Analisa Revi si UU no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indone sia yang mengacu pada UNCLOS 1958 dengan menggunakan UNCLOS 1982 1
2
Ratih De starina , T. Fayakun Alif
Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan, BAKOSURTAN AL 1
[email protected], 2
[email protected]
Abstrak Dengan adanya rencana revisi Undang-Undang no 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengacu UNCLOS 1958, maka perlu diperhatikan beberapa hal teknis dalam dalam analisa kajiannya. Terutama setelah disetujuinya klaim pemerintah Indonesia pada Landas Kontinen Indonesia di perairan barat Sumatera oleh 2 Commission on the Limits of the Continental (CLCS) pada tahun 2011 sebesar 4209 km , sehingga secara teknis penentuan dan pengaturan landas kontinen Indonesia yang diatur dalam UU no tahun 1973 harus berubah sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, dimana Negara Indonesia telah meratifikasinya sesuai dengan UndangUndang no 17 tahun 1985. Pada makalah ini akan dibahas perihal apa saja yang menjadi pertimbangan revisi UU no 1 tahun 1973 dan juga analisa perbedaan pasal dari UNCLOS 1958 dan UNCLOS 1982.
Kata kunci : Landas Kontinen Indonesia, Unclos 1958, Unclos 1982,UU no 1 tahun 1973 I. PENDA HULUA N 1.1. LATA R BELAKANG Adanya potensi sumber daya alam kelautan yang berlimpah telah mendorong negara-negara pantai untuk memperluas garis batas yurisdiksinya sesuai dengan kesepakatan internasional yang berlaku. Salah satunya adalah klaim atas landas kontinen yang mana diket ahui mengandung minyak dan bahan-bahan mineral berharga lainnya. Klaim atas landas kontinen pert ama kali dideklarasikan oleh Amerika Serikat secara sepihak melalui Proklamasi Truman pada 28 September 1945 tentang “Continental Shelf ”. Klaim tersebut segera diikuti oleh negara-negara lain dan merupakan awal lahirnya pengertian landas kontinen secara yuridis. Mempertimbangkan potensi konflik yang meluas akan klaim mengklaim wilayah laut beserta potensi sumber daya alamnya maka diadakan Konferensi Hukum Laut PBB I di Jenewa tahun 1958 yang menghasilkan kes epakat an yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the S ea (UNCLOS) atau lebih dikenal UNCLOS 1958, yang didalamnya juga membahas tentang landas kontinen. Menindaklanjuti konvensi ini maka pada t ahun 1960 pemerintah Indonesia menetapkan Undang Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tent ang Perairan Indonesia dan lebih spesifik diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengacu pada UNCLOS 1958. PBB menyelenggarakan Konferensi Huk um Laut PBB II pada tahun 1960 sebagai usaha untuk membuat rumusan baru tentang landas kontinen yang dapat memuaskan semua pihak, namun usaha tersebut gagal dan k onferensi t ersebut tidak menghasilkan kesepakatan baru sebagai pengganti UNCLOS 1958. Rumusan tentang landas kontinen ters elesaikan dalam Konferensi Huk um Laut PBB III di Teluk Montego Jamaica pada tahun 1982 yang dik enal UNCLOS 1982. K onferensi ini dihadiri oleh 119 negara termasuk Indonesia telah diakui secara internasional dan berlaku efektif menggantikan ketentuan UNCLOS 1958. UNCLOS 1982 kemudian diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Namun disisi lain, Indonesia masih tetap memberlakukan Undang-undang No. 1 Tahun 1973 sebagai dasar hukum yang mengatur tentang Landas Kontinen Indonesia, padahal dalam prakteknya tidak lagi mendas arkan pada undang-undang tersebut meskipun hingga saat ini masih belum ada penggantinya. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan peninjauan kembali dan penyesuaian terhadap Undang-undang tentang Landas Kontinen Indonesia sebagai implementasi dan konsekuensi logis dari ratifikasi UNCLOS 1982 tersebut. Bab ini akan menjelaskan alasan pentingny a peninjauan kembali UU No. 1 Tahun 1973 terutama ditinjau dari sisi aspek teknis.
