Ambigu Posisi Suami dalam Masa Reproduksi Perempuan dan Strategi Tokoh Pesantren dalam Upaya Pelibatan Laki-laki1 Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah 2 Abstrak Artikel yang didasarkan pada data penelitian tahun 2013 di Situbondo ini akan mendeskripsikan tentang strategi kultural dalam upaya pelibatan laki-laki dalam proses reproduksi yang dijalani perempuan, khususnya di masa persalinan. Upaya ini secara khusus dilakukan oleh seorang tokoh agama berbasis pesantren di Desa Tegalampel Bondowoso. Peran laki-laki (baca: suami) pada masa reproduksi yang dijalani perempuan pada umumnya berada dalam peran yang ambigu. Di satu sisi, pengambilan keputusan terkait berbagai hal yang mempengaruhi status kesehatan perempuan dalam menjalani peran kodratinya ditempatkan sebagai hal yang utama. Perempuan bukan pengambil keputusan untuk kesehatan reproduksi dan bayinya. Namun di sisi lain, laki-laki kerapkali menganggap/dianggap tidak penting turut serta dalam setiap tahap masa reproduksi yang dijalani pasangannya. Proses reproduksi dianggap sebagai tanggung jawab perempuan, sebagai pemilik atas rahim, dan dianggap berada di luar diri laki-laki. 1
2
Proses penelitian dan pengambilan data penelitian ini dilakukan bersama dengan Kartini Tilawati, Peneliti dan Pengajar Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam Penelitian tentang Men Care kerjasama PSKG PPs UI dengan RutgersWPF. Pusat Riset Gender Pascasarjana Universitas Indonesia Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 187
Dalam konteks ini, laki-laki yang mengharapkan janin yang berada di kandungan istrinya tumbuh sehat melakukan berbagai hal positif. Namun pada sebagian laki-laki lain yang mengamini posisi di atas, tidak menyadari akan keharusan keterlibatan dirinya dalam proses penting tersebut. Hal ini terefleksi dari sebagian masyarakat Bondowoso yang masih mempertahankan situasi tersebut. Melihat situasi ini, seorang tokoh agama pesantren bekerja sama dengan bidan dalam upaya memastikan laki-laki hadir dan siaga saat istrinya melakukan persalinan. Melalui kekuatan kultural sang kiai, strategi yang dilakukan menjadi proses penting yang dapat direfleksikan dalam upaya memastikan Angka Kematian Ibu menurun, bahkan sampai pada angka nol. Kata kunci : Strategi kultural, tokoh agama, AKI, pelibatan laki-laki Prolog Artikel yang didasarkan pada data penelitian tentang Men Care tahun 2013 di Situbondo ini akan mendeskripsikan strategi kultural yang dibangun oleh seorang tokoh agama berbasis pesantren pada masyarakat Desa Tegalampel Bondowoso dalam upaya pelibatan laki-laki untuk melakukan pendampingan di masa persalinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode pengambilan data dalam bentuk observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan dalam dua bentuk, yaitu wawancara mendalam pada tiga kategori informan, yaitu tokoh agama, petugas kesehatan, dan media, sedangkan wawancara kelompok (focus group discussion) dilakukan pada dua kategori informan, yaitu kategori laki-laki muda yang belum dan sudah menikah; dan kategori perempuan muda yang belum dan sudah menikah.
188 | Prosiding PKWG Seminar Series
Meneropong Kondisi Kesehatan Reproduksi dan AKI Kabupaten Bondowoso merupakan daerah dengan capaian kesehatan reproduksi yang masih membutuhkan perhatian khusus. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Timur tahun 2011 yang dipublikasi melalui website resmi provinsi, angka kematian Ibu di kedua kabupaten ini masih terbilang tinggi, yaitu 147,98 per 100.000 kelahiran hidup di Bondowoso. Angka ini masih jauh diatas target RPJMN tahun 2014 sebesar 118 per 100.000 kelahiran hidup, dan dari target MDG’s sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015. Dalam perbandingan di tingkat provinsi, jumlah AKI di kabupaten ini juga masih di atas rata-rata jumlah AKI Provinsi Jawa Timur tahun 2011, yaitu 104,30 per 100.000 kelahiran hidup1. Tingginya angka kematian ibu ini, menurut Laporan Kematian Ibu (LKI) Kabupaten/Kota se Jawa Timur Tahun 2011, penyebab terbesar karena perdarahan (29,35 %). Sedangkan penyebab AKI yang lain adalah pre/eklamsia (27,27%), jantung (15,47 %) infeksi (6,06%) dan lain-lain (21,85%)2. Angka lahir mati pada bayi di Bondowoso adalah 16,82 per 1000 kelahiran, atau 185 kasus kematian dari 10.997 kelahiran3. Angka kematian bayi lahir ini masih belum menggambarkan jumlah yang sesungguhnya, mengingat masih adanya persalinan di luar tenaga kesehatan terlatih. Dukun bayi masih membantu persalinan, khususnya di daerah pedesaan dimana akses pada tenaga medis masih sulit. Hal ini terlihat juga dalam profil kesehatan Provinsi Jawa Timur, disebutkan bahwa kelahiran dengan bantuan dukun masih terjadi di Jawa timur, yaitu sebesar 2,4 %, sedangkan kelahiran dengan dibantu bidan yang masih belum terlatih APN (Asuhan Persalinan Normal) sebesar 45,04 %, beberapa kabupaten masih tidak memiliki bidan KIT dari alokasi pemerintah (43,05 %), serta persoalan rasio tenaga kesehatan dan penduduk yang masih cukup besar.4
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 189
Selain persoalan tenaga “Daerah Depak [nama desa di medis yang membantu Bondowoso] Depak itu jalannya persalinan, persoalan jalan sulit, nah seharusnya kan disitu yang mempermudah akses karena apa, akses, manfaat di perempuan menuju layanan situ. Kalau kota rata-rata kesehatan masih belum jalannya enak mas, apalagi ke seluruhnya baik. Di Tamanan. Tamanan itu desa tapi Bondowoso, untuk daerah jalannya enak, bapak bisa perkotaan kondisi jalan langsung ke Taman Sempol sudah dapat dibilang bagus, misalkan, di sana juga namun di beberapa daerah di fasilitasnya minim” pedesaan, akses jalan masih (FGD, Laki-laki, Bndw) sangat sulit. Bahkan, untuk mencapai rumah bidan harus ditempuh selama dua jam perjalanan atau empat jam perjalanan PP dengan kondisi jalan yang tidak baik. Hal ini menjadi salah satu alasan perempuan terpaksa bersalin dengan bantuan dukun terdekat5. Di Kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan beretnis Madura dan sebagian Jawa ini masih banyak yang menikahkan anak-anaknya di usia kurang dari 20 tahun. Adalah hal biasa seorang anak yang masih sekolah dijodohkan. Menurut bidan Sri, perkawinan di bawah umur ini banyak dialami anak-anak usia sekolah SMP, bahkan di usia Sekolah Dasar (SD). Banyak diantaranya dijodohkan di kalangan antara keluarga. Salah satu faktornya adalah karena pertimbangan ekonomi “Karena kita sebagai kaum wanita, (wwcr, Nakes, Sri). kan istilahnya menghargai, masa’ Praktik budaya ini perlu seorang laki-laki sudah mencari ditelisik lebih dalam nafkah, sudah mencukupi keluarga saya, masa’ masih harus masak, karena dapat menjadi nyapu, tidak seperti itu. Istilahnya, penyumbang angka perempuan itu hanya melengkapi. kematian ibu di Seperti itu, yang ada di lingkungan Bondowoso. saya.” (FGD, Perempuan, Bndw)
190 | Prosiding PKWG Seminar Series
Peran Gender dan Dilema Keterlibatan Laki-laki Secara umum pembagian peran gender di Bondowoso masih memisahkan peran produksi dan reproduksi secara jenis kelamin. Kerja produksi di ruang public menjadi ranah laki-laki, sedangkan perempuan di ranah domestic. Meskipun demikian, segregasi peran gender sudah tampak dinegosiasikan dengan terlibatnya perempuan di ranah public dan kontribusinya secara ekonomi dalam keluarga. Pencari nafkah tidak lagi didominasi oleh laki-laki. Perempuan telah turut terlibat. Situasi ini berimplikasi pada perubahan peran gender yang terjadi dalam keluarga-keluarga yang ada. Setidaknya, terdapat empat farian pembagian peran gender yang dipraktikkan dalam realitas kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan, yaitu (1) secara kaku menjalani peran masing-masing jenis kelamin, (2) mulai berbagi peran dalam pengasuhan anak, (3) berbagi peran produksi dan reproduksi, dan (4) perempuan menjalani beban ganda.
“Di masyarakat itu kerja perempuan itu biasa ya di dapur, mencuci, menyapu sama tugas-tugas rumahlah.. (anakanak) lebih banyak ibunya, mungkin kalau saya presentasikan 70 lawan 30, 70 seorang ibu, 30 bapak. Yang biasanya yang sering saya lakukan seperti itu, bagi tugas dengan ibu, misalnya mengantar ke madrasah, bermain di lingkungan rumah.. PR nya itu.” (FGD, Laki-laki, Bndw).
Meskipun telah mulai terlihat adanya pola-pola pembagian peran reproduksi, namun pemisahan peran gender tersebut tampak masih dipertahankan. Hal ini bukan hanya karena lakilaki telah memposisikan dirinya bertugas sebagai pencari nafkah utama, namun juga karena perempuan menghargai peran laki-laki tersebut. Perempuan (juga laki-laki) masih menilai pekerjaan publik sebagai pekerjaan yang memiliki beban lebih berat ketimbang pekerjaan domestik, meskipun praktiknya pekerjaan domestik menuntut waktu dan tenaga yang lebih panjang dan terus menerus. Perempuan merasa Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 191
enggan menarik laki-laki untuk terlibat dalam aktifitas terkait peran-peran reproduksi, meskipun pada dasarnya perempuan mengharapkannya. Dalam masyarakat pedesaan, fenomena ini terjadi cukup ketat pada keluarga petani kelas menengah ke atas. Perempuan sama sekali tidak terlibat dalam aktifitas di lahan sawah. Ketika perempuan mencoba keluar dari batas peran gendernya, misalnya ikut bekerja di sawah, memanam bibit, memupuk, atau memanen (sebagaimana kebanyakan buruh tani perempuan lakukan), maka suami akan marah dan menyatakan bahwa itu bukan tugasnya.6 Itu artinya, keluarnya perempuan dari batas pakem peran gender dapat memicu konflik dalam relasinya dengan suaminya. Dalam pengakuan sebagian laki-laki Bondowoso, sebenarnya mereka tidak keberatan ikut terlibat dalam kerja reproduski di ranah domestik, apalagi jika istri adalah perempuan yang “Gini bu ya, di keluarga saya itu ya, saya bekerja di luar rumah. sama suami kan tinggal satu rumah, Selain karena laki-laki beda dari mertua, beda dari orang tua. merasakan beban Kalau pagi tuh sama-sama kerja, ngajar nafkah yang di SMP Tlogosari, nanti kalo sudah diembannya menjadi pulang dari kerja, ya dibantu. Saya lebih ringan karena dibantu meskipun saya masak, suami itu ada sharing income kadang ngepel, kadang suami itu nyapu, tapi masalah nyuci itu suami memang dengan istri, juga ndak pernah, kecuali nyuci selimut, karena laki-laki seperti yang tebel-tebel, ya gitu” (FGD, melihat tugas dan Perempuan, Bndw) peran istri yang bertambah. Namun keinginan laki-laki terlibat dalam ranah reproduksi mengalami hambatan. Hambatan tersebut muncul dari dalam diri laki-laki dan dari luar diri laki-laki. Hambatan dari dalam diri laki-laki yang kerap mengurungkan niat lakilaki terlibat dalam kerja reproduksi adalah anggapan tugastugas domestik tidak pantas dilakukan laki-laki. Selain itu, harga diri laki-laki kerap dipertaruhkan dan diusik jika harus 192 | Prosiding PKWG Seminar Series
mengerjakan pekerjaan ‘perempuan’. Terkait harga diri tersebut, pada dasarnya berhubungan dengan respon masyarakat di luar diri laki-laki, diantaranya stigma ‘laki-laki budak istri’, merusak nama baik istri, dan menjadi bahan gunjingan tetangga/perendahan harga diri laki-laki. Pertama, persoalan yang memberatkan “sebenarnya bukan keberatan seorang suami membantu tugas istri itu, tapi keterlibatan laki-laki dengan tuntutan itu kita akan merusak berkontribusi di ranah nama baik istri, seperti yang domestik adalah disampaikan oleh mas tadi, kalau ada adanya anggapan sebagian...ini Jawa Timur ya...khususnya negatif bagi laki-laki Bondowoso, kalau kita mengerjakan itu yang melakukan kerjapas ada tetangga itu ya pasti (bilang), kerja reproduksi. Di istrinya yo opo.. suaminya disuruh. Nah Bondowoso dikenal itu yang kami pikirkan, yang akan jadi istilah ‘budak istri’ omongan tetangga, bukan kami keberatan melakukannya, dengan yang biasanya membantu kita kadang-kadang dilekatkan pada lakimencemarkan nama baik seorang istri” laki yang membantu (FGD, Laki-laki, Bndw) istrinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menjemur, memasak, atau menjaga anak7. Stigma negatif ini menjadi pertimbangan berat laki-laki yang ingin membantu beban istri. Apalagi dalam budaya Madura di Bondowoso, laki-laki memiliki kedudukan yang cukup dimuliakan dalam keluarga, terkait posisinya sebagai kepala rumah tangga, sekaligus sebagai pemimpin bagi keluarga. Karena itulah, bagi sebagian lak-laki yang memiliki kepedulian dalam urusan rumah tangga memilih melakukan hal-hal yang ‘tidak terlihat’ oleh masyarakat sekitarnya, seperti memasak, menyetrika, atau membersihkan kamar. Sedangkan menjemur pakaian, menyapu, dan mencuci (masih banyak masyarakat yang mencuci di sungai) adalah aktifitas yang dihindari karena mudah dilihat oleh masyarakat sekitarnya.
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 193
Kedua, keterlibatan laki-laki dalam peran domestik menimbulkan kekhawatiran laki-laki dapat merusak nama baik istri sebagai istri yang ideal dimata masyarakat. Dalam konsepsi masyarakat Bondowoso yang kuat tradisi pesantren, istri yang baik adalah istri yang taat dan patuh pada suami. Tidak memerintah suami dan tidak mendominasi suaminya. Keterlibatan suami dalam kerja reproduksi dilihat sebagai sebuah kesalahan dan arogansi istri, bukan dilihat sebaliknya, sebagai bentuk kepedulian laki-laki dalam keluarga. Alasan ketiga yang diungkapkan laki-laki Bondowoso terkait ikut berkontribusinya laki-laki dalam kerja domestik adalah munculnya gosip dan pergunjingan di kalangan masyarakat sekitar tentang keluarganya. Relasi gender yang tidak semestinya menjadi salah satu bahan pergunjingan dan terkadang memicu konflik di antara keluarga itu sendiri. Terkadang pergunjingan semacam ini memicu persoalan ke ranah keluarga yang lebih luas, menghubungkannya dengan hubungan-hubungan kekeluargaan dan status keluarga. Perubahan peran gender ini juga dapat mengakibatkan keperkasaan laki-laki dipersoalkan, laki-laki dianggap tidak mampu atau lemah. Pergunjingan ini akan semakin merendahkan laki-laki ketika laki-laki tidak hanya berkontribusi dalam kerja reproduksi, namun bertukar peran dalam rumah tangga. Sebagai pihak yang diharapkan mampu mencari nafkah dan menghidupi ekonomi keluarga, laki-laki diposisikan harus memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Apabila bertukar peran dan laki-laki tidak bekerja mencari nafkah dan tidak memiliki penghasilan ekonomi, stigma negatif akan dilekatkan kepada dirinya, tidak hanya mempertaruhkan harga dirinya, namun juga keluarganya. Kesehatan Reproduksi Perempuan yang Terpasung Pembagian peran gender semacam ini secara langsung dan tidak langsung berdampak pada status kesehatan reproduksi perempuan. Dalam pemahaman masyarakat secara umum, perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab 194 | Prosiding PKWG Seminar Series
terhadap tubuh dan rahimnya. Apa yang terjadi dalam rahim perempuan dan konsekuensi dari proses tersebut adalah tanggung jawab perempuan. Kehamilan yang dinanti namun tidak kunjung terjadi menjadi bagian dari kesalahan perempuan. Kehamilan yang bermasalah adalah karena perempuan. Kelahiran dengan bayi yang tidak sehat akan dihubungkan dengan perilaku dan sikap perempuan di masa pra kehamilan atau saat kehamilan, bahkan saat perempuan masih belum menikah. Dalam pemahaman ini, laki-laki seakan-akan menempatkan tubuh perempuan sebagai ‘milik’ perempuan. Laki-laki cenderung memilih untuk tidak terlibat banyak dalam hal-hal terkait tubuh perempuan, khususnya terkait organ reproduksinya perempuan. Secara umum, tidak banyak laki-laki yang memperhatikan persoalan perencanaan kehamilan dan alat kontrasepsi. Dalam mengambil keputusan untuk pengaturan kehamilan, baik pilihan alat kontrasepsi yang digunakan maupun pilihan kapan kehamilan direncanakan. Setidaknya terdapat tiga cara yang umum terjadi di masyarakat Bondowoso, yaitu pertama, ditentukan suami, alasan yang diungkapkan lebih mengedepankan alasan tentang tanggung jawab laki-laki dalam keluarga. Dari perspektif perempuan, izin penggunaan alat kontrasepsi haruslah di tangan suami, bukan atas kehendak istri. Cara kedua adalah ditentukan istri. Alasan mengapa ditentukan istri, menurut laki-laki karena istrilah yang akan menjalani kehamilan tersebut dan merasakan suka duka (repotnya) memiliki bayi. Keputusan ada di tangan istri ini juga dikarenakan beberapa laki-laki tidak mempedulikannya sementara itu perempuan cukup khawatir jika mengalami kehamilan dengan jarak yang terlalu dekat atau kehamilan yang tidak diharapkan. Dalam praktiknya, meskipun menjadi keputusan perempuan, namun seringkali harus melalui persetujuan suami. Cara ketiga adalah dengan cara diputuskan bersama antara suami dan istri. Dalam praktiknya, cara ini kebanyakan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 195
berangkat dari inisiatif perempuan, kemudian dibicarakan bersama dengan suami. Suami akan memberikan masukan dan pertimbangan, meskipun pada umumnya, akhir dari proses ini terkadang diserahkan kepada perempuan karena alat kontrasepsi yang dipertimbangkan bukan untuk laki-laki. Dari ketiga cara tersebut, cara kedua adalah cara yang paling banyak terjadi di masyarakat. Akan tetapi keputusan di tangan perempuan kebanyakan bukan karena memposisikan perempuan sebagai subyek atas kontrol tubuhnya, namun pada umumnya lebih didasarkan pada ketidakpedulian lakilaki dalam persoalan ini. Dalam menghadapi masalah menstruasi dan resiko yang timbul dari penggunaan alat kontrasepsi, pada umumnya perempuan menangani sendiri. Dalam masyarakat Bondowoso, para suami melihat alat kontrasepsi adalah urusan perempuan karena terkait dengan apa yang akan terjadi pada rahim perempuan. Terlalu sedikit laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi. Dalam data Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, kondom dan vasektomi tidak menjadi pilihan utama, bahkan tidak sebagai pertimbangan8. Salah satu alasan tidak digunakannya kondom karena sebagian laki-laki mengaku pernah mencobanya namun kemudian menganggapnya dapat mengurangi kualitas dari hubungan seksualnya dengan istrinya9. Karena itulah dapat dipahami mengapa pilihan alat kontrasepsi perempuanlah yang lebih digunakan. Dari pengalaman yang ada, alat kontrasepsi yang paling diminati adalah suntik dan pil. Informasi ini tampak sejalan dengan data kesehatan yang ada, dimana di tahun 2011, akseptor KB terbanyak adalah perempuan dan pilihan alat kontrasepsi yang paling banyak dipilih adalah suntik (38%), baru kemudian pil (26,28%) sementara akseptor kondom hanya sebanyak 1% dan vasektomi hanya 1,88% saja.10 Tanggung jawab menjarakkan kehamilan, pada umumnya dianggap sebagai tanggung jawab bersama, namun secara 196 | Prosiding PKWG Seminar Series
khusus, perempuan sendiri merasa lebih bertanggung jawab atas persoalan penjarakan kehamilan. Alasan utama yang diungkapkan adalah karena perempuan lebih mempertimbangkan dan mengkhawatirkan berbagai permasalahan yang dihadapinya sebagai konsekuensi atas kehamilan yang terjadi, seperti masa kehamilan yang tidak selalu nyaman, persalinan, dan perawatan pada bayi. Pertimbangan-pertimbangan yang ada tersebut lebih mempertimbangkan pada hubungannya dengan peran gender yang menjadi beban perempuan. Tidak ada satupun yang menjelaskan alasan tanggung jawab penjarakan kehamilan dengan persoalan hak perempuan atas tubuhnya dan pertimbangan kesehatan organ reproduksi perempuan. Dalam hal persalinan, pihak yang memutuskan kelahiran akan dibantu pihak tenaga kesehatan atau bukan; atau merujuk tenaga medis yang mana, kerap kali bukan di tangan perempuan sendiri. Keputusannya kadangkala di tangan suami, kadangkala di tangan orang tua, atau bahkan diputuskan keluarga besar. Namun jika diurutkan, maka pengambilan keputusan melahirkan lebih dominan ditentukan oleh orang tua pihak perempuan. Suami seringkali berada di urutan berikutnya, “waktu saya masih di desa dulu sedangkan perempuan itu, ya…meskipun gak di desa justru jarang ditanya. disini juga gitu sih yang lahir 1 Keterlibatan orang tua dan yang nganter 2 pic up, nanti keluarga besar dalam satunya bilang gini, satunya budaya masyarakat bilang gitu, satunya gini dan Bondowoso ini terlihat dari sebagainya. Saya suruh pulang, banyaknya keluarga atau yang nunggu sedikit saja saya kerabat yang ikut pusing, gak usah banyak-banyak, sampeyan doain saja dari rumah, mengantarkan perempuan pernah ada yang nungguin disini untuk melahirkan. 50, 60 datang semua 1 desa Terkadang pihak yang kalau saudaranya banyak” mengantar sampai puluhan (wwcr, nakes, Sri) orang yang beramai-ramai menaiki mobil pick up atau Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 197
bahkan sampai satu desa11. Situasi ini merefleksikan bagaimana posisi perempuan dan hak perempuan atas tubuhnya. Perempuan bertanggung jawab atas tubuhnya namun ia tidak memiliki hak dalam pengambilan keputusan untuk tubuhnya sendiri. Kondisi ini menjadi salah satu sumber persoalan untuk kesehatan reproduksi perempuan. Tidak hanya karena perempuan tidak dapat memilih atau mengusulkan pilihannya, “ya memperhatikan obat-obatan yang namun bahaya sekiranya membahayakan kepada keselamatan kesehatan istri, dan memperhatikan untuk memeriksa ke bidan, mengantar, dan reproduksi perempuan tanya, takut nanti istrinya lupa minum dipertaruhkan oleh obat. Suami harus selalu orang di luar diri perempuan. Orang yang mengingatkan, itu yang namanya suami jaga. Bukan tidak peduli, mungkin saja didasarkan periksa ya iya, ndak periksa ya iya, itu pada pengetahuan yang banyak yang gitu, mayoritas kayak tepat mengenai gitu. Periksa sendiri, berangkat kesehatan reproduksi sendiri, padahal kan harus ada apa itu, perempuan, namun juga dukungan suami, agar si istri punya semangat untuk memperbaiki sangat mungkin di tangan orang-orang yang kandungannya dan semacamnya itu, dan ketika akan melahirkan, suami mendasarkan betul-betul memperhatikan sungguh keputusannya pada pada istri, dari apa yang istri ada pertimbangan mitos, reaksi, gejala-gejala itu sudah mulai, kepercayaan, ekonomi, segera suami merujuk kepada bidan, atau hal lain di luar mengantar ke bidan.” (wwcr, toma, pertimbangan kesehatan Nursalim) reproduksi perempuan. Peran laki-laki yang Ambigu Dalam situasi dimana perempuan tidak dilibatkan dan diperhitungkan dalam pengambilan keputusan bagi kesehatan dirinya, posisi laki-laki dalam masyarakat Bondowoso juga berada dalam situasi yang ambigu. Dalam peran gender yang umum terjadi pada masyarakat, laki-laki memiliki posisi yang 198 | Prosiding PKWG Seminar Series
sangat dominan. Ia menjadi pemimpin bagi keluarganya, bertanggung jawab atas nafkah istri dan anak-anaknya, dan pengambil keputusan dalam banyak hal. Diri laki-lakilah yang memegang kendali atas roda rumah tangga dan keluarga. Sementara itu, dalam beberapa hal terkait kesehatan reproduksi perempuan, laki-laki seringkali dianggap lian. Aggapan laki-laki tidak cakap, tidak memiliki pengetahuan, dan tidak memahami menyelimuti posisi laki-laki di dalamnya. Peran seks perempuan dianggap hanya semata dunia perempuan. Apa yang terjadi pada organ reproduksi perempuan merupakan bagian dari tanggung jawab perempuan. Demikian halnya dengan apa yang terjadi dalam rahim perempuan adalah di luar diri laki-laki. Situasi ini menempatkan laki-laki tidak terlibat banyak atau bahkan tidak terlibat sama sekali dalam proses-proses reproduksi perempuan yang penting dalam kehidupan kemanusiaan. Padahal, keterlibatan laki-laki merupakan hal penting karena perannya dapat mendorong adanya harapan atas keselamatan dan kesehatan perempuan. Pada saat masyarakat masih menempatkan laki-laki sebagai pemimpin tertinggi, keterlibatan laki-laki dalam menjamin kesehatan reproduksi menjadi niscaya. Akan tetapi situasi laki-laki yang ingin turut terlibat menjadi gamang karena posisinya yang disubordinasi. Sementara dalam imaji perempuan, suami yang ideal adalah suami yang memberikan perhatian penuh proses reproduksi itu terjadi, baik saat kehamilan, persalinan, maupun pasca persalinan. “saya kira ndak banyak, kadangkadang istrinya mau lahir saja, masih dicari suaminya ada di mana, kadang malah ndak mau pulang kadang-kadang. (kenapa?) ya sudah biasa itu orang mau melahirkan, dianggap biasa gitu. Ada barusan ya murid kami-kami juga, istrinya sudah mulai mual-mual, pergi mancing itu suaminya. (wwcr, toma, Nursalim)
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 199
Dalam persalinan, suami tidak selalu mendampingi istri saat melahirkan. Alasan yang muncul, bisa jadi karena alasan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan, suami takut darah, suami sedang di luar kota, atau karena ketidak-pedulian suami. Dalam konteks ketidak-pedulian suami, diceritakan bahwa di desa Tegalampel pernah ada suami yang justru pergi memancing ketika diberitahu istrinya akan melahirkan. Lakilaki meninggalkan istrinya ke sungai untuk memancing, karena baginya, adalah hal biasa seorang perempuan melahirkan. Melibatkan Laki-laki, Memperkuat Strategi Kultural Acuh tak acuh yang dilakukan laki-laki dalam proses persalinan pada dasarnya merefleksikan dilema dan ambigu laki-laki masuk dan terlibat dalam dunia reproduksi perempuan. Padahal keterlibatan laki-laki harus “kalau secara syari’ahnya, segala diperhitungkan sebagai beban itu menjadi kewajiban si salah satu upaya dalam suami, namun secara moral itu tidak ada pembedaan antara lakimemastikan proses laki dan perempuan. Namun reproduksi berjalan dengan secara syar’i itu kewajiban baik dan dalam pengawasan sepenuhnya adalah ada pada si yang menjamin keselamatan suami. Itu kalau memang si istri dan kesehatannya. itu juga memakai secara Keterlibatan laki-laki ini syar’iyyah. Kalau si istri tidak menjadi salah satu factor memakai secara syar’iyah, maka si penting dalam upaya suami juga tidak berkewajiban sepenuhnya untuk melakukan menurunkan angka beban yang menjadi beban oleh si kematian ibu. suami. (beban sepenuhnya apa?) Dalam kesadaran akan seperti nafkah, ya pekerjaan pentingnya laki-laki turut rumah, dapur, seperti masak dan mencuci, momong anak, ngurus berkontribusi dalam bentuk anak, itu semuanya kewajiban pendampingan, pengawasan suami. Istri tidak berkewajiban, dan memastikan menurut ajaran syar’i.” keselamatan proses (wwcr, toma, Nursalim, 7 Mei reproduksi pada 2013)
200 | Prosiding PKWG Seminar Series
perempuan, seorang tokoh agama/kiai di Desa Tegalampel, Kiai Nursalim, mencoba melakukan perubahan peran gender yang berlaku di masyarakat. Kesadaran sang kiai ini direfleksikan dari nilai-nilai agama dan budaya masyarakat Bondowoso yang mayoritas Madura. Meskipun tidak mudah pada awalnya, namun upayanya telah memberikan satu hasil nyata yang berdampak pada turut sertanya laki-laki di dalam peran-peran reproduksi. Sang kiai memulainya dari dirinya sendiri. Dengan pemahaman keagamaan yang menempatkan laki-laki dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab penuh atas roda kehidupan rumah tangganya, sang kiai sepenuhnya terlibat dalam peran-peran reproduksi. Sang kiai sadar bahwa apa yang dilakukannya bertentangan dengan kultur budaya yang sedang berlaku, dimana laki-laki tidak terlibat dalam peran-peran reproduksi. Keterlibatan laki-laki dalam peran reproduksi menjadi aib, stigma buruk, dan perendahan harga diri laki-laki di mata masyarakat sekitarnya. Dalam keyakinan yang penuh, sang kiai menegaskan bahwa laki-laki di mata hokum fikih Islam memiliki tanggung jawab yang besar. Bukan hanya dalam memberikan nafkah bagi anak dan istrinya, namun juga menyediakan sandang, papan, dan pangan dalam bentuk siap saji, siap pakai, dan siap huni serta pendidikan dan pengasuhan anak yang sepenuhnya ditangani laki-laki. Dalam konsepsi ini, perempuan tidak memiliki kewajiban dalam kerja-kerja reproduksi. Pun ketika laki-laki tidak mampu mengatur waktu yang ada atau memiliki tenaga yang terbatas melakukan hal tersebut sendiri, maka semestinya ia melibatkan assistant rumah tangga untuk mengerjakannya. Bukan memberikan peran dan beban tersebut di pundak perempuan, sebagaimana kebanyakan yang terjadi dalam realitas yang ada. Sang kiai menerapkan dalam kehidupan nyata. Ia memasak, mencuci, dan menjemur pakaian. Ia menggendong anaknya, mengajaknya berjalan-jalan di sekitar rumah, menyuapinya, Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 201
dan memandikannya. Apa yang dilakukan sang kiai menjadi perhatian masyarakat sekitar dan menjadi legitimasi pada setiap perempuan yang mencoba melibatkan laki-laki dalam peran-peran reproduksi. Kekuatan kultural sang kiai di masyarakat Madura yang dapat melampaui posisi pemerintah menjadikan apa yang dilakukan sang Kiai menjadi kekuatan kultural bagi upaya perubahan peran gender. Dalam konteks kesehatan reproduksi, sang Kiai memanfaatkan kekuatan kultural yang dimilikinya dan bekerjasama dengan bidan yang ada di desa tersebut. Keprihatinan atas ketidakpedulian laki-laki dalam memastikan keselamatan persalinan istrinya mendorong sang Kiai melakukan upaya nyata. Ia bekerjasama dengan bidan. Setiap kali persalinan yang dibantu oleh sang Bidan, selalu saja sang bidan meminta pihak keluarga perempuan untuk menghadap kepada Kiai Nursalim dan meminta doa agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kemudahan dan keselamatan bagi perempuan dan calon bayinya dalam persalinan yang akan terjadi. Dan setiap kali seseorang yang menghadap sang Kiai, ia selalu memberikan segelas air putih dan selembar kertas berisi tulisan doa dalam Bahasa Arab. Sang Kiai menyebutnya sebagai satu ijazah yang harus dilakukan oleh suami dari perempuan yang akan melahirkan. Dalam konsep ijazah ini, air putih diminum oleh perempuan yang akan melahirkan dan selama masa persalinan, sang suami harus membaca doa yang tertera dalam selembar kertas tersebut sambil terus menggenggam tangan istrinya12. Ijazah ini secara tidak langsung mengikat laki-laki untuk tetap ada dan hadir dalam proses persalinan yang akan dijalani perempuan. Dengan demikian, laki-laki yang masih dalam konteks kultural menjadi pengambil keputusan dapat segera melakukan tindakan atau memberikan izin suatu tindakan demi keselamatan perempuan dan bayinya. Persalinan lebih terjamin dari resiko 4T, khususnya dalam hal 202 | Prosiding PKWG Seminar Series
Terlambat Mengambil Keputusan, dan Terlambat dalam Penanganan Persalinan aman. Dalam pengakuannya, Kiai Nursalim menyatakan bahwa di awal melakukannya dan menerapkan keyakinannya, ia harus melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri. Bukan hanya karena ia adalah seorang laki-laki yang nota bene secara kultural mendapat tempat yang istimewa, namun juga karena ia adalah seorang etnis Madura yang juga tokoh terpandang dengan kedudukan social tinggi. Cukup berat konflik batin yang harus dilaluinya, namun tekadnya telah membuahkan hasil. Saat ini, dirinya dijuluki sebagai pembela perempuan dan di desanya kini, laki-laki selalu ada dan hadir dalam proses persalinan yang dijalani perempuan. Laki-laki dan perempuan telah terbiasa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan reproduksi secara bersama atau berbagi. Epilog Menekan angka kematian ibu tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah melalui program-programnya, namun merupakan tanggung jawab kemanusiaan bagi seluruh makhluk di muka bumi ini. Peran pemerintah saja tidak akan cukup kuat jika tidak diimbangi dengan peran aktif dari seluruh bangsa, khususnya laki-laki yang memiliki posisi sangat diperhitungkan dalam kultur dan praktik kehidupan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses reproduksi tidak akan mampu memastikan keselamatan persalinan jika tidak difasilitasi dengan layanan kesehatan dan tenaga medis yang memadai, terjangkau, dan mencukupi. Kematian perempuan karena persalinan merupakan bencana kemanusiaan yang sesungguhnya dapat diintervensi melalui berbagai cara. Perubahan peran gender yang lebih berkeadilan menjadi sebuah keniscayaan. Oleh karenanya, Negara, agama, dan budaya harus menjadi sinergi kekuatan yang diperhitungkan dalam upaya pembangunan kemanusiaan dan –secara khusus-- penurunan angka Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah | 203
kematian ibu. Program-program yang berorintasi pada pembangunan kesadaran masyarakat menjadi satu langkah penting yang harus terus dilakukan dan diinternalisasikan pada masyarakat luas. Penyediaan layanan kesehatan dan tenaga medis yang diprioritaskan dan diperhitungkan dengan dukungan anggaran Negara yang memadai harus tetap dipertahankan dan diawasi penggunaannya. Namun memperhitungkan kekuatan kultural dan nilai-nilai lokal merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan, karena kekuatan di luar kekuatan Negara seringkali menjadi lebih ampuh dari program-program pembangunan yang terkadang berjarak dengan masyarakat itu sendiri. 1
2
3
4
5 6 7 8
9 10
11 12
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, tabel 8. http://dinkes.jatimprov.go.id/dokumen/dokumen_publikasi.html, diakses 29 Juni 2013 Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012, hlm. 8-9. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, tabel 6, http://dinkes.jatimprov.go.id/dokumen/dokumen_publikasi.html, diakses 29 Juni 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012, hlm. 10. FGD, Kategori Laki-laki, Bondowoso, Mei 2013 FGD, Kategori Perempuan, Bondowoso, Mei 2013. Wawancara, tokoh agama, Nursalim, Mei 2013 Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, http://jatim.bps.go.id/tables/2012/kesehatan/tabel_5.2.6.pdf, diakses 29 juni 2013. FGD, Kategori Laki-laki, Bondowoso, Mei 2013 Persentase Peserta KB Aktif dan Alat Kontrasepsi yang Digunakan tahun 2011, Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jawa Timur, http://jatim.bps.go.id/tables/2012/kesehatan/tabel_5.2.6.pdf, diakses 29 juni 2013. Wawancara, tenaga kesehatan, Sri, Mei 2013. Wawancara, tokoh agama, Nursalim, Mei 2013.
204 | Prosiding PKWG Seminar Series