ANALISA INDEKS KEKERINGAN DENGAN METODE STANDARDIZED PRECIPITATION INDEX (SPI) DAN SEBARAN KEKERINGAN DENGAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS) PADA DAS NGROWO 1
Hadi Muliawan1, Donny Harisuseno2, Ery Suhartanto2 Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya 2 Dosen Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Masalah kekeringan merupakan masalah rutin yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia namun dengan waktu awal kekeringan yang tidak tetap. Maka dari itu perlu dilakukan analisis indeks kekeringan untuk mengetahui tingkat dan durasi kekeringannya sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh agar dampak dari kekeringan dapat dikurangi Standardized Precipitation Index (SPI) adalah salah satu cara dalam menganalisis indeks kekeringan pada suatu daerah yang di kembangkan oleh McKee et al pada tahun 1993. SPI didesain untuk mengetahui secara kuantitatif defisit hujan dengan berbagai skala waktu. Data yang digunakan adalah data hujan bulanan dari tahun 1993 sampai dengan 2012 pada 18 stasiun hujan. Setelah dilakukan analisa indeks kekeringan kemudian dibuat peta menggunakan software Arc GIS dengan tools Kriging. Hasil Studi menunjukkan pada semua periode defisit kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997 dengan nilai indeks kekeringan masing-masing pada periode defisit 1 bulan (-4,014), pada periode defisit 4 bulan (-3,614), pada periode defisit 6 bulan (-3,750), pada periode defisit 12 bulan (-3.819), pada periode defisit 24 bulan (-3.066). Dari hasil analisa disimpulkan kekeringan meteorologi berhubungan dengan kekeringan hidrologis, dan peristiwa El Nino Kata Kunci: Indeks Kekeringan, Kriging, Standardized Precipitation Index, peta sebaran kekeringan.
ABSTRACT Drought is a common problem and often happens in couple areas throughout Indonesia, but with unfixed starting date. Hence, the application of Drought Index Analysis is necessary in order to figure out the level and duration of the drought and therefore is useful for early warning of further drought so hopefully can lessen the impact of drought itself. Standardized Precipitation Index (SPI) is a widely used index to analyze drought in a specific area, which was developed by McKee et al in 1993. SPI was designed to quantify the precipitation deficit for multiple timescales. The data used is the monthly precipitation data from the year 1993 until 2012 of 18 (eighteen) rainfall stations. After performing Drought Index Analysis, a map was made using ArcGIS software by Kriging tools. The study shows that from all deficit periods, the most severe drought happened in 1997, with each drought index as follows: on a 1 month deficit period (-4,014); on a 4 month deficit period (-3,614); on a 6 month deficit period (-3,750); on a 12 month deficit period (-3,819); on a 24 month deficit period (-3,066). As a result of the analysis, it is concluded that, meteorological drought is related to hydrological drought and El Nino. Keywords: drought analysis, kriging, Standardized Precipitation Index, drought distribution map,
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana kekeringan menjadi bencana yang rutin terjadi setiap tahunnya pada DAS Ngrowo di Jawa Timur. Saat musim kemarau di beberapa wilayah akan kesulitan mendapatkan air untuk pertanian dan air baku. Kemarau panjang yang terjadi menyebabkan meluasnya lokasi kekeringan di wilayah DAS Ngrowo. Dengan adanya kejadian kekeringan yang rutin setiap tahun namun dengan waktu awal kekeringan yang tidak tetap pada wilayah DAS Ngrowo maka perlu dilakukan analisis indeks kekeringan untuk mengetahui tingkat dan durasi kekeringannya sehingga bisa dijadikan sebagai peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh agar dampak dari kekeringan dapat dikurangi. Standardized Precipitation Index (SPI) adalah salah satu cara dalam menganalisis indeks kekeringan pada suatu daerah, dan kemudian di petakan dengan Geographic Information System (GIS) untuk mengetahui penyebaran dari bencana kekeringan yang terjadi. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai indeks kekeringan dengan SPI periode defisit 1, 4, 6, 12, dan 24 bulanan dan peta sebaran kekeringan pada DAS Ngrowo, sehingga dapat menjadi peringatan awal akan adanya kekeringan yang lebih jauh. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kekeringan Kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim, kejadian ini adalah kekeringan meteorologis yang merupakan tanda awal dari terjadinya kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah berkurangnya kondisi air tanah yang menyebabkan terjadinya stress pada tanaman (disebut kekeringan pertanian), Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah yang ditandai
menurunya tinggi muka air sungai ataupun danau (disebut kekeringan hidrologis). Kekeringan dibagi menjadi 3 jenis yaitu: a) Kekeringan Meteorologi (Meteorology Drought) Didefiniskan sebagai kekurangan hujan dari yang normal atau diharapkan selama periode waktu tertentu. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan. b) Kekeringan Pertanian (Agricultural Drought) Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Dicirikan dengan kekurangan lengas tanah, c) Kekeringan Hidrologi (Hydrological Drought) Didefinisikan sebagai kekurangan pasok air permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. 2.2. Metode Analisa Indeks Kekeringan Kekeringan meteorologis merupakan indikasi awal dalam terjadinya kekeringan, sehingga perlu dilakukan analisa untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi. Adapun macam-macam analisa indeks kekeringan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Percent of Normal 2. Reclamation Drought Indeks (RDI) 3. Crop Moisture Index (CMI) 4. Standardized Precipitation Index (SPI) 5. Palmer Drought Severity Index 6. Theory of Run
Pada kajian ini akan digunakan Standardized Precipitation Index (SPI) dalam menganalisa kekeringan.
fungsi frekuensi atau atau fungsi probabilitas kepadatan sebagai berikut : (1)
2.3. Metode Standardized Precipitation Index (SPI) Metode Standardized Precipitation Index (SPI) merupakan metode yang dikembangkan oleh McKee pada tahun 1993. Tujuannya adalah untuk mengetahui dan memonitoring kekeringan. Kriteria nilai indeks kekeringan metode SPI diklasifikasikan dalam nilai seperti berikut : 1. Basah : nilai SPI : > 1.00 2. Normal : nilai SPI : -0.99 – 0.99 3. Cukup Kering : nilai SPI : -1.00 – 1.49 4. Sangat Kering : nilai SPI : -1.5 – -1.99 5. Amat sangat kering/ Ekstrim Kering : nilai SPI : < -2 3. METODOLOGI 3.1 Data Curah Hujan Dalam analisa kekeringan menggunakan metode Standardized Precipitation Indeks (SPI) untuk suatu lokasi, dibutuhkan data curah hujan bulanan dengan periode waktu yang cukup panjang. Dalam studi ini digunakan data curah hujan bulanan tahun 1993-2012 pada 18 stasiun hujan yang terletak di dalam DAS Ngrowo. 3.2 Analisa Hidrologi Data dapat dikatakan valid jika memenuhi beberapa kriteria (Soemarto, 1987), yaitu bahwa data itu berada dalam range, tidak mempunyai trend, homogen dan bersifat acak. Pada studi ini analisa hidrologi yang digunakan adalah: a) Uji konsistensi b) Uji homogenitas data hujan Analisa hidrologi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data hujan yang layak untuk digunakan. 3.3. Perhitungan Indeks Kekeringan SPI Perhitungan nilai SPI berdasarkan jumlah sebaran gamma didefinisikan sebagai
dimana : > 0, adalah parameter bentuk > 0, adalah parameter X > 0, adalah jumlah curah hujan Perhitungan SPI meliputi pencocokan fungsi kepadatan probabilitas gamma terhadap distribusi frekuensi dari jumlah curah hujan untuk setiap stasiun. Persamaan untuk mengoptimalisasi estimasi nilai dan sebagai berikut : (2)
(3) Dimana: (4) n = Jumlah data pengamatan curah hujan Parameter yang dihasilkan dipergunakan untuk menemukan probabilitas komulatif dari kejadian curah hujan yang diamati untuk setiap bulan dan skala waktu dari tiap stasiun. Probabilitas Komulatif ini dihitung dengan : (5) Karena fungsi gamma tidak terdefinisi untuk x = 0, maka nilai G(x) menjadi : (6) Dimana q = jumlah kejadian hujan = 0 (m) / jumlah data (n) Jika m merupakan jumlah nol dari seluruh data curah hujan, maka q dapat di estimasi dengan m/n. Probabilitas komulatif H(x) tersebut kemudian ditransfor-
masikan ke dalam standar normal random variable Z dengan nilai rata-rata 0 dan variasi 1, nilai yang diproleh Z tersebut merupakan nilai SPI. Nilai standar normal random variable Z atau SPI tersebut lebih mudah dengan perhitungan menggunakan aproksimasi yang dikemukakan oleh Abramowitz dan Stegun (1964) dengan persamaan sebagai berikut : Perhitungan Z atau SPI untuk 0 < H(x) 0,5 (7)
Dengan
(8)
Perhitungan Z atau SPI untuk 0,5 < H(x) 1,0 (9)
dengan
sssss(10)
dengan : c0 = 2.515517 c1 = 0.802853 c2 = 0.010328 d1 = 1.432788 d2 = 0.189269 d3 = 0.001308 Kekeringan terjadi pada waktu SPI secara berkesinambungan negatif dan mencapai intensitas kekeringan dengan SPI bernilai -1 atau lebih kecil. 3.4. Peta Sebaran kekeringan Setalah hasil nilai indeks kekeringan SPI didaptkan, maka dilakukan pembuatan eta sebaran kekeringan untuk mengetahui sebaran kekeringan meteorologis didaerah kajian. Peta indeks kekeringan SPI dibuat menggunakan program ArcGIS 9.3. Dalam kajian ini metode yang digunakan dalam
pembuatan peta dengan ArcGIS 9.3 adalah dengan metode Kriging. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Nilai Durasi Kekeringan Tiap Periode Defisit Berdasarkan hasil perhitungan indeks kekeringan SPI didapatkan bahwa hasil Studi menunjukkan pada semua periode defisit kekeringan terparah dan dalam kriteria amat sangat keringa terjadi pada tahun 1997 dengan nilai indeks kekeringan masing-masing pada periode defisit 1 bulan (-4,014), pada periode defisit 4 bulan (-3,614), pada periode defisit 6 bulan (-3,750), pada periode defisit 12 bulan (-3.819), pada periode defisit 24 bulan (-3.066). 4.2. Analisa Peta Sebaran Kekeringan Dari hasil perhitungan nilai indeks kekeringan SPI didapatkan pada tiap periode defisit tahun 1997 adalah tahun dengan kejadian kekeringan terparah, maka pemodelan peta kekeringan dilakukan untuk tahun 1997 pada tiap periode defisit. Peta sebaran kekeringan metode SPI dengan periode defisit 1 bulanan pada tahun 1997 akan ditampilkan pada gambar 1
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Gambar 1. Peta Kekeringan Das Ngrowo dengan SPI Periode Defisit 1 Bulanan pada Tahun 1997
Gambar 2. Grafik Debit Kali Keser 1 Bulanan
Gambar 3. Grafik Rata-rata Indeks Kekeringan SPI 1 Bulanan Stasiun Hujan K.D.PU. Air, Boyolangu, Ngantru dan Gandekan
4.3. Analisa kejadian Kekeringan pada Masing-masing Periode Defisit Pada Subbab ini ditampilkan persentase kejadian kekeringan pada tiap periode defisit, persentase ditampilkan pada tabel 1 berikut : Tabel 1. Rekapitulasi Persentase Jumlah Kejadian tahun 1993-2012 Kejadian
SPI 1
SPI 4
SPI 6
SPI 12
SPI 24
Amat Sangat Kering Sangat Kering Cukup Kering Normal Basah Sumber : Hasil Perhitungan
17.5% 26.4% 26.7% 29.4% 0.0%
18.9% 19.4% 21.9% 39.7% 0.0%
17.5% 16.1% 18.1% 48.3% 0.0%
5.8% 9.2% 15.8% 68.3% 0.8%
6.1% 6.9% 15.0% 67.5% 4.4%
Pada tabel 1 nilai SPI periode defisit 4 bulan, 6 bulan 12 bulan dan 24 bulan mempunyai nilai normal lebih besar daripada nilai normal pada SPI 1 bulanan. Hal ini terjadi karena data yang dimasukkan pada SPI 1 bulan hanya data pada bulan itu saja, sedangkan pada SPI 4, 6, 12 dan 24 bulan data yang dimasukkan adalah data komulatif bulan sebelumnya.
4.4
Analisa Perbandingan Nilai Indeks Kekeringan SPI terhadap Debit Kali Keser Perbandingan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kekeringan meteorologi yang terjadi dengan kekeringan hidrologi. Kekeringan meteorologi yang digunakan adalah nilai indeks kekeringan SPI 1 Bulanan dan kekeringan hidrologi yang digunakan sesuai dengan debit sungai. Dengan membandingkan hasil analisa indeks kekeringan dengan data debit pada sebuah grafik maka dapat diketahui hubungan antara kekeringan meteorologi dengan kekeringan hidrologi. Grafik perbandingan ditampilkan pada gambar 2. dan 3. Dalam Grafik perbandingan terjadi beberapa kesamaan antara grafik pembacaan debit kali Keser dengan nilai rata-rata indeks kekeringan SPI pada stasiun hujan K.D.PU Air, Boyolangu, Ngantru, dan Gandekan. Terlihat pada
Gambar 4. Grafik Nilai Southern Oscillation Index (SOI)
Gambar 5. Grafik Nilai SPI 1 Bulanan 18 Stasium Hujan gambar perbandingan dengan periode defisit 1 bulanan antara nilai indeks kekeringan dan debit kali keser memiliki banyak kesamaan trend, pada saat nilai indeks kekeringan menunjukkan hasil minus maka pada debit sungai kali keser juga menunjukkan penurunan. Kesamaan yang terjadi pada kedua gambar ini mengindifikasikan bahwa adanya keterkaitan antara kekeringan meteorologis dengan kekeringan hidrologi, walaupun tidak seluruh trend dari kedua gambar tersebut sama persis. 4.5
Perbandingan Hasil Analisa Kekeringan terhadap Data Southern Oscillation Index (SOI) Terjadinya kekeringan berkepanjangan termasuk penyimpangan iklim dari sifat normalnya pada tahun tertentu, sering dikaitkan dengan munculnya fenomena alam yang disebut El-Nino. Pada saat Berlangsungnya peristiwa El-Nino yang disertai dengan nilai indeks osilasi selatan negatif dalam satu fase dikenal sebagai peristiwa El Nino Southern Oscillation
(ENSO). Nilai SOI (Southern Oscillation Index) atau Indeks Osilasi Selatan merupakan nilai perbedaan antara tekanan atmosfer di atas permukaan laut di Tahiti (Pasifik timur) dengan tekanan atmosfer di Darwin (pasafik barat) akibat dari perbedaan temperatur pemukaan laut di kedua wilayah tersebut. Nilai SOI dapat dijadikan patokan terjadinya fenomena El Nino dan La Nina. Untuk membandingkan apakah kekeringan yang terjadi di Sub DAS Ngrowo dipengaruhi juga oleh faktor peristiwa ENSO. Perbandingan yang dilakukan adalah dengan membandingkan nilai surplus dan defisit SPI 1 bulan untuk satu DAS terhadap data ENSO berupa nilai indeks osilasi selatan/southern oscillation index (SOI). Hasil perbandingan dapat dilihat pada gambar 4 dan 5. Dari gambar 4 dan 5 terlihat bahwa ada hubungan antara nilai SPI 1 Bulanan dengan data SOI. Ketika terjadi nilai defisit maka SOI bernilai negatif, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka SOI bernilai positif.
Kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997, di mana nilai defisit terjadi sepanjang tahun begitu juga nilai SOI negatif sepanjang tahun. Pada tahun 1998 ketika nilai SOI berubah menjadi positif diikuti juga dengan perubahan nilai SPI dari defisit menjadi surplus. Sedangkan tahun terbasah adalah tahun 2010 di mana nilai surplus terjadi sepanjang tahun diikuti dengan nilai SOI yang positif juga sepanjang tahun. Dari perbandingan ini dapat disimpulkan bahwa nilai SPI 1 Bulan memiliki hubungan terhadap nilai SOI. 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Besar indeks kekeringan yang terjadi pada DAS Ngrowo memiliki nilai yang berbeda pada masing-masing SPI periode defisit 1, 4, 6, 12 dan 24 bulan. Hal ini terjadi karena nilai data hujan yang digunakan tiap periode defisit berbeda. 2. Hasil analisa indeks kekeringan menggunakan metode Standardized Precipitation Index (SPI) pada periode defisit 1, 4, 6, 12 dan 24 dengan nilai indeks kekeringan masing-masing (-4,014), (-3,614), (3,750), (-3.819 dan (-3,066). Dari tiap periode defisit didapatkan bahwa kekeringan terparah terjadi pada tahun 1997 dengan tingkat kekeringan ”amat sangat kering”. 3. Berdasarkan hasil pembuatan peta sebaran kekeringan dengan menggunakan metode krigging pada software Arc GIS, tahun paling kering terjadi pada tahun 1997, sedangkan tahun paling basah terjadi pada tahun 2010. 4. Berdasarkan perban-dingan antara hasil analisa kekeringan terhadap data debit Kali Keser dapat disimpulkan bahwa kekeringan meteorologi berhubungan dengan kekeringan hidrologi. Terlihat bahwa ada hubungan antara nilai surplus dan defisit terhadap data debit. Ketika terjadi nilai defisit maka
debit air pun juga mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya. 5. Kekeringan meteorologi yang terjadi juga me-miliki hubungan terhadap nilai SOI. Ketika terjadi nilai defisit maka SOI bernilai negatif, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai surplus maka SOI bernilai positif. SOI tersebut merupakan indikator terjadinya El Nino, semakin kecil nilai SOI maka akan terjadi El Nino yang kuat hal tersebut menyebabkan terjadinya kekeringan yang panjang. 5.2 Saran 1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat diperlukan data hujan yang panjang, karena semakin panjang data hujan yang dimiliki maka kita dapat melihat trend kekeringan yang terjadi. Kualitas data hujan juga harus diperhatikan, apakah data hujan yang didapatkan tidak terdapat banyak data kosong. 2. Metode Standardized Precipitation Index (SPI) hanya didasarkan pada curah hujan dan hanya dapat mengukur jumlah ketersediaan air, metode ini berguna untuk mengukur terjadinya kekeringan meteorologi dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara nilai tiap periode defisit dengan kegunaan masing-masing tiap periode. 6. DAFTAR PUSTAKA 1. Adidarma, W., 2010, Diktat Pelatihan Kekeringan, Balai Hita, Puslitbang SDA, Bandung. 2. Harto, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 3. Harto, Sri. 2000. Hidrologi. Yogyakarta: Nafiri Offset. 4. Triatmojo, Bambang. 2010. Hidrologi Terapan.Yogyakarta: Beta Offset. 5. Sonjaya, Irman. 2007. Analisa Standardized Precipitation Index (SPI) di Kalimantan Selatan.
Banjarbaru: Stasiun Klimatologi Banjarbaru. 6. Sosrodarsono, S., Takeda, K., 2003. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita.
7. McKee, T.B., Doesken, N. J. & Kleist, J. 1993. The Relationship Of Drought Frequency And Duration To Time Scales. Colorado: Department of Atmospheric Science.