AL-JARH WA AL-TA’DIL: UPAYA MENGHINDARI SKEPTIS DAN HADIS PALSU BAHRUL MA’ANI Abstrak Berbeda dari Alquran yang bersifat qath’i al-wurud, Hadis bersifat dzanny. Bagaimanapun shahih dan orisinal, yakni betul-betul diucapkan Nabi, suatu Hadis tetap zhanny, karena masih mengandung diskursus mengenai perawi baik dari segi sanad maupun matan. Dalam hal ini, kritik terhadap keduanya mesti dilakukan untuk menyaring Hadis. Terkait dengan sanad, salah satu cabang ilmu yang berfungsi untuk menyelidiki perawi adalah ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu tersebut yang dielaborasi penulis dalam artikel ini. Penulis berargumen, ilmu al-jarh wa al-ta’dil merupakan upaya menghindari dari keraguan terhadap Hadis, termasuk memilah Hadis yang shahih dan palsu. Kata Kunci: ilmu al-jarh wa al-ta’dil, sanad, Hadis palsu.
Pendahuluan Dalam kaitannya dengan sumber hukum Islam, terdapat perbedaan mencolok antara Alquran dan Hadis Nabi. Alquran bersifat qath’i alwurud, yakni diyakini sepenuhnya oleh kaum Muslimin tanpa kecuali, Alquran sebagai musaddiq (pemberi konfirmasi) dan muhaimin (pemberi koreksi),1 serta sebagai wahyu yang datang dari Allah. Sedangkan petunjuk (dhilalah)-nya sebagian ada yang qath’i dan ada yang dzanni.2 Sementara itu, Hadis Nabi bersifat dzanni, baik dari segi wurud maupun dilalah-nya. Dengan kata lain, bagaimanapun shahih dan 1
2
Hamim Ilyas, Pandangan Muslim Modernis terhadap Non-Muslim: Studi Pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha terhadap Ahli Kitab dalam Tafsir al-Manar, (Yogyakarta: 2002), hlm. 2. Abu Ishak al-Sayuthi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Jilid 1, (t.t.t.: al-Maktabah al-Tijariyyah, t.t.), hlm. 36-37.
96
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
orisinal, yakni betul-betul diucapkan Nabi, suatu Hadis tetap zhanny, karena masih mengandung diskursus mengenai perawi baik dari segi sanad maupun matan. Karena itu, keyakinan Hadis disampaikan oleh Nabi hanya akan sampai pada tingkat “diduga kuat ”. Dengan demikian, sebagai komparasi, kalau meragukan Alquran sebagai wahyu yang datang dari Allah swt dapat mengakibatkan seseorang menjadi kafir, meragukan hadis betul-betul diucapkan oleh Nabi saw tidak akan sampai pada konsekuensi kepada kafir.3 Jadi harus diberikan perbedaan secara jelas antara mengingkari Nabi Muhammad sebagai rasul dan meragukan apakah sebuah Hadis betul-betul berasal darinya atau bukan. Bila mempersoalkan Hadis yang berada dalam lingkaran yang kedua (meragukan tingkat orisinalitas sebuah Hadis) dimaksudkan sebagai sikap kritis terhadap Hadis Nabi, hal itu bukan merupakan sesuatu yang tabu dan tidak sampai kepada tingkat “kekufuran”. Sebab, sikap seperti itu sama sekali bukan hal baru di kalangan para penulis Islam. Bahkan, sebagaimana kita lihat, sikap seperti itu sudah ada rintisannya sejak awal Islam, yaitu para sahabat Nabi sebagai generasi pertama. Selain itu, telah disepakati bahwa dalam konteks Hadis shahih, para ulama Hadis telah menetapkan lima syarat. Hal itu merupakan salah satu indikasi bahwa mereka sangat teliti (ihtiyath) dalam melakukan eksplorasi dan identifikasi Hadis-Hadis Nabi Saw untuk menghindari inhiraf. Dari kelima syarat tersebut, tiga di antaranya berkenaan dengan sanad dan dua terkait matan. Dalam kaitannya dengan sanad,4 di samping harus bersambung, juga semua perawi 3
4
Kafir atau kufur menurut Ibnu Taimiyah adalah orang Nasrani yang beranggapan bahwa Allah bersemayam pada diri makhluk (al-hulul) dan Allah bersemayam pada diri al-Masih. Ibnu Taimiyah, al-‘Ubudiyah: Hakikat Penghambaan Manusia kepada Allah, terj. Mu’ammal Hamidi, (Surabaya: Bima Ilmu, 1982), hlm. 46. Sanad adalah pertalian. Berdasarkan sanad, para ulama dan ahli Hadis telah menetapkan martabat Hadis seperti (1) Jika Hadis itu dari Umar bin Khattab, sanad yang sah adalah “Dari Zuhri dari Ubaidillah bin Abdullah dari Ibnu Abbas dari Umar”, ada pula “Dari Ibnu Umar dan Umar dari Nabi Muhammad Saw” (2) Jika hadis itu dari Ali, sanad yang sah adalah “Dari Muhammad bin Sirin dari Ubaidah dari Ali”
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” |
97
harus dhabit dan tsiqah. Sedangkan yang berkaitan dengan matan5 adalah keharusan tidak adanya syaz dan ‘illat.6 Persyaratan-persyaratan tersebut dimaksudkan untuk mencari Hadis yang dipandang shahih guna diamalkan (ma’mul bih) dan menyisihkan yang lain yang tidak dapat diamalkan (ghairu ma’mul bih). Dari seleksi-seleksi itu muncul kategori-kategori hadis shahih, hasan, dhaif, dan seterusnya.7 Pada saat mempersoalkan sebuah Hadis yang tidak mutawatir, otomatis terdapat kesepakatan bahwa hadis tersebut ghairu ma’mul bih. Dalam kaitan dengan syarat yang berhubungan dengan sanad, hal itu memberikan indikasi bahwa perlunya penelitian kredibilitas para perawi Hadis, sehingga muncullah cabang ilmu Hadis yang disebut al-jarh wa al-ta’dil. Cabang ilmu Hadis ini merupakan persyaratan bagi seorang perawi sebagai bahan pertimbangan penerimaan atau penolakan Hadis yang diriwayatkannya. Kata al-jarh mengandung pengertian yang berkaitan dengan kecacatan seorang perawi sehingga mengakibatkan Hadisnya tertolak. Sedangkan al-ta’dil mengandung pengertian terkait ‘adalah al-rawy (keadilan perawi) sehingga Hadisnya diterima. Dalam hubungannya dengan al-jarh wa al-ta’dil, ada beberapa faktor penting yang digunakan untuk memberikan penilaian apakah Hadis itu palsu atau perawinya seorang cacat atau tidak; atau bila terjadi perlawanan antara jarh dan ta’dil serta antara susunan lafaz
5
6
7
dan “Dari Zuhri dari Ali bin Husain dari ayahnya yakni dari Ali dan Ali dari Nabi Muhammad Saw”. Lebih lanjut lihat Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Musthalahul Hadis, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 11. Perkataan atau Hadis yang diriwayatkan adalah matan Hadis. Pada zaman Nabi tidak seluruh Hadis ditulis para sahabat Nabi dan ada yang diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma’na). Lihat Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tujuan dengan Pendekatan Sejarah, ( Jakarta: Bulan Bintang, cet. III 2005), hlm. 79. Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 1975), hlm. 304. al-Khatib, Ushul al-Hadits, hlm. 304.
98
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan perawi, bagaimana kompromi yang dilakukan.
Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil Tajrih atau jarh secara etimologi berarti “melukai tubuh atau yang lain menggunakan benda tajam seperti pisau dan sebagainya”. Jarh dapat pula berarti memakai dan menistakan baik di depan maupun di belakang.8 Secara terminologi tajrih atau jarh berarti menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan lemah atau tertolaknya Hadis yang dia riwayatkan.9 Sedangkan ta’dil berarti menyifati perawi dengan sifat-sifat yang karenanya perawi tersebut dapat dipandang adil sehingga riwayatnya dapat diterima.10 Jadi pengertian ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang kualitas perawi Hadis dan membicarakan tentang perawiperawi yang cacat dan adil, di samping itu sanadnya bersambung, dhabit, tidak syaz, dan tidak ilat.11 Misalnya, apakah seorang perawi Hadis tepercaya atau lemah terutama dalam hal hafalan atau pendusta dan sebagainya. Karena itu, ilmu ini juga disebut mizan al-rijal (timbangan perawi), karena menimbang dan menilai perawi-perawi Hadis.12 Menurut pandangan kalangan Sunni, al-jarh wa al-ta’dil dikaitkan pada peringkat (thabaqat) di bawah sahabat, yakni tabi’in ke bawah. Sahabat tidak perlu diperiksa. Artinya, keadilan para sahabat dalam meriwayatkan Hadis tidak perlu dipersoalkan.13 8
9
10 11 12 13
Louis al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah al-Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1987), hlm. 86. Muhammad Abdi al-Shalih, Lamhat fi Ushul al-Hadits, jilid. III, (Beirut: al-Maktabah al-Islamy, 1399 H), hlm. 326. al-Shalih, Lamhat fi Ushul al-Hadits, hlm. 326. Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, hlm. 131. Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, (Surabaya: Bima Ilmu, 1985), hlm. 104. Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdist wa Thuruq Takhrijuh, (Kairo: Maktabah al-Qur’an, t.t.), hlm. 200.
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” |
99
Argumen ini bukan karena kalangan Sunni menganggap bahwa para sahabat adalah ma’shum (terbebas dari dosa), melainkan keyakinan bahwa dalam meriwayatkan Hadis, sahabat tidak pernah bermaksud membuat dan menciptakan kedustaan kepada Nabi atau berkeinginan menikam Islam. Adapun konsep ‘ishmah, bagi kalangan Sunni, hanya berlaku bagi Nabi saw, itu pun dalam kedudukannya sebagai rasul.14 Sementara itu, kalangan Syiah memberlakukan al-jarh wa al-ta’dil pada lapisan di bawah imam, sebab bagi mereka imam adalah orang yang ma’shum.15 Tajrih dan ta’dil rasanya sudah selesai dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas para perawi telah dilakukan secara baik oleh para ahli Hadis. Kita sungguh berutang budi kepada para ulama penyusun kitab-kitab semacam Mizan al-I’tidal dan Tahzib al-Tazib karena melalui kitab-kitab semacam itu kita dapat melacak kredibilitas para perawi.16
Tinjauan Historis tentang al-Jarh wa al-Ta’dil Para ulama merasa punya kewajiban menerangkan keadaan yang sebenarnya dari para perawi Hadis meskipun menyangkut hal-hal internal atau pribadi perawi. Tujuannya demi menjaga kemurnian Hadis. Menurut Ibnu ‘Adi dalam bukunya, al-Kamil, mengungkapkan bahwa perdebatan tentang kualitas para perawi Hadis sudah dimulai sejak masa sahabat. Misalnya, kalangan sahabat ada yang melakukan penelitian Hadis dengan metode al-jarh wa al-ta’dil, antara lain Ibnu Abbas (w. 68 H), Ubaidah bin ash-Shamit (w. 34 H), dan Anas bin Malik (w. 93 H). Sedangkan dari kalangan tabi’in antara lain Sa’ad bin al-Musayayab (w. 94 H), Ibnu Siri (w. 110 H), dan ash-Sha’by (w. 103 H). Pada masa ini, masih sedikit perawi Hadis yang 14 15
16
Taimiyah, al-‘Ubudiyah, hlm. 4. Al-Hikmah, Jurnal Studi Islam, edisi V, (Bandung: Muthahhari, Maret-Juni, 1992), hlm. 28. al-Khatib, Ushul al-Hadis, hlm. 313.
100
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
dipandang jauh dari lemah dan cacat, karena para perawi itu sebagian besar adalah sahabat, sedangkan semua sahabat dipandang ‘adil. Sementara perawi lain yang bukan sahabat, sebaagian besar sebatas tepercaya. Para ulama juga menjelaskan beberapa perawi Hadis Hasan, antara lain hafalan mereka lemah, kurang kuat, atau riwayat tidak jelas, tidak terdapat dalam kitab al-Jarh wa al-Ta’dil.17 Pada permulaan abad ke-11 H, baru terdapat banyak perawi yang lemah. Kelemahan mereka umumnya disebabkan tidak dhabit (tidak kuat hafalan) serta tidak teliti, misalnya meng-irsal-kan dan me-rafa’kan Hadis yang sebenarnya mauquf. Namun abad ke-40 H menjadi batas pemisah antara kemurnian Sunah dan berkembangnya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak serta terjadinya perpecahan dalam tubuh Islam, antara Ali dan Muawiyah dalam bentuk peperangan.18 Hal itu juga terjadi karena periwayatan yang tidak teliti, misalnya meng-irsal-kan Hadis dan me-rafa’-kan Hadis yang sebenarnya mauquf, misalnya yang dilakukan Abu Harun Abdani.19 Pada akhir masa tabi’in, lebih-kurang tahun 150 H, mulai banyak ulama yang membicarakan hal ihwal dan kualitas perawi Hadis, yang terkenal antara lain Yahya bin Sa’ad al-Qaththan (189 H) dan Abdurrahman bin Mahdi (198 H). Pada akhir abad ke-3 H, para ulama mulai menyusun kitab-kitab tentang jarh dan ta’dil. Di dalamnya terdapat nama perawi Hadis dan biografinya, sehingga periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain Yahya bin Ma’in (233 H), Ali bin Adullah al-Madini (234 H), Ahmad bin Hanbal (241 H), dan al-Bukhari. Secara gradual pada tiap masa selama delapan abad, mulai masa sahabat sampai masa hidup Ibnu Hajar (652 H), terdapat ulama
17
18
19
H. Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tarmizi: Pemikirannya dan Pengembangan Hadis dan Fiqh, ( Jakarta: 1998), hlm. 94. Musthafa al-Siba’i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, terj. Nurcholis Majid, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. II 1993), hlm. 20. Abu Syuthi Ajalla, Dirasah fi al-Hadits al-Nabawy, (t.t.t.: Mu’assasat al-Syubab alJami’ah, 1986), hlm. 150.
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” |
101
yang secara rutin melakukan penelitian tentang keadaan para perawi Hadis dan kemudian memberikan penilain secara objektif dan penuh rasa tanggung jawab. Bahkan hasil penelitian mereka banyak dikodifikasi dan dikemas dalam kitab-kitab jarh dan ta’dil. 20 Kitab-kitab yang disusun dengan metode jarh dan ta’dil dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Kitab yang khusus menerangkan perawi-perawi yang tepercaya, seperti kitab al-Tsiqah karangan Ibnu Hibban (351 H) dan alTsiqah karangan Zainuddin Qasim Al-Hanafi (879 H) yang terdiri atas empat jilid yang memuat perawi tepercaya yang tidak terdapat pada al-kutub al-sittah. 2. Secara khusus menerangkan perawi-perawi yang lemah, antara lain kitab Adl al-Dhu’afa karya Imam Bukhari dan yang dikarang oleh Ibnul Jauzi (597 H) serta al-Kamil karangan Ibn ‘Adi (365 H). Kitab Ibn ‘Adi dipandang sebagai kitab jarh yang paling lengkap, yakni sebanyak 12 jilid, yang dijadikan sebagai pegangan ulama. Kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, karangan az-Zahabi (748 H) yang disusun secara alfabetis. 3. Kitab-kitab yang menghimpun perawi yang tepercaya dan lemah, antara lain al-Jarh wa al-Ta’dil karangan Ibnu Hatim al-Razi (337 H) sebanyak enam jilid dan al-Thabaqat al-Kubra karangan Muhammad bin Sa’ad (235 H). Kitab-kitab tersebut memuat perawi-perawi dari sahabat dan tabi’in serta generasi sesudah mereka.21
Faktor yang Membuat Perawi Dinilai Cacat Ada dua regulasi kaidah yang berlaku pada jarh dan ta’dil. Pertama, berdasarkan kepada cara-cara periwayatan Hadis, sahnya periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan kepada mereka. Bagian ini
20 21
Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 104. Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 105-106.
102
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
dinamakan naqdun kharijiyyun (kritik eksternal). 22 Kritik eksternal adalah kritik yang datang dari luar Hadis, artinya tidak mengenai isi Hadis. Kedua, kritik yang berkaitan dengan matan Hadis itu sendiri, yakni apakah maknanya sahih atau tidak serta apa yang menyebabkannya sahih dan tidak. Kritik ini disebut naqdun dakhiliyyun (kritik internal). Ibnu Hajar dalam mukadimah Fath al-Bary, ketika menyinggung tentang kecacatan perawi, mengatakan bahwa “Pencacatan (tajrih) terhadap seorang perawi tidak dapat diterima kecuali ada faktor-faktor yang memang dengan jelas menyebabkan ia cacat.”23 Ada beberapa faktor yang membuat seseorang dapat dinilai cacat, namun semua berkisar pada lima hal: 1. Bidah (melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syariah). 2. Mukhalafah (pertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah). 3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan). 4. Jahalat al-hal (identitas tidak dikenal). 5. Da’wah al-Inqitha’ (diduga keras sanad tidak bersambung).24 Orang yang disifati dengan bidah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya difasikkan. Mereka yang dianggap kafir, misalnya golongan Rafidhah, mempercayai bahwa Tuhan menyusup (bersatu) ada diri Ali dan imam lain serta meyakini bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum kiamat. Riwayat pelaku bidah yang digolongkan kafir tidak dapat diterima menurut jumhur ulama. Sedangkan orang yang dianggap fasik adalah yang mempunyai keyakinan berlawanan dengan dasar-dasar syariat.25 Mukhalafah dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran
22
23 24
25
TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), hlm. 359. Ibnu Hajar al-Asqalani, Mizan al-I’tidal, (India: t.p., 1331 H), hlm. 130. Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdist Min Funun Musthalah alHadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979), hlm. 194. al-Qasimi, Qawaid al-Tahdist, hlm. 194.
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” |
103
Hadis bila seorang perawi yang kuat ingatan serta jujur dalam meriwayatkan Hadis berlawanaan dengan riwayat orang yang lebih kuat ingatan atau berlawanan dengan kebanyakan orang. Periwayatan seperti itu disebut syaz, dan bila perlawanannya begitu kuat atau perawinya lemah, periwayatannya disebut munkar. Galath (kesalahan) kadang sedikit kadang banyak. Bila seorang perawi disifati dengan banyak kesalahan, perlu diadakan peninjauan kembali terhadap Hadis yang dia riwayatkan. Kalau periwayatan tersebut terdapat juga pada periwayatan orang lain yang tidak disifati galath, yakni diriwayatkan oleh orang yang banyak salah, Hadis tersebut dapat dipakai namun bukan menurut sanad-nya. Yang dipegangi adalah asal Hadis, karena diriwayatkan juga oleh orang lain. Namun bila didapati cacat selain sanad, riwayat itu hendaklah ditinggalkan. Sedangkan perawi yang disifati dengan sedikit kesalahan, seperti lemah hafalan, salah sangka, mempunyai hadis munkar, dan sebagainya, ditetapkan seperti ketentuan hukum sebelumnya. Jahalal al-hal (tidak diketahui identitas diri) merupakan pantangan penerimaan Hadis selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, didahulukan penetapan orang yang lebih dahulu mengenalnya, sebab dia tentu lebih tahu ketimbang pengingkarnya.
Cara Mengetahui Keadilan dan Cacat Perawi Sebagaimana telah dijelaskan, ta’dil (menganggap adil seorang perawi) adalah memuji perawi dengan sifat-sifat yang dapat membuatnya dinilai adil, yakni sifat yang dijadikan dasar-dasar penerimaan riwayat. Keadilan perawi tersebut dapat diketahui dengan cara: Pertama, terkenal sebagai orang yang adil di kalangan ilmuwan, seperti Anas bin Malik, Sofyan al-Tsaury, Syu’bah bin al-Hajaj, al-Syafi’i, dan sebagainya. Kedua, pujian dari orang yang adil, yakni ditetapkan sebagai adil oleh orang yang adil, yakni perawi yang di-ta’dil-kan belum dikenal sebagai perawi yang adil.
104
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
Penetapan tantang kecacatan perawi juga dapat ditempuh melalui, pertama, berdasarkan berita tentang ketenarannya sebagai orang yang cacat. Perawi yang dikenal sebagai fasik atau pendusta di kalangan masyarakat tidak perlu dipersoalkan lagi. Cukuplah ketenarannya itu dijadikan alasan untuk menetapkannya cacat. Kedua, berdasarkan tajrih dari orang yang adil yang telah mengetahui kenapa dia dinilai cacat. Ini menurut pendapat yang dipegang muhaddisin. Sedangkan menurut fuqaha, sekurangnya harus di-tajrih oleh orang yang adil. Ta’dil dan tajrih seperti dijelaskan di atas tidak dapat diterima kecuali dari orang-orang yang memenuhi persyaratan. Syarat dimaksud adalah mu’addil dan jarih mesti berilmu pengetahuan, takwa, wara’ (selalu menjauhi perbuatan maksiat, subhat, dan dosa kecil serta hal makruh), jujur, menjauhi fanatisme golongan, serta mengetahui sebab ta’dil dan tajrih. Selanjutnya tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk melakukan ta’dil dan tajrih terhadap perawi juga terdapat perselisihan pendapat, antara lain: 1. Minimal dua orang, baik dalam hal syahadah maupun riwayah. Demikian menurut pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya. 2. Cukup seorang dalam hal riwayah, bukan syahadah; karena bilangan tidak menjadi syarat dalam penerimaan Hadis, tidak pula disyaratkan dalam ta’dil dan tajrih perawi. 3. Cukup seorang saja, baik dalam hal riwayah maupun syahadah.26 Sementara bila keadilannya diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ulama, tidak memerlukan orang yang melakukan ta’dil (muzakki, mu’addil) seperti Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Laits, Ibn Mubarak, Syu’bah, Ishak, dan lain-lain.
26
Badran Abu al-Ainaiyain, al-Hadits al-Nabawy al-Syarif: Tarikh wa Musthalahuh, (Iskandariyah: Mu’assasah al-Su’bah al-Jami’ah, 1983), hlm. 83.
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” |
105
Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil Apabila terdapat ta’arud atau pertentangan antara jarh dan ta’dil pada perawi, sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian lain men-tajrihkan, dalam hal ini terdapat empat pendapat: 1. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addil lebih banyak dari jarh, sebab jarh tentu punya pengetahuan yang tidak dimiliki oleh mu’adil. Ini menurut jumhur ulama. 2. Ta’dil harus didahulukan dari jarh, sebab yang digunakan jarh bukan sebab yang betul-betul dapat mencacatkan, apalagi bila dipengaruhi rasa benci. Mu’addil jelas tidak serampangan dalam melakukan ta’dil. 3. Mendahulukan ta’dil jika jumlah mu’addil lebih banyak dari jarh. Jumlah yang banyak dapat memperkuat. 4. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditemukan orang yang menilainya sebagai cacat.27 Pendapat-pendapat di atas bila jumlah penilai adil lebih banyak dari penilai cacat. Jika jumlahnya seimbang, disepakati (ijma’) mendahulukan jarh. Hierarki Lafaz Ta’dil dan Tajrih Lafaz yang digunakan dalam ta’dil dan tajrih bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu al-Shalah, dan al-Nawawi, lafaz tersebut disusun menjadi empat tingkat. Sedangkan menurut al-Hafiz al-Zahabi dan Al-Iraqy disusun menjadi lima tingkat serta menurut Ibn Hajar enam tingkat. Tingkat-tingkat tersebut adalah: 1. Mengandung kelebihan perawi dalam hal keadilan menggunakan lafaz berbentuk af ’al at-tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis, misalnya autsaq al-nas tsiqatan fauqa al-tsiqat ilaih al-muntaha fi al-tsiqah atsbat al-nas hifdzan wa ‘adalatan.
27
Muhammad Hudhari Beik, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 221.
106
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
2. Memperkuat tsiqah perawi dengan membubuhi salah satu sifat yang menunjukkan keadilan dan dhabit, baik sifat itu selafaz (dengan mengulang) maupun semakna, misalnya hafidz, hujjah, tsiqah, tsabit. 3. Menunjukkan keadilan dengan lafaz yang mengandung arti “kuat ingatan”, misalnya tsabit, muttaqin, tsiqah. 4. Menunjukkan keadilan dan dhabit tetapi dengan lafaz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan tsiqah, misalnya shudduq, ma’mun, la ba’sa bih. 5. Menunjukkan kejujuran perawi, namun tidak dimengerti pada dirinya ada dhabit, seperti hasan al-hadits, jayyid al-hadits, mahalluh al-shidq. 6. Menunjukkan arti yang mendekati seperti sifat-sifat tersebut di atas namun diikuti lafaz Allah atau lafaz tashgir atau dikaitkan dengan pengharapan, seperti fulan maqbul haditsuh, arju bianna la amr bih, shudduq insya Allah. Para ulama Hadis menggunakan Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan Hadis dari rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh Hadis dari perawi lain.28 Sedangkan hierarki lafaz untuk men-tajrih-kan perawi adalah sebagai berikut: 1. Menunjukkan kepada “sangat” perawi dalam cacat menggunakan lafaz-lafaz berbentuk af ’al al-tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian seperti audha’ al-nas dan akzab al-nas. 2. Menunjukkan “sangat” cacat menggunakan lafaz berbentuk shighat mubalaghah seperti kazzab, wadhdha’, waqqal. 3. Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong, dan lain sebagainya,
28
al-Ainaiyain, al-Hadits al-Nabawy al-Syarif, hlm. 105-106.
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” |
107
misalnya fulan minhum al-kazzab, fulan fih al-nazhr. 4. Menunjukkan kelemahan perawi, misalnya fulan dha’if. 5. Menunjukkan kepada kelemahan dan buruknya hafalan perawi, misalnya fulan majhul, fulan munkar al-hadits. 6. Meneliti perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahan tetapi berdekatan dengan ‘adil, misalnya fulan maqal, fulan dha’if haditsuh, fulan layyin, fulan laisa al-hujjah. Hadis dari orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai keempat tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Adapun orang yang di-tajrih menurut tingkatan kelima dan keenam masih dapat dipakai sebagai i’tibar (perbandingan).
Kesimpulan Pengujian terhadap persyaratan kesahihan suatu Hadis yang berkaitan dengan sanad telah dilakukan sejak awal dengan cara meneliti kredibilitas para perawi, sehingga muncullah ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu ini adalah salah satu metode untuk mengetahui cacat-tidaknya seorang perawi Hadis. Metode ini juga menentukan nilai dan tingkatan sebuah Hadis sehingga terhindar dari skeptis dan pemalsuan.[]
108
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
DAFTAR PUSTAKA Al-Hikmah, Jurnal Studi Islam, edisi V, Mutahhari, Bandung: Maret, Juni 1992. Abu Ishak al-Sayuthi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid I, alMaktabah al-Tijariyyah, tt. Abbas Suyuthi Ajalllah, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawy, Mu’assasatu al-Syubab al-Jami’ah, 1986. Badran Abu al-‘Ainaiyain, Al-Hadits al-Nabawy al-Syarif: Tarikhu wa Musthalahuhu, Iskandariyah: Mu’assasat al-Syu’bah al-Jami’ah, 1983. Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Bulan Bintang, 1979. F. Ahmad Sutarmadi, Al-Imam al-Tarmizi, Peranannya dan Pngembangan Hadis dan Fiqh, Jakarta: 1998. Hamim Ilyas, Pandangan Muslim Modernis Terhadap Non Muslim (Studi Pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap Ahli kitab dalam Tafsir Al-Manar, Disertasi, Yogyakarata: 2002. Ibnu Abi Hatim Ar-Razy, Kitab al-jarh wa Ta’dil, Jilid. I, Beirut: Dar al-Fikri, tt. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Mizan al-I’tidal, India: 1331 H. Ibnu Taimiyah, Al’Ubudiyah, Terj. Mu’ammal Hamidy, Cet. Ke-1, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1982. Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat al- ‘A lam, Beirut: Dar alMasyriq, 1987. Muhammad Abd. Shaleh, Lamhat fi Ushul al-Hadist, Jilid III, Beirut: al-Maktabah al-Islamy, 1399 H. Muhammad Khudri Beik, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-fikr, 1988. Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya: Bina Ilmu, 1985. Muhammad Usman Al-Khusyt, Mafath Ulum al-Hadits wa Thuruq Takhrijih, Kairo: Maktabah Alquran, tt.. Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Qawaid al-Tahdits Min funun Musthalah al- Hadits, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1979.
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” |
109
Mustafa Al-Siba’I, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan H. Islam, Sebuah Problem Kaum Sunni, Terj. Nurcholis Majid, Cet. Ke2, Jakarta Pustaka Firdaus, 1993. Sayyid Qutb, Fi Zhilal Alquran, Beirut: Dar al-Syuruq, 1980.. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis: (Tela’ah Kritis Tujuan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. Ke-3, Jakarta: Bulanbintang 2005.