ANALISIS AKSESIBILITAS KOTA KENDARI DITINJAU DARI ASPEK EKONOMI
vii SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Jurusan Pendidikan Geografi OLEH : TESNO ARIANDO TAMBURAKA A1A4 11 002
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Tesno Ariando Tamburaka
Stambuk
: A1A4 11 002
Jurusan
: Pendidikan Geografi
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis benarbenar merupakan hasil karya sendiri dan bukan merupakan ciplakan/plagiat dari karya orang lain yang belum pernah maupun sudah dipublikasikan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sadar dan penuh tanggung jawab apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan akademik dalam tulisan saya maka saya bersedia mempertanggung jawabkan skripsi ini.
Kendari,
April 2016
Yang Membuat Pernyataan,
Tesno Ariando Tamburaka NIM. A1A4 11002
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Ketika anda melakukan sesuatu dan gagal, maka kegagalan itu bukan hanya akan membuahkan kesuksesan, tetapi yang pasti kegagalan itu lebih berguna, ketimbang tidak melakukan apapun. (George B. Shaw, Penulis) “Lakukan yang terbaik dimanapun kita berada, berikan yang terbaik, kontribusi yang terbaik dan tunjukkan prestasi.”
Ku persembahkan hasil karyaku ini untuk : Orangtuaku : Thimotius Tongli Tamburaka & Lux, S.Pd Adikku :Heny Rachmawati Tamburaka, Rezky Prajaditya Tamburaka, AlQuran ,As-Sunnah, orang – orang terdekatku yang selalu memberikan harapan, semangat dan cinta dengan sepenuh hati
v
ABSTRAK Tesno Ariando Tamburaka (2016) Telah melakukan penelitian dengan judul “Analisis Aksesbilitas Kota Kendari Ditinjau Dari Aspek Ekonomi ”Masalah yang diteliti adalah 1) Bagaimana perkembangan aksesibilitas wilayah di Kota kendari 2) Bagaimana hubungan antara fasilitas perekonomian di Kota Kendari dngan aksesbilitas masing-masing kecamatan di kota kendari.Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:1) Mengetahui indeks aksesibilitas wilayah kecamatan di Kota Kendari. Menganalisis hubungan antara ketersediaan fasilitas perekonomian atau jumlah lapangan kerja di Kota Kendari dengan aksesbilitas pada masing – masing kecamatan di Kota Kendari. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif adapun subjek penelitian itu sendiri adalah Kecamatan Se-Kota Kendari dengan Teknik Analisis yaitu Teknik Analisis Aksesibilitas Hansen dengan Menghitung jumlah lapangan kerja pada sektor perekonomian pada masing–masing wilayah kecamatan. Menghitung adanya potensi pengembangan daerah maka perlu adanya kombinasi antara accesibility index dengan holding capasity (lahan kosong). Hasil analisis menunjukkan bahwa aksesibilitas berdasarkan rumusan aksesibilitas hansen yang tertinggi terdapat pada Kecamatan Kadia sebesar dengan indeks sebesar 115,8182 dan kemudian berturut-turut disusul oleh Kecamatan Wua-wua (96,38), Kecamatan Poasia (78,7485), Kecamatan Mandonga (71,24) ,Kecamatan kambu (nilai indeks aksesibilitas =57,9671 ), Kecamatan baruga (nilai aksesibilitas = 39,8), Kecamatan Abeli (nilai indeks aksesibilitas = 26,10) , Kecamatan Kendari (26,71),Kecamatan Puuwatu (40,23),Kecamatan Kendari nilai indeks aksesbilitasnya 44,03. Tingginya nilai aksesibilitas “Hansen” pada kecamatan Kadia disebabkan wilayah ini merupakan pusat kawasan bisnis (Central Distric business) dengan aktifitas utama adalah perdagangan dan Jasa dengan sektor perekonomian.Terdapat hubungan antara tingkat ekonomi wilayah di kota Kendari hal ini di tandai dengan semakin meningkatnya tingkatan aktivitas perekonomian di kota kendari dengan banyaknya fasilitas perdagangan karena tranportasi kota Kendari semakin membaik sehingga menimbulkan daya tarik bagi suatu lokasi untuk di tinggali sebagai kawasan bisnis.pengaruh aksesbilitas terhadap aktivitas perekonomian terutama dalam hal lapangan kerjanya itu sendiri relatif kuat, nilai t hitung bertanda positif yang berarti bahwa semakin tinggi aksesbilitas suatu wilayah maka semakin berpengaruh besar terhadap aktivitas perekonomian di wilayah tersebut. Kata Kunci : Aksesibiltas Wilayah, Hansen, Fasilitas perekonomian
vi
KATA PENGANTAR
Puji bagi Allah SWT karena atas segala limpahan berkah dan rahmat berupa kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai teladan umat manusia dalam segala aspek sehingga menjadi motivasi bagi penulis dalam menuntut ilmu.Rasa sayang dan terima kasih yang tak terhingga khususnya pada kedua orang tua, ayah Thimotius T. Tamburaka dan ibu Lux,S.Pd yang dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang telah membesarkan dan mendidik penulis, saudaraku Heny Rachmawati Tamburaka, Rezky Prajaditya Tamburaka terima kasih atas dukungan yang telah kalian berikan selama ini. Penulis sangat menyadari bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan Skripsi ini, namun berkat dorongan, dukungan, bimbingan, arahan, serta motivasi yang besar yang diberikan oleh Bapak Drs. Surdin M.Pd selaku pembimbing I dan La Ode Nursalam, S.Pd., M.Pd selaku pembimbing II dengan penuh perhatian membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian sampai kepada penyusunan Skripsi ini. Kepada para penasehat penulis menyampaikan dengan penuh rasa hormat, mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan pula pada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsungmembantu penulis
1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., selaku Rektor Universitas Halu Oleo Kendari 2. Prof. Dr. La Iru,S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo Kendari. 3. La Ode Amaluddin, S.Pd., M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan/program Studi Geografi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan 4. Drs. Surdin, M.Pd selaku penasehat akademik penulis. 5. Tenaga pengajar Jurusan Program Studi Pendidikan Geografi UHO, serta seluruh staf Akademik di lingkungan FKIP Universitas Halu Oleo. 6. Kepada Tim Penguji Bapak Drs. Ramli, M.Si, La Ode Amaluddin, S.Pd.,M.Pd, Drs. Surdin, M.Pd, Drs. Laharudu, M.Si terima kasih atas kritik dan saran atas penyusunan skripsi ini. 7. Terima Kasih kepada Walikota kendari Staf Ahli Bidang Ekonomi, Kepala Dinas Perhubungan Kota Kendari, Kepala Dinas Tata Kota, BAPPEDA Kota Kendari dan masyarakat Kota Kendari atas kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian. 8. Sahabat-sahabatku : Gilbert .C,Yayan Patulak, Ka Dodo, Ka Ono Tamburaka, Maemunah Tamburaka, Muh. Suhendrianto (Alm.), Midun (Alm.), Nandy, Lisnawati (Alm.),Muh. Alam,S.Pd ,Lali Rahwan, S.Pd, Eliz .A, Herman S.Pd ,Yedamsyah, Firdayanti, S.Pd, Askar S. Pd, Ilman, Suharman, Haidir Ali, Bang Jams, Asni,M & D Sanjaya, S.Pd, La Umar, S.Pd, A. Kodahuwa, S.Pd, Murni, S.Pd, Nanang, Adnan, Aris, Maman, L. Muarmansyah, S.Pd, Filman, Nisyam (Icham), Guslan, S.Pd, Nur Azizah,S.Pd,Najamuddin, S.Pd, Hamlin,
Sazlin, Makiwan S, Idayanty, Sarni Baso, La Toni, Megawati, Ihsan S.Muna, Kariatno, Sabhrin, Fashrun, Udin. 9. Keluarga Besar Mahasiswa Pendidikan Geografi angkatan 2011-2014 : Nurhasanah, Syahrul, Adhas, Aand, Murni, Akbar, Adansyah, Sarban, Bram, , serta teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas
kekompakannya
dalam
menyelesaikan
tugas-tugas
perkuliahan,
dukungan dan motivasinya.
Penulis menyadari bahwa meskipun tulisan ini telah diupayakan sebaik mungkin, namun masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangat kami harapkan, demi kesempurnaan tulisan ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, Amin. Wassalaamu’ Alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Kendari, April 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v ABSTRAK ........................................................................................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2 C. Tujuan Penelitian...................................................................................... 3 D. Manfaat Penelitian.................................................................................... 4 E. Definisi Operasional.................................................................................. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Aksesibilitas Wilayah.................................................... 7 B. Hubungan Aksesbilitas Terhadap Perkembangan Wilayah............... 41 C. Penelitian Relevan.................................................................................. 42 D. Kerangka Berpikir ................................................................................. 45 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian........................................................................................ 46 B. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 46 C. Teknik Pengumpulan Data.................................................................... 47
D. Metode Analisis Data ............................................................................. 48 E. Sampel Penelitian.................................................................................... 48 F. Variabel Penelitian ................................................................................. 48 G. Teknik Analisis Data ............................................................................. 49 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................... 53 B. Aksesbilitas, Potensi Pengembangan Wilayah..................................... 62 C. Hubungan Fasilitas Pelayanan Dan Aksesbilitas Wilayah................. 73 D. Kerangka Berpikir................................................................................ BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................. 78 B. Saran........................................................................................................ 79 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 81 LAMPIRAN........................................................................................................ 84
Daftar Tabel
Nama Tabel.
