ANALISIS DAMPAK DAN DETERMINAN BELANJA PENDIDIKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PENDIDIKAN TINGKAT SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TAHUN 2011 Dillon Zufri1, Mayling Oey Gardiner2 1. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Sistem desentralisasi dikatakan mempunyai dampak yang lebih baik dalam penyampaian pelayanan publik karena pemerintah menjadi lebih dekat dengan masyarakat, sehingga penyediaan barang publik akan lebih efisien. Kedekatan ini ditunjukan oleh pengalihan berbagai tugas pelayanan publik kepada pemerintah daerah, dimana salah satunya adalah pendidikan. Namun, dengan pendekatan OLS, penelitian ini memperlihatkan bahwa proporsi belanja pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah daerah tidak signifikan mempengaruhi partisipasi sekolah SMP yang saat ini menjadi salah satu tujuan pemerintah dalam Wajib Belajar Sembilan Tahun. Selain itu, besaran proporsi belanja pendidikan terbukti lebih bergantung kepada besaran transfer untuk urusan pendidikan dari pusat, dibandingkan dengan kebutuhan masyarakatnya. Kata Kunci: Desentralisasi, Permintaan Pendidikan, Proporsi Belanja Pendidikan, Partisipasi SMP, Kebutuhan Masyarakat.
Impact and Determinants of Local Government Education Expenditures on Junior Secondary Education, 2011 Abstract In theory, decentralization holds the promise of better provision of public goods and services that are adjusted to local needs and conditions because of the increased proximity between policy makers and their constituents. This proximity is reflected in the transfer of various public services to local governments, including those related to education. However, this study shows that the proportion of education expenditures budgeted by local government does not significantly affect participation at the junior secondary level, a major component of achieving the nine-years compulsory education goal set by government. In addition, the share of the education in local govermnemt budgets is found to be strongly dependent on transfers from central government instead of being a function of the needs of local communities. JEL Classification: H75, I22, C31
Desentralisasi dan Pelayanan Publik 1 Januari 2001 kemarin, Indonesia sudah mulai mengadopsi sistem pemerintahan desentralisasi. Pengadopsian sistem ini ditandai oleh lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (yang kemudian diganti menjadi UU Nomor 33 tahun 2004). Akibatnya adalah sebagian besar tugas
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
pelayanan publik yang ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, salah satunya adalah tugas pelayanan pendidikan. Menurut teorinya, sistem ini dikatakan lebih baik bila dibandingkan dengan sistem sentralisasi. Menurut Oates (2005), sistem ini baik untuk diterapkan bila tujuannya untuk efisiensi penyediaan barang publik. Sistem ini memindahkan wewenang ke pemerintah daerah yang lebih mengetahui preferensi masyarakat dibandingkan pemerintah pusat, sehingga barang publik yang disediakan sesuai dengan permintaan masyarakatnya. Berdasarkan pendapat tersebut, penelitian ini ingin melihat apakah pelayanan publik menjadi lebih baik pada era desentralisasi ini, khususnya untuk bidang pendidikan. Desentralisasi dan Pendidikan di Indonesia Mengacu kepada PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan, Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupate/Kota dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tanggung jawab pelayanan pendidikan antar jenjang pemerintahan berbeda satu sama lainnya. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas pendidikan tinggi dan kurikulum, pemerintah provinsi bertanggung jawab atas pendidikan luar biasa, dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pendidikan SD hingga SMA. Akibatnya, pemerintah daerah menjadi dialiri dana pendidikan yang lebih besar, sesuai dengan tugas pelayanan pendidikannya yang paling banyak. Diagram 1. berikut menunjukan pertumbuhan dana pendidikan yang disalurkan ke pemerintah daerah:
Diagram 1. Perkembangan Dana Transfer Urusan Pendidikan (dalam triliun) Sumber : Realisasi APBD tahun 2007-2011, diambil dari Kementrian Keuangan (2012).
