AMANAT MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA
DALAM UPACARA PERINGATAN HARI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 2017
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua, Om Swastiastu, Namo Buddhaya,
Ibu dan Bapak sekalian, peserta upacara yang saya hormati, Pada pagi yang berbahagia ini, wajib bagi kita untuk mendaraskan doa dan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menjaga negara dan bangsa ini hingga perjalanan kemerdekaannya telah memasuki tahun yang ke-72. Tiada kekuatan dan perkenan lain yang mampu menjaga entitas sebesar ini jika bukan berasal dari kehendak-Nya. Oleh sebab itu, dengan jiwa yang berhias dengan nuansa merah-putih, hari ini kita mengenang kembali kasih sayang-Nya kepada bangsa ini. Seraya menyerahkan dalam lindungan Tuhan Yang Maha Pengasih, bangsa Indonesia juga wajib berikhtiar mengisi dan memaknai proklamasi kemerdekaan melalui karya dalam bidang masingmasing. Sebagai aparatur sipil negara, kita wajib berbangga karena karya kita mendapat tuntutan yang lebih besar, yaitu dalam hal memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dan bangsa. Karya kita harus berwujud dukungan penuh dan semangat bekerja sama dengan siapa saja yang bercita-cita memajukan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Tiada lain. Hubungan antara kemerdekaan dengan etos kerja bukan tema yang sama sekali baru. Sutan Sjahrir, salah satu pejuang proklamasi kemerdekaan, pernah mengingatkan: “Kemerdekaan
nasional adalah bukan pencapaian akhir. Tapi rakyat yang bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.” Dengan kata lain, kemerdekaan sebenarnya adalah tentang perayaan karya nyata. Untuk itulah perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72 kali ini mengambil tema "Indonesia Kerja Bersama". Sebagaimana kemerdekaan dicapai dengan partisipasi seluruh elemen masyarakat, demikian pula seyogyanya kejayaan bangsa dicapai dengan kerja bersama sebagaimana budaya gotong-royong yang telah tumbuh berabad lamanya di bumi Indonesia. Dalam sebuah pidato di Semarang pada 29 Juli 1956, Bung Karno menyerukan: "Negeri kita kaya! Kaya! Kaya-raya, Saudara-saudara! Berjiwa besarlah! Ber-imagination! Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu Tanah Air yang paling cantik di dunia.” Kata “kaya” beberapa kali diserukan oleh Bapak Proklamator dalam pidato tersebut, demikian juga dengan kata “bekerja” dan “gali”. Artinya Beliau ingin menekankan bahwa meskipun kekayaan sumber daya negeri ini tidak terbantahkan, namun bekerja keras adalah kunci pembuka lumbung-lumbung kekayaan tersebut. Jangan sampai kuncinya dipegang orang lain, dikuasai bangsa lain. Dengan kata “gali”, Bung Karno juga hendak membuat kiasan bahwa apa yang kita cari sebenarnya ada, hanya saja seringkali terpendam. Bisa terpendam dalam-dalam atau bisa juga hanya berada beberapa depa dari permukaan. Hanya dengan terus menggali kita akan tahu kebenarannya. Ketika kita berhenti menggali, bisa jadi sebenarnya emas yang kita cari justru sudah dekat. Dan ketika kita memutuskan meninggalkannya, bisa jadi orang lain akan meneruskan menggali di lubang galian kita, dan mendapat harta tersebut dengan relatif lebih mudah.
Ibu dan Bapak sekalian, peserta upacara yang saya hormati, Tentang kegigihan dalam bekerja ini ijinkan saya menyampaikan sebuah contoh. Tidak usah jauh-jauh, contohnya berasal dari lingkungan kita sendiri di Kominfo. Menjelang Hari Raya Lebaran lalu merupakan hari yang sibuk bagi Direktorat SDPPI wabil khusus Subdit Pengelolaan Orbit Satelit. Lebaran yang jatuh pada tanggal 25-26 Juni sekaligus adalah hari tenggat penyerahan proposal Indonesia untuk memperpanjang masa suspensi atas frekuensi satelit pada orbit 146E. Jika tak selesai, jika tak mampu mengirim proposal tepat waktu, bangsa ini bisa kehilangan satu slot orbit satelit. Alhamdulillah, jika teman-teman lain ber-i’tikaf di masjid, tim Subdit ber-“i’tikaf” di kantor, menekuni penyusunan proposal dengan khusyuk dan, alhamdulillah, berhasil merampungkan draft-nya. Setelah mendapat masukan dari pihak-pihak seperti Kementerian Luar Negeri, Pusat Kelembagaan Internasional Kominfo, Bagian Hukum Ditjen SDPPI, serta PSN sebagai pengelola
satelit, proposal dikirim ke ITU (International Telecommunication Union) pada 22 Juni, hanya tiga hari jelang Lebaran. Namun proposal bukanlah akhir perjuangan, bukan menjadi alasan untuk tinggal ongkangongkang berpangku tangan menunggu jawaban. Dengan semangat yang berkobar, berangkatlah sebuah delegasi menuju Jenewa, Swiss, untuk bersilaturahmi dengan Direktur Biro Radiokomunikasi ITU dan Kepala Space Notification and Plans Division ITU. Tim RI terdiri dari Dirjen SDPPI, Kepala Pusat Kelembagaan Internasional, Kasubdit Pengelolaan Orbit Satelit, dan dua pejabat PSN. Memang dewan di ITU yang berwenang untuk memutuskan soal perpanjangan masa suspensi adalah Radio Regulations Board (RRB). Dewan ini terdiri dari beberapa anggota yang independen dan tidak boleh berhubungan dengan para pihak yang sedang mengajukan permohonan ijin apapun. Oleh karena itu, delegasi menemui direktur di ITU dengan harapan agar bisa memberikan gambaran latar belakang yang lebih lengkap dan argumen yang lebih luas melengkapi apa yang termuat dalam proposal. Pendekatan ke ITU ini penting karena permohonan Indonesia ini tidak hanya terkait kepentingan bisnis, namun juga memikirkan aspek pembangunan bangsa yang karena karakteristik kepulauannya menjadikan satelit merupakan infrastruktur komunikasi yang paling efisien. Tidak banyak waktu yang disediakan untuk bertemu Direktur ITU. Namun waktu sesingkat itu sudah cukup karena ternyata beliau dan para direktur di ITU sudah banyak memahami permasalahan dan mengapresiasi langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam bidang infrastruktur telekomunikasi. Akhirnya, tanggal 22 Juli 2017 malam datanglah email dari ITU. Isinya: permohonan Indonesia untuk perpanjangan masa suspensi frekuensi Palapa PAC-C 146E dan Palapa PAC-KU 146E disetujui dengan frekuensi masing-masing 6665-6723MHz dan 12523-12679MHz.
Ibu dan Bapak sekalian, peserta upacara yang saya hormati, Menurut hemat saya, liku-liku perjuangan menyelamatkan filing satelit tersebut bukan sematamata kisah operasi yang “business as usual”. Saya catat ada beberapa poin yang bisa dipetik sebagai inspirasi: Pertama, semangat pantang menyerah. Untuk diketahui, masalah pada slot 146 Bujur Timur tersebut cukup rumit karena sejak 2013 mengalami berbagai masalah pelik sehingga sampai sekarang belum dapat diluncurkan satelit pengganti atas satelit lama yang rusak. Kita harus berjuang keras meyakinkan ITU agar segala kendala tersebut benar-benar di luar kendali kita. Dan ternyata apa yang kita perjuangkan diijabah oleh Allah swt. Kemampuan mungkin bisa kita peroleh dari luar, namun kemauan hanya bisa berasal dari diri sendiri. Terima kasih kepada seluruh anggota tim yang dengan “i’tikaf”di kantor-nya berhasil
menyelesaikan proposal tepat waktu. I’tikaf sendiri berasal dari bahasa Arab “akafa” yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Dalam konteks ibadah Islam adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT dan bermuhasabah atau introspeksi atas perbuatan-perbuatannya. Kedua, ditempuhnya pendekatan alternatif. Saya yakin proposal yang disusun sudah sangat memadai dan mencakup segala hal yang dibutuhkan untuk menjelaskan duduk perkara. Namun pendekatan personal memiliki nilai lebih, terutama untuk menunjukkan itikad, kejujuran, dan keyakinan kita terhadap apa diperjuangkan. Saya sangat mengapresiasi kesediaan dan efisiensi tim untuk jauh-jauh bersilaturahmi dengan para pejabat di ITU di luar upaya formal pengiriman proposal. Ketiga, berorientasi pada kepentingan nasional. Bahkan Direktur ITU sendiri memahami urgensi satelit bagi masa depan bangsa Indonesia dan menghargai strategi dan pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang sedang digencarkan oleh pemerintah. Saya yakin bahwa jika kita hanya mengedepankan argumentasi bisnis dalam argumen, maka ITU justru akan berpikir ulang untuk “mengembalikan” filing satelit tersebut untuk Indonesia. Saya yakin ITU memahami betapa pentingnya Indonesia sebagai salah satu mata rantai pembangunan telekomunikasi kawasan dan dunia. Keempat, kerja bersama. Filing satelit ini memang dimiliki oleh swasta, namun kehilangannya akan juga berarti kerugian besar bagi bangsa. Tanpa ditopang dengan teknologi satelit, gugusan pulau nan indah di kawasan terluar dan terpencil Tanah Air akan potensial terhambat dalam mendapatkan percepatan kesejahteraan melalui infrastruktur telekomunikasi sebagai katalisator. Kominfo, bahu-membahu dengan pihak swasta terkait dan Departemen Luar Negeri bekerja bersama, bukan hanya melalui jalur formal, namun juga tetap kompak dalam pendekatan-pendekatan alternatif.
Ibu dan Bapak sekalian, peserta upacara yang saya hormati, Insya Allah, dalam bekerja, kita semua di lingkungan Kominfo juga memiliki kreativitas dalam mencapai tujuan, plus semangat selalu bertekun dan pantang menyerah. Yang tak kalah penting adalah mengorientasikan hasilnya untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, bukan sekadar kepentingan personal atau kelompok-kelompok kecil saja. Dalam hal ini kita wajib ingat kepada salah satu pesan Bung Hatta: "Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta." Saya yakin kita semua yang hadir di sini mendambakan kibaran Sang Saka Merah Putih tetap abadi, kepakan sayap Garuda tetap menjaga Binneka Tunggal Ika, dan tatanan masyarakat tetap dijiwai oleh dasar negara Pancasila, sampai selama-lamanya. Semuanya itu kiranya hanya
dapat terwujud jika bangsa Indonesia menjadi lebih jaya dan sejahtera melalui kerja keras kita bersama. Oleh sebab itu mari kita tutup refleksi kemerdekaan kita ini dengan meneriakkan: DIRGAHAYU NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. MERDEKA! Terimakasih.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 17 Agustus 2017 Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
Rudiantara