ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Dari Editor Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA Menuai Bibit yang Ditebar Masa Lalu / Rudy Syaf......................................................................................…...4 INTRODUKSI Bom Waktu Konflik Agraria / Herma Yulis..............................…………..........................................……………..5 LAPORAN UTAMA • Orang Rimba Tak Luput Dari Konflik Lahan / Novri - Sukmareni ……...........................................….........…8 • Warga SAD Bathin IX Kian Tersisih / Herma Yulis.............................................…....................................…..11 • Warga Senyerang Terus Melawan / Herma Yulis………….....…...........................................…......................14 • Menanti Kebijakan dan Kebijaksanaan Untuk si Raja Hutan / Sukmareni......................................................18 FOKUS • Mengemas Cantik Paket Ekowisata / Elviza Diana.…....................................................................................19 • Melindungi Kawasan Hutan Tersisa Dengan RTRW/K / Herma Yulis…………..............................….............21 • Upaya Rehabilitasi Hutan & Lahan Kritis / Herma Yulis..................................................................................23 GIS SPOT • GPS, Alat Survey yang Mudah Digunakan / Fredi Yusuf............................………………………….....……….26 DARI HULU KE HILIR...... • Mendarahi Kapalo Banda, Simbol Kekompakan Warga Simancuang / Herma Yulis ……..............................27 • Masalah Tambang, Masalah Keadilan / Elviza Diana……………………… .................................................30 WAWANCARA • Hati Hati Mengeluarkan Izin / Sukmareni............................................................………………………............33 SUARA RIMBA • Pendidikan Formal Untuk Mereka yang Terlupakan / Karlina........……….......................................................34 • Nengkaram, Potret Rapuhnya Masa Depan Orang Rimba / Huzer Apriansyah …………...............................36 AKTUAL • Mensinergikan KLHS dalam RTRW / Elviza Diana - Nelly Akbar.....................................................................38 • Pendidikan Lingkungan Usia Dini di Hutan Adat Guguk Kabupaten Merangin/ Fredi………………................40 SELINGAN • Benor FM Radio Edukasi Orang Rimba / Sukmareni......................... ……………...........................................41 • Resah Pada Pandangan Pertama / Huzair..................................….................................................................42 INISIATIF • Jangkat Menuju Desa Mandiri Energi / Desriandi.........................................................................…................44 ‘• Memperkuat Inisiatif Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Melalui Metode Sekolah Lapangan / Adi Junedi……………………...............................................................................................................................46 KAJIAN • Paradoksal Pertambangan / Ilham Kurniawan Dartias..................................................................…................48 • Berharap Pada Bayang-bayang Moratorium / Elviza Diana..........................................………………..............50 MATAHATI • Rumah Singgah, Sarana Alternatif Belajar Orang Rimba / Novriyanti..................................................….........51 • Euphoria Orang Rimba di Musim Durian / Furwoko......................................................………………..............52 RENUNGAN • 13 Tahun Kepergian Guru Rimba Pertama dan Masa Depan Pendidikan Alternatif / Huzair............................54
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Penanggung Jawab: Rakhmat Hidayat Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Foto Cover :Butuh komitmen semua pihak untuk menuntaskan konflik lahan / Heriyadi A. / Dok. KKI Warsi. Desain dan Cetak:
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
Salam Lestari
A
lam Sumatera kembali hadir ke tengah-tengah kita semua. Edisi kali ini, kami hadirkan ulasan dan kisah-kisah perjuangan masyarakat dalam menghadapi konflik lahan yang saat ini marak terjadi di Provinsi Jambi. Sebagaimana data resmi yang dilansir pemerintah, saat ini Jambi memiliki 29 kasus konflik lahan, 26 dalam bentuk konflik dengan perusahaan sawit dan 3 dalam bentuk konflik dengan perusahaan kehutanan. Konflik ini umumnya sudah berumur belasan tahun, namun tak kunjung ditemukan titik temunya, tak jarang masyarakat harus berjuang sampai titik nadir untuk mengembalikan hak-hak mereka yang dirampas perusahaan, berhasilkan mereka, Wallahu A’lam. Konflik lahan ibarat bom waktu yang dipasang pemegang kebijakan masa lalu seolah siap meledak. Masyarakat bersusah payah memperjuangkan hak-hak mereka. Anehnya dalam perjuangan ini, masyarakat tidak hanya berhadapan dengan perusahaan yang telah mengambil hak mereka, akan tetapi juga harus berhadapan dengan garangnya senjata aparat yang mengarah ke mereka. Aparat negara dengan sigap membentengi perusahaan dan tak segan melepaskan tembakan kepada masyarakat. Di Jambi dalam beberapa tahun terakhir kita sudah dengar petani yang meregang nyawa diujung senjata aparat. Tentu pertanyaan mana keadilan untuk masyarakat, terus mengungkit rasa kita. Pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya. Melalui Alam Sumatera kali ini kami menghadirkan cerita langsung dari daerah konflik, guna mendesak penanganan yang lebih cepat, dan tentu harapannya solusi yang diberikan memberikan rasa adil dan ketentraman buat masyarakat. Pada terbitan kali ini Alam Sumatera juga menghadirkan kisah mengharukan dari anak-anak rimba di Terap yang terus berjuang untuk kehidupannya. Alih fungsi hutan menyebabkan mereka kehilangan sumber hutan dan itu artinya kehilangan sumber makanan dan obat-obatan alam. Berdasarkan pengamatan Warsi, di wilayah Terap terdapat 15 anak rimba yang mengalami gizi buruk. Perut buncit, mata cekung dan tulang iga yang menonjol memperlihatkan anak-anak ini mengalami kekurangan pasokan makanan. Di bagian lain tulisan ini, kami juga menghadirkan peran dan upaya masyarakat untuk mempertahankan hutan yang menjadi sumber kehidupannya. Di Jangkat Merangin, masyarakat berjuang untuk menjadikan desa mereka sebagai desa mandiri energi. Selain tulisan-tulisan tersebut juga terdapat beragam tulisan lainnya, terkait pengelolaan sumber daya alam dan kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kami harapkan sajian Alam Sumatera kali ini dapat semakin meningkatkan kesadaran kita akan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan lestari serta mendukung kehidupan anak cucu kelak. Kritik dan saran tetap kami nantikan untuk kebaikan dan penyempurnaan Alam Sumatera di masa yang akan datang. ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
SALAM RIMBA
4
INTRODUKSI
Menuai Bibit yang Ditebar Masa Lalu
H
idup berdampingan dengan alam sudah dijalani masyarakat sejak dulu. Harmoni dengan alam mendukung kehidupan yang damai dan tentram. Namun ketika Suharto memegang tampuk pemerintahan lahirlah undangundang yang mengeskploitasi sumber daya alam. Paling tidak ada tiga kebijakan di tahun 1967 yang kehadirannya mengabaikan keberadaan masyarakat, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penananam Modal Asing, UU nomor 5 tahun 1967 tentang Kehutanan dan UU nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan. Ketiga undang-undang inilah yang boleh disebut sebagai cikap bakal konflik lahan yang terjadi saat ini. Dengan ketiga undang-undang ini, pemerintah pusat secara sentralistik membagi ruang Indonesia dan cendrung mengabaikan hak kelola dan keberadaan masyarakat. Merujuk ke kasus konflik lahan di Jambi, jika kita telusuri, kisruk konflik lahan diawali dengan penetapan wilayah Jambi yang dikukuhkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian 767/Kpts/Um/10/1982. Dalam SK ini disebutkan luas hutan Jambi adalah 4.187.00 ha, padahal total wilayah Jambi adalah 5 juta ha, ini menyatakan bahwa untuk hidup rakyat kurang dari 20 persen, sedangkan 80 persen lebih merupakan kawasan hutan negara dan pengelolaanya ditentukan oleh pusat. Sebagian kawasan kelola masyarakat secara tiba-tiba masuk ke dalam kawasan hutan yang tidak boleh disentuh sama sekali oleh masyarakat. Pada tahun 1987 Menteri Kehutanan mengeluarkan keputusan No 46/ Kpts-II/1987 yang menyatakan kawasan hutan Jambi menjadi 2.947.200 ha dilanjutkan pada tahun 1999 dikeluarkan lagi Keptusan Menteri Kehutaan 421/KptsII/1999 menyebutkan hutan Jambi 2.179.442 ha. Dalam kebijakannya, pemerintah mengeluarkan keputusannya memperlihatkan pengurangan hutan Jambi, namun ironisnya pengurangan hutan ini bukan untuk mengakomodir hak-hak masyarakat, akan tetapi memberikannya kepada konsesi sawit dan transmigrasi, bukan dalam rangka memengakomodir hak kelola rakyat. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan konflik dan tidak ada penyelesaian yang memuaskan masyarakat sehingga konflik berlanjut hingga sekarang. Selain itu, konflik lahan juga disebabkan lemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan. Pasca reformasi
terjadi perpindahan penduduk dari yang padat ke yang masih jarang. Sebagian masyarakat pindah ke kawasan yang statusnya HPH namun tidak aktif lagi, seolah kawasan tersebut tidak bertuan. Kondisi ini menyebabkan banyak migran yang masuk kawasan dan kemudian menglola kawasan tak bertuan tersebut. Baru kemudian disekitar 2002 pemerintah mengeluarkan izin-izin baru di eks HPH ini, untuk HTI ataupun sawit. Akibatnya konflik lahan semakin marak. Seperti kasus Senyerang, yang diawali dengan kehadiran konsesi HPH PT Batara Timber, yang kemudian diambil alih WKS. Ketika proses akuisisi terjadi sebagian kawasan yang berstats APL dirubah menjadi Hutan Produksi. Padahal dikawasan itu ada masyarakat. Namun tanpa sepengetahuan masyarakat tiba-tiba dikawasan yang dulunya APL itu telah dilakukan land clearing dan ditanami akasia dan ekaliptus. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi terzalimi dan kemudian muncul konflik. Perusahaan bernaung dengan izinnya, sedangkan masyarakat bersikukuh telah dulu hadir dikawasan tersebut ketimbang perusahaan. Untuk meredam konflik ini, skema pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan merupakan pilihan yang dapat diambil. Apalagi kemudian keluar PP nomor 6 tahun 2004 yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut mengelola hutan melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan. Skema-skema ini harusnya lebih digencarkan untuk mengakomodir hak kelola rakyat, sehingga konflik dan potensi konflik di bidang kehutanan segera teratasi. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adalah oengukuran ulang HGU dan perusahaan harusnya mengembalikan hak kelola rakyat. Tentu juga menjadi penting untuk memberikan ganti untung jika selama berusaha di kawasan rakyat. Itikad baik dan menghormati keberadaan masyarakat baik di dalam dan sekitar hutan, maupun di kawasan perusahaan, menjadi modal utama untuk penyelesaian konflik lahan. Pun demikian halnya pemerintah dalam mengeluarkan izin tidak lagi semenamena akan tetapi benar-benar turun langsung ke lapangan, sehingga memahami betul suatu kawasan apakah ada masyarakatnya atau tidak. Dengan demikian konflik yang terjadi dapat diatasi. (Rudi Syaf)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Aksi unjuk rasa yang dilakukan petani yang meminta konflik lahan di Jambi segera di tuntaskan. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
Bom Waktu Konflik Agraria Potensi merebaknya konflik agraria di Provinsi Jambi sangat tinggi. Benang kusut penyelesaian sejumlah kasus konflik lahan di daerah ini tak ubahnya seperti ‘bom waktu’ yang bisa meledak kapan saja. Sejauh ini, penyelesaian sejumlah kasus konflik agraria masih menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah. Adanya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada masyarakat sangat ditunggu untuk meredam konflik yang tersebar di sejumlah daerah di Tanah Air.
J
ika pemerintah kurang tanggap dalam mencari solusi, kasus konflik agraria seperti di Kabupaten Mesuji, Lampung, dan Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan (Sumsel), dan di Bima, NTB, yang telah menelan banyak korban jiwa, suatu saat bisa saja terulang di Provinsi Jambi. Sebab, potensi kasus konflik agraria di daerah ini termasuk berskala tinggi. Pemerintah diharapkan sedini mungkin dapat meredam bibit konflik yang sudah terlanjur berkembang di Jambi saat ini. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, di Indonesia terjadi 163 kasus konflik agraria sepanjang tahun 2011. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 yang cuma berjumlah 106 kasus. Dan yang lebih memprihatinkan, berdasarkan data yang dirilis oleh KPA, dari sebaran wilayah konflik, Provinsi Jambi bertengger di peringkat kelima kasus konflik agraria. Jumlah konflik agraria terbanyak di Provinsi Jawa Timur (36 kasus), kemudian disusul Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), dan Jambi (11 kasus). Selanjutnya, Riau (10 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus) dan sisanya tersebar di sejumlah provinsi lain di Indonesia. (Sumber, Jambi Independent, 29 Desember 2011)
Sementara berdasarkan catatan resmi tim penanganan konflik di Provinsi Jambi, pada tahun 2011 tercatat sebanyak 29 kasus konflik agraria. Jika dicermati dari penyebab kasus konflik lahan yang terjadi selama ini, sejumlah konflik tersebut bisa dibagi ke dalam beberapa kategori. Pertama, konflik akibat pemberian izin lahan atau hak guna usaha (HGU) perusahaan yang sudah lama ditinggalkan. Karena kurang pengawasan, lahan itu dianggap hutan tak bertuan. Warga lalu menggarap lahan yang diterlantarkan tersebut. Bara konflik kemudian muncul ketika pihak perusahaan kembali untuk melakukan penggarapan, sementara masyarakat sudah menempati kawasan tersebut. Kategori konflik yang kedua, bisa disebabkan adanya pemberian izin lahan yang sudah lama diabaikan. Selanjutnya izin itu diberikan kepada perusahaan lain. Ketika perusahaan masuk, ternyata masyarakat sudah menempati lahan tersebut. Sementara tipe konflik yang ketiga, perusahaan pemegang HGU bekerja sama dengan masyarakat, namun kemudian perusahaan melakukan pembohongan. Misalnya, adanya perjanjian pembagian kebun plasma kepada masyarakat yang tidak sesuai dengan perjanjian awal.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
5
6
INTRODUKSI
Bertaburnya kasus konflik agraria di negeri ini menandakan negara belum bisa mengayomi masyarakat dengan baik, namun lebih memperlihatkan adanya keberpihakan kepada pihak pemodal. Pemeritah seringkali hanya menebar janji-janji kepada masyarakat untuk meredakan api konflik. Namun, kebijakan tersebut sama sekali tidak akan menyelesaikan akar permasalahan konflik yang amat rumit. Dan tidak adanya realisasi dari janji yang disampaikan pemerintah, di kemudian hari bisa menjadi penyulut konflik yang lebih besar. Selama ini, salah satu tameng pemerintah dalam menangani konflik agraria, mereka menyampaikan dalih bahwa pemberian izin dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian pemerintah daerah seakan mau melempar tanggung jawab. Mereka mencoba melempar bola panas tersebut kepada pemerintah pusat. Ujungujungnya yang dirugikan dan menjadi tumbal dari kebijakan tersebut tetap masyarakat kecil. Padahal, proses pemberian izin pengelolaan kawasan biasanya selalu diawali dengan pertimbangan teknis dari pemerintah daerah. Kemudian diusulkan ke pemer-
intah pusat untuk dilakukan verifikasi. Namun, hal itu seolah dilupakan begitu saja. Di sini lagi-lagi masyarakat menjadi korban pembodohan oleh penguasa dan pengusaha. Sebagai bahan catatan, untuk mengatasi konflik lahan yang terus memanas di sejumlah daerah, memang diperlukan sebuah formula penyelesaian yang berpihak kepada masyarakat. Antara lain dengan melakukan pendataan ulang masyarakat dan lahan yang terlibat konflik. Selanjutnya, meniadakan pendekatan polisional dalam proses penyelesaian konflik. Sebab, pendekatan polisional tak jarang malah akan menimbulkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di samping itu, pemerintah juga diharapkan menarik aparat dari tugas pengamanan kawasan perkebunan, HTI maupun tambang. Selanjutnya yang tak kalah penting, perlu memberikan alokasi lahan eks HPH bagi petani, serta melakukan penertiban dan penataan batas kawasan yang jelas. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih titik kordinat yang dapat menjadi salah satu pemicu sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan di kemudian hari.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
INTRODUKSI
Ironisnya, hingga kini penyelesaian sejumlah kasus konflik lahan yang terjadi di Provinsi Jambi sepertinya banyak yang masih berjalan di tempat. Akibatnya, penyelesaian kasus yang ada di daerah ini semakin rumit dan berlarut-larut. Tidak ada kejelasan kapan akan bisa diselesaikan secara tuntas. Sementara warga yang menjadi korban terus menerus menuntut hak mereka atas tanah ulayat yang diserobot oleh sejumlah perusahaan. Terkait hal itu, sejumlah kalangan mendesak pemerintah agar segera melaksanakan pembaruan agraria dan membentuk lembaga percepatan penyelesaian konflik agraria. Sebab akar persoalan dari semua konflik lahan di negeri ini adalah masalah agraria. Karena fakta yang ada, sumber-sumber agraria di Indonesia yang seharusnya dikuasai sepenuhnya oleh negara untuk mensejahterakan rakyat, rupanya dikendalikan pihak pemilik modal yang jumlahnya hanya segelintir orang. Kesalahan kebijakan tersebut, akhirnya melahirkan ketimpangan dan kemiskinan di kalangan rakyat.
Padahal, salah satu semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, bertujuan untuk mengakhiri praktik-praktik monopoli hak penguasaan tanah yang akan melahirkan ketimpangan di tengah masyarakat. Secara umum tujuan utama UUPA antara lain, melakukan pembaruan hukum agraria kolonial menuju hukum agraria nasional, menjamin kepastian hukum, mengakhiri kemegahan modal asing dengan cara menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia, serta mengakhiri penghisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah timpang. Jika tujuan itu bisa direalisasikan, maka implementasi dari Pasal 33 UUD 1945 benar-benar akan terwujud. Dalam pasal itu disebutkan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
7
LAPORAN UTAMA
8
Orang Rimba tak Luput dari Konflik Lahan
H
ari itu, Kamis, 19 Mei 2011 ponsel Ngelambu telah berdering belasan kali dari satu nomor saja. Ngelembu yang tengah sibuk diladangnya, terpaksa menghentikan aktifitas dan menyahut panggilan masuk. Diujung telpon terdengar suara Temenggung Ngukir, pemimpin kelompok mereka. Suara Ngukirpun terdengar menggelagar, meminta supaya Bepingkar (adik ipar sepengambilan Ngelembu) keluar rimba dan menemui Tumenggung di rumah Sukri warga desa SP.B Bangun Seranten Muara Tabir Tebo. Diakhir kalimat ancamanpun dikeluarkan sang Tumenggung, “Sobutko pado Bepingkar, akeh nyuruhnye kluor ka SP. B, ndok kami sate nye (bilang pada Bepingkar, aku menyuruhnya keluar ke SP B, akan kami sate dia).” Mendengar ancaman terhadap Bepingkar tersebut, Ngelambu tidak terima dan memutuskan menemui sendiri Ngukir di SP.B untuk menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi sehingga Ngukir mengancam Bepingkar. Sebab waktu di telpon sedikitpun tidak menyebut sebab musabab Ngukir marah-marah kepada Bepingkar. Sekitar jam dua siang Ngelambu mendatangi rumah Sukri, sebelum sampai rumah Sukri ponselnya telah berkali-kali berdering masih dari nomor Ngukir. Di rumah Sukri tersebut telah menunggu Ngukir dan Bekilat (Keduanya Orang Rimba), Sutris (orang Batak, warga SP.B), Rudi (orang Jawa, warga Kuamang Kuning, yang katanya guru Ngukir), dan Sukri sendiri. Tidak diketahui atas alasan apa mereka mengumpul disitu. Yang jelas begitu Ngelembu sampai di depan pintu, Sukri berdiri dan langsung melempari muka Ngelambu dengan kacang rebus. “Kau tau dak ladang tu, dah aku bli,”kata Sukri. Ngelembu tak mau diam, dia berkukuh ladang tersebut milik dia. Namun begitu Ngelembu membantah, sebuah pukulan mendarat di muka Ngelambu, darah segarpun mengalir dari lubang hidungnya. Tidak ada perlawanan dari Ngelambu, diapun langsung lari pulang.
Orang Rimba menyaksikan landclearing hutan di selatan TNBD. Foto Huzair/Dok KKI Warsi
Orang Rimba lain jelas tak terima kejadian pemukulan dan penjualan ladang Orang Rimba. Jelas latar belakang pemukulan ini adanya penjualan lahan yang tidak diketahui Orang Rimba lainnya, dan Tumenggung Ngukir selaku pemimpin kelompok ini ditenggarai berada dibalik semua ini. Namun dia berkelit menyebutkan kalau lahan tersebut diserahkan kepada istrinya, sehingga dia berhak menjual. Tentu saja penjelasan tumenggung ini menimbulkan keributan, namun Orang ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
LAPORAN UTAMA Rimba tetap patuh dengan tumenggungnya yang sudah mendapatkan imbalan berupa motor baru atas ladang Ngelembu. Pun Tumenggung tidak membela Ngelembu yang telah nyata-nyata dipukul Orang Luar di depan matanya. Dengan berbagai dalih dia menyebutkan tidak tau alasan pemukulan dan tidak bisa mencegah kejadian yang menurutnya berlangsung begitu cepat. Namun untuk memulihkan kepercayaan pada anggotanya, Tumenggung berjanji akan memberikan denda adat kepada Sukri atas pemukulan yang terjadi.
desa Lubuk Bumbun, pada awalnya mereka mengaku sebagai warga desa Rantau Limau Manis Merangin. Lokasi kebut tersebut telah masuk ke dalam kawasan TNBD, lokasi tersebut berada di Kruing Serampang, hulu Sako Kelepung anak sungai Kejasung Besar. Selain itu, masih terdapat bukaan baru yang lebih masuk ke kawasan taman. Orang Rimba mengatakan ada sekitar kurang lebih 100 ha bukaan baru warga Lubuk Bumbun ini. Balai TN telah mengetahui ini dan berjanji akan menindaklanjuti kembali kasus ini.
Ini hanya bagian dari kisah betapa mudahnya pihak luar mencaplok lahan Orang Rimba. Apalagi jika orang luar bisa memanfaatkan oknum kepemimpinan Orang Rimba yang sudah konsumtif, sehingga rela memberikan tanahnya hanya untuk ditukar handphone, motor atau benda lainnya, tanpa memikirkan dampak yang akan mereka rasakan.
Satu yang jelas pembukaan kawasan hutan TNBD semakin menghabiskan sumber kehidupan Orang Rimba sekaligus menimbulkan konflik. Orang Rimba dengan kemampuan apa adanya, terus berusaha untuk mempertahankan hutan mereka. Pada akhir Februari lalu 10 Orang Rimba kelompok Sungkai dan kelompok Gentar mengusir delapan orang luar yang berasal dari Desa Tuo Ilir yang sedang melakukan pemancahan di kawasan Lubuk Delom sejak dua minggu sebelumnya. Orang rImba berkukuh, perambah harus keluar dari lokasi tersebut, karena di kawasan itu terdapat kayukayu perlambangan Orang Rimba, seperti Senggeris, sentubung, kandung pusor, tanah peranoon, pusaron dan belukar Orang Rimba Sungkai. Saat ini luasan yang telah dicacah berkisar 10 ha.
Konflik lahan di kawasan utara hingga ke barat TNBD ini memang sudah kerap terjadi, diperkirakan ratusan hektar sudah dirambah baik di daerah penyangga hingga masuk ke taman nasional. Ada yang memanfaatkan oknum Orang Rimba yang mau bekerja sama dan sebagian langsung dirambah dan dibuka pihak luar tanpa sepengetahuan Orang Rimba. Kasus ini juga pernah mencuat tahun 2009, ketika hutan dibabat dan diperjual belikan oknum-oknum tertentu, sebut saja Dayat Pasaribu yang mampu menjual lahan puluhan ha di wilayah TNBD dan hutan penyangganya. Meski sudah pernah menghuni jeruji besi, namun kasus perambahan dan kemudian diperjualbelikannya kawasan hutan yang menjadi lahan kehidupan Orang Rimba tak kunjung surut. Orang Rimba yang menyadari kawasan hutan mereka terus tergerus sudah mencoba mengadu ke pihak-pihak terkait. Ke balai Taman Nasional selaku otoritas kawasan sudah diberitahukan, namun belum juga mampu mengurangi aksi penjualan dan perambahan hutan. Lebih mencengangkan perambahan lahan di wilayah ini dilakukan oleh orang dari kecamatan lain bahkan kabupetan lain, tentu setelah melakukan serangkaian negosiasi dan proses ‘jual beli’ baik dengan bantuan orang desa sekitar ataupun oknum Orang Rimba. Dalam pertemuan multipihak yang digelar di kecamatan, camat tidak bisa berbuat banyak, karena yang menyebabkan konflik bukan warga mereka tetapi warga dari kabupaten lain. Akhirnya camat membuat laporan ke bupati perihal kehadiran pendatang yang merambah kawasan hutan Tebo. Hingga kini perambahan ke dalam TNBD terus terjadi, dalam perjalanan tim warsi Kelompok Sungkai Februari lalu, terlihat kebut karet dengan luasan tidak kurang 10 Ha lebih, berusia 1-2 tahun. Pemilik kebun karet tersebut menurut informasi dari Orang Rimba adalah warga
Orang Rimba dengan kemampuannya, terus berupaya membendung perambahan yang semakin hari semakin gencar membuka hutan mereka. Namun kekuatan yang besar dari luar, tetap saja menyebabkan Orang Rimba kesulitan untuk mengatasi persoalan ini. Negara selaku pelindung hak hidup atas Orang Rimba harusnya yang mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perambahan, yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran hukum dan dan peraturan yang ada, serta menjerat oknum-oknum yang mencari keuntungan dari situasi ini. Orang Rimba ganti Tumenggung Keterlibatan Orang Rimba dalam penjualan lahan dan kemudian menjadi konflik tidak dapat dipungkiri. Rayuan pihak luar dan kesenangan yang ditawarkan menyebabkan sejumlah Orang Rimba terlena, termasuk Tumenggung Ngukir. Pimpinan Orang Rimba Makekal Tengah-Hilir ini, awalnya masih saja berkelit perihal keterlibatannya dalam penjualan lahan ada saja alasan yang dikemukakannya dalam setiap sidang adat atas protes anggota kelompoknya atas penjualan lahan. Denda adat yang harusnya diberikan kepada Tumenggung Ngukir atas keteledorannya, selalu saja bisa dielakkannya dengan kepintarannya bersilat lidah. Termasuk dalam sidang adat yang mempertanyakan keberadaannya dan pembelaannya terhadap Ngelembu yang dipukul orang desa, Ngukir masih bisa berkelit.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
9
10
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
Warga SAD Bathin IX Kian Tersisih
tung sebagai wakil Tumenggung, ada Betangkai sebagai Mangku, ada Melidi sebagai Anak Dalam, dan Gentar Sebagai Menti. Selain itu, ada juga jabatan Depati Laman Senjo di kelompok Sungkai dan Depati Bepak Ngadap di kelompok Sako Tulang tetap dipertahankan. Tokoh-tokoh yang mengisi kepenghuluan di atas cukup ideal jika dilihat dari keterwakilan kelompok. Dua Orang dari kelompok tengah dan tiga orang dari kelompok hilir. Temenggung Ngadap dari kelompok Sungkai, Wakil Bambang dan Anak Dalam Melidi dari kelompok Bernai, Mangku Betangkai dari kelompok Sako Tulang dan Menti Gentar dari kelompok Sako Ninik Tuo-Penyeluangon.
Puluhan Tahun Terusir dari Kampung Halaman
W
arga Bathin IX di Kabupaten Batanghari kian tersisih. Perjuangan panjang mereka untuk mengembalikan lahan yang dicaplok oleh PT Asiatik Persada (AP) semakin rumit. Meski sudah berlangsung selama puluhan tahun, namun belum ada titik penyelesaian yang berpihak kepada warga Bathin IX. Perjuangan yang mereka lakukan tak ubahnya seperti menegakkan benang basah. Sementara upaya penyelesaian yang selama ini dimediasi oleh pemerintah daerah, sepertinya juga masih jauh dari harapan seperti yang dituntut warga Bathin IX.
Usai keterpilihannya sebagai Tumengung Ngadap langsung menyampaikan pidatonya di depan anggota kelompoknya. “Kalau sebelumnya akeh tidur nyenyak makan keyang, setalah ini tidak. Dari dulu akeh sudah sering menolak jabatan ini, tapi sekarang ka aik ka derot telah memilih akeh. Jadi setelah ini, biar Waris menjual tanah (Orang Rimba), Waris akeh antarkan ke polisi. Biar awok rimba menjual tanah, awok rimba akeh antarkan ke polisi, tidak hanya lagi secara hukum adat,”kata Ngadap penuh semangat.
Ngadap, Tumenggung baru Orang Rimba Makekal Tengah-Hilir TNBD, berkomitmen menghentikan perambahan di kawasan hidup mereka. Foto Novri/Dok KKI Warsi.
Namun Orang Rimba lain, sudah terlalu gerah dengan pimpinan mereka ini, sehingga desakan untuk diadakannya reformasi kepemipinan Ngukir terus bergulir. Orang Rimba sudah bersepakat, bahwa Tumenggung Ngukir tidak bisa lagi dipertahankan. Harapan Orang Rimba pemimpin mereka adalah sosok yang mampu mengayomi dan menjaga hak-hak Orang Rimba. “kalu ka aik ba ikan, kalu ka derot dipladangin, sebilamano depot saloh pado rakyat, damak pi perlu dimasok, angin pi perlu digulung, takut hopi, malunye hopi, ingoot!!!, takalo iyoi, takalo rtinye rakyat hancur”. Biar Temenggung, biar Depati, menegakkan peraturan buat di ikuti rakyat. Misalnya, tanah jangan di jual, karena menyengsarakan badan diri sendiri, berladang kembali ke pengaturan nenek monyang, dua sampai tiga tahun sekali sebidang, bukan berhektar-hektar,”demikian harapan Orang Rimba pada Tumenggungnya yang baru. Melalui proses yang demokratis, akhirnya Orang Rimba Mekakal Tengah dan Hilir memilih Ngadap sebagai Tumenggung baru. Selain memilih Tumenggung baru, Orang Rimba juga menentukan kepengurusan di bawah kepemimpinan Ngadap, yaitu Bambang alias Began-
Ngadap beralasan, manusia semakin banyak, namun tanah penghidupan tetap sebanyak ini. Jangan sampai nasib Orang Rimba Bukit Duabelas seperti Orang Rimba Singkut—kelompok Orang Rimba jalan lintas tengah Sumatera-red) yang kini kehilangan tanah penghidupan. “Jadi kalau ada awok rimba masih menjual tanah, akeh jual awok sampai jouh, akeh bunoh sampoi mati, siapopun..!!.”sebut Ngadap.
Warga Batin IX dikenal sebagai salah satu komunitas yang menempati sepanjang sembilan anak sungai di Provinsi Jambi. Yaitu Sungai Semak atau yang dikenal dengan Sungai Bulian, Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Sembilan anak sungai tersebut dulu dikuasai oleh sembilan orang bersaudara yang merupakan nenek moyang warga Bathin IX.
Kepada anggota kepengurusan dalam ketumengguannya, Ngadbap juga menyampaikan amanah. “Akeh berharap ke depan ini kita sama-sama menegakan aturan adat, jika terjadi sesuatu kasus di daerah sekitar wakil, cepat jemput akeh untuk sama-sama menyelesaikannya. Begitu juga kalau terjadi disekitar daerah akeh, akeh akan mengajak wakil untuk sama-sama menyelesaikannya.” Ini semangat besar yang di usung Tumengung Ngadap ke depan, semoga dengan ketegasannya kasus jual beli lahan dan konflik agraria di daerahnya teratasi de-ngan baik. Dan tentu yang juga sangat penting adalah pengawasan dari pemerintah selaku pemegang otoritas kawasan untuk tidak menutup mata dan segera mengambil tindakan nyata. Sudah banyak contoh di negeri ini, konflik lahan berubah menjadi konflik horizontal antar suku dan kelompok. Jangan sampai hal ini juga menimpa kelompok Orang Rimba yang hingga kini statusnya masih sebagai kelompok minoritas di negeri ini. (Novri/Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Namun, belakangan ini identitas dan adat istiadat warga Bathin IX sudah nyaris punah. Keturunan Bathin IX yang lahir pasca 1970-an, sudah banyak yang tidak terlalu paham dengan identitas dan adat istiadat warisan para leluhur mereka. Bahkan, belakangan ini mereka hanya dikenal sebagai Suku Anak Dalam, sebutan yang disematkan pemerintah untuk komunitas yang hidup di daerah pedalaman. Tergerusnya sejarah warga Bathin IX tersebut mulai terasa sejak perusahaan kayu dan perusahaan sawit masuk dan menghancurkan kawasan hutan mereka. Kondisi itu memaksa warga Bathin IX terpencar-pencar dan tergusur dari tanah ulayat. Mereka tak hanya kehilangan tanah, namun juga kehilangan adat istiadat warisan nenek moyang mereka.
Kehidupan Komunitas Bathin IX yang tersingkir dari tanah ulayatnya akibat kehadiran perusahaan. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
Saat ini, tanah ulayat warisan nenek moyang warga Bathin IX sudah disulap menjadi lahan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan dan para transmigran.Mereka sudah tidak memiliki kebebasan untuk melakukan pengelolaan hutan. Setiap kali mereka melakukan aktivitas di kawasan tersebut, yang mereka terima adalah pengusiran oleh pihak perusahaan. Seperti yang terjadi
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
11
LAPORAN UTAMA
12 pada tahun 2011 lalu, PT. Asiatik Persada dibantu Brimob melakukan penangkapan terhadap 18 orang dan merusak puluhan rumah milik warga SAD Bathin IX di dusun Sungai Berunag. Konflik lahan yang menimpa warga Bathin IX bermula sejak 1985. Saat itu sebuah perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. Bangun Desa Utama (BDU) mulai beroperasi membuka lahan perkebunan di atas hutan tempat tinggal warga Bathin IX. Ketika perusahaan tersebut kemudian berpindah tangan menjadi milik PT. Asiatik Persada, anak perusahaan Wilmar Group, penanaman kelapa sawit semakin intensif dilakukan. Sementara warga Bathin IX, sebagai kelompok orang terbelakang dan terasing tidak mendapat perhatian dari pemerintah, apalagi oleh pihak perusahaan yang bercokol di bekas hutan warisan nenek moyang mereka. Alhasil, warga Bathin IX dari Markanding, Tanjung Lebar, Panerokan, Bungku dan Pompa Air, terpaksa kehilangan hutan sebagai tempat tinggal dan tempat mencari penghidupan. Mereka terusir dari tanah ulayat dan kampung halaman mereka sendiri. Perjuangan untuk mengembalikan hak-hak mereka yang terampas hingga kini masih simpang siur. Padahal, setiap saat mereka butuh makan, tempat tinggal, dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Kelompok 113 Duduki Lahan PT Asiatik Konflik lahan selama berpuluh tahun dengan perusahaan yang merampas tanah ulayat mereka membuat warga Bathin IX meradang. Selama sebulan terakhir, mereka melakukan pendudukan lahan di areal perkebunan kelapa sawit milik PT Asiatik Persada, dan menamai kelompoknya dengan SAD 113. Selain menduduki lahan, warga Bathin IX dari Dusun Tanah Menang, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, juga melakukan pemanenan buah kelapa sawit. Dari hasil penjualan sawit tersebut mereka mulai membangun sarana tempat tinggal dan fasilitas umum lainnya di areal tersebut. Warga SAD 113, Tanah Menang, bertekad untuk tetap bertahan di lahan yang mereka duduki. Mereka tetap menganggap bahwa lahan yang telah berubah menjadi kebun sawit milik perusahaan itu sebagai tanah ulayat peninggalan nenek moyang mereka. Saat mengikuti rapat dengan pihak perusahaan dan Pemkab Batanghari, Selasa (6/3), perwakilan SAD 113 menyatakan tidak akan keluar dari lahan yang saat ini mereka duduki. “Kami tidak akan mundur, kami akan disana selamanya. Ke depan kami tidak mau lagi berunding-berunding, tapi dak ado penyelesaian,” ungkap Abas Subuk, ketua kelompok SAD 113.
Untuk itu, ia mendesak agar pemerintah segera mencari penyelesaian kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan PT Asiatik Persada. Menjelang ditemukan penyelesaian, mereka tetap akan bertahan di lahan sembari membangun permukiman warga SAD 113 yang selama ini tergusur. “Karena kami nak balek ke dusun, jadi tetap kami akan membangun. Sebab sebelum terbit HGU kami sudah beranak pinak disana. Jadi tua lah kami daripada HGU,” ujarnya. Hal serupa juga diungkapkan Kutar, Tuo Tengganai kelompok SAD 113. Ia menyesalkan sikap pemerintah yang selama ini dinilai tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Sehingga kasus tersebut menjadi berlarutlarut dan semakin rumit. Padahal, mereka selama ini sudah sangat menderita dengan kondisi yang mereka alami akibat penggusuran oleh pihak perusahaan. “Sejak tahun 1985 tanah kami dirampas. Kami diintimidasi dan akhirnya tergusur dari tanah leluhur kami. Sampai hati nian pemerintah dengan masyarakat. Apakah perusahaan yang punya kekuasaan tertinggi di negeri ini!” tandasnya. Pada kesempatan itu, Kabag Hukum Setda Batanghari, Farizal mengatakan, pihaknya sudah membuat schedul untuk penyelesaian konflik lahan SAD 113 dengan PT Asiatik Persada. Dia bersikukuh bahwa Pemkab Batanghari tidak memiliki kepentingan dalam kasus tersebut. Ia berjanji akan menemukan penyelesaian pada batas akhir schedul yang mereka susun. Untuk penyelesaian kasus tersebut pihaknya akan mengacu pada perundang-undangan dan aturan yang berlaku. Sehingga tidak salah kaprah dalam pengambilan keputusan. “Kami tidak punya kepentingan apapun dalam hal ini. Kami akan berdiri di tengah-tengah untuk mencari penyelesaian yang adil dan transparan,” tegas Farizal. Mawardi, pendamping SAD 113 mengatakan, adapun dasar pendudukan lahan yang dilakukan warga karena adanya pengakuan dari BPN bahwa tanah tersebut milik SAD dan harus enclave dari HGU PT Asiatik Persada. Sebab, disana ada fakta sebagai pemukiman nenek moyang SAD yang dibuktikan dengan adanya perkampungan. Menurut dia, ada seluas 3.614 hektare lahan yang menjadi hak mereka disana. Berdasarkan kesepakatan para tuo tengganai, pada tanggal 29 Februari 2012 lalu, mereka mendeklarasikan bahwa lahan itu syah milik SAD, bukan lagi milik PT Asiatik Persada. “Tidak boleh ada aktivitas Asiatik di areal 3.614. Siapa pun yang menghalang-halangi akan kita lawan sehebathebatnya. Di areal kami tetap akan melakukan aktivitas untuk membangun rumah warga dan sarana yang dibutuhkan,” ujarnya.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
SAD 113 yang menduduki lahan Asiatik, konflik lahan ini telah berlangsung lama dan tak kunjung selesai. Foto Herma Yulis/Dok KKI Warsi.
Ahmad Muslimin, pendamping SAD 113 lainnya mengatakan, selama ini Pemkab Batanghari tidak ada mengeluarkan kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan SAD. Bahkan, pertemuan yang digelar hari itu, katanya, dilakukan karena SAD sudah melakukan perlawanan. Padahal, SAD memilik bukti kuat bahwa lahan tersebut adalah milik mereka.
Menanggapi konflik berkepanjangan yang dialami warga SAD Bathin IX selama ini, Ketua Adat Bathin IX, Abunjani mengatakan, solusi yang bisa menyelesaikan persoalan itu adalah dengan cara duduk bersama untuk mencari penyelesaian. Jika adat tidak dipakai, ia yakin persoalan tersebut akan terus berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang jelas.
“SAD punya lahan lebih dari 3000 hektare. Surat dari zaman Belanda pun ada. Tapi selama ini Pemerintah dan Asiatik berpangku tangan. Padahal tinggal mengeksekusi SK Menteri Kehutanan. Batas-batas sangat jelas. Selama ini PT Asiatik buta dan tuli, Pemkab jangan seperti PT Asiatik Persada,” sebutnya.
“Berunding secara adat. Aturan adat yang dipakai. Kalau duduk dak beradat dak akan selesai-selesai. Karena bagi SAD harta bapak turun ke anak. Orang adat yang nentukan, bukan gubernur atau bupati,” tegasnya.
Sementara Juru bicara PT Asiatik Persada, Wilton Simanjuntak, ditemui usai pertemuan dengan SAD 113, membantah bahwa kelompok SAD 113 memiliki bukti lahan yang mereka duduki dulu adalah kampung SAD. Dia juga mengatakan, tidak ada data yang dikeluarkan director konsulting yang menyebutkan bahwa lahan 3.614 hektare merupakan perkampungan SAD 113. “Data itu hanya untuk menunjukkan yang mana yang mereka rasa sebagai tanahnya, bukan berarti itu otomatis menjadi tanah mereka,” katanya. Menurut dia, pendudukan lahan itu dilakukan dengan dasar klaim sepihak saja. Dia juga menyangsikan warga yang melakukan pendudukan lahan tersebut merupakan warga SAD 113. “Belum tentu SAD. Mereka itu datang dari mana-mana. Siapa mereka kita tidak tahu. Apa buktinya itu SAD yang pernah bermukim disana?” ujarnya.
Menurut dia, kelompok SAD 113 dari Tanah Menang termasuk salah satu kelompok yang bertahan hidup dari imbas penggusuran. Mereka adalah yang selama ini menderita dan merasakan langsung dampak dari penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan. Sehingga mereka tetap melakukan perjuangan dan pendudukan lahan untuk mengembalikan tanah ulayat mereka yang dirampas perusahaan. Untuk penyelesaian kasus tersebut, ia mengajak semua pihak agar duduk bersama, bukan untuk mencari siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan untuk mencari titik temu yang bisa diterima semua pihak. “Ado dak hati nurani perusahaan dengan keberadaan SAD disana selama ini. Padahal orang itu cuma butuh hidup dan makan, bukan minta balikin lahan semua. Sekarang yang perlu dicari solusinya adalah bagaimana supaya orang itu bisa hidup dan perusahaan juga hidup,” ujarnya. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
13
14
15
Masyarakat Senyerang yang tak kenal lelah memperjuangkan hakhak mereka. Foto Heriyadi Asyari/ Dok KKI Warsi
LAPORAN UTAMA
Warga Senyerang Terus Melawan Tak Ingin Lahan Diduduki WKS
“
KAMI sudah tidak takut lagi melihat senjata. Setiap bentrok mereka pakai senapan, tapi kami cuma pakai parang,” ungkap Mahyudin, salah seorang warga Senyerang, awal Maret lalu. Konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, dan konflik di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), hanya contoh kecil ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi konflik agraria yang bertabur di negeri ini. Di Jambi, sejumlah kasus penyerobotan lahan berujung konflik juga tak sedikit. Salah satunya adalah konflik antara masyarakat dengan PT Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Sinar Mas Forestry, di Kelurahan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahkan, nyawa salah seorang warga Senyerang, Ahmad Adam, melayang setelah masyarakat bangkit mengobarkan api perlawanan. Ia tewas tertembak aparat kepolisian saat terjadi bentrok berdarah pada November 2010.
Namun demikian, penyelesaian konflik yang telah menelan korban nyawa tersebut hingga kini tak kunjung tuntas. Meski Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) persetujuan penyerahan lahan seluas 4004 hektare untuk pola kemitraan, berdasarkan opsi yang diajukan oleh Bupati Tanjab Barat, Usman Ermulan, nyatanya tidak serta-merta bisa membujuk masyarakat menghentikan aksi pendudukan lahan di areal konsesi PT WKS.
Namun, sepertinya kebijakan penyerahan lahan seluas 4004 hektare itu belum mampu sepenuhnya menuntaskan konflik lahan yang selama ini terjadi di Kelurahan Senyerang. Buktinya, meski sudah menghasilkan sebuah titik temu pasca dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan, tapi warga Senyerang saban hari masih terus melakukan perlawanan untuk menuntut keadilan dan pengembalian tanah ulayat mereka yang dicaplok pihak perusahaan.
Sore itu, sekitar 20 laki-laki dewasa tampak berjaga-jaga di posko kanal 19, sementara di kanal 14 jumlah warga yang menduduki lahan jauh lebih besar. Sebab, posko kanal 14 merupakan posko paling ujung yang ditempati warga. Sementara di kanal 11 berdiri pula posko security perusahaan dan pihak kepolisian. Berdasarkan kesepakatan, warga tidak dibenarkan melakukan aktivitas hingga ke areal posko security perusahaan, dan demikian pula sebaliknya.
Menhut mengeluarkan SK tersebut setelah menerima opsi yang diserahkan oleh Bupati Tanjab Barat, Usman Ermulan dan unsur Muspida Tanjab Barat, di Gedung Manggala Wana Bakti Kemenhut RI, Jakarta Pusat, Senin (16/01) lalu. Dalam pola kemitraan yang diajukan itu disebutkan bahwa tanaman karet yang akan dimitrakan seratus persen akan dikelola oleh warga setempat. Sementara pihak perusahaan akan menerima kayu karet warga yang sudah tidak produktif untuk diolah menjadi bahan kertas. Dari hasil olahan kayu karet yang sudah tidak produktif, pihak perusahaan diwajibkan membayar kompensasi sebesar 40 persen kepada warga Senyerang.
Pantauan Warsi di lapangan, warga Senyerang masih tetap melakukan pendudukan lahan di areal konsesi PT WKS. Penjagaan di sejumlah posko darurat yang mereka bangun di kanal 14 dan kanal 19 dilakukan secara bergantian. Perputaran jadwal tugas pendudukan lahan berlangsung selama dua minggu sekali. Cara itu sudah disepakati bersama dan terus berjalan sejak pendudukan berlangsung. Bahkan, di kanal 16 warga sudah membangun musalla dan melakukan penanaman sayur-sayuran di atas lahan yang mereka duduki. Masyarakat bertekad tidak mau mengosongkan areal tersebut sebelum ada kejelasan status lahan dan pola kemitraan yang akan diterapkan. Dan kejelasan tersebut baru akan diketahui setelah penandatanganan memorandum of understanding (MoU) yang akan dibuat pemerintah provinsi Jambi.
Kemungkinan terjadi gesekan fisik antara warga yang melakukan pendudukan dan security perusahaan di lapangan memang tak bisa dipungkiri. Sebagai langkah antisipasi untuk menghindari gesekan langsung, warga melakukan penutupan akses jalan yang menghubungkan kedua belah pihak dengan membangun portal penghalang jalan dari pohon-pohon akasia sebesar paha orang dewasa. Siapa pun tak bisa melewati portal itu jika tidak memanjat tumpukan pohon setinggi 2 meter tersebut. Khusus kendaraan roda dua dan roda empat sama sekali tidak bisa melintasi portal pembatas. Di sisi kiri dan kanan portal, tampak berkibar bendera merah putih dan bendera Persatuan Petani Jambi (PPJ), yang selama ini getol mendampingi warga menuntut penyerahan lahan mereka yang dikuasai oleh PT WKS.
Dalam SK itu dinyatakan bahwa warga akan mendapatkan lahan seluas 4004 hektare. Lahan tersebut akan dibagikan kepada 2002 kepala keluarga (KK). Masingmasing KK akan mendapat bagian 2 hektare lahan. Meski tak sesuai dengan jumlah lahan yang mereka tuntut, yakni seluas 7224 hektare, tapi setidaknya kebijakan itu bisa sedikit meredakan intensitas konflik yang selama beberapa tahun terakhir terus memanas.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
“Kalau kami meninggalkan lahan, kami khawatir perusahaan akan menghancurkan pondok-pondok kami ini. Kami tidak ingin lahan kami diduduki WKS,” kata Syahrul, salah seorang warga Senyerang, Kamis (1/3).
“Di kanal 19 cuma kita tempatkan sekitar 20 orang setiap hari, tapi di kanal 14 ada sekitar 80 orang. Kalau dulu ada ribuan warga yang menduduki lahan, tapi sekarang hanya sekitar100 orang yang selalu berjagajaga di lokasi,” kata Syahrul.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
16
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
Warga mendirikan benteng dari pohon-pohon akasia di kanal 16 dan kanal 14. Mereka juga membangun tower pengintai setinggi 5 meter di lokasi pendudukan lahan. Setiap mata selalu siaga menyambut kedatangan ‘orang luar’. Suasana konflik yang berkepanjangan membuat mereka sangat berhati-hari dengan pihak luar.
seperti yang terjadi sebelum kedatangan Belanda. Pengaturan itu dilakukan dengan menunjuk H Abdurrahman Sidik menjadi Kepala Desa (Kades) Senyerang pada 1927. Selanjutnya, dibangun parit-parit pembatas supaya masyarakat tidak tumpang tindih. Kemudian pada 1930, Belanda memerintahkan pembuatan batas wilayah dengan daerah Tebing Tinggi. “Tanah bukit masuk kawasan Tebing Tinggi dan tanah rawa masuk kawasan Senyerang. Itu sudah dibuat dari zaman Belanda,” katanya.
“Benteng dan tower pengintai ini untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu datang serangan mendadak dari pihak perusahaan,” ujarnya. Saat ini warga Senyerang menguasai sejumlah kanal yang berisi pohon akasia berumur 3 tahun milik PT WKS. Sejak konflik pecah antara warga dan PT WKS beberapa waktu lalu, warga agak menutup diri dari masyarakat luar. Siapa saja yang akan masuk ke Senyerang harus mendapat izin dari pihak PPJ. Jika tak memperoleh izin, warga akan menolak kedatangan orang luar ke kawasan yang diterpa konflik agraria selama bertahun-tahun tersebut. Konflik lahan antara warga Senyerang dan PT WKS sudah berlangsung sejak 2001. Intensitas konflik sempat mengalami penurunan pada 2004. Saat itu pihak perusahaan menyepakati akan memenuhi kewajiban untuk membangun fasilitas publik bagi warga sekitar dan melakukan penanaman tanaman kehidupan. Tapi konflik hanya mereda dalam kurun beberapa tahun saja. Pada 2008 konflik kembali memanas. Kali ini malah semakin membesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, satu nyawa melayang pada akhir 2010. Namun, hal itu tidak membuat nyali mereka kendur. Tekad mereka untuk mempertahankan tanah ulayat malah kian berlipat. Mereka bersama PPJ dan Walhi Jambi, kian getol menuntut hak-hak mereka yang selama ini dikuasai oleh PT WKS. Menurut penuturan Syahrul, pendudukan lahan yang terjadi hingga saat ini berawal dari bentrok antar warga dengan security perusahaan dan polisi pada 25 November 2011 di kanal 19. Kemudian, pada tanggal 21 Desember, 43 warga berhasil menyusup ke dalam lahan yang saat itu dijaga ketat oleh security dan polisi. Pada malam pendudukan lahan tersebut tak sampai terjadi bentrok fisik. Pihak security dan anggota polisi yang berada di pos penjagaan langsung mundur begitu mengetahui warga berhasil menyusup masuk secara diam-diam. Dan sejak malam itu, warga tidak mau mundur dan meninggalkan lahan yang telah mereka duduki. Dari kanal 19, warga sedikit demi sedikit merangsek maju. Saat ini mereka bertahan di kanal 14. Mereka menolak meninggalkan lahan dengan dalih semua pondok dan sarana yang sudah dibangun dikhawatirkan bakal lenyap dihancurkan pihak perusahaan. Untuk itu, mereka tetap memilih bertahan melakukan pendudukan lahan
Kehidupan warga mulai terusik sejak PT WKS masuk ke Senyerang. Kedatangan PT WKS menimbulkan persoalan pelik di tengah masyarakat. Perusahaan datang dan langsung membabat hutan adat yang selama ini menjadi milik warga Senyerang. Mereka sangat menyesalkan hal itu. Menurut Asmawi, PT WKS datang ke Senyerang juga tanpa meminta izin kepada pemerintah Desa Senyerang. Alhasil, sejak kedatangan WKS, warga setempat mulai kesulitan mencari penghidupan. Hasil hutan tak bisa lagi diandalkan karena sebagian besar sudah dibabat habis dan diganti dengan tanaman akasia. “Dulu kami motong jelutung bisa dapat hingga 15 ton perbulan. Sekarang kami tidak punya apa-apa lagi. Mereka masuk tidak ada pernah ngomong, tahu-tahu sudah tegak. Dulu ini adalah tanah adat. Waktu itu tidak ada HTI,” tegas Asmawi. Masyarakat Senyerang menuntut penyelesaian konflik lahan yang berkeadilan untuk masyarakat. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
hingga ada kejelasan status lahan dan pola kemitraan yang kelak akan diterapkan kepada warga Senyerang. “Kami tetap berjaga-jaga agar lahan tidak diduki WKS. Sampai hari ini pendudukan lahan sudah berlangsung selama 2 bulan 10 hari,” ujarnya. Sejarah Perampasan Lahan di Senyerang PT WKS merupakan anak perusahaan Sinarmas Group, milik Konglomerat asal Tionghoa, Eka Tjipta Widjaja. Ia merintis Sinarmas Group pada tahun 1962. Dalam perkembangannya, Sinarmas Group memiliki sejumlah cabang perusahaan, antara lain Asia Pulp & Paper (APP) di sektor kehutanan, PT SMART di sektor perkebunan kelapa sawit, real estate, jasa keuangan, telekomunikasi dan pertambangan. Perampasan lahan warga di Senyerang berawal ketika Pemerintah Tanjung Jabung Barat mengeluarkan Perda No. 52 tahun 2001 yang disusul oleh terbitnya Adendum SK Menhut No. 64/Kpts-II/2001. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka terjadilah alih-fungsi kawasan kel-
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
ola warga Senyerang dan desa-desa sekitarnya menjadi Kawasan Hutan Produksi, yang kemudian diberikan kepada PT WKS. Adapun luas lahan yang dialihfungsikan sekitar 52.000 hektare. Dan sejak keluarnya izin konsesi oleh Kementerian Kehutanan melalui SK No. 64/Kpts-II/2001, secara paksa PT WKS merampas dan menggusur lahan pertanian dan tanah adat warga Senyerang seluas 7.224 hektare. Ribuan hektar lahan itu kemudian ditanami pohon akasia. Tidak terima dengan semua itu, kemudian warga Senyerang bangkit melakukan perlawanan untuk mengembalikan lahan mereka yang telah dikuasai oleh pihak perusahaan. Ketua Adat Senyerang, Asmawi Syarif menuturkan, dulu warga Senyerang masih hidup berpencar-pencar. Pada tahun 1927, Belanda masuk ke Senyerang. Belanda kemudian mengumpulkan masyarakat yang kala itu masih hidup berpencar. Pihak Belanda juga melakukan penataan dalam hal pengambilan tanah untuk dikelola masyarakat. Pengambilan tanah tak lagi tumpang tindih
Agar ketimpangan persoalan lahan tidak semakin membesar, ia menuntut agar secepatnya ada kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Yaitu dengan melakukan pengukuran ulang sehingga ditemukan batas yang jelas antara lahan milik perusahaan dan lahan milik warga Senyerang. “Harus ada garis batas yang jelas dimana lahan milik perusahaan. Selama ini kan tidak ada,” katanya. Lurah Senyerang, Effendi mengatakan, selaku aparat pemerintahan di tingkat kelurahan ia sagat mendukung apapun perjuangan yang dilakukan warga. Selama perjuangan yang dilakukan bertujuan untuk kesejahteraan dan pemerataan ia tidak mempersoalkan. Termasuk soal pendudukan lahan yang dilakukan oleh warga Senyerang hingga memasuki bulan ketiga. “Saya mendukung aksi warga asal jangan sampai anarkis. Saya mendukung perjuangan masyarakat, karena kita mengharapkan kedamaian dan ketentraman setelah adanya penuntasan konflik lahan antara masyarakat dan WKS,” ungkap Effendi.(Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
17
LAPORAN UTAMA
18
Menanti Kebijakan & Kebijaksanaan Untuk si Raja Hutan
M
ardi (42) Warga desa Tiga Alur Pangkalan Jambi Merangin, tak pernah menyangka, jika di kebun karet tempat dia biasa menyadap karet dikunjungi si raja hutan yang nyaris merenggut nyawanya. Peristiwa 5 Februari 2012, tentu tak akan pernah hilang dari memori Mardi. Pergulatannya melawan harimau dengan dibantu anjingnya. Syukur Mardi selamat meski kaki kirinya luka robek cukup parah akibat disambar harimau. Dua minggu sebelumnya Sargawi (33) warga Desa Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, tewas diterkam harimau di kawasan hutan tempat dia mengambil kayu. Tak hanya disitu berita tentang konflik harimau manusia terus membayangi masyarakat Merangin. Masyarakat disekitar lokasi konflik tidak ada yang berani ke kebun mereka seorang diri, kegiatan menyadap karetpun dilakukan secara bersama-sama. Pemerintah Merangin pun telah membentuk tim penanganan konflik harimau dengan manusia. Banyak desas desus yang berkembang di lapangan, sebuhungan dengan serangan si raja hutan. Ada yang menyebutkan bahwa serangan harimau sebagai penanda kemarahan makhluk soliter itu atas hilangnya anakanaknya. Ada informasi yang menyebutkan ada oknum yang membawa anak-anak harimau ke desa, sehingga si indukpun marah dan menyerang manusia yang dijumpainya. Tetapi isu ini masih simpang siur dan petugas belum mampu melacak keberadaan anak harimau yang dikabarkan dibawa orang dan masyarakatpun tak mau bersuara.
fokus
Tetapi lepas dari persoalan itu mari kita lihat keru-angan Kabupaten Merangin dan sekitarnya. Serangan harimau ke manusia bisa jadi sebagai pertanda habitat makhluk yang dilindungi undang-undang tersebut telah rusah dan tergerus. Pembukaan hutan penyebab harimau kehilangan habitatnya. Saat ini ada tiga perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang tengah melakukan land clearing, kawasan ini berada di sekitar harimau yang berkonflik. PT Malaka Agro Prakarsa (eks HPH Rimba Karya Indah) yang berada di perbatasan Bungo-Merangin, kemudian ada PT Mugi Triman (eks HPH Mugi Triman) dan Jebus Maju (eks . HPH Serestra I). Kemudian ada juga informasi yang menyebutkan Hijau Arta Nusa (HAN) juga sudah beraktifitas. Patut diduga land clearing di wilayah ini, menyebabkan harimau yang berada di wilayah ini keluar dari home rangenya hingga mendekati perkampungan dan akhirnya memangsa manusia. Kearifan tentu sangat dibutuhkan dalam menyikapi ini. Dengan tidak mengurangi rasa duka untuk para korban. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa terusiknya harimau juga disebabkan ulah manusia yang terus menggerogoti habitat mereka. Selama ini solusi yang selalu dilakukan ketika harimau sudah berkonflik dengan manusia adalah menangkapnya kemudian memindahkan harimau tersebut. Ini pernah terjadi pada 2009 silam Jambi dihebohkan dengan serial killer by tiger, dengan 9 orang korban tewas. Solusi yang dihadirkan untuk meredam konflik kala itu adalah menangkap si pemangsa. Memang tak lama berselang pasca serial killer ini, seekor harimau betina berusia sekitar 6 tahun masuk perangkap tim BKSDA. Hampir 4 bulan harimau ini diinapkan di Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi dan kemudian harus pasrah ketika diterbangkan ke Lampung untuk dilepaskan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pasca pelepasannya di TNBBS nyaris tak ada pemberitaan tentang harimau ini, nyaman atau cocokkah dia dengan habitat barunya, tak ada informasi yang memadai. Lalu pertanyaannya apakah harimau yang ada di Merangin juga akan bernasib sama, masuk perangkap dan kemudian dilepaskan di tempat lain. Entahkan waktu yang akan menjawab yang jelas kini dua perangkap telah di pasang tim gabungan BKSDA di lokasi sekitar penyerangan harimau. Haruskah harimau ditransmigrasikan ke hutan lain, hanya ketika Jambi yang pada dasarnya juga rumah mereka telah habis di kapling-kapling hutan tanaman industri dan sawit. Hingga tak ada lagi hutan yang tersisa buat mereka. Apakah populasi harimau sumatera yang saat ini hanya tinggal 250 ekor perlahan akan punah 10 tahun lagi, jika kondisi masih berlangsung seperti sekarang. Kita tunggu kebijakan dan kebijaksanaan para pihak untuk hewan yang menjadi penentu keseimbangan ekosistem ini. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Suasana alam Desa Lubuk Beringin, memberi kesejukan kepada setiap pengunjungnya. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
Mengemas Cantik Paket Ekowisata
N
uansa asri dengan rimbunnya hutan serta gemericik aliran sungai, akan bertambah lengkap dengan kicauan burung yang selaras bersama nyanyian alam. Keharmonisan itu akan segera kita dapatkan saat langkah pertama menginjak Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo – Provinsi Jambi merupakan salah satu pioner atas inisiatif Hutan Desa di Indonesia. Ditandai dengan diberikannya areal kerja Hutan Desa oleh Menteri Kehutanan, dilanjutkan dengan diberikannya Hak Pengelolaan Hutan Desa dan Rencana Kerja Hutan Desa oleh Gubernur Jambi serta Rencana Tahunan Hutan Desa oleh Bupati Bungo menjadikan proses administrasi pengelolaan telah terpenuhi. Sehingga tahapan berikutnya adalah bagaimana mengisi rencana yang telah dibuat oleh Kelompok Pengelola Hutan Desa menjadi implementasi pembangunan sesuai dengan amanat Peraturan Menteri tersebut. Salah satu potensi utama kawasan Hutan Desa Lubuk Beringin adalah pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas. Dimana konsep Ekowisata Berbasis Komunitas (communitybased ecotourism) merupakan usaha ekowisata yang dimiliki, dikelola dan diawasi oleh masyarakat setempat. Masyarakat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan ekowisata dari mulai perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Hasil kegiatan ekowisata sebanyak mungkin dinikmati oleh masyarakat setempat.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
20
fokus
FOKUS
Implementasi model pengelolaan yang berbasiskan rakyat menuntut perubahan-perubahan yang tidak hanya pada tatanan peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosedur, tetapi juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipatif, termasuk perubahan sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi UU No.41 Tahun 1999. Keluarnya Permenhut No:P-.49/Menhut II/ 2008 tentang Hutan Desa merupakan salah satu peluang bagi upaya para pihak, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Organisasi Non Pemerintah maupun masyarakat didalam mendorong tercapainya pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan bermanfaat secara ekonomi dan ekologi. Ini jelas sangat sesuai dengan apa yang telah disusun oleh KPHD di dalam rencana kerja Hutan Desa, dimana keelokan panorama alam, potensi biodiversity, sosial budaya serta pengembangan agroforest bisa menjadi daya tarik kunjungan wisatawan, baik untuk penelitian, pembelajaran pengelolaan Hutan Desa maupun menikmati panorama serta budaya. Besarnya potensi wisata serta seringnya wilayah ini dikunjungi oleh para peneliti asing, kunjungan para pihak dari berbagai Provinsi di Indonesia yang belajar Hutan Desa masih belum terkelola secara baik. Faktor masih minimnya pengetahuan terhadap pengembangan ekowisata, kesiapan pemandu, sarana prasarana menjadi salah satu persoalan mendasar untuk pengembangan daerah ini sebagai daerah tujuan Ekowisata. Oleh kerana itu Pemerintah Dusun Lubuk Beringin BPDAS Batang Hari dan KKI WARSI berinisiatif mengadakan Pelatihan Ekowisata Berbasis Komunitas Bagi Pengelola Hutan Hutan Desa dan Skema CBFM lainnya. Khususnya bagi pengelola yang arealnya potensial untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan Ekowisata.
FOKUS
berbasis komunitas sebagai media belajar sekaligus media promosi dan jaringan pemasaran ekowisata“, jelasnya. Kegiatan pelatihan ini memakai pedekatan metodologi Pendidikan Orang Dewasa, dimana antara peserta dan fasilitator sebagai teman belajar. Pada pelatihan ini masyarakat pengelola Hutan Desa dan skema CBFM lainnya merupakan individu yang punya pengetahuan mendalam terkait dengan alam, dan budaya tradisional yang dapat dikembangkan serta menjadi daya tarik pesona. Dimana masyarakat bukanlah obyek wisata namun menjadi subyek yang nantinya akan berperan banyak di dalam kegiatan Ekowisata di desanya masing-masing. Sehingga metode fasilitasinya juga harus menghargai pengetahuan yang telah dipunyai oleh peserta Pada tahap awal pelatihan akan disampaikan berbagai gambaran, perspektif, kebijakan, serta pengalaman yang akan disampaikan oleh para narasumber yang berpengalaman dan berkompeten di bidangnya yang berasal dari Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan praktisi. Pada akhir sesi dilakukan diskusi. Sesi ini diharapkan akan mampu menyamakan pemahaman dan persepsi para peserta yang datang dari berbagai latar belakang pendidikan serta budaya yang berbeda terkait dengan pemahaman para peserta tentang konsep ekowisata, potensi dan peluang pengembangan, kendala, kebijakan serta prasyarat ekowisata. Evaluasi terhadap proses fasilitasi akan dilakukan secara periodik setiap harinya pada akhir proses harian, kemudian hasilnya akan disampaikan pada keesokan harinya. Evaluasi proses ini penting untuk melihat ketepatan metodologi fasilitasi, kemampuan menangkap terhadap informasi baru dan efektifitas pelatihan. (Elviza Diana)
Pelatihan yang berlangsung selama tiga hari ini, Senin Rabu, 28 – 30 November 2011, bertempat di Dusun Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu – Bungo, diikuti oleh 13 perwakilan pengelolah hutan desa di Provinsi Jambi dan 2 pengelola hutan desa di Sumatera Barat. Dikatakan Adi Junaidi, selaku fasilitator dalam pelatihan tersebut dengan adanya kegiatan tersebut, dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman mengenai ekowisata serta meningkatkan kemampuan dan ketrampilan peserta di dalam merancang potensi Hutan Desa dan skema CBFM lainnya sebagai daerah tujuan Ekowisata. ”Masing-masing peserta diharapkan mampu menggali potensi lokal, menyusun rencana kegiatan yang dapat dikembangkan dalam membangun ekowisata di wilayah masingmasing. Yang pada akhirnya terbentuk jaringan ekowisata ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Perambahan hutan terus saja terjadi, perlindungan kawasan tersisa melalui RTRW sangat penting untuk mempertahankan keberadaan hutan. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
Melindungi Kawasan Hutan Tersisa dengan RTRW/K
tarikan . Hanya saja selama beberapa tahun terakhir kerusakan hutan yang terjadi di Kabupaten Bungo terus mengalami peningkatan. Sehingga dibutuhkan perlindungan ekstra terhadap kawasan tersebut melalui RTRW/K.
ncaman terhadap kelestarian hutan desa dan hutan adat terus mengalami peningkatan dengan maraknya kegiatan alih fungsi lahan menjadi areal perkebunan sawit. Jika tidak mendapat perhatian serius dari berbagai pihak terkait, kondisi itu akan semakin menyuburkan penghapusan sejumlah hutan desa, hutan adat, dan agrofores, yang saat ini masih tersisa. Salah satu cara untuk melindungi hutan yang masih tersisa tersebut adalah dengan memasukkan ke dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW/K).
Sebab, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota merupakan acuan dalam pelaksanaan pembangunan terutama dalam pemberian izin sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 pasal 37 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa rencana tata ruang wilayah menjadi dasar untuk penerbitan izin lokasi pembangunan. Dengan kata lain, penyelenggaraan tentang rencana tata ruang menjadi tanggung jawab pemerintah. Rencana tata ruang yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah semestinya menjadi acuan dan landasan dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.
Upaya melakukan perlindungan terhadap kawasan hutan yang masih tersisa melalui RTRW/K mulai dicoba di Kabupaten Bungo. Kabupaten Bungo dipilih karena daerah ini merupakan kawasan strategis dan memiliki peranan signifikan untuk program penyelamatan, karena Bungo merupakan zona lindung yang harus diles-
Terkait hal itu, dalam penyusunan rencana tata ruang kemudian ditetapkan beberapa ketentuan tentang peran serta masyarakat sebagaimana tersebut dalam beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 26 pasal 65 tahun 2007. Antara lain; melakukan penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah de-
A
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
21
22
FOKUS
FOKUS mampuan penggunaan atau pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, maka kesalahan dalam pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir.
ngan melibatkan masyarakat. Peran masyarakat dalam penataan ruang tersebut dilakukan melalui partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, partisipasi dalam pemanfaatan ruang, dan partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan hasil analisis kajian tentang tutupan hutan di Kabupaten Bungo dengan menggunakan penginderaan jauh hasil perekaman dari citra satelit yang dianalisis secara time series selama 35 tahun, dari tahun 1973 sampai tahun 2009, diketahui Kabupaten Bungo telah mengalami pengurangan tutupan hutan alam sebesar 43%. (Sumber data KKI WARSI dan ICRAF). Hal itu dikarenakan oleh adanya perubahan alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, lahan HTI, perladangan oleh masyarakat, pengambilan kayu secara illegal, serta perkembangan pembangunan tempat permukiman. Menurut data peta citra satelit tersebut, bisa dilihat bahwa sebaran tutupan hutan alam dan lahan berupa hutan yang terdiri dari kebun karet campur berada di bagian hulu atau barat daya Kabupaten Bungo. Kawasan tersebut mencakup Kecamatan Pelepat, Bathin III Ulu, Tanah Tumbuh dan Limbur Lubuk Mengkuang. Sebagian besar tutupan hutan alam yang masih tersisa adalah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Koordinator Pelaksana Project TFCA, Yulqori mengatakan, jika melihat kondisi tutupan hutan Kabupaten Bungo pada peta citra satelit tahun 2009, ternyata kondisi tutupan hutan alam sudah mencapai persentase batas minimal dari ketentuan perundang-undangan sebesar 30 % dari luas wilayah kabupaten. Dan kondisi hutan yang tersisa itu sudah tidak memungkinkan untuk dikonversi menjadi penggunaan lahan lain. Apakah
untuk keperluan lahan perkebunan, pertanian, hutan tanaman industri, pemukiman, maupun untuk peruntukan lainnya. “Dari 30 % tutupan hutan yang tersisa 10 %-nya merupakan TNKS yang memang secara hukum tidak boleh dieksploitasi penggunaan lahannya menjadi penggunaan lahan lain,” katanya. Perlu diketahui, saat ini jumlah DAS kritis di Indonesia terus mengalami peningkatan. Sehingga persoalan kelangkaan air bersih yang bersumber dari sungai-sungai utama juga mengalami peningkatan. DAS Batanghari dikategorikan sebagai salah satu dari 22 DAS dengan status sangat kritis di Indonesia. Meski demikian, masih ada secercah harapan untuk mempertahankan keberlangsungan DAS Batanghari ke depan. Sebab, beberapa sub DAS Batanghari yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bungo kondisinya hingga saat ini masih cukup baik. Karena sebagian besar hulu DAS Batang Tebo dan Batang Pelepat yang merupakan sub DAS Batanghari masih berisi hutan meskipun sudah memasuki ambang batas minimal (30%). Dengan demikian, upaya mempertimbangkan keberadaan sub DAS Batanghari dalam RTRW/K Bungo, dalam jangka panjang akan memberikan dampak positif kepada daerah tersebut karena memiliki keunggulan dan posisi tawar yang kuat untuk penyusunan master plan pengelolaan DAS Batanghari. Selain itu kawasan hulu memiliki peranan penting sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilir guna menunjang kepentingan pertanian, industri dan pemukiman. Tak hanya itu, kawasan hulu juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Sehingga, jika ke-
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Menurut Yulqori, di Kabupaten Bungo saat ini memang sudah ada beberapa kawasan hutan yang dikelola masyarakat, yaitu dalam skema hutan desa dan hutan adat. Namun, SK yang didapat dari bupati saja dianggap belum cukup kuat untuk melakukan pengamanan terhadap kawasan hutan tersisa itu dari aktivitas alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. “Banyak investor yang datang dan membuka kebun sawit dengan menawarkan pola kemitraan. Ini adalah sebuah ancaman besar. Sehingga persoalan seperti itu perlu dikaji secara keseluruhan. Kasus yang terjadi di Desa Batu Kerbau, misalnya, cuma salah satu kasus saja, dan akan timbul peluang serupa di tempat-tempat lain,” ujarnya. Untuk melakukan pelestarian, maka kawasan kelola masyarakat seperti hutan desa, hutan adat, dan agroforest perlu dilindungi dengan memasukkan ke dalam rencana tata ruang kabupaten. Caranya adalah dengan mempengaruhi dalam penyusunan kebijakan rencana tata ruang kabupaten. Karena saat ini sudah banyak kawasan hutan yang habis dibabat dan telah berganti menjadi lahan perkebunan. “Tujuannya adalah untuk menjaga hutan yang masih tersisa. Karena Kabupaten Bungo merupakan zona hutan lindung,” ungkapnya. Dia menambahkan, di Provinsi Jambi ada pembagian tiga zona. Untuk zona lindung terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin, dan Kabupaten Bungo. Sedangkan untuk zona produksi berada di Kabupaten Tebo, Kabupaten Batanghari, dan Kabupaten Muarojambi. Sementara zona distribusi mencakup Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim) dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar). “Jadi Kabupaten Bungo sebenarnya sangat penting, tapi kondisinya sangat memprihatinkan. Namun, sekarang sudah menjadi kawasan yang sangat dilindungi. Proses sudah berjalan. Dan Bungo menjadi satu-satunya kabupaten yang menyusun tata ruang secara partisipatif dan memasukkan kawasan kelola masyarakat ke dalam tata ruang,” tandasnya. (Herma Yulis)
Perambahan hutan terus saja terjadi, perlindungan kawasan tersisa melalui RTRW sangat penting untuk mempertahankan keberadaan hutan. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
Upaya Rehabilitasi Hutan & Lahan Kritis
D
i sejumlah kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) terdapat kawasan hutan produksi (HP) bekas konsesi HPH yang merupakan satu kesatuan dengan lanskap TNKS. Hutan produksi bekas konsesi HPH pada daerah penyangga TNKS di Propinsi Jambi mencapai 338.000 hektar. Lanskap kawasan hutan produksi ini tersambung dengan areal konsesi HPH PT. Andalas Merapi Timber di Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat, yang kemudian tersambung dengan kawasan hutan Bukit Rimbang Baling, di perbatasan Propinsi Riau dan Sumatra Barat. Kawasan hutan ini menyatu dengan ekosistem Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Jika dilihat dari kondisi tersebut maka kawasan penyangga TNKS memiliki peran sangat penting, tidak saja bagi kelestarian TNKS, tapi juga bagi ekosistem lainnya di Sumatera bagian tengah. Sehingga upaya pengelolaan hutan alam tersisa pada daerah penyangga TNKS di sisi Utara, Timur, dan Selatan, dirasa akan sangat mendukung kelestarian kehidupan keragaman hayati pada koridor ekosistem TNKS dan ekosistem TNBT. Selama ini permasalahan utama yang terjadi pada ekosistem TNKS di dalam dan luar kawasan adalah deforestasi dan degradasi. Dua hal yang mengancam kelestarian hutan itu disebabkan oleh banyak faktor, antara lain dikarenakan pemanfaatan secara ekstraktif dan illegal serta konversi kawasan untuk peruntukan non kehutanan. Namun secara lebih spesifik terdapat juga permasalahan utama yang berbeda di dalam kawasan taman dan kawasan penyangga seperti terlihat pada tabel berikut:
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
23
24
FOKUS
Untuk diketahui, TNKS merupakan taman nasional yang batasnya sudah temu gelang dan definitif, sehingga permasalahan yang muncul dalam pengelolaan kawasan tersebut lebih terkait dengan agenda penegakan hukum serta koordinasi. Sementara persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan pada kawasan penyangga TNKS, sebenarnya jauh lebih kompleks karena berkaitan dengan persoalan klaim adat, kepentingan sektoral yang beragam, kuatnya ego kedaerahan, ketidakpastian ijin pada kawasan hutan produksi eks. HPH, konflik satwa dan manusia, serta beragam persoalan lainnya, yang menambah kusut pengelolaan di sekitar kawasan penyangga. Untuk itu dibutuhkan pola pengelolaan hutan yang efektif dalam rangka melakukan upaya pelestarian hutan di kawasan penyangga tersebut. Salah satu program yang dilakukan adalah upaya rehabilitasi hutan dengan sejumlah tanaman lokal. Koordinator pelaksana Projek TFCA, Yulqori mengatakan, program yang dikenal dengan istilah rehabilitasi hutan dan lahan kritis (RHLK) tersebut, sejauh ini sudah dilakukan di tiga Kabupaten. Yaitu di Kabupaten Merangin, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten Solok Selatan, Sumbar. Untuk Kabupaten Merangin berada di Desa Jangkat dan Desa Beringin Tinggi. Sementara di Kabupaten Bungo di berada di Dusun Buat, Kecamatan Batin III Ulu. Sedangkan di Kabupaten Solok Selatan berada di jorong Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo. Sebelum memulai program itu, terlebih dahulu dilakukan survey biodiversity dan species lokal, lalu melakukan penggambaran secara partisipatif melalui sketsa
mengenai kondisi ruang dan lahan yang akan menjadi sasaran rehabilitasi. Ada 3 tipologi wilayah/cluster yang dijadikan model rehabilitasi hutan dan lahan kritis di kawasan penyangga TNKS. Penentuan tipologi itu ditetapkan berdasarkan beberapa hal. Yaitu terkait status kawasan hutan yang ada (HL dan HPT), kondisi sosial masyarakat (jenis tanaman utama yang diusahakan, yaitu tanaman karet, tanaman nilam, tanaman muda/ padi, dan sejumlah tanaman lainnya). Berdasarkan beberapa hal itu wilayah model rehabilitasi hutan dan lahan kritis kemudian dibagi atas tiga cluster. Yaitu cluster Merangin di Desa Jangkat dan Beringin Tinggi. Pada lokasi yang berada di atas kawasan hutan berstatus HPT tersebut, masyarakat menanam nilam sebagai tanaman utama selama lima tahun terakhir. Padahal, jenis tanaman itu termasuk membutuhkan pasokan kayu sangat banyak untuk pembakaran saat melakukan penyulingan. Kondisi itu mendorong masyarakat untuk terus melakukan pembukaan lahan baru dan meninggalkan lahan yang lama. Akibatnya, lahan yang ditinggalkan menjadi tidak produktif dan terlantar. Untuk cluster Bungo berada di Desa Buat, Kecamatan Batin III Ulu,dengan status kawasan HL. Sementara kondisi sosekbud di kawasan ini masyarakat menanam karet sebagai tanaman utama, dan menanam padi sawah sebagai bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Di daerah ini pola tanam karet masih memakai cara tanam dan ditinggal, sehingga persentase keberhasilannya masih sangat rendah. Kemudian lahan yang sudah dibuka dan ditanam karet namun tidak berhasil, akhirnya dibiarkan dalam kondisi semak/sesap.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
FOKUS
Lahan Kritis yang butuh direhabilitasi segera. Foto Heriyadi.Dok KKI Warsi
Sedangkan cluster Solok Selatan yang berada di Jorong Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo, berada di lokasi dengan status kawasan HL, dan sosekbud masyarakat setempat mengusahakan tanaman padi sawah, tanaman palawija dan karet. Kesadaran masyarakat di kawasan ini untuk memanfaatkan lahan yang tidak produktif sudah mulai tinggi. Sebab masyarakat Simancuang sudah menyadari bahwa mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dengan ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan sawah mereka. “Jadi kita mengajak masyarakat melakukan pengkayaan tanaman kehidupan masyarakat seperti tanaman karet, meranti, jelutung dan tanaman lainnya. Sementara jenis tanaman yang akan ditanam tergantung pilihan masyarakat,” katanya. Program RHLK tersebut sudah mulai berjalan sejak akhir 2011. Selain memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai fungsi lahan dan meningkatkan produktifitas lahan, program itu juga memiliki nilai ekologi dan nilai ekonomi. Dari dampak ekologi, melalui program RHLK diharapkan dapat berfungsi terhadap keseimbangan alam, sementara dari sisi nilai ekonomi, program itu diharapkan mampu meningkatkan penghasilan masyarakat setempat. “Salah satu tujuannya adalah untuk membiasakan masyarakat menanam. Kita juga sudah melakukan studi banding ke Lampung Tengah tanggal 18-22 Desember lalu,” ujarnya.
Dalam studi banding dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia (SDM) itu, terdapat sebanyak 14 orang peserta yang berasal dari 14 desa yang tersebar di Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten Merangin. Studi banding tentang penyemaian bibit dilakukan di Bandar Lampung, sementara untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang cara budidaya, mereka diajak berkunjung ke Lampung Tengah. “Dengan adanya studi banding itu diharapkan agar mereka bisa semakin termotivasi. Dan selama ini animo masyarakat masih cukup tinggi,” jelas Yulqori. Masih kata dia, kegiatan penyemaian tanaman telah dimulai di triwulan ke empat program TFCA. Hingga saat ini tingkat keberhasilan hidup rata-rata sekitar 60 % dari 50 % target awal. Kegiatan selanjutnya melakukan penanaman bibit ke lokasi penanaman yang telah dipilih dan melakukan perawatan tanaman. Namun, kegiatan penanaman bibit ke lokasi lahan RHLK belum dilakukan karena item kegiatan tersebut belum sampai waktunya. Sebab kondisi bibit tanaman karet saat ini masih berumur sangat muda dan masih dalam proses pengerjaan pemindahan bibit yang tumbuh di persemaian ke lokasi pembibitan. Dan untuk pemindahan bibit ke lokasi penanaman akan dilakukan setelah bibit tumbuh berumur 6 hingga 12 bulan. “Batas waktu umur bibit untuk siap dipindahkan tergantung kepada kesepakatan di masing-masing kelompok, dan berdasarkan kondisi lingkungan setempat,” katanya. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
25
26
GIS SPOT
DARI HULU KE HILIR
GPS: Alat Survey yang Mudah Digunakan
G
PS atau Global Positoning Sistem merupakan sebuah perangkat GIS yang biasa digunakan untuk melakukan survey ataupun alat navigasi. Dulu perangkat ini merupakan alat yang sulit didapat mengingat harganya yang sangat mahal. Namun dewasa ini GPS sangat mudah didapat dan harganya relatif murah. Berbagai macam perangkat sehari-hari pun menggunakan GPS, seperti pada telepon seluler, jam tangan yang modis, atau alat navigasi kendaraan bermotor. Ketika berbicara tentang GPS untuk kebutuhan survey masih banyak orang yang beranggapan bahwa perangkat ini sulit digunakan. Terlebih selama ini kebanyakan orang mengenal survey itu membutuhkan banyak orang, karena mereka harus menggunakan theodolit yang dipikul, membawa jalon (tongkat), serta meteran. Namun dengan GPS seseorang tinggal menggenggamnya, lalu berjalan mengikuti objek yang akan disurvey, maka terekamlah data survey yang diinginkan. GPS pada dasarnya merupakan sebuah perangkat yang dapat mencatat dan merekam posisi koordinat suatu tempat di bumi. Dalam kegiatan survey pada prinsipnya GPS sebuah alat untuk membuat titik dan garis, sehingga pasca survey data yang terekam dapat diolah menjadi sebuah peta. Siapa saja yang bisa menggunakan perangkat survey bernama GPS, dan apa syaratnya agar seseorang bisa menggunakan GPS? Tidak perlu tamatan SMA, Diploma 3, Strata 1, apalagi jenjang yang lebih tinggi dari itu agar seseorang bisa mengoperasikan perangkat GPS. Semua orang bisa mengoperasikan perangkat ini, tidak perlu ada spesifikasi dan pengalaman khusus agar seseorang bisa mengoperasikan GPS. Namun akan lebih baik jika orang yang akan mengoperasikan GPS itu menguasai baca, tulis, dan hitung (BTH). Pengalaman KKI Warsi ketika Orang Rimba akan melakukan survey inventarisasi sumber daya miliknya di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), maka Orang Rimba itu sendirilah yang melakukan survey dan pemetaan. Padahal seperti kita ketahui Orang Rimba di TNBD merupakan sebuah komunitas yang masih jauh dari dunia pendidikan. Dalam catatan KKI Warsi baru satu orang dari komunitas yang baru bisa tamat SMP, beberapa orang saja yang mampu BTH, dan sisanya masih buta huruf.
Bagaimana mereka bisa melakukan pekerjaan ini? Sebelumnya KKI Warsi memberi pelatihan singkat kepada mereka. Modul dibuat sesimpel mungkin dengan menggunakan bahasa mereka. Mereka dipastikan mengetahui kalau GPS sudah memperoleh sinyal, lalu diajarkan bagaimana cara merekam titik (marking point) serta merekam garis (track log). Selain itu mereka diberi pengetahuan tambahan berupa plotting koordinat atau cara memindahkan koordinat GPS ke dalam peta. Bagaimana hasilnya? Dalam melakukan survey tentu saja mereka mengerjakannya dengan waktu yang lebih cepat, karena walaupun didalam hutan mereka sangat mengetahui situasi ruang mereka. Mereka pun berhasil memetakan objek berupa point sebaran sumberdaya mereka, serta akses menuju objek-objek tersebut. Tidak hanya Orang Rimba yang mampu BTH yang bisa mengoperasikan GPS. Orang Rimba yang masih buta huruf pun bisa mengoperasikan GPS. Bagaimana cara? Satu hal yang perlu dipahami adalah memastikan pengguna GPS tahu betul bahwa GPS telah memperoleh sinyal. Selanjutnya aktifkan track log secara otomatis, lalu ajarkan mereka melakukan marking point dengan penamaan secara otomasi pula. Beberapa hal penting yang wajib mereka ketahui, pertama tombol mana yang harus ditekan untuk menghidupkan dan mematikan GPS. Kedua pastikan mereka tahu kalau GPS sudah mendapat sinyal. Ketiga tombol mana yang harus ditekan untuk merekam objek (marking point). Lantas bagaimana cara mengolah data dari rekaman GPS mereka? Suruh Orang Rimba itu bercerita secara runut tentang proses mereka melakukan survey. Objek apa yang pertama mereka ambil, lalu yang kedua, ketiga dan seterusnya. Lalu sesuaikan urutan cerita mereka tersebut, dengan urutan waktu pengambilan titik objek (marking point) pada data yang terekam di GPS. Maka lengkaplah data yang diperoleh dan siap diolah menjadi sebuah peta yang informatif. Bagaimana? Gampangkan menggunakan GPS...! (Fredi Yusuf)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Masyarakat Simancung makan bersama dalam rangkaian kegiatan mendarahi kapalo banda. Foto Andika/Dok KKI Warsi
Mendarahi Kapalo Banda, Simbol Kekompakan Warga Simancuang ak banyak kelompok masyarakat yang bisa mempertahankan tradisi dan kearifan lokal peninggalan para leluhur. Seringkali tradisi dan kearifan lokal yang pernah hidup di tengah masyarakat, punah oleh terjangan arus globalisasi dan kemajuan zaman. Masyarakat Simancuang, Kenagarian Alam Pauh Duo, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat (Sumbar), barangkali sebuah pengecualian. Hingga kini, warga setempat masih melestarikan tradisi mendarahi kapalo banda, sebuah kearifan lokal yang dilestarikan turun temurun sebagai penanda memasuki musim turun ke sawah basamo.
T
madati halaman masjid Nurul Yakin, yang dikelilingi areal sawah dan sekaligus menjadi pusat aktivitas warga Simancuang setiap ada hajatan besar.
Gerimis pagi mengguyur areal persawahan di Jorong Simancuang, Minggu (12/2). Kabut tebal masih menutupi sebagian hutan panjang yang membentang gagah di daerah perbukitan bagian barat Jorong. Saat gerimis mulai reda, ratusan warga sontak berdatangan dan me-
Pada awalnya, hewan yang disembelih untuk ritual mendarahi kapalo banda adalah seekor kambing. Setelah lima tahun pertama, masyarakat sepakat untuk menyembelih sapi, kemudian kembali menyembelih kambing, dan sejak 1990 sampai sekarang masyarakat
Melalui pengeras suara, wakil Wali Jorong, Edison, pagi itu menyeru warga agar segera berkumpul ke masjid Nurul Yakin. Pasalnya, hari itu mereka akan menggelar ritual mendarahi kapalo banda. Di Jorong Simancuang, tradisi itu sudah dilakukan sejak 1984 silam. Meski sudah berlangsung cukup lama, namun tradisi mendarahi kapalo banda tetap lestari di tengah masyarakat Simancung hingga saat ini.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
27
28
DARI HULU KE HILIR sepakat untuk menyembelih seekor kerbau besar. Selama puluhan tahun tradisi itu hidup di tengah masyarakat Simancuang, warga sudah menyembelih sebanyak 47 ekor hewan ternak. Yaitu dimulai dengan penyembelihan 4 ekor kambing, 27 ekor sapi, dan 16 ekor kerbau. Untuk pergantian jenis hewan ternak yang akan disembelih, terlebih dahulu warga membuat kesepakatan yang diselaraskan dengan kemajuan taraf perekonomian mereka. Pantauan di lapangan pada Minggu pagi itu, sejak pukul 8.00 warga sudah tampak berdatangan menuju masjid Nurul Yakin. Selama sehari penuh aktivitas warga Simancuang terpusat di masjid yang berada di tengah pusat permukiman tersebut. Semakin siang, suasana kian ramai. Mereka bergotong royong mengerjakan tugas-tugas untuk menyukseskan prosesi mendarahi kapalo banda. Tanpa dikomando, masyarakat bahu membahu mengerjakan segala keperluan yang dibutuhkan di sekitar masjid. Mulai dari menanak nasi, memarut kelapa, mencuci piring dan bumbu-bumbu masak, semua dilakukan di sekitar masjid. Hal itu dimungkinkan karena di depan masjid Nurul Yakin mengalir sebuah banda dengan air jernih dan bebas dari pencemaran lingkungan. Kepala Jorong Simancuang, Jalaludin Datuk Lelo Dirajo mengatakan, pagi itu warga Simancuang yang terdiri sekitar 700 KK diharuskan datang mengikuti tradisi mendarahi Kapalo Banda. Dan kesempatan itu merupakan sarana berkumpul bagi masyarakat Simancuang. Selain menjadi kesempatan berkumpul, kegiatan itu juga sebagai sarana mengungkap rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat yang mereka terima setelah musim panen. Setelah melaksanakan ritual mendarahi kepalo banda, mereka harus bersiap-siap kembali bersamasama turun ke sawah. “Tradisi mendarahi kapalo banda ini merupakan penanda turun ke sawah basamo bagi warga Simancuang. Sebelum dilakukan acara mendarahi kepalo banda, warga belum ada yang dibolehkan mengerjakan sawah,” katanya. Selain untuk melakukan penyeragaman waktu turun ke sawah bagi warga Simancuang, tradisi mendarahi kapalo banda ternyata juga memiliki tujuan lain. Seperti dituturkan Jalaludin, disamping untuk penyeragaman waktu turun ke sawah, banyak manfaat lain yang bisa dipetik dengan melestarikan tradisi tersebut. Antara lain untuk mengantisipasi serangan hama babi dan serangan hama burung. Jika semua warga sepakat turun ke sawah dalam waktu bersamaan, maka kemungkinan lahan persawahan akan diganggu hama bisa semakin berkurang. “Kalau turun ke sawah tidak serentak seperti ini nanti
DARI HULU KE HILIR
bisa banyak serangan hama babi dan burung. Ini merupakan salah satu tujuan yang kita dapat dari tradisi mendarahi kapalo banda ini,” ujarnya. Secara garis besar, ritual mendarahi kapalo banda terdiri dari kegiatan menyembelih hewan di tengah hamparan persawahan sebagai penanda bahwa kegiatan pengolahan sawah telah dapat dimulai. Setelah kerbau disembelih, kemudian dimasak, dan dilanjutkan dengan acara santap siang bersama. Warga juga mengundang segenap unsur muspida dan para Kepala Jorong di sekitar Jorong Simancuang. Semua kegiatan tersebut dipusatkan di masjid Nurul Yakin. Pada tahun awal-awal dulu, penyembelihan hewan memang masih dilakukan di kapalo banda. Kemudian darah hewan tersebut dialirkan ke banda yang nanti akan mengaliri semua persawahan milik warga Jorong Simancuang. Namun, belakangan hal itu mengalami pergeseran. Warga Simancuang tak lagi melakukan penyembelihan di kapalo banda, namun cukup dilakukan di tengah sawah seperti yang mereka gelar pada hari Minggu itu. “Karena kalau mau ke kapalo banda jaraknya cukup jauh. Jadi warga sepakat nyembelih kerbau di sawah saja. Yang penting niat kita tidak berubah. Mudahmudahan dengan kegiatan ini nikmat datang balak tatunda. Intinya selain untuk simbol kebersamaan warga Simancuang, dalam kegiatan ini kami juga berdoa kepada Tuhan agar bisa terhindar dari musuh saat turun ke sawah,” ungkapnya. Sekedar diketahui, untuk melestarikan tradisi tersebut warga Jorong Simancuang mengutip iuran dalam mengumpulkan dana. Masing-masing kepala keluarga (KK) diwajibkan membayar iuran sebanyak 10 sukek padi atau membayar dengan uang seharga 10 sukek padi, untuk keperluan perjamuan mendarahi kapalo banda. Dana yang berhasil dipungut dialokasikan untuk membeli seekor kerbau beserta bumbu-bumbu jamuan. Aturan itu sudah disepakati oleh semua warga Simancuang. Jika ada yang tidak membayar akan dikenakan sanksi sosial. Bagi warga yang kedapatan tidak ikut iuran, mereka tidak akan mendapat jatah saat pembagian daging hewan yang disembellih. Sanksi itu dirasa lebih menyakitkan bagi warga setempat. “Tapi alhamdulillah semua mau membayar. Kalau ada yang tidak ikut sanksinya mereka tidak akan mendapatkan pembagian daging,” kata Wali Jorong.
Suasana alam Nagari Simancung, masyarakatnya sangat menghargai keberadaan alam dan lingkungannya. Foto Andika/Dok KKI Warsi.
hutan. Melalui tradisi ini masyarakat bisa membangun kekompakan dalam mengatur kawasan hidup dan mempertahankan kawasan hutan yang masih tersisa. Tradisi itu berkaitan erat dengan pengelolaan hutan mereka secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Hal itu terbukti ketika beberapa bulan lalu ada calon investor tambang bijih besi ingin memberikan seekor kerbau untuk mengisi adat, “siriah pinang”. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan izin melakukan penelitian di lokasi yang diprediksi memiliki potensi bijih besi di daerah hulu Simancuang. Waktu itu pihak calon investor ingin menyumbangkan kerbau kepada warga Simancuang untuk tradisi mendarahi kapalo banda. Tapi tawaran itu langsung ditolak oleh masyarakat Simancuang. Mereka merasa masih mampu iuran membeli kerbau untuk keperluan mendarahi kapalo banda. Mereka tak ingin karena adanya pemberian izin yang ditukar dengan seekor kerbau itu, akhirnya malah akan menghancurkan kawasan hutan di bagian hulu pengairan untuk sawah-sawah mereka.
Kearifan Lokal dan Pelestaraian Hutan
“Untuk melestarikan traidisi mendarahi kapalo banda kami tidak perlu bantuan investor. Karena masyarakat Simancuang masih bisa kompak iuran, kami tidak mau hutan kami rusak kalau investor masuk ke hutan kami,” kata Edison.
Selain untuk penyeragaman waktu turun ke sawah basamo, tradisi mendarahi kapalo banda juga merupakan salah satu kearifan lokal dalam rangka pelestarian
Warga Simancuang menyadari bahwa ketersedian air untuk sawah-sawah mereka sangat bergantung dengan keseriusan dalam menjaga kawasan hutan yang
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
masih tersisa. Kesadaran itu menjadi salah satu motivasi masyarakat untuk membuat beberapa aturan dalam penjagaan kawasan hutan. Misalnya dengan menerapkan larangan melakukan penebangan di hulu sungai dan penetapan bukit panjang di sebelah barat Simancuang sebagai hutan adat. Dalam perkembangannya, untuk mendapatkan kepastian hukum bagi kawasan hutan tersebut, bukit panjang kemudian diusulkan dalam skema Hutan Desa pada tahun 2008. Di wilayah Sumatera Barat hutan desa biasa disebut Hutan Nagari. Perjuangan itu membuahkan hasil, warga Simancuang akhirnya berhasil mendapatkan SK Pencadangan areal kerja Hutan Nagari dari Menhut RI, seluas 650 hektare dan SK Hak Pengelolaan Hutan Nagari dari Gubernur Sumbar. Sementara Wali Nagari Alam Pauh Duo, Zainal Abidin mengatakan, pihaknya sangat mendukung upaya warga Simancuang dalam melestarikan tradisi mendarahi kapalo banda dan melakukan penjagaan Hutan Nagari mereka. Untuk itu, ke depan ia berharap agar tradisi seperti itu tetap dapat dipertahankan oleh warga Simancuang. Sebab, selain untuk ajang menjalin kebersamaan, tradisi itu merupakan sebuah peninggalan budaya yang sangat berharga bagi warga Simancuang di masa yang akan datang. “Karena pelestarian budaya seperti ini adalah pusaka bagi anak cucu kita nanti,” tandasnya. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
29
DARI HULU KE HILIR
30
DARI HULU KE HILIR berakibat pada timbulnya konflik yang semakin menyengsarakan masyarakat adat. Mereka hanya bisa menjadi penonton diatas pesta pora pengeksploitasian kekayaan alam yang ada di sekitarnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari DPRD Provinsi Jambi setidaknya terdapat 449 izin usaha tambang di Jambi yang telah dikeluarkan sejak 2006 sampai sekarang. 344 izin diantaranya, atau seluas 727.844 hektar memperoleh izin eksplorasi. Sisanya, 105 izin seluas 7.388 hektar telah mengantongi izin eksploitasi. Dari jumlah itu, 825.232 hektar masih aktif, dan sisanya tidak aktif lagi. Ironisnya, sejumlah 349.905 hektar kawasan pertambangan berada di 223 titik kawasan hutan, baik hutan lindung, hutan produksi maupun hutan produksi terbatas. Diantara luasan izin tambang tersebut, ada 10 perusahaan tambang nakal yang baru memiliki izin eksplorasi tapi kondisi di lapangan sudah beroperasi di kawasan hutan, tanpa mengantongi izin pakai. Kesepuluh perusahaan ini sebagian besar izinnya berada di kawasan Merangin. Kesepuluh perusahaan itu adalah PT Aneka Tambang, PT Rajawali Terbang, PT Jaronoel Bara Sukses, PT Andalas Maju Multi, PT Randu Hijau Lestari, PT Sahabat Baru Century, PT Mineral Merangin Sejati, PT Sarko Minning, PT Eksa Nusa dan PT Sitasa Energi (Jambi Independent 29 Februari 2012).
Masalah Tambang, Masalah Keadilan
S
umberdaya mineral merupakan sumber daya alam yang tak terbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian ini dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya mineral ini haruslah dilakukan secara bijaksana dan dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun perlu juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang. Paradigma pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh pemerintah memandang segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagai modal untuk menambah pendapatan negara. Sayangnya, hal ini dilakukan secara eksploitatif dan dalam skala yang massif. Sampai saat ini, tidak kurang dari 30 persen wilayah daratan Indonesia, dan di Provinsi Jambi total luas 1,1 juta hektar sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik pertambangan mineral, ba-
tubara maupun pertambangan galian C. Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat. Operasi pertambangan yang dilakukan ini seringkali menimbulkan berbagai dampak negatif, baik terhadap lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat adat maupun budaya masyarakat lokal. Pertambangan di provinsi Jambi selama ini telah banyak menimbulkan masalah-masalah dan konflik, dikarenakan pemerintah dalam membuat kebijakan dan perizinan tidak ada keberkepihakan pada masyarakat hanya menguntungkan para Investor dan pemerintah.
Kondisi ini pastinya akan menjadi tidak adil bagi masyarakat adat, yang hanya bisa merasakan kehancuran dan pencemaran lingkungan sebagai dampak dari kegiatan pertambangan yang berlangsung. Ongkos produksi rendah yang dibangga-banggakan perusahaan dalam laporan tahunannya dicapai dengan mengorbankan lingkungan. Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Selain itu, hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah secara langsung ke sungai, lembah, dan laut. Hal ini mengakibatkan perusakan dan pencemaran sungai dan laut yang merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat. Wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayah hidup mereka menyebabkan pemberian wilayah konsesi dengan semena-mena tanpa ada persetujuan dari masyarakat. Kelompok
masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan. Di banyak operasi pertambangan, aparat keamanan dan militer seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan. Ketika perusahaan pertambangan pertama kali datang ke suatu lokasi, sering terjadi pengusiran-pengusiran dan kekerasan terhadap warga masyarakat setempat. Di dalam UU Pertambangan No. 11 tahun 1967, operasi pertambangan dika-tegorikan sebagai proyek vital dan strategis. Hal ini menjadi pembenaran dilakukannya pengamanan oleh aparat keamanan. Dalam banyak kasus, perusahaanperusahaan pertambangan multinasional juga melakukan pembayaran terhadap aparat keamanan dengan tujuan untuk menjaga keamanan perusahaan. Kegiatan pertambangan, tidak hanya memberi dampak terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Buruknya tata kelola transportasi pada proses pengangkutan hasil tambang, pada akhirnya membuat rusak sarana transportasi darat masyarakat umum. Seperti halnya yang terjadi di Jambi, tidak adanya ketegasan mengenai jalur transportasi yang tepat untuk proses pengangkutan bagi hasil tambang khususnya batu bara yang berakibat terganggunya kenyamanan masyarakat dalam menggunakan jalur transportasi darat. Bahkan akhirnya memicu konflik dengan tindakan masyarakat memblokade jalan untuk truk batu bara. Meski dengan alasan menekan biaya produksi, perusahaan-perusahaan batu bara itu tidak seharusnya menggunakan jalur transportasi umum untuk mengangkut hasil tambang mereka. Kondisi ini, harus dipikirkan bersama dari pemerintah daerah bersama pihak perusahaan untuk memikirkan solusi lain bagi transportasi pengangkutan hasil tambang sehingga tidak menganggu aktifitas masyarakat. Ketegasan pemerintah sangat dibutuhkan dalam bentuk pengawasan terhadap perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan terutama dalam upaya pelestarian lingkungan disekitarnya, serta dengan tidak segan-segan mencabut izin eksploitasi yang diberikan apabila perusahaan tersebut menyalahi aturan. Keterlibatan masyarakat menjadi poin penting guna menghindarkan konflik sosial yang saat ini marak terjadi sebagai dampak dari kegiatan pertambangan yang terjadi. (Elviza Diana)
Ketidakberesan ini dimulai sejak adanya pencadangan areal pertambangan, proses perizinan, lalu berkelanjutan pada proses Amdal yang tidak terbuka. Ini akan
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
31
DARI HULU KE HILIR
32
WAWANCARA
Daftar Pemegang KP Eksploitasi di Provinsi Jambi Kab/ Perusahaan Kabupaten Batanghari
1. PT Nan Riang 2. Bangun Energy Indonesia
Kabupaten Muarojambi
3. PT Bumi Borneo Inti 4. PT Globalindo Alam Lestari 5. PT Globalindo Alam Lestari 6. PT Globalindo Alam Lestari 7. PT Globalindo Alam Lestari 8. PT Crysta Jaya Perkasa 9. PT Bara Raya Persada 10. Sinar Gunung Moule
Kabupaten Tanjab Barat
11.PT Global Putra Perkasa 12. PT Pandamas Sakti 13. CV Chandra Jaya 14. PT Aldiron Petra
Kabupaten Tebo
15. PT Wahana Alam Lestari IV 16. PT Asia Multi Investama 17. PT Anugrah Alam Andalas
Kabupaten Bungo
18. PT Bumi Bara Perkasa 19. PT Sinar Super Indah 20. PT Basmal Utama Internasional 21. PT Tambulun Pangian Indah 22. PT Kuansing Inti Makmur 23. PT Putra Jujuhan Mandiri 24. PT Dekalindo Sumber Makmur 25. PT Wahana Bima Sakti 26. CV Niska 27. PT Tambulun Panual Jaya 28. PT Bukit Petai Indah 29. PT Batang Bungo Jaya 30. PT Bara Harmonis Batang Asam 31. PT Tambulun Panual Jaya 32. PT Tanjung Batang Asam 33. PT Sungai Pangean Jaya 34. PT Marga Bara Tambang 35. PT Altra Kartika Sejahtera 36. PT Satria Gilang Mandiri 37. PT Gemari Bumi Pusako
Kabupaten Sarolangun
38. PT Sungai Belati Coal 39. PT Sinar Anugerah Sukses 40. PT Sinar Anugerah Sukses 41. PT Anugerah Jambi Coalindo 42. PT Anugerah Jambi Coalindo 43. PT Mulia Permata Coal Jaya
Izin PKP2B di Provinsi Jambi
1. PT Nusantara Thermal Coal 2. PT Intitirta Prima Sakti 3. PT Karya Bumi Baratama (SK) 4. PT Sarwa Sembada Karya Bumi (SK)
Luas (Ha)
Lokasi
1.000 286
Desa Jambak dan Ampelu Tembesi Kec Bathin XXIV
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 3.000 3.500 920
Sungai Gelam Kec Sungai Gelam Tanjung Pauh, Mestong Sukadamai, Mestong Ds Baru, Mestong Ds Nyogan, Mestong Kebon IX, Sungai Gelam Kec. Mestong Sungai Bahar
997 88 258 584
Lubuk Kambing, Merlung Lubuk Bernai, Tungkal Ulu Lubuk Bernai, Tungkal Ulu Lubuk Kambing, Merlung
195 198 -
Lubuk Mandrasah Tebo Ilir Muara Kilis, Kec Tengah Ilir Kec. Sungai Bengkal
997 200 199 199 199 199 2.000 190 199 199 199 195 172 80 196 190 199 173 199 195
Leban, Rantau Pandan Leban, Rantau Pandan Rantau Duku Kec.Rantau Pandan Ujung Tanjung, Kec Jujuhan Tanjung Belit Kec Jujuhan Ujung Tanjung, Kec Jujuhan Tanjung Belit & Talang Silungko Leban, Kec Rantau Pandan Senamat, Kec Pelepat Apung Ilir, Kec Rantau Pandan Apung Ilir, Kec Rantau Pandan Apung Ilir, Kec Rantau Pandan Tanjung Belit Kec Jujuhan Ujung Tanjung, Rantau Pandan Tanjung Belit Kec Jujuhan Ujung Tanjung, Rantau Pandan Rantau Duku Kec Rantau Pandan Sungai Beringin Kec Pelepat Kerak, Kec Rantau Pandan Leban, Kec Rantau Pandan
500 1.000 300 2.500 1.000 1.000
Sarkam, Kec Sarolangun Lubuk Napal Kec Pauh Lubuk Napal Kec Pauh Lubuk Napal Kec Pauh Lubuk Napal Kec Pauh Renah Alai, Kec Limun
2.832 47.680 18.480 47.280
Kabupaten Bungo Sarolangun, Batanghari & Sumsel Sarolangun & Sumsel Sarolangun & Batanghari
Sumber : Dinas ESDM Provinsi Jambi, Februari 2010
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
“Hati-hati Mengeluarkan Izin”. K onflik lahan ibarat penyakit kronik yang kini menggerogoti hampir seluruh wilayah di Indonesia. Tak terkecuali Jambi. Di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini, konflik lahan hampir terjadi di semua kabupaten. Tercatat 29 konflik lahan di Jambi, meliputi 26 konflik lahan sawit dan 3 konflik kehutanan. Tingginya konflik ini ditenggarai saratnya kepentingan dan kongkalikong dalam pemberian izin perusahaan. Jika tidak segera diselesaikan konflik ini berpotensi menjadi konflik terbuka. Mengatasi konflik ini, Pemerintah Provinsi Jambi membentuk tim penyelesaian konflik lahan dan perkebunan.
Sepdinal SPt ME selaku sekretaris tim ini menjawab perta-
nyaan Alam Sumatera terkait konflik ini, beriku petikannya: Apa penyebabkan konflik lahan ini di Jambi? Kita sebenarnya menerima warisan dari kusutnya kebijakan pengelolaan sumber daya dari masa lalu. Dulu penentuan izin belum ketat, tidak dilengkapi dengan analisis yang lengkap untuk melihat kawasan yang akan diberikan izin. Mungkin dulu GPS, Citra Satelit tidak dijadikan bahan kajian untuk pemberian izin. Kalau sekarang dengan GPS, citra satelit akan diketahui kawasan-kawasan tersebut apakah memang bebas atau ada pihak lain yang berada di dalamnya. Harusnya kalau ada orang di enclave, sehingga tak berujung konflik. Selain itu konflik disebabkan lemahnya pengawasan terhadap kawasan, sehingga rawan terjadi penyerobotan, tata batas juga tak jelas, serta eksodus masyarakat yang tidak di data dengan baik. Ada jual beli lahan yang dilakukan masyarakat namun tidak jelas kawasannya apakah HP (hutan produksi) atau APL, hal ini kemudian hari mendatangkan masalah ketika yang diperjualbelikan berada dalam kawasan hutan. Bagaimana penyelesaian konflik yang ditempuh tim? Kita menyelesaiakan sesuai dengan kewenangan yang kita miliki. Untuk sejumlah persoalan sudah mulai ada titik terangnya. Seperti kasus PT WKS dengan masyarakat Senyerang. Saat ini SK Menhut untuk pelepasan kawasan sudah ditangan, tinggal sekarang kita mendorong kedua belah pihak untuk memulai pola kemitraan sebagaimana yang direkomendasikan menteri kehutanan. Kita mendorong masyarakat untuk menanam tanaman kehidupan di lahan seluas 4004 ha yang diperuntukkan bagi 2002 kk warga Senyerang yang terdaftar. Dengan terbitkan SK Menhut ini merupakan bentuk penyelesaian yang hendaknya diterima oleh semua pihak, perusahaanpun harus tunduk dengan keputusan ini. Untuk persoalan sawit apa yang sudah diselesaikan? Kita sedang dalam pembahasan untuk penyelesaian sengketa antara masyarakat SAD dengan Asiatic. Kita melakukan joint meeting tim dengan CAO (Compliance Advisor Ombudsman). Tim ini merupakan tim bentukan bank dunia founding-nya Asiatic, tugasnya melakukan pengawasan terhadap Asiatic, termasuk dalam penyelesaian konflik. Dalam joint meeting ini dilakukan musyawarah antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah, melihat kondisi riil sekarang, hasilnya kawasan yang jelas punya masyarakat diganti rugi oleh perusahaan, sedangkan yang belum jelas sekarang menjadi status quo. Selain Asiatic, untuk kasus sawit yang juga sudah hampir rampung adalah kasus PT SAL dengan tiga desa di Merangin Bungo dan Tebo, status Quo lahan yang diklaim ketiga desa sudah dicabut, tinggal di desa Embacang Gedang Tebo yang
harus dicarikan lahan pengganti. Demikian juga untuk konflik lahan antara Kirana Sakernan dengan masyarakat. Sudah dilakukan pengukuran ulang HGU dan kawasannya tidak lebih sebagaimana yang dituduhkan. Saat ini sedang dibahas oleh pemkab Muara Jambi, terkait pola plasma masyarakat dengan perusahaan. Untuk konflik yang masih tersisa dan belum diselesaikan langkah apa yang akan diambil? Sebenarnya kita ingin semua konflik cepat terselesaikan sehingga tidak berkepanjangan. Namun apa boleh buat kita tidak bisa langsung memutuskan dalam setiap solusi yang ditawarkan. Dalam setiap penyelesaian kita mengacu kepada aturan yang ada, untuk kasus kehutanan kita memberikan masukan dan rekomendasi kepada kementrian kehutanan, memfasilitasi pertemuan dan diskusi dengan tim menhut, untuk mencari penyelesaian yang tegas untuk semua konflik yang ada. Untuk konflik kehutanan kita tak bisa langsung mengambil sikap penyeleaian karrena kewenangannya ada di pusat, jadi sifat kita memberikan masukan dan rekomendasi untuk ditindaklanjuti kementrian kehutanan. Sedangkan untuk sengketa di kawasan perkebunan sawit, dalam hal ini HGU kita harus bekerjasama dengan BPN, karena mereka yang berhak mengukur. Dangan regulasi yang panjang sehingga penyelesaian kasus terkesan lama. Tetapi yang jelas tim terus bekerja sehingga konflik-konflik ini terus diurai dan menemukan solusi yang tepat dan menguntungkan semua pihak. Untuk ke depan antisipasi apa yang direkomendasikan tim untuk meminimalkan konflik? Rekomendasi kita berhati-hatilah mengeluarkan izin, menentukan tata batas yang jelas, harus ada pendekatan persuasif kepada masyarakat yang berada di sekitar kawasan, dan mengenclave jika dalam kawasan ada masyarakat. Bagi lahan masyarakat yang terlanjur dipakai oleh perusahaan, perusahaan wajib memberikan ganti rugi yang sesuai, sehingga tak jadi bumerang dikemudian hari. Terkait dengan adanya wacana untuk perluasan kebun sawit ke depan sesuai dengan permintaan menteri BUMN kepada Menhut apa pendapat tim? Dari segi ekonomi wajar saja jika dilakukan perluasan kebun sawit, hanya saja yang menjadi sangat penting adalah menentukan kawasan yang dilepaskan untuk kebun. Kita akan arahkan perkebunan berada dikawsan yang terlantar dan kritis dan bukan dalam kawasan yang berhutan bagus. Ini penting supaya tidak menimbulkan konflik lagi di masa yang akan datang. Dan untuk ini, juga harus di kaji secara cermat. Jika melihat persoalan konflik saat ini, apakah menurut anda perlu dilakukan moratorium perizinan hingga konflik yang ada tuntas diselesaikan? Untuk marotorium izin, kita tergantung dengan kebijakan pemerintah. Seperti batubara, memang dimoratorium dulu, tak ada perizinan baru, demikian juga untuk bidang kehutanan mengacu kepada Kepres terkait moratorium, sedangkan untuk perkebunan sawit belum perlu dimoratorium yang diperlukan adalah kehati-hatian dalam memberikan izin. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
33
34
SUARA RIMBA
Pendidikan Formal Untuk ‘Mereka yang Terlupakan’
A
wal tahun ajaran baru 2009, Warsi bekerjasama dengan berbagai pihak, berhasil memasukkan 18 anak Rimba di Jalan Lintas Pamenang Kabupaten Merangin, ke sekolah formal. Dalam hal ini sekolah dasar (SD) disejumlah tempat yang lokasinya paling berdekatan dengan tempat tinggal Orang Rimba. Mungkin ini dianggap biasa saja, tapi sebenarnya, upaya memasukkan anak-anak rimba ini ke sekolah formal, sama sekali bukan hal yang mudah. Perlu usaha keras untuk meyakinkan berbagai pihak hingga sampai pada tahap tersebut. Butuh proses yang tak pendek untuk memotivasi anak-anak, meyakinkan para orang tua, koordinasi dengan pihak sekolah dan instansi terkait. Warsi berusaha melakukan berbagai pendekatan dan persiapan. Beberapa hal dikaji, permasalahan yang muncul berusaha dicari jalan keluarnya. Masuk ke sekolah formal adalah sesuatu yang belum akrab bagi anak-anak rimba termasuk Orang Rimba jalan lintas, yang notabene sebagian dari mereka sudah sangat berdekatan pemukimannya dengan masyarakat desa atau transmigrasi. Kalaupun ada yang bersekolah, bahkan hingga kelas 6 tetapi jumlahnya sangat sedikit. Karenanya, sempat terbersit keraguan, bagaimana anak-anak Orang Rimba yang terbiasa hidup di alam bebas ini bisa bersekolah di sekolah formal, dalam sekatsekat ruangan tertutup dan waktu yang teratur? Apakah anak-anak ini akan bisa beradaptasi dengan lingkungan baru yang berbeda dari lingkungan sehari-harinya ? Bagaimana pergaulannya dengan teman-teman sekelas dan guru-gurunya kelak? Selama ini, memang sudah sering terjadi interaksi antara anak-anak Rimba ini dengan anak-anak Desa, namun sifatnya masih terbatas. Persahabatan antara anak-anak Rimba dengan anak-anak desa adalah hal yang sangat jarang terjadi. Anak-anak rimba sering disebut sebagai ‘Kubu’ oleh orang-orang desa, sebuah sebutan yang berkonotasi : jorok, bau dan liar. Dan hal ini agaknya tertanam di benak anak-anak tersebut sehingga seolah mereka menjaga jarak dengan anakanak rimba. Demikian halnya dengan anak-anak rimba, seolah sadar diri mereka dianggap kotor, mereka merasa malu dan enggan untuk berdekatan dengan anakanak desa. Bukan hal yang mengejutkan jika kemudian sempat terjadi penolakan dari beberapa orang tua murid dari desa
35
dan salah satu sekolah ketika anak-anak Orang Rimba ini hendak didaftarkan ke sekolah. Muncul kekhawatiran dari mereka; bagaimana kalau anak-anak ini kelak justru akan membuat masalah di sekolah? Namun setelah Warsi dibantu oleh tokoh masyarakat setempat, untuk meyakinkan pihak sekolah dan orangtua murid, akhirnya mereka pun bersedia menerima anak-anak rimba ini di sekolah tersebut. Memberi pengertian pada pihak orang tua dan anakanak Rimba yang hendak didaftarkan ke sekolah ini juga bukan hal yang mudah. Meski beberapa orangtua justru menginginkan anak mereka bersekolah dan si anak juga ingin, namun tak sedikit juga orangtua yang merasa ragu-ragu untuk memasukkan anak mereka ke sekolah. Kekhawatiran mereka terutama terkait soal ekonomi. Orang Rimba di jalan lintas umumnya tidak memiliki penghasilan tetap dan anak-anak biasanya dilibatkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini. Dengan rencana masuknya anak-anak ini ke sekolah, dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan ekonomi mereka. Di samping itu juga para orang tua ini merasa khawatir jika anak mereka bersekolah, justru harus mengeluarkan biaya tambahan.Untuk mengatasi hal tersebut, Warsi berusaha melakukan koordinasi dengan pihak sekolah. Pihak sekolah bersedia untuk membebaskan anak-anak ini dari segala biaya pendidikan. Anak-anak ini akan diadministrasikan untuk mendapat berbagai beasiswa yang tersedia. Sementara untuk seragam dan peralatan sekolah, Warsi berupaya untuk mengajukan permohonan bantuan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Merangin. Namun, karena hingga pada hari masuk sekolah, pihak dinas belum juga memberi kepastian bantuan, Warsi kemudian mengupayakan sendiri untuk menyediakan perlengkapan sekolah tersebut.
Selain karena kepindahan orang tua mereka, sebagian anak juga memilih untuk tak lagi sekolah karena harus membantu orangtua mencari nafkah. Hal ini biasanya terjadi pada anak-anak yang secara umur sudah terlihat cukup dewasa. Ada kesan bahwa mereka merasa malu di sekolah karena secara fisik badan mereka terlihat besar. Di kelompok juga mereka merasa malu karena umumnya, ketika seorang anak (terutama lelaki) sudah terlihat cukup besar, mereka akan mulai ikut mencari nafkah. Di sisi lain, para orang tua juga belum memahami pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka sehingga jarang yang memotivasikan anak-anaknya untuk terus bersekolah.
Anak Rimba yang ikut sekolah formal, berusaha berbaur dengan lingkungan baru. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi .
berbaur dengan teman-teman di luar kelompok mereka. Di sekolah, mereka hanya akan bergerombol di antara sesama anak rimba. Pihak sekolah pun kemudian berusaha keras untuk mencari jalan keluar atas permasalahan ini.
Setelah berbagai koordinasi dilakukan, dua minggu menjelang masuk sekolah, dilakukan persiapan dengan mengadakan pendidikan pra sekolah di salah satu kelompok. Hal ini dilakukan dengan mendatangkan guru sekolah untuk mengajar langsung ke komunitas. Harapannya, ketika anak-anak ini masuk sekolah nanti, mereka tidak akan terlalu ‘terkejut’ dengan lingkungan barunya.
Hardi misalnya, salah seorang guru di SD 172/VI Pemenang, setiap pagi harus membantu anak-anak ini mandi di sekolah sebelum masuk ke kelas. Pak Nano, salah satu warga desa SP A juga menyediakan kamar mandi di rumahnya untuk mandi anak-anak rimba yang tinggal di sekitarnya sebelum berangkat ke sekolah. Guru-guru di kelas juga berusaha terus untuk memberi pemahaman pada anak-anak lain untuk tidak membeda-bedakan dalam pertemanan. Bahwa anak-anak rimba ini juga sama seperti mereka. Sementara Warsi terus berusaha untuk menjadi penghubung antara pihak sekolah, komunitas Orang Rimba, masyarakat desa dan pihak-pihak terkait untuk menggalang berbagai kerjasama.
Sekolah merupakan sesuatu yang baru bagi anak-anak Rimba ini. Pun bagi pihak sekolah, ini adalah pertamakalinya ada anak-anak rimba yang ikut belajar di sana. Karenanya, dibutuhkan berbagai adaptasi. Kebiasaan yang berbeda dalam membersihkan diri yang juga dipengaruhi ketersediaan air yang terbatas (ketika itu musim kemarau dan sungai yang jadi sumber air mereka kering), menyebabkan anak-anak rimba ini dijauhi teman-temannya karena dianggap bau. Tak ada anak-anak desa yang mau duduk di dekat mereka. Anak-anak Rimba ini juga merasa minder untuk
Namun, seperti kekhawatiran di awal, memasukkan anak-anak Rimba ke sekolah formal tidaklah akan menjadi hal yang sederhana. Pada 3 bulan pertama, jumlah anak yang bersekolah sudah mulai berkurang. Tiga anak memutuskan keluar sekolah karena harus mengikuti orangtua mereka untuk berpindah tempat tinggal. Berikutnya, dua anak berhenti menjelang kenaikan kelas. Dari waktu ke waktu, jumlah ini terus mengalami penurunan. Hingga saat ini, tinggal tersisa 7 anak yang masih aktif bersekolah. Itupun dengan frekuensi absen yang cukup tinggi.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Permasalahan Orang Rimba di Jalan Lintas, Pamenang ini memanglah kompleks. Sebagian besar dari mereka tak punya lahan untuk tempat tinggal, sehingga mereka harus hidup berpindah-pindah. Dan di atas semua itu, mereka tak punya sumber penghidupan yang tetap dan pasti. Sejak bertahun-tahun yang lalu, hutan tempat mereka biasa tinggal dan menggantungkan hidup telah diubah menjadi desa-desa transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit. Ketika para pendatang berdatangan untuk ‘menyongsong kehidupan baru yang lebih baik’, tidak demikian halnya dengan Orang Rimba ini, yang kemudian justru tergusur dari tempat hidup dan sumber penghidupan mereka. Mereka terpaksa tinggal di kebun-kebun kelapa sawit atau karet milik masyarakat desa, dan harus siap berpindah setiap saat jika kondisi tak lagi memungkinkan. Mereka bekerja apa saja untuk bertahan hidup; memburu babi, memulung sampah hingga mengemis di pinggir jalan raya. Mereka adalah kelompok masyarakat yang sering dipandang sebelah mata karena dianggap jorok, kotor, bau, bodoh dan sering bikin onar. Perubahan yang begitu cepat dan tiba-tiba, tentu saja tak siap dihadapi oleh Orang Rimba di Jalan Lintas ini. Mereka seolah dipaksa untuk melompat ke tengah laut, tanpa dibekali alat pelampung dan juga tak pernah diajari bagaimana cara berenang. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab ‘menyediakan alat pelampung atau mengajari berenang’ seolah menutup mata. Kepedulian dari pihak-pihak terkait di sekitar mereka juga sangat minim. Orang Rimba di Jalan Lintas ini, seolah menjadi sekelompok masyarakat ‘ yang terlupakan.’ Sekolah, mungkin tidak akan bisa menjawab semua permasalahan mereka. Namun, memfasilitasikan anakanak Rimba ini masuk ke sekolah formal, merupakan salah satu upaya yang diharapkan dapat membantu mereka untuk perlahan-lahan bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka, agar mereka tak sepenuhnya ‘tenggelam.’(Karlina/Fasilitator Pendidikan KKI-Warsi)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
36
SUARA RIMBA
SUARA RIMBA
Nengkaram, Potret Rapuhnya Masa Depan Orang Rimba
T
erik matahari menampar wajah tirus Nengkaram, bulir halus keringatpun menetes. Nafas beratnya seolah menjadi penanda bahwa tubuh mungil itu mulai rapuh. Tersengal-sengal nafasnya mengejar kami yang sudah berkemas pulang di pondok belajar. “Ake ndok belajo (saya mau belajar)...” suaranya tercekat, wajahnya pias, sesaat dia mencoba mengatur nafas, dadanya terlihat turun naik, batuk panjang segera saja memburu dari mulutnya. Ternyata Nengkaram yang selama ini terkenal sangat sulit diajak belajar, siang itu tibatiba ingin belajar. Usianya belum genap sebelas tahun tapi perutnya yang sedikit buncit dan tulang rusuknya yang menonjol membuat Nengkaram nampak sudah sangat tua. Senyum tak mudah keluar dari wajahnya, wajah keras itu seolah menggariskan betapa berat dan sulitnya hidup mereka. Sesak nafas dan demam tinggi telah beberapa kali ia alami. Nengkaram, satu diantara anak-anak orang rimba di Rombong Terab yang beberapa bulan terakhir bermukim di sekitar Sungai Dangku di tepi lahan HTI milik PT Wana Perintis sekitar 30 km utara Sarolangun. Dari atas bukit yang terletak selemparan batu dari sesudungon (rumah-rumah Orang Rimba yang terbuat dari terpal plastik) mereka, dapat dengan jelas terlihat tanah merah yang menganga. Suara dozer yang meratakan tanah terdengar keras dari bukit itu. Di tanah yang dulu menjadi lahan berburu dan mencari buah orang rimba di Terab, kini telah rata dan nyaris tak ada lagi satupun pohon tinggi. Makanan yang dulu mereka dapatkan dari berburu babi hutan, ayam hutan, kijang dan sebagainya kini tak mudah lagi didapat. Ketika orang rimba kehilangan ruang hidupnya, maka satwapun akan kehilangan ruang hidup. Pertanda ancaman bagi kelangsungan hidup orang rimba. Negkaram tidak sendirian, dari sekitar 18 anak di kelompok ini, 15 orang terindikasi gizi buruk, dicirikan dengan mata yang cekung, perut buncit dan tulang rusuk yang menonjol tajam menjadi ciri dari sebagian besar anak-anak Orang Rimba di Terab. Buruknya gizi dikelompok ini bisa jadi disebabkan semakin sulitnya mendapatkan sumber pangan, ditambah sulitnya akses mereka ke pusat-pusat pelayanan kesehatan umum. Tentu saja ketika kondisi ini terjadi, ungkapan kesehatan hanya menjadi hak segelintir orang yang mampu menguasai sumberdaya alam tentu akan menjadi benar adanya dengan melihat kenyataan yang ada di sekitar Orang Rimba, komunitas yang sangat bergantung dengan sumber daya hutan.
Di kawasan hutan dengan tutupan yang bagus Orang Rimba mampu mempertahankan kesejahteraan mereka dengan mendapatkan kecukupan makanan (gizi protein dan karbohidrat) dengan berlimpah. Selain makanan mereka juga memanfaatkan hutan untuk mendapatkan tanaman obat-obatan. Ketika hutan terbuka kondisipun jauh berubah, tidak hanya kehilangan sumber pangan dan obat, sumber airpun menjadi berubah. Seperti di kelompok terap, sekitar satu kilometer dari lokasi rombong tersebut, sebuah sungai kecil mengalir. Sungai ini adalah penopang kebutuhan air bagi rombong orang rimba dimana Nengkaram hidup. Kalau musim hujan tiba, maka air sungai akan berwarna sangat coklat dan manakala kemarau tiba sungai itu nyaris kering. Padahal menurut rerayo (orang-orang tua) disana dulu sungai itu sangat jernih, tapi sejak musim bebalok (logging) yang kemudian dilanjutkan dengan hadirnya perusahan-perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri), maka sungai kecil itupun kian rapuh dan nyaris tak bisa digunakan lagi. Daya dukung ekologis yang terus menurun membuat orang rimba makin berada dalam kerentanan. Sumber makanan dari hutan yang kian menurun, interaksi dengan pihak luar yang kerap merugikan mereka dan akses pelayanan kesehatan yang sulit membuat Orang Rimba berada dalam tekanan yang hebat. Tak heran jika anak-anak seperti Nengkaram hidup dalam ancaman berbagai penyakit dan gizi yang buruk. Kondisi gizi dan kesehatan yang buruk itu bisa dengan mudah ditangkap jika kita melihat kondisi fisik Nengkaram. Melihat realitas ini, jadi teringat tulisan Romo Mangunwijaya dalam bukunya “Orang-orang Republik”, bahwa cepat atau lambat pembangunan akan mengusir pemilik sah tanah air menjadi tamu yang asing di tanah sendiri. Itulah yang kini terjadi dengan Orang Rimba di Terab, mereka menjadi tamu ataulah bisa kita sebut penonton pasif dari sebuah atraksi ekonomi kelas kakap yang digerakkan oleh mesin-mesin korporasi yang berkoalisi dengan Negara. Orang Rimbapun berada dalam masa gagap menghadapi perubahan. Mau tidak mau, suka tidak suka Orang Rimba dipaksa berusaha beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya. Air sungai tidak bisa langsung lagi dikonsumsi seperti dulu, dibutuhkan perlakuan untuk mengkonsumsi air agar tidak menjadi sumber penyakit. Ketersediaan makanan sumber protein dan karbohidrat di dalam hutan berkurang berban-
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Orang Rimba Terap mengalami kekurangan pangan sehingga mengalami gizi buruk. Foto Kristiawan/Dok KKI Warsi
ding terbalik dengan meningkatnya jumlah Orang Rimba. Maka tidak mengherankan jika derajat kesehatan Orang Rimba di Provinsi Jambi tergolong rendah. Angka kesakitan dan kematian Orang Rimba sangat tinggi. Angka kematian banyak terjadi pada anak-anak lebih disebabkan oleh kurang tersedianya makanan dan kesiapan ketahanan tubuh dari anak-anak. Orang Rimba mulai menyadari perubahan yang ada di sekitar mereka, dengan demikian Orang Rimba berusaha beradaptasi dengan mengadopsi perilaku dari luar mereka. Pola hidup berpindah dengan aktivitas berburu dan meramu tidak dapat mereka lakukan seperti dahulu. Untuk pemenuhan kebutuhan protein dan karbohidrat, Orang Rimba harus mengeluarkan uang sebagai penukar kebutuhan tersebut. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan Orang Rimba mengandalkan obat-obatan dari hutan yang sebagian besar tidak mereka temukan lagi. Bahan obat-obatan tidak mencukupi dan jenis penyakit yang semakin bervariasi memaksa Orang Rimba untuk mengakses pengobatan modern. Sementara stereotip para petugas kesehatan juga merupakan salah satu alasan Orang Rimba tidak mengakses layanan kesehatan umum yang ada di masyarakat, harus mereka terobos. Mampukah mereka?
Ketika ketidakmampuan dan ketidakberdayaan menguasai Orang rimba, pada akhirnya mereka kian terhimpit dan tak berkutik menyaksikan tanah air mereka dijarah tiada ampun. Kalaulah ada belas kasih yang diberikan pada mereka, tak lebih dari gula-gula penyenang saja. Sedang di saat yang bersamaan setumpuk emas logam batangan direguk dari tanah mereka. Begitulah perumpamaannya, emas batangan ditukar permen. Inilah ironi di negeri yang menempatkan hati nurani hanya di mejameja diskusi, mimbar-mimbar keagamaan atau tercetak rapih di buku-buku pelajaran. Nengkaram yang kini hanya hidup bersama induknya (ibu) setelah kematian sang bepak adalah potret dari betapa kejamnya daya hisap korporasi. Tak secara langsung memang, tapi itulah faktanya. Daya dukung ekologis kian bergerak ke titik nadir, sehingga kondisi Orang Rimba yang menjadikan rimba sebagai benteng merekapun kian bergerak ke titik nadir. Apakah karena Orang Rimba hidup dengan cara berbeda dengan kita, lantas kita biarkan mereka pelan-pelan menemui ajalnya karena kehancuran ekologis ? Pada titik inilah negara kita tuntut perannya, karena tanpa intervensi negara mungkin Orang Rimba hanya tinggal legenda yang digusur zaman. (Huzer Apriansyah, Fasilitator Pendidikan Orang Rimba dan Kristiawan fasilitator Kesehatan Orang Rimba)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
37
AKTUAL
38 38
AKTUAL Jangka Menegah (RPJM) Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. KLHS diperlukan dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbukan dampak dan/atau resiko lingkungan hidup. Selain ketentuan-ketentuan diatas, Undang-undang No. 32 /2009 juga memuat ketentuan-ketentuan protokol pelaksanaan KLHS (pasal 15,ayat (3)) materi muatan KLHS (pasal 16) pemanfaataan hasil KLHS (pasal 17) proses partisipasi masyarakat (pasal 18) dan KLHS dalam Penataan Ruang (pasal 19). Tujuan KLHS sendiri selain tentunya meliputi kontribusi terhadap pencapaian kualitas lingkungan hidup yang lebih baik adalah juga bertujuan memperbaiki proses pembuatan keputusan dalam merumuskan kebijakan, rencana dan program-program pembangunan daerah sehingga mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam dokumen perencanaan daerah seperti RTRW, RPJP/RPJM. Dan kebijakan, rencana atau program lain yang memiliki dampak negatif signifikan terhadap lingkungan hidup.
Pemanfaatan ruang ke depan harus menerapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, untuk mengukur dampak yang akan ditimbulkan. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi
Mensinergikan KLHS dalam RTRW M
ereview lagi kondisi tata ruang Provinsi Jambi saat ini dengan rencana pembangunan yang bergulir dari waktu ke waktu seperti bercermin pada realitas yang terus memaksa dan menekan kondisi alam Jambi menjadi kian terpuruk. Sekarang kita tidak bisa lagi menikmati segarnya udara yang dihirup, tidak ada lagi kenyamanan berkendara bagi pengendara karena hampir separuh ruas jalan menuju kota-kota di kabupatenkabupaten se-Provinsi Jambi sudah dipadati dengan kendaraan-kendaraan bertonase besar sebagai jalur transportasi industri dan batu bara. Kepadatan dan besarnya kapasitas beban kendaraan membuat tingginya kerusakan jalan. Sehingga tidak ada lagi sarana jalan yang nyaman untuk berkendara bagi masyarakat. Kondisi memprihatinkan lainnya bisa juga dilihat dari Daerah aliran Sungai Batanghari sebagai salah satu sungai terbesar di Sumatera yang merupakan satu kesatuan landscape regional dari hulu sampai hilir Provinsi Jambi, dimana hutan-hutan yang berada di sekitarnya sudah habis digunduli oleh perusahaan-perusahaan pengekploitasi sumber daya alam terbesar seperti sumber daya hutan dan sumber daya alam berupa tambang batu bara. Sehingga membuat tutupan hutan Jambi semakin berkurang dari tahun ke tahun. Menyikapi kondisi ini maka memunculkan pertanyaan besar, apakah pemanfaatan ruang sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kearifan lokal dan mengacu pada upaya per-
Di Provinsi Jambi sendiri kebijakan KLHS baru akan diterapkan kedalam RTRW provinsi walaupun, Peraturan Daerah tentang RTRW belum disahkan oleh DPRD dikarenakan belum adanya persetujuan dari pusat tentang alih fungsi kawasan yang diusulkan oleh Pemda Jambi . Begitupun yang terjadi di kabupaten-kabupaten, belum ada kabupaten yang menerapkan KLHS dan rencana pembangunan di kabupaten. Ini dikarenakan salah satu syarat untuk menyusun RTRW kabupaten harus
mengacu pada RTRW Provinsi. Beberapa kabupaten juga sudah menyelesaikan RTRW walaupun kondisinya sama dengan Provinsi yaitu masih menggantung di DPRD. Walau demikian, inisiatif untuk menerapkan KLHS dalam dokumen rencana pembangunan daerah sudah ada yang dilakukan oleh beberapa kabupaten. seperti Kabupaten Muaro Bungo dan Kabupaten Merangin, dimana KKI Warsi dan Pemerintah Daerah telah berupaya menggali pelingkupan isu mengenai persoalan pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu konsep model adalah mendukung ekosistem Bukit Panjang Rantau Bayur di kecamatan Bathin III Ulu sebagai penyangga TNKS di lindungi dari pemberian izin pembangunan yang merusak konservasi Alam. Selain itu KLHS juga bisa mendukung pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti Hutan Desa, dalam upaya menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. KLHS seharusnya bisa menjadi kajian Lingkungan Hidup Strategis yang terpadu dan mampu mengantisipasi pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan sehingga tidak menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan yang mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan di Jambi. Selain itu komitmen Pemerintah daerah untuk mengimplementasikan dan merealisasikan pembangunan yang berkelanjutan di daerah juga menjadi poin utama dalam mewujudkan upaya tersebut. Sehingga pemberian izin-izin pada perusahaan yang mengekploitasi alam tanpa memperhatikan dampak lingkungan tidak terjadi lagi. (Nelly Akbar/ Elviza Diana)
lindungan terhadap lingkungan. Atau adakah semua pembangunan direncanakan semata-mata hanya untuk meningkatkan perekonomian Provinsi Jambi, tanpa mempesdulikan kondisi ekologi, sosial dan budaya masyarakatnya sendiri. Menjawab itu semua, maka lahirlah sebuah kebijakan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang disahkan pemerintah pada tanggal 3 Oktober 2009. Undang-undang yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini memuat beberapa ketentuan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di dalam7 (tujuh) pasal, yaitu pasal 1 dan pasal 14 sampai dengan pasal 19. KLHS adalah “ rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif (terpadu) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program pembanguanan (pasal 1, butir 10). Dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS dan melaksanakan rekomendasi dari KLHS kedalam penyusunan atau evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rinciannya yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan, ke depan dibutuhkan kajian lingkungan hidup seelum melakukan alih fungsi kawasan hutan. Foto Heriyadi/ Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
39 39
AKTUAL
40
SELINGAN
Benor FM Radio Edukasi Orang Rimba
M
usim buah dalam bahasa rimba disebut juga dengan musim petahuoan, pada musim ini ada banyak sekali buah-buahan, karunia alam yang selalu disambut gembira Orang Rimba. Tetapi musim ini biasanya juga dibarengi dengan musim penyakit, sehingga juga menakutkan bagi Orang Rimba,”demikian sepenggal materi siaran yang disampaikan oleh penyiar Benor FM Iqbal Zainuddin beberapa hari lalu. Hutan Adat Guguk yang dipertahankan keberadaannya, kini pengetahuan tentang hutan diberikan kepada anak-anak usia dini di Desa Guguk. Foto Dok KKI Warsi
Pendidikan Lingkungan Hidup Usia Dini di Hutan Adat Guguk Kabupaten Merangin
M
asyarakat adat Desa Guguk Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin, ternyata telah menerapkan pendidikan lingkungan hidup kepada anak-anak sejak usia dini. Hal ini terungkap pada sesie penggalian aktor yang berkaitan dengan hutan, pada acara “Pelatihan Sekolah Lapang Kader Fasilitator Lokal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)” yang diadakan oleh Komunitas Konservasi Indonesia Warsi di Balai Pertemuan Adat Desa Guguk beberapa waktu yang lalu. “Anak-anak sejak mulai dari Sekolah Dasar (SD) sudah kami beri pengetahuan tentang pentingnya melestarikan hutan” ujar Rojali pengurus Kelompok Pengelola Hutan Adat yang menjadi peserta pelatihan. Rojali menambahkan, pada awalnya anak-anak hanya dilibatkan dalam acara-acara adat seperti sebagai penyambut tamu yang akan berkunjung ke Hutan Adat. Selanjutnya mereka sering kami ajak masuk hutan untuk mengenal berbagai jenis kayu serta tumbuhan-tumbuhan hutan lainnya. Untuk anak SMP dan SMA pengurus Kelompok Hutan Adat sering mengajaknya masuk hutan bahkan sampai ke puncak tertinggi yang ada di hutan tersebut. Mereka sering dilibatkan dalam kegiatan patroli di Hutan Adat. “Kalau ada bunyi sinsaw dari arah Hutan Adat, kami ajak anak-anak SMP dan SMA di desa ini mendatangi sumber suara dan memastikan bahwa sinsaw yang berbunyi tersebut tidak digunakan untuk mencuri kayu di hutan adat,” lanjutnya.
Sidik (9 tahun) bersama dua kawannya Pahrul dan Jabil yang kami temui di pinggir Hutan Adat, tanpa diminta menceritakan pengetahuannya tentang hutan adat yang jadi masa depan mereka. “Di dalam hutan adat ada banyak kayu besar, bahkan ada sebuah kayu yang sangat besar yang hanya bisa dipeluk oleh delapan orang desa,” kata Sidik dengan yakin bahwa dirinya mengetahui seluk beluk isi hutan tersebut. “Di dalam hutan kami membuat sebuah pondok yang cukup besar, kalau kita duduk bersantai disana udaranya terasa sangat sejuk,” lanjut Parul yang saat itu mengenakan kaos timnas bernomor punggung 9 bertuliskan Gonzales. “Hutan adat kami sering dikunjungi banyak orang, mulai dari orang dari Jakarta, orang Korea, bahkan orang Inggris pernah mengunjungi hutan adat kami,” tambah Jabil yang juga mengenakan kaos yang sama bernomor punggung 17 bertulisankan Irfan. Abu Bakar Pengurus Kelompok Pengelola Hutan Adat Guguk lainnya mengatakan, anak-anak disini sudah diberi tahu mana yang namanya kayu meranti, kulim, atau tembesu. “Sebagai orangtua kami tidak mau hanya meninggalkan cerita atau mewariskan alam yang hancur kepada mereka. Kami pun berharap mereka bisa menjadi penerus kami dalam melestarikan sumber daya alam,” tandasnya. (Fredi)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Benor FM memang pendatang baru di ranah penyiaran Indonesia. Namun jangan salah, Benor mempunyai kekhususan tersendiri, karena merupakan radio komunitas yang ditujukan bagi Orang Rimba. Dalam tahap sosialisasi awal yang dilakukan ke komunitas Orang Rimba, kelompok ini sangat antusias dengan radio ini. Betapa tidak Benor akan menjadi radio yang bertujuan untuk mengadvokasikan hak-hak dasar Orang Rimba sekaligus menumbuhkan keberdayaan dan kepercayaan diri Orang Rimba untuk bisa hidup setara dengan kelompok masyarakat lainnya, dengan tidak kehilangan jati diri mereka. Sebagaimana diketahui Orang Rimba saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Hal ini disebabkan karena lemahnya posisi orang rimba dalam segi ekonomi, sosial dan politik. Untuk itu Warsi bekerja sama dengan Ford Foundation melalui Cipta Media bersama menghadirkan Benor FM. Rencananya radio ini akan segera mengudara seiring dengan pengurusan semua persyaratan dan perlengkapannya. Namun untuk sementara radio ini sudah bisa didengarkan siarananya melalui media online di http:// www.warsi.or.id/benor-fm/. Sasaran utama Radio ini adalah untuk membebaskan Orang Rimba dari buta aksara, memberikan informasi dan layanan kesehatan bagi Orang Rimba, mengembangkan ekonomi bagi Orang Rimba dan diterimanya dan diakui Orang Rimba dalam norma kehidupan umum serta dipenuhinya hak-hak dasar Orang Rimba oleh Negara. Saat ini kita ketahui, baru 17 persen Orang Rimba yang mampu baca tulis dan berhitung, sejak dilakukannya fasilitasi pendidikan oleh Warsi ke kelompok Orang Rimba. Pencapaian pendidikan ini memang terkesan rendah, hal ini disebabkan karena dalam memberikan pendidikan fasilitator harus mengunjungi masingmasing kelompok. Tentu ini butuh waktu yang panjang
Penyiar benor FM tengah bercuap-cuap menyapa pendengar. Meski kini baru siaran secara online, di waktu mendatang Benor akan mengudara di tengah-tengah komunitas Orang Rimba. Foto Heriyadi/ Dok KKI Warsi.
dan tenaga yang besar, sementara rata-rata fasilitator pendidikan yang dimiliki Warsi hanya dua staf. Tentu ini sulit untuk mengjangkau Orang Rimba yang dalam kehidupannya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Harapannya dengan penyebaran materi pendidikan melalui radio kumunitas akan memperluas jangkauan pengajaran yang diberikan dan bisa lebih intensif, sehingga mempercepat pengentasan buta aksara dikalangan Orang Rimba. Jadi benor FM akan menjadi radio edukasi untuk Orang Rimba. Ada banyak program yang disiapkan untuk melakukan ini, diantaranya ande-ande rimba, bepelajoron, halom rajo. Sedangkan untuk program kesehatan, juga akan disiarkan melalui radio ini, hal ini mengingat rendahnya angka harapan hidup Orang Rimba sampai saat ini terutama disebabkan mereka sangat rentan terhadap berbagai penyakit, dan sangat sulit mengakses layanan kesehatan yang terdekat, seperti Puskesmas. Radio Komunitas akan membantu memberikan informasi kesehatan dan standar hidup sehat bagi Orang Rimba serta melakukan layanan kesehatan dengan mendatangkan tenaga kesehatan ke kelompok Orang Rimba sebagai bagian kegiatan off air radio Komunitas. Program yang disiapkan diantaranya basale dan lokoter tiba. Untuk program pengembangan ekonomi, program yang akan disiarkan diantaranya kaboron esen, betetanomon dan kembang bungo. BenorFM akan mengudara di komplek kantor Warsi lapangan SPI, di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam Sarolangun. Untuk tahap awal memang radio ini belum akan bisa menjangkau seluruh Orang Rimba, karena ada aturan keterbatasan radio komunitas yang hanya memperbolehkan jangkauan siaran dalam radius 5 km. Tetapi yang pasti akan terus dikembangkan dan ditingkatkan sehingga mampu menjangkau keseluruhan Orang Rimba di Bukit Duabelas. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
41
42
SELINGAN
Resah Pada Pandangan Pertama
SELINGAN bagian Timur kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Mulailah kegiatan belajar di petang jelang malam itu dimulai. Melihat antusiasme anak-anak belajar di bawah naungan lilin dan dengan keadaan yang sangat terbatas rasanya tanggal persepsi yang menyebut orang rimba pemalas. Kegiatan mengenal huruf dan angka itupun kami selingi dengan sesi bercerita. Tiap anak-anak termasuk penulis secara bergiliran bercerita tentang kisah paling menarik yang pernah dialami di hutan. Keadaan yang sedianya penuh canda tawa, tiba-tiba menjadi hening saat giliran Meruge berkisah. Anak yang belum genap delapan tahun itu mengisahkan saat ia dicakar beruang di kakinya. Beruntung anak lincah yang selalu tersenyum itu bisa menyelamatkan diri dari amukan beruang madu (Helarctos malayanus). Bermula dari kisah Meruge, kamipun bersepakat berdiskusi mengapa binatang macam beruang kini sering sekali menyerang orang rimba, padahal dulu jarang ada cerita orang rimba diserang binatang buas. Kelitap, anak yang paling dewasa di antara rombongan belajar kami tiba-tiba mengacungkan tangan.. “Guding, beruang dengan mergo nio lah abiy pemakonnye. Jadi nyendok makon urang (Kawan, beruang dan harimau ini sudah habis buruannya. Jadi mereka mau makan orang.“ Tak kunyana, kalimat Kelitap itu, seolah mewakili realitas yang kini dihadapi sebagian besar rombong orang rimba di kawasan TNBD.
Foto Huzair/Dok KKI Warsi
Catatan Perjumpaan Bersama Orang Rimba Life is a song - sing it. Life is a game - play it. Life is a challenge - meet it. Life is a dream - realize it. Life is a sacrifice - offer it. Life is love - enjoy it. (Sai Baba)
P
erjumpaan, baik itu dengan peristiwa (moment) atau dengan sesama makhluk (person) sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Lantas apa dan bagaimana muara dari perjumpaan-perjumpaan tersebut akan sangat ditentukan oleh sikap dan cara pandang kita. Tiap saat perjalanan hidup selalu membimbing kita pada perjumpaan, kalaulah hidup ini sebuah garis, maka perjumpaan-perjumpaan adalah titik-titik yang membentuk garis tersebut. Sai Baba, filsuf kontemporer India secara menarik menganalogikan hidup layaknya sebuah lagu, maka nyanyikanlah. Layaknya sebuah permainan, maka mainkanlah. Hidup sebagai sebuah tantangan maka hadapilah. Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah pengorbanan, maka berkorbanlan dan pada
akhirnya hidup adalah cinta, maka nikmatilah. Kalimat Sai Baba di atas seolah mewakili perasaanku saat kali pertama berjumpa dengan orang rimba (OR). Rinai hujan mencumbui tanah merah, aroma tanah basah tiba-tiba menyeruak menemani senja sepi. Para bebudak (anak kecil) masih asyik dengan ketapel di tangan, mencoba membidik buah tayoi. Rasa asamasam manis buah yang satu ini memang menggoda lidah. Bagi anak-anak orang rimba di musim buah adalah masa-masa penuh kesenangan. Mulai dari durian, duku hutan, tampui (Phobia SP), tayoi (Tamarindus Indica) dan berbagai jenis buah lainnya seakan tak habis sepanjang waktu. Hujan yang makin deras, membubarkan aksi “berburu” tayoi petang itu. “Guding, ake ndok belajo.. (Kawan, saya mau belajar)” Segerum, mulai berinisiatif untuk melanjutkan kegiatan belajar baca, tulis dan hitung.
Desakan ekspansi korporasi di bidang perkebunan sawit dan juga hutan tanaman industri (HTI) telah membuat ruang hidup orang rimba terus mendapat tekanan. Setelah pada era sebelumnya mendapat tekanan dari usaha bebalok (illegal logging) kini lain pula ancaman mereka. Ketika ruang hidup orang rimba terancam maka secara otomatis ruang hidup satwa juga terancam. Karena rimba sebagai ruang yang membentuk identitas OR juga merupakan ruang hidup berbagai spesies yang beberapa diantaranya adalah endangered species (spesies yang terancam punah). Sadar atau tidak manakala ruang hidup orang rimba mampu diproteksi dengan baik, maka keberadaan spesies di hutan Sumatera akan ikut terlindungi. Meski kini ruang hidup orang rimba telah diakui negara dengan disahkannya kawasan bukit duabelas sebagai taman nasional namun ancaman masih saja mengintai. Terpaku mataku tatkala melihat sub rombong dari kelompok orang rimba Terab yang membangun sesudungon (pondok dengan tiang, berlantai kulit kayu, beratap daun dan tak berdinding. Merupakan tempat bermukim sementara orang rimba) hanya selempar pandang saja
dari areal HTI yang dikelola PT. Wana Perintis. Ancaman degradasi kualitas ekologi seolah menjadi menu harian dari sub rombong ini. Air di sungai terdekat yang menjadi sumber hidup sub kelompok ini kualitasnya memburuk, tapi karena tak ada pilihan, merekapun gunakan untuk hajat hidup sehari-hari. Di sisi lain, sumber makanan mereka yang berasal dari hewan buruan juga kian terbatas. Tak terelakkan bahwa ekspansi perkebunan telah menekan keberadaan ruang hidup orang rimba. Pada titik ini kesadaranku tergugah, bahwa eksotisme kehidupan orang rimba dengan beragam perangkat adat yang telah mengakar itu kelak hanya akan tinggal legenda. Di sisi lain, sikap hidup orang rimba juga mengalami ‘guncangan’ seiring makin intensifnya interaksi mereka dengan pihak luar. Maka, disukai atau tidak gesekan budaya juga terjadi dan bisa berimplikasi pada eksistensi identitas kultural orang rimba. Perjumpaan-perjumpaan awal penulis dengan orang rimba telah membuka mata penulis, bahwa orang rimba sebagai entitas sosial. Bukanlah entitas yang terpisah dari realitas sosial yang mengitarinya. Maka perubahan pun terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Dapatlah kita sebut bahwa orang rimba tengah berada di persimpangan. Manakala modernitas mengepung namun di sisi lain ikatan tradisional yang berbasis adatpun masih menjadi pegangan hidup. Begitu pula dengan ruang hidup mereka juga mengalami perubahan yang signifikan sebagai implikasi dari kebijakan negara yang berorientasi pada pengembangan ekonomi berbasis sumber daya alam. Tak salah banyak orang yang concern dalam isu masyarakat adat menyebut masa depan masyarakat adat termasuk orang rimba gelap. Atau, kalau meminjam istilah pelukis Joko Pekik masa depan negeri yang petheng ndedet (gelap gulita). Perjumpaan-perjumpaan awal dengan Orang Rimba telah membawaku pada sebuah perjumpaan akan realitas yang memilukan. Orang Rimba yang sejatinya bagian yang sah dari republik ini, namun realitasnya mereka kehilangan tanah yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Orang Rimba yang secara alamiah menjadi garda terakhir pengaman taman nasional bukit duabelas justru menjadi korban atas ganasnya terjangan korporasi. Ah, alangkah tak eloknya negeri ini, ketika Jakarta berbagai pertumbuhan infrastruktur melalui hasil investasi korporasi di berbagai belahan nusantara, tapi saudara-saudara kita di rimba bukit dua belas ini menangguk perih dari hidup yang makin tak mudah. (Huzair)
Ahaa, untungnya hujan deras itu membuat anak-anak berkumpul di pondok belajar Warsi yang ada di Terab,
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
43
INISIATIF
44
INISIATIF Kecamatan Jangkat) Mulai dikenalkan dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidro PLTMH oleh konsultan listrik dari Bangko. Masyarakat jangkat melalui pemerintah desanya juga tidak mau ketinggalan, sehingga pada waktu itu pemerintah desa mengajukan proposal bantuan pembangunan PLTMH kepada dinas pertambangan dan energi Kabupaten Merangin. Tidak diketahui apa penyebabnya, mungkin saja keterbatasan dana dinas, sehingga Desa Jangkat tidak mendapatkan respon dari pemerintahan kabupaten untuk membangun PLTMH hingga tahun 2009. Tidak adanya respon dari dinas pertambangan dan energi ini tidak menyebabkan masyarakat desa Jangkat patah arang, malah membangkitkan semangat masyarakat untuk membangun PLTMH secara swadaya. Pada tahun 2009, lahir 2 kelompok PLTMH di desa Jangkat yang diketuai oleh Darmawan dan Hasan Idris dan disusul oleh 3 kelompok lagi pada tahun 2010.
Hutan memberikan jaminan ketersediaan sumber air, yang dimanfaatkan untuk membangkit listrik tenaga mikrohidro. Foto Heriyadi Asyari/Dok KKI Warsi.
Jangkat Menuju Desa Mandiri Energi
D
esa Jangkat Kecamatan Sungai Tenang terletak ± 155 Km dari Bangko ibu kota Kabupaten Merangin. Akses yang jauh dari ibu kota kabupaten menyebabkan proses pembangunan pemerintah Kabupaten maupun Provinsi agak sedikit terlambat dibandingkan desa lainnya. Beberapa sektor yang selama ini belum maksimal adalah penerangan desa ini belum tersentuh oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), sarana jalan menuju desa ini masih jalan tanah yang mengalami kerusakan pada musim hujan. Begitu juga halnya dengan telekomunikasi untuk menggunakan handphone berkomunikasi dengan pihak luar masyarakat desa ini mesti mencari sinyal ke kaki bukit yang ada titik-titik jaringan telekomunikasinya. Beranjak dari keterlambatan pembangunan ini, membuat masyarakat berusaha secara swadaya mengejar ketertinggalannya. Beberapa upaya mereka lakukan untuk mengatasi satu persatu persoalan yang mereka hadapi, satu diantaranya adalah masyarakat melakukan beberapa upaya dalam membebaskan diri dari era kegelapan dengan mengusahakan adanya energi listrik sebagai sarana penerangan di desa sehingga saat ini
desa Jangkat boleh dikatakan sudah menuju kemandirian energi. Perjalanan menuju mandiri energi tidaklah hal yang mudah dan bisa dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Setiap langkah yang dilakukan masyarakat mengalami rintangan, halangan dan kendala masing-masingnya. Perjalanan panjang ini dimulai sejak era tahun 2000-an, masyarakat membuat pembangkit listrik tenaga kincir Air (PLTKA). PLTKA dibuat dengan peralatan seadanya dan biaya yang berasal dari swadaya masyarakat. Upaya ini tidak mendatangkan hasil maksimal, PLTKA hanya bisa memenuhi kebutuhan kelompok kecil saja itupun tidak mendapatkan energi listrik secara maksimal karena arus yang dihasilkan tidak stabil. Rasa tidak puas akan arus ini berpengaruh terhadap semangat masyarakat untuk merawat PLTKA milik kelompoknya mengendor sehingga satu persatu PLTKA yang ada perlahan-lahan rusak dan tidak bisa dioperasikan , Desa Jangkat kembali memasuki era kegelapan. Pada tahun 2007, beberapa desa di kecamatan Sungai Tenang dan Kecamatan Jangkat (Waktu itu masih satu
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Kelompok ini melakukan pembangunan secara swadaya. Untuk membangun satu Unit PLTMH dibutuhkan dana sekitar Rp 130 Juta hingga 150 Juta, dana yang ini digunakan untuk membayar jasa konsultan, membeli turbin, dinamo dan kabel instalasi yang berada di luar rumah sedangkan kabel instalasi untuk di dalam rumah ditanggung sendiri oleh pemilik rumah. Besaran dana yang dibutuhkan sangat tergantung pada jumlah anggota dan sebaran rumah anggota. Semakin luas daerah sebaran rumah anggota semakin besar biaya yang dibutuhkan karena membutuhkan lebih banyak kabel dan waktu konsultan untuk menyelesaikan pembangunan semakin lama dan secara otomatis biaya yang dikeluarkan untuk konsultan semakin besar. Dari 5 kelompok PLTMH yang ada di desa Jangkat saat ini 177 dari 193 rumah yang ada telah mendapatkan listrik. Kelompok Pengelola PLTMH mempunyai nama, untuk pengklasifikasian kelompok biasanya mereka biasanya menyebutnya dengan angka sesuai dengan jumlah anggota kelompok atau dengan menyebut nama ketua kelompok. Berikut nama ketua kelompok dan jumlah anggotanya. Dalam menjalankan aktivitas sehari-hari Kelompok PLTMH mempunyai kepengurusan yang terdiri dari : ketua, No
Ketua Kelompok
1 2 3 4 5
Darmawan Hasan Idris Jasdin Asan Azhar Samsuardi
26 32 50 27 32
Total Rumah
177
wakil ketua, Sekretaris dan bendahara. Kepe-ngurusan ini tidak mendapatkan gaji, hanya menda-patkan konpensasi berupa pembebasan dari uang iuran bulanan. Selain pengurus sebagai pelaksana teknis masing-masing kelompok mempunyai 2 orang teknisi yang dikasih uang lelah sebesar Rp 200.000/orang/bulan. Gaji teknisi ini diambil dari iuran bulanan anggota. Jumlah iuran anggota bervariasi masing-masing kelompok, berkisar antara Rp 20.000/bulan hingga Rp 30 000/bulan. Selisih antara gaji teknisi dan jumlah iuran yang terkumpul ini dijadikan kas kelompok yang diperuntukkan sebagai dana cadangan jika di kemudian hari terjadi kerusakan alat. Menurut Ketua BPD Jangkat Joyo Saputro, keuntungan dari penggunaan PLTMH dibandingkan dengan pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air, arus PLTMH lebih stabil sehingga bisa mencegah terjadinya kerusakan alat-alat elektronik yang ada di rumah anggota selain itu arus yang dihasilkan juga bisa memenuhi kebutuhan lebih banyak rumah. Kalau dibandingkan dengan listrik PLN dan Perusahaan listrik swasta mereka mengatakan bahwa PLTM, dari segi biaya masyarakat diuntungkan karena tidak menelan biaya beban dan biaya pemakaian. Cukup hanya membayar iuran bulannya. Selain itu dalam penggunaan arus masyarakat bisa sepuasnya tanpa dibatasi, sedangkan kelemahanyya adalah Listrik belum bisa menyala 24 jam, hanya bisa dari jam 16.00 sore hingga jam 09.00 pagi keesokan harinya, kecuali di hari-hari khusus. Narasumber lain juga menyampaikan harapanya tentang PLTMH desa Jangkat ke depannya sangat berharap adanya perhatian dari pemerintah “ Sekarang Tiang-tiang listrik masih terbuat dari kayu yang sewaktu- waktu nantinya bisa lapuk dan roboh, begitu juga bendungan masih dibuat secara manual dengan tenaga manusia dan dibuat seadanya yang kadangkala bisa runtuh dikala air besar. Kami sangat butuh bantuan pemerintah untuk mengatasi dua hal tersebut. Mudah-mudahan kedepannya kami betul-betul mandiri dari segi penerangan Desa” Ujar Jarjani mengakhiri pembicaraan.. (Desriandi)
Jumlah KK/Rumah
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
45
INISIATIF
46
INISIATIF
Memperkuat Inisiatif Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Melalui Metode Sekolah Lapangan “Mendengar kamu lupa, melihat kamu ingat, melakukan kamu paham dan menemukan kamu kuasai” (Filososfi Pendidikan Orang Dewasa/andragogi)
S
ekolah Lapangan atau field School merupakan metode pendidikan yang berorientasi andragogi dengan memposisikan warga belajar sebagai peserta didik sekaligus sebagai narasumber. Dalam praktek sekolah lapangan yang ada hanya warga belajar dan fasilitator, tidak ada murid dan guru. Karena konsep sekolah lapangan memiliki keyakinan bahwa setiap manusia memiliki pengalaman yang berharga. Sehingga sekolah lapangan dirancang untuk menggali pengetahuan yang ada pada masing-masing warga belajar untuk didiskusikan sehingga menemukan sebuah pengetahuan baru. Pengetahun baru yang akan mereka kuasai, sangat mudah diingat dan tak akan mudah untuk dilupakan oleh setiap warga belajar. Metode belajar ini merupakan suatu refleksi dari metode penyuluhan satu arah yang dilakukan selama ini dalam rangka menumbuhkembangkan pengetahuan baru. Metode yang dianggap banyak pihak membosankan dan menjemukan sehingga dirancanglah sebuah metode dua arah dengan mendorong keaktifan warga belajar dalam mengekspresikan pengetahuan mereka. Sekolah lapangan pertama kali digunakan dalam Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dikenal dengan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) oleh petugas Departemen Pertanian yang dilatih menjadi Pemandu Lapangan bekerjasama dengan tim bantuan Teknis FAO. Dari praktek tersebut, ternyata Sekolah Lapangan sangat efektif untuk memberikan pemahaman kepada petani dalam menemukan sebuah kesadaran baru. Dalam konteks pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sangat penting memang untuk menemukenalkan dan menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan yang berlandaskan keberlanjutan dan keadilan. Tantangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat semakin bertambah berat ke depannya, seiring dengan semakin terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Konsekwensi yang ditimbulkan oleh keterbatasan tersebut adalah perebutan sumberdaya alam. Dalam perebutan tersebut selama ini selalu menjadikan masyarakat sebagai pihak yang lemah. Oleh karenanya, agenda memperkuat posisi
Merangin pada tanggal 23 – 25 Desember 2011 dan Olak Besar Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari pada tanggal 11 – 13 November 2011. Peserta yang mengikuti Sekolah lapangan ini berasal dari berbagai desa/dusun/nagari/jorong yang telah menginisiasi sistem pengelolaann hutan berbasis masyarakat di dua provinsi, yakni Jambi dan Sumatera Barat.
Teks Sekolah lapang untuk menemu kenali persoalan dan langsung mencarikan solusinya. Foto Dok KKI Warsi.
masyarakat terhadap sumberdaya alam mereka penting untuk menjadi dorongan para pihak. Dalam memperkuat posisi masyarakat terhadap sumberdaya alam diyakini bahwa sekolah lapangan menjadi salah satu metode yang pantas untuk diadopsi. Semenjak akhir tahun 2011 silam, KKI WARSI dengan dukungan para pihak telah mengembangkan Sekolah Lapangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (SL-PHBM) di tiga simpul belajar, Senamat Ulu Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo pada tanggal 14 – 16 November 2011, Guguk Kecamatan Renah Pembarab Kabupaten
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Metode ini diawali dengan mendefenisikan apa yang dimaksud dengan pendamping/fasilitator/pemandu. Materi dilanjutkan dengan memahami alur proses penguatan inisiatif pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) skema hutan desa/nagari dan hutan adat. Karena salah satu yang akan dicapai dari proses Sekolah lapangan ini adalah teridentifikasinya calon-calon pendamping/fasilitator/pemandu lokal pengembangan dan penguatan inisiatif PHBM skema hutan desa/nagari dan hutan adat. Setelah itu, dilanjutkan dengan materi teknis bagaimana mengidentifikasi isu, permasalahan dan potensi dalam implementasi pengembangan dan penguatan inisiatif PHBM skema hutan desa/nagari dan hutan adat. Dari identifikasi tersebut menjadi dasar dalam merencanakan gagasan sistem PHBM. Metode ini diantarkan dengan sangat sederhana melalui proses gambar menggambar. Melalui gambar, warga belajar mampu mengekspresikan pengetahuan mereka tentang topik yang sedang dibahas. Semua orang akan mampu menggambarkan apa yang ada dipikirannya, akan tetapi belum tentu mampu untuk menuturkannya
dengan kata-kata. Melalui proses ini warga belajar sangat mudah memahami masing-masing topik yang sedang dibahas. Hal ini dapat dilihat dari tingkat keaktifan warga belajar dalam mengekpresikan pengetahuan mereka melalui gambar. Dengan menggali sebanyakbanyaknya kreatifitas dan gagasan warga belajar sehingga mereka menemukan sendiri apa yang dipertanyakan, terutama terkait dengan fungsi dan manfaat keberadaan hutan dalam kehidupan mereka. Namun persoalan yang umum muncul di tiga tempat itu adalah masih belum optimalnya peran pemerintah selaku pihak yang harusnya paling bertanggungjawab dalam memperkuat inisiatif pengelolaan hutan di desa mereka masing-masing. Sementara itu, pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang bagaimana mengelola hutan yang sesuai dengan aturan pemerintah sangat terbatas. Sehingga diharapkan porsi peran pemerintah bisa lebih ditingkatkan lagi. Dan mereka juga berharap agar Sekolah Lapangan ini bisa ditindaklanjuti dalam kerangka memperkuat inisiatif pengelolaan hutan yang telah mereka lakukan. Seperti yang diungkapkan Jamris warga belajar simpul Senamat Ulu, “Saya berharap pelatihan ini tidak hanya untuk pelatihan saat ini, harus ada tindaklanjut bagaimana masyarakat yang telah mengembangkan menjaga hutan dapat menerima manfaat langsung secara ekonomi”. (Adi Junedi Koordinator Output Tata Ruang dan Komunikasi KKI WARSI)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
47
48
KAJIAN
KAJIAN
Paradoksal Pertambangan Refleksi Polemik Izin Usaha Pertambangan yang Terjadi di Indonesia
U
ndang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesarbesar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagai pengganti Undang-Undang 11 ‘Tahun 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sebagai salah satu instrument hukum dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, korporasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dari batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam rangka penyelegaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.
Paradoksal Pertambangan Paradoksal pertambangan seperti pisau bermata dua yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat mengubah secara total baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen dan pengatur suhu. Disamping itu persoalan tambang juga mendatangkan
musibah yang melilit masyarakat ke dalam kondisi sosial yang memprihatinkan terutama masyarakat adat yang semakin tergusur di tanah ulayatnya sendiri karena izin yang dikeluarkan pemerintah. Penulis menilai setidaknya ada empat polemik yang menjadikan iklim pertambangan di Indonesia tidak kondusif. Pertama, tata kelola tambang yang amburadul. Hal ini dapat dilihat dengan penerbitan izin yang tumpang tindih dan cacat hukum. Pasca reformasi dan penerapan otonomi daerah banyak kepala daerah yang salah kaprah memahami wewenangnya dalam mengeluarkan izin pertambangan. Para Gubenur, Bupati/ Walikota merasa memiliki kewenangan penuh untuk mengganti alih fungsi hutan atau mengeluarkan izin pertambangan. Asas desentralisasi dijadikan tameng untuk memperlihatkan “kegarangan” kepala daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam di daerahnya. Kepala daerah semakin terjerumus pada logika sesat bahwa aset kekayaan alam di daerahnya merupakan kewenangan mutlak mereka untuk mengaturnya, sehingga banyak peruntukan kawasan hutan yang tidak memandang kelestarian lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Bermodalkan deal-deal politik dengan elitelit lokal dan nasional mereka bahu-membahu mengeluarkan izin pemanfatan SDA baik perkebunan, pertambangan dan izin pemanfataan hutan lain. Kedua, hasil tambang seringkali tidak sampai ke masyarakat, tapi ke pemerintah pusat dan pemerintahan daerah saja. Kenikmatan hasil tambang hanya dirasakan para elit-elit nasional dan lokal yang memegang kendali kekuasaan bersama dengan perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan. Sedangkan masyarakat hanya sebagai korban sekaligus penonton di negerinya. Besaran keuntungan dan pendapatan daerah dari kegiatan pertambangan tiada diketahui dan cenderung dtutup-tutupi padahal berdasarkan UU nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik memberi ruang bagi masyarakat untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga kurangnya perlindungan terhadap masyarakat adat. Konflik yang terjadi dengan masyarakat karena perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat adat disekitar sekitar tambang semakin tergusur dan masih dibawah garis kemiskinan karena lahan yang dulunya adalah tanah ulayat atau tempat mereka bercocok tanam sudah tidak bisa digunakan lagi. Begitu juga berbagai penyakit menyerang karena pembuangan limbah yang sembarangan oleh perusahan. Disamping itu CSR yang dilakukan perusahan hanya janji manis dan kontrol dari pemerintah hanya sebatas retorika belaka.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Keempat paradigma sesat masyarakat komoditas. Meminjam istilah pemikir kritis Marcuse masyarakat komoditas lahir akibat persaingan bebas yang ditentukan oleh hukum dan rasionalitas pasar yang berasal dari sistem kapitalisme ekonomi di mana seluruh hidupnya dipusatkan pada usaha memperganda keuntungan ekonomi. Akibatnya, pelbagai nilai direduksikan ke dalam nilai ekonomi sedangkan aspek sosial, budaya masyarakat diabaikan. Pada hal lahan (dalam hal ini tanah ulayat) bagi masyarakat adat tidak hanya bernilai ekonomi tetapi juga bernilai sosial, kultur dan budaya. Paradigma sesat masyarakat dianggap sebagi proses ”komodifikasi”, yaitu menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang berfungsi mendatangkan keuntungan ekonomis, termasuk hal-hal yang bernilai secara budaya, mistik, atau transenden. Sehingga perusahan yang melakukan pertambangan hanya memikirkan bisnis untuk memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar areal tambang. Kondisi ini juga diperparah dengan perilaku bejat pejabat negara baik pusat maupun daerah yang memuluskan Izin usaha tambang dengan imbalan fee yang mengalir kekantong penggeruk uang rakyat yang telah mengeluarkan izin.
Korupsi Pertambangan Seiring maraknya kegiatan pertambangan di Indonesia berbagai masalah datang silih berganti. Dugaan kasus korupsi izin pelepasan kawasan hutan yang melibatkan kepala daerah dan pejabat daerah semakin mencuat kepermukaan. Berdasarkan keterangan KPK saat ini tengah menyidik dugaan korupsi di 14 kabupaten bupati dan sejumlah pejabat di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur Kalimantan Barat dan Provinsi Jambi. Permasalah izin peruntukan kawasan lahan ini khususnya untuk pertambangan dipertegas dengan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral mencatat dari 10.235 izin usaha pertambangan (IUP), baru 4.151 izin yang dinyatakan tidak bermasalah alias clean and clear. Artinya, 59 persen atau 6.084 izin tambang masih bermasalah. Khusus Provinsi Jambi memiliki potensi di bahan galian batu bara yang terdapat di tujuh kabupaten dalam Provinsi Jambi, dan terbesar terdapat di Kabupaten Bungo seluas 120.000 hektare. Enam kabupaten lainnya yakni Kabupaten Sarolangun dengan kandungan batubara 94.121 ha, Batanghari (89.315 ha), Tebo (61.229 ha), Merangin (16.577), Muarojambi (16.000 ha), dan Tanjung Jabung Barat sebanyak 13.281 ha.
Jambi teridentifikasi bermasalah dengan izin (Tribun Jambi 25/02/2012). Dalam kegiatan tambang batu bara penulis mencatat hanya 65% perusahan yang memiliki dan mengurus dokumen lingkungan yaitu dari 111 Perusahaan yang terdaftar pada tahun 2010 hanya 12 yang memiliki AMDAL, 19 KA ANDAL, 38 UKL-UPL, 2 perusahaan lagi Proses AMDAL dan 1 DPPL. 111 perusahaan tambang tersebar di tujuh Kabupaten dan kota di Jambi yaitu 12 di Batang Hari, 26 di Muaro Jambi, 2 di Tebo, 22 di Bungo, 24 di Sorolangun, 3 di Merangin, dan 22 di Tanjabar. Artinya ada 72 perusahan batu bara yang sudah punya dan sedang mengurus dokumen lingkungan sedangkan 39 perusahaan lainnya tidak memiliki dan mengurus dokumen lingkungan yang merupakan kewajiban perusahan. Artinya saat ini lebih kurang 39 perusahan beroperasi tanpa ada memiliki dokumen. Menyikapi permasalah tambang ini KPK tim gabungan Satgas Mafia Hukum yang terdiri dari Kemenhut, KPK, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung juga membidik kasus-kasus pelanggaran bidang kehutanan yang terjadi di Jambi. Gubenur dan 11 Bupati/ Walikota se Provinsi Jambi dikumpulkan untuk diminta memaparkan datadata perusahann tambang dan perkebunan di wilayahnya masing-masing yang beroperasi dikawasan hutan tanpa izin (Jambi independent 23/02/2012). Semoga saja kepala daerah dan pejabat-pejabat yang terkait baik pusat dan daerah agar “dimeja hijaukan” dan dihukum seberat beratnya sesuai dengan perbuatannya. Saya menghimbau kepada stakeholder di Indonesia khususnya di Provinsi Jambi untuk membangun konsolidasi masyarakat anti korupsi agar terus memantau perilaku bejat Pejabat negara dan perusahan yang melakukan tindak pidana korupsi khususnya dalam pertambangan di Provinsi Jambi. Agar kedepannya polemik pertambangan bisa teratasi dan hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. (Ilham Kurniawan Dartias, Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi)
Berdasarkan data perusahan yang bergerak dibidang pertambangan di Jambi terdapat 303 perusahan yang sudah mengantongi izin usaha yaitu 225 Izin Usaha Eksplorasi dan 78 perusahan izin Operasi Khusus (http:// esdm.jambiprov.go.id tahun 2010). Akan tetapi Sebanyak 27 perusahaan pertambangan dan perkebunan di ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
49
KAJIAN
50
MATAHATI
Berharap Pada Bayang-bayang Moratorium
S
ebagai upaya dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, maka pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru (Moratorium) dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 20 Mei 2011. Penundaan izin baru itu ditetapkan selama dua tahun dengan beberapa pengecualian. Pengecualian dari ketentuan inpres ini untuk usaha tanaman padi, gula dan energi. Peta moratorium hutan diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia meliputi 55 juta hektar hutan primer dan 17 juta hektar daerah gambut, semua areal proteksi termasuk di dalam kesepakatan yang disetujui. Dengan menjadikan beberapa wilayah sebagai penetapan kawasan pilot project moratorium, yaitu Kalimantan Tengah, dan untuk tahun ini akan dilanjutkan lagi Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua Barat dan Jambi. Pemerintah mengklaim peta moratorium yang baru dikeluarkan bisa melindungi 72 juta hektar hutan patut dipertanyakan. Ini dikarenakan, 70 persen luasan tersebut ternyata sudah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku sebelum Inpres moratorium diterbitkan. Hal ini kerena dalam peta yang dilansir Kemenhut. Moratorium sebagian besar ditetapkan di kawasan konservasi dan hutan lindung. Padahal harapan awalnya dengan moratorium diharapkan melindungi dan memproteksi kawasan hutan tersisa diluar kawasan yang sudah diproteksi sebelumnya, sehingga laju deforestasi akibat alih fungsi hutan menjadi sawit, HTI dan pertambangan dapat dihentikan. Namun kenyataannya, pemerintah dalam menetapkan moratorium pada Mei 2011 dan kemudian mengeluarkan peta revisi pada Desember 2011, yang ditetapkan dalam pada SK No. 323/Menhut-II/2011 tanggal 17 Juni 2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain, belum banyak perubahan dari peta sebelumnya. Ada kesan pemerintah setengah hati dalam menetapkan moratorium. Setidaknya ini masih memberi kesempatan kepada perusahaan HTI untuk tetap mengajukan izin konsesi. Di Jambi, PT Hijau Artha Nusa (HAN), termasuk yang tengah mengajukan proses perizinan untuk mendapatkan izin IUPHHK. PT HAN mengajukan izin untuk mengelola 21.843 hektar yang mencakup 19 desa di empat kecamatan di di Kabupaten Merangin dan 10.947 hektar di Kabupaten Sarolangun yang mencakup 6 desa di dua kecamatan. Dalam prosesnya perizinan HAN sudah dianalisis Dirjen Planologi dan telah mendapatkan
SP-1 IUHHK-HTI oleh kementerian kehutanan tertanggal 17 Juni 2011. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga melakukan analisa fungsi kawasan terhadap PT Gading Karya Makmur di Kabupaten Sarolangun seluas 28.163 hektar yang berada di Desa Panca Karya, Lubuk Bedorong, Meribung Ranggo (Kecamatan Limun), Kampung Tujuh, Pemuncak (Kecamatan Cermin Nan Gedang). Padahal sebagian kawasan yang dimohonkan izinnya oleh kedua perusahaan ini, topografinya angat curam dan vegetasi kayu yang masih rapat dan berdiamater besar. Keadaan ini ditemukan di lokasi HAN yang direncanakan di blok II tepatnya di Sungai Mangkilam dan Blok III di di Kecamatan Limun dan Cermin nan Gedang. Awalnya lewat moratorium, harapannya, hutan-hutan tersisa dengan topografi curam dan kerapatan kayu yang masih tinggi, juga termasuk yang ditunda untuk pemberian izin. Namun kenyataannya, fakta-fakta ini seolah luput dari perhatian pemerintah, apakah ini sebagai indikasi pemerintah mengeluarkan peta moratorium hanya untuk melaksanakan MoU dengan Norwegia dan dipihak lain tetap memberi kesempatan kepada perusahaan untuk mengalihfungsikan hutan. Jika pemerintah bertekad untuk mengurangi emisi 26% pada 2020 nanti, pemerintah menghentikan pemberian izin konsesi HTI dan bahkan jika memungkinkan melakukan pengkajian terhadap izin yang sudah ada. Hal ini patut dilakukan mengingat saat ini di Provinsi Jambi saja terdapat 18 perusahaan HTI dengan total areal kelola 663.809 hektar dan juga yang telah mendapatkan areal pencadangan seluas 110.755 hektar ditambah yang telah direkomendasikan oleh Gubernur seluas 79.006 hektar. Total areal HTI mencapai 853.340 hektar, yang artinya hampir seperenamnya luas wilayah di Provinsi Jambi yang mencapai 5.044.266 hektar. Janji pemerintah untuk merevisi peta moratorium setiap 6 bulan sekali patut kita tunggu dan semoga memenuhi harapan untuk melindungi kawasan hutan tersisa. Jika alih fungsi hutan terus berlangsung dampak yang dirasakan masyarakat dan seluruh makhluk hidup yang bergantung padanya akan semakin terancam. Bencana banjir, tanah longsor dan kemiskinan yang tetap dirasakan masyarakat adat sekitar hutan adalah bentuk kesalahan pemanfaatan fungsi hutan dan cara mengelolanya. Sehingga semakin diragukan lagi apakah moratorium itu dapat menjadi jawaban atas penurunan kerusakan hutan yang semakin hari semakin parah dirasakan, atau hanya sebagai sebuah kesepakatan dengan Pemerintah Norwegia untuk pendanaan 1 milyar dollar terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Rumah Singgah, Sarana Alternatif Belajar Orang Rimba Teks Foto: Rumah singgah yang dipersiapkan untuk pendidikan alternative orang Rimba. Foto Tyas/Dok KKI Warsi
K
epedulian para pihak untuk pendidikan Orang Rimba kian bertambah. Salah satunya gerakan yang dilakukan oleh SMA 14 Tebo. Sekolah ini secara khusus menyiapkan diri menjadi bagian dari pendidikan Orang Rimba. Setelah sebelumnya sekolah ini menampung seorang anak rimba yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang menengah, kini sekolah ini merencanakan menjangkau anak-anak rimba lainnya. Dengan bekerjasama denga pemerintahan Desa dan KKI Warsi, ide segar dimunculkan Kepala SMA 4 Tebo Rudi Sunardi SPd. Menghadirkan rumah singgah yang akan menjadi tempat bersekolah anak-anak rimba. Sudah kebiasaan orang rimba, setiap hari pasar mereka akan berbondong-bondong ke pasar terdekat dari pemukiman mereka. Hari pasar merupakan moment yang sangat penting bagi Orang Rimba, selain untuk menjual hasil hutan juga dimanfaatkan mereka untuk membeli berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Hal ini terlihat dari antusias Orang Rimba yang akan mengunjungi pasar, biasanya mereka akan berangsur keluar sehari menjelang pasar, kemudian bermukim disekitar desa. Di Sungai Jernih Kecamatan Muara Tabir, hari pasar setiap Sabtu. Orang Rimba akan keluar dari rimba dan mengajak seluruh anggota keluarganya. Akan ada waklu luang selama pasar sehingga anak-anak rimba yang turut serta ke pasar bisa mampir di rumah singgah dan belajar menulis, membaca dan berhitung. Gedung bekas KUD Sungai Jernihpun di sulap menjadi rumah singgah yang akan menjadi sarana pendidikan Orang Rimba. Menurut Rudi Sunardi, pihak sekolah akan menyedian seorang guru yang akan stand by di rumah singgah ini untuk mengajari anak-anak rimba. Guru ini nantinya juga akan dibantu oleh siswa SMA 4 khususnya yang tergabung di Sahabat Bukit Duabelas wilayah barat serta Besudut anak rimab yang kini men-
jadi siswa SMA 14 Tebo untuk mengajar anak-anak rimba. “Kalau hari Sabtu siswa SMA lebih awal pulangnya, dari sesudah bersekolah mereka akan membantu mengajar di rumah singgah,”sebut Siswaning Tyas, Koordinator Unit Desa KKI Warsi yang aktif mengadvokasikan pendidikan Orang Rimba ke masyarakat luar. Rumah singgah ini diresmikan, pada 11 Februari 2012, oleh Kepala SMA 14 Tebo yang didampingi wakil kepsek dan dua pengajar, sejumlah Orang Rimba dan KKI Warsi. Pada peresmian itu, juga langsung dilakukan pendidikan perdana yang dilaksanakan pada siang hari sekitar pukul 11.00 WIB hingga dua jam berikutnya. Dengan adanya rumah singgah ini, diharapkan akan menjadi formulasi dan metode baru yang dapat diterima dan sesuai untuk memberikan pengetahuan dan membantu pendidikan Orang Rimba. Kendala Orang Rimba untuk mengenyam pendidikan yang terhambat jarak dan kurang tenaga pendidik semoga terjawab dengan adanya rumah singgah ini. Apalagi Orang Rimba akan sangat sulit meninggalkan pemukiman mereka jika tidak ada sesuatu hal yang mereka anggap penting seperti ke pasar, menghadiri undangan, atau lainnya. Karena sebagian besar aktivitas Orang Rimba baik tua maupun muda yang digunakan untuk bekerja atau membantu keluarga di rimba, mereka enggan sekali pergi keluar jika tidak perlu. Terlebih, jarak antara ‘dunia luar’ dengan tempat tinggal mereka cukup jauh dan memakan waktu berjam-jam. Kehadiran Rumah singgah akan terus dikomunikasikan ke pihak Orang Rimba, sehingga pendidikan bagi anakanak rimba terus bisa dikembangkan, dipihak lain untuk mensupport pendidikan ini, juga tengah dilakukan pendekatan dengan instansi terkait.(Novriyanti)
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
51
MATAHATI
52
baru mereka beli di luar dan pengaduknya mereka buat sendiri dari kayu yang panjang, dengan sangat hatihati mereka mengaduk supaya tidak ada sesuatu yang masuk ke wajan, pengadukan durian sampai menjadi lempuk dilakukan mereka sampai lima jam dan terkadang sampai seharian, lempuk adalah salah satu makanan hasil olahan dari durian yang hasil akhirnya seperti dodol,tetapi tidak di campur bahan-bahan yang lainnya seperti gula atau tepung,jadi murni semuanya dari durian.Setelah sempurna menjadi lempuk dan didinginkan barulah mereka masukin ke dalam beberapa stoples dan botol.
Euphoria Orang Rimba di Musim Durian “Kokoo kawan ndok makon durion?”suara Ceriap--Anak Rimba rombong Tumenggung Grip-- membangunkan ketika aku terlelap di pondok peristirahatan yang biasa aku gunakan di rimba Kedundung Muda Selatan Taman Nasional Bukit Duabelas.
C
eriap dengan penuh semangat menawariku durian. Di Sore yang awalnya hening tiba-tiba menghanyutkanku di dalam keceriaan gelak tawa anak-anak yang sambil berlari setengah telanjang serta berkejaran dengan ambung yang penuh durian di pundak, sebagian anak-anak itu menghampiri pondokku dan sebagian pulang. Ceriap, Kemetan dan kawankawan lainnya mengeluarkan durian satu per satu dari ambung di pondok peristirahatanku kemudian langsung membuka beberapa buah, mereka membawa durian haji dan durian daun. Sangking asyiknya makan durian sambil bercanda dan bercerita, lupa sudah beberapa buah yang telah kami makan dan tanpa di sadari pula hari sudah semakin gelap. Kami bergegas menyalakan penerangan supaya pondok yang tanpa dinding di belantara rimba tersebut terlihat terang dan anak-anak bisa belajar dengan tenang kemudian rerayo bisa dengan leluasa bececakop (berdiskusi) dengan penuh semangat sembari terus makan durian campur kopi hangat khas mereka tanpa mengkonsumsi yang lainnya. Orang Rimba di TNBD ketika itu, termasuk kelompok di Kedundung Muda semua di sibukan dengan aktivitas bedurion ( menunggu durian jatuh) yang letak pohonpohon durian tersebut kebanyakan sangat jauh dari huma (ladang) di mana mereka biasa tinggal, sehingga mereka memutuskan untuk tinggal bermalam di sekitar pepohonan durian untuk menunggu buah-buahnya gugur dari tangkainya, sembari melakukan aktivitas biasa seperti berburu, bejernang (mengumpulkan getah jernang) dan mengumpulkan getah karet bagi mereka yang kebetulan mempunyai ladang karet di wilayah tersebut. Aktivitas bedurion menghabiskan waktu dan hari mereka di beberapa benuaron (ladang buah). Kegiatan ini bahkan menyebabkan sebagian Orang Rimba melupakan kegiatan lain yang biasa mereka lakukan. Terlihat mereka sangat asik menunggu durian jatuh baik rerayo, bebudak, dan betina (laki-laki, anak-anak maupun perempuan). Sesudungon (pondok kecil) juga didirikan disekitar benuaron. Ketika suara buah durian berjatuhan mereka bergegas sambil berlari kecil mencari dimana letak buah-buah tersebut berlabuh dan langsung di
MATAHATI
Orang Rimba sedang mengumpulkan durian rimba, pada musim buah orang Rimba menyambutnya dengan suka cita. Foto Novri/Dok KKI Warsi.
kumpulkan di sekitar sonsudungon mereka, kemudian beberapa buah durian tersebut mereka angkut ke huma (ladang dimana mereka tinggal), di angkut keluar rimba untuk diberikan ke beberapa teman me-reka di desadesa terdekat dan terkadang juga sempat dibeli oleh warga desa dengan harga yang tidak sesuai, dengan alasan di luar juga sedang musim durian dan di beberapa desa di sekitarnya sedang kebanjiran durian dengan rasa dan harga yang sangat bersaing dengan durian di dalam rimba.
Berburu Durian dan Lempuk Bersama Ceriap Di dalam rimba ketika melakukan perjalanan bersama Ceriap, kami berdua berjalan menelusuri beberapa anak sungai, ladang karet, belukar dan rimba sekitar setengah jam dari pondok di Kedundung Muda sampai Gemuru yang bertujuan untuk mencari durian dan melihat indok-indok membuat lempuk. Ketika di perjalanan suasana di beberapa rumah-rumah Orang Rimba terlihat sepi dan tidak ada orang. Biasanya setiap kami lewat melintasinya sering terlihat anak-anak sedang bermain berlarian sambil bercanda seperti Nukik, Belinjang, Bekaram, Geser, Bepuncak, Bepanau, Bekendong, dan lain-lainnya. Padahal beberapa permen dan makanan kecil sudah disiapkan untuk diberikan ke mereka. Indokindok juga tidak ada di rumah-rumah mereka, dan kata Ceriap mereka sedang buat lempuk sekitar satu jam perjalanan dari ladang. Tetapi sebelum berangkat ke sana Ceriap mempersiapkan ambung besar berniat mau mengangkut durian setelah tiba di lembing dimana indok-indok tersebut membuat lempuk, kemudian tiba di sana setelah melakukan perjalanan sekitar satu jam perjalanan sudah terdengar suara-suara indok-indok, beberapa gadis rimba dan anak-anak. Disana kami menyaksikan indok-indok sedang sibuk mengaduk-aduk lempuk di wajan lebar yang
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Dan setelah itu di gelar di sonsudungon kemalaman me-reka di sana, saya lihat di sana ada tiga pesaken (kepala keluarga) yang sibuk membuat lempuk dan masing-masing sonsudungon dipenuhi oleh deretan puluhan stoples dan botol-botol yang semuanya berisi lempuk. Mereka berucap semua lempuk tersebut di manfaatkan untuk pemakon (makanan) mereka sendiri sehari-hari, sebagian untuk di berikan kepada saudarasaudara mereka di luar yang sudah berdiam, untuk mereka yang sedang melangun, untuk saudara dan anak-anak me-reka yang sedang merantau dan juga di persiapkan ketika mereka menghadapi masa remayo (masa paceklik/ masa kesusahan/sepinya mata pencaharian). Disekitar mereka di penuhi ratusan durian yang siap untuk di buat lempuk dan untuk dimakan seharihari, diberikan kepada sesama Orang Rimba dan Orang Luar dan sebagian lagi untuk di buat asam durian. Mereka menunggu durian sambil mengelolahnya menjadi lempuk dan asam durian.
dengan menggunakan sedikit sentuhan teknologi dan di formulasi dengan bahan-bahan lainnya yang lebih membuat konsumen menjadi lebih berselera, tetapi yang masih berat di lakukan adalah merubah pola pikir dan animo (kesukaan) Orang Terang terhadap berbagai bahan olahan yang di hasilkan Orang Rimba. Me-reka cenderung masih berstigma negatif terhadap pola hidup bersih Orang Rimba.Tetapi patut di hargai bahwa Orang Rimba juga mempunyai budaya tersendiri dalam mengolah hasil alam seperti durian apabila jumlahnya sangat berlimpah dan bertujuan untuk mengantisipasi jika mereka menghadapi masa kesusahan pangan di masa-masa yang akan datang di dalam rimba. Tidak ada harapan dan tujuan lain dari sebatang pohon durian selain bijinya bisa di sebarkan oleh manusia di muka bumi dan bisa di nikmati oleh umat manusia dari generasi ke generasi kemudian alam dapat lestari. (Furwoko, Staf Fasilitator Orang Rimba)
“Lempuk kamia hopi ndok di jual tapi ndok di makon”itulah penuturan indok nyamping dan indok beraden yang keduanya istri dari Temenggung Grib yang sedang asyik mengaduk lempuk. Setelah di perhatikan secara seksama sebenarnya mereka membuatnya dengan cara yang sangat jauh di persepsikan oleh Orang Terang. Mereka membuatnya dengan sangat bersih, dengan wajan yang baru, pengaduk yang baru, di aduk merata sama halnya seperti pengadukan pembuatan dodol, dan kemudian di letakan di wadah-wadah yang sudah di bersihkan sebelumnya seperti stoples. Memang sekalikali mereka mengaduk lempuk sembari menggendong anak tapi tidak mengganggu aktivitas dan kebersihan olahannya.Cara pembuatannya masih sangat khas dan tradisional yang di wariskan dari generasi ke generasi di dalam rimba tidak seperti pembuatan dodol diluar yang sudah banyak sentuhan teknologi dan dicampuri dengan berbagai bahan supaya disukai mayoritas untuk dikomersialisasikan. Memang sangat di sadari kualitas pengolahan durian menjadi lempuk masih sangat sederhana dan dibuat di udara terbuka karena sengaja di buat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri tidak untuk dikomersialisasikan. Tapi sangat mempunyai prospek jika untuk dikembangkan secara lebih maju
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
53
RENUNGAN
54
RENUNGAN juangan yang telah ditorehkan tetaplah menjadi suluh di hati kami para penerus langkahmu. Saat langkah kami mulai kendur saat fisik kami sedang lelah, maka semangatmu dulu menjadi penyemangat kami. Hari ini tiga belas tahun usai kepergianmu, kami tak mau terus menerus meratapi perpisahan itu, yang kemudian pada Desember 2009 lalu disusul oleh kepergian Priyo Uji Sukmawan. Salah satu fasilitator pendidikan orang rimba yang juga dipanggil mendahului kita semua di usia yang masih sangat muda. Dua orang sudah fasilitator pendidikan orang rimba dari KKI Warsi, pergi meninggalkan kita dalam perjuangannya. Maka pantas jika hari ini kita mencoba mendorong Negara mengakui pendidikan alternatif bagi komunitas adat di seluruh nusantara termasuk orang rimba. Pendidikan Alternatif untuk Orang Rimba
Yusak (semasa hidupnya) menjadi pelopor pendidikan untuk anak-anak rimba. Foto Rizal Marlon/Dok KKI Warsi.
13 Tahun Kepergian Guru Rimba Pertama dan Masa Depan Pendidikan Alternatif “Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada…” (Soe Hok Gie)
Y
usak Adrian, nama yang sayup kudengar. Sayang waktu taklah berpihak hingga tak sempat berjumpa dengan sosok guru rimba ini. Empat belas tahun yang lalu, kau tancapkan mimpi di lebatnya rimba hutan bukit dua belas, Jambi. Senarai asah kau tabur bersama anak-anak rimba yang ketika itu masih sama sekali belum tersentuh pengajaran baca tulis. Banyak guru rimba yang pernah bergabung dengan Warsi, diantara mereka kemudian ada yang dikenal luas di masyarakat. Tapi, tak banyak diantara kita yang sadar bahwa Yusak Adrian adalah orang pertama dari KKI Warsi yang menginisiasi pendidikan alternative bagi anak-anak orang rimba.
Di fase awal, orang rimba menolak kehadiran Yusak karena dianggap membawa petaka dan melawan adat. Ketika itu baca tulis belumlah bisa diterima. Namun, usaha yang terus menerus dengan mencoba metode dan model belajar yang kontekstual membuat pelan tapi pasti belajar baca tulis dan hitung (BTH) mulai diterima orang rimba.
Selama ini negara hanya mengakui pendidikan formal yang dilakukan oleh departemen pendidikan dan juga departemen lain yang terkait seperti Departemen Agama. Namun, pendidikan alternatif yang dijalankan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti Warsi di Jambi, YCM di Mentawai, Yayasan Merah Putih di Sulawesi dan lembaga-lembaga lain belum diakui secara formal untuk mengeluarkan surat keterangan tamat belajar. Semua masih harus dikembalikan ke institusi pendidikan formal. Padahal, realitas di lapangan adalah sangat sulit mengintegrasikan anak-anak orang rimba untuk mengikuti pola pembelajaran di sekolah formal. Kendala bahasa, kemudian kesesuaian materi pembelajaran dengan ruang hidup dan ruang budaya mereka juga sangat berbeda. Sehingga, jika kita memaksakan anak-anak rimba mengikuti ujian ala UAN yang sangat kompleks itu tentu akan sangat sulit.
55
Di sisi lain, satu hal yang paling mendasar bahwa pendidikan untuk komunitas adat seperti orang rimba haruslah kontekstual. Padahal pendidikan formal kita abai akan realitas ini. Pendidikan formal terlalu kaya akan muatan tetapi miskin akan konteks lokal. Upaya mendorong pengakuan terhadap pendidikan alternatif oleh Negara tentunya sudah menjadi sebuah kemutlakan. Tanpa intervensi negara maka akan sulit bagi anakanak rimba untuk memiliki pengakuan legal formal akan kemampuan akademik mereka. Ketiadaan pengakuan legal formal itu sama artinya dengan merampas kesempatan mereka berkompetisi memperebutkan peluang-peluang hidup untuk kehidupan yang lebih baik. Himpitan yang begitu besar dialami oleh komunitas adat seperti Orang Rimba. Kehadiran korporasi perkebunan dan pertambangan juga interaksi yang makin intensif dengan komunitas luar membuat perubahan terjadi secara terus menerus dalam kehidupan orang rimba. Pada akhirnya, masa depan pendidikan anak-anak rimba layaknya menjadi perhatian kita bersama. Karena kemampuan orang rimba dalam merespon perubahan akan sangat ditentukan oleh kapasitas pendidikan mereka. Pendidikan yang dimaksud disini tentu saja tidak melulu tentang bangku sekolah tetapi pendidikan dalam terminologi yang lebih luas. Mengutip kalimat Soe Hok Gie dalam catatan hariannya, bahwa dua guru rimba Almarhum Yusak dan Priyo sejatinya telah menemui takdir terbaiknya. Tinggal impian dan perjuangan merekalah yang selayaknya menjadi picu bagi kita yang masih berkesempatan menghuni dunia ini untuk memperjuangkan tiap impian dan harapan yang ada, termasuk didalamnya memberi kesempatan belajar kepada setiap anak di penjuru nusantara ini. (Huzair)
Apa yang dirintis Bang Yusaklah yang kemudian dilanjutkan oleh generasi-generasi “guru rimba” setelah itu sampai ke generasi kami sekarang. Sayang sungguh sayang suratan takdir berkehendak lain. Malaria tropika menghentikan langkah guru rimba pertama ini. Tubuh kokohmu, tak lagi sanggup menahan sakit. Kau pergi meninggalkan impian dan perjuangan yang hingga kini tetap harus diperjuangkan. 25 Maret 1999, nafas terakhir kau hembuskan. Sesaat setelah pulang dari mengajar anak-anak rimba. Warsi sebagai tempat almarhum bernaung kehilangan salah satu putra terbaiknya. Tapi, mimpi, harapan dan per-
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
Prio, generasi penerus guru rimba yang juga harus terhenti perjuangannya karena sakit yang dideritanya. Foto Heriyadi Asyari/ Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012
ALAM SUMATERA, edisi APRIL 2012