjukkan kecenderungan positif, di mana rata-rata pertumbuhannya selama lima tahun terakhir (20062010) tercatat sebesar 8,4%. Perjanjian kemitraan IJEPA menyepakati pemberian keistimewaan tarif oleh kedua pihak. Dari pihak Indonesia, keistimewaan yang diberikan kepada Jepang adalah dengan memberikan perlakuan khusus tarif di 93% dari jumlah pos tarif tahun 2006 yang sebanyak 11.163 pos tarif. Ekspor Jepang ke Indonesia dalam pos-pos tarif khusus tersebut telah mencakup 93% dari nilai ekspor Jepang ke Indonesia. Untuk produk klasifikasi fast-track, sekitar 35% dari pos tarif akan diturunkan hingga 0% pada saat berlakunya IJEPA. Untuk produk klasifikasi normal track, sekitar 58% dari pos tarif secara bertahap akan diturunkan menjadi 0% dalam masa tiga hingga 15 tahun sejak berlakunya IJEPA. Sisanya yang 7% merupakan produk yang dikecualikan dari pos tarif IJEPA.
1
Jepang memberikan kepada Indonesia perlakuan khusus tarif di lebih dari 90% dari pos tarif Jepang yang berjumlah 9.275 (tahun 2006). Ekspor Indonesia ke Jepang pada pospos tarif tersebut mencakup 99% dari nilai ekspor Indonesia ke Jepang. Untuk produk klasifikasi fast-track, sekitar 80% dari total pos tarif akan diturunkan ke 0% pada saat berlakunya IJEPA. Sementara itu, untuk produk-produk dalam klasifikasi normal track sekitar 10% dari total pos tarif akan diturunkan hingga 0% secara bertahap dalam waktu tiga hingga sepuluh tahun sejak berlakunya IJEPA. Sedangkan 10% sisanya akan dikecualikan dari skema tarif IJEPA. Di luar skema tarif preferensial terdapat skema khusus yang diperjanjikan antara Indonesia dan Jepang di mana skema semacam itu tidak ada dalam ASEAN-China FTA dan ASEAN-Korea FTA. Indonesia bersedia memberikan fasilitas User Spesific Duty Free Scheme (USDFS) dengan imbalan fasilitas Manufacturing Industry Development Center (MIDEC) dari Jepang. IJEPA sebagai salah satu bentuk FTA khusus telah berlangsung efektif hampir mencapai empat tahun, dan karenanya menarik untuk dikaji dampaknya sejauh ini bagi perekonomian Indonesia dan Jepang. Adapun tujuan dari penilaian dampak suatu FTA adalah untuk mengetahui apakah tujuan suatu FTA dapat dipenuhi (Plummer 2010). Salah satu bidang perjanjian yang penting untuk dievaluasi dampaknya atau perlu dilakukan penilaian dampak adalah bidang atau sektor perdagangan barang IJEPA.
1.2 Tujuan, dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur dan menganalisis pengaruh atau dampak dari keikutsertaan Indonesia dan Jepang dalam perjanjian perdagangan barang IJEPA dari sisi kontribusi ekspor bagi pendapatan nasional dan peningkatan pertumbuhan kontribusi ekspor tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam pencapaian tujuan penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif ekonometrika. Temuan-temuan dari kajian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan pemerintah di sektor perdagangan barang dalam kerangka IJEPA, khususnya pengaruhnya terhadap Indonesia dan Jepang dari sisi kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional dan peningkatan pertumbuhannya.
1.3 Penelitian Terdahulu Studi Llyod dan MacLaren (2004) menjelaskan bahwa pendapatan nasional merupakan salah satu dari tiga variabel endogen yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan penilaian dampak suatu free trade agreement (FTA) terhadap negara-negara anggota dan non-anggota. Selanjutnya, hasil kajian yang dilakukan oleh tim peneliti OECD yang beranggotakan antara lain Philippa Dee (2011) berjudul “The Impact of Trade Liberalisation on Jobs and Growth” menyimpulkan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan (antara lain free trade agreement/FTA, preferential trade agreement/PTA, kesatuan kepabeanan, pasar bersama) akan meningkatkan keterbukaan pasar yang pada gilirannya akan berkontribusi positif terhadap pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan produktivitas. Markusen (1995) menjelaskan peran positif dari FTA atau PTA dalam berbagai model perdagangan preferensial dari teori perdagangan internasional. Keberadaan IJEPA akan
2
menyebabkan terjadinya „penciptaan perdagangan‟ dan „pengalihan perdagangan‟ yang akan meningkatkan kesejahteraan domestik Indonesia dan Jepang.
II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Data dan Variabel Penelitian Data penelitian bersumber dari data ekspor Indonesia ke Jepang dan data ekspor Jepang ke Indonesia dari IMF yang diunduh melalui CEIC. Data time series relevan yang digunakan dalam kajian adalah data ekspor bulanan periode Januari 1990 – Juni 2011. Variabel-variabel yang digunakan dalam kajian ini adalah ekspor Indonesia ke Jepang dan ekspor Jepang ke Indonesia dengan skema tarif IJEPA, serta hasil simulasi ekspor Indonesia ke Jepang dan ekspor Jepang ke Indonesia tanpa skema tarif IJEPA. Guna keperluan pembentukan model digunakan data periode Januari 1990 – Juni 2011, sedangkan untuk simulasi digunakan periode pengamatan 1 Juli 2008 – 30 Juni 2011.
