MORALITAS DAI{ PERKEMBANGANIIYA (Fenomena Kehidupan Mahasiswa) Oleh:
Maria Goretti Supeni KIp rJnive\itas Tidar Magelahg
Dosen Falotltas
ABSTRACT
_
Mordls are conceptualr defned as the rutes ofbehayior that have
bc.onp thc a6tons ahd tradiions of a (Mnunitv or a grcup of pcopk. n?-s? rutes of behavior are e,ppctcd b b; "t""_iaa ry nenbqt oJ rtc caMunily. Momt behavior do.tops through "it ier*s of.cuLurals i" which individ&1ts tive A wies of ;orat p;nciptes ot ethi.!:s that h@e bea intematrzcd in ,ndivid@k. connont; uncd ":^:"*: contot ot thetr beh@iot. Motohry. therclorc. involves thrc? componpna. norut b?h@io., mont t"pti;C. and no,al iudqcn.h!. Ihese eonpon"nts hfue diffuew pwchotoeiit ne.hanisn: noru| behtuior L, shaped up or deretoven rhiush nodchng aad condittoaing, cogntivc conponcnt krough cognitie .oh|lid atu equilibriu4 aad afqtiee conponent thtough the daelopne ol libido aad tupu?go. The cosnitivc component, which L ako uled no.at judgemenr, devetops thtouCh six conse.ative
oI'. deylopnea: puishtnen obet ence oriedation, :taqes inslrumental rclativist orienhlion, inreryersonal nncordance
onenlatioh, law and odt orienhrion, social contract orientation, atm he bst stoge, univeEal ethical pnnciple orienturion. mese stages are b.asicalb a peopte underyoing norat -univgrcat, leverowe,:t ll!2uch 4e above sk stas6 ;f deveropnAr,hon e lowest to the highest. However, not alt people can rcach the last two
slaEes, 5 and 6. Adulr people generalty reach
Ke$ronls: norals and deveroprrrent
l3
asfar as
stage 1.
Mqalit8
A.
dan Perkenbansamya
(FaoneM Kehitupm Mat'8atua) (Mda coftet Sqeni)
PENDAIIIJLUAN
Dapat dikatakan bahwa hampir setiap anak, remaja ataupun orang dewasa setiap saat dihadapkan dengan masalah etika-mo.al, karcna pedlaku etika-moral berkaitan erat bahkan menyatu dengan tingkah laku setiap orang dalam pergaularurya dalam masyarakat.
Orang yang "bermoral" akan lebih m€mpuyai kesempatan bersama yang lain, atau diterima oleh masyarakat daripada yang kurang atau tidak "bermo!al". Moralitas merupakan hal yang prinsipial dalam kehidupan bcrmasyarakat, namun sayangnya moralitas bukan hal yang sederhana dan instant- Tingkah laku yang "bermoral" harus dipelajari dan dikembangkan sejak anak-anak sebelum sekolah hingga remaja, balrkan di masa dev/asapun kadang-kadang orang masih harus mengembangkan moralitaslya. Melalui pengamatan penulis selama bergaul dengan mahasiswa kuang lebih tiga dasawarsa, makin modem peradabanbuday4 bukalmF diimbangi deflgan semakin baiknya perkembangan perilaku para mahasiswa tetapi sebaliknya. Nampak jelas alCir.al{ir ini perilaku mahasiswa yang semakin lemah dalam motivasi belajar, kemandidan, tanggung jawab serta dalam perilaku santunnya. Untuk masuk kelas&uliah tepat waktu harus diadakan kontrak atau klsepakata{ antara dosen dan mahasiswa tentalg sangsi bagi mahasiswa yang terlambat, sewakhr ujian dosen harus mengawasi super ketat dengan sernua tas harus diletakkan di depan, mahasiswa berpapasan dengan dosen tidak menyap4 mahasiswa berkomunikasi dengan dosen lewat SMS menggunakan bahasa gaul, dan sebagainya. Hal ini tidak perlu terjadi apabila mahasiswa
telah menyadari dirinya sebagai mahasisrra yalg memiliki moralitas sesuai dengan tingkat perkembangannya. Perilaku mahasiswa diatas berada jauh di bawah yang seharusnya dicapai.
Merasa prihatin terhadap kondisi di atas, penulis terdorong untuk menyajikan sebuah teori moral, lebih tepatnya "Moral Reasoning" dari Kohlberg. Kohlbetg meng€mukakan bahwa moral
14
Yol13 No.1.
