Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010
ANALISA STUDI PENGGUNAAN AHP PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS SUB STRUKTUR PADA PROYEK KONSTRUKSI Mahendra Cipta A.N1., Guntur Panji Wijaya1 Hermawan2 M. Agung Wibowo3 1
Alumni Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 – Bendan Duwur – Semarang 2 Staf Edukatif Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Katolik Soegijapranata Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 – Bendan Duwur – Semarang- Email:
[email protected] 3 Staf Edukatif Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang Kampus Tembalang, Semarang 50239
ABSTRAK Pengambilan keputusan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam suatu proyek konstruksi. Salah satunya adalah dalam pemilihan alternatif jenis pondasi. Metode yang digunakan adalah Analytical Hierarchy process (AHP). AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan multikriteria yang mempunyai banyak kelebihan dibanding dengan metode lain., diantaranya karena pada metode AHP terdapat struktur yang berhierarki dari kriteria sampai subkriteria yang paling dalam, dengan adanya perhitungan tentang validitas sampai batas inkonsistensi. Kriteria adalah salah satu faktor dalam penilaian AHP dengan menilai kriteria yang tiap kriterianya terdiri dari berbagai sub-kriteria. Kriteria tersebut adalah kriteria ekonomis dengan prosentase bobot 6 %, kriteria kondisi tanah dengan prosentase bobot 10 %, kriteria efisiensi waktu dengan prosentase bobot 9 %, kriteria pelaksanaan dengan prosentase bobot 23 %, kriteria teknis pondasi dengan prosentase bobot 15 %, kriteria lingkungan dengan prosentase bobot 3 %, kriteria alat dan bahan dengan prosentase bobot 23 %, kriteria tenaga kerja dengan prosentase bobot 11 %. Tingkatan paling bawah adalah alternatif jenis pondasi yaitu : Mini Pile, Franki Pile, Pc Hole. Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan software Expert Choice 2000 didapatkan jenis alternatif pondasi dari yang paling tinggi ke yang paling rendah adalah Mini Pile 42,7 %, Franki Pile 26,7 %, Pc Hole 30.6 % sedangkan dengan perhitungan secara manual didapatkan angka kriteria ekonomis dengan prosentase bobot 6.4 %, kriteria kondisi tanah dengan prosentase bobot 9.84 %, kriteria efisiensi waktu dengan prosentase bobot 9.54 %, kriteria pelaksanaan dengan prosentase bobot 19.81 %, kriteria teknis pondasi dengan prosentase bobot 14.39 %, kriteria lingkungan dengan prosentase bobot 3.22 %, kriteria alat dan bahan dengan prosentase bobot 21.59 %, kriteria tenaga kerja dengan prosentase bobot 15.21 % dari perhitungan secara manual didapatkan jenis alternatif pondasi dari yang paling tinggi ke yang paling rendah adalah Mini Pile 36.34 %, Franki Pile 35.67 %, Pc Hole 27.99 %. sehingga pondasi Mini pile merupakan alternatif desain pondasi yang tepat digunakan dan kriteria alat dan bahan merupakan kriteria terpenting yang mendukung dalam proses pemilihan alternatif jenis pondasi dengan menggunakan metode AHP. Kata Kunci : pengambilan keputusan, analytical hierarchy process, validitas, inkonsistensi
1. PENDAHULUAN Dalam kehidupannya manusia selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan. Berhasil tidaknya keputusan tersebut tergantung pada segala aspek dan kemungkinan yang ada. Hal ini juga terjadi pada suatu pekerjaan konstruksi, dimana dalam pengambilan keputusan tersebut pihak perencana harus mengetahui baik buruknya konsekuensi yang akan diterima. Dalam hal pemilihan teknologi pembuatan struktur suatu bangunan perencana harus mengetahui bagaimana baiknya suatu teknologi tersebut. Dengan banyaknya kriteria untuk menentukan pengambilan suatu keputusan maka diperlukan pengambilan keputusan multi kriteria. Pondasi yang berfungsi sebagai penerus beban yang ditopang oleh beratnya sendiri kedalam tanah atau batuan yang ada di bawahnya (Bowles, 1998), tidak pernah lepas dari permasalahan pada suatu proyek konstruksi. Jenis-jenis pondasi yang ada sangatlah banyak sehingga dalam memilih jenis pondasi yang akan digunakan, pihak pengambil keputusan harus mempertimbangkan kriteriakriteria yang ada. Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. Metode ini merupakan salah satu metode pangambilan keputusan multikriteria yang dapat membantu kerangka berpikir manusia dimana faktor logika, pengalaman pengetahuan, emosi dan rasa dioptimasikan ke dalam suatu proses sistematis. Pada dasarnya, AHP merupakan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-kelompoknya, dengan mengatur kelompok tersebut ke dalam suatu hierarki, kemudian memasukan nilai numerik sebagai pengganti persepsi manusia dalam melakukan
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 17
Mahendra Cipta A.N., Guntur Panji Wijaya, Hermawan dan M. Agung Wibowo
perbandingan relatif. Dengan suatu sintesa maka akan dapat ditentukan elemen mana yang mempunyai prioritas tertinggi. AHP merupakan suatu metode dengan pendekatan praktis untuk memecahkan masalah keputusan kompleks yang meliputi perbandingan berbagai macam alternatif. AHP memungkinkan pengambilan keputusan yang menyajikan hubungan hierarki antar faktor, atribut, karakteristik atau alternatif dalam lingkungan pengambilan keputusan multi faktor (Badiru, 1995). Selain itu, menurut Suryadi (2000), metode ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan metode yang lain, yaitu: struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai pada subkriteria yang paling dalam, memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan, memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan
2. TUJUAN PENELITIAN Penelitian bertujuan, antara lain untuk mengetahui dan mendalami langkah-langkah pengambilan keputusan dalam menetukan pekerjaan konstruksi pada suatu proyek, dapat mengambil keputusan yang tepat dalam menentukan suatu struktur yang tepat dipakai dalam suatu proyek, dan mengetahui penggunaan metode AHP dengan tepat dalam pengambilan keputusan,
3. ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. Metode ini merupakan salah satu model pengambilan keputusan multikriteria yang dapat membantu kerangka berpikir manusia dimana faktor logika, pengalaman pengetahuan, emosi dan rasa dioptimasikan ke dalam suatu proses sistematis. Pada dasarnya, AHP merupakan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-kelompoknya, dengan mengatur kelompok tersebut ke dalam suatu hierarki, kemudian memasukkan nilai numerik sebagai pengganti persepsi manusia dalam melakukan perbandingan relatif. Dengan suatu sintesa maka akan dapat ditentukan elemen mana yang mempunyai prioritas tertinggi. Manfaat dari penggunaan Analytical Hierarchy Process (AHP) antara lain yaitu: memadukan intuisi pemikiran, perasaan dan penginderaan dalam menganalisa pengambilan keputusan, memperhitungkan konsistensi dari penilaian yang telah dilakukan dalam membandingkan faktor-faktor yang ada, dan memudahkan pengukuran dalam elemen, memungkinkan perencanaan ke depan. Kelebihan metode ini menurut Badiru (1995) adalah: struktur yang berhierarki merupakan konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai pada subkriteria paling dalam, memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan, dan memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambil keputusan. Selain mempunyai kelebihan, metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini juga mempunyai banyak keuntungan dalam penggunaannya. Saaty (1993) menjelaskan beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan metode AHP pada proses pengambilan keputusan multikriteria. Meskipun mempunyai kelebihan, namun metode AHP juga mempunyai kelemahan yaitu: orang yang dilibatkan adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan ataupun banyak pengalaman yang berhubungan dengan hal yang akan dipilih dengan menggunakan metode AHP, dan untuk melakukan perbaikan keputusan, harus dimulai lagi dari tahap awal.