2.2 Kerangka Pemikiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Rangka Persetujuan Antara Republik Indonesia Dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi menetapkan IJEPA berlaku efektif sejak 1 Juli 2008. Dengan demikian, titik waktu 1 Juli 2008 sebagai tanggal efektif pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 95/PMK.011/2008 digunakan untuk mengevaluasi pengaruh dari skema IJEPA terhadap Indonesia dan Jepang dari sisi kontribusi ekspor bagi pendapatan nasional dan peningkatan pertumbuhannya. Kajian dampak IJEPA terhadap Indonesia dan Jepang dilakukan dengan membandingkan nilai ekspor barang dalam hubungan perdagangan Indonesia – Jepang dengan skema tarif IJEPA dan dengan hasil simulasi tanpa skema tarif IJEPA. Pendapatan nasional kedua negara dipengaruhi oleh peningkatan nilai ekspor, dikarenakan nilai ekspor merupakan salah satu komponen bagian dari pendapatan nasional model Keynesian empat faktor. Simulasi dilakukan dengan menghilangkan kondisi adanya skema tarif IJEPA pada periode berlakunya IJEPA periode 1 Juli 2008- 31 Juni 2011. Dengan membandingkan hasil simulasi dan kondisi aktual pada periode yang sama tersebut (di mana sebenarnya skema tarif IJEPA sudah efektif berlaku) dapat dihitung dampak dari pemberlakuan skema tarif IJEPA pada periode tersebut terhadap Indonesia dan Jepang. Pendekatan yang digunakan untuk mengukur dampak IJEPA bagi Indonesia dan Jepang dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur kontribusi nilai ekspor terhadap pendapatan nasional, di mana pendapatan nasional merupakan salah satu dari variabel endogen yang dapat dijadikan ukuran dalam mengukur dampak suatu FTA sebagaimana dikemukakan oleh Dee (2011) dan Llyod dan MacLaren (2004). Suatu FTA berdampak positif bagi kedua negara bila kontribusi tersebut positif, dan berdampak negatif bila kontribusi tersebut negatif. Selain itu dihitung pula persentase pertumbuhan kontribusi nilai ekspor tersebut sebagai akibat dampak IJEPA. Bila terdapat kenaikan persentase pertumbuhan kontribusi setelah berlaku efektifnya IJEPA, maka IJEPA berdampak positif.
3
Hal sebaliknya berlaku di mana bila terjadi penurunan persentase pertumbuhan kontribusi sebagai dampak IJEPA, maka IJEPA berdampak negatif. Kontribusi nilai ekspor terhadap pendapatan nasional yang positif dan kenaikan persentase pertumbuhan kontribusi setelah berlaku efektifnya IJEPA menunjukkan terjadinya peningkatan keterbukaan pasar, trade creation dan trade diversion sebagaimana teori perdagangan internasional dan model-model perdagangan preferensial. Ketiga hal tersebut pada gilirannya akan berkontribusi positif bagi peningkatan pendapatan, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan produktivitas, dan kesejahteraan ekonomi dari Indonesia dan Jepang yang menjadi obyek studi kasus ini. Asumsi pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema tarif IJEPA merupakan satu-satunya faktor ekonomi yang berpengaruh signifikan pada periode pengamatan 1 Juli 2008 – 30 Juni 2011. Dengan demikian, faktor-faktor ekonomi lain yang mungkin mempengaruhi perdagangan Indonesia dan Jepang pada periode tersebut bersifat tetap (ceteris paribus) atau tidak signifikan sehingga dapat diabaikan.
2005
2009
2007
2004
2006
1 Juli 2008 Skema Tarif IJEPA mulai berlaku
2011 2010
2012
Kondisi Aktual Dengan Skema Tarif IJEPA (i) 2005 2004
2007
2009
2006
2011 2010
2012
Tidak ada skema tarif IJEPA
Nilai ekspor dalam hubungan perdagangan kedua negara pada periode 1 Juli 2008 – 30 Juni 2011 pada kondisi aktual dan kondisi simulasi diperbandingkan
Simulasi Kondisi Tanpa Skema Tarif IJEPA (ii) Gambar 2-1.Kerangka Pemikiran
2.3 Metode Analisis Alat analisis yang digunakan untuk forecasting dan simulasi dalam kajian ini adalah model ekonometrika ARIMA atau yang secara populer lebih dikenal dengan sebutan metodologi Box-Jenkins. Karakteristik dari model ARIMA adalah model tersebut memberikan penekanan pada sifat-sifat probabilistik atau stokastik dari runtun waktu ekonomi dengan menggunakan data yang bersangkutan untuk menentukan arah kecenderungannya sendiri tanpa melibatkan data lainnya (Gujarati, 2009). Dalam model regresi, Y dijelaskan oleh k variabel bebas X1, X2, 4
X3, ... , Xk, dalam Sedangkan dalam model ARIMA, Y dijelaskan oleh nilai-nilai Y sendiri di waktu sebelumnya. Mengutip Gujarati (2009:778), ”Salah satu dasar popularitas pemodelan ARIMA adalah keberhasilannya dalam peramalan. Dalam banyak kasus, hasil ramalan yang dihasilkan metode ini lebih andal daripada hasil ramalan yang dihasilkan pemodelan ekonometrik tradisional, khususnya dalam jangka pendek. Namun, tentunya setiap kasus mesti dicek.
