ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA USAHA PETERNAKAN AYAM RAS DENGAN MASYARAKAT SEKITAR TEMPAT USAHA Tri Sukmaningsih 1) dan Sulistyaningtyas1) ABSTRAK Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Orang mencari kemungkinan lain penyelesaian sengketa mereka di luar jalur pengadilan, karena merasa kurang puas dengan pengadilan itu. Kekurangpuasan itu disebabkan karena proses di pengadilan selalu ada pihak yang menang dan pihak yang kalah, dianggap berkepanjangan, dan memakan biaya yang tinggi. ADR merupakan konsep penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan, secara kooperatif diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi dalam sengketa yang bersifat menang-menang atau win-win solution. Ada beberapa bentuk ADR yang telah dikenal luas, seperti negosiasi, mediasi, arbitrase, konsiliasi, dan pencarian fakta (Fact Finding). Namun dalam penyelesaian sengketa antara pemilik usaha peternakan ayam ras dengan masyarakat sekitar tempat usaha biasanya hanya menggunakan bentuk negosiasi dan mediasi. Penyelesaian sengketa menggunakan bentuk negosiasi dan mediasi tidak berkepanjangan, biaya yang dikeluarkan relatif sedikit, serta hasil yang dicapai bersifat menang-menang. Jika penyelesaian dilakukan di pengadilan maka waktu yang diperlukan akan berkepanjangan, tentunya biaya yang dikeluarkan juga akan menjadi banyak, serta hasil yang dicapai tentu ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan. Kata Kunci : Penyelesaian sengketa, ADR, negosiasi, mediasi, win-win solution.
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) IN BUSINESS DISPUTE RESOLUTION BETWEEN THE RAS CHICKEN FARMS WITH PLACE OF COMMUNITY. ABSTRACT Alternative Dispute Resolution (ADR) is a dispute resolution outside the court. People look for another possible settlement of their disputes out of court, because the court was not satisfied with it. Kekurangpuasan was due process in the courts is always a winning side and a losing side, is considered prolonged, and high cost. ADR is the concept of dispute resolution outside the court conducted, cooperatively directed to an agreement or solution to the dispute that is win-win or win-win solution. There are several forms of ADR are well known, such as negotiation, mediation, arbitration, conciliation, and fact (Fact Finding). But the dispute between the owner of the chicken farm communities where businesses usually just use a form of negotiation and mediation. Settlement of disputes using negotiation and mediation forms are not prolonged, the cost is relatively small, and the results are win-win. If the settlement is done on the court prolonged the time required will, of course, the cost will be much, and the results of course there are those who won and defeated. Keywords: dispute resolution, ADR, negotiation, mediation, win-win solution.
PENDAHULUAN Pengadilan adalah salah satu tempat untuk memperoleh keadilan bagi siapapun yang ingin menyelesaikan sengketanya, namun pengadilan itu
1)
bukanlah satu-satunya tempat di mana keadilan itu bisa diperoleh (Rhiti, 2006). Penyelesaian lingkungan hidup, khusunya untuk perdata, tidak hanya dapat dilakukan
Fakultas Peternakan Universitas Wijayakusuma Purwokerto
MEDIA PETERNAKAN, Vol 13, Nomor 2, Agustus 2011: 39 - 44
melalui pengadilan, melainkan dapat pula dilakukan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (dalam literatur asing disebut dengan istilah Alternative Dispute Resolution / ADR) sebenarnya sudah lama dikenal. Orang mencari kemungkinan lain penyelesaian sengketa mereka di luar jalur pengadilan, karena merasa kurang puas dengan pengadilan itu. Kekurangpuasan itu disebabkan karena proses di pengadilan selalu ada pihak yang menang dan pihak yang kalah, dianggap berkepanjangan, dan memakan biaya yang tinggi. ADR merupakan konsep penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan, secara kooperatif diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi dalam