Berdasarkan diagram tersebut, dana transfer untuk urusan pendidikan selalu naik setiap tahunnya. Dibandingkan dengan tahun 2007, dana transfer untuk tahun 2011 naik hingga hampir 10 Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
kali lipatnya. Peningkatan ini utamanya dilakukan untuk memenuhi target Wajib Belajar Sembilan Tahun, seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003. Selain dana transfer urusan pendidikan dari pemerintah pusat, secara nominal, pemerintah daerah juga terus menaikan proporsi belanja pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan belanja pendidikan sebagai proporsi dari total belanja pemerintah daerah dan dana perimbangan sebagai cerminan dari nilai total belanjanya (karena secara rata-rata nasional proporsi dari dana perimbangan terhadap total penerimaan pemerintah daerah sekitar 90 persen1), Diagram 2. di bawah ini akan memperlihatkan bagaimana pertumbuhan belanja untuk pendidikan secara nasional.
Diagram 2. Perkembangan Realisasi Dana Perimbangan Kabupaten dan Kota dan Proporsi Belanja Pendidikan Sumber : Realisasi APBD 2007-2011, diambil dari Kementrian Keuangan (2012).
Dari diagram di atas, terlihat bahwa proporsi belanja pendidikan dan dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah cenderung naik setiap tahunnya. Ini menandakan bahwa secara nominal, belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah terus naik setiap tahunnya. Dengan banyaknya dana transfer dan dana untuk pendidikan yang ada di pemerintah daerah, harapannya adalah Wajib Belajar Sembilan Tahun yang memang menjadi target pemerintah saat ini juga menjadi tercapai. Namun, bila dilihat dari perkembangan hasil pendidikannya, tidak terlihat adanya perbaikan pada Wajib Belajar Sembilan Tahun, khususnya untuk partisipasi sekolah jenjang pendidikan SMP. Untuk melihatnya, Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan perbandingan pertumbuhan dari APM SD hingga SMA pada era desentralisasi dan sentralisasi: 1
Kementrian Keuangan (2012)
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Tabel 1. Perbandingan Pertumbuhan Angka Partisipasi Murni (APM) antara Era Sentralisasi dan Desentralisasi APM
1994
2000
2001
SD SMP SMA
92.11 92.28 92.88 50.03 60.27 60.47 33.22 39.33 37.13
Pertumbuhan 2012 per Tahun 1994-2000 92.42 0.02% 70.81 1.46% 51.68 0.87%
Pertumbuhan per Tahun 2001-2012 -0.04% 0.86% 1.21%
Sumber : BPS RI, Susenas 2003-2012.
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa dalam pemenuhan target Wajib Belajar Sembilan Tahun, era desentralisasi tidak lebih baik bila dibandingkan dengan era sentralisasi. Mengacu kepada jenjang pendidikan SD, karena memang APM untuk jenjang pendidikan ini sudah tinggi (di atas 90 persen), maka pertumbuhannya cenderung stabil. Namun, untuk APM jenjang pendidikan SMP yang saat ini menjadi salah satu target dari pemerintah, era desentralisasi cenderung memiliki pertumbuhan per tahun yang lebih rendah bila dibandingkan dengan era sentralisasi. Tabel tersebut mempertanyakan apakah benar desentralisasi efektif dalam penyampaian pelayanan pendidikan, khususnya untuk jenjang pendidikan SMP? Dengan melihat permasalahan tersebut, penelitian ini kemudian bertujuan untuk melihat dampak dari proporsi belanja pendidikan berdasarkan total belanja yang dianggarkan oleh pemerintah daerah terhadap partisipasi pendidikan SMP. Dengan metode regresi Ordinary Least Square (OLS), penelitian ini ingin membuktikan apakah proporsi belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah di tahun 2011 berdampak positif signifikan terhadap APM SMP memang alokasinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerahnya atau tidak. Desentralisasi dan Permintaan Pendidikan Berdasarkan teorinya, desentralisasi dikatakan sebagai sistem yang lebih baik dibandingkan sentralisasi karena sesuai dengan permintaan dari masyarakatnya. Oleh karena itu, untuk menguji dampak dari desentralisasi, perlu diketahui terlebih dahulu permintaan terhadap pendidikan. Teori permintaan pendidikan adalah teori yang dikembangkan oleh Gary Becker (1992).2 Teori ini dibuat dengan unit analisa individu, menggabungkan fungsi produksi dari sumber daya manusia yang menghadapi kendala biaya pendidikan. Dengan asumsi bahwa setiap individu ingin 2