Uraian/Nama Tabel
Halaman
Tabel . 3.1 Hubungan Keterkaitan Operasional Penelitian.......................... 49 Tabel . 4.1 Pembagian Wilayah Administrasi Kota Kendari........................ 54 Tabel. 4.2 PDRB Kota Kendari Harga Berlaku Tahun 2010-2014............. 58 Tabel. 4.3 PDRB Kota Kendari Kota Kendari 2010 – 2014......................... 59 Tabel. 4.4 Pertumbuhan Ekonomi Kota Kendari ........................................ 60 Tabel. 4.5 PDRB Kota Kendari Atas Dasar Harga Berlaku....................... 61 Tabel. 4.6 Data Menentukan Jarak Antar Kecamatan .............................. 62 Tabel. 4.7 Data Jumlah Penduduk Kecamatan............................................ 63 Tabel. 4.8 Jumlah Penduduk masing-Masing Wilayah............................... 65
Daftar Lampiran
No. Lampiran
Judul
Halaman
1. Data Kecamatan Dalam Angka.................................................................. 85 2. Peta Kepadatan Penduduk Kota Kendari ................................................. 86 3. Fasilitas Parkir Pusat Perbelanjaan .......................................................... 87 4. Kondisi Jalan Di Kota Kendari ................................................................. 88 5. Surat Izin Penelitian UHO.......................................................................... 90 6. Surat Badan Penelitian Masyarakat ......................................................... 91 7. Surat Badan Kesbang Dan Politik ............................................................ 92 8. Surat BAPPEDA Kota Kendari................................................................. 93 9. Surat Dinas Tata Kota Kendari ................................................................ 94 10. Surat Dinas Kominfo ............................................................................... 95 11. Surat Disperindag ................................................................................... 96 12. Surat Dinas Pekerjaan Umum ................................................................ 97
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perwilayahan adalah usaha
membagi-bagi permukaan bumi tertentu
untuk tujuan tertentu pula. Pembagiannya dapat didasarkan pada pembagian tertentu pula. seperti administratif, politis, ekonomis, sosial, kultural, fisis geografis dan sebagainya. Perwilayahan di Indonesia berhubungan erat dengan pemerataan pembangunan daerah dan mendasarkan pembagiannya pada sumber daya lokal sehingga prioritas pembangunan dapat dirancang dan dikelola sebaikbaiknya. Menurut (Bintarto, 1981). Pertambahan penduduk kota yang terus menerus, membawa konsekuensi spasial yang serius terhadap kehidupan kota yaitu adanya tuntutan akan Space yang terus menerus pula di manfaatkan sebagai tempat hunian. Sebagian besar kota-kota di Indonesia mengalami problematika yang serius dalam memenuhi kebutuhan akan ruang terbuka yang masih memungkinkan untuk mengakomodasi mereka semakin terbatas dan semakin berkurang. Pengaliran penduduk dan bertambahnya penduduk karena proses alami ini telah berlangsung secara terus menerus sehingga menyebabkan terjadinya proses densifikasi penduduk, pemukiman maupun bangunan non permukiman di kota yang tidak terkendali. Konteks geografi dengan pendekatan kompleks wilayah (geography analysis) dan spasial menjadi bagian analisis untuk melihat perkembangan suatu wilayah dan selanjutnya akan dijadikan sebagai analisis pertumbuhan dalam
1
konteks (regional approach). Sehingga muncul analisis baru dalam konteks geografi ekonomi yang akan menjelaskannya sebagaimana disebutkan (Tarigan , 2003) yang menjelaskan bahwa dalam konteks ilmu geografi ekonomi (economic geography) pola terjadinya adalah dengan adanya aktivitas ekonomi yang dapat menunjukkan keberadaan suatu kegiatan disuatu lokasi dan bagaimana wilayah sekitarnya berinteraksi atas kegiatan tersebut dan gejala-gejala dari suatu kegiatan yang bersangkut paut dengan tempat atau lokasi sehingga ditemukan prinsipprinsip penggunaan ruang. Kondisi dan potensi sumberdaya yang dimiliki masingmasing kabupaten/ kota dalam satu kawasan strategis merupakan modal dasar dan faktor potensial yang dimiliki Propinsi Sulawesi Tenggara, yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran pembangunan serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Langkah strategis dalam mencapai pembangunan salah satunya mengambil kebijakan yang mengarah pada perkembangan pusat pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah Provinsi sulawesi Tenggara membentuk kawasan kerjasama antar daerah
yang dapat dimanfaatkan dalam upaya pemerataan
pembangunan dalam suatu kawasan, melalui PERDA Propinsi sulawesi Tenggara No. 21 Tahun 2003 juta PERDA Provinsi Sulawesi Tenggara No. 6 Tahun 2010, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Tenggara, terdapat pada bagian ketiga yaitu Kawasan Startegis dari Sudut Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi, pada pasal 100 yang bunyinnya rencana pengembangan kawasan startegis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi. Kota Kendari mempunyai 10 (Sepuluh) Kecamatan dengan tingkat perkembangan dan aksesibilitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diikuti
oleh tidak optimalnya pengembangan potensi wilayah yang terdapat pada masingmasing Kelurahan. Perbedaan ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih jauh, agar strategi pembangunan wilayah dapat lebih difokuskan dalam rangka pencapaian kesejahteraan masyarakat secara merata. Salah satu permasalahan yang teridentifikasi dengan jumlah penduduk perkotaan
maupun
kegiatan
penduduk
perkotaan
telah
mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi – fungsi selalu membuat ruang di daerah pinggiran kota tidak optimal, pengembangan potensi wilayah yang terdapat pada masing-masing Kecamatan dan Kelurahan serta kebijakan pemerintah Kota Kendari dalam hal sulitnya pengendalian perkembangan fisik kegiatan perkotaan sesuai dengan arahan peruntukan lahan yang telah ditetapkan,sehingga kecendrungan alih fungsi lahan secara alamiah atau mengikuti permintaan pasar menjadi fenomena umum. Faktor-faktor
lain
yang
juga
berpengaruh
terhadap
pergerakan
masyarakat kota ke daerah pinggiran seperti pola jaringan jalan Kota Kendariyang menghubungkan daerah pinggiran Kota Kendari. Pola jaringan jalan Kota Kendari akan dikaitkan dengan pola pergerakan masyarakat ke daerah pinggiran Kota Kendari. Faktor faktor lain yang akan ditinjau seperti kepemilikan kendaraan pribadi dalam keluarga, dimana kepemilikan kendaraan pribadi ini cenderung dapat mempermudah aksesibilitas ke daerah tengah kota, sehingga masyarakat kota yang bermukim di daerah pinggiran kota bukan menjadi suatu hambatan
untuk melakukan aktifitas pergerakan ke tengah kota. Beberapa penelitian sebelumnya belumlah cukup bagi penulis untuk membuktikan bahwa ada relevansi yang sangat kuat antara tingkat aksesibilitas suatu wilayah terhadap pengembangan potensi wilayah itu sendiri, khususnya bila penelitian tersebut dilakukan di
Kota Kendari. Oleh sebab itu, maka penulis tertarik untuk
menganalisis lebih jauh mengenai aspek ini dengan mengambil judul “Analisis Aksesibilitas Kota Kendari Di Tinjau Dari Aspek Ekonomi ” B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1) Bagaimana aksesibilitas wilayah di Kota kendari ? 2) Bagaimana hubungan antara ketersediaan fasilitas perekonomian atau jumlah lapangan kerja di Kota Kendari dengan aksesbilitas masing – masing kecamatan di Kota Kendari ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1) Mengetahui indeks aksesibilitas wilayah kecamatan di Kota Kendari. 2) Menganalisis hubungan antara ketersediaan fasilitas
perekonomian atau
jumlah lapangan kerja di Kota Kendari dengan aksesbilitas pada masing – masing kecamatan di Kota Kendari.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diharapkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Sebagai informasi pengetahuan bagi pemerintah khususnya Kota Kendari dalam rangka membuat kebijakan dalam hal perencanaan dan pengembangan wilayah termasuk bidang transportasi. 2) Sebagai bahan untuk menambah wawasan keilmuan bagi penulis dan peneliti lainnya pada bidang kewilayahan yang relevan. 3) Sebagai pengetahuan bagi pelaku bisnis tentang kondisi masyarakat Kota Kendari. 4) Menjadi Sumbangsih pengetahuan dan dapat menjadi dasar penelusuran lebih lanjut yang sifatnya lebih mendalam. E. Definisi Operasional Definisi operasional dibutuhkan agar tercipta kesamaan persepsi mengenai semua istilah khususnya variabel – variabel yang akan di gunakan dalam penelitian ini. Adapun beberapa definisi variabel – variabel tersebut adalah sebagai berikut : 1) Aksesibilitas Aksesibilitas adalah derajat kemudahan yang dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Kemudahan akses tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung, lingkungan dan fasilitas umum lainnya. Pada penelitian ini, rumusan aksesibilitas yang digunakan adalah model aksesibilitas Hansen (1959). Ada berbagai unsur yang mempengaruhi tingkat
aksesibilitas, misalnya kondisi jalan, jenis alat angkutan mempengaruhi alat angkutan yang tersedia dan frekuensi keberangkatan, dan jarak. Untuk menyederhanakannya maka cukup hanya di gunakan unsur jarak dengan waktu tempuh. Agar terjadi keseragaman maka waktu tempuh harus di dasarkan pada alat angkutan yang sama, misalnya bus umum atau kendaraan pribadi roda empat. Tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh berbagai kondisi medan, topografi suatu wilayah, jarak, jaringan jalan, kualitas jalan, ketersediaan alat transportasi, fasilitas pelayanan dan lain sebagainya. Apabila unsur–unsur tersebut terpenuhi maka tingkat aksesibilitas tinggi sehingga hubungan antar wilayah terjadi kelancaran. 2) Pusat perbelanjaan/ pusat pelayanan ekonomi Pusat perbelanjaan merupakan fasilitas tujuan ekonomi tempat orang melakukan proses berjual atau beli penawaran permintaan, bagian kecil dari kota yang merupakan pusat dari segala kegiatan politik, sosial budaya, ekonomi dan teknologi. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pusat kawasan bisnis adalah pusat dari segala kegiatan politik, sosial, budaya, ekonomi dan teknologi yang berada di jantung ibukota Kota Kendari yakni Kecamatan , sehingga karakteristik sebagai pusat kawasan bisnis mengikuti karakteristik wilayah Kecamatan. 3)
Jumlah Lapangan Kerja Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan
jumlah lapangan kerja adalah jumlah fasilitas perekonomian yang ada dan atau melakukan pekerjaan sebagaimana yang disebutkan dalam klasifikasi yang di sebutkan di BPS Dalam Angka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Aksesibilitas Wilayah 1. Konsep dan Definisi Pengembangan Wilayah Pendekatan yang di terapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghadap pertumbuhan itu sendiri (Direktorat
Jenderal
Penataan
Ruang).
Pengembangan
wilayah
dengan
memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado,2002). Variasi keruangan akan menimbulkan berbagai bentuk interaksi keruangan (spatial interaction) antar masing-masing tempat (individual places) dan
tentunya
interaksi
keruangan
menghasilkan
bentuk-bentuk
saling
ketergantungan antar tempat (interdependency of places). Dengan analogi semacam ini jelas bahwa spatial interdependency merupakan pencerminan dari azas-azas geografi (khususnya spatial analysis): location, distance, space, accessiblity, dan spatial interaction. Menurut Direktorat pengembangan kawasan strategis, Ditjen penataan
Ruang,
Departemen permukiman dan prasarana
Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah :
7
1) Growth center, memperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional. 2) Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah. 3) Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4) Pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dalam
pemetaan
strategic
development
region,
satu
wilayah
pengembangan di harapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergis di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003). Kegiatan transportasi umum pada prinsipnya dapat dibagi atas beberapa kegiatan yaitu, 1. Pengumpulan manusia dari kawasan permukiman atau kawasan tempat bekerja dan kawasan perbelanjaan; Pengangkutan antara kawasan permukiman, kawasan tempat bekerja atau kawasan perdagangan; 2. Distribusi di tempat-tempat kawasan permukiman, perdagangan atau tempat seperti bekerja (Wells. GR, 1975).