15
Febtui
2010 : t3-32
reasoning berkorelasi positif dengan perkembangan kognjtiihya (Green 1989, Bee 1980). Moral Reasoning tidal laio- adalatr bae3i1an1 sgegral8 mempertimbangkan dan memutuskan apakah suatu tingkahlaku taik untuk dilakukan atau tidak, maka disebut juga moral jldgement- Kita ketahui bahwa kognitif berke;bang seiring dengan bertambahnya umur seseorang, karena aspek ini terkait dengan pertembangan fisik (otak) di samping pengalaman . seseorang selama hidupnya. Dengan demikian dihlrapkan semakin
tinggi umur seseolang semakin dnggi pula tingkat moialitasnva. Tingkah laku yang .,bermoral", lebih dari sekcdar dilakukarr sesuai dengan standard-standard sosiat (dalam anian dilakukan secara terpaksa), tetapi juga harus dilakukan secam sukarela- pada dasamya tingkah laku moral merupakan proses transisi tuntutafl yang bersifat ekstemal kedalam tmtutan yang bersifat intemal
(extemal
to
internal authority) yang diatur dari dalam diri
seseorang, yang disertai perasaan tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan te.sebut. Untuk proses tmnsisi tuntutan sosial (ekstemal) kedalam hmtutan pribadi (inlemal) ini seseorang harus memiliki kesemparan tuntuk .mengambil bagian dalam aktivitas sosial, karena hanya melalui. itu seseorang dapat belajar dan memahami hal-hal yang menjadi harapan atau tuntutan kelompok Melalui aktivitas dalari keJompok seseorang dapat mengetahui hal yang benar dan yang salah. dan mengapa ).ang benar harus dilakukur, ."auog y.ng harus dihindarkan. "utui'
Menurul teori Kohlberg yang didukuns oleh banvak peflelitian para ahli. para mahasiswa seharusn).a sulah berada p;da tingkat konvensional (tahap 3 dan 4), dimana pedlaku buruk taik olpertrmbangkan atas dasar apakah sesuai atau tidak dengan hukum-hukum. ahnar-aturan atau diterima oleh masyankat pida umwnnya atau tidak. Namun kenyataaq di atas menunjuikan bahwamereka masih berada pada tingkat pra konvensiond (Lhap I dan 2) dimana perilaku baik buruk dipertimbangkan dan diputuskan berdasarkan apakah hal tersebut amrryu
_
-&y"n-4i"
l5
Morulihs tlan Peftenbonsoa,,w Gaorcna Ket lupan MahBisEa) (Moria Gamti Supehi)
atau tidak.
Is
there songthing wrozg? Mernbicarakan tenta[g
mengapa perilaku moral merosot di kalangan mahasiswa tidak akan
cukup dalam sepuluh halaman folio. Namun dapat kita katakan dengan pasti bahwa perkembarga moralitas sangat kompleks, sekompleks budaya yang ada di sekitar kita yang bisa kita lihat, dengar ataupun yang kita lakukan. Moralitas berkembang melalui serangkaian budaya (Bee 1981, Moshman dkk 1987, Kurtines dkk 1 984). Moralitas meliba&an koqoter. behaviot, feeling, dan reasoning. Oldt karena itu dalam peqgembangaffrya tentu saja ketiga aspek tcrsebut perlu "disetrtuh" secara bersama. Bagaimana keluarga dan sekolah dalam usahanya mengembangkan moral anak-anak tentunya perlu ditinjau kembali. Pengembangan moral tidak cukup melalui banyaknya pengetahuan moral dart agama serta tata cara beribadah yang dihafal. Bukankah banyak kita jumpai orang-orang yang khr-rsuk beribadah temyata berperilaku immoral ? Semoga pembahasan yang sederiana iai menambah pemahaman pembaca tentang bagaimana moralitas berkembang Ldususnya penalaran moral (moral reasoning), yang akhimya sebagai pedoman dalam usahanya mengernbangkan moralitas anak dalam keluarga maupun di sekolah.
B.
PEMBAHASAN
1,
Pengertian Moral Secara konseptual Hurlock (1973), memberikan arti moml sebagai atumn-aturan bertingkah laku yang telah menjadi kebiasaan atau adat istiadat bagi anggota kelompok dan menjadi pola tingkahlaku yang diharapkan bagi seluuh anggota kelompok. Sedangkar tiflgkahlaku moral diartikan sebagai tingkah laku yang sesuai dengan cara-cara dianggap bermoral oleh kelompoknya. Tingkahlaku imrnoral berteda dengan tingkahlaku unmoral. Tingkahlaku immoral, merupakan kegagalan dalam menyesuaikan diri terhadap hrntutan sosial, tetapi bukan karena kebodohan dan ketidaktahuannl,a melainkan karena menolak standar-standar sosial
16
Yol3l
|,lo.
l,
15
Februti 2OlA
dan kurangnya tanggung jawab terhadap masyarakat.
dengan lingkah
laku unrnoral yang diartikan
U..,id,u$*fy1" dalam
ti
t1
Berbeda sebagai
menyesuaikan diri rerhadap srandaid_ slandard sosial karena kekurangpahaman terhadap nilai_nilai sosial. Kegagalan lerhadap pcnyesuaian diri ini biasanya dialami oleh anak-anak kecil. Dikut*- lll^u.olch Be€ (1981), Moshman dk* :1987), dan .. Kurlines dkk (1984), bahwa moraliras berkembang ,"lutui serangkaian budaya. Budaya dimana individu tingeul iun tiJuD akan mempeugaruhi intemalisasi nilui aun tlrguna uniri mengontrol tingkahlaku individu tersebut. Serangkaiai nilai etika_ mor.al yalg- ada dalam diri seseorang sering diseiut dengan ..rua* hatr aiau "hatj nurani". Suara haLi tersebu{ mengontrol li;gkahlaf-u seseorang untuk bertirdak sesuai dengan nilai_nilai etika_moral, dan.akan membuat orang merasa bersalah, sedih d-""y*"i;jik; tingkahlaku menyimpang dari nilai-nilai yang telah terintemad;;i. menyangkut igu torpon"n yuitu 9'"1 ,U,Try*. (moral.moratitas behavior). perasaan moml (moralfeeling) dan Itingkahlak! keputusan moral { n o raljudgementl. bchavior. adalah tingkah laku yang nyata yang perkemban8an moml individu. yaitu apaka[ rndrvrdu dapal.menyesuaikan tingkahlakunya dengan suara hatinya atau hdak. Mjsalnj," suara batinya telah mengatakan bahwa mencufi rtu perbualan yang salab, telapi aoak melihat bulpen bagus ml.lrk lemanny4.dan tak ada orang laitr yalrg melihatnya sementlara ra lngn_memiliki. Apakah ia mampu menolak godaan itu? Feeling; merupakan eleiren afektifl yang ,berhubungan dengan bagaimana seseorang merasa, jik" Inj"nggui suatu aturan atau nilai Misalnya ketika ia m*g.ntit Outp"n ,iliit ternannya, apakah anak akan merasa bersalah? l*u a"furrrai.i anJ ada perasaan be$alah sewaktu melanggar nilai_nilai, hal ini
,.
. , !"^,,d"le* i:jllP,
., Yrol
ini
menandakan adanya pe*embanga" auiarn suara "intenalized rulcs"
17
hati
atau
Moralitas dan P.rtentb@Eamra (Fenwaa
Kdidupa tiahNisa) (Mdna Cafteti
Supeni)
Moral judgement (keputusan moral), ini merupakan komponel kognitil yartu yang berhubungan dengan bagaimana anak mempertimbangkan dan memutuskafl, apakah suatu tingkah laku dianggap benar atau salah. Juga untuk menilai apakah orang lain berbuat salah atau tidak. Mengenai hal inilah yang akan dibahas secara lebih luas dan mendalam dalam studi ini. Ketiga komponen di atas, dipandang memiliki mekanisme psikologis yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, bahwa komponen tingkah laku lebih diatur melalui modelling dan kondisioning. Tokoh dalam hal ini adalah Bandura. Komponen kognitif diatur oleh adanya konflik kognitif dan equilibrium, tokohnya Piaget dan Kohlberg. Sedangkan komponen afektifdiatur oleh perubahan libido serta superego, tokohnya Frued (Kurtines
dkk, 1987).
Walaupun ketiga komporen diatas masing-masing merupakan bagian dari rnoralitas, namun bebempa penelitian yang telah mencoba mengkorelasikan antara ketiga komponen te6ebut, korelasi afektif dengan behavior ataupun kognitif, dan kognitif dengan behavior, temyata hanya menemukar nilai yang rcrdah. Ini berarti bahwa ketiganya tidak selalu berhubungan, walaupun mereka semua mendukung perkembangan momlitas seseorang. Kenyataan semacam ini tidak dapat dipungkiri karena proses dari timbulnya rangsangan sosial yang memacu terjadinya kognisi sosial hingga munculnya tingkahlaku yarrg nyata, banyak faktor yang dapat mempengaruhi. Situasi dan kondisi seseomng ataupun lingkungan saat itu, ikut berpengaruh terhadap perwujudan tingkahlaku seseorang. Misalny4 seorang pejabat di suatu instansi tertentu, terancam untuk dipecat jika tidak menyesuaikan diri dengan kehendak pimpinannya yang menwut pendapatnya jelas tidak berur, dan melanggar keadilan. Hati nuraninya menyatakan "itu tidak beoar!" namun situasi dan kondisi mengatakan "Jika tidak dilakukan, koselamatan terancam!". Akibahya orang mungkin akan melakukan tindakan yang tidak benar, walaupun feelingnya akan merasakan gelisah atau ada rasa salah @zilr). Jika
18
YoI.33 No.
L t5 F.btui2OI0: !3
12
"hati nuraninya" masih..hidup,', berarti akan terjadi pergolakan ego dan stpercgo dalam diri seseorang. Mana y-;
-"";;i
Tergznlung kekualan masing-masing. Menurur Freud, iistru feelfe rruiah yang sangat berpengaruh terhadap lingkah laku moraJ
seseorang.
..