3.1. Prinsip Dasar Analytical Hierarchy Process Menurut Saaty (1993), prinsip dasar dalam proses penyusunan model hierarki analitik dalam AHP, meliputi: a. Problem Decomposition (Penyusunan Hierarki Masalah) Dalam penyusunan hierarki ini perlu dilakukan perincian atau pemecahan dari persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur/komponen yang kemudian dari komponen tersebut dibentuk suatu hierarki. Pemecahan unsur ini dilakukan sampai unsur tersebut sudah tidak dapat dipecah lagi sehingga didapat beberapa tingkat suatu persoalan. Penyusunan hierarki merupakan langkah penting dalam model analisa hierarki. Adapun langkah-langkah penyusunan hierarki adalah diawali dengan identifikasi tujuan keseluruhan dan subtujuan, mencari kriteria untuk memperoleh subtujuan dari tujuan keseluruhan, menyusun subkriteria dari masing-masing kriteria, dimana setiap kriteria dan subkriteria harus spesifik dan menunjukkan tingkat nilai dari parameter atau intensitas verbal, menentukan pelaku yang terlibat, kebijakan dari pelaku, dan penentuan alternatif sebagai output tujuan yang akan ditentukan prioritasnya. b. Comparative Judgement (Penilaian Perbandingan Berpasangan) Prinsip ini dilakukan dengan membuat peni-laian perbandingan berpasangan tentang kepentingan relatif dari dua elemen pada suatu tingkat hierarki tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya dan memberikan bobot numerik berdasarkan perbandingan tersebut. Hasil penelitian ini disajikan dalam matriks yang disebut pairwise comparison. c. Synthesis of Priority (Penentuan Prioritas) Sintesa adalah tahap untuk mendapatkan bobot bagi setiap elemen hierarki dan elemen alternatif. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat untuk mendapatkan global priority, maka sintesis harus dilakukan
M - 18
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Analisa Studi Penggunaan Ahp Pada Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Sub Struktur Pada Proyek Konstruksi
pada setiap local priority. Prosedur pelaksanaan sintesis berbeda dengan bentuk hierarki. Sedangkan pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. d. Logical Consistensy (Konsistensi Logis) Konsistensi berarti dua makna atau obyek yang serupa. Konsistensi data didapat dari rasio konsistensi (CR) yang merupakan hasil bagi antara indeks konsistensi (CI) dan indeks random (RI). Metode AHP sudah banyak dilakukan di berbagai Negara bahkan di Indonesia sendiri. Berbagai contoh yang dapat kami sebutkan antara lain : a. penerapan metode AHP oleh Walailak Atthirawong dan Bart MacCarthy dengan permasalahan Pemilihan Negara Terbaik atau Paling Strategis Untuk Lokasi Industri Pabrik, dengan studi kasus pada Proyek di Singapura dan Thailand. b. penerapan metode AHP oleh Connie Susilawati, Jani Rahardjo dan Yeni Yudiyanti dengan permasalahan Pengukuran Kualitas Gedung Perbelanjaan di Surabaya, dengan studi kasus Tunjungan Plaza Surabaya dan Plaza Surabaya.
3.2. Pemodelan Hierarki Analitycal Hierarchy Process (AHP) Berdasarkan proses identifikasi maka diperoleh model hirarki keputusan sebagai berikut: Level 1: Tujuan
Jenis Pondasi yang digunakan
Level 2: Pengambil Keputusan
Kontraktor Pondasi
Level 3: Kriteria
Level 4: Sub kriteria
A
B
C
D
E
A1 A2 A3 A4
B1 B2 B3 B4
C1 C2 C3
D1 D2 D3
E1 E2 E3
F
F1 F2 F3
G
H
G1 G2 G3
H1 H2 H3
Level 5: Alternatif
Mini Pile
Franki Pile
Pc Hole
Gambar 1. Model Hierarki Keputusan Penelitian
Keterangan: A = Ekonomis F = Lingkungan
B = Kondisi tanah G = Alat dan bahan
C = Efisiensi waktu H = Tenaga B1 = Tanah kerikil
D = Pelaksanaan A1 = Biaya pembuatan pondasi B2 = Tanah pasir
E = Teknis pondasi A2 = Biaya pengadaan alat B3 = Tanah lanau
A3 = Biaya galian pondasi B4 = Tanah Lempung
A4 = Biaya tenaga kerja
C3 = Waktu Pelaksanaan
D1 = Efisiensi waktu
D2 = Efisiensi biaya
D3 = Efisiensi Tenaga
C1 = Biaya pelaksanaan pondasi E1 = Waktu pelaksanaan
E2 = Biaya pelaksanaan
F2 = Pekerjaan Proyek
F3 = Pencemaran
G1 = pengadaan alat dan bahan
E3 = Kualitas/hasil pelaksanaan G3 = Biaya
F1 = Waktu pengadaan alat dan bahan H1 = Kualitas tenaga kerja
H2 = Keselamatan kerja
H3 = Jumlah tenaga kerja
3.3. Penerapan Metode AHP dalam Pemilihan Jenis Pondasi Secara umum metode AHP digunakan untuk membantu manusia mengambil keputusan yang tepat di tengah berbagai kemungkinan keputusan yang ada. Langkah-langkah penerapan AHP untuk Pemilihan Jenis Pondasi, yaitu: a. Langkah I (Level I) Menentukan tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah memilih pondasi yang sesuai. b. Langkah II (Level II)
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 19
Mahendra Cipta A.N., Guntur Panji Wijaya, Hermawan dan M. Agung Wibowo
c.
d.
e.
Langkah berikut ini terdiri dari pengambil keputusan yang berhak memberi penilaian tentang jenis pondasi yang akan dipakai. Dalam hal ini peneliti mengambil sampel dari pengelola proyek. Langkah III (Level III) Berisikan tentang kriteria-kriteria yang berguna untuk memudahkan para pengambil keputusan untuk memberi nilai. Kriteria tersebut ditinjau dari segi kondisi tanah, teknis pondasi, efisiensi waktu, pelaksanaan, ekonomis, lingkungan, dan biaya. Langkah IV (Level IV) Level IV ini membagi kriteria-kriteria (sub-kriteria) yang terdapat di level III. Hal ini dilakukan peneliti agar mendapatkan besaran (nilai) yang sangat sederhana, sehingga memudahkan peneliti untuk memasuki level selanjutnya. Langkah V (Level V) Merupakan langkah akhir dan langkah yang terendah dari AHP, berisi hasil dari keseluruhan level di atas.
3.4. Skala Perbandingan Berpasangan Penetapan skala kuantitatif menurut Saaty (1993) digunakan untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 1. Skala Perbandingan Intensitas Kepentingan 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8 Kebalikan
Keterangan
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tujuan
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya
Pengalaman dan penilaian sediki\t menyokong satu elemen dibanding elemen lainnya
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
Pengalaman dan penilaian sangat kuat meyokong satu elemen lainnya Satu elemen yang kuat menyokong satu elemen dibanding elemen lainnya Bukti yang mendukung satu elemen terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan yang berdekatan Jika untuk aktivitas i mendapatkan satu angka dibandingkan dengan aktivitas j maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan nilai i Sumber : Saaty (1993 : 85-86)
3.5. Perhitungan AHP Saaty (1993) menjelaskan bahwa elemen-elemen pada setiap baris dari matriks persegi merupakan hasil perbandingan berpasangan. Setiap matriks pairwise comparison dicari eigenvektor-nya untuk medapat local priority. Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai-nilai fundamental AHP dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama penting, sampai dengan 9 untuk sangat penting sekali. Berdasarkan susunan matriks perbandingan berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas, yang merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada elemen di dalam tingkat yang ada di atasnya. Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dalam indeks konsistensi yang didapat dari rumus: λ − n ..................... ...................................................................................... (1) CI = maks n −1 Keterangan: = eigenvalue maksimum λmaks n = ukuran matriks Consistency Index (CI), matriks random dengan skala penelitian 1 sampai de-ngan 9, beserta kebalikannya sebagai Random Index (RI). Berdasarkan perhitungan Saaty dengan 500 sampel, jika judgement numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, …, 1, 2, …, 9 akan diperoleh rata-rata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda. Ukuran Matriks Indeks Random
CR =
M - 20
1,2 0,0
Tabel 2. Nilai Indeks Random 3 4 5 6 7 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32
8 1,41
9 1,45
10 1,49
CI ≤ 0,1 .................. ........................................................................................ (2) RI
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Analisa Studi Penggunaan Ahp Pada Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Sub Struktur Pada Proyek Konstruksi
Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai Consistency Ratio (CR). Untuk model AHP matriks perbandingan dapat diterima jika nilai rasio konsistensinya tidak lebih dari 0,1 atau sama dengan 0,1.
3.6. Perhitungan AHP (Analytical Hierarchy Process) Berdasarkan matriks perbandingan tersebut akan mendapatkan apa yang disebut Local dan global priority. Langkahlangkah untuk mendapatkan prioritas tersebut adalah dengan menormalisasi matriks perbandingan yang sudah ada. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan suatu taksiran menyeluruh dari prioritas yang memungkinkan perbandingan antar elemen menjadi lebih berbobot. Tabel 3. Matriks yang membandingkan beberapa kriteria
Tabel 4. Matriks hasil normalisasi
KRITERIA
E
KT
EW
P
TK
L
AB
T
KRITERIA
E
KT
EW
P
TK
L
AB
T
Hasil
E
1
0.5
0.5
0.5
0.2
3
0.5
0.5
E
1
0.5
0.5
0.5
0.2
3
0.5
0.5
0.5124
KT
2
1
2
0.5
0.5
4
0.25
0.5
KT
2
1
2
0.5
0.5
4
0.25
0.5
0.787
EW
2
0.5
1
1
0.5
2
0.5
1
EW
2
0.5
1
1
0.5
2
0.5
1
0.2633
P
2
2
1
1
3
4
3
1
P
2
2
1
1
3
4
3
1
1.5846
TK
5
2
2
0.33
1
4
0.5
1
TK
5
2
2
0.33
1
4
0.5
1
1.1515 0.2574
L
0.33
0.25
0.5
0.25
0.25
1
0.2
0.25
L
0.33
0.25
0.5
0.25
0.25
1
0.2
0.25
AB
2
4
2
0.33
2
5
1
5
AB
2
4
2
0.33
2
5
1
5
1.727
T
2
2
1
1
4
4
0.2
1
T
2
2
1
1
4
4
0.2
1
1.2167
Keterangan : EKO:ekonomis TK: teknis pondasi
KT: kondisi tanah L: lingkungan
EW: efisiensi waktu AB: alat dan bahan
P: pelaksanaan T: tenaga
Tabel 4, kriteria AB mendapatkan hasil yang paling tinggi atau absolut. Hal ini disebabkan karena responden dari kuisoner menilai bahwa kriteria AB (alat dan bahan) merupakan faktor penting yang mempengaruhi dalam pembuatan pondasi. Hal itu tidak significant dengan kriteria KT (kondisi tanah) yang hanya menghasilkan angka 0.787. Hal ini menurut responden kuisoner, kriteria KT merupakan kriteria yang seharusnya didapat dari hitungan dalam penentuan jenis pondasi sehingga menghasilkan hasil yang tidak absolut. Hasil yang terdapat pada Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa penentuan alternatif jenis pondasi tidak selalu ditentukan dengan jenis kondisi tanah tetapi ada beberapa hal yang bisa lebih penting daripada kriteria tersebut dengan catatan perencana akan memperhitungkan beberapa aspek seperti kriteria diatas dengan lebih mendetail. Adapun cara untuk menormalisasi yaitu dengan membagi tiap matriks kolom dengan jumlah dari satu kolom. Hasil yang didapat merupakan penjumlahan dari tiap baris. Hasil dibagi dengan jumlah kriteria untuk mendapatkan Local Priority. Tabel 5. Local dan Global Priority
Tabel 6. λmax, CI dan CR
Local
Global
Lambda max
0.064 0.0984 0.0954 0.1981 0.1439 0.0322 0.2159 0.1521
0.5693 0.847 0.8671 1.9786 1.3064 0.2925 2.2036 1.518
8.8889 8.6099 9.0884 9.989 9.0758 9.0905 10.2077 9.9811
λmax CI CR
9.3664 0.0458 0.0325
Tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa nilai dari kriteria AB juga menunjukkan angka yang absolut. Local priority merupakan hasil penjumlahan dari tiap baris kriteria hasil normalisasi kemudian dibagi dengan jumlah kriteria yang ada. Global didapatkan dari hasil perkalian antara local Priority dengan matrik berpasangan, setelah itu dijumlahkan berdasarkan baris. Setelah Local dan Global Priority di dapat maka λmax diketahui dengan cara membagi Global Priority dengan Local Priority kemudian di rata-rata. Setelah itu dapat kita ketahui apakah matrik berpasangan tersebut konsisten atau tidak dengan cara mencari CR, dengan syarat ≤1. Hal tersebut juga dilakukan untuk matriks yang membandingkan beberapa sub-kriteria. Adapun cara yang digunakan untuk menghitung matriks tersebut sama dengan yang diatas. Tabel 7. Matriks yang membandingkan Subkriteria Dalam kriteria ekonomi
Tabel 8. Matriks yang membandingkan Subkriteria dalam kriteria kondisi tanah
EKO
BPP
BPA
BGP
BTK
Local Global
Lambda max
KT
TK
TP
TL
Tle
Local Global
BPP BPA BGP BTK total
1 2 3 4 10
0.5 1 1 1 3.5
0.3333 1 1 1 3.3333
0.25 1 1 1 3.25
0.1049 0.4219 0.2734 1.105 0.2984 1.2099 0.3234 1.3148 1 λmax CI CR
4.0203 4.0424 4.0553 4.0662 4.046 0.0153 0.0258
TK TP TL Tle total
1 2 3 4 10
0.5 1 1 1 3.5
0.3333 1 1 1 3.3333
0.25 1 1 1 4
0.1482 0.2589 0.2839 0.2339 0.925
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
0.4308 1.0732 1.2214 1.3696 λmax CI CR
Lambda max 2.9066 4.1448 4.3019 5.8549 4.302 0.1006 0.11
M - 21
Mahendra Cipta A.N., Guntur Panji Wijaya, Hermawan dan M. Agung Wibowo
Keterangan: EKO = Ekonomis BPA = Biaya pengadaan alat BTK = Biaya Tenaga Kerja
BPP = Biaya pembuatan pondasi BGP = Biaya Galian Pondasi KT = kondisi tanah
TK = tanah keras TP = tanah pasir TL = tanah lunak
TLe = tanah lempung
