HUMANIORA
USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING
AKSELERASI MODEL PRINCIPAL AGENT DALAM ALOKASI DANA DESA (ADD) DAN KETERLIBATAN PEJABAT DAERAH DALAM MENCIPTAKAN BUDGETARY SLACK
Peneliti: Syaiful Arifin, SE., MSi Drs. Agus Samsul Hidayat, MM Dra. Endang Sulistyowati, MS
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MERDEKA MALANG DESEMBER 2013
0
1
ABSTRAK Penelitian ini merupakan strategi pengembangan instusi dengan menggunakan konsep model kualitatif, dengan paradigma naturalisme menggunakan logika induktif abstraktif yang bertitik tolak dari khusus ke umum. Analisis data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung, sehingga setiap langkah selalu terkait dengan langkah yang lain. Prosedur analisis data menggunakan model FGD (Focus Group Discusion), diharapkan dapat mengidentifikasi, menganalisis, mendiskripsikan dan mengintepretasikan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan permasalahan secara partisipatif. Objek penelitian adalah Kajian Budgetary Slack dalam implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) dalam rangka menciptakan akuntabilitas lokal. Subjek penelitian adalah Pemerintah Desa Karang Widoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang sebagai representasi Negara, dan penentu proses politik yang melibatkan berbagai pihak, baik eksekutif, legislative maupun masyarakat, LSM atau tokoh-tokoh masyarakat. Gathering data didasarkan atas prinsip kerja yang diajukan oleh naturalistic approach.
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dalam wujud pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab telah menjadikan Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka perlu adanya penataan ulang berbagai elemen dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka manifestasi pelaksanaan otonomi daerah. Karena pada dasarnya tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Otonomi daerah telah berjalan sejak januari tahun 2001, dalam beberapa hal otonomi daerah yang dilegalkan dengan UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan telah menjadi tonggak dalam pemerintahan negeri ini. Dibeberapa wilayah otonom di negeri ini,memang otonomi telah melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta yang paling penting mampu memberikan kesejahteraan
pada rakyatnya melalui segala bentuk pelayana public dan
terpenuhinya hak-hak dasar yang baik. Namun di beberapa daerah otonom tidak demikian terjadi.
Kemudian lahir UU No. 32 tahun 2004 Dan UU no 33 tahun 2004, sebagai revisi terhadap UU yang telah ada. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan yang ada dalam UU tersebut, selain langkah fantastik pilkada langsung yang mengikuti trend pilpres langsung adalah adanya wacana baru yang digunakan dalam
1
paradigma pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan yakni UU No. 32 tahun 2004 ini jika dikaji secara mendalam
telah memberikan peluang
bagi
pemberdayaan masyarakat desa dengan telah mendudukan fungsi desa sebagai komponen pelaksanaan pembangunan yang sangat penting. Dalam pasal 215 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota dan atau pihak ketiga mengikut sertakan pemerintah desa dan Badan permusyawaratan desa (BPD). Kemudian adanya PP 72 tahun 2005 tentang desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar oleh Pemerintah Kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD ) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya.
Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mestinya terjabarkan dalam dan
belanja
peraturan
desa ( Perdes ). Tentang
anggaran
pendapatan
desa (APBDesa). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari
pendapatan asli desa seperti hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil kekayaan dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Selanjutnya bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 % ( sepuluh persen) untuk desa dan dari retribusi kabupaten/ kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota/kabupaten dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
2
Selanjutnya regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa( BUMDes) sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong , diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri dan berdikari. Apalagi bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui alokasi dana desa(ADD) harus menjadikan desa benar-benar sejahtera. Namun semua ini masih dalam angan-angan, untuk persolan ADD saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun dibeberapa daerah masih belum melakukanya.
Desa dan masyarakat di dalamnya merupakan sendi utama bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia, dimana terdapat potensi sumberdaya manusia dan sumber daya alam terbesar yang perlu dikelola dan diolah serta dikembangkan melalui berbagai kegiatan pembangunan yang bertumpu pada “kesatuan dan sinergitas masyarakat” sebagai pelaku utama pembangunan.
Untuk itu seharusnya proses transformasi kearah pemberdayaan desa terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju otonomi desa yang ’berdaulat’., sembari terus menata capacity building system dan struktur kelembagaan desa agar terbina sumber daya manusia yang mampu memanage desa dengan aspiratif, transparan dan akuntabel. Dan ini juga menjadi kewajiban aparat pemkab yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur desa meningkat. Persoalannya adalah apakah kewajiban mengalokasikan ADD sudah dilaksanakan, kalaupun sudah, bagaimana implementasinya, bagaimana tingkat efektifitas pengelolaan ADD oleh pemerintahan desa. Apakah ADD mempunyai sasaran yang tepat terutama pada program-program pembangunan desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, dan sejauhmana kemampuan aparat desa/ kepala desa dalam mengelola ADD secara efektif sehingga tidak terjadi Budgeting Slack.
3
Dalam hal ini dibutuhkan suatu pemahaman yang sama seluruh perangkat desa sebagai ujung tombak pembangunan desa. Kesiapan dalam rangka pemanfaatan ADD secara optimal serta kesiapan untuk memahami persoalanpersoalan desa. Sehingga ADD terarah pada sasaran program-program yang tepat. Sering kita jumpai penggunaan dana alokasi tidak tepat sasaran sehingga dapat meinbulkan pemborosan sumber-sumber pembangunan desa. Oleh karenanya Sudah menjadi kegiatan yang mendesak dalam peningkatan pemberdayaan desa dengan memberikan kemampuan aparat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
1.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini memberikan pemahaman kepada Pemerintah Daerah sebagai pemegang kekuasaan khususnya dalam pengelolaan keuangan umum daerah untuk menetapkan sistim reward yang jelas dan terukur akan memotivasi pejabat perangkat daerah khususnya di tingkat desa untuk berprestasi sehingga dalam menyusun anggaran tidak menciptakan
Budgetary Slack.
Disamping juga memberi pemahaman kepada Kepala Desa sebagai salah satu yang memperoleh wewenang untuk menyusun anggaran satuan untuk kerja agar tidak melakukan manipulasi informasi sehingga Budgetary Slack tidak terjadi. Disamping juga sebagai upaya untuk meningkatkan Capacity Building System dan struktur kelembagaan desa, dibutuhkan kemampuan sumber daya manusia yang dapat memanage desa secara aspiratif, transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam hal ini aparat desa menjadi tuntutan
mutlak.
Diharapkan
dengan
kemampuan
yang
sudah
ada
dan
dikembangkan dengan model pelatihan dapat memperbesar kapasitas dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja aparat desa. Upaya ini penting hanya dengan
4
sumber daya manusia kapabel dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan desa. Sehingga tujuan khusus dalam penelitian ini bila dirumuskan adalah sebagai berikut: 1)
Sebagai kontribusi akademis dengan mengembangkan Model principal agent dalam proses penyusunan anggaran daerah (desa) dengan mengurangi adanya penciptaan Budgetary Slack
2)
Meningkatkan kemampuan aparatur terutama sekretaris desa dalam mengelola ADD, dan menemukan sasaran program secara tepat dan efektif sesuai dengan kebutuhan masyrakat desa sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja aparatur desa.
3)
Mengembangkan profesionalisme pejabat daerah dalam mengelola ADD dengan tepat. Dalam pengertian pemanfaatan dana alokasi desa terarah pada sasaran program-program yang nyata dan tepat sesuai dengan kebutuhan dan dapat memecahkan persoalan-persoalan spesifik pada masing-masing desa.
1.3. Urgensi dan Keutamaan Penelitian Upaya untuk meningkatkan “Capacity Building System” dan
struktur
kelembagaan desa, dibutuhkan kemampuan sumber daya manusia yang dapat memanage desa secara aspiratif, transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam hal ini aparat desa menjadi tuntutan
mutlak.
Diharapkan
dengan
kemampuan
yang
sudah
ada
dan
dikembangakan dengan model pelatihan dapat memperbesar kapasitas dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja aparat desa. Upaya ini penting hanya dengan sumber daya manusia kapabel dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan desa.
