ANALISA WACANA PENERAPAN PERS PANCASILA DI INDONESIA (DALAM RUBRIK HEART TO HEART MAJALAH HELLO! INDONESIA) Auli Cinantya Hadi Gayes Mahestu S.S., M.I.Kom Bina Nusantara University, Jurusan Komunikasi Pemasaran, Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Jl. K.H Syahdan No 9, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat 11480, Indonesia
Abstract Pancasila press is a press system that runs by applying the values that exist in the Indonesian national ideology, Pancasila. As a print media under the auspices of PT MRA Media that promote exclusive feature news about the celebrity in worldwide, the magazine HELLO! has a section called Heart to Heart which aims to arouse public emotions readers. This study uses critical discourse analysis by Norman Fairclough and the agenda setting theory to knows how the media produce the news. According to Norman a discourse can be analyzed into three parts, based on text, the practice of discourse as well as sociocultural practices. Results of the study conducted through critical discourse analysis shows that the application of the system of Pancasila press in Indonesia is still low, it is seen from the use of a style that focuses on the social status of the speaker as a celebrity, based on interviews and observations indicate that the need for deepening the application of the Pancasila value in the press system in Indonesia it is for the press to produce news that is responsible and beneficial to the public. Keywords: Press Pancasila, Agenda Setting, Printed Media, Magazine, Critical Discourse Analysis
Abstrak Pers Pancasila merupakan sistem pers yang berjalan dengan menerapkan nilai-nilai yang ada pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Sebagai sebuah media cetak dibawah naungan PT MRA Media yang mengedepankan berita feature yang eksklusif mengenai selebriti dunia, majalah HELLO! mempunyai rubrik bernama Heart to Heart yang bertujuan untuk menggugah emosi khalayak pembacanya. Penelitian ini menggunakan analisa wacana kritis model Norman Fairclough dan teori agenda setting untuk melihat bagaimana media memproduksi sebuah wacana. Menurut Norman sebuah wacana dapat dianalisis menjadi tiga bagian yaitu berdasarkan wacana itu sendiri, praktik diskursus dan juga praktik sosiokultural. Hasil penelitian yang dilaksanakan melalui analisa wacana kritis memperlihatkan bahwa penerapan sistem pers Pancasila di Indonesia masih dinilai kurang, hal ini dilihat dari penggunaan gaya bahasa yang memfokuskan pada status sosial sang narasumber sebagai selebriti, berdasarkan wawancara dan observasi menunjukkan bahwa diperlukannya pendalaman mengenai penerapan nilai Pancasila pada sistem pers di Indonesia agar pers dapat menghasilkan berita yang bertanggung jawab dan bermanfaat bagi khalayak.
Kata Kunci: pers pancasila, agenda setting, media cetak, majalah, analisa wacana kritis
PENDAHULUAN Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia, Pancasila juga merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut tidak terkecuali para warga Indonesia dalam menjalani tugasnya. Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara yang merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Tidak terkecuali sistem pers yang ada di Indonesia. Pers Pancasila merupakan suatu konsep yang unik dalam sistem pers Indonesia, yang dimaksud dengan Pers Pancasila merupakan pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti bahwa sistem pers tersebut harus dapat mengamalkan nilai-nilai yang terkandung pada lima sila Pancasila. Tujuannya ialah untuk mencapai pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya. Media massa sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi masyarakat dunia, sebagai makhluk sosial kita tidak dapat terlepas akan satu sama lain, kita memiliki keinginan untuk mengetahui hal yang terjadi di sekitar kita. Dengan tingginya tuntutan akan permintaan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat maka dunia pun terus mengandalkan informasi yang cepat. Namun dalam kecepatan informasi yang dijalankan apakah ketepatan informasi juga diperhatikan. Majalah HELLO! Indonesia