Checci (2005)
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
memaksimalkan lama pendidikannya, fungsi produksi dan kendala tersebut dibentuk menjadi turunan pertama yang memaksimumkan lama sekolah. Persamaan (1) berikut ini memperlihatkan persamaan matematis dari fungsi tersebut: (1) S
: Lama sekolah
A
: Kemampuan individu yang tidak terobservasi
H
: Modal sumber daya manusia awal
β
: Ekspektasi terhadap pasar tenaga kerja
ρ
: Potongan antar waktu
γ
: Biaya pendidikan
E
: Infrastruktur pendidikan
it
: Individu i pada tahun t Dari persamaan (1) di atas, pemerintah daerah dapat meningkatkan partisipasi pendidikan
melalui variabel γ, β, dan E. Dengan mengendalikan variabel tersebut, pemerintah dapat meningkatkan partisipasi sekolah dari masyarakatnya. Berbagai penelitian tentang hubungan desentralisasi dan pendidikan memaka model persamaan (1) untuk dijadikan acuan. Namun, karena uji hubungan desentralisasi dan pendidikan berada pada tingkat makro, maka penelitian sebelumnya tersebut mengubah model teoritis di atas menjadi model makro agar bisa dianalisis dampaknya. Penelitian dampak desentralisasi terhadap pendidikan ini sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh berbagai peneliti. Gupta, Verhoeven, dan Tiongson (2002) menemukan bahwa pada berbagai negara berkembang, belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah signifikan mempengaruhi partisipasi pendidikan. Barankay dan Lockwood (2006) juga menemukan bahwa semakin terdesentralisasi suatu wilayah di Swiss, maka partisipasi pendidikannya juga makin tinggi. Falch dan Fischer (2011) menemukan bahwa dengan membandingkan hasil tes berbagai negara, desentralisasi mempunyai dampak positif terhadap peningkatan hasil tes. Temuan serupa juga ditemukan oleh Bergh dan Fink (2004). Mereka mengobservasi 132 negara dan menemukan bahwa belanja pendidikan mempunyai arah positif dalam mempengaruhi partisipasi jenjang pendidikan tinggi. Namun, temuan unik yang mereka dapatkan adalah belanja pendidikan pada jenjang pendidikan sekunder dan primer yang ternyata signifikan mempengaruhi partisipasi pendidikan di pendidikan tinggi. Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Akan tetapi, terdapat pula penelitian sebelumnya yang memperlihatkan bahwa dampak dari desentralisasi terhadap pendidikan negatif. Faguet dan Sanchez (2008) menemukan bahwa untuk Kolombia, belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah mempunyai hubungan yang negatif dengan partisipasi sekolah. Hasil yang serupa juga didapatkan oleh Kristiansen dan Pratikno (2006). Dengan menggunakan pendekatan data mikro dan hanya menggunakan beberapa Kabupaten atau Kota, mereka mendapati bahwa biaya sekolah cenderung naik di tahun 2006, bila dibandingkan dengan tahun 2003. Hasil ini tidak sejalan dengan jumlah transfer dan dana pendidikan pemerintah daerah yang terus naik setiap tahunnya pada Diagram 1 dan Diagram 2 sebelumnya. Selain dari analisa dampak yang berbeda-beda, penelitian ini juga ingin menguji kesesuaian antara belanja pendidikan yang dialokasikan dengan kebutuhan masyarakat daerahnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, Falch dan Ratts¢ (1996) menemukan bahwa pemerintahan yang stabil di Norwegia, cenderung mempunyai dampak negatif terhadap gaji guru. Sedangkan Chakrabarti dan Joglekar (2006) menemukan bahwa dana transfer ke pemerintah provinsi di India mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan belanja pendidikan pemerintah provinsinya. Namun, temuan menariknya adalah provinsi yang memiliki lebih banyak penduduk dengan kasta yang rendah, cenderung mengalokasikan lebih sedikit belanja pendidikan. Hal ini menyatakan bahwa daerah yang semakin terbelakang akan terus tertinggal. Estimasi Desentralisasi dan Pendidikan Bagian ini membahas tentang model estimasi yang digunakan untuk menganalisa dampak belanja pendidikan terhadap APM