5
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dalam wujud pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab telah menjadikan Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka perlu adanya penataan ulang berbagai elemen dalam sistem penyelengggaraan pemerintahan dalam rangka manifestasi pelaksanaan otonomi daerah. Karena pada dasarnya tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Otonomi daerah telah berjalan sejak januari tahun 2001, dalam beberapa hal otonomi daerah yang dilegalkan dengan UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan telah menjadi tonggak dalam pemerintahan negeri ini. Dibeberapa wilayah otonom di negeri ini, memang otonomi telah melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta yang paling penting mampu memberikan kesejahteraan
pada rakyatnya melalui segala bentuk pelayana public dan
terpenuhinya hak-hak dasar yang baik. Namun di beberapa daerah otonom tidak demikian terjadi.
Kemudian lahir UU No. 32 tahun 2004 Dan UU no 33 tahun 2004, sebagai revisi terhadap UU yang telah ada. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan yang ada dalam UU tersebut, selain langkah fantastik pilkada langsung yang mengikuti trend pilpres langsung adalah adanya wacana baru yang digunakan dalam paradigma pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan yakni UU No. 32 tahun 2004 ini jika dikaji secara mendalam
telah memberikan peluang
bagi
pemberdayaan masyarakat desa dengan telah mendudukan fungsi desa sebagai komponen pelaksanaan pembangunan yang sangat penting.
6
Dalam pasal 215 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota dan atau pihak ketiga mengikut sertakan pemerintah desa dan Badan permusyawaratan desa (BPD). Kemudian adanya PP 72 tahun 2005 tentang desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar oleh Pemerintah Kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD ) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mestinya terjabarkan dalam peraturan
desa ( Perdes ). Tentang anggaran pendapatan dan
belanja
desa
(APBDesa). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil kekayaan dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah.
Selanjutnya bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% ( sepuluh persen) untuk desa dan dari retribusi kabupaten/ kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota/kabupaten dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Adanya regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa( BUMDes) sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong , diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri dan berdikari. Apalagi bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui alokasi dana desa(ADD) harus menjadikan desa benar-benar sejahtera. Namun semua ini masih dalam angan-angan, untuk persolan
7
ADD saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun dibeberapa daerah masih belum melakukanya.
Untuk itu seharusnya proses transformasi kearah pemberdayaan desa terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju otonomi desa yang ’berdaulat’., sembari terus menata capacity building system dan struktur kelembagaan desa agar terbina sumber daya manusia yang mampu memanage desa dengan aspiratif, transparan dan akuntabel. Dan ini juga menjadi kewajiban aparat pemkab yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur desa meningkat. Persoalannya adalah apakah kewajiban mengalokasikan ADD sudah dilaksanakan, kalaupun sudah, bagaimana implementasinya, bagaimana tingkat efektifitas pengelolaan ADD oleh pemerintahan desa. Apakah ADD mempunyai sasaran yang tepat terutama pada program-program pembangunan desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, dan sejauhmana kemampuan aparat desa/ kepala desa dalam mengelola ADD secara efektif sehingga tidak terjadi Budgeting Slack.
Dalam hal ini dibutuhkan suatu pemahaman yang sama seluruh perangkat desa sebagai ujung tombak pembangunan desa. Kesiapan dalam rangka pemanfaatan ADD secara optimal serta kesiapan untuk memahami persoalan-persoalan desa. Sehingga ADD terarah pada sasaran program-program yang tepat. Sering kita jumpai penggunaan dana alokasi tidak tepat sasaran sehingga dapat meinbulkan pemborosan sumber-sumber pembangunan desa. Oleh karenanya Sudah menjadi kegiatan yang
mendesak dalam peningkatan pemberdayaan desa dengan
memberikan kemampuan aparat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
8
BAB II STUDI PUSTAKA
2.1 Model Principal Agent
Dalam pembangunan berkualitas manusia diperlukan suatu persyaratan mutlak yaitu adanya partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kapasitasnya. Partisipasi masyarakat ini akan memungkinkan mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah mereka. Adanya partisipasi masyarakat juga akan memungkinkan masuknya informasi yang berguna bagi penentuan strategi pembangunan yang lebih tepat. Untuk itu diperlukan strategi tepat dalam rangka mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Model Principal Agent merupakan alternatif pilihan strategi kebijakan yang tepat sebagai salah satu model yang bertujuan menciptakan akuntabilitas publik secara partisipatif dalam perumusan kebijakan alokasi dana desa kaitannya dengan pengembangan pembangunan di daerah.
Proses transformasi ke arah pemberdayaan desa terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju otonomi desa yang ber’daulat’, sembari terus menata capacity building system dan struktur kelembagaan desa agar terbina SDM yang mampu memanage desa dengan aspiratif, transparan dan akuntabel. Dan ini juga menjadi kewajiban aparat Pemerintah Daerah yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur desa meningkat. Sehingga tidak selalu dianggap tidak mampu.
9
Pemerintah Daerah harus mempunyai goodwill dan political will untuk mengimplementasikan peraturan yang telah ada ke dalam bentuk praksis. Seperti kewajiban untuk mengalokasikan ADD yang sesungguhnya memang menjadi hak desa. Disamping itu pemerintah kabupaten bersedia untuk membuat peraturan daerahnya, atau tetap dengan paradigma lama yaitu takut berkurang jatahnya jika ADD di perdakan, atau masih selalu menganggap desa belum mampu mengelola pemerintahan termasuk keuangannya. Demikian pula dengan DPRDnya harus bersedia atau berniat baik untuk mengagendakan dan membuat perda tentang ADD.
2.2. Alokasi Dana Desa (ADD) dan Otonomi Daerah Bergulirnya otonomi daerah telah berjalan sejak Januari tahun 2001, dalam beberapa hal, otonomi daerah yang dilegalkan dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahnya dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangannya, telah menjadi tonggak baru dalam tradisi pemerintahan di negeri ini. Di beberapa wilayah otonom di negeri ini, memang otonomi telah melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta yang paling penting mampu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya melalui segala bentuk pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak dasar yang baik. Namun lebih banyak diberbagai daerah otonom, ternyata peluang otonomi daerah telah melahirkan rezim totaliterian dan korup gaya baru, melahirkan raja-raja kecil di daerah dan hanya mengalihkan korupsi di tingkat pusat, sekarang berada di depan mata rakyat yakni didaerahnya sendiri.
Kemudian lahirlah UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 sebagai revisi terhadap UU yang telah ada. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan yang ada dalam UU tersebut, selain langkah fantastik Pilkada langsung yang mengikuti trend Pilpres langsung adalah adanya wacana baru
10
yang digunakan dalam paradigma pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan yakni UU No.32 Tahun 2004 ini jika dikaji secara mendalam telah memberikan peluang bagi pemberdayaan masyarakat desa dengan telah mendudukan fungsi desa sebagai komponen pelaksana pembangunan yang sangat penting dan niscaya. Pasal 215 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.
Adanya PP No.72 tahun 2005 tentang Desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar oleh Pemkab untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Selanjutnya bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD).
11
Pendapatan bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah
Provinsi,
dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
dalam
rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Selanjutnya regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong, diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri dan berdikari.
Bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui Alokasi Dana Desa (ADD) harusnya menjadikan desa benar-benar sejahtera. Namun memang ini semua masih dalam angan-angan, untuk persoalan ADD saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun lebih banyak daerah yang belum melakukannya. Untuk itu, seharusnya proses transformasi ke arah pemberdayaan desa terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju otonomi desa yang berdaulat, sembari terus menata, capacity building system dan struktur kelembagaan desa agar terbina SDM yang mampu memanage desa dengan aspiratif, transparan dan akuntabel. Dan...ini juga menjadi kewajiban aparat pemkab yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur desa meningkat. Sehingga tidak selalu dianggap tidak mampu.
Seperti kewajiban untuk mengalokasikan ADD yang sesungguhnya memang menjadi hak desa, pemerintah daerah diharapkan bersedia untuk membuat peraturan daerahnya, atau tetap dengan paradigma lama dan basi yakni takut berkurang jatahnya jika ADD di perdakan, atau masih selalu menganggap desa belum mampu mengelola pemerintahannya termasuk keuangannya. Jika pemerintah daerah termasuk DPRDnya masih tidak bersedia atau tidak berniat baik untuk mengagendakan dan membuat perda tentang ADD
12
ini, maka desa berhak menggugat dan melakukan pelaporan, karena ini tindak kejahatan dan melanggar peraturan yang lebih tinggi yakni UU No.32 tahun 2004 dan PP N0.72 tahun 2005.
2.3. Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan
Daerah.
