ALTERNATIF STRUKTUR OJK YANG OPTIMUM:
KAJIAN AKADEMIK*
Oleh TimUGM Rimawan Pradiptyo Banoon Sasmitasiwi Gumilang Aryo Sahadewo
Tim UI Rofikoh Rokhim Maria Ulpah IAA Faradynawati
*Kajian akademik ini merupakan hasil dari kerjasama penelitian oleh dosen dan asisten dosen dari FE UI dan FE UGM. Kami ucapkan terimakasih kepada para civitas akademika UGM yang aktif berpartisipasi di z dalam eksperimen. Terimakasih juga kami ucapkan kepada tim SIFE FEB‐UGM yang membantu peneliti dalam mendesain software untuk eksperimen. Penelitian ini merupakan draft kedua dan masih akan dilakukan revisi untuk menyempurnakannya. Terima kasih kepada ISEI Cabang Jakarta yang telah menyelenggarakan diskusi dan kami mendapatkan masukan untuk perbaikan kajian ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan. Kontak:
[email protected] dan
[email protected]
DRAFT III
23 Agustus 2010
Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM & FE UI i Gambar diunduh dari http://aneska123.deviantart.com/art/The‐Building‐163802635?q=boost:popular+building&qo=75
Abstrak
Kajian mengenai alternatif struktur otoritas jasa keuangan (OJK) yang optimum ini disusun terkait dengan penyusunan RUU OJK sebagai mandat yang diamanatkan pasal 34 UU tentang Bank Indonesia (BI). Bentuk-bentuk OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Sesuai dengan amanat Undang-Undang maka pembentukan OJK harus dilakukan dengan mendasarkan pada salah satu dari lima bentuk pendekatan yaitu institutional, functional, integrated, twin peak dan an exception. Kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan telah diterima secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama persis sesuai dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi berdasarkan keunikan sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis lokal salam suatu negara. Selain itu patut dipertimbangkan dari survei cross country yang diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan keuangan di bawah OJK ternyata tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan lancar. Untuk mencari bentuk optimum dari OJK yang akan diterapkan, maka dilakukan pemodelan hubungan antar lembaga dalam struktur pengawasan di Indonesia dengan memakai Modelling Game Theory. Hasil menunjukkan bahwa individu Indonesia cenderung untuk bersikap rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan desain payoffs tertentu, sebagian besar lebih memilih untuk tidak mau berkoordinasi. Walaupun strategi ini merupakan Nash Equilibrium, dampaknya tidak optimal bagi masyarakat secara umum karena setiap pemain lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Selan itu, hasil eksperimen menunjukkan bahwa pemain memberikan respon yang berbeda seiring perubahan payoffs. Fakta tersebut menjelaskan bahwa biaya koordinasi di Indonesia tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa pemberlakuan framing effects memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemain secara signifikan. Pada bagian akhir dari penelitian ini akan diestimasi besarnya biaya pembentukan dan pengoperasian OJK versi RUU OJK apabila nantinya RUU OJK disetujui oleh DPR sesuai ii
dengan RUU yang diajukan. Nilai estimasi biaya pembentukan dan operasional OJK versi RUU tentunya didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Estimasi biaya dibuat sekonservatif mungkin dengan harapan untuk memberikan gambaran berapa kira-kira minimum irreducable biaya yang diperlukan untuk membentuk dan mengoperasikan OJK versi RUU OJK sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam RUU. Tentu saja biaya estimasi ini akan berubah jika nantinya terdapat perubahan dalam pasal-pasal yang mengatur tugas dan fungsi dari OJKversi RUU OJK. Dengan melihat best practices reformasi struktur pengawasan di Negara-Negara lain dan melakukan review prasyarat sebuah struktur pengawasan yang optimum, maka kajian ini mengusulkan bahwa Bapepam-LK menjadi satu lembaga independen—tidak dibawah Departemen Keuangan—yang merupakan pengejawantahan OJK. Selain itu, pengawasan makro dan mikro sektor perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang dibutuhkan dengan mendirikan lembaga
pengawasan
perbankan
yang
berada
di
bawah
bank
sentral.
OJK
melaksanakan fungsi pengawasan mikro di semua sektor keuangan kecuali bank dan fungsi pengawasan laku bisnis di semua sektor keuangan termasuk bank. Pembagian tugas antara BI dan OJK yang sedemikian rupa tidak akan menimbulkan biaya transaksi yang tinggi karena saat ini Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi tersebut.
iii
Daftar Isi Abstrak ................................................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................................... iv Bab 1: Pendahuluan ................................................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1 1.2. Permasalahan .................................................................................................................. 2 1.3. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................................... 6 1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 6 1.5. Metodologi ...................................................................................................................... 7 1.5.1. Data ........................................................................................................................ 8 Bab 2: Struktur Industri dan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ........................... 9 2.1. Struktur Industri Lembaga Keuangan ............................................................................. 9 2.1.1. Kinerja Pengawasan Perbankan ......................................................................... 15 2.1.2. Kinerja Pengawasan di Lembaga Keuangan Non‐Perbankan ......................... 18 Bab 3: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ................................................................................. 21 3.1.Latar Belakang Pembentukan OJK ................................................................................ 21 3.2.Fungsi dan Tujuan Lembaga Pengawas ......................................................................... 23 3.3.Rencana Pembentukan OJK di Indonesia ...................................................................... 29 Bab 4: Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ...................................... 36 4.1 Skala Ekonomi dan Sistem Pengawasan Keuangan ...................................................... 36 4.2.Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara ....................................... 38 4.3.Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ................................................ 41 4.4. Biaya Transaksi Perubahan Sistem Pengawasan .......................................................... 48 4.5.Peran Bank Sentral ......................................................................................................... 50 4.6.Pengalaman Negara Lain ............................................................................................... 55 4.6.1.Pengalaman Negara Prancis ............................................................................... 55 4.6.2.Pengalaman Negara Inggris ............................................................................... 57 4.6.3.Pengalaman Negara Korea Selatan ................................................................... 59 4.6.4.Pengalaman Negara Jepang ............................................................................... 61 iv
4.6.5.Pengalaman Negara Jerman .............................................................................. 65 4.6.6.Pengalaman Negara Finlandia .......................................................................... 66 4.6.7.Pengalaman Negara Denmark .......................................................................... 69 4.6.8.Pengalaman Negara Kanada .............................................................................. 71 4.6.9.Lesson Learned dari Negara Dengan Sistem Pengawasan tunggal ................ 72 Bab 5: Usulan Struktur dan Tugas OJK di Indonesia ....................................................... 74 5.1.Pendahuluan ................................................................................................................... 74 5.2.Kompleksitas Sistem Pengawasan di Indonesia ............................................................ 74 5.2.1
Kompleksitas SDM Sistem Pengawasan ........................................................ 86
5.3.Usulan Sistem Pengawasan yang Optimum .................................................................. 89 5.4. Model Pengawasan Pasar Modal .................................................................................. 95 5.5.Usulan Skema Koordinasi untuk Pencegahan Krisis ..................................................... 96 Bab 6: Kompleksitas Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah; Analisis Eksperimen Proses Evolusi Prisoners’ Dilemma .................................................................................... 99 6.1. Pendahuluan .................................................................................................................. 99 6.2. Desain Eksperimen ..................................................................................................... 125 6.3. Hasil Eksperimen ........................................................................................................ 131 6.3.1. Kecenderungan Berkoordinasi .......................................................................... 131 6.3.2. Dampak Variabilitas Payoffs Terhadap Perilaku Subyek .............................. 138 6.4. Implikasi Hasil Ekperimen ......................................................................................... 145 Bab 7: Estimasi Biaya Pengubahan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ............... 148 7.1. Pendahuluan ................................................................................................................ 148 7.2. Biaya Peralihan Sistem Pengawasan di Inggris .......................................................... 150 7.3. Biaya Pengalihan ke OJK versi RUU OJK ................................................................. 152 7.4. Mungkinkah Biaya OJK RUU Ditanggung Lembaga Keuangan? ............................. 168 7.5. Biaya Pengalihan ke Usulan Skema I dan II OJK ...................................................... 172 Bab 8: Kesimpulan dan Saran ........................................................................................... 174 8.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 174 8.2 Saran ............................................................................................................................ 175 Referensi .................................................................................................................................v Lampiran 1. Kemanfaatan dan Kompleksitas Model Pendanaan ........................................xii Lampiran 2. Panduan Eksperimen ...................................................................................... xiv Lampiran 3. Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil .................................. xvi v
Lampiran 4. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah ................ xxv Lampiran 5. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar...................... xxxv
vi
Bab 1: Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian karena sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial kepada pihak yang mengalami defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya. Krisis ekonomi selalu menelan biaya yang tidak sedikit, baik dilihat dari biaya ekonomi maupun biaya sosial yang diakibatkannya. Krisis ekonomi di tahun 1997-1998, misalnya, membebani perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi minus 13%. Di sisi lain, diperlukan waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan perekonomian ke kondisi sebelum krisis. Belajar dari krisis ekonomi akhir dekade 1990-an, beberapa perubahan mendasar telah dilakukan pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini kemungkinan krisis ekonomi dan kalaupun krisis terjadi dampak yang ditimbulkan dapat diminimasim, antara lain melalui pembentukan Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) yang berperan sebagai bank insurance. LPS mulai beroperasi sejak 22 September 2005 yang pendiriannya disahkan melalui UU 24/2004. Peran Bank Indonesia (BI) pasca Orde Baru diatur di dalam UU Nomor 23/1999 yang kemudian disempurnakan melalui UU Nomor 3/2004. Didasarkan pada kedua UU yang mengatur peran BI tersebut, diamanatkan fungsi pengawasan perbankan akan dialihkan ke Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) independen atau sering disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan UU 3/2004, OJK harus terbentuk selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. OJK dibentuk sebagai lembaga independen yang mengawasi lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank, seperti perusahaan sekuritas, anjak piutang, sewaguna usaha, modal ventura, perusahaan pembiayaan, reksa dana, asuransi, dan dana pensiun serta lembaga lain yang berkegiatan mengumpulkan dana masyarakat.
1
Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi di perekonomian dunia pada saat terjadi krisis ekonomi di tahun 1997/1998. BI dipandang tidak optimal dalam melakukan fungsi pengawasan. Di sisi lain, di negara maju, terdapat kecenderungan adanya pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral untuk kemudian ditangani khusus oleh lembaga pengawas keuangan yang bersifat independen, misalnya Financial Service Authority (FSA) di Inggris. 1.2. Permasalahan Hingga saat ini, BI berperan sebagai pengawas perbankan sekaligus sebagai regulator di bidang moneter. Dengan struktur yang ada saat ini, BI berperan aktif dalam dua hal sekaligus, yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision. Macro-prudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan atau perekonomian. Di sisi lain, micro-prudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Bentuk-bentuk sistem pengawasan OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri. Selain itu patut dipertimbangkan dari survei cross country yang diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan keuangan di bawah OJK ternyata tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan lancar. Jikalaupun akan dibentuk maka OJK disarankan mengadop sistem Prancis, Korea Selatan, Jepang, Jerman atau Inggris yang telah direvisi. Jika Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK disetujui dan RUU OJK benar-benar dibentuk sebagai badan independen lepas dari BI, maka peran serta BI sebagai pengawas perbankan akan hilang dan BI akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter. Implikasinya adalah bahwa fungsi penjaga stabilitas keuangan diserahkan kepada RUU OJK, sementara BI hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan. Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah Amerika Serikat mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas moneter. Di lain pihak, krisis moneter yang dialami Inggris di tahun 1992, maupun krisis 2
moneter di Asia di tahun 1997/1998 menunjukkan instabilitas moneter berdampak kepada instabilitas sistem keuangan. Jika peran pengawasan sistem keuangan diberikan sepenuhnya kepada OJK sementara . regulator moneter diemban oleh BI, maka akan muncul beberapa permasalahan: 1. Meski RUU OJK mungkin bisa segera dibentuk, namun karena lembaga baru ini terdiri dari berbagai komponen (misalnya BI, Departemen Keuangan, dan lain-lainya), diperlukan waktu cukup panjang untuk bisa mulai beroperasi dengan sempurna. Belajar dari lembaga ad-hoc lain, pembentukan KPK dilandasi UU Nomor 30/2002, namun lembaga tersebut baru terbentuk tahun 2004 dan mulai beroperasi penuh pada tahun 2005. Contoh lain adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang didirikan berdasarkan UU Nomor 24/2007. Sesuai amanat konstitusi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) didirikan disemua provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Hingga saat ini BPBD Tingkat I telah terbentuk di 28 provinsi. Masih ada lima provinsi lain yang belum memiliki BPBD Tingkat I, meskipun provinsi tersebut sering terkena gempa (misalnya DIY dan Papua). Dari total 399 kabupaten se Indonesia, sampai ini hanya 104 kabupaten saja yang telah didirikan BPBD Tingkat II, padahal idealnya semua kabupaten di Indonesia didirikan BPBD. 2. Koordinasi antara RUU OJK dan BI cenderung akan suboptimal, karena masingmasing lembaga cenderung untuk fokus kepada tugas pokok fungsi masing-masing sementara seringkali tugas pokok fungsi masing-masing lembaga cenderung bertentangan. Seperti halnya teori public choice, hubungan antar lembaga pemerintah bisa dimodelkan sebagai 2x2 prisoners dilemma game. Pada game tersebut, pareto optimum bukanlah pilihan yang rasional, karena setiap pemain selalu memiliki insentif untuk beralih dari strategi yang menghasilkan pareto optimum. 3. Lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara RUU OJK dan BI akan meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan. 4. Fungsi lender of the last resort dari BI tidak akan optimal selama BI tidak memiliki informasi yang memadai tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga keuangan individual. Kasus ini terjadi di Inggris yaitu ketika Northern Rock, sebuah lembaga keuangan yang diawasi oleh FSA, akhirnya kolaps dan di-bailout oleh Bank of England (BOE) dan bank sentral tersebutlah yang selama ini tidak tahu tentang 3
sepak terjang pengelola Northern Rock yang terlalu berani melakukan ekspansi pengucuran kredit, dipaksa untuk mengambil keputusan sulit ketika kasus tersebut dilimpahkan oleh FSA untuk di-bailout. 5. Hingga saat ini otoritas yang bertanggung jawab dalam mengambil keputusan penting di saat krisis adalah KSSK dan KK yang terdiri dari BI, Kementrian Keuangan dan LPS. Jika OJK dipisahkan dari BI, maka jumlah lembaga di KSSK dan KK menjadi empat. Hal ini akan meningkatkan masalah koordinasi untuk pengambilan keputusan penting di saat krisis. Tidak dipungkiri bahwa rancangan awal RUU OJK yang beredar di masyarakat adalah mengikuti struktur terintegrasi sebagaimana yang dianut oleh Inggris dengan FSA sebagai satu satunya lembaga yang mengawasi seluruh industri keuangan. Akan tetapi, jika melihat penerapan di beberapa negara di dunia, sistem integrasi ini hanya diterapkan oleh negaranegara yang memiliki universal banking di mana produk-produknya merupakan produk hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain. Di negara-negara yang memiliki universal banking tersebut pengawasan lembaga keuangan menjadi krusial untuk berada dalam satu atap karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatu, sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan termasuk produk keluaran perbankan atau non perbankan. Sementara itu di Indonesia, mayoritas bank adalah bank komersial (commercial banking) dan jikapun terdapat produk hibrida, jumlahnya masih sedikit dibanding dana di sektor perbankan, sehingga struktur pengawasan yang terpisah per industri boleh jadi merupakan
struktur pengawasan yang lebih tepat bagi
Indonesia dan negara berkembang lainnya (Grenville, 2005). Tabel 1.1 menunjukkan kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan telah diterima secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama persis sesuai dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi berdasarkan keunikan sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis lokalnya. Maka, keefektifannya dalam penerapannya untuk setiap negara lebih didasarkan pada keunikan faktor-faktor lokalnya sehingga tidak ada satu model yang pasti cocok dan optimal untuk diterapkan di setiap negara. Konsensus yang berlaku menyatakan bahwa pemilihan pendekatan mana yang sesuai dalam pembentukan struktur model pengawasan sistem keuangan haruslah berdasarkan pada:
4
1. Kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan meringkas sebuah struktur yang kompleks 2. Penekanan pada kejelasan prinsip-prinsip dasar regulasi 3. Kebutuhan untuk menjalankan koordinasi internasional terkait dengan standar dan regulasi 4. Adanya peraturan yang fleksibel untuk mengadaptasi jenis institusi baru dan instrumen keuangan baru 5. Adanya independensi antar politik antara pasar dalam otorisasi regulasi nasional 6. Peran bank sentral dalam penciptaaan stabilitas keuangan harus didukung oleh otoritas dan kapasitas yang cukup 7. Kualitas sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi Tabel 1.1. Bentuk Struktur Pengawasan Lembaga Keuangan Tipe
Definisi
Institutional
Yang menentukan regulator mana yang akan mengawasi RRC, Hongkong, sebuah institusi adalah status badan hukum dari perusahaan dan Meksiko tersebut (misal : status perusahaan A adalah sebagai bank, broker-dealer, atau perusahaan asuransi), baik dalam hal safety dan soundness serta pelaksanaan bisnis.
Functional
Yang menentukan regulator mana yang akan mengawasi Brazil, Perancis, sebuah institusi adalah transaksi bisnis yang dilakukan oleh Italia, dan Spanyol perusahaan, tanpa mempedulikan status hukum dari perusahaan tersebut. Masing-masing lini bisnis diawasi oleh regulator masing-masing
Integrated
Terdapat sebuah regulator tunggal yang melaksanakan pengawasan dalam hal safety dan soundness, begitu juga conduct of business, untuk seluruh lembaga yang berada di sektor keuangan
Twin Peaks
Bentuk regulation by objective, yaitu pemisahan antara Australia fungsi regulatory menjadi dua (2) regulator: salah Belanda menjalankan fungsi supervisi safety dan soundness, sementara yang lainnya fokus pada conduct of business
An Exception
Struktur yang digunakan di Amerika Serikat merupakan Amerika Serikat struktur fungsional dengan beberapa aspek institusional, dan lebih kompleks dengan adanya lembaga di tingkat negara bagian. Treasury Blueprint Amerika Serikat terakhir menyadari kelemahan ini dan mengusulkan perubahan ke arah pendekatan modified Twin Peak sebagai sasaran jangka panjang.
Aplikasi Negara
Kanada, Jerman, Jepang, Qatar, Singapura, Swiss, dan Inggris dan
Sumber: Goodhart (2000)
5
1.3. Pertanyaan Penelitian Terkait dengan beberapa potensi masalah yang mungkin muncul dengan keberadaan OJK di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang perlu segera mendapat jawaban adalah: 1. Bagaimana kinerja pengawasan dan monitoring yang dilakukan BI dan Bapepam-LK selama ini? Jika terdapat kekurangan apakah dimungkinkan perbaikan terkait dengan fungsi pengawasan dan monitoring tersebut? 2. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari beragam sistem pengawasan yang ada di dunia saat ini dan best practice apa yang bisa dipelajari dari pengalaman dari negara lain terkait dengan OJK versi RUU OJK? 3. Bagaimanakah sistem pengawasan lembaga keuangan yang optimum untuk Indonesia? Dan bagaimanakah struktur hubungan antara OJK versi RUU OJK dan lembaga terkait yang dipandang paling tepat untuk Indonesia tanpa meningkatkan kerentanan terhadap krisis? 4. Apabila RUU OJK diratifikasi, kira-kira berapa biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan operasional OJK versi RUU OJK? 1.4. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan kinerja supervision dan monitoring perbankan yang selama ini dilakukan oleh pihak BI dan Bapepam-LK dan mengidentifikasi berbagai kekurangan dan kelebihan yang ada serta memformulasikan perbaikan kedepan. 2. Menganalisis kelebihan dan kekurangan dari beragam sistem pengawasan dan mencari lesson learned dari berbagai pengalaman yang terjadi di negara lain. 3. a. Memformulasikan bentuk lembaga OJK versi RUU OJK beserta tugas pokok fungsinya yang paling tepat bagi perekonomian Indonesia. b. Memformulasikan hubungan antara OJK versi RUU OJK dengan institusi-institusi terkait yang berperan dalam macro-prudential surveillance dan micro-prudential surveillance sehingga kerentanan perekonomian Indonesia terhadap krisis ekonomi bisa diminimasi. 4. Mengestimasi
besarnya
biaya
yang
diperlukan
untuk
membentuk
dan
mengoperasionalkan OJK versi RUU apabila nantinya RUU OJK benar-benar diratifikasi. 6
1.5. Metodologi Untuk mengetahui berbagai macam tipe pengawasan dan memperoleh lesson learned dari efektivitas berbagai sistem pengawasan dilakukan studi literatur. Studi literatur akan dilakukan dengan mengkaji berbagai paper dan buku yang terkait dengan pelaksanaan berbagai sistem pengawasan lembaga keuangan yang telah dilakukan di berbagai negara. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan mendasar yaitu bagaimana Ilmu Ekonomi menganalisis keberaan sistem pengawas lembaga keuangan yang dimanifestasikan ke dalam RUU OJK yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR. Untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan analisis dengan berbagai teori yang ada di ilmu Ekonomi secara exhaustive. Beberapa alat analisis yang dipakai di penelitian ini adalah Public Economics, Behavioural Game Theory, Experimental Economics, Public Choice Theory, serta Transaction Costs. Behavioural game theory adalah cabang Ekonomika yang mempelajari pengambilan keputusan antar individu maupun lembaga dalam situasi interaktif yang didasarkan pada berbagai hasil eksperimen dalam memainkan berbagai game tersebut. Jika OJK versi RUU OJK akan berdiri sebagai lembaga independen, maka tentu hubungan antara OJK versi RUU OJK (dalam hal ini adalah Bapepam-LK) dan BI dapat dimodelkan sebagai 2x2 prisoners’ dilemma game. Game tersebut selama ini digunakan untuk memodelkan hubungan antar lembaga pemerintah maupun model tentang public choice theory. Modelling dengan menggunakan behavioural game theory akan sangat berguna untuk mengevaluasi sistem pengawasan dan monitoring lembaga keuangan yang ada saat ini. Hal yang sama akan dapat dilakukan untuk mengestimasi efektivitas fungsi pengawasan dan monitoring serta kaitannya dengan kerentanan terhadap krisis jika fungsi tersebut diemban oleh OJK versi RUU OJK. Terlepas dari struktur OJK versi RUU OJK yang akan dibentuk, jelas akan ada dua otoritas di bidang moneter yaitu OJK versi RUU OJK yang berfungsi melakukan pengawasan dan monitoring, sementara BI hanya fokus kepada pengaturan moneter. Pemisahan kedua fungsi ini untuk dilaksanakan oleh dua lembaga yang terpisah berpotensi untuk menimbulkan coordination failure. Idealnya penelitian ini menggunakan metoda eksperimen untuk mengetahui bagaimana perilaku masyarakat Indonesia, terutama terhadap framing effect dan aspek apa dalam bounded rationality yang lebih utama dimiliki oleh masyarkat Indonesia. Informasi tersebut akan sangat berguna untuk merancang struktur OJK dan hubungannya dengan BI. Jika saja hal ini ditempuh, maka beberapa design experiment akan disusun untuk mensimulasikan 7
struktur hubungan yang mungkin terjadi antara OJK dan lembaga terkait. Eksperimen akan dilaksanakan terhadap model game theory yang telah dibuat pada tahap sebelumnya, untuk kemudian diujikan kepada manusia untuk melihat struktur game seperti apa yang paling kondusif mencegah miscoordination. Didasarkan pada design experiment, akan dilakukan analisis terhadap prediksi teori ekonomi terhadap design experiment. Hasil ini akan dibandingkan dengan hasil eksperimen jika eksperimen tersebut langsung dimainkan oleh pelaku ekonomi riil. Namun demikian, karena keterbatasan sumberdaya yang ada, terutama keterbatasan waktu, maka penggunaan metoda eksperimen akan digunakan setelah kajian literature dilakukan dalam penelitian ini. Idealnya hubungan antar lembaga--seperti tercantum dalam OJK versi RUU OJK--dan BI adalah pure coordination game, namun hal seperti ini sulit terjadi karena masing-masing lembaga cenderung tunduk terhadap tugas pokok fungsi. Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika kata ‘koordinasi’ seringkali tidak ada di dalam tugas pokok fungsi. Alhasil, dua lembaga yang seharusnya aktif berkoordinasi, cenderung untuk tidak berkomunikasi karena masing-masing hanya berusaha memenuhi tugas pokok dan fungsi mereka tanpa memikirkan dampaknya terhadap perekonomian. Modelling game theory dari struktur hubungan antara lembaga yeng tercantum dalam OJK versi RUU OJK dan lembaga terkait lain akan dilakukan di dalam penelitian ini. Analisis game theory dan behavioural game theory akan digunakan untuk mencari model game terbaik yang mampu mengatasi masalah miscoordination antara lembaga terkait. 1.5.1. Data Data yang diperlukan untuk studi ini diperoleh dari berbagai data sekunder yang relevan serta data primer. Data sekunder diperoleh dari informasi sistem pengawasan dan monitoring perbankan yang selama ini dilakukan oleh pihak BI dan Bapepam-LK. Data lain yang dibutuhkan adalah literatur terkait dengan pelaksanaan berbagai model sistem pengawasan lembaga keuangan yang ada di dunia. Hal ini bisa diperoleh melalui online journal yang dapat diakses oleh tim peneliti. Informasi lain yang diperlukan adalah perundang-undangan terkait dengan pendirian OJK seperti termaktub dalam RUU OJK.
8
Bab 2: Struktur Industri dan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan 2.1. Struktur Industri Lembaga Keuangan Sektor keuangan memiliki peran yang penting dalam sistem perekonomian melalui pertumbuhan ekonomi, akumulasi kapital, dan inovasi teknologi (Levine, 1997). Fungsi intermediasi memungkinkan lembaga keuangan menggalang dana dari pihak yang memiliki kelebihan dana dan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan dana khususnya sektor riil. Sektor inilah yang menjaga keseimbangan antar sektor perekonomian dan memastikan roda perekonomian tetap berputar. Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak lepas dari perkembangan sistem keuangan yang semakin canggih (Gambar 2.1). Secara global, pentingnya stabilitas sistem keuangan dalam perekonomian didorong oleh empat hal, yaitu pertumbuhan sektor keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor riil, integrasi sistem keuangan global dan regional, kompleksitas sistem keuangan dan perubahan komposisi dalam proses sistem keuangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dimana komposisi aset nonmoneter menjadi lebih penting (Houben, 2004). Gambar 2.1 Pendekatan Teoritis Dampak Perkembangan Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pergeseran pasar: ‐ Biaya informasi ‐ Biaya transaksi
Pasar keuangan dan perantara keuangan
Fungsi keuangan: ‐ mobilisasi tabungan ‐ alokasi sumberdaya ‐ penggunaan pengawasan perusahaan ‐ fasilitasi manajemen risiko ‐ kemudahan perdagangan barang, jasa, dan dan kontrak
Mekanisme ke pertumbuhan: ‐ akumulasi modal ‐ inovasi teknologi
Pertumbuhan
Sumber: Levine (1997)
9
Lembaga keuangan di Indonesia secara umum dibagi dua yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank di Indonesia meliputi bank umum, bank syariah, dan BPR (umum dan syariah). Lembaga keuangan nonbank meliputi perasuransian, pasar modal, perusahaan pegadaian, dana pensiun, koperasi, dan lembaga penjaminan dan pembiayaan. Perusahaan yang dapat dikategorikan menjadi lembaga pembiayaan antara lain perusahaan sewa guna usaha (leasing), perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan modal ventura. Tabel 2.1 menunjukkan jumlah perusahaan untuk setiap kategori lembaga keuangan yang sebagian besar merupakan perbankan. Tabel 2.1. Jumlah Perusahaan Lembaga Keuangan di Indonesia Lembaga keuangan Perbankan Bank Umum1 BPR Bank Syariah2 Sub Total Perbankan (A) Asuransi3 Pasar modal Pasar obligasi Perusahaan efek Perusahaan pegadaian Dana Pensiun Perusahaan Pembiayaan Perusahaan modal ventura Sub Total Non-Perbankan (B) Total (A + B)
Jumlah perusahaan/emiten 121 1.712 169 2.003 144 499 184 158 1 406 212 66 1.670 3.672
Sumber: BI (2010e), Bapepam-LK (2009), Biro Dana Pensiun (2009), Biro Perasuransian (2008) 1 Jumlah bank umum dan BPR berdasarkan data Mei 2010 2 Bank syariah meliputi bank umum syariah, unit usaha syariah, dan BPR syariah. 3 Asuransi meliputi asuransi non-jiwa, reasuransi, asuransi jiwa, asuransi sosial, dan asuransi PNS, TNI, dan Polri. 3 Jumlah emiten pasar modal dan obligasi berdasarkan data kuartal I/2009
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa jumlah lembaga keuangan perbankan mencakup 56,71% dari jumlah total lembaga keuangan. Sementara itu lembaga keuangan non-perbankan hanya mencakup 43,29% saja. Perbankan tidak hanya mendominasi jumlah perusahaan tetapi juga pangsa aset terhadap aset total sektor keuangan (Gambar 2.2). Pangsa aset perbankan mencapai 87% sedangkan 13% pangsa aset terdiri dari enam lembaga keuangan lainnya yaitu perusahaan pembiayaan, dana pensiun, reksa dana, pegadaian, asuransi, dan modal ventura. Menarik untuk dicatat pangsa lembaga pembiayaan yang relatif besar dibandingkan lembaga keuangan lain di luar perbankan. 10
Gambar 2.2 Pangsa Aset Lembaga Keuangan Terhadap Total Aset Sektor Keuangan
Sumber: Dihitung dari BI (2010b;2009), Bapepam-LK (2009), Pegadaian (2010)
Aset total lembaga keuangan di Indonesia mencapai Rp2.671 triliun pada tahun 2008 (Tabel 2.2). Rasio aset total lembaga keuangan terhadap PDB nominal yang mencapai 47,6% pada tahun 2008 menjelaskan ukuran sektor keuangan yang besar. Jika melihat perkembangan masing-masing lembaga, pegadaian, perusahaan pembiayaan, dan perbankan mengalami kenaikan aset tertinggi selama 2006-2008. Aset pegadaian meningkat sebesar 114,9% sedangkan aset perusahaan pembiayaan dan perbankan masing-masing meningkat sebesar 54,7% dan 36,7% selama tahun 2006-2008. Tabel 2.2. Aset dan Nilai Aktivitas Lembaga Keuangan
Lembaga Keuangan Perbankan (A) LK Nonbank (B) Modal ventura Asuransi Perusahaan pembiayaan Dana pension Reksa dana Pegadaian Total Aset LK Nonbank (B) Aset total sektor keuangan (A+B) PDB nominal (triliun rupiah) (C) Proporsi Aset Perbankan: PDB (A:C) Proporsi Aset LK Nonbank: PDB (B:C) Rasio Aset Sektor Keuangan:PDB (A+B):C
Aset (triliun rupiah) 2006 2007 2008 1.693,5 1.986,5 2.310,6
Nilai aktivitas utama (triliun rupiah)1 2006 2007 2008 832,9 1.045,7 1.353,6
3,0 2,8 2,1 1,5 4,7 5,0 16,2 19,1 22,7 152,9 202,3 211,2 93,1 107,7 137,5 93,1 107,7 137,5 77,7 91,2 90,2 75,0 88,0 86,4 72,1 73,1 74,1 18,4 22,8 33,8 18,4 22,8 33,8 280,5 316,7 360,4 340,9 425,5 473,9 1.974,0 2.303,2 2.671,0 1.173,8 1.471,2 1.827,5 3.949,3 4.954,0 5.613,4 3.949,3 4.954,0 5.613,4 42,9 40,1 41,2 21,1 21,1 24,1 7,1 6,4 6,4 8,6 8,6 8,4 50,0 46,5 47,6 29,7 29,7 32,6
Sumber: dihitung dari BI (2010b;2009), Bapepam-LK (2009), Pegadaian (2010) 1 Nilai aktivitas berdasarkan jumlah kredit (perbankan), jumlah pinjaman (pegadaian), jumlah pembiayaan (perusahaan pembiayaan dan modal ventura), dan jumlah investasi (asuransi dan dana pensiun).
11
Nilai aktivitas utama sektor keuangan yang meliputi kredit, pembiayaan, pinjaman, dan investasi tumbuh 24,2% dan mencapai Rp1.827,5 triliun pada tahun 2008. Lembaga yang mengalami kenaikan nilai aktivitas utama tertinggi selama 2006-2008 adalah modal ventura (233,3%), pegadaian (83,7%), dan perbankan (62,5%). Kenaikan nilai aktivitas utama sektor keuangan secara umum menggambarkan perkembangan sektor tersebut dalam perekonomian Indonesia. Peran intermediasi sektor tersebut meningkat seiring kenaikan kebutuhan masyarakat terhadap pembiayaan. Regulasi dan pengawasan sektor keuangan yang kuat sangatlah krusial melihat perkembangan sektor tersebut. Sektor keuangan merupakan “pusat” dari sistem dalam sebuah perekonomian: kegagalan sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam perekonomian (Stiglitz, 1994). Sebagai contoh, krisis sektor keuangan pada tahun 1997-1998 merupakan yang termahal di dunia. Biaya penyelamatan sektor perbankan mencapai 50% dari PDB Indonesia pada waktu itu. Hancurnya sektor keuangan juga menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi yang tajam (World Bank, 2009). Chowdhury (2010) menjelaskan bahwa regulasi sektor keuangan harus ditinjau kembali pasca krisis keuangan tahun 1998 untuk mencegah kegagalan sistemik berikutnya. Regulasi dan pengawasan sektor keuangan juga krusial melihat potensi pelanggaran yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan. Perkembangan kompetisi di sektor keuangan mendorong institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk. Namun, inovasi yang dilakukan terkadang melanggar ketentuan yang berlaku karena desakan kompetisi yang ketat. Pelanggaran potensial lainnya meliputi laporan yang tidak transparan, insider trading, dan pencucian uang. Bank Indonesia memiliki tugas mengawasi lembaga keuangan bank. Tugas pengawasan merupakan salah satu pilar utama dalam mencapai tujuan utama Bank Indonesia yaitu nilai rupiah yang stabil. Lembaga keuangan nonbank seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK yang merupakan lembaga di bawah Kementrian Keuangan (Tabel 2.3). Menarik untuk dicatat bahwa Bapepam-LK sedang menyusun RUU Pegadaian yang memungkinkan pemain baru dalam pasar keuangan khususnya pegadaian.
12
Tabel 2.3. Lembaga Pengawas Berdasarkan Lembaga Keuangan Lembaga Keuangan Bank Bank Umum Bank Syariah BPR Asuransi Pasar modal Perusahaan pegadaian Dana Pensiun Dana Reksa Koperasi Lembaga penjaminan Lembaga Pembiayaan Perusahaan sewa guna usaha Perusahaan pembiayaan konsumen Perusahaan modal ventura
Lembaga Pengawas Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bapepam-LK Bapepam-LK Bapepam-LK1 Bapepam-LK Bapepam-LK Kementrian Negara Koperasi dan UKM, BI, dan BapepamLK2 Bapepam-LK Bapepam-LK Bapepam-LK Bapepam-LK
Sumber: BI (2010d), Kementrian Negara Koperasi dan UKM (2010), Bapepam-LK (2010) 1 Bapepam-LK berencana mengeluarkan RUU pegadaian 2 Kegiatan koperasi simpan pinjam diatur dalam PP Nomor 9/1995. Kementrian Negara Kopeasi dan UKM memiliki wacana membentuk lembaga pengawas koperasi di bidang jasa keuangan. Koperasi yang bergerak dalam bidang perbankan diawasi oleh BI sedangkan koperasi yang bergerak dalam bidang pembiayaanakan diawasi oleh Bapepam-LK
Perkembangan industri keuangan Indonesia tidak dapat mengesampingkan peran lembaga keuangan mikro (LKM). Jumlah LKM di Indonesia sangatlah banyak dengan jumlah nasabah mencapai lebih dari 35 juta sampai dengan tahun 2009 (Tabel 2.4). LKM, tentunya, telah jauh berkembang sampai dengan tahun 2010: unit usaha dan nasabah yang terus bertambah. Selain itu, masih terdapat sarana keuangan lain yang tidak terdata namun jumlahnya relatif besar, misalnya arisan dan rentenir. Sampai saat ini, belum semua LKM di Indonesia memiliki pengawasan formal. Hal ini menarik dicatat karena peran LKM akan semakin besar dalam industri keuangan di Indonesia dan pengawasannya akan menjadi penting.
13
Tabel 2.4. Profil Lembaga Keuangan Mikro Indonesia, sampai dengan 2009 Posisi Kredit Jumlah (unit)
Jenis Lembaga
Formal
Posisi Simpanan
Total
Nasabah
Total
Nasabah
(Rp miliar)
(Rp miliar)
Bank
BRI (BRI, 2009)
4.029
4.918.000
130.266
30.000.000
32.000
1.200
-
12.300
-
-
Danamon DSP (Danamon, 2009) Bank Mandiri Micro Business Unit (Mandiri, 2009)
976
430.000
5.400
-
-
BTPN (BTPN, 2010)
105
160.000
250
-
-
Bank Mega Syariah (Bank Mega, 2009)
210
-
1.000
-
-
Bank BNI SKC (Bank BNI, 2009)
169
339.000
3.590
-
-
BPR (Maret 2004)
2.296
2.718.000
25.746
5.610.000
9.254
BKD (Profi GTZ, 2005)
5.345
675.000
233
507.000
39
Total Bank (A)
14.330
9.240.000
178.785
36.117.000
41.293
Nonbank
KSP (Kemeneg KUKM, 2009)
3.200
655.000
531
USP (Kemeneg KUKM, 2009)
66.352
-
KJKS (Kemeneg KUKM, 2009)
264
-
-
85
3.629
-
1.157
-
-
-
UJSK (Kemeneg KUKM, 2009)
524
-
-
BK3D (Desember 2003)
965
964.000
3236
Swamitra (2003)
177
32.000
127
55.000
56
LDKP (Profi GTZ, 2005))
239
1.326.000
1076
-
334
Pegadaian (Pegadaian, 2009)
3.100
14.300.000
49.000
-
UlaMM (PNM, 2009)
184
13.021.000
800
-
-
LKM LSM
Total Nonbank (B)
55.000
1.831
Total Formal (X=A+B)
Nonformal
1047
286.000
449
76.052
30.584.000
58.848
90.382
39.824.000
-
237.633
-
199
36.172.000
43.124
BMT (Oktober 2004)
3937
1.175.000
1.980
-
209
Credit union dan NGO (Oktober 2004)
1,146
397.401
506
293.648
188
Total Nonformal (Y)
3.938
1.572.401
2.486
293.648
397
94.320
41.396.401
240.119
36.465.648
43.521
Jumlah (X+Y)
Sumber: diolah dari Ashari (2006), Kemeneg KUKM (2009), GTZ (2005); BTPN= Bank Tabungan Pensiunan Nasional; BKD = Badan Kredit Desa; KSP = Koperasi Simpan Pinjam; USP = Unit Simpan Pinjam; BK3D = Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah; LDKP = Lembaga Dana Kredit Pedesaan; Kukesra = Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat; PNM ULMM= Permodalan Nasional Madani Unit Layanan Modal Mikro; KJKS=Koperasi Jasa Keuangan Syariah; UJSK=Unit Jasa Syariah Koperasi.
14
Program pinjaman mikro Indonesia juga hadir di Indonesia, selain LMK formal dan nonformal. Menurut Ashari (2006), jumlah program mencapai 35.135 yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain jumlah program yang besar, jumlah nasabah mencapai lebih dari 16 juta dengan pinjaman sebesar Rp2,8 triliun (Tabel 2.5). Tabel 2.5. Profil Program Pinjaman Mikro Indonesia, sampai dengan 2003
Jenis Lembaga
Jumlah (unit)
Program Kukesra (Juni 2002) PPK (Desember 2002) P4K (Mei 2002) P2KP (September 2003) PKM (Juni 2003) 1 PEMP (Desember 2003) IMS-NTAADP (Desember (2003) IMS SAADP Total Program
Posisi Kredit Total Nasabah (Rp miliar)
15.481 15.481 2.227 1.140 481.000 214 592 35.135
10.300.000 300.000 300.000 3.200.000 2.300.000 58.000 94.000 17.033.000
754 243 243 500 649 308 42 100 2.839
Sumber: diolah dari Ashari (2006); PPK = Program Pengembangan Kecamatan; P4K = Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petaninelayan Kecil; P2KP = Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan; PKM = Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat; PEMP = Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir; IMS = Inisiatif Masyarakat Setempat.
2.1.1. Kinerja Pengawasan Perbankan Hasil investigasi pelanggaran perbankan selama tahun 2004-2009
menunjukkan bahwa
jumlah pelanggaran perbankan mencapai 1.139 kasus (Tabel 2.6). Jumlah bank dan BPR yang diinvestigasi mencapai 589
dari 1.139 kasus. Jumlah kasus yang telah selesai
diinvestigasi mencapai 1.026, walaupun demikian masih terdapat 292 kasus yang tidak ditindaklanjuti investigasinya karena beberapa sebab. Pada 2009 terdapat sejumlah 141 kasus atau
permasalahan
sengketa
perdata
dari
68
bank
yang
ada
di
Indonesia.
15
BOKS 2.1: Industri BMT yang Terus Berkembang Perkembangan BMT sebagai lembaga keuangan mikro di Indonesia sangatlah vital terutama bagi UMKM. Jumlah BMT pada tahun 2004 mencapai 3.038 unit dan menyalurkan kredit kepada 1,2 juta nasabah dengan jumlah total Rp157 miliar. Selain itu, BMT mampu menghimpun dana mencapai Rp209 miliar (Ashari, 2006). Jumlah BMT meningkat sebesar 5,4% menjadi 3.200 unit selama tahun 2004-2006 dan 3,3% menjadi 3.307 unit selama tahun 2006-2008 (SMECDA, 2006; Segara, 2008). Patut dicatat, jumlah aset BMT pada tahun 2008 mencapai Rp1,5 triliun (Segara, 2008). Perkembangan BMT yang pesat tidak diikuti dengan pembentukan sistem pengawasan yang mapan. Dalam praktiknya, sebagian besar BMT berbadan hukum koperasi oleh karena itu BMT tunduk pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dalam hal ini, pengawasan BMT dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri 39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS). Lembaga lain yang berkepentingan terhadap BMT seperti Asosiasi BMT Se-Indonesia (Absindo), Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (Pinbuk), BMT Center, dan Induk Koperasi Syariah belum berperan sebagai pengawas (fungsi regulasi dan pengawasan) BMT. Lembaga tersebut cenderung fokus pada pengembangan kompetensi BMT sebagai unit usaha. Sebagai contoh, BMT Center fokus pada: a. capacity building, yaitu upaya membangun, menyehatkan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan yang dilakukan melalui pelatihan, pendampingan, dan bentuk jasa manajamen lain b. menyusun dan menerbitkan beberapa pedoman operasional, seperti: Blue Print BMT, SOP (Standard Operating Procedure), Pedoman Akad Syariah BMT, Pedoman Kesehatan BMT, dan beberapa pedoman lain c. advokasi dan konsultasi d. rating agency; e. monitoring agency dan supervisi f. pusat operasi, yaitu penyedia informasi lain yang diperlukan mengenai BMT dan hal-hal yang terkait (Suharto, 2008). Dari pembahasan di atas, BMT menghadapi dua kompleksitas sebagai berikut. Pertama, tidak ada lembaga pengawas BMT yang bertugas menyusun regulasi dan melaksanakan pengawasan. Implikasi dari kompleksitas ini adalah tingginya potensi penyalahgunaan dalam pelaksanaan usaha BMT. Kedua, tidak ada basis data BMT yang komprehensif sehingga menyulitkan pemetaan dan pemantauan usaha BMT.
16
Tabel 2.6. Hasil Investigasi Perbankan, 2004-2009 2004 No
1 2
3
Keterangan Jumlah sengketa perdata yang diterima Jumlah sengketa perdata yang selesai di-mediasi 2.1 Jumlah yang telah dilaporkan kepada penyidik (Kepolisian negara RI) 2.2 Jumlah yang telah direkomendasikan kepada KBI untuk ditindaklanjuti 2.3 Jumlah yang telah dibahas dalam tim kerja pusat dan daerah 2.4 Jumlah yang untuk dilakukan pembinaan 2.5 Jumlah yang tidak ditindaklanjuti Jumlah sengketa perdata yang masih dalam proses
2005
2006
2007
2008
2009
Jumlah Sengketa
Jumlah Bank
Jumlah Sengketa
Jumlah Bank
Jumlah Sengketa
Jumlah Bank
Jumlah Sengketa
Jumlah Bank
Jumlah Sengketa
Jumlah Bank
Jumlah Sengketa
Jumlah Bank
437
227
154
82
163
88
117
65
127
59
141
68
406
209
134
69
135
73
106
51
115
51
130
59
214
95
84
35
19
9
1
1
17
9
80
35
0
0
0
0
96
44
76
34
78
33
42
17
0
0
0
0
0
0
0
0
18
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
7
6
192
114
50
34
20
20
29
16
0
0
1
1
31
18
20
13
28
15
33
18
12
8
11
9
Sumber: BI (2004b; 2005; 2009;2010b) *) sebab-sebab tidak dapat ditindaklanjuti investigasi: a. b. c. d.
Tidak mengandung unsur pidana; atau Sudah ditangani oleh penegak hukum; atau Merupakan kewenangan instansi lain (seperti perpajakan); atau Kadarluwarsa atau hal-hal lain yang memenuhi kriteria batal demi hukum
Tabel 2.7. Jenis Pelanggaran Perbankan Jenis Pelanggaran 1. Masalah perkreditan (loan swap, debitur fiktif, kredit topengan, trade finance, rekayasa untuk menghindari BMPK) 2. Masalah pendanaan
% 30%
3. Masalah rekayasa laporan/pembukuan/pencatatan
17%
4. Masalah tidak melakukan pencatatan
11%
5. Masalah biaya fiktif dan mark-up biaya
7%
6. Masalah penggelapan 7. Masalah lainnya (pengambilan aset, transfer dana, perpajakan, penghimpunan dana tanpa izin, permodalan, transaksi valas, penyalahgunaan wewenang, cyber fraud, praktek bank dalam bank
5%
17%
13%
Sumber: BI (2007)
Kasus-kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan meliputi masalah perkreditan, pendanaan, rekayasa laporan, biaya fiktif, penggelapan, dan lainnya (Tabel 2.7). Jumlah pelanggaran terbesar terkait masalah perkreditan seperti loan swap, debitur fiktif, kredit topengan, dan rekayasa untuk menghindari BMPK. Masalah pendanaan bank dan rekayasan laporan masuk dalam jenis pelanggaran yang relatif sering dilakukan oleh bank.
17
Tabel 2.8 menunjukkan jumlah sengketa antara nasabah dan bank berdasarkan jenis produk selama tahun 2008 dan 2009. Sejak Januari sampai dengan Desember 2009, Bank Indonesia telah menerima 231 sengketa yang disampaikan nasabah di 50 bank. Sengketa nasabah dengan bank ini sebagian besar diajukan oleh nasabah bank umum (224 kasus) sedangkan sisanya adalah sengketa yang diajukan oleh BPR. Dari 2.231 kasus yang diterima pada tahun 2009 sebanyak 215 sengketa dan 16 sengketa masih dalam proses penyelesaian. Dari datadata diketahui bahwa sebagian besar sengketa yang disampaikan terkait dengan produk/jasa di bidang sistem pembayaran.
Tabel 2.8. Jumlah Sengketa Nasabah Berdasarkan Jenis Produk Tahun 2008-2009 Jenis Produk
Tahun 2008
Tahun 2009
Total 20082009
Perubahan (%)
55 85 83 1 12 20 256
23 79 88 10 20 11 231
78 164 171 11 32 31 487
58,2 7,1 -6,0 -900,0 -66,7 45,0 9,8
Penghimpunan Dana Penyaluran Dana Sistem Pembayaran Produk Kerjasama Produk Lainnya Diluar permasalah Produk Perbankan Sumber: BI (2004b; 2005; 2009;2010b)
2.1.2. Kinerja Pengawasan di Lembaga Keuangan Non-Perbankan Sektor keuangan nonbank dan pasar modal diawasi oleh Bapepam LK. Aktivitas pengawasan yang dilakukan terhadap lembaga-lembaga di bawah pengawasan Bapepam LK cukup beragam, mulai dari ulasan terhadap kesesuaian proses maupun praktek bisnis dengan aturan yang berlaku, pelaksanaan uji kepatuhan, pengawasan terhadap aktivitas pasar sekunder saham, pemeriksaan rutin. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi di dalam melakukan pengawasan, Bapepam LK telah mengembangkan dan menerapkan sistem pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision). Upaya lain terkait dengan aktivitas pengawasan dan penegakan hukum, khususnya di pasar modal Indonesia adalah terbentuknya Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di bidang Pengelolaan Investasi (Satgas). Keanggotaan Satgas yang dibentuk pada tanggal 20 Juni 2007 tidak hanya berasal dari Bapepam LK tetapi juga berasal Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementrian Perdagangan, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditi (Bappebti), dan Bareskrim POLRI. 18
Tabel 2.9 menunjukkan data penegakan hukum di pasar modal yang dilaksanakan oleh Bapepam LK pada tahun 2006-2008. Hukuman yang diberikan kepada emiten meliputi sanksi moneter, pembekuan usaha, dan pencabutan izin usaha. Data menunjukkan bahwa jumlah perusahaan dan emiten yang didenda mengalami peningkatan dari tahun 2006 ke tahun 2008. Jumlah emiten saham mencapai 499 pada tahun 2008 sedangkan jumlah emiten yang didenda mencapai 212 (42,5%). Jumlah perusahaan efek yang didenda selama tahun 2008 bahkan mencapai 237 walaupun jumlah perusahaan efek hanya 158. Angka tersebut menunjukkan bahwa satu perusahaan efek melakukan pelanggaran dengan rerata 1,5 pada tahun 2008. Tabel 2.9. Penegakan Hukum di Pasar Modal, 2006-2008 Sanksi
2006
2007
2008
Jumlah perusahaan/emiten didenda Emiten saham Perusahaan efek
140 37
136 103
212 237
Wakil perusahaan efek Biro administrasi efek Jumlah
0 177 354
18 257 514
0 449 898
Jumlah denda yang dibebankan Emiten saham Perusahaan efek Wakil perusahaan efek
6.7 0.5 0
6.7 6 5.1
8.4 1.5 0
Biro administrasi efek 0.0 12.1 Jumlah 7.2 29.9 Sumber: dihitung dari Bapepam-LK (2009)
0.1 10.0
Sanksi
2006
2007
2008
Perusahaan efek
0
0
2
Wakil perusahaan efek Biro administrasi efek Jumlah
3 0 3
1 9 10
2 1 5
Perusahaan efek Wakil perusahaan efek
2 1
5 2
2 0
Biro administrasi efek Jumlah
0 3
13 20
0 2
Izin usaha dibekukan sementara
Izin usaha dicabut
Bapepam-LK juga melakukan penegakan hukum di lembaga keuangan selama tahun 20062008 (Tabel 2.10). Penegakan hukum di lembaga keuangan meliputi sanksi moneter, denda keterlambatan penyampaian laporan, peringatan, dan pencabutan izin usaha. Jumlah pelanggaran di lembaga keuangan relatif lebih kecil dibandingkan di pasar modal selama tahun 2006-2008. Pada rentang waktu yang sama, sanksi moneter yang dikenakan kepada lembaga keuangan juga relatif lebih kecil. Walaupun demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa tingkat pelanggaran di lembaga keuagan relatif lebih kecil dibandingkan di pasar modal.
