ANALISA DEMOKRASI LIBERAL FRANCIS FUKUYAMA, Menggunakan teori Libertarian menurut Robert Nozick. Eka Afriyansyah Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Pada dasarnya negara selalu bertujuan untuk mensejahterakan warganya. Cara dan bentuk untuk mencapai tujuannya berbagai macam. Demokrasi yang ditopang oleh liberalisme adalah salah satunya. Gagasan tersebut dianggap oleh Francis Fukuyama sebagai sebuah akhir dari sejarah atau Finalitas dari bentuk politik. Kesejahteraan dalam demokrasi liberal didapat melalui kehadiran kapitalisme. Tetapi kapitalisme masih dicurigai memiliki potensi yang justru menghancurkan sistem demokrasi liberal. Untuk itulah diperlukan pemahaman yang lebih lanjut akan keberadaan kapitalisme dalam sistem politik liberal. Libertarian menawarkan penjelasan yang mendalam akan kehadiran kapitalisme. Robert Nozick melalui minimal state memaparkan bagaimana negara yang hadir dengan sistem kapital yang tak menciderai hak-hak individu sekaligus menjaga batas wewenang yang dimiliki negara terhadap warganya. Kata Kunci: Demokrasi liberal, Libertarianisme, kapitalisme, Hak individu, Negara Minimal, Hak Kepemilikan, dan Spontaneous order.
Analysis of Democracy Liberal Francis Fukuyama, with Theory of Libertarianism Robert Nozick Abstract Basically, the state has always aimed for the welfare of its citizens. various kinds of way and form to achieve that goal. Democracy supported by liberalism is one of them. The idea was considered by Francis Fukuyama as an end of history or the finality of the political form. Welfare in a liberal democracy obtained through the presence of capitalism. But capitalism suspected that it still has the potential to destroy the liberal democratic system. For that needed further understanding of the existence of capitalism in a liberal political system. Libertarian offers in-depth explanation of the presence of capitalism. Robert Nozick through minimal state described how present state with the capital system which does not damage the rights of individuals while keeping limits the authority of the state to its citizens. Key Word: Liberal Democracy, Libertarianism, Capitalism, Individual Rights, Minimal State, Property Rights, and Spontaneous Order
Pendahuluan Pada Tahun 1992 terbit sebuah buku karya Francis Fukuyama berjudul The End of History and the Last Man. Gagasan utama buku tersebut menilai bahwa pandangan Marx tentang sosialisme yang akan menggantikan kapitalisme tidak terwujud. Kapitalisme yang menjadi dasar dari pandangan liberalisme, terbukti berhasil dalam menciptakan masyarakat yang paling demokratis sampai saat ini. Fukuyama secara langsung menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah. Kemapanan sistem politik saat ini adalah bukti bahwa liberalisme dan kapitalisme berhasil menyokong sistem demokrasi. Dengan kapitalisme dan
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
masyarakat yang bebas, politik telah sepenuhnya menjadi politik perjuangan atas kesejahteraan. (Fukuyama, 1992: xix). Klaim Fukuyama adalah “The end point of mankind's ideological evolution and the universalization of Western liberal democracy as the final form of human government.” (Fukuyama, 1992: xi)
Diakui oleh Fukuyama bahwa pada akhirnya gerak sejarah tak lagi berwarna, saat segala hal berdasar pada kalkulasi ekonomi dan permasalahan yang muncul hanya teknis semata. Perjuangan atas pengakuan, pengorbanan untuk sesuatu yang abstrak, cita-cita idealisme tak lagi hadir. Perlu ditekankan bahwa akhir dari sejarah bukan mengatakan bahwa sejarah berhenti saat liberalisme berjaya, tetapi akhir dari sejarah memaksudkan untuk mengatakan bahwa bentuk final dari pemerintah dapat terlihat dalam liberalisme, sejarah akan terus berjalan dengan segala masalahnya, tetapi pandangan liberal telah mencapati titik kemapanannya, dengan bantuan kapitalisme dan globalisasi, paham liberalisme terwujud. Fukuyama menyadari bahwa bentuk liberalisme pun tak sepenuhnya dapat berjalan. Setidaknya terdapat dua permasalahan saat ini dalam demokrasi liberalisme. Pertama masalah kebijakan, Di Amerika yang ia anggap sebagai negara dengan bentuk liberal kapitalis yang paling mapan pun mulai memperlihatkan kegagalannya. Secara praktis ia jauh lebih baik ketimbang sosialisme yang pada prakteknya adalah otoritarian. Kesulitan liberalisme terdapat pada prakteknya secara luas. Hal ini terlihat pada kenyataan, bahwa yang harus dicapai dalam politik adalah putusan publik atau kebijakan. Dan dalam putusan publik terlalu banyak pihak yang memiliki kepentingan, sehingga negara sulit dalam menentukan sebuah kebijakan. Dalam salah satu artikel Fukuyama yang lain memperlihatkan bahwa politik Amerika mengalami disfungsi, karena ia melihat bahwa dalam wacana politik Amerika tidak terdapat suara dominan yang mampu dijadikan dasar kebijakan. Sehingga untuk sebuah kebijakan, pemerintah cenderung lamban secara politik dalam pembuatan kebijakan pada skala nasional. Baginya ketidak-setujuan dalam sistem politik negara haruslah dikurangi agar negara dapat berjalan. Masalah keputusan ini hadir karena setiap pihak tak dapat merelakan kepentingannya pada perdebatan politik. Dalam kasus Amerika, sulitnya mencapai titik temu. Saat negara dihadapkan pada 50 negara bagian. setiap negara bagian memiliki kepentingan. Konsekuensinya adalah kekuatan politik yang terpecah-belah, setiap elit politik mengunakan akses yang ia punya untuk meraih dan melanggengkan kekuasaanya, sehingga kekuatan
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
politik dalam mencapai sebuah putusan selalu dipersulit oleh pihak yang menganggap dirinya dirugikan. Legitimasi kebijakan secara nasional pun sulit dicapai. kebijakan politik akhirnya hanya bersifat populis semata. Masalah kedua adalah krisis kelas menengah. Tiang utama dalam demokrasi liberal yaitu kelas menengah sedang menghadapi krisis. Kelas mengengah yang dimaksud adalah “people who are neither at the top nor at the bottom of their societies in terms of income, who have received at least a secondary education, and who own either real property, durable goods, or their own businesses.”1 Kelas mengengah adalah tiang penyangga demokrasi liberal. Sistem ekonomi dengan pasar bebas yang melihat bahwa setiap individu mampu memiliki properti yang dalam pandangan Marx disebut pemilik modal adalah borjuis, sedangkan pada kenyataannya bahkan seorang buruh pun mampu memiliki kepemilikan walau hanya 1 persen. Kehadiran kelas menengah menjadi jembatan antara kaum borjuis dan proletar, di satu pihak ia adalah bagian dari buruh tetapi ia adalah pihak lain ia adalah yang mempunyai sumber daya untuk menjadi bagian dari pemilik modal, ia adalah pihak yang sadar secara intelektual, dimana tidak seluruh sumber daya yang ia punya ia habiskan untuk bertahan hidup layaknya seorang proletar yang diperas oleh borjuis, kelas menengah mampu memberikan tuntutan terhadap negara untuk menjamin dirinya dan kelasnya bebas dari kesewang-wenangan para penguasa. Hal ini mengancam demokrasi liberal yang berdasar pada kelas menengah sebagai pihak yang mampu memberikan tuntutan kepada penguasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketidak-setaraan akan selalu hadir, kesetaraan tak akan terwujud, karena perbedaan merupakan hal dasariah manusia, maka yang harus menjadi fokus bukanlah kesetaraan yang ideal, tetapi bagaimana memperkecil batas dalam ketidak-setaraan. Maka dari itulah kelas menengah harus dijaga kekuatannya demi stabilitas demokrasi. Inilah polemik bahwa pada akhirnya intervensi pun harus ada dalam gagasan liberalisme. Konsep Fukuyama dalam demokrasi liberal sebagai akhir dari pergerakan politik tidak sesungguhnya terwujud, kedidayaan kapitalisme merusak tatanan sosial yang diinginkan oleh liberalisme, di era kontemporer memperlihatkan bahwa kesejahtaraan diperjuangan secara sepihak, inferioritas gagal hadir karena akses terhadap kesejahteraan tertutup oleh dominasi kapitalisme. 1
artikel The Future of History, Fukuyama, hlm 3
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
Fukuyama pada akhirnya merisaukan kelanggengan liberalisme dalam demokrasi dimasa mendatang. ia melihat bentuk realitas demokrasi liberal kapitalisme saat ini telah mengancam liberalisme itu sendiri, kekuatan kelas menengah sebagai basis utama pondasi demokrasi mulai melemah seiring dengan kesenjangan yang semakin besar dan pengambilan kebijakan yang lamban dikhawatirkan merusak stabilitas dan kepercayaan publik terhadap negara. Negara butuh legitimasi dari publik, dan legitimasi datang dari setiap individu yang percaya akan negara sebagai lembaga atau institusi yang melindungi hak-haknya sebagai manusia. dari hal tersebut terdapat permasalahan utama yang akan penulis bahas. 1. Krisis kelas menengah dalam bayangan Fukuyama sebagai basis demokrasi liberal, apakah benar-benar mengancam demokrasi liberal? Pertanyaan ini akan difokuskan pada moralitas individu dalam sistem politik demokrasi liberal. 2. Sejauh apa individu dapat melibatkan pandangan ekonomi dalam bertindak secara politis? fokus akan ditujukan pada bentuk libertarian, terkait konflik kepentingan dan kebijakan dalam ranah ruang publik. 3. Apakah praktek demokrasi liberal yang dibicarakan oleh Fukuyama dalam Future of History melenceng dari teori-teori kapitalisme libertarian? Perbedaan antara demokrasi liberal dan libertarian Tinjauan Teoritis Untuk menyelesaikan permasalahan yang telah disebutkan dalam rumusan masalah penulis menggunakan pemikiran Robert Nozick dengan konsep Minimal State untuk menjelaskan bentuk politik liberalisme yang berlandaskan ekonomi liberal. Corak pemikirannya terpusat pada kebebasan individu sebagai dasar dari kebutuhan manusia, maka kebebasan adalah hak yang harus dipenuhi oleh negara. Kebebasan tersebut tidak serta-merta membuat kekacauan dalam tatanan sosial, karena mereka percaya bahwa individu niscaya memiliki rasio yang akan memberikan batasan pada tindakannya. Maka setiap individu, sekalipun bebas ia tak akan berperilaku sewanang-wenang terhadap individu lain, karena dampaknya akan buruk untuk dirinya sendiri. Self-interest adalah kata kunci dalam memahami pemikiran libertarian. Manusia bebas untuk berusaha memenuhi kebutuhannya, tetapi kebutuhan yang ia hendaki tidak selamanya dapat dipenuhi diri sendiri, maka setiap individu harus saling berinteraksi dengan maksud bertransaksi, demi kebutuhan yang ia hendaki. Perilaku sewenang-wenang
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
atau amoral akan memberikan memberikan pandangan negatif yang menjadi hambatan baginya untuk bertransaksi serta berelasi. Kebebasan yang dituntut oleh libertarian adalah kebebasan negatif, yaitu kebebasan yang nonintervensi. Sistem kompetitif tak akan terbentuk jika negara memberikan intervensi demi redistribusi kekayaan, setiap individu harus bekerja dengan usahanya sendiri, sebagaimana dalam prinsip dasar ekonomi, bahwa harus ada yang ia korbankan demi mencapai keinginannya. Dalam masyarakat kita harus melakukan pilihan rasional untuk memutuskan, karena pertimbangan antara pengorbanan dan keinginan serta pencapaian, karena kita bebas memilih dengan mengetahui konsekuensi yang akan terjadi dalam setiap pilihan. Kebahagian yang terdapat dalam tujuan diperbandingkan dengan pengorbanan yang akan tercipta, maka kebebasan negatif bukanlah kebebasan absolut dimana setiap orang sepenuhnya independent terhadap yang lain diluar dirinnya. Jadi jika kita memakai kebebasan negatif, intervensi tidaklah diperlukan, karena pemerintah hadir untuk melayani masyarakat bukan mengendalikannya. Setiap orang hadir menuntut kebahagiaan dengan usaha dan kemampuan mereka, re-distribusi kekayaan bukan membentuk pasar yang kompetitif, tetapi membentuk intervensi negara yang mengesampingkan kemampuan masyarakat yang berusaha mencapai kebahagiaanya. Hal ini juga terdapat dalam pemikiran Nozick, Minimal State adalah gambaran negara yang non-intervensionis terkait kebebasan pada tingkat hak individu, bahwa setiap individu bertindak tanpa paksaan dari negara, ia melakukan pilihan sesuai dengan keinginan. Negara hadir hanya untuk memberikan perlindungan atas hak-hak warga-negara. “minimal state, limited to the narrow functions of protection against force, theft, fraud, enforcement of contracts, and so on, is justified; that any more extensive state will violate persons' rights not to be forced to do certain things, and is unjustified; and that the minimal state is inspiring as well as right” (Nozick, 1974: ix)
Konsep minimal state yang sarat akan non-intervensi akan menjadi argumentasi utama dalam menganalisis konflik kepentingan dan pembentukan kebijakan negara. Berikutnya pandangan
kesetaraan dalam liberalisme yang sering dianggap membentuk
masyarakat yang berkelas dan tidak setara. Liberalisme dipercaya selalu memberikan tempat untuk kesenjangan dalam masyarakat. Hal ini
penulis kembalikan pada Nozick sebagai
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
landasan teori untuk membela liberalisme. Saat pemerintah tak lagi mengintervensi, saat masyarakat sepenuhnya bersaing layaknya alam liar. Maka pertanyaanya adalah dimana letak moralitas?, bukankah mungkin jika negara tak mengintervensi maka kesenjangan dalam masyarakat akan meningkat, saat batas antara si kaya dan si miskin terlalu jauh. Kesenjangan tak dapat dielakan karena setiap orang berbeda satu sama lain, argumen tentang kesetaraan berawal dari agama yang melihat semua orang secara setara. Perbedaan tak dapat dipungkiri, bahkan secara alamiah dua orang yang bersaudara pun memilik perbedaan, mereka berbeda secara fisik maupun mental, alam tidak repetitif dalam penciptaanya, perbedaan pasti dapat ditemukan. Pada kesetaraan dalam hukum pun terdapat kesenjangan, mereka hanya setara di hadapan hukum bukan setara secara hukuman, contohnya dalam undang-undang harus dibedakan antara pencuri untuk memperkaya diri dan pencuri untuk bertahan hidup. Keduanya dapat dijerat hukum pencurian tetapi berat hukumnya dapat dibedakan berdasarkan motif tindakan. “All human power would be insufficient to make men really equal. Men are and will always remain unequal” (Mises, 1985: 10). Saat kesetaraan diagung-agungkan malah membahayakan kebebasan individu dalam menentukan pilihan yang ia inginkan, jika setiap orang dipaksa makan dengan menu yang sama, jelas ada perbedaan minat, karena hasrat mereka berbeda, tidak semua orang suka daging walau daging adalah menu favorit rata-rata masyarat, masih ada pihak-pihak vegetarian yang lebih memilih tidak makan dibandingkan harus makan dengan daging. Jadi kita harusnya lebih melihat kepada hasrat dan kehendak yang sesuai dengan keinginan bukan hanya pada penghasilan dan nilai semata. kebebasan individu adalah dasar agar kemampuan pilihan rasional manusia diandalkan sebagai kedewasaan sistem ekonomi. Singkat kata dalam tulisan ini penulis akan menggunakan teori libertarian yaitu manusia sebagai pihak rasional, manusia tak mungkin lepas dari self-interest, dan dunia adalah tempat manusia saling bersaing secara sehat untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka secara sehat tanpa hambatan secara birokrasional. Ketertiban yang muncul dalam secara spontan melalui konsep liberalisme akan mengunakan contoh ‘slug’ dalam buku great distrupion karya Fukuyama untuk menggambarkan bagaimana tatanan sosial bisa terbentuk dengan sendirinya, dalam masyarakat individualistik. Manusia yang akan dipandang secara moral yang berdasar pada argumentasi moral Kantian secara liberal. Mereka adalah individu yang bebas sejauh kebebasannya tak menginjak kebebasan manusia lain, karena mereka yang percaya pada kebebasan terhadap setiap individu meyakini bahwa yang lain pun memiliki
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
kebebasan yang sama yang tak ingin dilanggar sebagaimana diri memandang kebebasan yang dimiliki Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan adalah studi pustaka dan analisis kritis. Penulis menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan gagasan-gagasan utama dari beberapa filsuf liberalisme yang akan dibahas penulis yaitu Francis Fukuyama dan Robert Nozick. Gagasan Francis Fukuyama akan didasarkan pada dua buah buku yaitu The End of History and the last man, sebagai klaim dan konsep liberalisme setelah ia (liberalisme) menjadi konsep paling mapan dalam mendukung demokrasi, lalu The great disruption, human nature and reconstitution of social order untuk melihat konsep moralitas masyarakat liberal. konsep dari Robert Nozick tentang minimal state yang ada dalam bukunya yaitu Anarchy, State and Utopia akan dijadikan ladasan dalam negara libertarian yang ia usung yaitu minimal state. Buku-buku tersebut akan menjadi dasar dari analisis konsep liberalisme dan prinsip kapital dalam demokrasi yang akan penulis kaji. Dan juga ada dua artikel dari Francis Fukuyama yang akan menjadi pemicu serta gambaran terkini demokrasi liberal yaitu future of history dan American Political Dysfunction. Analisis akan difokuskan pada bentuk libertarian sebagai pembanding dalam demokrasi liberal kekinian. Hasil Penelitian Melihat masalah yang diutarakan oleh Fukuyama pada tubuh demokrasi liberal, jika menggunakan kerangka pikir Nozick maka secara singkat dapat dilihat bahwa dalam pemikiran Fukuyama prinsip kapitalisme yang ia terapkan masih mengandaikan keberadaan kelas dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep kapitalisme secara luas, karena kapitalisme justru menolak keberadaan kelas. Bagi kapitalisme kesenjanganlah yang membentuk kompetisi agar equilibrium dapat tercipta. Bagi Nozick yang percaya akan keberadaan invisible hand maka pasar kelak akan membentuk kestabilan dalam kesenjangan yang terjadi. Fukuyama terlihat tidak terlalu mempercayai akan Invisible hand dalam penerapan pada kapitalisme sehingga, keberadaan kelas tak dapat dipungkiri. Baginya kesadaran yang dimiliki kelas menengah adalah tiang utama dalam demokrasi. Bagi Nozick yang melihat individu sebagai akhir percaya akan kesadaran serta rasionalitas yang dimiliki
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
oleh tiap-tiap individu, sehingga kesadaran politik hadir dalam individu yang selalu menuntut kesejahteraan dalam kehidupan yang ia jalani. Jika Fukuyama melihat individu sebagai makhluk yang selalu menuntut pengakuan, Nozick melihatnya secara berbeda ia menuntut terpenuhinya hasrat-hasrat yang ia miliki, jalan untuk mencapainya adalah kompetisi yang sah. Dukungan kelas menengah secara sepihak sama saja dengan mengesampingkan kompetisi yang sehat, karena negara mendukung salah satu pihak yang hadir dalam pasar yang kompetitif. Akibatnya pasar tidak menjadi efisien dan equilibrium yang hendak dicapai tidak terpenuhi. Jika melihat melalui kacamata Nozick maka polemik yang terjadi dalam parlemen yang diutarakan Fukuyama terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan pada negara. Para elit politik mengalih-fungsikan negara yang seharusnya menjadi pelindung warga-negaranya menjadi negara yang mengatur hidup warga-negaranya. Melalui hal itu negara telah mengambil kebebasan warga-negara dalam menentukan hidup dan prioritas yang ia tentutakan. Tindak negara berlebihan dalam mengintervensi kehidupan individu, sehingga muncul kesempatan untuk memasukan kepentingannya dengan alih-alih kebijakan. Jika hal tersebut terus-menerus berlanjut negara yang tidak efektif berpotensi kehilangan legitimasi. Penetapan kultur dominan atau hak veto yang diutarakan Fukuyama tidak dapat menjawab persoalan disfungsi negara yang terjadi, karena permasalahannya bukan hanya pada kebijakan yang tak berhasil ditentukan tetapi juga adanya kepentingan yang dipaksakan didalamnya. Minimal state yang diutarakan Nozick menjadi sebuah penawaran yang jauh lebih baik. Melalui pembatasan kekuasaan maka negara tak dapat lagi mencampuri hak-hak hidup warganegara. Minimal state adalah penjaga kebebasan bukan pengatur kebebasan. Pada akhirnya bagi Nozick negara yang baik adalah negara yang tak melebihi minimal state. Ia mengakui bahwa minimal state adalah konsep yang masih utopia. Baginya dunia yang utopia adalah dunia yang mana tak ada dunia yang lebih baik dan lebih stabil dari utopia tersebut. “A utopian world is a world which is such that there is no other world anyone would rather be in. ‘If there are stable worlds, each of them satisies one very desirable description by virtue of the way the worlds have been set up; namely, none of the inhabitants of the world can imagine an alternative world they would rather live in” (Nozick, 1974: 299)
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
Pembahasan Bentuk pemerintahan memiliki berbagai macam variasi. Banyak konsep yang ditawarkan tentang negara yang baik, sistem masyarakat yang sehat tanpa mengurangi hak, sistem keadilan yang tak memberikan celah pada pelanggaran hak. Dari sekian banyak konsep negara yang ditawarkan saya mengambil dua prinsip negara, yaitu demokrasi liberal yang dijelaskan oleh Fukuyama dan konsep negara minimal yang ditawarkan oleh Nozick. Pengamatan Fukuyama tentang sistem pemerintahan menghasilkan pandangan bahwa liberalisme adalah konsep politik yang paling mumpuni dalam sistem demokrasi. Demokrasi liberal bagi Fukuyama dianggap sebagai sistem final politik negara, karena demokrasi liberal memberikan nafas bagi kebebasan individu, sekaligus memberikan prosedur untuk ruang publik demokrasi. Dengan runtuhnya Uni-soviet, Fukuyama melihat bahwa yang paling sesuai dalam sistem pemerintahan adalah demokrasi liberal. Ia mengklaim bahwa demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah. Akhir dari sejarah dimaksudkan oleh Fukuyama sebagai finalitas dari sistem politik. Ia menganggap tak ada lagi konsep politik yang mampu menyaingi demokrasi liberal. Sistem politik demokrasi liberal dianggap telah mampu memuaskan warga negaranya, baik itu secara ekonomi maupun politik. Fukuyama dalam kajiannya tentang demokrasi liberal didasarkan pada konsep Hegelian. Ia melihat bahwa proses akhir dari dealektika ideologi telah menunjukan titik akhir yaitu mulai diakuinya demokrasi liberal secara penuh dalam sistem politik. Fukuyama menjelaskan bahwa seluruh gerak sejarah manusia adalah pencapaian menuju kebebasan. Dengan semakin direalisasikan kebebasan manusia maka semakin dekat akhir dari sejarah. Realisasi kebebasan ini dapat dilihat dalam ranah publik yaitu institusi sosial dan politik. Mengkuti metode Hegel, Fukuyama menerapkan dialektika sebagai argumenya untuk memperlihatkan bahwa demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah. Dialektika terwujud melalui kontradiksi secara terus-menerus sampai menemukan titik akhir, yang mana kontradiksi tak lagi muncul. Fukuyama melihat sebuah fenomena bersejarah yang ia anggap sebagai perwujudan dari dialektika yang telah mencapai akhirnya. Ketika komunisme runtuh yang ditandai dengan pecahnya negara komunis terbesar yaitu Uni-soviet pada tahun 1990, ia melihat bahwa komunisme gagal dalam mensejahterakan serta mewujudkan masyarakat yang bebas. Kegagalan komunisme dianggap Fukuyama sebagai akhir dari sejarah. Hal ini karena
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
satu-satunya kontradiksi yang sepadan dengan komunisme yaitu liberalisme tetap bertahan, liberalisme bertahan sebagai ideologi karena ia mampu memberikan kepuasan serta ruang kebebasan untuk warganya. Bertahannya liberalisme bagi Fukuyama adalah akhir dari gerak sejarah karena secara dialektika liberalisme tak lagi memiliki kontradiksi. Secara tidak langsung Fukuyama hendak menyatakan bahwa pemenang dalam pertarungan ideologi antara liberalisme dan komunisme adalah akhir dari sejarah. Perwujudan kebebasan dalam pandangan liberalisme sesuai dengan pemikiran Hegel yang menurutnya gerak sejarah adalah gerak menuju kebebasan (Fukuyama, 1992: 58). Pandangan liberal Fukuyama mendukung kapitalisme, karena baginya kapitalisme adalah sistem yang mampu mendukung kesejahteraan warga-negara. Bagi Fukuyama peran kapitalisme dalam mendukung liberalisme sampai pada tahap yang kita ketahui saat ini tidak dapat dipungkiri. Kapitalisme melakukan tugasnya dalam menciptakan peradaban yang kita nikmati saat ini. Melalui kapitalisme, liberalisme mampu menggoyah kekuasaan yang hiearkis. Masyarakat cenderung bersifat networking demi efisiensi dan efektifitas yang dituntut oleh perkembangan zaman. Nilai-nilai tradisional yang tidak sesuai mulai ditinggalkan demi mencapai masyarakat globalisasi. Batas-batas antara warga-negara mulai hilang dalam pergaulan dunia. Masyarakat saat ini yang disebut Fukuyama sebagai postindustrial society dituntut untuk lebih toleran terhadap perubahan dan perbedaan, agar mereka dapat diterima dalam pergaulan multikultural. Melalui kapitalisme masyarakat dapat secara bebas memenuhi hasrat individu untuk dapat lebih diakui sebagai seorang individu yang bebas secara kesadaran. Manusia disebut Fukuyama sebagai struggle for recognition, Ia melihat bahwa individu adalah makhluk yang menuntut pengakuan. Individu ingin diakui oleh individu lain sebagai individu yang setara, yang terhormat dan yang memiliki nilai. Menusia ingin dihargai sebagai seorang manusia yang utuh dan penuh dengan kesadaran atas kediriannya. Karenanya kebebasan adalah syarat mutlak agar individu dapat merealisasikan dirinya melalui hasratnya untuk mendapatkan pengakuan dari individu lain. Di kemudian hari Fukuyama melihat bahwa demokrasi liberal belumlah selesai. Ia melihat setidaknya terdapat dua masalah yaitu krisis kelas menengah dan disfungsi pemerintahan. Pertama Fukuyama melihat bahwa kesenjangan dalam masyarakat semakin meluas. Populasi
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
kelas menengah sebagai penyeimbang serta jembatan antara mereka yang kaya dan miskin semakin berkurang. Hal ini menjadi masalah karena menurut Fukuyama demokrasi liberal ditopang secara oleh kelas menengah sehingga kelas menengah memiliki peran yang vital dalam keberlangsungan demokrasi liberal. Lalu pemerintah yang semakin kehilangan kekuatan seiring dengan lambatnya kinerja dalam pengambilan keputusan serta kebijakan publik. Hal ini menurut Fukuyama karena tidak adanya pihak yang mampu mendominasi suara dalam pemerintahan dan masuknya kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dalam merumuskan kebijakan. Konflik kepentingan ini membuat pemerintahan bergerak lambat tanpa tujuan. Dalam analisis Fukuyama terdapat keraguan akan dukungannya terhadap kapitalisme. Krisis yang dihadapi oleh kelas menengah diduga akibat sistem kapitalisme. Kesenjangan memang selalu menjadi masalah dalam kapitalisme, di satu pihak kesenjangan hadir sebagai realisasi kompetisi dalam pasar, dilain pihak kesenjangan menyebabkan masyarakat tak mampu hadir secara setara dalam pasar. Konflik kepentingan membuat pemerintah tak berhasil menemukan titik temu yang jelas dalam memerintah. Hal ini menjadi polemik karena konflik kepentingan tak dapat lepas dari konsep liberalisme, karena kepentingan adalah realisasi individu sebagai makhluk yang berkesadaran dan menuntut pengakuan. Konflik kepentingan niscaya ada dalam liberalisme, karena setiap individu di dalamnya memiliki hasrat dan keinginan yang harus dipenuhi. Hasrat dan kepentingan tersebutlah yang menjadikan individu bebas. Mengabaikan kepentingan individu bagi liberalisme sama dengan mengabaikan individu itu sendiri. Individu hadir menuntut pengakuan melalui kepentingan yang ia ajukan. Dalam melihat masalah ini saya memberikan pemahaman lebih dalam terhadap penerapan kapitalisme, terutama pada pandangan libertarian yang dikenal secara tegas mendukung kapitalisme dan pembatasan kekuasaan negara. Robert Nozick menjadi kerangka pikir yang saya pakai. Melalui gagasan minimal state yang ia ajukan Nozick berupaya memperlihatkan pada kita sebuah konsep negara libertarian yang berfungsi menjaga setiap warganya dari konflik yang mungkin muncul tanpa harus melanggar hak-hak dan kebasan yang dimiliki individu. Robert Nozick menekankan pada pentingnya kehadiran individu yang bebas dan memiliki hak atas dirinya serta kepemilikannya dalam konsep filsafat politiknya. Ia melihat
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
posisi individu secara lebih substansial dalam negara. Maka dari itulah ia menuntut batas yang jelas dalam fungsi dan peran negara. Melalui gagasan minimal state ia menawarkan bentuk negara yang terbatas atau limited government. Minimal state adalah negara yang hanya memiliki fungsi sebagai penjaga hak dan kebebasan individu dalam relasi sosial yang selalu memiliki potensi untuk berkonflik. Nozick melihat setiap individu berhak menentukan sendiri jalan hidup serta tujuan hidup yang ia kehendaki tanpa paksaan pihak manapun. Nozick berupaya untuk memperlakukan individu sebagai akhir. Ia mencoba untuk memberikan garis tegas antara individu yang memperlihatkan keterpisahan antar individu. Dengan kebebasan individu mampu berkehendak atas dirinya sendiri, mengejar tujuan hidup yang dipilih sendiri, ia membedakan dirinya dengan individu lain. Melalui kehendak dan hasrat yang ada pada dirinya. Individu mampu memiliki kesadaran atas keberadaan diri yang independen. Pada kesenjangan dan ketidak-setaraan yang terjadi, Nozick menolak pandangan redistribusi untuk dapat menciptakan lingkungan yang setara dan berkeadilan. Baginya redistribusi justru bersifat tidak adil, karena akan ada hak yang dilanggar. Lalu ia juga beranggapan bahwa dalam redistribusi perlunya ada hukum paternal atau sebuah pola yang terpusat. Paternalistik sama saja memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintah dan juga melanggar prinsip akuisisi yang diajukan Nozick, karena transfer tanpa proses yang telah ada dan bukan merupakan prinsip reifikasi. Nozick beranggapan bahwa hanya ada tiga cara dalam akuisisi yang ia sebutkan dalam entitlement theory, selain itu proses akuisisi dapat melanggar hak individu. Redistribusi adalah intervensi terhadap hidup individu. Melaui akuisisi individu dapat memperoleh properti. Kepemilikan proprerti dimaksudkan untuk pengakuan dalam realisasi kinerja yang tidak lain adalah perwujudan hasrat, yang merupakan ekstensi dari individu. maka dari itu redistribusi dari hasil akuisisi yang sah tidak dapat dibenarkan. Walaupun Nozick menempatkan individu sebagai akhir, ia tetap mengakui bahwa negara masih perlu hadir. Nozick secara tegas mengatakan bahwa anarchi masih tak terbayangkan. Hal ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa Nozick menolak pemikiran anarchi. Karena hal tersebutlah ia mencoba menggagas negara minimal atau minimal state. Negara jika melebihi dari minimal state akan melanggar hak individu dan jika berada dibawah minimal state maka hal tersebut adalah anarki (Nozick, 1974: 4). Nozick menganalisis tahapan-tahapan serta proses yang terjadi untuk membentuk minimal state. Pertama ia menjelaskan tentang state of nature yaitu tahap individu memiliki kebebasan
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
yang diterapkan tanpa batas. Kebebasan tersebut memiliki resiko yang nyata akan konflik yang mungkin muncul, serta ancaman terhadap properti. Karena hal tersebut individu saling berkelompok dan membentuk sebuah asosiasi untuk saling menjaga dikala adanya seorang yang melanggar dan mengancam individu yang menjadi anggota dari asosiasi. Asosiasi ini disebut Nozick sebagai protective association. Adanya protective association tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik dan kemungkinan atas agresi antar individu bahkan antar protective association. Hal tersebut membuat anggota dari protective association yang lemah berpindah keanggotaan munuju asosiasi yang lebih mampu menjaga anggotanya. Seiring berjalannya waktu yang disertai konflik antar protective association, akan muncul asosiasi yang dominan yang mampu bertahan dalam persaingan. Dominant protective association tersebut kelak akan melebur menjadi satu demi meredam konflik yang terus berlangsung. Ketika setiap dominant protective association telah berhasil menjadi satu yang disebut Nozick sebagai ultra-minimal state. Tetapi ultra-minimal state masih memiliki masalah terkait individu yang belum sepenuhnya bebas dari ancaman. Ancaman tersebut muncul karena tidak semua individu adalah anggota dari assosiasi tersebut. Masih terdapat non-anggota atau individu yang independen berada di luar agensi. Individu tersebut tidak terikat dalam prosedur serta aturan. Untuk itulah ultra-minimal state membentuk kompensasi untuk anggota yang indepen agar ia ikut dalam aturan yang telah ada. Dengan masuknya semua individu maka dapat ultra-minimal state telah sepenuhnya monopoli terhadap pengunaan kekuatan untuk menjaga keamanan tiap individu. monopoli tersebut juga terlegitimasi karena berdasarkan pada kesukarelaan setiap anggota demi meredam konflik serta menjaga batas-batas kebebasan yang tak dapat dilanggar. Tahap inilah yang disebut Nozick sebagai minimal-state, yaitu negara yang sejak awal berfungsi untuk menjaga keamanan anggotanya, bukan mengatur hidup anggotanya. Kekuasaan yang ada pada negara berdasar pada kesukarelaan setiap anggotanya. Negara tidak dapat campur tangan dalam hidup individu Kesimpulan Penulis melihat bahwa, antara demokrasi liberal dan libertarian memiliki perbedaan yang cukup mendasar dalam seberapa jauh kapitalisme dapat dibenarkan pada tingkat negara dan tatanan sosial. Fukuyama melihat kapitalisme sebagai penopang Demokrasi liberal, karena kinerja kapitalisme memberikan inovasi-inovasi dalam teknologi yang meningkatkan kecerdasan dan standart tingkat pendidikan yang dimiliki warga-negara. Hal ini menciptakan
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
kelas menengah yang memiliki cukup akses baik itu secara sumber daya maupun intelektualitas untuk terlibat dalam pemerintahan. Kelas menengah ini memiliki peran yang vital dalam negara demokrasi, karena merekalah yang menjadi pengawas pada kinerja negara. Pada gagasan libertarian, kapitalisme lebih radikal dalam negara, ia bukanlah bagian ataupun pendukung, tetapi syarat negara itu sendiri. Singkat kata dalam demokrasi liberal tatanan sosial lebih diutamakan. Kehadiran kapitalisme untuk menciptakan tatanan sosial yang seusai dengan demokrasi. Jadi sekiranya negara demokrasi telah berhasil menggagas sebuah sistem yang mampu mempertahankan tatanan sosial dan kelas menengah tanpa kapitalisme, maka kapitalisme sudah tak lagi miliki fungsi dan tak lagi berguna karena kerja kapitalisme telah digantikan. Hal ini berbeda dengan pandangan libertarian yang mengedepankan hak kepemilikan atau properti serta sistem pasar sebagai landasan yang menciptakan nuansa kompetitif yang membentuk tatanan sosial dalam relasi antar individu. maka dari itulah kapitalisme tak tergantikan dan tak dapat diganggu gugat. Pandangan libertarian mengedepankan posisi negara yang non-intervensionis terhadap pasar, karena bagi para libertarian kinerja pasar hanya akan efektif tanpa adanya ganguan dari negara dalam usahanya untuk menstimulus suatu komoditi. Pengaturan harga yang dilakukan oleh negara adalah kesalahan. “laissezfaire” dimaksudkan sebagai gagasan otonomi individu sebagai pelaku pasar dalam ekonomi dirinya. Masalahnya adalah konsep tersebut secara ekstrim dapat diandaikan sebagai sebuah negara yang anarkis atau tanpa negara. Jadi saya memakai gagasan Nozick akan minimal state untuk memberikan solusi bahwa pandangan libertarian tidak jatuh pada anarkisme, ia menyatakan ketidak-setujuan wujud anarki “To be sure, if chat nonstace situation were sufficiently awful, there would be a reason to refrain from dismantling or destroying a particular state and replacing it with none, now.” (Nozick, 1974: 4).
Nozick memberikan mengajukan bahwa kita tak dapat menjadi anarki, tetapi kita dapat memaksimalkan
gagasan
akan
ketidak-hadiran
negara.
Maksud
Nozick
dalam
memaksimalkan ketidak-hadiran negara adalah dengan meminimalkan peran-perannya dalam
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
kehidupan setiap individu, sehingga negara tak sepenuhnya mengatur hidup seorang, gagasan inilah yang ia sebut sebagai negara minimal. Negara minimal atau minimal state seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah negara yang tak melanggar hak-hak dasar individu seperti kebebasan dan properti, tetapi negara hadir sebagai pelindung dan satu-satunya pihak yang memiliki kapabilitas untuk melakukan koersi atas individu sebagai wujud legitimasi atas negara minimal tersebut. Dalam negara minimal kapital dapat berjalan karena negara tak campur tangan atasnya serta negara melindungi syarat dari kapitalisme itu sendiri yaitu private property. Perbedaan antara demokrasi liberal dan Libertarian dapat terlihat dari penggunan konsep “state of nature” sebagai konsep awal pembentukan negara Fukuyama menggunakan pandangan Hegel dalam usahanya menjelaskan bentuk “state of nature” dalam gagasan demokrasi liberal yang ia anggap sebagai akhir serta finalitas dari ideologi. State of nature Hegel seperti yang pada bab-bab sebelumnya saya bahas mengedepankan keberadaan manusia sebagai hasrat yang membutuhkan pengakuan serta keamanan. Terdapat dua klasifikasi dalam pandangan Hegel tentang kondisi manusia awal atau “first man”. Pertama adalah mereka yang berani memperjuangkan harga diri demi mendapatkan pengakuan dan mereka yang penakut dan lebih memilih tunduk pada mereka yang berani demi mendapatkan keamanan. “Hegel and Hobbes see in the primordial battle a fundamental tension between, on the one hand, man's pride or desire for recognition, which induces him to risk his life in a prestige battle, and his fear of violent death, which inclines him to back down and accept a life of slavery in return for peace and security.” (Fukuyama, 1992: 155).
Melalui Hegel Fukuyama melihat bahwa hasrat yang membedakan manusia adalah hasratnya untuk diakui oleh yang lain. Pengakuan tersebut pada akhirnya menjadi tuntutan pengakuan atas dignity atau kehormatan. Bagi Fukuyama rekognisi ini berbeda dengan rekognisi yang diusung oleh Locke, karena Locke berpendapat bahwa manusia tidak hanya menghendaki kenyaman dalam hidup yang ama tetapi juga kenyaman dalam kepemilikan material, bagi Fukuyama rekognisi yang Hegel gagas adalah rekognisi atas kebebasan dan kemanusiaan yang dimilikinya
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
“Hegel's first man desires not material possessions but another desire, the recognition by others of his freedom and humanity” (Fukuyama, 1992: 159).
Kemenangan Demokrasi Liberal dalam “End of History and The Last Man” dicapai oleh Fukuyama dengan pengunaan metode dialektika Hegel. Peran dialektika ini berlanjut kemenangan Demokrasi Liberal tidak serta-merta menyelesaikan gagasan akan realita politik yang hadir, kehancuran komunisme di Uni-soviet tidak serta-merta menyelesaikan masalah politik di Amerika, sehingga Fukuyama kembali menuntut kehadiran gagasan-gagasan “kiri” dalam wacana politik untuk mewujudkan sebuah ideology baru. Hal inilah yang ingin ia tuju dalam artikel “Future of history”. Penggunaan Hegel dalam pikiran Fukuyama inilah yang menjadikan Fukuyama tak sepenuhnya Libertarian, karena libertarian lebih memilih Locke sebagai pondasi argument dalam asal-muasal Negara. Kapitalisme tak sepenuhnya menjadi landasan dalam pikiran Fukuyama, pencapaian bukanlah sekedar materi, tetapi rekognisi oleh yang lain. Inilah yang menjadi masalah dalam Fukuyama yang pada semestinya bukanlah sebuah masalah dalam pandangan libertarian. Konflik kelas antar kelas tak akan hadir dalam gagasan libertarian karena bagi mereka manusia adalah setara secara kodrati, bukan materi. Materi bagi Libertarian adalah perjuangan yang ia raih gagal atau tidaknya tergantung pada seberapa bijak individu berinvestasi, bukan pada negara. Peran negara tak dapat menggangu usaha individu dalam meraih materi, negara dapat campur tangan dan menggunakan prinsip koersi jika usaha seorang individu dalam meraih properti melanggar hak-hak kebebasan individu lain. Pada tingkat negara yang non-intervensi, permasalahan kebijikan dan kepentingan yang ada di dalamnya adalah masalah ketika memang hadir kepentingan kelompok tertentu dalam negara. negara yang minimal hanya berurusan pada konflik antar individu terkait batas kebebasan antara satu individu dengan yang lain. Maka negara netral dalam masalah kepentingan, karena pemerintah tak hadir sebagai ranah perjuangan kepentingan. negara hadir sebagai apparatus yang menjaga kedamaian antar individu. Refleksi Kritis Saya melihat bahwa dalam analisis Fukuyama tentang demokrasi liberal dan tantangan yang dihadapi bersifat praktis. Ia melakukan analisa terhadap konsep faktual, tetapi tidak menyentuh ranah abstrak yang teoritis. Karenanya solusi tak sunguh-sunguh menyentuh permasalahan sesungguhnya yang dihadapi. Fukuyama dalam melihat demokrasi liberal
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
mampu memberikan analisa yang abstrak walau ia tetap berpijak pada kondisi-kondisi faktual yang ada pada saat itu. Hal ini berbeda dengan Nozick yang kerap melakukan analogi dalam melakukan analisa, sehingga ia dapat menyentuh bagian abstraksi yang lebih filosofis. Konsep minimal state memang dianggap suatu yang utopia, tetapi hanya dengan sebuah utopia politik memiliki tujuan. Lalu untuk menjalankan prinsip minimal state Nozick diperlukan kepercayaan yang tinggi antara individu dan negara sebagai satu-satunya lembaga yang mampu mengunakan kekuatan. Karena negara harus memonopoli kekuataan yang ada dalam menjaga setiap individu untuk terhindar dari konflik serta mengadili setiap pihak yang melanggar batas kebebasan. Kepercayaan inilah yang masih sulit dicapai, karena pemerintahan tidak lain adalah individu yang juga memiliki kepentingan, hasrat dan kehendak pada dirinya. Jika dikatakan bahwa tidak tidak ada entitas sosial sebagai yang independen, maka pemerintah bukan pula entitas sosial, mereka tetap individu yang diberikan kepercayaan. Padangan liberatrian memang cenderung menolak klasifikasi kelas yang ada pada masyarakat dengan alasan pasar kompititif, tetapi kenyataan akan kesenjangan tak dapat dipungkiri. Masyarakat tak dapat hadir secara setara daal pasar, sehingga kesetaraan dalam kesempatan tidak terwujud. Hal inilah yang terus-menerus memunculkan klasifikasi kelas. Prinsip historis yang diutarakan Nozick belum mampu dalam menciptakan kesetaraan dalam kesempatan. Pada kenyataannya masih ada pihak yang tak miliki kesempatan bahkan untuk hadir dalam pasar. Kesenjangan yang ditujukan untuk persaingan berujung pada ketidak-setaraan dalam keterlibatan terhadap pasar. perbedaan daya jual dan beli menjadi tidak seimbang. Contohnya pemilik warung sederhana tidak akan mampu bersaing dengan supermarket secara keuntungan ia tak dapat mengungguli kerena keterbatasan modal yang dimiliki. Invisible hand butuh pembuktian lebih lanjut dan pembuktian tersebut dianggap terlalu beresiko. Menyerahkan segalanya pada kondisi pasar belum menjadi solusi yang tepat. Gagasan Nozick tentang minimal state memang mulia. Ia berusaha untuk secara lebih dalam mengakui keberadaan individu yang bebas dan otonom, tetapi dalam politik relasi sosial adalah permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan
pengakuan terhadap individu.
Nozick benar sejauh perlunya membatasi kekuasaan negara dan juga pentingnya menjaga batas kebebasan sebagai landasan moral, dibandingkan harus membelenggu kebebasan individu pada sebuah prinsip moral yang justru tak sesuai dengan dirinya.
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
Daftar Referensi Buku •
Adian, Donny Gahral. 2010. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Depok: Koekoesan
•
Adian, Donny Gahral. 2013. Rasionalitas Kerjasama. Depok: Koekoesan
•
Bader, Ralf M. 2010. Major Conservative and Libertarian Thinkers ; v.11. New York: The Continuum International Publishing Group Inc
•
Boaz, David. 1953. Libertarianisme : a primer. New York: THE FREE PRESS.
•
Cunningham, Frank. 2002. Theoris of democracy: a critical introduction. London: Routledge
•
Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and the Last Man. New York: THE FREE PRESS
• Fukuyama, Francis. 1999. The Great Distrution: Human Natureand the Reconstitution of Social Order. New York:The Free Press • Mises, Ludwig Von. 1998. Interventionism: An Economic Analysis. New York: The Foundation for Economic Education, Inc. • Mises, Ludwig Von. 1985. Liberalism: In The Classical Tradition. New York: The Foundation for Economic Education, Inc • Nozick, Robert. 1974. Anarchy State and Utopia. Basic Books, inc •
Tallise, Robert. 2005. Democracy after liberalism : pragmatism and deliberative politics. New York: Routledge.
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015
Artikel •
Fukuyama, Francis. “The End of History?”. The National Interest, Summer. 1989
•
Fukuyama, Francis. “Holiday Note: American Political Dysfunction.” The American interest Volume 7, number 2, November/December. 2011
•
Fukuyama, Francis. “The Future of History: Can Liberal Democracy Survive the Decline of the Middle Class?.” Foreign Affairs. New York: Jan/Feb Vol. 91. 2012.
• Mises, Ludwig Von. “Two Essay by Ludwig von Mises, Liberty and Propert and Middle-of-the-Road Policy Leads to Socialism.” Alabama. Praxeology Press of the Ludwig von Mises Institute. 1991.
Analisa demokrasi liberal ..., Eka Afriyansyah, FIB UI, 2015