Pemerintahan
Daerah
adalah
Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut Asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesaturan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun gambaran pelaksanaan Kepemimpinan Pemerintahan Desa dalam Otonomi Daerah dapat dilihat dalam gambar-1 di bawah ini: Gambar-1: Kepemimpinan Pemerintahan Daerah dalam Otonomi Daerah
OTONOMI DAERAH (UU 32/2004)
Pembangunan Partisipatif
Pergeseran Fungsi Lahan DESA
Program Pemberdayaan
Budaya Multikultur Pemerintahan Desa
Kepemimpinan Abad 21 (Superleadership)
Kepemimpinan Abad 21 (Superleadership) KEPEMIMPINAN KEPALA DESA
Empowering Leader
Pilihan Gaya Kepemimpinan
Self Leadership
11
Sumber:Data Primer diolah, 2013
13
2.5. Pemerintah Desa Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa, adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa. Sedangkan Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.6. Budgetary Slack Dalam organisasi pemerintah daerah, proses penyusunan dan penetapan APBD merupakan proses politik yang melibatkan berbagai pihak baik dari eksekutif, legislative maupun masyarakat, LSM atau tokoh-tokoh masyarakat. Masing-masing pihak mempunyai kepentingan tertentu baik tersembunyi maupun terang-terangan yang satu dengan yang lain interaksinya bisa jadi saling berbenturan. Sumber munculnya pertentangan kepentingan bias disebabkan oleh adanya kepentingan untuk memperoleh keuntungan materiil lebih besar.
Dalam proses penetapan kebijakan anggaran seringkali menjadi pusat arena pergumulan politik, tarik menarik kepentingan dan perebutan,lewat proses negosisasi atau loby-loby politik tertentu yang berliku-liku melibatkan banyak policy stakeholder untuk memenuhi tercapainya kesepakatan politis. Untuk memahami kebijakan anggaran (budgeting policy), dapat ditelusuri secara cermat, perilaku, motivasi para aktornya sehingga diperoleh jawaban siapa yang
14
memperoleh apa, berapa banyak, mengapa dan dengan cara bagaimana usulan anggaran yang tidak sebenarnya, sengaja diciptakan oleh pejabat daerah (budgetary slack) untuk mengamankan motive personal yang tidak sama.
2.7. Implementasi Kebijakan 2.7.1. Kebijakan. Suatu kebijakan pemerintah dibuat demi kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara menyeluruh. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pemerintah, hal ini menyebabkan
proses pembuatnnya tidak mudah dan sederhana.
Menurut konsep demokrasi, kebijakan pemerintah tidak hanya ide atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik juga mempunyai porsi yang seimbang dengan Pemerintah untuk mewarnai dan tercermin dengan kebijakan yang dibuat.
Pembuat kebijakan
publik yaitu para pejabat publik, termasuk para pejabat senior pemerintah (publik bureucrats), mempunyai tugas memikirkan dan memberikan pelayanan demi kebijakan publik (Publik good). Menurut Fisterbusch sebagai dikutib oleh Abdul Wahab (1997: 47) membagi kebijakan publik itu dalam 5 unsur:
keamanan (security),
hukum dan ketertiban umum (law and order),
keadilan (justice),
kebebasan (liberty), dan
kesejahteraan (welfare).
Administrator publik mempunyai peranan dan kebijkan yang khas, yaitu sebagai suatu peran publik dan kewajiban publik ( a publik role and publik obligation). Sejauh mana administrator publik
15
menyadari hal tersebut dan menjalankan fungsi
pengabdian pada
kepentingan publik, merupakan kunci dari suatu kebijakan
publik.
Dalam proses pembuatan kebijakan, keterlibatan segenap pembuat kebijakan sangat menentukan dalam setiap langkah dalam setiap proses sejak dari awal perumusan masalah sampai dengan munculnya kebijakan. Sebagai suatu kebijakan publik, mempunyai tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dengan melalui pelayanan publik yang lebih memuaskan. Para pembuat kebijakan idealnya memperhatikan semua dampak (positif dan negatif) akibat dari tindakan mereka, bukan hanya bagi warga unit pendukungnya, tetapi juga warga lain, generasi mendatang.
Di dalam kenyataan perumusan kebijakan (police formulation) di Indonesia pada umumnya, menyebabkan kondisi dimana keputusan kebijakan publik masih bersifat fungsional dan hanya menyandarkan diri pada pertimbangan efisiensi, karena disuatu sisi masih kuat kebutuhan memperkuat birokrasi publik untuk mengoperasikan pembangunan dan disisi lain masih lemahnya posisi menawar (bargaining position) masyarakat. Akibatnya, keputusan-keputusan kebijkan publik dalam memilih
alternatif
tidak
jarang
pada
birokrat
mengabaikan
pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut nilai-nilai mendasar dan hanya membatasi diri pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat instrumental.
Menurut Islamy, (1984 : 12) kebanyakan warga negara menaruh banyak harapan pada administrator publiknya, yaitu mereka selalu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada publik. Bagaimana administrator publik dapat menjalakan peranannya dalam pelayanan
16
publik, sehingga dapat dikatakan sebagai pelayanan yang profesional merupakan tantangan bagi para pejabat pemerintah.
Anderson seperti dikutip Islamy, (1984 : 19) mengatakan “Kebijakan negara adalah kebijakan-kebijakan yang di kembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah“, menurut Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah:
Bahwa kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.
Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah ,jadi bukan merupakan apa yang dimaksud pemerintah melakukan atau menyatakan sesuatu.
Bahwa kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk melakukan sesuatu.
Bahwa tindakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau dilandasi oleh peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa(otoritatif).
Anggota badan legislatif, eksekutif dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan-keputusan publik dapat menggunakan hasil-hasil analisis kebijakan untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan. Menurut Dunn (1998 : 22 ), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivis intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis
17
tersebut
dijelaskan
sebagai
proses
pembuatan
kebijakan
dan
divisualisasikan sebagai rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut susunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi kebijkan dan penilaian kebijkan.
Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pasa satu, beberapa atau terhadap seluruh tahap dari proses pembuatan kebijkan tergantung pada tipe masalah yang dihadapi. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam suatu atau lebih tahap pembuatan kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang lain dan tahap terakhir (penilai kebijakan dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi pruduser dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, yang secara langsung dapat mempengaruhi terhadap asumsi, keputusan, dan aksi dalam suatu tahap selanjutnya secara tidak langsung mempengaruhi hasil tahap-tahap berikutnya (Dunn 1998 : 23).
2.7.2. Implemetasi Kebijakan. Implementasi kebijakan sesungguhnya bukan hanya sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran dari kegiatan-kegiatan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijaksanaan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijaksanaan bahkan Abdul
18
Wahab, S (1997:32) dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan kebijaksanaan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksaan. Dalam melihat proses implementasi kebijakan itu dapt dilihat dari 3 sudut pandang (Abdul Wahab, S, 1997 : 63-64) yakni : 1. Pemrakarsa kebijaksanaan/pembuat kebijaksanaan 2. Pejabat-pejabat pelaksana di lapangan 3. Aktor-aktor perorangan diluar badan-badan pemeritahan kepada siapa program ini ditunjukkan, yakni kelompok sasaran (Target Group).
Dalam kaitan ini apabila fokus implementasi kebijakan mencakup usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atasan atau lembagalembaga di tingkat pusat, maka perhatian utama dari pusat ini biasanya berkenaan dengan masalah pertama, sejauh manakah tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran resmi kebijaksanaan telah tercapai, dan kedua, apakah alasan yang menyebabkan tujuan/sasaran tertentu tercapai atau tidak.
Sedangkan dari sudut pandang pejabat dilapangan, maka implementasi akan berfokus pada tindakan atau perilaku para pejabat dan instansi-instansi di lapangan demi berhasilnya suatu kebijaksaan, adapun kelompok sasaran sebagai penerima hasil dari suatu kebijakan akan lebih memusatkan perhatiannya pada permasalahan apakah kebijakan yang telah dilakukan/diberikan dampak positif dalam jangka panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk terhadap persepsi kelompok sasaran ini amat penting artinya bagi pejabat sebagai umpan balik (feed back) terhadap asumsi-asumsi perilaku yang mendasari penyusunan program.
19
Pembedaan
antara
kebijaksanaan
(policy)
dan
program
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan pada hasil akhirnya. Sekalipun demikian, dalam prakteknya suatu upaya untuk membedakan secara tegas antara kebijaksaan dan program itu sukar untuk dilaksanakan secara konsisten. Hal ini terutama karena adanya berbagai macam tinkatan penggunaan istilah kebijaksanaan itu sendiri. Disamping itu, karena implementasi kebijakan itu sedikit banyak tergantung pada hasil dari program, maka sukar sekali membedakan, apalagi memisahkan, hasil akhir kebijaksanaan dan program-program yang dirancang untuk mencapai atau mewujudkan hasil akhir tersebut, sehingga implementasi kebijaksanaan dipandang sebagai suatu proses tindakan administrasi politik.
Proses implementasi kebijaksanaan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan saran-saran yang semula bersifat umum telah diperinci, program-program aksi telah dirancang, dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Hal tersebut merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijaksanaan negara apaapun. Tanpa adanya syaratsyarat tersebut, maka kebijaksanaan negara, entah itu di bidang kesehatan masyarakat, perumahan rakyat, pendidikan, pembangunan pedesaan terpadu boleh dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik (Hogwood dan Gunn, dalam Abdul Wahab, 1990:127). Dengan menggunakan yang disusun oleh Grindle (dalam Abdul Wahab, S 1997: 127), seperti gambar-2 berikut ini :
20
Gambar-2: Implementasi Sebagai Politik Dan Adminitrasi
Tujuan-tujuan Kebijaksanaan Tujuan Tercapai
Kegiatan-Kgiatan Implementasi Dipengaruhi 0leh:
Program-program dan proyek-proyek tertentu dirancang dan dibiayai
Program-program Disampaikan sesuai Dengan rancangan
a. Konteks Kebijaksanaan 1. Pihak yang pentingnya dipengaruhi 2. Jenis manfaat yang biasa diperoleh 3. Jangkauan perubahan yang diharpkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksanaan-pelaksanaan program 6. Sumber-sumber yang dapat disediakan
Hasil akhir a. Dampaknya terhadap masyarakat perorangan dan kelompok2
b. Tingkat perubahan dan penerimaannya
b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan Implementasi dan strategi-strategi dari para aktor yang terlibat 2. Ciri-ciri kelembagaan dan regium 3. Konsistensi dan daya tanggap Pengukuran keberhasilan
Sumber : Grindle (dalam Abdul Wahab, S : 2008)
Lebih khusus lagi, Abdul Wahab (1990:127-131) menjelaskan hal-hal yang
dilihat dari sudut proses implementasi akan mempengaruhi lancar
tidaknya implementasi suatu kebijaksaan. Hal-hal yang dimaksud tersebut adalah :
21
1) Keputusan-keputusan yang telah dibuat pada setiap tahap rancangan atau perumusan berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya implementasi suatu kebijaksanaan. 2) Proses implementasi kebijaksanaan sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara dengan mana tujuan-tujuan dirumuskan. 3) Macam kebijaksanaan yang dibuat akan membawa dampak trtentu terhadap macam 4) Program-program yang dimaksudkan untuk menyediakan manfaat-manfaat kolektif yang dapat membangkitkan tuntutan-tuntutan bersama (bersifat kategoris), dan program-program yang dimaksdukan untuk menyediakan manfaat-manfaat
yang
dapat
dibagi
habis,
yang
kemungkinan
lebih
membangkitkan jenis tuntutan yang sifatnya partikularistik pada tahap implementasinya. 5) Perubahan perilaku yang dikehendaki pada pihak yang menerima manfaat dari program tertentu adalah merupakan bentuk lain bagaimana konten/isi kebijaksanaan mempengaruhi implementasinya. 6) Program-program yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran jangka panjang mungkin akan jauh lebih sukar untuk diimplementasikan bila dibandingkan dengan program-program yang dirancang untuk memberikan / membuahkan manfaat-manfaat segera pada pihak klompok-kelompok sasaran. 7) Konten/isi dari pelbagai kebijaksanaan kerapkali juga menentukan letak/posisi implementasinya. 8) Semakin terbesar posisi implementasi, baik secara geografis maupun secara organisatoris, maka semakin sulit pula tugas-tugas implementasi suatu program, karena makin banyak jumlah satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
22
9) Keputusan-keputusan yang dibuat pada saat perumusan kebijaksanaan dapat pula menunjukkan siapa yang ditugasi untuk mengimplemntasikan berbagai program yang ada, dan keputusan-keputusan yang demikian ini dapat mempengaruhi bagaimana seyogyanya kebijaksanaan itu diwujudkan. 10) 10.Bentuk tujuan-tujuan kebijaksanaan itu dirumuskan,juga membawa dampak terhadap implementasinya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa isi program dan isi kebijaksanaan negara berpengaruh terhadap hasil akhir implementasi yang dikehendaki. Isi program atau kebiaksanaan menjadi faktor yang berpengaruh karena dampaknya yang nyata atau yang petensial terhadap ligkungan sosial, politik dan ekonmi tertentu. Kiranya proses implementasi kebijakan negara beserta cara mengevaluasikan akan dapat dipahami denga mudah dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan oleh Grindle tersebut dengan jelas bahwa proses implemntasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran semula yang bersifat umum telah diperinci. Program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Hal ini merupakan syarat-syarat pokok bagi mplementasi kebijaksanaan negara apapun tanpa syarat-syarat tersebut, maka kebijaksanaan negara dalam pembangunn boleh dikatakan sekedar restorika politik dan atau slogan politik (Abdul Wahab, S. 1997:14).
Secara teoritis, pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijaksanaan dapat digantikan tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan programprogram kemudian diaktifkan, sehingga apabila dalam implementasi suatu kegiatan terjadi permasalahan sehingga kebijaksanaan tidak dapat dilaksanakan atau terjadi kekeliruan
dapat
segera
untuk
disempurnakan,
disinilah
peluang
untuk
memperbaiki, mengoreksi suatu kebijaksanaan dapat dilakukan dengan segra.
23
Dengan demikian dilihat dari sudut proses implementasi, adalah suatu kenyataan bahwa keputusan-keputusan yang telah dibuat pada tahap rancangan atau perumusan berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya implementasi suatu kebijakan, termasuk kebijakan pembinaan terhadap aparatur kelurahan dalam ruang lingkup pembinaan PegawaiNegeri Sipil (PNS) yang termuat dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang dijabarkan lebih rinci dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 101 Tahun 2000.
2.8. Akuntabilitas Birokrasi Retorika pejabat-pejabat yang dipilih (elected officials) banyak terfokus pada peningkatan akuntabilitas. Perhatian manajer publik banyak difokuskan pada akuntabilitas yang melekat pada jabatan-jabatan sektor publik. Akuntabilitas dalam artian yang fundamental, mengacu kepada kemampuan menjawab kepada pihak lain mengenai kinerja yang diharapkan.Terdapat banyak tantangan terkait dengan akuntabilitas, terutama penetapan ekspektasi, penilaian kinerja, dayatanggap, penilaian kesalahan, penilaian tanggung jawab, dan pengelolaan dalam kondisi sistem akuntabilitas. Akuntabilitas dibedakan menjadi:
1)
Akuntabilitas hirarkhis (hierarchical accountability); yaitu hubungan akuntabilitas hirarkhis didasarkan pada supervisi yang ketat terhadap individu, sehingga subordinates hanya memiliki otonomi yang rendah, wujudnya ialah banyaknya aturan, pengarahan dan supervisi. Sistem komando dalam kehidupan militer, merupakan contoh klasik dari hierarchical accountability.
2) Akuntabilitas hukum (legal accountability); yaitu hubungan akuntabilitas hukum (yuridis) meliputi keharusan mengikuti semua aturan hukum secara konsekuen. Penilaian kinerja didasarkan pada ketaatan penegakan hukum
24
yang berlaku. Benar atau tidaknya penilaian individu, diukur berdasarkan tingkat
kepatuhannya
pada
aturan-aturan
yang
telah
ditentukan,
subordinates hanya mempunyai otonomi yang rendah/sedikit
3) Akuntabilitas profesional (Profesional accountability, dirumuskan dalam susunan kerja yang memberikan tingkat otonomi yang tinggi kepada individu. Pembuatan keputusan didasarkan pada norma-norma internal yang cocok dengan kehidupan praktek. Norma-norma tersebut dapat bersumber
dari
sosialisasi
profesional,
pendapat
pribadi,
pelatihan
organisasi, atau pengalaman kerja. Pekerja mempunyai keleluasaan dalam memberikan tanggapan manajerial yang sesuai dan pengalaman individu dalam organisasi. 4) Akuntabilitas Politik (Politic Accountability), yaitu hubungan akuntabilitas politik memberi keleluasaan kepada pimpinan untuk menentukan pilihan dalam memberikan perhatian kepada stakeholders eksternal yang utama, seperti pejabat-terpilih, kelompok pelanggan, masyarakat umum, dan sebagainya.
Dalam akuntabilitas pemerintah daerah, nilai dan ekspektasi perilaku yang diharapkan adalah: 1) Pimpinan yang bekerja dalam hubungan akuntabilitas publik, diharapkan dapat mengantisipasi keinginan-keinginan stakeholders utama. 2) Mereka mempunyai keleluasaan untuk memutuskan apa dan bagaimana merespon kepentingan stakeholders utama. 3) Penekanan pada orientasi pelayanan kepada pelanggan dan memberikan tanggapan
atas
kebutuhan
pelanggan,
mencerminkan
hubungan
akuntabilitas politik.
25
4) Perbedaan nilai dan ekspektasi perilaku, ditekankan oleh keragaman hubungan akuntabilitas
Dalam hal ini, pengawasan masyarakat merupakan tiang penyangga pemerintah daerah. Prinsip ini diberlakukan pada semua daerah yang meletakkan puncak akuntabilitas pemerintah kepada rakyat yang telah memilih mereka pada saat Pemilu. Akuntabilitas semakin dituntut, dengan kenyataan bahwa publik semakin kritis terhadap tarif dan kualitas pelayanan yang telah diberikan. Dengan adanya akuntabilitas baik itu dengan diketahuinya program, target dan anggaran dari pemberian kebijakan, paling tidak pihak terkait dapat turut mengontrol proses penyusunan anggaran sehingga pada satu waktu dapat dipahami mengapa diperlukan peningkatan anggaran dan lain sebagainya. Dengan dilaksanakannya penyusunan anggaran yang baik oleh lembaga yang akuntabel, maka publik akan
percaya dan ikut mendorong keberhasilan
pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Dalam proses penyelenggaraan perumusan anggaran yang baik adalah dapat dipertanggungjawabkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku. Pertanggungjawaban adalah perwujudan kewajiban pemerintah daerah untuk mengenai
pencapaian
mempertanggungjawabkan kepada
tujuan
yang
masyarakat
telah ditetapkan, melalui mekanisme
pertanggungjawaban secara periodik.
Lebih jelasnya gambar-3 di bawah, menjelaskan tentang alur proses kebijakan pengusulan anggaran desa di Pemerintah Daerah:
26
Gambar-3: ALur Proses Pengusulan Anggaran Desa di PemerintahDaerah
Sumber: data primer yang diolah, 2010 Arah pemberdayaan masyarakat desa yang paling efektif dan lebih cepat untuk mencapai tujuan adalah dengan melibatkan masyarakat dan unsur pemerintahan yang memang “pro poor” dengan kebijakan pembangunan yang lebih reaktif memberikan prioritas kebutuhan masyarakat desa dalam alokasi anggaran. Sejauh ini, sejak amandemen UU No.22 Tahun 1999 kepada UU No.32 Tahun 2004, hampir tidak ada desa yang bisa membuat dan merealisasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) untuk meningkatkan dan
27
memajukan ekonomi desa. Sementara dana Bangdes yang jumlahnya cukup sedikit dan selalu dipoting oleh oknum pemerintahan kecamatan dan kabupaten itu, tidak mampu untuk mendongkrak perekonomian dan keberdayaan yang diinginkan oleh warga. Awal tahun 2006 lahirlah kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) dengan jumlah dana yang cukup besar. Jika tidak didorong dengan kebijakan
yang
memberdayakan,
baik
oleh
pemerintah
desa maupun
masyarakat, maka ADD menjadi kurang efektif dan tidak memberdayakan masyarakat desa, melainkan bahkan akan menjadi permasalahan tersendiri bagi kepala desa yang ikut mengambil bagian dana ADD tersebut. Tabel-1: Model Principal Agent Dalam penyusunan ADD Tujuan Kebijaksanaan Rumusan tujuan ADD - program aksi & proyek yg di rancang & di danai.
Implementasi Kebijakan
Hasil Akhir
Pengukuran Keberhasilan
Kegiatan kegiatan implementasi ADD dipengaruhi oleh :
Dampak terhadap masyarakat :
Mencocokkan rumusan tujuan ADD tentang program dan proyek dengan kegiatan kegiatan implementasi ADD :
- perorangan, kelompok secara kualitatif maupun kuantitatif
- capaian kualitatif & kuantitatif
-Pihak-pihak yg kepentingannya dipengaruhi oleh ADD. - Jenis manfaat dari ADD. -Jangkauan perubahan yag diharapkan dr ADD. -Letak pengambilan keputusan dr kebijakan ADD. -Pelaksana pelaksana prgram ADD. -Ketersediaan sumbersumber yang menunjang -Kekuasaan, kepentingan, & strategi dr para aktor yg terlibat dlm ADD. -karakteristik kelembagaan & regim konsistensi & daya tanggap.
-temuan tingkat keberhasilan program & proyek.
Sumber : dimodifikasi dari temuan awal penelitian, 2010
28
2.4. Pentingnya Model Principle Agen dalam penyusunan anggaran desa (ADD) Otonomi daerah telah berjalan sejak januari tahun 2001, dalam beberapa hal otonomi darah yang dilegalkan dengan UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan telah menjadi tonggak dalam pemerintahan negeri ini. Dibeberapa wilayah otonom di negeri ini, memang otonomi telah melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta yang paling penting mampu memberikan kesejahteraan
pada rakyatnya melalui segala bentuk pelayana
public dan terpenuhinya hak-hak dasar yang baik. Namun di beberapa daerah otonom tidak demikian terjadi.
Adanya UU No. 32 tahun 2004 Dan UU no 33 tahun 2004, adalh sebagai revisi terhadap UU yang telah ada. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan yang ada dalam UU tersebut. Jika dikaji secara mendalam telah memberikan peluang bagi pemberdayaan masyarakat desa dengan telah mendudukan fungsi desa sebagai komponen pelaksanaan pembangunan yang sangat penting. Dalam pasal 215 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota dan atau
pihak
ketiga
mengikut
sertakan
pemerintah
desa
dan
Badan
permusyawaratan desa (BPD). Kemudian adanya PP 72 tahun 2005 tentang desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar oleh pemkab untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mestinya terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes). Tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBD). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan
29
asli desa seperti hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil kekayaan dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Selanjutnya bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 % (sepuluh persen) untuk desa dan dari retribusi kabupaten/ kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota
untuk desa paling sedikit
10%, yang
pembagiannya setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD ). Pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota/kabupaten dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Demikian pula bahwa regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa( BUMDes)
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
potensi
desa.
Artinya
desa
sesungguhnya telah didorong , diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri dan berdikari. Apalagi bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui alokasi dana desa(ADD) harus menjadikan desa benar-benar sejahtera. Namun semua ini masih dalam angan-angan, untuk persolan ADD saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun dibeberapa daerah masih belum melakukanya.
Untuk itu seharusnya proses transformasi kearah pemberdayaan desa terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju otonomi desa yang ’berdaulat’., sembari terus menata ’capacity building system’ dan ’struktur kelembagaan desa’ agar terbina sumber daya manusia yang mampu memanage desa dengan aspiratif, transparan dan akuntabel (Model Principle Agent).
30
Menjadi kewajiban aparat pemerintah daerah yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur desa meningkat. Sehingga dibutuhkan suatu pemahaman yang sama seluruh perangkat desa sebagai ujung tombak pembangunan desa. Kesiapan dalam rangka pemanfaatan ADD secara optimal serta kesiapan untuk memahami persoalan-persoalan desa. Sehingga ADD terarah pada sasaran program-program yang tepat. Sering kita jumpai penggunaan dana alokasi tidak tepat sasaran sehingga dapat meinbulkan pemborosan sumber-sumber pembangunan desa. Oleh karenanya Sudah menjadi kegiatan yang mendesak dalam peningkatan pemberdayaan desa dengan memberikan kemampuan aparat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
31
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Kerangka Konseptual Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam hal ini aparat desa
menjadi tuntutan mutlak. Diharapkan dengan kemampuan yang sudah ada dan dikembangakan dengan model pelatihan dapat memperbesar kapasitas dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja aparat desa. Upaya ini penting hanya dengan sumber daya manusia kapabel dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan desa. Yang perlu ditekankan disini adalah tanpa dukungan dana yang memadai, proses pembangunan desa akan lemah, sehingga desa akan terus terpinggirkan. Padahal, sebagian besar warga berada di perdesaan. Berpijak pada penelitianpenelitian tentang pelayanan publik terdahulu dapat disimpulkan bahwa 1) pejabat daerah (aparat desa) dalam menyusun anggaran cenderung menciptakan budgetary slack; 2) tekanan dari atasan, pengawasan dan evaluasi dalam menggunakan budget mendorong keterlibatan pejabat daerah (perangkat desa) dalam menyusun anggaran cenderung menciptakan budgetary slack; 3) Pemerintah Daerah mempunyai goodwill dan political will untuk mengimplementasikan peraturan yang telah ada ke dalam bentuk praksis.
Dengan demikian kerangka konsep penelitian ditujukan untuk merancang konstruksi birokrasi sebagai pejanbat publik yang berposisi sebagai pengabdi rakyat. Konstalasi demikian secara yuridis diharapkan akan menciptakan hubungan hukum yang masuk pada wilayah hubungan-hubungan dinas publik. Pada tataran demikian pejabat publik terkualifikasi dalam organisasi birokrasi yang harus berkiprah secara fungsional yang tugasnya berorientasi pada aspek operasional perumusan kebijakan. Kehendak kolektif untuk membangun akuntabilitas di tingkat pemerintah lokal, mengimplementasikan
prinsip-prinsip
good
governance
dengan
tingkat
32
profesionalitas tinggi tentunya mutlak diformulasikan dalam bentuk aturan atau pedoman aturan pelaksana lebih lanjut (public policy). Kebijakan (public policy) tentang perumusan anggaran desa diupayakan semaksimal mungkin mendasarkan pada pemikiran dan argumentasi, demi terbangunnya akuntabilitas publik yang berwawasan kerakyatan serta keperintahan yang baik (good local governance) untuk pejabat publik guna menciptakan masyarakt sejahtera, adil dan makmur, secara sosial, ekonomi, politik dan budaya serta pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Hal tersebut akan tercapai melalui peningkatan akuntabilitas publik yang diatur dalam kebijakan daerah.
Penyelenggaraan publik oleh aparatur pemerintah daerah masih terlihat banyak kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Dalam perumusan dan implementasi kebijakan masih terdapat banyak keluhan masyarakat yang disampaikan sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah daerah. Mengingat salah satu fungsi pemerintah daerah adalah melayani masyarakat maka pemerintah daerah perlu terus berupaya meningkatkan kinerja dan akuntabilitas publik (Yudoyono, Bambang, 2003). Bila kekuatan birokrasi besar, akan memungkinkan aparat birokrasi dapat dengan leluasa mengendalikan lingkungan luar birokrasi, sehingga dapat mengokohkan kedudukannya dalam tatanan organisasi pemerintahan negara. Oleh karena itu perlu adanya alat pengendali bagi aparat birokrasi dalam menggunakan kekuasaannya. Yang tidak saja bersifat normatif legalistis namun juga dapat berupa antara lain pembudayaan disiplin kerja dan pengawasan melekat, fungsionalisasi unit-unit kerja dan revitalisasi pegawai dengan memberikan motivasi kerja yang memadai, pembenahan etika kerja termasuk disini penerapan pengadilan tata usaha negara secara benar dan profesional. (Dwiyanto dkk, 2005).
33
Selanjutnya bagi para penyelenggara pemerintah daerah yang berkehendak menyatukan tindakan dan kebijaksanaan dengan tatanan nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat maka aparat birokrasi harus sensitif, responsif dan akuntabel. Sensitivitas dan responsifitas pada dasarnya merupakan perwujudan tanggung jawab publik dan akuntabilitas publik. Dengan demikian sifat kekuasaan aparat birokrasi sebenarnya bukan tanpa kendali (out of control) tetapi tetap dibatasi oleh perangkat kendali luar (masyarakat) dan sarana kendali dari dalam (pedoman standar pelayanan publik). Berdasarkan pemikiran yang demikian maka dalam penyelenggaraan kebijakan alokasi anggaran desa, terdapat beberapa aspek yang sangat menonjol yaitu: 1) setiap pejabat pada masing-masing tingkat manajerial harus memilki tanggung jawab yang besar; 2) setiap aparat harus mempunyai sikap responsif
terhadap segala permasalahan yang terjadi di
masyarakat khususnya kelompok masyarakat yang menginginkan prioritas; 3) setiap aparatur harus mempunyai komitmen yang besar pada nilai dan standar moralitas yang tinggi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan.(Perda Prop Jawa Timur No 11 Tahun 2005).
3.2. Jenis Penelitian Jenis penlitian adalah diskripstif kualitatif , dalam hal ini menggunakan metode tutorial dan pelatihan simulasi, disertai dengan bahan-bahan latihan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan dan ketrampilan peserta. Tim (personal) pemberi materi untuk program ini akan dipilih dari orang yang benarbenar memahami potensi dan masalah yang terjadi di pedesaaan. Sedangkan recruitment anggota tim didasarkan seleksi atas dasar pemahaman, penalaran dan dapat berkomunikasi dengan baik untuk melaksanakan tutorial dan pelatihan yang dikait dengan program dimaksud.
34
3.3. Tahapan/Pelaksanaan Kegiatan. Pelaksanaan kegiatan dimulai dengan melakukan penjelasan atas dasar pendekatan ke-sistem-an, sub-sistem , dan pada akhirnya materi pokok tentang Capacity Building System, struktur pelembagaan desa, ADD, dan lain sebagainya dapat di pahami sebagai pengetahuan baru dan kemampuan aparat dalam melaksanakan tugas sehari hari. Diharapkan dalam waktu yang singkat dapat meningkatkan kinerja aparat. Tahapan kegiatan digambarkan sebagai berikut: Tabel:2 Tahapan Kegiatan
TAHAPAN
KEGIATAN
KELUARAN
INDIKATOR
Ujicoba Program partisipatif dlm rumusan kebijakan ADD
I/Tahun I
(a) Refleksi Partisipatif : mendiagnosa persoalanpersoalan, hambatanhambatan dlm partisipasi masy dlm ikut merumuskan kebijakan ADD.
(b) Menemukan kebutuhan kebutuhan perbaikan akses program dan proyek (c). Mensosialisasikan Kebijakan ADD sebagai alternative solusi pemecahan masalah program & proyek yg dibiayai (d) Menyusunan design implementasi kebijakan ADD secara partispatif
(e) Pelatihan dan peralatan yang dibutuhkan
(a). Indentifikasi problematika masyarakat (b). Pemahaman ttg pentingnya partisipasi masy dlm perumusan Kebijakan ADD .Perbaikan sistem yang kurang efisien
Pengenalan & pemahaman kebijakan ADD
Aplikasi design Implementasi Kebijakan ADD.
Penunjukan personil pengelola
(a). kemampuan SDM & motivasi (b). Rencana kelompok masyarakat yang diberdayakan
Pembuatan modul sistem Penyusunan kebijakan ADD dan akses program & proyek (a). Penunjukan instruktur pelatihan (b). Kesepakatan akses program & Proyek
a). Refleksi penilaian partisipatif terhadap keberadaan, fungsi dan peran masyarakat dlm penyusunan ADD. Biaya yang dibutuhkan
Evaluasi dan Pemantapan Model
35
Principal Agent dalam penyusunan ADD (a) Melakukan penyempurnaan sistem penyusunan partisipatif kebijakan ADD (b)Peningkatan Kapasitas Kelembagaan desa
Aplikasi kebijakan ADD partisipatif (a) Kapasitas penerapan program & proyek ADD masyarakat desa (b) perbaikan program & proyek disinergikan dg kebutuhan masyarakat desa
II/Tahun II
(c)Memperluas utilisasi penggunaan model principal agent kepada masyarakat
(d) Disiminasi dan penyusunan model mantap
(a). Waktu pelaksanaan program (b). kesepakatan pelaksanaan program (a). Identifikasi fasilitator pelaksana program (b). Identifikasi tempat pelaksanaan program
(a)Efektifitas pengelolaan ADD (b) Kapasitas kelembagaan desa (a). Kebutuhan masyarakat terhadap program & proyek dan hubungan kerjasama antar masyaraka desa, seberapa jauh dpt peningkatan kesejahteraan masyarakat
(a). Solusi yang berhasil mengatasi masalah program & proyek untuk kesejahteraan
(a). Peningkatan kesejahteraan (b). Kemampuan akses & partisipasi dlm penyusunan ADD (c). Kemampuan menciptakan efektifitas penggunaan ADD
3.4. Metoda yang Digunakan Gambar-4: Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data
PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Proses Memasuki Latar Penelitian (getting in)
FGD (FOCUS GROUP DISCUSSION)
Ketika Berada di Lokasi Penelitian
WAWANCARA MENDALAM (INDEPTH INTERVIEW)
(getting a long) Proses Mengumpulkan Data (logging the data)
OBSERVASI (OBSERVATION) DOKUMENTASI (DOCUMENTATION)
17
36
Berpijak dari temuan di atas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan dua pendekatan yaitu “Cost-Benefit” dan “CostEffectiveness Analysis”. Berdasarkan pemikiran yang disampaikan diatas maka kerangka konseptual penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar-5: Kerangka Konseptual Penelitian Public Policy ADD
Pemerintah Daerah/Negara
Budgetery Slack
BPD
Pemerintah Desa
Prosedur Manajerial
Akuntabilitas Publik Sumber: analisis peneliti, 2011 Hasil dari penelitian ini diharapkan agar penyelenggara pemerintahan (pemerintah daerah) agar dapat menyatukan tindakan dan kebijaksanaan dengan tatanan nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Aparat birokrasi dituntut sensitif, responsif dan akuntabel dalam mewujudkan good local governace. Good Governance sangat mendesak untuk diwujudkan di tingkat pusat ataupun daerah (good local governance). Kedudukan daerah sangat strategis dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Daerah disamping berfungsi sebagai garda untuk mempertahankan keutuhan bangsa juga sebagai garda depan untuk
37
menciptkan Indonesia yang satu dan maksmur secara lebih konkrit. Pemerintah daerah merupakan wujud kunci perwujudan good governance, yaitu sebagai katalisator sekaligus koordinator bagi institusi semi-pemerintah dan nonpemerintah untuk bersama-sama membentuk kolaborasi yang efektif mengatasi permasalahan, menampung kepentingan publik dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Langkah terdekat yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan good local governance adalah melakukan pembenahan terhadap
kelembagaannya
sendiri
yaitu
menyelesaikan
permasalahan-
permasalahan yang terjadi di masing-masing lembaganya. Salah satunya dengan mewujudkan pelayanan publik yang bebas dari mal-administrasi.
38
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Bustanil, dan Didik Rachbini, 2001, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, Jakarta, Grasindo. Cameron, Lisa, A, 2001, The Impact of the Indonesian Financial Crisis on Children : An Analysis Using the 100 Villages Data, dalam BIES Vol 37 No. 1, CSIS, Jakarta. p.43-64. Chayanov. A.V., 1986, The Theory of Peasant Economy, The University of Wisconsin Press. Chile, Love M, Gareth Simpson, 2004, Spituality and Community Development : Eploring the Individual and the Collective, dalam l Community Development Community Development Journal, Oxford University Press Vo. 35 No. 2 April Community Relations in the Scottish Highlands, Journal of Rural Studies 18 Conference, University of Sydney, Australia Djiwowijoto, Riant N, 2000, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Jakarta: Elex Media Komputindo. Driver, H.E. dan R P. Chaney. 1980. Cross Cultural Sampling and Galton’ Problem. Dalam R Naroll dan R Cohen:A Hanbook of Method in Cultural Antropology.New York:Columbia University Press. Grootaert, Christian, 1999, Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia, In http://www.tandf.co.uk/journals Kartodirdjo, Sartono, 1978, Protest Movements in Rural Java : A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries, Oxford University Press , Kuala Lumpur. Koto Sebastian, 2007, Kebijakan Publik, Dari Pendekatan Kekuasaan ke Arah Protes dan Perlawanan, disampiakan pada pidato pengukuhan Guru Besar dalam bidang Teori Kebijakan Publik, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, FISIP UNMER Malang. Kilpatrick, Sue, Rowena Bell,, Ian Falk, 1998, Groups of group : The Role of Group Learning in Building social Capital, paper presented at AVERA 1998 Conference, University of Sydney, Australia Knack, Stephen, 2000, Social Capital and the Quality of Government : Evidence from the U.S. States, World Bank Paper, available at http://www1 .worldbank.org /publicsector/ Kumorotomo, Wahyudi, 2001, Poverty Alleviation Programs during the Economic Crisis in Indonesia : National versus Local Pictures, paper presented at An International Seminar on the Government Capacity Building and Poverty Alleviation Policies, Nagoya University. Onyx, Jenny dan Paul Bullen, 2000, Measuring Social Capital in Five Communities, dalam The Journal of Applied Behavioral Science, Vol. 36, No. 01. p. 23-42 Parr, Sakiko Fukuda, 2003, The Development Paradigm : Operationalizing Sen’s Ideas on Capabilities, Feminist Economics Journal, Routledge, No 9(2-3) pp. 301-317. Smith, James P, Duncan Thomas, Elizabeth Frankenberg, Kathleen Beegle, Graciela Teruel, 2000, Wages, Employment and Economic Shocks : Evidence from Indonesia, (Preliminary Result of Indonesia Family Life Survey-IFLS), Rand Corporation, Washington 39
Sumodiningrat, Gunawan, 2001, Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan Ekonomi, Jakarta, PerProd. Sadu Wasistiono 2006, Prospek Pengembangan Desa, Fokusmedia, Bandung Sukowati Praptining, 2008, Model New Governance dalam Good Governance, Program Pascasarjana UB Malang -----------------------------, 2009, Public Service Management di Era Reformasi, Program Pascasarjana UB Malang ----------------------------, Akuntabilitas Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah dan Pembangunan Daerah, Program Pascasarjana UB Malang Tahir Irwan, 2005, Prospek Pengembangan Desa, Lembaga Kajian Manajemen Pemerintah Daerah, Bandung. Woolcock, Michael dan Deepa Narayan, 2000, Social Capital : Implication for Development Theory, dalam The World Bank Research Observer, Vol. 15, No. 2, August, World Bank, New York. p. 225-249. White, Ben, Milan Titus and Peter Boomgaard, 2002, The Experience of Crisis in Indonesia : Comparative, Local and Historical Dimensions dalam Henk Schulte Nordholt and Irwan Abdullah (ed), 2002, Indonesia : In Search of Transition, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Yuliati, Yayuk dan Mangku Purnomo, 2003, Sosiologi Pedesaan, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
40
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap dan Gelar : Dr. SYAIFUL ARIFIN, SE, MSi Tempat/Tanggal Lahir : Pamekasan, 15 Juli 1971 Jenis Kelamin
: Laki-laki
Fakultas/Program Studi
: Ekonomi/Manajemen
Pangkat/Gol/NIP
: Lektor/IIID/722 FE
Alamat Kantor
: Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64 Malang Telp (0341) 568395 ex 251
Alamat Rumah
: Jl. Teluk Semangka 10 Telp (0341) 479239
HP
081937935511 Riwayat Pekerjaan
: Dosen
Tetap
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Merdeka Malang mulai 1996 – sekarang PENDIDIKAN : 1. S-1
: Konsentrasi Manajemen Perusahaan Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Lulus Tahun 1994
2. S-2
: Konsentrasi Operation Management Program Magister Sains Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Lulus Tahun 2001
3. S-3
: Konsentrasi Manajemen Kualitas Program Doktor Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Malang
BIDANG KEILMUAN : 1. Production and Operations Management. 2. Strategy and Marketing Management. 3. Economic Theory.
41
PENGALAMAN MENGAJAR Mata Kuliah yang pernah diampuh pada program studi manajemen dan akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka Malang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Ekonomi Moneter Manajemen Operasional Pengantar Bisnis Manajemen Pemasaran Ekonomi Koperasi Statistik Terapan Matematika Ekonomi dan Bisnis
SKS 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3
RIWAYAT PEKERJAAN DAN JABATAN : 1. Dosen Tetap pada Jurusan Manajemen Fakultas Universitas Merdeka Malang Sejak Tahun 1996 – sekarang. 2. Ketua Tim Promosi Fakultas Ekonomi Unmer Malang Tahun 2002. 3. Anggota Tim Peneliti Ahli Bidang Ekonomi Manajemen Pada Pusat Lembaga Penelitian Unmer Malang sejak Tahun 2002 – 2008. 4. Anggota Tim pada Buntara Consultant Tahun 2003 – 2008. 5. Sekretaris Tim Promosi Pusat Universitas Merdeka Malang Tahun 2003. 6. Wakil Ketua Tim Promosi Universitas Merdeka Malang Tahun 2004 – 2007. 7. Koordinator Eksternal Tim Marketing Universitas Merdeka Malang Tahun 2007 – 2008. PENGALAMAN
DALAM
BIDANG
PENELITIAN DAN KARYA
ILMIAH : 1. Memberikan Penyuluhan dan Pembimbing Kuliah Kerja Nyata di berbagai Desa di Malang dan wilayah Jawa Timur tahun 1996 – 2008. 2. Anggota Tim Peneliti Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah di Jawa Timur Tahun 1997 – 1998. 3. Pembimbing Praktek Kerja Nyata di berbagai Home Industry Masyarakat yang beromzet minimal Rp. 500.000.000,- di Jawa Timur sejak 1997 sampai tahun 2008. 4. Anggota Tim Peneliti Analisis Studi Kelayakan Wisata Tambang Marmer di Kabupaten Tulungagung Tahun 2003.
42
5. Anggota Tim Konsultan dan Penyuluhan Home Industry Marmer di Tulungagung Tahun 2002 – 2004. 6. Ketua Tim Instruktur Pelatihan Perhitungan Harga Pokok Produksi Pada Home Industri Sepatu Kulit Karosima Singosari Malang Tahun 2006. 7. Ketua Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah (Studi Pada Bank-bank Pemerintah dan Swasta di Jawa Timur), Tahun 2006. 8. Ketua Peneliti Dinamika Implementasi Konsep Sistem Tanggung Renteng dan Kontribusinya Pada Tercapainya Zero Bad Debt (Studi Pada KoperasiKoperasi Wanita di Kota Probolinggo), Tahun 2007. 9. Peneliti Dosen Muda dari DP3M Dirjen Dikti dengan Judul Analisis Pengaruh
Dimensi
Kualitas
Terhadap
Kinerja-kinerja
Perusahaan-
perusahaan Besar dan Sedang di Jawa Timur, Tahun 2008. 10. Pengaruh
Partisipasi
Penganggaran,
Penekana
Anggaran,
Komitmen
Organisasi, Asimetri Informasi dan Ketidakpastian lingkungan terhadap Budgetary Slack di Pemerintah Kota Prololinggo, 2009 11. Peneliti Dosen Muda dari DP3M Dirjen Dikti dengan Analisis Pengaruh Pelaksanaan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada Perusahaan Besar dan Menengah Di Malang Jawa Timur, Tahun 2010.
Malang, 6 Desember 2013
Syaiful Arifin, SE, MSi
43
3.4. Rencana Kegiatan Penelitian Bulan Ke
Kegiatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1. Persiapan perijinan dan Penyusunan instrumen 2. Penentuan Ujicoba 3. Curah pendapat/diskusi (Refleksi Partisipatif) 4. Identifikasi 4. Proses sosialisasi dan pembelajaran 5. Diagnosa dan penyusunan konsensus 6. Monitoring 7. Evaluasi 8. Penyempurnaan model pembinaan dan pelatihan 9. Penyusunan laporan
JUSTIFIKASI ANGGARAN A. Anggaran Penelitian 1. Honorarium Tim Peneliti a. Ketua b. Anggota c. Pembantu 2. a.
Jumlah Anggota 1 2 1
Minggu/ bl 4 4 4 Sub Total
Bulan Kerja 10 10
Jam/ Minggu 10 10
Tarip/Rp
Total/Rp
6.000 5.500
2.400.000 6.600.000
10
10
2.500
600.000 9.600.000
Bahan aus / habis pakai ATK
Kertas continous form 10 box @ Rp 50.000 Kertas HVS 5 rim @ Rp. 20.000 Kertas duplikator 5 rim @ Rp. 10.000 Tinta printer HP inkjet black 2 buah @ Rp. 200.000 Tinta printer HP inkjet color 2 buah @ Rp. 250.000 CD 10 box @ Rp. 50.000 Spidol transparan 3 set @ Rp. 25.000 Ballpoint 50 buah @ Rp. 1000 Blok Note 50 buah @ Rp. 5.000 Map plastik 50 buah @ Rp. 3000 Ordner 10 buah @ Rp. 5.000 Sub Total
Rp. 500.000 Rp. 100.000 Rp. 50.000 Rp. 400.000 Rp. 500.000 Rp. 500.000 Rp. 75.000 Rp. 50.000 Rp. 225.000 Rp. 150.000 Rp. 50.000 Rp.2.600.000
44
b. Penunjang : Pembuatan contoh hasil pembelajaran
Film slide dan proses 4 rol @ Rp 75.000 Film negatif dan proses 2 rol @ Rp. 70.000 Cassete video kecil 5 buah @ Rp. 65.000 Pembuatan manual model 2 paket video klip CD testimonial untuk penyusunan dan pengembangan administrasi/managemen/organisasi yang baik @ Rp. 250.000 1 paket video klip CD testimonial untuk penyadaran manfaat budgetary slack dalam penyusunan anggaran daerah.@ Rp. 350.000 1 paket video klip CD profil/testimonial lain yang disesuaikan dengan hasil curah pendapat pemda dengan masyrakat desa @ Rp 250.000 Sub Total
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
300.000 390.000 325.000 450.000 500.000
Rp.
350.000
Rp.
250.000
Rp. 2.465.000
3. Sarana ( Klinik pembelajaran telecenter) a. Peralatan Utama
1 bh printer BJC I 255 1 bh Scanner Canoscan N 640 Pex 2 unit PC (koneksi ke internet) @ 4.500.000 Sewa Ruang untuk FGD 2 th @ 3.000.000 Sub total
Rp. 550.000 Rp. 650.000 Rp. 9.000.000 Rp. 6.000.000 Rp. 16.200.000
b.Peralatan Penunjang
Sewa peralatan fotografi Sewa LCD Buku-buku, program aplikasi, CD ROM Sewa peralatan video :camera, handycam Sewa TV 20” dan video player Sewa gedung pertemuan lokal Sub total
Rp 1.200.000 Rp 1.050.000 Rp 3.000.000 Rp 2.250.000 Rp 1.000.000 Rp 2.400.000 Rp 10.900.000
45
4. Perjalanan Dinas Pengurusan ijin 2 orang x 2 harixRp. 100.000 ke lokasi penelitian Transportasi lokal untuk pelatihan, monitoring harian ke lokasi penelitian direncanakan 4 kali pp untuk 5 orang @ Rp 25.000 3 orang petugas pencacah Intensive Dailly Activities Survey selama 2 bulan (60 hari) @ Rp. 15.000 untuk identifikasi peserta pelatihan Sub Total 5.
Rp. Rp.
400.000 500.000
Rp
900.000
Rp.
1.800.000
Lokakarya/Curah pendapat/Lain-lain
Narasumber 2 orang Biaya pelaksanaan Persiapan materi Lokakarya dan pelatihan penyusunan anggaran daerah Narasumber 2 orang Biaya pelaksanaan Persiapan modul materi ujicoba Pelatihan dan pendidikan2 kali Narasumber Biaya pelaksanaan Persiapan materi dan bahan latihan Tabulasi entry data lapangan Ongkos pengetikan laporan Fotocopy proposal untuk perijinan Fotocopy peraturan dan juklak Perbanyakan laporan dan penggandaan hasil penelitian Penjilidan Sub Total
Rp Rp Rp
2.000.000 3.500.000 2.500.000
Rp 2.000.000 Rp 2.250.000 Rp 1.750.000 Rp 3.605.000 Rp 3.500.000 Rp 1.955.000 Rp 1.750.000 Rp 2.250.000 Rp 1.250.000 Rp 1.000.000 Rp 1.500.000 Rp 625.000 Rp 31.435.000
6. Rekapitulasi Anggaran Tahun I 1. Honorarium 2. Bahan Aus/Habis pakai 3. Peralatan 4. Perjalanan Dinas 5. Pertemuan/Lokakarya/Seminar
Rp 9.600.000 Rp 5.065.000 Rp 27.100.000 Rp 1.800.000 Rp 31.435.000 Total
Rp
75.000.000
Jumlah total anggaran penelitian Rp. 75.000.000 (Tujuh puluh lima juta rupiah)
46