ALIRAN ALIRAN DALAM HUKUM ISLAM ELI SURYANI, M.Ag DOSEN IAIN BUKITTINGGI
Abstract: Islamic history has noted, that the embryo of dissent after the death of the Prophet in turn gave birth to the ideology or sect, which originated in race differences in political issues. From here comes the problems that developed into a theological problem, where there are differences from one another. No doubt, this phenomenon also has an impact and provide a tremendous influence, namely the emergence of streams in the field of Islamic law. Death of the Prophet Muhammad (632), Muslims lost a leader who can solve all the problems that they face. To overcome this situation, the companions tried to break through to hold a meeting between the Ansar (the Mecca) and immigrants (the Medina). This gathering efforts geared towards the emergence of theological issues, which triggered the emergence of Sunny and Shi'ite groups, and Khawarij. The fragmentation of Muslims to some sect or the ideology is caused by several factors. Among them is the fact the Qur'an in Arabic. Language, has encouraged the emergence of a variety of different interpretations from one to another. In addition to the language factor, factor the difference of transmission has also encouraged the emergence of firqah in Islamic law. Equally important is the difference in the source or proposition. Key words; Aliran, mazhab,hukum Islam. Key words; ideology, schools, Islamic law.
0
A. Pendahuluan Berawal dari peristiwa wafatnya Rasulullah SAW pada tahun 623 H.1 umat Islam pada waktu itu masih sangat terbatas dan sedikit jumlahnya. Mereka terdiri dari masyarakat semenanjung Arabia, terutama dari kota Mekkah dan Madinah. Masalah krusial yang mereka hadapi ketika itu adalah siapa yang akan menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin agama dan kepala negara, sementara al-Quran tidak memberikan petunjuk tentang hal itu. Tidak ada pesan Nabi tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai kepala negara. Kondisi ini telah membuat umat Islam kehilangan pemimpin yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang mereka hadapi. Adapun Rasulullah sendiri semasa hidupnya tidak pernah menyinggung apalagi menunjuk seseorang untuk menggantikan kedudukan Rasul bila kelak dikemudian hari telah wafat. Kondisi ini menimbulkan dua teka teki besar yang ikut andil dalam mengantarkan umat Islam ke dalam rentangan sejarah yang tak berujung. Persoalan pertama adalah siapa yang akan menggantikan kepemimpinan Rasulullah. Persoalan kedua adalah bagaimanakah teknis atau cara memilih pemimpin atau kepala nagara. Ini artinya, suksesi kepemimpinan pasca wafatnya rasulullah telah menjebak umat Islam berada dalam ruang pertikaian dan perbedaan. Sejarah telah mencatat, bahwa suksesi kepemimpinan atau pertarungan politik ini,2 telah menjadi cikal bakal atau telah membidani lahirnya aliran atau mazhab, yang bermuara kepada persoalan teologi, yang pada gilirannya juga telah ikut menggiring pada munculnya aliran-aliran dalam bidang hukum.
1
Rasulullah pada periode Madinah tidak hanya berfungsi sebagai Nabi, akan tetapi sekaligus berfungsi sebagi kepala negara. Hal ini dicermati pada Muhammad S.Elwa, On The Political System of Islam, 1983, hlm. 33-34 2 Syi,ah beranggapan bahwa khalifah harus dari keturunan Fathimah, sedangkan ahl alSunnah berpendapat bahwa khalifah tidak harus dari keturunan Fathimah. Adapun khawarij memperbolehkan khalifah lebih dari satu. Diadaptasi dari, Muhammad al-Khudhari,Alih bahasa, Pakih Sati, Taryikh al-Tasyri’ al- Islamy.(Bandung:Nuansa Aulia)hlm.149-150
1
B. Pembahasan 1. Sejarah timbulnya mazhab hukum Perkataan mazhab berarti jalan yang dilalui atau jalan yang ditempuh.3 Dapat juga berarti pokok-pokok pikiran yang diikuti, seperti perkataan Imam asy-Syafi’i; اذا ﺻﺢ اﻟﺤﺪﯾﺚ ﻓﮭﻮ ﻣﺬھﺒﻲ Wahbah az-zuhaily4 dalam kitabnya Fiqh Islamy wa adillatuhu, menjelaskan bahwa mazhab adalah hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan. Dengan kata lain, mazhab diartikan dengan jalan yang mengantarkan seseorang kepada suatu tujuan tertentu pada kehidupan dunia, begitu juga dengan hukum-hukum dapat mengantarkan seseorang kepada satu tujuan di akhirat. Ketika dilakukan penelusuran terhadap al-Quran dan Sunnah, tidak ditemukan satu perkataan pun yang memberikan petunjuk atau isyarat akan adanya istilah mazhab, tidak ditemukan suatu ungkapan yang mengisyaratkan bahwa mazhab tersebut ada dalam ajaran Islam. Demikian juga pada Rasulullah SAW, yang tidak mengajarkan adanya pengkultusan suatu pendapat. Semua umat Islam adalah satu, satu pendapat, yaitu mengikuti pendapat dan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tidak jauh berbeda dengan Rasulullah, para sahabat pun tidak mengenal adanya mazhab, meskipun di antara mereka ada yang ahli dalam berijtihad, seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatab, Ustman bin ‘Affan, Ali bin muthalib, dan lain-lainnya. Bahkan Rasulullah Saw menegaskan agar umat Islam mengikuti Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam sebuah sabdaNya;
اﻗﺘﺪوا ﺑﺎﻟﺬ ﯨﻦ ﻣﻦ ﺑﻌﺪي اﺑﻮ ﺑﻜﺮ وﻋﻤﺮ Artinya: Ikutilah olehmu sekalian dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar ibn Khathab.
3
Wahbah az-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adillatuhu, alih bahasa, Abd Hayye al Kattani,( Kuala Lumpur:Dar alfikri,2011) hlm.39 4 Wahbah az-Zuhaily, ibid,
2
Pada kesempatan yang lain, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk mengikuti khalifah yang empat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Untuk maksud ini, Rasulullah bersabda; "ﻋﻠﯿﻜﻢ ﺑﺴﻨﺜﻲ وﺳﻨﺔ اﻟﺨﻠﻔﺎء ارﺷﺪﯾﻦ اﻟﻤﮭﺪﯨﻦ ﻣﻦ ﺑﻌﺪي Artinya; Hendaklah
kamu sekalian
mengikuti
Sunnahku dan
sunnah
Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. (HR. Ahmad dan Turmuzi).
Munculnya istilah mazhab berawal pada zaman sahabat Rasulullah. Umpamanya adalah pada masa itu ada mazhab Aisyah, mazhab Abdullah bin Umar, mazhab Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lainnya.5 Suksesi pemerintahan, pasca wafatnya Rasulullah SAW. menggiring para sahabat terjebak dalam ranah politik (siapa yang layak menjadi kepala Negara), dan ranah teologi ( apakah akal dapat mengetahui wahyu, dan bagaimanakah hubungan akal dengan wahyu),dan bahkan lebih jauh dari itu, umat Islam mulai merumuskan metode penggalian hukum (dalam persoalan fikih dan Ushul Fikih). Tren ini berkembang seiring dengan berkembang dan meluasnya pemerintahan Islam. Dengan demikian, suksesi pemerintahan juga telah ikut ambil bagian dalam sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam. Keadaan ini telah membentuk tiga aliran atau mazhab besar dalam Hukum Islam, yaitu mazhab Ahl Al-Sunnah, Mazhab Syi’ah, dan Mazhab Khawarij.
a. Mazhab Ahl al-Sunnah Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, para sahabat banyak yang pergi meninggalkan kota Madinah, menuju kota-kota yang baru dibangun seperti Kufah, Mekkah, Basrah, Mesir dan Syam. Di ibu kota tersebut mereka mengajarkan fikih, meriwayatkan hadist, dan mengembangkan ajaran agama. Umat Islam di daerah tersebut pun berlomba-lomba untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama berupa fikih dan Hadist, sehingga banyak melahirkan generasi yang mumpuni. Di antara mereka adalah Sa’id ibnu Musayyab (13 H5
Wahbah az-Zuhaily,op.cit.
3
94 H), Ibrahim An-Nakhai (46 H- 96 H), Amir ibn Surahbi (19 H- 103 H)l, Thaus ibn Kaisan al-Yamani (W 106 H), Al-Hasan ibn Jasar al-Bhisr i (W 11 H), dan Atha’ ibn Abi Rabah (27 H-11 H).6 Pada periode ini, fikih mulai dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri, dan para ulama pun mulai saling berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang lebih dominan dalam menggunakan wahyu di samping akal atau rakyi. Sebahagiannya lagi mereka lebih dominan menggunakan rakyi atau logika ketimbang wahyu. Untuk itu, para ulama fikih pada masa ini terbagi kepada dua golongan, yaitu; golongan Ahlur Rakyi dan golongan Ahlul Hadist.7 1) Ahlul Hadist Ulama golongan ini, dalam menyelesaikan persoalan fikih, lebih mengkedepankan atau lebih dominan menggunakan hadist ketimbang akal atau rakyi. Karenanya mereka menjauhi penggunaan rakyi dan baru akan menggunakannya bila dalam keadaan yang sangat mendesak. Untuk itu kegiatan mereka banyak dicurahkan untuk menghafal hadist-hadust dan fatwa para shahabat. Aliran ini berkembang di daerah Hejaz. Di antara tokohnya adalah; Sa’id ibn Musayyab (W 94 H), Amir bin Syurahel asy-Sya’by (W 104 H), dan lain-lain. Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Hejaz adalah; 1) Pengahruh dari para sahabt yang mengajarkan fikih di hejaz, yang notabene sebagai alul hadist. Umpamanya ‘Abdullah ibn Abbbas, ‘Abdullah ibn Umar. 2) Banyaknya jumlah sahabat yang berdomisili di daerah Hejaz, serta merta Sunnah dan fatwa sahabat beredar dengan jumlah yang besar. 3) Di daerah Hejaz, jarang sekali terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak di dapati hukumnya di dalam al-Quran dan Hadist, serta fatwa-fatwa sahabat , dikarenakan kehidupan masyarakat Hejaz pada saat itu hampir tidak berbeda dengan masa sebelumnya. 6
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Islamy,(Maktabah wa Mathbaah Muhammad Ali Shobih wa auladuhu), hlm.72-73 7 Lihat Moh. Ali as-Sayis,h.72. Lihat juga Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa.Drs. Moh Said dkk.(Clarendom Pres.1`977).hlm.40-50
4
2) Ahlul Rakyi Kelompok yang berorientasi kepada rakyu (pendapat akal) dalam menetapkan hukum dan meneliti berbagai mashlahat untuk dijadikan landasan hukum. Aliran ini muncul disebabkan oleh karena sedikitnya jumlah hadis yang beredar di tempat fuqaha berada. Keadaan ini mendorong mereka untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum. Aliran ini berkembang di daerah Irak. Adapun tokohnya yang termasyhur adalah; Al-Qamah bin Qeys (W. 62 H), Ibrahim bin Yazid anNakha’I (W. 95H). Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Irak adalah: 1) Pengaruh dari sahabat yang pertama mengajarkan fikih, umpamanya Abdullah bin Mas’ud, yang notabene bercorak rakyi. 2) Sedikitnya jumlah hadist dan fatwa sahabat yang beredar di Irak. 3) Banyaknya persoalan fikih yang muncul di daerah Irak. 4) Daerak Irak merupakan pusat kegiatan politik, dan daerah tempat berkembangnya aliran Khawarij dan Syi’ah, yang memicu munculnya hadist-hadist palsu
Pada pemerintahan Bani Abbasiyah, lahirlah imam-imam mujtahid yang professional dari golongan Ahlul Hadist dan Ahlur Rakyi. Di antaranya yang
popular dan masih eksis sampai sekarang adalah Mazhab Hanafy,
Mazhab Malik, Mazhab asy-Syafi’I, Mazhab Hanbali, dan mazhab Zhahiry.8
b. Mazhab Hanafi Mazhab ini dibangun oleh Imam Abu Hanifah, merupakan ulama besar yang telah mewarnai dunia dengan khazanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang ilmu fiqih. Keluasan ilmu, pengalaman, kezuhudan, keberanian seolah 8
Lihat Joseph Schacht.hlm.51-112. Lihat juga, Moh Ali as-Sayis. hlm.91-110. Lihat juga Dr. Sya’bah Muhammad Ismail.Al-Tasyri’a al-Islamy Mashadiruhu wa Athwaruhu,(Mesir:Maktabah an-Nadhah,934).hlm.212-348
5
menyatu dalam diri sang Imam. Nama asli dari Imam Hanafi adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriah (699 M).9 Pada masa remajanya, beliau telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu, walaupun beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau menjauhi hidup. Di samping menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadits, Bahasa Arab dan ilmu hikmah. Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keridhaan Allah SWT Gubernur di Iraq pada waktu itu adalah Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan Baitul mal, tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mau menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya. Pada saat yang lain Yazid menawarkan pangkat Hakim tetapi imam Hanafi juga menolaknya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya Akhirnya Imam Hanafi ditangkap oleh gubernur dan dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu dan lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gubernur menawarkan menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya hingga ia dilepaskan kembali. Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh Kerajaan Daulah Umayyah dan Abbasiyah adalah karena beliau tidak sesuai dengan corak 9
Lihat al-Syekh Muhammad al-Khudary , Tarekh al-Tasyri’al-Islamy, (Indonesia dar alKutub l-Arabiyah, 1998)hlm.229
6
pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka siksa hingga meninggal pada usia 70 tahun. Madzab Hanafi disebarluaskan oleh murid-murid beliau dan fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para muridnya sehingga tersebar luas dan dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’i. Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar. Dalam menetapkan hukum, Imam Hanafi menggunakan metode berdasarkan Al Quran, Sunnah Rasul, Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan ‘Urf. Sedangkan 'Urf maksudnya adalah adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.10
c. Mazhab Malik Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik, merupakan salah satu imam ahli fikih yang masyhur dan termasuk dari 4 Imam Madzhab. Keluasan ilmu, kedermawanan, keshalehan pada diri beliau banyak dituliskan dalam kitab-kitab sejarah Islam. Profil biografi imam malik penuh dengan semangat mencari ilmu yang akan kita bahas secara ringkas dalam artikel ini. Imam malik dilahirkan di kota Madinah al Munawwarah pada tahun 93 H, dengan nama lengkapnya Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah.11 Imam Malik menerima hadist dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’i tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’man al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzaifah as Sahmi al Anshari. 10 11
Lihat Moh. Ali as-Sayis h.94 lihat juga Syekh Muhammad al-Khudhary, hlm.231 Syekh Muhammad al-Khudhary,op.cit.hlm.239
7
Guru Imam Malik diantaranya adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain. Sedangkan murid-murid beliau diantaranya adalah Ibnul Mubarak, Imam Syafi’i, Al Qathan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Abu Hudzaifah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain. Ahmad bin Hanbal berkata: "Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah". Seseorang bertanya kepada Imam Syafi'i "apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab "aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami (orang sekarang) menemui yang seperti Malik?" Al Muwaththa' merupakan kitab yang disusun oleh Imam Malik, yang beliau susun selama 40 tahun, dan telah ditunjukan kepada 70 ahli fiqh kota Madinah. Kitab Al Muwaththa’ berisi 100.000 hadits, yang diriwayatkan oleh lebih dari seribu orang dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi. Kitab Al-Muwaththa berisikan hadits-hadits serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Imam Malik menyeleksi dari 100.000 hadits yang beliau hafal, kemudian hanya 10.000 saja yang diakui sah dan dari 10.000 hadits tersebut, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih oleh beliau setelah diteliti dengan seksama. Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. Sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H pada usia 87 tahun. Adapun metode istimbat hukum mazhab Maliki adalah al-Kuran, Sunnah, Ijmak ahli Madinah, Qiyas, Istishlah atau al-mashalih al-Murshalah.
8
d. Mazhab Syafi'i Mazhab ini didirikan oleh Imam asy-Syafi’i12 merupakan ulama besar yang memiliki pengetahuan yang mendalam di berbagai disiplin ilmu terutama di bidang fiqh. Termasyhur bukan hanya karena kejeniusannya tapi juga karena sifat dermawan, wara’ dan kezuhudan beliau. Imam Syafi'i lahir di Ghaza, Palestina pada tahun 150 H, Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib dan nasabnya bertemu Rasulullah di Abdul Manaf. Perjalanan hidup Imam Syafi'i dimulai sejak wafat ayahnya, sang ibu membawanya ke Mekah. Sejak kecil Imam Syafi’i cepat menghafal syair, pandai Bahasa Arab dan sastra. Kemudian beliau berguru fiqh kepada Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia belajar kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ialah Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau meneruskan ke kota Baghdad, Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya. Salah satu karangannya adalah “Al-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i
12
Nama lengkapnya Abu Abdillahf Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Al-Syafi’I adalah murid dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Dengan belajar kepada dua tokoh ini asy-Syafi’I menjadi lebih sempurna keilmuannya, terutama dalam bidang Fikih. Lihat Ahmad Syailabi.op.cit hlm.154
9
adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Pertemuan Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal terjadi di Mekah pada tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i banyak belajar tentang ilmu fiqh, ushul madzhab, penjelasan nasikh dan mansukh. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya. Kemudian beliau pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru.13 Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H. Adapun metode penetapan hukum mazhab asy-Syafi’I adalah al-Quran, Sunnah, Ijmak, Fatwa sahabat yang disepakati, fatwa sahabat yang diperseliesihkan, Qiyas dan Istidlal.
e. Mazhab Ahmad bin Hambal Mazhab Ahmad bin Hanbal di bangun oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (164 H)14.Riwayat tentang sejarah kehidupan Imam Ahmad bin Hambal banyak ditulis oleh banyak 'ulama di berbagai kitab mereka. Keutamaan ilmu, kekuatan hafalan dan akhlak beliau menyinari perjuangan Islam di sepanjang sejarah. Profil biografi Imam Ahmad bin Hambal merupakan mutiara pelajaran besar yang dapat kita ambil hikmahnya. Nama lengkap Imam Ahmad bin Hambal adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Beliau lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah di Baghdad. Imam Ahmad bin Hambal menghafal Al Qur’an pada usia 15 tahun, beliau juga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya.
13
Perbedaan dua qaul (pendapat) ini disebabkan oleh fakta-fakta baru yang ditemukan oleh asy-Syafi’I ketika melakukan penelitian, sehingga tidak pelak lagi kalau dia melakukan revisi ulang terhadap pendapatnya yang lama. Di samping itu, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang ada baik di daerah Mesir maupun Iraq, dan juga lebih karena tingkat kebutuhan masyarakat Mesir maupun Iraq. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,(Semarang:Pustaka Rizki Putra,2001),hlm.88-91 14 Lihat Muhammad Hasbi ash Shiddieqy,ibid..h.91-92. Lihat juga Syeckh Muhammad al-Khudhary,op.cit. h.263-264
10
Imam Ahmad bin Hambal mempunyai hafalan yang kuat, bahkan beliau hafal satu juta hadits. Banyak pujian dari para ulama terhadap Imam Ahmad bin Hambal, seperti yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i bahwa “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Fiqih, bahasa, Al Qur’an, kefaqiran, kezuhudan, wara’ dan Sunnah”.Kezuhudan beliau pun sangat terkenal, seperti yang diceritakan oleh Al Maimuni bahwa rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil. Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Sifat tawadhu' seolah telah melekat pada diri beliau, sehingga banyak riwayat yang menceritakan ketawadu'an beliau. Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hanbal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikit pun kebaikan yang ada padanya kepada kami”. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Ada kisah lain tentang sifat tawadhu'nya, bahwa beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” lalu beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!” Guru-guru Imam Ahmad bin Hambal jumlahnya lebih dari 280 ulama yang berasal dari berbagai tempat seperti Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan lainnya. Guru beliau diantaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad AlAtaky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil.15 Murid Ahmad bin Hambal banyak dari kalangan 'ulama besar di antaranya Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-
15
Lihat Muhammad Ali as-Sayis, op.cit..hlm.107-108
11
Syafi’i, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Hambal bin Ishaq dan lainnya. Kitab beliau sangat banyak, di antaranya adalah Kitab Al Musnad yang berisi lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Az-Zuhud, Fadhail Ahlil Bait, Jawabatul Qur’an, Al Imaan, Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Al Asyribah dan Al Faraidh. Setelah menderita sakit selama 9 hari, Imam Ahmad bin Hambal menghembuskan nafas terakhirnya pada umur 77 tahun. Pada saat itu pagi hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 241 H, jenazah beliau dimakamkan. Adapun sandaran hukum mazhab Hanbali adalah ;16 a. An-Nushus. Ia memberikan fatwa berdasarkan nash, sebagai rujukan utama. b. Fatwa sahabat. Ketika tidak ditemukan nash, maka imam Ahmad merujuk kapada fatwa sahabat, sebatas ia tidak mengetahui bahwa fatwa tersebut ada yang menentangnya atau masih dalam perselisihan. c. Fatwa yang paling dekat dengan nash.Ahmad lebih memilih pendapat sahabat yang mendekati al-Quran dan Sunnah bila ada beberapa pendapat yang berlainan dan saling bertentangan tentang suatu hukum. Kadang ia tidak memberikan fatwa jika tidak ada yang menguatkan pendapat saahabat tersebut, dan kadang kala mengambil salah satu pendapat yang masih diperselisihkan tersebut. d. Hadis mursal dan dha’if yang dianggapnya lebih kuat dari Qiyas. Penggunaan hadist mursal dan dha’if tersebut dipilihnya selama tidak ada dalil lain yang menentangnya, seumpama pendapat sahabat dan ijmak.Adapun hadist dha’if yang diambilnya adalah hadist dha’if yang tidak sampai pada derajat hasan dan shahih. e. Qiyas. Jika keempat dalil di atas tidak dapat diterapkan, barulah dia mengambil metode qiyas.
16
Ibid.,108-109
12
f. Mazhab Zhahiri Pendiri dari mazhab Zhahiry adalah Daud ibn Ali al-Ashfahaniy yang dilahirkan pada tahun 202 H. di Kufah dan wafat pada tahun 270 H di Baghdad.17 Pada awalnya Daud Zhahiry merupakan penganut mazhab asy-Syafi’I yang baik, termasuk ulama yang rajin mendalami dan mempelajari hadist-hadist Rasulullah. Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar pada persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami sumber tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam masalah fikihnya. Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Dalam cara mempertegas ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata : ع ُ ﺴﻨﱠﺔُ َواْ ِﻹ ﺟْ َﻤﺎ ُ ُان اْﻻ ُ ﺎب َو اﻟ ُ َ أ َ ْﻟ ِﻜﺘ: ﺻ ْﻮ َل “Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur’an, Sunnah, Ijmak.”18
Bagi penganut az-Zhahiri keumuman nash al-Qur’an sudah cukup menjawab semua tantangan dan masalah. Pendirian tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl: 89: “ (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
17
Lihat DR. Sya’bah Muhammad Ismail,op.cit..hlm.346. Mazhab Zhahiry, merupakan satu satunya mazhab hab yang eksistensinya mengambil namanya dari suatu teori hukum. Prinsip mereka adalah menyadari, meyakini sepenuhnya arti zhahir dari al-Quran dan Hadist, dan menolak semua yang bertentangan dengan teks nash, penggunaan opini bebas peribadi yang telah berkembang sebelum asy-Syafi’I, mupun penggunaan analogi dan berfikir sistematis yang dipegang oleh asy-Syafi’i.Lihat Joseph Schachth, op.cit.hlm.85-86 18 Ibid,hlm.348
13
Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn Idris al-Syafi’i. Menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal. Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Dalam rangka mengetahui dalil dibalik teks, ulama melakukan penelitian, sehingga diketaui ‘illat hukumnya, baik ‘illat yang terdapat dalam Nash secara tekstual (‘illat manshusah) maupun ‘illat yang diperoleh setelah melalui penelitian (‘illat mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syari’ah adalah Ta’abbudi (bukan ta’aquli). Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam Daud az-Zhahiri dibangun oleh Ibnu Hazm. Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman suatu nash yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau ijmak itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pendekatan kepada nash atau ijmak melalui dilalah (petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan ‘illatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias diperlukannya kesamaan ‘illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan mengetahui ‘illat tersebut.
g. Mazhab Syia’h 1) Mazhab Syiah Zaidiyah Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin19, seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di jamannya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqih ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqih Zaidiyah. Namun ada di antara ulama fiqih yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqih Mesir) menyatakan bahwa 19
Lihat Sekh Muhammad al-Khudhary, op.cit..hlm.264 Lihat juga Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,Sejarah Legislasi hukum Islam,(Jakarta:Amzah,2009),lmh,81-82
14
pernyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di jamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqih. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin alHusein bin Haimi al-Yamani as-San’ani dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir. Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqih. Di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar. Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlusunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudhu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih nonmuslim, dan haram mengawini wanita ahlul kitab. Di samping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqih Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi. Adapun pokok-pokok pikiran dari mazhab zaidiyah ini adalah;20 Sanad hadist yang diutamakan adalah yang berasal dari Ahlul bait, Khalifah bukanlah jabatan keturunan, tetapi khalifah yang terbaik adalah khalifah yang diangkat dari golongan Fathimah.Melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim. Oleh sebab itulah dia mengangkat senjata untuk melawan Yazid pelaku dosa besar diletakkan antara kufur dan iman, yang dinamakan fasiq. Manusia mempunyai ikhtiar dan bertindak sesuai dengan kemampuannya. Para imam tidak mempunyai mukjizat.
20
Ibid. hlm. 82
15
2) Mazhab Syiah Imamiyah Golongan Syiah Imamiah disebut juga dengan golongan itsna Asyiriah (imam yang dua belas), karena menurut mereka hanya ada dua belas imam yang wajib diikuti, yaitu; Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Musa bin Ja’far, Ali al-Ridha bin Musa, Muhammad al-Jawad, Al-Hadi, Hasan al-Asy’Ari, dan Muhammad al-Mahdi.21 Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqih Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqih Mazhab Syafi’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.Untuk itu, yang menjadi pegangan pokok dalam mazhab ini adalah alKitab, As-Sunnhah, Ijmak, dan Aqal. Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim, diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi. Dasar pemikiran fiqih Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan
21
Ibid. lihat juga Muhammad Ali As-Sayis,op.cit,hlm.64-65
16
dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm .
h. Mazhab Khawarij. Kaum Khawarij menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyriy yang artinya menjual atau mengorbankan diri kepada Allah. Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dan keras, Ali dianggap bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah. Dalam pandangan kelompok ini, kedua kubu politik yang disebutkan di atas adalah salah dan sesat22. Khawarij juga melahirkan beberapa sekte, di antaranya Muhakkimah, Azzariqoh, Najdah, dan Ajaridah. Adapun pemikiran fiqihnya antara lain : Khalifah tidak harus orang Quraisy, tapi siapa saja yang mampu memimpin. Berbeda dengan Sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraisy. Selain itu, orang yang melakukan dosa besar, seperti halnya Utsman, Ali, Abu Musa, Muawiyah, dan Amru bin Ash tergolong kafir. Mereka pun berpendapat bahwa wajib hukumnya untuk menentang pemerintahan dzalim, termasuk Ali dan Muawiyah. Amalan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya termasuk dalam hukum , sehingga iman tidak cukup dengan penetapan di dalam hati dan ikrar dilisan saja. Hukuman zina cukup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, sedang rajam adalah ajaran hadits sebagai tambahan dari Al-Qur’an.Ayat “Banatukum” dalam ayat larangan nikah, cukup diartikan anak perempuan, jadi cucu boleh dinikahi oleh kakeknya. Selain kelompok Khawarij adalah kafir, dan kafir haram dinikahi. Yang disebut Ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan lainnya, yang selain itu bukanlah disebut Ghanimah. Ayat “Laa Washiyata Li warisin” tidak berlaku. Sehingga ahli waris boleh mendapatkan 22
Muhammad Ali As-Sayis, h.61. Lihat juga Rasyad Hasan Khalil, h.80-81
17
warisan. “Radho’ah” tidak menghalangi perkawinan sehingga saudara satu susu boleh dinikahi. Thaharah adalah suci lahir dan bathin, konseksuensi logisnya adalah apabila ketika akan shalat atau dalam shalat berpikir sesuatu yang kotor dan membuat bathin kotor maka shalat itu batal. Pemahaman Khawarij ini berimplikasi terhadap pemahaman fiqih. Beberapa pendapat mereka yang dapat dikemukakan diantaranya adalah masalah thaharah, suci lahir dan bathin. Sebagaimana disebutkan oleh Manna AlQatthan, kaum Khawarij salah satu kelompok Islam yang paling ekstrim dalam melihat sesuatu, baik itu dalam iman atau kekafiran. Khawarij hanya mengakui Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber Tasyri’ sehingga mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma’ atau yang lainnya. Akibatnya adalah mereka selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan Al-Qur’an. Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi’in menggunakan sunnah dan ijma’.
2. Fator penyebab munculnya perbedaan mazhab dalam hukum Islam Perbedaan mazhab dalam Hukum Islam lebih disebabkan oleh kedudukan Bahasa Arab itu sendiri, yang terkadang lafaznya mengandung lebih dari satu pengertian atau makna. Adakalanya perbedaan tersebut dipicu oleh periwayatan sebuah hadist, dan cara sampainya hadist tersebut kepada mujtahid, baik dari segi kuat maupun lemahnya. Di samping itu, juga disebabkan oleh sedikit atau banyaknya dalil syara’ yang digunakan oleh mujtahid. Atau karena adanya pertimbangan menjaga mashlahat ,keperluan dan adat, yang senantiasa berkembang sewaktu menetapkan hukum. Adanya tingkat perbedaan pemikiran dan akal manusia dalam memahami nash, cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syara’, kemampuan mengetahui rahasia-rahasia di balik aturan syara’, dan juga dalam mengetahui illat hukum Syara’, telah ikut mendorong ulama dalam ranah perbedaan. Untuk lebih
18
jelasnya, adalah;
faktor penyebab timbulnya mazhab hukum dalam hukum Islam
23
Perbedaan Makna dalam kata-kata Bahasa Arab Keadaan ini terjadi adakalanya karena lafat itu mujmal (tidak detail) atau musytarak (lebih dari satu makna), atau mempunyai dua maksud, yaitu umum dan khusus atau makna hakiki dan majazi, atau makna hakiki dan makna menurut adat (‘Urf). Kadang kala perbedaan tersebut terjadi karena lafat tersebut kadang-kadang disebut secara muthlaq (tidak dibatasi) dan kadangkadang disebut secara muqayyad, atau perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan I’arab. Adapun contoh lafaz yang mempunyai makna lebih dari satu adalah lafaz “ al-Quru’” yang mempunyai arti suci dan juga mempunyai arti haidh. Contoh yang lain adalah lafaz yang berbentuk perintah, apakah ia bermakna wajib atau sunnah saja. Demikian juga dengn lafaz yang berbentuk larangan, apakah bermakna haram atau makruh saja. Perbedaan makna dalam kata-kata Bahasa Arab ini juga terjadi dalam lafaz murakkab umpamanya adalah firman Allah SWT. Setelah ayat tentang had qazhaf (kumnan kepada oarng yang menuduh orang lain berbuat zina). Untuk lebih jelasnya, perbedaan penggunaan makna dalam kata-kata Bahasa Arab ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut. 1) Lafaz Muradif dan Musytaraq. Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna. Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para Jumhur ulama sebagai beriku: اﯾﻘﺎع ﻛﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﺮادﻓﯿﻦ ﻣﻜﺎن اﻻﺧﺮ ﯾﺠﻮز اذا ﻟﻢ ﯾﻘﻢ ﻋﻠﯿﮫ طﺎﻟﻊ ﺷﺮﻋﻲ Artinya:
Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu
diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.
23
Lihat Joseph Schacht,op.cit hlm. 40-67 Lihat juga Wahbah Az-Zuhaily, op.cit, hlm.7276. Lihat juga
19
Dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kalimat “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djam”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
(a) Hukum Muradhif Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. (b)Musytarak Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اﺷﺘﺮك
yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan اﺷﺘﺮك اﻟﻘﻮمyang
berarti “kaum itu bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain: اﻟﻠﻔﻆ اﻟﻮاﺣﺪ اﻟﺪال ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﯿﯿﻦ ﻣﺨﺘﻠﻔﯿﻦ اواﻛﺜﺮ دﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻮأ ﻋﻨﺪاھﻠﺘﻠﻚ اﻟﻔﻆ Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
ةMenurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh: اﻟﻔﻆ ﯾﺘﻨﺎول اﻓﺮادا ﻣﺨﺘﻠﻔﺔ اﻟﺤﺪود ﻋﻠﻰ ﺳﺒﯿﻞ اﻟﺒﺪل Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”
Maksud pergantian di sini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata ﻗﺮءyang dalam pemakaian Bahasa Arab dapat berarti masa suci dan bisa pula masa
20
haidh, lafadz ﻋﯿﻦbisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “ "ﯾﺪmusytarak antara tangan kanan dan kiri, kata
ﺳﻨﺔdapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun
masehi. Berdasarkan ketentuan Hukum Lafadz Musytarak apabila dalam nashnash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut : Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu: ﯿﺾ ۖ َو َﻻ ﺗ َ ْﻘ َﺮﺑُﻮھُﻦﱠ َﺣﺘﱠ ٰﻰ ﯾَ ْﻄ ُﮭ ْﺮنَ ۖ ﻓَ ِﺈذَا ْ ََوﯾ َ ِّﯿﺾ ۖ ﻗُ ْﻞ ھ َُﻮ أَذًى ﻓَﺎ ْﻋﺘَ ِﺰﻟُﻮا اﻟﻨ ِ ﺴﺎ َء ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤ ِﺤ ِ ﺴﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ ﻋ َِﻦ ا ْﻟ َﻤ ِﺤ ُ ﺗ َ َﻄﮭ ْﱠﺮنَ َﻓﺄْﺗ ُﻮھُﻦﱠ ِﻣ ْﻦ َﺣﯿ َ◌ﺐ ا ْﻟ ُﻤﺘ َ َﻄ ِﮭ ِّﺮﯾﻦ ﺐ اﻟﺘ ﱠ ﱠﻮا ِﺑﯿﻦَ َوﯾُ ِﺤ ﱡ ْﺚ أ َ َﻣ َﺮ ُﻛ ُﻢ ا ﱠ ُ ۚ إِنﱠ ا ﱠ َ ﯾُ ِﺤ ﱡ
21
Lafadz اﻟﻤﺤﯿﺾdapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadz اﻟﻤﺤﯿﺾdi atas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
2) Mutlaq dan Muqayyad. Para ulama ushul menyepakati bahwa mutlaq adalah suatu lafal tertentu yang belum ada kaitan atau batasan dengan lafal lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Yang dimaksud dengan mutlak adalah sesuatu lafal yang menunjukan hakekat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Misal: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami dan tidak dibatasi oleh katakata lain. Contoh dalam al-Qur’an adalah pada kata Raqabah dalam surat al Mujadillah ayat: 3. ﻓﺘﺤﺮ ﯾﺮ رﻗﺒﺔ Lafaz raqabah di atas termasuk mutlak karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu. Kafarat zhihar adalah memerdekakan budak/raqabah. Budak dalam ayat tersebut bermakna mutlak (memiliki pengertian tertentu yang sudah kita pahami dan tidak dibatasi pada makna yang spesifik) Lafal mutlak menunjukan hakekat suatu lafal tanpa batasan apapun, baik dari segi sifat atau jumlahnya. Misalnya firman Allah yang berbunyi sebagai berikut : ﻓﺘﺤﺮ ﯾﺮ رﻗﺒﺔAyat tersebut menuntut memerdekakan budak, tanpa memerhatikan jumlah budak, satu atau banyak dan tanpa megartikan sifat budak, apakah beriman atau tidak yang penting adalah memerdekakaan budak.
22
Sedang ‘Am ialah lafal yang menunjukan pada hakekat lafal tersebut dengan memperhatikan jumlahnya. Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 4 yang berbunyi :ﻓﻀﺮب اﻟﺮﻗﺎب Lafal ‘am(al-Riqob) di atas adalah meliputi semua orang-orang kafir yang ikut berperang. Muqayyad adalah lafaz yang menunjuk pada hakikat lafaz tersebut dengan dibatasi (diberi kayyid) oleh sifat, keadaan dan syarat tersebut. Dengan kata lain muqayyad ialah lafal yang menunujukan pada hakikat lafal itu sendiri dengan dibatasi oleh batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah, misalnya firman Allah Pada Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 4 :
فﺗﺤﺮ ﯾﺮ رﻗﺒﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ Contoh di atas adalah lafal muqoyyad yang dibatasi dengan sifat. Adapun contoh muqoyyad yang dibatasi dengan syarat, ialah firman Allah berkenaan dengan kafarat sumpah dalah QS. Al-Maidah ayat 89 :
ﻓﻤﻦ ﻟﻢ ﯾﺠﺪ ﻓﺼﯿﺎم ﺛﻼﺛﺔ اﯾﺎم Kafarat puasa 3 hari tersebut disyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan ataupun pakaian. Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya. 1. Sama sebab dan hukumnya Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq. Misal firman Allah QS. Al-Maidah ayat 3 :
23
Darah yang disebutkan di atas adalah bersifat mutlaq oleh karena itu pengertian darah yang bersifat mutlaq tersebut disesuaikan dengan pengertian darah yang bersifat muqayyad dalam firman Allah QS. AlAn’am ayat 145
Berhubung objek kedua lafal tersebut adalah sama yakni darah dan hukum keduanya juga sama yaitu diharamkan, maka pengertian lafal yang mutlaq tersebut disesuaikan dengan lafal yang muqayyad dengan demikian darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. 2. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hukum, maka bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sedang ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya. Contohnya pada perkataan “Raqabatin” yang artinya “budak”. Lafadz ini bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya: “dan orang-orang yang bersumpah zhihar kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajib memerdekakan budak, sebelum keduanya berkumpul” (QS Al- Mujahadah 39) Pada ayat lain berupa “rakabatin mukminatin” (budak yang muknin). Lafadz ini berbentuk muqayyad dalam ayat yang artinya “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan bersakah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin. “(QS An- Nisa 92). Pada ayat pertama seorang harus memerdekakan budak, karena bersupah zhihar, sedang pada ayat kedua karena membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya.
24
Meskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya sama yaitu samasama memerdekakan budak. Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap pada kemutlaqnnya, maka dalam sumpah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang dimerdekakan harus mukmin 3. Perbedaan hukum dan sebab Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hukum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang lainnya, diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu soal pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil sebagaimana dalam hal saksi. 4. Perbedaan dalam hukummya saja. Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan antara ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Karena keduanya ini berbeda dalam hukumnya, yang yang satu harus membeli budak dan yang lainnya harus memerdekakan budak. Oleh karena itu, yang satu tidak boleh diikutkan pada yang lain.
3) Hakikat dan Majaz a) Hakikat Secara etimologi, hakikat merupakan derivasi dari kata haqqa alsyai’ yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl) yang berarti ‘ditetapkan’. Kata ‘hakikat’ merupakan kata musytarak yang mempunyai dua pengertian: esensi sesuatu di satu sisi dan inti perkataan di sisi lain.
25
Apabila ditujukan kepada lafaz atau kata, maka hakikat adalah kata yang digunakan pada tempatnya. Dengan redaksi lain, hakikat adalah nama bagi sebuah kata yang dimaksudkan untuk makna aslinya yang terambil dari hakikat sesuatu. Kata itu benar-benar menunjukkan kepada makna yang sebenarnya. Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.
Ibnu Qudamah
mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang aqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Hakikat terbagi kepada tiga: lugawiyyah, syar’iyyah, dan ‘urfiyyah. Klasifikasi ini dikarenakan hakikat mesti menempuh jalan penetapan, dan setiap penetapan mesti mempunyai subjek yang menetapkannya. Disebut lugawiyyah apabila subjek penetapannya adalah bahasa. Sementara syar’iyyah apabila ditetapkan oleh syari’at, dan begitu juga dengan ‘urfiyyah berarti subjeknya adalah kebiasaan. Lebih rinci lagi, haqiqah ‘urfiyyah dibagi lagi menjadi haqiqah ‘urfiyyah khāssah dan haqiqah ‘urfiyyah ‘āmmah. Haqiqah ‘urfiyyah khāssah adalah hakikat yang ditetapkan oleh kebiasaan masyarakat secara parsial, yaitu terbatas pada kalangan tertentu, seperti kata ijma’ yang hanya berlaku di kalangan fiqh. Sementara haqiqah ‘urfiyyah ‘āmmah adalah yang ditetapkan kebiasaan yang berlaku secara global, seperti kata dābbah yang dalam bahasa Arab berarti hewan berkaki empat.
b) Majaz Para ulama terdahulu telah meneliti majaz ini, sehingga mereka telah memberikan definisi terminologis yang berbeda-beda. Dalam kitab Kaysfu al-Asrār dinyatakan bahwa majaz adalah kata yang difungsikan untuk
26
pengertian lain di luar pengertian aslinya yang biasa terjadi dalam percakapan dengan adanya ‘alaqah antara pengertian baru yang dimaksudkan dengan pengertian aslinya. Sementara Abu Hamid AlGhazali dalam Mustaṣfa mendefinisikan majaz sebagai kata yang dipakai oleh orang Arab pada selain tempatnya. Kata-kata dengan makna majaz ini terjadi dalam kata-kata mufrad (singular). Pelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan. Dari ketiga definisi tersebut, beliau menyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu: Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki suatu bahasa. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan lafaz itu memang ada kaitannya
Dari segi pembentukannya, majaz bisa dibedakan menjadi: Kata yang dipinjamkan untuk suatu pengertian karena adanya keserupaan pada khāssah (propria), seperti kata al-asad yang dipinjamkan untuk makna berani. Penambahan dalam tarkib yang sebenarnya tanpa penambahan tersebut, maknanya tidak berubah, seperti ﻟﯿﺲ ﻛﻤﺜﻠﮫ ﺷﻲ. Sebenarnya menghilangkan
huruf
kaf
tidaklah
merubah
makna,
namun
penambahan tersebut menjadikannya bermakna majaz.
27
Pengurangan
yang
tidak
berimplikasi
pemahaman. Seperti واﺳﺌﻞ اﻟﻘﺮﯾﺔ
terhadap
kekeliruan
yang sebenarnya dimaksudkan
penduduknya Mendahulukan dan membelakangkan (taqdīm dan ta’khīr) seperti pada surat al-Nisā’ ayat 11 yang maksud sebenarnya adalah sesudah membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiat. Namun, redaksi ayatnya berbunyi:ﻣﻦ ﺑﻌﺪ وﺻﯿﺔ ﯾﻮﺻﻲ ﺑﮭﺎ او دﯾﻦ.
Dari segi ‘alaqah-nya, majaz terbagi kepada dua bagian: Isti’arah, yaitu majaz yang ‘alaqah antara makna asli dan makna yang dimaksudkan terdapat musyābahah seperti firman Allah; surat Ibrahim ayat pertama:
o ﻛﺜﺎب أﻧﺰﻟﻨﺎه إﻟﯿﻚ ﻟﺘﺨﺮج اﻟﻨﺎس ﻣﻦ اﻟﻈﻠﻤﺎت إﻟﻰ اﻟﻨﻮر Mursal atau muthlaq, yaitu yang ‘alaqah antara makna asal dan makna yang dituju bukanlah musyābahah. Majaz ini pun terbagi kepada beberapa pembagian seperti sababiyyah, musababbiyah, i’tibār juz ‘ala al-kulli, dan sebagainya.
3) Mutlaq dan muqayadh Para ulama’ usul menyepakati bahwa mutlaq adalah suatu lafal tertentu yang belum ada kaitan atau batasan dengan lafal lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Definisi mutlak dengan beberapa definisi, namun semuanya bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan mutlak adalah sesuatu lafal yang menunjukan hakekat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersenpit keluasan artinya. Misal: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, yang memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami dan tidak dibatasi oleh kata-kata lain. Contoh dalam al-Qur’an adalah pada kata Raqabah dalam surat al Mujadalah ayat: ( )ﻓﺘﺤﺮ ﯾﺮ رﻗﺒﺔLafaz raqabah di atas termasuk mutlak karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu. Kafarat dhihar adalah memerdekakan 28
budak/raqabah Budak dalam ayat tersebut bermakna mutlak (memiliki pengertian tertentu yang sudah kita pahami dan tidak dibatasi pada makna yang spesifik) Lafal mutlak menunjukan hakekat suatu lafal tanpa batasan apapun, baik dari segi sifat atau jumlahnya. Misalnya firman Allah yang berbunyi sebagai berikut : ﺗﺤﺮ ﯾﺮ رﻗﺒﺔAyat tersebut menuntut memerdekakan budak, tanpa memerhatikan jumlah budak, satu atau banyak dan tanpa mengartikan sifat budak, apakah beriman atau tidak yang penting adalah memerdekakaan budak. Sedang ‘Am ialah lafal yang menunjukan pada hakekat lafal tersebut dengan memperhatikan jumlahnya. Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 4 yang berbunyi : ﻓﻀﺮب اﻟﺮﻗﺎ بLafal ‘am(al-Riqob) di atas adalah meliputi semua orang-orang kafir yang ikut berperang. Sedangkan Muqayyad adalah lafaz yang menunjuk pada hakikat lafaz tersebut dengan dibatasi (diberi koyyid) oleh sifat, keadaan dan syarat tersebut. Dengan kata lain muqoyyad ialah lafal yang menunujukan pada hakikat lafal itu sendiri dengan dibatasi oleh batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah, misalnya firman Allah Pada Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 4 :
فﺗﺤﺮ ﯾﺮ رﻗﺒﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ Contoh di atas adalah lafal muqoyyad yang dibatasi dengan sifat. Adapun contoh mukoyyad yang dibatasi dengan syarat, ialah firman Allah berkenaan dengan kafarat sumpah dalam QS. Al-Maidah ayat 89 : ﻓﻤﻦ ﻟﻢ ﯾﺠﺪ ﻓﺼﯿﺎم ﺛﻼﺛﺔ اﯾﺎم Kafarat puasa 3 hari tersebut disyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan ataupun pakaian. Hubungan Antara Mutlaq dan Muqayyad Apabila ada satu lafadz di satu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.
29
Sama sebab dan hukumnya Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama. Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hukum, maka bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sadang ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya. Contohnya pada perkataan “Roqobatin” yang artinya Budak. Lafadz ini bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya: “dan orang- orang yang bersumpah zhihar kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajib memerdekakan budak, sebelum keduanya berkumpul” (QS AlMujahadah 39) Pada ayat lain berupa “rokobatin mukminatin” (budak yang muknin). Lafadz ini berbentuk muqayyad dalam ayat yang artinya “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan bersakah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin. “(QS An- Nisa 92). Pada ayat pertama seorang harus memerdekakan budak, karena bersupah zhihar, sedang pada ayat kedua karena membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya. Meskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya sama yaitu samasama memerdekakan budak. Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya, maka dalam sumpah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang dimerdekakan harus mikmin. Perbedaan hukum dan sebab
30
Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hukum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang lainnya, diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu soal pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil sebagai mana dalam hal saksi. Perbedaan dalam hukummya saja Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan antara ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyadContohnya lafadz :
اﺷﺘﺮ رﻗﺒﺔ واﻋﺘﻖ رﻗﺒﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ Artinya : belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin. Karena keduanya ini berbeda dalam hukumnya, yang yang satu harus membeli budak dan yang lituasi dan kondisi Perbedaan periwayatan Perbedaan riwayat terjadi karena beberapa sebab. Umpamanya sebuah hadist telah sampai kepada seseorang, tetapi tidak sampi kepada yang lain. Suatu hadist sampai kepada seseorang melalui sanad dhaif, tidak dapat dijadikan sebagai hujah,
tetapi ia juga sampai pada shahabt yang lain
melalui jalur yang shahiah. Dan lain sebagainya. Tingkat keoriginilan dan validitas suatu hadist ditentukan oleh sanad rawi dan matan. Ini menjadi ladang perbedaan pandangan di kalangan ulama fikih. Umpamanya, Iman Abu Hanifah menolak penggunaan hadis Ahad, dan memilih menggunakan istihsan. Sementara itu, asy-Syafi’i lebih memilih menggunakan qiyas ketimbang hadist Mursal. Perbedaan Sumber Ada beberapa beberapa sumber yang diperselisihkan oleh para ulama, sejauhmanakah ia dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Contohnya 31
adalah Istihsan, Mashlahah Mursalah, Qaul Shahabi, Istishhab, dan lain sebagainya. Antara satu mujtahid dengan yang lainnya tidak jarang saling berbeeda pendapat. Umpaamanya, Imam Abu Hanifah popular dengan Istihsannya, Imam Malik terkenal dengan Mashlahah al-Mursalah, Imam asy-Syafi’I etrkenal dengan metode Qiyasnya, sedangka Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan Hadist Dha’if. Tempat atau lingkungan. Tempat atau lingkungan
ikut andil dalam membidani lahirnya
mazhab dalam hukum . Daerah yang notabene jauh dari wahyu, seperti daerah Kufah; Irak ,telah memnbentuk karakter berfikir kritis dan rasional dari masyarakatnya, dan melahirkan mujtahid-mujtahi rasionalis, seperti Abu Hanifah, yang
popular dengan panggilan mujtahil fi al-Rakyi.
Sebaliknya, dearah hejas, sebagai pusat wahyu, sumber wahyu, juga telah membentuk karakter yang mumpuni, hati-hati, tidak mau terjebak dalam keniscayaan akal, lebih selektif dan hati-hati dalam menggunakan nash., dan amat sedikit dalam menggunakan rasio. Di daerah hejaz ini lahir mujatahi besar Imam Malik bin Anas. Situasi dan Kondisi atau Politik Kedaulatan penguasa, kebijakan dan arah politik yang di bangun oleh penguasa juga ikut andil dalam member warna hukum Islam. Sejarah mencatat, jatuhnya dinasti Umayyah dan tampilnya Dinasti Abbasityah ke panggung politik,telah membawa nafas baru bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu fikih. Adanya upaya penterjemahan buku-buku yang berbahsa asing (Parsi) ke dalam bahasa Arab, membuat pergulatan ilmu tumbuh dengan subur. Pada masa ini kemndirian dan kebebasan berfikir tumbuh dan berkembang dengan pesat.
32
C. Kesimpulan Aliran atau mazhab hokum dalam hukum Islam, dapat dikelompokkan kepada tiga aliran besar yaitu : pertama, mazhab ahl al-Sunnah yang terduiri dari mazhab Hanafy,mazhab asy-Syafi’I, mazhab Maliky, mazhab Ahmad, dan mazhab Zhahiry. Kedua,mazhab Syi’ah, yang terdiri dari, Syi’ahZaidiyah, Syi’ah Imamiyah, dan Syi’ah.Ketiga, adalah Mazhab Khawarij. Adapun faktor penyebab munculnya perbedaan mazhab dalam hukum Islam adalah, pertama faktor bahasa, yaitu Bahasa Arab, seperti lafaz muradif dan musytarak, muthlaq dan muqayyadh,hakikat dan majaz . Kedua, faktor perbedaan periwayatan, dan faktor sumber hukum yang diperselisihkan oleh para ulama.
33