1
1.2. MAKSUD DA N TUJUAN 1. Untuk melakukan analisis kesesuaian Undang-undang nasional tentang landas kontinen y ang berlaku saat ini (UU No. 1 Tahun 1973) dengan hukum internasional (UNCLOS 1982) y ang telah diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1985. 2. Sebagai rekomendasi teknis dan bahan pertimbangan apakah UU No. 1 Tahun 1973 hanya perlu direvisi atau dirubah seluruhnya. 1.3. PERMASALAHA N Permasalahan-permasalahan yang dikaji mencak up hal-hal sebagai berikut: 1. Keselarasan peraturan nasional tentang landas kontinen berdasarkan UU No. 1 tahun 1973 yang masih berlandaskan pada UNCLOS 1958 dengan konvensi hukum laut UNCLOS 1982 yang berlaku saat ini dan telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. 2. Implementasi di lapangan melalui perjanjian dengan negara tetangga. 3. Kajian untuk melakukan perubahan dalam peraturan perundang-undangan nasional tent ang landas kontinen sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. II.
KONSEPSI LA NDAS KONTINE N Landas kontinen dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (nat ural prolongation) dari wilayah daratan. Landas kontinen di beberapa tempat menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta berbagai sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati. Sesuai kemampuan teknologi saat klaim landas kontinen mulai digagas, landas kontinen biasanya tidak terlalu dalam hanya sekitar 50 hingga 550 meter. Klaim Landas Kontinen pertama kali diproklamirk an oleh Presiden Amerika S erikat Harry S. Truman pada 28 Sept ember 1945. Tindakan Amerika Serikat ini bertujuan untuk mencadangkan kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serik at. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai landas kontinen menyebabkan banyak negara menuntut landas kontinen seluas-luasnya tanpa memperdulikan kepentingan negara tetangganya. Sehingga untuk menghindari terjadiny a perselisihan maka diadakan Konferensi Hukum Laut PBB yang menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
2.1. DEFINISI LA NDAS KONTINEN 2.1.1. Menurut Istilah Geologi Topografi dasar laut secara geologis dibagi menjadi Continental Margin (dasar laut yang masih berhubungan dengan benua) dan Abyssal Plains (dasar laut dalam yang bukan merupakan bagian dari benua). Continental margin mencakup continental shelf, continental rise dan continental slope. Continental shelf (dataran kontinen) merupakan wilayah das ar laut yang berbatasan dengan benua at au pulau-pulau yang turun ke bawah secara bertahap yang diukur dari garis air rendah sampai kedalaman mencapai 130 meter (R. R. Churchil dalam Hasibuan, 2002). Seiring perkembangan teknologi di bidang eksplorasi dasar laut, diketahui bahwa continent al shelf menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta berbagai sumberdaya alam hayati. Hal tersebut melat arbelakangi klaim pemerint ah Amerika Serikat atas continental shelf melalui proklamasi Truman tanggal 28 September 1945. 2.1.2. Menurut Istilah Hukum Continent al shelf berdasarkan istilah huk um telah jauh berbeda dengan istilah yang sebenarnya secara geologis. Jika dalam istilah geologis continental shelf diartikan secara fisik sebagai kelanjutan alamiah dari daratan (natural prolongation), maka dalam istilah hukum continent al shelf adalah salah satu bat as maritim dimana suatu negara pantai memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya alam di dasar laut nya. Istilah landas kontinen untuk continental shelf dalam istilah hukum diberikan untuk membedakan continental shelf dalam pengertian geologis (dat aran kontinen).
2
Rejim hukum laut di Indonesia termasuk mengenai landas kontinen tunduk pada ketentuan UNCLOS. Berikut adalah definisi landas kontinen menurut UNCLOS: • UNCLOS 1958 Konvensi mengakui kedalaman negara pantai atas landas kontinen s ampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan eksploitasi sumbersumber alam dari daerah tersebut [pas al 1 dan 2]. • UNCLOS 1982 Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahny a dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepian kontinen tidak menc apai jarak tersebut [pasal 76]. Dari definisi diatas, terlihat perbedaan signifikan dalam menentukan batas terluar landas kontinen antara UNCLOS 1958 dengan UNCLOS 1982, yaitu UNCLOS 1958 mendasarkan pada kedalaman 200 meter dan kemampuan eksploit asi, sedangkan UNCLOS 1982 berdasarkan jarak 200 mil laut . Lebih lanjut akan dibahas di sub-bagian berikut. 2.2. DASAR HUKUM LANDAS KONTINEN 2.2.1. UNCLOS 1958 Konferensi Hukum Laut PBB di Jenewa Tahun 1958 menghasilkan konvensi yang dik enal dengan UNCLOS 1958. Indonesia meratifikasi konvensi ini menjadi UU No. 1 Tahun 1973. Berikut dikemukakan substansi dari konvensi yang terdiri atas 15 pasal ini sebagai analisa mengapa konvensi ini perlu dilak ukan peny esuaian dan kemudian digantikan dengan UNCLOS 1982. 2.2.2. UNCLOS 1982 UNCLOS 1982 dihasilkan pada Konferensi Huk um Laut PBB di Teluk Montego pada tahun 1982. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Huk um Laut. Terkait dengan landas kontinen, dimuat dalam UNCLOS 1982 Part VI Article 76.
3
2.2.3. PERBEDAAN ME NDASA R UNCLOS 1958 dan UNCLOS 1982 Perbedaan Definisi dan pengukuran landas kontinen
UNCLOS 1958 UNCLOS 1982 Pasal 1 : Pasal 76 : • Berada di luar wilay ah laut teritorial, • Ayat 1, memberikan empat alternatif cara mengingat bahwa dasar laut dan t anah di mengukur batas terluar landas kontinen, yaitu : bawah batas laut territorial ada di bawah a. Sampai batas terluar tepian kontinen (t he kedaulatan negara pant ai. continent al margin). b. Sampai jarak 200 mil dari garis pangkal laut • Batas terluar ditentukan dengan ukuran kedalaman 200 met er. Batas tersebut teritorial, apabila tepian kontinen tidak mencapai bat as tersebut. diperluas dengan ”...or beyond that limit to c. Apabila tepian kontinen melebihi 200 mil ke where the depth of the superjacent waters admits of the exploitation of the natural arah laut maka batas terluar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil. resources of the said areas”. Perluasan d. Boleh melebihi 100 mil dari kedalaman tersebut menimbulkan keraguan apakah ketentuan yang didasarkan atas technical (isobath) 2500 meter. exploitability itu dapat dianggap sebagai Cara pengukuran batas terluar landas kontinen alternatif yang dapat menggantikan ketentuan tersebut tergantung pada konfigurasi tepian yang didas arkan atas k riteria 200 meter kontinen dari suatu negara pantai. Oleh karena isobath s eandainya tidak ada dataran itu, suatu negara pantai dapat menetapk an kontinen dalam arti geologis. batas terluar landas kontinen yang berbedabeda disekeliling wilayahnya. • Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam P asal 76 ayat 4 hingga 6. Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada di bawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari daratan kontinen, lereng (slope) dan t anjakan (rise). Tepian kontinen tidak mencakup dasar samudera dalam dengan bukit-bukit samudera atau tanah dibawahnya. • Konvensi menentukan bahwa negara pantai akan menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dalam hal t epian kontinen tersebut
Keterangan • Terdapat perbedaan yang mencolok antara definisi landas kontinen dalam UNCLOS 1958 Tahun 1958 dengan UNCLOS 1982 Tahun 1982. Dalam UNCLOS 1958 batas terluar landas kontinen ditentukan pada kedalaman 200 met er dengan kriteria technical exploitability, sedangkan UNCLOS 1982 memberikan empat alternatif cara menguk ur batas terluar Dalam landas kontinen. UNCLOS 1982, pengertian landas kontinen selain mencakup pengertian yuridis juga mencakup pengertian geologis yang merupakan penyempurnaan dari pengertian landas kontinen itu sendiri. • Jika dibandingkan dengan ketentuan UNCLOS 1958 Tahun 1958, perumus an yang terdapat dalam pasal 76 UNCLOS 1982 memberikan batasan yang lebih jelas tentang batas terluar landas kontinen. • Dalam UNCLOS 1958 tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang landas kontinen ekstensi. Setiap negara pantai boleh
4
tidak lebih lebar dari 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, atau dengan: a. Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap terluar dimana ket ebalan bat u endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau b. Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang terlet ak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen.
melakukan klaim batas terluar landas kontinen di luar 200 mil asalkan mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi di luar batas tersebut.
• Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada kakinya. Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a) (i) dan (ii), atau tidak akan boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman 2.500 meter. • Walaupun ada ketentuan ayat 5, pada bukitbukit dasar laut , batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi das ar laut yang tepian merupakan bagian-bagian ilmiah kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjak an (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks) dan pucak gunung yang bulat (s purs)nya.
5
Pasal 3 : • Hak negara pantai atas landas kontinen tidak • Hak-hak negara pant ai atas landas kontinen mempengaruhi status hukum perairan at au tidak merubah status hukum wilayah tersebut ruang udara di atasnya. Negara pantai memiliki dan udara di atasnya y ang tunduk terhadap hak berdaulat di atas landas kontinen untuk rejim laut bebas. Negara pantai hany a secara eksklusif melakukan eksplorasi dan memiliki ”sovereign right” at au hak berdaulat eksploitasi di wilayah tersebut, tetapi tidak atas landas kontinen. boleh mengurangi at au mengakibatkan gangguan apapun terhadap pelayaran dan hak • Praktik negara-negara Amerika Latin negara lain sebagaimana ditentukan dalam (Argentine, Chile, Peru, El Salvador, ketentuan Konvensi ini. Guatemala, Honduras, Mexico dan Brasil), yang dalam peraturan perundang-undangan nasional merek a telah menet apkan kedaulatan negaranya atas landas kontinen termasuk perairan di atasnya tidak dapat dibenarkan. Hak Negara pantai atas landas kontinen a. Hak eksplorasi dan Pasal 2 : • Hak eksplorasi dan eksploitasi negara pant ai di eksploitasi landas kontinen diatur dalam pasal 77 ayat 1 • Hak eksplorasi dan eksploitasi sumberday a alam yang menyatakan : “Negara pantai menjalank an hak berdaulat di • Hak untuk tidak melakukan eksplorasi dan landas k ontinen untuk tujuan mengek splorasi eksploitasi sumberdaya alam. Negara lain dan mengek sploitasi sumber k ek ayaan yang ingin melakukan kegiatan eksplorasi alamnya” dan eksploitasi sumberdaya alam di wilayah tersebut harus mendapat izin dari negara • Penggunaan istilah “hak berdaulat” yang bersangkutan. mengisyaratkan bahwa landas kontinen tidak • Tidak perlu melakukan klaim tertent u untuk dianggap sebagai wilayah negara pantai. Hak mendapatkan hakny a atas landas kontinen. Negara pantai di landas kontinen adalah • Sumberdaya alam yang dimaksud meliputi adalah eksklusif, yang berarti apabila negara mineral dan sumberdaya t ak hidup lainnya di pantai tidak mengeksplorasi at au dasar laut maupun tanah di bawahnya sert a mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya, organisme jenis sedent er. tidak ada yang dapat melakukan kegiat an tersebut tanpa persetujuan dari negara pantai Pasal 7 : tersebut. Hak tersebut tidak tergantung pada • Menjamin hak negara pantai untuk pendudukan atau proklamasi apapun. melakukan eksploitasi di dasar laut yang berdekatan dengan pantainya dengan jalan • Sumber kekayaan alam di landas kontinen terdiri dari sumber kekayaan mineral dan pembuatan terowongan (tunelling) dari sumber kekayaan non-hayati lainnya pada daratan. Status hukum landas kontinen
• Sama-sama mengakui hak berdaulat di atas landas kontinen.