Langkah 1: Identifikasi model (Pilih tentative p,d,q)
Langkah 2: Estimasi parameter model terpilih
Tidak (Kembali ke Langkah 1)
Langkah 3: Pemeriksaan diagnostik Apakah estimasi residual white-noise ? Ya Langkah 4: Peramalan
Gambar 2-1. Metodologi Box-Jenkins Sumber : Gujarati (2009)
Kajian ini menggunakan model multiplicative ARIMA, suatu kombinasi dari model Autoregressive (AR), differencing, dan moving average/rata-rata bergerak (MA) yang dinotasikan dengan ARIMA (p, d, q). Yt = θ + α1 (Yt–1 - δ) + α2 (Yt–2 - δ) + ... + αp (Yt–p - δ) + β0 ut + β1 ut-1 + β2 ut-2 + ... + βq ut-q ............... (Pers. 1 ) Dalam ekonometrika, data yang dimasukkan ke dalam model ARMA tersebut di atas harus terlebih dulu harus stasioner. Untuk itu data yang non-stasioner perlu ditransformasi melalui differencing sebanyak d kali hingga data time series tersebut menjadi stasioner. Δ Yt = Yt - Yt–1 (differencing pertama) Δ Yt-1 = Yt-1 - Yt–2 (differencing kedua)
dan seterusnya
............... (Pers. 2 )
Data time series non-stasioner yang telah mengalami differencing sebanyak d kali untuk membuatnya stasioner dan kemudian data time series tersebut diproses dengan model ARMA (p,q), maka data time series tersebut telah melalui proses model ARIMA (p,d,q). Data time series selanjutnya dimasukkan ke dalam estimasi model terbaik untuk dapat diketahui hasil simulasinya berupa nilai ekspor Indonesia ke Jepang dan nilai ekspor Jepang ke Indonesia dalam hubungan perdagangan kedua negara seandainya tidak ada skema tarif IJEPA. Kemudian hasil simulasi dibandingkan dengan nilai aktual pada periode yang sama di mana perjanjian IJEPA telah efektif berlaku. Dari proses pembandingan ini akan dapat dihitung seberapa besar dampak dari skema tarif perjanjian IJEPA terhadap ekspor Indonesia ke Jepang dan dan juga ekspor Jepang ke Indonesia. Selain itu walau kedua belah pihak 5
sama-sama memperoleh keuntungan, akan dapat diketahui di antara keduanya pihak mana yang menerima keuntungan lebih dibandingkan mitranya. Dalam proses pengolahan dan analisis tersebut di atas digunakan software ekonometrika Eviews versi 6.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Ekspor Indonesia Ke Jepang
Gambar 3-1. Grafik Data Ekspor Indonesia ke Jepang Periode Januari 1990 – Oktober 2011 Sumber data : IMF, diunduh dari CEIC (2012)
Data yang digunakan untuk input model ARIMA adalah data ekspor time series Indonesia ke Jepang periode Januari 1990 - Juni 2011, sedangkan data untuk simulasi digunakan data Juli 2008 – Juni 2011, yang merupakan data periode pengamatan. Titik awal periode pengamatan adalah 1 Juli 2008, sehingga tahun pengamatan pertama akan berakhir pada 30 Juni 2009. Selanjutnya tahun pengamatan kedua akan berawal pada tanggal 1 Juli 2009 dan berakhir pada 30 Juni 2010, dan seterusnya hingga tahun pengamatan ketiga sebagai tahun terakhir pengamatan.
Output Model Data ekspor Indonesia ke Jepang pada gambar 3-1 mengindikasikan kondisi non-stasionernya data input model. Prakondisi peramalan time series metode ekonometrika selalu mensyaratkan stasioneritas dari data yang menjadi input model. Pengecekan lebih rinci dengan correllogram dan Augmented-Dickey Fuller Test sebagai unit root test menegaskan keyakinan tersebut. Model ARIMA yang reasonable fit terhadap data ekspor Indonesia ke Jepang kemudian dihasilkan dari proses menstasionerkan data melalui differencing dan pengidentifikasian derajat AR dan MA sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian. Identifikasi model tersebut menghasilkan estimasi terbaik pada derajat differencing (d) = 1, derajat autoregressive (AR) = 8, dan derajat moving average (MA) = 8. Gujarati (2009:782) menyatakan hasil pengidentifikasian model dengan cara tersebut sudah memadai sehingga tidak perlu mencari model ARIMA lainnya. Keyakinan tersebut ditegaskan oleh hasil 6
pemeriksaan diagnostik melalui grafik first difference data ekspor Indonesia ke Jepang, correllogram residual model dan unit root test.
Gambar 3 – 2. Model Ekspor Indonesia Ke Jepang (ARIMA D=1, P=8, Q=8) Sumber : Hasil analisis
Tabel 3 – 1. Hasil Peramalan Nilai Ekspor Non Migas Indonesia Ke Jepang Dalam Kerangka IJEPA (Dalam US$ 000) Tahun Periode Jul 2010-Jun 2011 Akibat IJEPA (US$ 000) Sumber : Hasil analisis
Tanpa Tarif Preferensial 30,807,930 bertambah
Dengan Tarif Preferensial 33,535,290 2,727,360
Krisis ekonomi dunia akhir tahun 2008 sangat mempengaruhi ekspor Indonesia ke Jepang sebagaimana diperlihatkan pada gambar 3-1 di atas. Penurunan ekspor Indonesia ke Jepang secara drastis terjadi sejak periode November 2008 hingga September 2010 akibat krisis, dan baru kembali normal sejak Oktober 2010. Efek krisis cukup berat terasa sehingga pada saat itu telah meniadakan efek penguatan dari tarif preferensial IJEPA. Mengingat adanya anomali akibat krisis tersebut, sebagian data aktual pada periode pengamatan yaitu data November 2008 – September 2010 tidak dapat digunakan sebagai data pembanding 7
dengan data simulasi. Untuk itu data simulasi dan data aktual yang dapat diperbandingkan hanyalah pada periode pengamatan Juli 2010-Juni 2011 (lihat gambar 3-3). 4.000.000 3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 0
Ekspor RI ke JPN aktual
IJEPA berlaku
FORECAST
Krisis subprime mortgage
Gambar 3-3. Nilai Ekspor Indonesia Ke Jepang Aktual Dengan IJEPA Dan Estimasi Hasil Simulasi Tanpa IJEPA (dalam US$ 000) Sumber : Hasil analisis
Kontribusi Nilai Ekspor terhadap Pendapatan Nasional Indonesia Tabel 3-2. Variabel Nilai Ekspor Indonesia ke Jepang Dengan IJEPA Dan Nilai Ekspor Tanpa IJEPA Periode Pra IJEPA
Juli 2007-Juni 2008
Pasca IJEPA berlaku Juli 2010-Juni 2011 Sumber : Hasil analisis
Total nilai ekspor (US$000) 26,082,260 Kondisi Aktual (Dengan Skema IJEPA) 33,535,290
Hasil Estimasi Simulasi Tanpa Skema IJEPA 30,807,930
Nilai keseluruhan ekspor aktual Indonesia ke Jepang selama periode Juli 2010 hingga Juni 2011 – skema tarif tarif preferensial IJEPA telah berlaku - adalah US$ 33,535,290,000. Dalam kondisi simulasi tidak ada skema tarif preferensial IJEPA pada periode yang sama, total nilai ekspor Indonesia ke Jepang akan mencapai US$ 30,807,930,000. Selisih angka aktual dan angka simulasi sebesar US$ 2,727,360,000 merupakan dampak tarif preferensial IJEPA pada peningkatan total nilai ekspor Indonesia ke Jepang selama periode Juli 2010-Juni 2011 atau US$ 2,727,360,000 per tahunnya.
Tabel 3-3. Perbandingan Kontribusi Nilai Ekspor terhadap Pendapatan Nasional Indonesia Dengan dan Tanpa Skema IJEPA URAIAN Dengan Skema IJEPA (p.a.) Tanpa Skema IJEPA (p.a.) Dampak IJEPA terhadap peningkatan kontribusi nilai ekspor (p.a.) Sumber : Hasil analisis
Total Kontribusi Ekspor (US$) 33,535,290,000 30,807,930,000 2,727,360,000
8
Berdasarkan data aktual tiga tahun terakhir, nilai ekspor Indonesia ke Jepang rata-rata tumbuh sebesar 14,29% per tahunnya. Dari hasil simulasi dapat diketahui bahwa nilai ekspor tanpa skema tarif IJEPA hanya akan meningkat sebesar 9,06% saja per tahunnya. Skema tarif IJEPA berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang sebesar 5,23% (secara persentase) atau menjadikan pertumbuhan ekspor 1,58 kali lipat dibandingkan bila tidak ada skema tarif IJEPA. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan tetap sebesar 14,29% per tahun, dalam dua tahun mendatang (Juli 2011 - Juni 2012) dan (Juli 2012 - Juni 2013) nilai ekspor Indonesia ke Jepang berpotensi meningkat masing-masing menjadi US$ 38,326,660,120 dan US$ 43,802,599,468,189. Walau secara nominal dan persentase, Indonesia mengalami pertumbuhan kontribusi ekspor ke Jepang yang positif akibat IJEPA, pangsa Jepang sebagai tujuan ekspor Indonesia terus mengalami penurunan. Bila posisi Jepang pada tahun 1995 masih memegang pangsa tujuan ekspor sebesar 28%, pada tahun 2000 turun menjadi 23%, dan pada tahun 2010 terus turun menjadi 16%. Hal ini dapat menunjukkan pasar ekspor Indonesia yang makin terdiversifikasi.
3.2 Ekspor Jepang Ke Indonesia
Gambar3-4. Grafik Ekspor Jepang ke Indonesia (Periode Januari 1990 – Oktober 2011) Sumber data : IMF, diunduh dari CEIC (2012)
Untuk pemodelan dan menghasilkan output model ARIMA dari ekspor Jepang ke Indonesia ditempuh prosedur yang persis sama dengan model ARIMA ekspor Indonesia ke Jepang terdahulu. Untuk input model ARIMA digunakan data time series Januari 1990 – Juni 2011, sedangkan untuk simulasi digunakan data time series Juli 2008 – Juni 2011. Pemeriksaan visual atas data ekspor Jepang ke Indonesia pada grafik dalam gambar 3-4 di atas menunjukkan data awal belum dapat digunakan sebagai data input model mengingat data masih non-stasioner. Dugaan ini kemudian dipertegas oleh analisis correllogram dan hasil dari unit root test.
Output Model Melalui proses pengidentifikasian model sebagaimana dijelaskan pada metodologi penelitian dihasilkan model ARIMA yang sesuai dengan terhadap data ekspor Jepang ke Indonesia. Dalam model tersebut dihasilkan derajat differencing (d) = 1, derajat autoregressive (AR) = 12, dan derajat moving average (MA) = 1. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dengan grafik first difference, analisis correllogram model residual, dan dua unit root test yakni ADF test dan PP test mempertegas keyakinan telah memadainya model tersebut (Gujarati 2009:782).
