Potret Kehidupan Mahasiswa Pelaku Kohabituasi
Nurmalisa Yuanita Hj. Ratna Syifa’a R
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi individu melakukan perilaku kohabituasi. Faktor- faktor tersebut adalah yang menyangkut ketidaksiapan untuk menikah, ketidaksiapan secara ekonomi, pengalaman traumatis sebelum atau sesudah pernikahan, dan pengalaman traumatis setelah pernikahan. Disaat seseorang muncul keinginan untuk berkohabituasi bersama pasangan, mereka cenderung mempetimbangkan keputusan tersebut berdasarkan faktor-faktor tersebut diatas. Namun dalam mengambil keputusanpun, biasanya individu dipengaruhi beberapa faktor pendukung lainnya, antara lain keberfungsian keluarga di mata pelaku, dan kematangan biologis yang harus mereka salurkan. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa atau dewasa muda yang sedang ataupun pernah melakukan perilaku kohabituasi. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara mendalam dan observasi. Responden wawancara berjumlah tiga orang. Dari wawancara tersebut dapat digambarkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kohabituasi dan potret kehidupan pelaku kohabituasi. Faktor yang mempengaruhi perilaku kohabituasi seseorang, lebih spesifik dalam penelitian ini, adalah kerapuhan iman, lemahnya kontrol keluarga dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan responden. Potret kehidupan mahasiswa pelaku kohabituasi dibagi menjadi dua aspek, yaitu: (1) Faktor-faktor yang mempengaruhi kohabituasi dan (2) Potret kehidupan pelaku kohabituasi. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan dalam laporan penelitian ini. Kata Kunci : Kohabituasi, dewasa muda
A.
Pengantar
Kehidupan individu selalu mengalami perubahan baik dari aspek fisik, psikis, maupun sosial, seiring dengan perubahan waktu dan zaman. Struktur aspek itu makin membentuk jaringan struktur yang makin kompleks, tidak terkecuali pada kehidupan remaja. Pada masa remaja, menurut Stanley Hall (dalam Psikologi
Perkembangan Remaja, Dariyo A, 2004), merupakan masa di mana remaja mengalami topan-badai dan stres (strom and stress), karena mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Jika terarah dengan baik, maka remaja akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab, tetapi kalau tidak terbimbing, maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki masa depan baik. Orang yang telah mencapai taraf dewasa muda berarti telah memiliki kemandirian dalam menentukan jalan hidup. Mereka tidak mau terikat aturan orang tua terus menerus. Untuk itu, mereka ingin mewujudkan kemandirian dengan membentuk kehidupan rumah tangga. Idealnya berumah tangga dilakukan melalui pernikahan. Kenyataannya di masyarakat kita sekarang ada fenomena hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Di Indonesia, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan diposisikan sebagai hal yang bersifat tabu. Selain itu pola hidup bersama dengan pacar sangat identik dengan seks di luar lembaga pernikahan. Masyarakat selama ini memastikan bahwa pasangan yang hidup bersama tersebut tentu saja melakukan aktivitas seksual. Meski kasus hamil di luar nikah sekarang ini banyak sekali terjadi, namun hal ini sama sekali tidak menunjukkan adanya kelonggaran masyarakat terhadap konvensi sosial yang membatasi hubungan seksual dalam lembaga pernikahan. Jadi pemenuhan naluri
biologis
hanya
dibenarkan
(http://kunci.or.id/esai/nws/10/kebo.htm).
dalam
ikatan
suami
istri
Perilaku seksual yang dilakukan oleh pasangan bukan suami istri dan tinggal bersama pada remaja sering disebut samen leven (kohabituasi atau kumpul kebo), keadaan tersebut sudah ada di dalam masyarakat kita namun jarang diungkap. Orang Indonesia punya sebutan yang unik untuk pasangan yang hidup bersama sebelum menikah yaitu “Kumpul Kebo”. Secara sederhana diartikan pasangan yang telah tinggal serumah sebelum menikah, sama halnya dengan binatang (yang kemudian diidentifikasikan dengan Kerbau), yang tinggal satu atap tanpa ikatan resmi. Istilah kumpul kebo, yang menganalogikan hubungan manusia dengan binatang itu tentu saja menunjukkan bagaimana masyarakat menilai negatif keputusan untuk hidup bersama tanpa menikah (http://kunci.or.id/esai/nws/10/kebo.htm). Kumpul kebo berasal dari masyarakat Jawa tradisional (generasi tua). Ini membuktikan bahwa sebenarnya perbuatan hidup bersama sering disebut dengan samen leven (kohabituasi atau kumpul kebo) bukanlah perkara baru, sejak dulu telah menjadi satu fenomena yang dianggap melanggar konvensi sosial masyarakat. Kumpul kebo senatiasa ditolak, dilarang, akan tetapi tak bisa dipungkiri tak pernah hilang dari khasanah perilaku individual di kalangan orang Jawa sendiri. Perilaku samen leven berhubungan erat dengan perilaku seksual yang kini makin marak dilakukan oleh usia-usia dewasa muda (young adulthood). Dalam kehidupan bermasyarakat, pernikahan dan keluarga merupakan institusi yang penting. Namun fenomena samen leven menjadikan hal ini menjadi ajang coba-coba yang ngetren di lingkungan dewasa muda (young adulthood). Perilaku ini biasa dilakukan oleh yang berusia 20-40 tahun. Secara fisik, seorang dewasa muda (young adulthood)
menampilkan profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak. Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik, cepat, dan proaktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat Sahabat Anak Dan Remaja Indonesia (Sahara Indonesia) menyebutkan bahwa 44,8 persen mahasiswa dan remaja Bandung telah melakukan hubungan seks hampir sebagian besar berada di wilayah kos-kosan bagi mahasiswa yang kuliah di PTN dan PTS terbesar di Bandung. Bagaimana para mahasiswa ini menjadikan tempat koskosan sebagai ajang prostitusi dan atas dasar apa mereka bisa terjebak dalam budaya seks bebas. Contohnya yaitu Wina, 21 tahun, sudah setengah tahun ini hidup bersama pacarnya. Mereka tinggal di rumah mungil Wina, hadiah ulang tahun dari bapaknya. Wina mengaku bahwa ia memang terinspirasi film Beverly Hills yang ditontonnya waktu SMA. Dulu ia berpikir betapa menyenangkannya bisa ketemu pacar seharian, melihatnya saat bangun dan berangkat tidur. Saat kuliah di Yogya, ia bertemu dengan seseorang, dan kemudian mereka pacaran. Menginjak bulan kelima mereka pacaran, ayah Wina membelikan rumah mungil untuknya. Wina segera berdiskusi dengan pacarnya mengenai kemungkinan tinggal bersama dan menurut Wina, ia memutuskan hal itu karena ia merasa sangat serius menjalin hubungan dengan pacarnya (http://kunci.or.id/esai/nws/10/kebo.htm). Berdasarkan hasil wawancara pada salah satu wanita pelaku samen leven pada tanggal 27 Maret 2006 di sebuah rumah kontrakan di daerah selatan Yogyakarta,
menyebutkan bahwa dia tidak merasa harga dirinya rendah atau merasa terganggu dengan melakukan perilaku samen laven dengan pacarnya. Justru ada perasaan bangga di depan teman-temannya bahwa pacarnya sering menginap di rumahnya yang hampir tiap hari. Dia menjadi bangga karena bisa melayani pacarnya seperti layaknya suami yang sudah di ikat dalam tali pernikahan. Padahal sangat tidak dibenarkan karena mereka belum ada ikatan resmi dalam lembaga pernikahan. Seperti yang dialami Sari (21). Sari telah melakukan perilaku samen leven bersama pasangannya kurang lebih 1 tahun hanya karena dia merasa aman dan nyaman jika di samping pasangannya tersebut setiap hari. Dia merasa bisa belajar menjadi calon istri untuk pernikahan dia nantinya. Telah diketahui kebudayaan di Indonesia apabila kita menjalin hubungan yang serius sampai ingin menjadi pasangan seseorang hanya bisa dilakukan dalam pernikahan. Disitulah kemantapan kita untuk berkeluarga di uji. Perilaku samen leven tidak memberikan dukungan dalam perilaku pernikahan tersebut. Pelaku akan terus bisa berganti-ganti pasangan di mana dia akan terus mencari kenyamanan dari satu pasangan ke pasangan lain. Bisa dikatakan perilaku tersebut tidak jauh dari pelacuran, yang hanya dibedakan dengan tidak adanya jual beli di antara mereka. Bahkan bisa pula dijabarkan bahwa para pelaku tidak menghargai adanya fungsi berkeluarga karena pelaku tidak melegalkan hubungan suami istri yang mereka lakukan dalam ikatan pernikahan untuk menjadi keluarga yang sesungguhnya. Bila dikaitkan dengan faktor agama, hal tersebut tersurat dalam Al-Qur’an, yaitu surat AL- Israa’ayat 32 :
????? ??? ? ??S ? ??? ?? ?????? ???????????? “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin menggali lebih dalam lagi cara pandang atau gambaran kehidupan pelaku kohabituasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
B.
Metode Penelitian
1. Subjek Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang sedang atau pernah melakukan perilaku kohabituasi. Responden tidak dibatasi jenis kelamin, dan agama. 2. Metode Pengumpulan Data Dalam
mengumpulkan
data,
penelitian
ini
menggunakan
metode
wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi terhadap subjek penelitian. 1.
Wawancara mendalam (indepth interview) Wawancara mendalam adalah suatu metode percakapan dan tanya jawab yang
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 1998). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang maknamakna subjektif yang dipahami individu berkenaan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. (Banister, dkk dalam Poerwandari, 1998). Selama wawancara peneliti melakukan observasi terhadap perilaku responden untuk memberi keyakinan peneliti mengenai kebenaran jawaban.