_
Berkaitan dmgan masalah bahwa ketiga kompone[ diatas
tidak selalu sinkon atau berhubungan, Kohlberg ' mengatakan
sebagai berikut:
"The relationship between moral judgehent and horal behaior is not lully deftned. That is, noral judgcnent is hecessary but not sufrcient condition for- moral action. Olher variables come into pla! such as emotion a general sense of will purpose or ego strength. Moral iltdgemery is not this only distinctive moral factor behavior" . (Fuftrmarm, l99O) Uituk mernpelajad tinglah laku yang aktual, orang harus ... melihat terlebih da}ulu apa.yang menyebabt un mrncutnyaiingkJ tersebul yang terjadi daiarn diri subjek yang rak ]at: _ l_ros:s kelihatan Ierlebih dahulu harus diketa_hui, yaitu -.ngupu ir_g bertingkahlaku. Kita tak dapat menyatakan upakul- poUuatri seseorang melanggar nilai rnoral atau tidalg sebilum tairu alasan apa yang membuatnya trertingkahlaku- perbuatan yang sama belum tentu melniliki latar belakang atau alasau yang sama. Misalnya, perbuatan "mcmbunuh" orang, itu melanggar nilai morat, tetipi bagaimana jika pembunuhan itu terjadi ol;h seoraog pofi"i rerhadap perampok bank yang bemsaha-melawamya? Reng"jy,* I'engadllan yang resmi tentu akan berusaha untuk mengetaiui konteks pernbunuhan dan motivasi pembunuhan tersebut. Dalam penelitiannya Koh.lberg menggunakan serangkaian _ drlemma yang terdapat didalam konflik tuntutan moral l,aneialins dan hak-hak pribadi i"airia" r,ipotetis fcieli rdagl Duska 1981). Tugas subjek adalah untuk memecahkan dilernma_ memberikaD sebuah penalaran moral yang tepat. :tl.emr.na-.9an JeDuar o errna moml yang khas adalah cerita teoiang Heinz. islri _
aui;
-
l*:*TqT
19
Varali@s drn Pcd,?nbzneahnw tt
umpno X4idupa, Moh6isw) (Ma.ia Go'dti Sup.nil
Heinz sakit kanker, akan rneninggal kalau tak tertolong. Obatnya sulit didapat dan harganya mahal sekali, harga obat tersebut 2000 dolar. Hcinz telah mencoba bemsaha keras untuk mencari sejumlah uang yang diperlukan 2000 dolar, namun yaog diperolehnya haoya 1000 dolar. Apoteker pellem! obat tersebut berkeberatan memberikan obatnya dengan harga 1000 dolar. Maka akhimya Heinz mencuri obat tersebut untuk menyelamatkan istrinya. Pertanyaannya, apakah perbuatan Heinz tersebut salah? Jelaskan jawabannya. Kohlberg mengidentifikasikan moralitas sebagai hal yang berkaitan dengan keadilan kebenaran atau keterbukaan-/kejujuran, dan dia yakin bahwa suatu keputusan moml seseorang lebih menggambarkan pioses-proses kognitif daripada proses emosional. beradi bahwa perkernbangan moral dipandang sebagai konstruksi rasional dzr. kngnisi dari alasanalasan etnilq peraturan-perafuran dan kesimpulan-kesimpulan yang menghasilkan keputusan-keputusan moml. Oleh karena itu Kohlberg mencari akat reesoning noral didalam konstruksi intelektual, bukannya melalui pros€s-proses Jrang lain, misahya reinforcement (hadiah dan hukuman), model-model ataupun identifi kasi (Green I 989)Teori Kohlberg mernberikan sebuah kerangka bagi pernahaman teltang bagaimana penalaran moral berkembaog dari tahap-tahap konsepsi tentang keadilan yang kurang memadai kearah yang lebih memadai. Sebagai contoh, yaitu cerita Kohlberg tentang Joe. Joe adalah anak umur 14 tahun )ang salgat ingin pergi berkemah, tetapi ayahnya minta uang tabungarulya supaya dapat pergi memancing dengan temafilya- Bagaimana subjek tahap satu, jika dibandingkan dengan subjek tahap dua, atau tahap-tahap diatasnya dalam menyikapi permintaan ayabnya. Tanggapan-talggapan mereka akan tsrdapat perbedaan yang mencolok, karena subjek tahap satu akan menyetujui Joe menyerahkao uang itu kepada ayabny4 karena ayahnla adalah tokoh yang berkuas4 tetapi subjek tahap dua mungkin akan
dan
Ini
20
YoL
13No I, 15F.bru@i2010:
13 32
menolak psrmintaan a).ahnya karena perrDiltaan ayahnya itu ..tidak adil"- "Tidak adil" dalam konteks diartikan sebagai "menyerahkan uang pada ayahnya tak akan mendapat keuntungln apa-apa, jadi tak ada gunanya menyerahkan uang pada ayahny;... Berbcda dengan "tidak adil" poda tahap empat, yan; pada dasamya mereka telah merniliki konsep tentang k;dilan secara memadai. Anak tahap empat akan mengatakan bahwa permintaan ayabnya itu sebagai "perampasan hak,'. Tidak adil karen4 tabungan ioe aialah hak Joe, kalena hasil jerih payah Joe menjual Koran. Joe berhak atas uang tersebut dan berhak untuk menikmati kesenangannya. Kohlberg menganggap bahwa setiap individu dapat . membedakan antara tingkahlaku yang dibuat dan tujuan yang
ini
mendorong terjadinya tingkahlaku,
seta
akibat-akibat ata;
konsekuensi yang akan timbul dari tingkaliaku. pandangan ini mendasari atau nampak dalam metodologinya untuk mengetahui bagaimana subjek berfikir tentang irferaksi antara ketiga komponm lersebut yang a_khim5ra akan berpengaruh terhadip kepu(usan moraltya. Dilema-dilerna moml yang djsusunnya mampu memaksa subjek untuk berfikir dan menghubung_
hulungkg ketiga komponen tersebut s€suai a.ngan tatra-p perkembdngan kognitifirya, yang akhimya mencerminkan kedudukan masing-masing individu dalam
perkembangan-penalaran moral tertenfu ,
2.
tahap_lahap
Prinsip-prinsiplnternalperkeftbangaaReasoning Moral Seperti telai dikatakan pada bagiar terdahulu: bahwa
interaksi sosial merupakan dasar bagi perkembangan moral. Karena melalui. hubungarLnya dengan orang lain seseorang dapat menangkap, rnemahami dan menilai s€gala sesuatu y*g to;uai disekitamya dan segala sesuatu yang diharapkan Oerkenaan'aurlan tingkahlaku moralnya. Untuk dapat menangkap, memahami ian menilai lingkurgan sosial temyata diperlukan kemampuan kognitif lerte.nju yang dicapai melalui tahap-tahap perkernbangan inteleltualnya.
2t
Maralitat da,
Pe*e bma@nla
Oleh karena
ih!
(Fcnonend Kehidupaa
Mah6isa) (Muia eoreti
Supeni)
prir$ip yang pertama dapat dikatakan
bahwa dalam penilaian atau pengambilan keputusan moral (moral pada
judgement) diperlukan kemampuan kognitif tertentu seseorang.
Prinsip yang kedua, bahwa untuk terjadinya perkernbangan keputusar moral, harus terjadi "konllik kognitif' pada diri seseorang. Konflik kognitif akan menimbulkan ketidakseimbangan kognitif pada diri orang tersebut, yang akan mendorong orang tersebut untuk menemukan kcmbali keadaan yang seimbang (equilifuium). Konfllik kognitif ini akan terjadi manakala dalam diri seseorang terdapat dua keyakinan yang saling bertentangan, misalnya: jangan berdusta karena itu tidak baik, tetapi di lain pihak, ada pula keyakinan 'langan sampai mendapat masalah" padahal untuk tidak mendapat masalah seseorang hams berbuat dusta. Konflik kognitifjuga dapat terjadi jika suatu keyakinan lang telah dimiliki berbentwan dengan informasi eksternal. Misalnya: orang pendusta akan dihukum, tetapi teman-teman sedng berdusta, tidak pemah mendapat hukuman. Anak yang baik adalah yang patuh pada omng tua, karena jika tidak patuh akan mendapat hukuman, atau jika patuh akan mendapat sernua kesenangan ;rang berupa hadiah dan pujian, tetapi kenyataarurla tidak semua kepatuhan pada orang tua meldatangkan kesenangan. Contoh yang lain, realitas d-inegara kita tercinta ini, sargat nyata di jaman sebelum "reformasi Mei 98" hingga sekarang. Orang telah yakin bahwa kejujuran dan keadilao adalah hal yang memaog harus dibela dan ditegakkan. Namun, kenyataan justru para penegak keadilan dan kejujuran. (bukan penegak hukum) harus kehilangan jabatan atau pekerjaan. Melalui situasi semacam id kita dapat melihat plibadi-pribadi mana yang bermoral tinggi, berani ajur karena jujur dan adil dan pribadi-pribadi yang munafik atau moralitas rendah,
Prinsip yang ketiga adalah bahwa untuk pedngkatan perkembangan penalaran motal ses€orang masih harus dilengkapi dengan kemampuan "nernainkal p€ran" atau "alih peraf' (role
22
t/ol 33No I.15 Februan 2Ot0: t3-32
takng\. Mematrlrrn peran disini bukan hanya diartikan
secara
luamya saja, seperti pernain drama atau anggota masyarakat yang pandai menyesuaikan dirin1ra semata-mata demi keselamatai dirinya (membebek-Jawa). Tetapi lebih diarrikan sebagai kemampuan seseorang untuk menilai pcrsoalan sosial dari beberfa sudut pandang,. berdasarkan pernikiran-pemikiran dan perasaan_ perasaan orang lain. Atau kemampuan untuk melihat segaia scsuatu qan sudut pandang orang lain, memahami dan menerima nilai_nilai yang diyakini orang lain tentarg suatu situasi tertentu. Kemampuan untuk alih peran sangat dipengaruhi oleh Kesempalan-kesempatan atau sifuasi_situasi tertentu dan menunfu t aktivitas individu untuk beralih dari keyakinan dirinya yang kuang memadai ke..keyaldnan orang lain yang lebih -.rnuauit"nr-! konsep keadilan dan kebmaran. Untuk keperluan ini, banyaft ahii mengatakan, bahwa salah satu faldomya yang ikut mendukung adalal lingkungan keluatga- Terutama bila-orang tua mendoroni terjadinya dialog mergenai nilai-nilai moral. Karena melalui dialoi akan mernaksa individu untuk melihat situasi-situasi dari sudui pandang orang lain serta melihat konsekueDsi-konsekuensi dari masing'masing sudut pandang, yang akan mengarahkan seseorang unruk bdrdlih dari sudut pandangn)" sendiri ke suduf paodani orang lain yang dipandang lebih memadai_ Oleh karena pergaulan dengan teman sebaya maupun oraog_orang yang lebih mapan dalarn: konsep keadilan dan kebeniran utan 1*gut memb-antu perkembangan penalaran moral remaja. ,kfitu aspek inremal yang telah dijelaskan diatas saling bcrhubungan sanga_t_erat untuk terjadinya psrkernbangan penalarai Untuk mempedelas hubrmgan tersebut, dapat T:l1t_ drlfiat pada gambar dibawah ini.
.
iti
,
*t*tu"q
23
MotuIitt
rlan
Pert nbansanntE (F.notum K.hidnpa Mah6iw) (Meia
Perkembangan
Kognitif
Kotrflik
kogitif
dan
ctrensrpa,
Kernampuan alih peran
keseimhan sen
Perkembaugan Penalaran Moral
3.
Tahap-tahap Perkembrngan Penalaran Moral Tahap-tahap perkemtlangan moral Kolrlberg dikelompoklcan di dalam tiga tingLat utama, dan masing-masing tingkat terdid dari dua tahap perkembangan.
a.
TitrgkatPrekonvensional Pada tingkat Prekonvemional, respon-rcspon individu terhadap hubqlgan-hubungan dan aktivitas sosial adalah untuk memenuhi kebltuhannya sendiri, entah secara fisik atau yang bqsifal hedonisme (menyenaogkan diri). Individu msrdlai baikburuk suatu tindakan dari segi bagaimam akibat-akibat dari tindakan tersebut. Apakah tindakan - tersebut mendatangkao hukuman atau hadiah, apakah menyenangkan atau tidak. Individu dalam melakukan peraturan-peraturan hanyalah supaya terhindar dari hukuman.
Tingkat Tahap
id terdid:
1:
Puflishtneqtabedieice hukuman dan kepahrhan).
24
orieltatiot
(Orientasi
Yol
fl
No.
I,
15
Febwi
2Ot0
:
13 32
ini individu menentukan baik_buruknF suatu tindakan melalui akibat-akibat fisik dari tindakan tersebut. Mereka akan patuh pada pemturan hanya rurtuk melindungi diri dari hukuman. Pada tahap
Tahap2
:
Instrumental-relativist oriehtation (Orientasi
Relativis Instrumental). Dalam tahap ini individu membuat keputusan moral bgrdasalkan pada apakah suatu tindakan akan dapat memenuhi kebutuhan dilinya atau tidak. Tindakan yang baik dipandang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhamy; Dala; diri individu sudah berkembang pernikiran hubungan timbal balik (saling), kesamaan dalam bagian, tetapi hariya dimengerti secara fisis dan pragmatis, ..kalau kamu menggarukkan punggungku, aku luga akan menggamkkan punggungmu'. bukan soal loyalitas dan ftsa terima kasih atauprm keadilan_ Perkembangan maral pada tingkat prekonvensionat ltahap t dan Z;, rnr umumrrya dialami oleh individu Jang tahap perkembangan -
Ioi
inteleLlualnya berada pada tahap
pra
konkrit
dan konirit tahul
operasional. Yaitu mereka yang berumur + 2 hingga l0
b.
TingkatKonvensional
tingkatan iri, hal yang baik baginla (berharga baginya), . . .Pada adalah memenuhi harapan-harapan orang iain - atau
t(elompok/masyarakat. Kebersamaan, loyalitas
dan identifikasi
dengan kelompok merupakan dasar bagi kiputusan moralnya.
Tingkatan ini terdiri dari: Tahap Interpersohql eoncordance orientatioh (Oierltasi masuk kelompok ..anak baik" daa ,,anak manis,,). Tinekah laku VaaC baik bagi individu pada tahap ini adalah tirykah laku ya4 dapat diterima oleh yang lairq menyenangkan orang lain atau membantu oran! lain dan mendapat persehtuan mereka. Individi
3 :
25
Momlit8
dan
Pe.kenba"etutd
(Ftutun
pada tahap
Kehtuturn|
Mzn6ied) (Mdtia Goneti
Supeni)
ini memiliki dorcngan untuk
diri dengan tiqkahlakutingkahlaku yang lazim atau umum. Untuk pertama kalinya ,r/errt tingkahlaku dipertimbangkan, dan menjadi meryesuaikan
"orang yang dinilai baik" menjadi penting. Tahap
4 :
Law and Order Orientation (Oriotasi Hukum dan Ketertiban). Tanggung jawab, peraturan-peraturan, mernelihara ketertiban sosial dan hormat pada otodtas merupakan dasar bagi keputusan moral
untuk tahap empat ini. Mereka
melakukan/ yang ketefiiban sosial sudah ada dehi memeliham ketertiban itu sendfui. Perkembangar moral pada tingkat konvensional (tahap 3 dan 4) ini umumnya dialami oleh individu yang tahap perkembangan intelektualnya berada pada tahap formal operasional, yaitu rernaja dan orang dewasa.
Tingkat Pasca I(onvensional, otonom atau berprinsip Pada dngkat ini ada usaha yang jelas dari individu untuk mengafiikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih dan dapat dilaksanakan. Only in Imstconvensional ,totality is civil dis obedience condoned
-
Tingkatan ini terdiri dari: Tahap Sociol Contracl Orientolion (Orientasi Konaak Sosial). Pada tahap ini, tindakan yang bena! lebih dipandang dari segi-segi hak individu yang bersifat umum dan dari kdteria-kiteria yang sudah teruji, dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Nilai-nilai dan opini-opini pribadi bersifat relatii maka perlu adanya peraturan-peraturan prosedural untuk mencapai konsensus. Nilai-nilai dan opiniopini pribadi juga merupakrn hak, disamling hal-hal yang
5:
26
YoL
)3 No 1,15Febtuan2OI0:
lt
32
telah disetujui secaia konstitusioml dan demokratis.
Akibatnya ada tekanan pada pandangan yang Iegalistis tetapi sekaligus memberikan tekanan, bahwa hukum dapat diubah atas dasar rasional demi kemaslahatan rnasyarakat. Tahap
6:
'
(Jhiversal ethical prihciple oriehtation (Oientasi azas etika univelsal). pada tahap ini keputusan moral dibuat berdasarkan suara hati, kekomprehensifan yang logis, universalitas dan konsistensi. prinsipprinsip ini bersifat abstrak daII etis seperti hukum_ hukum yang merupakan bentuk dasar keadilan. Hukum emas berbunyi ..perlakukanlah orang lain seperti halnya engkau inginkan orang lain memperlakukan engkau!"- perkembangan moml pada tingkat paska konvensional hanya dicapai oleh sedikit orarg. Tingkat ini hanya dicapai oleh mereka yang memiliki kepribadian matang, atau memiliki integritas diri- Orang tahap ini berani melawan hukum atau ahran-aturan yang berlakrl jika hr:kum atau aturan tersebut melanggar hak azazi manusia
atau tidak sesuai dengan nilai keadilan kebenaran/
kejujumc
dan
Dengp' demikian kita dapat melihat bahwa tingkat prekonvensional digunakan oleh mereka yang meniliki ala;analasan turang matang, yang hanya mencari ke!,uasan atau pemenuhan kebuahan pribadi, tanpa mempertimbangican keadilan atau orang lain. Tingkat konvensional digunakan oleh orang-orang pada_umumnya berhubungan dengan kelompok nasyarakat-dimani mereka tinggal. Sedangkan tingfut postaweitional (pasca . konvensional), iauh kedepan melebihi kJompok/ masyarakj, dan oleh karena itu biasanya tidak dipergaruhi oGh sistern hadiah dan hukuman dali masyarakat, karena mereka berfregang pada prinsip keadilan yang universal. Alasan-alasan moral pua" digk"t in'i tiaul
.
27
Moml 6
Adn PeAznb@Adnhlv
(Fe
@ru Kehidtpd Mah6iea) (Moia Corcti
Supen,
begitu berhubungan dengan hadiah-hadiah yang
menyertai peraturan-pemturan dalam masyaraka! karena hadiah, hukuman ataupun pemturan-peraturan dalam masyarakat tidak selalu sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran.
C.
PENUTUP Secara konseptual Hurlock mengartikan moralitas sebagai aturan-atumn berperilaku yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, namun Kohlberg mengartikan moralitas lebih dari sekedar aturan-aturan perilaku kebiasaan yang diterima oleh masyarakat, moralitas terkait dengan perilaku adil, benar dan jujur. Perilaku moral bukan hal yang instant, pedu ditanamkan sejak kanak-kanak dan senantiasa dikernbangkan pada remaja bahkan hingga dewasa- Proses pe.kernbangannya melalui serangkaian budaya dimana individu tinggal dan hidup, oleh karenanya peran keluarga sangat vital dalam hal ini. Momlitas melibatkan tiga komponen yaitu tingkah lahr (moral behavior), peftsamt (rnordl feeling) dan keputusan (moral judgetuent). Moral behavior adatah tingkah laku nyata, apakah individu ,bertingkahlaku sesuai dengan nilai-nilai atau hati numninya? Moral feeling merupakar elemen afektif yang berhubungan dengan bagaimana orang memsa setelah melakukan perbuatan yang salal4 ia merasa bersalai, menyesal atau tidak. Sedanglat moral judgemezt merupakan komponen kogrdtii yaitu bagaimana seseoftng mempertimbangkan dan memutusakan apakah suatu perbuatan benar atau salah. Walaupun ketiga komponen. terlibat dalam pembentukan moral, kendati demikian ketiga komponen tenebut tidak selalu seiring sejalan (berkorelasi positiD, karena masing-masing memiliki mekanisme psikologis yang be6eda. Contoh konlaitnya" seorang pejabat di suatu departemen pasti tahu dan berpendapat bahwa korupsi adalah salah. Namun kenyataannya mereka juga melalotkan perbuatan tercela (korupsi).
28
YoI.33
No I. t5F.btuti2At0:
13 32
perkernbangannya, menuut Kohlberg (Green 19g9), ,Dalarrr moraljudgement mernbutulfian tiga prinsip intemal; yaitu pertama
Danwa datam
-pengambilan keputusan moral diperlukan kemampuan kognilif tcrtentu untuk memahami lingkungan moral_ sosial.. Kedua. ltntuk terjadinya perkembangan t-.prt"-"_ dan tahap satu ketahap berikutnya hans terj;di -konftik kognitif.
."."f
yang mendorong seseorang untuk .err"rnutun t""1r1lati Kesermbangan kognitif Konflik kognitif tedadi bila suatu keyakinan yang telah dimiliki berbirturan d*e* i"f";;l _
ekstemal, misalnya scorang anak telah yakin adalah salah karena akan mcndatangkan hukuman yaitu diberi nilai nol oleh guru (tingkat konvensional), tetap; kenyataannya teminflya ya[g menyontek tidak merdapat huluman. - Akankah arak tctap berfahar tidak menyontek? Untuk tetap befiahan nerilaku harus ada ..dialog rnorut.., 1a1e.b5rmorai menyonlek dipandang sebagai perilaku salah aan kurang -"niufu bermorat: Anak perlu menernukan konsekuensi_konsekuensi lain dlri perilaku salah, te$ebut- Disini berarti te{iadi pengolahan k mendorong kemampuan untuk memahami dan menerima"flik nilai_nilal yanC l.:b1h.jineg, yang disebut ..alih peran,', ini prinsip ketiga. membagi perkembangan keputusan moral "menjadi .Ioll!"tg Itga trngkatan. yang tingkat meliputi 2 lahaian p€rkembangan sebagai.masing-masing berikut: Tingkat Prekonvmsional, yang meliputi tahap dan 2 perkembangar moral. pada tingkat ini umumnya diduduki oleh anak umur + 2-10 tahun dimana mereka 6erada oada
brh;".;t;;;
;;;;
t;;
-
L
. 2.
I
tahap
pra konkrit dan konldt
perkembangan kognitifi rya.
operasional dilam
Tingkat Konvensional, yang meliputi tahap
perkembangan moral. pada tingkat
ini
3
dan
4
umurnnya diduduki oleh anak umur tahun kelas dimana mereka telah mencap^ai tahap formal operasional dalam perkernbangan kognitifnya.
ll
29
Morulit$
3.
dda
P"rke baryannla (F.nMzM Kehi.lupon Mdh6xwa) (Muia Correti Supeni)
Tingkat Paska Koovensional, yang meliputi tahap 5 dan 6 perkembangan moral. Tingkat ini hanya diduduki oleh orargorang yang telah memiliki integritas diri, dan mercka bertindak tidak diatur oleh hadiah atau hukuman dari masyarakat tetapi berdasa*an suara hati, prinsip-prinsip yang sahih dan universal.
Terkait dengan bagaimana usaha mengembangkan moral anak dalam keluarga maupun sekolalr" kiranya perlu ditinjau kernbali, karena bukan hanya melalui hafal dan indah membaca AlQur'an atau Al Kitab, rajin beribadah, santun dalam berperilaku, moralitas bisa berkembang dengan baik dan benar, tetapi melalui bagaimana individu mampu mempertimbangkan dan memutuskan bahwa suatu hal (perilaku), baik untuk dilakukan atau tidak, yang selanjutnya membawalya melalui perenungan untuk dirasakan dao dihayati dalam sanubarinya (feeling moral). Sehingga apa yang nampak dalam perilaku seseorang benat-beoar berdasarkan pemahaman dan penghayatan yang benar
,
DAFIAR PUSTAKA
Baron, R.A. G. Byrnwe- D. 7994. Social Psychologt, l,llyt and Bacoo Devision of Simon and Schuster Inc. Needlan
A
Hei ghts. Massachusetts-
Bee, H. 1981. The Developing Chitd, New York: Harper Publishers.
& Row.
Crow, L.D. and Crow, A. 1965. Adolescent Development and Adjustment,New Yotk; Mc. Graw-Hill Book Company. Deliana, S.M. 7983. Pengaruh Kehidupan di Asrama Terhadap Peninglatan Tahap Kognisi Sosial Renaja. (fesis). Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
30
VoI.
t
No. 1, 15
FebMn 2On : I3-7)
Pusk4,.R. . & Meriellen Wbelao- 1981. perkembangan Moral, drterjemallal oleh Anrak4 D. Kanisisus, yogyiarra. Durkin, lC, 1995. Devetopmental Social psychology. CambridseMassachusel: Blackwell publishersDusek, J.B, lg7'l . Adolesceftt Behavior and Developmetnt, Chicago, Science Research Associat€s, Inc.
Eisenberg N., dkk. 1986. procosial Moral Reasoning tu altruism -if
Political Liberalism
and
htelegence.
developmental psycholog, I 5, 87 _g9.
iorrroi
Flavell. J.N. 1977. Cogxitive Development, Englewood, Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc-
Fuhrman4 B.S_ 1990. Adolescence, Adolescents, Udted States of America: Berbara ScheiderFuhrmarm.
Goleman, D. 1995. Etxotional, IntellEence, alih bahasa Hermay4 Sun Printing Jakata,
T_
Green,
.M. 1989. Theoies of Human Development, Cor parative Approach, Englewood Clifs, New f&sey: p.entic+ftal, Inc-
Guralnik, D,B.
lgjl.
,lebstet's New World Dicrionarv American language, New york: Wamer Books- InI
of
Gunarso, S. 1982. psiltologi Renoja, Jakarta: Gutrung Mulia. Heuken, S.J.
dkk
1982. pahatuil.ah
3l
Remajamu.lakafia: CLC-
The
Moralitds dar Pe&enbdnCtuya
quorem Xetatupa
MotwiwaS (Meia Coneti tupen,
, Hurlock, E-8.
1973. Child Develnpment, To$ol. Mc. Graw-Hill Kogakusha, Ltd.
Hurlock, E.B. 1974, Adolescent Development,'fok1o: Mc. GmwHill Kogakusha, Lld. Kohlberg. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral, Alih Bahasa oleh dc Santo, J. Yogyakarta: Kanisius.
Kurtines, W.M. and Gewitz, L.L. 1984. Moral Behavior and Moral Developmext,New York John Willey and Sons. Martini, W. 1995. Perkernbangan P€nalaran Moral Pada Remaja yang Berbeda Iitar BellkangBuday4 Jurnal Psikologi, (2') l4-20.
Martani,
W.
Pengaruh
1987Terhadap Perkembaxgan Moral Rerxaj a, ('l esls). Y ogyakarta, Fakultas Psikologi UGM.
Monk, Prol Dr. dk*. 1985. Prr'&ologi Perkembango . Yogyakafia. Gajah Mada Press.
Moshman, D., Glover, J.A. & Bruing R.H. 1987. Developmental Psychologt. Hwper Collins Publishers, USA.
Norchini, J.Y. & Snyder. 1982. The Effects, of modelling and Cogdtive hduction on the Moral Reasoning of Adolescents. Journal of Youth and Adolescence, (12)
l0l-ll3
K. 1993. Perkembangan Penalaran Morat, Tinjauan dari Sudut Telri Sosio-Kognitif, Junal Psikologi dan
Setiono,
Ma syqr aka t, J akartat C:ran.edlia V/idiasarana.
32