9
Gambar 3 – 5. Model Ekspor Jepang Ke Indonesia (ARIMA D=1, P=12, Q=1) Sumber : Hasil analisis
Grafik ekspor Jepang ke Indonesia pada gambar 3-4 di atas memperlihatkan krisis ekonomi dunia akhir tahun 2008 sangat mempengaruhi ekspor Jepang ke Indonesia. Penurunan ekspor Jepang ke Indonesia secara drastis terjadi sejak periode November 2008 hingga Mei 2010 akibat krisis, dan baru kembali normal sejak Juni 2010. Efek krisis cukup berat terasa sehingga pada saat itu telah meniadakan efek penguatan dari tarif preferensial IJEPA. Mengingat terjadinya anomali akibat krisis tersebut, sebagian data aktual pada periode pengamatan yaitu data November 2008 – Mei 2010 tidak dapat digunakan sebagai data pembanding dengan data simulasi. Untuk itu data simulasi dan data aktual yang dapat diperbandingkan hanyalah pada periode pengamatan Juli 2010-Juni 2011 (lihat gambar 3-6). Tabel 3 – 4 Perbandingan Nilai Ekspor Non Migas Jepang Ke RI Tanpa Skema Tarif Dan Dengan Skema Tarif Dalam Kerangka IJEPA(Dalam US$ 000) Tahun Periode Jul 2010-Jun 2011 Akibat IJEPA (US$ 000) Sumber : Hasil analisis
Tanpa Tarif Preferensial 17,888,760 bertambah
Dengan Tarif Preferensial 17,982,250 93,490
10
2.000.000 Ekspor JPN ke RI aktual
IJEPA berlaku
1.500.000
forecast
1.000.000 500.000 awal krisis subprime mortgage
0
Gambar 3-6. Data Time Series Aktual Dengan IJEPA Dan Estimasi Simulasi Nilai Ekspor Jepang Ke Indonesia Tanpa IJEPA (dalam US$ 000) Sumber : Hasil analisis
Kontribusi Nilai Ekspor terhadap Pendapatan Nasional Jepang Selama periode simulasi Juli 2010-Juni 2011 setelah berlaku skema tarif preferensial IJEPA total nilai ekspor aktual Jepang ke Indonesia adalah US$ 17,982,250,000. Pada periode yang sama berdasarkan hasil simulasi bila tidak ada skema tarif preferensial IJEPA, total nilai ekspor Jepang ke Indonesia akan sedikit lebih rendah yaitu sebesar US$ 17,888,760,000. Dampak yang diberikan dengan adanya skema tarif preferensial IJEPA bagi ekspor Jepang ke Indonesia adalah meningkatnya total nilai ekspor Jepang ke Indonesia rata-rata sebesar US$ 93,490,000 per tahunnya. Tabel 3-5. Variabel Nilai Ekspor Dengan Skema IJEPA Dan Nilai Ekspor Tanpa Skema IJEPA Jepang ke Indonesia Periode Pra IJEPA
Juli 2007-Juni 2008
Pasca IJEPA Juli 2010-Juni 2011 Sumber : Hasil analisis
berlaku
Total nilai ekspor (US$000) 10,754,290 Kondisi Aktual (Dengan Skema IJEPA) 17,982,250
Hasil Estimasi Simulasi Tanpa Skema IJEPA 17,888,760
Tabel 3-6. Perbandingan Kontribusi Nilai Ekspor Jepang ke Indonesia terhadap Pendapatan Nasional Jepang Dengan dan Tanpa Skema IJEPA URAIAN Dengan Skema IJEPA (p.a.) Tanpa Skema IJEPA (p.a.) Dampak IJEPA terhadap peningkatan kontribusi nilai ekspor (p.a.) Sumber : Hasil analisis
Total Kontribusi Ekspor (US$) 17,982,250,000 17,888,760,000 93,490,000
Bersumber analisis data aktual tiga tahun terakhir, nilai ekspor Jepang ke Indonesia rata-rata tumbuh sebesar 33,61% per tahunnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai 11
ekspor tanpa skema tarif IJEPA hanya akan meningkat sebesar 33,17% saja per tahunnya. Skema tarif IJEPA berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekspor Jepang ke Indonesia sebesar 0,43% (secara persentase) atau menjadikan pertumbuhan ekspor hanya 1,01 kali lipat kali lipat dibandingkan bila tidak ada skema tarif IJEPA. Secara makro bagi negara Jepang, angka sebesar ini jelas bukan merupakan angka yang bagus dalam menunjukkan signifikansi dari dampak IJEPA terhadap ekspornya ke Indonesia. Dengan tingkat pertumbuhan diasumsikan tetap sebesar 17,93% per tahun, dalam dua tahun mendatang (Juli 2011 - Juni 2012) dan (Juli 2012 - Juni 2013), nilai ekspor Indonesia ke Jepang berpotensi meningkat masing-masing menjadi US$ 24,025,186,526 dan dan
US$ 32,098,852,347,266. Secara nominal dan persentase, Jepang mengalami pertumbuhan kontribusi ekspor ke Indonesia yang positif akibat IJEPA walau tidak terlalu signifikan. Pangsa Jepang sebagai negara asal impor Indonesia mengalami pasang surut. Bila posisi Jepang pada tahun 1995 masih memegang pangsa negara asal impor sebesar 23%, pada tahun 2000 turun menjadi 9%, dan kembali naik di tahun 2010 menjadi 12%.