SMP dan melihat kesesuaian antara proporsi belanja pendidikan yang dianggarkan dengan kebutuhan masyarakat daerahnya di tahun 2011. Model estimasi yang digunakan ini, nantinya terbagi menjadi dua. Pertama adalah model estimasi untuk melihat dampak dari desentralisasi terhadap partisipasi sekolah. Model ini merupakan model modifikasi dari model penelitian Faguet dan Sanchez (2008). Sedangkan model kedua digunakan untuk mengestimasi kesesuaian proporsi belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan kebutuhan masyarakat daerahnya. Model kedua ini adalah model modifikasi yang diadaptasi dari model penelitian Chakrabarti dan Joglekar (2006). Untuk sumber data dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis data sekunder yang didapatkan dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Data dari BPS, utamanya digunakan untuk melihat variabel demografi dan sosial ekonomi yang ada di suatu
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Kabupaten dan Kota. Publikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), publikasi PDRB Kabupaten dan Kota tahun 2007 sampai 2011, dan Sensus Penduduk. Untuk Susenas, publikasinya digunakan untuk data tahun 2010 dan 2011, dimana Susenas 2010 merupakan hasil publikasi cetak, sedangkan Susenas 2011 merupakan hasil publikasi data yang diolah oleh peneliti. Sedangkan untuk Sensus Penduduk, data 2010 digunakan untuk mencerminkan kondisi di tahun 2011. Ini dilakukan karena beberapa variabel yang digunakan, seperti presentase penduduk miskin, populasi, dan presentase penduduk yang tinggal di desa belum dipublikasi di tahun 2011 dan baru dipublikasi oleh Sensus Penduduk 2010. Sedangkan untuk data dari DJPK, data yang digunakan dalam regresi nantinya terbagi menjadi data anggaran dan realisasi. Untuk data belanja daerah, penelitian ini menggunakan data anggaran, karena pada saat penelitian ini dilakukan, data tersebut belum tersedia. Namun, untuk data perimbangan keuangan dan PAD, dalam penelitian ini sudah menggunakan data realisasi. Model I Model I ini digunakan untuk mengestimasi dampak dari proporsi belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah terhadap partisipasi pendidikan SMP. Persamaan (2) berikut ini memperlihatkan model estimasi pertama (Model I) yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk matematis: (2) S
: APM SMP
D
: Variabel Umum Desentralisasi
R
: Variabel Umum Sumber Daya
C
: Variabel Umum Kondisi Sosial ekonomi
ε
: Error
i
: Kabupaten dan Kota Berdasarkan persamaan di atas, APM SMP di suatu daerah (Kabupaten dan Kota)
dipengaruhi oleh kondisi demografi, sumber daya, dan sosial ekonomi di daerah tersebut. Dalam penelitian ini, variabel operasi yang digunakan untuk menggambarkan desentralisasi di suatu daerah terdiri dari tiga variabel. Pertama adalah proporsi belanja pendidikan berbanding total belanja pemerintah daerah (Urusan). Variabel ini merupakan variabel yang ingin diuji pada Model I ini dan dihipotesiskan memiliki hubungan yang sejalan dan signifikan dengan APM SMP. Variabel
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
berikutnya adalah PAD yang dibagi dengan total belanja pendidikan (PAD)dan presentase BOS untuk SMP (BOS). Variabel umum berikutnya yang digunakan adalah variabel sumber daya yang terdiri dari dua variabel operasi. Variabel operasi tersebut adalah APM untuk SD di tahun sebelumnya (APMSD_2010), yaitu tahun 2010 dan pertumbuhan total belanja dari tahun sebelumnya (TBGrowth). Terakhir adalah variabel umum yang menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi di daerah tersebut. Variabel umum tersebut terdiri dari tiga variabel operasi. Ketiganya adalah jumlah populasi (lnPop), presentase penduduk miskin (Miskin), dan PDRB per kapita tanpa minyak dan gas (PDRB). Untuk variabel sosial ekonomi tersebut, populasi dan presentase penduduk miskin menggunakan data tahun 2010 untuk menggambarkan kondisi di tahun 2011 karena di tahun 2011 belum terdapat datanya. Model II Model II ini digunakan untuk melihat kesesuaian antara proporsi belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan kondisi daerahnya. Persamaan (3) berikut ini memperlihatkan Model II tersebut secara matematis: (3) Urusan
