ANALISA PROSES ADMINISTRASI PEMEKARAN DAERAH PADA DEPARTEMEN DALAM NEGERI DAN DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH (DPOD) Oleh: Tim Analisa BPK – Biro Analisa Anggaran dan Hendri Saparini I. PENDAHULUAN Reformasi sistem pemerintahan di Indonesia secara dramatis dimulai sejak Tahun 1998, yang diantaranya ditandai dengan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Saat itu desentralisasi diyakini dapat mewujudkan keadilan di bidang politik (political equity), sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik di tingkat lokal. Selain itu desentralisasi juga diyakini dapat mewujudkan tanggung jawab pemerintah daerah (local accountability) dan demokratisasi yang didasari pertimbangan bahwa pemerintah daerah lebih tahu persoalan masyarakatnya. Reformasi sistem pemerintah tersebut telah berimbas pada trend pemekaran daerah. Fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) banyak muncul seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat pada era reformasi, baik dinamika politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan pembentukan DOB, masyarakat di wilayah tersebut diharapkan dapat menggali dan memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya daerah yang tujuan akhirnya adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Isu pemekaran daerah semakin menguat sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa “dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat”. Dalam konteks desentralisasi tersebut, Pemerintah memberikan otonomi daerah yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 22 Tahun 1999, terutama mengenai pemekaran daerah, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan, Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. PP tersebut secara tegas menyatakan bahwa pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota sebagai akibat dari pemekaran daerah atau penggabungan bagian dari dua wilayah atau lebih daerah provinsi, daerah kabupaten atau daerah kota yang ditetapkan dengan undangundang. Sedangkan pemekaran daerah adalah pemecahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota menjadi lebih dari satu daerah. Selain itu, PP tersebut juga mengatur antara lain tentang persyaratan, kriteria, prosedur pembentukan/pemekaran daerah, pembiayaan dalam rangka pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah. Dengan demikian PP 1
tersebut merupakan rambu-rambu yang dijadikan kriteria atau acuan dalam menyikapi keinginan masyarakat daerah mengenai pembentukan DOB, baik berupa pemekaran daerah maupun peningkatan status daerah. Proses pemekaran daerah sebagaimana yang diatur dalam peraturan tersebut bersifat bottom up. Masyarakat, baik yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta kelompok masyarakat lainnya, bersinergi dalam memperjuangkan aspirasi lokalnya. Fenomena pemekaran daerah semakin menarik dengan munculnya keterlibatan para elite politik di tingkat pusat dalam mengangkat isu tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui mekanisme partai maupun kolaborasi politiknya. Akumulasi dari dinamika ini telah mengakibatkan Pemerintah Pusat menghadapi persoalan yang dilematis dalam membentuk DOB sesuai dengan mekanisme dan kriteria pemekaran secara normatif. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2008 saja, jumlah DOB telah mencapai 173. Jumlah ini akan terus bertambah dengan semakin agresifnya DPR, DPRD maupun kalangan masyarakat yang menginginkan adalah DOB baru. Pembentukan DOB bahkan seolah dijadikan ’obat mujarab’ untuk menyelesaikan berbagai penyakit administrasi pemerintahan. Agresifitas dalam pemekaran daerah ternyata telah memunculkan berbagai persoalan. Pada tahun 2008, BPK telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan pemekaran daerah dan disimpulakn bahwa Pertama, Pemerintah belum mempunyai grand design mengenai pemekaran daerah; Kedua, Pelaksanaan observasi untuk menilai kelayakan usulan pemekaran daerah tidak dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen; Ketiga, Proses pembentukan DOB atas inisiatif DPR-RI tidak melalui prosedur pengujian kelayakan yang memadai; Keempat, Penilaian kelayakan usulan pemekaran daerah tidak didukung petunjuk teknis yang jelas, tidak dihadiri pejabat, dll. Dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah telah bermasalah mulai dari perencanaan, implementasi maupun monitoringnya. Oleh karenanya direkomendasikan harus dilakukan moratorium terhadap proses pemekaran daerah. Selain itu menjadi sangat penting untuk melakukan revisi terhadap undangdangundang maupun aturan pelaksanaan di bawahnya. II. Hasil Pemeriksaan dan Temuan BPK 1. Pemerintah belum mempunyai grand design mengenai pemekaran daerah. Sejak Tahun 1999, Pemerintah ternyata belum memiliki strategi dan kebijakan (grand design) yang jelas dalam penataan daerah, terutama prediksi mengenai jumlah daerah ideal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disain ini penting dalam pemekaran daerah agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan efisien, efektif, akuntabel dan demokratis. Disain ini pula yang akan menjadi pedoman bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam menyaring aspirasi masyarakat tentang pembentukan DOB. 2. Pelaksanaan observasi untuk menilai kelayakan usulan pemekaran daerah tidak dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen. 2
Untuk melakukan penilaian kelayakan usulan pemekaran daerah, Depdagri melakukan observasi untuk menilai kebenaran data teknis yang diusulkan oleh calon daerah pemekaran. BPK menemukan dalam pelaksanaan observasi ternyata dilakukan oleh tenaga ahli atau konsultan yang tidak kompeten dan independen, dengan bukti-bukti sebagai berikut : a. penetapan konsultan/tenaga ahli yang akan melakukan pengkajian tidak melalui proses seleksi yang kompetitif; b. penunjukan tenaga ahli/konsultan tidak ditetapkan secara resmi dan formal serta diikat dengan suatu perjanjian yang sah; c. pelaksanaan observasi ke daerah sebagian dan/atau seluruhnya dibiayai dari calon daerah yang akan dimekarkan; dan, d. Pemerintah Daerah dan Depdagri menggunakan konsultan yang sama dalam melakukan pengkajian kelayakan teknis calon daerah yang akan dimekarkan. Dengan demikian, hasil observasi tidak dapat dijadikan acuan untuk mengetahui layak tidaknya calon daerah pemekaran, dan berisiko terhadap kesalahan pengambilan keputusan pembentukan DOB. 3. Penilaian kelayakan usulan pemekaran daerah tidak didukung petunjuk teknis yang jelas. Untuk menilai kelayakan usulan pemekaran daerah dilakukan observasi ke daerah untuk menilai kebenaran data administrasi dan teknis yang disampaikan calon DOB. Dalam pelaksanaannya observasi tersebut tidak didukung dengan petunjuk teknis observasi yang baku dan jelas, yang meliputi metode pengumpulan dan analisa data, sumber data, metode sampling, dan prosedur rinci yang harus dilakukan oleh masing-masing anggota tim. Hal ini mengakibatkan hasil observasi tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai keakuratan atau kebenaran data teknis dari calon daerah pemekaran. 4. Proses pembentukan DOB atas inisiatif DPR-RI tidak melalui prosedur pengujian kelayakan yang memadai. Sesuai PP No. 129 Tahun 2000, proses pemekaran daerah harus memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan dan menjadi domain Pemerintah. Sedangkan penetapan undang-undang pembentukan DOB merupakan domain bersama antara Pemerintah dan DPR RI. Dalam prakteknya, seringkali gagasan pemekaran daerah berasal dari inisiatif DPR RI, yang mengesampingkan beberapa persyaratan sebagaimana diatur dalam PP No. 129 Tahun 2000. Misalnya, 1) sebelum dilakukan pengujian persyaratan teknis oleh tim teknis sekretariat DPOD, Rancangan Undang-Undang (RUU) sudah diajukan kepada Presiden; 2) proses pembahasan RUU dengan DPR RI mendahului sidang DPOD; 3) penyampaian Draft RUU kepada Presiden mendahului sidang DPOD. Keadaan tersebut mengakibatkan pembentukan beberapa DOB yang berasal atas inisiatif DPR RI tanpa melalui proses pengujian kelayakan yang memadai.