3.3 Keterbukaan Pasar, Daya Saing, dan Manfaat FTA Sebagaimana dijelaskan pada bagian 3.1 dan 3.2 di atas, penurunan tarif dan keterbukaan pasar melalui pembukaan hambatan non tarif dalam IJEPA telah memberikan dampak positif bagi kedua negara. Bagi Indonesia, IJEPA telah meningkatkan kontribusi langsung ekspor terhadap pendapatan nasionalnya sebesar US$ 2,7 miliar per tahun atau 5,23% per tahun atau 1,58 kali lipat dibandingkan tanpa skema IJEPA. Bagi Jepang, IJEPA berperan positif dalam peningkatan kontribusi langsung ekspor terhadap pendapatan nasionalnya sejumlah US$ 93,5 juta per tahun atau 0,43% per tahun atau 1,01 kali lipat dibandingkan tanpa skema IJEPA. Dampak IJEPA berupa kontribusi langsung terhadap pendapatan nasional tersebut ditambah dengan tumbuhnya aktivitas ekonomi di sektor hulu dan hilir dari perdagangan internasional yang turut meningkatkan pendapatan nasional dalam jangka panjang menyebabkan meningkatnya kesejahteraan masyarakat kedua negara. Hasil kajian tersebut di atas sejalan dengan temuan Dee (2011) yang menyimpulkan bahwa penurunan tarif dan pembukaan pasar dalam FTA menyebabkan harga barang impor yang makin terjangkau bagi konsumen dan menciptakan peluang pasar baru di kawasan FTA bagi para eksportir dari negara-negara anggota FTA. Kedua hal tersebut menjadi landasan empiris mengapa kemudian terjadi peningkatan ekspor antar negara anggota FTA sebagaimana hasil kajian tersebut di atas, yang berkontribusi langsung bagi pendapatan nasional. Fakta peningkatan ekspor dalam hasil kajian tersebut di atas juga diperkuat oleh pijakan empiris lainnya dalam kesimpulan Dee (2011) yang menyatakan bahwa penurunan tarif dan pembukaan pasar dalam FTA menyebabkan : (1) realokasi sumber daya di antara sektor-sektor sehingga lebih efisien, dan (2) peningkatan produktivitas. Menurut teori comparative advantage, kedua hal tersebut akan mendorong spesialisasi Indonesia dan Jepang untuk memproduksi dan mengekspor produk yang menjadi keunggulan tertingginya dan mengimpor produk yang memiliki keunggulan terendah. Temuan kajian ini dapat pula dikaitkan dengan kajian Llyoid (2004). Kajian Llyoid (2004) yang menggunakan studi kasus NAFTA, Uni Eropa, dan APEC menyimpulkan bahwa FTA memberikan peningkatan kesejahteraan yang relatif signifikan bagi negara-negara 12
anggota dan penurunan kesejahteraan yang relatif tidak signifikan bagi negara non anggota FTA. Dalam kajian Llyoid (2004) tersebut peningkatan kesejahteraan didefinisikan sebagai persentase dari pendapatan nasional periode dasar. Hasil empiris dari kajian penulis yang menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan kontribusi ekspor bagi pendapatan nasional (yang secara tidak langsung akan menciptakan aktivitas ekonomi baru di sektor hulu dan hilir dari aktivitas ekspor impor terkait) memperkuat temuan Llyoid (2004) tersebut. Terdapat satu kajian yang telah dilakukan untuk mensimulasikan dampak dari FTA antara Jepang dengan negara mitranya di Asia, yaitu Kawasaki (2003). Ia menyatakan bahwa FTA antara Jepang dan negara-negara berkembang di Asia akan memberikan manfaat utama berupa pembentukan modal bagi negara-negara berkembang Asia, dan peningkatan produktivitas bagi Jepang sebesar 0,057% PDB. Namun kondisi di atas mungkin dicapai dengan persyaratan cakupan FTA yang diperjanjikan tidak hanya meliputi liberalisasi perdagangan sektor barang saja, namun juga sektor jasa dan sektor investasi. IJEPA sendiri merupakan kesepakatan kemitraan ekonomi yang menyeluruh yang mengikutsertakan elemen-elemen penting seperti sektor barang, jasa, dan investasi ke dalam perjanjian. Dengan demikian hasil simulasi Kawasaki (2003) terkait pembentukan modal bagi Indonesia sangat mungkin dicapai. Dan bila diamati seksama, sebagian pembentukan modal oleh Jepang melalui penanaman modal langsung pada industri Indonesia tersebut telah diperuntukkan untuk industri yang memiliki kemampuan ekspor ke luar negeri. Contohnya adalah Astra Internasional. Berdasarkan kajian Hallaert (2008), dapat dikatakan bahwa langkah Indonesia untuk melakukan kesepakatan FTA dengan negara-negara mitra utama dalam satu kawasan akan memberikan dampak positif, yang salah satunya telah disebutkan pada bagian 3.1 dan 3.1 kajian ini. Dampak positif tersebut akan signifikan bila IJEPA dapat mendorong kesetaraan perlakuan di kawasan ataupun secara multilateral. Namun manfaat dari IJEPA akan tergerus manakala Indonesia dan Jepang membuat banyak kesepakatan FTA baru dengan negaranegara lain yang menciptakan kesenjangan perlakuan dengan negara mitra FTA sebelumnya. Secara ideal, kesepakatan FTA menyeluruh tanpa diskriminasi di kawasan atau secara multilateral akan memberikan manfaat peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi negara-negara anggotanya. Temuan Hallaert (2008) terkait dampak negatif dari pembentukan FTA-FTA baru bertentangan dengan model-model perdagangan preferensial dalam Markusen (1995) termasuk model dari Heckscher-Ohlin, yang meyakini bahwa fenomena „penciptaan perdagangan‟ dan „pengalihan perdagangan‟ akibat FTA baru tetap dapat berdampak positif bagi perekonomian negara anggota maupun non-anggota. Dalam level mikro, pembukaan akses pasar yang lebih luas sebagai salah satu tujuan dari pembentukan IJEPA akan menciptakan iklim kompetisi antara pelaku usaha Indonesia dan Jepang. Iklim serupa terjadi pula dalam level makro. Melalui FTA akan terjadi persaingan antara kedua negara dalam menciptakan kesejahteraan yang akan meningkatkan daya saing keduanya. Sebagaimana dinyatakan Aiginger (2006), peningkatan daya saing suatu negara dapat berjalan seiring sejalan dengan peningkatan daya saing negara lainnya. Merujuk studi FTA pada kasus negara berkembang oleh Heng (2004) yang menjadikan Vietnam sebagai studi kasusnya, ekspansi Indonesia pasca ASEAN Free Trade 13
Area (AFTA) dengan mengikuti FTA-FTA lain termasuk IJEPA dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar dan biaya penyesuaian yang rendah terkait upayanya dalam melakukan industrialisasi dan membina perubahan ekonomi struktural. Walau menurut Tan (1999) pembentukan suatu FTA dengan Amerika Serikat akan memberikan manfaat lebih besar bagi Indonesia dibandingkan Jepang atau negara lainnya, namun berdasarkan kajian Frankel (1996), keinginan Indonesia untuk membentuk suatu FTA dengan negara mitra akan bergantung pada sejauh mana manfaat pembentukan tersebut melampaui tingkat optimal yang besarnya ditentukan oleh besaran biaya transportasi antara Indonesia dengan negara mitra FTA-nya. Menurut Saggi (2009), keanggotaan dalam kepabeanan tunggal akan memberikan manfaat lebih besar dibandingkan dalam FTA. Dengan demikian, keanggotaan Indonesia dalam AFTA akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan keanggotaan dalam FTA seperti IJEPA. Namun sebagaimana dinyatakan oleh Nadal de Simone (1995), masalah complementarity yang rendah akibat kemiripan sumber daya ekspor di antara negara ASEAN menjadi kendala dalam penerimaan manfaat AFTA. Di samping itu, adanya ketidakseimbangan makroekonomi di antara negara anggota ASEAN khususnya antara ASEAN-6 dan empat LDCs menyebabkan perlunya perubahan besar secara makroekonomi terkait tingkat keseimbangan nilai tukar mata uang masing-masing. Dalam hal ini keanggotaan Indonesia di IJEPA yang memiliki complementarity yang relatif lebih baik memberikan peluang perolehan manfaat yang setara dengan keanggotaannya di AFTA. Di tengah babak perundingan putaran Doha WTO yang mengarah kepada jalan buntu, regionalisme termasuk bilateralisme menemui momentumnya di Asia. Pada periode 20002010 telah terjadi peningkatan dari hanya 3 menjadi 61 FTA, dengan 47 FTA termasuk IJEPA telah efektif berlaku. Merujuk pada rekomendasi Kawai (2010), untuk mengoptimalkan manfaat keberadaan IJEPA bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, Jepang, dan negara-negara lain di kawasan Asia, perlu dilakukan hal-hal berikut terhadap IJEPA: (1) diperkuatnya sistem dukungan IJEPA, (2) aturan asal barang (rules of origin) dirasionalisasi dan diperbaiki pengadministrasiannya, (3) cakupan sektor pertanian dalam perjanjian ditingkatkan, (4) kesepakatan mesti bersifat WTO plus dan menyeluruh, (5) partisipasi negara-negara lain di kawasan Asia yang mengarah kepada FTA yang luas di kawasan Asia. Hal tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas tingkat kepatuhan FTA - yang selama ini banyak diragukan (Mavroidis, 2006) - terhadap aturan-aturan multilateralisme WTO. Meningkatnya kepatuhan tersebut akan berdampak positif terhadap optimalisasi manfaat perdagangan dunia sebagaimana dicita-citakan negara-negara yang tergabung dalam WTO.
IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Simpulan Melalui studi empiris ini secara makro, Indonesia maupun Jepang memetik manfaat dari penurunan tarif dan keterbukaan pasar dalam IJEPA dalam tingkatan yang berbeda. Indonesia menerima tingkat manfaat yang lebih besar dari Jepang baik dari sisi naiknya kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional secara nominal dan persentase dan berlipat gandanya tingkat pertumbuhan ekspor akibat keikutsertaannya dalam IJEPA. Berdasarkan analisis dampak IJEPA terhadap Indonesia dengan menggunakan model ARIMA, dapat diketahui bahwa skema tarif IJEPA telah memberikan dampak terhadap peningkatan nilai ekspor Indonesia ke Jepang rata-rata sebesar US$ 2,727,360,000 per 14
tahunnya. Angka tersebut merupakan besar kontribusi langsung terhadap pendapatan nasional Indonesia. Pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke Jepang meningkat rata-rata sebesar 5,23% setiap tahunnya sebagai akibat dampak IJEPA, yang berarti peningkatan 1,58 kali lipat dibandingkan bila Indonesia tidak mengikuti IJEPA. Dari hasil analisis model ARIMA untuk Jepang, dapat diketahui bahwa skema tarif IJEPA telah memberikan dampak terhadap peningkatan nilai ekspor Jepang ke Indonesia rata-rata sebesar US$ 93,490,000 per tahunnya yang juga merupakan kenaikan kontribusi nilai ekspor terhadap pendapatan nasional Jepang. Pertumbuhan nilai ekspor Jepang ke Indonesia akibat IJEPA meningkat tipis rata-rata sebesar 0,43% p.a. atau naik hanya 1,01 kali lipat dibandingkan bila Jepang tidak mengikuti IJEPA. Di luar dampak langsung IJEPA tersebut, terdapat dampak tidak langsung pada sektor-sektor ekonomi lain di hulu dan hilir aktivitas ekspor dan impor yang dalam jangka panjang turut berkontribusi baik bagi pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia maupun Jepang. Sejalan dengan teori comparative advantage, penurunan tarif dan pembukaan pasar dalam IJEPA akan menyebabkan : (1) realokasi sumber daya di antara sektor-sektor sehingga lebih efisien, dan (2) peningkatan produktivitas. Kedua hal tersebut akan mendorong spesialisasi Indonesia dan Jepang untuk memproduksi dan mengekspor produk yang memiliki keunggulan tertinggi dan mengimpor produk yang memiliki keunggulan terendah. IJEPA dapat memberikan manfaat lebih bagi Indonesia dari sisi pembentukan modal melalui penanaman modal langsung mengingat cakupannya yang menyeluruh termasuk di sektor barang, jasa, dan investasi. Sifat complementarity produk ekspor Indonesia yang lebih baik dengan Jepang dibandingkan dengan negara-negara mitra Indonesia dalam AFTA memberikan peluang perolehan manfaat IJEPA yang besar bagi Indonesia.
4.2 Rekomendasi Penulis merekomendasikan beberapa hal baik yang terkait dengan kebijakan dan yang terkait dengan penelitian selanjutnya sebagai berikut : Keikutsertaan dalam IJEPA memberikan dampak positif bagi Indonesia dan Jepang, oleh karena itu hubungan kemitraan tersebut perlu dilanjutkan dan ditingkatkan ke arah yang makin memberikan manfaat bagi keduanya. Cara-cara yang dapat dipertimbangkan adalah pendalaman (intensifikasi) dan perluasan (ekstensifikasi) komitmen, dan perluasan keanggotaan yang mengarah kepada FTA yang luas di kawasan Asia. Indonesia perlu mendorong produksi dari produknya yang memiliki keunggulan relatif tinggi untuk dapat diekspor ke manca negara Relatif tidak terlalu besarnya persentase pertumbuhan nilai ekspor Indonesia dan Jepang sebagai dampak keikutsertaan dalam IJEPA dapat menjadi indikasi belum optimalnya pemanfaatan fasilitas tarif khusus IJEPA oleh eksportir-eksportir kedua negara, khususnya Indonesia. Kurangnya informasi detil tentang implementasi termasuk waktu pemberlakuan, pemanfaatan tarif preferensi, dan penerbitan sertifikat surat keterangan asal (SKA) barang dapat menjadi beberapa faktor penyebab. Oleh karena itu jumlah dan kualitas sosialisasi skema tarif IJEPA perlu ditingkatkan baik melalui tatap muka langsung maupun media komunikasi massal yang dapat secara lebih efektif menginformasikan fasilitas tarif khusus kepada seluruh eksportir Indonesia ke Jepang. Kajian selanjutnya dapat menggunakan model kuantitatif lain untuk mengevaluasi dampak suatu FTA sehingga dapat bermanfaat sebagai benchmarking. 15
REFERENSI Aiginger, Karl. 2006. “Competitiveness: From a Dangerous Obsession to a Welfare Creating Ability with Positive Externalities”. Journal of Industry, Competition, and Trade 6: 161–177. Dee, Philippa; Francois, Joseph; Manchin, Miriam; Norberg, Hanna; Nordås, Hildegunn K., van Tongeren, Frank. 2011. “The Impact of Trade Liberalisation on Jobs and Growth”. OECD Trade Policy Working Papers No. 107. Frankel, Jeffrey A; Stein, Ernesto; Wei, Shang-Jin. 1996. “Regional trading arrangements: Natural or supernatural?”. The American Economic Review; May 1996; 86, 2; ABI/INFORM Complete pg. 52 Hallaert, Jean-Jacques. 2008. “Proliferation of Preferential Trade Agreements : Quantifying its Welfare Impact and Preference Erosion.” Journal of World Trade 42(5): 813-836. Heng, Toh Mun; Gayathri, Vasudevan. 2004. “Impact od Regional Trade Liberalization on Emerging Economies. The Case of Vietnam.” ASEAN Economic Bulletin Vol. 21, No. 2 (2004), pp. 167-82. Kawai, Masahiro; Wignaraja, Ganeshan. 2011. “Asian FTAs: Trends, prospects and challenges”. Journal of Asian Economics 22 (2011) 1–22 Kawasaki, Kenichi. 2003. “The Impact of Free Trade Agreements in Asia”. RIETI Discussion Paper Series 03-E-018. Llyoid, P. ; MacLaren, D. 2004. “Gains and Losses from Regional Trading Agreements: A Survey.” The Economic Record. 80 (251). pp. 445-467 Markusen, James R. et al. 1995. International Trade, Theory and Evidence. International Ed. McGraw-Hill Mavroidos, Petros C. 2006. “If I Don‟t Do It, Somebody Else Will (Or Won‟t). Testing the Compliance of Preferential Trade Agreements with the Multilateral Rules”. Journal of World Trade 40(1): 187-214. Nadal De Simone, Francisco D. A. 1995. “A macroeconomic perspective of AFTA's problems and prospects”. Contemporary Economic Policy; Apr 1995; 13, 2; ABI/INFORM Complete pg. 49 Saggi, Kamal; Yildiz. Halis M. 2009. “Optimal Tariffs of Preferential Trade Agreements and the Tariff Complementarity Effect”. Indian Growth and Development Review Vol. 2 No. 1, 2009 pp. 5-17. Tan, Kong-Yam; Park, Innwon; Toh, Mun-Heng. 1999. “Strategic Interests of ASEAN-5 in Regional Trading Arrangements in the Asia-Pacific”. Asia Pacific Journal of Management, Vol. 16, 449-467 (1999). 16
17