1 Murid Terbaik
A
manda mengambil sebuah kamera. Amanda kini bersantai di rumahnya. Ia tengah menikmati liburan kenaikan kelas. Amanda mendapat nilai bagu di
raport-nya. Ia juga dinyatakan naik ke kelas 8 tingkat SMP. Amanda memutar salah satu video yang berdurasi 25 menit, yang membuatnya jadi video berdurasi paling panjang dalam kamera tersebut. Video itu berisi momen pada suatu hari spesial. Hari kelulusan SD satu tahun lalu. Hari di mana ia ucapkan salam perpisahan kepada teman-teman seangkatannya. Beberapa teman tidak lagi melanjutkan sekolah di lembaga Best. Sebagian lagi lanjut ke SMP Best, termasuk Amanda. Pukul 9 pagi hari itu, murid-murid lembaga Best dari seluruh jenjang pendidikan hadir untuk mendatangi acara perpisahan bersama. Ya, ini adalah hal yang sangat jarang ditemui. Para wisuda atau lulusan dari jenjang SD, SMP, SMA, hingga vokasi berkumpul. Para wartawan, beberapa tokoh termasuk wali kota turut hadir dalam acara tersebut. Masyarakat luas Kota Jakarta pun datang memenuhi aula besar lembaga Best, sekalipun mereka bukan kerabat dari para alumni.
1
Seorang gadis berumur 14 tahun dengan dress batik berwarna biru langit menghampiri kawan karibnya sembari membawa dua gelas es serut rasa durian. “Hei, cuaca agak panas ya, Amanda. Ditambah di sini cukup sesak,” kata Anggita, alumni SD Best tahun ini. “Kau benar. Acara kali ini sangat ramai. Aku hampir tak bisa menemukan mana Mami dan Andi,” kata Amanda. Beberapa buffet dijejerkan, menyajikan berbagai hidangan yang mau tak mau menggoda selera kedua gadis tersebut. “Mau jus?” tawar Anggita. Amanda pun menerima segelas
jus
mangga
sembari
mulutnya
bergerak
menggumamkan terima kasih. “Harvey, Amanda, silakan maju ke depan,” ucap Kepala Lembaga. Amanda sedikit kaget tiba-tiba dipanggil ke atas panggung. Ia pun segera menyerahkan jusnya pada Anggita. Kepala Sekolah SD Best dan Kepala Lembaga menyalami dan lalu memberikan sebuah medali kepada Amanda atas gelar ‘Lulusan Terbaik SD Best Angkatan Ini’. Di permukaan medali tersebut pun tercantum gelar itu beserta nama Amanda Harvey melingkar di bawahnya. Sementara, tepat di tengahnya terdapat lambang lembaga Best. Anggita duduk di sebuah kursi kosong di deretan kedua dari panggung. Ia ingin melihat sahabatnya dari dekat. “Anak-anak, Harvey itu memang pintar, ya,” bisik seseorang diantara riuhnya tepuk tangan. “Iya, betul. Harvey yang lebih muda, yang satu lagi, itu juga pintar. Kata anakku, ia selalu dapat nilai sempurna dalam matematika,” balas suara lain, lawan bicaranya. “Tapi perilakunya sangat aneh.”
2
“Betul. Anakku juga berkata demikian. Andi kan, namanya? Kata anakku Andi Harvey itu sering mengocehkan hal-hal yang orang lain tidak mengerti,” timpal suara yang pertama. Rupanya dua orang wali murid yang duduk di sebelah kanan Anggita lah sumber percakapan tersebut. Anggita tidak bermaksud menguping, tetapi jarak sedekat itu memang memungkinkan bagi Anggita tuk mendengar obrolan tersebut. Kening Anggita kini berkerut seperti kertas yang diremas-remas. Wajahnya pun bersungutsungut. Kemudian Anggita berdeham sedikit supaya ia bisa lancar dalam penjelasannya, “Ehm... Permisi, Ibu-ibu. Andi Harvey adalah anak berkebutuhan khusus.” “Hah? Maksudnya?” Salah satu wali murid yang mengenakan baju ungu dan celana berwarna senada menoleh pada anak berumur 14 tahun tersebut. “Saya
adalah
teman
dekat
Amanda
Harvey.
Tentu saja saya pun mengenal adiknya Andi Harvey. Andi mengalami gangguan perkembangan. Bisa jadi orang menganggap Andi normal dan biasa saja, tapi sesungguhnya tidak,” ucap Anggita. “Lho? Bukankah ia memang biasa saja? Tidak seperti saudara sepupuku yang sudah jelas seorang tunanetra. Kuperhatikan Andi tidak mempunyai kekurangan seperti itu,” timpal yang satu lagi, seorang ibu yang memakai dress hitam selutut. “Perhatian semuanya.” Suara dari depan panggung menginterupsi obrolan ringan ketiga orang tersebut. Rupanya Kepala Sekolah SD Best ingin menyampaikan sedikit pidato. “Amanda Harvey saya beri penghargaan
3
sebagai murid terbaik bukan karena prestasinya yang gemilang. Tidak, prestasinya biasa saja. Dia bahkan sering ketiduran di kelas.” Tawa mengalir dari deretan bangku penonton. Begitu juga Amanda sendiri, orang yang dimaksud oleh Kepala Sekolah. “Dia kuberi penghargaan karena begitu banyak kontribusinya dalam perkembangan sekolah. Ia anak yang aktif dan baik hati. Dia sangat peduli kepada temantemannya. Dan sejak adiknya pindah kemari, sekolah ini pun resmi menjadi sekolah inklusi,” lanjut Kepala Sekolah. “Betul yang dikatakan Bapak Siji. Anak-anak berkebutuhan khusus kini memiliki akses untuk memenuhi salah satu hak mereka yaitu memperoleh pendidikan. Mulai tahun ajaran berikutnya, seluruh lembaga pendidikan kami dari jenjang SD hingga vokasi menerima anak berkebutuhan khusus,” tambah Kepala Lembaga meresmikan pernyataan tersebut sekaligus mengakhiri pidato penghargaan untuk Amanda Harvey. Tepuk tangan memenuhi seluruh aula balai kota. Amanda turun dari panggung. Mami segera memeluknya sebagai tanda terima kasih karena telah membuatnya bangga. “Kau sangat hebat, Nak.” Anggita masih tak menyangka gadis yang telah berteman dengannya sejak ia mulai belajar merangkak tersebut “diam-diam menghanyutkan”. Seorang wartawan menghampiri Amanda sambil berjalan beriringan dengannya. Tangan wartawan itu memegang perekam suara, “Nona Harvey, apa yang membuat Anda dinobatkan sebagai siswa berprestasi tanpa
4
prestasi?” “Hmm... aku hanya ikut sedikit kegiatan di sekolah. Misalnya ikut serta dalam Hari Peringatan Autisme sebagai perwakilan SD Best, menggelar bazaar untuk fund raising, berkunjung ke panti asuhan, membagikan booklet atau ebook gratis tentang pengetahuan anak berkebutuhan khusus, merekomendasikan SD Best kepada beberapa anak berkebutuhan khusus termasuk adikku, memenangkan konser piano dalam Jakarta Annual Recital, lalu....” “Amanda,” sela Anggita. “Ya?” sahut Amanda. “Itu
tidak
sedikit.”
Anggita
mengingatkan
sahabatnya tatkala kebiasaan Amanda kehilangan hitungan alias miscount muncul. Video berhenti. Amanda ingat mengapa videonya selesai direkam. Saat itu, baterai kamera telah habis. Amanda tersenyum kecil. Ia mematikan lampu kamarnya. Amanda pun mengarungi alam mimpi.
5
2 Anak Berkebutuhan Khusus
“N
omor antrean B85.” Akhirnya seorang petugas pun menyebutkan nomor antrean yang dari tadi seorang ibu muda tunggu-tunggu. Sejak
pagi, ibu tersebut telah sibuk pergi ke satu tempat ke tempat yang lain. Mulai dari mengurus pasien di beberapa rumah sakit yang berbeda, datang ke beberapa klinik dan puskesmas untuk pemeriksaan kesehatan, check up, dan donor darah. Belum lagi kampanye tentang obesitas yang akan digelar pada pukul 3 siang hingga jam 6 petang. Namun, ibu itu tak menyerah. Ia ingat masih harus mengurus asuransi dan tabungan pendidikan anak-anaknya. Ditemani sang putra, ibu tersebut dengan sabar menunggu di sebuah bank setempat yang dipenuhi sesak. “Andi Harvey mau ayam. Fettucini, tapi dengan toping ayam saus tomat. Andi Harvey makan ayam. Andi Harvey adalah ayam,” celoteh seorang anak berumur 12 tahun dengan ponsel menampilkan sebuah video panduan masak di tangannya. “Andi, kau bukan ayam. Andi Harvey bukan ayam,” koreksi wanita di sebelahnya yang ternyata adalah sang ibu.
6
“Andi kan makan ayam, Mi. Berarti Andi ayam,” balas Andi asal, tetapi tatapannya masih pada layar ponselnya. “Masa ayam makan ayam? Kalau Andi nggak percaya, habis ini kita beli anak ayam di pasar, ya. Nanti Andi yang rawat,” usul sang ibu. Tidak disangka, Andi tiba-tiba mengarahkan jarinya pada seorang pria asing yang duduk berseberangan darinya dan berteriak, “Hei, Pak! Coba katakan pada mamiku kalau Andi adalah ayam!” Seluruh ruang tunggu hening seketika. “Ehm... maaf,” secara santun si ibu meminta maaf pada orang-orang di sekitarnya. Teriakan tersebut rupanya cukup keras dan mengalihkan orang lain dari kegiatan mereka. Tatkala nomor antrean sang ibu disebutkan, ia bersama putranya segera menuju meja konter. “Bu, tolong anaknya diajari cara bersikap ya. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya mohon anak ini diawasi agar tak mengganggu suasana,” ucap si petugas. “Tenang saja. Anak ini anak berkebutuhan khusus. Wajar saja kalau ia begitu,” kata si ibu sambil secepatnya merogoh tasnya guna mengambil buku-buku tabungan. “Oh, begitu toh. Maaf saya tak tahu.” Si petugas yang lazimnya disebut teller itu menerima sejumlah uang dari tangan si ibu. Wanita yang sering dipanggil Mami oleh Andi dan seorang kakaknya tersenyum sembari menggenggam tangan Andi agar tidak mondar-mandir, “Tak ada salahnya membaca untuk menambah pengetahuan. Meski hal tersebut kurang menarik bagimu. Andi memang mengalami gangguan perkembangan yang mana dia bertingkah laku
7
tidak sesuai dengan usianya. Itulah sebabnya dia cenderung aneh dan mengungkapkan sesuatu lewat cara yang aneh pula.” “Wah, wah. Saya baru tahu,” tukas si nona teller. “Dia terlihat biasa saja, bahkan menurutku dia anak yang ganteng. Hei Andi, kau suka ayam?” Andi tidak menjawab. Mami pun segera mengalihkan perhatian Andi, “Andi ditanya tante, tuh.” “Iya, Andi suka ayam. Ayam dimakan Andi, Andi memakan ayam,” jawab Andi. Nona teller tertawa kecil, “Saya punya paman yang punya rumah makan dengan berbagai macam variasi menu ayam. Namanya ‘Rumah Ayam Om Harry’. Tempatnya ada di Kompleks Perumahan There.” “Wah, kebetulan saya tinggal di situ. Terima kasih atas rekomendasinya. Ayo Andi, kita pulang,” kata Mami kembali beralih pada Andi. Mami beranjak dari kursi pelanggan menuju sebuah pintu kaca otomatis yang terbuka tatkala kaki mereka melangkah keluar. Tanpa terlihat oleh Mami, Andi melambaikan tanganya pada si nona teller.
8
3 Tersesat
“D
ompet, cek. Ponsel, cek. Agenda, cek.” Lengan kecil seorang gadis dengan lihai meletakkan barang bawaan terakhirnya ke dalam tas.
Kemudian sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, hal terakhir yang ia lakukan adalah mengecek penampilan lewat cermin. “Hmm... beres.” Kini Anggita, yang dijuluki pencinta warna merah muda karena hampir semua bajunya berunsur merah muda, menghampiri gadis lain seusianya. “Yuk,
berangkat.”
Anggita
melangkahkan
kakinya setelah kegiatan mengunci pintu pagar selesai. Menggunakan angkutan umum, ia mengikuti petunjuk toko buku yang hendak mereka tuju melalui aplikasi peta digital. Amanda mengganti aplikasi peta digital dengan aplikasi lain. Sebuah gambar sampul buku beserta judul dan nama pengarangnya terpampang jelas di layar ponsel. Amanda menunjukkan gambar tersebut kepada Anggita. “Ini nih, buku yang ingin kucari,” kata Amanda. Ia menggeser layar ke bawah, menampakkan seluruh isi
9
resensi, “Pengarangnya Dr. Emi Nozara. Psikolog terkenal.” “Owh... yang dapar gelar ‘Best Therapist 2014’ tahun lalu?” Anggita memperhatikan bagian “profil singkat penulis”. Anggita membaca cermat keseluruhan isi resensi tersebut. “Ini siapa yang bikin resensinya? Apik amat,” puji Anggita. Tak ia sadari, Amanda terkikik kecil. “Aku yang buat,” kata Amanda. Anggita mendadak terkekeh, “Lho, kalau kau sudah memberi resensi, mengapa beli bukunya lagi?” Amanda kembali mengambil ponselnya dari tangan Anggita. “Aku mau beli jilid kedua. Judulnya sama,” jelas Amanda. Anggita anggukkan kepalanya. Ia paham sekarang. Gedung-gedung pertokoan hampir tidak terlihat jelas karena laju angkot yang lumayan cepat. Anggita yang belum terlalu mengenal kawasan itu meminta Amanda mengawasi sekitarnya. Anggita ingin Amanda sedikit waspada. Jangan sampai toko buku yang dituju malah terlewat. “Udah deket belum, sih?” tanya Anggita kepada temannya. “Sebentar lagi. Belok kiri, lalu....” Dering dari ponsel Amanda terdengar. “Sebentar, Gi. Mami telepon,” ucapnya. “Halo. Hah? Andi ada di rumah, kok. Apa? Baiklah, Amanda pulang deh, Mi.” Kerutan lantas muncul di kening Anggita. Sebab, kawan karibnya sejak duduk di bangku taman kanak-kanak itu tiba-tiba meminta sopir untuk hentikan laju angkutan
10