2. Teori Hirearki Pusat Pertumbuhan a. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan Teori tempat pemusatan pertama kali di rumuskan oleh Christaller (1933) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya. Dalam fungsi pelayanan perkotaan, tingkat permintaan akan daerah perkotaan akan daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pertumbuhan) tersebut. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat pelayanan :(1) Faktor lokasi ekonomi, (2) Faktor ketersediaan sumber daya,(3) Kekuatan Aglomerasi (4) Faktor investasi pemerintah. Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Francois perroux mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai “ pusat dari pancaran Gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripental”. Menurut Rondinelli (1985) dan Unwin (1989)
dalam Mercado (2002) teori pusat
pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di Negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota. Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetasan kebawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut stohr (1981) dalam mercado (2002), konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan neo-klasik, pembangunan dapat dimulai dari beberapa sektor yang dinamis, mampu
memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (Multiple effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi (Pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar dapat menjamin keseimbangan ekiliubrium (keseimbangan) dalam proses spasial ekonomi dan proses trickle downeffect atau
centre down dengan
sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan perkotaan tercapai dan di mulai dari level yang paling tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan pedesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirearki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar. Namun, demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetasan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi karena aktivitas industri tidak mempunyai wilayah yang berhubungan dengan basis di wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi kepentingan hirearki kota (Mercado, 2002). Zakaria (2008) menyimpulkan dalam hasil studinya bahwa peningkatan aksesibilitas dan fasilitas akan mempercepat pertumbuhan wilayah, kemudian pembangunan/peningkatan jalan akan membuka akses dan peluang aktifitas ekonomi bagi wilayah yang dilalui oleh ruas jalan tersebut, serta pembukaan akses jalan akan memunculkan pusat-pusat pertumbuhan baru dan cepat berkembang. Aspek aksesibilitas sangat penting bagi peningkatan kapasitas dan potensi sebuah wilayah, maka banyak peneliti yang tertarik untuk melihat lebih jauh tentang peranan
aksesibilitas
terhadap
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Magribi (2004) bahwa
ada
yang
menyimpulkan
peranan yang signifikan antara aksesibilitas masyarakat dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan suatu wilayah tidak dapat dari adanya peranan transportasi yang berfungsi untuk memudahkan hubungan dan capaian terhadap berbagai fasilitas tempat orang-orang beraktifitas. Dengan adanya transportasi membuka jalan komunikasi antar daerah sehingga terjadi aliran barang, jasa, manusia, dan ide-ide sebagai model bagi suatu daerah untuk maju dan berkembang. Tranportasi dapat menjadi fasilitator untuk suatu daerah untuk maju dan berkembang karena transportasi meningkatkan aksesibilitas suatu daerah. Transportasi sering dikaitkan dengan aksesibilitas suatu wilayah. Dalam pemnbangunan wilayah keberadaan prasarana dan sarana transportasi tidak dapat diabaikan dalam suatu program pembangunan.Terjadinya proses produksi yang efisien, selalu di dukung oleh sistem transportasi yang baik, investasi dan teknologi yang memadai sehingga tercipta pasar dan nilai. Aksesibilitas yang baik juga mendorong minat swasta dan masyarakat untuk menanamkan modalnya dalam rangka pengembangan wilayah. Dengan demikian akan memajukan kegiatan perekonomian masyarakat, dan dapat mengentaskan atau setidaknya dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah yang memiliki potensi yang sama atau berbeda.Widodo (2007) dalam studinya yang berjudul Kajian Pengaruh Jalan Terhadap Pengaruh knerja investasi di sekitarnya, dengan mengambil kasus kawasan utara Provinsi Jawa Barat. Dikaji keberadaan jalan tol Jakarta- Cikampek yang dioperasikan pada tahun 1988 terhadap kinerja investasi
asing (PMA) dan domestik (PDMN) antara tahun 1980- 2005. Korelasi atau pengaruh jalan tersebut terhadap investasi, selanjutnya diteliti bentuk sifat dan pengaruhnya dengan memakai indikator aksesibilitas sebagai pendekatannya. Rondinelli (1983) menjelaskan bahwa dalam kontek pelayanan terhadap wilayah pengaruhnya, kota-kota kedua dapat berfungsi 1) Pusat pelayanan umum dan masyarakat; 2) Pusat pelayanan jasa pribadi dan komersial; 3) Pusat perdagangan dan pemasaran tingkat wilayah; 4) Pusat pengolahan hasil pertanian dan produksi; 5) Pusat daya tarik terhadap arus migrasi dari desa; 6) Pusat perangkutan dan komunikasi wilayah; 7) Pusat sumber pengiriman uang ke desa; 8) Pusat transformasi sosial. Dengan memakai indikator aksesibilitas yang merupakan perkalian fungsi aktivitas (GDP Populasi) dengan impendasi wilayah ( jarak,waktu tempuh), keunggulan lokasional suatu wilayah dapat di lokasional suatu wilayah dapat diidentifikasi. Setelah indeks aksesibilitas per wilayah diketahui, kemudian dilihat korelasinya dengan kinerja investasi masing-masing wilayah tersebut. Hasil penelitian terhadap data investasi di setiap wilayah unit analisis 1980-2005 yang dikaitkan dengan indikator aksesibilitas menunjukan hubungan kuat antar keduanya. Wilayah dengan indeks aksesibilitas tinggi (mendekati nilai 1 untuk range indeks ternormalisir antara 0 sampai dengan 1 cenderung memiliki kinerja investasi tinggi, atau dengan pengertian lain dapat dikatakan memiliki daya tarik tinggi, relatif terhadap wilayah lainya. Sementara itu, wilayah dengan indeks aksesibilitas rendah. Dalam pengertian geografis, kota itu adalah suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok kelompok, dan mata
pencaharian penduduknya bukan pertanian. Sementara menurut Bintarto (1987) mendefinisikan kota dalam tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya. Tinjauan di atas masih sangat kabur dalam arti akan sulit untuk menarik batas yang tegas untuk mendefinisi kota dan membedakannya dari wilayah desa apabila menginginkan tinjauan tersebut. Tinjauan diatas merupakan batasan kota dari segi sosial. Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu segi fisik ,administratif, sosial dan fungsional. Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota, mengakibatkan pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini tidak satupun batasan tolak ukur kota yang dapat berlaku secara umum. b. Struktur Tata Ruang Kota Struktur tata ruang kota dapat membantu dalam memberi pernahaman tentang perkernbangan suatu kota. Ada 3 (tiga) teori struktur tata ruang kota yang berhubungan erat dengan perk embangain guna lahan kota dan perkembangan kota, yaitu (Chapin, 1979). Teori sektor (sector concept) yang dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Dalam teori ini Hoyt mengemukakan beberapa masukan tambahan dari bentuk guna lahan kota yang berupa suatu penjelasan dengan penggunaan lahan permukiman yang lebih
memfokusan pada pusat kota dan sepanjang jalan
transportasi. Dalam teorinya ini, Hoyt membagi wilayah kota dalam beberapa zona, yaitu: 1) Lingkaran pusat, terdapat pusat kota atau CBD 2) Sektor kedua terdapat kawasan perdagangan dan industri 3) Sektor ketiga terdapat kawasan tempat tinggal kelas rendah 4) Sektor keempat terdapat kawasan tempat tinggal kelas menengah 5) Sektor kelima terdapat kawasan ternpat tinggal kelas atas. Menurut Yunus tipe-tipe struktur tata ruang kota diatas merupakan tipe struktur ruang yang berdasarkan pendekatan ekologikal. Pendekatan ekologikal memandang manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai hubungan interrelasi dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk penggunaan lahan yaitu merupakan proses bertempat tinggal, mengembangkan keturunan, dan tempat mencari makan (Yunus, 1999). Struktur tata ruang kota juga dapat dijelaskan berdasarkan pendekatan morfologikal, Beberapa sumber mengernukakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota. ditekankan pada bentuk-bentuk- fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan - jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/industri) dan juga bangunan bangunan individual (Yunus,1999). Pengembangan struktur ruang Kota Kendari pada 20 tahun mendatang yang didasarkan pada pertimbangan, bahwa Pengembangan pusat-pusat kegiatan skala besar baik yang telah berkembang di Pusat Kota, Pusat Pendidikan Tinggi dan Pemerintahan, maupun pusat-pusat kegiatan primer baru yang akan dikembangkan yaitu kawasan pelabuhan, kawasan industri dan kawasan CBD
(Central Bussines District). Pengembangan pusat primer akan menjadi magnet pertumbuhan kota yang tersebar di Kota Kendari : 1) Pengembangan Pusat Kota dan CBD. Pusat Kota Kendari yang akan dikembangkan sebagai pusat pemerintahan, permukiman, perdagangan dan jasa akan menyatu dengan kawasan CBD sehingga akan menjadi pusat kegiatan perkotaan skala besar. 2) Perkembangan Kawaan Pendidikan Tinggi dan Pusat Pemerintahan Provinsi. Kawasan Pendidikan Tinggi dan Pemerintahan Provinsi akan berfungsi sebagai simpul primer di selatan Kota Kendari dan berkembang sebagai pusat permukiman perkotaan baru dalam skala besar. c. Aksesbilitas Wilayah Menurut Black (1981) aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu dengan yang lain, dan mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Pernyataan mudah atau sulit merupakan hal yang sangat subyektif dan kualitatif, mudah bagi seseorang belum tentu mudah bagi orang yang lain, begitu pula dengan pernyataan sulit, oleh karena itu diperlukan kinerja kualitatif yang dapat menyatakan aksesibilitas. Menurut Black and Conroy (1977) aksesibilitas zona dipengaruhi oleh proporsi orang menggunakan moda tertentu. Ukuran fisik aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spesial tanpa melihat adanya perbedaan yang disebabkan oleh keragaman moda transprtasi yang tersedia, misalnya mobil dan angkutan umum. Mobil mempunyai aksesibilitas yang lebih baik dari angkutan umum atau berjalan kaki. Banyak orang didaerah pemukiman
mempunyai akses yang baik dengan mobil atau sepeda motor dan banyak juga yang tergantung kepada angkutan umum dan jalan. Pengukuran sikap seseorang atas suatu obyek dipengaruhi oleh stimuli. Sebagai stimuli adalah peubah-peubah bebasnya (Sudibyo, 1993). Metode pengukuran sikap diukur dalam mempersepsi sesuatu obyek. Sikap adalah respon psikologis seseorang atas faktor yang berasal dari suatu obyek, respon tersebut menunjukkan kecenderungan mudah atau sulit. Dengan demikian maka pengukuran aksesibilitas transportasi dari seseorang merupakan pengukuran sikap orang tersebut terhadap kondisi aksesibilitas transportasinya. Ukuran fisik aksesibilitas menerangkan struktur perkotaan secara spasial tanpa melihat adanya perbedaan yang disebabkan oleh keragaman moda transportasi yang tersedia misalnya dengan berjalan kaki, berkendaraan pribadi atau angkutan umum. Banyak orang di daerah pemukiman baik mempunyai akses yang baik dengan mobil atau sepeda motor atau kendaraan pribadi, tetapi banyak pula yang bergantung pada angkutan umum atau berjalan kaki. Jadi, aksesibilitas zona asal dipengaruhi oleh proporsi orang yang menggunakan moda tertentu, dan harga ini dijumlahkan untuk semua moda transportasi yang ada untuk mendapatkan aksesibilitas zona (Tamin, 1997). Menurut Black (1978) jumlah atau jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi. Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan, komersil) mempunyai ciri bangkitan lalulintas yang berbeda seperti jumlah lalulintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil), lalu lintas pada waktu tertentu (kantor
menghasilkan arus lalulintas pada pagi hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalu lintas sepanjang hari). Menurut Wells (1975) bangkitan pergerakan memperlihatkan banyaknya lalu lintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran menunjukkan kemana dan darimana lalu lintas tersebut. Tarikan pergerakan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona tarikan pergerakan (Tamin, 2000). Tarikan pergerakan dapat berupa tarikan lalu lintas yang mencakup lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi. Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan arus lalu lintas. Menurut Tamin (1997) pergerakan Lalu - lintas dalam suatu daerah kajian tertentu dipengaruhi oleh dua jenis zona yaitu Zona Eksternal dan Zona Internal. Zona Eksternal adalah Zona yang berada diluar daerah Kajian yang dianggap sedikit memberi pengaruh dalam pergerakan lalu lintas dalam suatu daerah kajian tertentu. Zona internal adalah adalah zona yang berada di dalam daerah kajian yang dianggap berpengaruh besar terhadap pergeraakan arus lalu lintas dalam suatu daerah kajian tertentu. Adapun suatu daerah kajian transportasi dibatasi oleh daerah kajian disekelilingnya (Garis Kordon) dan semua informasi transportasi yang bergerak didalamnya harusa diketahui. Di dalam batasanya, daerah kajian dibagi menjadi N subdaerah yang disebut zona yang masing-masing diwakili oleh pusat zona. Pusat Zona dianggap sebagai awal pergerakan lalulintas dari zona tersebut dan akhir pergerakan lalulintas yang menuju zona tersebut. Menurut Tamin (1997) kriteria utama yang perlu diperhatikan dalam pembentukan Zona Transportasi adalah :
1) Ukuran zona harus konsisten dengan kepadatan jaringan yang akan dimodel. Biasanya ukuran zona semakin membesar jika semakin jauh dari pusat kota. 2) Ukuran zona harus lebih besar dari yang seharusnya untuk memungkinkan arus lalu lintas dibebankan ke atas jaringan jalan dengan ketepatatan yang disyaratkan. 3)
Batas zona harus dibuat sedemikian rupa sehingga konsisten dengan jenis pola pengembangan untuk setiap zona, misalnya pemukiman, industri dan perkantoran.
4) Batas zona harus sesuai dengan batas sensus, batas administrasi daerah dan batas zona yang digunakan oleh daerah kajian. 5) Batas zona harus sesuai dengan batas daerah yang digunakan dalam pengumpulan data. 3. Transportasi Kota a. Konsep Transportasi Kota Pengertian transportasi yang dikemukakan oleh Nasution (1996) diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Sehingga dengan kegiatan tersebut maka terdapat tiga hal yaitu adanya muatan yang diangkut, tersedianya kendaraan sebagai alat angkut, dan terdapatnya jalan yang dapat dilalui. Proses pemindahan dari gerakan tempat asal, dimana kegiatan pengangkutan dimulai dan ke tempat tujuan dimana kegiatan diakhiri. Untuk itu dengan adanya pemindahan barang dan manusia tersebut, maka transportasi merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang kegiatan ekonomi (the
promoting sector) dan pemberi jasa (the servicing sector) bagi perkembangan ekonomi.
Pengertian
lainnya
dikemukakan
oleh
Soesilo
(1999)
yang
mengemukakan bahwa transportasi merupakan pergerakan tingkah laku orang dalam ruang baik dalam membawa dirinya sendiri maupun membawa barang. Selain itu, Tamin (1997: 5) mengungkapkan bahwa, prasarana transportasi mempunyai dua peran utama, yaitu: (1) sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di daerah perkotaan; dan sebagai prasarana bagi pergerakan manusia dan/atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan tersebut. Dengan melihat dua peran yang di sampaikan di atas, peran pertama sering
digunakan
oleh
perencana
pengembang
wilayah
untuk
dapat
mengembangkan wilayahnya sesuai dengan rencana. Misalnya saja akan dikembangkan suatu wilayah baru dimana pada wilayah tersebut tidak akan pernah ada peminatnya bila wilayah tersebut tidak disediakan sistem prasarana transportasi. Sehingga pada kondisi tersebut, parsarana transportasi akan menjadi penting untuk aksesibilitas menuju wilayah tersebut dan akan berdampak pada tingginya minat masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Hal ini merupakan penjelasan peran prasarana transportasi yang kedua, yaitu untuk mendukung pergerakan manusia dan barang. Kegiatan ekonomi dan transportasi memiliki keterkaitan yang sangat erat, dimana keduanya dapat saling mempengaruhi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Tamin (1997: 4) bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki keterkaitan dengan transportasi, karena akibat pertumbuhan ekonomi maka mobilitas seseorang meningkat dan kebutuhan
pergerakannya pun menjadi meningkat melebih kapasitas prasarana transportasi yang tersedia. Hal ini dapat disimpulkan bahwa transportasi dan perekonomian memiliki keterkaitan yang erat. Di satu sisi transportasi dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi suatu daerah, karena dengan adanya infrastruktur transportasi maka suatu daerah dapat meningkat kegiatan ekonominya. Namun di sisi lain, akibat tingginya kegiatan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi meningkat maka akan timbul masalah transportasi, karena terjadinya kemacetan lalu lintas, sehingga perlunya penambahan jalur transportasi untuk mengimbangi tingginya kegiatan ekonomi tersebut. Pentingnya peran sektor transportasi bagi kegiatan ekonomi mengharuskan adanya sebuah sistem transportasi yang handal, efisien, dan efektif. Transportasi yang efektif memiliki arti bahwa sistem transportasi yang memenuhi kapasitas yang angkut, terpadu atau terintegrasi dengan antar moda transportasi, tertib, teratur, lancar, cepat dan tepat, selamat, aman, nyaman dan biaya terjangkau secara ekonomi. Sedangkan efisien dalam arti beban publik sebagai pengguna jasa transportasi menjadi rendah dan memiliki utilitas yang tinggi. Permasalahan transportasi menurut Tamin (1997:5) tidak hanya terbatas pada terbatasnya prasarana transportasi yang ada, namun sudah merambah kepada aspek-aspek lainnya, seperti pendapatan rendah, urbanisasi yang cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan kuantitas data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas sumber daya manusia, disiplin yang rendah, dan lemahnya perencanaan dan pengendalian, sehingga aspek-aspek tersebut memperparah masalah transportasi. Menurut Sukarto (2006) penyelesaian
masalah transportasi di perkotaan merupakan interaksi antara transpor, tata guna lahan (land use), populasi penduduk dan kegiatan ekonomi di suatu wilayah perkotaan.
Sehingga
transportasi
sangat
berhubungan
dengan
adanya
pembangkitan ekonomi di suatu daerah perkotaan guna memacu perekonomian setempat, penciptaan lapangan kerja, dan untuk mengerakan kembali suatu daerah.
Didalam
mengatasi
permasalahan
transportasi,
Sukarto
(2006)
mengungkapkan bahwa untuk pemilihan moda transportasi pada dasarnya ditentukan dengan mempertimbangkan salah satu persyaratan pokok, yaitu pemindahan barang dan manusia dilakukan dalam jumlah terbesar dan jarak yang terkecil. Dalam hal ini transportasi massal merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan transportasi individual. Kajian bidang transportasi memiliki perbedaan dengan kajian bidang lain, karena kajian transportasi cukup luas dan beragam serta memiliki kaitan dengan bidang-bidang lainnya. Singkatnya, menurut Tamin (1997:11) kajian transportasi akan melibatkan kajian multi moda, multi disiplin, multi sektoral, dan multi masalah. Keempatnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1)
Multi moda, kajian masalah transportasi selalu melibatkan lebih dari satu moda transportasi. Hal ini karena obyek dasar dari masalah transportasi adalah manusia dan/atau barang yang pasti melibatkan banyak moda transportasi. Apalagi secara geografis, Indonesia merupakan Negara dengan ribuan pulau, sehingga pergerakan dari satu tempat ke tempat lain tidak akan mungkin hanya melibatkan satu moda saja. Hal ini sesuai dengan konsep
Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) yang menggunakan konsep sistem integrasi antarmoda. 2)
Multi disiplin, kajian masalah transportasi melibatkan banyak disiplin ilmu karena kajiannya sangat beragam, mulai dari ciri pergerakan, pengguna jasa, sampai dengan prasarana atau pun sarana transportasi itu sendiri. Adapun bidang keilmuan yang dilibatkan diantaranya adalah rekayasa, ekonomi, geografis, operasi, sosial politik, matematika, informatika dan psikologi.
3)
Multi sektoral, yaitu melibatkan banyak lembaga terkait (baik pemerintah maupun swasta) yang berkepentingan dengan masalah transportasi. Sebagai contoh dalam kasus terminal bus, maka lembaga-lembaga yang terkait diantaranya adalah DLLAJ, BPN, Dinas Tata Kota, Kepolisian, Perusahaan Operator Bus, Dinas Pendapatan Daerah, dan lainnya.
4)
Multi masalah, karena merupakan kajian multi moda, multi disiplin, dan /multi sektoral, maka akan menimbulkan multi masalah. Permasalahan tersebut sangat beragam dan mempunyai dimensi yang sangat luas pula, seperti masalah sosial, ekonomi, operasional, pengguna jasa dan lainnya. Keempat aspek di atas memberikan indikasi bahwa masalah transportasi merupakan masalah yang cukup kompleks sehingga perlunya keterkaitan pada keempat aspek di atas. Namun demikian, transportasi memberikan peran yang sangat penting bagi pembangunan nasional secara keseluruhan, bahkan sebagai aspek penting dalam kerangka ketahanan nasional. Pemecahan masalah transportasi tidaklah serumit kompleksitas, hal ini
seperti yang disampaikan oleh Wells (1975), karena menurutnya di dalam pemecahan transportasi dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Membangun prasarana transportasi dengan dimensi yang lebih besar sehingga kapasitasnya sesuai dengan atau melebihi kebutuhan; 2) Mengurangi tuntutan akan pergerakan dengan mengurangi jumlah armada yang menggunakan jalur transportasi; dan 3) Menggabungkan poin pertama dan kedua di atas, yaitu menggunakan prasarana transportasi yang ada secara optimum, membangun prasarana transportasi tambahan, dan sekaligus melakukan pengawasan dan pengendalian sejauh mungkin atas meningkatnya kebutuhan akan pergerakan. c. Peran dan Manfaat Transportasi Menurut Tamin (1997:5), prasarana transportasi mempunyai dua peran utama, yaitu: (1) sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di daerah perkotaan; dan sebagai prasarana bagi pergerakan manusia dan/atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan tersebut. Dengan melihat dua peran yang di sampaikan di atas, peran pertama sering digunakan oleh perencana pengembang wilayah untuk dapat mengembangkan wilayahnya sesuai dengan rencana. Misalnya saja akan dikembangkan suatu wilayah baru dimana pada wilayah tersebut tidak akan pernah ada peminatnya bila wilayah tersebut tidak disediakan sistem prasarana transportasi. Sehingga pada kondisi tersebut, parsarana transportasi akan menjadi penting untuk aksesibilitas menuju wilayah tersebut dan akan berdampak pada tingginya minat masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Hal ini merupakan penjelasan peran prasarana transportasi
yang kedua, yaitu untuk mendukung pergerakan manusia dan barang. Selain memahami peran dari transportasi di atas, aspek yang menjadi penting dari sektor transportasi adalah aksesibilitas, karena perlunya transportasi. guna mendukung kedua peran yang disampaikan di atas sehingga akan memudahkan aksesibilitas orang dan barang. Dalam pendekatan transportasi, menurut Black (1981) aksesbilitas merupakan sebuah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna wilayah secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya.
Sehingga,
aksesibilitas
merupakan
suatu
ukuran
kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi berinteraksi satu sama lain dan “mudah” atau “susah”-nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Pernyataan “mudah” atau “susah” merupakan pernyataan yang sifatnya sangat “subyektif” dan “kualitatif”, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang mudah dan susah terhadap aksesibilitas yang mereka rasakan. Tamin (1997: 52) mengungkapkan bahwa aksesibilitas dapat pula dinyatakan dengan jarak. Jika suatu tempat berdekatan dengan tempat lain, maka dapat dikatakan memiliki aksesibilitas yang tinggi, demikian sebaliknya. Jadi suatu wilayah yang berbeda pasti memiliki aksesibilitas yang berbeda, karena aktivitas wilayah tersebut tersebar dalam sebuah ruang yang tidak merata. Akan tetapi sebuah lahan yang diperuntukan untuk bandar udara memiliki lokasi yang tidak sembarangan, sehingga lokasinya pun sangat jauh dari kota karena harus memperhatikan segi keamanan, pengembangan wilayah dan lainnya. Aksesibilitas menuju bandara menjadi rendah karena lokasinya yang sangat jauh dari pusat kota, namun dapat diatasi dengan menyediakan sistem jaringan transportasi yang
dapat dilalui dengan kecepatan tinggi. Artinya, saat ini ukuran aksesbilitas yang diukur berdasarkan jarak sudah tidak lagi digunakan, namun dapat diukur berdasarkan waktu tempuh. Menurut Soesilo (1997) transportasi memiliki manfaat yang sangat besar dalam mengatasi permasalahan suatu kota atau daerah. Beberapa manfaat yang dapat disampaikan adalah: 1) Penghematan biaya operasi Penghematan
ini
akan
sangat
dirasakan
bagi
perusahaan
yang
menggunakan alat pengangkutan, seperti bus dan truk. Penghematan timbul karena bertambah baiknya keadaan sarana angkutan dan besarnya berbeda-beda sesuai dengan jenis kendaraanya dan kondisi sarananya. Dalam hal angkutan jalan raya, penghematan tersebut dihitung untuk tiap jenis kendaraan per km, maupun untuk jenis jalan tertentu serta dengan tingkat kecepatan tertentu. Biaya-biaya yang dapat diperhitungkan untuk operasi kendaraan adalah sebagai berikut: a) Penggunaan bahan bakar, yang dipengaruhi oleh jenis kendaraan, kecepatan, naik - turunnya jalan, tikungan dan jenis permukaan jalan. b) Penggunaan pelumas; c) Penggunaan ban; d) Pemeliharaan suku cadang; e) Penyusutan dan bunga; f) Waktu supir dan waktu penumpang 2) Penghematan waktu Manfaat lainnya yang menjadi penting dengan adanya proyek transportasi adalah penghematan waktu bagi penumpang dan barang. Bagi penumpang,
penghemata waktu dapat dikaitkan dengan banyaknya pekerjaan lain yang dapat dilakukan oleh penumpang tersebut. Untuk menghitungnya dapat dihitung dengan jumlah penumpang yang berpergian untuk satu usaha jasa saja; dan dapat pula dihitung dengan tambahan waktu senggang atau produksi yang timbul apabila semua penumpang d. Kriteria Transportasi Publik Transportasi harus memenuhi kriteria pelayanan publik. Dagun et. al (2006) mengungkapkan bahwa transportasi yang baik bagi pelayanan publik harus memenuhi tiga kriteria dasar, yaitu kenyamanan, keamanan, dan kecepatan. Ketentuan pertama adalah kenyamanan, yaitu aspek kenyamanan harus dapat dirasakan oleh penumpang yang menggunakan jasa transportasi. Penumpang akan merasa nyaman di dalam sarana transportasi bila di sarana tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memberikan kenyamanan bagi penumpangnya, salah satunya adalah pendingin udara, kedap terhadap asap kendaraan bermotor, dan proses yang dijalani calon penumpang sebelum dan setelah berada dalam sarana transportasi. Ketentuan kedua adalah keamanan, yaitu aspek rasa aman yang dirasakan oleh penumpang selama mendapatkan pelayanan transportasi. Beberapa indikator yang digunakan dalam mengukur rasa aman diantaranya adalah system tertutup dimana sarana transportasi tidak mudah diakses oleh pihak lain yang bukan penumpang. Pada kasus bus, termasuk di dalamnya adalah halte atau terminal yang hanya diakses oleh penumpang yang sudah membeli tiket bus. Selain itu, adalah sistem naik dan turun penumpang. Untuk menjaga keamanan, penumpang harus naik dan turun hanya pada halte dan terminal yang telah
ditetapkan, dan penumpang tidak dapat naik dan turun pada tempat selain halte dan terminal resmi. Dengan demikian, sistem tertutup ini dapat memberikan rasa aman bagi penumpang dari ancaman pencurian, pencopetan, perampokan, atau insiden-insiden lainnya yang mengancam keselamatan penumpang dalam menggunakan jasa transportasi. Ketentuan ketiga adalah kecepatan, yaitu ketentuan terpenuhinya waktu sampai ke tempat tujuan dengan cepat dan atau tepat. 4. Jaringan Pelayanan Angkutan Umum Dalam Sistem Tata Kota Angkutan umum yaitu angkutan yang bisa di gunakan untuk umum dengan persyaratan tertentu, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem transportasi perkotaan dan merupakan komponen yang perannya karena kondisi sistem angkutan maupun efisiensi dari sistem pelayanan transportasi perkotaan secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan terganggunya sistem kota, baik ditinjau dari pemenuhan kebutuhan mobilitas masyarakat maupun di tinjau dari mutu kehidupan. Pola perjalanan di daerah perkotaan pada umumnya berbentuk jaringan “radial”menuju pusat kota (CBD). Angkutan umum jenis “fixed-route” dengan pola pergerakan memusat (radial) akan berakumulasi di kawasan pusat kota dan jika tidak di barengi dengan sistem jaringan dan dilengkapi dengan terminal alih muat yang baik, maka hal ini menjadi penyebab kemacetan yang sangat kronis dan dapat merugikan semua pihak. Baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung (Tamin OZ,1993). Sedangkan, menurut Welding (1957) dalam morlok E.K.,(1991: 683-684) yang dicerminkan oleh jaringan jalan membentuk radial
akan membentuk rute-rute panjang cenderung lebih menghasilkan rute-rute pendek. Bahasan-bahasan teoritis di atas, merupakan konsepsi dasar dalam suatu rumusan kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan (STP) yang diarahkan : a) Pembangunan transportasi perkotaan harus di arahkan pada terwujudnya sistem transportasi nasional secara terpadu, tertib, lancar, serta efektif dalam menunjang dan menggerakan dinamika pembangunan. b) Sistem transportasi perkotaan harus ditata dan terus disempurnakan dengan dukungan oleh peningkatan kualitas SDM. c) Sistem Transportasi Perkotaan harus ditata dan terus di sesuaikan dengan perkembangan ekonomi, kebijakan tata ruang, kebutuhan pembangunan dan tuntutan masyarakat. d) Transportasi agar mampu berperan dalam meningkatkan kelancaran arus penumpang dan barang sesuai dengan dinamika pembangunan. 5. Ekonomi Wilayah (Regional) Sebagai Struktur Elemen Spasial Dimensi wilayah sangat penting dan merupakan faktor yang harus di perhitungkan dalam menganalisis dan menentukan dimana suatu proyek diletakan dalam perencanaan pembangunan. Kita dapat menganggap jika lokasi suatu kegiatan pembangunan atau kegiatan unit-unit ekonomi baik industri atau pabrik, perusahaan, dan fasilitas pelayanan. Dengan demikian pemlihan atau penentuan lokasinya akan berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan tersebut. Penentuan lokasi suatu industri atau unit pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah pasarnya. Kriteria yang digunakan dapat bermacam-
macam misalnya biaya transportasi yang terendah tersedianya sumber tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak dan murah tersedianya daya tarik berupa penghematan spasial (locational economies) dan penghematan aglomerasi. Alfred Weber (1909) telah mengembangkan analisis penentuan lokasi optimum yaitu lokasi yang mempunyai biaya produksi terendah yang berarti orientasi transportasi dan orientasi tenaga kerja di anggap sebagai kekuatan lokasional yaitu menumpuknya berbagai kegiatan industri di beberapa saja dan tidak membentuk suatu pola persebaran yang merata di seluruh wilayah. Losch (1944) mengintroduksikan pengertian pasar jaringan wilayah pasar, dan sistem wilayah pasar, prasarana tranportasi di mana terdapat permintaan maksimum. Dalam studi pembangunan wilayah, peranan tata ruang wilayah ditinjau dari perkembangan historis telah mengalami perubahan dan pertumbuhan. Beberapa kasus spasial (tata ruang wilayah) dapat di kemukakan seperti terjadinyapemusatan kegiatan-kegiatan industri (aglomerasi) dan urbanisasi ke kota-kota besar terbentuknya pasar-pasar baru menimbulkan peerubahan dalam wilayah pengaruh atau wilayah pelayanan (pemasaran) antara kota dan wilayah pedesaan terdapat keterkaitan yang makin erat satu sama lainya saling melengkapi mungkin pula perlu di lakukan penyempurnaan dalam pembagian wilayah pembangunan (development region) secara menyeluruh. Kasus- kasus di atas merupakan topik-topik pembahasan yang penting dan menarik perhatian karena mempunyai pengaruh yang mendasar terhadap penataan dan pemanfaatan tata ruang wilayah, baik secara regional maupun Nasional.
Dalam analisis ekonomi, faktor tata ruang dan jarak pada mulanya bersifat sekunder artinya perhatian terhadap pembahasan masalah lokasional dan dimensi spasial menjadi semakin menonjol terutama sejak sekitar delapan dasawarsa yang lalu (tahun 1930-an) yaitu bertepatan waktunya munculnya pemikiran-pemikiran yang memusatkan perhatian perencanaan tata ruang wilayah. Dimensi geografi (geographic dimension) dan landskap ekonomi (economic landscape) telah di masukan dalam variabel tambahan penting ke dalam kerangka teori pembangunan. Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam analisis ekonomi (klasik atau liberal) yang berkisar pada komoditas “apa” yang di produsir (what to produce),”bagaimana” memprodusirnya (how to produce) dan “untuk siapa” komoditas tersebut di produsir (from whom to produce) dan masih di tambah lagi dengan pertanyaan “di mana” produksi tersebut di lakukan (where to produce). Hal tersebut berarti dimensi tata ruang wilayah telah meberi warna penting ke dalam analisis ekonomi. Gejala-gejala ekonomi akan menjadi lebih jelas dan nyata apabila faktor tata ruang wilayah diterapkan dalam kerangka analisis dan teori ekonomi. Secara eksplisit pentingnya dimensi tata ruang wilayah dalam perencanaan pembangunan dapat diungkapkan melalui lima persoalan ekonomi wilayah. Pertama adalah berhubungan dengan landskap ekonomi yaitu mengenai penyebaran kegiatankegiatan ekonomi pada tata ruang wilayah. Dalam hubungan ini beberapa pertanyaan penting dapat di kemukakan, misalnya faktor apa yang mempengaruhi penentuan lokasi dari setiap kegiatan individual ? bagaimana dapat di jelaskan kegiatan produksi pertanian di letakan pada suatu hamparan yang luas ? Apa ciri-
ciri wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan ? terdapat kegiatan yang erat antara penempatan
kegiatan
usaha
(industri
perusahaan
dan
wilayah
sarana
pembangunan, fasilitas umum) dengan pemilihan lokasi tata ruang wilayahnya yang tepat. Jika pemilihan lokasinya tidak tepat, maka kesalahan ini dapat diperbaiki dengan melakukan relokasi tetapi hal ini di butuhkan wilayah besar dan waktu cukup lama. Kedua, adalah berkaitan dengan diintroduksikannya konsep wilayah dalam analisis teoretik. Wilayah dalam hal ini diartikan sebagai sub sistem spasial dari sistem ekonomi nasional. Dengan konsep wilayah tersebut telah mendorong penyusunan rencana pembangunan spasial dari pembagunan regional serta pengukuran aktivitas ekonominya. Beberapa kriteria telah dikembangkan untuk menentukan batasnya suatu wilayah pembangunan (wilayah pengembangan), meskipun diakui bahwa hal ini bukan merupakan hal yang gampang. Untuk mudahnya penentuan batas wilayah pembangunan pada umumnya masih digunakan satuan wilayah administrasi. Ketiga, adalah menganalisis interaksi antara wilayah-wilayah. Dapat dibedakan dua bentuk interaksi antar wilayah yaitu (i) arus pergerakan faktor produksi dan (ii) pertukaran komoditas. Penjelasan mengenai mengapa terjadi arus pergerakan faktor produksi dan pertukaran komoditas dan bagaimana pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi wilayah itu dianggap merupakan titik sentral dalam studi permasalahan ekonomi wilayah (regional). Keempat adalah persoalan analisis optimum atau keseimbangan antar wilayah. Kondisi optimum (Pareto optimum allocation of resources) atau
minimasi masukan (input) yang tertentu. Beberapa pertanyaan dalam hubungan ini dapat berbeda-beda. Spesialisasi produksi dilakukan pada wilayah secara optimal dan pertukaran komoditas dilakukan pula secara optimal antar wilayahwilayah. Akhirnya dapat dikatakan bahwa analisis optimum itu di pandang sebagai pembahasan dan implikasi tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Kelima, yaitu berkaitan dengan persoalan kebijakan wilayah. Kebijakan ekonomi wilayah dimaksudkan sebagai kegiatan-kegiatan yang berusaha untuk memperhatikan dan memperhitungkan pengaruh perilaku ekonomi pada suatu lingkungan spasial. 6. Implikasi Ekonomi Dimensi Tata Ruang Wilayah Teori lokasi membahas mengenai penentuan lokasi suatu industri atau pabrik pada lokasi tepat yaitu yang mempunyai biaya terendah (least cost) sedangkan ekonomi wilayah membahas antara interaksi berbagai sumber daya (manusia, alam, modal, teknologi dan kelembagaan) pada permukaan wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan yang berlangsung secara efektif dan efisien. Sasaran teori tersebut teori lokasi dan ekonomi wilayah) meskipun tidak sama tetapi menunjukan kesamaan arah, seringkali dikatakan sebagai anak tiri dalam keluarga Ilmu ekonomi, artinya mempunyai hubungan yang sangat erat antara keduanya. Implikasi teoretikal mengenai tata ruang wilayah menempati posisi kedua atau merupakan variabel tambahan dalam mengevaluasi bagaimana proses kegiatan ekonomi optimum dan penyebaran penduduk di anggap kurang penting dibandingkan dengan pertanyaan yang berkaitan dengan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi Nasional. Lagipula masalah wilayah tata ruang banyak yang
dapat di tangani dalam kerangka analisis tradisional. Bila biaya pemindahan melintasi tata ruang wilayah dari pada kegiatan ekonomi. Sedangkan pertimbangan-pertimbangan
non-ekonomi
dianggap
sebagai
faktor
yang
menentukan keputusan dimana mereka hidup bekerja dan melaksanakan kegiatan produksi. Dalam menganalisis implikasi ekonomi dimensi tata ruang wilayah terdapat paling sedikit tiga cara pandang dua di antaranya memperhitungankan variabel jarak secara eksplisit sedangkan yang ketiganya memperlakukan secara implisit. Pertama suatu tipe analisis yang berasumsi bahwa lokasi penduduk, industri dan sumber daya adalah tertentu atau pergeseran terhadap arus komoditas antara titik-titik yang dianggap sudah tertentu. Pada khususnya model atau keterkaitan antar ruang wilayah di ukur oleh biaya transportasi dan interaksi antar wilayah. Meskipun biaya transportasi mencerminkan pengaruh variabel lain seperti volume berat barang dan kepadatan lalu lintas. Namun, biaya tranportasi mencerminkan pengaruh variabel lain seperti volume dan berat barang dan kepadatan lalu lintas, namun biaya transportasi itu berubah secara langsung terhadap jarak. Kenyataanya sebagian besar tingkat biaya tranportasi adalah kurang proporsonal terhadap jarak (tappering rates). Tingkat biaya transportasi perton/ Kilometer menurun terhadap unti jarak yang bertambah jauh.Karena biaya-biaya membatasi kemampuan barang yang di hasilkan barang pada suatu lokasi untuk bersaing dengan barang yang di produksi pada lokasi lain maka terdapat kecendrungan bahwa arus barang mengalami penurunan untuk jarak yang makin jauh.
Pusat pelayanan adalah kota yang mengemban peran sebagai pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya (hinterland), berdasarkan pola tata jenjang pusat pelayanan yang telah ditentukan. Kota Kendari memiliki tata jenjang pelayanan utama yang mempunyai fungsi pusat pelayanan daerah, sekaligus sebagai kota administratif, pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan. Untuk lebih jelas fungsi pusat kegiatan dan wilayah pengembangan Dalam perkembangannya lokasi perekonomian bagian dari fasilitas sosial, tidak selamanya mengacu kepada peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Khususnya pengembangan kegiatan yang berorientasi pada keuntungan, penetapan lokasi bagi pengembangan kawasan perdagangan saat ini lebih banyak ditentukan oleh keuntungan (profit oriented). Lokasi sangat memegang peran yang sangat penting untuk mengembangkan fasilitas perdagangan, karena dalam pengembangan fasilitas perlu memilih lokasi-lokasi yang mempunyai peluang untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal, sehingga memudahkan konsumen untuk mengunjungi kawasan perdagangan tersebut (Berry, 1970) dalam Kumpulan Teori-Teori Pegembangan Wilayah Kota. Pusat perbelanjaan pada awalnya adalah suatu tempat yang befungsi sebagai tempat perdagangan (tempat bertemunya penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi) dibidang barang maupun jasa yang bersifat kegiatannya untuk melayani umum dan lingkungan sekitarnya atau dapat juga diartikan sebagai tempat perdagangan eceran atau retail yang lokasinya digabung dalam satu bangunan atau kompleks. Pada tahap perkembangan selanjutnya pusat-pusat perbelanjaan lebih mendekati kepada konsumen, hal ini ditandai dengan semakin banyak dibangun
pusat-pusat perbelanjaan di pusat-pusat permukiman yang tersebar di pinggiran kota. Menurut Lee (1984) dalam kumpulan teori-teori pengembangan wilayah Kota, salah satu prinsip pemilihan lokasi bagi pengembangan pusat perbelanjaan berada di luar kota/pinggiran didasarkan pada kedekatan konsumen asal didukung oleh aksesibilitas yang memadai. Pendapat ini didukung pula oleh Richard Nelson (1958) dalam kumpulan teori-teori pengembangan wilayah kota, ada empat faktor yang mempengaruhi pemilihan suatu lokasi pusat perdagangan salah satunya aksesibilitas ke tempat permukiman (lainnya reputasi, bentuk fisik dan aksesibilitas ke tempat non komersial). Disamping itu penentuan lokasi perdagangan sangat dipengaruhi oleh perubahan keadaan sosial ekonomi penduduk (Bromley dan Thomas, 1993) dalam Kumpulan Teori-Teori Pegembangan Wilayah Kota), ada empat faktor yang berpengaruh, adalah: 1) Transportasi, meningkatnya kesejahteraan penduduk sangat memungkinkan untuk memiliki kendaraan, sehingga dapat melakukan pergerakan dalam jarak yang relatif jauh, dengan adanya kemacetan di pusat-pusat kota maka timbul kecenderungan adanya perubahan dalam berbelanja ke daerah pinggiran; 2) Perubahan spasial dan populasi, adanya kebijaksanaan pemerintah yang lebih menekankan perkembangan ke arah pinggiran karena pusat kota telah jenuh, menyebabkan banyak fasilitas perdagangan dibangun di pinggiran dengan tujuan untuk lebih dekat dengan konsumen. 3) Perubahan karakteristik pekerja;
4) Perubahan gaya hidup, dimana kegiatan berbelanja dijadikan sarana berekreasi; Salah satu faktor yang dikemukakan oleh Bromley dan Thomas bahwa kegiatan berbelanja dijadikan sarana rekreasi, jauh sebelumnya telah dikemukan oleh Victor Gruen (1973), menyatakan kegiatan membeli yang dilakukan masyarakat kadang-kadang telah membaur dengan kegiatan yang bersifat rekreatif, bahkan ada kecenderungan kegiatan rekreatif yang lebih mendorong masyarakat untuk berkunjung ke pusat perbelanjaan. Untuk mampu menjaring banyaknya jumlah konsumen agar datang ke pusat perbelanjaan maka perlu adanya daya tarik yang dimiliki oleh pusat perbelanjaan tersebut, baik bentuk fisik, reputasinya maupun aksesibilitasnya (Nelson, 1958). Hal ini dikarenakan salah satu penyebab penduduk/konsumen datang ke pusat perbelanjaan karena tertarik dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pusat perbelanjaan tersebut. Menurut Beddington (1982), perilaku konsumen yang datang ke pusat perbelanjaan dibedakan menjadi dua: a) Shopping adalah kegiatan ke pusat perbelanjaan yang lebih bersifat rekreasi; b) membeli adalah kegiatan yang telah direncanakan untuk membeli suatu barang tertentu. Adapun beberapa faktor yang membentuk penilaian pengunjung terhadap suatu pusat perbelanjaan dapat diidentifikasikan sebagai berikut (Ihsan, 1998) : Ketepatan Lokasi Akses, waktu tempuh, ketersediaan parkir, Hambatan perjalanan Keserasian dan ketersediaan barang dagang, Kualitas, keragaman dan kedalaman jenis barang, Keragaman merek dagang, jumlah outlet, Jumlah toko dalam pusat belanja, Jumlah toko/pusat belanja di sekitarnya. Pertimbangan nilai dan harga dari suatu
produk yang sejenis terhadap para pesaing, potongan harga, kebijaksanaan dalam harga jual. Model pelayanan keramahtamahan dan kecakapan staf, ketersediaan karyawan, penggunaan periklanan, fasilitas kredit, prosedur pembayaran, pelayanan pengantaran barang, ketersediaan outlet makanan. Kepuasan secara transaksi kepuasan terhadap kualitas produk, harga pembayaran, kebijaksanaan pengambilan Lebih lanjut Ihsan (1998), menguraikan beberapa hal terkait faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kedatangan pengunjung di pusat belanja wilayah, yaitu : 1) Lokasi, dengan peubah: jumlah trayek dan jumlah armada yang melintas, waktu tempuh, hambatan dalam perjalanan, dan aglomerasi pusat belanja di sekitarnya. 2) Produk barang dan jasa yang ditawarkan, dengan peubah: komposisi barang dagangan yang ditawarkan, keragaman merek, perbedaan harga dengan pesaing, potongan harga, jumlah toko/penyewa, dan tingkat hunian. 3) Model pelayanan, dengan peubah: sikap karyawan, promosi/iklan, prosedur pembayaran, dan fasilitas pengantar barang. 4) Fasilitas bangunan, dengan peubah: luas lantai bangunan, usia bangunan, ketersediaan parkir, dan pola sirkulasi. Pendapat tersebut didukung oleh Darlow bahwa pada perkembangan pusat perbelanjaan pada tahap selanjutnya perlu dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas rekreatif yang sekaligus sebagai daya tarik (Sumarsono, 1994), hal ini menuntut pusat perbelanjaan tidak hanya menyediakan kebutuhan-kebutuhan umum/pokok tetapi perlu dilengkapi dengan jenis lainnya untuk menarik konsumen yang hanya
bertujuan shopping berubah menjadi
pembeli barang yang tidak direncanakan
sebelumnya. Menurut Jeffrey D. Fisher, Robert. Martin dan Paige (1991:121) definisi pusat perbelanjaan adalah sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa toko eceran, yang umumnya dengan satu atau lebih toko serba ada, toko grosir dan tempat parkir. Bloch, Ridgway dan Nelson (1991) mengatakan bahwa pusat perbelanjaan telah menjadi pusat perkumpulan, menawarkan daya tarik rekreasi pada pengunjung seperti musik, bioskop, permainan, aktivitas seperti makan diluar, menghadiri pertemuan, dan bertemu dengan teman.Pusat perbelanjaan tidak hanya sebagai tempat untuk membeli produk atau jasa tetapi juga sebagai tempat untuk melihat-lihat, memegang, tempat bersenang-senang, tempat rekreasi, tempat yang dapat menimbulkan rangsangan yang mendorong orang untuk membeli, dan bersosialisasi dengan tujuan untuk tempat bersantai juga dapat terjadi. 7. Model Aksesbilitas Hansen Salah satu penggunaan awal dari dari perencanaan wilayah mengenai aksesbilitas adalah model yang dikembangkan oleh W.G Hansen (dikutip Hansen 1959 oleh Collin Lee,1973) Model Hansen berkaitan dengan memprediksi lokasi dari permukiman penduduk berdasarkan daya tarik masing-masing lokasi. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa tersedianya lapangan kerja, tingkat aksesibilitas, dan adanya lahan kosong, akan menarik penduduk untuk berlokasi ke subwilayah tersebut. Menurut Lee dalam Tarigan (2006 :156) mengatakan bahwa model Gravitasi Hansen tidak persis sama dengan metode gravitasi karena tidak didasarkan atas saling interaksi antar subwilayah (zona), melainkan tiap
subwilayah tujuan (destination) dianggap memiliki daya tarik tersendiri dan bagaimana suatu kegiatan dari keseluruhan wilayah bereaksi terhadap daya tarik tersebut. Artinya, subwilayah asal (origin) tidak diperinci per subwilayah, melainkan subwilayah tujuan yang diperinci per subwilayah. Menurut Hansen dalam Tarigan (2006 : 156) accessibility index adalah faktor utama dalam menentukan orang memilih lokasi tempat tinggalnya. Accessibility Index dihitung dengan rumus: =
................................................................................................ (2.1)
Keterangan: Aij
= Accessibility Index daerah i terhadap daerah j
Ej
= Total lapangan kerja (employment) di daerah j
dij
= jarak antara i dengan j
b
= pangkat dari dij
Model aksesibilitas yang dikembangkan oleh W.G Hansen (1959).dalam Suhardi (2004) dirancang untuk meramalkan pertumbuhan populasi lokasi, dengan demikian model ini merupakan model lokasi. Model ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa aksesibilitas kesempatan kerja merupakan faktor utama yang menentukan pertumbuhan populasi lokasi. Hansen menyatakan bahwa hubungan di antara populasi lokasi dan kesempatan kerja dapat dinyatakan dalam bentuk indeks aksesibilitas, yang mendefinisikan untuk setiap zone mempunyai aksesibilitas kesempatan kerja.
Indeks yang diperoleh adalah daya tarik suatu subwilayah j ditinjau dari subwilayah i. Apabila daya tarik seluruh subwilayah diperhitungkan/digabung, maka rumusnya menjadi: ...................................................................................................................... (2.2) =
Selain indeks aksesibilitas, adanya lahan kosong (lahan yang cocok untuk lokasi permukiman) dan tersedianya fasilitas lain merupakan unsur daya tarik lain yang harus diperhatikan, untuk berlokasi di subwilayah tersebut. Lahan kosong ini oleh Hansen di namakan Holding Capasity perlu diingat berdasarkan pada ketentuan yang berlaku di Indonesia, pengertian lahan kosong adalah lahan yang cocok untuk pemukiman penduduk. Lahan yang kosong dari pemukiman penduduk harus di keluarkan dalam penelitian ini, misalnya lahan yang memiliki kemiringan di atas 30o, daerah rawa, daerah yang sering terkena banjir, sawah beririgasi teknis, badan jalan, drainase dan lahan yang sudah di peruntukan untuk untuk tujuan lain, misalnya, perkantoran, kompleks militer, kawasan industri, lapangan olaraga dan parawisata. Gabungan antara accessibility index dengan holding capacity adalah “potensi pengembangan” daerah tersebut. Potensi pengembangan daerah i (Di) adalah: =
.
.......................................................................................................... (2.3)
Keterangan: Ai
= Accessibility Index
Hi
= Holding Capacity
Untuk mengetahui daya tarik subwilayah tersebut, potensi pengembangan subwilayah tersebut harus dibandingkan dengan daya tarik keseluruhan wilayah berdasarkan rumus sebagai berikut: =∑
. .
............................................................................................ (2.4)
Kalau total pertambahan penduduk untuk subwilayah itu secara keseluruhannya adalah Gt, maka tambahan penduduk yang akan berlokasi di subwilayah i adalah: =
. ∑
.
.................................................................................................... (2.5)
atau =
∑
....................................................................................................... (2.6)
Keterangan : Di
= Ai.Hi
Gt
= Tambahan penduduk di seluruh wilayah
Gi
= Tambahan penduduk di daerah i
Dalam model Hansen ini, daerah asal (origin) dianggap satu kesatuan, artinya tidak dilihat dari subwilayah mana asalnya tambahan penduduk itu, dan tambahan penduduk ini didistribusikan ke berbagai subwilayah yang ada. B. Hubungan Aksesibilitas Wilayah terhadap Perkembangan Wilayah. Jaringan jalan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kelancaran pelayanan umum yang sangat penting, tersedianya prasarana jalan baik kualitas maupun kuantitas sangat menentukan mudah dan tidaknya suatu daerah di
jangkau (tingkat aksesibilitas). Apabila aksesibilitas di suatu daerah tinggi maka perkembangan wilayah akan mengalami kelancaran. Sarana dan prasarana yang berada di suatu wilayah berupa jalan, jembatan, jaringan telekomunikasi, kendaraan (darat, udara, dan laut), terminal, pelabuhan, dan lain-lain memberikan landasan terhadap kelancaran perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah.Sarana dan prasarana transportasi akan menunjang dan mendukung pembangunan secara fisik (Sumaatmadja, 1988). Dalam hal ini, untuk memudahkan pelayanan dan menghindarkan kemacetan perlu mengembangkan jaringan jalan dan jasa pelayanan dalam dengan melibatkan peran pemerintah setempat dan masyarakat serta dunia usaha. Faktor aksesibilitas memegang peranan penting dalam upaya perkembangan wilayah sebab tanpa didukung oleh sistem transportasi, sarana dan prasarana transportasi yang memadai, maka perkembangan suatu daerah akan sulit berkembang. C. Penelitian Relevan a)
Penelitian yang dilakukan oleh Agustan (2011) berjudul “Analisis perkembangan bagian wilayah Kota (BWK) V, Kota Kendari” bertujuan mengidentifikasi dan mengukur kondisi mengetahui perkembangan fisik kekotaan BWK V, Kota Kendari serta faktor–faktor yang mempengaruhi perkembangan BWK V, Kota Kendari. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah faktor daya tarik lembaga pendidikan yang terpusat di Kelurahan Kambu
dan eksistensi
pusat pemerintahan Provinsi Sulawesi
Tenggara. Faktor tersebut sangat mempengaruhi arus penduduk tinggal
sementara dan menetap bersekolah atau membangun untuk tempat usaha tempat tinggal sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi . b)
Penelitian yang dilakukan oleh dengan Muh. Irwan (2012) dengan judul Pola Pemukiman, indeks sentralitas terbobot, skalogram, Jarak dan Kesempatan Terdekat di wilayah Kota Kendari.Untuk mengetahui disparitas atau ketidak merataan antara berbagai pemukiman hal ini dilihat dari fungsi pelayanan yang terbangun dikota kendari. Mengetahui disparitas dilihat dari segi aktivitas penduduk untuk memperoleh/memanfaatkan fasilitas-fasilitas pelayanan dilihat dengan sarana pelayanan yang tersedia dikota kendari. Mengetahui disparitas atau ketimpangan dilihat dari jumlah sarana prasarana yang tersedia diberbagai daerah kecamatan dengan tingkat hirarki tertinggi dikota kendari . jarak terdekat dan jarak tempuh terdekat antar dikota kendari.
c) Penelitian yang dilakukan oleh Sanusi Fattah dan Abdul Rahman (2011) dengan judul “Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Kabupaten / Kota di Provinsi Sulawesi Selatan” . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik perekonomian daerah di setiap Kabupaten / Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua, penelitian ini juga berusaha untuk mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi yang berpotensi dikembangkan sebagai ekonomi terkemuka di masing-masing Kabupaten / Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketiga, studi di masa depan adalah bertujuan untuk mengetahui perkembangan ekonomi regional menggunakan Klassen Tipologi Analisis, Lokasi Analisis Quotient, dan Krugman Indeks Regional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 23 Kabupaten / Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, hanya Luwu
Timur, Makassar, dan Pare-Pare yang termasuk dalam klasifikasi pertumbuhan yang tinggi dan berpenghasilan tinggi daerah. Luwu dan Palopo milik berpenghasilan tinggi tetapi wilayah pertumbuhan yang rendah. Pangkep dan Pinrang dapat diklasifikasikan sebagai pertumbuhan tinggi tetapi daerah berpenghasilan rendah, sedangkan Kabupaten lainnya / Kota pertumbuhan rendah dan berpenghasilan rendah daerah. Berikutnya, analisis lokasi quotient menunjukkan bahwa setiap Kabupaten / Kota memiliki superior/sektor ekonomi utama yang berbeda. Akhirnya, hasil analisis spesialisasi daerah menunjukkan bahwa spesialisasi antar-regonal memiliki ketergantungan ekonomi.
D. Kerangka Pikir
Kerangka pikir yang akan dilaksanakan pada penelitian ini dapat dijelaskan berdasarkan Gambar 2.1 berikut ini ANALISIS AKSESBILITAS KOTA KENDARI DITINJAU DARI ASPEK EKONOMI
1.
2.
Hubungan Fasilitas ekonomi (lapangan Kerja) dengan Aksesbilitas Kota Kendari.
ATRIBUT WILAYAH
PERKEMBANGAN KOTA (CBD)
JARAK ANTAR WILAYAH (dij)
JUMLAH LAPA-NGAN KERJA (Ei)
Mengetahui indeks aksesibilitas wilayah kecamatan di Kota Kendari. Menganalisis hubungan antara ketersediaan fasilitas perekonomian atau jumlah lapangan kerja di Kota Kendari dengan aksesbilitas pada masing – masing kecamatan di Kota Kendari.
(PENDUDUK, LAPANGAN KERJA, LUAS KAWASAN)
PERKEMBANGAN PENDUDUK
LUAS KW. PERMUKIMAN (Hi)
AKSESIBILITAS HANSEN (Ai)
POTENSI PENGEMBANGAN Di = Ai.Hi
TAMBAHAN PENDDUK (Gi)
SIMPULAN
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif atau biasa disebut metode positivistik dan sudah cukup lama untuk digunakan sehingga sudah menjadi tradisi dalam proses penelitian. Metode ini sebagai metode ilmiah karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris,
objektif,
terukur, rasional,
dan sistematis.
Metode ini
menggunakan data penelitian berupa angka-angka dengan analisis statistik (Sugiyono, 2013 : 7). B. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Kota Kendari dilaksanakan dari Juli s/d September 2015. Adapun lokasi spesifik kajian ini meliputi kecamatan-kecamatan sebagai berikut : 1) Kecamatan Kadia (sebagai Pusat Kawasan Perdagangan /CBD) 2) Kecamatan Mandonga 3) Kecamatan Baruga 4) Kecamatan Wua–wua 5) Kecamatan Poasia 6) Kecamatan Kambu 7) Kecamatan Kendari 8) Kecamatan Kendari barat 9) Kecamatan Puuwatu 10) Kecamatan Abeli
C. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini berupa data sekunder dan data primer, data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka. Pengumpulan data merupakan tahapan yang dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan analisis. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data terdiri atas dua cara, yaitu: 1) Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer merupakan pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti secara langsung kepada obyek penelitian. Pengumpulan data primer yang dilakukan ada cara observasi. Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan lapangan dan dokumentasi, sehingga diketahui kondisi sebenarnya yang terjadi . untuk mengetahui secara jelas mengenai keberadaan pusat kota kawasan CBD (Central Bussines District) melalui RTRW (Rencana Detail Tata ruang Wilayah) Kota Kendari. 2) Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder merupakan pengumpulan data secara tidak langsung dari sumber/ obyek. Data-data diperoleh dari tulisan seperti buku buku teori, buku laporan, peraturan-peraturan, dan dokumen baik yang berasal dari instansi terkait maupun hasil kajian literatur. Sebagian besar analisis kuantitatif yang dilakukan dalam penelitian ini akan menggunakan data sekunder, sehingga perlunya mengidentifikasi segala variabel yang akan digunakan dalam penelitian dan datanya dapat dirujuk pada sumber-sumber literatur yang akan dirujuk.
D. Metode Analisis data Analisis struktur tata ruang digunakan untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mengarahkan/membentuk tata jenjang pusat-pusat pelayanan wilayah dan jaringan transportasi serta jaringan sarana dan prasarana lainnya yang mendukung pusat-pusat pelayanan tersebut, sehingga membentuk suatu sistem terpadu yang mampu memanfaatkan potensi Kota, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing kota. E. Sampel penelitian Sampel penelitian yang di gunakan dalam penelitian kali ini adalah ke-10 kecamatan dalam Kota Kendari (Sampel wilayah). Adapun data – data yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan aksesbilitas masing – masing wilayah kecamatan terdiri atas : 1) Jumlah Lapangan Pekerjaan 2) Jarak antar wilayah kecamatan di Kota Kendari dan pengukuran dapat dilihat langsung pada aplikasi google earth atau Google Maps versi2016. 3) Luas lahan kosong untuk peruntukan pemukiman. 4) Jumlah penduduk masing-masing wilayah. 5) Jumlah fasilitas / layanan perekonomian pada masing- masing wilayah yang ada. F. Variabel penelitian Variabel dimaksudkan sebagai faktor-faktor utama dari hasil identifikasi kesimpulan teoritis (Nasution.S,1996). Variabel dipakai dalam proses identifikasi,
ditentukan berdasarkan kajian teori yang dipakai. Semakin sederhana suatu rancangan penelitian semakin sedikit variabel penelitian yang digunakan. Tabel 3.1 : Hubungan Keterkaitan Operasional penelitian No 1.
Variabel dan Data
Jenis Data Sumber Data
Teknik
Jumlah Penduduk
Data Sekunder
BPS Kota Kendari
Studi Dokumen
2.
Jarak antar Wilayah Kecamatan
Data Sekunder
BPS Kota Kendari
Studi Dokumen
Data Sekunder
BPS Kota Kendari
Studi
3.
Jumlah Lapangan Kerja
4.
Potensi luas permukiman
Data Sekunder
BPS Kota Kendari
Studi Dokumen
dokumen
E. Teknik Analisis Data Untuk mengetahui indeks aksesbilitas masing-masing wilayah kecamatan di kota kendari atau teknik analisis yang digunakan adalah. 1) Menghitung jumlah apangan kerja pada sektor perekonomian pada masing – masing wilayah kecamatan. Jumlah lapangan kerja tersebut adalah variabel employment (Ej) sebagaimana yang tertera pada formula pada aksesbilitas yang di kemukakan oleh Hansen. 2) Menghitung jarak antar wilayah kecamatan di Kota Kendari dengan titik referensi kecamatan kadia sebagai wilayah CBD (Central Business Distict) yang tertuang di dalam RTRW Kota Kendari 2015-2030. Jarak antar wilayah kecamatan
tersebut
dihitung
berdasarkan
jarak
diatas
peta
dengan
menggunakan aplikasi Google Earth. Jarak antar wilayah kecamatan tersebut (dij) merupakan variabel formula Hansen. 3) Menghitung indeks aksesbilitas dengan memasukan nilai variabel Ej (Total lapangan kerja di daerah j) dan nilai dij (jarak antara i dengan j). 4) Menghitung adanya potensi pengembangan daerah maka perlu adanya kombinasi antara accesibility index dengan holding capasity (lahan kosong) yang mana adanya lahan kosong dan tersedianya fasilitas lain adalah merupakan unsur daya tarik lain yang harus diperhatikan, untuk berlokasi di sub wilayah tersebut. Lahan kosong ini oleh Hansen dinamakan Holding Capasity. Perlu diingat bahwa ketentuan yang berlaku di Indonesia, pengertian lahan kosong adalah lahan yang cocok untuk permukiman penduduk.Lahan kosong yang tidak sesuai dengan permukiman penduduk harus di keluarkan dalam perhitungan ini, misalnya lahan yang memiliki kemiringan di atas 30o, badan jalan, daerah rawa-rawa daerah yang sering terkena banjir, sawah beririgasi teknis, badan jalan, sungai, drainase, dan lahan yang sudah di peruntukan untuk tujuan lain misalnya perkantoran, kompleks militer, kawasan industri, lapangan olaraga, dan parawisata (Tarigan, 2005: 156 -157). Potensi pengembangan daerah i (disingkat Di) Di = Ai Hi Keterangan : Ai = Accesibility index Hi = Holding capasity Kalau total pertambahan penduduk untuk kota itu secara keseluruhannya adalah Gt maka tambahan penduduk yang akan berlokasi di daerah i adalah
Gt = Gt
( Ai H i ) n
AH i
atau Gt =
Di n
Di
i
j 1
j 1
Keterangan : Di = Ai Hi Gt = Tambahan penduduk di seluruh wilayah Gi = Tambahan penduduk di daerah i Untuk menganalisis hubungan antara ketersediaan fasilitas pelayanan perekonomian di Kota Kendari dengan aksesbilitas pada masing – masing kecamatan dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi. Menurut Arikunto (2010 : 313-314) analisis korelasi bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara variabel – variabel dua atau lebih dan apabila ada hubungan, bagaimana arah hubungan dan seberapa besar hubungan tersebut. Biasanya dalam hubungan analisis regresi disamping dicari analisis regresi juga dihitung koifisien korelasi sebagai berikut (Tukiran dan Hidayanti, 2012 : 95):
r=
( X X ) (Y Y ) ( X X ) (Y Y ) 2
2
,1 r 1.
Perhitungan yang digunakan untuk menghitung persamaan regresi diatas. Maka, dapat pula dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus korelasi sederhana yang telah dikembangkan seperti yang di kemukakan oleh Sugiyono (2013 : 182 183) sebagai berikut:
rxy
xy x y 2
2
Arti dari r adalah : -
Jika r = -1 artinya hubungan kedua variabel tersebut adalah hubungan linier terbalik sempurna, artinya makin besar nilai X maka makin kecil nilai Y.
-
Jika r = 1 artinya hubungan kedua variabel tersebut adalah hubungan linier sempurna, artinya makin besar nilai X maka makin besar pula nilai Y. Analisis korelasi ini akan menggambarkan hubungan indeks aksesbilitas
Hansen
yang
telah
dihitung
sebelumnya
dengan
ketersediaan
fasilitas
perekonomian pada masing-masing wilayah kecamatan yang mana data yang diperoleh diambil dari data statistik Kota Kendari dalam angka 2014 dan untuk lebih lengkapnya dapat juga menggunakan kendari Dalam Angka tahun 2015. Pada era abad milenium sekarang ini, pekerjaan statistika sudah tidak mungkin dilakukan hanya dengan cara manual atau mengandalkan kecepatan dan ketelitian tangan (Santoso, 2001). Perkembangan tekonogi dewasa ini dengan pesatnya dan hal ini diikuti dgan perkembangan software statistika. Selain itu juga perkembangan excel software dimulai dari yang sederhana seperti excel, microstat sampai software pemprograman seperti S-Plus dan lain-lain. Untuk itulah maka kita perlu mempelajari penggunaan software-software statistika khususnya dalam pengolahan data. Menurut Tukiran & Hidayanti (2012 : 63-64) SPSS singkatan dari Statistical Package for social science dimana penggunaan aplikasi ini untuk kepentingan pengolahan data yang umum dilakukan dalam penelitian.