• Baik UNCLOS 1958 dan UNCLOS 1982 menyepakati bahwa sumberdaya alam yang boleh dieksplorasi dan eksploitasi adalah sumberdaya non-hayati yang ada di dasar laut maupun tanah di bawahnya serta sumberdaya hay ati berupa organisme sedenter. • UNCLOS 1958 membatasi eksploitasi di dasar laut yang berdekatan dengan pantai melalui pembuatan terowongan, sedangkan UNCLOS 1982 memberikan kebebasan untuk melakukan eksplorasi di wilayah landas kontinen baik lokasi maupun metode yang digunakan.
6
b. Hak membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan
Pasal 5 : • Pemasangan instalasi-instalasi dan alat-alat eksploitasi serta penetapan ”safety zone” di sekelilingnya.
Kewajiban Negara pantai atas landas kontinen a. Kewajiban yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
b. Kewajiban untuk menentukan batas/delimitasi landas kontinen
-
-
dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah bisa dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau di bawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan dasar laut at au tanah di bawahnya. • Pasal 60 ayat 2 menyatakan bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan, dan termasuk yang bertalian fiskal, dengan peraturan bea-cukai, keselamatan, kesehatan dan imigrasi.
• UNCLOS 1982 mencakup pengaturan yang lebih luas dibandingkan UNCLOS 1958. Selain mengatur t entang instalasi, UNCLOS 1982 juga mengatur mengenai beacukai, fiskal, keselamatan, kesehatan dan imigrasi.
• Pasal 82 menyatak an bahwa bagi Negara • Tidak diat ur dalam UNCLOS pantai diwajibkan untuk membayar sumbangan 1958. bertalian dengan kegiatan eksploitasi di landas kontinennya di luar 200 mil. • Pembayarannya diberikan setelah produksi 5 tahun pertama pada tempat itu sebesar 1 % dari jumlah produksi di tempat itu kemudian ak an naik 1 % untuk tiap tahun berikutnya hingga tahun ke 12 akan tetap 7 %. • Sumbangan ini hanya menyangkut kegiat an eksploitasi sumber mineral dan tidak dikenak an pada kegiatan landas kontinen 200 mil dari garis pangkal yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif. • Negara pantai harus menetapkan bat as terluar • UNCLOS 1958 tidak mencant umkan secara landas kontinennya di mana landas kontinen itu eksplisit kewajiban negara melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari pantai untuk melakukan mana laut teritorial diukur dengan c ara menarik delimitasi batas landas garis-garis lurus yang panjangnya tidak melebihi kontinen, sehingga tidak 60 mil laut dengan menghubungkan titik-titik memiliki das ar hukum yang yang dit etapkan dengan koordinat lintang dan
7
c. Kepentingan Negara lain
Pasal 4 : • Negara pant ai tidak boleh menghalangi pemasangan kabel dan pipa bawah laut di landas kontinen. Pasal 5 : • Pelaksanaan hak-hak negara pantai atas landas kontinen tidak boleh menyebabk an gangguan (unjustifiable int erference) terhadap pelayaran, penangk apan ikan atau tindakantindakan perlindungan sumber daya alam hayati laut dan juga tidak boleh mengganggu penyelidikan oseanografi dan penyelidik an ilmiah lainnya.
bujur. • Keterangan mengenai batas-batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut harus disampaikan kepada Komisi Batas Landas Kontinen (Commision on the Limits of the Continent al Shelf - CLCS). Komisi ini harus membuat rekomendasi yang bersifat final dan mengikat kepada negara pantai mengenai masalah penetapan batas terluar landas kontinen. Negara pantai harus mendepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan B angsabangsa peta-peta dan k eterangan yang relevan termasuk data geodesi, yang secara permanen batas terluar landas menggambarkan kontinennya. • Kepentingan Pelayaran Sebagaimana telah dijelaskan bahwa terdapat dua perairan di atas landas kontinen, yaitu perairan di atas landas kontinen 200 mil yang merupakan perairan zona ekonomi eksklusif dan perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil yang merupakan laut lepas. Tet api menyangkut kepentingan negara lain dalam hal ini kepentingan pelay aran tetap dijamin keberadaannya di perairan tersebut. • Kepentingan Untuk menangkap Ikan Di Perairan Di Atas Landas Kontinen. Perairan di atas landas kontinen 200 mil yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomi eksklusif pengaturannya tunduk pada rejim hukum zona ekonomi eksklusif, maka ses uai dengan ketentuan pasal 56 ayat (1)(a) K onvensi Hukum Laut 1982 di perairan di atas landas kontinen yang berhimpit dengan zona ekonomi eksklusif adalah perairan zona ekonomu eksklusif di mana Negara pant ai tidak saja mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan
cukup kuat dan mengikat dalam pelaksanaannya.