Tabel 7. diatas merupakan matriks perbandingan antar sub-kriteria yang berada dalam kriteria Ekonomis. Dapat di lihat dari hasil diatas bahwa global priority dengan nilai paling absolut adalah sub-kriteria BTK (biaya tenaga kerja). Hal ini menurut responden kuisoner dalam segi ekonomis mereka harus memperhitungkan sub-kriteria BTK lebih penting dari pada sub-kriteria yang lain karena biaya tenaga kerja juga berpengaruh pada hasil dari pekerjaan pembuatan pondasi tersebut. Hal ini berlawanan dengan sub-kriteria BPP (biaya pembuatan pondasi) seharusnya sub-kriteria BPP mendapatkan nilai yang paling absolut. Hasil yang berlawanan tersebut dipengaruhi juga dengan hasil perbandingan yang lain, karena pada Tabel 7. dapat di lihat bahwa perbandingan didominasi dengan nilai 1dengan kata lain merupakan nilai netral. Hal tersebut yang membuat nilai antara sub-kriteria BPP dan BTK menjadi tidak berimbang karena pada Tabel 7. dapat di lihat juga bahwa perbandingan antara sub-kriteria BPP dan BTK dimenangkan oleh BTK dengan perbandingan 4 banding 0.25 yang diartikan bahwa sub-kriteria BTK lebih penting dan bernilai 4 jika dibandingkan dengan sub-kriteria BPP. Tabel 8. diatas merupakan matriks perbandingan antar sub-kriteria yang berada dalam kriteria kondisi tanah. Pada tabel diatas hasil yang paling absolut adalah subkriteria TLe (tanah lempung) dengan nilai 1.3696 yang dapat diartikan bahwa jenis pondasi mini pile merupakan pondasi yang cocok dipakai dalam kondisi tanah lempung. Pada tabel diatas dapat di lihat juga perbandingan yang sangat besar antara Tle (tanah lempung) dengan TK (tanah keras) dimana dalam perbandingan itu Tle lebih penting daripada TK dengan nilai 4. Hal ini diperkuat dengan kesimpulan yang ada didalam data tanah yang di terima yaitu pada kedalaman -0.00 meter sampai -4.00 meter berupa tanah lempung dan pada kedalaman -6.00 meter sampai dengan -17.00 meter terdapat lapisan tanah lempung dengan konsistensi sangat lunak tetapi dengan saran sebaiknya ditumpu oleh lensa pasir minimal -3.00 meter. Tabel 10. Matriks yang membandingkan Subkriteria dalam kriteria pelaksanaan P
EW
EW EB ET total
1 3 3 7
EB
ET
Local Global
0.3333 0.3333 0.1428 0.4285 1 1 0.4286 1.2857 1 1 0.4286 1.2857 2.3333 2.3333 1 λmax CI CR
Lambda max 2.9999 2.9999 2.9999 2.9999 0 0
Keterangan : EW = efisiensi waktu P = pelaksanaan
BPP = biaya pelaksanaan pondasi EW = efisiensi waktu
KP = kualitas pekerjaan EB = efisiensi biaya
WP = waktu pekerjaan ET = efisiensi tenaga
Tabel 9. diatas merupakan matriks perbandingan antar sub-kriteria yang berada dalam kriteria efisiensi waktu. Pada tabel diatas dapat di lihat hasil yang significant antar tiga sub-kriteria dan nilai sub-kriteria WP (waktu pelaksanaan) lebih tinggi daripada yang lain dengan terpaut nilai lebih dari 1 point. Hal ini disebabkan kerena menurut responden kuisoner waktu pelaksanaan lebih penting daripada biaya pelaksanaan dan kualitas pekerjaan. Dalam suatu pekerjaan konstruksi sering kali dihadapkan oleh waktu dimana dengan waktu yang semakin berkurang diharapkan untuk memenuhi target pekerjaan. Tabel diatas menunjukkan bahwa perbandingan yang paling mencolok adalah perbandingan antara sub-kriteria WP dengan BPP yaitu bernilai 5 untuk kepentingan WP. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa sebenarnya (jika berdasarkan pada nilai yang diatas) WP lebih penting dari pada BPP dan itu juga terjadi pada proyek konstruksi yang sesungguhnya. Tabel 10. diatas merupakan matriks perbandingan antar subkriteria yang berada dalam kriteria pelaksanaan. Pada tabel diatas dapat di lihat nilai dari global priority yang paling tinggi adalah EB (efisiensi biaya) dan ET(efisiensi tenaga) hal ini maksudnya adalah dalam kriteria pelaksanaan kedua sub-kriteria pelaksanaan inilah yang mempunyai pengaruh paling besar. Pengaruh itu dapat di lihat dalam matriks diatas dimana bobot perbandingan antara EB dengan ET sama yaitu bernilai 1 atau nilai netral. Bobot nilai antara EB dengan EW dan ET dengan EB sama yaitu 3 untuk kepentingan EB dan ET. Maksud dari hal tersebut adalah dalam suatu pelaksanaan konstruksi dalam hal ini pembuatan pondasi jika dilihat dari sub-kriteria yang ada maka dapat diambil kesimpulan bahwa efisiensi waktu tidak begitu diperhitungkan dengan tidak diperhitungkannya itu maka seringkali suatu proyek konstruksi mengalami suatu kemunduran waktu. Efisiensi biaya dan efisiensi tenaga dalam pelaksanaan proyek konstruksi dalam hal ini pembuatan pondasi juga merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan untuk mencapai target waktu yang telah ditetapkan terutama efisiensi tenaga, jika bekerja seefisiensi mungkin bukan mustahil jika suatu pekerjaan konstruksi dapat selesai sesuai dengan target yang telah ditentukan.
M - 22
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Analisa Studi Penggunaan Ahp Pada Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Sub Struktur Pada Proyek Konstruksi
Tabel 11. Matriks yang membandingkan Subkriteria dalam Kriteria Teknis Pondasi
Tabel 12. Matriks yang membandingkan Subkriteria dalam Kriteria Lingkungan
TP
WP
BPP
KP
Local Global
Lambda max
Lingk
WP
PP
P
WP BPP KP total
1 5 1 7
0.2 1 0.5 1.7
1 2 1 4
0.1702 0.5193 0.6008 1.9097 0.229 0.6996 1 λmax CI CR
3.0519 3.1783 3.055 3.0951 0.0475 0.081
WP PP P total
1 1 3 5
1 1 3 5
0.3333 0.3333 1 2
Local Global 0.2 0.2 0.6 1
0.6 0.6 1.8 λmax CI CR
Lambda max 2.9999 2.9999 2.9999 2.9999 0 0
Keterangan: TP = teknis pondasi Lingk = lingkungan
WP = waktu pelaksanaan WP = waktu pengadaan alat dan bahan (untuk tabel 4.9)
BPP = biaya pekerjaan pondasi P = pencemaran
KP = kualitas pekerjaan PP = pekerjaan proyek
Tabel 11. diatas merupakan matriks perbandingan antar sub-kriteria yang berada dalam kriteria teknik pondasi. Pada tabel diatas dapat di lihat nilai dari global priority yang paling besar adalah BPP (biaya pelaksanaan pondasi). Biaya pelaksanaan pondasi dalam hal ini meliputi sewa alat, biaya pengiriman, dan lain-lain. Tabel matriks diatas nilai dari BPP merupakan nilai paling tinggi dari semua nilai dan berselisih 1 nilai. Hal ini disebabkan pada matriks perbandingan berpasangan diatas perbandingan antara BPP dengan WP mencapai angka 5 untuk kepentingan BPP. Menurut responden kuisoner di dalam pelaksanaan proyek konstruksi dalam hal ini pembuatan jenis pondasi BPP memegang peranan penting karena itu berhubungan dengan rencana anggaran biaya yang sudah ditetapkan. Untuk kualitas pekerjaan dan waktu pelaksanaan dapat dilakukan dengan dipantau secara rutin dan untuk berhubungan dengan segi biaya atau ekonomis hanya beberapa persen saja dalam arti tidak begitu berpengaruh. Tabel 12. diatas merupakan matriks perbandingan antar sub-kriteria yang berada dalam kriteria lingkungan. Pada tabel diatas dapat di lihat nilai dari global priority yang paling besar adalah PP (pekerjaan proyek). Pekerjaan proyek dalam hal ini meliputi pekerjaan struktur bawah. Responden kuisoner memberikan penilaian yang sama kepada WP dan P yaitu 1 sedangkan pada perbandingan antara P dengan PP mereka memberi nilai 3 untuk kepentingan PP. Maksudnya dalam suatu proyek konstruksi dalam hal ini pembuatan pondasi mereka lebih mementingkan PP (pekerjaan proyek) daripada P (pencemaran) dan WP (waktu pengadaan alat dan bahan). Dalam suatu proyek konstruksi pekerjaan proyek dalam hal ini secara keseluruhan merupakan faktor yang lebih penting daripada pencemaran dan pengadaan alat dan bahan walaupun dalam pekerjaan proyek seringkali pekerjaan tersebut menimbulkan pencemaran yang berdampak pada lingkungan seperti kemacetan, jalan kotor, bahkan suara. Tabel 13. Matriks yang membandingkan Subkriteria dalam kriteria Alat dan bahan AB PB EW B total
PB 1 4 2 7
EW 0.25 1 0.3333 1.6
B 0.5 3 1 5
Local Global 0.1373 0.4128 0.6232 1.8908 0.2395 0.7218 λmax 1 CI CR
Tabel 14. Matriks yang membandingkan Subkriteria dalam kriteria tenaga
Lambda max
T
KT
3.0071 3.0339 3.0139 3.0183 0.0092 0.0158
KT KK JTK total
1 4 3 8
KK
JTK
Local Global
0.25 0.3333 0.1221 0.3717 1 3 0.6272 1.951 0.3333 1 0.2785 0.8538 1.6 4 1.0278 λmax CI CR
Lambda max 3.0449 3.1107 3.0656 3.0737 0.0092 0.0638
Keterangan: AB = alat dan bahan T = tenaga
PB = pengadaan alat dan bahan KT = kualitas tenaga kerja
EW = efisiensi waktu KK = keselamatan kerja
B = biaya JTK = jumlah tenaga kerja
Tabel 13. diatas merupakan matriks perbandingan antar sub-kriteria yang berada dalam kriteria alat dan bahan. Pada tabel diatas dapat di lihat nilai dari global priority yang paling besar adalah EW (efisiensi waktu). Hal ini berhubungan dengan efisiennya waktu yang di butuhkan untuk mendapatkan atau bahkan mendatangkan materialmaterial yang di butuhkan untuk proyek konstruksi. Tabel matriks diatas menunjukkan bahwa nilai EW lebih besar dan mempunyai selisih nilai 1 lebih dari PB dan B. Hal itu disebabkan responden kuisoner kami merasa bahwa jika semua proyek konstruksi selalu berhubungan dengan waktu dan biaya (yang paling dominan) dan melihat dari subkriteria yang ada maka mereka menetapkan EW sebagai salah satu sub-kriteria yang paling penting dengan memberikan nilai 4 untuk kepentingan EW jika dibandingkan dengan PB dan nilai 3 jika dibandingkan dengan B. Tabel 14. diatas merupakan matriks perbandingan antar sub-kriteria yang berada dalam kriteria tenaga. Pada tabel diatas dapat di lihat nilai dari global priority yang paling besar adalah KK (keselamatan kerja). Pekerjaan proyek besar memang membutuhkan faktor keselamatan kerja yang tinggi apalagi sudah memasuki dunia persaingan seperti sekarang faktor keselamatan juga merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan suatu proyek. Responden kuisoner memberi nilai 4 (untuk KK) pada perbandingan KT dengan KK dengan maksud kualitas tenaga kerja yang sedikit dapat ditutup dengan jumlah pekerja yang banyak sedang nilai 3 (untuk KK) diberikan pada perbandingan KK dengan JTK dikarenakan dengan jumlah tenaga kerja yang banyak maka akan mendongkrak biaya faktor
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 23
Mahendra Cipta A.N., Guntur Panji Wijaya, Hermawan dan M. Agung Wibowo
keselamatan yang tinggi oleh karena itu dengan mengedepankan KK maka jumlah tenaga kerja tidak perlu bertambah. Tabel keseluruhan diatas merupakan tabel nilai local priority dari masing-masing matriks, kemudian kelompokkan masing-masing local priority tersebut berdasarkan masing-masing kriteria kemudian kalikan setiap kolom dengan local priority tiap kriteria yang bersangkutan untuk memperoleh vektor prioritas terbobot bagi kriteria tersebut. Tabel 15. Pengelompokan masing-masing local priority 0.064 EKO BPP 0.1049 BPA 0.2734 BGP 0.2984 BTK 0.3234 0.1439 TP WP 0.1702 BP 0.6008 0.229 KP
0.0984 KT TK 0.1482 0.2589 TP TL 0.2839 Tle 0.2339 0.0322 Lingk WP 0.2 PP 0.2 0.6 P
0.0954 EW BPP 0.1702 0.229 KP WP 0.6008
0.1981 P EW 0.1428 EB 0.4286 ET 0.4286
0.2159 AB PB 0.1373 EW 0.6232 0.2395 B
0.1521 T KT 0.1221 KK 0.6272 JTK 0.2785
Tabel 16. Hasil perkalian antara local priority dari masing-masing kriteria tertinggiP local TP priorityLingk sub-kriteria EKOdengan KT nilaiEW AB
T
0.0207 0.0279 0.0573 0.0849 0.0864 0.0193 0.1345 0.0954
Langkah selanjutnya ambil nilai tertinggi dari masing-masing local priority sub-kriteria kemudian dikalikan dengan nilai local priority dari kriteria yang ada. Kegunaan dari diambilnya nilai paling tinggi dari sub-kriteria adalah untuk menentukan persentase yang akan diperoleh dalam pemilihan jenis pondasi. Semakin tinggi atau absolut nilai tersebut maka akan semakin menunjukkan hasil yang baik atau significant. Langkah berikutnya jumlahkan semua baris diatas dan bagi setiap entri dengan jumlah itu untuk mendapatkan vektor yang dinormalisasi dari kriteria tersebut. Hasil dari perhitungan itu disebut eigenvector dimana hasil tersebut berguna sebagai pengali untuk tiap sub-kriteria yang akhirnya mendapatkan hasil yang terbaik karena merupakan hasil dari perkalian antara nilai maksimum. Tabel 18. Hasil perhitungan pembagian tiap entri dengan jumlah baris dengan nilai tertinggi local priority sub-kriteria
Tabel 17. Vektor prioritas untuk berbagai kriteria dengan nilai tertinggi local priority sub-kriteria EKO BPP 0.0067 BPA 0.0175 BGP 0.0191 BTK 0.0207 TP WP 0.0245 BP 0.0865 KP 0.033
KT TK 0.0146 TP 0.0255 TL 0.0279 Tle 0.023 Lingk WP 0.0064 PP 0.0064 P 0.0193
EW BPP 0.0162 KP 0.0218 WP 0.0573
EW EB ET
AB 0.0296 0.1345 0.0517
KT KK JTK
PB EW B
P 0.0283 0.0849 0.0849
EKO
KT
0.0393
0.053
EW
P
TP
Lingk
AB
T
0.1089 0.1613 0.1641 0.0367 0.2555 0.1812
T 0.0186 0.0954 0.0424
Langkah selanjutnya mencari local priority dari masing-masing sub-kriteria alternatif yang kemudian dikalikan dengan vektor prioritas yang ada di Tabel 16. hasil yang ada di Tabel 17. diambil yang terbesar dari tiap kriteria hal dimungkinkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tabel 19. Perbandingan matriks kriteria ekonomis dengan Alternatif
Tabel local keseluruhan Kriteria Kondisi tanah
Tabel local keseluruhan Kriteria Ekonomis ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
0.5071 0.2583 0.2345 3.1021 0.051 0.0567
Tabel 22. Perbandingan matriks kriteria pelaksanaan dengan Alternatif Tabel local keseluruhan Kriteria Pelaksanaan ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
M - 24
0.269 0.283 0.4203 3.08 0.04 0.068
Tabel 21. Perbandingan matriks kriteria Tabel 20. Perbandingan matriks kriteria kondisi tanah dengan Alternatif efisiensi waktu dengan Alternatif
0.3333 0.3333 0.3333 3 0 0
Tabel 23. Perbandingan matriks kriteria teknis pondasi dengan Alternatif Tabel local keseluruhan Kriteria Teknik Pondasi ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
0.4167 0.2735 0.2821 3 0 0
Tabel local keseluruhan Kriteria Efisiensi waktu ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
0.2195 0.2646 0.4465 3 0 0
Tabel 24. Perbandingan matriks kriteria lingkungan dengan Alternatif Tabel local keseluruhan Kriteria Lingkungan ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
0.3624 0.2856 0.2912 3 0 0
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Analisa Studi Penggunaan Ahp Pada Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Sub Struktur Pada Proyek Konstruksi
Tabel 25. Perbandingan matriks kriteria alat dan bahan dengan Alternatif
Tabel 26. Perbandingan matriks kriteria tenaga dengan Alternatif Tabel local keseluruhan Kriteria Tenaga
Tabel local keseluruhan Kriteria Alat dan Bahan ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
0.328 0.4409 0.194 3 0 0
ALT1 ALT2 ALT3 λmax CI CR
0.4001 0.3961 0.1659 3 0 0
Tabel diatas merupakan tabel perbandingan alternatif jika dilihat berdasarkan nilai yang terdapat pada tabel diatas dapat dilihat bahwa alternatif 1 yaitu pondasi mini pile mempunyai nilai yang paling tinggi secara dominan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa alternatif yang lain juga akan mempunyai nilai tertinggi seperti dalam kriteria alat dan bahan dimana alternatif 2 lebih dominan dan juga kriteria pelaksanaan dan efisiensi waktu dimana alternatif 3 lebih dominan. Hal tersebut lebih dikarenakan data yang diisi oleh responden kuisioner dimana setelah dihitung hitungan tersebut haruslah memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan diatas yaitu CR ≤1. Tabel 28. Hasil perkalian antara vektor prioritas dengan local priorityAlternatif
Tabel 27. Local priority dari masing-masing subkriteria alternatif Local priority ALT 1 ALT 2 ALT 3
0.0393 EKO 0.5071 0.2583 0.2345
0.053 KT 0.3333 0.3333 0.3333
0.1089 EW 0.2195 0.2646 0.4465