Data yang diperoleh dari wawancara mendalam merupakan termasuk data utama dalam penelitian ini. Selain itu metode wawancara merupakan suatu metode pngambilan data penting dalam psikologi. 2.
Observasi Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-
aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 1998). Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi yaitu dengan melihat langsung kegiatan yang dilakukan oleh responden dan menuliskan dalam catatan lapangan. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana kegiatan responden sehari-hari dan mencatat ekspresi non-verbal subjek pada saat interview. Metode ini memungkinkan peneliti untuk melihat dan mencermati sendiri bagaimana sikap dan perasaan subjek. Metode ini juga dapat menjawab keragu-raguan peneliti akan data yang di peroleh sebelumnya (Moleong, 2002). Bentuk observasi ini menggunakan observasi partisipan di mana observer turut ambil bagian dalam aktivitas subjek sedangkan observasi alamiah di mana situasi observasi betul-betul alamiah, tidak dibentuk atau dikontrol. Pada teknik pencatatan data menggunakan sistem verbal yaitu dilakukan secara deskriptif, menggunakan tulisan verbal, menangkap gejala atau ciri tingkah laku yang diutarakan dalam struktur kalimat. Metode pencatatannya menggunakan diary record atau anecdotal record yaitu dengan cara mencatat segala tingkah laku atau kejadian ditulis
dengan lengkap dapat mengenai diri sendiri atau orang lain. Metode ini dipilih karena dengan metode ini dapat memperoleh gambaran yang lengkap tentang apa yang diamati. 3. Metode Analisis Data
Menurut Patton (Moleong, 2001) analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Moleong
(2001)
sendiri
berpendapat
bahwa
analisis
data
adalah
proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Dalam penelitian ini data-data yang diperoleh berupa narasi, deskripsi, yang diperoleh dari hasil wawancara observasi. Adapun langkahlangkah penulis dalam melakukan analisis data adalah sebagai berikut: 1.
Membuat transkrip wawancara, laporan hasil lapangan hasil observasi. Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah wawancara dan
observasi. Hasil wawancara yang direkam mp3 player, dibuat kedalam transkrip secara lengkap untuk memudahkan penulis dalam menganalisis, begitu juga dengan laporan hasil observasi dibuat ke dalam bentuk tulisan dengan tujuan untuk memudahkan penulis dalam menganalisis. 2.
Mencari kategori. Transkrip wawancara dan laporan hasil obervasi yang telah dibuat dicari
kategori-kategori yaitu pengelompokkan terhadap sikap-sikap yang muncul dan hampir sama sifatnya. Kategorisasi tersebut dilakukan dengan pengambilan
kesimpulan secara induksi, yaitu kesimpulan ditarik dari keputusan yang khusus untuk menarik yang umum. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Jogensen (Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa proses analisis adalah memecah, memisahkan dan membongkar materi-materi penelitian ke dalam pecahan, bagian, unsur, maupun satuan fakta-fakta di pecah dalam unsur-unsur yang bisa diatur, peneliti mengurutkan dan mengatur fakta-fakta tersebut, mencari tipe, kelas, urutan, pola ataupun kesemuanya itu. Penafsiran data dilakukan dengan menerjemahkan data yang sudah terkumpul dalam tiap-tiap aspek ke dalam suatu deskripsi analitis. Diharapkan melalui deskripsi ini, fenomena-fenomena yang tergali bisa dipaparkan secara jelas (Poerwandari, 1998). Analisis isi diawali dengan membuat koding, membuat tema kemudian dilanjutkan dengan membuat kategori. Pada penelitian ini, pelaksanaan koding dilakukan dalam tiga tahap, menurut Strauss dan Corbin (Poerwandari, 1998) membagi langkah koding dengan menjadi tiga, yaitu koding terbuka, koding aksial dan koding selektif. Koding terbuka di mana dilakukan identifikasi terhadap kategorikategori dan dimensi-dimensinya. Pada tahap berikutnya, koding aksial dengan mengorganisasikan data dengan cara baru mulai dikembangkannya hubunganhubungan di antara kategori-kategori. Tahap terakhir koding selektif, di mana dilakukan
penyeleksian
kategori
yang
paling
mendasar,
secara
sistematis
dihubungkan dengan kategori-kategori lain dan memvalidasi hubungan tersebut. Secara umum, penafsiran data dilakukan dengan meneliti kembali setiap tipe yang dihasilkan dari kategorisasi, kemudian dengan menelaah faktor-faktor yang
mempengaruhi. Setelah kedua tahap tersebut dilalui, maka peneliti dapat masuk pada tahap selanjutnya yaitu tahap interpretasi. Peneliti juga melakukan triangulasi metodelogis dalam proses analisis data. Menurut Patton (Sutopo, 2002) metode triangulasi terdiri atas empat tipe antara lain: triangulasi data, triangulasi peneliti, triangulasi teori dan triangulasi metodologis. Peneliti menggunakan triangulasi metodelogis yaitu dengan wawancara mendalam dan observasi. D. Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini akan mengulas berbagai temuan dalam beberapa pokok bahasan yang dijadikan sebagai kerangka analisa data. Ulasan ini nantinya akan meliputi berbagai faktor yang mempengaruhi mahasiswa atau dewasa muda melakukan perilaku kohabituasi, yang meliputi kehidupan iman yang rapuh para pelaku sehingga kohabituasi tersebut bisa terjadi, mis-persepsi dalam pacaran sehingga terjadi kohabituasi, pergeseran norma yang berlaku dalam masyarakat dan kehidupannya, serta lemahnya kontrol orangtua yang merupakan faktor pendukung mereka memutuskan melakukan perilaku tersebut. Pembahasan penelitian ini juga mengulas tentang potret atau gambaran pelaku kohabituasi yang di temui saat wawancara berlangsung. Beberapa hal yang ditemui yang merupakan potret pelaku kohabituasi antara lain, ketergantungan yang terjadi antar pasangan baik secara fisik maupun secara emosi, pembagian peran yang terjadi saat kohabituasi yang meliputi peran sebagai suami istri dan pemenuhan ekonomi, kemudian tanggung jawab pribadi
pelaku dalam menjalankan perilaku tersebut dan sikap pelaku terhadap masingmasing keluarga. Salah satu hal yang mendorong remaja melakukan seks diluar nikah adalah kehidupan iman yang rapuh. Kehidupan beragama yang baik dan benar ditandai dengan pengertian, pemahaman dan ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik, tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Dalam keadaan apa saja, orang taat beragama, selalu dapat menempatkan diri dan mengendalikan diri agar tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, bagi individu yang rapuh imannya, cenderung mudah melakukan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran agamanya. Santrock menyatakan (dalam Dariyo,2002) agama hanya dijadikan sebagai kedok atau topeng untuk mengelabui orang lain (pacar), sehingga tak heran, kemungkinan besar orang tersebut dapat melakukan hubungan seksual pranikah. Rapuhnya kehidupan iman para pelaku mendorong terjadinya perilaku kohabituasi. Walaupun pada awalnya responden memahami akan adanya larangan agama melakukan kohabituasi merupakan dosa dalam ajaran mereka, tidak membuat mereka mengurungkan niat atau berubah pikiran untuk berhenti atau tidak melakukan perilaku tersebut. Mereka mempunyai perasaan bersalah kepada Tuhan telah melakukan kohabituasi, namun tidak segera melakukan upaya untuk segera berubah dan bertaubat dengan perilaku yang mereka jalani. Ketakutan mereka lebih pada secara pribadi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saat berperilaku kohabituasi dengan pasangan, seperti misal takut hamil ataupun takut jika terkena penyakit kelamin. Bahkan pada responden TR, mengungkapkan dia tidak mau melakukan
hubungan intim karena sikap tersebut salah satu penghindaran dosa besar kepada Tuhan karena walaupun melakukan kohabituasi tapi tidak sampai melakukan hubungan intim suami-istri dengan pasangan. Sedangkan dalam agama islam yang kebetulan dianut oleh ketiga responden, terdapat dalam surat Al – Isro ayat 32 yang artinya larangan dalam berbuat zina, berbunyi “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. TR tidak melakukan hubungan intim, namun tetap tinggal bersama pasangan dari kohabituasi yang ia jalani, tapi TR melakukan kegiatan seks yang lain seperti ciuman, tidur seranjang, dan pernah sama-sama tidak menggunakan busana pada saat tidur bersama, bahkan yang ia sebut dengan makingout dilakukan juga, yaitu pemenuhan kebutuhan seksual hanya tidak sampai intercourse. Apapun alasan yang diungkapkan TR hal tersebut masuk dalam kategori kerapuhan iman dalam dirinya. Apalagi dengan perilaku seks intercourse yang dilakukan oleh kedua responden lainnya, yang dengan terbuka mengakui adanya kegiatan intercourse dalam kohabituasi yang mereka jalani. Hal tersebut masuk dalam pembahasan bahwa golongan dewasa muda pada umur sepantaran responden sudah memiliki kematangan fisiologis (seksual) yang artinya mereka siap melakukan tugas reproduksi yaitu mampu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis yang harusnya bisa dilakukan asal mereka memenuhi persyaratan yang sah dengan perkawinan secara resmi (Hudaniah, 2003). Terdapat pula mis-persepsi dalam pacaran sebagai faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kohabituasi. Kuypers (Gerungan, 2004) menyatakan
ada tiga segi manusia, yaitu manusia sebagai makhluk individual, makhluk sosial, dan makhluk yang berketuhanan. Dalam hasil penelitian ini, sikap yang seharusnya tidak dilakukan oleh para pelaku sebagai makhluk sosial di muka bumi ini, tidak terlalu berpengaruh untuk mengubah keputusan mereka dalam melakukan perilaku kohabituasi. Pelaku tidak peduli akan pendapat orang yang menilai perilaku kohabituasi yang dijalani. Bahkan adanya pergeseran mengenai pengertian pacaran tidak menjadikan hal yang penting bagi mereka. Bagi para pelaku, apa yang mereka lakukan, dan apa yang dijalani merupakan pilihan mereka dalam menjalani hidup tidak peduli dengan pendapat orang lain sekalipun hal tersebut adalah salah. Mispersepsi responden dalam pacaran menjadikan kohabituasi suatu sikap yang masih bisa dianggap wajar. Hal tersebut menjadi salah satu pendorong orang melakukan hubungan seks diluar nikah. Dalam kehidupan para responden kegiatan seks merupakan suatu kegiatan yang jarang tidak mereka bahas dalam wawancara, nampak jelas tentang salahnya pemahaman mereka terhadap pacaran sehingga mampu memberikan seluruh kasih sayang terhadap pacarnya dengan berpelukan, berciuman, dan bahkan melakukan hubungan intim. Dalam perilaku kohabituasi AN, sebelumnya gaya pacarannya sudah sedikit mengarah ke perilaku seksual secara menyeluruh, tingkat keimanan AN tergolong laki-laki tidak kuat karena jika berkenalan dengan wanita-wanita yang menarik secara seksual, ia pasti akan melakukan langkah-langkah pendekatan untuk mengambil hati wanita tersebut. Apalagi sampai terjadinya kohabituasi yang ia jalani, menjadi suatu perilaku pacaran yang baru yang dijalankan dengan senang hati oleh AN. Menurut KP seks adalah kegiatan yang biasa ia lakukan
dengan pacar-pacar sebelumnya. Melakukan hubungan seksual dengan pacarpacarnya merupakan hal yang sangat biasa bagi KP. Seks sudah menjadi kebutuhan bagi KP, permintaan pacarnya untuk melakukan hubungan seksual akan disetujui oleh KP. Hal ini menunjukkan bahwa sikap-sikap yang diambil oleh para responden, seakan-akan menghalalkan hubungan seks walaupun masih dalam tahap pacaran. Sehingga memperlihatkan terjadinya pergeseran makna bahwa melakukan hubungan intim pada saat berpacaran merupakan hal yang biasa. Kebudayaan menyangkut aturan yang harus diikuti, dimana kebudayaan bersifat normatif, yaitu menentukan standar perilaku. Ada dua golongan kebiasaan: (1) Hal-hal yang seharunya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) Halhal yang harus diikuiti karena keyakinan bahwa kebiasaan tersebut penting untuk kesejahteraan masyarakat. Pandangan tentang salah dan benar yang bersangkut paut dengan kebiasaan disebut tata kelakuan (mores), Jadi arti kata kelakuan adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain (Sosiologi, Horton dan Hunt , 1999). Pergeseran norma, yang merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi perilaku kohabituasi, dapat dijabarkan dengan adanya norma sosial. Norma sosial itu sendiri mengandung makna tingkah laku yang khas antara anggota-anggota kelompok. Namun ini bukan berarti norma rata-rata mengenai tingkah laku yang sebenarnya terjadi dalam kelompok itu, merupakan pedoman-pedoman untuk tingkah laku individu. Norma inilah yang mengikat kesatuan kelompok. Tiap-tiap anggota di dalam kelompok mengakui, memakai, mentaati bersama terhadap norma sosialnya. Terdapat dua macam sifat
norma, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Dalam artian norma tertulis, norma tersebut berisi tentang peraturan-peraturan tertulis, yang diatur secara tertulis dan terdapat sanksi atas pelanggarannya. Untuk norma yang tidak tertulis berupa kebiasaankebiasaan, tradisi dan adat-istiadat yang semuanya tidak tertulis (Ahmadi, 1990). Dari hasil penelitian ini terdapat adanya pergeseran norma yang terjadi dari para pelaku kohabituasi, banyaknya nilai-nilai yang terkandung yang bisa diungkap dalam hasil penelitian ini.pergeseran nilai-nilai juga mempengaruhi kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores). Nilai berhubungan erat dengan harga (Mitchell, 1968 dalam Sosiologi, 1999). Yang dimaksud dengan harga disini, adalah harga yang dinyatakan dengan uang untuk suatu barang atau jasa dan harga itu akan merupakan ukuran seberapa tinggi nilai suatu barang atau jasa dibanding yang lain. Nilai adalah suatu bagian yang penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang dapat diterima Saat adanya pernyataan ketakutan mereka jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tidak mempengaruhi pola hidup yang mereka jalani, bahkan perilaku seks pranikah yang seharusnya tidak mereka lakukan saat pacaran menjadi hal yang biasa dilakukan. Sangat bertolak belakang dengan adanya norma kesusilaan, yang menyatakan barang siapa yang melanggar kesusilan biasanya ada hukumnya, namun diisolir atau disingkirkan dari masyarakat bahkan menjadi pembicaraan dalam lingkungan masyarakat tersebut. Dari adat-istiadat yang berlaku tidak dibenarkan adanya perilaku kohabituasi
dalam masyarakat namun dengan adanya pergeseran norma, serta
lingkungan yang sengaja memfasilitasi terjadinya perilaku tersebut. Hidup bersama
pasangan yang seharusnya berada di bawah naungan pernikahan yang sah tidak lagi menjadi suatu keharusan bagi pelaku kohabituasi. Pergeseran norma yang terjadi saat ini sangat melenceng jauh dari kebudayaan kita sendiri sebagai orang timur. Ada beberapa bagian masyarakat yang mulai mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan orang barat atau luar negeri yang sudah biasa melakukan kohabituasi. Hampir dibeberapa negara maju dan berkembang kohabituasi merupakan perilaku yang biasa dilakukan sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Dalam kebudayaan Indonesia, seharusnya tata krama dalam masyarakat masih bisa dijaga, namun kini yang terlihat dalam masyarakat di beberapa kota besar dan kota pelajar seperti Jogjakarta, kohabituasi telah banyak dilakukan oleh para mahasiswanya. Tidak menuntup kemungkinan hal tersebut bisa meningkat menjadi para pelakunya adalah tingkat pelajar SLTP atau SLTA. Seperti kejadian awal mula KP melakukan hubungan intim, ia lakukan bersama pasangan saat duduk di bangku SLTA, di saat usia perkuliahan awal dia sudah berani hidup bersama pasangan karena jauh dengan kontrol orangtua. Saat mereka masih satu rumah dengan orangtua pun ternyata kontrol orangtua tidak lagi terlalu berfungsi, terbukti dengan adanya kejadian AN yang bedomisili di Jogjakarta dengan orangtua bisa melakukan perilaku tersebut dengan santai. Letak norma masyarakat Indonesia kini semakin bergeser terlalu jauh, dengan banyaknya tempat kos yang terlalu bebas, bahkan hidup bersama pasangan diperbolehkan oleh pemilik kos sendiri, kemudian fasilitas hotel-hotel yang kini banyak sekali membebaskan para penginapnya tidak perlu mempunyai kartu status telah menikah bagi pasangan yang akan menginap. Sebaiknya ada perubahan ke citra
awal bahwa masyarakat Indonesia terlebih Jogjakarta masih mampu menjaga tata krama dalam kesopanan bermasyarakat, bersosialisasi dengan tata cara yang benar juga. Ada beberapa yang sempat peneliti bahas sebelumnya, bahwa lemahnya kontrol orangtua menjadi pemicu mudahnya kohabituasi dilakukan oleh para dewasa muda. Yang terjadi pada TR, dia hidup dalam keluarga yang hangat, hubungan antar keluarga baik, berasal dari keluarga yang mampu dan berpendidikan tinggi, namun perhatian orangtua yang sebatas telepon hanya diartikan sebagai kewajaran orangtua menelepon anaknya untuk menanyakan kabar dan lain sebagainya. Sedangkan hal tersebut tidak bisa terlalu menjadi benteng diri para pelaku untuk tidak melanjutkan kohabituasi. Tidak hanya TR yang hidup dalam keluarga yang hangat, AN pun demikian, dia hidup di Jogja bersama orangtuanya, ada ketakutan seandainya orangtuanya tahu apa yang telah dia lakukan menghasilkan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, namun dia tetap melakukan kohabituasi bersama pasangannya yang sama-sama berdomisili di Jogjakarta dan hidup bersama orangtuanya. Kelebihan materi yang keluarga mereka miliki menjadi bumerang bagi anak-anaknya seperti terfasilitasi melakukan hubungan haram di hadapan ALLAH SWT tersebut. Di bandingkan dengan orangtua KP memang lebih cuek, namun dia juga tidak kurang perhatian dari keluarganya, walaupun ada pernyataannya tentang tidak terlalu akrabnya hubungan antar keluarga yang terjadieharusnya bukan menjadi alasan para pelaku melakukan kohabituasi, dan diharuskan para orangtua bisa menempatkan posisi yang sesungguhnya sebagi orangtua untuk memberi pengarahan baik buruknya
suatu perilaku, dan kontrol orangtua yang harusnya bisa dilakukan secara tegas kini mulai longgar. Gunarsa & Gunarsa (dalam Dariyo, 2004) menyatakan dari sudut pandang agama, keluarga merupakan tempat untuk pengenalan kesadaran akan adanya “sesuatu” yang luhur, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pengenalan norma-norma dan etis moral, seperti tindakan baik atau buruk, yang dapat dijadikan pegangan dalam perilaku sehari-hari. Salah satu peran penting orang tua adalah menjaga, mengawasi atau mengontrol anak supaya tidak tergelincir dari hal-hal yang tidak baik seperti pergaulan bebas, seks bebas bahkan kohabituasi bersama pacar. Jika orang tua bisa melihat awal mulanya anak akan mulai menyoba sesuatu yang mungkin tidak baik, sebaiknya orangtua bisa mengatasinya dari awal, karena salah satu dukungan pelaku melakukan perilaku kohabituasi karena lemahnya kontrol orangtua. Seperti memberi kebebasan pada anak untuk melakukan perilaku menyimpang. Kemudian sikap apa saja yang akan terjadi saat para pelaku kohabituasi menjalankan kesehariannya, menjadi gambaran yang seharusnya tidak terjadi pada hubungan yang masih belum resmi dalam agama dan hukum pemerintahan. Dalam teori segi tiga cinta (triangular theory of love), yaitu intimacy, passion, commitmen. Dari hasil penelitian yang didapat, para pelaku samen leven cenderung bersifat ketergantungan secara intimacy dan passion. Mereka ingin mempunyai kedekatan secara emosi dengan pasangan karena adanya rasa saling membutuhkan antar individu dalam melakukan segala kegiatan yang dilakukan sehari-hari, yang menjadikan hal tersebut ketergantungan antar individu. Dalam ketergantungan secara fisik, lebih mereka gambarkan dengan perasaan aman, dan nyaman jika orang yang
dicintai berada di dekat mereka. Perasaan menjadi tergantung dengan para pasangan menjadi gambaran yang jelas bahwa mereka senang melakukan kohabituasi tersebut. Rasa ketergantungan secara fisik ataupun emosi yang seharusnya tidak pantas mereka artikan dengan pola hidup kohabituasi yang kini mereka jalankan menjadi cerminan yang buruk bagi generasi-generasi berikutnya. Padahal yang seharusnya terjadi adalah, para dewasa muda sudah bisa berpikir secara dewasa juga untuk baik buruknya keputusan yang mereka ambil. Mereka berpendidikan, dan sudah mampu diberikan tanggung jawab, namun mereka mengartikan bahwa usia mereka adalah syarat sah mereka untuk menyandarkan segala kebutuhan kepada pasangan, padahal mereka seharusnya sudah bisa mandiri. Pembagian peran yang terjadi para pelaku saat kohabituasi bukanlah sesuatu hal yang baik. Beberapa dari mereka memang tidak secara terbuka mengakui peran tersebut, namun sikap-sikap yang mereka munculkan adalah bahwa mereka tidak dapat menutupi adanya peran sebagai suami istri ataupun pemenuhan kebutuhan ekonomi yang didapat dari pasangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kohabituasi yaitu ketidaksiapan menikah. Popenoe dan Whitehead (dalam Dariyo,
2004)
menyatakan
bahwa
laki-laki
cenderung
menganggap kumpul kebo sebagai kesempatan melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya, sedangkan bagi wanita, kumpul kebo dianggap sebagai persiapan untuk memasuki pernikahan yang sah. Seperti contoh sikap dari TR, ia mau tak mau membersihkan keadaan rumah yang mereka huni saat berkohabituasi, dalam masyarakat, gambaran rumah tangga memang istrilah yang berperan sebagai pengatur
isi rumah. Kemudian sikap AN yang menyatakan bahwa ia memang merasa sudah seperti hidup berumah tangga saat berkohabituasi, AN merasakan bahwa pasangannya sudah berperan sebagai istri disaat suatu kejadian demi kejadian pasangannya selalu mempersiapkan segala kebutuhan sehari-hari yang diperlukan AN. Bahkan disaat mereka makan bersama, pasangannya meladeninya selayak istri melayani suami. Terlebih yang terjadi dengan KP malah mengungkapkan dia tidak peduli dengan perkataan orang jika dia bisa melakukan apapun yang bisa ia lakukan demi pasangannya akan dia lakukan dengan senang hati, prinsipnya ia ingin melakukan yang terbaik bagi pasangannya, apalagi KP bergantung juga secara ekonomi kepada pasangannya Padahal untuk sikap-sikap seperti itu, hanya bisa terjadi jika suatu pernikahan yang sah sudah terjadi. Hal ini malah menggeserkan arti sesungguhnya suatu pernikah yang sakral, mereka seperti menganggap hubungan yang mereka jalani adalah percobaan mereka sebelum memasuki pernikahan yang sesungguhnya. Ada beberapa tanggung jawab pribadi dari masing-masing pelaku saat menjalani kohabituasi. Ada pelaku yang tidak mau melakukan intercourse sematamata karena dia sadar akan tanggung jawabnya sebagai anak, kemudian dia sebagai makhluk Tuhan yang masih mengaku beragama yang pasti harus mempertanggung jawabkan sesuatu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. AN pun juga mempunyai sedikit rasa bersalah pada orangtua dengan perilaku yang dijalaninya, kemudian KP juga mencoba bertanggung jawab dengan tidak membebani keungan dari orangtuanya lagi. Selain dia berusaha mencari pekerjaan dan juga mendapat pemasukkan
keuangan dari pasangannya. Beberapa dari mereka memang lebih berpikir untuk bisa bertanggung jawab pada pribadi mereka sendiri-sendiri. Mencari upaya agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan yang akan membuat kekecewaan dan penyesalan dalam diri mereka. Perkembangan kognitif dewasa muda menurut Warner Schaie (Dariyo, 2003) dibagi menjadi tujuh tahap, yaitu: 1. Tahap
menguasai
pengetahuan dan keterampilan (acquisitive, 6-25 tahun), 2. Tahap pencapaian prestasi (achieving stage, 24-34 tahun), 3. Tahap tanggung jawab (responsibility stage), 4. Tahap eksekutif (executive stage), 5. Tahap reorganitational (reorganitational stage), 6. Tahap reintegratif (reintegrative stage, dewasa akhir), 7. Masa membuat dalil-dalil hukum (legacy creating stage). Dari ketujuh tahap di atas salah satunya adalah tahap tanggung jawab (responsibility stage) dimana pada tahap ini dewasa awal sebagai makhluk sosial, mau tak mau seseorang harus mampu mempertanggungjawabkan segala tindakannya secara etika moral kepada masyarakat. Demikian pula orang yang memasuki masa dewasa muda, akan dituntut rasa tanggung jawabnya sebagai individu. Dari hasil penelitian yang dilakukan, tidak semua responden menyadari akan tanggung jawab itu. Namun mereka tetap bisa menempatkan tanggung jawab pribadi mereka sendiri, seperti pernyataan responden tentang keinginannya untuk tidak mau melakukan hubungan intim karena tidak siap dengan konsekuensi hamil dan kekecewaan yang akan diperoleh orangtuanya. Hal ini dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap diri sendiri. Sikap yang mereka tunjukkan terhadap keluarga, nampak adanya pergeseran kesopanan yang seharusnya masih mereka tanamkan pada diri mereka kepada
keluarganya. Walaupun adanya kesadaran bahwa limpahan kasih sayang dari orangtua selalu mereka dapatkan, namun mereka tidak mampu untuk mengatakan sejujurnya yang mereka lakukan selama ini. Responden AN pun dengan terangterangan menyatakan bahwa jika berada dalam rumah bersama orangtuanya, senatiasa dia akan bersikap menjadi anak yang baik, berbeda dengan sikap yang nampak saat dia keluar rumah tanpa kontrol orangtua. KP lebih bersikap apa adanya terhadap keluarganya, terlebih dia hidup dalam lingkungan keluarga yang cuek, urusan masing-masing anak merupakan tanggung jawab anak sendiri.
F. Saran 1. Bagi Mahasiswa Perilaku samen leven memberikan implikasi yang negatif terhadap proses perkembangan dalam fase remaja akhir maupun terkait dengan status mahasiswa. Sebaiknya perilaku ini jangan pernah ditiru atau hanya sekedar mencoba-coba, karena akan semakin mendorong rasa keingintahuan yang tidak dibenarkan dalam status belum menikah. Yang bisa saja berresiko dengan kehamilan diluar nikah, dan buruknya pengaruh bagi generasi-generasi berikutnya. 2. Bagi Orang tua Hendaknya orang tua melakukan berbagai upaya yang mampu mencegah putraputrinya memilih melakukan perilaku samen leven dalam hidupnya. Hendaknya diberikan pemahaman, pengertian akan ketaatan beragama agar bisa membentengi diri mereka tidak terpengaruh dengan lingkungan yang buruk.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya Kajian lebih lanjut sangat berguna untuk dapat lebih menyempurnakan penelitian atau study kasus mengenai perilaku samen leven dengan lebih memfokuskan pada aspek-aspek yang lain misalnya dari aspek agama atau religiusitas serta lebih didukung oleh informasi-informasi yang lebih relevan sehingga mampu mengupas fenomena perilaku samen leven lebih luas dan rinci. 4. Bagi Pengambil Kebijaksanaan Sebaiknya lebih diperhatikan norma-norma sosial dalam masyarakat yang mulai bergeser dengan munculnya perilaku samen leven. Hal ini terkait dengan dampak negatif samen leven bagi pembentukan mental para pelakunya, serta dampak moral terhadap lingkungan di sekitar. G. Daftar Pustaka Ahmadi. A, 2002, Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo. Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia. Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. Moleong, L. 2001. Metodologi Penelitian Kulaitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Poerwandari, E.K., 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Becker, S.H. 1988. Sosiologi Penyimpangan. Jakarta: Rajawali Pers. Horton, P. B., Hunt, C. L. Sosiologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Tri Dayaksini, M.,Si dan Hudaniah, S.Psi. 2003. Psikologi Sosial, UMM Press.
Sumber dari internet: http://kunci.or.id/esai/nws/10/kebo.htm http://ms.wikipedia.org/wiki/Keluarga http://eire.census.gov/popest/archives/1990.php
[email protected] mailto:
[email protected] http://zencon.ca/ http://www.crsc.uqam.ca/ http://www.ecs.soton.ac.uk/harnad
NASKAH PUBLIKASI
POTRET KEHIDUPAN MAHASISWA PELAKU KOHABITUASI
Oleh: NURMALISA YUANITA RATNA SYIFA’A
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
NASKAH PUBLIKASI
POTRET KEHIDUPAN MAHASISWA PELAKU KOHABITUASI
Telah Disetujui Pada Tanggal _______________________
Dosen Pembimbing Utama
(Hj. Ratna Syifa’a R, S.Psi.,M.Si)