sengketa yang bersifat menang-menang atau winwin solution. Emirzon (2001), menyatakan solusi menang-menang ini merupakan kesepakatan yang mampu mencerminkan kepentingan para pihak yang terlibat dalam sengketa. Demikian juga ADR diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 31, 32, dan 33. Adanya peluang usaha peternakan ayam ras menyebabkan banyak usaha peternakan ayam ras yang berada dekat permukiman yang secara berantai berpotensi menimbulkan dampak terhadap masyarakat sekitar tempat usaha peternakan. Pengaruh atau dampak yang terjadi dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif yang terjadi akan 40
mendukung adanya usaha peternakan di daerah itu, dan sebaliknya jika dampak negatifnya yang ditonjolkan maka akan menimbulkan sengketa antara pemilik usaha dengan masyarakat sekitar tempat usaha. Tulisan ini membahas bagaimana sengketa itu biasanya diselesaikan di luar pengadilan. Alternative Dispute Resolutio (ADR) Ada beberapa bentuk ADR yang telah dikenal luas, seperti negosiasi, mediasi, arbitrase, konsiliasi, dan pencarian fakta (Fact Finding). Namun dalam penyelesaian sengketa antara pemilik usaha peternakan ayam ras dengan masyarakat sekitar tempat usaha biasanya hanya menggunakan bentuk negosiasi dan mediasi. Negosiasi Negosiasi dalam penyelesaian sengketa adalah proses tawar menawar yang bersifat konsensual antara para pihak (pihak pencemar dan pihak korban) untuk mendapatkan persetujuan tertentu. Dalam proses negosiasi para -?pihak berunding secara langsung tanpa bantuan pihak ketiga (Rhiti, 2006). Disebutkan juga bahwa pada penyelesaian lingkungan hidup melalui negosiasi, dapat saja unsurunsur hukum tidak dipersoalkan, asalkan sengketa itu mampu diselesaikan dengan baik tanpa merugikan para pihak yang bersengketa. Hasil negosiasi tidak bersifat mengikat. Pemenuhan hasil negosiasi
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (Tri Sukmaningsih dan Sulistyaningtyas)
bergantung pada itikat baik masingmasing pihak yang bersengketa. Sukses tidaknya negosiasi tergantung kepada kemampuan masingmasing pihak untuk bernegosiasi. Hasil negosiasi bersifat menang-menang atau win-win solution. Namun demikian, seperti telah disebutkan di atas, hasil negosiasi tidak bersifat mengikat sehingga tidak ada jaminan bahwa masing-masing pihak pasti akan mengikuti atau melaksanakan persetujuan yang telah disepakati. Suparto Wijoyo dalam Rhiti (2006) menyatakan bahwa pengingkaran terhadap kesepakatan negosiasi tidak saja mementahkan proses negosiasi yang telah dilakukan, tetapi juga menimbulkan teknis tentang pelaksanaan hasil negosiasi, sekaligus merupakan kendala dan kegagalan negosiasi. Mediasi Mediasi sebenarnya juga merupa kan perluasan dari proses negosiasi atau negosiasi yang dibantu oleh pihak ketiga (mediator). Para pihak yang bersengketa yang gagal dapat menggunakan pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka untuk mencapai persetujuan atau kesepakatan. Hardjasoemantri (1999) menyatakan bahwa pihak ketiga yang netral ini harus : (1) disetujui oleh para pihak yang bersengketa, (2) tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa, (3) memiliki keterampilan
untuk melakukan perundingan atau penengahan, dan (4) tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Mediasi adalah proses intervensi partisipatoris, dalam waktu pendek, dan berorientasi pada tugas. Para pihak yang bersenketa bekerja dengan mediator untuk mencapai persetujuan bersama yang dapat diterima oleh semua pihak. Mediator hanya membantu para pihak yang bersengketa, dan para pihak yang bersengketa sendirilah yang membentuk persetujuan mereka. Dengan demikian, dalam proses mediasi kebebasan para pihak yang bersengketa dalam mengambil keputusan cukup terjamin (Rhiti, 2006). Selanjutnya disebutkan bahwa proses mediasi lebih menguntungkan para pihak yang bersengketa. Selain proses penyelesaiannya relatif cepat dan murah, para pihak yang bersengketa juga lebih mudah memperoleh apa yang menjadi hak atau tuntutan mereka. Para pihak yang bersengketa ikut terlibat dalam proses mediasi dan merumuskan kesepakatan yang memuaskan mereka. Namun hal ini juga tergantung pada peran mediator. Mediator harus memiliki kemampuan (skill) yang mampu membantu para pihak yang bersengketa dalam mencapai kesepakatan. Penyelesaian Sengketa. Masyarakat Indonesia secara tradisional sebagai masyarakat agraris 41
MEDIA PETERNAKAN, Vol 13, Nomor 2, Agustus 2011: 39 - 44
telah mengenal usaha peternakan sejak lama. Secara ekologis, usaha peternakan terintegrasi dengan usaha-usaha pertanian tanaman pangan. Pertabahan pendduk, pertumuhan ekonomi, dan arus globalisasi telah mempengarhi pola konsumsi masyarakat dari konsumsi karbohidrat menjadi knsumsi protein, terutama protein hewani. Peningkatan kebutuhan konsumsi protein hewani ini tidak dapa dipenuhi hanya dengan menandalkan usaha peterakan secara tradisional. Pengembangan usaha peternakan terutama usaha peternakan ayam ras (baik ayam pedaging maupun petelur) telah menjadi sangat pesa yang tidak lagi bersifat tradisional. Peteraan ayam ras telah berkembang menjadi suatu indstri yang terintegrasi seara vertikal dan amat dinamis karena didukung oleh perusahaan yang padat modal dengan sistem manajemen yang modern. Pada pengembangan usaha peternakan ayam ras ini, aspek ekonomi lebih dikedepankan dibanding dengan aspek lain. Pada pertimbangan ekonomi, seringkali sumberdaya pendukung kagiatan lainnya menjadi kurang diperhatikan. Salah satu sumberdaya pendukung tersebut adalah sosial budaya masyarakat. Usaha peternakan ayam ras sebagai industri telah menambah diversifikasi usaha dan lapangan pekerjaan. Walaupun ada Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang seperti jarak tertentu, wilayah 42
usaha, dan ijin masyarakat sekitas tempat usaha, pada kenyataannya, adanya peluang usaha menyebaban banyak usaha peternakan ayam ras yang berada di dekat permukiman. Seperti telah disebutkan di depan bahwa pengaruh atau dampak yang terjadi dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif yang terjadi akan mendukung adanya usaha peternakan di daerah itu, dan sebaliknya jika dampak negatifnya yang ditonjolkan maka akan menimbulkan sengketa antara pemilik usaha dengan masyarakat sekitar tepat usaha. Hendarto dan Dewanto (2001) menyebutkan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh usaha peternakan ayam ras adalah: (1). Pencemaran pada air, (2). Pencemaran pada tanah, (3). Pencemaran pada udara, (4). Kendaraan yang berlalu lalang, (5). Berkembangnya lalat, dan (6). Lalu lintas manusia pekerja peternakan. Dari keenam dampak negatif tersebut yang sering menimbulkan masalah dengan masyarakat sekitar tempat usaha adalah dampak pencemaran pada udara, kendaraan yang berlalu lalang, berkembangnya lalat, dan banyaknya manusai pekerja peternakan. Adanya dampak negatif membuat masyarakat sekitar menjadi tidak nyaman dan menuntut agar kegiatan usaha peternakan di daerah mereka dihentikan. Penyelesaian sengketa antara pengusaha peternakan dengan masyarakat di sekitar tempat usaha biasanya dilakukan
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (Tri Sukmaningsih dan Sulistyaningtyas)
di luar pengadilan. Bentuk penyelesaian yang diambil biasanya melalui bentuk negosiasi. Jika negosiasi gagal, para pihak yang bersengketa akan melanjutkan dengan mediasi. Persetujuan yang diperoleh dari hasil perundingan secara negosiasi antara pihak pengusaha peternakan ayam ras dengan masyarakat sekitar tempat usaha (Sukartono, 2007) biasanya adalah sebagai berikut: 1. Usaha peternakan ayam ras tidak dihentikan 2. Beberapa masyarakat sekitar ikut bekerja dalam usaha peternakan ayam ras yang berada di daerah mereka 3. Beberapa pekerja peternakan pada hari-hari tertentu ikut membantu kegiatan masyarakat di sekitar tempat usaha seperti kerja bakti 4. Memberikan smbangan uag pada kegiatan-kegiatan tertentu 5. Memberikan produk peternakan (daging atau telur) kepada masyarakat sekitar. Hasil negosiasi bersifat menangmenang. Dari persetujuan di atas terlihat bahwa baik pengusaha peternakan ayam ras maupun masyarakat sekitar sama-sama dimenangkan. Pengusaha tidak menutup usaha peternakan ayam rasnya (poin 1), sedangkan masyarakat sekitar tempat usaha juga diuntungkan (poin 2 sampai 5). Namun demikian, seperti telah disebutkan bahwa hasil negosiasi tidak bersifat mengikat. Jadi, tidak ada jaminan
bahwa masing-masing pihak pasti akan mengikuti atau melaksanakan persetujuan yang telah disepakati. Dengan demikian tidak mengherankan apabila persetujuan yang telah disepakati dalam perundinga antara pihak pengusaha peternakan ayam ras dengan masyarakat sekitar tempat usaha secara negosiasi tidak dilaksanakan. Pihak masyarakat sekitar tempat usaha tetap mempersoalkan dampak negatif yang terjadi dan menuntut usaha peternakan ayam ras dihentikan (poin 1). Atau pihak pengusaha peternakan ayam ras dapat saja mengingkari persetujuan yang sudah disepakati dengan tidak melaksanakan satu, beberapa, atau semua poin 2 sampai 5 dari persetujuan di depan. Apabila hal ini terjadi biasanya dilakukan perundingan lagi dengan konsep negosiasi lagi atau menggunakan bantuan pihak ketiga. Perundingan penyelesaian lingkungan hidup dengan menggunakan banuan pihak ketida (mediator) disebut mediasi. Dalam menyelesaikan sengketa antara pengusaha peternakan ayam ras dengan amsyarakat sekitar tempat usaha, mediator yang dipilih biasanya aparat kelurahan atau aparat kecamatan tempat usaha peternakan berada. Persetujuan yang diperoleh dari perundingan secara mediasi (Ari, 2007 dan Sukartono, 2007) biasanya adalah penutupan tempat usaha dengan ketentuan: 1. Peternakan ayam ras petelur diberi kesempatan 1 – 2 tahun
43
MEDIA PETERNAKAN, Vol 13, Nomor 2, Agustus 2011: 39 - 44
2. Peternakan ayam ras pedaging diberi kesempatan setelah 1 – 2 periode. Seperti juga hasil negosiasi, hasil mediasi juga bersifat menang-menang. Dari persetujuan di atas terliha bahwa baik pengusaha peternakan ayam ras maupun masyarakat sekitar sama-sama dimenang kan. Masyarakat sekitar tempat usaha dimenangkan dengan terkabulnya tuntutan mereka; dan pengusaha memang harus menutup tempat usahanya tetapi diberi tenggang waktu untuk mencari tempat usaha yang lain. Dari hasil penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut terlihat bahwa penyelesaian yang dilakukan tidak berkepanjangan, biaya yang dikeluarkan relatif sedikit, serta hasil yang dicapai bersifat menang-menang. Jika penyelesaian dilakukan di pengadilan maka waktu yang diperlukan akan berkepanjangan, tentunya biaya yang dikeluarkan juga akan menjadi banyak, serta hasil yang dicapai tentu ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan. KESIMPULAN Dari hasil penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut terlihat bahwa penyelesaian yang dilakukan akan : 1. Tidak berkepanjangan 2. Biaya yang dikeluarkan relatif sedikit 3. Hasil yang dicapai bersifat menangmenang
44
DAFTAR PUSTAKA Ari, 2007. Pemilik Usaha Peternakan Ayam Petelur, di desa Karang Kemiri, Cilongok, Purwokerto. Komunikasi Pribadi. Emirzon,
J., 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsilisasi, dan Arbtrasi). Gramedia Pustaka tama. Jakarta.
Hardasoemantri4=u74, K., 1999. Hukum Tata Lingkungan. (Edisi ketujuh, cetakan keempat belas). Gadjah Mada Universiy Press. Yogyakarta. Hendarto, E. dan E. Dewanto, 2001. Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Positif dan Negatif Usaha Peternakan Ayam Pedaging dan Petelur di Kabupaten Banyumas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Studi Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Rhiti, H., 2006. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Sukartono, P., 2007. Pemilik Usaha Peternakan Ayam Pedaging, di desa Limpakuwus, Baturaden, Purwokerto. Komunikasi Pribadi. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Jakarta. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta.