Ajak Mahasiswa Potret Momen Langka Gerhana Matahari UNAIR News – Gerhana matahari total yang terjadi pada Rabu (9/3) lalu menjadi peristiwa yang sangat langka, karena tidak setiap tahun dapat ditemui. Selain itu, gerhana matahari total juga tidak terjadi di seluruh belahan negara di dunia. Momentum ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan masyarakat. Kota Palu, Sulawesi Tengah, menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang dilewati gerhana matahari total. Fenomena ini menjadi daya tarik wisatawan dari mancanegara datang ke Indonesia, untuk turut menyaksikan gerhana matahari total. Meski di Surabaya gerhana matahari total hanya nampak sekitar 83%, tetapi antusiasme masyarakat Surabaya tetap tinggi. Ada tempat-tempat tertentu yang dipilih masyarakat untuk bisa menyaksikan peristiwa langka ini. Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UNAIR yang tergabung dalam mata kuliah Fotografi Jurnalistik turut mengaplikasikan keilmuannya untuk menyaksikan momen gerhana matahari. Penanggungjawab tata kuliah Fotografi Jurnalistik, Dr. Yayan Sakti Suryandaru S.Sos., M.Si., mengajak mahasiswanya untuk hunting foto gerhana matahari di Kenjeran, Surabaya. Dengan kamera masing-masing, mahasiswa memotret segala suasana yang terjadi saat orang-orang antusias berkumpul di Kenjeran. Tak hanya memotret suasana, para mahasiswa juga memotret penampakan gerhana matahari yang mereka ambil langsung melalui kamera dengan filter pelindung lensa kamera. “Tantangan hunting foto pas motret penampakan gerhana kemarin itu dapat detail potret gerhana dan kondisi cuaca yang mendung ketika proses pengambilan foto. Tapi seru banget. Kita bisa belajar banyak soal fotografi jurnalistik. Kuliah jadi nggak membosankan dan bervariasi,” tutur Muhammad Isya Arifin, salah
satu mahasiswa Ilmu Komunikasi UNAIR yang turut hadir di Kenjeran. Minggu lalu, mahasiswa dari mata kuliah Fotografi Jurnalistik ini juga hunting foto di Balai Pemuda, Surabaya, ketika ada pertunjukan reog di sana. Dari mata kuliah ini diharapkan para mahasiswa dapat mempraktikkan teori yang didapat pada kelas Fotografi Jurnalistik. (*) Penulis: Zahrina A. Nabilah (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNAIR) Editor: Binti Q. Masruroh
Menyaksikan Kebesaran Tuhan dari Nuruzzaman UNAIR NEWS – Hari masih gelap. Matahari belum beranjak dari peraduannya. Azan subuh dari Masjid Nuruzzaman pun juga belum dikumandangkan. Segerombolan anak muda nampak sedang berusaha masuk ke Nuruzzaman dari gerbang utama Kampus B. Belum nampak tanda-tanda gerbang utama dari arah Jalan Airlangga tersebut akan dibuka, mereka lantas memutar kendaraannya menuju gerbang samping dari arah Jalan Dharmawangsa. Mereka kemudian berhasil masuk ke Kampus B melewati Fakultas Hukum sebelum akhirnya memarkir kendaraannya bersama puluhan kendaraan lain yang sudah terparkir rapi di samping Nuruzzaman. Meski masih pagi buta, mereka nampak bersemangat. Wajar, sebab rabu (9/3) memang hari istimewa. Fenomena gerhana matahari yang tidak sering dijumpai akan dapat disaksikan dari beberapa daerah di Indonesia termasuk Surabaya. Meskipun warga Surabaya hanya dapat menyaksikan gerhana matahari sebagian, antusiasme menyaksikan salah satu tanda kebesaran Tuhan ini tidak lantas berkurang. Di Masjid Nuruzzaman, beberapa anak muda tadi ingin
turut merenungkan kebesaran Tuhan. Jamaah Nuruzzaman memang mengadakan kajian keislaman sebelum kemudian menggelar shalat kusuf atau shalat gerhana matahari. Setelah shalat subuh bersama, para jamaah kemudian mendengarkan kajian yang diisi oleh Ustadz Ali Misbahul Munir. Ustadz Ali mengingatkan jamaah untuk menjadi insan yang senantiasa melakukan tafakkur, tadabbur, dan tadzakkur. Insan yang senantiasa memikirkan, mencermati, dan mengingat tandatanda kebesaran Tuhan. Jamaah yang mulanya hanya terdiri dari beberapa baris jamaah shalat subuh semakin lama semakin bertambah. Aula utama Nuruzzaman pun semakin penuh sesak hingga para jamaah yang baru datang pun kemudian menempati teras-teras masjid. Dalam kesempatan tersebut, Ustadz Ali memuji antusiasme para jamaah untuk mengikuti shalat gerhana sebagai bagian dari semangat mereka dalam menghidupkan sunnah nabi. “Di akhirat kita tentu ingin dikenali sebagai umat Nabi Muhammad. Barangsiapa yang menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, ia kelak akan dikenali oleh Nabi. Shalat gerhana ini adalah bagian dari menghidupkan sunnah itu,” ujarnya di hadapan ratusan jamaah yang hadir. Menjelang masuk waktu terjadinya gerhana, jumlah jamaah yang hadir justru semakin bertambah. Mahasiswa dan masyarakat umum berkumpul bersama tanpa sekat. Tanpa azan, lafaz ‘asshalatu jamiah’ kemudian membangunkan para jamaah dari duduknya untuk turut melaksanakan shalat gerhana bersama. Dua rakaat, empat ruku’. Shalat gerhana di Nuruzzaman dilaksanakan dengan penuh kekusyukan. Kalam-kalam suci Ilahi yang dibacakan dalam shalat tersebut begitu syahdu hingga membuat beberapa jamaah terisak tak kuasa menahan tangis. Sejenak jiwa mereka dibawa terbang kepada Yang Maha Tinggi. Dua khotbah yang berisi nasihat-nasihat untuk semakin meningkatkan takwa menyempurnakan ritual dalam rangka
merenungi kebesaran Tuhan itu. Usai shalat gerhana, banyak diantara para jamaah kemudian menikmati pagi di teras Nuruzzaman sambil berusaha menyaksikan sisa-sisa gerhana dengan kacamata ND5 yang dibawanya. Beberapa nampak bergantian menggunakan kacamata yang mampu melindungi mata dari bahaya menatap matahari secara langsung tersebut. Ucapan-ucapan yang mengangungkan Tuhan terdengar dari beberapa orang usai menyaksikan fenomena alam langka tersebut. “Tidak menyangka yang datang akan sebanyak ini,” celetuk Bagus Wilar, mahasiswa FEB UNAIR yang hadir mengikuti shalat gerhana di Nuruzzaman. Ia mengaku senang memiliki kesempatan untuk menyaksikan tanda kebesaran Tuhan tersebut bersama banyak orang di Nuruzzaman. Gerhana matahari total sendiri diperkiran akan dapat disaksikan kembali di Indonesia pada 20 April 2042 dan 12 September 2053. Namun demikian, wilayah Indonesia juga akan dilintasi oleh gerhana matahari cincin dan total secara bersamaan pada 20 April 2023 dan 25 November 2049. (*) Penulis : Yeano Andhika
Lindungi Mata dari Gerhana Matahari UNAIR NEWS – Antusiasme menyelimuti jutaan orang di wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Pasalnya, esok (9/3) sebagaimana diketahui gerhana matahari total maupun sebagian akan melintasi berbagai wilayah tersebut. Fenomena gerhana matahari sendiri terjadi ketika bulan tepat berada di antara bumi dan matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh
cahaya matahari. Terkait dengan adanya fenomena alam ini, masyarakat diimbau untuk tidak menatap matahari tanpa menggunakan alat pelindung. Dokter spesialis mata di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS UNAIR), M. Nurdin Zuhri, dr., Sp.M., RFP, menjelaskan risiko melihat dengan mata telanjang gerhana matahari tersebut. “Ada dua macam risiko yang akan dialami seseorang (apabila menatap gerhana matahari secara langsung). Pertama, adalah terbakarnya kornea mata. Kedua, adalah terjadinya kerusakan pada makula (pusat penglihatan pada saraf mata),” ujarnya. Dokter alumni Fakultas Kedokteran UNAIR tersebut juga menambahkan bahwa meskipun saat gerhana matahari terjadi keadaan bumi menjadi gelap, matahari tetap akan memancarkan sinar ultraviolet. Apabila seseorang melihat matahari tanpa mengenakan pelindung mata, sinar ultraviolet tersebut dapat mengakibatkan kornea mata terbakar. Selain itu, efek sinar biru yang berasal dari cahaya matahari juga mengakibatkan kerusakan pada makula. Lebih lanjut, menurutnya masuknya sinar biru cahaya matahari ke makula tersebut dapat menyebabkan degenerasi pada saraf mata dan mengakibatkan kebutaan. Untuk itu, dr. Nurdin menyarankan agar masyarakat yang hendak menyaksikan fenomena gerhana matahari esok hari untuk mengenakan kacamata dengan filter ND5 (filter yang bisa mereduksi intensitas cahaya matahari). (*) Penulis: Defrina Sukma S Editor: Yeano Andhika