MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
AKHIR DARI IDEOLOGI ATAU IDEOLOGI TANPA AKHIR (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Huttington mengenai Konsep The End ) Wildan Insan Fauzi1 ABSTRAK Inti dari pemikiran Daniel Bell dalam bukunya The End of Ideology adalah bahwa penyelesaian menyeluruh terhadap problem kemanusiaan yang dilakukan oleh ideologi besar tidak valid lagi. Menurut Bell, kesalahan yang dilakukan ideologi karena melakukan penyerderhanaan dan yang menyebabkan ideologi seperti terjerat lewat tema-tema mendasar yang diperbincangkan. Tesis Fukuyama menegaskan suatu hal terkait kemenangan liberal/kapitalisme AS atas Uni Soviet yang komunis, yaitu kemenangan teori liberal/kapitalis terhadap teori komunis dan sosialis yang dianggapnya sudah usang. Satu asumsi Fukuyama bahwa manusia mulai meyakini satu saja sistem kehidupan, yaitu Demokrasi Liberal ala Barat (Anglo-Saxon). Akhir sejarah dijumpai setidaknya dalam tiga titik nadir, yaitu, berakhirnya evolusi ideologi manusia, universalisasi Demokrasi Liberal ala Barat dan bentuk final pemerintahan ‘manusia. Salah satu intelektual yang melakukan kritik terhadap pemikiran the end baik yang dikemukakan oleh Daniel Bell maupun Fukuyama adalah Huttington. Menurut Huttington bahwa akhir perang dingin tidak berarti akhir persaingan ideologi, diplomatik, ekonomi, teknologi, atau bahkan militer diantara negara-negara. Hal ini tidak berarti akhir dari perebutan kekuasaan dan pengaruh.
Kata Kunci : Bell, Fukuyama, hutington, ideologi, endisme PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kita saat ini tengah berhadapan dengan kenyataan dunia berupa dominasi kekuatan kekuatan besar, baik dalam wujud ide, life style atau gaya hidup, sistem kehidupan, fisik, maupun struktural. Kapitalisme dan sosialisme (termasuk didalamnya komunisme), masing-masing kekuatan telah menunjukkan dominasi yang demikian besar terhadap perkembangan dunia. Sebelum komunis runtuh secara struktural, dunia ditarik oleh dua kutub besar itu, kutub kapitalisme disatu sisi
dan sosialisme disisi lain. Namun setelah sosialisme mengalami sekarat, dunia ditarik oleh hanya satu kekuatan saja, yaitu kapitalisme, baik yang terang-terangan maupun yang malu-malu dan terpaksa. Bila kita memperhatikan setiap bangsa atau negara yang ada di dunia saat ini khususnya negara negara dunia ketiga termasuk Indonesia, maka akan kita dapatkan bahwa mereka tak berdaya menghadapi hegemoni sang adidaya Amerika, hampir setiap sendi kehidupan bangsa ini selalu menjadikan barat atau amerika sebagai rujukan, baik dari segi
Wildan Insan Fauzi adalah dosen Jurusan Pendidikan IPS, Program Studi PPKn, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi. 1
229
wildan insan fauzi Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Hutington Mengenai Konsep The End)
ideologi, gaya hidup, okonomi, politik, kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Ideologi adalah pemikiran yang mendalam/menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, yang memancarkan sistem aturan kehidupan. Dengan kata lain bila kita berangkat dari posisi kita sebagai manusia yang hidup di alam semesta, maka ideologi adalah sebuah paradigma dasar yang mampu menjawab ada apa dibalik ketiga unsur (manusia, kehidupan, alam semesta), dan ada apa setelah kehidupan dunia ini, serta bagaimana hubungan ketiganya dengan sesuatu sebelum kehidupan dunia ini, dan setelah kehidupan dunia ini. Matinya Ideologi di bagian awal menguak ekses kemanusiaan dari pertentangan dua ideologi besar di dunia: sosialisme dan kapitalisme. Pertentangan ideologi telah menjerat dua bangsa adidaya, Soviet dan Amerika Serikat, dalam pertikaian perang dingin. Pertentangan ideologi pula yang menyebabkan terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan. “Hiduplah di tahun 1953, maka kau akan menemui dua peristiwa besar yang menyejarah: mangkatnya Stalin dan matinya ideologi,”. Suasana hening, murung dan sedih tengah terjadi di malam 5 Maret 1953. Itulah hari meninggalnya Stalin. Dunia seakan terdiam, menahan gerak. Seluruh Uni Soviet terguncang. Seusai 1953, banyak orang mulai enggan bicara sosialisme. Sosialisme tampak sekedar kontemplasi politis dan keheningan sejarah. Ia begitu eksotik sebagai perenungan tetapi bukan untuk dijalani. Pada sekitar tahun yang sama, muncul pemikiran sinis terhadap ideologi. Daniel
Bell dengan bukunya The End of Ideology. Pada musim panas tahun 1989, terbitlah sebuah artikel di jurnal The National Interest yang berjudul “The End of History“. Dalam artikel itu Francis Fukuyama berpendapat bahwa sebuah konsensus luar biasa berkenan dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai suatu sistem pemerintahan telah muncul di seluruh dunia selama beberapa tahun terakhir, setelah ia menaklukan ideologiideologi pesaingannya. Fukuyama berpendapat bahwa demokrasi liberal mungkin merupakan “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia“, dan “bentuk final pemerintahan manusia.” sehingga ia bisa disebut sebagai “akhir sejarah“. Namun, berakhirnya perang dingin, telah memunculkan isu-isu yang mempengaruhi keadaan politik dunia. Muncul pergesarean politik dunia seperti konflik agama yang berdampak pada absolutisme agama, konflik etnis, teorisme internasional, dan isu lokal lainnya telah mempengaruhi arah politik internasional. Menjadi pertanyaan menarik saat ini adalah apakah ideologi telah berakhir sebagaimana yang diungkapkan oleh Bell dan Fukuyama, atau perjuangan ideologi tersebut tidak mengenal henti? Artikel ini mencoba mengelaborasi pandgan dari Daniel Bell, Francis Fukuyama, dan Samuel Huttington megenai konsep The end of Ideologi dan The End of History”. Sebagai rumusan masalah dalam artikel ini adalah “Apa inti dari pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyamaa, dan Samuel huttington tentang ideologi selama perang dingin sampai akhii pernag dingin?” Mengingat begitu luasnya rumusan masalah tersebut, kami susun
230
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran Daniel Bell mengenai konsep The End of Ideologi? 2. Bagaimana pemikiran Francis Fukuyama mengenai The End of History? 3. Apa perbedaaan konsep The End dari Fukuyama dan Daniel Bell? 4. Bagaimana kritik Samuel Huttington mengenai konsep The End? Definisi Ideologi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2003), ideologi diartikan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup (Kamus besar bahasa Indonesia. Istilah ideologi pertama kali muncul sebagai dampak dari revolusi Prancis. The Concise Oxford Dictionary of Politics (2003) mendefisisikan ideolgi sebagai: Any comprehensive and mutually consistent set of ideas by which a social group makes sense of the world may be referred to as an ideology. … An ideology needs to provide some explanation of how things have come to be as they are, some indication of where they are heading (to provide a guide to action), criteria for distinguishing truth from falsehood and valid arguments from invalid … Set ide yang menyeluruh dan konsisten yang dengannya, suatu kelompok sosial menafsirkan (memaknai) kehidupan ini, disebut ideologi. … Ideologi perlu memberikan penjelasan tentang bagaimana seluruh eksistensi yang ada ini terjadi,
apa tujuan yang akan dicapai [dalam kehidupan ini] (untuk memberikan arahan bagi perbuatan yang perlu dilakukan), [dan] kriteria untuk membedakan perbuatan yang benar dari yang salah, serta membedakan argumentasi yang sah dari yang batil. Dari definisi tersebut, dapat ditarik beberapa butir-butir penting dari definisi ini adalah: 1. Ideologi adalah suatu set ide (konsep). 2. Ideologi memberikan suatu sudut pandang untuk menafsirkan (memaknai) kehidupan ini. 3. Ideologi memberikan penjelasan tentang bagaimana segala sesuatu itu terjadi. 4. Ideologi memberikan suatu tujuan hidup untuk mengarahkan perbuatan apa yang perlu dilakukan. 5. Ideologi memberikan kriteria untuk membedakan perbuatan yang benar dari yang salah, serta membedakan argumentasi yang sah dari yang batil. Ideologi bisa diartikan sebagai kerangka berpikir dan cara pandang normatif seseorang atau kelompok social terhadap realitas dunia agar sesuai dengan paradigma yang diidealisasikan (Suwirta, 2005: 37). Konsep ini diciptakan pada tahun 1797 oleh Antoine Destutt de Tracy yang merupakan salah seorang anggota filosof yang diberi tanggungjawab oleh konvensi revolusi menjalankan institute de France yang baru berdiri, khusus untuk menyebarkan gagasan-gagasan pencerahan (Mc Lelland, 2005: 9). De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu pengetahuan baru yang bebas dari –prasangka metafisis dan agama, namun pengertian ini kurang populer (Nuswantoro, 2001: 49). Ideologi menurut
231
wildan insan fauzi Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Hutington Mengenai Konsep The End)
Tracy bertujuan untuk memurnikan ideide dalam rangka mendapatkan kebenaran obejektif dan pikiran yang benar (Nuswantoro, 2001: 57) Nuswantoro (2001: 49) mendefiniskan ideologi sebagai seperangkat sistem yang diyakini, sebuah sistem ide yang sering dikaitakan dengan politik dan filsafat. Daniel Bell memilki definisi tersendiri mengenai ideologi. Ia mengganggap ideologi sebagai seperangkat keyakinan saja, namun juga merupakan kompleksitas ide-ide yang secara khusus menarik banyak manusia, terutama pada abad 19 (2001: 49). Daniel Bell beranggapan bahwa sebagai jalan menerjemahkan ide-ide kedalam praktek memperoleh penajaman dari Hegelisan kiri, yaitu Feurbach dan Marx (Nuswantoro, 2001: 58). Marx melalui tulisannya The German Ideologi (dalam Nuswantoro, 2001: 59-61) menganggap ideologi berkaitan dengan filsafat idealisme; atau konsepsi bahwa ide-ide itu otonom dan ide-ide itu secara independent memiliki kekuatan untuk menyibak kebenaran dan kesadaran. Daniel Bell menyatakan dewasa ini ideologi sebagai an action-oriented system of belief s= sistem keyakinan yang memotivasi orang atau kelompok masyarakat untuk bertindak dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan oleh ideologi tersebut. Dalam perpektif Marx, ideologi bukan hanya ide-ide keliru, tetapi sekaligus juga menyembunyikan kepentingan tertentu. Ideologi yang mengklaim kebenaran, dilain pihak sebenarnya merefleksikan kebutuhan dari kelompok tertentu Selinger (Mc Lelland, 2005: 157) mendefinisikan ideologi sebagai seluruh rangkaian keyakinan berorientasi aksi yang ditata dalam sebuah sistem yang koheren, mempreteli dimensi kritis konsep itu.
Menurut Bell, kekuatan dari ideologi adalah kecenderungannya untuk diikuti. Kebenaran ideologi muncul pada tindakannya, ia tidak hidup dalam perenungan, tetapi dalam tindakan. Hal yang penting dari fungsi ideologi adalah mengisi emosi seperti agama. Jika agama mewujudkan dunia ideal dalam lembarlembar firman, kidung, pengorbanan diri, juga keindahan, maka ideologi menyatukan energi-energi itu dalam politik. Suatu gerakan sosial yang memiliki ideologi dapat mempengaruhi orang ketika ia melakukan tiga hal yaitu: menyederhanakan ideide, mengklaim kebenaran, dan dengan menggabungkan kedua hal tersebut dalam praktek (hal ini memerlukan komitmen). Pemikiran Daniel Bell dan Fukuyama mengenai The End Daniel Bell adalah seorang sosiolog AS, ia lahir di New York pada 10 Mei 1919. Sejak muda ia aktif di organisasi-organisasi sosialis seperti Liga Pemuda Rakyat Sosialis pada 1932. Pada tahun 1948 ia menjadi editor majalah fortune, dan dia banyak menulis kolom-kolom tentang buruh. Pada akhirnya Bell mengabdikan diri secara penuh di Universitas Columbia dan menjadi staf pengajar di sana. Gagasan utama pemikirannya justru pada upaya diberikan seluas-luasnya individu dalam menemukan perspektif baru untuk mengatasi masalah yang dihadapi umat manusia. Meskipun pada awalanya ia tertarik pada ide-ide Marx, namun pada akhirnya ia banyak mengkritik pemikiran Marx tersebut yang dianggapnya terlalu menyederhanakan masalah. Kepitalisme pun tidak lepas dari kritknya, menurutnya kapitalisme tidak memberikan ruang bagi nilai-nilai yang ditinggikan. Logika
232
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
ekonomi pada akhirnya selalu berhasil mengerusi nilai-nilai itu Inti dari pemikiran Daniel Bell dalam bukunya The End Of Ideology adalah bahwa penyelesaian menyeluruh terhadap problem kemanusiaan yang dilakukan oleh Ideologi besar tidak valid lagi. Pengerogotan terhadap ideologi merupakan konsekuensi logis dari perkembangan modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan. Manusia sudah jenuh dengan pertikaian ideologi. Pertikaian ideologi pada akhirnya telah menjerumuskan manusia kedalam perangperang yang banyak memakan korban jiwa. Menurut Bell, kesalahan yang dilakukan ideologi karena melakukan penyerderhanaan dan yang menyebabkan ideologi seperti terjerat lewat tema-tema mendasar yang diperbincangkan. Bell menganggap bahwa-bahwa ideologiideologi abad 19, khususnya Marxisme, sebagai sebuah sistem intelektual yang telah mengklaim kebenaran atas pandangannya tentang dunia. Bagi Bell, ideologi adalah produk ”kiri” dan bukanlah hanya sebagai suatu sistem kepercayaan, tetapi sebagai kompleks khusus ide-ide dan dorongan emosi yang mewarnai abad 19. Ideologi akan mencapai konsep ”the end” ketika ideologi mengalami disorientasi, artinya ia tercerabut dari ruang dan waktu. Sebuah ideologi akan terus bertahan jika ia memiliki sifast rensposibilitas dan fleksibilitas. Responsibilitas berarti harus ada kemampuan untuk merespon segala tantangan ketika dihadapkan pada perubahan arus zaman. Fleksibilitas berarti sebuah ideologi haruslah lentur, yaitu siap dalam menghadapi setiap moment perubahan.
Dalam The End of Ideology, Bell membagi karyanya menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi kritik dan analisa Bell atas beberapa pendekatan yang keliru terhadap masyarakat Amerika dan menyoroti persoalan ideologi di era 50-an. Pada bagian kedua, ia banyak menyoal sisi kompleksitas kehidupan masyarakat AS, dan pada bagian ketiga ia memaparkan habisnya utopia: dari kegagalan sosialisme AS, mood politik tahuan 30-an sampai 50an, dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan bahwa ideologi telah berakhir di Barat. Bell banyak memberikan kritik pada teori-teori Marx, antara lain 1. Bell menolak pandangan Marx yang melihat struktur masyarakat melulu dalam ikatan ekonomi. Bell mengajukan cara pandang yang tidak banyak dilakukan oleh Marx, yaitu lewat organisasi sosial keluarga. Organisasi kelurga terdiri dari kepemilikan dan perkawinan dinasti. 2. teori Marx tidak dapat melihat realitas kapitalisme AS dengan utuh dan tidak dapat dijadikan guiding princples.. Kebijakan ekonomi AS berpegang pada teori Keynes (yang mengharuskan pemerintah ikut campur dalam mengatur investasi), Schumpeter (fungsi pemerintah bukan mengatur investasi, tetapi memberdayakan kalangan uashawan), dan Galbraith (Regulasi pasar di AS bukan berasal dari kompetisi produsen, tetapi diatur oleh tawar-menwar antara penjual dan pembeli, porsi pemerintah terdapat di dalam ikut memberi peluang pada pengembangan, bukan mengatur, dan kalau perlu menjadi kekuatan penyeimbang). Menurut Bell, perbaikan ilmiah kapitalisme AsS semakin
233
wildan insan fauzi Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Hutington Mengenai Konsep The End)
lengkap, sementara realitas terusmenerus berubah. Ideologi-ideologi kmenjadi kuno dan memerlukan revisi baru. Inti dari pemikiran The End of ideology, antara lain sbegaai berikut 1. orang tidak bisa membuat penilaian hipotesis dan mengambil kesimpulan dari mitos-mitos. Orang harus kembali pada fakta-fakta. 2. menurut Bell, kegagalan sosialisme di AS karena ketidakmampuan menyelesaikan dilema dasar etika dan politik. Gerakan sosialis menurut Bell tidak menemukan relasi kepada problem khusus di AS dan pada akhirnya juga politik dunia. Begipula menurut Werner Sombart (Nuswantoro, 2001: 118) membuat suatu kesimpulan mengapa sosialisme tidak laku di AS, yaitu karena banyaknya kesempatan bagi Individu untuk meraih apa yang diinginkan dan karena baiknya standar kehidupan. Menurut Bell, sosialisme dan juga komunisme terkunci logika sendiri sehingga tidak dapat menyelesaikan masyarakat dasar kapitalis berupa kemungkinan seluasluasnya bagi memeproleh kemakmuran tanpa mengorbankan kebebasan. 3. dalam masyarakat pragmatis seperti AS, mereka lebih condong untuk berkompromi ketika tujuan-tujuan ideologi yang doktriner bertentangan dengan realitas yang terjadi. Ideologi hanya menjadi janji-janji, retorika, dan slogan, maka mereka mulai meninggalknanya. Jika mereka tetap menggunakannya, mereka akan terjebak (Nuswantoro, 2001: 126). 4. ideologi-ideologi abad 19 memerlukan pembenaran dari para intelektual,
namun dukungan tersebut sekarang memudar dan dibarengi dengan tumbuhnya para intelektual baru yang kritis, yang mengambil posisi bersebrangan. 5. dalam dunia modern ini, dengan adanya cara pendekaran ilmiah yang realistik dalam menanggapi gejala-gejala social, tidak mungkin lagi menerima suatu teori kemasyarakatan yang sistematis guna menjelaskan kejadian-kejadian besar perkembangan bangsa-bangsa. Dengan kata lain, dalam pemikirannya, ia menolak konsepsi menyeluruh tentang masyarakat yang dapat menjelaskan semua kejadian. Dengan demikian, pendekatan ideologiideologi besar (sosialisme, komunisme, kapitalisme) tidak dapat menjelaskan lagi sesuatu secara menyeluruh, dengan demikian meskipun ideologi itu tetap ada, tetapi lambat laun akan kehilangan pendukung Melalui bukunya, The End of History and The Last Man, Fukuyama hendak mengatakan bahwa pasca perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi sejarah, Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya sosialisme, dan sebagai gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme tanpa ada kompetitornya. Lebih Lanjut, Fukuyama memaparkan bahwa runtuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet pada tahun
234
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
1989 dan 1990 yang berarti berakhirnya Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik tidak menandai apapun kecuali “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia”. Kondisi terakhir ini disebut Fukuyama sebagai “pertama kali terjadi dengan kehancuran total alternatif sistematis terhadap demokrasi liberal Barat”. Meski ia bersepakat dengan gagasan Daniel Bell yang menyatakan bahwa dunia akan mengalami deideologisasi, namun ia menolak ramalan Bell akan terjadinya korvergensi ideologis antara liberalisme dan sosialisme. Bagi Fukuyama, “kemenangan telak liberalisme politik dan ekonomi adalah bentuk final dari pemerintahan umat manusia. Pemikiran Samuel Huttington mengenai the End of Ideology Salah saru intelektual yang melakukan kritik terhadap pemikiran the end baik yang dikemukakan oleh Daniel Bell maupun Fukuyama adalah Huttington. Menurut Huttington (2005: 35), pada tahun 1988 muncul berbagai pemikiran tentang AS, salah satunya adalah teori deklinisme yang dikemukakan oleh Paul Kennedy. Teori deklinisme adalah suatu pandagan bahwa sesuatu, terutama sebuah Negara, sistem politik, atau sistem ekonomi, sedang mengalami kemunduran besar dan kemungkinan tidak dapat dipulihkan. Pada tahun 1989, teori deklinisme digantikan oleh teori dari endisme. Endisme adalah keyakinan sebentuk lingkup pengetahuan dan masa, terutama sesuatu yang negative, telah berakhir. Huttington (2005: 36) mengemukakan bahwa endisme menyatakan dirinya paling tidak dalam tiga cara, yaitu: 1. endisme mengelu-elukan berakhirnya perang dingin.
2. endisme menyatakan dirinya dalam proposisi yang lebih akademik dan umum bahwa perang diantara negara bangsa telah berakhir. Menuurt Jhon Mueller, kemajuan peradaban membuat perang jadi hal yang ketinggalan jaman seeprti halnya perbudakan dan duel yang hilang pada masyarakat maju. 3. formulasi yang diajukan oleh fukuyama yang menyatakan bahwa berakhirnya perang dingin bukan saja menandai berakhirnya perang diantara negara maju, namun juga “akhir dari sejarah”. Fukuyama menyatakan bahwa perang mungkin terjadi di antara negaranegara dunia ketiga yang masih terjerat dalam prpses sejarah. Huttigton menyatakan bahwa akhir perang dingin tidak berarti akhir persaingan ideologi, diplomatik, ekonomi, teknologi, atau bahkan militer diantara negara-negara. Hal ini tidak berarti akhir dari perebutan kekuasaan dan pengaruh. Hal sangat mungkin berarti meningkatnya instabilitas ketidapastian, dan kekerasan dalam persoalan-persoalan internasional. Hal ini bias berarti akhir dari perdamaian panjang. Salah satu pendapat yang sering dikemukakan oleh para intelektual endisme adalah keyakinan mereka pada demokrasi sebagai suatu sarana untuk bagi penyelesaian perselisihan secara damai, yang meibatkan negoisasi, kompromi, pemilihan umum dan voting. Jika demokrasi semakin menyebar, peperangan akan makin berkurang dimasa datang ketimbang masa silam. Ini merupakan argument endisme yang memiliki basis empiris yang kuat. Namun, menurut Huttington, ada tiga hal yang kurang diperhatikan oleh para pemikir endisme, yaitu:
235
wildan insan fauzi Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Hutington Mengenai Konsep The End)
1. Negara-negara demokrasi masih merupakan minoritas di anatra rezimrezim dunia. 2. jumlah Negara demokratis semakin bertambah, namun pertambahannya cenderung tak teratur dalam dua langkah kedepan, satu langkah ke belakang. 3. perdamaian di antara negara-negara demokrasi dapat dikaitkan dengan faktor-faktor luar yang kebetulan dan bukan dengan sifat demokrasi itu snediri. Secara khusus Huttington memberikan kritiknya terhadap pemkiran “akhir sejarah” dari Fukuyama. Menurut Huttington, “akhir dari Sejarah” adalah frasa yang dahsyat, dramatis, dan provokatif. Inti dari argument Fukuyama adalah anggapan adanya perubahan dalam kesadaran politik diseluruh negara besar di dunia dan munculnya sebuah konsensus yang menyebar tentang prinsipprinsip demokrasi liberal. Argument ini mendalilkan kemenangan satu ideologi dan akibatnya adalah akhir ideologi dan akhir ideologi sebagai fakta signifikan dalam eksistensi manusia. Huttington sepakat dengan pernyataan Fukuyama tentang peran ideologi sebgaai sesuatu yang dapat memotivasi dan membentuk tindakan manusia dan bangsa-bangsa dan memudarnya komunisme yang dalam konsep Brzenzinski diebut kegagalan besar. Brezezinsski (1990: 209-234) menguraikan latar belakang mengapa uni Sovyet dianggap gagal dalam menerapkan doktrin Marx sehingga mengalami keruntuhan. 1. Fusi leninis dan Marxisme dengan tradisi-tradisi Rusia yang autokratis
dan terbelakang mentransformasikan komunisme kedalam instrumen penindasan politik yang secara menantang bertentangan dengan dorongan-doronagan moralnya sendiri. 2. Munculnya dilema sistem komunisme di Uni Sovyet yang tidak dapat dipedahkan yaitu bahwa kenerhasilan ekonomi hanya dapat diperoleh dengan mengorbankan kestabilan politik, dan kestabilan politik hanya dapat dipertahankan dengan korban kegagalan ekonomi. 3. Lunturnya kepercayaan elit-elit partai kepada doktrin-doktrin komunisme dan keresahan masyarakat karena pretasi ekonomi negara-negara komunis yang buruk 4. Melemahnya posisi negera komunis dalam persaingan ekonomi dengan negara liberal yang telah maju. Salah satu faktor pemicunya adalah munculnya krisi ekologi di negaranegarank0munis 5. Kegagalan komunisme adalah kegagalan intelaktual karena salah secara mendasar dalam menilai sejarah dan kesalahan yang fatal terhadp sifat manusia. Ia tidak memperhitungkan idaman dasar manusia yaitu kemerdekaan individual, pengungkapan artistik atau spiritual diri. Marxisme-leninisem tidak mengantisipasi atau memahami kekuatan-kekuatan dasar yang telah membentuk peristiwa internasional abad 20. Namun, Huttington melihat bahwa melompat dari merosotnya komunisme ke kemenangan global liberalisme dan hilangnya ideologi sebagai sebuah
236
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
kekuatan dalam masalah dunia melupakan kekeliruan intelektual. Hal itu didasarkan pada faktor-faktor berikut: 1. kebangkitan ideologi adalah hal yang mungkin. Serangkaian gagasan atau sebuah ideologi mungkin saja memudar pamornya dalam satu generasi, namun ia bisa muncul lagi dengan kekuatan yang diperbarui satu atau dua generasi berikutnya. Pada saat ini kebangkitan agama (terutama Islam) merupakan sebuah fenomena global begitupula komunisme mungkin ambruk untuk saat ini, namun sangat tergesa untuk menganggap bahwa ia akan lenyap selamanya. 2. penerimaan universal demokrasi liberal tak menghindarkan konflikkonflik didalam liberalisme. S 3. kemenangan satu ideologi tidak menyingkirkan kemungkinan munculnya ideologi-ideologi baru. 4. benarkah demokrasi liberal telah menang? Fukuyama mengakui bahwa paham ini belum menang di dunia ketiga. Huttington melihat kecenderungan dunia saat ini untuk menengok budaya, nilai-nilai , dan pola tradisonal mereka
Ideologi tanpa akhir Huttington berpendapat bahwa sumber utama konflik didunia baru bukanlah ideologi atau ekonomi melainkan budaya. Budayalah yang kan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan (Huttington, 2005: 53). Konflik antar peradaban akan menjadi tahap terakhir dalam evolusi konflik di dunia modern. Konflik diawali konflik diantara pangeran, kemudian negara bangsa, dan terakhir perang ideologi. Perang-perang tersebut pada dasarnya merupakan konflik didalam masyarakat Barat. Dengan berakhirnya Perang Dingin, politik internasional bergerak keluar dari fase Barat, dan titik fokusnya beralih ke hubungan anatara peradaban Barat dan non-Barat. Peradaban bagi Huttington adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok orang dan identitas budaya paling luas yang dimilki oleh orang-orang yang membedakan manusia dari makhluk lain. Peradaban-peradaban besar itu antara lain peradaban barat, Konghuchu, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks-Slavik, Amerika latin, dan Afrika. Ada beberapa hal yang menyebabkkan timbulnya benturan peradaban, yaitu:
5. Argumen-argumen Fukuyama secara tidak langsung sangat dipengaruhi oleh ide Marx baik tentang negara homogen universal, lenyapnya kontradiksi, dan akhir sejarah itu sendiri.
1. perbedaaan diantara peradaban bukan hanya nyata, melainkan juga mendasar. Peradaban dibedakan satu sama lain oleh sejarah, bahasa, kebudayaan, tradisi, dan paling penting agama.
6. endisme memilki dua kesalahan berpikir, pertama, endisme terlalu menekankan bisa ditebaknya sejarah dan permanennya momen itu. Kedua, endisme cenderung mengabaikan kelemahan dan ketidakrasionalan watak manusia.
2. dunia menjadi sebuah tempat yang lebih kecil. Hubungan timbal balik yang terjadi di antara masyarakat dari peradaban yang berbeda semakin meningkat yang menguatkan kepekaan akan perbedaan diantara peradaban.
237
wildan insan fauzi Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Hutington Mengenai Konsep The End)
3. proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial diseluruh dunia memisahkan manusia dari identitas lokal yang sudah ada. Hal tersebut menyebabkan terjadinya krisis identitas yang pada akhirnya melahirkan gerakan fundamentalis. 4. meningkatnya kesadaran-kesadaran diperkuat peran ganda Barat yang meningkatkan gerakan ”kembali ke akar”. 5. karakteristik dan perbedaaan budaya tidak mudah dipadamkan dan dengan demikian tidak mudah dikompromikan dan dipecahkan dibandingkan perbedaan dalam ekonomi dan politik. 6. peningkatan ekonomi.
dalam
regionalisme
Huttington melihat interaksi dewasa ini antara Islam dan barat sebagai suatu benturan peradaban (2005: 65). Hal tersebut dapat dilihat dari apa yang disebut konflik kepentingan. Pertarungan demi berbagai kepentingan itu bisa mengakibatkan konflik militer. Konflik kepentingan dapat terjadi di antara dua peradaban, tetapi juga bisa terjadi antara dua negara atau dua bangsa yang berperadaban sama. Ketika AS menginvasi Kawasan Teluk, mendudukinya, dan memperluas pengaruhnya, hingga berhasil memperkokoh kedudukannya, maka tujuan utama sesungguhnya bukanlah membebaskan Kuwait. Yang terjadi sebenarnya adalah pertempuran demi memperebutkan ladang-ladang minyak serta menancapkan pengaruh dan kekuatan militernya di sana. Sebagaimana pernyataan salah satu pejabat AS, “Kami datang untuk memperbaiki kekeliruan Tuhan.” Yang dimaksud dengan “kekeliruan Tuhan” adalah keputusan-Nya
menciptakan minyak bumi yang melimpah di kawasan Teluk, bukannya di negaranegara Barat. Setiap orang tahu, bahwa Irak, Kuwait, dan Kawasan Teluk lainnya merupakan kawasan yang berada dalam pengaruh Inggris pada saat invasi itu terjadi. Jadi, sesungguhnya telah terjadi pertarungan politik dan ekonomi antara AS dan Inggris, meski kedua negara tersebut mempunyai peradaban yang sama, yaitu kapitalisme. Pada saat yang sama, terjadi pula pertarungan politik, ekonomi, dan militer antara AS dengan kaum Muslimin; antara AS yang menganut kapitalisme dengan kaum Muslimin yang meninggalkan peradabannya dan sebagian besar konsepkonsepnya. Pertarungan AS melawan kaum Muslimin selama ini dilakukan berdasarkan konsep peradaban mereka, yaitu menduduki negara yang lebih lemah dan mendominasi seluruh sumberdayanya. Konflik ini berulang kembali, pada saat AS menduduki Asia Tengah baru-baru ini. Sementara pertarungan AS dengan Inggris dilakukan berdasarkan konsep yang berbeda dengan konsep yang diberlakukan AS terhadap negara-negara Arab. Pertarungan dengan Inggris perlu dilakukan, karena – menurut konsepnya – mereka harus menjadi satu-satunya negara yang memimpin Tata Dunia Baru dan dalam mengeruk sumberdaya negaranegara lemah. Pertarungan demi kepentingankepentingan ekonomi ada sejak zaman dulu. Dan sekarang pertarungan itu semakin terorganisasi, komprehensif, destruktif, dan mengerikan, Hal ini ditunjukkan dengan berbagai bentuk praktik kapitalisme – terutama oleh,
238
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
Amerika Serikat – antara lain:
apa yang mereka sebut globalisasi, privatisasi, dan investasi modal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa.
1. penguasaan bahan-bahan mentah di mana pun dan kapan pun adanya. 2. menggantikan emas dengan dollar sebagai mata uang dunia. 3. terus menjadikan negara-negara berkembang sekedar sebagai pasar konsumsi, dengan selalu mencegah mereka dari upaya mengembangkan industri berat dan bahkan, berbagai industri ringan. 4. menenggelamkan berbagai negara berkembang dengan jerat hutang berbunga melalui IMF dan Bank Dunia. Bahaya jerat hutang ini sangat jelas kelihatan. 5. menarik kalangan profesional dan intelektual yang tidak menemukan atau tidak puas dengan posisi mereka di negara asalnya, agar mereka beremigrasi ke negara-negara Barat. 6. merumuskan berbagai kebijakan ekonomi dan pembangunan yang disetir oleh IMF, yang mengakibatkan lemahnya tingkat keamanan pangan berbagai negara berkembang, hingga mereka menggantungkan diri mereka dengan berbagai bantuan, grant, dan pinjaman dari Barat, meski sebelumnya mereka berhasil melakukan swasembada pangan. 7. menciptakan perang-perang regional untuk memaksa sejumlah negara membeli senjata dan perlengkapan perang dari Barat 8. berusaha menciptakan suasana tidak aman di berbagai negara, agar terjadi pelarian modal ke negara-negara Eropa dan Amerika yang aman, 9. penguasaan berbagai kepentingan ekonomi di berbagai negara melalui
10. mengirim dan menempatkan tentara di wilayah-wilayah konflik dengan tujuan untuk memperluas pengaruhnya, 12. berupaya memecah-belah dunia menjadi negara-negara kecil yang lemah dengan alasan kemerdekaan, agar mereka mudah dikuasai dan dikendalikan. 13. menyebarluaskan budaya dan konsepkonsep peradaban mereka, dengan tujuan untuk mempertahankan dominasinya atas negara yang lemah dan menjauhkan ummat yang tertindas dari pemikiran tentang perlunya perubahan dan pembebasan dari cengkeraman mereka. 14. menerapkan sanksi terhadap negaranegara tertentu, seperti halnya sanksi AS terhadap Irak. AS, melalui Dewan Keamanan PBB, Kesimpulan Daniel Bell memiliki definisi tersendiri mengenai ideologi. Ia mengganggap ideologi sebagai seperangkat keyakinan saja, namun juga merupakan kompleksitas ide-ide yang secara khusus menarik banyak manusia, terutama pada abad 19 (2001: 49). Daniel Bell beranggapan bahwa sebagai jalan menerjemahkan ide-ide kedalam praktek memperoleh penajaman dari Hegelisan kiri, yaitu Feurbach dan Marx. Menurut Bell, kekuatan dari ideologi adalah kecenderungannya untuk diikuti. Kebenaran ideologi muncul pada tindakannya, ia tidak hidup dalam perenungan, tetapi dalam tindakan.
239
wildan insan fauzi Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Hutington Mengenai Konsep The End)
Inti dari pemikiran Daniel Bell dalam bukunya The End Of Ideology adalah bahwa penyelesaian menyeluruh terhadap problem kemanusiaan yang dilakukan oleh Ideologi besar tidak valid lagi. Menurut Bell, kesalahan yang dilakukan ideologi karena melakukan penyerderhanaan dan yang menyebabkan ideologi seperti terjerat lewat tema-tema mendasar yang diperbincangkan. Ideologi akan mencapai konsep ”the end” ketika ideologi mengalami disorientasi, artinya ia tercerabut dari ruang dan waktu. Sebuah ideologi akan terus bertahan jika ia memiliki sifast rensposibilitasn dan flesibilitas. dalam dunia modern ini, dengan adanya cara pendekaran ilmiah yang realistik dalam menanggapi gejalagejala social, tidak mungkin lagi menerima suatu teori kemasyarakatan yang sistematis guna menjelaskan kejadian-kejadian besar perkembangan bangsa-bangsa. Tesis Fukuyama ini menegaskan suatu hal terkait kemenangan liberal/kapitalisme AS atas Uni Soviet yang komunis, yaitu kemenangan teori liberal/kapitalis terhadap teori komunis dan sosialis yang dianggapnya sudah usang. Ini terbukti dengan adanya negara-negara yang dahulu menerapkan teori komunisme seperti China dan Rusia sebagai pewaris Uni Soviet telah meliberalisasikan perekonomiannya guna mensejahterakan rakyat mereka, walaupun China mempunyai nama tersendiri untuk liberalisasi ekonominya, yaitu liberal sosialis dan rusia yang telah membuka pasarnya dengan dunia luar khususnya dengan barat (AS). Namun belakangan ini Liberalisme dan kapitalisme sedang mendapati masalah besar, seiring terjadinya krisis finansial di AS akhir 2007 yang dinamakan Subprime
Mortgage atau kredit macet yang dialami oleh perumahan kelas dua di AS telah membuat ekonomi AS goncang bahkan dunia pun ikut terkena dampaknya. musuhnya dalam Perang Dingin dulu. Banyak pakar dan masyarakat internasional berpendapat, bahwa krisis kali ini merupakan kegagalan ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar bebas yang diterapkan AS, sehingga mereka beranggapan bahwa ini adalah akhir dari rezim kapitalisme. Terkoreksinya pasar bebas di AS menandakan ada yang tidak “beres” dengan sistem itu, sebelumnya, bahkan jauh dari krisis ini, Goerge Soros, seorang ekonom telah memprediksikan akan terjadinya krisis dan ia pun mengkritik sistem kapitalisme saat ini yang menurutnya sudah keluar koridor. Tesis Fukuyama (The End of History and the Last Man) saat ini mendapati sebuah masalah validitas, itu terjadi karena akibat krisis ekonomi global yang bermuara di AS menyebabkan terkoreksinya sistem ekonomi pasar bebas dan beberapa masyarakat serta para ekonom berprediksi ini merupakan akhir dari kapitalisme (The End of Capitalism). Salah saru intelektual yang melakukan kritik terhadap pemikiran the end baik yang dikemukakan oleh Daniel Bell maupun Fukuyama adalah Huttington. Teori deklinisme adalah suatu pandagan bahwa sesuatu, terutama sebuah Negara, sistem politik, atau sistem ekonomi, sedang mengalami kemunduran besar dan kemungkinan tidak dapat dipulihkan. Pada tahun 1989, teori deklinisme digantikan oleh teori dari endisme. Endisme adalah keyakinan sebentuk lingkup pengetahuan dan masa, terutama sesuatu yang negative, telah berakhir.
240
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
Huttigton menyatakan bahwa akhir perang dingin tidak berarti akhir persaingan ideologi, diplomatik, ekonomi, teknologi, atau bahkan militer diantara negara-negara. Hal ini tidak berarti akhir dari perebutan kekuasaan dan pengaruh. Secara khusus Huttington memberikan kritiknya terhadap pemkiran “akhir sejrah” dari Fukuyama. Menurut Huttington, “akhir dari Sejarah” adalah frasa yang dahsyat, dramatis, dan provokatif. Inti dari argument Fukuyama adalah anggapan adanya perubahan dalam kesadaran politik diseluruh negara besar di dunia dan munculnya sebuah konsensus yang menyebar tentang prinsip-prinsip demokrasi liberal. Argument ini mendalilkan kemenangan satu ideologi dan akibatnya adalah akhir ideologi dan akhir ideologi sebagai fakta signifikan dalam eksistensi manusia. Namun, Huttington melihat bahwa melompat dari merosotnya komunisme ke kemenangan global liberalisme dan hilangnya ideologi sebagai sebuah kekuatan dalam masalah dunia melupakan kekeliruan intelektual. Huttington berpendapat bahwa sumber utama konflik didunia baru bukanlah ideologi atau ekonomi melainkan budaya. Budayalah yang kan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan (Huttington, 2005: 53). Konflik antar peradaban akan menjadi tahap terakhir dalam evolusi konflik di dunia modern. Konflik diawali konflik diantara pangeran, kemudian negara bangsa, dan terakhir perang ideologi. Perang-perang tersebut pada dasarnya merupakan konflik didalam masyarakat Barat.
REFERENSI Ahmed, S. dan Abid Karim. 1997. Akar Nasionalisme di Dunia Islam. Al izzah, bangil. Az Zein, S. A. 1981. Syariat Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial, Sebagai Studi Perbandingan (terj.). Penerbit Husaini, Bandung. Banks, J.A. (1985). Teaching strategies for the social studies. New York: Longman Buchori, Muchtar, (1995) Transformasi Pendidikan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan-IKIP Muhammadiyah. Bertens, K. (1998). Ringkasan Sejarah Filsafat. PT. Kanisius: Yogyakarta. Brzezinski, Zbigniew. (1990). Kegagalan Besar: Muncul dan Runtuhnya Komunisme dalam Abad ke dua Puluh. Bandung: Rosda Karya Djahiri, H.A.Kosasih. (1990). Menulusuri Dunia Afektif; Lab.PPKN UPI Ebenstein, Wiliiam Dkk. (1994). IsmeIsme Dewasa Ini. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama Strahm, R. H. 1999, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang. Penerbit PT pustaka, Jakarta CIDESINDO. Huntington, Samuel P.1994. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Harvard University, AS. Huntington, Samuel P. (2005). Tak Ada Jalan keluar: Kesalahan-Kesalahan Endisme. Foreign Affairs: Washington Kuntowijoyo (2004). Mentalitas Bangsa Klien . dalam KOMPAS, 23 Desember 2004 Mc Lelland, David. (2005). Ideologi tanpa Akhir. Kira Wacana: Yogyakarta
241
wildan insan fauzi Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir (Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan Samuel Hutington Mengenai Konsep The End)
Magnis-Suseno,F. 1999. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosilisme Utupis ke Perselisihan Revisionisme. Penerbit PT Gramedia Pustaka utama, Jakarta. Nuswantoro. (2001). Daniel Bell: Matinya Ideologi. Indonesia Tera: Magelang Prayitno. (1984). Nilai dan pendidikan. Kertas kerja seminar pendidikan nilai, anjuran Pusat Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Dikbud. Suseno, Fanz magnis. (2003). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialis Utopis ke perselisihan Revisionis. Jakarta: PT Gramedia.
Suwirta, Andi. (2005). Sejarah Intelektual. Bandung: Penerbit Suci Press Tamburaka, Rustam. (1999). Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan IPTEK. PT Rineka Cipta:Jakarta. Wiriaatmadja, R . (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia. Bandung: Historia Utama Press. Zallum, A. 1999. Serangan Amerika. Penerbit Thariqul Izzah. Jakarta
242