19
Tabel 2.10. Penegakan Hukum di Lembaga Keuangan, 2006-2008 Sanksi-Sanksi Sanksi moneter Denda kepada perusahaan asuransi atas keterlambatan penyampaian laporan tahunan (juta rupiah) Sanksi lainnya Jumlah dana pensiun mendapat sanksi atas keterlambatan penyampaian laporan Peringatan pertama kepada perusahaan pembiayaan Peringatan kedua kepada perusahaan pembiayaan Peringatan ketiga kepada perusahaan pembiayaan Pencabutan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan Pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan Sumber: dihitung dari Bapepam-LK (2009)
2006
2007
2008
0
230
412
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
42 45 21 13 6 7
20
Bab 3: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 3.1.Latar Belakang Pembentukan OJK Pembentukan OJK pada sebuah perekonomian memiliki keunggulan maupun kelemahan serta hambatan. Abrams dan Taylor (2000) menjabarkan argumen yang mendukung dan tidak mendukung pembentukan lembaga pengawas yang menjaga sistem keuangan secara menyeluruh (perbankan, asuransi, dan pembiayaan). Perkembangan konglomerasi keuangan memungkinkan sebuah induk perusahaan untuk memiliki beberapa institusi pada lembaga keuangan yang berbeda. Hal tersebut menciptakan keterkaitan antar lembaga sehingga risiko antar lembaga juga akan terkait. Oleh karena itu, pengawasan harus menyeluruh (tidak parsial) untuk memungkinkan analisis risiko yang menyeluruh. Selain perkembangan konglomerasi, praktik arbitrase peraturan (regulatory arbitrage) dilakukan oleh lembaga keuangan dengan menciptakan produk yang regulasi pengawasnya lebih longgar. Arbitrase peraturan merupakan praktik yang dilakukan oleh lembaga keuangan sehingga produk yang dihasilkan diawasi oleh otoritas yang regulasinya lebih longgar. Arbitrase peraturan adalah salah satu penyalahgunaan yang muncul jika pengawasan sektor keuangan dilakukan secara parsial. Lembaga keuangan cenderung memilih investasi pada instrumen yang diawasi oleh lembaga pengawas dengan penerapan aturan yang relatif tidak ketat. Hal tersebut mendorong kompetisi antara lembaga pengawas untuk menarik lembaga keuangan. Pembentukan lembaga pengawasan ditujukan untuk meningkatkan netralitas persaingan antar lembaga pengawas. Pembentukan lembaga pengawas juga bertujuan untuk menciptakan fleksibilitas dan efisiensi peraturan dan akuntabilitas. Hadirnya beberapa lembaga pengawas berpotensi menciptakan arogansi sektoral (turf wars) dan pengalihan tanggung jawab (pass the buck) sehingga penerapan peraturan tidak efektif. Selain itu, duplikasi proses pengambilan dan pengolahan data menyebabkan penerapan aturan yang tidak efisien antara lembaga pengawas. Blame disbursement strategy (pengalihan wewenang/pengalihan kesalahan) juga dapat muncul apabila terdapat beberapa lembaga pengawas keuangan sekaligus (Tabel 3.1).
21
Tabel 3.1. Argumen Pembentukan Lembaga Pengawas Argumen mendukung • Peningkatan pengawasan terhadap Konglomerasi Keuangan • Netralitas persaingan antar lembaga pengawas • Fleksibilitas peraturan • Efisiensi peraturan • Pengembangan SDM yang lebih baik • Peningkatan akuntabilitas • Arbitrase peraturan Sumber: Abrams dan Taylor (2000)
Argumen tidak mendukung • Tujuan lembaga yang tidak jelas • Diseconomies of scale • Potensi kebijakan antarlembaga keuangan yang tidak sinkron • Potensi penyalahgunaan • Potensi krisis ekonomi
Abrams dan Taylor (2000) juga mengidentifikasi argumen yang tidak mendukung penyatuan lembaga pengawas. Tujuan lembaga yang tidak jelas karena munculnya beberapa tujuan yang harus dicapai untuk jenis lembaga keuangan yang berbeda. Diseconomies of scale juga dikhawatirkan muncul dalam pelaksanaan kegiatan lembaga pengawas karena lembaga pengawas tunggal cenderung lebih birokratis (hierarki vertikal yang lebih tinggi). Pembentukan satu lembaga pengawas juga dapat menimbulkan kebijakan antarlembaga yang tidak sinkron karena setiap lembaga keuangan yang berbeda memiliki implikasi yang berbeda. Potensi penyalahgunaan juga hadir, misalnya, depositor perbankan dijamin dananya oleh lembaga pengawas. Lembaga keuangan lain memiliki asa bahwa mereka akan dijamin oleh lembaga pengawas tersebut sehingga prinsip prudential cenderung diabaikan. Pembentukan lembaga pengawas akan menemui hambatan seperti yang diidentifikasi oleh Abrams dan Taylor (2000). Hambatan yang muncul adalah sebagai berikut. 1. Praktik kekuatan politik: politikus yang memiliki kekuatan politik kuat cenderung menilai pembentukan lembaga pengawas sebagai sebuah kesempatan untuk meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan. Oleh karena itu, politikus tersebut berusaha untuk mendapatkan jabatan di lembaga pengawas tersebut. 2. Tarik menarik kepentingan: penciptaan lembaga pengawas baru membutuhkan peraturan baru. Penyusunan peraturan baru cenderung diwarnai kesenjangan waktu yang relatif lama dan tarik menarik kepentingan politik. 3. Potensi kehilangan kapabilitas: sumberdaya manusia kunci yang menilai proses pembentukan lembaga pengawas adalah sulit dan memakan waktu dapat memilih untuk mencari pekerjaan lain.
22
4. Proses change management yang rumit: manajemen mendapatkan tantangan berat dalam proses pembentukan lembaga pengawas tunggal dari beberapa lembaga Selain itu, pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan membutuhkan pemenuhan kriteria penting. Pemenuhan kriteria oleh lembaga pengawas sangat dibutuhkan mengingat pentingnya sektor keuangan terhadap perekonomian. Kriteria lembaga pengawas sektor keuangan khususnya bank di negara berkembang adalah sebagai berikut (Krivoy, 2000). a. pengawas bank harus independen dan kuat b. pengawas memiliki sumberdaya yang cukup untuk melakukan fungsi c. pengawasan harus proaktif dan memiliki gambaran aksi perbaikan yang tepat d. pengawasan harus menciptakan pentingnya kegunaan informasi pasar e. pengawasan harus fokus pada informasi tentang likuiditas sebagai satu sinyal peringatan dini (early warning signal) permasalahan di sektor keuangan f. pengawasan harus menjamin bahwa modal bank mencukupi g. pengawasan harus fokus pada kualitas aset dan batas pinjaman yang saling berhubungan antarlembaga h. bank sentral harus diikutsertakan dalam pengawasan bank i. pengawasan harus fokus dalam pembatasan penyalahgunaan khususnya di sektor perbankan j. pengawasan efektif harus melakukan konsolidasi khususnya di sektor perbankan. 3.2.Fungsi dan Tujuan Lembaga Pengawas Pengawasan sektor keuangan dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan regulasi terkait sektor tersebut. Secara umum, fungsi pengawasan sektor keuangan dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Macroprudential Supervision; bertujuan membatasi krisis keuangan yang dapat menghancurkan ekonomi secara riil (berfokus pada konsekuensi atas tindakan institusi
sistematis
terhadap
pasar
keuangan),
antara
lain
dengan
cara
menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu Negara. 2. Microprudential Supervision; bertujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Regulator menetapkan peraturan yang berlandaskan pada 23
prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan yaitu : (i) analisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku 3. Conduct of Business Supervision; menekankan pada keselamatan konsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi
Tabel 3.2. Fungsi Pengawasan Sektor Keuangan Fungsi Pengawasan
Keterangan
Makro
Bagaimana dampak tindakan lembaga keuangan dalam perekonomian secara agregat? Pengawasan yang terkait: (1) pencegahan risiko sistemik; (2) pengawasan makroekonomi, perkembangan pasar keuangan, dan infrastruktur pasar yang dapat menghambat stabilitas.1
Mikro
Apakah lembaga keuangan telah mematuhi regulasi sektor keuangan seperti analisis risiko, akuntabilitas laporan, dan kriteria sumberdaya manusia? Pengawasan on- dan off-site kelayakan dan kepatuhan lembaga keuangan terhadap regulasi keuangan dengan tujuan melindungi nasabah dan kreditor.1
Laku bisnis
• • • • •
perlindungan konsumen pemantauan transaksi antarlembaga insider trading praktik pencucian uang fair dealing (transparansi, keterbukaan informasi, kesesuaian, dan perlindungan investor)2
Sumber: House of Lords (2009); 1European Central Bank (2001);2 The Group of Thirty (2008)
Gambar 3.1 menunjukkan gambaran umum keadaan sektor keuangan di Indonesia saat ini dan fungsi lembaga pengawas dalam menjaga stabilitas sektor tersebut. Lembaga di sektor keuangan, yang meliputi bank, lembaga pembiayaan, asuransi, pasar modal, dana pensiun, saling terkait satu dengan lainnya. Lembaga pengawas sektor keuangan memiliki tiga fungsi utama yang harus dilakukan yaitu pengawasan mikro, makro, dan laku bisnis. Ketiga fungsi tersebut harus dilakukan secara sinergi agar dapat berjalan dengan optimal. Sinergi ketiga fungsi tersebut meliputi arus informasi yang sempurna dan koordinasi antara lembaga pengawas. 24
Gambar 3.1. Gambaran Umum Fungsi Lembaga Pengawas Fungsi Pengawasan macro‐prudential (BI): Pengawasan risiko keterkaitan struktur keuangan: aset dan kewajiban (khususnya leverage) satu lembaga keuangan dengan lembaga keuangan lain di pasar keuangan untuk mencegah risiko krisis
Fungsi Pengawasan microprudential (BI & OJK): Pengawasan on- dan off-site lembaga keuangan meliputi pengawasan:
Asu‐ ransi
Bank Bank
Bank
Bank
Pasar Modal
Bank
Perusa‐ haan Efek
Perusa‐ haan Efek
Asu‐ ransi
Fungsi Pengawasan Laku bisnis (OJK):
Bank Pembi ‐ayaan
Bank
Pembi ‐ayaan
• Akuntabilitas laporan • Kompetensi sumberdaya manusia dan kecukupan teknologi • Analisis risiko: - Risiko pasar - Risiko kredit - Risiko konglomerasi di sektor keuangan - Rasio kecukupan modal - Tingkat leverage lembaga
• perlindungan konsumen • pemantauan transaksi antarlembaga • insider trading • praktik pencucian uang
=
Lembaga keuangan
Fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawasan, meliputi: (Llewellyn, 2006) a. prudential regulation bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan b. stabilitas dan integritas sistem pembayaran c. prudential supervision lembaga keuangan d. pengelolaan regulasi bisnis (seperti: peraturan mengenai bagaimana perusahaan mengelola bisnis dengan pelanggannya) e. pengelolaan pengawasan bisnis f. penetapan jaring pengaman, seperti lembaga penjamin simpanan dan peran lender of last resort yang dimiliki oleh bank sentral g. bantuan likuiditas bagi stabilitas sistemik, seperti bantuan likuiditas bagi lembaga tidak solven h. penanganan lembaga yang tidak solven i. resolusi krisis j. isu-isu terkait dengan integritas pasar
25
BOKS 3.1: Tujuan Pengawasan Sektor Perbankan
Siapakah yang mengawasi sektor perbankan di Indonesia? Pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai amanat UU Nomor 6 tahun 2009. Mengawasi dan mengatur sektor perbankan merupakan salah satu tugas untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah. Sektor perbankan diawasi oleh Bank Indonesia karena sektor tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan kebijakan moneter. Pertama, sistem pembayaran yang optimal penting dalam pengendalian moneter. Kedua, sistem pembayaran yang optimal memerlukan sistem perbankan yang sehat. Ketiga, pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan melalui sistem perbankan yang sehat. Mengapa sektor perbankan perlu diawasi? Sektor perbankan perlu diawasi karena beberapa faktor yaitu: (1) bank menghimpun dana dari masyarakat dengan dasar kepercayaan; (2) bank merupakan bagian penting dalam kerangka sistem pembayaran dan efektifitas transmisi kebijakan moneter; (3) sektor perbankan menyumbang peran besar dalam pembangunan ekonomi; (4) bank rentan terhadap berbagai macam risiko. Pengawasan efektif yang meliputi deteksi risiko dan permasalahan bank dan pengambilan tindakan yang tepat diperlukan oleh sektor perbankan. Tujuan dari pengawasan adalah membangun sistem perbankan yang sehat dengan memelihara kepentingan masyarakat, bermanfaat bagi perekonomian khususnya pengendalian moneter, dan mampu mengembangkan usaha bank secara wajar. Apa saja kewenangan pengawas sektor perbankan? Bank Indonesia memiliki empat kewenangan untuk mencapai pengawasan bank yang optimal. Pertama, kewenangan terkait perizinan kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank. Kedua, kewenangan untuk mengatur kegiatan usaha. Ketiga, kewenangan untuk mengawasi kegiatan usaha bank. Keempat, kewenangan untuk mengenakan sanksi. Squam Lake Working Group (2009) atau SLWG menjelaskan bahwa tugas lembaga pengawas pasar keuangan adalah menjaga stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh. Secara umum, SLWG menjelaskan peran regulator sistem keuangan adalah sebagai berikut. 1. Mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan informasi terkait interaksi antar lembaga keuangan dan risiko lembaga keuangan 2. menciptakan dan menerapkan peraturan sistematik lembaga keuangan seperti penyertaan modal minimum (capital requirement) 3. fungsi laku bisnis dan perlindungan konsumen.
26
Tabel 3.3. Struktur Pegawasan Sektor Perbankan
Negara
India
Jumlah Penduduk
1.181.896.000
Lembaga Pengawas Bank
Struktur Pengawas Peran Tunggal Bank atau Sentral1 Majemuk
Lingkup Pengawasan2
Reserve Bank of India
Tunggal
BS
B
Amerika Serikat
309.457.000
Office of the Comptroller of the Currency, Federal Reserve System, Federal Deposit Insurance Corporation
Majemuk
BS
B
Indonesia
231.369.500
Bank Indonesia
Tunggal
BS
B
Jerman
81.757.600
Majemuk
BS
B&PM
Perancis
65.447.374
Tunggal
BBS
B&PM
Britania Raya
62.041.708
Tunggal
BBS
BAPM
Kanada
34.157.000
Tunggal
BBS
B&A
Malaysia
28.306.700
Tunggal
BS
B&A
Australia
22.376.769
Majemuk
BBS
BAPM
Singapura
4.987.600
Tunggal
BS
BAPM
Federal Banking Supervision Office, Deutsche Bundesbank Commission Bancaire Financial Services Authority Office of the Superintendent of Financial Institutions Central Bank of Malaysia Australian Prudential Regulation Authority, Australian Securities and Investments Commision Monetary Authority of Singapore
Sumber: Barth et al. (2002) Keterangan: 1 Bank sentral berperan sebagai pengawas perbank (BS); bank sentral tidak berperan sebagai pengawas perbank (BBS) 2 Pengawasan sektor keuangan meliputi pengawasan perbankan (B); perbankan dan asuransi (B&A); perbankan dan pasar modal (B&PM); perbankan, asuransi, dan pasar modal (BAPM)
Fungsi utama lembaga keuangan di atas bertujuan untuk mencapai empat tujuan (goals) secara umum (The Group of Thirty, 2008). Empat tujuan tersebut meliputi: (1) keamanan dan ketahanan (safety and soundness) lembaga keuangan; (2) pencegahan risiko sistemik; (3) keadilan dan efisiensi pasar; (4) perlindungan terhadap konsumen dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan (enforcements) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya.
27
Otoritas sektor keuangan, baik bank sentral maupun OJK, lebih fokus pada pengawasan sektor perbankan pada awalnya. Pengawasan sektor perbankan di masing-masing negara dapat dilaksanakan oleh bank sentral atau OJK (tunggal) atau keduanya (majemuk). Tabel 3.3 juga menjelaskan lingkup pengawasan sektor keuangan selain perbankan yaitu asuransi dan pasar modal. Lingkup bisnis sektor keuangan yang semakin kompleks mendorong reformasi pengawasan sektor keuangan. Kriteria utama yang harus dipenuhi untuk menjamin struktur lembaga pengawasan yang kuat menurut Nier (2009) dijelaskan dalam Tabel 3.4. Tabel 3.4. Kriteria Utama Lembaga Pengawas Sektor Keuangan Kriteria Pembagian fungsi dan tujuan yang jelas Konsistensi fungsi dan tujuan Resolusi konflik Penyediaan sumberdaya untuk mencapai tujuan Penciptaan sinergi sumberdaya
Minimisasi konflik antarlembaga
Konsistensi dengan fungsi dan tujuan yang telah ada
Keterangan Tanggung jawab pelaksanaan fungsi pengawasan sistemik dan laku bisnis (perlindungan konsumen) harus ditugaskan secara jelas kepada lembaga. Setiap lembaga yang bertanggung jawab dalam pengawasan sektor keuangan harus memiliki fungsi yang konsisten untuk menciptakan sinergi dan menghindari konflik antar lembaga. Tersedianya mekanisme formal untuk resolusi konflik antar lembaga Setiap lembaga memiliki sumberdaya untuk mencapai tujuan sehingga meningkatkan akuntabilitas dan efektifitas kinerja. Pencipataan sinergi sumberdaya antarlembaga untuk menghindari konflik fungsi dan tujuan Mengurangi jumlah lembaga dan menciptakan mekanisme kerjasama antarlembaga yang kuat. Kriteria ini juga bermanfaat untuk mengurangi duplikasi &overlapping tugas dan biaya (termasuk biaya administrasi dan biaya kepatuhan industri) Fungsi dan tujuan baru harus konsisten dan sejalan dengan fungsi, tujuan, dan sumberdaya yang telah ada.
Sumber: Nier (2009)
Sementara itu, Nasution (2003) menyebutkan bahwa lembaga yang berwenang dalam melakukan fungsi pengawasan dan pengaturan sektor keuangan, moneter, dan fiskal harus mampu memformulasikan dan menerapkan kebijakan yang :konsisten, integrated, forward looking, dan cost effective, dapat mempertahankan kompetisi yang sehat dan dapat mendukung inovasi sektor keuangan. Peneliti yang lain yaitu Llewellyn (2006) melihat bahwa lembaga pengawasan harus memiliki ketahanan dalam menghadapi masa krisis, memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas tinggi yang tercermin dalam biaya dan adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dan fungsi serta memiliki persepsi yang baik dimata publik. 28
3.3.Rencana Pembentukan OJK di Indonesia Pemerintah berencana menyatukan pelaksanaan fungsi regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga yaitu OJK dalam rangka memperkuat sektor keuangan. Rencana pembentukan OJK telah lama dicanangkan melalui pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun, OJK belum dibentuk sampai saat ini walaupun telah diamanatkan bahwa OJK dibentuk sebelum akhir tahun 2002. UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan UU Nomor 3 Tahun 1999 menjelaskan bahwa OJK akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010 (Tabel 3.5). Sementara itu, Pokok dan tugas OJK berdasarkan UU dapat dilihat pada Tabel 3.6. Tabel 3.5. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Ayat
Penjelasan
Ayat 1
“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
Ayat 2
Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.”
Sumber: BI (2004a)
Berdasarkan Pasal 32 Ayat 1 RUU OJK disebutkan rencana kerja dan anggaran OJK akan dibiayai dari fee industri jasa keuangan. Sedangkan industri keuangan adalah lembaga dan kegiatan jasa keuangan. Penetapan fee terhadap industri jasa keuangan dilakukan secara wajar proporsional antara lain didasarkan atas nilai kekayaan, laba operasional, arus kas dan ekuitas industri jasa keuangan. Jenis fee yang akan ditetapkan antara lain berupa fee perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengawasan, pemeriksaan, penelitian, perdagangan efek, dan biaya lainnya. Fee itu bisa ditagih secara bulanan, tahunan atau sewaktu-waktu sesuai dengan karakteristiknya. Dana pungutan itu sendiri hanya diperbolehkan untuk membiayai operasional OJK dan pembentukan cadangan. Adapun dari sisi cadangan hanya bisa ditempatkan ke surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia. Sementara itu terkait dengan koordinasi antar lembaga pengawas, dalam Pasal 37 RUU OJK ditekankan OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementerian Keuangan dan LPS melalui forum stabilitas sektor keuangan dalam rangka menunjang tugas dan wewenang masingmasing lembaga. Koordinasi dengan BI antara lain diperlukan untuk mendukung kebijakan moneter yang mencakup operasi pasar terbuka, giro wajib minimum, sistem pembayaran, dan fasilitas likuiditas. Untuk memastikan dan memelihara stabilitas sistem keuangan dimaksud, 29
dalam pengawasan bersama BI dapat melakukan on-site atau off-site supervision terhadap bank. Tabel 3.6. Pokok-Pokok Tugas OJK Berdasarkan RUU OJK Pokok-pokok tugas OJK (Otoritas Jasa Keuangan) 1.Pengaturan dan pengawasan OJK terbagi atas tiga, yakni bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank. Bidang perbankan · Menetapkan ketentuan persyaratan dan tata cara pendirian bank, perizinan bank, ketentuan persyaratan dan tata cara pembukaan kantor bank, serta pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan di luar negeri. · Menetapkan ketentuan mengenai pihak yang dapat membeli saham bank. · Menetapkan ketentuan mengenai perubahan kepemilikan saham, merger, konsolidasi, dan akuisisi. · Pengawasan bank. · Melakukan tindakan yang diperlukan dalam hal bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. · Mengatur pengangkatan dewan komisaris, direksi dan tenaga asing bank. · Menetapkan ketentuan kerahasiaan bank. · Menetapkan ketentuan sanksi pidana dan sanksi administrasi dan atau wewenang lain sebagaimana diatur dalam UU perbankan. · Tugas OJK tidak mencakup sistem pembayaran, lender of last resort, dan kebijakan moneter. Bidang pasar modal · Mengatur sebagaimana dimaksud dalam UU di pasar modal. Bidang industri keuangan nonbank · OJK berwenang memeriksa dan menyidik. OJK bisa mempekerjakan penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam jangka waktu tertentu. · OJK dipimpin dewan komisioner yang beranggotakan tujuh orang, terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu anggota independen, satu orang ex officio dari Dewan Gubernur BI, satu orang ex officio pejabat Kementerian Keuangan setingkat eselon I dan masing-masing satu orang kepala eksekutif dari tiga bidang pengawasan. · Menteri Keuangan berwenang mengusulkan anggota komisioner independen dan ex officio Kementerian Keuangan. Komisioner ex officio kepala eksekutif dari internal, yakni deputi kepala eksekutif. · OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementerian Keuangan dan LPS melalui forum stabilitas sektor keuangan
Sumber : RUU OJK (Juni, 2010)
Perdebatan yang muncul adalah sejauh mana lingkup fungsi yang diamanatkan kepada OJK. Saat ini, fungsi regulasi pengawasan sektor keuangan di Indonesia telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga. Regulasi dan pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia sedangkan regulasi dan pengawasan pasar modal, lembaga asuransi, dan lembaga pembiayaan dilaksanakan oleh Bapepam-LK. Sesuai rencana, OJK akan mengambil alih fungsi regulasi dan pengawasan seluruh sektor keuangan di Indonesia (Gambar 3.2).
30
Gambar 3.2. Pengalihan Fungsi Pengawasan Sektor Keuangan ke OJK Pengawasan Lembaga Keuangan Bank (Bank Indonesia)
Pengawasan Lembaga Keuangan NonBank (Bapepam-LK)
OJK
Pasar Modal (Bapepam-LK)
Argumen yang melawan pembentukan OJK melalui mekanisme penyatuan fungsi pengawasan BI dan Bapepam-LK adalah biaya transaksi yang tinggi. Biaya transaksi tersebut meliputi biaya legalitas, sumberdaya (manusia dan teknologi), dan faktor eksternal. Sebagai contoh, penyatuan lembaga memerlukan peraturan perundangan, standard operating procedure, dan rule of the game yang baru. Peralihan sumberdaya manusia dan teknologi dari BI dan Bapepam LK ke OJK juga akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Hal yang perlu dikhawatirkan dari proses penyatuan lembaga pengawas adalah kejutan eksternal. Pada saat lembaga baru belum mapan (established) dan terjadi kejutan eksternal, sektor keuangan akan mendapatkan dampak yang buruk.
31
Gambar 3.3. Biaya Transaksi Pembentukan OJK Tinggi
Tugas Penga wasan Bank
Legalitas
OJK Sumberdaya
Faktor eksternal
Bapep am LK Biaya Transaksi Tinggi
1. Kendala peraturan/legalitas yaitu peraturan perundangan dan intralembaga terkait fungsi, tujuan, kewenangan, dan lingkup kegiatan yang belum mapan. Martinez dan Rose (2003) melaporkan 10 dari 14 bank sentral mengalami hal ini. • Penyalahgunaan dari lembaga yang diawasi karena peraturan dan pelaksanaan pengawasan belum mapan 2. Transfer sumberdaya tidak efisien: • Pegawai berpengalaman mengundurkan diri. Martinez dan Rose (2003) melaporkan 9 dari 14 bank sentral mengalami hal ini. • Demoralisasi pegawai yang disebabkan oleh ketidakpastian dan kelambatan penentuan struktur, kepemimpinan, dan ketenagakerjaan lembaga pengawas baru. Martinez dan Rose (2003) melaporkan 7 dari 14 bank sentral mengalami hal ini. • Kelambatan dalam penyatuan sistem IT dan infrastruktur. Martinez dan Rose (2003) melaporkan 8 dari 14 bank sentral mengalami hal ini. 3. Rentan terhadap guncangan eksternal (misalnya krisis global) karena kegiatan pengawasan, terutama pengawasan risiko, belum established. 4. Biaya pembentukan OJK kurang lebih dapat mencapai Rp2,5 triliun (Kompas, 14 Juni 2010)
Sumber: Martinez dan Rose (2003), diolah Selain biaya transaksi yang tinggi, Martinez dan Rose (2003) menunjukkan biaya waktu yang dihadapi oleh lembaga pengawas di 14 negara (Gambar 3.4). Biaya tersebut meliputi penetapan struktur organisasi, kerangka hukum, rencana strategik, penyatuan sistem IT, alokasi pegawai dan tugasnya, integrasi proses penganggaran, dan penetapan pemimpin di setiap divisi. Waktu penyesuaian penyatuan lembaga pengawas berada pada kisaran 0,7 tahun sampai dengan dua tahun. Enrich dan Norman (2010) melaporkan bahwa perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan pengawasan dari FSA ke lembaga adalah dua tahun. 32
Gambar 3.4. Biaya Waktu dalam Penyatuan Lembaga Pengawas Keuangan Penetapan struktur organisasi Penetapan rencana strategik: tujuan, strategi, program aksi
Alokasi pegawai dan tugasnya
Penetapan pemimpin divisi/departemen di lembaga baru
1,1 Tahun
0,8 Tahun 0,7 Tahun
0,9 Tahun
1,5 Tahun
1,2 Tahun
2 Tahun
Integrasi proses penganggaran
Penyatuan sistem IT
Penetapan kerangka hukum, lingkup kewenangan, fungsi, dan tujuan
Sumber: Martinez dan Rose (2003) dan Enrich dan Norman (2010), diolah Menurut Seelig (2009) pada umumnya ada dua risiko yang terkait erat dengan pembentukan OJK, yaitu risiko pada masa transisi (Transition Risk) dan risiko penanganan krisis (Crisis Management Risk). Pelaksanaan pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada OJK perlu dilakukan seksama agar tidak menimbulkan gangguan pada kontinuitas pelaksanaan pengawasan bank. Masalah terkait SDM menjadi kunci penting dalam masa transisi terutama terkait dengan bentuk organisasi yang baru, kesetaraan jabatan, remunerasi, jenjang karir dan pengembangan kompetensi. Selain itu, efisiensi dan arus informasi pelaporan harus menjadi hal yang diperhatikan dalam masa transisi pengalihan fungsi pengawasan dari BI kepada OJK. Sementara itu terkait dengan risiko pengelolaan krisis, BI sebagai lender of the last resort (LOLR) akan membutuhkan informasi mendalam mengenai lembaga keuangan untuk menunjang perannya sebagai LOLR. Dengan adanya struktur pengawasan yang baru diharapkan tidak akan menyebabkan komplikasi arus informasi dan proses pengambilan keputusan pada saat krisis.
33
Rencana pembentukan OJK dengan struktur pengawasan terintegrasi sebagaimana diamanatkan oleh pasal 34 Undang Undang tentang Bank Indonesia patut dibahas ulang melihat pengalaman Financial Service Authority (FSA) di Britania Raya. FSA gagal melakukan pengawasan terhadap Northern Rock yang menyebabkan lembaga tersebut mengalami kegagalan pada saat krisisi keuangan tahun 2008. FSA juga dinilai gagal melakukan koordinasi dengan Bank of England (BOE) terkait Northern Rock (House of Lords, 2009; Bernanke, 2010). Kegagalan koordinasi oleh FSA yang dimaksud adalah tidak adanya diseminasi informasi (data sharing) terkait lembaga keuangan dan koordinasi dengan BOE terutama pada saat krisis (Gambar 3.5). FSA juga dinilai lebih fokus pada salah satu fungsinya yaitu pengawasan laku bisnis sedangkan fungsi regulasi sektor keuangan cenderung diabaikan (House of Lords, 2009). Kegiatan pengawasan laku bisnis bahkan mencapai 70% dari waktu kerja staf di FSA (European Central Bank, 2001). Gambar 3.5. Kegagalan Koordinasi FSA saat Krisis Periode Krisis
BOE
FSA • •
Tidak ada diseminasi informasi (data sharing) oleh FSA terutama terkait bank bermasalah Tidak ada lembaga (baik BOE, FSA, maupun Treasury di Britania Raya) yang diberi
Kegagalan FSA mendorong inisiatif berbagai pemerintah untuk mengevaluasi fungsi dan struktur lembaga pengawas sektor keuangan (Bernanke, 2010). Guardian (2009) menjelaskan bahwa Perdana Menteri Inggris terpilih, David Cameron, berencana mengalihkan fungsi regulasi dan pengawasan sektor keuangan dari FSA ke BOE. BOE akan memiliki divisi khusus untuk pengawasan sektor keuangan dan FSA akan berperan sebagai Consumer Protection Agency (CPA). Rencana tersebut telah diimplementasikan dan fungsi pengawasan bank telah dialihkan kembali ke BOE. Laporan
Enrich
dan
Norman
(2010)
menjelaskan
bahwa
pemerintah
Inggris
mengkonsolidasikan pengawasan sektor keuangan di BOE. FSA, yang terbukti gagal dalam pengawasan sektor keuangan khususnya bank, akan dibubarkan. Fungsi pengawasan mikro 34
perbankan dan lembaga keuangan lainnya akan dilakukan oleh lembaga subsidiari dibawah BOE. Sedangkan fungsi pengawasan makro, yang meliputi stabilitator sistem keuangan dan kebijakan moneter, dilaksanakan oleh BOE. Pemerintah Inggris berencana membentuk lembaga baru untuk melaksanakan fungsi laku bisnis dan penegakan hukum di bidang keuangan.
35
Bab 4: Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan 4.1 Skala Ekonomi dan Sistem Pengawasan Keuangan Reformasi struktur lembaga pengawas sektor keuangan sangat dibutuhkan melihat produk keuangan yang telah berkembang lintas sektor. Sebagai contoh, produk tabungan bank telah diintegrasikan dengan produk asuransi dan bahkan pasar modal. Saat ini, struktur lembaga pengawas keuangan dapat dibedakan menjadi spektrum yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. Pemisahan lembaga pengawas (fragmented) meliputi pendekatan institusional dan fungsional. Lembaga pengawas yang menyatukan fungsi pengawasan lembaga keuangan meliputi pendekatan twin peaks dan terpadu (integrated). Gambar 4.1. Spektrum Struktur Lembaga Pengawas Keuangan F r a g m e n t e d : I n s t i t u ti o n a l d a n F u n g s i o n a l
P e n y a t u a n F u n g s i P e n g a w a s a n
T w in P e a k s
In te g r a t e d P e n y a tu a n p e n g a w a s a n s e m u a le m b a g a k e u a n g a n
Sumber: LLewelyn (2006) Tabel 4.1 menunjukkan korelasi antara struktur pengawasan dan ukuran perekonomian yang dilihat melalui jumlah penduduk. Hasil perhitungan mengindikasikan bahwa semakin besar perekonomian (semakin besar jumlah penduduk), struktur lembaga pengawas cenderung ke lembaga pengawas berganda. Hasil estimasi probit juga mengindikasikan bahwa kemungkinan
penerapan
lembaga
pengawas
berganda
meningkat
apabila
jumlah
penduduknya meningkat. Semakin besar sebuah perekonomian, semakin diversifikasi perilaku lembaga keuangan. Oleh karena itu, penugasan beberapa lembaga yang berbeda akan meningkatkan fokus pengawasan sektor keuangan di perekonomian yang relatif besar.
36
Tabel 4.1. Korelasi antara Struktur Pengawasan dan Ukuran Perekonomian Negara
Populasi
Struktur1
Cina 1.337.980.000 India 1.181.896.000 Amerika Serikat 309.457.000 Indonesia 231.369.500 Brasil 193.049.000 Rusia 141.927.297 Filipina 92.226.600 Mesir 78.561.000 Turki 72.561.312 Thailand 63.525.062 Italia 60.340.328 Spanyol 46.030.109 Argentina 40.134.425 Polandia 38.163.895 Sri Lanka 20.238.000 Yunani 11.306.183 Portugis 10.636.888 Israel 7.579.500 Bulgaria 7.576.751 Hongkong 7.026.400 Yordania 6.316.000 Selandia Baru 4.373.000 Lithuania 3.329.227 Panama 3.322.576 Slovenia 2.059.260 Botswana 1.950.000 Siprus 801.851 Bahama 342.000 Barbados 256.000 1 0 = lembaga pengawasan berganda 1 = lembaga pengawas tunggal Korelasi Kendalls’ Tau Nilai Korelasi: -0,284 Signifikansi: 0,013*
Hasil Estimasi model probit: =3,51−0,23log( )
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Negara Jepang Jerman UK Korea Selatan Australia Belanda Hungaria Swedia Austria Nikaragua Denmark Singapura Norwegia UAE Irlandia Latvia Estonia Bahrain Malta Islandia Maladewa Bermuda Kepulauan Cayman Gibraltar
Populasi
Struktur
127.360.000 81.757.600 62.041.708 49.773.145 22.376.769 16.615.950 10.013.628 9.354.462 8.372.930 5.743.000 5.534.738 4.987.600 4.885.500 4.599.000 4.459.300 2.241.500 1.340.021 791.000 416.333 317.900 309.000 65.000 56.000 31.000
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Hasil perhitungan korelasi Kendall’s Tau mengindikasikan bahwa semakin besar ukuran perekonomian (dilihat dari populasi yang semakin besar), struktur lembaga pengawas cenderung ke lembaga pengawas berganda. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin besar populasi suatu negara, probabilitas negara tersebut menerapkan struktur lembaga pengawas tunggal (1) semakin kecil.
Sumber: Martinez dan Rose (2003), diolah
37
4.2.Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara Pengawasan lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal, dikelola oleh lembaga tunggal dibandingkan lembaga yang terpisah untuk setiap jenis perusahaan keuangan (Tabel 4.2). Lembaga tunggal tidak hanya mengawasi perusahaan keuangan, namun juga meliputi pengawasan laku bisnis dan perlindungan konsumen. Contoh dari lembaga tunggal adalah FSA di Inggris. Pendekatan pengawasan tradisional terdiri dari beberapa lembaga terpisah yang masing-masing mengatur bank, asuransi, dan pasar modal. Pendekatan tradisional meliputi pendekatan institusi dan fungsional. Semenjak krisis keuangan global pada tahun 2008, banyak negara yang cenderung menerapkan pendekatan twin peaks maupun hibrida. Tabel 4.2. Struktur Pengawasan di Beberapa Negara Lembaga Mengawasi 2 Jenis Lembaga Keuangan Lembaga Pengawas Tunggal Sektor Keuangan (Tahun Pendirian)
Bank dan Perusahaan Sekurtias
(satu untuk bank, satu untuk perusahaan sekuritas, dan satu untuk asuransi)
Bolivia Cile
Argentina Bahamas
Jepang (2001) Latvia (1998)
Bahrain* (2002
Maladewa*(1988)
Meksiko
Ekuador
Jamaika
Barbados
Panama
Belanda *(2004) Bermuda*(2002) Keoulauan Cayman*(1997) Denmark (1988)
Malta*(2002) Nikaragua *(1999)
Swiss Uruguay
El Salvador Guatemala
Mauritius Slovakia
Botswana Brasil
Filipina Polandia
Norwegia (1986)
Malaysia
Ukraina
Bulgaria
Portugal
Singapura*(1984) Korea Selatan (1997) Swedia (1991) UAE*(2000) Britania Raya (1997) Afrika Selatan *(1990) Kazakhstan*(1998) Uruguay (1993)
Peru
Bulgaria
Cina
Rusia
Siprus
Selandia Baru
Yunani Hongkong
Sri Lanka Spanyol
India
Thailand
Albania
Kroasia
Israel Italia Prancis Slovenia Uganda
Turki Amerika Serikat Indonesia Tunisia
Jerman ( 2002) Gibraltar (1989) Guernsey (1988) Hungaria (2002) Islandia (1988) Irlandia*(2002)
Kanada Kolombia
Perusahaan Sekuritas dan Asuransi
Austria (2002) Australia (1998)
Estonia (1999)
Finlandia Luksemburg
Bank dan Asuransi
Lembaga Pengawas Berganda
Venezuela
28 5 8 Catatan : (*) mengindikasikan pengawasan dilakukan oleh Bank Sentral Sumber: Kawai dan Pomerleano(2010)
7
Jordania Lituania
34
38
Tabel 4.3 menunjukkan pembagian pengawasan di beberapa Negara berdasarkan industri yang menjadi objek pengawasan. Tabel 4.3 Struktur Pengawasan Sistem Keuangan Berdasarkan Industri Negara
Bangladesh Jerman Perancis UK Italia Spanyol Australia Belanda Belgia Portugis Swedia Austria Denmark Finlandia Singapura Irlandia Luksemburg
Populasi
162.221.000 81.757.600 65.447.374 62.041.708 60.340.328 46.030.109 22.376.769 16.615.950 10.827.519 10.636.888 9.354.462 8.372.930 5.540.241 5.363.200 4.987.600 4.459.300 502.207
Perbankan
Asuransi
Pasar Modal
Keterlibatan Bank Sentral
CB FSA FSA CPMA CB CB FSA CB BSS CB FSA FSA FSA BSS FSA CB BS
CB FSA FSA CPMA I I FSA IS IS I FSA FSA FSA IS FSA G I
S FSA FSA CPMA S S FSA IS BSS S FSA FSA FSA BSS FSA CB BS
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Keterangan : FSA: Pengawasan Terpadu; CB:Bank Sentral; B, I, S: pengawas khusus untuk perbankan (B), asuransi (I) dan pasar modal (S) bisa kombinasi ketiganya ; G: departemen pemerintah CPMA: Consumer Protection and Market Authority Sumber : Darlap & Grünbichler (2003) disesuaikan
Sementara itu Tabel 4.4 menjelaskan negara yang menerapkan struktur pengawasan terpadu. Dalam struktur pengawasan terpadu, lembaga pengawas mengawasi seluruh lembaga keuangan di negara tersebut yang meliputi bank, asuransi, dana pensiun, lembaga kredit, perusahaan sekuritas, dan perusahaan investasi. Menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar lembaga pengawasan sektor keuangan berada pada koordinasi kementrian keuangan masingmasing negara.
39
Tabel 4.4. Struktur Pengawasan Terpadu (Integrated)
Negara
Lembaga Pengawas Sektor Keuangan Terintegrasi (Integrated)
Lembaga Keuangan yang Diawasi
Catatan
Jerman
Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht, 2002 www. bafin.de
Bank, perusahaan asuransi, dealer sekuritas
Beberapa menteri ditunjuk dalam dewan direktur, kewenangan boleh mengeluarkan denda sampai dengan 500.000 euro
Austria
Finanzmarktaufsicht, 2002, www.fma.gv.at
Bank, perusahaan asuransi
Independen menurut hukum, FMA ditetapkan dengan administrative criminal power
Kanada
Office of the Superintendent of Financial Institutions, www.osfi-bsif.gc.ca
Bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, lembaga kredit
Di bawah kewenangan Menteri Keuangan, yang tunduk kepada Parlemen, berperan secara independen
Denmark
Danish Financial Supervisory Authority, 1988 www.ftnet.dk
Bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dealer sekuritas
Tunduk kepada Menteri Ekonomi dalam tingkat administratif, berperan secara independen
Britania Raya
Financial Services Authority, 1997,
Bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dana pensiun
Tidak terikat kepada pemerintah, melaporkan kepada Menteri Keuangan dan secara tidak langsung kepada Parlemen, FSA dapat memberlakukan sanksi keuangan (dari April 2001 sampai April 2002, sanksi mencapai 5 juta pounds), FSA dibiayai oleh honorarium perusahaan yang diawasi Bergantung pada Menteri Keuangan
www.fsa.gov.uk
Irlandia
Irish Financial Services Regulatory Authority, 2003, www.ifsra.ie
Seluruh lembaga keuangan
Norwegia
Kredittilsyinet, 1986 www.kredittilsyinet.no
Bank, perusahaan asuransi, financial societies, dealer sekuritas dan saham
Menteri Keuangan memberikan instruksi dan berurusan dengan permohonan (banding) atau komplain terhadap wewenang pengawas
Swedia
Finansinspektionen, 1991, www.fi.se
Bank, perusahaan asuransi, dana investasi, dealer sekuritas dan saham
Pemerintah memilih anggotaanggota dewan direktur, berperan secara independent, setelah krisis pasar saham, FI mengelola sendiri perihal penguatan guna pencegahan identifikasi krisis dan mencari metode baru penghitungan risiko tersebut
Sumber: Gugler (2005)
40
4.3.Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan Tercatat empat jenis pendekatan yang telah didirikan oleh negara-negara di dunia antara lain pendekatan institusi, fungsional, terpadu (integrated), dan twin peaks. Tabel 4.5 menjelaskan pendekatan lembaga pengawas sektor keuangan. Amerika Serikat memiliki pendekatan lembaga pengawas yang unik yaitu gabungan pendekatan fungsional dan institusional. Pengawasan sektor keuangan di Amerika Serikat melibatkan banyak lembaga antara lain Federal Reserve Board, Office of the Comptroller of the Currency, Federal Deposit Insurance Corporation, Office of Thrift Supervision, National Credit Union Administration, dan Security and Exchange Commission. Struktur pengawasan di Amerika Serikat dianggap tidak efisien karena sistem pengawasan rangkap yang dilaksanakan menimbulkan biaya yang sangat tinggi (The Group of Thirty, 2008). Tabel 4.5. Sistem Lembaga Pengawas Sektor Keuangan Sistem
Konsep Pengawasan
Negara
Institusional
Lembaga pengawas dibentuk berdasarkan bentuk badan hukum lembaga yang diawasi
Cina, Hongkong, dan Meksiko
Fungsional
Lembaga pengawas dibentuk berdasarkan jenis transaksi bisnis yang dilaksanakan
Brasil, Italia, dan Spanyol
Dual System1
Lembaga pengawas dengan pendekatan fungsional dan institusional
Amerika Serikat
Terpadu (Integrated)
Lembaga pengawas tunggal (regulasi dan laku bisnis) untuk sektor keuangan
Kanada, Jerman, Jepang, Qatar, Britania Raya dan Jerman
"Twin Peaks"
Pemisahan lembaga pengawas yang memantau regulasi sektor keuangan dan laku bisnis lembaga keuangan
Australia dan Belanda
Sumber: The Group of Thirty (2008) Keterangan: 1 Pendekatan lembaga pengawas ini adalah kasus unik di Amerika Serikat yang melibatkan pengawasan di tingkat negara dan negara bagian.
Pendekatan di atas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing (Tabel 4.6). Pendekatan institutional dan fungsional telah mulai ditinggalkan karena sangat berpotensi menciptakan konflik antar lembaga pengawas. Selain itu, kedua pendekatan tersebut kesulitan merespon perkembangan produk keuangan yang telah terintegrasi lintas sektoral. Konsistensi peraturan juga merupakan isu dalam kedua pendekatan tersebut. Sebagai contoh, bank dan asuransi memiliki produk yang identik namun produk tersebut diatur oleh lembaga yang berbeda dengan peraturan yang juga berbeda.
41
Tabel 4.6. Keunggulan dan Kelemahan Berbagai Sistem Lembaga Pengawas Sektor Keuangan Sistem
Keunggulan
Institusional
• Penyelesaian konflik lembaga yang diawasi lebih mudah dalam satu sektor
Fungsional
• Konsistensi peraturan yang diterapkan untuk setiap fungsi sehingga menghindari regulatory arbitrage • Knowledge- dan information-gathering antar lembaga pengawas
Dual System1
• Knowledge- dan information-gathering antar lembaga pengawas
Terpadu (Integrated)
• Minimalisasi konflik antar sektor • Fokus optimal dan menyeluruh (holistik) dalam regulasi dan pengawasan • Konsistensi peraturan • Responsif terhadap perkembangan produk dan jenis transaksi keuangan • Efisiensi biaya dan information-sharing
Kelemahan • Respon perkembangan produk keuangan (terutama produk paduan lintas sektoral) yang lambat dan dianggap tidak mampu mengakomodir perubahan signifikan dalam inovasi produk keuangan • Manajemen risiko lembaga yang tidak menyeluruh karena lembaga yang diawasi melakukan transaksi bisnis lintas sektoral • Inkonsistensi dalam aplikasi regulasi • Peraturan yang tidak konsisten dan overlapping: beberapa pengawas menerapkan peraturan yang berbeda untuk produk/transaksi yang sama • Kompetisi antar lembaga pengawas menyebabkan inovasi produk keuangan terhambat • Tidak ada lembaga pengawas untuk melaksanakan manajemen risiko sistemik lembaga keuangan • Inefisiensi dalam koordinasi dan biaya: jumlah pengawas yang terlalu banyak seiring bertambahnya jumlah lini bisnis • Penentuan scope pengawasan sulit • Keengganan menyerahkan fungsi pengawasan bila ada ekspansi produk • Tidak ada regulator yang mendapatkan informasi penuh mengenai suatu lembaga • Struktur pengawasan rangkap yang tidak efisien: biaya yang tinggi • Potensi kegagalan koordinasi antar pengawas yang tinggi • Kecenderungan pengawasan yang lebih fokus hanya pada satu fungsi (kasus FSA di Britania Raya yang lebih fokus pada fungsi laku bisnis)1 • Potensi inefisiensi karena lingkup lembaga yang terlalu luas • Excessive power dan potensi kegagalan koordinasi dengan bank sentral maupun kementrian keuangan terutama saat krisis • Potensi classic monopolistic bureaucracy • Risiko single point of failure
42
• Fokus optimal pengawasan: pemisahan fungsi regulasi sistem keuangan dan laku bisnis (perlindungan konsumen) pada lembaga yang berbeda • Transparansi dan akuntabilitas: mandat didefinisikan dengan jelas • Minimalisasi konflik antar sektor • Koordinasi dengan pengambil kebijakan "Twin Peaks" makro dan moneter • Konsentrasi kekuatan pada satu lembaga lebih kecil • Risiko reputasi lebih kecil • Mencegah prudential supervisor melakukan kegiatan yang mengganggu perlindungan konsumen • Karyawan yang diperkerjakan sesuai keahlian masing-masing Sumber: The Group of Thirty (2008) Keterangan: 1 House of Lords (2009)
• Potensi mis-koordinasi antara lembaga pengawas regulasi dan laku bisnis
Pendekatan terpadu (integrated) meminimalisasi konflik, peraturan yang tidak konsisten, serta biaya pengawasan. Namun, pendekatan ini terbukti gagal di Britania Raya. FSA lebih fokus pada fungsi laku bisnis dan cenderung mengabaikan fungsi regulasi sistem keuangan. Selain itu, pendekatan ini mendorong lembaga pengawas sektor keuangan untuk tidak melakukan koordinasi dengan bank sentral maupun kementrian keuangan terutama pada saat krisis. Pendekatan twin peaks menutupi kelemahan yang terdapat dalam pendekatan terpadu. Dalam pendekatan twin peaks, fungsi pengawasan regulasi sistem keuangan dan pengawasan laku bisnis dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda. Pendekatan ini juga memudahkan koordinasi dengan
pengambil
kebijakan
makro
dan
moneter
terutama
dalam
mengatasi
ketidakseimbangan sektor keuangan. Namun, fungsi pengawasan bank sentral dalam pendekatan ini cenderung kabur khususnya pada kasus bank sentral tidak diberikan tugas pengawasan salah satu sektor keuangan seperti perbankan (Nier, 2009). Gambar 4.2 sampai dengan Gambar 4.5. memberikan ilustrasi empat pendekatan beserta keunggulan dan kelemahan masing-masing pendekatan.