: Proporsi belanja pendidikan berbanding total belanja
D
: Variabel Umum Demografi
E
: Variabel Umum Ekonomi Pada persamaan (3) tersebut, terlihat bahwa proporsi belanja pendidikan dipengaruhi oleh
variabel demografi dan ekonomi suatu daerah. Seperti sebelumnya, variabel demografi dan ekonomi terdiri dari beberapa variabel operasi. Variabel demografi pada model ini, terdiri dari lima variabel operasi. Variabel operasi tersebut adalah presentase penduduk miskin, populasi, presentase penduduk yang tinggal di desa (Rural), APM SD 2010, dan APM SMP 2010 (APMSMP_2010). Keseluruhan dari variabel demografi tersebut menggunakan tahun observasi 2010. Lebih sedikit bila dibandingkan dengan variabel demografi, variabel ekonomi terdiri dari empat variabel operasi. Variabel operasi tersebut adalah PDRB per kapita tanpa minyak dan gas, proporsi DAU terhadap total belanja (Transfer), total belanja pemerintah daerah (lnTotal), dan dana BOS (lnBOS). Dengan merujuk kepada variabel-variabel operasi tersebut, peneliti ingin melihat variabel mana yang paling mempengaruhi proporsi belanja pendidikan pemerintah daerah.
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Hasil Estimasi Sebelum melakukan estimasi pada Model I, terlebih dahulu akan diperlihatkan persebaran APM tahun 2011 dengan proporsi belanja pendidikan dari pemerintah daerah. Gambar 1 dan Gambar 2 berikut memperlihatkan kondisi APM SMP di Indonesia secara geografis: Warna
APM SMP (%) >70 61-70 <60
Gambar 1. Persebaran APM SMP Provinsi Berdasarkan Rata-rata APM SMP Kabupaten dan Kota Sumber : Susenas 2011.
Warna
Belanja Pendidikan (%) >40 20-40 <20
Gambar 2. Data Proporsi Belanja Pendidikan Provinsi Berdasarkan Rata-rata Proporsi Belanja Pendidikan Kabupaten dan Kota Sumber : APBD Anggaran 2011
Berdasarkan kedua gambar tersebut (Gambar 1 dan Gambar 2), proporsi belanja pendidikan yang lebih kecil, cenderung tidak menghasilkan APM SMP yang lebih kecil. Hal ini dapat dilihat
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
dari provinsi NAD, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua yang cenderung memiliki APM SMP yang tinggi (di atas 60 persen), meski proporsi belanja pendidikannya secara rata-rata tidak tinggi (antara 20-40 persen). Temuan menarik terlihat pada provinsi Kalimantan Timur. Kalimantan Timur, provinsi yang Kabupaten dan Kotanya secara rata-rata hanya menyumbangkan belanja pendidikan kurang dari 20 persen, mampu memiliki rata-rata APM di atas 70 persen. Secara tidak langsung ini membuktikan bahwa pemerintah daerah memang lebih efektif dalam meningkatkan partisipasi SMP. Namun, bila merujuk kepada kedua gambar tersebut, hasil sebaliknya juga bisa didapatkan. Bila melihat kondisi provinsi DI Yogyakarta, terlihat bahwa pemerintah daerahnya cenderung tidak efektif dalam mengalokasikan proporsi belanja pendidikannya. DI Yogyakarta yang Kabupaten dan Kotanya secara rata-rata mengalokasikan lebih dari 40 persen belanjanya untuk kebutuhan pendidikan, ternyata memiliki APM SMP yang relatif kecil, yaitu diantara 61 hingga 70 persen. Melihat terdapat perbedaan antar daerah tersebut, berikutnya akan diuji secara nasional untuk melihat dampak dari proporsi belanja pendidikan terhadap APM SMP secara keseluruhan. Uji tersebut akan menggunakan Model I yang telah dibahas sebelumnya. Setelah itu, berikutnya dibahas variabel mana yang mempengaruhi pemerintah daerah dalam mengalokasikan proporsi belanja pendidikannya. Untuk melihat kesesuaian ini akan digunakan Model II pembahasan sebelumnya. Model I
Tabel 2. Hasil Regresi Model I Nama Variabel Urusan BOS Populasi (ln) PAD Miskin PDRB2011 APMSD_2010 TBGrowth Jumlah Observasi F stat R2
Koefisien
Hipotesis
0,00827 0,62268*** 2,38905*** -0,47423 -0,08554* 0,00003** 0,66427*** 2,15402** 481 0,000*** 0,5860
(+) (+) (-) (+) (-) (+) (+) (+)
Keterangan : *, **, dan *** masing-masing merupakan signifikansi pada tingkat kepercayaan 90, 95, dan 99 persen.
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Tabel 2. pada halaman sebelumnya, memperlihatkan hasil regresi dari Model I. Pada tabel tersebut, terlihat bahwa proporsi belanja pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah daerah tidak berdampak signifikan dalam mempengaruhi APM SMP di daerahnya. Kecenderungannya, transfer dari pemerintah pusat yang signifikan mempengaruhi APM SMP di daerah. Temuan ini tidak sesuai dengan teori desentralisasi yang menyatakan bahwa sistem desentralisasi dikatakan lebih baik dalam penyampaian barang publik, karena berdasarkan hasil ujinya belanja yang dialokasikan pemerintah daerah tidak signifikan mempengaruhi APM SMP. Temuan menarik dari Tabel 2. tersebut dapat dilihat dari variabel populasi. Terlihat bahwa variabel ini mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap APM SMP dan signifikan di tingkat kepercayaan 99 persen, namun, berbeda dengan arah dengan hipotesisnya. Dugaan atas variabel ini berbeda dengan hipotesisnya karena variabel ini tidak hanya mencerminkan populasi, tetapi juga mencerminkan suatu daerah yang lebih maju bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Suatu daerah yang lebih maju, cenderung memiliki populasi yang lebih besar. Dengan semakin majunya suatu daerah, maka infrastruktur pendidikan di daerah tersebut cenderung lebih baik, akibatnya APM SMP di daerah tersebut juga lebih tinggi. Inilah yang diduga menyebabkan perbedaan antara hasil dan hipotesis yang digunakan dalam hasil regresi berganda yang dilakukan. Model II Estimasi berikutnya dilakukan untuk melihat kesesuaian antara proporsi belanja pendidikan yang dianggarkan dengan kebutuhan masyarakatnya. Estimasi ini menggunakan Model II yang telah dibahas sebelumnya. Hasil dari regresi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. di bawah ini dengan variabel terikat Urusan: Tabel 3. Nama Variabel APMSD_2010 APMSMP_2010 PDRB Populasi (ln) Transfer Miskin lnBOS lnTotal
Koefisien 0.28340*** 0.11936*** -0.00017*** 11.10308*** -2.82839 -0.15574 -2.11225** -2.75500***
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Hipotesis (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (-)
Nama Variabel Rural Jumlah Observasi F stat R2
Koefisien -0.00519
Hipotesis (+) 449 0,000*** 0,6209
Keterangan : *, **, dan *** masing-masing merupakan signifikansi pada tingkat kepercayaan 90, 95, dan 99 persen.
Berdasarkan Tabel 3. di atas, terlihat bahwa secara nasional, populasi merupakan variabel yang paling mempengaruhi besaran proporsi belanja pendidikan pemerintah daerah. Semakin besar populasi suatu daerah, maka proporsi belanja pendidikannya juga semakin besar. Namun, temuan menarik dapat dilihat pada variabel lnBOS, Rural, dan Miskin. Variabel lnBOS mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan pada tingkat 95 persen dengan proporsi Urusan. Dengan kata lain, semakin besar transfer dari pemerintah pusat untuk urusan pendidikan, maka semakin kecil proporsi belanja pendidikan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, variabel Rural dan Miskin secara statistik tidak signifikan mempengaruhi besaran proporsi belanja pendidikan di daerah. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah di Indonesia cenderung tidak memperhitungkan variabel yang mencerminkan ketertinggalan suatu daerah ini dalam menganggarkan belanja pendidikan. Temuan ini juga diperkuat oleh hubungan
0
20
40
60
antara kedua variabel tersebut secara deskriptif pada Grafik 3. di bawah ini:
0
20
40 Fitted values
Rural
60
80
Pendidikan Urusan per Total
Grafik 3. Hubungan antara Urusan dengan Rural Sumber : Sensus Penduduk 2010 dan APBD Anggaran 2011.
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
100
Berdasarkan pada grafik di atas, terlihat bahwa hubungan antara Urusan dengan Rural adalah negatif. Pemerintah daerah yang daerahnya memiliki proporsi penduduk yang tinggal di desa lebih tinggi, cenderung mengalokasikan proporsi belanja pendidikan yang lebih sedikit. Akibatnya adalah daerah yang lebih tertinggal dapat terus tertinggal karena sumber daya manusianya yang
0
20
40
60
lebih buruk dibandingkan dengan daerah yang lebih maju.
0
10
20 30 Presentase Penduduk Miskin Fitted values
40
50
Pendidikan Urusan per Total
Grafik 4. Hubungan antara Urusan dengan Miskin Sumber : APBD Anggaran 2011 dan Sensus Penduduk 2010.
Selain itu, hubungan yang sama juga dapat dilihat pada variabel Miskin dalam Grafik 4 di halaman sebelumnya. Serupa seperti variabel Rural, hubungan antara Urusan dengan Miskin juga cenderung negatif. Berdasarkan grafik tersebut, dapat dikatakan daerah yang memiliki proporsi penduduk miskin yang lebih besar, cenderung mengalokasikan proporsi belanja pendidikan yang lebih kecil. Temuan ini bertentangan dengan konsep desentralisasi yang menyatakan bahwa alokasi belanja publik dalam sistem pemerintahan ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bila memang sesuai, hubungan antara kedua variabel ini seharusnya adalah positif. Dari temuan-temuan tersebut, dapat dikatakan bahwa desentralisasi yang diterapkan di Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan masih belum baik. Proporsi belanja pendidikan yang dialokasikan pemerintah daerah lebih tergantung kepada besaran dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat dibandingkan dengan kondisi daerahnya. Dengan kata lain, berdasarkan hasil di Tabel 3., dalam mengalokasikan proporsi belanja pendidikannya, pemeritah daerah lebih tergantung kepada jumlah uang yang tersedia untuk mendukung pelayanan pendidikan dibandingkan dengan kebutuhan masyarakatnya terhadap pelayanan pendidikan.
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Simpulan Secara garis besar, dapat dikatakan hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Dari hasil regresi, ditemukan bahwa proporsi belanja pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah daerah tidak berdampak signifikan terhadap APM SMP di daerahnya. Sebaliknya, alokasi dana pendidikan dari pemerintah pusat berupa dana BOS untuk jenjang pendidikan SMP mempunyai hubungan positif yang kuat dengan APM SMP. Seharusnya, bila mengacu kepada teori desentralisasi sebelumnya, proporsi belanja pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah daerah yang signifikan mempengaruhi APM SMP di daerah. Selain dari dampaknya yang tidak signifikan dalam mempengaruhi APM SMP, proporsi belanja pendidikan yang dianggarkan pemerintah daerah juga cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Variabel Rural dan Miskin yang tidak signifikan, mencerminkan bahwa kondisi ketertinggalan suatu daerah tidak menjadi faktor penting dalam penentuan proporsi belanja pendidikan pemerintah daerah. Variabel lnBOS yang merupakan transfer dari pemerintah pusat yang signifikan mempengaruhi proporsi belanja pendidikan mencerminkan bahwa besaran alokasi yang lebih mempengaruhi pemerintah daerah untuk menentukan proporsi belanja pendidikan. Temuan ini tidak sesuai dengan teori desentralisasi yang menyatakan bahwa pemerintah menganggarkan belanjanya sesuai dengan permintaan masyarakat daerahnya. Saran Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menghadapi beberapa kendala yang secara umum dapat dikatakan sebagai kendala data. Pertama adalah kendala data untuk uji secara serial waktu. Karena variabel yang digunakan mengalami keterbatasan di dalam waktu publikasi terutama BOS yang alokasi untuk Kabupaten dan Kota baru tersedia untuk tahun 2011. Akibatnya adalah dampak dari proporsi belanja pendidikan pemerintah daerah tidak dapat diuji antar waktu. Keterbatasan ini sungguh vital, mengingat APM SMP yang naik tidak hanya disebabkan oleh belanja pendidikan yang dialokasikan suatu daerah pada satu waktu saja, tetapi juga dapat disebabkan oleh belanja pendidikan yang dilakukan pada periode sebelum-sebelumnya. Selain itu, tidak adanya serial waktu juga menyebabkan peneliti tidak dapat menguji dampak dari ekspektasi terhadap pasar tenaga kerja yang dapat mempengaruhi partisipasi pendidikan. Kedua adalah kendala data untuk menguji variabel lainnya yang mungkin mempengaruhi variabel terikat. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat pos belanja lain yang mempengaruhi APM SMP untuk masing-masing daerah, seperti pembuatan akses untuk ke sekolah, tetapi tidak dapat dikendalikan karena memang data yang ada terbatas. Selain itu, keterbatasan data
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
juga membuat peneliti menggunakan data Anggaran Belanja Pendidikan dalam penelitian ini dan bukan Realisasi Belanja Pendidikan. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya, lebih baik dilakukan penelitian yang menambahkan uji serial waktu. Dengan uji serial waktu ini, digunakan agar nantinya dapat melihat dampak dari belanja pendidikan pemerintah terhadap partisipasi pendidikan dengan lebih baik lagi. Selain itu, disarankan pula untuk memakai data realisasi karena lebih memperlihatkan kondisi realita yang ada. Kepustakaan Barankay, I., & Lockwood, B. (2006). Decentralization and the Productive Efficiency of Government : Evidence from Swiss Cantons. Institute for theStudy of Labor, German . Bergh, A., & Fink, G. (2004). Higher Education: Does Public Expenditure Increase Enrollment? BPS. (2010). Publikasi Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS. BPS. (2010). Sensus Penduduk. BPS. BPS. (2011). Survei Sosial dan Ekonomi Nasional. BPS. Chakrabarti, A., & Joglekar, R. (2006). Determinants of Expenditure on Education : An Empirical Analysis Using State Level Data. Economic and Political Weekly, Vol. 41, nomor 15 , 1465-1472. Checci, D. (2005). The Economics of Education : Human Capital, Family Background, and Inequality. New York: Cambridge University Press. Faguet, J. P., & Sanchez, F. (2008). Decentralization and Access to Social Services in Bolivia and Colombia. World Development Vol. 36, nomor 7 , Elsevier. Falch, T., & Rattsø, J. (1998). Local Public Choice of School Spending : Disaggregating the Demand Function for Educational Services. Economics and Education Review 18 , 361-373. Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. DKI Jakarta. Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. DKI Jakarta. Republik Indonesia. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. DKI Jakarta. Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013
Kementrian Keuangan. (2010). Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Klasifikasi Urusan. DKI Jakarta: Kementrian Keuangan. Kementrian Keuangan. (2011). Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Klasifikasi Urusan. DKI Jakarta: Kemetrian Keuangan. Kementrian Keuangan. (2012). Annual Review 2012: Tinjauan Tahunan Keuangan Daerah dan Kinerja Pelayanan Publik. DKI Jakarta: Kementrian Keuangan. Kementrian Keuangan. (2010). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216 tahun 2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus. Kementrian Keuangan. Kementrian Keuangan. (2010). Peraturan Menteri Keuangan nomor247 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Sementara Bantuan Operasional Sekolah Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2011. Kementrian Keuangan. Kementrian Keuangan. (2011). Realisasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah. DKI Jakarta: Kementrian Keuangan. Kristiansen, S., & Pratikno. (2006). Decentralizing Education in Indonesia. International Journal of Educational Development 26 , El Sivier. Oates, W. E. (2005). Toward A Second-Generation Theory of Fiscal Federalism. International Tax and Public Finance, 12 , 349-373.
Analisis Dampak..., Dillon Zufri, FE UI, 2013