merupakan sebuah majalah selebriti dibawah naungan MRA Media Group. MRA Media group merupakan salah satu media group ternama di Indonesia yang dikenal sebagai pelopor masuknya merek Internasional di Indonesia, salah satunya ialah majalah HELLO! Majalah yang berasal dari negara Spanyol tersebut, populer akan pemberitaan eksklusif, akurat dan menarik yang diakui sebagai sahabat selebriti. Di Indonesia majalah HELLO! pertama kali terbit pada September 2010 dengan tagline “More Than Just a Celebrity News”. Majalah ini merupakan majalah selebriti yang mengambil sebuah konsep hiburan dan berbagi informasi kepada para pembacanya dalam presentasi yang canggih dan glamor. HELLO! memuat kisah-kisah inspiratif dari para tokoh masyarakat atau selebriti dunia, serta memberikan berbagai liputan eksklusif. HELLO! Indonesia menyajikan orkestra, berita selebriti, tips, tren, mode kecantikan, makanan, untuk membuat komposisi baru yang menyenangkan, bergengsi dan gaya hidup yang bermanfaat. Majalah HELLO! mempunyai rubrik yang berjudul Heart to Heart, rubrik tersebut berusaha untuk memberikan kisah seorang selebritas ataupun tokoh masyarakat yang tidak terlihat atau luput dari para penontonnya, sebuah sisi yang tidak pernah mereka perlihatakan di depan umum sebelumnya dalam bentuk sebuah artikel feature yang tujuannya ialah untuk menggugah emosi para pembacanya dan agar para pembacanya dapat belajar dari cerita-cerita tersebut. Sedangkan bila kita berbicara mengenai berita selebriti maka hal pertama yang menonjol ialah berbagai berita-berita selebriti yang terkadang akuntabilitasnya masih dipertanyakan. Akuntabilitas yang dimaksud ialah bagaimana suatu media dapat menyajikan informasi yang berkualitas sekaligus mempertanggung jawabkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh informasi yang dipublikasikan tersebut. Sedangkan dalam praktiknya di Indonesia masih banyak terlihat
jurnalisme kuning yang beredar, media-media cetak yang menjual berita yang bersifat sensual namun dipertanyakan keakuratannya. Sebagai seorang Selebriti maupun tokoh masyarakat yang mempunyai banyak penggemar, dampak sebuah berita mengenai sang selebriti dapat berpengaruh besar terhadap khalayak. Agus Sudibyo, seorang mantan anggota Dewan Pers pernah mengatakan bahwa kini sistem pers yang berjalan di Indonesia cenderung tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, hal ini dijelaskan olehnya dilihat melalui bagaimana pers cenderung bergeser fungsi menjadi institusi ekonmi dan tidak begitu memperdulikan nilai-nilai edukasi, semakin banyak media yang menyoroti tentang kekerasan, konten-konten yang mengandung seksualitas dengan gambar-gambar yang bersifat sensual. Sebagai media cetak, majalah HELLO! tetap harus taat terhadap kode jurnalistik yang ada, dan mengingat majalah ini yang berasal dari luar negeri, harus dilakukannya penyesuaian yang sesuai dengan sistem yang berjalan di Indonesia, yaitu penerapan ideologi pancasila sesuai dengan ideologi Bangsa Indonesia. Di Indonesia selain harus berpegang teguh pada ideologi pancasila, sistem pers yang berjalan juga harus berpegang teguh keapada KEJ (Kode Etik Jurnalistik) dan UUD 1945.Hal ini yang akan mencegah beredarnya rumor-rumor yang tidak benar, dan bersifat merugikan masyarakat. Namun ketika pers yang kemudian sudah diberikan kebebasan sedemikian rupa, apakah mereka masih mengingat mengenai lima sila dasar pancasila yang menjadi pedoman Bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana suatu wacana mencerminkan ideologi yang ada dibaliknya dengan menggunakan analisa wacana kritis model Norman Fairclough. Dalam hal ini Fairclough melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan, ia mencoba menghubungkan teks yang mikro dengan konteks yang makro, tujuannya ialah untuk dapat melihat ideologi yang ada dibalik sebuah wacana. Dalam penelitian ini wacana yang dianalisis ialah wacana rubrik Heart to Heart majalah HELLO! edisi Januari-Mei 2015.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana pemahaman konsep Pers Pancasila di Indonesia dalam redaksi majalah HELLO! Indonesia ? 2. Bagaimana penerapan Pers Pancasila di Indonesia dilihat melalui analisa wacana pada rubrik Heart to Heart edisi Januari-Mei 2015 ?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dilakukan ialah untuk mengetahui : 1. Pemahaman konsep Pers Pancasila di Indonesia, ditinjau melalui redaksi majalah HELLO! Indonesia 2. Penerapan Pers Pancasila di Indonesia dilihat melalui analisa wacana pada rubrik Heart to Heart edisi Januari-Mei 2015
Kerangka Pemikiran
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN Penelitian kualitatif Penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang mengharuskan peneliti terjun langsung sebagai pengamat realitas yang akan diteliti, karena penelitian ini mengharuskan memberikan informasi yang jujur dan tidak dibuat-buat. Lincoln dan Guba (Moleong,2010:8) membahas beberapa karakteristik dalam penelitian kualitatif, yaitu: a. Latar Alamiah; penelitian kualitatif melalukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). b. Manusia sebagai alat (Instrumen); peneliti atau dengan bantuan orang lain menjadi alat pengumpul data utama, karena peneliti berhubungan langsung dengan objek penelitian. c. Metode Kualitatif; metode kualitatif digunakan karena metode ini lebih mudah bila dihadapkan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, dan metode ini lebih peka terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. d. Analisis data secara induktif; analisis induktif digunakan karena dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak; membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit; dapat menguraikan latar belakang secara penuh; menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan; dan memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit.
e. Teori dasar (grounded theory); penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subtansif yang berasal dari data. f. Deskriptif; data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angkaangka. g. Lebih mementingkan proses daripada hasil; penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. h. Adanya batas yang ditentukan oleh fokus; penelitian kualitatif menghendaki ditetapkan adanya batas dalam penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. i. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; penelitian kualitatif mendefenisikan validitas, reliabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan yang lazim digunakan dalam penelitian klasik. j. Desain yang bersifat sementara; penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terusmenerus disesuaikan dengan kenyataan di lapangan. k. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama; penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Analisa Wacana Kritis Analisis wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis hubungan dialektis antara wacana dan elemen lain dalam praktek sosial. Metode yang dikembangkan Fairclough seperti yang dikutip oleh Eriyanto (2012) mengacu pada bagaimana bahasa dalam hubungan dengan kekuasaan dan ideologi. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Fairclough dalam analisis ini fokus pada pemakaian bahasa dan pemikiran sosial politik yang diintegrasikan pada perubahaan sosial. Dengan menggunakan metode analisa pemahaman kritis terhadap artikel feature “Heart to Heart” majalah HELLO! Indonesia, peneliti bermaksud untuk memahami ideologi yang tersimpan dibalik tulisan tersebut. Wacana, dalam pemahaman Fairclough (Eriyanto, 2012: 286) mempunyai tiga efek, yaitu: 1. Wacana memberikan andil dalam mengkonstruksi identitas sosial dan posisi subjek. 2. Wacana membantu mengkonstruksi relasi sosial di masyarakat. 3. Wacana memberikan konstribusi dalam mengkonstruksi sistem pengetahuan dan kepercayaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari ketiga level analisa tersebut, terlihat bahwa ada beberapa aspek yang mempengaruhi terbentuknya sebuah wacana. Namun tujuan dari analisa wacana itu sendiri menurut Faiclough ialah untuk melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan, melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologys tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Analisa ini didasarkan pada linguistic dan pemikiran sosial dan politik, dan secara diintegrasikan pada perubahan sosial. Melalui analisa wacana kritis, dilihat bahwa teks cenderung berpihak kepada narasumber, teks dilihat mempunyai kecenderungan untuk meninggikan sang narasumber, hal ini masuk ke dalam kriteria penulisan berita feature yang mengandung human interest. Berita cenderung menonjolkan sang narasumber, disinilah dimana agenda setting tersebut berperan. Agenda setting disini menonjolkan sang narasumber, membuat deskripsi mengenai narasumber yang
diperuntukkan untuk sang pembacanya. Penentuan topik sendiri menjadi salah satu contoh pengaplikasian agenda setting itu sendiri, dimana tim redaksi melihat keadaan sosial dan juga melihat apa yang sedang diberitakan oleh media lain, dari situ mereka memberikan kesimpulan bahwa topik A yang akan mereka bahas, dan narasumber ini yang akan mereka pilih. Dalam kelima artikel tersebut hal yang sama ditemukan bahwa sang penulis menetapkan dirinya sebagai pihak mandiri, seseorang yang berdiri sendiri. Hal ini ditujukannnya dengan bagaimana ia memasukan opininya sendiri yang terkadang berlawanan dengan opini sang narasumber. Hal ini juga terlihat dari penempatan kalimat atau struktur penyusunan kalimat yang ada. Kelima artikel tersebut cenderung memiliki struktur penyusunan kalimat yang sama, hal ini tidak mengherankan melihat ideology yang ditanamkan kepada tim redaksi dan berdasarkan analisa praktik diskursus sang managing editor, editor, dan reporter atau penulis memiliki pandangan atau ideology yang sama. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah adanya unsur Pers Pancasila dalam penulisan rubrik Heart to Heart. Pers pancasila sendiri dideskripsikan sebagai Pers yang bebas, dan berpegang terhadap Kode Etik Jurnalistik yang ada, selain itu ia juga mengacu kepada UUD 1945. Di Indonesia sekarang ini, pers dinilai mempunyai kebebasan yang leluasa bila dibandingbandingkan dengan jaman dahulu. Pers di Indonesia cenderung bertingkah seperti watch dog pada pemberitaan hard news. Namun, apakah pemberitaan tersebut merefleksikan adanya penerapan pers pancasila, yang dimaksud dengan pers pancasila ialah bahwa sistem pers tersebut tidak hanya berpedoman pada KEJ, namun juga berpedoman pada kelima sila pancasila, atau lebih jelasnya mengacu pada 45 butir pancasila yang terdapat pada TAP MPR no. I/MPR/2003. Dari kelima artikel tersebut, tercerminkan bahwa artikel tersebut dibuat sesuai dengan apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, dan dalam artikel tersebut, dapat diamati bagaimana sang penulis menempatkan dirinya, sang narasumber dan khalayak pembacanya. Pendeskripsian akan sag narasumber yang dinilai ditinggikan oleh sang penulis melihat bahwa sang narasumber mempunyai level yang berbeda dengan orang lain, hal ini diutarakan dengan penggunaan kata seperti “suaranya yang khas” (dilihat dalam artikel Andien), dan gambaran suasana akan bagaimana sang narasumber dielu-elukan oleh orang-orang (terlihat pada artikel Reza), hal ini menciptakan gambaran bahwa sang narasumber memang mempunyai level yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini menyimpang dalam beberapa tujuan yang terdapat pada sila kedua. Sila kedua berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dengan penjelasan pada butir kedua yang berbunyi “Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.” Secara kasat mata memang sang penulis tidak membedakan narasumber dengan khalayak pada umumnya, namun interpretasi yang ada pada teks tersebut menunjukkan adanya perbedaan kedudukan sosial yang ada dalam teks. Penekanan akan status sang narasumber sebagai selebriti ataupun tokoh masyarakat memperlihatkan bahwa sang narasumber mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau berbeda dengan khalayak pada umumnya. Hal lain kemudian ditemukan ketika membahas artikel emansipasi wanita oleh GKR Hemas, dapat dilihat bahwa penulis dan narasumber mempunyai pendapat yang berbeda. Pada teks tersebut penulis mendeskripsikan pendapatnya dan juga pendapat sang narasumber dengan tujuan sebagai perbandingan. Namun penulis tidak menunjukkan sebuah penyangkalan, hal ini mencerminkan salah satu sila pancasila yang menuturkan harus adanya saling menghormati keputusan satu sama lain dan tidak memksakan kehendak,
Terlihat bahwa dalam penulisan tersebut, adanya niat untuk menyadarkan masyarakat akan sebuah isu, lagi-lagi isu yang memang dialami oleh sang narasumber yang didalam teks tersebut dideskripsikan sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Namun melihat akan penyampaian yang disampaikan penulis, dapat dibilang tidak adanya tulisan yang memicu kebingungan, memicu fitnah, dan membuat kekacauan. Sedangkan bila berbicara bagaimana sang penulis mendeskripsikan akan penjelasan atau opininya di artikel tersebut, disitulah penulis menaruh seting agenda yang ditujukan untuk memicu opini publik terhadap suatu isu. Pada contohnya ialah mengenai isu pendidikan yang diangkat pada artikel bulan Mei 2015. Dalam artikel tersebut penulis memberikan contoh bahwa sang narasumber merupakan seseorang yang mementingkan pendidikan, disitu sang narasumber memberikan kritik terhadap pendidikan yang berjalan, yang kemudian tidak ditanggapi oleh penulis. Sebuah refkleksi akan bagaimana sang penulis hanya menempatkan dirinya sebagai seorang penyampai pesan. Dari kelima artikel tersebut hal yang paling menonjol yang dituliskan dalam kelima artikel ialah penggambaran positif terhadap sang narasumber. Disini penulis menonjolkan sisi baik atau memperlihatkan istilahnya kebaikan yang datang di kala keburukan. Seperti yang terdapat pada TAP MPR no. I/MPR/2003 pada sila kedua yang dijelaskan pada butir-butirnya, yaitu : 1. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. 2. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. 3. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. 4. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 5. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. 6. Berani membela kebenaran dan keadilan. Penulis memberikan sebuah contoh “baik” yang ditanamkan kepada masyarakatnya, sama halnya dengan apa yang dituturkan oleh keempat narasumber yang telah di wawancarai, bahwa tujuan ditulisnya rubrik Heart to Heart ialah agar pembacanya dapat belajar dari sebuah peristiwa. Kelima artikel tersebut memang sudah mencerminkan kelima sila pancasila, namun pengaplikasian kelima sila tersebut dinilai belum maksimal. Hasil wawancara yang dilakukan untuk penelitian ini membuktikan bahwa dari empat orang narasumber hanya satu yang memahami mengenai konsep pers pancasila. Bahkan ada yang belum pernah mendengar mengenai pers pancasila. Kasiyanto Kasemin (2014) dalam bukunya Sisi Gelap Kebebasan Pers menuturkan bahwa kebebasan pers di Indonesia sudah terlewat batas, ia menyebutkan bahwa seharusnya kita menyadari bahwa sebagai manusia kita memang memiliki kebebasan namun karena kita tidak hidup sendiri kebebasan ini dibatasi oleh kebebasan orang lain, karena bila suatu hal terlalu bebas hal tersebut akan menjadi tidak beraturan. Seperti yang dikutip melalui wawancara dengan editor Syahrina Pahlevi, ia menuturkan “Hemmm… kalau selama di lifestyle nggak tahu, pas di hard news juga nggak. Gw malah baru denger Pers Pancasila, yang gw tau ya kebebasan pers aja. Indonesia memiliki kebebasan pers yang cukup baik dibanding Negara-negara lainnya.” Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila Pers hanya memahami mengenai kebebasan saja, mereka tidak memahami bahwa kebebasan itu butuh batasan. Kasiyanto Kasemin (2014:11) menyebutkan bahwa dalam praktiknya tidak ada kebebasan yang mutrlak. Semua orang mempunyai hak untuk bebas berkomunikasi namun kebebasan komunikasi itu dibatasi oleh kebebasan komunikasi pula. Kebebasan per situ bukan berarti kebebasan tanpa batas. Kebebasan
itu tetap memiliki batas dan bahkan menuntut sebuah tanggung jawab. Batas kebebasan itu adalah nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia hal yang membatasi kebebasan pers ialah peraturan yang sudah ditetapkan dalam UU No. 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik dan juga ideologi bangsa, Pancasila. Karena selama Indonesia mempunya Pancasila sebagai panutan ideologinya, maka kita harus mematuhi kelima sila pancasila tersebut. Sebuah batasan terkadan diperlukan, hal ini untuk mencegah sesuatu agar tidak sampai lepas kontrol. Perlunya pendekatan mengenai penerapan Pancasila juga sangat dibutuhkan, hal ini untuk mengurangi terjadinya pemberitaan palsu ataupun pemberitaan yang dapat meresahkan masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap redaksi majalah HELLO! Indonesia melalui analisa wacana kritis dalam rubrik Heart to Heart edisi Januari 2015-Mei 2015 dan juga dengan melakukan wawancara pada empat narasumber, dan kegiatan obserasi, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Berdasarkan wawancara serta observasi pada redaksi majalah HELLO! Indonesia, dari empat orang hanya satu orang yang memahami betul mengenai konsep Pers Pancasila, sedangkan yang lain tidak pernah mendengar atau hanya paham sedikit mengenai pers Pancasila. Dalam hal ini terlihat bahwa Pers Pancasila mulai terlupakan, walaupun Pers Pancasila pertama kali muncul pada 1984 dan kemudian sistem pers mengalami perubahan sesuai dengan eranya, tetapi bangsa Indonesia tetap pada ideologinya, yaitu Pancasila. Sehingga diperlukan adanya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pers yang ada. 2. Melalui tiga level dalam analisa wacana kritis, dapat dilihat bahwa penerapan pers pancasila melalui rubrik Heart to Heart edisi Januari 2015 – Mei 2015 belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil analisis ditemukannya makna yang tersirat didalam teks-teks tersebut. Masih adanya kecenderungan spesialisasi terhadap narasumber yang berstatus sebagai selebritis yang melanggar beberapa poin yang telah diterapkan pada Pancasila sesuai dengan TAP MPR No. 1/MPR/2003. Saran Pada bagian ini ada beberapa saran yang ingin disampaikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran-saran tersebut antara lain : Saran Akademis Diharapkan penelitian ini dapat menambah referensi dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sistem pers yang berjalan di Indonesia terlebih lagi mengenai Pers Pancasila. Melalui penelitian ini diharapkan juga data memberikan inspirasi dan menjadi landasan untuk penelitian sejenis mengenai sistem pers Indonesia, khususnya Pers Pancasila di media cetak. Saran Praktis Perlunya ada pemahaman yang lebih luas mengenai penerapan pancasila sebagai sistem pers di Indonesia, hal ini dilakukan agar pers mengetahui batasan yang diperlukan dalam menulis. Pers sebagai pembentuk opini masyarakat diharapkan untuk membuat karya yang dapat bermanfaat bagi khalayak dan tidak membuat kebingungan pada khalayak, terlebih lagi pda karya berita yang berjenis feature. Perlunya adanya pelatihan atau pembelajaran khusus kepada
para reporter mengenai dasar sistem pers yang berlaku dan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia mungkin dapat membantu, setidaknya para penulis atau reporter tersebut memahami batasan yang ada. Saran Umum Diharapkan dengan adanya penelitian ini, masyarakat lebih menyadari mengenai makna yang terdapat dalam sebuah teks berita. Adanya agenda setting yang dibentuk oleh media menunjukkan bahsa adanya suatu ideologi tersembunyi, masyarakat sebaiknya tidak menyerap teks begitu saja, namun di harapkan dapat memahami unsur yang terkandung dalam teks tersebut.
REFERENSI Buku: Budyatna, Muhammad. (2009). Jurnalistik : Teori & Praktik. Bandung:Remaja Rosdakarya Teknologi Komunikasi di Masyarakat). Jakarta:Kencana Bungin, Burhan. (2009). Penelitian Kualitatif. Jakarta:Kencana Eriyanto. (2012). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:LkiS. Kasemin, Kasiyanto. (2014). Sisi Gelap Kebebasan Pers. Jakarta:Prenadamedia Group Kusumaningrat, Hikmat dan K. Purnama, (2005). Jurnalistik, Teori & Praktik, Bandung:Remaja Rosdakarya Jurnal : Steensen, Steen. (2011). The Featurization of Journalism. Norway:Oslo University College
RIWAYAT PENULIS Auli Cinantya lahir di Kota Jakarta pada tanggal 11 Mei 1993. Penulis menamatkan gelar Sarjana Komunikasi di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Komunikasi Pemasaran dengan peminatan Digital Journalism pada tahun 2015.