3
5. Setiap sidang DPOD untuk memutuskan pembentukan DOB tidak dihadiri oleh sebagian besar anggota DPOD. Berdasarkan penjelasan pejabat di lingkungan Sekretariat DPOD diketahui bahwa hampir setiap sidang DPOD tidak dihadiri oleh menteri terkait sebagai Anggota DPOD, tetapi diwakilkan kepada staf menteri yang ditunjuk. Dalam pelaksanaannya, setelah sidang selesai, Sekretariat DPOD mengirimkan Berita Acara Sidang kepada menteri terkait sebagai anggota DPOD untuk meminta tanda tangan. Sekretariat DPOD tidak dapat menunjukkan daftar hadir atau dokumen lainnya yang terkait dengan bukti kehadiran dalam pelaksanaan sidang DPOD. Ketidakhadiran Menteri terkait mengakibatkan timbulnya risiko bahwa keputusan yang diambil dalam sidang DPOD tidak didasarkan atas pertimbangan yang komprehensif/memadai dari seluruh anggota DPOD yang dianggap mempunyai kompetensi dalam bidang tugasnya. 6. Beberapa keputusan pembentukan DOB tidak melalui sidang dan rekomendasi DPOD. Pembentukan DOB, baik yang berasal dari inisiatif Pemerintah maupun berasal dari inisiatif DPR RI, pada dasarnya harus melalui mekanisme sidang DPOD, karena dalam sidang tersebut dilakukan pembahasan kelayakan usulan pembentukan DOB ditinjau dari berbagai aspek sesuai persyaratan. Penelaahan lebih lanjut atas risalah hasil sidang DPOD tersebut, diketahui (1) terdapat beberapa usulan DOB yang telah diterbitkan UU Pembentukan-nya, meskipun masih dalam proses pembahasan dan/atau belum diputuskan usulan pembentukannya dalam sidang DPOD; dan (2) pembentukan 97 DOB tanpa melalui keputusan dalam sidang DPOD. Keadaan tersebut mengakibatkan pembentukan beberapa DOB tidak berdasarkan pertimbangan kelayakan yang diputuskan dalam sidang DPOD dan berpotensi menimbulkan adanya praktekpraktek kecurangan dalam pembuatan usulan keputusan pembentukan DOB. 7. Proses pemekaran daerah tidak didokumentasikan secara memadai. Depdagri dan DPOD tidak mendokumentasikan seluruh proses pemekaran daerah secara memadai. Hal tersebut terbukti dari tidak adanya sistem dan prosedur yang mengatur tata kelola dokumentasi dan tidak menunjuk pegawai yang secara khusus mengelola dokumen tersebut. Depdagri dan DPOD tidak melakukan tata kelola dokumen-dokumen dengan baik, seperti tidak mengklasifikasikan jenis dokumen, tidak melakukan indeksasi, tidak membuat buku kendali atau buku register arsip, dan tidak menyiapkan secara khusus tempat penyimpanan dokumen-dokumen kegiatan pemekaran daerah. 8. Departemen Dalam Negeri belum melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan (efektivitas) daerah hasil pemekaran. Sejak Tahun 1999 sampai dengan 2007, daerah otonom baru yang telah dibentuk sebanyak 173 daerah yang terdiri atas 7 (tujuh) provinsi , 136 (seratus tiga puluh enam) kabupaten dan 30 (tiga puluh) kota. Meskipun DOB sudah banyak terbentuk, Departemen Dalam Negeri dhi. Ditjen Otda belum melakukan evaluasi yang memadai terhadap efektivitas pencapaian keberhasilan daerah 4
hasil pemekaran. Dengan demikian, Depdagri atau DPOD tidak mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian kinerja pemekaran daerah, sehingga tidak ada feed back bagi Depdagri dan DPOD untuk melakukan perbaikan atas kekurangan yang ada. 9. Moratorium DOB telah diusulkan DPR tetapi tetap ada 30 (tiga puluh) Undang-undang Pembentukan DOB yang disahkan setelahnya. Walaupun telah ada pembicaraan tentang moratorium pada pidato Ketua DPR RI pada Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2006-2007 pada tanggal 30 Maret 2007, ternyata setelah tanggal tersebut masih terdapat 44 (12 + 15 + 17) usulan calon DOB yang berasal dari Inisiatif DPR RI dan 24 diantaranya telah disahkan undang-undangnya sebagai Daerah Otonom Baru pada tanggal 21 Juli 2008 sebanyak 12 DOB; dan tanggal 26 Nopember 2008 sebanyak 12 DOB. Sebanyak enam DOB yang usulannya diajukan sebelum moratorium, ternyata undang-undang pembentukkannya juga disahkan setelah moratorium, yaitu pada tanggal 4 Januari 2008. III. ANALISA PERKEMBANGAN PEMEKARAN DAERAH Sejak berlakunya UU No. 22/1999, proses kebijakan pemekaran daerah bersifat bottom up dan lebih banyak didominasi oleh proses politik daripada administratif. Belakangan ini, inisiatif proses legislasi pemekaran justru banyak dimulai oleh DPR (RUU Inisiatif) daripada Pemerintah. Alasan banyaknya prakarsa pemekaran yang muncul dari DPR, antara lain karena partai politik akan mendapatkan beneficiary untuk mengakomodir anggota parpol yang tidak terpilih dalam proses pemilu, dapat masuk lagi berdasarkan nomor urut pada DPRD yang baru hasil pembentukan pemekaran daerah tersebut. Alasan lain, dengan adanya pembentukan daerah baru maka akan ada peluang politik lainnya seperti akan adanya calon gubernur, bupati/walikota yang baru, serta birokrat-birokrat daerah baru. Dengan kata lain DOB akan memberikan keuntungan dengan adanya ruang yang lebih luas untuk promosi dan jabatanjabatan yang baru. Sejak Tahun 1999 sampai dengan 2007, telah dibentuk sebanyak 173 daerah otonom baru yang terdiri atas 7 (tujuh) provinsi , 136 (seratus tiga puluh enam) kabupaten dan 30 (tiga puluh) kota. Penambahan jumlah DOB tersebut akan membawa dampak sangat signifikan terhadap beban anggaran negara. Hal ini dikarenakan pembentukan daerah administrasi baru akan berimplikasi pada pembentukan instansi-instansi baru seperti birokrasi pemerintahan daerah beserta aparaturnya, DPRD, infrastruktur, dll. Terus meningkatnya usulan pemekaran daerah tersebut memerlukan perhatian yang serius. Karena kalau hal ini dibiarkan berlanjut, maka akan menimbulkan banyak permasalahan serius bagi jalannya kebijakan desentralisasi. Apalagi dari laporan pemeriksaan BPK ditemukan banyak kelemahan dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama proeses pemekaran daerah, yang sangat penting untuk segera ditindak lanjuti. Kelemahan proses administrasi yang terjadi dalam pemekaran daerah ternyata dimulai pada perencanaan, implementasi maupun pada evaluasi:
5
1. Kelemahan dan Permasalahan dalam Perencanaan. Tidak ada rencana (grand design) tentang jumlah daerah. Pemekaran daerah telah dilaksanakan sejak 1999 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diterbitkannya PP Nomor 129 Tahun 2000. Meskipun Undang-undang dan Peraturan Pemerintah-nya telah mengalami koreksi dan perubahan berkalikali akan tetapi hal yang sangat mendasar untuk menjadi acuan dalam pemekaran daerah yakni grand design mengenai jumlah daerah maksimal yang terbaik bagi Indonesia belum ada. Akan sangat berbahaya bila pemekaran daerah terus berlangsung tanpa dasar acuan tentang jumlah maksimal provinsi, kabupaten dan kota karena sangat mungkin pemekaran daerah yang terjadi tidak menjamin perbaikan efektifitas pemerintahan. Bila akhirnya terbentuk jumlah propinsi, kabupaten/kota melebihi jumlah maksimalnya, maka pemekaran daerah sangat mungkin justru akan kontraproduktif terhadap upaya penciptaan pemerintah yang efektif. Tidak ada petunjuk teknis penilaian kelayakan DOB. Dalam menilai kelayakan usulan pemekaran daerah, harus dilakukan observasi untuk menilai kebenaran data administrasi dan teknis dari calon DOB. Tidak direncanakannya petunjuk teknis dalam UU maupun PP telah mengakibatkan penilaian kelayakan para calon DOB tidak standar, sehingga sulit untuk menilai dan membandingkan kelayakan calon daerah pemekaran. Tidak adanya acuan ini juga memungkinkan akan muncul DOB yang sebenarnya tidak layak untuk disetujui. 2. Kelemahan dan Permasalahan dalam Implementasi. Lemahnya kompetensi dan independensi tim penilai. Salah satu kunci dalam menilai kelayakan usulan pemekaran daerah adalah kompetensi dan independensi para penilai DOB. Setelah lebih dari 10 tahun dan telah menghasilkan lebih dari seratus tujuh puluh daerah baru, ternyata tim penilai bukan merupakan tim yang kompeten dibidangnya. Sangat dimaklumi bila pada akhirnya pemekaran daerah lebih banyak menimbulkan beban (baik finansial maupun non-finansial) dibanding peningkatan manfaat dalam memberikan pelayanan masyarakat. Proses pembentukan DOB tidak memadai dan beberapa keputusan tidak melalui sidang dan rekomendasi DPOD. Selain peran tim penilai, masalah lain yang akan menentukan keberhasilan dalam implementasi pemekaran daerah adalah proses dan prosedur pembentukannya. Dalam perkembangannya, pelaksanaan pemekaran daerah banyak yang tidak melalui prosedur yang memadai. Banyaknya DOB yang merupakan inisiatif DPR-RI seringkali tidak melalui prosedur pengujian kelayakan yang memadai. Akibatnya, banyak DOB yang memiliki banyak kelemahan untuk berkembang menjadi administrasi yang sehat dan efektif. Lemahnya komitmen dari para Menteri anggota DPOD. Setiap sidang DPOD yang akan memutuskan pembentukan DOB, wajib dihadiri oleh para menteri terkait yang menjadi anggota DPOD. Dengan prosedur ini diharapkan keputusan yang dihasilkan sudah didasarkan pada berbagai pertimbangan dari para pengambil kebijakan di level menteri. Namun, dalam pelaksanaannya, para Menteri yang menjadi anggota DPOD sering tidak hadir dalam rapat keputusan pembentukan DOB dan hanya diwakilkan oleh pejabat teknis. Kondisi ini harus segera dikoreksi untuk menjaga agar tujuan pemekaran daerah dapat tercapai. 3. Kelemahan dan Permasalahan dalam Evaluasi. Tidak adanya dokumentasi proses pemekaran daerah. Setelah proses pemekaran daerah berlangsung hampir sepuluh tahun, ternyata pemerintah
6
dalam hal ini Menteri Dalam Negeri sebagai ketua DPOD tidak memiliki dokumentasi proses pemekaran daerah. Padahal dokumentasi ini sangat penting sebagai bahan evaluasi atas pemekaran daerah yang telah dan yang akan dilakukan. Tidak adanya kegiatan monitoring dan evaluasi oleh Depdagri. Tidak adanya dokumentasi mungkin merupakan salah satu akibat dari tidak adanya kegiatan monitoring dan evaluasi selama bertahun-tahun. Dengan kondisi ini maka Depdagri tidak memiliki catatan terhadap keberhasilan (efektifitas) dari daerah hasil pemekaran. Ide moratorium DOB tidak ditindaklajuti. Tidak adanya kegiatan monitoring mengakibatkan wacana moratorium terhadap pemekaran daerah yang diusulkan oleh DPR RI tidak ditindaklanjuti. Padahal, bila monitoring dilakukan maka usulan moratorium akan menjadi salah satu pertimbangan untuk mengerem berbagai usulan pemekaran daerah yang pada umumnya datang dari DPR. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah yang tengah berlangsung sangat mungkin telah melenceng dari tujuan awalnya. Sebagaimana diketahui pada dasarnya tujuan pembentukan atau pemekaran daerah adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat, baik secara sosiokultural, politik maupun ekonomi. Semakin pendeknya span of control semestinya semakin banyak masalah yang dapat ditangani. Semakin dekatnya pemerintah dengan rakyatnya maka semestinya pilihan kebijakan di bidang ekonomi dan sosial akan jauh lebih sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat. Sangat mungkin DOB mempunyai orientasi yang berbeda dengan pemerintah pusat. Bila tujuan awal DOB adalah untuk membentuk pemerintahan yang mandiri baik dari sisi manajemen maupun pembiyaaan, maka sebagian DOB justru memiliki orientasi untuk segera meningkatkan kemampuan ekonomi dan mengurangi kesenjangan dengan alokasi dan hak pengelolaan anggaran yang lebih luas. Sehingga tidak jarang DOB sangat aktif untuk mencari sumber pendapatan baik dari pajak, retribusi, dana perimbangan dll, namun peningkatan kemampuan mengalokasikan anggaran untuk peningkatan pelayanan masyarakat tidak dilakukan secara maksimal. Dengan banyaknya kelemahan dalam perencanaan maupun pelaksanaannya serta tidak adanya evaluasi dari Menteri Dalam Negeri, maka sangat sulit untuk menilai apakah pemekaran daerah yang berlangsung hingga saat ini lebih banyak yang telah sesuai tujuan awalnya ataukah justru lebih banyak yang semakin tidak jelas orientasinya. Meskipun demikian, cukup banyak studi dan kajian terhadap pemekaran daerah dapat dijadikan referensi untuk melakukan evaluasi. Baik kajian tentang dampak dari pemekaran terhadap kemampuan finansial, penyelesaian masalah kemiskinan, pengangguran, dll. IV. REKOMENDASI Dengan berbagai kelemahan dan permasalahan yang muncul dalam proses pemekaran daerah maka ada sederet langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah: Pertama, melakukan moratorium pemekaran daerah. Ide ini bukanlah ide baru karena sudah sering dilontarkan oleh para pakar bahkan oleh pimpinan sidang paripurna DPR pada bulan Maret 2007. Namun, hingga saat ini baik anggota DPR
7
maupun pemerintah tidak memperhatikan rekomendasi ini. Untuk mempercepat proses moratorium, DPOD harus segera memberikan rekomendasi kepada Presiden agar menghentikan sementara pemekaran daerah sambil menunggu penyusunan strategi yang komprehensif mengenai pemekaran daerah yang ditetapkan dalam produk hukum yang kuat yaitu Undang-Undang. Langkah untuk melakukan moratorium sangat penting karena proses pemekaran daerah yang menghasilkan 173 daerah baru telah memberikan konsekwensi pada penambahan anggaran pada APBN. Kedua, melakukan revisi terhadap Undang-undang Pemerintah Daerah dan PP yang mengatur tentang syarat dan prosedur pemekaran daerah. Dengan melihat kelemahan-kelemahan aturan yang ada sekarang serta implikasi yang ditimbulkan, maka Pemerintah Pusat harus membuat grand design pemerintahan daerah yang diperlukan untuk kebutuhan jangka panjang yang memuat prinsip-prinsip penataan pemerintahan daerah yang memuat secara komprehensif peraturan pemerintah daerah serta pedoman pokok dalam merevisi UU Pemerintahan Daerah. Beberapa perbaikan peraturan yang harus dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri antara lain: 1) Menteri Dalam Negeri agar meninjau ulang Permendagri No. 31 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tugas Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dengan mempertimbangkan pengaturan kehadiran dan kuorum peserta sidang DPOD, termasuk boleh tidaknya anggota DPOD diwakilkan dan kualifikasi pihak yang boleh mewakili; 2) Menteri Dalam Negeri agar melakukan pengawasan terhadap proses pembentukan DOB untuk menghindari adanya praktek-praktek kecurangan dalam kegiatan pemekaran daerah, terutama untuk menghindari adanya pertimbangan keuntungan pribadi dan/atau golongan; 3) Menteri Dalam Negeri agar segera menyusun kebijakan intern yang mengatur pedoman dan tata kelola pendokumentasian arsip-arsip proses pemekaran daerah; 4) Menteri Dalam Negeri agar segera menyusun dan menetapkan kebijakan lebih lanjut yang mengatur sistem dan/atau mekanisme evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai penjabaran PP 6 Tahun 2008 tentang EPPD. Ketiga, menegaskan kembali bahwa pembentukan DOB adalah mutlak prakarsa pemerintah pusat. Usulan DOB boleh datang dari berbagai kalangan masyarakat akan tetapi proses untuk disahkannya harus sesuai dengan prosedur. Tim Pemerintah Pusat yang beranggotakan juga para tim ahli yang berkompeten dan independen harus melakukan suatu kajian secara objektif terhadap semua usulan daerah-daerah yang akan dimekarkan berdasarkan pertimbangan dan kepentingan nasional. Hal ini penting karena target pemekaran daerah bukan hanya sekedar membentuk pemerintahan baru, tetapi juga dengan fokus untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pelayanan publik, akselerasi pembangunan ekonomi, memperkuat sistem pertahanan, pembangunan infrastruktur. Selanjutnya, harus ada agenda/skedul daerah-daerah yang akan dimekarkan dan dipublikasikan kepada masyarakat, dan pada akhirnya diserahkan kepada daerah untuk dikukuhkan. Dan apabila daerah mengajukan keberatan (disertai dengan alasan-alasan) atas kebijakan tersebut, maka ada lembaga semacam DPOD yang akan menilai kembali mengenai keberatan yang diajukan daerah tersebut.
8
Lampiran: A.
Dasar Hukum Pemekaran Daerah
Pemekaran daerah dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Peraturan pelaksanaan dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemekaran daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan, Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, maka UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan UU No.32 Tahun 2004. Beberapa perubahan substansial pada UU No. 32 Tahun 2004, yang berkaitan dengan pembentukan daerah meliputi: syarat fisik yang sebelumnya untuk pembentukan kabupaten/kota minimal 3 (tiga) kecamatan, dirubah menjadi minimal 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, sedangkan untuk pembentukan provinsi yang sebelumnya minimal 3 (tiga) kabupaten/kota dirubah menjadi minimal 5 (lima) kabupaten/kota. Selain syarat fisik diatur juga usia penyelenggaraan pemda yang awalnya tidak diatur usia provinsi/kabupaten/kota yang sudah boleh dimekarkan, dirubah bahwa usia provinsi yang akan dimekarkan minimal 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak peresmian dan usia kabupaten/kota yang akan dimekarkan minimal 7 (tujuh) tahun terhitung sejak peresmian. Perubahan UU tentang Pemerintah Daerah tersebut tidak segera diikuti dengan perubahan PP No.129 Tahun 2000 tentang Persyaratan, Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. PP tersebut baru dirubah pada akhir tahun 2007, yakni PP No.78 Tahun 2007 tanggal 10 Desember 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. B. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) 1. Dasar Hukum Pembentukan DPOD DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) adalah dewan yang memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden terhadap kebijakan otonomi daerah. Dasar hukum pembentukan DPOD mengalami beberapa kali perubahan, yang dimulai dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1975 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden No. 131 Tahun 1998. Keberadaan DPOD diatur kembali seiring dengan terbitnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yaitu dengan Keputusan Presiden No. 49 Tahun 2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Keppres tersebut mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir adalah Keputusan Presiden Nomor 151 Tahun 2000. Seiring dengan perubahan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka pada Tahun 2005 diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005 tanggal 28 Maret 2005 tentang DPOD yang merupakan perubahan dari Keppres Nomor 151 Tahun 2000. Perpres tersebut masih berlaku hingga sekarang.
9
2. Stuktur Organisasi, Tugas, dan Fungsi DPOD. DPOD mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden tentang kebijakan otonomi daerah yang meliputi: a. Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus; b. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. c. Penilaian Kemampuan Daerah Provinsi, melaksanakan urusan pemerintahan.
Kabupaten
dan
Kota
untuk
Untuk melaksanakan tugas tersebut diatas DPOD menyelenggarakan fungsi: a. Memberikan penilaian terhadap usul pembentukan, penghapusan penggabungan daerah serta pembentukan kawasan khusus;
dan
b. Memberikan saran dan pertimbangan penyusunan rancangan kebijakan otonomi daerah kepada Presiden; c. Memberikan saran dan pertimbangan penyusunan rancangan kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada Presiden; d. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai penyusunan rancangan kebijakan penilaian kemampuan daerah Provinsi, Kabupaten, Kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan; e. Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. C. Tujuan dan Dasar Pertimbangan Pemekaran Daerah Salah satu konsekuensi dari pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru adalah pembentukan organisasi pemerintahan daerah yang terdiri atas DPRD dan lembaga eksekutif yang dipimpin kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan ditopang oleh perangkat birokrasi pemerintah daerah. Bagi para elit daerah, pembentukan daerah baru merupakan perluasan promosi atau movilitas vertikal yang menguntungkan. Namun pembentukan daerah ini seringkali membebani anggaran publik yang menimbulkan inefisiensi apabila tidak diikuti dampak yang positif bagi masyarakat. Secara umum bahwa tujuan pembentukan atau pemekaran daerah adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat, baik secara sosio-kultural, politik maupun ekonomi. Oleh karena itu, walaupun pembentukan daerah otonom baru akan meningkatkan biaya penyelenggaraan pemerintahan, namun berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000 Pasal 2 bahwa tujuan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui: 1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat; 2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; 3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
10
4. Percepatan pengelolaan potensi daerah; Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pembentukan atau pemekaran DOB adalah : 1. Memperpendek rentang kendali kegiatan pemerintahan sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta dapat mempercepat pelayanan kepada masyarakat; 2. Mempercepat efektivitas pengelolaan dan pengembangan sumber daya yang ada; 3. Meningkatkan kualitas penyebaran dan percepatan pembangunan daerah; 4. Menumbuhkan kehidupan berdemokrasi; 5. Pengembangan otonomi daerah pada daerah-daerah yang wilayahnya cukup potensial dan terkelola secara optimal; 6. Menyikapi problematika sosial politik daerah yang bersangkutan.
11