• Pada prinsipnya UNCLOS 1958 dan UNCLOS 1982 mengatur hal yang sama mengenai hak Negara lain di landas kontinen, t etapi dalam UNCLOS 1982 hal tersebut diatur secara lebih terperinci.
8
tanah di bawahnya, tetapi juga mempunyai hak berdaulat atas kekayaan hayati (ikan) di perairan tersebut. Perairan di atas landas kontinen di luar 200 mil adalah laut lepas yang tunduk pada pengaturan rejim hukum laut lepas. maka dapat dinikmati oleh semua negara.
Penetapan atas garis batas landas kontinen antar Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
Pasal 6 : • Mengatur penetapan batas landas kontinen antara dua negara yang berhadapan (opposite) maupun berdampingan (adjacent) menggunakan prinsip sama jarak (median line).
• Kepentingan Untuk Melakukan Riset Ilmiah Kelautan Di Zona Ekonomi Eksklusif Dan Di Landas Kontinen Peraturan mengenai riset ilmiah kelautan di laut teritorial, di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen di atur dalam BAB XIII dari pasal 238 sampai dengan pasal 265. Negara pantai berkewajiban memberik an ijin riset ilmiah kelautan kepada negara lain at au organisasi yang berkompeten dalam zona ekonomi eksklusif maupun di landas kontinen hanya unt uk tujuan damai dan menambah pengetahuan ilmiah kelautan demi untuk kepentingan umat manusia (pasal 246 ayat 5). Pelaksanaan riset ilmiah ini disertai sebagaimana persyaratan-persyaratan disebutkan dalam pasal 246 ay at 5, bahwa tidak boleh mempunyai arti langsung bagi sumber alam dan tidak boleh memasukkan bahan peledak, tidak boleh meliputi konstruksi, operasi dan penggunaan pulau-pulau buatan serta instalasi lainnya. Selain itu juga informasi yang disampaikan kepada Negara mengenai tujuan dan sifat-sifat tujuan ilmiah tersebut harus tepat. • Dalam pasal 83 ayat 1 menyatakan, bagi yang landas kontinennya negara-negara berhadap at au berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinen harus dilakukan dengan persetujuan atau at as dasar hukum internasional sebagaimana yang
• Dalam UNCLOS 1958, batas landas kontinen antar dua Negara yang berhadapan atau berdampingan diselesaikan menggunakan prinsip sama jarak (median
9
Peta dan daftar koordinat geografis
Pasal 6 : • Delimitasi batas diwujudkan dalam peta.
dicantumkan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil. • Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. • Sementara menunggu tercapainya persetujuan, negara-negara yang bersangkutan harus membuat at uran sement ara yang bersifat praktis dan tidak membahayakan at au mengganggu pencapaian persetujuan yang final. Pasal 76 ayat 8 • Garis batas terluar landas kontinen harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai untuk penetapan posisinya. Peta tersebut perlu dilengkapi dengan daftar titik-titik geografis serta rincian dat um geodetik untuk kemudian didepositkan kepada S ekretariat Jenderal PBB.
line), sementara UNCLOS 1982 memberi keleluasaan tentang metode yang digunakan serta lebih menekankan kepada tercapainya kesepakatan antar negara-negara tersebut.
• Peta untuk representasi batas landas kontinen dalam UNCLOS 1958 belum mengatur tentang skala dan daftar koordinat.
10
2.3.
ANALISIS TERHA DAP UNDA NG-UNDA NG LA NDAS KONTINE N INDONESIA Landas Kontinen Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 yang pembuatannya mengacu kepada UNCLOS 1958 Tahun 1958. Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 yang mana disebutkan bahwa Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Karena tidak adanya batasan yang jelas tentang sejauh mana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi boleh dilakukan mengingat kemampuan dan teknologi yang digunakan masingmasing negara tidaklah sama. Interpretasi seperti itu tidak dapat diterima karena hanya akan menguntungkan negara dengan letak geografis tertentu terutama negara dengan perkembangan teknologi yang sudah menc apai tingkat tinggi. Ketidakpastian mengenai landas kontinen berak hir dengan dirumuskannya UNCLOS 1982 yang kemudian dit etapkan sebagai satu-satunya Hukum Laut Internasional. Indonesia sebagai salah satu negara anggota harus tunduk kepada UNCLOS 1982 dan k emudian meratifikasi peraturan tersebut menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 merupakan ratifikasi dari UNCLOS 1982 secara keseluruhan, Undang-Undang tersebut hanya memuat t entang Landas Kontinen secara umum. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara terperinci mengat ur tentang Landas Kontinen Indonesia, sehingga Indonesia tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur Landas K ontinen di wilayahnya. Mengingat Undangundang tentang landas kontinen Indonesia yang berlaku saat ini (Undang-Undang No. 1 Tahun 1973) sudah tidak relevan karena menggunakan acuan yang sama sekali berbeda, maka perlu dilakukan revisi atau pembuatan Undang-Undang baru untuk menggantikan Undang-Undang tersebut.
2.4.
PERMASALAHA N TERKA IT LANDAS KONTINEN INDONES IA Delimitasi batas maritim dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pertimbangan politik, strategis dan sejarah. Selain itu juga pertimbangan ekonomi, geografis, lingkungan, geologi dan geomorfologi. Dibawah ini membahas beberapa faktor yang dominan : 1. Ditinjau Dari Segi Hukum Terdapat perbedaan rejim hukum landas kontinen dalam UNCLOS 1982 dengan yang telah diatur sebelumnya dalam UNCLOS 1958. Jika UNCLOS 1958 menggunakan kriteria keterikatan geomorfologis (natural prolongation) dan kemampuan eksploitasi (technical exploitability), sebaliknya UNCLOS 1982 menggunakan k riteria jarak (distance criteria) minimal landas kontinen negara pantai sejauh 200 mil laut dan boleh melebihi jarak ters ebut dengan syarat tert entu. Dibandingkan dengan UNCLOS 1958 yang menggunakan prinsip kemampuan eksploitasi (technical exploitability) sehingga menguntungkan negara-negara yang memiliki teknologi maju dalam bidang pertambangan, UNCLOS 1982 memberikan rumusan huk um yang jelas dan adil bagi semua negara. 2. Ditinjau Dari Segi Teknis Dasar hukum yang berbeda berdampak pada teknis penentuan batas landas kontinen yang berbeda pula. Salah satu contohnya adalah tata cara penentuan batas landas kontinen untuk negara yang berhadapan at au berdampingan (diatur dalam Pasal 6 UNCLOS 1958 dan Pasal 84 UNCLOS 1982). Pada UNCLOS 1958, menerapkan prinsip median line atau equidistance principle bilamana tidak terdapat keadaan khusus yang memungkinkan garis batas dit entukan tidak sama jarak. Sebaliknya, UNCLOS 1982 memberikan keleluasaan dengan merujuk pada
11
tercapainya kesepakatan antar pihak yang terkait sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional publik. 3. Ditinjau Dari Segi Ekonomi Penetapan dan penegasan batas maritim sangat diperluk an terutama dalam pengelolaan laut. Penentuan batas sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yurisdiksi (jurisdictional clarity and certainty) (Prescott dan Schofield, 2005 dalam Ars ana, 2007). Hal ini dapat memberikan keuntungan multidimensi, misal dalam memfasilitasi pengelolaan lingkungan laut secara efektif dan berkesinambungan serta peningk atan keamanan maritim (maritim security). Perjanjian batas maritim akan memberikan jaminan hak Negara pantai untuk mengakses dan mengelola sumberdaya maritim hayati maupun non-hayati (Arsana, 2007). 4. Ditinjau Dari Segi Politik dan Pertahanan Kemananan Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Posisi tersebut membuat Indonesia rawan bersengketa dengan negara tetangga. Salah satu masalah yang rentan adalah mengenai wilayah perbatasan, terutama batas maritim yang mana tidak terdapat tanda batas secara fisik sebagaimana bat as darat. Rejim huk um laut Indonesia mengacu pada hukum laut internasional yaitu UNCLOS 1982, yang mana membagi batas-batas maritim sebagai berikut : 1. Perairan pedalaman 2. Perairan Nusantara / Kepulauan 3. Laut Teritorial 4. Zona tambahan 5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 6. Landas Kontinen III. 3.1.
PENUTUP KESIMPULA N Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan penetapan Batas Landas Kontinen Indonesia, yaitu: 1. Pengertian landas kontinen berdasarkan istilah geologi (UNCLOS 1958) dengan pengertian hukum yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982) adalah berbeda, sehingga Indonesia perlu meninjau kembali UU No.1 Tahun 1973. 2. Perjanjian bat as landas kontinen antara Indonesia dengan negara s ekitarnya umumnya masih didasarkan pada UNCLOS 1958, sehingga perlu dikaji secara seksama apakah perlu untuk merevisi perjanjian, terutama pertimbangan kerugian Indonesia akibat perjanjian yang telah ada. 3. Dari aspek teknis, persoalan utama yang dihadapi berupa masalah biaya untuk k eperluan survei. Semua data dan dok umen terkait (pet a dan keterangan lainnya) yang mengidentifikasikan tepian kontinen terutama untuk mengklaim batas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut dari garis pangkal, akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Perlu inventaris asi ulang s emua data yang t elah ada, terutama yang telah dikumpulkan oleh Dishidros, Bakosurtanal, PPGL, dan perusahaan- perusahaan eksplorasi lepas pantai. 4. Perlu dibuat suatu sumber hukum turunan dari UU No. 17 Tahun 1985 yang khusus mengatur t entang landas kontinen untuk menggantikan UU No. 1 Tahun 1973 agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur Landas Kontinen di wilayahnya.
12
DAFTAR P US TAKA Arsana, I.M.A. 2007. Batas Maritim Antarnegara. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Arsana, I.M.A. 2008. Delineasi Bat as Terluar Landas Kontinen Ek stensi Indonesia: Status dan Permasalahannya. Yogyak arta : Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gajahmada. Bakosurtanal dan BPP T. 2010. Laporan Survei Seismik Multichannel Batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut Sebelah Barat Laut Sumatera Tahap II : 20 Januari – 18 Februari 2010. Cibinong : Bakosurtanal. Djajaatmadja, Bambang Iriana. 2006. Laporan Ak hir Tim Analisis dan E valuasi Peraturan P erundangundangan Tentang Landas Kontinen. Jakarta : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Djunarsah, Eka dan Tangguh Dewantara. 2002. Penetapan Batas Landas Kontinen Indonesia. Bandung : Departemen Teknik Geodesi FTSP – ITB. Hasibuan, Rosmi. _____ . Kait an P ermasalahan Rejim Huk um Zona Ek onomi Ek sk lusif (ZEE) Dan Lintas Kontinen Dalam Konvensi Huk um Laut 1982. Sumatera Utara : Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara. Julzarika, Atriyon dan S usanto. 2010. Penentuan Landas Kontinen Ek stensi Batas Maritim IndonesiaPalau pada Kedalaman 2500 m Isobaths + 100 NM di Sebelah Utara Papua Menggunak an Batimet ri Turunan Data P enginderaan Jauh. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010. Khafid. 2011. Pengalaman melak uk an Parsial Submisi Landas Kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah barat laut S umatera untuk menduk ung penyusunan Rancangan Undangundang Landas Kontinen Indonesia. Disampaikan pada : Sosialisasi RUU tentang Landas Kontinen Indonesia, Selasa 26 April 2011, Hotel Maharani Jakart a. Sutisna, Sobar. 2004. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia. Cibinong : Bakosurtanal. Sutisna, Sobar. 2006. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia : Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia. Cibinong : Bakosurtanal. United Nations. 2005. Convention on the Continental Shelf 1958. United Nations Treaty Series, Vol. 499, p. 311.
13