43
Gambar 4.2. Pendekatan Institusional
Bank
Asuransi
Lembaga Pembiayaan
Dana Pensiun
dan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Pengawas Sekuritas
dan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Pengawas Pasar Modal
dan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Pengawas Dana Pensiun
dan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Pengawas Lembaga Pembiayaan
dan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Pengawas Asuransi
dan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Pengawas Bank
Pasar Modal
Perusahaan Sekuritas
Kemanfaatan
Kompleksitas
‐
Penyelesaian konflik lembaga yang diawasi lebih mudah dalam satu sektor
‐
Lembaga pengawasan tidak mencapai economies of scale dan economies of scope
‐
Peraturan pengawasan setiap lembaga yang lebih “established” dan konsisten
‐
Tidak dapat mengawasi perkembangan produk lintas sektoral, sehingga rawan terhadap praktik penyalahgunaan
‐
Biaya koordinasi antar lembaga pengawasan relatif tinggi karena: 1) terlalu banyak lembaga yang harus dilibatkan dalam koordinasi; 2) TUPOKSI tiap‐tiap lembaga seringkali berbeda dan tidak menutup kemungkinan saling kontradiktif antara lembaga satu dengan yang lain 3)manajemen risiko sistem pengawasan yang tidak menyeluruh karena lembaga yang diawasi sangat dimungkinkan melakukan transaksi bisnis lintas sektoral; 4) pada saat krisis, kecenderungan setiap lembaga pengawas bertindak “for his own safety” sangat tinggi
‐
Ancaman dari perkembangan konglomerasi di sektor keuangan
‐
Muncuk praktik arbitrase peraturan yaitu lembaga menciptakan produk yang regulasi otoritasnya lebih longgar.
44
Gambar 4.3 Pendekatan Fungsional
Pengawas Deposito
Bank
Pengawas Kredit
Pengawas Asuransi
Pengawas Leasing
Asuransi
Lembaga Pembiayaan
Pengawas Dana Pensiun
Pengawas emiten surat berharga dan obligasi
Dana Pensiun
Pasar Modal
Pengawas portofolio
Sekuritas
Kemanfaatan
Kompleksitas
‐
Peraturan pengawasan setiap fungsi bisnis yang lebih “established” dan konsisten
‐
Jumlah lembaga pengawas banyak sehingga koordinasi cenderung sulit dilakukan
‐
Knowledge‐ dan information‐gathering antar lembaga pengawas
‐
Biaya pengawasan cenderung tinggi karena jumlah lembaga pengawas cenderung banyak
‐
Diperlukan legislasi tentang data sharing antar lembaga pengawas dan mekanisme data sharing relatif rumit.
‐
Lembaga pengawas cenderung terjebak pada kegiatan yang bersifat rutin, misalnya pengawasan laku bisnis. Fungsi lain lembaga untuk mengawasi micro and macro prudential cenderung terabaikan.
‐
Kompetisi antar lembaga pengawas cenderung tinggi dan berpotensi menyebabkan inovasi produk keuangan cenderung terhambat
‐
Jumlah pengawas dan kemampuan berkoordinasi sangat sensitif terhadap bertambahnya fungsi bisnis
45
Gambar 4.4 Pendekatan Terpadu (Integrated)
Pasar Modal
Asuransi
Bank
Otoritas Jasa Keuangan
Koordinasi
Fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis
Dana Pensiun
Perusahaan Sekuritas
Bank Sentral Fungsi pengawasan makro dan lender of the last resort
Lembaga Pembiayaan
Kemanfaatan
Kompleksitas
‐
Minimalisasi konflik antar sektor dengan sentralisasi pengawasan
‐
Besarnya biaya pengawasan sangat sensitive terhadap jumlah, jenis lembaga keuangan yang diawasi dan dan sebaran geografis
‐
Fokus optimal dan menyeluruh (holistik) dalam regulasi dan pengawasan: pengawasan sistemik dan laku bisnis
‐
Kecenderungan pengawasan lebih fokus pada kegiatan rutin (fungsi laku bisnis) sementara fungsi micro dan macro prudential sering terabaikan (kasus FSA di Britania Raya)
‐
Fungsi Bank Sentral sebagai lender of the last resort menjadi sulit untuk diterapkan
‐
Kecenderungan excessive power yang dapat menimbulkan arogansi sektoral:meningkatkan potensi kegagalan koordinasi dengan bank sentral maupun kementrian keuangan terutama saat krisis
‐
Cenderung lebih responsif terhadap perkembangan produk dan jenis transaksi keuangan
‐
Information sharing akan lebih mudah dilakukan
46
Gambar 4.5 Pendekatan Twin Peaks Fungsi pengawasan makro dan mikro
Fungsi pengawasan laku bisnis dan perlindungan konsumen
Lembaga pengawas keuangan
Lembaga perlindungan konsumen
Koordinasi
(bank sentral pada beberapa negara)
Dana Pensiun
Perusahaan Sekuritas
Lembaga Pembiayaan
Pasar Modal
Bank
Asuransi
Kemanfaatan
Kompleksitas
‐
Fokus optimal pengawasan: pemisahan fungsi regulasi sistem keuangan dan laku bisnis (perlindungan konsumen) pada lembaga yang berbeda
‐
‐
Transparansi dan akuntabilitas: mandat didefinisikan dengan jelas
Potensi miskoordinasi antara lembaga pengawas regulasi (sistemik) dengan laku bisnis, meskipun biaya koordinasi di sistem ini lebih rendah dibandingkan pada sistem institusional dan fungsional
‐
‐
Minimalisasi konflik antar sektor
Perlu payung hukum untuk masalah data sharing dan data interfacing antara OJK dan Bank Sentral
‐
Koordinasi dengan pengambil kebijakan makro dan moneter
‐
Biaya operasional pengawasan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sistem terpadu (karena Bank Sentral dan OJK harus memiliki kantor perwakilan di daerah‐daerah untuk melakukan pengawasan)
‐
Kecenderungan konsentrasi kekuatan pada satu lembaga lebih kecil
‐
Kerentanan terhadap krisisk arena masalah koordinasi antara OJK dan Bank Sentral minimum
47
Penentuan pendekatan lembaga pengawas di setiap perekonomian bergantung pada situasi sektor keuangan di setiap perekonomian. Nier (2009) menjelaskan tiga faktor utama yang harus dikaji untuk menentukan pendekatan lembaga pengawasan yang optimal. Ketiga faktor tersebut antara lain: 1. Tingkat perkembangan sektor keuangan dan ekspektasi perkembangan di masa yang akan datang 2. Distribusi aset keuangan di berbagai lembaga keuangan (perbankan, asuransi, dan surat berharga) 3. Tingkat konglomerasi sektor keuangan. Perekonomian yang memiliki sektor keuangan yang maju, seperti di Amerika Serikat, disarankan untuk fokus pada pengawasan laku bisnis. Selain itu, perekonomian yang memiliki bank dalam jumlah besar seperti Amerika Serikat disarankan untuk membentuk lembaga pengawas khusus. Sebagai contohnya adalah Federal Deposit Insurance Committee (FDIC) di Amerika Serikat. Bank sentral dalam kasus ini fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas makro dan mikro sektor keuangan secara menyeluruh (Nier, 2009). Pendekatan lembaga pengawas sektor keuangan terpadu dan twin peaks disarankan untuk perekonomian yang memiliki distribusi aset keuangan di berbagai sektor yang tinggi serta tingkat konglomerasi yang tinggi. Barth et al.(2002) menyarankan bahwa lingkup pengawasan yang luas dianjurkan pada situasi tersebut. Walaupun demikian, menarik untuk dicatat bahwa fungsi dan struktur lembaga pengawas sektor keuangan yang optimal akan berbeda di setiap negara (The Group of Thirty, 2008). Nier (2009), Cervellati dan Fioriti (2007), Barth et al. (2004), Barth et al. (2002) dan Crockett (2001) menjelaskan bahwa tidak terdapat best set of practices terkait pengawasan sektor keuangan yang berlaku secara umum di setiap negara. Selain itu, Barth et al. (2004) membuktikan bahwa fungsi regulasi dan pengawasan yang lebih banyak dan rinci tidak akan lebih baik. 4.4. Biaya Transaksi Perubahan Sistem Pengawasan Terlepas dari segala manfaat dan kompleksitas dari masing-masing sistem pengawasan, perubahan sistem pengawasan selalu akan membawa biaya transaksi. Tentu saja besarnya biaya transaksi ditentukan oleh sistem pengawasan mana yang akan digunakan. Besarnya biaya transaksi juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam konteks sistem pengawasan, 48
biaya transaksi bisa berupa peningkatan biaya operasional, mutasi pegawai dari satu lembaga ke lembaga lain, hingga resiko peningkatan kerentanan perekonomian terhadap krisis. Sistem
pengawasan
institusional,
fungsional
dan
terpadu
(integrated)
cenderung
meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap krisis. Pada sistem institusional dan fungsional, kerentanan perekonomian terhadap krisis meningkat akibat sistem pengawasan dilakukan oleh banyak lembaga.
Perlu diingat bahwa setiap lembaga memiliki tupoksi
masing-masing yang seringkali berlawanan antar lembaga. Koordinasi, dengan demikian, seringkali sulit terjadi di lapangan akibat adanya perbedaan tupoksi yang seringkali bertentangan tersebut. Hal ini merupakan sumber dari egosentris masing-masing lembaga pengawas, yang berdampak tidak kondusif terhadap koordinasi antar lembaga tersebut. Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika mekanisme
pengawasan mensyaratkan
koordinasi, namun makna koordinasi hanya diartikan sekedar pertemuan rutin. Idealnya koordinasi dilakukan untuk membagi pekerjaan, kewenangan dan tanggung jawab antar lembaga pengawas. Information sharing antar lembaga, dengan demikian akan menjadi bagian yang sangat penting, karena akan memungkinkan lembaga-lembaga pengawas untuk menentukan kebijakan apa yang harus ditempuh. Berbeda dengan sistem institusional dan fungsional, sistem terpadu cenderung tidak memiliki masalah coordination failure ini. Kenyataan bahwa dalam sistem terpadu pengawasan dilakukan oleh satu lembaga pengawas jelas akan menghilangkan miscoordination tersebut. Meski demikian, seperti halnya yang terjadi di Inggris, sentralisasi pengawasan menciptakan beban kerja yang sangat berat bagi lembaga pengawas tersebut. Fungsi macro prudential, micro prudential dan business conduct harus ditangani oleh satu lembaga. Proporsi kasuskasus yang terkait dengan business conduct cenderung mendominasi pekerjaan lembaga pengawas relatif dibandingkan kedua fungsi lain. Akibatnya, fokus dan alokasi sumberdaya lembaga pengawas bisa terserap untuk mengawasi business conduct. Implikasinya, fungsi pengawasan micro and macro prudential seringkali terbengkalai. Tak pelak lagi, hal semacam ini meningkatkan kerentanan ekonomi terhadap krisis. Biaya transaksi lain yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan biaya pengawasan. Apabila pengawasan perbankan dan lembaga nonbank dijadikan satu, maka untuk melakukan micro prudential maupun business conduct keberadaan kantor cabang di daerah-daerah mutlak diperlukan. Hal ini terjadi jika sistem pengawasan mensyaratkan pelaksanaan pengawasan langsung di lokasi lembaga keuangan tersebut. Implikasinya, tidak saja terjadi 49
peningkatan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan pengawasan, namun juga diperlukan kantor-kantor baru di daerah-daerah agar memungkinkan pengawasan langsung dilakukan. Biaya transaksi lain yang tidak kalah mahal dan secara teknis seringkali menciptakan masalah yang pelik adalah mengenai mutasi sumberdaya manusia antar lembaga. Jika terjadi transisi dari sistem pengawasan twin peaks menuju ke sistem pengawasan terpadu, maka mau tidak mau akan dilakukan relokasi sumberdaya manusia dari satu lembaga ke lembaga yang lain. Hal ini memerlukan suatu mekanisme yang jelas yang mungkin berdampak pada pembuatan SOP yang cukup rumit dan banyak di lembaga pengawas yang baru tersebut. Perasaan karyawan yang cenderung menghadapi ketidakpastian selama proses transisi, perlu untuk dipertimbangkan pula. Di atas semua biaya transaksi yang telah disebutkan tadi, masih ada biaya transaksi yang cukup besar yaitu jika sistem pengawasan sering berubah dalam waktu yang tidak lama. Apa yang terjadi di Inggris perlu dicermati dan dijadikan bahan pelajaran. Pendirian FSA sebagai lembaga pengawas, tentu menyerap sumberdaya yang tidak sedikit. Saat ini pemerintahan partai Konservatif mengembalikan lagi sistem pengawasan kepada Bank of England (BOE). Hal ini pun membawa implikasi yang sangat besar pada sumberdaya. Bahkan pada kasus Inggris, tidak saja mereka harus membayar mahal biaya pengubahan sistem pengawasan sebanyak dua kali, namun juga mereka harus membayar mahal dengan shock yang terjadi akibat collapse-nya Northern Rock di tahun 2007. Belum selesai di situ, pasca Northern Rock di-bailout, pemerintah Inggris terpaksa mengucurkan dana untuk penyelamatan empat bank lain. 4.5.Peran Bank Sentral Peran bank sentral dalam pengawasan lembaga keuangan sangatlah penting. Walaupun demikian, sejauh mana bank sentral berperan dalam pengawasan lembaga keuangan merupakan topik perdebatan. Peran bank sentral yang optimal dalam pengawasan lembaga keuangan cenderung berbeda. Tabel 4.7 menjelaskan argumen penyatuan pengawasan lembaga keuangan kepada bank sentral menurut European Central Bank (ECB).
50
Tabel 4.7. Argumen Penyatuan Pengawasan Lembaga Keuangan Kepada Bank Sentral
Argumen mendukung penyatuan pengawasan lembaga keuangan kepada bank sentral • Sinergi informasi pengawasan dan fungsi inti bank sentral (implementasi kebijakan moneter yang sesuai) • Fokus pada risiko sistemik • Independensi dan ketersediaan tenaga ahli
Argumen mendukung pembentukan lembaga pengawasan di luar bank sentral • Konflik tujuan antara pengawasan & kebijakan moneter dan penyalahgunaan • Kecenderungan konglomerasi dan perkembangan produk keuangan yang cepat • Mengurangi konsentrasi kekuasaan pada bank sentral
Sumber: European Central Bank (2001)
Ada beberapa argumen yang mengatakan bahwa sebaiknya supervisi terhadap bank dan lembaga keuangan lainnya sebaiknya berada di bawah bank sentral. Goodhart (2000), Barth et al (2002), dan Ingves (2007) menyebutkan alasan-alasan agar pengawasan tetap berada di bawah Bank Sentral sebagai berikut :
-
Bank merupakan lembaga yang sangat penting dalam sistem keuangan. Aktivitas bank yang kompleks menyebabkan peningkatan kebutuhan akan supervisi yang berkualitas tinggi dan resource-intensive. Bank Sentral dianggap memiliki keunggulan komparatif dalam merekrut dan mempertahankan staf-staf terbaik, karena sistem kompensasi dan pengembangan profesional yang baik pula.
-
Akses Informasi. Bank Sentral membutuhkan informasi yang akurat dan tepat waktu mengenai kondisi dan kinerja bank supaya bisa melakukan pelaksanaan kebijakan moneter yang sesuai. Tanpa adanya wewenang melaksanakan pengawasan, maka tidak akan mendapatkan informasi yang memadai ketika menetapkan suatu kebijakan moneter. Selain itu, akses informasi mengenai kondisi solvency dan liquidity dari bank tersebut juga sangat penting untuk menjalankan fungsi bank sebagai LOLR. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya ancaman penyalahgunaan ketika terjadinya ketidakstabilan sistemik. Walaupun informasi ini dapat diminta kepada institusi lain yang berwenang mengawasi bank, namun tetap saja bank sentral akan memiliki posisi yang lebih baik apabila fungsi pengawasan berada di bawahnya. Alasan informasi ini juga erat kaitannya dengan sistem pembayaran. Salah satu tanggung jawab bank sentral adalah memastikan berfungsinya berbagai macam sistem pembayaran dalam perekonomian. Tidak tertutup kemungkinan akan mengundang keganjilan apabila Bank Sentral memiliki tanggung jawab terhadap sistem pembayaran namun tidak 51
memiliki akses terhadap informasi mikro mengenai lembaga-lembaga keuangan yang terlibat dalam sistem pembayaran. Berbagai macam riset yang telah dilakukan mendukung agar peran pengawasan berada di bawah bank sentral. Sebagai contoh, dalam Barth et al (2000) disebutkan hasil penelitian dari Peek, Rosengren, dan Tootle (1999) yang mengatakan bahwa akses yang cepat terhadap informasi rahasia dari bank akan meningkatkan keakuratan kemampuan
forecasting kondisi
makroekonomi. Selain itu,
Goodhart dan
Schoenmaker (1995) dengan menggunakan data di 24 negara menemukan bahwa kegagalan bank lebih sedikit terjadi di negara dengan fungsi pengawasan berada di bawah Bank Sentral -
Independensi. Faktor ini sangat penting bagi otoritas yang melakukan pengawasan terhadap bank agar dapat mengambil tindakan tepat. Bank Sentral dianggap memiliki independensi yang sangat kuat sehingga dengan menyerahkan wewenang pengawasan kepada Bank Sentral diharapkan supervisi terhadap sistem perbankan lebih optimal. Selain itu, bagi negara-negara berkembang, strategi ini dianggap tepat untuk mencegah politisasi pengaturan bank (Abrams dan Taylor, 2001)
Ditambahkan pula oleh Kashyap (2010) bahwa dengan mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa mengakibatkan perlunya melakukan evaluasi terhadap struktur sistem pengawasan yang ada. Bank Sentral masih merupakan salah satu LOLR yang paling kredibel dan dengan memindahkan pengawasan perbankan ke lembaga lainnya tidak otomatis akan menurunkan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyelesaian bank dan institusi keuangan yang bermasalah.
Seandainya bahwa bank sentral bukan merupakan
pengawas lembaga perbankan maka perlu dibentuk lembaga lain yang akan menjalankan fungsi yang telah dijalankan oleh bank sentral. Pengalaman Negara Inggris dengan FSA sebagai pengawas tunggal mengakibatkan adanya saling lempar tanggung jawab dalam penyelesaian krisis yang terjadi. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya sistem pengawasan tunggal memerlukan kondisi adanya sharing informasi antar lembaga yang kuat. Jika bank sentral bukan merupakan pengawas perbankan tapi masih memiliki fungsi sebagai LOLR dapat dipastikan bank sentral akan memiliki kesulitan dalam mengontrol neraca jika pengawas yang berwenang membuat keputusan independen dalam masa krisis (Goodhart, 2005). Kashyap (2010) juga menyatakan bahwa dengan adanya bank sentral sebagai pengawas sektor perbankan dalam sebuah sistem pengawasan keuangan akan meningkatkan kinerja bank sentral melalui : (1) informasi langsung mengenai kondisi sistem perbankan 52
akan meningkatkan pelaksanaan kebijakan moneter dan akan meningkatkan proses pengawasan, (2) dengan adanya hubungan antara kebijakan moneter dan pengawasan sektor perbankan akan memudahkan penjaminan stabilitas sistem keuangan, dan (3) pengalaman bank sentral dan perannya sebagai LOLR akan memudahkan bank sentral dalam menyusun fasilitas pendanaan khusus dalam masa krisis.
Sementara itu, argumen yang mengatakan bahwa supervisi terhadap bank dan lembaga keuangan lainnya berada di luar kendali Bank Sentral juga dibahas oleh Goodhart (2000), Barth et al (2002), dan Ingves (2007). Adapun alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut. -
Adanya konfik kepentingan (conflict of interest). Ketika Bank Sentral memegang peranan dalam pengawasan, maka muncul potensi terjadinya konflik kepentingan antara peranan Bank Sentral sebagai pelaksana kebijakan moneter dan pengawasan. Kebijakan moneter yang diambil dikhawatirkan terlalu longgar demi mencegah dampak buruk terhadap pendapatan bank dan kualitas kredit. Sebagai contoh, tingkat suku bunga ditekan serendah mungkin agar bank terhindar dari masalah yang akut.
-
Potensi penyalahgunaan jika bank sentral bertindak sebagai pengawas adalah kemungkinan lembaga yang diawasi untuk memiliki risiko yang berlebihan karena berharap akan menyelamatkan jika terjadi krisis likuiditas, misalnya melalui penurunan suku bunga antar bank dan LOLR. Potensi penyalahgunaan lainnya adalah pengawasan bank sentral yang terlalu longgar karena dapat sewaktu-waktu merubah kebijakan maupun implementasi LOLR terhadap lembaga yang gagal atau mengalami krisis
-
Adanya risiko reputasi. Persepsi publik terhadap kredibilitas bank dapat terkena imbas negatif. Kegagalan dalam supervisi dapat menyebabkan reputasi Bank Sentral di mata masyarakat menjadi buruk.
-
Independensi: Briault (1999) dalam Barth et al. (2002) mengatakan bahwa semakin lebar peranan Bank Sentral, maka semakin rentan mendapat tekanan politik yang dapat mengancam independensi.
-
Perubahan struktur dalam sistem finansial. Batasan-batasan yang membedakan antara lembaga keuangan yang satu dengan yang lainnya saat ini semakin tidak jelas. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengawasi seluruh lembaga keuangan tersebut, dan akan sulit bagi Bank Sentral untuk menjalankan peranan ini. Hal ini dikarenakan secara historis bank sentral tidak memiliki keahlian untuk menjalankan pengawasan bagi lembaga-lembaga lainnya. 53
SLWG menyarankan bank sentral untuk menjalankan fungsi manajemen sistemik (regulasi sektor keuangan) dan OJK untuk menjalankan fungsi manajemen persaingan usaha dan perlindungan konsumen (Gambar 4.6). Gambar 4.6. Pembagian Tugas Bank Sentral dan OJK
Sumber: SLWG (2009)
Pendekatan yang diusulkan dari pembagian tugas di atas adalah twin peaks atau hibrida. Alasan pembagian tugas tersebut adalah sebagai berikut. 1. Bank sentral memiliki akses dan pengetahuan yang luas terhadap arus sistem keuangan 2. Stabilitas sistem keuangan memiliki kaitan erat dengan stabilitas makroekonomi 3. Bank sentral adalah lembaga yang memiliki tingkat independensi tinggi 4. Bank sentral memiliki peran LOLR sehingga dapat menyediakan dana pada saat krisis sistem keuangan. Krivoy (2000) mengedepankan pentingnya peran bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya sektor perbankan. Sinclair (2000) dan Blanchard et al. (2009) menyatakan bahwa konflik kepentingan antara bank sentral dan regulator lain dapat timbul apabila peran stabilitas sistem keuangan diberikan kepada regulator lain. SLWG memberikan rekomendasi terkait fungsi lembaga pengawas pasar keuangan. 1. Bank sentral diberikan tugas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya pada periode krisis
54
2. Lembaga pengawas pasar keuangan memiliki tugas untuk menjaga stablitas sistem keuangan secara menyeluruh 3. Bank sentral tidak dilibatkan dalam manajemen persaingan usaha antara lembaga keuangan serta perlindungan konsumen. Nier (2009) menjelaskan model pengawasan hibrida (hybrid) yang mengintegrasikan bank sentral, lembaga pengawas sistemik sektor keuangan, dan pengawas laku bisnis sektor keuangan. Pada model ini, pembagian tugas dan fungsi yang jelas untuk setiap lembaga terkait pengawasan sektor keuangan sangatlah penting. Selain itu, mekanisme kerjasama antara ketiga lembaga di atas perlu dibentuk. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari konflik kepentingan serta membangun komunikasi antarlembaga. Kasus Northern Rock di Britania Raya, Hypo Real dan IKB di Jerman, Fortis di Belgia, serta Lehman Brothers di Amerika Serikat terjadi karena tidak ada mekanisme special resolution regime (Nier, 2009). Special resolution regime merupakan bagian penting dari kerangka pengawasan sektor keuangan terutama pada saat krisis. Mekanisme ini memungkinkan pencegahan kegagalan institusi sektor keuangan individu yang dapat berdampak sistemik. Bank sentral memegang peran utama dalam mekanisme special resolution regime karena dua hal: (1) merupakan LOLR; (2) memiliki kemampuan untuk analisis dampak sistemik kegagalan institusi keuangan individu terhadap sektor keuangan secara menyeluruh, sistem pembayaran, dan pasar (Nier, 2009). Bank sentral harus mendapatkan dukungan di bawah ini agar optimal dalam menjalankan peran dalam special resolution regime. 1. Pemberitahuan dini terhadap permasalahan yang dialami institusi keuangan individu yang dapat berdampak sistemik 2. Akses terhadap semua informasi di setiap lembaga pengawas yang ada 3. Independensi dalam mengambil keputusan yang dianggap terbaik di antara pilihan keputusan yang ada. 4.6.Pengalaman Negara Lain 4.6.1.Pengalaman Negara Prancis Pada tanggal 21 Januari 2010 pemerintah Perancis menetapkan Prudential Supervision Authority (Autorité de contrôle prudentiel – ACP). ACP ini merupakan sebuah otoritas independen yang bertugas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memberikan perlindungan pada konsumen, anggota, ahli waris dan orang yang diasuransikan oleh entitas 55
yang disupervisi. Otoritas baru ini dibentuk dari merger antara badan perijinan Perancis dengan otoritas pengawasan sektor perbankan dan asuransi dimana otoritas baru ini akan berada di bawah Bank Sentral Perancis (Banque de France). Chairman dari ACP adalah Gubernur Bank Sentral Perancis. Tujuan dibentuknya ACP ini adalah untuk membentuk koneksi yang erat antara prudential supervision dengan fungsi-fungsi utama lain pada bank sentral dan juga dengan industri asuransi yang memegang peranan cukup besar pada sektor keuangan. Hubungan operasional yang erat ini tentunya sangat diperlukan dalam mengambil keputusan terutama disaat krisis. Dengan demikian bank sentral memiliki informasi penting dari seluruh lembaga keuangan yang akan memperkuat baik macro maupun micro prudential supervision. ACP merupakan penggabungan dari lembaga yang telah ada sebelumnya telah berdiri, yaitu the insurance firms committee (CEA), the credit institutions and investment firms committee (CECEI), the authority for insurance and mutual insurance entities (ACAM) dan the banking commission (CB). ACP di supervisi oleh Bank de France dan diketuai oleh gubernur Bank de France, sedangkan wakil dari lembaga ini berasal dari industri asuransi. Untuk menentukan hubungan yang erat antara otoritas baru ini dengan bank, Gubernur Banque de France menetapkan bahwa ACP tidak memiliki kapasitas hukum untuk membuat kontrak atau perjanjian sendiri. Kontrak atau perjanjian tersebut harus ditandatangi oleh Banque de France. Pegawai dari otoritas ini adalah pegawai bank sentral, pegawai yang dikontrak oleh bank sentral, dan pegawai yang diperbantukan. Semua ketentuan pegawai mengikuti ketentuan kepegawaian Bank de France.
Sementara itu, untuk pembiayaan
otoritas berasal dari kontribusi lembaga yang disupervisi dan jika diperlukan maka pendanaan bisa juga berasal dari anggaran tambahan bank sentral Entitas yang disupervisi oleh ACP dibagi menjadi dua sektor yaitu : 1. Sektor perbankan, jasa pembayaran dan investasi, dimana anggotanya adalah lembaga kredit, perusahaan investasi, lembaga pembayaran, dan bureaux de change. 2. Sektor asuransi, dimana anggotanya adalah perusahaan asuransi dan reasuransi, asuransi mutual, dan provident institution. ACP ini nantinya akan dipimpin oleh Gubernur Bank Sentral Perancis atau Deputi Gubernur yang ditunjuk dan terdiri dari 16 anggota yaitu : 56
- Chairman - Vice Chairman dengan pengalaman pada bidang perasuransian dan dua anggota lainnya. Ketiganya ditunjuk berdasarkan kompetensinya dalam perlindungan konsumen atau kompetensinya pada bidang lain yang terkait dengan misi ACP. - Perwakilan dari tiga pengadilan tinggi - Chairman dari Accounting Standards Board ; dan - Delapan anggota yang dipilih berdasarkan keahliannya dalam bidang perbankan dab asuransi (masing-masing empat dari tiap bidang) Sekretaris Jenderal ACP akan ditunjuk oleh Menteri Ekonomi berdasarkan nominasi yang diajukan oleh Chairman. Sekretaris Jenderal ini bertanggung jawab terhadap organisasi dan pengelolaan departemen-departemen dalam otoritas. Chairman memiliki kekuasaan penuh untuk menunjuk anggota staf. Model struktur ACP ini sebenarnya agak mirip dengan struktur pengawasan twin peaks, namun bedanya pada ACP lembaga pengawas keuangan dan lembaga perlindungan konsumen dilebur menjadi satu pada satu lembaga otoritas yang berada di bawah Bank Sentral. Model ini dapat mengatasi kekurangan pada struktur twin peaks yaitu adanya potensi miskoordinasi antara lembaga pengawas regulasi (sistemik) dengan laku bisnis terutama saat krisis karena berada dalam satu lembaga sementara dalam twin peaks terdapat dua lembaga yang berdiri sendiri. Apabila Indonesia mengadopsi sistem ini maka akan terbentuk suatu otoritas yang berada di bawah Bank Indonesia dan dipimpin oleh Gubernur Bank Indonesia. Otoritas ini merupakan gabungan antara lembaga pengawas perbankan dalam hal ini Bank Indonesia dan BapepamLK yang merupakan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Otoritas ini juga nantinya tidak memiliki kekuatan untuk membuat kontrak atau perjanjian, dimana pembuatan kontrak atau perjanjian harus melalui Bank Indonesia. 4.6.2.Pengalaman Negara Inggris Pemerintah Koalisi “ Konservatif dan Liberal Demokrat” mengumumkan pelaksanaan reformasi arsitektur sistem keuangan dengan langkah pertama pembubaran Financial Service Authority (FSA). Dengan dibubarkannya FSA maka Bank of England (BOE) akan menjadi pelaksana Macro-prudential supervision dan oversight micro prudential dengan dibentuknya tiga lembaga baru, satu komite dan komisi, sebagai berikut :
57
1. Satu lembaga baru “ Prudential Regulatory Auhority” yang akan menangani Macro prudential Supervision dan Oversight Micro Prudential Supervision yang akan menjadi anak perusahaan dari BOE 2. Dua lembaga baru yang terpisah dari BOE, yaitu (1) Economic Crime Agency yang menangani masalah kriminal di bidang ekonomi dan (2) Consumer Protection termasuk melakukan penyidikan terhadap indikasi kejahatan. Consumer Protection and market authority yang bertanggung jawab dalam melakukan : a. Perlindungan investor b. Pengawasan dan regulasi terhadap pasar c. Melakukan pengawasan terhadap perilaku (business conduct) terhadap usaha bank dan jasa keuangan 3. Komite “ Financial Policy Committee” (FPC) yang bertanggung jawab untuk memonitor secara menyeluruh isu keuangan dan makro ekonomi yang mengancam stabilitas keuangan dan mengidentifikasi risiko yang timbul. FPC nantinya akan dipimpin oleh Gubernur BOE yang dibantu oleh anggota independen 4. Banking Commision bertanggung jawab dalam menyusun kajian mengenai upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko sistematik dalam sistem perbankan dan menyusun kajian mengenai upaya yang perlu dilakukan untuk memisahkan ritel dan investment banking. Secara khusus, Banking Commision diberikan tugas dan tanggung jawab untuk memformulasikan rekomendasi kebijakan terkait hal-hal sebagai berikut : a) Mengurangi
risiko
sistemik
dalam
sektor
perbankan
dan
mengidentifikasi risiko yang dimiliki bank dalam besaran, skala dan fungsi yang berbeda b) Memitigasi penyalahgunaan dalam sistem perbankan c) Mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan maupun dampak yang ditimbulkan dari kegagalan usaha di bidang perbankan d) Mendorong kompetisi baik dalam kegiatan ritel maupun investasi dan memastikan kebutuhan nasabah bank dapat dilayani secara efisien serta 58
memastikan bahwa pengembangan bank tetap dapat mendapatkan competitive advantage walaupun tanpa persepsi too big too fail Rekomendasi yang akan dibuat oleh komisi mencakup : a) Tindakan struktural untuk mereformasi sistem perbankan dan mempromosikan stabilitas dan kompetisi termasuk isu kompleks yang tekait pemisahaan fungsi perbankan dan ritel b) Langkah non-struktural untuk mendorong stabilitas dan kompetisi perbankan agar lebih bermanfaat bagi nasabah dan dunia usaha Komisi juga bertanggung jawab untuk memperhatikan tujuan pemerintah dengan menciptakan stabilitas sistem keuangan dan sektor perbankan yang lebih efisien, terbuka dan kuat.
4.6.3.Pengalaman Negara Korea Selatan Struktur pengawasan yang digunakan oleh Korea Selatan sedikit mengalami perubahan pada tahun 2008 namun tetap pada bentuk pengawasan terintegrasi yang diterapkan sejak tahun 1999 (Gambar 4.7). Gambar 4.7 Struktur Pengawasan Korea Selatan
FSC
MOFE
SFC
FSS
All Financial Institutions
Sumber : Group thirty (2009)
Sebelum tahun 2008 sistem pengawasan terintegrasi dibawah Financial Supervisory Commisions (FSC) dan Ministry of Finance & Economy. FSC bertanggung jawab terhadap 59
perdana menteri dan independen dari menteri keuangan. FSC membawahi Securities and Futures Commision (SFC) dan Financial Supervisory Services (FSS) yang kemudian membawahi seluruh lembaga keuangan. Namun pada Maret 2008 posisi chairman FSC dan Gubernur FSS dipisahkan untuk meningkatkan efisiensi dan untuk membedakan secara jelas antara pembuatan kebijakan dengan pengawasan pasar keuangan. FSC juga berubah dari Financial Supervisory Commision menjadi Financial Services Commision. FSC dibentuk dengan tujuan untuk melindungi integrasi pasar keuangan Korea dengan meningkatkan kesehatan sistem kredit dan praktek bisnis yang jujur. FSC bertindak sebagai badan penghasil kebijakan terkonsolidasi yang terkait permasalahan pengawasan industri keuangan secara keseluruhan. FSC terdiri dari sembilan komisioner yang terdiri dari Chairman, Vice Chairman, Vice Minister of Strategy and Finance, Deputy Governor of the Bank of Korea, President of the Korea Deposit Insurance Corporation, Governor of the Financial Supervisory Service, dua orang yang direkomendasikan oleh Chairman dari FSC, dan satu orang dari Chairman of the Korea Chamber of Commerce and Industry. Chairman, ditunjuk oleh Presiden Korea, melalui rapat FSC. Fungsi-fungsi utama dari FSC adalah : •
Melakukan pembahasan dan resolusi dari isu-isu keuangan yang penting. Isu-isu mengenai kemajuan dalam industri keuangan, stabilitas pasar keuangan, dan mempromosikan sistem kredit yang sehat dan praktik bisnis yang jujur.
•
Mengarahkan dan mensupervisi Financial Supervisory Services (FSS) terkait dengan pasal-pasal penyatuan dan persetujuan anggaran dan laporan keuangan.
SFC merupakan sebuah badan dalam FSC yang diketuai oleh Vice Chairman FSC. FSC terdiri dari lima komisioner, yaitu Vice Chairman, satu standing commissioner dan tiga nonstanding commissioners, ditunjuk berdasarkan rekomendasi dari FSC Chairman. Tugas pokok SFC adalah sebagai berikut : •
Melakukan investigasi terhadap perdagangan yang curang
•
Standar akuntansi dan review audit
•
Menyelesaikan permasalahan yang didelegasikan oleh FSC untuk manajemen, pemantauan, dan supervisi pasar modal dan bursa berjangka.
•
Menyelesaikan permasalahan yang didelegasikan pada SFC terkait dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, FSS sendiri dibentuk pada 2 Januari 1999 yang merupakan gabungan dari Banking Supervisory Authority, Securities Supervisory Board, Insurance Supervisory Board, 60
and Non-bank Supervisory Authority. Tugas pokok FSS adalah menguji dan mensupervisi dari lembaga keuangan namun tidak boleh diluar fungsi yang ditetapkan oleh FSC dan SFC. FSS dipimpin oleh Gubernur dan memiliki 25 departemen dan 16 kantor yang dibagi menjadi sembilan divisi utama yaitu : (1) strategic planning, (2) management support and consumer protection, (3) supervisory service coordination, (4) banking service, (5) nonbanking service, (6) insurance service, (7) financial investment service, (8) capital market investigation, and (9) accounting service. Internal Audit Office bertanggung jawab untuk audit internal FSS. 4.6.4.Pengalaman Negara Jepang Untuk menjaga stabilitas sistem keuangannya, Pemerintah Jepang membentuk suatu lembaga yang disebut Financial Services Agency (FSA) pada tahun 1998 (Gambar 4.8). FSA bertanggung jawab mengawasi dan mengatur perbankan, pasar modal, dan asuransi. FSA merupakan sebuah lembaga yang independen oleh seorang komisioner dan bertanggung jawab pada Menteri Keuangan. Berikut adalah struktur organisasi FSA
61
Gambar 4.8. Struktur Organisasi FSA di Jepang Minister of Financial Senior Vice Minister
Parliamentary Secretary Administrative Law Judge Planning and Coordination Bureau
Financial Services Agency
• • •
Vice Commissioner for Policy Coordination Vice Commissioner for International Affairs Deputy Commissioner for International Affairs
General Coordination Division Office of International Affairs
Commissioner
Policy and Legal Division Planning Division Financial Markets Division Corporate Accounting and Disclosure Division
Inspection Bureau Inspection Coordination Division Evaluation Division Inspection Administrator
Supervisory Bureau Securities and Exchange Surveillance Commission
Supervisory Coordination Division
Chairperson Bank Division I
(2)
Commissioner
Bank Division II Insurance Business Division
Executive Bureau
Securities Business Division •
Deputy Secretary‐General of The Executive Bureau (2) General Coordination Division Office of International Affairs Policy and Legal Division Planning Division Financial Markets Division Corporate Accounting and Disclosure Division
Certified Public Accountants and Auditing Oversight Board
Chairperson Commissioner
(9)
Executive Bureau Office of Coordination and Examination Office of Monitoring and Inspection
Sumber : diolah dari Financial Services Agency Japan (2010)
62
Komisioner membawahi administrative law judge dan tiga biro. Biro-biro tersebut adalah Planning and Coordination Bureau, Inspection Bureau, dan Supervisory Bureau.
Planning
and Coordination Bureau bertugas melakukan koordinasi kebijakan, mengatur hubungan internasional, membuat perencanaan terkait
permasalahan legal, pasar keuangan, dan
corporate accounting and dislosure. Sementara Inspection Bureau bertugas melakukan inspeksi dan evaluasi. Sedangkan Supervisory Bureau membawahi Supervisory Coordination Division,
Bank division I & II, Insurance Business Division, dan Securities Business
Division. FSA juga membawahi Securities and Exchange Surveillance Commission dan Certified Public Accountants and Auditing Oversight Board. Securities and Exchange Surveillance Commission dipimpin oleh seorang chairperson, dua orang komisioner dan biro eksekutif yang membawahi coordination division, market survellaince division, inspection division, inspection administrator, civil penalties investigation and disclosure documents inspection division, dan investigation division. Sementara Certified Public Accountants and Auditing Oversight Board juga dipimpin oleh seorang chairperson, sembilan orang komisioner dan sebuah biro eksekutif yang membawahi office of coordination and examination dan office of monitoring and inspection. Struktur pengawasan tunggal yang ditetapkan oleh Pemerintah Jepang dengan membentuk FSA terbukti cukup berhasil dalam melakukan tugasnya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Salah satu faktor pendukung yang memegang peranan kunci dalam keberhasilan FSA ini adalah adanya koordinasi yang kuat, baik antar lembaga di bawah FSA maupun dengan lembaga lain diluar FSA seperti lembaga penjamin simpanan Jepang atau Deposit Insurance Corporation Japan (DICJ). Koordinasi ini sangat diperlukan terutama saat terjadinya krisis keuangan (Gambar 4.9).
63
Gambar 4.9. Skema Penanganan Krisis di Jepang Reporting in case of liabilities exceeding asets according to Art 74 of Deposit
Banks Shares
Decision on Commencement of Special Crisis Management (Art. 102, Clause 1‐3, Art 102, Clause 3, and Art 111)
FSA A meeting of the Financial System Management
Deposit Insurance Coorporation Japan (DICJ) acquires all shares on the occasion of the public notice of decision on commencement of
Banks Under Special Crisis Management
Assignment according to designation by the Prime Minister, (Art 114, Clause 1)
Officials: Newly assigned (executive director, executive officer, auditor)
DICJ
Shareholders: Former shareholders DICJ • Reporting the situations about operations and possessions • Forming plans for restoring sound Pursuit of the failed liability (criminal or civil)
Negotiation consignment (Additional Art 10)
Aset Purchase (Art 129)
RCC
Unsuitable aset to be held by Banks under Special Crisis Management
Aset suitable to be held by Banks under Special Crisis Management
End of Special Crisis Management (Art
Banks
Merger Business Transfer Share Transfer,
Financial Assistance (Art 59 and Art 118, “Special Rules on Financial Assistance to Banks under Special Crisis Management.”)
Sumber : diolah dari Deposit Insurance Corporation Jepang (2010)
64
4.6.5.Pengalaman Negara Jerman Jerman awalnya menetapkan Bundesbank sebagai badan pengawas perbankannya. Walaupun tugas dan fungsi bank sentral tidak spesifik pada pengawasan perbankan, namun tindakan terkait kebijakan moneter dan prudential supervisory seringkali saling melengkapi satu sama lain dalam sektor keuangan. Hal ini terutama berlaku sejak pembuatan keputusan dan kebijakan moneter diserahkan pada Eurosystem sejak 1 Januari 1999. Gambar 4.10 Struktur Pengawasan Jerman
Ministry of Finance
Federal Level
Administrative Council
European Union (EU)
Federal Financial Supervisory Authority (BaFin)
Deutsche Bundesbank
Banking
Banking
Advisory Council Securities Insurance Cross Sector
Bundeslander Supervise Stock Exchanges
State Level
Catatan: Garis putus menandakan koordinasi (kerjasama) antara dua lembaga
Sumber : Group of Thirty (2009) Banking Act of 1961 menugaskan Federal Banking Supervisory Office untuk bertanggung jawab dalam mensupervisi lembaga pemberi kredit dan lembaga keuangan lainnya. Lembaga ini merupakan otoritas independen yang bertanggung jawab pada Federal Minister of Economics (sejak akhir 1972 kepada Federal Minister of Finance) dan memulai kegiatannya pada 1 January 1962. Dengan adanya peraturan terkait dengan pengawasan terintegrasi pada 1 Mei 2002, Federal Banking Supervisory Office, Federal Supervisory Office for Insurance Enterprises dan membentuk
Federal Supervisory Office for Securities Trading digabungkan dan
German
Federal
Financial
Supervisory
Authority
(Bundesanstalt
für
Finanzdienstleistungsaufsicht atau BaFin).
65
BaFin memiliki beberapa fungsi pokok yaitu solvency supervision, market supervision dan investor protection. Dalam melakukan tugasnya dalam solvency supervision, BaFin bertanggung jawab untuk memastikan bahwa lembaga kredit, perusahaan asuransi dan penyedia jasa keuangan dapat memenuhi kewajiban pembayarannya setiap waktu. Sementara melalui
market
supervision
BaFin
selalu
meningkatkan
penyelenggaraan
praktek
perdagangan yang sehat dan transparan. Selain dua fungsi itu BaFin juga bertanggung jawab untuk melakukan proteksi terhadap konsumen. Tugas memberikan perlindungan konsumen ini dilakukan dengan membuka helpline dimana konsumen dapat memberikan pengaduannya. Khusus untuk pengawasan perbankan, BaFin membagi tugasnya dengan Bank Sentral Jerman yaitu Deutsche Bundesbank. Kerjasama dua lembaga ini diatur dalam Section 7 of the Banking Act, yang menetapkan bahwa Bundesbank sebagai bagian dari proses pengawasan, menganalisis laporan yang disampaikan oleh bank secara reguler untuk menilai apakah bank tersebut memiliki kecukupan modal dan apakah prosedur manajemen risikonya sudah memenuhi standar. Laporan evaluasi perbankan ini diserahkan pada BaFin. Bundesbank jugalah yang menetapkan peraturan-peraturan umum seperti prinsip-prinsip dan peraturan perbankan terkait. Sementara BaFin nantinya akan mengevaluasi kembali laporan yang diberikan Bundesbank dan menetapkan apakah suatu bank sudah dikatakan dapat memenuhi standar ketentuan minimum permodalan dan standar manajemen risikonya. BaFin memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait sektor perbankan dan jasa keuangan yang melangggar ketentuan dan laku bisnis yang dapat membahayakan perekonomian secara keseluruhan. BaFin jugalah yang memiliki wewenang untuk menentukan prosedur dan skema proteksi simpanan. Pemisahan tugas antara BaFin dan Bundesbank diatur dalam sebuah Memorandum of Understanding. BaFin bekerjasama dengan BundesBank mengeluarkan sebuah panduan pengawasan yaitu "Guideline on the execution and quality assurance of the ongoing supervision of credit and financial services institutions by the Deutsche Bundesbank." 4.6.6.Pengalaman Negara Finlandia Dalam melakukan pengawasan industri keuangan, Finlandia menganut sistem pengawasan terintegrasi di bawah Finanssivalvonta (Fiva) atau Financial Supervisory Authority (FINFSA). FIN-FSA merupakan otoritas yang mengawasi jasa keuangan dan asuransi yang dibentuk pada 1 Januari 2009. Lembaga ini mengambil alih tugas supervisi yang sebelumnya dilakukan oleh Financial Supervision Authority dan Insurance Supervisory Authority. 66
Operasional FIN-FSA dibiayai 95% nya oleh lembaga keuangan yang disupervisi dan sisanya dibiayai oleh Bank of Finland. Penggabungan antara Financial Supervision Authority dan Insurance Supervisory Authority dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan utilisasi dari keahlian dan sumber daya dalam melakukan pengawasan sektor keuangan dan asuransi. Hal ini sangat diperlukan seiring dengan meningkatnya kompleksitas risiko dan peraturan yang ada. Secara administratif FINFSA beroperasi dengan koneksi dengan Bank of Finland, namun segala keputusan terkait pengawasan bersifat independen. Tujuan dari didirikannya FIN-FSA adalah untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dengan menjaga keseimbangan operasional lembaga pemberi kredit, asuransi, perusahaan dana pensiun, dan lembaga lain yang disupervisi. FIN-FSA juga didirikan untuk melindungi hak pemegang polis asuransi dan mengembangkan kepercayaan publik terhadap aktivitas pasar keuangan. Selain itu, FIN-FSA bertugas untuk mempromosikan aspek kepatuhan pada pasar keuangan dan menyebarluaskan pengetahuan umum terkait dnegan pasar keuangan. Kewenangan FIN-FSA diatur dalam Act on the Financial Supervisory Authority. Kewenangan ini termasuk hak untuk melakukan inspeksi pada lembaga yang diawasi untuk mengumpulkan dokumen dan catatan lain yang diperlukan dalam melakukan pengawasan. FIN-FSA juga berhak mengadakan sidang dengan manajemen lembaga yang disupervisi dengan kewenangan untuk mengambil keputusan dan kewenangan administratif dalam rapat tersebut. FIN-FSA dapat menggunakan penasehat ahli dari luar sebagai penasihat dalam melakukan tugas pengawasannya. Selain itu FIN-FSA juga dapat menunjuk penasehat hukum yang akan membantu apabila terdapat ketidakcakapan, pengabaian, atau penyalahgunaan manajemen yang dilakukan oleh lembaga yang disupervisi. Jika lembaga yang disupervisi terlikuidasi atau menyatakan bangkrut, FIN-FSA dapat menunjuk penasehat hukum untuk mengawasi likuidasi aset. Wewenang FIN-FSA juga termasuk mengenakan sanksi administratif, termasuk teguran dan peringatan terhadap publik. Pada keadaan tertentu, FIN-FSA hingga lima tahun dapat melarang seseorang menjadi anggota deputi board of directors, managing director, deputy managing director atau anggota manajemen senior dari lembaga yang disupervisi. FIN-FSA pada kondisi tertentu juga dapat menarik hak yang diberikan pada
67
lembaga yang disupervisi atau melarang lembaga yang disupervisi melakukan kegiatan bisnis tertentu. Berikut adalah struktur organisasi FIN-FSA. Gambar 4.11 Struktur Pengawasan Finlandia Financial Supervisory Authority Organization Chart
Parliamentary Supervisory Council
Internal Audit
FIN‐FSA Board
General Secretariat
Director General Administration Unit
Communications
• • • •
Institutional Supervision
Prudential Supervision
Market Supervision
Conduct of Business Supervision
Divisions
Divisions
Divisions
Divisions
• Credit Risks • Market and Operational Risks • Underwriting Risks and Research • Financial Analysis • IT systems
• Markets • Information Disclosure • Financial Reporting • Savings Instruments and Services
• Consumer Protection • Financial Services • Unemployment Insurance
Groups Financial Sector Insurance Sector Capital Adequacy Calculations
Sumber : Taylor and Fleming (1999) 68
Aktivitas FIN-FSA disupervisi oleh Parliamentary Supervisory Council. The Board of the Financial Supervisory Authority menetapkan tujuan dari pengawas, menetukan prinsipprinsip operasional, dan panduan serta mengawasi pencapaian dari, serta kepatuhan terhadap tujuan serta prinsip-prinsip ini. Director General bertanggung jawab untuk mengelola aktivitas dari pengawas dan melakukan pengambilan keputusan selain yang merupakan wewenang Board. Director General dibentuk sebuah advisory management group, terdiri dari ketua departemen dan karyawan yang ditunjuk langsung oleh Director General. Bagan organisasi Financial Supervisory Authority terdiri dari empat departemen yaitu : Institutional Supervision, Prudential Supervision, Market Supervision dan Conduct of Business Supervision. Departemen ini dibagi menjadi 3-5 divisi. Seperti halnya departemen, unit-unit ini juga melapor langsung pada Director General yaitu Administration, General Secretariat dan Communication. 4.6.7.Pengalaman Negara Denmark Lembaga pengawas jasa keuangan Denmark juga menganut sistem pengawasan terintegrasi dibawah Finanstilsynet (otoritas lembaga keuangan di Denmark). Finanstilsynet memiliki tugas utama untuk melakukan pengawasan terhadap lenbaga keuangan seperti bank, lembaga kredit perumahan, pensiun, perusahaan asuransi dan lainnya. Aktivitas pengawasan yang paling utama dilakukan adalah untuk memastikan lembaga yang disupervisi memiliki dana yang cukup untuk menutupi risikonya (mengawasi kesanggupan pelunasan utang). Finanstilsynet juga melakukan pengawasan terhadap pasar modal Denmark. Finanstilsynet mengawasi perusahaan yang tercatat di bursa untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut memenuhi kewajibannya untuk mempublikasikan pengetahuan internal dan informasi relevan lainnya. Pengawasan dalam pasar modal termasuk juga pengawasan terhadap kecukupan materi prospektus saat perusahaan melakukan IPO. Serta melakukan intervensi pada kondisi tertentu seperti adanya insider dealing dan manipulasi harga. Selain melakukan tugas pengawasan, Finanstilsynet membantu menyiapkan peraturan terkait sektor keuangan dan juga mengumpulkan serta menyebarkan statistik sektor keuangan. Finanstilsynet berfokus pada tiga area utama yaitu pengawasan, pengaturan, dan informasi. Bagan berikut memperlihatkan struktur organisasi Finanstilsynet.
69
Gambar 4.12 Struktur Pengawasan Denmark
The Minister Ministry of Economic and Business Affairs
The Financial Business Council
The Danish Securities Council
Money and Pension Panel
THE EXECUTIVE MANAGEMENT
Regulation
Legal Division
Supervision and Analysis
Banking Analysis Division
Consumer Affairs and Financial Intermediaries Division
Banking Division 1
Investment Management Companies and UCITS Division
Banking Division 2
Life Insurance and Pension Division
Bangking Division 3
Mortgage‐Credit Division
Financial Reporting Division
Operational Risk Division
General Insurance and Reassurance Division
Securities Division
Administration
Computer Service Division
Finance, Information, and Personnel
Sumber : Taylor and Fleming (1999) Finanstilsynet berada di bawah Ministry of Economics and Business Affair. Selain bertanggung jawab langsung kepada menteri ekonomi, manajemen eksekutif juga dibawahi oleh The Financial Business Council, The Danish Securities Council, dan Money and Pension Panel. Sesuai dengan fungsi utama Finanstilsynet maka manajemen eksekutif dibagi 70
menjadi tiga bagian. Bagian pertama bertanggung jawab terkait dengan peraturan dan hukum, bagian kedua merupakan bagian yang menjalankan fungsi pengawasan dan analisis dan yang ketiga bertanggung jawab terhadap hal-hal administratif. 4.6.8.Pengalaman Negara Kanada OSFI merupakan lembaga yang memiliki struktur yang terintegrasi yang memiliki peran utama dalam melaksanakan pengawasan seluruh bank di Kanada, lembaga keuangan nonbank dan asuransi. Office of the Superintendent of Financial Institution (OSFI) memiliki tugas untuk melaksanakan penilaian kondisi keuangan dan kinerja operasional lembaga-lembaga yang diawasi, menelaah informasi yang didapatkan dari lembaga yang disupervisi, melakukan koordinasi dengan lembaga lain untuk menjamin efektivitas pengawasan dengan melakukan koordinasi reguler dengan lembaga yang tergabung dalam Financial Institutions Supervisory Committee (FISC). OSFI memiliki enforcement powers termasuk didalamnya adalah wewenang untuk melakukan intervensi terhadap lembaga lembaga keuangan yang bermasalah. Dengan sistem yang saat ini dianut, terdapat kesenjangan dalam kerangka pengaturan terkait dengan collective investment schemes seperti misalnya reksadana. Sementara itu, Bank of Canada bertanggung jawab dalam melaksankan kebijakan moneter dengan menentukan target suku bunga dan penyesuaian penawaran kredit. Bank of Canada juga berperan dalam sistem pembayaran dengan menyediakan fungsi check-clearing dan berperan sebagai lender of last resort. Pemerintah Kanada membentuk FISC sebagai lembaga yang mengkoordinasikan badan badan yang bertugas dalam penyusunan peraturan dan pengawasan sektor keuangan. FISC terdiri dari Department of Finance dari Ministry of Finance dan 4 independen lembaga: OSFI; Bank of Canada; Canada Deposit Insurance Corporation (CDIC); dan Financial Consumer Agency of Canada (FCAC).
71
Gambar 4.12 Struktur Pengawasan Kanada
Parlieament of Canada
Koordinasi langsung
Agensi independen
Minister of Finance
Office of the Superintendent of Financial Institutions
Canada Deposit Insurance Corporation
Department of Finance
Bank of Canada
Financial Consumer Agency of Canada
Financial Institutions Supervisory Committee Sumber : Jackson (2009)
4.6.9.Lesson Learned dari Negara Dengan Sistem Pengawasan tunggal Berdasarkan pengalaman Negara-negara yang sudah mengadopsi sistem pengawasan tunggal, ada beberapa hal yang menjadi kunci sukses keberhasilan pelaksanaan sistem tersebut, yaitu : 1. Pengalaman negara-negara Skandinavia mengikuti prinsip "small country rationale" dalam pembentukan struktur pengawasan sektor keuangan. Selain adanya rasionalisasi akan ukuran dari suatu negara, maka tingkat kompleksitas produk keuangan menjadi salah satu pertimbangan dalam pembentukan struktur pengawasan terintegrasi. Misalnya di Negara Norwegia, perkembangan bancaaassurance yang cukup pesat mendorong pemerintah untuk mengadopsi struktur pengawasan yang terintegrasi 72
2. Pengalaman negara-negara di Skandinavia yang menganut sistem pengawasan tunggal (dimulai oleh Norwegia pada tahun 1988 kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya) memperlihatkan bahwa tidak ada struktur pengawasan yang menghilangkan pengawasan perbankan dari bank sentral dengan pertimbangan bahwa bank sentral memiliki keahlian dalam mengawasi sektor perbankan. 3. Dalam proses transisi dari struktur pengawasan yang terspesialisasi ke struktur pengawasan terintegrasi dipastikan akan adanya kaji ulang peraturan tetapi tidak dengan perubahan radikal terhadap peraturan yang ada yang akan menimbulkan risiko transisi yang besar, sebagaimanayang dicontohkan oleh Norwegia. 4. Proses transisi juga terkit dengan dua isu utama, yaitu alokasi sumber daya dan perubahan budaya. Ketentuan sumber daya manusia yang meliputi status, remunerasi dan keahlian yang harus dimiliki oleh pegawai dalam lembaga tunggal tersebut. 5. Adanya MoU yang tegas mengatur peranan tiap regulator dalam situasi krisis sehingga tidak adanya saling menyalahkan peran sebagaimana yang terjadi di Britania Raya.
73
Bab 5: Usulan Struktur dan Tugas OJK di Indonesia 5.1.Pendahuluan Perkembangan sektor keuangan di Indonesia, baik lembaga keuangan bank dan nonbank, sangatlah pesat. Hal ini mengindikasikan meningkatnya keterkaitan dan transaksi satu lembaga keuangan dengan lainnya. Pengawasan lembaga keuangan yang longgar atau terpisah dapat menimbulkan penyalahgunaan yang berakibat fatal terhadap kesehatan lembaga keuangan tersebut. Sebagai contoh, seorang nasabah dapat mengajukan permohonan kredit ke bank dan pada saat yang sama mengajukan kredit ke koperasi (Gambar 5.1). Tindakan tersebut dimungkinkan karena bank dan koperasi diawasi oleh lembaga berbeda yaitu BI dan Bapepam-LK. Dualisme pengawasan tersebut diperburuk dengan tidak adanya koordinasi data antara BI dan Bapepam-LK. Pembentukan sistem pengawasan merupakan salah satu solusi dari permasalahan di atas. Penyatuan lembaga pengawas dinilai dapat mengurangi penyalahgunaan yang ada dari dualisme pengawasan. Lebih dari itu, aliran informasi menjadi terpusat sehingga pemantauan lembaga keuangan yang menyeluruh dapat tercapai.
5.2.Kompleksitas Sistem Pengawasan di Indonesia Perkembangan lembaga keuangan di Indonesia sangat pesat, namun demikian sistem pengawasan belumlah efektif untuk semua jenis lembaga keuangan. Lembaga keuangan perbankan cenderung diawasi secara ketat dan sistem yang terbangun termasuk mapan (established). Namun demikian pengawasan lembaga keuangan lain seperti koperasi misalnya, relatif masih longgar. Perbedaan sistem pengawasan dan kurangnya koordinasi antar lembaga pengawas, menyebabkan suburnya penyalahgunaan di sektor keuangan. Gambar 5.1 menunjukkan bagaimana nasabah seringkali melakukan penyalahgunaan untuk mendapatkan jumlah kredit yang melebihi batas kemampuan mereka untuk membayar.
74
Gambar 5.1. Ilustrasi Potensi Penyalahgunaan dari Dualisme Pengawasan Sektor Keuangan
Bank
Nasabah mengajukan kredit
Pengawasan oleh dua lembaga berbeda
Koperasi
BI
Tidak ada koordinasi dan aliran informasi antara lembaga pengawas: fungsi pengawasan berkurang
Potensi Penyalahgunaan
Bapepam‐LK
Hingga saat ini tidak ada sistem data sharing maupun data interfacing untuk mendeteksi nasabah yang meminjam uang di bank dan pada saat yang bersamaan meminjam uang di koperasi. Jika total pinjaman di kedua lembaga keuangan tersebut masih dalam batas aman bagi rumah tangga untuk membayar cicilan hutang dan bunganya, maka hal ini tentunya tidak akan bermasalah. Permasalahan biasanya timbul ketika nasabah cenderung impulsif dan mengajukan kredit kepada bank dan koperasi dengan jumlah yang melebihi kemampuan mereka untuk melunasinya. Jika praktik ini terjadi secara meluas, maka dampaknya tidaklah berbeda dengan sub-prime mortgage dengan ninja lender-nya. Kasus Antaboga adalah contoh lain munculnya permasalahan akibat tidak adanya data sharing, data interfacing dan bahkan koordinasi antara Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Jika saja terdapat sistem informasi dan koordinasi antar lembaga pengawas yang efektif, maka kasus Antaboga sebenarnya tidak perlu terjadi. Struktur sektor keuangan di Indonesia lebih didominasi oleh sektor perbankan. Sektor tersebut memiliki lebih dari 1.900 perusahaan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia (Gambar 5.2). Luasnya lingkup sektor keuangan merupakan catatan khusus dalam pembentukan sistem pengawasan. Selain biaya pengawasan yang besar, waktu yang dibutuhkan relatif lama untuk sistem pengawasan dapat mapan dalam mengawasi bank, baik sumberdaya manusia maupun teknologi.
75
Gambar 5.2. Jumlah Bank di Indonesia, 2010 Bank Umum (122)
Bank Pemerintah (4)
Bank Pembiayaan Rakyat (1855)
Bank Swasta (118) Bank Pembiayaan Rakyat (1712)
BPR Syariah (143)
Bank Pemerintah Unit Usaha Syariah (2)
Bank Pembangunan Daerah (26)
Bank Umum Swasta (83)
BPD Unit Usaha Syariah (14)
Bank Umum Swasta Unit Usaha Syariah (10)
Bank Umum Swasta Syariah (9)
Sumber: BI (2010a)
Sektor perbankan harus diawasi setiap saat karena perannya yang sentral dalam sektor keuangan. Kegagalan yang terjadi pada satu bank dapat berdampak buruk bagi sektor keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut diminimalisasi dengan pemantauan secara terus menerus oleh lembaga yang berwenang. Saat ini, pengawasan perbankan dilakukan oleh BI pusat dan KBI di masing-masing daerah. Pengawasan tersebut meliputi pengawasan on- dan off-site. Gambar 5.3 menjelaskan skema pengawasan bank oleh BI. Apabila ditinjau lebih dalam, kompleksitas pengawasan sangat tinggi karena jumlah bank beserta cabangnya yang besar dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
76
Gambar 5.3 Skema Pengawasan Bank oleh BI BI PUSAT
BI KANTOR CABANG DAERAH
Pengawasan on‐site setiap bank konvensional, syariah, dan BPR
Pengawasan on‐site sampel bank cabang di daerah (kewajiban satu kali dalam satu tahun)
Pengawasan on‐site bank BPR di daerah dan bank yang berkantor pusat di daerah tersebut (kewajiban satu kali dalam satu tahun)
Pengawasan Off‐site: Dilakukan secara berkala
Jumlah bank dan kantor yang ditunjukkan pada Tabel 5.1 diawasi oleh 1.437 staf pengawas: 871 staf di pusat dan 566 staf di KBI daerah (BI, 2010f). Staf pengawas di BI pusat dan KBI wajib melakukan pengawasan on-site minimal satu kali dalam setahun: (1) bank umum beserta sampel kantor cabang; (2) BPR. Jika diasumsikan satu bank memiliki minimal satu cabang, staf pengawas minimal harus mengawasi 244 kantor bank umum (kantor pusat dan sampel kantor cabang), 68 kantor bank syariah (pusat dan sampel cabang), serta 1.712 kantor BPR. Jumlah bank yang harus diawasi dalam satu tahun mencapai 2.024 bank, artinya rasio staf pengawas dan jumlah bank adalah 1:1,4. Patut dicatat bahwa pengawasan bank kategori besar, aset lebih dari Rp10 triliun, meliputi 7 kantor cabang. Selain itu, pengawasan terhadap bank minimal dilakukan dalam waktu 4-6 hari, dengan catatan bank tersebut dalam keadaan normal. Apabila bank yang diawasi bermasalah, lama pengawasan akan bertambah. Fakta tersebut mengindikasikan kompleksitas dan besarnya biaya pengawasan perbankan. Oleh karena itu, usulan pembentukan sistem pengawasan perlu mengkaji kompleksitas tersebut untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh.
77
Tabel 5.1. Jumlah Bank dan Kantor menurut Jenis Bank Kelompok Bank
2005 Des
JUMLAH BANK Bank Umum Konvensional Bank Persero BUSN Devisa BUSN Non Devisa BPD Bank Campuran
2007 Des
2008 Des
2009 Des
2010 Jan
Feb
Mar
5 35 36 26 17
5 35 36 26 17
5 32 36 26 15
4 34 31 26 16
4 35 30 26 16
4 35 30 26 16
4 35 30 26 16
4 35 31 26 16
11
11
11
10
10
10
10
10
10
131
130
130
124
121
121
121
121
122
22
23
29
32
30
31
32
33
34
2.009 2.162
1.880 2.033 -6,0
1.817 1.976 -2,8
1.772 1.928 -2,4
1.733 1.884 -2,3
1.735 1.887 0,2
1.718 1.871 -0,8
1.718 1.872 0,1
1.712 1.868 -0,2
2.171 4.113 709 1.107 64 72 8.236
2.548 4.395 759 1.217 77 114 9.110
2.765 4.694 778 1.205 96 142 9.680
3.134 5.196 875 1.310 168 185 10.868
3.854 6.181 976 1.358 238 230 12.837
3.881 6.187 969 1.365 238 230 12.870
3.884 6.214 978 1.369 239 230 12.914
3.884 6.234 978 1.369 238 230 12.933
3.887 6.240 979 1.369 239 230 12.944
436
509
568
790
998
1.108
1.146
1.233
1.230
3.110 11.782
3.173 12.792 8,6
3.250 13.498 5,5
3.367 15.025 11,3
3.644 17.479 16,3
3.663 17.641 0,9
3.671 17.731 0,5
3.718 17.884 0,9
3.750 17.924 0,2
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2010e)
78
Apr
5 34 37 26 18
Bank Asing Total Bank Umum (A) Bank Syariah Total Bank Syariah (B) Bank Perkreditan Rakyat Total Bank Perkreditan Rakyat (C) Total Bank (A+B+C) Kenaikan (%) JUMLAH KANTOR Bank Umum Konvensional Bank Persero BUSN Devisa BUSN Non Devisa BPD Bank Campuran Bank Asing Total Kantor Bank Umum (X) Bank Syariah Total Kantor Bank Syariah (Y) Bank Perkreditan Rakyat Total Kantor Bank Perkreditan Rakyat (Z) Total Kantor Bank (X+Y+Z) Kenaikan (%)
2006 Des
BOKS 5.1 Sistem Pengawasan Sektor Perbankan Pengawasan sektor perbankan yang dilakukan Bank Indonesia bukanlah tugas yang mudah, melainkan tugas yang kompleks, memerlukan waktu dan biaya besar, dan membutuhkan ketelitian. Sistem pengawasan bank memerlukan “know how” yang tidak dapat dibangun dalam waktu 1-2 tahun. Penjelasan berikut memberikan gambaran mengenai sistem pengawasan perbankan di Indonesia. Sektor perbankan yang diawasi BI meliputi bank umum konvensional, bank syariah, BPR, dan BPR syariah dan jumlahnya mencapai 1.868 pada tahun 2010. Pengawas yang didedikasikan untuk mengawasi sektor tersebut mencapai 1.437 staf. Pengawas secara umum melakukan dua tugas pengawasan yaitu off-site dan on-site. Selain itu, pengawas juga harus mengikuti program pelatihan & seminar dan ikut terlibat dalam pembahasan ketentuan & RUU. Jika ditelaah lebih rinci, pengawasan off-site dilakukan setiap saat dan meliputi pengawasan laporan harian, mingguan, bulanan, kuartalan, semesteran, dan tahunan, laporan pelaksanaan good corporate governance, dan laporan pelaksanaan manajemen risiko. Pengawasan on-site menggunakan temuan dan rekomendasi pengawasan off-site dan dilakukan di kantor pusat dan sampel kantor cabang. Jumlah kantor cabang yang diawasi disesuaikan dengan size dari bank tersebut, sebagai contoh BI mengawasi tujuh kantor cabang dari bank dalam kategori besar (aset lebih besar dari Rp10 triliun). Satu bank diawasi oleh satu tim yang jumlahnya bervariasi bergantung pada size dan keadaan bank tersebut. Bank kategori besar diawasi oleh 13 orang pengawas; bank kategori menengah (aset Rp1 triliun s.d. Rp10 triliun) diawasi oleh tujuh-delapan orang; bank kategori kecil (aset kurang dari Rp1 triliun) diawasi oleh lima-enam orang; BPR diawasi oleh dua-tiga orang. Pengawasan kantor pusat memerlukan 35 hari dalam satu tahun sedangkan pengawasan kantor cabang memerlukan waktu empat-enam hari. Jumlah pengawas dan periode pengawasan dapat meningkat apabila sebuah bank mengalami permasalahan khusus. Tim tersebut melakukan pengawasan off-site dan on-site suatu bank secara paralel dan bertanggun jawab penuh terhadapnya (dedicated team). Pengawas menggunakan pendekatan berbasis kepatuhan dan risiko (dimulai tahun 2003) dalam pengawasan bank. Pengawasan dengan pendekatan berbasis risiko memerlukan waktu yang lebih panjang karena terdiri dari banyak kriteria. Tantangan utama yang dihadapi pengawas adalah sistem inti (core banking system) yang berbeda antara satu bank dengan lainnya. Artinya, BI menghadapi 121 sistem inti bank umum dan profil risiko yang berbeda, belum lagi sistem inti BPR yang jumlahnya ribuan. BI secara konsisten mengembangkan sistem informasi yang dimilikinya, seperti SIM-SPB, SID, dan SIMWAS BPR, untuk menjawab tantangan pengawasan yang kompleks. BI melakukan investasi besar dalam pengembangan SDM melihat kompleksitas pengawasan perbankan yang terus berkembang. BI menciptakan tujuh jenjang pelatihan khusus pengawasan perbankan. Setiap staf pengawas memerlukan rerata 15 hari untuk menyelesaikan satu jenjang pelatihan. Selain itu, BI mengirimkan 30 orang staf setiap tahunnya untuk pelatihan pengawasan perbankan di luar negeri.
79
Sesuai dengan struktur organisasi OJK yang diusulkan dalam
RUU OJK
terdapat
beberapa hal yang perlu dicermati dan membutuhkan diskusi lebih dalam : 1. Dalam naskah akademik RUU OJK disebutkan bahwa tempat kedudukan OJK berada di ibukota Negara Republik Indonesia dan mempunyai kantor-kantor di dalam dan di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Apabila terdapat kantor-kantor untuk setiap provinsi atau kabupaten diperkirakan akan membutuhkan dana yang sangat besar dan waktu yang lama dalam pendiriannya Belajar dari pendirian KPK, diperlukan waktu minimal dua tahun untuk membentuk KPK dan membuatnya berfungsi dengan baik. Perlu dicatat bahwa KPK hanya ada di Jakarta. Pendirian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di setiap provinsi dan kabupaten adalah contoh lain yang perlu digunakan sebagai pelajaran. Pembentukan BNPB di Pusat dan BPBD di masing-masing daerah membutuhkan waktu lama. Sejak diamanatkan di UU Nomor 24/2007, hingga saat ini BPBD Tingkat I telah terbentuk di 28 provinsi. Masih ada lima provinsi lain yang belum memiliki BPBD Tingkat I, meskipun provinsi tersebut sering terkena gempa (misalnya DIY dan Papua). Dari total 399 kabupaten se Indonesia, ternyata hanya 104 kabupaten saja yang telah didirikan BPBD Tingkat II, padahal idealnya semua kabupaten di Indonesia didirikan BPBD. 2. Disebutkan dalam RUU OJK Pasal 5 bahwa terdapat tiga anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif memimpin masing-masing otoritas yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan usulan Dewan Komisioner, melalui Menteri keuangan. Kemudian disebukan pula dalam salah satu fungsi Dewan Komisioner adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Eksekutif. Hal ini berarti bahwa tiga orang Dewan Komisioner yang juga merangkap sebagai Kepala Eksekutif juga melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri sebagai Kepala Eksekutif. Hal ini perlu dijelaskan kriteria independensi dan pelaksanaan good governance karena adanya rangkap tugas dan fungsi. 3. Sesuai dengan struktur yang diusulkan dalam RUU OJK maka akan ada beberapa pihak yang terlibat dalam pengawasan Bank (sebagaimana terlihat dalam garis merah dalam Gambar 5.4), yaitu Bank Indonesia sendiri, anggota Dewan Komisioner yang merupakan Ex Officio Dewan Gubernur BI, dan Anggota Dewan Komisioner yang merangkap Kepala Eksekutif Pengawasan Bank. Dengan banyaknya pihak yang 80
mengawasi industri perbankan maka dikhawatirkan terjadi lempar tanggung jawab (blame disbursement strategy dan pass the bucket) pada saat ada bank gagal atau terjadi fraud yang dikarenakan lemahnya sistem pengawasan. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah apabila ternyata kedepannya terjadi permasalahan kegagalan bank maka siapakah pihak yang akan bertanggung jawab atas permasalahan tersebut, apakah Bank Indonesia, atau OJK yaitu
anggota Dewan
Komisioner yang merupakan Ex Officio Dewan Gubernur BI, atau Anggota Dewan Komisioner yang merangkap Kepala Eksekutif Pengawasan Bank, atau ketigatiganya, atau dapat juga BI dan OJK harus secara bersama-sama bertanggung jawab. 4. Dalam naskah akademik yang menunjang RUU OJK
disebutkan juga : ”Untuk
mendukung kinerja dan pelaksanaan tugas dari masing-masing anggota Dewan Komisioner serta pejabat, dan pegawai OJK, diatur mekanisme penetapan sistem remunerasi dengan mempertimbangkan sistem penggajian yang berlaku pada industri jasa keuangan dan regulator jasa keuangan, baik nasional maupun internasional.” Perlu diperhatikan bahwa remunerasi dalam jasa keuangan sangat variatif. Dalam skala nasional saja antara satu perusahaan dan perusahaan lain bisa sangat jauh berbeda, apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan skala internasional pasti akan lebih banyak lagi variasinya. 5. Dalam RUU OJK Pasal 48 ayat (1) Disebutkan bahwa ” Terhitung sejak tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), beralih pada Otoritas Jasa Keuangan, status kepegawaian pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan tugas dan wewenang di bidang pengaturan dan pengawasan beralih seluruhnya atau sebagian menjadi pegawai Otoritas Jasa Keuangan.” Pertanyaaan yang muncul terkait dengan kata seluruhnya atau sebagian, apakah hal tersebut berarti bahwa pegawai Bank Indonesia bisa memilih status apakah tetap menjadi pegawai Bank Indonesia atau OJK. Apabila nantinya ditetapkan siapa saja yang harus berganti status dari pegawai BI menjadi pegawai OJK, maka kriteria apa yang digunakan dalam menetapkan tersebut. Selain itu, potensi benturan antara staf BI dan OJK adalah besar pada saat masa transisi karena masing-masing lembaga memiliki tupoksi yang berbeda
81
Gambar 5.4 Struktur OJK Berdasarkan RUU OJK Tahun 2010 STRUKTUR ORGANISASI OTORITAS JASA KEUANGAN
BANK INDONESIA • Gubernur • Dewan Gubernur Senior (DGS) • DG 1 • DG 2 • DG 3 • DG 4 • DG 5 • DG 6
Dewan Komisioner (DK)
Fit & Proper Test Menkeu/Presiden DG/Menkeu Menkeu/Presiden
Anggota 1:
Anggota 2
Ketua DK
Anggota 3: Ex‐officio pejabat eselon 1 Kementrian Keuangan
Anggota 4: Ex‐ officio DG BI
Anggota 5: Kepala Eksekutif Pengawas Bank
Anggota 6: Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal
Anggota 7: Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
Kepala Eksekutif Pengawas Bank
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB)
BANK
PASAR MODAL
INDUSTRI KEUANGAN NONBANK
FUNGSI PENGATURAN
FUNGSI PENGAWASAN
82
Gambar 5.5 menjelaskan kompleksitas terhadap struktur OJK yang diusulkan dalam RUU OJK. Struktur tersebut identik dengan struktur FSA di Britania Raya yang terbukti gagal dalam melaksanakan fungsinya. Dalam struktur tersebut, masing-masing kepala eksekutif bertugas untuk menjalankan fungsi pengawasan mikro sekaligus laku bisnis di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB). Hal tersebut patut ditinjau ulang melihat pengalaman FSA: FSA lebih fokus pada pengawasan laku bisnis dan mengabaikan fungsi pengawasan mikro. Kegagalan pengawasan mikro cenderung berakibat lebih buruk dibandingkan kegagalan pengawasan laku bisnis, misalnya fungsi pengawasan mikro FSA gagal mengantisipasi jatuhnya Northern Rock yang menimbulkan goncangan terhadap sistem keuangan dan kepercayaan nasabah keuangan di Britania Raya. Struktur yang diusulkan RUU OJK juga sangat lemah karena belum menimbang pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan waktu lama pembentukan OJK daerah. Basis data lembaga keuangan di daerah sangat minim, khususnya lembaga keuangan informal. Lingkup pengawasan yang sangat luas terutama dengan jumlah lembaga keuangan informal yang cenderung sangat banyak dan seringkali tersebar hingga ke daerah-daerah terpencil. Penjelasan biaya pengalihan pengawasan dari BI ke OJK dibahas lebih rinci di Bab 6. Skema RUU OJK mengalihkan fungsi pengawasan sektor perbankan dari BI ke OJK. Pengalihan ini memerlukan biaya yang sangat besar, mengingat SDM dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengawasan bank di seluruh Indonesia. Selain itu, peralihan memerlukan waktu lama: penelitian di 14 negara menunjukkan waktu peralihan mencapai 0,7-2 tahun. Penelitian tersebut dilakukan di negara maju, sedangkan Indonesia merupakan negara berkembang dengan infrastruktur dan arus informasi minim serta fakta bahwa wilayah Indonesia sangat luas dan terdiri dari banyak pulau-pulau. Terkait dengan masalah perpindahan fungsi pengawasan tersebut, terdapat kecenderungan menyederhanakan masalah dengan argumen bahwa proses perpindahan tersebut bisa dilakukan dengan metoda ’bedhol desa’. Artinya semua pengawas beserta semua instrumen yang dimiliki dipindahkan dari BI ke OJK. Proses ini tidaklah semudah yang dibayangkan. ’bedhol desa’ berarti OJK harus menyiapkan kantor beserta prasarana pendukungnya untuk semua pengawas yang semula berkantor di BI. Jika saja hal ini hanya terbatas di Jakarta,
83
mungkin permasalahan relatif ringan, namun ketika hal yang sama terjadi di seluruh wilayah Indonesia, maka kompleksitas ini perlu mendapat perhatian khusus. Kompleksitas lain dari konsep ’bedhol desa’ tersebut adalah OJK harus membentuk berbagai SOP untuk mengatur berbagai masalah keseharian yang mungkin timbul. Tentunya SOP dan sistem kerja yang ada di BI tidak bisa dibawa seluruhnya ke OJK, karena akan ada interaksi antara pengawas yang berasal dari BI dan pengawas yang semula dari Bapepam. Setiap lembaga memiliki tradisi dan sistem kerja yang seringkali berbeda dan tentunya ketika kedua hal tersebut berinteraksi, tentu diperlukan mekanisme untuk mengakomodasi keduanya. Perbankan merupakan sektor keuangan terbesar di Indonesia (87%). Hal ini mengindikasikan bahwa stabilitas keuangan Indonesia erat kaitannya dengan sektor perbankan. Saat ini, stabilitas (fungsi pengawsasan makro) sektor keuangan dilakukan oleh BI. Apabila fungsi pengawasan mikro perbankan dialihkan dari BI ke OJK, biaya koordinasi stabilitas akan menjadi tinggi dan rentan terhadap miskoordinasi. Keadaan sektor keuangan yang didominasi oleh perbankan membutuhkan fungsi stabilitas dan pengawasan mikro perbankan dilaksanakan oleh satu lembaga agar optimum. Struktur RUU OJK menawarkan kemanfaatan yaitu: (1) pencapaian economies of scope pengawasan sektor keuangan; (2) mengurangi kecenderungan moral hazard dari produk lintas lembaga; (3) penciptaan basis data (database) sektor keuangan yang terintegrasi. Walaupun demikian, kompleksitas struktur tersebut memiliki biaya yang lebih besar dibandingkan kemanfaatan yang diperoleh. Setiap kompleksitas yang timbul dari struktur tersebut merupakan potensi besar penyebab sektor keuangan rentan terhadap kejutan eksternal dan krisis apabila lembaga pengawas mengalami kegagalan sekecil apapun.
84
Gambar 5.5. Kompleksitas Terhadap Struktur yang Diusulkan RUU OJK DEWAN KOMISIONER
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB)
Deputi (maks 5 Orang)
Deputi (maks 5 Orang)
Deputi (maks 5 Orang)
Direktur Pelaksana
Direktur Pelaksana
Direktur Pelaksana
Fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis perbankan
Fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis pasar modal
Fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis industri keuangan nonbank (IKNB)
Kemanfaatan:
Kompleksitas:
‐
‐
‐
‐
Integrasi memungkinkan economies of scope pengawasan sektor keuangan. Mengurangi kecenderungan penyalahgunaan yang timbul dari pelaku sektor keuangan karena diawasi oleh dua lembaga pengawas berbeda (Gambar 5.1). Penciptaan basis data (database) sektor keuangan yang terintegrasi
‐
‐
‐
Setiap lini pengawas (perbankan, pasar modal, dan IKNB) menjalankan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis secara bersamaan. Sistem ini terbukti gagal di FSA Britania Raya karena suatu lini pengawas akan cenderung fokus pada satu fungsi pengawasan saja dan cenderung mengabaikan fungsi lainnya. FSA di Britania Raya cenderung fokus pada fungsi pengawasan laku bisnis dan mengabaikan fungsi pengawasan mikro. Belum mencantumkan struktur OJK di daerah: Biaya besar dan waktu lama dalam pembentukan OJK daerah Lingkup pengawasan yang sangat luas untuk lembaga yang belum mapan: jumlah lembaga keuangan informal di daerah jumlahnya cenderung sangat banyak. Basis data sektor keuangan yang minim di daerah Peralihan SDM pengawas perbankan dari BI berbiaya tinggi dan memerlukan waktu relatif lama Biaya koordinasi tinggi apabila fungsi pengawasan makro dan mikro sektor perbankan (sektor keuangan terbesar) dilakukan oleh dua lembaga berbeda.
85
Peraturan di Indonesia seringkali terdiri dari undang-undang yang berlapis dan hal ini juga terjadi di pengaturan pengawasan sektor keuangan. Gambar 5.6 menunjukkan undang-undang yang mengatur pengawasan sektor keuangan: (1) UU OJK; (2) UU Perbankan; (3) UU Pasar Modal; (4) UU Usaha Perasuransian; (5) UU Dana Pensiun; (6) UU terkait lainnya. Banyaknya jumlah UU yang mengatur berpotensi menimbulkan tumpang-tindih peraturan dan konflik. UU OJK disarankan menjadi cetak biru pengaturan sektor keuangan yang memuat peraturan komprehensif mengenai sektor keuangan. Gambar 5.6. Undang-Undang yang Mengatur Pengawasan Sektor Keuangan
UU OJK
UU Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun
Organisasi dan tata kelola otoritas pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan
Ketentuan jenis produk, lingkup kegiatan, syarat kecukupan dan kriteria, tingkat kesehatan, prinsip kehati‐hatian lembaga keuangan.
5.2.1
Kompleksitas SDM Sistem Pengawasan
Kompleksitas sistem pengawasan dalam hal sumberdaya manusia tidak hanya terletak pada kebutuhannya yang besar, namun juga pengembangan tacit knowledge yang dimiliki oleh setiap pengawas. Konsep “bedhol desa” yang ditawarkan RUU OJK bukanlah proposisi yang optimum. Menurut konsep tersebut, staf pengawas akan menjalankan tugas pengawasan di berbagai industri keuangan. Sebagai contoh, staf pengawas perbankan yang sebelumnya di BI dapat diberi tugas mengawasi perasuransian maupun pasar modal. Setiap staf pengawas akan menjalani proses pembelajaran yang panjang sejak pertama kali bertugas. Tidak hanya harus mengerti teknik-teknik tertulis, seorang staf pengawas akan mengembangkan tacit knowledge yang tidak mudah untuk dipelajari oleh staf lain. Oleh karena itu, pembelajaran seorang staf pengawas merupakan “investasi” pengetahuan dan keterampilan yang sangat besar dan memerlukan proses panjang. 86
Gambar 5.7 memberikan gambaran umum tahap penting yang dialami seorang staf pengawas dalam proses pengembangan pengetahuannya. Pertama, seorang pengawas harus mengerti misi yang diemban oleh lembaga pengawas tempatnya bernaung (know the mission). Staf pengawas diikutkan dalam pelatihan dan seminar terkait tugas pokoknya dalam mengawasi lembaga keuangan. Patut dicatat, misi lembaga pengawas dapat berubah seiring perubahan industri yang diawasi, sehingga staf pengawas wajib melakukan penyesuaian kembali. Gambar 5.7. Kualifikasi Pengawasan Lembaga Keuangan
Know your mission
Know your entity
Kualifikasi Pengawas Lembaga Keuangan
Know your technique and how to do it
Build your character: Integritas, Profesionalitas, dan Kepemimpinan
Kedua, seorang pengawas harus mengerti perusahaan yang diawasinya (know the entity). Staf pengawas tidak cukup mengerti teknik pengawasan untuk satu industri yang spesifik, misalnya perbankan atau perasuransian. Staf pengawas wajib mengerti seluk beluk pengawasan sampai ke jenjang perusahaan. Argumennya, setiap perusahaan memiliki sistem inti (core system) yang unik yaitu berbeda antara satu dengan lainnya. Akan sangat sulit bagi seorang staf untuk mengawasi dua perusahaan dalam satu industri, apalagi mengawasi dua jenis industri yang berbeda. 87
Sebagai contoh, BPK setiap tahunnya harus melakukan pengawasan terhadap lebih dari 100 objek pembinaan yang memiliki karakteristik unik. Oleh karena itu, setiap staf atau kelompok pengawas harus fokus pada pengawasan satu objek pembinaan. Hal ini memungkinkan staf pengawas untuk mendapatkan continous learning process dan mengerti seluk beluk objek pembinaannya.1 Ketiga, staf pengawas harus mengerti teknik pengawasan dan bagaimana untuk melakukannya (know supervision technique and how to do it). Staf akan melewati pembelajaran mengenai teknik pengawasan dan pengetahuan lain terkait pengawasan sebuah lembaga. Staf dituntut untuk mengimplementasikan teknik dan pengetahuan yang telah dipelajarinya dalam pengawasan sebuah lembaga secara langsung. Pengalaman staf yang didapat selama proses pengawasan merupakan core value seorang pengawas yang sulit untuk ditransfer maupun dipelajari oleh pengawas lain dalam waktu singkat. Keempat, staf pengawas harus membangun karakter yang kuat (character building). Staf pengawas dituntut lebih dari melakukan tugas dengan baik, namun melakukan tugas dengan integritas dan profesionalitas. Staf juga dituntut untuk memiliki sifat kepemimpinan karena proses pengawasan sering dilakukan dalam satu kelompok. Selain itu, lembaga keuangan merupakan industri yang dinamis yang memungkinkan perubahan dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu, staf dituntut memiliki kecakapan dalam pengambilan keputusan. Traits individual di atas bukanlah sesuai yang inheritance dalam diri seorang pengawas, namun outcome dari proses pembelajaran yang panjang. Pengawasan lembaga keuangan juga memerlukan penjenjangan kompetensi. Proses ini berguna untuk pembinaan dan pengalaman staf muda namun dalam lingkup pengendalian staf yang telah berpengalaman. Setiap jenjang memiliki tugas dan kompetensi yang berbeda, semakin tinggi jenjang semakin besar beban tugas yang diembang sehingga membutuhkan kompetensi yang handal. BPK (2007) memberikan gambaran mengenai penjenjangan kompetensi dalam sistem pengawasannya (Tabel 5.2).
1
Lihat BPK (2010), http://www.bpk.go.id/web/?page_id=41
88
Tabel 5.2. Penjenjangan Kompetensi BPK RI Jenjang Auditor
Kompetensi Auditor
Auditor Trampil
Auditor yang mempunyai kemampuan dasar untuk melakukan pemeriksaan
Auditor Ahli
Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mendisain program dan perencanaan pemeriksaan
Ketua Tim Yunior (KTY)
Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan kegiatan tim dan menyusun laporan hasil pemeriksaan
Ketua Tim Senior (KTS)
Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan kegiatan tim, menyusun laporan hasil pemeriksaan, danmemberikan bimbingan kepada anggota tim (coaching)
Pengendali Teknis Yunior (PTY)
Auditor yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pengendalian mutu pemeriksaan serta mampu untuk menjadi pemimpin di beberapa tim pemeriksa
Pengendali Teknis Senior (PTS)
Auditor yang mempunyai kemampuan untuk mendisain kerangka pengendalian mutu pemeriksaan dan menyusun rekomendasi pemeriksaan
Sumber: BPK (2007) Proses pengembangan SDM terutama di sistem pengawasan membutuhkan waktu panjang dan sumberdaya yang besar. Sistem pengawasan tidak hanya mengawasi perbankan, namun juga perasuransian, perusahaan pembiayaan, koperasi, lembaga keuangan mikro, dan pasar modal. SDM harus diatur sedemikian rupa agar setiap pengawas memiliki pengetahuan spesifik di tingkat industri bahkan perusahaan. Proses pengaturan tersebut merupakan investasi yang besar dan dijalankan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, pembentukan sistem pengawasan harus ditinjau ulang karena SDM pengawas yang belum mapan menyebabkan lembaga keuangan rentan terhadap risiko yang berbiayai jauh lebih besar.
5.3.Usulan Sistem Pengawasan yang Optimum Melihat keadaan sektor keuangan di Indonesia, lembaga pengawasan perbankan tetap dilaksanakan oleh BI (Gambar 5.8). Pengawasan pasar modal dan IKNB dilaksanakan oleh sistem pengawasan yang dikembangkan dari lembaga Bapepam LK yang telah ada dan berjalan. BI dipandang telah memiliki tenaga ahli pengawas dan teknologi untuk mengawasi bank. Apabila fungsi pengawasan perbankan dialihkan ke sistem pengawasan, maka biaya transaksi akan cukup signifikan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan fungsi pengawasan bank ke sistem pengawasan juga relatif lama. Selain itu, selama periode penyatuan, kejutan eksternal dapat terjadi setiap saat. Kejutan tersebut menyebabkan sektor 89
keuangan rentan karena lembaga pengawas belum dapat melaksanakan tugas dengan optimal pada masa peralihan.
Gambar 5.8. Usulan Skema Pembagian Tugas antara BI dan Sistem Pengawasan Bank Sentral
BAPEPAM‐LK
Pasar Modal & Lembaga keuangan nonbank
Perbankan
1. Right to license: menetapkan tata cara perizinan perbankan termasuk pembukaan, penutupan, pemindahan kepemilikan, dan izin melakukan kegiatan usaha tertentu 2. Right to regulate: menetapkan peraturan modal minimum perbankan, peraturan komposisi modal, peraturan kredit, standar akuntansi, dan peraturan perlindungan konsumen (seperti kampanye know your customer dan anti money laundering). 3. Right to control: pengawasan perbankan on‐ dan off‐site 4. Right to impose sanction: kepada bank yang tidak sesuai dengan undang‐undang dan ketentuan umum perbankan yang ditetapkan.
PASAR MODAL 1. Penyusunan dan penegakan peraturan di bidang pasar modal 2. Pembinaan dan pengawasan lembaga yang memperoleh izin usaha, persetujuan, dan pendaftaran dari badan yang bergerak di pasar modal 3. Penetapan prinsip keterbukaan perusahaan bagi emiten dan perusahaan publik 4. Penyelesaian keberatan yang diajukan oleh pihak yang terkena sanksi oleh Bursa Efek, Kliring, dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 5. Penetapan ketentuan akuntansi di bidang pasar modal
LEMBAGA KEUANGAN Sumber: BI (2010c) 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang lembaga keuangan 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang lembaga keuangan, sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku 3. Perumusan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur di bidang lembaga keuangan 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang lembaga keuangan 5. Pelaksanaan tata usaha badan Sumber: Bapepam‐LK (2009)
Gambar 5.9 menjelaskan usulan struktur sistem pengawasan di Indonesia dan pembagian tugas dengan BI. BI tetap memegang fungsi pengawasan makro karena memiliki tugas pengaturan sistem pembayaran serta LOLR. Selain itu, pengawasan mikro sektor perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang dibutuhkan. Penugasan fungsi pengawasan makro dan pengawasan mikro sektor perbankan kepada BI memberikan keleluasaan untuk memadukan dengan kebijakan moneter yang dijalankan.
90
Sistem Pengawasan dibentuk berdasarkan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis. Sistem Pengawasan melaksanakan fungsi pengawasan mikro di semua sektor keuangan kecuali bank dan fungsi pengawasan laku bisnis di semua sektor keuangan termasuk bank. Pembagian tugas antara BI dan sistem pengawasan yang sedemikian rupa tidak akan menimbulkan biaya transaksi yang tinggi karena saat ini Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi tersebut. Skema tersebut memungkinkan Bapepam-LK meningkatkan independensi dengan berada di luar Departemen Keuangan. Pada praktiknya di seluruh negara, keberadaan lembaga pengawas adalah di luar kementrian untuk meningkatkan independensinya. Skema ini memberikan kemanfaatan yang besar terutama dalam meminimalisasi biaya yang timbul dari transisi fungsi pengawasan dari BI ke sistem pengawasan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, transisi pengawasan bank dari BI ke sistem pengawasan memerlukan biaya dan waktu yang sangat besar. Selain itu, skema di bawah meminimalisasi dampak negatif lamanya waktu transisi terhadap kerentanan sektor keuangan dalam menghadapi kejutan eksternal. Misalnya, lembaga pengawas baru belum memiliki SDM dan teknologi yang mapan, sehingga kinerja pengawasan berkurang. Lembaga pengawas tidak dapat mengetahui data dan keadaan terbaru industri sehingga tidak dapat merumuskan kebijakan yang tepat dalam menghadapi kejutan eksternal. Skema ini menawarkan pengawasan laku bisnis yang terintegrasi yaitu di bawah sistem pengawasan. Pengawasan yang terintegrasi memudahkan sistem pengawasan mengawasi produk-produk lintas lembaga. Kasus Antaboga, sebagai contoh, terjadi karena produk ditawarkan merupakan integrasi dua lembaga yang diawasi oleh dua lembaga pengawas yang berbeda. Perbedaan pengawasan dalam kasus tersebut merupakan celah yang menimbulkan penyalahgunaan pelaku perbankan. Skema ini mengurangi kecenderungan tidak adanya pengawasan terhadap produk lintas lembaga. Skema tersebut tetap memiliki kompleksitas: (1) ada kecenderungan konsentrasi kekuatan ke lembaga pengawas yang memiliki SDM dan teknologi yang lebih superior; (2) biaya timbul dari pengalihan fungsi pengawasan laku bisnis dari BI ke sistem pengawasan. Walaupun demikian, patut dicatat bahwa potensi krisis yang ditimbulkan dari kompleksitas adalah sangat kecil.
91
Gambar 5.9. Usulan Struktur Sistem Pengawasan dan Pembagian Tugas dengan BI: Skema I Fungsi pengawasan makro
Koordinasi
Bapepam‐LK
Bank Sentral Lembaga pengawas perbankan (dibentuk dengan UU dan berada di bawah bank sentral)
Fungsi pengawasan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Fungsi pengawasan mikro perbankan
Pasar Modal
Lembaga Pembiayaan
Bank
Perusahaan Sekuritas
Kemanfaatan
Kompleksitas
‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐
Minimalisasi biaya pengalihan fungsi pengawasan dari BI keBapepam‐LK Minimalisasi dampak lamanya waktu transisi terhadap kerentanan sektor keuangan dalam menghadapi kejutan eksternal yang dapat menimbulkan krisis Struktur OJK dapat dibentuk secara unik berdasarkan karakteristik sektor keuangan di perekonomian tersebut Pembagian fungsi pengawasan lembaga keuangan yang jelas (antara pengawasan sistemik dan laku bisnis) Penyatuan lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan makro dan mikro perbankan (sebagai sektor keuangan terbesar) memudahkan terciptanya harmonisasi kebijakan terutama kebijakan moneter. Penyalahgunaan penciptaan produk lintas industri (misalnya Antaboga) dapat diminimalisir dengan adanya satu lembaga pengawas laku bisnis yaitu Bapepam‐LK.
‐
‐
Dana Pensiun
Asuransi
Terdapat kemungkinan konsentrasi kekuatan pada suatu lembaga, misalnya pada bank sentral, karena faktor tenaga ahli dan teknologi Ada kemungkinan biaya timbul dari pengalihan fungsi pengawasan laku bisnis dari BI ke Bapepam‐LK Perlu adanya koordinasi dan arus informasi yang sempurna antara bank sentral dan Bapepam‐LK terkait dengan pengawasan laku bisnis lembaga perbankan dalam rangka mengurangi pelanggaran pidana maupun perdata oleh bank karena lemahnya koordinasi antar lembaga di Indonesia
Gambar 5.10 menunjukkan usulan struktur sistem pengawasan skema II. Fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis, dalam skema II, dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Sistem 92
Pengawasan melaksanakan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis lembaga keuangan nonbank dan pasar modal. Skema ini memberikan kemanfaatan yang sama dengan skema I yaitu menghindari biaya transaksi tinggi yang timbul karena transisi fungsi pengawasan dari BI ke sistem pengawasan. Ada beberapa kemanfaatan dan kompleksitas lain yang menarik untuk dicatat dalam skema II. Pertama, Indonesia tidak akan mengubah struktur pengawasan yang telah ada: pengawasan bank oleh BI dan pengawasan lembaga keuangan nonbank dan pasar modal oleh sistem pengawasan. Walaupun demikian, akuntabilitas serta transparansi pengawasan khususnya bank oleh BI harus ditingkatkan. Kedua, struktur ini menggabungkan fungsi pengawasan makro sektor keuangan dan pengawasan mikro perbankan yang merupakan lembaga keuangan terbesar di Indonesia. Sistem ini memberikan kesempatan besar kepada pengawas untuk menjaga stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Ketiga, struktur ini memungkinkan kelemahan pengawasan laku bisnis antar lembaga keuangan khususnya produk lintas lembaga. BI fokus pada pengawasan bank sedangkan OJK fokus pada pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan nonbank. Dalam kenyataan, antar lembaga keuangan dapat bekerja sama mengembangkan sebuah produk. Kompleksitas ini dapat diminimalisasi dengan koordinasi rutin antara BI dan Bapepam-LK, salah satunya adalah pembentukan basis data bersama. Seperti halnya skema I, skema ini menawarkan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan kompleksitas. Kemanfaatan yang memiliki proporsi besar dari kedua skema adalah minimalisasi risiko krisis. Selain itu, kedua skema meminimalisasi biaya transaksi yang tinggi dari penggabungan fungsi pengawasan dalam sistem pengawasan di Indonesia.
93
Gambar 5.10. Usulan Struktur Sistem Pengawasan dan Pembagian Tugas dengan BI: Skema II Fungsi pengawasan makro
Koordinasi
Bapepam‐LK
Bank Sentral Lembaga pengawas perbankan (dibentuk dengan UU dan berada di bawah bank sentral)
Fungsi pengawasan laku bisnis
Fungsi pengawasan mikro
Fungsi pengawasan mikro perbankan dan laku bisnis
Pasar Modal
Lembaga Pembiayaan
Bank
Perusahaan Sekuritas
Kemanfaatan
Kompleksitas
‐
‐
‐
‐
‐
‐
Tidak merubah struktur pengawasan yang ada di Indonesia Struktur sistem pengawasan dapat dibentuk secara unik berdasarkan karakteristik sektor keuangan di perekonomian tersebut Pembagian fungsi pengawasan lembaga keuangan yang jelas (antara pengawasan sistemik dan laku bisnis) Penyatuan lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan makro dan mikro perbankan (sebagai sektor keuangan terbesar) memudahkan terciptanya harmonisasi kebijakan terutama kebijakan moneter. Menghindari penyatuan lembaga pengawas yang berbiaya tinggi dan menyebabkan sistem keuangan terkekspos risiko krisis yang tinggi.
‐
‐
Dana Pensiun
Asuransi
Terdapat kemungkinan konsentrasi kekuatan pada suatu lembaga, misalnya pada bank sentral, karena faktor tenaga ahli dan teknologi Kemungkinan timbul penyalahgunaan dari bank maupun lembaga keuangan apabila koordinasi BI dan Bapepam‐LK minimal atau buruk: penciptaan produk lintas lembaga, misalnya, produk Antaboga oleh Bank Century. Perlunya penekanan terhadap transparansi dan konsistensi pelaporan data di masing‐masing lembaga pengawas baik bank sentral maupun Bapepam‐LK
94
5.4. Model Pengawasan Pasar Modal Fungsi pengawasan pasar modal yang dilaksanakan oleh sistem pengawasan dapat mengikuti tiga model umum yang ada, yaitu government led model, flexibility model dan cooperation model. Struktur pengawasan di Negara Prancis yang membentuk lembaga independen sebagai pengawas perbankan yang masih dibawah kendali bank sentral bisa menjadi benchmark dalam struktur sistem keuangan yang akan dibentuk. BI bisa membentuk lembaga pengawas perbankan yang akan dibentuk dengan Undang Undang dan berada di bawah Bank Sentral. Kontrak atau perjanjian tersebut harus ditandatangi oleh Bank Sentral. pegawai dari lembaga ini adalah pegawai bank sentral, pegawai yang dikontrak oleh bank sentral, dan pegawai yang diperbantukan. Semua ketentuan pegawai mengikuti ketentuan kepegawaian bank sentral. Sementara itu, untuk pembiayaan otoritas berasal dari kontribusi lembaga yang disupervisi dan jika diperlukan maka pendanaan bisa juga berasal dari anggaran tambahan bank sentral. Dengan adanya lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah Bank Sentral, hal ini akan meminimalisir risiko yang terjadi selama masa transisi terutama risiko hilangnya kontinuitas pengawasan perbankan. Dengan berada tetap di bawah bank sentral, maka akan mempermudah
pengelolaan
krisis
dengan
adanya
linkage
antara
pengawasan
macroprudential dan microprudential. Adanya komunikasi dan arus informasi serta pembagian tugas yang jelas antar lembaga dalam struktur pengawasan yang baru diharapkan bisa menjamin struktur optimum struktur pengawasan yang akan menjaga kestabilan sistem keuangan baik dimasa stabil maupun jika menghadapi masa krisis. beberapa hal pokok yang harus di pertimbagankan dengan pembentukan struktur yang baru ini adalah dengan tetap mengedepankan struktur yang fokus untuk melindungi kepentingan konsumen, meminimalisir miskomunikasi antar lembaga pengawas dan ketahanan dalam menghadapi kemungkinan situasi krisis. Dalam prakteknya saat ini, Bapepam-LK sebagai pengawas pasar modal mengikuti government led model, dimana adanya peran serta pemerintah yang cukup besar dalam penentuan peraturan pasar modal. Model pengawasan ini juga diterapkan oleh Negara Jepang dan Jerman, dimana Japan Financial Services (FSA) dan Bundesbank menjadi badan pengawas primer dalam pengawasan pasar modal dalam aspek pembuatan peraturan, monitoring dan enforcement.
95
Britania Raya dan Hongkong mengaplikasikan flexible model dalam pengawasan pasar modal, dimana dalam prakteknya memungkinkan partisipan pasar untuk membuat struktur atas aktivitas yang dilakukan dengan tetap memenuhi kewajiban pengawasan. Sementara itu US yang mengadopsi cooperation model memberikan keleluasan yang cukup bagi institusi pasar modal untuk menjalankan aktivitas operasi dipasar dengan diberikan kewenangan dalam pembentukan regulasi di pasar modal. Tabel 5.3 Pengawasan Pasar Modal di Beberapa Negara Item No
Negara
The Federal Financial Supervisory Authority atau BaFin
Keberadaan berada di bawah Lembaga independen di bawah Federal Ministry of Finance
Government led model
Financial Services Agency
Ministry of Finance
Hongkong
Flexible model
Securities and Futures Commission (SFC)
Badan Independen
4
UK
Flexible model
Prudential Regulatory Authority
Dibawah Supervisi BOE
5
Australia
Flexible model
6
US
Cooperation model
Independen Australian Securities & Investments Commission dan Australian Prudential Regulation Authority (APRA) Securities and Exchange Commission Independen dan bekerjasama dengan pasar modal dan regulator lainnya
1
Jerman
2
Jepang
3
Model yang dipakai Government led model
Lembaga Pengawas Pasar Modal
Sumber : Olahan sendiri dari berbagai sumber
5.5.Usulan Skema Koordinasi untuk Pencegahan Krisis Salah satu yang memicu terjadinya krisis diduga dikarenakan adanya kesalahan dalam regulasi sistem keuangan. Salah satunya adalah adanya masalah kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas, termasuk pengawasan macropudential ( Group of Thirty, 2009; Brunnermeier et al., 2009; de Larosiere Group, 2009; Kawai dan Pomerleano, 2010). Oleh karena itu struktur sistem pengawasan yang dikembangkan hendaknya merupakan struktur pengawasan yang juga tahan mengatasi krisis yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan mampu menjaga kestabilan sistem keuangan. Pada dasarnya, beberapa 96
prinsip yang harus dimiliki regulator
yang akan menjamin kestabilan sistem keuangan
(Kawai dan Pomerleano, 2010) adalah sebagai berikut : 1. Pengawas harus memiliki tujuan dan wewenang yang jelas, diantaranya dalam memonitor risiko sistemik dan melakukan pengukuran adanya kemungkinan adanya risiko sistemik 2. Pengawas memiliki sumber daya yang menunjang utuk mencapi tujuan dan melaksanakan tugas dan wewenang 3. Memiliki instrumen dan perangkat yang akan menunjang implementasi dalam pencapain kestabilan sistem keuangan 4. Adanya struktur yang mampu melaksanakan kewajiban melaksanakan fungsi menjaga kestabilan sistem keuangan dengan efekif dan efisien Dalam prakteknya, lembaga pengawas sektor keuangan yaitu BI dan sistem pengawasan harus melakukan koordinasi rutin untuk memantau perkembangan sektor keuangan setiap saat (Gambar 5.7). Koordinasi tersebut disusun berdasarkan memorandum of understanding (MOU) mengenai fungsi dan tugas BI dan sistem pengawasan dalam keadaan normal dan lebih penting lagi pada saat krisis. Koordinasi tersebut juga harus melibatkan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang berfungsi menangani bank yang gagal berfungsi. Dimana pada saat ini, LPS tidak memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan dan hanya diberikan waktu yang cukup singkat dalam menjawab surat dari bank sentral jika ada bank yang mengalami kegagalan. Koordinasi rutin meliputi pertemuan berkala dan pertukaran informasi harian. Proses pengambilan keputusan sebaiknya dilaksanakan secara lebih transparan, baik keputusan yang dibuat bank sentral maupun keputusan di lembaga lainnya yang terlibat. Sebagai salah satu contoh pengambilan keputusan yang transaparan adalah proses pengambilan keputusan di Bundesbank
dimana adanya transparansi yang sangat tinggi
sehingga publik mengetahui dengan jelas alasan suatu kebijakan diambil. Dengan adanya transparansi dalam sebuah pengambilan keputusan, maka akuntabilitas dari sebuah keputusan akan dapat dipertanggung jawabkan. Terkait dengan penanganan krisis, maka sebaiknya setelah adanya struktur yang baru, Pemerintah harus segera mengesahkan RUU Jaring Pengaman Stabilitas Keuangan (JPSK) yang disesuaikan dengan struktur yang akan dibentuk. Dalam Undang Undang tersebut dibahas bagaimana mekanisme penanganan krisis dan peran masing masing lembaga 97
pengawas dalam penanganan krisis. Gambar 5.10 menunjukkan usulan skema koordinasi yang harus dilakukan oleh BI, LPS, dan Bapepam-LK untuk mencegah dan meminimalisasi risiko krisis. Gambar 5.10. Usulan Skema Koordinasi Rutin dan Terintegrasi BI, Bapepam-LK, dan LPS
BI Koordinasi
Koordinasi
LPS
Bapep am-LK
Koordinasi
Koordinasi Umum 1. Penetapan MOU mengenai fungsi dan tugas masing‐masing lembaga pada keadaan normal dan krisis. 2. Pertemuan berkala • Pembahasan kebijakan sektor keuangan • Pembahasan perkembangan pasar keuangan • Pembahasan isu‐isu yang dapat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan baik dari dalam maupun luar negeri • Koordinasi penyelesaian permasalahan maupun kasus yang sedang dihadapi salah satu lembaga 3. Arus informasi: integrasi basis data dan pembaharuan basis data dalam day‐to‐day basis dari seluruh lembaga keuangan
BI
LPS
Bapepam‐LK
• Pelaporan hasil pengawasan perbankan terutama yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan • Pembaharuan basis data perbankan secara berkala
• Melakukan penilaian terhadap bank yang berpotensi gagal dan berdampak sistemik maupun nonsistemik
• Pelaporan hasil pengawasan lembaga keuangan nonbank terutama yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan • Pembaharuan basis data lembaga keuangan nonbank secara berkala
Koordinasi Penanganan Bank gagal
98
Bab 6: Kompleksitas Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah; Analisis Eksperimen Proses Evolusi Prisoners’ Dilemma 6.1. Pendahuluan Terlepas dari apapun bentuk OJK yang nantinya akan digunakan, satu hal mendasar yang akan berperan besar dalam hal pengawasan lembaga keuangan adalah adanya koordinasi antar lembaga terkait. Koordinasi akan semakin penting ketika menyangkut prosedur antisipasi dan penanggulangan terhadap bahaya krisis ekonomi. Bahkan dalam cakupan yang lebih luas lagi, yaitu penerapan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia, koordinasi dan kerjasama antara BI dan Kemenkeu sangatlah krusial. Coleman (1996) menyatakan bahwa di berbagai belahan dunia kemungkinan terjadi rivalitas antara bank sentral dan kementrian keuangan adalah sangat besar. Hal ini terjadi karena pada umumnya kedua lembaga tersebut mengelola bidang yang sama, namun diantara keduanya memiliki perspektif yang berbeda dalam penyusunan kebijakan. Pemerintah harus dapat menyeimbangkan dua perspektif yang berbeda untuk menghindari penyusunan kebijakan yang non-optimal. Walaupun demikian, BI dan Kementrian Keuangan memiliki sejarah ketegangan yang panjang, misalnya kebijakan utang, regulasi lembaga keuangan, dan pencetakan uang. BI dan Kementrian Keuangan juga mengalami konflik terkait Pakto 1988 dan kebijakan BLBI (Boks 5.2). Keadaan di atas jelas lebih menggambarkan ketidakhadiran koordinasi antara dua lembaga. Idealnya hubungan antar lembaga pemerintah, seperti halnya OJK dan BI, maupun antara Kemenkeu dan BI, dapat dimodelkan seperti halnya 2x2 pure coordination game (game dimainkan dua pemain yang masing-masing memiliki 2 strategi) sebagai berikut:
99
Gambar 6.1.2x2 Pure Coordination Game
A
B
A
Departemen 2
(a1, a2)
(0,0)
B
Departemen 1
(0,0)
(b1,b2)
Dimana: a>b dan a,b>0 Pada game di atas, masing-masing departemen memiliki dua strategi, yaitu A dan B. Kedua pemain akan sama-sama diuntungkan jika mereka memilih strategi yang sama (A,A) atau (B,B), yang berarti keduanya harus melakukan koordinasi. Namun demikian, apabila masingmasing pemain memilih strategi yang berbeda, yaitu (A,B) atau (B,A), maka pilihan keduanya tidak akan optimum karena terjadi miscoordination dan masing-masing pemain hanya akan memperoleh hasil 0. Dengan demikian game tersebut memiliki multiple Nash equilibria, yaitu (A,A) dan (B,B). Nash equilibrium (A,A) cenderung lebih dominan dibandingkan Nash equilibrium yang lain yaitu (B,B). Meski idealnya koordinasi dan kerjasama selalu mewarnai hubungan antar lembaga pemerintah, namun tidak dipungkiri bahwa di dunia nyata terjadi rivalitas antar lembaga pemerintah tersebut. Rivalitas ini seringkali disebabkan oleh egosentris institusi yang bersumber pada penentuan tugas pokok fungsi (TUPOKSI) lembaga pemerintah. Tupoksi sebuah institusi akan menjadi dasar bagi penentuan tugas, tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing aparat yang bekerja di institusi tersebut. Tugas, tanggung jawab dan wewenang aparat ini pada akhirnya akan membentuk outcome measures yang akan digunakan untuk mengevaluasi kinerja aparat tersebut. Permasalahan koordinasi semakin kompleks ketika TUPOKSI seringkali tidak mensyaratkan pelaksanaan koordinasi dengan lembaga lain atau dengan kata lain bahwa koordinasi dengan lembaga lain tidak dianggap sebagai kinerja sebuah lembaga maupun aparat yang bekerja di dalamnya. Implikasinya para 100
aparat hanya fokus pada tugas mereka pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar yang hanya akan bisa diraih jika terjadi koordinasi antar lembaga pemerintah. BOKS 6.1 Ketidakharmonisan Departemen Keuangan–Bank Indonesia
Apabila ditelaah menurut ekonomi politik bahwa wacana pembentukan (OJK) di Indonesia akan menjadi puncak gunung es ketegangan antara dua lembaga, yaitu Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Coleman (1996) menengarai bahwa hampir di seluruh dunia terjadi persaingan dan ketegangan antara departemen keuangan dan bank sentral, karena mereka mengelola bidang yang sama. Studi yang dilakukan oleh Lukman Hakim (2004) menunjukkan bahwa ketegangan antara Departemen Keuangan dan Bank Indonesia kelihatan sangat jelas ketika berurusan dengan kebijakan utang dan regulasi lembaga keuangan. Untuk masalah utang, pihak Departemen Keuangan menganggap telah terjadi ketidakadilan, dimana pihak yang melakukan negoisasi dengan lembaga donor adalah Departemen Keuangan tetapi pihak yang menikmati bunganya adalah Bank Indonesia. Demikian pula dalam kasus kebijakan regulasi perbankan, pengawasan lembaga yang menguntungkan seperti perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia sedangkan pengawasan lembaga keuangan bukan bank dilakukan oleh Departemen Keuangan (Hakim, 2004). Selain itu, ketegangan antara dua lembaga tersebut juga muncul pada kasus Pakto 1988.Sejatinya Bank Indonesia tidak setuju terhadap pandangan liberalisasi perbankan, karena sesungguhnya infrastruktur pengawasan perbankan belum kuat. Oleh karena itu, Bank Indonesia membatasi jumlah bank hanya sekitar 50 bank sejak tahun 1970. Namun, dengan adanya Pakto 1988 menyebabkan pendirian bank dipermudah hingga hampir 250 bank, yang oleh pengamat dianggap sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi. Melihat kemungkinan penolakan oleh Bank Indonesia, maka Sumarlin merekayasa agar Gubernur Bank Indonesia yang baru adalah “kadernya” sehingga dipilihlah Adrianus Mooy yang sebelumnya adalah wakilnya di Bappenas. Meminjam istilah Cole & Slade (1996), Mooy adalah “protege of technocrat.” Oleh karena itu, ketika Pakto 1988 diberlakukan Bank Indonesia berada dalam kondisi yang terdesak sehingga selama periode ini pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan menjadi sangat lemah, sementara percepatan pendirian bank sangat tinggi (Hakim, 2004). Konflik berikutnya terjadi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Keputusan untuk mengeluarkan BLBI adalah keputusan Departemen Keuangan sebagai otoritas keuangan dimana Bank Indonesia masih berada di dalamnya.Kemudian muncul ketegangan siapa yang menanggung kerugian (Hakim, 2004).
101
Ilustrasi rivalitas antara BI dan Kementrian Keuangan telah dijelaskan di atas. Hal ini sesuai dengan proposisi dari Public Choice Theory terkait dengan proses pengambilan kebijakan di negara demokratis. Di negara demokratis, kebijakan pemerintah tidak bisa dilepaskan dari pemilu sebagai salah satu proses demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, proses pembuatan dan implementasi kebijakan pemerintah merupakan interaksi antar berbagai kelompok yang terlibat dalam proses demokrasi antara lain rakyat pemilih (voters), politisi, partai politik, birokrat dan kelompok-kelompok masyarakat (interest groups). Pemilih yang rasional akan cenderung memaksimumkan utilitas mereka. Politisi, di sisi lain, memiliki tujuan untuk terpilih sebagai anggota dewan perwakilan atau senat. Partai politik bertujuan untuk memenangkan pemilu, baik di tingkat daerah maupun di pusat. Birokrat memiliki tujuan utama memaksimumkan anggaran, yang nantinya akan dialokasikan untuk pembangunan. Kelompok-kelompok masyarakat memiliki tujuan memaksimumkan tujuan mereka, ada yang cenderung bertujuan distribusi pendapatan (misalnya LSM-LSM yang memperjuangkan hakhak kaum minoritas, perlindungan anak, lingkungan hidup, dll), namun juga ada pula yang memperjuangkan anggota kelompoknya, misalnya asosiasi pengusaha (Mueller, 1983). Proposisi teori Public Choice adalah bahwa kebijakan pemerintah cenderung suboptimum karena proses pengambilan kebijakan itu sendiri dilakukan oleh berbagai pihak yang seringkali memiliki tujuan yang saling bertentangan. Didasarkan pada pemikiran di atas, maka adalah sulit mengharapkan bahwa kebijakan pemerintah akan berdampak optimum (first best) namun dampak kebijakan yang dihasilkan cenderung suboptimum. Interaksi antar lembaga yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan di teori Public Choice, dapat dimodelkan secara sederhana sebagai permainan 2x2 (dua pemain dengan masing-masing
menghadapi
dua
strategi)
prisoners’
dilemma
(Pradiptyo,
1998).
Implikasinya adalah bahwa hubungan antara OJK dan BI di masa datang, terkait dengan pengawasan lembaga keuangan, bisa dimodelkan dalam 2x2 prisoners’ dilemma game tersebut.
121
Departemen 2 A
B
A
(a1, a2)
(b1,b2)
B
Departemen 1
Gambar 6.2.2x2 Prisoners’ Dilemma Pure Game
(c1,c2)
(d1,d2)
Dimana: c>a>d>b Jika permainan dimainkan sekali (one shot game) secara simultan dan masing-masing pemain tidak diperkenankan berkomunikasi baik sebelum maupun selama permainan (cheap talk atau non-binding commitment), maka sesuai dengan analisis game theory, B adalah strategi yang dominan terhadap strategi A. Karena diasumsikan setiap pemain adalah rasional dan rasionalitas masing-masing pemain berterima umum, maka kedua pemain akan memilih strategi B, sehingga Nash equilibrium adalah (B,B). Selama permainan dimainkan secara simultan dalam sistem informasi yang sempurna, maka beliefs masing-masing pemain terhadap strategi yang dipilih lawan bisa digantikan oleh aksioma rasionalitas dan common knowledge (Binmore, 1987, Romp, 1997, Samuelson, 1997). Perlu dicatat bahwa Nash Equilibrium (B:B) dalam permainan ini tidak identik dengan Pareto Optimal. Hasil Pareto optimal dalam prisoners’ dilemma adalah (A:A). Sejak konsep equilibrium di game theory dikenalkan oleh John F. Nash di tahun 1951, terjadi revolusi di teori ekonomi. Konsep Pareto Optimal yang selama ini menjadi acuan di teori ekonomi, ternyata belum tentu menawarkan equilibrium yang sama apabila permasalahan dianalisis dengan menggunakan game theory. Jika permainan dilakukan berulang dengan perulangan yang terbatas (finitely repeated game), secara teoritis strategi B tetap merupakan strategi yang dominan. Dengan menggunakan metoda backward induction, setiap pemain akan cenderung memilih strategi B sejak di awal permainan hingga akhir permainan. Solusi backward induction merupakan implikasi langsung dari asumsi bahwa setiap pemain adalah rasional dan mereka cenderung memaksimumkan kepentingan pribadi mereka. Didasarkan analisis game theory, baik pure 122
coordination game, maupun prisoners’ dilemma memiliki best response correspondent. Artinya adalah bahwa dominan strategi pada kedua game tersebut akan selalu dipilih oleh pemain yang rasional meskipun nilai payoffs berubah meskipun struktur dari game tidak berubah (Rasmusen, 2004, Romp, 1997, Osborne, 2007). Meskipun secara teoritis strategi B dalam prisoners’ dilemma adalah strategi yang dominan, beberapa hasil eksperimen prisoners’ dilemma ternyata berlawanan dengan solusi yang ditawarkan game theory. Cooper et al (1991) melakukan eksperimen one shot prisoners’ dilemma. Subyek dalam eksperimen-nya memainkan sebuah prisoners’ dilemma game selama dua puluh kali, dan setiap kali memainkan game tersebut masing-masing pemain dilawankan dengan pemain lain secara acak. Dengan demikian, tidak ada seorang pemainpun yang memainkan game dengan pemain yang sama lebih dari sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam limagame pertama, koordinasi dimana setiap pemain sama-sama memilih strategi A, muncul sebanyak 43%. Namun demikian pada game ke 16-20, koordinasi (A,A) hanya terjadi 20% saja. Hasil eksperimen ini tidak memberikan dukungan terhadap kesahihan asumsi rasionalitas dan common knowledge yang disyaratkan dalam analisis game theory. Seperti halnya penelitian yang dilakukan Cooper et al (1991), penelitian yang dilakukan oleh Selten dan Stoecker (1986) kurang memberikan bukti bahwa strategi B selalu dominan dipilih oleh pemain. Selten and Stoecker (1986) melakukan eksperimen supergame prisoners’ dilemma, dimana setiap tahap dua pemain memainkan sebuah prisoners’ dilemma selama sepuluh kali dan kemudian pemain berganti pasangan untuk memainkan 25 tahapan. Selten and Stoecker (1986) melaporkan bahwa hasil penelitian menunjukkan pemain memiliki kecenderungan memilih strategi A (berkooperasi) hingga salah satu berkhianat dengan memilih B, dan selanjutnya solusi permainan cenderung (B,B) hingga permainan berakhir. Metoda pemilihan strategi ini lebih dikenal sebagai trigger strategy. Kecenderungan koordinasi antar pemain di awal permainan sering disebut dengan tacit coordination, karena keputusan untuk sama-sama memilih strategi A dilakukan tanpa adanya perundingan sebelumnya. Tacit coordination menandakan bahwa pemain tidak seluruhnya mengikuti asumsi rasionalitas seperti yang diasumsikan disetiap teori ekonomi. Rasionalitas teori ekonomi mensyaratkan bahwa pelaku ekonomi mengambil keputusan secara konsisten dan hanya 123
faktor ekonomi sajalah yang menjadi pertimbangannya. Tacit coordination menunjukkan gugurnya asumsi bahwa manusia adalah homo economicus semata, namun ternyata faktorfaktor sosial dan psikologi banyak mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pelaku ekonomi. Beberapa faktor sosial dan psikologi yang berperan dan dapat menjelaskan mengapa tacit coordination terjadi adalah adanya altruism (kedermawanan), fairness (keadilan), dan juga reciprocity (hubungan timbal balik). Deviasi perilaku pelaku ekonomi dari proposisi game theory, membuat para pakar game theory
melakukan
penyempurnaan
(refinement)
pada
konsep
Nash
equilibrium.Pengembangan teori ini kemudian menciptakan cabang teori baru yang disebut dengan behavioural game theory. Analisis dalam behavioural game theory mencoba memasukkan faktor-faktor psikologis dan sosial ke dalam analisis game theory misalnya cinta kasih, kedengkian, kedermawanan, keadilan, dan lain sebagainya. Tak kurang dari peraih Nobel ekonomi Reinhard Selten (1975 dalam Fudenberg and Tirole, 1993) melakukan penyempurnaan konsep Nash equilibrium dengan mengasumsikan bahwa pemain tidak sepenuhnya rasional namun dimungkinkan untuk membuat kesalahan (trembling hands effect). Teori ini menyatakan bahwa pada setiap extensive-form game selalu mengandung asumsi bahwa pemain diperkenankan untuk membuat kesalahan. Pakar game theory lain yaitu Kreps dan Wilson (1982) mengajukan konsep equilibrium alternatif di game theory yang dikenal dengan trembling hand Nash equilibrium. Bernheim (1984) dan Pearce (1984) melakukan penelitian terpisah namun menghasilkan alternatif teori yang hampir sama tentang penjelasan deviasi perilaku pelaku ekonomi di permainan prisoners’ dilemma yang disebut dengan rationalisable strategy. Berbeda dengan analisis standard di game theory, rationalisable strategy mengasumsikan bahwa pelaku memilih strategi tidak semata-mata didasarkan pada aksioma rasionalitas semata namun juga memasukkan unsur kepercayaan atau prediksi (beliefs) dari pemain terhadap strategi yang akan dipilih pemain lain. Rabin (1993) memasukkan faktor psikologi dan sosial ke dalam analisis game theory dengan memperkenalkan konsep fairness equilibrium. Rabin (1993) mengkritisi bagaimana para ekonom mendefinisikan kedermawanan (altruism). Ekonom cenderung mendefinisikan bahwa seseorang dianggap dermawan jika yang bersangkutan tidak saja mementingkan faktor materi bagi diri sendiri namun juga mempertimbangkan kepentingan bagi orang lain (social needs). Para pakar psikologi, di sisi lain, mendefinisikan kedermawanan sebagai kemurahan 124
hati perilaku orang lain, yang pada dasarnya mengandung faktor hubungan timbal balik (reciprocity). Konsep kedermawanan ini berimplikasi bahwa orang cenderung dermawan kepada mereka yang dermawan kepadanya, namun disisi lain orang cenderung menyakiti orang yang telah menyakiti mereka (Rabin, 1993). Implikasi lain dari hasil penelitian Selten and Stoecker (1986) dan Cooper et al (1991) menunjukkan adanya kecenderungan dari tiap-tiap pemain untuk belajar memainkan game secara strategis. Temuan ini sekaligus menolak asumsi di game theory bahwa setiap pemain adalah rasional. Adanya kecenderungan untuk belajar dari pemain menunjukkan bahwa para pemain tidak sepenuhnya rasional, namun mereka cenderung memiliki bounded rationality. 6.2. Desain Eksperimen Desain eksperimen menggunakan setting seperti halnya analisis pada evolutionary game theory. Dalam analisis evolutionary game theory, sebuah permainan dimainkan secara berulang (repeated games) oleh banyak pemain. Pada setiap permainan, sepasang pemain hanya bisa bertemu dan memainkan permainan hanya sekali saja. Metoda alokasi pasangan dilakukan secara acak dan setiap pasang pemain tidak pernah bertemu lebih dari sekali hingga permainan berhenti dilakukan. Dalam analisis evolutionary game theory, struktur permainan tetap, namun demikian dimungkinkan adanya perubahan payoffs (payoffs perturbation) yang tidak mengubah struktur permainan itu sendiri. Equilibrium konsep yang digunakan di sini terletak pada berapa proporsi strategi yang dipakai oleh para pemain di setiap tahap permainan. Eksperimen dilakukan sebanyak tiga kelas dengan total peserta berjumlah 96 orang dan masing-masing kelas dilakukan selama satu jam. Pada masing-masing kelas, diperlukan 32 orang subyek yang kemudian dibagi secara acak menjadi dua kelompok sama besar, yaitu kelompok Majapahit dan kelompok Sriwijaya. Pada layar monitor setiap pemain diberi kode, misalnya S2 atau M15, yang berarti bahwa si pemain berada di group Sriwijaya (Majapahit) dan bernomor anggota 2 (15). Pada setiap kelas dilakukan dua tahap eksperimen, dan pada setiap tahapan terdiri dari 16 permainan. Setiap pemain akan memainkan 16 permainan yang berbeda dan dalam setiap permainan tersebut, seorang pemain akan memainkan permainan dengan pemain lain dari group lawan. Setiap pemain hanya akan memainkan satu jenis permainan dengan seorang lawan dari kelompok lain dan mereka tidak akan pernah bertemu lagi hingga sesi permainan selesai. 125
Pada dasarnya permainan pada tahap satu dan tahap dua adalah sama. Namun demikian pada tahap satu, setiap pemain hanya memiliki strategi A dan B. Pada tahap kedua nama strategi tersebut diubah dari yang semula A menjadi ‘Berkoordinasi’ sementara strategi B diganti nama menjadi ‘Tidak Mau Berkoordinasi.’ Karena setiap pemain hanya bertemu dengan seorang pemain lawan dan memainkan salah satu jenis permainan sekali saja dan tidak pernah berulang selama satu tahapan, maka analisis dari game tersebut bisa dianalisis sebagai one-shotgame. Di sisi lain, eksperimen yang ada dapat pula dianalisis dalam konteks sebagai evolutionary game yang memungkinkan analisis adanya proses pembelajaran (learning process) selama tahapan tersebut. Analisis game theory menggolongkan prisoners’ dilemma sebagai non-cooperative game. Namun demikian, analisis behavioural game theory menggolongkan prisoners’ dilemma baik sebagai non-cooperative game maupun sebagai cooperative game bergantung pada persepsi pemain. Jika pemain cenderung berorientasi pada pareto outcome, maka prisoners’ dilemma secara subyektif bisa dianggap sebagai cooperative game (Romp, 1997). Keenam belas permainan dalam setiap tahapan eksperimen memiliki struktur prisoners’ dilemma, namun demikian untuk setiap sesi permainan terjadi variasi besarnya payoffs atau secara teknis disebut dengan payoffs perturbation. Payoffs perturbation dilakukan untuk mengetahui apakah perilaku pemain berubah dengan adanya perubahan distribusi payoffs, meskipun payoffs perturbation tersebut tidak mempengaruhi struktur permainan. Analisis game theory menggolongkan prisoners’ dilemma sebagai non-cooperative game. Namun demikian, analisis behavioural game theory menggolongkan prisoners’ dilemma baik sebagai non-cooperative game maupun sebagai cooperative game bergantung pada persepsi pemain. Jika pemain cenderung berorientasi pada pareto outcome, maka prisoners’ dilemma secara subyektif bisa dianggap sebagai cooperative game.
126
Tabel 6.1. Distribusi Payoffs dari Keenambelas Prisoners’ Dilemma d/a≥ 75% dan b = 0
d/a≤ 25% dan b = 0
(Manfaat Berkoordinasi
(Manfaat Berkoordinasi
Rendah)
Tinggi)
[(c-a)/a] ≥ 75% dan b = 0
Kombinasi R
Kombinasi S
(Biaya Koordinasi Tinggi)
(Sesi I, V, IX, XIII)
(Sesi II, VI, X, XIV)
[(c-a)/a] ≤25% dan b = 0
Kombinasi T
Kombinasi U
(Biaya Koordinasi Rendah)
(Sesi III, VII, XI, XV)
(Sesi IV, VIII, XII, XVI)
Keterangan: - Nilai a = Rp100,000.-, untuk klasifikasi [(c-a)/a] ≥ 75%, maka nilai maksimum c adalah Rp200,000,sementara nilai terendah c adalah Rp175. Untuk klasifikasi [(c-a)/a] ≤25%, maka nilai tertinggi c adalah Rp125,000 dan nilai terendah c adalah Rp105,000. Untuk klasifikasi d/a≥ 75%, maka nilai tertinggi d adalah Rp95,000 dan nilai terendah d adalah Rp75,000. Untuk klasifikasi d/a≤ 25%, maka nilai tertinggi d adalah Rp25,000 dan nilai terendah d adalah Rp5,000.
Variabilitas distribusi payoffs dilakukan dengan menggunakan metoda yang analog dengan Goldfeld–Quandt testdalam mendeteksi heteroskedastisitas di Econometrics. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan payoffsa sebagai reference point. Berapapun nilai a, maka jika nilai a dilipatkan gandakan dua kali, maka kenaikan 100% tersebut dianggap sebagai total distribusi dari a. Jika distribusi a dibagi menjadi empat sama besar, maka akan membentuk kuartil. Seperti halnya metoda Goldfeld–Quandt test, quartil kedua dan ketiga dihapuskan dan peningkatan variabilitas payoffs hanya menggunakan dua distribusi ekstrem, yaitu kuartil pertama ([c-a]/a dan d/a maksimum adalah 25%) dan keempat (([c-a]/a dan d/a maksimum adalah 75%). Diharapkan perubahan payoffs dengan menggunakan dua distribusi payoffs yang ekstrem ini akan memudahkan kita menguji hipotesis apakah keputusan pemain dipengaruhi oleh variabilitas payoffs meskipun struktur permainan sebenarnya tidak berubah. Gambar 6.3 dan 6.4 merupakan contoh dari payoffs perturbation yang mengikuti aturan pada Tabel 6.1. Pada Gambar 6.3. seorang pemain dimungkinkan memperoleh Rp200.000. Di sisi
127
lain, jika pemain berorientasi untuk memilih Nash equilibrium strategy, maka ada kemungkinan yang bersangkutan hanya akan menerima Rp5.000. Gambar 6.3.Contoh Distribusi Payoffs dari Kombinasi S
Sriwijaya A
B
A
M mendapat Rp100.000
B
Majapahit
S mendapat Rp100.000
M mendapat Rp0 S mendapat Rp200.000
M mendapat Rp200.000
M mendapat Rp5000
S mendapat Rp0
S mendapat Rp5000
Didasarkan pada kriteria Tabel 6.1. payoffs pada Gambar 6.3 termasuk pada kombinasi S, yaitu memiliki biaya koordinasi tinggi dan manfaat koordinasi yang tinggi pula. Biaya koordinasi diukur berdasarkan pada rasio ([c-a]/a) ≥ 75%, yang pada Tabel 6.2 nilai rasio tersebut adalah 100%. Di sisi lain, permainan pada Gambar 6.3. memiliki manfaat koordinasi yang tinggi pula d/a ≤ 25% , yang pada kasus ini nilai rasio d/a = 95%. Gambar 6.4.Contoh Payoffs dari Kombinasi U
Sriwijaya A
A B
Majapahit
M mendapat Rp100.000 S mendapat Rp100.000
B
M mendapat Rp0 S mendapat Rp105.000
M mendapat Rp105.000
M mendapat Rp95.000
S mendapat Rp0
S mendapat Rp95.000
128
Permainan pada Gambar 6.4. memiliki distribusi payoffs yang berbeda dibanding permainan pada Gambar 6.3. distribusi payoffs ini tergolong ke dalam kombinasi U dimana memiliki biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi rendah. Sisa keempat belas payoffs perturbations bisa dilihat pada Lampiran. Tes hipotesis akan menguji apakah distribusi pilihan strategi di permainan-permainan yang tergabung dalam kombinasi R akan berbeda secara statistik terhadap pilihan strategi di permainan-permainan yang tergabung di kombinasi U. Uji statistik juga akan dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi strategi di kombinasi R atau U berbeda dengan distribusi strategi di kombinasi S maupun T. Apabila tidak ditemukan perbedaan yang secara statistik signifikan antar distribusi strategi di masing-masing kombinasi, maka bisa disimpulkan bahwa pemain berperilaku sepenuhnya rasional seperti yang diasumsikan di teori ekonomi. Namun demikian jika terbukti sebaliknya, maka asumsi rasionalitas di teori ekonomi kurang memiliki landasan pijak pembuktian di level empiris. Dengan kata lain, mungkin saja pelaku ekonomi sebenarnya berperilaku rasional, namun konsep rasionalitas yang digunakan berbeda dengan konsep rasionalitas yang di kenal di teori ekonomi (von Neumann-Morgenstern Expected Utility Function). Tidak dipungkiri bahwa perilaku pelaku ekonomi di dunia nyata tidak serasional yang diasumsikan di teori ekonomi. Pelaku ekonomi didefinisikan berperilaku rasional jika pelaku tersebut memilih strategi mengikuti von Neumann-Morgenstern Expected Utility Function (EU) (Mas-Collel et al, 1995). Berbagai hasil eksperimen, baik di bidang pengambilan keputusan individu2 maupun di bidang game theory3 menunjukkan bahwa tidak cukup bukti yang mendukung hipotesis bahwa pelaku ekonomi memilih strategi sesuai dengan EU. Dengan kata lain adalah bahwa pelaku ekonomi di dunia nyata berperilaku rasional, hanya saja definisi rasionalitas yang dipakai pelaku ekonomi bukanlah konsep rasionalitas yang dikenal di teori ekonomi neo klasik (von Neumman-Morgenstern Expected Utility) (Pradiptyo, 2006). Dalam teori ekonomi, rasionalitas didefinisikan sebagai konsistensi dalam pengambilan keputusan karena pelaku ekonomi memiliki selera yang stabil atau tetap. Namun demikian, dalam dunia nyata, konsistensi pengambilan keputusan adalah sesuatu yang sulit dilakukan, Allais (1954), Tversky dan Kahneman (1979), Knetsch (1994), Knetsch dan Sinden (1989) untuk decision making under risk, Elsberg (1961) untuk decision making under uncertainty, dan Holt (1979) untuk preference reversal. 3 Cooper et al (1991), Selten and Stoecker (1986), Pradiptyo (1998) 2
129
apabila tidak bisa dikatakan sebagai mustahil (Pradiptyo, 2006). Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian adalah apakah keputusan pemain dipengaruhi oleh variabilitas distribusi payoffs? Pembagian distribusi payoffs seperti pada Tabel 6.1 sengaja di desain untuk mengakomodasi kemungkinan tersebut. Pada tahap pertama eksperimen, setiap pemain hanya mengetahui bahwa alternatif strategi yang dihadapi berlabel A dan B. Namun pada tahap kedua, label A dan B pada kedua strategi ini diganti berturut-turut dengan ‘Berkoordinasi’ dan ‘Tidak Mau Berkoordinasi’. Pilihan kata-kata ini tidak muncul demikian saja tanpa tujuan. Tujuan penggantian nama strategi pada tahap ke dua dimaksudkan untuk menguji hipotesis apakah pengambilan keputusan dari responden dipengaruhi oleh framing effect (Kahneman and Tversky, 1986). Framing effect adalah fenomena dalam proses pengambilan keputusan, dimana keputusan pengambilan keputusan akan cenderung berbeda jika permasalahan pengambilan keputusan disajikan dengan kata-kata yang berbeda, meskipun secara substansi tidak berbeda. Dalam struktur asli prisoners’ dilemma game, strategi yang ada adalah ‘cooperate’ atau berkooperasi dan ‘defect’ atau berkhianat. Sengaja kata ‘berkhianat’ diganti dengan kata ‘tidak mau berkooperasi’ dengan alasan sebagai berikut: 1. Istilah ‘tidak mau berkooperasi’ lebih tepat diterapkan untuk menggambarkan kerjasma antar lembaga pemerintah. Artinya adalah bahwa departemen cenderung fokus kepada upaya pemenuhan terhadap TUPOKSI lembaga tersebut daripada berkoordinasi. Masalah ini semakin kompleks ketika di dalam TUPOKSI tersebut memang kata-kata ‘koordinasi’ langka atau bahkan tidak pernah dicantumkan. 2. Dari sudut makna, perbedaan makna ‘berkoordinasi’ yang cenderung bermakna positif, tidak berbeda jauh dengan ‘tidak mau berkoordinasi’. Tidak mau berkoordinasi belum tentu dikonotasikan negatif, tidak seperti halnya kata ‘berkhianat’. Jika test statistik dilakukan pada dua makna yang tidak terlalu kontras menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik, maka bisa diambil kesimpulan bahwa test statistik untuk dua makna yang sangat kontras pasti akan signifikan pula. Namun demikian pengambilan kesimpulan ini belum tentu berlaku sebaliknya. Subyek pada eksperimen ini terbuka bagi semua civitas akademika di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Maksimum hadiah diberikan sebesar Rp200.000 dan minimum remunerasi yang diberikan adalah sebesar Rp0. Remunerasi ini akan dibayarkan bergantung pada keputusan subyek di setiap permainan dan berapa hasil yang diperoleh. Dari 32 sesi 130
permainan, subyek akan memilih salah satu sesi secara acak dan berapapun nilai yang diperoleh di sesi tersebut akan dibayar oleh tim peneliti. Remunerasi maksimal sebesar Rp200.000 tentu sangat menarik bagi para mahasiswa. Angka ini cukup signifikan di kalangan mahasiswa. Sebagai perbandingan, harga satu porsi lontong opor di kantin FEBUGM hanyalah Rp5.000. 6.3. Hasil Eksperimen 6.3.1. Kecenderungan Berkoordinasi Tabel 6.2 menunjukkan proporsi hasil permainan pada tahap-tahap tertentu. Pada Tahap 1 rata-rata proporsi munculnya koordinasi atau Pareto Optimum (A:A) adalah sebanyak 5,1%. Di sisi lain rata-rata proporsi munculnya Nash Equilibrium (B:B) adalah sebesar 83,2%. Terlihat bahwa tidak ada perbedaan angka yang mencolok antara tahap 1 dan tahap 2. Pada Tahap 2 dari eksperimen, rata-rata proporsi Pareto Optimum (A:A) dimainkan sebanyak 5,2%, sementara Nash Equilibrium (B:B) dimainkan sebanyak 84,8%. Tabel 6.2. Proporsi Strategi yang Diambil Pasangan Pemain Tahap 1 Game 1-4 Game 5-8 Game 9-12 Game 13-16 Game 1-16 Tahap 2 Game 1-4 Game 5-8 Game 9-12 Game 13-16 Game 1-16 Sumber: Hasil eksperimen diolah
A:A 1,05 2,10 1,1 0,5 1,2 A:A 3,2 0,0 0,0 0,0 0,8
A:B& B:A 22,9 16,7 20,4 8,4 17,1 A:B& B:A 16,2 13,6 16,7 11,5 14,5
B:B 76,0 81,3 78,6 91,2 81,8 B:B 80,7 86,5 83,3 88,5 84,8
Proporsi Pareto Optimum (A,A) yang dimainkan di game 1-4 hingga 13-16 pada kedua tahapan eksperimen adalah cenderung kecildan tidak menunjukkan perbedaan yang kontras. Pada tahap 1 Pareto Optimum (A,A) dihasilkan hanya sekitar 1% dari total outcome yang dihasilkan baik di game 1-4 hingga game 13-16. Hasil yang serupa dihasilkan pada tahap ke 2. Hasil di atas menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan dengan pemahaman pemain terhadap game. Keberadaan learning process tidak terbukti di hasil eksperimen ini dan 131
temuan ini berbeda dibandingkan dengan hasil eksperimen sebelumnya (Cooper et al, 1991, 1996, Selten and Stoecker, 1986, Pradiptyo, 1998). Satu hal yang terjadi pada semua eksperimen di atas adalah bahwa semua subyek memainkan sesi latihan sebelum permainan utama dilakukan. Dominasi outcome permainan oleh Nash Equilibrium strategi (B,B) menunjukkan bahwa hipotesis pengaruh faktor kedermawanan berpengaruh terhadap perilaku subyek di eksperimen ini tidak terbukti. Satu argumen yang masih berperan dan mampu menjelaskan hasil eksperimen di atas adalah bahwa subyek cenderung berperilaku rasional seperti yang diasumsikan oleh teori ekonomi. Hal ini berarti bahwa perilaku subyek cenderung seperti homo economicus yang hanya mementingkan besaran-besaran hitungan ekonomis semata dalam proses pengambilan keputusannya. Artinya adalah bahwa subyek dalam penelitian ini memiliki kecenderungan yang kuat untuk tidak mempertimbangkan faktor lain dalam pengambilan keputusan, misalnya faktor-faktor sosial, budaya dan psikologi. Permasalahan ini menjadi semakin serius ketika peserta eksperimen ini terbuka bagi seluruh civitas akademika di lingkungan UGM. Peserta tidak saja berasal dari mahasiswa dan karyawan dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, namun banyak diantara peserta adalah mahasiswa dari fakultas lain di lingkungan UGM, baik dari sosial maupun non-sosial. Argumen alternatif yang mungkin bisa menjelaskan hasil di atas mungkin adalah besarnya proporsi peserta yang pernah mengambil mata kuliah game theory. Argumentasi inipun, sayangnya, mudah sekali dipatahkan, mengingat di UGM game theory hanya diajarkan di dua tempat yaitu di Jurusan Matematika dan Jurusan Ilmu Ekonomi. Tidak ada seorang pesertapun yang berasal dari Jurusan Matematika, dan mahasiswa Ilmu Ekonomi yang berpartisipasi di eksperimen inipun tidak banyak. Didasarkan pada pertimbangan pemikiran di atas, maka hanya ada satu argumen yang bisa menjelaskan hasil eksperimen di atas adalah bahwa subyek cenderung berfikir seperti halnya homo economicus. Terlepas dari latar belakang pendidikan mereka, hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subyek memilih Nash Equilibrium strategi (D) karena mereka fokus pada satu hal, yaitu faktor ekonomi semata. Artinya pertimbangan faktor moneter dan keakuan dari subyek merupakan dua hal yang menjadi fokus dalam pengambilan keputusan mereka. Hasil ini patut menjadi perhatian kita semua karena temuan ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa subyek eksperimen cenderung bersifat materialistik dan cenderung
132
egois. Pertanyaan yang perlu dijawab kemudian adalah, bagaimana dengan hasil eksperimen serupa yang dilakukan di negara lain? Tabel 6.3. Proporsi Hasil Permainan (Cooper, et al, 1991) Sesi Permainan 1-5 6-10 11-15 16-20 Sumber: Cooper, et al (1991)
Proporsi (A:A) Terpilih 43% 33% 25% 20%
Hasil eksperimen di studi ini ternyata sangat berbeda dengan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Cooper et al (1991) seperti terlihat pada Tabel 6.3 berikut. Hasil eksperimen yang dilakukan oleh Cooper et al (1991) di USA membuktikan adanya proses belajar untuk memainkan strategi Nash Equilibrium. Di awal sesi permainan, game 1-5, Nash Equilibrium dimainkan 43%, dan sejalan dengan makin seringnya permainan dilakukan, terjadi penurunan proporsi strategi kooperasi dimainkan. Pada permainan ke 16-20, proporsi outcome Pareto Optimum yang dihasilkan hanya 20%. Hasil eksperimen Cooper et al (1991) juga menunjukkan bahwa subyek eksperimen mereka cenderung memiliki rasa altruism yang jauh lebih tinggi dibandingkan subyek eksperimen di penelitian ini. Artinya, subyek di studi Cooper et al (1991) di USA cenderung mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan psikologi dalam pengambilan keputusan mereka. Beberapa faktor sosial dan psikologi yang mungkin bias digunakan untuk menjelaskan hasil eksperimen Cooper et al (1991) adalah adanya faktor kedermawanan (altruism), keadilan (fairness) dan juga proses pembelajaran untuk memainkan suatu strategi. Implikasi dari temuan di penelitian ini cukup mengejutkan, yaitu bahwa subyek di penelitian ini cenderung lebih berorientasi kepada faktor ekonomi dan lebih egois dibandingkan dengan subyek penelitian yang dilakukan oleh Cooper et al (1991) di USA. Hasil ini cukup mengejutkan karena selama ini bangsa Indonesia seakan percaya bahwa sifat bangsa kita adalah suka menolong, suka gotong royong dan ramah. Namun demikian, hasil eksperimen ini tidak memberikan dukungan sedikitpun terhadap jargon-jargon yang selama ini dipercayai oleh sebagian bangsa Indonesia.
133
Tabel 6.4. Proporsi Memainkan Strategi Kooperatif Perlakuan
Proporsi Bermain Kooperatif
PD, 10 perioda terakhir
22%
PD-FR, permainan pertama
52%
PD-FR, permainan kedua
57%
Sumber: Cooper et al, 1996
Tabel 6.4. menunjukkan hasil eksperimen cooper et al (1996) dan hasil ini mendukung hasil eksperimen oleh Cooper (1991) sebelumnya. Meski pada sepulih periode terakhir prisoners’ dilemma, proporsi strategi kooperatif masih 22%. Angka ini jauh dari hasil eksperimen pada studi ini dimana strategi kooperatif hanya dimainkan antara 1-2% saja meski di awal permainan. Jika permainan dilakukan secara berulang terbatas (finitely repeated atau FR), maka kecenderungan berkooperasi semakin besar yaitu di atas 50%. Hal ini terjadi karena subyek pada eksperimen berulang terbatas (FR) cenderung berusaha menjaga reputasi mereka masing-masing dihadapan lawan. Perlu dicatat, bahwa pada skenario FR, maka dua orang pemain akan memainkan satu game berulang-ulang dengan perulangan terbatas, sehingga tidak terelakkan terdapat efek reputasi dalam permainan seperti itu. Cooper et al (1996) membuat pengelompokkan terhadap jenis pemain di dalam eksperimennya didasarkan pada strategi yang dipilih. Seorang pemain digolongkan sebagai seorang altruist (egoist) jika pemain tersebut memainkan strategi kooperatif lebih dari (kurang dari) 50% dari total frekuensi strategi yang dipilihnya. Seorang pemain digolongkan sebagai lain-lain jika yang bersangkutan memainkan strategi kooperatif tepat 50% dari total frekuensi strategi yang dipilihnya. Tabel 6.5. Proporsi Jenis Pemain Memainkan Prisoners’ Dilemma Proporsi Jenis Pemain dari Prisoners Dilemma (40 Pemain) Type
10 permainan pertama
10 permainan terakhir
Altruist
15%
12,5%
Egois
62,5%
85%
Lain-lain
22,5%
2,5%
Sumber: Cooper, et al (1996) 134
Tabel 6.5 menunjukkan hasil yang menarik dari penelitian Cooper et al (1996). Pada sepuluh permainan awal, proporsi pemain yang bersifat altruist adalah 15% saja, sementara proporsi pemain egois adalah 62,5%. Sejalan dengan semakin banyaknya permainan yang dilakukan, di 10 permainan terakhir, komposisi jenis pemain tersebut berubah cukup drastic. Pada 10 permainan terakhir, proporsi pemain egois meningkat menjadi 85%, sementara jumlah pemain altruist turun sedikit dari 15% menjadi 12,5%. Proporsi pemain lain-lain turun drastis di 10 permainan akhir yang hanya dimainkan oleh 2,5% total pemain (40 orang) dari yang semula proporsinya mencapai 22,5%. Berbagai studi eksperimen di prisoners’ dilemma4 selalu menunjukkan bahwa perilaku subyek cenderung untuk tidak mengikuti solusi yang ditawarkan oleh game theory. Ketika game theory mendasarkan bahwa semua pemain berperilaku rasional, terbukti bahwa dari berbagai eksperimen tersebut ternyata pemain tidak sepenuhnya rasional5. Dengan kata lain, mungkin sebenarnya pemain berperilaku rasional, namun definisi rasionalitas yang digunakan oleh pemain tidaklah identik dengan defisini rasionalitas yang dipakai di Ilmu Ekonomi yang didasarkan pada von Neumann-Morgernstern expected utility (EU) function (Pradiptyo, 2006). Namun temuan pada hasil eksperimen ini ternyata bertentangan dengan studi-studi serupa yang notabene dilakukan di USA dan Eropa. Apakah kecenderungan subyek di eksperimen ini cenderung untuk berperilaku materialistik dan egois karena mereka hidup di negara sedang berkembang yang sistemnya banyak mengandung ketidaktentuan? Ataukah karena ada unsur-unsur sosial dan budaya yang menyebabkan subyek di eksperimen ini cenderung berperilaku materialistik dan egois? Spekulasi-spekulasi ini muncul akibat anomali hasil eksperimen ini relatif terhadap hasil-hasil studi di bidang yang sama. Untuk mampu menjawab berbagai alternatif hipotesis tersebut, penelitian lebih mendalam perlu dilakukan di masa mendatang untuk lebih mengetahui pola pikir dan rasionalitas bangsa Indonesia. Gambar 6.5 sampai dengan Gambar 6.7 menggambarkan persentase strategi yang diambil oleh pasangan pemain pada setiap game di tahap 1 dan 2. Gambar 6.5 menunjukkan persentase strategi A:Ayang diambil oleh pasangan pemain. Persentase tertinggi strategi A:A yang diambil adalah 2,1% sedangkan persentase terendah strategi A:A adalah 0%. Tidak terlihat pola kecenderungan yang signifikan dari game 1 s.d. 16 pada kedua tahap. Namun,
4 5
Lihat Cooper, et al (1991, 1996), Selten and Stoecker (1986) dan Pradiptyo (1999). Simon (1955) menyebut fenomena tersebut sebagai bounded rationality.
135
persentase strategi A:A tertinggi tercapai pada kombinasi S dan U (game ke-2, 4, 6, dan 8) yang mengindikasikan bahwa pemain cenderung memilih koordinasi saat manfaat koordinasi tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa pasangan pemain lebih banyak tidak memilih strategi A:A (0%) di tahap kedua, atau setelah framing effect dijalankan. Gambar 6.5. Persentase Strategi A:A Tahap 1 dan 2
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Gambar 6.6 menunjukkan persentase strategi A:B dan B:A yang diambil oleh pasangan pemain pada kedua tahap. Pola kecenderungan yang terlihat dari pengambilan strategi A:B dan B:A adalah: prosentase cenderung tinggi di kombinasi R, kemudian menurun di kombinasi S dan T.
136
Gambar 6.6. Persentase Strategi A:B dan B:A Tahap 1 dan 2
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Gambar 6.7 menunjukkan persentase strategi B:B yang diambil pasangan pemain di kedua tahap. Pola kecenderungan yang terlihat adalah persentase B:B cenderung meningkat dari kombinasi R, S, dan T namun menurun di kombinasi U. Persentase cenderung menurun di U karena biaya berkoordinasi rendah dan manfaat yang diperoleh dari berkoordinasi tinggi. Perubahan persentase strategi B:B yang diambil pasangan pemain menunjukkan bahwa pemain merespon perubahan payoffs. Gambar 6.7. Persentase Strategi B:B Tahap 1 dan 2
Sumber: Hasil eksperimen diolah
137
6.3.2. Dampak Variabilitas Payoffs Terhadap Perilaku Subyek Pada bagian sebelumnya analisis hanya dilakukan tanpa melihat pengelompokan variabilitas payoff (payoff perturbations). Pada bagian ini akan dibahas mengenai kemungkinan payoff perturbations dan dampaknya terhadap perilaku subyek dalam berkoordinasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, diantara keempat kombinasi payoffs (R,S,T dan U), kombinasi R dan U adalah dua kombinasi yang paling ekstrem. Kombinasi R adalah kombinasi payoffs yang memiliki biaya berkoordinasi tinggi dan manfaat koordinasi rendah, sebaliknya kombinasi U memiliki distribusi payoffs yang memiliki biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi tinggi. Gambar 6.8 sampai dengan Gambar 6.10 menunjukkan persentase strategi yang diambil pasangan pemain dalam setiap kombinasi payoffs (R, S, T, & U) pada kedua tahap permainan. Gambar 6.8 menunjukkan persentase strategi A:A yang diambil dalam setiap kombinasi, namun tidak terlihat pola kecenderungan dalam setiap kombinasi. Walaupun demikian, persentase strategi A:A di kombinasi U cenderung lebih tinggi. Kecenderungan ini sesuai dengan Gambar 6.5, kecenderungan pasangan pemain berkoordinasi meningkat saat biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi tinggi. Gambar 6.8. Persentase Strategi A:A Pada Setiap Kombinasi Payoffs
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Hasil ini menunjukkan bahwa meski subyek di eksperimen ini cenderung materialistik dan egois, namun karena orientasi materialism yang tinggi itulah maka perilaku berkoordinasi mereka sangat dipengaruhi oleh distribusi payoffs. Tacit cooperation mungkin dilakukan
138
meskipun dalam non-cooperative game seperti prisoners’ dilemma jika distribusi payoffs dalam game tersebut cenderung mendukung perilaku kooperatif. Gambar 6.9 menunjukkan persentase strategi A:B& B:A yang diambil pasangan permainan dalam setiap kombinasi payoffs. Pola yang terbentuk relatif sama dengan pola pada Gambar 6.6. Pada saat biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi rendah (R), kecenderungan salah satu pemain untuk tidak berkoordinasi meningkat. Menarik untuk dilihat adalah kombinasi U: persentase salah satu pemain memilih berkoordinasi lebih tinggi pada tahap 1 dibanding pada tahap 2. Hal ini mengindikasikan dua hal yaitu pemain mengalami learning process dan pemain cenderung rasional pada tahap akhir permainan. Gambar 6.9. Persentase Strategi A:B & B:A Pada Setiap Kombinasi Payoffs
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Pola pada Gambar 6.10 identik dengan pola pada Gambar 6.7: persentase pasangan pemain yang tidak berkoordinasi relatif kecil pada kombinasi U di tahap pertama. Hal ini mengindikasikan bahwa pilihan tidak berkoordinasi cenderung menurun saat biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi tinggi.Walaupun demikian, persentase pasangan pemain tidak berkoordinasi pada kombinasi U meningkat di tahap kedua. Perbandingan persentase kombinasi U pada kedua tahap memberikan indikasi indikasi bahwa pemain cenderung rasional pada tahap akhir permainan.
139
Gambar 6.10. Persentase Strategi B:B Pada Setiap KombinasiPayoffs
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Tabel 6.6 menunjukkan proporsi strategi yang diambil dalam kombinasi payoffs di setiap tahap. Sebagian besar pemain di tahap 1 memilih strategi B dengan rentang 86,2-95,1% dan persentase tertinggi terjadi pada kombinasi T. Pada tahap kedua, pemain yang tidak mau berkoordinasi memiliki proporsi yang lebih besar yaitu 89,1-96,1% pada kombinasi payoffs. Hasil tersebut menunjukkan bahwa setiap pemain lebih memilih strategi B atau tidak mau berkoordinasi. Tabel 6.6. Proporsi Strategi yang Diambil Dalam Kelompok Payoffs Strategi Tahap 1 R A 11,7 B 88,3 Strategi Tahap 2 R Berkoordinasi 10,9 Tidak Mau Berkoordinasi 89,1 Sumber: Hasil eksperimen diolah
S
T
8,3 91,7 S 7,6 92,4
4,9 95,1 T 3,9 96,1
U 13,8 86,2 U 9,6 90,4
Gambar 6.11 menunjukkan pola strategi yang diambil oleh pemain dalam kombinasi payoffs pada tahap 1. Proporsi strategi A terbesar terjadi dalam kombinasi U sedangkan terendah terjadi pada kombinasi T. Pola proporsi strategi B adalah kenaikan persentase dari kombinasi R, S, dan T kemudian menurun pada kombinasi U. Pola yang sama juga muncul di Gambar 6.8.
140
Gambar 6.11. Persentase Strategi A & B dalam Kombinasi Payoffs Tahap 1
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Tabel 6.6 menunjukkan uji statistika yang membandingkan satu kombinasi payoffs dengan kombinasi lainnya di tahap 1. Jika tingkat signifikansi adalah 5%, maka proporsi kombinasi yang memiliki perbedaan signifikan adalah kombinasi R & T, S & T, S & U, dan T & U. Perbedaan signifikan antara kombinasi R & T, S & T, dan S & U menunjukkan bahwa biaya koordinasi yang berbeda dapat mempengaruhi keputusan yang diambil pemain. Kombinasi T & U yang berbeda secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan manfaat koordinasi memiliki pengaruh terhadap keputusan yang diambil pemain. Menarik untuk dicatat bahwa kombinasi R & S tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan manfaat koordinasi tidak mempengaruhi keputusan pemain. Gambar 6.12. Persentase Strategi A & B dalam Kelompok Payoffs Tahap 2
Sumber: Hasil eksperimen diolah
141
Tabel 6.7 menunjukkan uji statistika antara kombinasi payoffs di tahap kedua yaitu setelah framing effect dijalankan. Hasil uji tidak jauh berbeda dengan tahap 1 kecuali kombinasi S dan U. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan biaya dapat mempengaruhi keputusan pemain, dengan asumsi manfaat koordinasi yang sama. Tabel 6.7. Matriks Perbandingan Antar Kombinasi Payoffs Tahap 1& 2 Kelompok Tahap 1
Signifikansi (p-value)
Kelompok Tahap 1
Kelompok Tahap 2
Signifikansi (p-value)
Kelompok Tahap 2
Kombinasi R
MWT=0,119
Kombinasi S
Kombinasi R
MWT=0,106
Kombinasi S
Kombinasi R
MWT=0,001
Kombinasi T
Kombinasi R
MWT=0,000
Kombinasi T
Kombinasi R
MWT=0,387
Kombinasi U
Kombinasi R
MWT=0,553
Kombinasi U
Kombinasi S
MWT=0,060
Kombinasi T
Kombinasi S
MWT=0,030
Kombinasi T
Kombinasi S
MWT=0,060
Kombinasi U
Kombinasi S
MWT=0,303
Kombinasi U
Kombinasi T
MWT=0,016
Kombinasi U
Kombinasi T
MWT=0,002
Kombinasi U
Keterangan: MWT=Mann-Whitney Test Sumber: Hasil eksperimen, diolah
Perbandingan antar kombinasi payoffs sebelum dan sesudah framing effect ditunjukkan oleh Tabel 6.7. Kombinasi R, S, dan T sebelum dan sesudah framing effecttidak berbeda secara signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa framing effect tidak mempengaruhi pemain dalam mengambil keputusan.Kombinasi U sebelum dan sesudah framing effect berbeda secara signifikan. Tabel 6.8. Perbandingan Antar KombinasiPayoffs Sebelum dan Sesudah Framing Effect
1
Kelompok Tahap 1
Signifikansi (p-value)1
Kelompok Tahap 2
Kombinasi R
WSR=0,691
Kombinasi R
Kombinasi S
WSR=0,639
Kombinasi S
Kombinasi T
WSR = 0,433
Kombinasi T
Kombinasi U
WSR = 0,029
Kombinasi U
WSR=Wilcoxon Signed Rank Test
Sumber: Hasil eksperimen, diolah
Proporsi strategi A berbeda secara signifikan dengan proporsi strategi B di tahap pertama, demikian pula di tahap kedua, proporsi berkoordinasi berbeda secara signifikan dengan 142
proporsi tidak mau berkoordinasi. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi strategi B atau tidak mau berkoordinasi lebih dominan selama kedua tahap. Tabel 6.9. Perbandingan Proporsi Strategi Diambil dalam Setiap Tahap Tahap 1 Permainan
Strategi A
1
Strategi B
149
Proporsi A
1387
Signifikansi1
Proporsi B
0,10
0,90
0,000
Tahap 2 Permainan
Berkoordinasi
Tidak Mau Berkoordinasi
Proporsi Koordinasi
Proporsi Tidak Mau Berkoordinasi
123
1413
0,09
0,92
1
Signifikansi
0,000
1
binomial test
Sumber: Hasil eksperimen, diolah
Tabel 6.9 merinci proporsi strategi diambil di setiap permainan. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa proporsi A dan B berbeda secara signifikan di semua permainan di tahap 1. Proporsi berkoordinasi dan tidak mau berkoordinasi juga berbeda secara signifikan di semua permainan tahap 2. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi B dan tidak mau berkoordinasi tidak lebih dominan. Tabel 6.10. Perbandingan Proporsi Strategi Diambil dalam Setiap Permainan1 Tahap 1 Frekuensi Proporsi Strategi Strategi
Game
Tahap 2 Frekuensi Strategi
Signifi kansi
Game
Berkoor dinasi
Tidak Mau Berkoord inasi
Proporsi Strategi
Berkoord inasi
Tidak Mau Berkoor dinasi
Signifi kansi
A
B
A
B
1
15
81
0,16
0,84
0,000
1
16
80
0,17
0,83
0,000
2 3 4 5 6
9 5 19 6 11
87 91 77 90 85
0,09 0,05 0,20 0,06 0,11
0,91 0,95 0,80 0,94 0,89
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
2 3 4 5 6
10 5 12 6 9
86 91 84 90 87
0,1 0,05 0,13 0,06 0,09
0,9 0,95 0,88 0,94 0,91
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
7 8 9
6 17 18
90 79 78
0,06 0,18 0,19
0,94 0,82 0,81
0,000 0,000 0,000
7 8 9
4 7 12
92 89 84
0,04 0,07 0,13
0,96 0,93 0,88
0,000 0,000 0,000
143
1
10 11 12 13 14
7 5 13 6 5
89 91 83 90 91
0,07 0,05 0,14 0,06 0,05
0,93 0,95 0,86 0,94 0,95
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
10 11 12 13 14
5 3 12 8 5
91 93 84 88 91
0,05 0,03 0,13 0,08 0,05
0,95 0,97 0,88 0,92 0,95
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
15
3
93
0,03
0,97
0,000
15
3
93
0,03
0,97
0,000
16 4 binomial test
92
0,04
0,96
0,000
16
6
90
0,06
0,94
0,000
Sumber: Hasil eksperimen, diolah
Perbandingan strategi yang diambil sebelum dan sesudah framing effect ditampilkan pada Tabel 6.10. Uji statistika mengindikasikan bahwa framing effect signifikan pada tingkat signifikansi 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan nama strategi menjadi berkoordinasi dan tidak mau berkoordinasi dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemain, meskipun dampaknya cenderung lemah. Tabel 6.11. Perbandingan Sebelum dan Setelah Framing Effect Uji Statistika Paired t-test Wilcoxon signed rank test Sign test McNemar Test Marginal Homogeneity Test Sumber: Hasil eksperimen, diolah
Signifikansi 0,051 0,051 0,061 0,061 0,051
Hasil ini menarik karena memiliki implikasi yang cukup panjang. Jika subyek cenderung terpengaruh oleh framing effect, maka koordinasi antar individu yang memiliki tujuan yang berlawanan seperti halnya di prisoners’ dilemma masih dimungkinkan selama dilakukan framing effect yang mendukung pemilihan strategi untuk berkoordinasi. Bagi pengambil kebijakan, maka adalah krusial untuk memahami bagaimana rasionalitas manusia Indonesia mengambil keputusan dan framing effect seperti apa saja yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemungkinan koordinasi. Aspek lain yang perlu dianalisis dari kecenderungan berkoordinasi adalah peran gender. Persentase laki-laki dan perempuan yang memilih strategi B di tahap 1 meningkat di tahap 2. Persentase laki-laki yang memilih strategi B meningkat 0,02% sedangkan persentase perempuan meningkat 0,01%. Perbedaan pengambilan keputusan antar gender ini jelas tidak signifikan.
144
Gambar 6.12. Persentase Strategi B di Tahap 1 dan Tidak Mau Berkoordinasi di Tahap 2 Sesuai Gender
Sumber: Hasil eksperimen, diolah
Tabel 6.12. Matriks Perbandingan Keputusan Antar Gender Tahap
Gender
Signifikansi (p-value)
Gender
Tahap 1
L
uji t=0.687
P
Tahap 2
L
uji t=0.652
P
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Tabel 6.12 menunjukkan uji statistik terhadap kemungkinan perbedaan pengambilan keputusan antara subyek laki-laki dan perempuan. Gender ternyata bukanlah faktor yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemain baik di tahap 1 maupun tahap 2. Uji statistika antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang sama dalam memilih strategi. 6.4. Implikasi Hasil Ekperimen Berbagai hasil eksperimen prisoners’ dilemma menunjukkan bahwa proporsi pilihan strategi Pareto Optimum (A,A) relatif tinggi yaitu di atas 20%. Namun demikian, hasil penelitian ini justru memberikan hasil yang berbeda secara signifikan dibandingkan hasil eksperimen dari studi-studi sebelumnya. Subyek pada eksperimen ini cenderung tidak mengindahkan faktorfaktor budaya dan psikologi, misalnya cinta, kedermawanan (altruism), keadilan (fairness), kebersamaan maupun gotong royong, dalam proses pengambilan keputusan mereka. Berbeda
145
dengan pencitraan dan anggapan terhadap manusia Indonesia pada umumnya, ternyata subyek cenderung berperilaku materialistik dan egois. Subyek dikatakan materialistik karena mereka cenderung semata-mata mengikuti pada distribusi besaran-besaran materi terbesar yang diharapkan akan diperoleh ketika mereka memilih strategi. Di sisi lain ada unsur egoisme maupun kedengkian (envy) dalam memilih strategi sehingga hasrat untuk memainkan strategi A atau berkoordinasi cenderung rendah. Terdapat kecenderungan kuat bahwa subyek tidak ingin melihat orang lain memperoleh hasil yang tinggi sementara dia sendiri sebenarnya tidak dirugikan apapun (karena mendapat Rp0). Ternyata bagi sebagian subyek, melihat orang lain mendapatkan hasil yang lebih tinggi ternyata menyakitkan hati. Tajamnya kedengkian ini peneliti observasi ketika peneliti berbicara dengan para subyek pasca eksperimen. Patut dicatat bahwa desain eksperimen yang digunakan adalah menyerupai evolutionary game theory yang mempelajari tentang bagaimana kemunculan suatu budaya dilihat dari analisis matematis. Apabila analisis evolutionary game theory digunakan, dan jika subyek tadi representative, maka implikasinya cukup serius, yaitu bahwa masyarakat Indonesia mungkin memiliki rasa kepercayaan atau prasangka baik terhadap orang lain yang cenderung sangat rendah. Kedengkian melihat orang lain memperoleh hasil yang lebih tinggi, meskipun tidak merugikan kita, ternyata sangat kuat. Hal ini diperparah oleh kecenderungan yang tinggi untuk mengejar besaran-besaran yang bersifat materialistis semata dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks koordinasi antar lembaga di Indonesia, maka hasil eksperimen ini perlu mendapat perhatian serius karena terbukti bahwa kecenderungan untuk tidak mempercayai orang lain relatif tinggi. Jika asumsi bahwa manusia Indonesia adalah cenderung materialistis, egois dan tidak bisa melihat orang lain bahagia, maka hal ini tentu membuat sulit koordinasi. Implikasinya adalah bahwa koordinasi antar instansi pemerintah sebenarnya tak lebih dari sekedar pemanis bibir semata. Permasalahan menjadi semakin pelik, ketika TUPOKSI (tugas pokok fungsi) dari masing-masing departmen pemerintah sangat jarang sekali mencantumkan kata ‘koordinasi’. Kalaupun toh di dalam TUPOKSI terdapat kata ‘koordinasi’ namun pada praktiknya di Indonesia kata koordinasi seringkali diartikan hanya sebatas pertemuan saja. Apapun bentuk OJK yang nantinya akan dibuat oleh pemerintah, koordinasi antar lembagalembaga yang terlibat dalam pengawasan LKB dan LKNB tentunya berperan sangat krusial. 146
Didasarkan pada hasil eksperimen pada studi ini, maka biaya transaksi (transaction costs) untuk berkoordinasi antar lembaga pemerintah sebenarnya sangat tinggi. Implikasinya adalah apakah akan dilakukan penggabungan dua atau lebih lembaga pemerintah dalam struktur OJK, ataukah OJK lebih condong sebagai perbaikan sistem pengawasan yang merevitalisasi peran-peran lembaga pengawas yang telah ada, maka faktor koordinasi berperan sangat krusial. Ketika koordinasi akan diterapkan di masyarakat yang cenderung tidak mempercayai orang lain dan cenderung egois serta materialistik, maka diperlukan perencanaan hubungan antar lembaga agar koordinasi tersebut bisa efektif. Pada kondisi seperti ini, seringkali pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) untuk koordinasi akan sulit dilakukan. Konsekuensinya, koordinasi harus diatur secara formal dari atas ke bawah (top down) secara komprehensif dan harus ditegakkan bahkan kadang harus dengan melibatkan sanksi hukum.
147
Bab 7: Estimasi Biaya Pengubahan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan
7.1. Pendahuluan Lebih dari seabad lalu, sekelompok ekonom terkemuka dunia mengemukakan madzab ilmu ekonomi yang disebut dengan Austrian Economics. Dimotori oleh Hayek, Bohm Bawerk dan kawan-kawan, di akhir tahun 1800-an hingga awal 1900-an madzab ini mulai dikenal di khasanah ilmu ekonomi. Berbeda dengan para ekonom madzab Klasik, Neo-Klasik maupun Keynesian, ketika itu, para ekonom Austrian Economics tidak mempercayai analisis comparative static. Menurut mereka, perekonomian tidak semudah pindah dari satu equilibrium ke equilibrium lain dalam suatu rentang waktu tertentu. Mereka berpendapat, bahwa perekonomian selalu berubah setiap saat, dan pelaku ekonomi dituntut memiliki kemampuan adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan yang terjadi setiap waktu tersebut.Perubahan di dalam kehidupan dan kondisi perekonomian adalah hal yang tidak dielakkan.Dalam kondisi ini pelaku ekonomi yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan perekonomian. Proposisi-proposisi para ekonom Austrian Economics nampaknya sangat tepat diterapkan untuk kasus OJK ini. Kebutuhan terhadap lembaga pengawas lembaga keuangan tertuang di pasal 34 UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian di amandemen melalui UU Nomor 3 tahun 2004. Meski demikian, hingga saat ini peneliti kesulitan memperoleh
kajian
akademik
latar
belakang
dan
alasan
rasional
yang
bisa
dipertanggungjawabkan secara akademik tentang perlunya lembaga pengawas. Hal lain yang lebih aneh adalah, dari berbagai struktur alternatif lembaga pengawas yang ada di dunia, mengapa struktur versi RUU OJK cenderung mendekati FSA yang telah terbukti gagal? Terkait dengan masalah moral hazard yang timbul di industri keuangan, keberadaan lembaga pengawas tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi.Namun demikian, apakah formatnya harus seperti yang terdapat di RUU OJK yang diajukan pemerintah? Jawabannya jelaslah belum tentu mengingat banyaknya alternatif struktur OJK yang ada dan tidak adanya bukti empiris bahwa satu bentuk OJK lebih unggul daripada bentuk OJK lain di semua negara. Apa yang terjadi bukanlah pada OJK bukanlah one fits for all, namun lebih cenderung menggunakan 148
pendekatan kasus per kasus. Implikasinya adalah bahwa kuranglah tepat jika struktur OJK didesain berdasarkan struktur OJK yang ada di negeri lain. Pertanyaan yang paling tepat dilontarkan adalah, bagaimanakah struktur OJK yang paling optimum untuk INDONESIA?? Gambar 7.1. Konteks Pembentukan OJK yang Efektif dan Efisien
FSA Twin Peaks, Institusional, Fungsional RUU OJK OJK Efisien dan Efektif? Pasca Krisis 1997 atau Pra Krisis 2007
Pasca Krisis 2007
KRISIS
Gambar 7.1. menunjukkan konteks pengambilan keputusan yang saat ini dihadapi oleh bangsa Indonesia terkait dengan OJK. Rencana pembentukan OJK telah dicanangkan melalui UU Nomor 23 tahun 1999. Ketika itu perekonomian Indonesia masih terkena dampak krisis Asia yang dimulai tahun 1997. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu disebabkan oleh mismanagement bank-bank umum. Pada periode itu pulalah di negara-negara maju dibentuk lembaga pengawas lembaga keuangan dengan berbagai macam alternatif struktur.Di Inggris dibentuk FSA seperti yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu.Perlu dicatat bahwa semua kejadian ini terjadi sebelum krisis 2007 dan 2008. Krisis ekonomi tahun 2007 dan 2008, akibat sub-prime mortgage, membuktikan kegagalan peran FSA di Inggris. Biaya kegagalan FSA sangat tinggi. Tidak saja Bank of England (BOE) terpaksa melakukan bailout terhadap Northern Rock, namun juga harus melakukan paket penyelamatan terhadap bank-bank umum seperti
halnya Lloyd TSB, Royal Bank of
Scotland, dan building society misalnya Hallifax serta Bradford and Bingley. Krisis ekonomi
149
di Inggris berkepanjangan dan menyebabkan banyak terjadi penutupan cabang-cabang di sektor retail seperti yang dialami oleh Argos dan toko buku Borders. Baru-baru ini pemerintahan partai Konservatif di Inggris membubarkan FSA dan mengembalikan fungsi pengawasan di bawah Bank of England. Struktur sistem pengawasan lembaga keuangan alternatif, seperti sistem institusional, fungsional dan twin peaks, tetap berjalan hingga saat ini. Dibalik semua kisah ini, yang mengherankan adalah bahwa RUU OJK ternyata masih menggunakan struktur integrated seperti yang digunakan oleh FSA dan telah terbukti gagal di Inggris. Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah, bagaimana mencari struktur sistem pengawasan lembaga keuangan yang efektif dan efisien. Apakah strukturnya harus sama dengan di RUU OJK yang telah terbukti gagal di Inggris tersebut? Tentu saja jawabannya adalah belum tentu. Banyak alternatif cara untuk menciptakan sistem pengawasan yang efektif dan efisien dan sesuai dengan situasi di Indonesia, tanpa harus menggunakan metoda copy and paste sistem pengawasan dari negara lain, terlebih sistem pengawasan yang telah terbukti gagal. Pada bab ini, pembahasan akan lebih diarahkan pada efisiensi sistem pengawasan dan biaya yang diperlukan selama proses transisi dari satu sistem ke sistem yang lain. 7.2. Biaya Peralihan Sistem Pengawasan di Inggris Kasus peralihan sistem pengawasan di Inggris, memungkinkan kita belajar mengenai konsenkuensi peralihan sistem pengawasan yang kemudian terbukti gagal. Biaya yang ditanggung pemerintah Inggris terkait pengalihan sistem pengawasan, dan pada akhirnya harus dibayar para pembayar pajak, sangatlah besar. Ketika FSA didirikan pada akhir decade 1990-an, maka bisa dibayangkan bahwa FSA tentunya harus memiliki kantor sendiri. Ketentuan bahwa FSA melakukan microprudential, menyebabkan FSA harus melakukan off- and on-site supervision. Itu berarti kantor FSA tidak saja berdiri di London, tapi juga tersebar minimal ke kota-kota besar di Inggris. Biaya pembuatan kantor dan juga pengadaan barang-barang kelengkapan pengoperasian kantor tentunya memerlukan investasi yang tidak sedikit. Pengalihan fungsi pengawasan dari BOE kepada FSA tentu berimplikasi pada pemindahan para pengawas dari BOE ke FSA. Di sisi lain, tentu saja diperlukan rekrutmen terhadap sumberdaya manusia baru untuk memenuhi kebutuhan FSA terhadap tenaga pengawas
150
maupun staf pendukung operasionalisasi kantor. Lagi-lagi hal ini pun memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Sebagai lembaga baru di mana FSA harus menampung para pengawas dari BoE, namun juga tenaga baru yang direkrut, diperlukan pembuatan berbagai juklak (SOP) yang berlaku secara intern. Tidak dipungkiri biaya pembuatan SOP ini juga besar, karena diperlukan waktu yang tidak pendek untuk membangun SOP yang baik. Di sisi lain, SOP harus terus direvisi karena penyempurnaan SOP didasarkan pada kejadian-kejadian yang terjadi di FSA dan perlu diadakan pengaturan secara formal. Implikasi dari pengalihan pengawasan kepada FSA adalah bahwa semua sistem informasi yang terkait dengan pengawasan di BOE harus dipindahkan ke FSA. Biaya yang dikeluarkan tidak saja pemindahan sistem dari kantor-kantor BOE ke kantor-kantor FSA, namun sangat mungkin bahwa FSA harus memiliki jaringan, server dan bahkan sistem IT sendiri yang tidak murah untuk disediakan. Ketika FSA terbukti gagal menjalankan perannya dalam hal microprudential dan macroprudential, dampaknya adalah bahwa perekonomian Inggris mengalami krisis. Akibat kegagalan
ini,
BOE,
sebagai
LOLR,
harus
mengeluarkan
biaya
besar
untuk
melakukanbailouting terhadap Northern Rock. Tidak berhenti di sini, BOE juga terpaksa mengucurkan dana talangan untuk penyelamatan beberapa bank dan building society yang terancam kolap dan harus diselamatkan jika tidak ingin resiko sistemik penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan merembet lebih lanjut. Akibat krisis ekonomi ini, pemerintah Inggris juga melakukan ekspansi kebijakan fiskal untuk menjaga agar perekonomian tetap bergairah dan laju pengangguran dapat diminimasi. Di bawah pemerintahan Partai Konservatif, fungsi pengawasan perbankan dikembalikan lagi di bawah BOE. Pengembalian fungsi BoE ini diikuti dengan pembentukan tiga badan baru di dalam organisasi BOE dan tambahan dua komisi di luar BoE yang terkait dengan masalah kriminalitas di sektor keuangan. Biaya yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi pengawasan dari FSA ke BOE tentunya juga besar, karena FSA harus dibubarkan. Satu hal yang pasti adalah bahwa biaya pembubaran FSA belum tentu lebih murah daripada biaya pembentukkannya di akhir decade 1990-an lalu. Sangat dimungkinkan sekali bahwa biaya pembubaran FSA menyerap biaya yang lebih besar daripada biaya pembentukannya dulu. Ilustrasi di atas memberikan gambaran bagaimana perubahan sistem pengawasan yang kemudian terbukti gagal, ternyata menciptakan beban yang sangat tidak sedikit bagi 151
perekonomian. Belajar dari pengalaman Inggris, diperlukan studi yang komprehensif dan kearifan serta kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pengubahan sistem pengawasan lembaga keuangan dan struktur pengawasan yang dipandang terbaik untuk diterapkan di Indonesia. 7.3. Biaya Pengalihan ke OJK versi RUU OJK Pengalihan sistem pengawasan dari sistem yang ada sekarang ke OJK versi RUU OJK jelas akan menimbulkan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang perlu di estimasi tidak saja terkait dengan biaya operasional ketika OJK versi RUU OJK telah berjalan dengan baik, namun juga biaya transisi ketika terjadi proses pengalihan. Perlu dicatat bahwa estimasi biaya yang dilakukan di bagian ini didasarkan pada skenario yang ditetapkan di RUU OJK. Estimasi yang dilakukan di sini semata-mata mengikuti skenario yang telah diatur di dalam RUU OJK yang telah diatur secara detil dari pasal ke pasal di dalam RUU OJK tersebut. Beberapa pos biaya yang timbul akibat pendirian OJK versi RUU OJK dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Biaya tetap pendirian OJK versi RUU OJK. Biaya ini meliputi segala investasi pendirian OJK, misalnya biaya pendirian perwakilan OJK di berbagai daerah, biaya rekruitmen pengawas baru untuk LKNB, biaya pembangunan sistem IT di tubuh OJK dan pengalihan sistem IT pengawasan perbankan dari BI kepada OJK. 2. Biaya operasional OJK versi RUU OJK. Biaya ini meliputi seluruh biaya yang setiap tahun dikeluarkan oleh OJK untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan semua lembaga keuangan. Biaya ini antara lain mencakup biaya training pengawas OJK, biaya operasional pengawasan semua lembaga perbankan dan LKNB, biaya gaji, biaya perawatan dan penggunaan IT. Biaya-biaya di atas bersifat tangible dan observable.Meski demikian, bukan berarti nantinya pengalihan sistem pengawasan perbankan dari BI ke OJK versi RUU OJK tidak memendam kemungkinan munculnya biaya yang bersifat intangible atau unobservable. Biaya tersebut adalah hilangnya sebagian atau juga kemungkin keseluruhan dari tacit knowledge dalam hal pengawasan perbankan.Kemungkinan timbulnya biaya ini berpotensi muncul dari dua sumber: 1. Asumsi bedhol desa berjalan mulus tentu saja adalah terlalu kuat. Konsep ’bedhol desa’ pengawas perbankan BI berpindah seluruhnya ke OJK versi RUU OJK, sepertinya lebih merupakan jargon daripada upaya untuk melihat realitas pengambilan 152
keputusan di dunia nyata yang kompleks. Pihak BI tentu tidak bisa memaksa para pengawasnya untuk pindah ke OJK tanpa resiko BI akan dituntut di PTUN oleh para pengawasnya yang merasa dirugikan dengan perpindahan tersebut. Hal yang paling logis yang dilakukan BI adalah memberikan opsi kepada para pengawas untuk pindah ke OJK, atau kembali melamar ke BI di bidang yang lain, atau bahkan memberikan opsi para pengawas untuk meniti karir sesuai keinginan mereka namun di luar BI maupun OJK. Seberapa besar kemungkinan semua pengawas BI akan bersedia pindah ke OJK tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor pertimbangan. Kenyataan bahwa rasionalitas manusia tidaklah sesederhana konsep rasionalitas yang dipreskripsikan oleh Teori Ekonomi, menunjukkan bahwa seringkali keputusan untuk pindah ke lembaga baru atau tidak, seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologi seperti uncertainty aversion6, loss aversion7, status-quo bias8, relatif dibandingkan faktor ekonomis semata. Sebagai contoh, jika sebagian pengawas BI memiliki persepsi bahwa ’bedhol desa’ ini meningkatkan ketidaktentuan terhadap karir, remunerasi maupun iklim kerja yang selama ini biasa dialami di BI, maka hal ini akan menyebabkan sebagian pengawas tersebut enggan untuk bergabung ke OJK. Permasalahan menjadi semakin pelik ketika persepsi subyektif individu ini seringkali sulit berubah meskipun telah diadakan sosialisasi maupun persuasi kepada yang bersangkutan. 2. Sistem training yang telah dikembangkan di BI untuk pengawasan perbankan telah terbangun dari pengalaman melakukan pengawasan bertahun-tahun. Pengalaman yang diperoleh selama melakukan pengawasan menjadi materi pembelajaran yang kemudian diajarkan di training-training bagi pengawas di BI. Jika nantinya konsep ’bedhol desa’ benar-benar diterapkan, hal ini tidak menjamin bahwa untuk pengawasan perbankan, semua sistem dan materi training yang telah terbangun bagi pengawas di BI akan langsung tertransformasikan sempurna ke OJK. Perlu diingat, staf OJK terdiri dari beberapa lembaga yang memiliki budaya organisasi sendirisendiri. Ketika benturan antar budaya organisasi yang dibawa oleh masing-masing pengawas terjadi, maka akan ada kompromi untuk mengakomodasi semua kepentinga. Bagaimanapun hasil kompromi, pastilah terjadi distorsi terhadap sistem training bagi pengawas bank yang selama ini telah dibangun di BI. 6
Lihat Allais (1961), Tversky and Kahneman (1979), Kahneman and Tversky (1991, 1992) 8 Zackhauser (1988), Knetsch (1989), Knetsch and Synden (1994) 7
153
3. Biaya lain yang bersifat intangible adalah hilangnya waktu yang diperlukan untuk membuat SOP bagi OJK versi RUU OJK. Pengalaman pembentukan lembaga baru pasca reformasi seperti KPPU, KPK, PPATK, LPS dan BNPB, memberikan pelajaran berharga kepada bangsa Indonesia bahwa di awal pendirian lembaga-lembaga tersebut kegiatan kurang berjalan optimum karena disibukkan untuk membuat SOP. Permasalahan menjadi semakin kompleks, ketika selama waktu mengkonsolidasi lembaga baru ini pengawasan kepada lembaga keuangan akan cenderung mengendur dan hal ini tentu akan meningkatkan kemungkinan praktik moral hazard yang mungkin meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap potensi krisis ekonomi. 4. Pada RUU OJK tidak disebutkan pembatasan skala usaha LKB dan LKNB yang akan menjadi tanggung jawab OJK versi RUU OJK untuk diawasi. Konsekuensinya peneliti berasumsi bahwa semua jenis dan skala usaha LKB dan LKNB akan diawasi, baik on and off sides supervisions, oleh OJK. Jika asumsi ini yang digunakan, maka implikasinya adalah bahwa OJK RUU harus memiliki perwakilan di daerah-daerah karena banyaknya jenis dan jumlah LKB dan LKNB di Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia. Apabila perwakilan OJK RUU harus dibuka di berbagai daerah, maka biaya intangible yang akan muncul adalah lamanya waktu pembentukan OJK RUU perwakilan di daerah-daerah. Pengalaman BNPB menunjukkan bahwa meski lembaga tersebut diamanatkan sejak pengesahan UU Nomor 24/2007, namun hingga sekarang dari 399 kabupaten baru 108 kabupaten yang telah memiliki BPBD.
154
BOKS 7.1: Studi Kasus Australian Prudential Regulation Authority (APRA) APRA adalah otoritas pengawas sektor keuangan di Australia yang APRA mengambil alih tugas Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga menjalankan pengawasan terhadap industri dana pensiun (superannuation funds). APRA menghadapi risiko kegagalan pengawasan pada saat restrukturisasi organisasi. Pada tahun pertama pembentukan, APRA harus menyerap SDM dari RBA dan ISC. Sampai dengan tahun 2002, APRA menyerap SDM dari sembilan dinas pemerintah Australia beserta tupoksi dan sistem informasi dan teknologi. Selain itu, APRA kehilangan ahli pengawas senior selama proses restrukturisasi organisasi. Selama 1999-2002, APRA belum dapat memenuhi target organisasi yang ditetapkan pada tahun 1999 (Carmichael, 2002). Carmichael (2002) menyatakan bahwa tantangan utama APRA dalam restrukturisasi organisasi adalah pembentukan budaya kerja. APRA belajar dari restrukturisasi organisasi otoritas pengawas di Kanada yang memerlukan waktu delapan tahun. Walaupun APRA memberlakukan change management sedemikian rupa, waktu yang diberlakukan untuk pemenuhan target organisasi mencapai lebih dari 3 tahun. Kompleksitas lain dari pembentukan APRA adalah biaya yang besar. Dilihat dari lingkup kegiatannya, APRA mengawasi 327 perusahaan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi 291 dana pensiun (APRA, 2009). Pengawasan sektor keuangan dilakukan oleh enam kantor APRA yang berada di ibukota negara bagian terbesar di Australia: Sydney, Canberra, Melbourne, Brisbane, Perth, dan Adelaide. Pada tahun 2009, anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengawasan sektor keuangan mencapai Rp784,3 miliar (AUS$103,2 juta). Pengeluaran terbesar digunakan untuk pembiayaan SDM yaitu Rp553,3 miliar atau sekitar 71%. Biaya pembentukan APRA juga memakan biaya besar (proksi biaya pembentukan adalah total aset ditambah dengan biaya operasional pengawasan selama satu tahun): AUS$155,9 miliar atau Rp1,2 triliun (APRA, 2009). Bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membentuk OJK versi RUU OJK di Indonesia? Patut dicatat, jumlah lembaga keuangan di Indonesia mencapai 3.673 perusahaan (Tabel 2.1), selain itu, masih terdapat 94.320 lembaga keuangan mikro (Tabel 2.4). Artinya, OJK di Indonesia harus mengawasi lembaga keuangan sebanyak 158 kali perusahaan yang harus diawasi APRA. Jumlah kantor OJK pun selayaknya menyesuaikan wilayah Indonesia yaitu 33 kantor, dengan asumsi minimal 1 kantor di setiap 33 provinsi (5,5 kali lebih banyak dibanding kantor APRA).
155
Didasarkan pada aturan-aturan tentang OJK yang ada di pasal-pasal pada RUU OJK, maka konsekuensi pembentukan OJK berimplikasi pada biaya peralihan dan biaya jangka panjang akibat pembentukan OJK. Tabel 7.1. Biaya Peralihan Pengawasan Lembaga Keuangan ke OJK versi RUU OJK Jenis Biaya
Alasan Pembiayaan BIAYA TRANSISI
Biaya pengalihan sistem informasi (IT) dan pembangunan sistem IT yang sesuai dengan fungsi OJK
• Sistem IT di BI hanya untuk mengawasi Bank Umum dan BPR (122 bank umum dengan 3.041 kantor cabang dan 1861 BPR) • Sistem IT OJK harus mengakomodasi data untuk lembaga keuangan non-bank dan pasar modal. Jumlah perusahaan non-bank adalah 1.670 buah ditambah dengan lembaga keuangan mikro non-bank sebanyak 86.504 (data tahun 2009), sehingga jumlah total adalah 86.504 perusahaan
Biaya rekrutmen pengawas lembaga keuangan non-bank dan lembaga keuangan mikro non-bank
• Dengan asumsi tidak ada pengawas BI yang keluar karena adanya penggabungan ke OJK, tetap diperlukan biaya rekrutmen untuk melakukan off and onside supervisions kepada lembaga non-bank sejumlah 86.504 perusahaan. • Asumsi tidak ada pengawas BI yang tidak keluar akibat penggabungan ke OJK adalah terlalu kuat. Adalah lebih realistis jika diasumsikan antara 10%-20% dari pengawas yang ada akan menolak bergabung ke OJK dengan berbagai alasan.
Biaya training pengawas baru dan biaya training tingkat lanjut bagi pengawas yang sudah ada
• Akibat tambahan 86.504 lembaga keuangan yang perlu disupervisi, OJK memerlukan tambahan tenaga pengawas dan staf administrasi pendukung. Diperlukan biaya untuk melakukan training terhadap pegawai yang baru direkrut, baik sebagai pengawas maupun staf pendukung administrasi. Di sisi lain, berbagai perjenjangan training yang telah dilakukan di BI untuk para pengawas yang telah ada harus dilakukan di OJK..
Biaya pendirian OJK di tingkat daerah (biaya pembebasan tanah dan biaya pembangunan kantor, biaya perabot kantor, dan berbagai pendukung kantor termasuk mobil)
• OJK tidak mungkin hanya beroperasi di Pusat, namun juga di daerahdaerah. Hal ini terkait dengan micro prudential yang mensyaratkan pelaksaan off and on side supervisions. Jika diasumsikan KBI yang ada sekarang tetap berperan melakukan pengawasan kepada bank-bank umum dan BPR, maka OJK harus tetap mendirikan tambahan kantorkantor OJK ditingkat daerah untuk melakukan off and on side supervision kepada 86.504 lembaga keuangan non-bank berbagai skala.
156
Biaya pembentukan juklak dan SOP
• Jika struktur OJK adalah penggabungan antara tenaga pengawas BI dan Bappepam-LK, maka diperlukan berbagai juklak dan SOP untuk mendukung kerja karyawan di OJK dan upaya untuk penyelesaian masalah jika ada dispute. Di berbagai lembaga yang baru dibentuk Pemerintah, seperti LPS, KPK, PPATK, BNPB dan lain sebagainya, waktu untuk membentuk SOP bisa berkisar antara satu-dua tahun. Selama waktu transisi tersebut, fungsi dari lembaga yang bersangkutan tentunya belum akan efektif.
Kerentanan perekonomian terhadap krisis ekonomi meningkat
• Konsekuensi OJK bertanggung jawab pada micro dan macro prudentials serta business conduct, menyebabkan segala upaya pencegahan dan pendeteksian dini kemungkinan krisis ekonomi berada pada OJK . Ketika proses transisi, tentunya OJK belum akan berperan efektif, sehingga pada periode tersebut kerentanan perekonomian terhadap krisis akan meningkat tajam
Selain biaya-biaya yang bersifat jangka pendek seperti pada Tabel 7.1 di atas, pendirian OJK versi RUU OJK berpotensi mengakibatkan munculnya biaya jangka panjang seperti pada Tabel 7.2 berikut: Tabel 7.2. Biaya Jangka Panjang Pembentukan OJK versi RUU OJK Jenis Biaya
Alasan Pembiayaan BIAYA JANGKA PANJANG
Potensi pindahnya para pengawas senior BI ke lembaga lain
• Perubahan status pengawas BI menjadi pengawas OJK seringkali akan mendorong para pengawas senior dan berkualifikasi tinggi untuk keluar dan pindah ke lembaga lain. Jika kecenderungan ini terjadi pada pengawas yang berpengalaman dengan reputasi yang baik, maka hal ini akan berdampak pada kinerja OJK dalam jangka panjang.
Potensi hilangnya tacit knowledge tentang pengawasan
• Keahlian sebagai seorang pengawas yang handal tidak bisa dibangun dalam sekejap. Diperlukan training berjenjang dan praktik di lapangan dalam waktu yang cukup lama untuk membentuk seorang pengawas yang handal. • Pengetahuan dan pengalaman di bidang pengawasan akan berakumulasi sejalan dengan waktu, dan membentuk tacit knowledge di bidang pengawasan. Pengalihan fungsi pengawasan kepada OJK RUU tidak menjamin bahwa tacit knowledge yang selama ini dibangun akan terjaga maupun tertransfer penuh ke OJK.
Peningkatan biaya operasional akibat peningkatan jumlah lembaga yang harus diawasi
• Biaya operasional pengawasan akan meningkat tajam dengan adanya OJK. Hal ini terjadi karena 86.011 perusahaan yang selama ini tidak perlu mendapat supervisi langsung nantinya harus diawasi secara langsung. Itu artinya diperlukan tambahan kapasitas OJK untuk mampu melakukan pengawasan terhadap tambahan 86.504 lembaga keuangan yang sekarang harus diperiksa diseluruh pelosok tanah air.
Perlu dicatat bahwa biaya pengawasan yang dilakukan BI untuk mengawasi bank-bank umum dan BPR adalah cukup tinggi. Tingginya biaya pengawasan terjadi karena untuk 157
mengawasi suatu bank umum tidak mungkin cukup hanya dengan mengunjungi kantor pusat dari bank tersebut. Diperlukan kunjungan ke daerah-daerah untuk melakukan pengawasan langsung ke kantor-kantor cabang di daerah. Permasalahan atau pun potensi pelanggaran mungkin tidak terjadi di kantor pusat maupun di kantor cabang di tingkat propinsi misalnya, namun besar kemungkinan pelanggaran justru terjadi di kantor cabang kecil di daerah terpencil. Didasarkan pada sistem pengawasan seperti itu, maka pilihan metode sampling untuk melakukan monitoring langsung ke kantor-kantor cabang adalah sangat penting. Tingginya detection rate dari pengawas pada kondisi seperti tersebut sangat ditentukan oleh seberapa representativeness dari metoda sampling yang digunakan. Didasarkan pada sistem pengawasan perbankan yang dilakukan BI selama ini, maka bisa diestimasi beban kerja BI untuk mengawasi bank-bank umum dan BPR. Metoda pengawasan yang dilakukan BI terhadap bank-bank umum menggunakan pendekatan dedicated team. Bank-bank besar dengan nilai aset lebih dari Rp10 triliun diawasi oleh tim beranggotakan 13 orang. Untuk bank-bank skala besar, visitasi atau pengawasan on-site, dilakukan terhadap kantor pusat dan tujuh kantor cabang. Didasarkan informasi di atas, diasumsikan bahwa bank-bank umum skala menengah akan divisitasi kantor pusatnya ditambah empat kantor cabang. Sementara untuk bank-bank umum skala kecil akan divisitasi kantor pusat ditambah dua kantor cabang. Untuk BPR, visitasi dilakukan di masing-masing BPR, dan untuk BPR skala kecil setiap pengawas membawahi lima BPR. Dengan asumsi seperti ini, maka beban kerja 1.437 orang pengawas di BI yang tersebar di 41 Kantor Bank Indonesia (KBI) mencakup 2.902 unit visitasi. Perlu dicatat bahwa dalam OJK RUU nantinya pengawas lembaga keuangan nantinya akan terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) pengawas BI, 2) pengawas Bapepam dan 3) pengawas tambahan. Pada tabel 7.3. Bapepam mengawasi 1.670 LKNB yang berskala menengah dan besar dan beban kerja tersebut ditangani oleh 860 orang pengawas. Tenaga pengawas tambahan diperlukan dalam hal ini untuk mengawasi LKNB berskala mikro yang berjumlah 86.504 dan tersebar di seluruh Indonesia. Angka LKNB mikro ini pun bersifat konservatif karena beberapa jenis jumlah LKNB mikro belum diketahui. Misalnya, data jumlah BMT didasarkan pada data tahun 2006, sementara pada beberapa tahun terakhir kita mungkin mengamati bahwa BMT bermunculan bahkan di lingkungan tempat kita tinggal. Upaya memperoleh data jumlah BMT di tahun 2009 maupun di tahun 2010 sulit diperoleh karena tidak adanya satu lembaga pun yang memiliki catatan jumlah BMT yang solid. 158
Tabel 7.3. Estimasi Beban Pengawasan OJK RUU
Jenis LK
Klasifikasi
Bank Besar Bank Menengah Bank Kecil Bank Syariah BPR LKB Sub-Total (A) Asuransi Pasar modal Pasar obligasi Perusahaan efek Perusahaan pegadaian Dana Pensiun Perusahaan Pembiayaan Perusahaan modal ventura LKNB (Non-Mikro) Sub-Total (B) LKNB-Mikro (Sub-Total) LKNB (Mikro) (C ) Tenaga Pengawas Tambahan: RASIO [C/(10*(A+B))] (Skenario Rendah)
Jumlah
Kantor yang disupervisi
42 55 24 169 1.712
8 5 3 3 1
144 499 184 158 1 406 212 66 1.670
1 1 1 1 1 1 1 1
86.504
1
Total Kantor yang disupervisi
336 275 72 507 1.712 2.902 144 499 184 158 1 406 212 66 1.670 86.504
8.650 Tenaga Pengawas Tambahan: RASIO [C/(5*(A+B))] (Skenario Tinggi)
17.301
Sumber: BI (2010a; 2010e), Bapepam-LK (2009), Biro Dana Pensiun (2009), Biro Perasuransian (2008) Catatan: *) Untuk bank besar, visitasi dilakukan di kantor pusat dan tujuh kantor cabang. Diasumsikan untuk bank menengah dan kecil masing-masing lima dan tiga kantor divisitasi. Diasumsikan BPR tidak memiliki cabang dan setiap BPR divisitasi. Untuk LKNB Non-Mikro diasumsikan skalanya setara dengan Bank Kecil dan Bank Menengah dan berturut-turut dilakukan visitasi ke tiga dan lima kantor. Seperti halnya BPR, setiap LKNB Mikro akan divisitasi. **) Untuk skenario rendah diasumsikan setiap LKNB Non-Mikro memiliki skala mirip dengan Bank Kecil, sehingga untuk masing-masing unit usaha akan divisitas tiga kantor. ~) Untuk skenario rendah diasumsikan setiap LKNB Non-Mikro memiliki skala mirip dengan Bank Kecil, sehingga untuk masing-masing unit usaha akan divisitasi lima kantor.
Pada Tabel 7.3 diasumsikan bahwa satu pengawas akan mengawasi lima hingga 10 LKNB skala mikro. Untuk skenario rendah, diasumsikan setiap pengawas akan membawahi 10 LKNB mikro. Di dasarkan pada skenario tersebut, maka untuk skenario rendah diperlukan tambahan tenaga pengawas sebanyak 8.650 orang. Di sisi lain, jika diasumsikan bahwa seorang pengawas membawahi lima LKNB mikro, maka pada skenario tinggi ini jumlah tambahan tenaga pengawas yang diperlukan adalah 17.301 orang. Perlu dicatat bahwa angka ini tergolong konservatif karena para pengawas tentu tidak bisa bekerja sendiri tanpa
159
didukung staf pendukung, baik staf administratif maupun staf dari divisi lain, misalnya divisi hukum, SDM maupun IT. Perlu dicatat bahwa estimasi kebutuhan tenaga pengawas di atas didasarkan pada asumsi bahwa beban pengawasan LKB identik dengan beban pengawasan LKNB. Tentu saja asumsi ini terlalu kuat dan mungkin kurang mencerminkan variabilitas beban pengawasan untuk LKB dan LKNB. Variabilitas jenis usaha di LKNB dan juga skala usaha yang dimiliki tentunya akan berdampak pada perbedaan beban kerja pengawasan yang harus dilakukan. Untuk mendapatkan estimasi yang lebih komprehensif mengenai beban kerja pengawas LKB dan LKNB diperlukan penelitian yang lebih mendalam melibatkan tenaga-tenaga pengawas senior dari BI, Bapepam maupun BPK. Biaya lain yang perlu diestimasi adalah besarnya biaya rekruitmen pengawas baru, biaya pembekalan, dan biaya training bagi para pengawas baru OJK versi RUU OJK beserta staf pendukung para pengawas baru tersebut, yaitu staf administrasi dan staf divisi lain. Biaya rekruitmen dan biaya pembekalan tidak bisa dipandang sebelah mata karena minimum terdapat antara 8.650-17.301
orang pengawas baru yang harus direkrut dan kemudian
diberikan pembekalan. Pasca pembekalan dasar dimulailah proses training bagi para pengawas baru. Pendidikan bagi para pengawas tidaklah sederhana dan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Di BPK misalnya, untuk mencetak seorang pengawas yang handal diperlukan waktu tiga sampai lima tahun dan selama periode tersebut pengawas harus melalui beberapa kali training dan bergabung ke dalam tim auditing. Meski demikian, waktu selama tiga sampai lima tahun tersebut belum cukup untuk membuat seorang pengawas bisa menjadi ketua tim maupun penanggung jawab proses audit. Diperlukan pengalaman dan training lanjutan yang memakan waktu cukup lama agar seseorang bisa menjadi ketua tim maupun penanggung jawab auditing. Sama seperti di BPK, seorang pengawas di BI harus mengikuti tujuh level training. Setiap tahun, para pengawas BI akan menghabiskan waktu 15 hari kerja untuk mengkuti berbagai training yang diperuntukkan bagi para pengawas. Tentunya training ini pun tidak cukup untuk membuat seseorang menjadi pengawas yang handal, jika tidak diikuti oleh praktik pengawasan di lapangan secara intensif. Seorang pengawas yang handal tidak saja harus mampu memahami teknik pengawasan, namun lebih dari itu insting pengawasan akan
160
terbentuk sejalan dengan semakin banyaknya pengalaman dan pengetahuan tentang pengawasan. Perlu dicatat, bahwa seorang pengawas harus memahami dengan benar detail dari bisnis dari obyek yang diawasi. Di BPK misalnya, terdapat divisi-divisi yang membawahi sektor-sektor tertentu, misalnya infrastruktur, kehutanan, pertambangan dan lain sebagainya. Pembagian divisi ini diperlukan karena masing-masing bidang memiliki keahlian yang spesifik yang terkait dengan bidang yang diawasi tersebut. Hal yang sama akan berlaku di OJK versi RUU OJK ini. Seorang tenaga pengawas perbankan tidak akan bisa melakukan pengawasan untuk koperasi ataupun asuransi, demikian pula sebaliknya. Misalnya OJK membawahi tujuh jenis lembaga keuangan yang memiliki karakter bisnis yang berbeda, maka diperlukan kualifikasi dari tujuh kelompok pengawas yang berbeda, dan masing-masing kelompok tidak bisa melakukan pengawasan untuk bidang yang lain tanpa ada training terlebih dahulu. Potensi biaya lain yang timbul akibat pendirian OJK versi RUU OJK adalah biaya pengembangan teknologi informasi (TI). Untuk pengawasan perbankan, selama ini, informasi tersimpan di server BI. Jika nantinya para pengawas BI ’bedhol desa’ ke OJK versi RUU OJK, maka tidak saja tenaga pengawas BI yang berpindah, namun juga sistem informasi teknologi-pun juga harus disiapkan di OJK versi RUU OJK. Implikasinya adalah bahwa semua informasi terkait dengan pengawasan perbankan di server BI harus ditransfer ke server OJK versi RUU OJK. Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah, berapa biaya untuk membangun sistem TI dan juga biaya operasional beserta pemeliharaan sistem TI di OJK versi RUU OJK? Untuk mengetahui beban kerja sistem TI, maka estimasi terhadap total akun dan rekening, baik yang ada di LKB maupun LKNB mutlak dilakukan. Tabel 7.4 menunjukkan bahwa jumlah rekening/akun untuk nasabah LKB mencapai 83 juta. Sementara jumlah akun total dari LKNB berjumlah 141.887.323 atau tambahan 171% dibandingkan total akun yang ada di LKB. Perlu dicatat bahwa jumlah akun ini adalah konservatif, karena informasi mengenai jumlah akun di koperasi belum diketahui. Jumlah akun BMT juga didasarkan pada data tahun 2006 sementara data termutakhir belum diperoleh. Pada tahun 1999-2001 terjadi merger dari beberapa bank BUMN dan membentuk Bank Mandiri. Selama proses merger tersebut, Bank Mandiri menginvestasikan dana sebesar US$200juta untuk menggabungkan sistem TI (Bank Mandiri, 2001). Sistem TI ini melayani 161
dan menghubungkan 1.108 kantor cabang Bank Mandiri yang tersebar di seluruh Indonesia. Perlu dicatat bahwa dari tahun 2001 hingga sekarang, teknologi komputer berkembang sangat pesat. Dengan pertimbangan ini, maka dapat diasumsikan bahwa kebutuhan dana OJK versi RUU OJK untuk membangun sistem TI diperlukan pula dana sebesar US$200 juta atau sekitar Rp2 triliun (didasarkan asumsi konservatif kurs dollar adalah Rp10.000). Tabel 7.4. Jumlah Akun/Rekening Lembaga Keuangan Perbankan dan Non-Bank TIPE LKM
Bank dan BPR
LEMBAGA
AKUN/REKENING
Bank Umum
65.785.523
Bank Syariah
5.643.087
BPR& BPRS
11.571.390
Sub Total (A)
83.000.000
Asuransi
1
Perusahaan pegadaian Dana pensiun Lembaga Keuangan Nonbank
Koperasi (mikro)
43.410.774 20.978.984 2.559.222
Perusahaan modal ventura
25.942
Lembaga keuangan mikro Program Pemerintah Sub Total (B)
41.396.401 17.033.000 125.404.323
KSP
n.a.
KJKS
n.a.
USP UJKS
n.a n.a
BKD
675
LPD
362
LDKP
Nonbank dan Nonkoperasi (mikro)
n.a
BK3D Pegadaian PNM (Unit Layanan Modal Mikro / UlaMM) BMT
964 n.a 13.021.000 1.175.000
LKM LSM Sub Total (C ) Total (A+B+C)
286 16.483.000 224.887.323
Rasio (A+B+C)/A
2,71
Sumber: dihitung dari Bank Indonesia (2010e), Bapepam-LK (2009), Pegadaian (2010), Perasuransian Indonesia (2008), Ashari (2006), Kemeneg KUKM (2009), GTZ (2005)
Potensi biaya lain yang muncul akibat pembentukan OJK versi RUU OJK adalah pembukaan perwakilan OJK versi RUU OJK di daerah-daerah. Hal ini tentunya adalah hal yang tidak 162
bisa ditawar-tawar lagi mengingat OJK versi RUU OJK harus melakukan off and on side supervisions. Tabel 7.3 menunjukkan bahwa BI mengawasi 2902 unit visitasi sementara Bapepam mengawasi 1.670 LKNB. Total tenaga pengawas LKB dan LKNB saat ini adalah 2.297 orang yang terdiri dari 1.437 pengawas BI dan 860 pengawas Bapepam. Apabila diperlukan tambahan pengawas sebanyak 8.650 hingga 17.301 pengawas tambahan, maka bisa dimodelkan bahwa diperlukan kantor perwakilan setara KBI sebanyak 8.650/2.297 = 3,77 kali lipat jumlah KBI atau 155 buah (untuk skenario rendah) atau 17.301/2297 = 7,54 kali lipat jumlah KBI atau 310 buah (dengan skenario tinggi). Perhitungan ini didasarkan pada asumsi bahwa tenaga pengawas di KBI-KBI akan direlokasikan ke kantor-kantor perwakilan OJK versi RUU OJK tersebut. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah berapa kantor perwakilan OJK versi RUU OJK yang harus didirikan di daerah-daerah? Dengan mempertimbangkan jumlah dan sebaran lembaga keuangan yang harus diawasi oleh OJK versi RUU OJK, maka idealnya di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia didirikan perwakilan OJK. Dalam hal ini kita bisa menggunakan skenario rendah dan tinggi terkait dengan pembentukan perwakilan OJK versi RUU OJK di daerah. Skenario rendah didasarkan pada asumsi bahwa jumlah OJK didirikan disetiap kabupaten saja. Artinya semua lembaga keuangan yang ada di wilayah kota, menjadi tanggung jawab pengawasan dari kantor perwakilan OJK di tingkat kabupaten tersebut. Didasarkan pada skenario rendah ini, diperlukan 399 perwakilan OJK di 399 kabupaten di seluruh Indonesia. Jika digunakan skenario tinggi, maka diperlukan 502 perwakilan OJK yang didirikan di 502 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tabel 7.5. Perkembangan Aset BPK 2004-2009 Nama Aset
2004
2004 (Riil 2009)
2009
Tanah (A)
Rp28.515.347.224
Rp39.636.332.641
Rp1.079.848.646.536
Peralatan dan Mesin (B)
Rp84.048.243.379
Rp116.827.058.297
Rp381.249.387.731
Gedung dan Bangunan (C )
Rp90.735.991.199
Rp126.123.027.767
Rp783.802.294.834
Rp119.940.000
Rp166.716.600
Rp7.552.190.797
Rp1.090.567.869
Rp1.515.889.338
Rp27.759.651.231
Jalan Irigasi dan Jaringan (D) Aset tetap lain (E) Konstruksi dalam Pengerjaan (F)
Rp483.906.252.738
Total (A+B+C+D+E+F)
Rp204.510.089.671
Rp284.269.024.643
Rp2.764.118.423.867
Sub-Total (A+B+C+E)
Rp204.390.149.671
Rp284.102.308.043
Rp2.272.659.980.332
Sumber: BPK (2009), diolah 163
Untuk menilai besarnya biaya pendirian kantor perwakilan di daerah-daerah, informasi dari BPK akan digunakan untuk membangun estimasi biaya pendirian kantor perwakilan tersebut. Tabel 7.5. menunjukkan peningkatan aset BPK dari tahun 2004 hingga tahun 2009. Peningkatan aset BPK yang cukup drastis terjadi karena, sesuai amanat konstitusi, BPK diwajibkan beroperasi tidak saja tingkat pusat namun juga daerah dan memiliki kantor-kantor perwakilan di daerah-daerah. Jika di tahun 2004 hanya ada tujuh kantor perwakilan BPK di seluruh Indonesia, pada tahun 2009 tercatat 33 kantor perwakilan BPK. Nilai aset BPK di tahun 2004 adalah sekitar Rp204,51 miliar. Didasarkan pada harga 2009, maka nilai aset riil BPK pada tahun 2004 tersebut adalah Rp284,27 miliar. Pada tahun 2009 nilai aset BPK membengkak menjadi Rp2,764 triliun. Untuk menghitung biaya pendirian perwakilan di daerah, maka hanya nilai tanah (A), nilai peralatan dan mesin (B), nilai gedung (C) dan nilai aset tetap lain (E) yang relevan untuk diperhitungkan. Jika nilai subtotal komponen (A+B+C+E) di tahun 2009 dikurangi dengan komponen aset yang sama di tahun 2004 dengan harga konstan 2009, maka nilai peningkatan aset adalah sebesar Rp 1.888.557.572.289 (atau Rp2.272.659.980.332 - Rp284.102.308.043). Selama periode 20042009 terjadi peningkatan jumlah perwakilan sebanyak 26 kantor perwakilan. Didasarkan pada estimasi di atas, tidak dapat diasumsikan bahwa semua peningkatan aset terjadi karena pembukaan perwakilan baru. Hal ini terjadi karena peningkatan aset juga terjadi akibat perbaikan dan pemutakhiran sarana maupun prasarana di kantor pusat BPK. Jika digunakan scenario konservatif dimana diasumsikan bahwa dari jumlah peningkatan aset tersebut 80% diantaranya dialokasikan untuk pembukaan kantor perwakilan baru. Dengan scenario tersebut maka nilai pembangunan kantor perwakilan baru BPK senilai Rp1.510.846.057.831. Jika angka ini dibagi dengan 26 kantor perwakilan, maka untuk setiap pembangunan kantor perwakilan diperlukan dana antara Rp58,11 miliar. Biaya ini diasumsikan terdiri dari biaya pembebasan tanah, pembangunan gedung, pembelian kelengkapan kantor dan mobil untuk mendukung operasional.
164
Tabel 7.6: Estimasi Biaya Pembentukan dan Biaya Operasional OJK RUU
Jenis Pengeluaran Tetap Biaya Perwakilan OJK RUU Biaya Rekrutmen dan Pendidikan Awal Pengawas BI^ Pengawas Bapepam Pengawas Tambahan Biaya set up IT Sub Total (A) Jenis Pengeluaran Operasional per Tahun Biaya Training Karyawan di Dalam Negeri** Pengawas BI Pengawas Bapepam Pengawas Tambahan Biaya Training Karyawan ke Luar Negeri** Pengawas BI Pengawas Bapepam Pengawas Tambahan^^ Biaya operasional dan perawatan IT* Biaya gaji** Pengawas BI
Biaya Per Unit Rp58,11 miliar
Unit Skenario Rendah 155
Skenario Tinggi 310
Skenario Rendah Rp9.007 miliar
Skenario Tinggi Rp18.014 miliar
Rp50 juta Rp50 juta
0 0
359 0
0 0
Rp17,95 miliar 0
Rp50 juta Rp1.800 miliar
8650 1
17301 1
Rp432,50 miliar Rp1.800 miliar Rp11,240 triliun
Rp865,05 miliar Rp1.800 miliar Rp 20,697 triliun
Rp25 juta Rp25 juta
1,437 863
1,437 863
Rp35,93 miliar Rp21,58 miliar
Rp35,93 miliar Rp21,58 miliar
Rp25 juta
8650
17301
Rp216,25 miliar
Rp432,53 miliar
Rp50juta Rp50juta Rp50juta
30 18 463
30 18 926
Rp1,50 miliar Rp0,900 miliar Rp23,15 miliar
Rp1,50 miliar Rp0,900 miliar Rp46,30 miliar
Rp180 miliar
1
1
Rp180 miliar
Rp180 miliar
Rp765 juta Rp765 juta
1,437
1,437
Rp1.100Triliun
Rp1.100Triliun
863
863
Rp660,61 miliar
Rp660,61 miliar
8650
17301
Rp6.621,82 miliar
Rp13.243,63 miliar
1,437
1,437
Rp200 miliar
Rp200 miliar
863
863
Rp120 miliar
Rp120 miliar
8650
17301
Rp1.203,90 miliar
Rp2.407,93 miliar
155
310
Rp900,55 miliar Rp11,286 triliun
Rp1.801 miliar Rp20, 252 triliun
Pengawas Bapepam
Total Biaya
Rp765 juta Pengawas Tambahan^^ Biaya Operasional Pengawasan** Pengawas BI
Rp139 juta Rp139 juta
Pengawas Bapepam Rp139 juta Pengawas Tambahan^^ Biaya Perawatan Sarana dan Prasarana* Sub Total (B)
Rp5,81 miliar
Keterangan: *) Diasumsikan biaya perawatan adalah 10% per tahun dari total biaya pembangunan kantor perwakilan. **) Biaya gaji rata-rata bagi pengawas Bapepam dan pengawas tambahan di OJK versi RUU OJK disamakan dengan pengeluaran BI untuk memenuhi incentive compatibility dan participation constraint ^) Pada skenario rendah diasumsikan semua pengawas BI bersedia dipindahkan statusnya sebagai pegawai OJK versi RUU OJK. Pada kasus tinggi, diasumsikan 20% pengawas BI tidak bersedia bergabung sebagai pengawas OJK versi RUU OJK ^^) Pengawasan di LKNB Mikro akan disamakan dengan BPR skala kecil. Khusus untuk LKNB mikro diasumsikan satu pengawas menangani antara lima hingga 10 LKNB. Jumlah LKNB Mikro adalah 86.504 (data koperasi tidak diperoleh dan data BMT berdasarkan data tahun 2006) ~) Didasarkan pada pengeluaran Bank Mandiri ketika merger.
165
Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam modeling estimasi biaya pembentukan dan biaya operasional OJK versi RUU OJK di atas adalah sebagai berikut: 1. Beban pengawas LKNB disamakan dengan beban pengawas LKB. Asumsi ini mungkin terlalu keras dan kurang membumi, namun hingga saat ini belum ada penelitian yang mengestimasi beban riil pengawas baik untuk LKB maupun LKNB. Jenis usaha LKNB yang sangat bervariatif tentunya masing-masing memiliki keunikan sendiri-sendiri sehingga beban kerja pengawasan untuk setiap jenis LKNB tentu berbeda. 2. Biaya rekrutmen dan pendidikan pengawas tambahan pada scenario tinggi diasumsikan bahwa 20% dari total pengawas BI tidak akan bergabung ke OJK. Asumsi ini adalah konservatif, karena keinginan pengawas BI untuk bergabung ke OJK sangat ditentukan oleh persepsi subyektif dari masing-masing pengawas dalam melihat proses penyatuan tersebut. Apabila proses penyatuan ini dianggap sebagai hal sarat dengan ketidaktentuan (uncertainty) atau pengawas BI memiliki status quo bias, maka kemungkinan untuk bergabung ke RUU akan cenderung kecil. 3. Biaya penyusutan bangunan dan juga IT diasumsikan 10% per tahun. Angka ini cenderung
konservatif
karena
berdasarkan
KepMen
Kimpraswil
Nomor
332/KPTS/M/2002 untuk perawatan kerusakan ringan biayanya maksimal adalah 30% dari harga satuan tertinggi pembangunan baru. 4. Biaya pembangunan system IT menggunakan biaya yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri ketika melakukan merger sebesar US$200 juta. Jika digunakan asumsi kurs yang konservatif sebesar Rp9.000 per US$1, maka nilai pembangunan system IT OJK sebesar Rp1,8 triliun. Ketika proses merger Bank Mandiri, bank-bank umum yang kemudian membentuk Bank Mandiri sebenarnya telah memiliki perangkat keras dan lunak. Penggabungan sistem di Bank Mandiri cenderung pada penggabungan system dan bukan pengadaan perangkat keras IT. Pada sistem IT OJK, tidak saja perangkat lunak baru yang dibutuhkan namun juga perangkat keras untuk menciptakan network untuk 155-310 kantor perwakilan. 5. Biaya gaji rata-rata bagi pengawas Bapepam dan pengawas tambahan di OJK nantinya diasumsikan sama dengan pengeluaran BI rata-rata untuk pengawasan. Asumsi ini digunakan untuk untuk memenuhi incentive compatibility dan participation constraint karena terjadi penggabungan pengawas dari berbagai instansi.
166
Apabila biaya gaji di OJK tidak disetarakan dengan pengawas BI, maka akan lebih sulit mengharapkan bagi pengawas BI untuk bergabung menjadi pengawas OJK.
Tabel 7.6. menunjukkan rekapitulasi biaya pendirian OJK versi RUU OJK. Biaya pengalihan pengawasan dari BI ke OJK menelan biaya sebesar Rp 11,240 triliun hingga Rp20,697 triliun. Hal ini masih ditambah biaya operasional antara Rp 11,286 triliun hingga Rp20,252 triliun per tahun. Patut dicatat bahwa hasil estimasi ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam RUU OJK. Tentunya hasil estimasi ini akan berbeda jika terjadi perubahan dalam isi RUU OJK, misalnya bahwa OJK RUU hanya mengawasi seluruh LKB dan LKNB skala non-mikro, misalnya. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa beban kerja pengawas LKB diasumsikan sama dengan beban kerja pengawas LKNB. Estimasi biaya pengawasan tentunya akan berbeda jika digunakan asumsi yang berbeda, yaitu misalnya beban kerja pengawas LKB lebih besar daripada beban pengawas LKNB. Pertanyaan yang diajukan selanjutnya adalah darimana sumber biaya pembentukan OJK berasal? Jika biaya pembentukan dan operasional tahun pertama dibebankan pada APBN 2011, maka beban biaya tambahan ke RAPBN 2011 adalah sebesar Rp22,526 triliun – Rp40,949 triliun atau proporsinya mencapai 1,87%-3,40% (dengan asumsi RAPBN 2011 Rp1.204 triliun). Proporsi ini relatif besar, sebagai perbandingan: (1) proporsi gaji dan tunjangan terhadap APBN 2010 mencapai 7,4%; (2) proporsi anggaran departemen kesehatan terhadap APBN 2010 sebesar 2%; (3) proporsi subsidi pupuk dan benih terhadap APBN 2010 sebesar 1,3%; (4) proporsi subsidi pangan terhadap APBN 2010 sebesar 1,2%; (5) proporsi subsidi obat generik terhadap APBN 2009 sebesar 0,034% (Departemen Keuangan, 2010). Alternatif kedua adalah pembiayaan dari utang. Namun, alternatif ini patut ditinjau ulang karena penambahan utang Indonesia pada tahun 2010 mencapai Rp48 triliun. Rentang penambahan utang Indonesia dari selama tahun 2006-2009 adalah Rp13,3-Rp46,9 triliun. Apabila asumsi utang tahun 2011 sama dengan tahun 2010 dan ditambah biaya pembentukan OJK, utang Indonesia akan meningkat antara 30,03%-54,60% pada tahun 2011 mencapai sekitar Rp75 triliun. Jumlah tersebut pun jauh dari rentang utang yang pernah diambil oleh Indonesia.
167
Gambar 7.2. Total Utang dan Penambahan Utang (miliar rupiah) .
Sumber: Debt Management Office Indonesia (2010)
7.4. Mungkinkah Biaya OJK RUU Ditanggung Lembaga Keuangan? Di dalam RUU OJK disebutkan bahwa selama masa transisi, biaya pembentukan OJK ditanggung oleh BI dan Bapepam LK melalui APBN. Namun demikian setelah OJK beroperasi dengan penuh, maka beban pembiayaan tidak lagi akan bersumber dari APBN namun akan dibayar oleh pihak lembaga keuangan. Argumentasi dari kebijakan ini adalah bahwa lembaga keuangan tentunya menerima keuntungan dari praktik bisnis dan adanya pengawasan oleh OJK akan meningkatkan stabilitas di sektor keuangan. Dengan demikian, karena lembaga keuangan akan menerima manfaat langsung dari sistem pengawasan ini, maka adalah rasional jika lembaga-lembaga keungan itulah yang membayar biaya pengawasan ini. Logika yang digunakan dalam argumen di atas sekilas mirip dengan logika pembayaran premi penjaminan yang ditarik oleh LPS kepada pihak perbankan. Namun demikian ada perbedaan yang sangat mencolok antara premi LPS dengan iuran OJK versi RUU OJK.Tidak dipungkiri bahwa apapun jenis iuran yang dikenakan kepada suatu lembaga keuangan, pastilah terdapat upaya untuk mengalihkannya kepada nasabah. Hal ini telah terjadi pada kasus pajak dan analisis beban pajak (tax incidence) selalu menekankan pada siapa yang 168
sebenarnya menanggung beban pajak/iuran? Pemerintah atau otoritas bisa saja membebankan pajak atau iuran kepada perusahaan, namun perusahaan pastilah akan berusaha mentransfer beban tersebut, seleruhnya maupun sebagaian, kepada konsumen. Premi LPS dibebankan kepada bank-bank umum dan BPR sejumlah proporsi tertentu dari nilai uang yang disimpan di lembaga perbankan tersebut. Kalaupun toh premi ini dialihkan sepenuhnya kepada nasabah misalnya, maka hal inipun tidak akan merugikan pihak nasabah. Mengapa? Alasannya cukup jelas, yaitu adalah dengan terbebani premi LPS, para nasabah tidak akan keberatan karena uangnya yang ada di bank ditanggung oleh LPS, baik seluruhnya (bagi nasabah kecil) maupun sebagian (bagi nasabah besar). Untuk kasus iuran OJK versi RUU OJK, logika yang berlaku pada pembayaran premi LPS tidak bisa diterapkan. Iuran ke OJK pasti akan dialihkan dibeban pembayarannya oleh lembaga-lembaga keunagan, melalui berbagai cara, kepada para nasabah mereka. Jika ini dilakukan, maka akan terdapat berbagai kompleksitas terkait dengan cara pendanaan ini, yaitu: 1. Bagi para nasabah, apakah manfaat langsung yang mereka terima dengan adanya iuran tersebut? 2. Pengalihan iuran ke OJK akan meningkatkan biaya di lembaga keuangan, dengan demikian menurunkan competitiveness dari lembaga keuangan di Indonesia sendiri. 3. Bagi OJK, apakah penerimaan sumber dana dari lembaga keuangan yang diawasi tidak justru melemahkan posisi tawar dan independensi OJK terhadap lembaga keuangan yang mereka awasi sendiri? Apakah mekanisme ini tidak membawa dampak munculnya hubungan OJK dan lembaga-lembaga keuangan yang akhirnya bersifat transaksional dan cenderung menjurus ke penyalahgunaan? Teori yang dapat menjelaskan pemberlakuan iuran oleh OJK adalah theory of clubs. Pada awal kemunculannya, teori tersebut mempelajari ukuran optimal suatu kelompok yang mengkonsumsi barang atau jasa secara bersamaan dan penyediaan optimal dari barang dan jasa tersebut. Konsumsi barang atau jasa secara bersamaan dapat menciptakan economies of scale bagi penyedia. Di lain pihak, konsumsi tersebut menimbulkan biaya yang ditanggung bersama oleh kelompok tersebut. Manfaat dan biaya yang muncul dan ditanggung bersama merupakan sebuah network effects (Lacker, 2006). Dalam konteks sektor keuangan, lingkup lembaga keuangan saat ini menciptakan economies of scale bagi OJK dalam menjalankan kegiatan. Biaya yang timbul dari pengawasan sektor 169
keuangan akan ditanggung oleh lembaga keuangan. Namun, apa manfaat yang dapat diperoleh konsumen? Pertanyaan tersebut muncul karena besar kemungkinan konsumen ikut menanggung beban iuran lembaga keuanga kepada OJK. Konsumen dapat memperoleh manfaat apabila OJK tidak hanya bertindak sebagai pengawas namun juga sebagai LOLR. Fungsi LOLR identik dengan fungsi LPS sebagai penjamin deposito: OJK akan memberikan bantuan kepada lembaga keuangan yang mengalami permasalahan. Skema ini mengurangi moral hazard dari sisi OJK yaitu OJK akan mengawasi setiap lembaga dengan effort maksimal tanpa memperhatikan besarnya fee dari masingmasing lembaga. Manfaat yang diperoleh konsumen adalah meminimisasi risiko kegagalan lembaga keuangan akibat kesalahan struktural maupun sistemik. Fakta yang ada saat ini, lembaga pengawas sebagian besar dibiayai oleh industri yang diawasi. PA Consulting Group atau PACG (2009) melaporkan bahwa sebagian besar lembaga pengawas sektor keuangan di negara yang tergabung dalam G20 dibiayai oleh industri keuangannya. APRA (Australia), AMF (Perancis), BRSA (Turki), BaFin (Jerman), SB (Afrika Selatan), FSC (Korea Selatan) dibiayai oleh industri keuangan. Proporsi pembiayaan lembaga pengawas yang diambil dari 108 sampel adalah: industri (56%), pemerintah (22%), campuran (16%), dan tidak disebutkan (6%). Jika OJK membebankan biaya pengawasan ke industri keuangan, OJK perlu menyusun mekanisme pendanaan yang sedemikian rupa untuk meminimalisasi penyalahgunaan. Mekanisme tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik industri keuangan di Indonesia. Usulan tersebut merujuk pada laporan PACG (2009) yang menjelaskan bahwa setiap negara menganut mekanisme pendanaan yang berbeda. Tabel 6.7 menjelaskan berbagai mekanisme pendanaan lembaga pengawas sektor keuangan. Tabel 7.7. Model Mekanisme Pendanaan1 Model
Karakteristik
Basis Transaksi
Fee pengawasan didasarkan pada jenis transaksi pada industri keuangan tertentu: fixed fee atau % dari nilai transaksi
Basis alokasi biaya
Fee pengawasan didasarkan pada biaya yang dikeluarkan OJK untuk mengawasi suatu industri
Basis tetap tahunan
Fixed fee dibebankan kepada lembaga di suatu pasar tanpa memerhatikan ukuran lembaga tersebut
Basis volume tahunan
Fee berdasarkan volume transaksi suatu lembaga dalam satu tahun
170
Basis jasa inti
OJK membebankan fee berdasarkan biaya jasa pengawasan inti yang dilaksanakan di suatu lembaga
Basis risiko
Fee dibebankan berdasarkan profil risiko suatu lembaga
Pendapatan denda
Biaya OJK ditutup oleh pemasukan denda pelanggaran peraturan industri keuangan
Pendapatan dari aktivitas lain
Biaya OJK ditutup oleh pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan lain, misalnya pelatihan
Sumber: diolah dari PACG (2009) 1 Lihat Lampiran 1 untuk kemanfaatan dan kompleksitas dari masing-masing model
Model pendanaan yang paling banyak diaplikasikan adalah basis tetap tahunan.Lembaga keuangan membayar biaya pengawasan berdasarkan volume transaksi yang terjadi dalam satu tahun. Model pendanaan lain yang banyak dianut adalah basis jasa inti dan pendapatan dari aktivitas lain (Gambar 7.3). Gambar 7.3. Model Pendanaan Lembaga Pengawas Keuangan
Sumber: PACG (2009); sampel 108 lembaga pengawas.
Berbagai model di atas memiliki kemanfaatan dan kompleksitas. Kajian mengenai model pendanaan yang sesuai untuk Indonesia, yaitu model yang meminimalisasi penyalahgunaan, perlu dilakukan. Kajian tersebut patut menganalisis berbagai hal sebagai berikut. Pertama, manfaat yang diperoleh konsumen (nasabah) terkait pendanaan OJK oleh industri keuangan. Kedua, sejauh mana industri akan membebankan biaya OJK ke konsumen (nasabah). Ketiga, willingness to pay atau ability to pay dari setiap industri keuangan khususnya industri keuangan skala kecil. Keempat, tahapan skema pendanaan untuk masing-masing industri
171
karena setiap industri memiliki lingkup, kegiatan, dan keterkaitan yang berbeda. Kelima, fungsi OJK sebagai lender of the last resort. 7.5. Biaya Pengalihan ke Usulan Skema I dan II OJK Beberapa hal yang teridentifikasi di atas adalah kompleksitas yang ada terkait dengan rencana pembebanan biaya operasional OJK versi RUU OJK kepada pihak lembaga keuangan. Diperlukan kajian yang mendalam terkait dengan potensi biaya transisi sistem pengawasan ke OJK dan sistem pendanaan untuk membiayai OJK di masa datang. Biaya transisi maupun jangka panjang dari usulan Skema I dan II OJK relatif lebih murah dibandingkan biaya peralihan ke OJK versi RUU OJK. Meski pada Skema I OJK, salah satu tugas OJK tetap melakukan supervisi terhadap business conducts baik di perbankan maupun non-perbankan, namun biaya resiko kerentanan perekonomian dari krisis serta biaya jangka panjang tidak akan terjadi. Skema II OJK menawarkan biaya peralihan yang paling ekonomis, karena pada dasarnya pengawasan perbankan sepenuhnya tetap dilakukan oleh BI, sementara Bapepam-LK perlu ditingkatkan kewenangannya untuk mengawasi semua lembaga non-perbankan. Skema II OJK tidak akan menyebabkan tacit knowledge yang selama ini telah terbangun di bagian pengawasan BI akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali (hal yang sama berlaku bagi biaya jangka panjang lainnya). Peningkatan kewenangan Bapepam-LK dan peningkatan transparansi sistem pengawasan perbankan di BI tentu akan menyebabkan peningkatan biaya. Meski demikian hal ini bisa dilakukan secara bertahap dan yang paling penting selama proses transisi tersebut kerentanan perekonomian terhadap krisis tidak akan meningkat akibat peralihan sistem pengawasan tersebut.
172
Tabel 7.8. Perbandingan OJK menurut RUU OJK dengan Skema II OJK Menurut RUU •
Kendala besarnya biaya pembentukan lembaga baru: biaya transisi, biaya jangka panjang, biaya operasional, dan biaya sumberdaya
Skema II •
Minimalisasi kendala biaya: peningkatan biaya terjadi karena peningkatan transparansi dan akuntabilitas kinerja
•
Bapepam-LK tetap akan mengeluarkan biaya untuk meningkatkan lingkup pengawasan industri keuangan nonbank seperti BMT dan koperasi yang jumlahnya sangat banyak.
•
Kendala waktu peralihan lembaga: transisi memerlukan waktu yang lama
•
Kendala waktu minimal: BI dan Bapepam-LK menginvestasikan waktu untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerjanya.
•
Kendala pembangunan sistem informasi yang baru
•
BI dan Bapepam-LK hanya memerlukan koordinasi sistem informasi untuk integrasi informasi dan data, tanpa membangun sistem informasi baru
•
Kendala pengalihan sumberdaya manusia: biaya • adaptasi SOP baru dan berkurangnya (atau hilangnya) tacit knowledge khususnya staf pengawas perbankan Bank Indonesia
Potensi perpindahan sumberdaya manusia minimal
•
Kendala pembiayaan operasional OJK: perlu kajian mendalam mengenai sumber dan mekanisme pendanaan
•
Sumber dan mekanisme pendanaan sesuai prosedur yang telah berlaku
•
Kendala risiko krisis pada saat masa transisi: posisi pengawasan belum mantap sehingga overview sektor keuangan masih lemah dan rentan terhadap ancaman krisis
•
BI dan Bapepam-LK memiliki waktu untuk memperkuat kelembagaan dan sumberdaya untuk menghindari risiko krisis
Satu hal yang pasti akan membebani baik BI maupun Bapepam-LK terkait dengan Skema II OJK adalah biaya pembangunan sistem IT yang mampu menghubungkan server antara BI dan Bapepam-LK. Data sharing dan data interfacing tidak saja membutuhkan perangkat keras maupun perangkat lunak yang memunginkan kedua server terhubung dan beroperasi bersama. Lebih dari itu data sharing dan data interfacing membutuhkan juklak/SOP dan bahkan mungkin adanya MOU atau payung hukum yang lebih tinggi misalnya UU. Namun demikian, apapun bentuk OJK yang nantinya akan dibuat, pengeluaran akibat data sharing dan data interfacing tidak akan terhindarkan.
173
Bab 8: Kesimpulan dan Saran 8.1 Kesimpulan 1. Pengawasan lembaga keuangan bank dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa
selama
tahun
2004-2009,
hasil
investigasi
pelanggaran
perbankan
menunjukkan bahwa jumlah pelanggaran perbankan sebanyak 1.139 kasus dengan jenis pelanggaran meliputi masalah perkreditan, pendanaan, rekayasa laporan, biaya fiktif, dan penggelapan. 2. Pengawasan lembaga keuangan non-bank dan pasar modal dilakukan oleh BapepamLK dengan menerapkan sistem pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision). Selama tahun 2006-2008, jumlah perusahaan dan emiten yang didenda mengalami peningkatan. Misalnya, jumlah emiten saham mencapai 499 pada tahun 2008 sedangkan jumlah emiten yang didenda mencapai 212 (42,5%). Jumlah perusahaan efek yang didenda selama tahun 2008 bahkan mencapai 237 walaupun jumlah perusahaan efek hanya 158. Angka tersebut menunjukkan bahwa satu perusahaan efek melakukan pelanggaran dengan rerata 1,5 pada tahun 2008 3. Penentuan pendekatan lembaga pengawas di setiap perekonomian bergantung pada situasi sektor keuangan di setiap perekonomian. Terdapat empat jenis pendekatan yang telah didirikan oleh negara-negara di dunia antara lain pendekatan institusi, fungsional, terpadu (integrated), dan twin peaks. Sistem pengawasan institusional, fungsional
dan
terpadu
(integrated)
cenderung
meningkatkan
kerentanan
perekonomian terhadap krisis karena sistem pengawasan dilakukan oleh banyak lembaga pada sistem pengawasan institusional dan fungsional, sedangkan pada sistem terpadu (integrated) menunjukkan adanya sentralisasi pengawasan yang menciptakan beban kerja yang sangat berat bagi lembaga pengawas. Dalam pendekatan twin peaks, fungsi pengawasan bank sentral dalam pendekatan ini cenderung kabur khususnya pada kasus bank sentral tidak diberikan tugas pengawasan salah satu sektor keuangan seperti perbankan 4.
Struktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diusulkan oleh RUU OJK identik dengan struktur FSA di Britania Raya yang terbukti gagal dalam melaksanakan fungsinya. Selain itu, struktur ini mengalihkan fungsi pengawasan sektor perbankan dari BI ke OJK sehingga memerlukan biaya yang sangat besar terkait dengan sumber 174
daya manusia dan teknologi serta membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, struktur ini belum menimbang pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan membutuhkan waktu lama guna pembentukan OJK daerah. 5. Peningkatan kewenangan Bapepam-LK dan peningkatan transparansi sistem pengawasan perbankan di BI tentu akan menyebabkan peningkatan biaya, yang meliputi
biaya
pembangunan
sistem
IT.
Namun
sistem
tersebut
mampu
menghubungkan server antara BI dan Bapepam-LK sehingga kebutuhan akan data sharing dan data interfacing dapat terpenuhi. 6. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa individu Indonesia cenderung untuk bersikap rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan desain payoffs tertentu, sebagian besar lebih memilih strategi B atau tidak mau berkoordinasi. Walaupun strategi ini merupakan Nash Equilibrium, dampaknya tidak optimal bagi masyarakat secara umum karena setiap pemain lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. 7. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa pemain memberikan respon yang berbeda seiring perubahan payoffs. Fakta tersebut menjelaskan bahwa biaya koordinasi di Indonesia tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa pemberlakuan framing effects memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemain secara signifikan. 8.2 Saran 1. Dengan melihat keadaan sektor keuangan di Indonesia, lembaga pengawasan perbankan sebaiknya tetap dilaksanakan oleh BI sedangkan pengawasan pasar modal dan IKNB dilaksanakan oleh OJK yang dikembangkan dari lembaga Bapepam-LK yang telah ada dan berjalan. Argumennya adalah biaya yang besar dan waktu transisi yang lama. Namun, argumen yang lebih utama adalah pencegahan risiko krisis yang disebabkan oleh pengawasan yang nonoptimal pada saat masa transisi. 2. Struktur BI dan OJK yang telah ada dipertahankan. BI yang telah memiliki tenaga ahli pengawasan dan teknologi meningkatkan transparansi dalam hal pengawasan, terutama transparansi pelanggaran. Di lain pihak, OJK diharapkan terus membangun sistem pengawasan lembaga keuangan nonbank yang mapan dan komprehensif, artinya teknik dan sumberdaya pengawasan satu industri berbeda dengan industri lainnya. OJK juga diharapkan terus meningkatkan lingkup pengawasan terhadap
175
lembaga keuangan nonbank, terutama koperasi dan lembaga keuangan mikro yang belum memiliki sistem pengawasan. 3. BI dan OJK membangun sistem informasi sebagai sarana koordinasi dan penyusunan kebijakan bersama. Sistem informasi tersebut menjadi prioritas utama menghindari risiko krisis yang timbul karena kegagalan antisipasi dan miskoordinasi lembaga pengawas. Selain itu, BI, OJK, Kementrian Keuangan, dan LPS patut menyepakati fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam kerangka koordinasi untuk meningkatkan transparansi koordinasi. 4. BI dan OJK, maupun BI dan Kementrian Keuangan memainkan pure coordination game. Implikasinya, kedua lembaga menyusun kebijakan koordinasi. Pada permainan tersebut, koordinasi kedua lembaga ditujukan untuk kemanfaatan masyarakat secara keseluruhan tanpa ada insentif untuk mengutamakan kepentingan masing-masing lembaga.
176
Referensi Abrams, R. dan Taylor, M.W., 2000, “Issues in the Unification of Financial Sector Supervision,” International Monetary Fund Working Paper, 213. Ashari, 2006, “Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya,” Analisis Kebijakan Pertanian, 4:2, hal. 146-164, diakses Juni 2010 dari pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART4-2c.pdf. Australian Prudential Regulation Authority (APRA), 2009, “Annual Report 2009,” diakses Juli 2010 dari http://www.apra.gov.au/AboutAPRA/Annual-Report-2009.cfm _____________, 2004a, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia,” diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01A030-454A-BC75-9858774DF852/13447/uu_bi_no0304.pdf ____________, 2004b, Laporan Pengawasan Perbankan 2004, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi _____________, 2005, Laporan Pengawasan Perbankan 2005, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi _____________, 2007, Booklet Perbankan Indonesia 2007,Vol. 4. _____________, 2009, Laporan Pengawasan Perbankan 2008, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/Laporan+P engawasan+Perbankan/LPP_2008_17042008.htm _____________, 2010a, Laporan Keuangan Publikasi Bank, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Keuangan+Publikasi+Bank/Bank/Bank +Umum+Konvensional/ _____________, 2010b, Laporan Pengawasan Perbankan 2009, diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/Laporan+P engawasan+Perbankan/lpp_2009.htm Bank Indonesia, 2010c, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank,” diakses dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasa n+Bank/Tujuan+dan+Kewenangan. _____________, 2010d, “Tujuan dan Tugas Bank Indonesia,” diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/ _____________, 2010e, “Statistika Perbankan Indonesia April 2010,” diakses Juni 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbankan+Indonesi a/spi_0410.htm
v
_____________, 2010f, Dinamika Transformasi Pengawasan Bank di Indonesia, Humas Bank Indonesia: Jakarta. Banque de France, 2010, “Presentation of the French Prudential Supervisory Authority.” Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2007, “Agenda Strategik: Pusdiklat Pegawai Badan Pemeriksaa Keuangan.” Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2010, “Bidang Tugas Pimpinan BPK RI,” diakses Juli 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?page_id=41 Bank
Mandiri, 2001, “Annual Report 2001,” diakses Juli www.bankmandiri.co.id/english/corporate01/pdf/202826836886.pdf.
2010
dari
Bapepam-LK, 2009, Laporan Tahunan 2008, diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/annual_report/AR-BAPEPAM-LK_2008.pdf Bapepam-LK, 2010, “Pengawasan Lembaga Keuangan,” diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/p3/index.htm Barth, J.R., D.E. Nolle, T. Phumiwasana, G. Yago, 2002, “A Cross-Country Analysis of the Bank Supervisory Framework and Bank Performance,” Economic and Policy Analysis Working Paper, 2002. Barth, J.R., G. Caprio Jr., R. Levine, 2004, “Bank Regulation and Supervision: What Work Best?” Journal of Financial Intermediation, 13, 2005-248. Barth, R. James, D.E. Nolle, T. Phumiwasana, and G. Yago, 2002, “A Cross Country Analysis of the Bank Supervisory Framework and Bank Performance”. Economic and Policy Analysis Working Paper, 2002-2. Bernanke, B., 2010, “The Federal Reserve’s Role in Bank Supervision,” diakses April 2010 dari http://www.federalreserve.gov/newsevents/testimony/bernanke20100317a.htm Binmore, K. G., 1987, “Modeling Rational Players I,” Economics and Philosophy, 3, 179-214 Biro Dana Pensiun, 2009, Laporan Tahunan Dana Pensiun 2008, diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/dana_pensiun/publikasi_dp/annual_report_dp/Laptah2008/la ptahdapen2008.pdf Biro
Perasuransian, 2008, Perasuransian Indonesia, diakses Mei 2010 dari http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/others/Perasuransian_Indonesia_2008_part1.pdf
Blanchard, O., G. Dell’Ariccia, P. Mauro, 2009, “Rethinking Macroeconomic Policy,” International Monetary Fund Staff Position Note, 03. Borio, C., 2009, Ímplementing the Macroprudential Approach to Financial Regulation and Supervision,” Banque de France: Financial Stability Review No. 13. Briault, C., 1999, “The Rationale for a Single National Financial Services Regulator, FSA Occasional Paper, 2, diakses dari www.fsa.gov.uk/pubs/occpapers/OP02.pdf Brunnermeier, M., A. Crockett, C. Goodhart, A. Persaud, and H.S. Shin, 2009, “The Fundamental Principles of Financial Regulation,” Geneva and London: International vi
Center for Monetary and Banking Studies (ICMB), and Centre for Economic Policy Research (CEPR), London. Carmichael, J., 2002, “APRA-The Way Forward,” http://www.apra.gov.au/speeches/02_12.cfm
diakses
Juli
2010
dari
Cervellati, E.M., dan E. Fioriti, 2007, “Financial Supervision in EU Countries,” working paper, diakses Mei 2010 dari http://www.efmaefm.org/0EFMAMEETINGS/EFMA%20ANNUAL%20MEETINGS/2 007-Vienna/Papers/0522.pdf Chowdhury, A., 2010, “Financial Sector Regulation in Developing Countries: Reckoning After the Crisis,” diakses Mei 2010 dari http://www.ideaswebsite.org/featart/feb2010/Anis_Chowdhury.pdf Coleman, W.D., 1996, “Financial Services, Globalization and Domestic Policy Change,” hal. 67, Macmillan Press Ltd, London dalam Lukman Hakim dkk, 2003, “Studi Dasar-Dasar Ekonomi Politik OJK,” Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI Cole, D.C. dan B.S. Slade, 1996, “Building A Modern Financial System: The Indonesian Experience,” Cambridge University Press, New York dalam Lukman Hakim dkk, 2003, “Studi Dasar-Dasar Ekonomi Politik OJK,” Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI Cooper et.al, 1991, “Selection Criteria in Coordination Games: Some Experimental Results,” Games Econ. Behav. 3, 25-59 Cooper et.al, 1996, “Cooperation Without Reputation: Experimental Evidence from Prisoner’s Dilemma Games,” Games Econ. Behav, 12, No. 0013, 187-218 Crockett, A., 2001, “Banking Supervision & Regulation: International Trends,” diakses April 2010 dari www.bis.org/speeches/sp010330.htm Debt Management Office, 2010, “Perkembangan Utang Negara,” diunduh Juli 2010 dari http://www.dmo.go.id. Demaestri, E. dan F. Guerrero, 2002, “The Rationale for Integrating Financial Supervision in Latin America and the Carribean,” diakses Juni 2010 dari http://www.aaep.org.ar/espa/anales/PDF_03/Demaestri_Guerrero.pdf Departemen Keuangan, 2010, “Data Pokok APBN 2005-2010,” diunduh Agustus 2010 dari www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/datapokok-ind2010.pdf. Deposit Insurance Corporation Japan, 2010, “Scheme for Special Crisis Management,” diakses Juni 2010 dari http://www.dic.go.jp/ english/e_katsudou/e_katsudou2-4.html Enrich, D. dan L. Norman (2010), “U.K. Shakes Up Its Bank Regulation: Once-Proud FSA Will Be No More, Folded Into Other Entities; More Power for Central Bank,” diakses Juni 2010 dari http://online.wsj.com/article/SB10001424052748704198004575310451098811086.html vii
European Central Bank, 2001, “The Role of Central Banks in Prudential Supervision,” diakses Mei 2010 dari www.ecb.int/pub/pdf/other/prudentialsupcbrole_en.pdf Financial Services Agency Japan, 2010, “The Organization of the FSA,” diakses Juni 2010 dari www.fsa.go.jp/en/index.html Goodhart, C.A.E., 2000, “The Organisational Structure of Banking Supervision”. FSI Occasional Papers No. 1 – November 2000-10-25. Goodhart, Charles dan Schoenmaker, Dirk, 1995, “Should the Functions of Monetary Policy and Banking Supervision Be Separated?,” Oxford Economic Papers, Oxford University Press, Vol. 47(4) pp. 539-60 Grenville, Stephen, 2005, “Financial Sector Supervision: What We Have Learned So Far,” diakses Agustus 2010 dari www.oecd.org/dataoecd/12/54/35497307.pdf Group of Thirty, The Structure of Financial Supervision : Approaches and Challenges in Global Market Place, January 2009 G30 Financial Regulatory Systems Working Group, 2008, The Structure of Financial Supervision : Approaches and Challenges in Global Market Place Grunbichler, A. dan P. Darlap, 2003, “Regulation and Supervision of Financial Markets and Institutions: A European Perspective,” diakses Juni 2010 dari www.fep.up.pt/disciplinas/pgaf924/.../Texto_7_Grunbichler_Darlap.pdf Guardian, 2009, “David Cameron Unveils Plan to Scrap Financial Watchdog,” diakses Mei 2010 dari http://www.guardian.co.uk/politics/2009/jul/20/david-cameron-financialregulation Gugler, P., 2005, “The Integrated Supervision of Financial Markets: The Case of Switzerland,” The Geneva Papers, 30, (128-143) Herring, R. J., dan J. Carmassi, 2008, “The Structure of Cross-Sector Financial Supervision,” Financial Markets, Institutions, and Instruments, 17, hal. 51-76. Hoenig, T. M., 2004, “Exploring the Macro-Prudential Aspects of Financial Sector Supervision,” Meeting for Heads of Supervision Bank for International Settlements Basel. Houben, A., J. Kakes, dan G. Schinasi, 2004, “Toward a Framework for Safeguarding Financial Stability,” IMF Working Paper, 04/101, diakses Juni 2010 dari www.ksri.org/bbs/files/research02/wp04101.pdf House of Lords, 2009, “Banking Supervision and Regulation,” Select Committee on Economic Affairs: 2nd Report Session 2008-2009. Ingves, S., 2007, “Housing and Monetary Policy: A View from an Inflation-Targeting Central Bank,” Paper dipresentasikan pada the Federal Reserve Bank of Kansas City Annual Conference on Housing, Housing Finance, and Monetary Policy, Jackson Hole, Wyoming diakses dari www.kansascityfed.org/publicat/sympos/2007/pdf/Ingves_0415.pdf viii
International Organization of Securities Commissions, 2010, “Ordinary Members of IOSCO,” diakses 27 Juni 2010 http://www.iosco.org /lists/display_members. cfm?memID=1&orderBy=none Ioannidou, V.P., 2003, “Does Monetary Policy Affect the Central Bank’s Role in Bank Supervision?” Journal of Financial Intermediation 14 (2005) 58-85. Jackson, James K., 2009, “Canada’s Financial System: an Overview,” Congressional Research Service Kashyap, Anil K, 2010, “ Testimony on “ Examining the Link between Fed Bank Supervision and Monetary Policy”, House Financial Services Committee, diakses Juli 2010 di http://www.house.gov/apps/list/hearing/financialsvcs_dem/kashyap.pdf Kawai, M. dan M. Pomerleano, 2010, “ Regulating Systemic Risk,” Asian Development Bank Institute, diakses Juni 2010 dari http ://ssrn.com/abstract=1581303 Kementrian Negara Koperasi dan UKM, 2009, “PP Simpan Pinjam Koperasi Segera Disempurnakan,” diakses Mei 2010 dari http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/659-pp-simpan-pinjam-koperasi-segeradisempurnakan.html Kompas, 2010, “Pembentukan OJK Tidak Tepat,” Kompas cetak 14 Juni 2010, hal. 19. Kreps, D., P. Milgrom, J. Roberts, and R. Wilson (1982), “Rational Cooperation in the Finitely Repeated Prisoner’s Dilemma,” Journal of Economic Theory, 17: 245‐252 Krivoy, R., 2000, “Reforming Bank Supervision in Developing Countries,” working paper, diakses Mei 2010 dari www.bos.frb.org/economic/conf/conf44/cf44_10.pdf de Larosiere Group, 2009, Report on Financial Supervision: High-Level Group on Financial Supervision in the EU (February), diakses Juni 2010 dari http:// www.ec.europa.eu/internal_market/finances/docs/de_larosiere_report_en.pdf. Lacker, J.M, 2006, “Central Bank Credit in the Theory of Money and Payments,” diakses Juli 2010 dari http://www.richmondfed.org/press_room/speeches/president_jeff_lacker/ 2006/lacker_speech_20060329.cfm. Levine, R., 1997, “Financial Development and Economic Growth: Views and Agenda,” Journal of Economic Literature, Vol. 35, 688-726. Llewellyn, D. T, 2006, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with Country Needs” tanggal 6 dan 7 Juni 2006, Washington DC Martinez, J.L. dan T.A. Rose, 2003, “International Survey of Integrated Financial Sector Supervision,” World Bank: Policy Sector Working Paper, 3096, diakses dari http://www.wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2003/08/23/0000 94946_03080904015686/Rendered/PDF/multi0page.pdf Mas-Colell, A., M. D. Whinston, J. R. Green, 1995, Microeconomic Theory, Oxford University Press, Oxford, UK ix
Mihalca, G., 2007, “The Relation between Financial Development and Economic Growth in Romania”. The 2nd Central European Conference in Regional Science, diakses Juni 2010 dari www.cers.tuke.sk/cers2007/PDF/Mihalca.pdf Mueller, Dennis C.,1983, The Political Economy of Growth, Yale University Press: New Haven Nasution, A., 2003, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda kedepan”. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar: 1418 Juli 2003. Nier, E.W., 2009, “Financial Stability Frameworks and The Role of Central Banks: Lessons From the Crisis,” International Monetary Fund Working Paper, 09/70, diakses Mei 2010 dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2009/wp0970.pdf PA Consulting Group, 2009, Financial Services Authority: Researching Regulatory Funding Models, diakses Juli 2010 dari www.fsa.gov.uk/pubs/other/reg_funding.pdf. Peek, J., E.S. Rosengren, dan G.M.B. Tootell, 1999, “Is Bank Supervision Central to Central Banking?,” The Quarterly Journal of Economics, CXIV(2), pp. 629-653 Pegadaian, 2010, Laporan Tahunan 2009, http://www.pegadaian.co.id/k.annual.php?uid=
diakses
Mei
2010
dari
Pemerintah Republik Indonesia, 2010, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan: Jakarta. Pradiptyo, R., 2006, “Does Punishment Matter? A Refinement of the Inspection Game,” German Working Papers in Law and Economics: Vol. 2006: Article 9 diakses dari http://www.bepress.com/gwp/default/vol2006/iss1/art9 Pradiptyo, R., 1998, “Experimental Test of Interlinked-Prisoner’s Dilemma: Incorporating Fairness in Public Choice Theory,” MSc Dissertation, unpublished, Department of Economics and Related Studies, University of York, UK Rabin, M., 1993, “Incorporating fairness into game theory and economics,” American Economic Review 83, 1281-1302 Romp, G., 1997, Game Theory: Introduction and Applications, Oxford University Press: Oxford, UK Samuelson, P.A., 1997, “Wherein Do the European and American Models Differ?,” Papers 320, Banca Italia-Servizio di Studi Seelig, Steven A. dan Alicia Novoa, 2009, “Governance Practices at Financial Regulatory and Supervisory Agencies,” IMF Working Paper No. 09/135 Segara, E., 2006, “Saatnya BMT Berbenah Diri,” diakses Juli http://edosegara.blogspot.com/2008/02/saatnya-bmt-berbenah-diri.html
2010
dari
x
Selten, R. dan Stoecker, R., 1986, “End Behavior in Sequences of Finite Prisoner’s Dilemma Supergames,” J. Econ. Behav. Organ. 7, 47-70 Sinclair, P.J.N., 2000, “Central Banks and Financial Stability,” Bank of England Quarterly Bulletin, 2000, hal. 377-91. SMECDA, 2006, “BMT Sebaiknya Tetap Berbadan Hukum Koperasi,” diakses Juli 2010 dari http://www.smecda.com/deputi7/BERITA%20KUKM%202006/REPUBLIKA_020820 06.pdf Squam Lake Working Group on Financial Regulation, 2009, “A Systemic Regulator for Financial Markets,” Working Paper, Council on Foreign Relations: Center for Geoeconomic Studies. Stiglitz, J. (1994), “The Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalam World BankAnnual Conference on Development Economics Supplement, 1993, 19-61. Suharto, S., 2008, “Peranan Permodalan BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK (3),” diakses Juli 2010 dari http://www.niriah.com/opini/detail.php?cid=2&id=816&pageNum=3 Taylor, Michael dan Alex Fleming, 1999, “Integrated Financial Supervision: Lessons of Northern European Experience,” Policy Research Working Paper, 2223, The World Bank Tsay, Chin-Tsair, “Overcoming Crisis and The Role of Deposit Insurance,” Central Deposit Corporation, diakses Juni 2010 dari www.cdic.gov.tw/public/Attachment/4111614353171.pdf Tversky, A. dan D. Kahneman, 1986, “Rational Choice and the Framing Decision,” Journal of Business, 59: S251-278 World Bank, 2009, “Agenda Perbaikan Sektor Keuangan Indonesia,” diakses Mei 2010 dari http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/2800161106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/financialsector.pdf
xi
Lampiran Lampiran 1. Kemanfaatan dan Kompleksitas Model Pendanaan
Model
Kemanfaatan
Kompleksitas
Basis Transaksi Misal: DFSA (Dubai), FSS (Korea Selatan)
• Mudah untuk dimengerti dan diaplikasikan • Biaya yang ditanggung sesuai dengan tingkat aktivitas lembaga
• Tingkat transaksi harus homogen • Variabilitas pemasukan bagi lembaga pengawas: volume transaksi turun, pendapatan juga turun
Basis alokasi biaya Misal: SFMSA (Swiss), BaFin (Jerman)
• Kesamarataan: industri yang memiliki lingkup kegiatan luas memerlukan pengawasan yang lebih komprehensif sehingga biaya lebih tinggi; industri yang memiliki lingkup kegiatan lebih kecil membayar lebih kecil
Basis tetap tahunan Misal: DFSA (Dubai)
• Sederhana dan transparan • Merefleksikan biaya pengawasan tetap untuk lembaga yang lebih kecil
• Transparansi untuk pihak yang diawasi berkurang karena tidak memiliki kontrol terhadap variabel biaya • Model ini aplikatif di tingkat industri dan harus didukung model lain untuk aplikasi di tingkat perusahaan • Ketimpangan apabila diterapkan pada industri yang lingkup kegiatan dan ukuran sangat heterogen.
Basis volume Misal: APRA (Australia), FSS (Korea Selatan)
• Minimalisasi ketimpangan: lembaga besar membayar biaya lebih besar • Sederhana dan transparan • Tingkat pemasukan lembaga pengawas cenderung stabil
Contoh: 0,01% untuk setiap transaksi kredit
Contoh: volume aset, jumlah anggaran, jumlah utang, nilai kapitalisasi pasar Basis jasa inti Misal: AMF (Perancis) Contoh: biaya untuk audit keuangan tahunan
Basis risiko Misal: CDIC (Kanada) Contoh: Lembaga yang memiliki tingkat risiko lebih tinggi membayar premi pengawasan lebih tinggi
• Biaya hanya dibebankan untuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas • Manajemen pendanaan lembaga pengawas lebih sederhana: biaya inti pengawasan dibiayai oleh sumber berbeda • Merefleksikan risiko lembaga terhadap lembaga sehingga lembaga pengawas dapat meningkatkan pengawasan terhadap lembaga bermasalah • Memberikan insentif kepada lembaga untuk melakukan usaha sesuai peraturan yang ditetapkan lembaga pengawas
• Asumsi risiko dan tingkat pengawasan akan terus meningkat seiring volume yang semakin besar • Lembaga yang memiliki ukuran identik diasumsikan memiliki tingkat risiko yang sama • Tidak aplikatif untuk pengawasan yang lebih banyak ke metode offsite • Administrasi pendanaan rumit
• Memerlukan pengukuran risiko yang jelas dan disepakati oleh semua perusahaan dalam suatu industri tertentu • Pengukuran risiko berbeda pada industri keuangan yang berbeda
xii
Pendapatan denda
• Lembaga yang patuh membayar biaya pengawasan lebih kecil
• Lembaga pengawas terjebak dalam pencarian pelanggaran namun meninggalkan tugas inti pengawasan
Pendapatan dari kegiatan lain
• Mengurangi beban pendanaan bagi industri keuangan
• Lembaga keuangan berpotensi meninggalkan tugas pengawasan inti untuk mengejar pemasukan dari kegiatan nonpengawasan.
Contoh: pelatihan, pengadaan forum diskusi, publikasi, dan lainnya
Sumber: diolah dari PACG (2009)
xiii
Lampiran 2. Panduan Eksperimen Terimakasih atas partisipasi anda di eksperimen ini. Anda akan berpartisipasi di eksperimen pengambilan keputusan secara interaktif. Anda dimohon mengikuti instruksi eksperimen ini dengan seksama dan mengambil keputusan yang terbaik menurut pendapat anda. Keputusan yang anda buat akan menentukan berapa besarnya uang yang akan anda terima dari memainkan permainan di setiap sesi. Nilai uang yang anda menangkan akan dibayar tunai di akhir eksperimen ini. Jika anda memilih strategi dengan tepat, anda mungkin akan memperoleh uang sebesar Rp200.000. Namun jika pilihan anda kurang tepat, anda mungkin tidak mendapatkan hadiah apa-apa.
Perhatian, Anda dilarang BERKOMUNIKASI dengan sesama peserta eksperimen selama eksperimen ini berlangsung Ketentuan Umum Permainan ini terdiri dari dua tahapan, di mana setiap tahapnya terdiri dari 16 (enam belas) sesi permainan. Masing-masing sesi permainan berdiri sendiri, artinya tidak terkait dengan sesi sebelumnya maupun sesudahnya. Sebelum permainan utama dilakukan akan dilaksanakan latihan memainkan permainan sebanyak tiga sesi. Sebelum sesi dimulai, anda akan terbagi ke dalam dua kelompok secara acak yaitu Kelompok Majapahit (M) dan Kelompok Sriwijaya (S). Setiap Kelompok terdiri dari 16 orang anggota, dan masing-masing dari anggota akan mendapat nomor antara 1 sampai 16 seperti yang tertera di sebelah layar komputer anda.
Misalnya, jika Anda mendapat nomor M3, maka anda adalah anggota Kelompok M nomor urut 3. Jika Anda mendapat nomor S5, maka anda adalah anggota Kelompok S nomor urut 5. Masing-masing anggota Kelompok M, hanya akan memainkan satu kali permainan dengan masing-masing anggota Kelompok S, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, setiap pemain di setiap kelompok hanya akan memainkan SEKALI permainan dengan masing-masing anggota kelompok lain tanpa ada peluang untuk bertemu ulang. Strategi Permainan Pada setiap permainan, setiap pemain menghadapi dua pilihan, yaitu A dan B. Setiap pemain memilih strategi dengan menekan klik strategi yang dianggapnya paling tepat. Kemudian pemain akan ditanya pertanyaan berikut:
xiv
APAKAH ANDA SUDAH MANTAP DENGAN JAWABAN ANDA?
Jika anda merasa belum mantap dengan jawaban anda dan ingin mengubah jawaban anda, pilihkan ‘TIDAK’ dan anda akan bisa mengganti jawaban anda sebelumnya. Apabila anda sudah mantap dengan jawaban anda, maka pilihlah ‘YA’ dan jawaban anda akan dicatat oleh komputer tanpa anda mampu mengubahnya lagi.
Jika kedua pemain sama-sama telah menjawab, pada Tabel kanan atas akan diumumkan strategi yang diambil masing-masing pemain dan berapa uang yang dihasilkan oleh setiap pemain pada permainan tersebut. Permainan akan dilakukan sebanyak 16 kali. Di setiap kali permainan, masing-masing pemain akan memainkan satu jenis permainan melawan satu orang pemain dari kelompok lain. Baik jenis permainan maupun lawan main hanya akan dihadapi sekali tanpa pernah berulang.
Anda hanya memiliki waktu 30 detik untuk memilih strategi mana yang anda pilih Eksperimen Tahap II Eksperimen tahap ke dua hampir sama dengan ekperimen tahap pertama. Perbedaan hanya terdapat pada jenis strateginya. Strategi A akan diganti nama sebagai ‘Berkoordinasi’, sementara strategi B adalah ‘Tidak Mau Berkoordinasi’. Selain penamaan strategi di atas, semua game akan sama dengan eksperiment tahap 1.
Metoda Remunerasi Dari tiga puluh dua permainan, satu permainan akan dipilih secara acak oleh peserta dan anda akan dibayar sesuai dengan hasil yang anda peroleh pada permainan tersebut. Maksimum pembayaran adalah Rp200.000, dan jika anda kurang beruntung minimum pembayaran adalah Rp0. Tidak ada seorang pemainpun yang akan harus membayar dalam bentuk apapun kepada experimenter. Tahap latihan Latihan akan dilaksanakan setelah moderator menyelesaikan instruksi permainan dan dilakukan sebelum eksperimen utama dilakukan. Sesi latihan akan dilaksanakan untuk tiga jenis permainan. Pastikan anda memahami sepenuhnya bagaimana permainan berjalan. Jika anda belum faham, mohon tidak segan-segan meminta pengulangan sesi latihan.
xv
Lampiran 3. Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil Tabel A.X: Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil Tugas Pokok 1
Melakukan penilaian dan analisis tingkat kesehatan bank umum konvensional : 1.1. Meneliti/evaluasi : LBU BMPK PDN Lap. Likuiditas / GWM/Arus kas/ Maturty profile 1.2
2
3
*
Tindak lanjut keterlambatan /tidak menyampaikan laporan di atas 1.3 * Tindak lanjut kesalahan laporan di atas 1.4 Menilai/AnalisisTKS Melakukan analisis, penilaian risiko ( Risk Profile) dan trend keuangan Membuat analisis Pembahasan internal DPwB2 Pembahasan dengan bank Pembuatan notulen rapat Surat pembinaan/termasuk catatan Monitoring komitmen bank Tindak lanjut terhadap permasalahan dispute terhadap ketentuan yang berlaku, dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan serta permasalahan yang diajukan bank. Catatan analisis pengawas Memo penerusan kepada satker terkait. Pertemuan/rapat intern atau antar satker Pertemuan/rapat dengan bank/pihak lain Notulen pertemuan dengan bank Surat menyurat dengan bank. Pelaksanaaan sanksi (GWM, LBU, SID, Pelaporan devisa dll) = Catatan/surat pembinaan = Memorandum ke IDWB
Jadwal Tugas
Bulanan Bulanan Mingguan Mingguan Semester Semester Bulanan
Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan
Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan
Bulanan Bulanan Bersambung…. xvi
4
5
6
Tugas Pokok Memberikan rekomendasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum konvensional serta evaluasi pelaksanaannya Membuat analisis kinerja keuangan bank sebelum dan setelah MKA Meneliti kelengkapan persyaratan MKA Catatan dan surat menyurat terkait dengan persyaratan dan kelengkapan MKA Pertemuan dengan satker terkait Menyiapkan bahan pertemuan dengan bank Pertemuan dengan bank dan Konsultan MKA Membuat risalah pertemuan. Memorandum rekomendasi
Jadwal Tugas
Menyediakan informasi keuangan bank kepada satker terkait dalam rangka : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP/FLI) PKLN/LoG Penerbitan Surat berharga Kredit Program Izin Pedagang Valuta Asing Penyelenggaraan SISKOHAT (tabungan haji) Pendirian KC Syariah
PwB21
Melakukan pemantauan khusus terhadap bank-bank umum konvensional dalam program rekapitalisasi Evaluasi realiasasi performa milestone Surat pembinaan kepada bank Informasi kepada pemegang saham Informasi perkembangan pelaksanaan dan permasalahan yg berkaitan dgn rekap bank.
3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan
3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan
5 tahunan PwB21
-
Bersambung….
xvii
7
8
9
10
Tugas Pokok Evaluasi RKAT dan Business Plan Stress testing Analisis dan surat persetujuan/tdk setuju Pertemuan dengan bank Notulen hasil pertemuan Surat menyurat/pembinaan Memantau pencapaian target Business Plan Bank Plan Analisis Lap. Pelaksanaan RKAT/RBB Lap. Realisasi Pemberian kredit. Realisasi sesuai data LBU Surat menyurat/pembinaan Melakukan Pengawasan Intensif (PI) terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Pengawasan Intensif Evaluasi khusus kinerja bank Pertemuan dengan pengurus bank Notulen hasil pertemuan Penetapan bank dalam PI Monitoring dan laporan perkembangan realisasi action plan bank Evaluasi perbaikan kinerja bank dan pencabutan status PI Surat menyurat/pembinaan Melakukan pengawasan khusus terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Special Surveilance Unit (SSU) Evaluasi khusus kinerja bank Pertemuan dengan pengurus bank Notulen hasil pertemuan Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) Monitoring action plan/CDO Laporan perkembangan realisasi action plan bank Evaluasi perbaikan kinerja bank dan pencabutan status SSU/penyerahan kepada BPPN Surat menyurat/pembinaan
Jadwal Tugas Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan -
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan
5 Tahunan Bersambung…. xviii
11
Tugas Pokok Memberikan rekomendasi : Fit & Proper Test berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengawasan serta menindaklanjuti hasil keputusannya Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik, pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank/pengurus BPR 11.1 Fit & Proper Test Pembuatan matriks temuan Pembahasan intern DPwB2 Pembahasan dgn satker terkait (1) Notulen rapat Pembahasan dgn bank (1) Notulen rapat Revisi matriks setelah pembahasan dgn bank atas dasar tanggapan/bukti baru Pembahasan dgn satker terkait (2) Notulen rapat Pembahasan dgn KEP (1) Pembahasan dgn bank (2) Notulen rapat Revisi matriks setelah pembahasan dgn bank Pembahasan dgn satker terkait (3) Notulen rapat Pembahasan dgn KEP (2) Pembahasan di RDG u/ mendapat keputusan final Surat pemberitahuan hasil Fit & Proper Test kepada bank Penyampaian surat kepada pemegang saham pengendali Penyampaian surat kepada yang bersangkutan Penyampaian surat kepada DPIP u/ dicatat dalam daftar pemantauan khusus 11.2
Kaji Ulang (berdasarkan keberatan yang bersangkutan) Memo permintaan pemeriksaan ulang kpd DPmB idem 13.1
Jadwal Tugas
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
5 Tahunan 5 Tahunan Bersambung… xix
Tugas Pokok Periode waktu sanksi telah berakhir : 11.3 (apabila ybs mengajukan pemulihan nama baik) Menghimpun informasi Catatan dan surat rekomendasi cat : pelaksanaan tugas berkaitan dgn ketentuan DOT yang terbaru langkah-langkahnya 12
13
Memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada satuan kerja terkait : Pembukaan dan penutupan bank Pembukaan dan penutupan Kantor. Cabang Pembukaan dan penutupan di bawah Kantor Cabang (KK, Unit, Payment Point) Pembukaan ATM Perubahan alamat bank Perubahan alamat kantor cabang bank Perubahan alamat kantor dibwah kantor cabang (KK, Unit, Payment Point) Perubahan alamat ATM Penggantian Direksi/Dir kepatuhan dan Penggantian Dewan Komisaris Perubahan status bank (devisa) Perubahan nama Memberi/meminta rekomendasi ke/dari otoritas keuangan negara lain Memberikan persetujuan/izin : Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI 13.1 dan perubahannnya Analisis kondisi keuangan dan persyaratan berdasarkan ketentuan Surat persetujuan /penolakan 13.2
Perubahan pemegang saham dan atau jumlah modal disetor yg tidak merubah pemegang saham pengendali Analisis kondisi keuangan dan persyaratan berdasarkan ketentuan Surat persetujuan/penolakan
Jadwal Tugas
2 Tahunan 2 Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan Bersambung…. xx
14
Tugas Pokok Mengevaluasi /analisis/tanggapan 14.1 laporan-laporan sbb: 1 Laporan kredit yang direstruktur 2 Laporan Keuangan Publikasi (triwulan) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 6 Lap. Keuangan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 8 Lap. Transaksi Derivatif 9 Pengangkatan Pejabat Eksekutif/SKAI. 10 Lap. Perubahan TSI 14.2
15
Tindak lanjut keterlambatan/kesalahan pelaporan 1 Laporan kredit yang direstruktur (bln) 2 Laporan Keuangan Publikasi (trw) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 6 Lap. Keuangan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 8 Lap. Transaksi Derivatif (mgg) 9 Pengangkatan Pejabat Eksekutif/SKAI. 10 Lap. Perubahan TSI
Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2 Persiapan pemeriksaan 15.1 Pemenuhan permintaan data DPmB2 Penyampaian informasi dlm pertemuan dgn tim pemeriksa 15.2
Pelaksanaan pemeriksaan Pembahasan draft temuan pemeriksa Exit meeting
Jadwal Tugas
Bulanan Triwulan Semester Semester Semester Tahunan Tahunan Mingguan Tahunan 3 Tahunan
Tahunan Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 4 Tahunan 4 Tahunan 2 Bulanan Tahunan 6 Tahunan
Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Bersambung….
xxi
Tugas Pokok 15.3 Tindak lanjut LHP umum Catatan dan Surat Pembinaan serta penyampaian LHP Pertemuan dengan pengurus bank Menyiapkan bahan pertemuan dan notulen hasil pertemuan Monitoring komitmen bank Pelaksanaan pengenaan sanksi / tanggapan dr bank Penyesuaian temuan pemeriksaan dengan data TKS 16
Pemeriksaan Tahunan Bank oleh KAP (Eksternal) Persiapan/pelaksanaan pemeriksaan 16.1 Menyiapkan informasi kpd KAP Pertemuan dgn KAP Klarifikasi cakupan pemeriksaan dengan KAP Catatan apabila cakupan pemeriksaan kredit kurang dari 70% dan hal lain 16.2
17
Tindak lanjut Management letter Catatan dan Surat Pembinaan
Pemeriksaan Khusus oleh DPmB Persiapan pemeriksaan 17.1 Pemenuhan permintaan data ke DPmB2 Penyampaian informasi dlm pertemuan dgn tim pemeriksa Pelaksanaan pemeriksaan 17.2 Pembahasan draft temuan pemeriksa Exit meeting Tindak lanjut LHP khusus 17.3 Catatan dan Surat Pembinaan Pertemuan dengan pengurus bank Menyiapkan bahan pertemuan dan notulen hasil pertemuan Monitoring komitmen bank Pelaksanaan pengenaan sanksi (jika ada) Bersambung….
Jadwal Tugas Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan
xxii
18
19
20 a b
c
d e 21
22
Pertemuan/konsultasi dengan Pengurus/Pejb bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank): Menyiapkan bahan pertemuan Pertemuan Membuat risalah hasil pertemuan dan tindak lanjut lainnya yang diperlukan. Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan dari Parent bank/Kantor Pusatnya. Pertemuan dengan Tim Pemeriksa Evaluasi / Catatan Surat tanggapan/pembinaan. Tindak Lanjut Laporan OSP Analisis laporan likuiditas dan kredit baru di atas 10 M Mengidentifikasi dan menilai risiko, memantau exposure risiko, manajemen dan pengendalian risiko: Bulanan Triwulanan Semesteran Tahunan Mengadministrasikan dan mendoku mentasikan secara baik laporan laporan tim OSP dan data pendukung Surat pembinaan kepada bank Pertemuan dengan tim OSP Menatausahakan laporan pelaksanaan perizinan operasional bank umum konvensional, & sanksi kelambatan lapor. Lap. Pelaksanaan Pindah alamat kantor. Lap. Pelaksaan Perubahan modal disetor Lap. Pelaksanaa Perubahan modal dasar Lap. Pelaksanaa Penggantian Pemegang saham/Pengurus bank Evaluasi kebijakan dan prosedur bank ( KYC) - Monitoring pelaksanaannya - Evaluasi/analisis bila terjadi perubahan Kebijakan.
Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan
Mingguan
Bulanan Triwulanan Semesteran Tahunan Mingguan
Bulanan 2 Mingguan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Bersambung….
xxiii
II 1
Tugas Pokok TUGAS LAINNYA. Tambahan Beban Tugas Pembahasan/Tanggapan memenuhi permintaan satker lain (a.l. draft ketentuan baru ) = Persiapan dan tindak lanjut = Rapat pembahasan Kursus, Seminar, Sosialisasi Rapat koordinasi ( intern/ekstern Dir) Memenuhi permintaan data (intern/ekstern BI) Memberikan rekomendasi kpd BPPN dlm rangka pembagian deviden bank rekap
Jadwal Tugas
Bulanan Bulanan Tahunan Mingguan Bulanan Tahunan
2
Menatausahakan dan mendistribusikan dokumen masuk dan keluar.
Harian
3
Mengelola arsip Bagian
Harian
4
Melaksanakan penatausahaan kepegawaian Bagian ( absensi & cuti dll.)
Bulanan
5
PKAT (PKS/PKNS) Bagian Pengawasan Bank Membuat Monitoring pelaksanaan Mengurus perjalanan dinas pegawai
6
Melakukan tugas-tugas kesekretariatan dan pengetikan dokumen
7
Tambahan tugas lainnya (misal: menyusun makalah, bahan seminar a.p. Pimp Dir. dll)
Tahunan Triwulanan Semesteran Harian
Triwulanan
Sumber: Bank Indonesia, 2005
xxiv
Lampiran 4. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah Tabel A.XX: Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah
1
2
3
Tugas Pokok Melakukan penilaian dan analisis tingkat kesehatan bank umum konvensional : 1.1. Meneliti/evaluasi : LBU BMPK PDN Lap. Likuiditas / GWM/Arus kas/ Maturty profile 1.2 * Tindak lanjut keterlambatan /tidak menyampaikan laporan di atas 1.3 * Tindak lanjut kesalahan laporan di atas 1.4 Menilai/AnalisisTKS Melakukan analisis, penilaian risiko ( Risk Profile) dan trend keuangan Membuat analisis Pembahasan internal DPwB2 Pembahasan dengan bank Pembuatan notulen rapat Surat pembinaan/termasuk catatan Monitoring komitmen bank Tindak lanjut terhadap permasalahan dispute terhadap ketentuan yang berlaku, dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan serta permasalahan yang diajukan bank. Catatan analisis pengawas Memo penerusan kepada satker terkait. Pertemuan/rapat intern atau antar satker Pertemuan/rapat dengan bank/pihak lain Notulen pertemuan dengan bank Surat menyurat dengan bank. Pelaksanaaan sanksi (GWM, LBU, SID, Pelaporan devisa dll) = Catatan/surat pembinaan = Memorandum ke IDWB
Jadwal Tugas
Bulanan Bulanan Mingguan Mingguan Semester Semester Bulanan
Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan
Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan
Bulanan Bulanan Bersambung….
xxv
4
5
6
Tugas Pokok Memberikan rekomendasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum konvensional serta evaluasi pelaksanaannya Membuat analisis kinerja keuangan bank sebelum dan setelah MKA Meneliti kelengkapan persyaratan MKA Catatan dan surat menyurat terkait dengan persyaratan dan kelengkapan MKA Pertemuan dengan satker terkait Menyiapkan bahan pertemuan dengan bank Pertemuan dengan bank dan Konsultan MKA Membuat risalah pertemuan. Memorandum rekomendasi Menyediakan informasi keuangan bank kepada satker terkait dalam rangka : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP/FLI) PKLN/LoG Penerbitan Surat berharga Kredit Program Izin Pedagang Valuta Asing Penyelenggaraan SISKOHAT (tabungan haji) Pendirian KC Syariah Melakukan pemantauan khusus terhadap bank-bank umum konvensional dalam program rekapitalisasi Evaluasi realiasasi performance milestone Surat pembinaan kepada bank Informasi kepada pemegang saham Informasi perkembangan pelaksanaan dan permasalahan yg berkaitan dgn rekap bank.
Jadwal Tugas
3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan
3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan PwB21 5 tahunan 5 tahunan 5 tahunan 5 tahunan 5 tahunan 5 tahunan PwB21
-
Bersambung….
xxvi
7
8
9
10
Tugas Pokok Evaluasi RKAT dan Business Plan Stress testing Analisis dan surat persetujuan/tdk setuju Pertemuan dengan bank Notulen hasil pertemuan Surat menyurat/pembinaan Memantau pencapaian target Business Plan Bank Plan Bank Analisis Lap. Pelaksanaan RKAT/RBB Lap. Realisasi Pemberian kredit. Realisasi sesuai data LBU Surat menyurat/pembinaan Melakukan Pengawasan Intensif (PI) terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Pengawasan Intensif Evaluasi khusus kinerja bank Pertemuan dengan pengurus bank Notulen hasil pertemuan Penetapan bank dalam PI Monitoring dan laporan perkembangan realisasi actionplan bank Evaluasi perbaikan kinerja bank dan pencabutan status PI Surat menyurat/pembinaan Melakukan pengawasan khusus terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Special Surveilance Unit (SSU) Evaluasi khusus kinerja bank Pertemuan dengan pengurus bank Notulen hasil pertemuan Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) Monitoring action plan/CDO Laporan perkembangan realisasi action plan bank Evaluasi perbaikan kinerja bank dan pencabutan status SSU/penyerahan kpd BPPN
Jadwal Tugas Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan -
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan
Bersambung….
xxvii
11
Tugas Pokok Surat menyurat/pembinaan Memberikan rekomendasi : Fit & Proper Test berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengawasan serta menindaklanjuti hasil keputusannya Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik, pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank/pengurus BPR 11.1 Fit & Proper Test Pembuatan matriks temuan Pembahasan intern DPwB2 Pembahasan dgn satker terkait (1) Notulen rapat Pembahasan dgn bank (1) Notulen rapat Revisi matriks setelah pembahasan dgn bank atas dasar tanggapan/bukti baru Pembahasan dgn satker terkait (2) Notulen rapat Pembahasan dgn KEP (1) Pembahasan dgn bank (2) Notulen rapat Revisi matriks setelah pembahasan dgn bank Pembahasan dgn satker terkait (3) Notulen rapat Pembahasan dgn KEP (2) Pembahasan di RDG u/ mendapat keputusan final Surat pemberitahuan hasil F & P kpd bank Penyampaian surat kpd pemegang saham pengendali Penyampaian surat kpd yang bersangkutan Penyampaian surat kpd DPIP u/ dicatat dlm daf. pemantauan khusus
Jadwal Tugas 5 Tahunan
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan Bersambung….
xxviii
Tugas Pokok 11.2
11.3
cat
12
13
Jadwal Tugas Kaji Ulang (berdasarkan keberatan ybs) Memo permintaan pemeriksaan ulang kpd DPmB idem 13.1
Periode waktu sanksi telah berakhir : (apabila ybs mengajukan pemulihan nama baik) Menghimpun informasi Catatan dan surat rekomendasi : pelaksanaan tugas berkaitan dgn ketentuan DOT yang terbaru langkah-langkahnya
Memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada satuan kerja terkait : Pembukaan dan penutupan bank Pembukaan dan penutupan Ktr. Cabang Pembukaan dan penutupan dibawah Kantor Cabang (KK, Unit, Payment Point) Pembukaan ATM Perubahan alamat bank Perubahan alamat kantor cabang bank Perubahan alamat kantor dibwah kantor cabang (KK, Unit, Payment Point) Perubahan alamat ATM Penggantian Direksi/Dir kepatuhan dan Penggantian Dewan Komisaris Perubahan status bank (devisa) Perubahan nama Memberi/meminta rekomendasi ke/dari otoritas keuangan negara lain Memberikan persetujuan/izin : 13.1 Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI dan perubahannnya Analisis kondisi keuangan dan persyaratan berdasarkan ketentuan Surat persetujuan /penolakan
5 Tahunan 5 Tahunan
2 Tahunan 2 Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Bersambung….
xxix
Tugas Pokok 13.2
14
14.1
14.2
Jadwal Tugas Perubahan pemegang saham dan atau jumlah modal disetor yg tidak merubah pemegang saham pengendali Analisis kondisi keuangan dan persyaratan berdasarkan ketentuan Surat persetujuan /penolakan Mengevaluasi /analisis/tanggapan laporan-laporan sbb: 1 Laporan kredit yang direstruktur 2 Laporan Keuangan Publikasi (triwulan) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 6 Lap. Keuangan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 8 Lap. Transaksi Derivatif 9 Pengangkatan Pejabat Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI Tindak lanjut keterlambatan/kesalahan pelaporan 1 Laporan kredit yang direstruktur (bln) 2 Laporan Keuangan Publikasi (trw) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 6 Lap. Keuangan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 8 Lap. Transaksi Derivatif (mgg) 9 Pengangkatan Pejabat Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI
3Tahunan 3Tahunan
Bulanan Triwulan Semester Semester Semester Tahunan Tahunan Mingguan Tahunan 3 Tahunan
Tahunan Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 4 Tahunan 4 Tahunan 2 Bulanan Tahunan 6 Tahunan Bersambung….
xxx
15
Tugas Pokok Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2 15.1 Persiapan pemeriksaan Pemenuhan permintaan data DPmB2 Penyampaian informasi dlm pertemuan dgn tim pemeriksa 15.2
15.3
16
Pelaksanaan pemeriksaan Pembahasan draft temuan pemeriksa Exit meeting Tindak lanjut LHP umum Catatan dan Surat Pembinaan serta penyampaian LHP Pertemuan dengan pengurus bank Menyiapkan bahan pertemuan dan notulen hasil pertemuan Monitoring komitmen bank Pelaksanaan pengenaan sanksi / tanggapan dr bank Penyesuaian temuan pemeriksaan dengan data TKS
Pemeriksaan Tahunan Bank oleh KAP (Eksternal) 16.1 Persiapan/pelaksanaan pemeriksaan Menyiapkan informasi kpd KAP Pertemuan dgn KAP Klarifikasi cakupan pemeriksaan dengan KAP Catatan apabila cakupan pemeriksaan kredit kurang dari 70% dan hal lain
Jadwal Tugas
Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Bersambung….
xxxi
Tugas Pokok 16.2
17
17.3
19
20
Tindak lanjut Management letter Catatan dan Surat Pembinaan
Pemeriksaan Khusus oleh DPmB 17.1 Persiapan pemeriksaan Pemenuhan permintaan data ke DPmB2 Penyampaian informasi dlm pertemuan dgn tim pemeriksa 17.2
18
Jadwal Tugas
Pelaksanaan pemeriksaan Pembahasan draft temuan pemeriksa Exit meeting Tindak lanjut LHP khusus Catatan dan Surat Pembinaan Pertemuan dengan pengurus bank Menyiapkan bahan pertemuan dan notulen hasil pertemuan Monitoring komitmen bank Pelaksanaan pengenaan sanksi (jika ada)
Pertemuan/konsultasi dengan Pengurus/Pejb bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank): Menyiapkan bahan pertemuan Pertemuan Membuat risalah hasil pertemuan dan tindak lanjut lainnya yang diperlukan. Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan dari Parent bank/Kantor Pusatnya. Pertemuan dengan Tim Pemeriksa Evaluasi / Catatan Surat tanggapan/pembinaan. Pemenuhan informasi/data kpd satker terkait atau pihak lain mengenai asset dan kewajiban (BBO) (BBKU)
Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Bulanan
Bersambung….
xxxii
21 a b
c
d e 22
23
Tugas Pokok Tindak Lanjut Laporan OSP Analisis laporan likuiditas dan kredit baru di atas 10 M Mengidentifikasi dan menilai resiko, memantau exposure resiko, manajemen dan pengendalian resiko: Bulanan Triwulanan Semesteran Tahunan Mengadministrasikan dan mendoku mentasikan secara baik laporan laporan tim OSP dan data pendukung Surat pembinaan kepada bank Pertemuan dengan tim OSP Menatausahakan laporan pelaksanaan perizinan operasional bank umum konvensional, & sanksi kelambatan lapor. Lap. Pelaksanaan Pindah alamat kantor. Lap. Pelaksaan Perubahan modal disetor Lap. Pelaksanaa Perubahan modal dasar Lap. Pelaksanaa Penggantian Pemegang saham/Pengurus bank Evaluasi kebijakan dan prosedur bank ( KYC) - Monitoring pelaksanaannya - Evaluasi/analisis bila terjadi perubahan Kebijakan.
Jadwal Tugas Mingguan
Bulanan Triwulanan Semesteran Tahunan Mingguan
Bulanan 2 Mingguan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan
Sub. total Bersambung….
xxxiii
II 1
Tugas Pokok TUGAS LAINNYA. Tambahan Beban Tugas Pembahasan/Tanggapan memenuhi permintaan satker lain (a.l. draft ketentuan baru ) = Persiapan dan tindak lanjut = Rapat pembahasan Kursus, Seminar, Sosialisasi Rapat koordinasi ( intern/ekstern Dir) Memenuhi permintaan data (intern/ekstern BI) Memberikan rekomendasi kpd BPPN dlm rangka pembagian deviden bank rekap
Jadwal Tugas
Bulanan Bulanan Tahunan Mingguan Bulanan Tahunan
2
Menatausahakan dan mendistribusikan dokumen masuk dan keluar.
Harian
3
Mengelola arsip Bagian
Harian
4
Melaksanakan penatausahaan kepegawaian Bagian ( absensi & cuti dll.)
5
PKAT (PKS/PKNS) Bagian Pengawasan Bank Membuat Monitoring pelaksanaan Mengurus perjalanan dinas pegawai
Bulanan
Tahunan Triwulanan Semesteran
Melakukan tugas-tugas kesekretariatan dan pengetikan dokumen
Harian
Tambahan tugas lainnya (misal: menyusun makalah, bahan seminar a.p. Pimp Dir. dll) Sumber: Bank Indonesia, 2005.
Triwulanan
6
7
xxxiv
Lampiran 5. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar Tabel A.XX: Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar 1
2
3
4
Tugas Pokok Melakukan penilaian dan analisis tingkat kesehatan bank umum konvensional : Meneliti/evaluasi : 1.1. LBU BMPK PDN Lap. Likuiditas / GWM/Arus kas/ Maturty profile * Tindak lanjut keterlambatan /tidak 1.2 menyampaikan laporan di atas * Tindak lanjut kesalahan laporan di atas 1.3 Menilai/AnalisisTKS 1.4 Melakukan analisis, penilaian risiko ( Risk Profile) dan trend keuangan Membuat analisis Pembahasan internal DPwB2 Pembahasan dengan bank Pembuatan notulen rapat Surat pembinaan/termasuk catatan Monitoring komitmen bank Tindak lanjut terhadap permasalahan dispute terhadap ketentuan yang berlaku, dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan serta permasalahan yang diajukan bank. Catatan analisis pengawas Memo penerusan kepada satker terkait. Pertemuan/rapat intern atau antar satker Pertemuan/rapat dengan bank/pihak lain Notulen pertemuan dengan bank Surat menyurat dengan bank. Pelaksanaaan sanksi (GWM, LBU, SID, Pelaporan devisa dll) = Catatan/surat pembinaan = Memorandum ke IDWB Memberikan rekomendasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum konvensional serta evaluasi pelaksanaannya Membuat analisis kinerja keuangan bank sebelum dan setelah MKA Meneliti kelengkapan persyaratan MKA Catatan dan surat menyurat terkait dengan persyaratan dan kelengkapan MKA
Jadwal Tugas
Bulanan Bulanan Mingguan Mingguan Semester Semester Bulanan
Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan
Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan Triwulanan
Bulanan Bulanan
3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan
xxxv
-
Pertemuan dengan satker terkait Menyiapkan bahan pertemuan dengan bank Pertemuan dengan bank dan Konsultan MKA Membuat risalah pertemuan. Memorandum rekomendasi
3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan 3 tahunan
. 5
6
7
8
9
Tugas Pokok Menyediakan informasi keuangan bank kepada satker terkait dalam rangka : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP/FLI) PKLN/LoG Penerbitan Surat berharga Kredit Program Izin Pedagang Valuta Asing Penyelenggaraan SISKOHAT (tabungan haji) Pendirian KC Syariah Melakukan pemantauan khusus terhadap bank-bank umum konvensional dalam program rekapitalisasi Evaluasi realiasasi performance milestone Surat pembinaan kepada bank Informasi kepada pemegang saham Informasi perkembangan pelaksanaan dan permasalahan yg berkaitan dgn rekap bank.
Jadwal Tugas PwB21 5 tahunan PwB21
-
Evaluasi RKAT dan Business Plan Stress testing Analisis dan surat persetujuan/tdk setuju Pertemuan dengan bank Notulen hasil pertemuan Surat menyurat/pembinaan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Memantau pencapaian target Business Plan Bank Plan Bank Analisis Lap. Pelaksanaan RKAT/RBB Lap. Realisasi Pemberian kredit. Realisasi sesuai data LBU Surat menyurat/pembinaan
Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan
Melakukan Pengawasan Intensif (PI) terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Pengawasan Intensif
-
xxxvi
10
11
Evaluasi khusus kinerja bank Pertemuan dengan pengurus bank Notulen hasil pertemuan Penetapan bank dalam PI Monitoring dan laporan perkembangan realisasi actionplan bank Evaluasi perbaikan kinerja bank dan pencabutan status PI Surat menyurat/pembinaan
Melakukan pengawasan khusus terhadap bank-bank umum konvensional yang memenuhi kriteria Special Surveilance Unit (SSU) Evaluasi khusus kinerja bank Pertemuan dengan pengurus bank Notulen hasil pertemuan Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) Monitoring action plan/CDO Laporan perkembangan realisasi action plan bank Evaluasi perbaikan kinerja bank dan pencabutan status SSU/penyerahan kpd BPPN Surat menyurat/pembinaan
Tugas Pokok Memberikan rekomendasi : Fit & Proper Test berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengawasan serta menindaklanjuti hasil keputusannya Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik, pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank/pengurus BPR 11.1 Fit & Proper Test Pembuatan matriks temuan Pembahasan intern DPwB2 Pembahasan dgn satker terkait (1) Notulen rapat Pembahasan dgn bank (1) Notulen rapat Revisi matriks setelah pembahasan dgn bank atas dasar tanggapan/bukti baru Pembahasan dgn satker terkait (2) Notulen rapat Pembahasan dgn KEP (1)
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan
5 Tahunan . Jadwal Tugas
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan xxxvii
-
11.2
11.3
Catatatan
12
Pembahasan dgn bank (2) Notulen rapat Revisi matriks setelah pembahasan dgn bank Pembahasan dgn satker terkait (3) Notulen rapat Pembahasan dgn KEP (2) Pembahasan di RDG u/ mendapat keputusan final Surat pemberitahuan hasil F & P kpd bank Penyampaian surat kpd pemegang saham pengendali Penyampaian surat kpd yang bersangkutan Penyampaian surat kpd DPIP u/ dicatat dlm daf. pemantauan khusus
Kaji Ulang (berdasarkan keberatan ybs) Memo permintaan pemeriksaan ulang kpd DPmB idem 13.1
Periode waktu sanksi telah berakhir : (apabila ybs mengajukan pemulihan nama baik) Menghimpun informasi Catatan dan surat rekomendasi : pelaksanaan tugas berkaitan dgn ketentuan DOT yang terbaru langkah-langkahnya
Memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada satuan kerja terkait : Pembukaan dan penutupan bank Pembukaan dan penutupan Ktr. Cabang Pembukaan dan penutupan dibawah Kantor Cabang (KK, Unit, Payment Point) Pembukaan ATM Perubahan alamat bank Perubahan alamat kantor cabang bank Perubahan alamat kantor dibwah kantor cabang (KK, Unit, Payment Point) Perubahan alamat ATM Penggantian Direksi/Dir kepatuhan dan Penggantian Dewan Komisaris Perubahan status bank (devisa) Perubahan nama Memberi/meminta rekomendasi ke/dari otoritas keuangan negara lain
2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan
5 Tahunan 5 Tahunan
2 Tahunan 2 Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan 5 Tahunan 5 Tahunan Tahunan xxxviii
. 13
Tugas Pokok Memberikan persetujuan/izin : Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI 13.1 dan perubahannnya Analisis kondisi keuangan dan persyaratan berdasarkan ketentuan Surat persetujuan /penolakan 13.2
14
14.1
14.2
Perubahan pemegang saham dan atau jumlah modal disetor yg tidak merubah pemegang saham pengendali Analisis kondisi keuangan dan persyaratan berdasarkan ketentuan Surat persetujuan /penolakan Mengevaluasi /analisis/tanggapan laporan-laporan sbb: 1 Laporan kredit yang direstruktur 2 Laporan Keuangan Publikasi (triwulan) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 6 Lap. Keuangan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 8 Lap. Transaksi Derivatif 9 Pengangkatan Pejabat Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI Tindak lanjut keterlambatan/kesalahan pelaporan 1 Laporan kredit yang direstruktur (bln) 2 Laporan Keuangan Publikasi (trw) 3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) 4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt) 5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 6 Lap. Keuangan Tahunan 7 Lap. Tahunan Bank Umum 8 Lap. Transaksi Derivatif (mgg) 9 Pengangkatan Pejabat Eksekutif/SKAI. ## Lap. Perubahan TSI
Jadwal Tugas
Tahunan Tahunan
3Tahunan 3Tahunan
Bulanan Triwulan Semester Semester Semester Tahunan Tahunan Mingguan Tahunan 3 Tahunan
Tahunan Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 2 Tahunan 4 Tahunan 4 Tahunan 2 Bulanan Tahunan 6 Tahunan .
xxxix
15
Tugas Pokok Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2 Persiapan pemeriksaan 15.1 Pemenuhan permintaan data DPmB2 Penyampaian informasi dlm pertemuan dgn tim pemeriksa 15.2
15.3
16
Tindak lanjut LHP umum Catatan dan Surat Pembinaan serta penyampaian LHP Pertemuan dengan pengurus bank Menyiapkan bahan pertemuan dan notulen hasil pertemuan Monitoring komitmen bank Pelaksanaan pengenaan sanksi / tanggapan dr bank Penyesuaian temuan pemeriksaan dengan data TKS
Pemeriksaan Tahunan Bank oleh KAP (Eksternal) Persiapan/pelaksanaan pemeriksaan 16.1 Menyiapkan informasi kpd KAP Pertemuan dgn KAP Klarifikasi cakupan pemeriksaan dengan KAP Catatan apabila cakupan pemeriksaan kredit kurang dari 70% dan hal lain 16.2
17
Pelaksanaan pemeriksaan Pembahasan draft temuan pemeriksa Exit meeting
Tindak lanjut Management letter Catatan dan Surat Pembinaan
Pemeriksaan Khusus oleh DPmB Persiapan pemeriksaan 17.1 Pemenuhan permintaan data ke DPmB2 Penyampaian informasi dlm pertemuan dgn tim pemeriksa
Jadwal Tugas
Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan
xl
17.2
17.3
Pelaksanaan pemeriksaan Pembahasan draft temuan pemeriksa Exit meeting Tindak lanjut LHP khusus Catatan dan Surat Pembinaan Pertemuan dengan pengurus bank Menyiapkan bahan pertemuan dan notulen hasil pertemuan Monitoring komitmen bank Pelaksanaan pengenaan sanksi (jika ada)
3 Tahunan 3 Tahunan
3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan 3 Tahunan .
18
19
Tugas Pokok Pertemuan/konsultasi dengan Pengurus/Pejb bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank): Menyiapkan bahan pertemuan Pertemuan Membuat risalah hasil pertemuan dan tindak lanjut lainnya yang diperlukan. Menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan dari Parent bank/Kantor Pusatnya. Pertemuan dengan Tim Pemeriksa Evaluasi / Catatan Surat tanggapan/pembinaan.
d e
Pemenuhan informasi/data kpd satker terkait atau pihak lain mengenai asset dan kewajiban (BBO) (BBKU) Tindak Lanjut Laporan OSP Analisis laporan likuiditas dan kredit baru di atas 10 M Mengidentifikasi dan menilai resiko, memantau exposure resiko, manajemen dan pengendalian resiko: Bulanan Triwulanan Semesteran Tahunan Mengadministrasikan dan mendoku mentasikan secara baik laporan laporan tim OSP dan data pendukung Surat pembinaan kepada bank Pertemuan dengan tim OSP
22
Menatausahakan laporan pelaksanaan
20
21 a b
c
Jadwal Tugas
Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan Tahunan Bulanan
Mingguan
Bulanan Triwulanan Semesteran Tahunan Mingguan
Bulanan 2 Mingguan
xli
perizinan operasional bank umum konvensional, & sanksi kelambatan lapor. Lap. Pelaksanaan Pindah alamat kantor. Lap. Pelaksaan Perubahan modal disetor Lap. Pelaksanaa Perubahan modal dasar Lap. Pelaksanaa Penggantian Pemegang saham/Pengurus bank 23
Evaluasi kebijakan dan prosedur bank ( KYC) - Monitoring pelaksanaannya - Evaluasi/analisis bila terjadi perubahan Kebijakan.
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
Tahunan Tahunan .
II 1
Tugas Pokok TUGAS LAINNYA. Tambahan Beban Tugas Pembahasan/Tanggapan memenuhi permintaan satker lain (a.l. draft ketentuan baru ) = Persiapan dan tindak lanjut = Rapat pembahasan Kursus, Seminar, Sosialisasi Rapat koordinasi ( intern/ekstern Dir) Memenuhi permintaan data (intern/ekstern BI) Memberikan rekomendasi kpd BPPN dlm rangka pembagian deviden bank rekap
Jadwal Tugas
Bulanan Bulanan Tahunan Mingguan Bulanan Tahunan
2
Menatausahakan dan mendistribusikan dokumen masuk dan keluar.
Harian
3
Mengelola arsip Bagian
Harian
4
Melaksanakan penatausahaan kepegawaian Bagian ( absensi & cuti dll.)
Bulanan
5
PKAT (PKS/PKNS) Bagian Pengawasan Bank Membuat Monitoring pelaksanaan Mengurus perjalanan dinas pegawai
6
Melakukan tugas-tugas kesekretariatan dan pengetikan dokumen
7
Tambahan tugas lainnya (misal: menyusun makalah, bahan seminar a.p. Pimp Dir. dll)
Tahunan Triwulanan Semesteran Harian
Triwulanan
xlii