Aku selalu keluar ruang rapat paling akhir untuk mengumpulkan sisa roti dan juga sisa makan siang yang tidak disentuh oleh peserta rapat. Makanan tersebut aku bawa pulang. Sebagian kumakan untuk malam dan esok harinya, sebagian lagi kuberikan pada tukang pikul sampah tetanggaku. Aku memang semiskin itu
Hidup Itu Indah. Kubaca kembali judul buku tersebut. Hidup itu indah, begitulah judul buku yang sedang kupegang saat ini. Kulirik jam tangan. Jam 2 tengah malam. Aku kembali membaca buku Hidup Itu Indah. Sekarang halaman ke 5. Mendadak aku menjadi skeptis dan sinis. Siapakah orang tolol yang mengatakan bahwa hidup itu indah? Jeffrey Dunn si pengarang buku pastilah orang bodoh yang jarang menggunakan otaknya. Siapa bilang hidup itu indah. Hidup itu bukan gulali manis atau pemandangan Danau Toba yang indah. Hanya orang bodoh yang berpikiran demikian. Bila hidup indah maka orang akan berhenti berpikir, berhenti berjuang dan berhenti menerima tantangan, toh hidup sudah indah. Bila memang hidup itu indah maka dunia ini akan dipenuhi oleh orang-orang tolol dan dungu. Kuletakkan buku tersebut di lantai sambil mendengus. Untuk apa Ayu meminjamkan buku itu padaku? Apa aku terlihat tidak bahagia? Apa wajahku perwujudan dari penderitaan dan hidup yang tidak indah? Aku tidur telentang sambil manarik nafas panjang. Aku berdoa agar mataku bisa terpejam. Tiba-tiba ponselku berdering. ”Kita gak usah memaksakan diri, Nak” mama memulai pembicaraan melalui telepon. “Kalau kita tidak punya uang sebaiknya kita bawa ayahmu ke pengobatan alternatif” lanjut mama dengan suara parau menahan tangis. “Mama jangan putus asa, mungkin ada rejeki minggu ini” kataku dengan lembut. Rejeki? Apakah uang dapat turun dari langit? Aku tidak mungkin berdoa semoga nasibku seperti Damian, anak kecil yang menemukan berkantong-kantong uang tunai di film Millions Danny Boyle. 2
“Mama, jangan khawatir ya” aku membujuk mama dan mengakhiri pembicaraan. Sudah seminggu ayah di rawat di rumah sakit tanpa ada perubahan apapun. Aku sudah meminjam terlalu banyak di perusahaan untuk biaya pengobatan Ayah selama tiga tahun terakhir. Sekarang, aku tidak tahu harus meminjam uang dari mana lagi. Aku bahkan tidak menerima gaji lagi karena gajiku langsung dipotong pinjaman. Gaji yang kuterima tiap bulan hanya seratus ribu rupiah. Untuk hidup, aku bekerja serabutan, mengajar privat bahasa inggris untuk anak-anak SD, menjadi penterjemah turis yang berbelanja di Tanah Abang, menjadi perawat orang jompo, menjadi MC di acara ulang tahun, bahkan menjadi badut di acara ulangtahun tersebut. Aku bekerja 18 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Itulah aku. Untuk makan sehari-hari tidak banyak uang yang kukeluarkan karena aku makan hanya sekali sehari. Apalagi kantorku setiap hari mengadakan rapat. Di setiap rapat selalu tersedia roti dan makan siang. Orang-orang bojuis di kantorku enggan untuk menghabiskan makanan mereka. Mereka hanya menggigit sedikit makan siang maupun roti yang disediakan. Peserta rapat membuang begitu saja makanannya tanpa tahu bahwa begitu banyak orang kelaparan di luar sana termasuk aku. Fenomena yang membuatku miris. Karena itulah aku selalu keluar ruang rapat paling akhir untuk mengumpulkan sisa roti dan sisa makan siang yang tidak mereka sentuh. Makanan tersebut aku bawa pulang. Sebagian makanan tersebut kumakan untuk malam dan esok harinya, sebagian lagi kuberikan pada tukang pikul sampah tetanggaku. Pikrianku kembali pada ayah. Apakah rumah sakit mau mengoperasi ayah terlebih dahulu lalu dibayar kemudian. Mustahil. Apakah rumah sakit tega membiarkan ayahku sekarat? Tentu saja!
3
Jam 6.30 Waktu Jakarta Aku mencek agenda pekerjaanku hari ini. ‘’Membantu Ramon Pierru. Jam 08.00 – selesai.‘’ Pesan itu muncul di layar komputer. Oh Tuhan, aku baru ingat bahwa hari ini harus menemani Ramon Pierru mengurus bisnis perusahaannya. Pierru adalah Manager Keuangan Franc United, salah satu pelanggan di Kantor Konsultan tempatku bekerja. Dia warganegara Amerika yang arogan dan selalu memandang rendah orang Indonesia. Perusahaanku mengurus kelayakan usaha, menjembatani dengan pengacara, mengurus laporan keuangan dan marketing strategy perusahaan Franc United. Jam 7.50 Waktu Jakarta Aku melirik jam tangan. Jam 7.50 WIB. Pierru sudah datang. Aku berdandan dengan terburu-buru. Aku memakai bedak di wajahku dengan sederhana lalu memulas lipstik berwarna lembut di bibirku. Aku memang tidak cantik bila dibanding dengan Mona dan Sarah, wanita-wanita tercantik di kantor ini tapi wajahku terlihat bersahaja dan cerdas. Aku melihat pria berambut pirang sedang duduk di ruangan Pak Djoko. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia duduk membelakangi meja kerjaku. Pierru. Dari sosoknya, Pierru masih muda dan berbadan tegap. Pantas saja Mona begitu blingsatan dan ngotot untuk melayani account Pierru. Aku merapikan tasku, ketika Pak Djoko memanggil. Aku segera memasuki ruangan Pak Djoko. Untuk pertama kali aku bertatap muka dengan Pierru. Sekarang si galak itu berdiri depanku. 4
Pria yang berdiri di depanku adalah pria kulit putih, caucasian, di usia 30 tahunan atau mungkin di akhir 20an. Matanya berwarna biru gelap dan tajam menunjukkan bahwa dia cerdas. Wajahnya tampan. Ayu benar, Pierru memang mirip Brad Pitt. No, seperti Bradley Cooper. Tapi lebih mirip George Clooney. Aha, wajahnya gabungan antara Nino si pria di film Amelie dan Brad Pitt. Aku senang seakan-akan baru saja menyelesaikan teka teki terhebat dalam hidupku. Namun ada sesuatu di wajah Pierru yang begitu sinis dan tak kusukai. Pandangan Pierru sangat dingin seperti pandangan Lord Voldemort, penjahat di film Harry Potter. Dia memang tampan tapi brengsek. Dia pikir dia siapa, memandang rendah orang seperti itu. Namun kuulurkan juga tanganku menyalami Pierru sambil sedikit tersenyum. Hanya sedikit. Lalu aku kembali ke wajah normalku, dingin tanpa ekspresi.
5