0.1613 P 0.269 0.283 0.4203
0.1641 TP 0.4167 0.2735 0.2821
0.0367 Lingk 0.3624 0.2856 0.2912
0.2555 AB 0.328 0.4409 0.194
0.1812 T 0.4001 0.3961 0.1659
ALT 1 ALT 2 ALT 3
EKO KT EW P TP Lingk AB T 0.02 0.018 0.024 0.043 0.068 0.013 0.084 0.073 0.01 0.018 0.029 0.046 0.045 0.011 0.113 0.072 0.009 0.018 0.049 0.068 0.046 0.011 0.05 0.03
Tabel diatas merupakan langkah terakhir dalam perhitungan yang melibatkan eigenvector dimana seluruh alternatif dikelompokkan berdasarkan kriteria kemudian dikalikan dengan eigenvektor yang ada pada Tabel 16. Langkah selanjutnya yaitu menjumlahkan tiap baris alternatif diatas untuk mendapatkan hasil akhir. Tabel 30. Perbandingan perhitungan hasil akhir
Tabel 29. Hasil Akhir dari Perhitungan AHP ALT 1 ALT 2 ALT 3
0.3634 0.3567 0.2799
Expert choice. 2000 42.70% 26.70% 30.60%
Alternatif 1 (Mini Pile) Alternatif 2 (Franki Pile) Alternatif 3 (Pc Hole)
Manual 36.34% 35.67% 27.99%
Hasil akhir diatas maka dapat di simpulkan bahwa jenis pondasi yang sesuai adalah pondasi Mini Pile 36.34%. Alasan memilih pondasi Mini Pile ini jelas Alternatif 1 (mini pile) lebih mendominasi daripada Alternatif 2 (Franki pile 35.67%) dan Alternatif 3 (PC Hole 27.99 %). Berdasarkan perhitungan secara manual tersebut jika dibandingkan dengan perhitungan menggunakan program Expert choice 2000 maka tidak terjadi perubahan yang berarti hal itu dikarenakan dengan cara perhitungan yang berbeda akan menghasilkan hasil yang sama yaitu Alternatif 1 (Mini Pile) sebagai alternatif yang terbaik. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat diagram berikut. Perhitungan dengan menggunakan Expert Choice 2000 dapat kita lihat bahwa jumlah persentase kriteria adalah sebagai berikut: kriteria ekonomis 6,2 %, kriteria kondisi tanah 10,2 %, kriteria efisiensi waktu 9,2 %, kriteria pelaksanaan 22,7 %, kriteria teknis pondasi 15 %, kriteria lingkungan 3,4 %, kriteria alat dan bahan 22,6
Tenaga 11% Alat dan Bahan 23%
Lingkungan 3%Teknis Pondasi 15%
Ekonomis 6%
Kondisi tanah 10% Efisiensi waktu 9%
Pelaksanaan 23%
Ekonomis
Kondisi tanah
Efisiensi waktu
Pelaksanaan
Teknis Pondasi
Lingkungan
Alat dan Bahan
Tenaga
Gambar 2. Diagram perbandingan antar kriteria
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 25
Mahendra Cipta A.N., Guntur Panji Wijaya, Hermawan dan M. Agung Wibowo
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisa data maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. model pengambilan keputusan Pemilihan Alternatif Jenis Pondasi dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pada Proyek Pembangunan yang dikerjakan oleh kontraktor X dibuat dengan cara wawancara dan studi literatur. Sedangkan tingkat yang paling atas adalah tujuan dari model keputusan yaitu pemilihan alternatif jenis pondasi yang digunakan. Tingkat selanjutnya adalah tingkat pengambil keputusan yaitu kontraktor yang menangani proses pembuatan pondasi di Proyek Pembangunan yang dikerjakan oleh kontraktor X, 2. urutan prioritas kriteria dari pemilihan alternatif jenis pondasi adalah sebagai berikut: berdasarkan alternatif 1-3 kriteria ekonomis berbobot 6 %, berdasarkan alternatif 1-3 kriteria kondisi tanah berbobot 10 %, berdasarkan alternatif 1-3 kriteria efisiensi waktu berbobot 9 %, berdasarkan alternatif 1-3 kriteria pelaksanaan berbobot 23 %, berdasarkan alternatif 1-3 kriteria teknis pondasi berbobot 15 %, berdasarkan alternatif 1-3 kriteria lingkungan berbobot 3 %, berdasarkan alternatif 1-3 kriteria alat dan bahan berbobot 23 %, berdasarkan alternatif 1-3 kriteria tenaga berbobot persentase 11 %. Sedangkan urutan prioritas alternatif jenis pondasi dari tinggi ke rendah adalah sebagai berikut: Alternatif 1 (Mini Pile) 42,7 %, Alternatif 2 (Franki Pile) 26,7 %, alternatif 3 (Pc Hole) 30,6%, 3. alternatif 1 (mini pile) merupakan alternatif dengan bobot tertinggi sehingga jenis pondasi yang sesuai untuk proyek Pembangunan yang dikerjakan oleh kontraktor X adalah Pondasi Mini Pile.
DAFTAR PUSTAKA Badiru, Adedeji dan Psimin Pulat. 1995. Comprehensif Project Management : Integrating Optimation Models. Manajemen Principles and Computer. Prentice Hall. New Jersey. Bowles, J. E. 1998, Foundation Analysis and Design., Singapore: McGraw-Hill, Inc. David, R. A. ,Dennis, J. S. and Thomas, A. W. 1997, Pendekatan Kuantitatif untuk Pengambilan Keputusan Manajemen Edisi tujuh Jilid satu. Jakarta. Faisal, S., 1981, Dasar dan Teknik Penyusunan Angket., Surabaya-Indonesia : Usaha Nasional. Gunawan, R., 1993, Pengantar Teknik Pondasi, Yogyakarta-Indonesia : Kanisius. Hadi, S, MA., 2001, Metodologi Research untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis dan Disertasi, Yogyakarta : ANDI Yogyakarta. Hasan, M. I., 2002, Pokok-pokok Materi Pengambilan Keputusan, Jakarta : Ghalia Indonesia. Manullang, M., 1986, Pedoman Praktis Pengambilan Keputusan, Yogyakarta : Erlangga. Ralph, B. Peck., Walter, E. H. and Thomas H. T., 1953, 1974, Teknik Pondasi Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. Saaty, T. L. 1993, Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Bustaman Binaman Presindo. Jakarta. Soeharto, I., 1997, Manajemen Proyek dari konseptual Sampai Operasional. Penerbit Erlangga, Ciracas, Jakarta 13740. Subarkah, I., 1979, Teknik Pondasi Suatu Ikhtisar Praktis, Jakarta-Indonesia.
M - 26
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta