AKADEMI KEBIDANAN ADILA BANDAR LAMPUNG
Materi diskusi mahasiswa : Hak Anak dan Hak Wanita Mata kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan Jumlah sks: 2 sks, Dosen Pengampu : Ahmad dahro, S.Sos.,MIP
I. HAK ANAK Sebelum memasuki pembahasan mengenai pelanggaran HAM pada anak jalanan. ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu definisi dasar tentang hak secara definitif. “Hak” merupakan untuk normatik yang berfungsi sebagai panduan perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam rangka menjaga harkat dan martabatnya. Beberapa pengertian hak menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah : 1. yang benar, 2. milik atau kepunyaan, 3. kewenangan, 4. kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, 5. derajat atau martabat Dalam pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia disebutkan, “Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Berdasarkan beberapa rumusan HAM, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM, yaitu: a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, atau diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis. b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agam, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa. c. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak ada yang bisa membatasi atau melangggar hak orang lain. Seseorang tetap mempunyai d. HAM walaupun negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM tersebut.
Bentuk-Bentuk HAM Dalam deklarasi universal tentang HAM (Universal Declaration Of Human Rights) atau DUHAM, hak asasi manusia terbagi dalam beberapa jenis, yaitu: 1. hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi) 2. hak legal (hak jaminan perlindungan hukum) 3. hak sipil dan politik 4. hak subsistensi (hak jaminan sumber daya untuk menunjang kehidupan) 5. hak ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya, secara operasional dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, ada beberapa bentuk: 1. Hak untuk hidup 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan 3. Hak mengembangkan diri 4. Hak memperoleh keadilan 5. Hak atas kebebasan pribadi 6. Hak atas rasa aman 7. Hak atas kesejahteraan 8. Hak turut serta dalam pemerintahan 9. Hak wanita 10. Hak anak.
Pelanggaran Dan Pengadilan Ham Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparatur Negara, baik disengaja ataupun tidak, atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut HAM yang telah dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Pelanggaran HAM tergolong berat, baik berupa kejahatan genosida dan kemanusiaan. Sedangkan pelanggaran selain dari keduanya tergolong ringan. Perkembangan Anak Jalanan Di Indonesia Persoalan anak jalanan pada masa sekarang tampaknya tidak ada perbedaan dengan kenyataan anak jalanan pada periode-periode sebelumnya. Berbagai situasi yang mengancam pertumbuhan dan keberlangsungan hidup mereka masih merupakan ancaman nyata. Berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi masih menjadi warna-warni kehidupan keseharian mereka. Dewasa ini, pertumbuhan anak jalanan di Indonesia semakin meningkat, terutama di kotakota besar. Jakarta adalah salah satu contoh, dimana kita akan sangat mudah menemui anak jalanan di berbagai tempat, mulai dari perempatan lampu merah, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan bahkan mal. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa biasanya mereka memang dikoordinir oleh kelompok yang rapi dan profesional, yang sering disebut sebagai mafia anak jalanan. Hal ini juga yang menyebabkan meningkatnya pelanggaran HAM yang terjadi kepada anak-anak jalanan tersebut. Meningkatnya. berbagai bentuk pengabaian dan pelanggaran hak anak di Indonesia yang terjadi sepanjang tahun 2011, menunjukkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua telah gagal menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam
memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak anak di Indonesia.Merujuk data layanan pengaduan masyarakat melalui Hotline Service dalam bentuk pengaduan langsung, telephone, surat menyurat maupun elektronik, sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 2.386 kasus. Sama artinya bahwa setiap bulannya KomNas Anak menerima pengaduaan masyarakat kurang lebih 200 (dua ratus) pengaduan pelanggaran terhadap hak anak. Angka ini meningkat 98% jika dibanding dengan pengaduan masyarakat yang di terima Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2010 yakni berjumlah 1.234 pengaduan. Dalam laporan pengaduan tersebut, pelanggaran terhadap hak anak ini tidak semata-mata pada tingkat kuantitas jumlah saja yang meningkat, namun terlihat semakin komplek dan beragamnya modus pelanggaran hak anak itu sendiri. Pengaduan hak asuh (khususnya perebutan anak pasca perceraian) misalnya, mendominasi pengaduan sepanjang tahun 2011 ini. Hak dan kebebasan masyarakat sipil Sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 28 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa mendapatkan akta kelahiran adalah merupakan bentuk pengakuan pertama negara terhadap keberadaan seorang anak. Mendapatkan hak anak atas akta kelahiran disebut juga sebagai hak Kependudukan dan kebebasan sipil. Namun dalam kenyataannya masih ditemukan kurang lebih 50 juta anak yang tersebar di tanah air, tidak memiliki akta kelahiran, ini sama artinya secara hukum jutaan anak-anak saat ini tidak diakui sebagai warga negara Indonesia dan bahkan dengan sendirinya tidak berhak mendapat layanan dari negara. Hak Pendidikan bagi Anak Indonesia dan persoalannya Akses Pendidikan Terbatas Bentuk pelanggaran Hak Anak lainnya adalah Hak anak atas pendidikan, KomNas Perlindungan Anak mencatat sekitar 2,5 juta jiwa anak dari 26,3 juta anak usia wajib belajar di tahun 2010 yakni usia 7-15 tahun, belum dapat menikmati pendidikan dasar semblan tahun. Sementara itu, 1,87 juta jiwa anak dari 12,89 juta anak usia 13-15 tahun tidak mendapatkan hak atas pendidikan. Berbagai faktor penyebab anak tidak dapat bersekolah, antara lain sulitnya anak untuk mendapatkan akses sekolah, secara khusus anak-anak yang berada di dalam wilayah perbatasan maupun di daerah Komunitas adat terpencil serta kurangnya kesadaran orang tua. Kekerasan di Lingkungan Sekolah Sepanjang tahun 2011 ini, kasus tawuran cukup banyak mendapat sorotan dan menjadi topik hangat ditengah-tengah masyrakat. Maraknya peristiwa kekerasan antar sesama anak sekolah merupakan fenomena sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat remaja. Sementara itu, sepanjang tahun 2011, Komisi Nasional Perlindungan anak mencatat ditemukan 339 kasus tawuran. Kasus tawuran antar pelajar di Jabodetabek meningkat jika dibanding 128 kasus yang terjadi pada ahun 2010. KomNas Anak mencatat, dari 339 kasus kekerasan antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan 82 diantaranya meninggal dunia, selebihnya luka berat dan ringan. Hak Kesehatan Penyakit menular Seksual: HIV/AIDS Data Kemenkes RI Juni 2011 tercatat 821 penderita AIDS berusia 15 – 19 tahun, bahkan 212 penderita berusia 5 – 14 tahun. Sedangkan untuk anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkoba, Badan Narkotika Nasional (2006) menyebutkan bahwa 80 % dari sekitar 3,2 pengguna berasal dari kelompok usia muda (remaja/pemuda). Anak Korban Gizi Buruk Fenomena lainnya adalah kasus anak kurang gizi (marasmus kwasiokor). Menurut data yang dihimpun KomNas Perlindungan Anak dari laporan 33 Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang tersebar di 33 kota propinsi diperkirakan ada 10 juta anak-anak usia balita menderita kurang gizi, 2 juta di antaranya menderita gizi buruk. Kasus ini dapat ditemui dengan sebaran di pulau Sumatra, NTT, NTB, dan Sulawesi. Menurut data Komnas PA, di Sumatra Barat terdapat 23.000 dari total 300.000 anak usia balita terancam menderita gizi buruk dan itu juga berlangsung di beberapa daerah lainnya. Perlindungan khusus bagi anak Kekerasan Dalam klaster anak membutuhkan perlindungan khusus, sepanjang tahun 2011, KomNas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010 yakni 2.413 kasus. 1.020 atau setara 62,7 persen dari jumlah angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis.
Anak Berhadapan Dengan Hukum Demikian juga dengan angka kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan ke pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana. Mencermati data di atas rasanya sungguh ironis karena hampir pasti hak dan kewajiban orang tua termasuk negara hingga kini tidak dilaksanakan secara maksimal, meskipun tidak dapat dipungkiri sejumlah upaya telah diupayakan pemerintah melalui proyek pengentasan kemiskinan, peningkatan harkat dan martabat anak jalanan melalui rumah singgah. Peningkatan pelanggaran HAM terhadap Anak Jalanan Di Indonesia Faktor utama meningkatnya pelanggaran HAM terhadap anak jalanan adalah hal yang menyebabkan mereka menjadi anak jalanan, yaitu kemiskinan. Karena kemiskinan sangat sinergis dengan pelanggaran HAM terutama pada anak-anak jalanan. Peningkatan jumlah anak jalanan pada masa krisis bisa dipahami lantaran memang langsung berpengaruh pada keluarga-keluarga kelas menengah ke bawah yang tersudut dan kesulitan untuk mampu memenuhi kebutuhan hidup berdasarkan pendapatan yang diperolehnya. Sebab itulah, banyak orangtua melibatkan anak-anak untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhannya sendiri agar berkurang beban keluarga, atau bahkan anak diharapkan juga bisa memberikan kontribusi pendapatan keluarga. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pelanggaran HAM, kebutuhan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup harus berhadapan dengan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan kepada anak-anak jalanan tersebut.
Secara terperinci , beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah anak jalanan antara lain : 1. Sejumlah kebijakan makro dalam bidang sosial ekonomi telah menyumbang munculnya fenomena anak jalanan. 2. Modernisasi, industrialisasi, migrasi, dan urbanisasi menyebabkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup yang membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang. 3. Kekerasan dalam keluarga menjadi latar belakang penting penyebab anak keluar dari rumah dan umumnya terjadi dalam keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan jumlah anggota keluarga yang besar. Bentuk-Bentuk pelanggaran HAM terhadap anak jalanan Tidak dapat kita pungkiri kehidupan anak jalanan hampir identik dengan pandangan negatif masyarakat. Kehidupan mereka yang keras dan jauh dari kata pengawasan orang tua. Ngelem sebagai kegiatan teler dan sebangsanya hampir menjadi label khusus anak jalanan. Belum lagi tindakan kriminal seperti pencurian, pemalakan, atau bahasa-bahasa kasar yang mereka pakai. Perlakuan yang mereka alami seperti kekerasan, baik kekerasan fisik, mental ataupun seksual dianggap sudah lumrah terjadi. Padahal dalam diri anak jalanan juga melekat harkat dan martabatnya sebagai manusia seutuhnya, anak juga memiliki hak azasi manusia yang diakui oleh masyarakat juga bangsa, dimana kedudukan anak yang sungguh penting dalam kehidupan manusia yang menghendaki sistem perlindungan yang berpihak terhadap anak. Anak jalanan karena keterbatasannya mereka tidak mendapat pendidikan yang layak. Tentunya, ini menjadi tidak seperti yang sering kali muncul di televisi dimana anak bebas dan gratis menikmati bangku sekolah dan diantar orang tuanya penuh dengan kegembiraan. Selain itu, rentan terjadinya kekerasan, diskriminasi terhadap anak jalanan yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Anak-anak jalanan dimanfaatkan menjadi pengemis, dan kemudian menyerahkan uang hasilnya kepada “bandar” atau dipekerjakan secara eksploitasi. Eksploitatif terjadi karena anakjalanan memiliki posisi tawar menawar yang sangat lemah. Bentuk eksploitasi dalam kehidupan mereka, seperti seks, pekerjaan dan kehidupan yang lebih luas. Eksploitasi ini bertingkat dari cara yang halus sampai yang sangat kasar. Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antar anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Eksploitasi pekerjaan bersifat penghisapan upah mereka. Di Philipina dan Thailand, ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru lagi. Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak-anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia. Terkait dengan ini adalah penyebabnya virus HIV, karena sodomi dan pelacuran merupakan perilaku yang beresiko tinggi untuk penyebaran HIV. Anak jalanan juga sering kali menjadi korban trafficking anak baik di dalam negeri maupun luar negeri (TKI ilegal) semakin marak. Situasi ini tentu saja adalah bentuk pelanggaran terhadap konstisusi dan Hak Asasi Manusia. Padahal, secara gamblang disebutkan bahwa di dalam UU tersebut setiap anak menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan Negara dalam mewujudkan hak anak untuk hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi optimal, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, mendapat identitas diri, memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan serta jaminan sosial sesuai fisik, mental, spiritual, dan sosial, memperoleh pendidikan dan
pengajaran dengan tanggungan biaya cuma-cuma untuk anak-anak kurang mampu dan terlantar, menyatakan pendapat, bermain dan berkreasi, membela diri dan memperoleh bantuan hukum, dan bebas berserikat dan berkumpul, termasuk kewajiban pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Sebagai suatu hak yang harus dipenuhi oleh Negara, maka wajarlah bila Negara mengeluarkan biaya yang banyak untuk pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan akan hakhak pendidikan anak, kesehatan anak, kemerdekaan anak, dan hak anak lainnya. Hal itu mengingat bahwa penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan pada prinsipnya cost centre (menghabis-habiskan biaya), bukan profit centre (yang dapat mendatangkan keuntungan). Ketentuan pidana pelanggaran HAM terhadap anak Berikut adalah beberapa ketentuan pidana atas pelanggaran dan tindakan kejahatan mengenai anak : Pasal 77 UU no.23/02 mengenai tindakan diskriminasi, penelantaran yang mengakibatkan anak mengalami sakit baik fisik maupun mental dapat dipidanakan dengan kurungan penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda Rp. 100.000.000,00- (seratus juta rupiah) Pasal 80 UU no.23/02 (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
II. HAK WANITA
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang wanita terkadang mendapatkan diskriminasi dan anggapan sebelah mata atas dirinya. Diskriminasi dapat terjadi baik dalam kehidupan pekerjaan, keluarga (antara suami dan istri), hingga kehidupan yang dilaluinya dalam masyarakat. Dengan adanya diskriminasi inilah maka kemudian banyak pihak terutama wanita/perempuan sendiri menyadari pentingnya mengangkat isu hak perempuan sebagai salah satu jenis hak asasi manusia yang harus dapat diakui dan dijamin perlindungannya. Adanya kesadaran ini maka kemudian perlu diketahui terlebih dahulu dengan apa yang dimaksud dengan hak asasi perempuan. Hak asasi wanita/perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat dalam berbagai sistem hukum tentang
hak asasi manusia. System hukum tentang hak asasi manusia yang dimaksud adalah system hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan penggunaan katakata yang umum terkadang membuat pengaturan tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal ini dapat dijadikan dasar sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak perempuan. Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita). Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena perbedaan pada prestasi. Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyangkal besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak . Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi. Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang wanita/perempuan terkadang mendapatkan diskriminasi dan anggapan sebelah mata atas dirinya. Diskriminasi dapat terjadi baik dalam kehidupan pekerjaan, keluarga (antara suami dan istri), hingga kehidupan yang dilaluinya dalam masyarakat. Dengan adanya diskriminasi inilah maka kemudian banyak pihak terutama perempuan sendiri menyadari pentingnya mengangkat isu hak perempuan sebagai salah satu jenis hak asasi manusia yang harus dapat diakui dan dijamin perlindungannya. Adanya kesadaran ini maka kemudian perlu diketahui terlebih dahulu dengan apa yang dimaksud dengan hak asasi wanita/ perempuan. Hak asasi wanita/perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang wanita/perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. System hukum tentang hak asasi manusia yang dimaksud adalah system hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat pengaturan tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal ini dapat dijadikan dasar sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak perempuan. Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan jenis-jenis hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tersebut. Jenis hak-hak perempuan yang ada, antara lain: 1. Hak-Hak Perempuan di Bidang Politik
Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang politik, antara lain : a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan. b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentukan wakil rakyat di pemerintahan c. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik negara tersebut. Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik tersebut dapat ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa yang umum dalam Pasal 21 DUHAM butir 1 dan 2, Pasal 25 ICCPR,. Sedangkan dasar hukum yang lebih khusus menyebutkan hak-hak perempuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 7 dan 8 CEDAW, Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan. Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan tersebut dapat pula ditemukan dalam instrumen nasional kita. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : “sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”. 2.Hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan Setiap manusia yang hidup dalam suatu negara mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraan yang sesuai dengan negara dimana dia tinggal. Misalnya seseorang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Kewarganegaraan maka terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Apabila syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi maka setiap orang tersebut mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraannya. Hal inilah yang menjai salah satu hak yang harus dipenuhi terhadap perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan di negara terkait. 3. Hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pengajaran Pendidikan adalah dasar yang paling penting bagi kehidupan manusia. Dengan pendidikan seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya, baik dari kualitas akal, pemikiran, perilaku hingga ekonomi. Dan pendidikan tersebut tentunya didapatkan dengan pengajaran. Pengajaran harus diberikan pada setiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Oleh karena itulah maka kemudian setiap manusia di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, tidak terkecuali untuk semua perempuan. Setiap perempuan sama halnya dengan setiap pria mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Atas dasar itulah maka kemudian dalam instrumen internasional dapat kita temukan pengaturan-pengaturan yang menjamin hal tersebut. Pengaturan tersebut dapat bersifat umum untuk semua orang, maupun bersifat khusus untuk setiap perempuan. Instrumen internasional yang bersifat umum antara lain dapat ditemukan dalam Pasal 26 (1) DUHAM. Sedangkan yang bersifat lebih khusus dapat ditemukan dalam Pasal 10 CEDAW, Pasal 13
ayat (2) Kovenan tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Pasal 4 (d) Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan. 6. Hak-hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum Sebelum dikenalnya hak-hak atas perempuan dan keberadaan perempuan yang sederajat dengan pria, perempuan selalu berada di bawah kedudukan pria. Hal ini seringkali terlihat terutama pada keadaan dimana perempuan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan persetujuan atau di bawah kekuasaan pria. Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran bagi para perempuan bahwa setiap perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki di mata hukum, sehingga kemudian muncul salah satu hak perempuan lainnya yang diakui baik di tingkat internasional maupun nasional. Dasar hukum dalam instrumen internasional atas hak-hak perempuan ini secara umum dapat ditemukan dalam Pasal 7 DUHAM, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan secara khusus dalam Pasal 2 dan 15 CEDAW. Dalam instrument nasional dasar hukum atas hak-hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 50 UU HAM yang berbunyi “wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.
Sumber bacaan : Sebagian besar isi/materi merupakan revieu dari berbagai sumber bacaan yang tersedia di perpustakaan Akbid Adila dan akbid Nadira Bandar Lampung dan bahan yang dikumpulkan mahasiswa sebagai tugas dalam matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan.